Anda di halaman 1dari 6

NAMA : APRILINE DENISTRA P.

PRESENSI : 02

KELAS : XII IPA 5

TUGAS: MENGANALISIS TEKS CERITA SEJARAH

SOAL

1. TULISKAN STRUKTUR ISI TEKS CERITA SEJARAH TERSEBUT


2. ANALISIS ASPEK KEBAHASAAN YANG TERDAPAT DALAM TEKS
TERSEBUT

JAWABAN

1.

PERANG PUPUTAN BAYU

ORIENTASI

Tidak banyak yang mengetahui adanya satu pertempuran besar di Nusantara yang membuat
Belanda sangat kewalahan. Bukan Perang Jawa atau pun Perang Aceh, melainkan Puputan Bayu,
perang di Blambangan atau yang kini dikenal dengan Banyuwangi.

Berdasarkan catatan sejarah, Kerajaan Blambangan merupakan kerajaan Hindu terakhir di Jawa
yang lahir pada 1295 atau dua tahun setelah Majapahit berdiri. Raja Majapahit Raden Wijaya
memberikan wilayah tersebut kepada Arya Wiraraja alias Adipati Sumenep dengan ibu kota
Lumajang, sebab telah membantu perjuangan mendirikan Majapahit.

Dikutip dari Majalah Tempo edisi 13 September 2010, Kerajaan Blambangan terekam mampu
bertahan hingga abad ke-18, setelah keruntuhan Majapahit pada abad ke-15. Namun, riwayatnya
tidak pernah disebut dalam sejarah nasional Indonesia.
Hanya sedikit sejarawan yang meneliti Blambangan, peninggalannya pun bisa dihitung dengan
jari. Riwayat kerajaan ini mayoritas berupa cerita rakyat yang kental dengan legenda atau mitos,
seperti kisah Damarwulan Menakjingga yang kerap dibawakan dalam seni pertunjukan.

Peneliti dan dosen Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Jember, Edi Burhan Arifin
mengatakan, bukti-bukti seperti prasasti Kerajaan Blambangan terbilang minim, sehingga silsilah
para pemangku kekuasaannya pun nyaris tak terdeteksi.

"Kerajaan Blambangan adalah kerajaan terakhir yang ditaklukkan Vereenigde Oost-Indische


Compagnie (VOC) Belanda dengan perlawanan paling gigih," tutur Edi melihat kembali historis
Kerajaan Blambangan.

KONFLIK

Eksistensi Kerajaan Blambangan berawal dari sebutan Balumbungan yang berarti lumbung.
Blambangan merupakan pusat logistik yang kaya sumber daya alam dengan wilayah terbentang
dari Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Jember, hingga Lumajang.

Atas dasar itu, Kerajaan Blambangan menjadi rebutan. Hal itu bisa dilihat dari upaya penaklukan
atau pencaplokan Blambangan oleh banyak pihak. Mulai dari Kerajaan Majapahit, Mataram
Islam, hingga VOC.

Invasi VOC 1767

Tahun 1743, Raja Mataram Pakubuwana ll menyerahkan Blambangan kepada VOC sebagai
imbalan telah merebut ibu kota Kartasura dari tangan pemberontak. Hanya saja, VOC belum
melakukan pendudukan lantaran masih terseret konflik Mataram hingga 1757.

Invasi atau ekspedisi militer ke Blambangan baru dilakukan pada Februari 1767. VOC juga
menyertakan sekutunya dari Kerajaan Mataram, Pasuruan, Banger, Surabaya, dan Madura.

Awalnya, kedatangan pasukan ini disambut hangat rakyat Blambangan yang ingin melepaskan
diri dari Bali. Mereka menggantungkan masa depan lebih baik kepada VOC. Kemudian,
terjadilah pembunuhan besar-besaran terhadap orang Bali, terutama oleh orang-orang Bugis di
Blambangan. Cukup satu bulan VOC dengan mudah menduduki Blambangan.
Euforia kemenangan VOC pun berlangsung singkat. Empat bulan setelah menjalankan
pemerintahan di Blambangan, muncul pemberontakan yang dipimpin Wong Agung Wilis,
saudara tiri dan mantan patih raja terakhir Blambangan, Pangeran Adipati Danuningrat.

Wilis sebenarnya orang yang ditunjuk VOC memimpin Blambangan, namun rupanya itu siasat
belaka. Dia lantas memanfaatkan posisinya sebagai penguasa untuk menghimpun kekuatan yang
nantinya digunakan menyerang VOC.

Rakyat Blambangan nyatanya menahan murka. Terlebih, orang-orang asing itu bersikap kasar
dan semena-mena, dan memicu bentrokan fisik di sejumlah tempat. Pemberontakan Wilis pun
berlangsung setahun dan berakhir dengan penangkapannya pada 1768. Wilis dan pengikutnya
kemudian dibuang ke Pulau Banda.

Dalam buku berjudul Sembah Sumpah, Politik Bahasa dan Kebudayaan Jawa yang ditulis
Benedict R Anderson, dituliskan kesewenang-wenangan VOC terhadap rakyat Blambangan
semakin menjadi-jadi sepeninggal Wilis. Bahan pangan milik penduduk dirampas, petani dipaksa
menanam padi yang hasilnya harus diserahkan kepada Belanda, kaum muda dipekerjakan paksa
tanpa upah.

PUNCAK KONFLIK

Kondisi tersebut membuat warga pergi dari kampungnya untuk menyelamatkan diri. Yang
menjadi tempat tujuan adalah suatu daerah bernama Bayu (sekarang termasuk wilayah
Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi) yang terletak di lereng Gunung Raung. Pangeran
Jagapati yang sebelumnya ikut dalam pemberontakan Wilis pun nyatanya ada di sana bersama
para pengikutnya yang masih tersisa.

Mendengar Pangeran Jagapati berada di Bayu, ribuan rakyat Blambangan lantas berbondong-
bondong meninggalkan desanya untuk bergabung.

Pemberontakan terbesar pun meletus di bawah kepemimpinan Susuhunan Jagapati yang


membangun benteng di Bayu. Rakyat Blambangan sepakat untuk melakukan perang puputan
atau pertempuran habis-habisan. Kerajaan Mengwi turut mengirimkan bantuan pasukan.
Pada 18 Desember 1771, tepat hari ini 249 tahun silam, seperti dituliskan Lekkerkerker dalam
catatannya yang menjadi rujukan utama dalam penulisan sejarah tentang Puputan Bayu, ribuan
prajurit Blambangan bergerak menuju arena pertempuran. Ini merupakan puncak dari
peperangan yang sudah berlangsung sejak awal Agustus 1771 yang dikenal dengan nama
Puputan Bayu.

Para pejuang Blambangan melakukan serangan umum dan mendadak terhadap serdadu VOC.
Prajurit Blambangan di bawah kepemimpinan Jagapati maju ke medan tempur dengan membawa
golok, keris, pedang, tombak, dan senjata api yang diperoleh hasil rampasan dari tentara VOC.

Menghadapi itu, VOC mengerahkan 10 ribu personel dilengkapi senjata canggih termasuk alat-
alat berat. Mereka menghabiskan 8 ton emas untuk biaya perang. VOC dalam hal ini sebenarnya
merugi, karena apa yang dikeluarkan ternyata tak sepadan dengan apa yang didapat. Blambangan
tidak memberikan keuntungan yang signifikan bagi Belanda selama berkuasa di Indonesia.

Kemudian, terjadilah Puputan Bayu, perang besar-besaran di tanah Banyuwangi. Serangan


pejuang Bayu yang mendadak, membuat pasukan VOC terdesak. Ketika posisinya terus terdesak,
mereka mundur dan lari meninggalkan semua perlengkapan perang. Pejuang Bayu mengejar
pasukan VOC.

Saat itulah pasukan VOC banyak yang terperosok dalam jebakan yang dinamakan sungga (parit
yang di dalamnya dipenuhi sunggrak) yang telah dibuat oleh pejuang Bayu. Pasukan VOC yang
terjebak dan dihujam dari atas. Belanda menyatakan serangan ini sebagai de dramatische
vernietiging van Compagniesleger (kehancuran dramatis pasukan kompeni).

Pertempuran berakhir dengan kemenangan pasukan Jagapati. Pemimpin VOC, Vaandrig Schaar
dan Comet Tinne, tewas. Ratusan prajurit Madura yang dibawa VOC juga nyaris tanpa sisa.

Perang Tersadis Nusantara

Kemenangan Blambangan dibalas VOC setahun kemudian. Serdadu Belanda mendatangkan


ribuan prajurit tambahan dari Madura, Surabaya, dan Besuki. VOC juga mendirikan benteng di
dekat Bayu untuk mengontrol pasukan Jagapati.
Lumbung-lumbung padi milik pasukan Jagapati dibakar hingga kelaparan menyerang, disusul
kematian, dan penyakit mewabah. Pasukan Jagapati terus berkurang. Oktober 1772, pasukan
Jagapati dipatahkan. Pangeran Jagapati tewas dalam pertempuran tersebut. Tubuh dan kepala
para prajurit Blambangan yang tewas digelantungkan di pepohonan sekitar benteng. Menurut
Sejarawan Sri Margana, ini adalah peperangan tersadis dalam sejarah Indonesia.

Benedict R Anderson dalam bukunya mengatakan, akibat perang ini sekitar 60.000 rakyat
Blambangan (Banyuwangi) gugur, hilang, atau pun menyingkir ke hutan untuk menyelamatkan
diri dari VOC. Angka tersebut dianggap sangat besar karena jumlah penduduk Blambangan
waktu itu 65.000 orang.

Tanggal terjadinya peperangan ini, 18 Desember, pada akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi
Kabupaten Banyuwangi karena menjadi cikal bakal terbentuknya wilayah tersebut.

Perang ini juga mengubah peta demografi di kawasan Blambangan dan sekitarnya. Dari yang
awalnya dihuni mayoritas etnis Jawa Osing menjadi etnis suku Madura. Orang Madura telah
merebut para wanita dan anak-anak Blambangan sebagai hasil rampasan perang.

Wikkerman (residen di Blambangan pada tahun 1800-1818) melaporkan bahwa sensus penduduk
pertama setelah berdirinya kabupaten Banyuwangi jumlah penduduk belum mencapai 300
keluarga. Sebelum perang berlangsung, Blambangan berpenduduk 65 ribu jiwa, yang 60 ribu
orang telah meninggal dunia akibat perang puputan Bayu. Penduduk Blambangan hanya tersisa
sekitar 5 ribu jiwa.

KODA

Hampir habisnya penduduk Blambangan akibat perang, pihak VOC mendatangkan tenaga kerja
dari luar Blambangan untuk mengolah tanah-tanah pertanian yang kosong. Mereka ditempatkan
di rumah penduduk yang kosong yang ditinggalkan ketika perang. Akibat kedatangan berbagai
macam penduduk dari luar Blambangan, menjadikan Blambangan berpenduduk sangat majemuk
terutama masuknya etnis Madura setelah perang.

2. Aspek kebahasaan tek cerita diatas


a. Pronomina
 Mereka menggantungkan masa depan lebih baik kepada VOC.
b. Verba material
 Orang Madura telah merebut para wanita dan anak-anak
Blambangan sebagai hasil rampasan perang.
 Serdadu Belanda mendatangkan ribuan prajurit tambahan dari
Madura, Surabaya, dan Besuki. VOC juga mendirikan benteng di
dekat Bayu untuk mengontrol pasukan Jagapati.
c. Konjungsi temporal
 Sebelum perang berlangsung, Blambangan berpenduduk 65 ribu jiwa,
yang 60 ribu orang telah meninggal dunia akibat perang puputan Bayu.
Penduduk Blambangan hanya tersisa sekitar 5 ribu jiwa.
d. Kalimat majemuk
 Bukan Perang Jawa atau pun Perang Aceh, melainkan Puputan Bayu,
perang di Blambangan atau yang kini dikenal dengan Banyuwangi.
 Tanggal terjadinya peperangan ini, 18 Desember, pada akhirnya
ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Banyuwangi karena menjadi cikal
bakal terbentuknya wilayah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai