Anda di halaman 1dari 6

Petaka Blambangan

Puputan Bayu, Minakjinggo, sampai Genjer-genjer


Oleh Dwi Pranoto 
 
 
Blambangan tak bisa disamakan begitu saja dengan Banyuwangi hari ini. Kekuasaan
kerajaan Blambangan kuno yang merentang dari Probolinggo, Lumajang, Jember,
sampai ke timur berbatas Bali, tak sebanding dengan luas Kabupaten Banyuwangi
sekarang. Wilayah kekuasaan Blambangan terus menciut dan semakin bergeser ke
timur saat pemerintahan trah Mataram di Jawa Tengah berulangkali berusaha
meruntuhkannya.  Akhirnya ibu kota kerajaan Blambangan terakhir, Benculuk,
dipindahkan ke Banyuwangi oleh VOC. Dan dengan demikian punah sudah
kekuasaan Blambangan, meski Mas Alit, Bupati pertama Banyuwangi, adalah wangsa
Tawang Alun, Raja termasyhur Blambangan.         
Seperti warna langit barat saat senjakala dimana lukisan warna-warni yang
mengantar matahari menyungkur ke ufuk barat jadi menggetarkan. Menjelang
keruntuhannya, Blambangan memberikan perlawanan terakhirnya yang hebat.
Dengan menduduki Bayu, bekas ibu kota kerajaan di zaman raja terbesar Tawang
Alun, Rempeg membangun kekuatan massa rakyat untuk mematahkan kekuasaan
VOC di Blambangan.         
Tidak seperti Puputan Badung atau Puputan Margarana yang mendapat perhatian
luas. Puputan Bayu, yang berlangsung di Blambangan (Banyuwangi) sejak Agustus
1771 sampai Desember 1772, hampir-hampir luput dari perhatian. Padahal
perlawanan orang-orang Blambangan yang dipimpin Rempeg1  atau Jagapati
(mengaku sebagai jelmaan tokoh pemberontak sebelumnya, Agung Wilis, yang telah
dibuang ke Banda2 terhadap kompeni dan Tumenggung Kartenegara serta
Tumenggung Jaksanegara, Kasepuhan dan Kanoman, merupakan pertempuran hebat
dan paling brutal yang pernah dialami oleh pasukan kompeni di pulau Jawa sejak
perjanjian Giyanti. Raffles, dalam History of Java yang terkenal, menyatakan bahwa
Banyuwangi yang pada tahun 1750 dihuni lebih dari 80.000 jiwa, pada tahun 1881
diketahui berkurang sampai hanya tersisa 8.000 jiwa 3. Meski pernyataan Raffles di
atas banyak mendapatkan tentangan dikemudian hari. De Jong menyatakan
pernyataan Raffles tersebut hanyalah berdasarkan cerita dari mulut ke mulut 4.
Sedangkan I Made Sudjana, dalam Nagari Tawon Madu, menyatakan perkiraan
Raffles tersebut terlalu kasar dan meletakkan semua kesalahan terhadap VOC.
Berkurangnya penduduk Banyuwangi memang bukan belaka disebabkan oleh bedil
VOC, namun pembakaran gudang-gudang makanan dan pemusnahan tanaman-
tanaman pangan yang dilakukan oleh VOC untuk melumpuhkan persediaan logistik
para pemberontak di Bayu, bagaimana pun telah menyebabkan kelaparan hebat dan
meluasnya wabah penyakit dalam masyarakat Banyuwangi sesudah perang Bayu.
Setelah beberapa penyerbuan VOC ke Bayu gagal memadamkan pemberontakan dan
bahkan sering menderita kekalahan dengan kematian sebagian besar pasukan dan
terlukanya komandan penyerbuan, VOC lantas berupaya mengisolasi Bayu dan
memutus jalur-jalur logistik berikut membakar gudang-gudang makanan dan
memusnahkan tanaman-tanaman pangan, seperti Gambiran, Songgon, Temuguruh,
dan Grajagan. Selain mencegat kereta-kereta kuda yang akan memasok logistik ke
Bayu, VOC juga berupaya mendapatkan berbagai rincian informasi tentang kondisi
Bayu yang misterius, dengan menculik beberapa pengikut Rempeg. Si Lakar,
seorang dayun (pelayan setia) Rempeg yang diculik di rumah pembesar
Blambangan, mantri Singadirana, mengalami proses interogasi yang dramatik.
Setelah berulangkali teguh memberikan keterangan palsu mengenai rincian kondisi
Bayu meski dibawah siksaan tubuh yang keji, Lakar akhirnya harus menyerah ketika
ia diinterogasi dengan keadaan telanjang terikat di sepokok pohon dan diserbu
semut merah besar.         
Si Lakar merupakan salah satu potret ketangguhan para pejuang Bayu, (orang-orang
Blambangan dibantu orang-orang Bugis, Mandar, Bali dan Cina) dalam melakukan
perlawanan terhadap VOC meski, bersamaan itu, deraan kelaparan yang mematikan
menghajar mereka juga. Di lain pihak VOC harus merogoh kas keuangan lebih dalam
untuk mengongkosi perang disamping harus kehilangan para serdadunya, baik
serdadu pribumi maupun Eropa, dalam jumlah besar. VOC pun harus rela kehilangan
beberapa perwiranya dalam perang. Bahkan pada bulan November 1771 serbuan
para pemberontak Bayu ke pelabuhan Ulupampang telah menyebabkan hal apa yang
tak pernah terjadi pada perang-perang VOC di Jawa sebelumnya, yaitu tewasnya
asisten resident, Biesheuvel. (Putu Praba Darana, Menguak Kabut Kelam
Blambangan, makalah Seminar Sejarah Blambangan, 9 – 10 November 1993 di
Banyuwangi).          
18 Desember 1771 pertempuran berkobar di Songgon dan Susukan mengakibatkan
kekalahan pasukan VOC dan terbunuhnya letnan Reigers. Namun pertempuran
paling brutal belum lagi pecah. Pada serangan pasukan VOC kedua di bulan yang
sama, penyergapan mendadak yang dilakukan para pejuang Bayu bersamaan
dengan deras hujan menyebabkan pasukan VOC yang dikomandani Vaandrig Scaar
menderita kekalahan parah. Para pemberontak dengan bersenjatakan bambu
runcing dan tombak yang menyerbu mendadak dan bersamaan ke arah pasukan
VOC membuat kalang kabut para serdadu yang harus melindungi senjatanya dari air
hujan. 100 orang pasukan Madura gugur pada pertempuran itu, Vaandrig Scaar dan
Cornet Tinne terbunuh. Menurut Wikkerman (kelak menjadi residen Banyuwangi)
yang selamat dari pertempuran itu, tubuh Vaandrig Scaar diseret menuju markas
pemberontak. Sesampai di markas, perut Vaandrig Scaar diburai dan diganyang
isinya. Sementara kepalanya dipancang di ujung tombak dan dikelilingkan menjaya-
jaya5.          
Setelah Puputan Bayu6, wilayah Blambangan (Banyuwangi) menjadi lengang.
Disamping amuk el maut yang disebabkan oleh bedil VOC, juga kelaparan, wabah
penyakit, dan migrasi besar-besaran orang Blambangan ke luar daerah merupakan
faktor berkurangnya jumlah penduduk Blambangan. Akhir tahun 1772 penduduk
Blambangan tinggal 3.000 jiwa atau 8,3 persen dari jumlah penduduk yang ada
sebelum pendudukan Belanda. (S. Margana, The “Puputan Bayu”: War, Disease, and
Demographic Catastrophe in Blambangan, 1771 –1773, Paper Tanap workshop 2003,
Xiamen).         
Walaupun peringatan hari jadi kota Banyuwangi (versi pemerintah) kini ditetapkan
bertepatan dengan berkobarnya salah satu serial perang Bayu paling brutal, namun
“kenangan” atas Puputan Bayu nyaris tak dimiliki oleh orang-orang Banyuwangi.
Kenangan atas keberanian dan kepastian tragis peristiwa Bayu seolah diuapkan oleh
perang Damarwulan – Minakjinggo. Realitas akhirnya harus menyerah pada kerajaan
Khayal. Hulu genealogi sosial yang melimpahkan inspirasi keteguhan, keberanian,
sekaligus cermin pengkhianatan dan kepengecutan dipaksa harus menelan
gambaran yang melulu hina-dina dengan riang gembira. Minakjinggo, tokoh rekaan
yang buruk rupa dan berwatak angkara tumbuh meraksasa melampau dunia
panggung senidrama dan mengeram dalam diri orang-orang Banyuwangi.       
Tapi sejak mula, kelompok senidrama Kesenian Agawe Rukun Santoso (KARS) yang
didirikan oleh Madarji tahun 1920-an melakonkan Damarwulan – Minakjinggo, cerita
yang diduga ditulis oleh Pangeran Pekik 7. Setelah pemanggungan di pendopo
Kawedanan yang melakonkan cerita Bhre Wirabhumi Gugat, KARS dalam
pemanggungan-pemanggungannya sekemudian harus hanya memanggungkan cerita
Damarwulan – Minakjinggo. Naskah lakon yang diberikan sendiri oleh Asisten
Wedana Banyuwangi kepada Madarji tersebut seterusnya menjadi penanda
menggantikan KARS dan juga kelompok-kelompok senidrama kemudian yang
mengikutinya.          
Cerita Bhre Wirabumi Gugat dilarang dilakonkan lagi. Menurut asisten Wedana,
cerita Bhre Wirabumi Gugat (Raja Kedaton Wetan/Blambangan yang dikenal dalam
geger Paregreg; memberontak kepada Majapahit karena menuntut hak tahta) tidak
bagus. Penggantian lakon itu mencerminkan kecemasan bahwa pemberontakan Bhre
Wirabumi bakal menginspirasikan kembali perlawanan kolosal masyarakat
Banyuwangi terhadap pemerintahan kolonial. Sejarah pahit Puputan Bayu,
bagaimanapun, terus membayang dalam ingatan pemerintahan kolonial, dimana
dalam satu dasawarsa lebih, dari sebelum perlawanan Bayu sampai bertahun
sesudah dipindahkannya ibu kota dari Ulupampang (Benculuk) ke Banyuwangi,
wilayah Banyuwangi tak menjadi daerah produktif8.          
Mengikuti kepopuleran cerita Damarwulan – Minakjinggo yang bertahan berpuluh
tahun, lambat laun perilaku Minakjingga dianggap benar-benar diwariskan kepada
orang Banyuwangi. Raja Blambangan yang timpang, bongkok, bersuara sengau,
buncit, berwajah serupa anjing, dan berwatak angkara sekaligus bejat moral itu
dianggap mewakili gambaran umum orang Banyuwangi. Anggapan itu bukan hanya
tumbuh dari orang-orang Banyuwangi, pun orang luar Banyuwangi. Semisal lakon-
lakon ketoprak atau ludruk dimana wong Blambangan melakoni peran berangasan
dan bejat dalam cerita yang hitam putih, meski tak sedang memanggungkan cerita
Damarwulan – Minakjinggo. Lihat juga bagaimana wong Blambangan dilukiskan
dalam cerita Digdaja (Coban, sambungan) 8. dan Brandal Blambangan9.          
Gambaran tokoh Minakjinggo tersebut jauh dari apa yang dilukiskan John Scholte
tentang orang Blambangan dalam Gandroeng Van Banjoewangi. John Scholte
menyatakan bahwa rakyat Blambangan merupakan suku bangsa yang gagah fisiknya
dan berkepribadian serta berkembang dengan cepat, berpegang kuat pada adat
istiadat, tetapi juga mudah menerima peradaban baru. Lebih dari pujian yang
dilayangkan John Scholte terhadap orang Banyuwangi, Dr. J. W. de Stoppelaar tahun
1927 melalui karya Hukum Adat Blambangan (terjemahan Pitojo Boedhy Setiawan
atau P. Schuitemaker, naskah ketikan) membuktikan bahwa masyarakat
Blambangan bukan tak beradab.         
Bagaimana pun, kisah Damarwulan dan Minakjinggo yang muncul pada akhir abad
17, walaupun mengambil latar belakang kerajaan Majapahit, merupakan cerminan
usaha pendominasian trah Mataram atas seluruh tanah Jawa. De Graaf mencatat
serbuan-serbuan militer Mataram atas Blambangan sejak abad 16. Pada masa
Amangkurat I (Sultan Agung?), menurut Lekkerkerker dalam Balambangan,
serangan Mataram berhasil menghancurkan Blambangan dan mengangkut 1500
orang Blambangan ke Mataram. Namun, ketika ketika seluruh tanah Jawa tunduk
terhadap VOC, termasuk Mataram yang “dijinakkan” dengan perjanjian Giyanti,
selain Malang Selatan yang terus bergolak, wilayah Blambangan tak juga bisa
dikuasai VOC sampai paruh ketiga abad 18.         
Tinjauan kritis Putu Praba Darana atas sejarah Ken Arok yang disebut sebagai
bromocorah dan anak hasil hubungan gelap anatara N’dok dan dewa Ciwa
merupakan tanda penindasan atas realitas sejarah yang sebenarnya (Menguak Kabut
Kelam Bumi Blambangan), dapat disebandingkan dengan apa yang ada dibalik
penggambaran Minakjinggo. Ambisi politik dilahirkan melalui penyerangan-
penyerangan militer, sedangkan penindasan budaya dinyatakan dengan gurat tajam
ujung pena. Babad Tawangalun memerikan ketegangan budaya antara Mataram dan
Blambangan ini dalam perang tanding ajaib antara rohaniawan Blambangan,
Wangsakarya dan rohaniawan Mataram, Kadilangu.         
Blambangan masa lalu memang tak dapat dibandingkan begitu saja dengan
Banyuwangi hari ini. Tetapi represi atas rakyat Banyuwangi belum lagi selesai meski
Blambangan sendiri akhirnya harus runtuh. Sebagaimana Mataram dan Belanda,
pemerintah Indonesia sendiri, setelah peristiwa politik 1965 yang berdarah-darah,
melakukan represi budaya yang hebat atas rakyat Banyuwangi. Sesudah peristiwa
politik berdarah-darah itu, rakyat Banyuwangi, yang dianugerahi bakat musikal
alamiah, (John Scholte, Gandroeng Van Banjoewangi) harus menyungkurkan gairah
bermusiknya dan mengikat lidah mereka untuk bernyanyi.         
Berpuluh tahun, film “pesanan” karya Arifin C. Noer, Pemberontakan G 30 S/PKI,
laksana roman Damarwulan – Minakjinggo baru bagi rakyat Banyuwangi. Tafsir
visual yang brutal atas Genjer-genjer menyepadani keburukrupaan dan keangkaraan
Minakjinggo. Lagu yang digubah Mohammad Arief tahun 1942 untuk memujikan
kenikmatan sayur genjer itu berubah menjadi lagu yang mengerikan dan membawa
serta orang-orang Banyuwangi ke dalam reka citra yang diperikannya.         
Bersama Genjer-genjer, lagu-lagu gubahan M. Arief semacam Nandur Jagung,
Manuk Bethet, Semriwing Kembange Kopi, Adon-adone Sumping hilang dari udara
Banyuwangi. Padahal lagu-lagu ciptaan sang pemula musik modern Banyuwangi itu
sangat diakrabi oleh masyarakat Banyuwangi. Syair-syair lagu yang melukiskan
tamasya kehidupan ladang dan persawahan itu tiba-tiba menjadi penyebar
kecemasan dan mencekik kerongkong.          
Gandrung perempuan mewarisi gending-gending Gandrung pria seperti Ayun-ayun,
Jagung Kuning, Celeng Mogok; menyanyikan gending-gending Seblang seperti Podo
Nonton, Cengkir Gading, Seblang-seblang; mewaris gending-gending para Sanyang
seperti Ukir Kawin, Sekar Jenang, Sandal Sate, menyanyikan tembang-tembang
orang kulonan seperti Pangkur, Puspawarna, Eling-eling; menyanyikan lagu-lagu Bali
seperti Surung Dayung, Pecari Putih; melantunkan lagu-lagu Ajrah (hadrah) seperti
Gumukan, Guritan, Wangsalan (John Scholte, Gandroeng Van Banjoewangi) 10.
Sanyang dan Gandrung pria sudah punah, Seblang tersisa di dua desa, namun
Gandrung perempuan masih menghidupkan gending-gending mereka. Sementara,
M. Arief yang membuka lapangan baru seni musik di Banyuwangi, membuka babak
baru setelah seni klasik Banyuwangi tak lagi dinamis, juga tak bisa dilepaskan dari
seluruh kultur seni Banyuwangi yang mendahuluinya. Sebagaimana, gending-
gending masa lalu, lagu-lagu M. Arief merupakan potret realitas sosial masyarakat
Banyuwangi yang dihidupi oleh gairah agraris.          
Hari ini mungkin sebagian kecil anak muda Banyuwangi yang mengetahui lagu-lagu
M. Arief. Sementara para orang tua yang mengetahui lagu-lagu tersebut terlalu takut
menyanyikannya. Bibir gemetar mereka dibekukan oleh trauma mengerikan yang
menyertai lagu-lagu dan penggubahan. Tahun 1965 berdarah yang disertai
kebijakan stabilisasi politik yang menindas ekspresi kultural selama tiga dasawarsa
lebih menyandera dan mencederai bangunan budaya Banyuwangi yang dibangun
berabad-abad sejak Blambangan.         
Namun, gairah musikal orang-orang Banyuwangi mungkin harus disetarakan dengan
mendiang Endro Wilis yang keras kepala. Meski berada di medan konfrontasi
Kalimantan Barat dan kemudian harus meringkuk dalam penjara politik di Malang, ia
tak bisa meluputkan dirinya dari menggubah lagu. Seperti halnya M. Arief, lagu-lagu
gubahannya dan ia sendiri harus berhadapan dengan trauma politik berkepanjangan.
Lagu-lagu Endro Wilis memang akhirnya dikasetkan, namun lagu-lagu tersebut harus
melalui sensor ketat, dan ia sendiri harus meniadakan namanya dalam lagu tersebut
pada mulanya. Kurang dari sepuluh tahun belakangan ini, penggubah-penggubah
muda Banyuwangi mulai bersemi kembali. Banyuwangi mulai bernyanyi lagi, harus
dikatakan bahwa lagu-lagu baru gubahan Catur Arum dan Yons DD merupakan suatu
upaya menggali kembali irama dan syair khas Blambangan dan mensintesakannya
dengan kecenderungan musikal hari ini. Tak bisa dipungkiri, kurun waktu tiga puluh
tahun lebih yang penuh tekanan membuat kesinambungan sejarah kultural harus
digali lebih dalam; di bawah timbunan lagu-lagu dalam kurun masa tersebut yang
diciptakan secara serampangan dan melulu melayani publik.
 
Dwi Pranoto,
Mengelola berkala seni dan budaya Lepasparagraf
 

 
1).
Menarik sekali apa yang dinyatakan Sri Margana dalam The “Puputan Bayu”: War,
Disease, and Demographic Catastrophe in Blambangan, 1771 – 1773: bahwa
peperangan ini dipicu oleh perselingkuhan antara gundik Jaksanegara dan Rempeg.
Bahkan ketika sudah berada di Bayu, Rempeg masih menculik gundik-gundik
Jaksanegara dan Kartanegara. Namun, “penguasaan” Rempeg atas sejumlah
perempuan ini mungkin dapat dipahami sebagai salah satu upayanya untuk
mengukuhkan diri sebagai Susuhunan.
2).
Berbagai informasi mengenai tempat pembuangan Agung Wilis sangat beragam;
Cylon, Banda, dan Edam. Bahkan sejumlah informasi menyatakan bahwa Agung
Wilis berhasil melarikan diri dari tempat pembuangannya dan kembali ke Mengwi
hingga mangkatnya.
3).
 Sri Margana, The “Puputan Bayu”: War, Disease, and Demographic Catastrophe in
Blambangan, 1771 – 1773, paper Tanap workshop 2003, Xiamen.
4).
 Tumbuhnya Kekuasaan Bangsa Belanda di Jawa, Himpunan dari Naskah-naskah
arsip Kolonial yang belum diterbitkan, disusun dan diterbitkan oleh J.K.J de Jong dan
M. L. van Deventer, Martinus Nijhoff, terjemahan Pitoyo Boedhy Setiawan, tulisan
tangan 9 Mei 1996.
5).
Berita mengerikan yang disampaikan Wikkerman ini meragukan. Sangat nekat,
bahkan Wikkerman yang dalam keadaan terluka akibat perang masih dapat
mengendap-endap, dari lokasi pertempuran ke markas pejuan dan menyaksikan
peristiwa mengerikan tersebut. Padahal pada masa itu jalan menuju markas pejuan
tak mudah ditempuh, apalagi dalam keadaan licin akibat hujan.
6).
Sisa laskar Bayu ini banyak melarikan diri ke hutan-hutan di daerah selatan dan
membuat suatu komunitas yang disebut orang Gendong, yang sampai sebelum
pergantian alaf masih hidup dengan cara unik dan masih melakukan ritual kuno
adalah sisa dari orang Gendong ini (sayang sekali laporan dan film dokumenter
tentang hal ini yang dibuat oleh Fadli Rashid dengan donasi Ford Foundation tidak
saya dapatkan). Fadli Rashid juga menceritakan suatu ritual kuno yang saat ini tak
lagi dilaksanakan di daerah Mumbulsari, Jember, yang bisa jadi juga sisa dari orang
Gendong.
7).
 H.J. DE GRAFF, Puncak Kekuasaan Mataram, terjemahan, cetakan ke-3 hal 254,
PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
8).
 Cerita oleh T. B. S. (Tan Boen Soan), Majalah Penghidupan No. 128, Agustus
1935 dan No. 133, Januari 1936, Tan’s Drukkerij, Surabaya.
9).
 Cerita bersambung 1 – 45 oleh Purnawan Tjondronegoro, Suara Pembaruan,
1988.
10).
Banyak yang meragukan hasil kajian John Scholte yang dimuat di Indische Gids
ini (terjemahan Indonesia oleh Pitoyo Budhi Setiawan), meski demikian Pigeaud, ahli
bahasa yang juga disegani dalam kajian sejarah, setidaknya menaruh perhatian atas
upaya John Scholte ini. Sampai saat ini Gandroeng van Banjoewangi masih
merupakan hasil catatan upaya pengenalan yang paling awal atas Gandrung.
 
*)
 Riwayat Madarji dan kelompok senidrama Kars dituturkan oleh Achmad Aksoro
(kerabat Madarji) pada penulis. 

Anda mungkin juga menyukai