1).
Menarik sekali apa yang dinyatakan Sri Margana dalam The “Puputan Bayu”: War,
Disease, and Demographic Catastrophe in Blambangan, 1771 – 1773: bahwa
peperangan ini dipicu oleh perselingkuhan antara gundik Jaksanegara dan Rempeg.
Bahkan ketika sudah berada di Bayu, Rempeg masih menculik gundik-gundik
Jaksanegara dan Kartanegara. Namun, “penguasaan” Rempeg atas sejumlah
perempuan ini mungkin dapat dipahami sebagai salah satu upayanya untuk
mengukuhkan diri sebagai Susuhunan.
2).
Berbagai informasi mengenai tempat pembuangan Agung Wilis sangat beragam;
Cylon, Banda, dan Edam. Bahkan sejumlah informasi menyatakan bahwa Agung
Wilis berhasil melarikan diri dari tempat pembuangannya dan kembali ke Mengwi
hingga mangkatnya.
3).
Sri Margana, The “Puputan Bayu”: War, Disease, and Demographic Catastrophe in
Blambangan, 1771 – 1773, paper Tanap workshop 2003, Xiamen.
4).
Tumbuhnya Kekuasaan Bangsa Belanda di Jawa, Himpunan dari Naskah-naskah
arsip Kolonial yang belum diterbitkan, disusun dan diterbitkan oleh J.K.J de Jong dan
M. L. van Deventer, Martinus Nijhoff, terjemahan Pitoyo Boedhy Setiawan, tulisan
tangan 9 Mei 1996.
5).
Berita mengerikan yang disampaikan Wikkerman ini meragukan. Sangat nekat,
bahkan Wikkerman yang dalam keadaan terluka akibat perang masih dapat
mengendap-endap, dari lokasi pertempuran ke markas pejuan dan menyaksikan
peristiwa mengerikan tersebut. Padahal pada masa itu jalan menuju markas pejuan
tak mudah ditempuh, apalagi dalam keadaan licin akibat hujan.
6).
Sisa laskar Bayu ini banyak melarikan diri ke hutan-hutan di daerah selatan dan
membuat suatu komunitas yang disebut orang Gendong, yang sampai sebelum
pergantian alaf masih hidup dengan cara unik dan masih melakukan ritual kuno
adalah sisa dari orang Gendong ini (sayang sekali laporan dan film dokumenter
tentang hal ini yang dibuat oleh Fadli Rashid dengan donasi Ford Foundation tidak
saya dapatkan). Fadli Rashid juga menceritakan suatu ritual kuno yang saat ini tak
lagi dilaksanakan di daerah Mumbulsari, Jember, yang bisa jadi juga sisa dari orang
Gendong.
7).
H.J. DE GRAFF, Puncak Kekuasaan Mataram, terjemahan, cetakan ke-3 hal 254,
PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
8).
Cerita oleh T. B. S. (Tan Boen Soan), Majalah Penghidupan No. 128, Agustus
1935 dan No. 133, Januari 1936, Tan’s Drukkerij, Surabaya.
9).
Cerita bersambung 1 – 45 oleh Purnawan Tjondronegoro, Suara Pembaruan,
1988.
10).
Banyak yang meragukan hasil kajian John Scholte yang dimuat di Indische Gids
ini (terjemahan Indonesia oleh Pitoyo Budhi Setiawan), meski demikian Pigeaud, ahli
bahasa yang juga disegani dalam kajian sejarah, setidaknya menaruh perhatian atas
upaya John Scholte ini. Sampai saat ini Gandroeng van Banjoewangi masih
merupakan hasil catatan upaya pengenalan yang paling awal atas Gandrung.
*)
Riwayat Madarji dan kelompok senidrama Kars dituturkan oleh Achmad Aksoro
(kerabat Madarji) pada penulis.