BAB II
Jawa, daerahnya terbagi atas dataran tinggi yang berupa pegunungan dengan
produksi pertanian, dan dataran rendah yang berupa garis pantai dengan potensi
terletak di antara 7 43’ – 8 46’ Lintang Selatan dan 113 53’ – 114 38’ Bujur
sebelah Timur berbatasan dengan Selat Bali, sebelah Selatan berbatasan dengan
Bondowoso.2
Kalipuro, Siliragung, Tegalsari, dan Licin. Selain itu, ada juga sebutan perkotaan
1
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Banyuwangi, Profil
Perkembangan Kependudukan Kabupaten Banyuwangi Tahun 2013, (Banyuwangi :
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Banyuwangi, 2014), p. 7.
2
Ibid., p. 8.
41
42
mana terdiri dari empat kecamatan, yakni Banyuwangi, Giri, Glagah, dan
Tercatat pada tahun 1985 sampai dengan 1996 kabupaten Banyuwangi terdiri dari
kecamatan, dan barulah pada akhir tahun 2005 Kabupaten Banyuwangi memiliki
dan Licin.
tahun 1500-an. Kerajaan Blambangan pada waktu itu berada di bawah kerajaan
Peristiwa perang ini sering disebut sebagai perang Puputan Bayu yang mana
inilah sebagai puncak dari perjuangan orang Blambangan melawan para penjajah
dan sekaligus dianggap sebagai peristiwa paling heroik atau bersejarah bagi
hanya tersisa sekitar 5.000 orang,5 dan mulai melarikan diri ke hutan-hutan atau
3
Hasan Ali, Sekilas tentang Perang Puputan Bayu Sebagai Tonggak Sejarah
Hari Jadi Banyuwangi, (Banyuwangi : Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, 2002), p. 3.
Lihat Juga Decky Irman dalam Ufuk Kebudayaan Banyuwangi Sejumlah Tulisan, p. 101.
4
Pangeran ini dianggap sebagai keturunan wong Agung Wilis. Wong Agung
Wilis dianggap sebagai pahlawan orang Blambangan, sekarang orang Banyuwangi. Nama
ini sampai sekarang masih sangat terkenal dan dipercaya kehebatannya oleh orang
Banyuwangi. Novi (2006, p. 66).
5
Novi Anoegrajekti, “Gandrung Banyuwangi : Pertarungan Pasar, Tradisi,
dan Agama Memperebutkan Representasi Identitas Using”, Disertasi tidak diterbitkan.
(Depok : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006), p. 40.
43
berpindah ke daerah lain. Alasan mereka saat itu adalah karena mereka tidak ingin
berada di bawah kekuasaan penjajah. Selain itu, perang ini termasuk perang besar
yang telah menghabiskan banyak dana Belanda, yakni sebesar delapan ton emas.6
benteng Bayu oleh Belanda, maka menjadi akhir usaha perebutan Blambangan
baru disana, yaitu Raden Wiroguno atau “Mas Alit”. Setelah itu, Mas Alit
Banyuwangi sekarang). Daerah itu berada di sebelah utara yakni dengan cara
1774.7 Pada tahun 1773 Belanda yang telah menjadikan wilayah Banyuwangi
sebagai bagian dari keresidenan Besuki melantik “Mas Alit” sebagai Bupati
pertama di Banyuwangi.
yang ada pada masyarakat Banyuwangi yakni cerita tentang Sidopekso dan Putri
6
Selain itu, perang ini diakui Belanda sebagai peperangan yang paling
menegangkan, paling kejam, dan paling banyaj memakan korban dari semua peperangan
yang pernah dilakukan VOC atau Belanda di Indonesia (C. Lekkerkerker, 1923: 1506 dan
1067) dalam Hasan Ali, Sekilas tentang Perang Puputan Bayu Sebagai Tonggak Sejarah
Hari Jadi Banyuwangi, (Banyuwangi : Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, 2002), p. 9.
7
Suhailik, Memahamkan Sejarah Hari Jadi Kota Kabupaten Banyuwangi Dalam
Kajian Ilmiah (Sebuah Kilas Balik) dalam “Ufuk Kebudayaan Banyuwangi Sejumlah Tulisan
(2006), p. 111.
8
Dalam legenda ini diceritakan seorang Patih Kerajaan di (Banyuwangi
sekarang) yang bernama Sidopekso yang membunuh istrinya sendiri (Sritanjung) karena
44
mana salah satunya diakibatkan oleh adanya kelahiran, kematian, dan migrasi.
jumlah penduduk yang terjadi dalam rentang waktu tersebut, kecamatan Muncar
tahun 1997 dengan jumlah penduduk mencapai 115.544 orang. Jumlah ini
dihasut telah berani selingkuh dengan rajanya. Akan tetapi sebelum dibunuh istrinya
bernadar : “Kalau darahnya nanti berbau amis maka ia benar berselingkuh apabila berbau
harum maka tuduhan itu tidak benar”. Ketika dibunuh darahnya yang terjatuh di sungai
tidak lah bau amis, bahkan air di sungai itu menjadi harum, semenjak itulah daerah itu
dinamakan Banyuwangi (air yang harum). Bahkan legenda ini sempat dijadikan patokan
untuk hari jadi Banyuwangi, meskipun mengenai tanggalnya masih tidak jelas dan harus
dibuktikan lagi.
9
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Banyuwangi, op.cit., p.
8.
45
tingkat SD, dengan jumlah kepala keluarga yang hanya mampu menamatkan SD
sebesar 278,628 jiwa. Terdapat 31.778 kepala keluarga yang tidak bersekolah. Di
Aliyah).10
dengan jumlah sebesar 157,587 orang. Ini dihitung dari kepala keluarga yang
terdapat di Banyuwangi. Jumlah ini memiliki presentase sebesar 28% dari jumlah
keseluruhan kepala keluarga yang mencapai jumlah 571.339. Hal ini belum
termasuk dengan buruh tani atau perkebunan yang mencapai jumlah 22,170 orang.
1.568.721 orang. Jumlah ini mencapai 96,41% dari jumlah keseluruhan penduduk
kecamatan Muncar dengan jumlah 123.272 orang atau 97,28% dari jumlah
penduduknya. Akan tetapi, jika dilihat dari persentase maka kecamatan dengan
10
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi
Dalam Angka 2013, (Banyuwangi : BPS Kabupaten Banyuwangi, 2014), p. 53.
46
adalah Hindu yang mencapai jumlah 25.758 orang atau 1,58% dari jumlah
orang atau 1,14%), Katolik (5.494 orang atau 0,33%), Budha (4.504 orang atau
0,27%), Konghucu (3.880 orang atau 0,23%), dan terakhir penghayat kepercayaan
sebesar 88 orang.11
persentase di atas 95%, seperti contoh pada tahun 1996 penduduk beragama Islam
di Banyuwangi mencapai 95,90%. Jika dilihat dari data di atas dapat diakatakan
kecamatan di Banyuwangi.
11
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Banyuwangi, op.cit.,
pp. 23-24
47
tidak banyak dan bercampur dengan orang dari etnis-etnis lainnya yaitu Jawa,
berada di derah barat dan utara Banyuwangi, hanya wilayah Kalipuro lah yang
masuk dalam bagian timur daerah Banyuwangi. Hal ini dikarenakan orang Using
orang dari daerah ini dengan daerah-daerah lainnya, selain bahasa yang digunakan
sehari-hari berbeda, yakni bahasa Using, logat mereka pun berbeda dengan orang
dari daerah lain. Logat ini sering disebut logat Banyuwangen. Selain itu, daerah
inilah yang dianggap masih menjaga tradisi atau budaya Using dengan baik.
Biasanya dari daerah-daerah ini budaya Using dapat dilihat, misalnya pertunjukan
terlepas dari sejarah kerajaan Blambangan. Orang Using ini dianggap sebagai
orang Blambangan kala itu, yakni ketika belum ditaklukan oleh Belanda (1773).
Hal ini erat kaitannya dengan peristiwa perang Puputan Bayu. Paska perang
12
Novi Anoegrajekti, op.cit., p. 50.
13
Ibid., p. 63.
48
tersebut orang-orang Blambangan yang tersisa sekitar 5.000 orang melarikan atau
orang baru yang dibawa oleh Belanda ke daerah Blambangan.14 Karena itulah
mereka disebut sebagai orang Using, yang artinya dalam bahasa Using, “tidak”.
Kata “Using” diberikan oleh orang-orang Jawa Kulon (yang merujuk pada daerah
terhadap budaya baru atau orang baru. Hal ini bisa dibuktikan dengan budaya-
budaya yang mereka miliki banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa dan Bali. Akan
tetapi, sejarah mereka yang kerap tertindas, membuat mereka memiliki nilai-nilai
suka berperang, mereka adalah orang yang selalu berusaha membebaskan dirinya
dari kekuasaan orang luar.17 Karena itu mereka memiliki jiwa atau semangat
14
Ibid., p. 66.
15
Mereka tidak mau bercampur darah dengan kaum pendatang, dan memilih
hidup menyendiri sebagai kelompok “suku terasing”. B. Soelarto dan S. Ilmi, “Kesenian
Rakyat Gandrung dari Banyuwangi”, (Jakarta : Proyek Pengembangan Media
Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987), p. 3.
16
Orang Using pada waktu itu kerap menjadi target penguasaan kerajaan-
kerajaan besar lainnya, seperti Demak, Mataram dan Mengwi. Hal inilah yang menjadi
landasan nilai-nilai baru dalam kehidupan sehari-hari mereka. Novi Anoegrajekti (2006 :
pp. 32 – 33). Berkaitan dengan ketangguhan dan keuletan orang Using, J. Scholte (1927)
dalam Novi. A (2006 : 68) menyebut bahwa keturunan rakyat Blambangan sekarang
merupakan suku bangsa yang gagah fisiknya dan berkepribadian serta berkembang pesat
dan berpegang teguh pada adat istiadat. B. Soelarto dan S. Ilmi (1987 : 2) menyatakan
bahwa orang Using memiliki kesadaran dan sikap kulturil religis yang tinggi sebagai
pewaris kekayaan sejarah nenek moyang mereka.
17
Novi Anoegrajekti, op.cit., p. 68.
49
patriotik yang tinggi, yang pada akhirnya tercermin dalam budaya mereka,
penelitian yang dilakukan oleh DKB pada tahun 1990, terdapat 53% penduduk
keluarga dan lingkungan tetangga sebesar 91,6%, dan yang kedua adalah pada
ranah kesenian (85%). Seperti contoh kesenian Gandrung, lirik-lirik yang terdapat
lestari, tidak hanya golongan tua yang menyanyikannya, banyak anak muda yang
mulai terjun dalam dunia musik Using, sehingga lagu-lagu Using di Banyuwangi
bahasa Using.
Using atau Banyuwangi, ada juga yang menganggap bahasa Using sebagai bahasa
tersendiri dengan logat yang dimilikinya.19 Apa yang menarik dari bahasa Using
adalah tidak adanya tingkatan dalam berbahasa. Bila di Jawa dikenal istilah Ngoko
– Kromo yang berkaitan dengan cara penggunaan bahasa, seperti dengan siapa dia
18
Ibid., p. 77
19
Novi Anoegrajekti, op.cit., p. 75.
50
berbicara, pada keadaan apa dia berbicara, maka hal ini tidak terjadi pada bahasa
mengalir, karena memang tidak akan terjadi yang namanya “salah bicara” dalam
berbahasa Using.20 Hal ini dapat menjadi salah satu ciri dari orang Banyuwangi,
orang Using ini dapat dilihat dari karya-karya pantun yang mereka miliki, atau
dalam bahasa Using disebut “Wangsalan”.21 Isi wangsalan ada yang bisa
diartikan ke dalam bahasa Indonesia ada juga yang tidak, meskipun jika
arti dan maknanya. Salah satu contoh wangsalan adalah sebagai berikut beserta
artian bebasnya.22
Artian bebasnya :
20
Salah berbicara merupakan istilah yang kerap terjadi pada penggunaan bahasa
Jawa, biasanya ini terjadi karena yang berbicara tidak paham apa posisi dirinya dan apa
posisi lawan bicaranya.
21
Wangsalan adalah sejenis pantun, akan tetapi memiliki kebebasan dan nuansa
atau kekhasan tersendiri. Wangsalan sendiri dibagi dalam empat jenis, yaitu wangsalan
nasehat (nasihat), wangsalan dhemenan (rasa suka atau cinta-cintaan), wangsalan
sindhiran (sindiran), dan wangsalan wadanan (ejekan)
22
Wangsalan Lambang Keakraban oleh Abdullah Fauzi. Milik sendiri tidak
diterbitkan. Lihat juga Abdullah Fauzi, “Jejak Sastra Using”, dalam Ufuk Kebudayaan
Banyuwangi Sejumlah Tulisan (2006), p. 81.
51
banyaknya teman. Seberapa banyak teman, ketika kita memiliki satu musuh, maka
akan terasa memiliki banyak musuh. Bila diartikan lebih lanjut yang dimaksudkan
adalah bahwa musuh itu akan selalu datang dengan sendirinya. Ada juga
Apa yang ingin disampaikan dalam wangsalan ini adalah seseorang yang
bingung, seperti dimantrai atau diguna-guna (riko kapak duh awakisun : kamu
apakan duh diri saya ini) sehingga siang malam tidak bisa tidur (raina bengi sing
bisa turu). Ada juga wangsalan pendek yang merupakan sindiran. Seperti :23
Wangsalan ini berupa sindiran untuk seseorang yang tidak mau mampir
(meskipun sebentar), dan langsung lewat saja. Dalam masyarakat kampung atau
tengah liwat atau pergi ke suatu tempat alangkah baiknya untuk “mampir” ke
23
Abdullah Fauzi, op.cit., p. 82.
52
dianggap sebagai bentuk dari rasa kepedulian atau persaudaraan, karena itu
Wangsalan ini adalah contoh dari keterbukaan orang Using, selain ramah
juga suka untuk menjaga tali persaudaraan. Dalam berwangsalan tidak ada
pengklasifikasian kata yang digunakan untuk lawan bicaranya, jadi semua orang
dengan umur dan status sosialnya tidak menjadi bahan pertimbangan dalam
komunikasi yang terjadi lebih mengalir dan terasa lebih akrab. Wangsalan ini
Banyuwangi adalah orang Using. Akan tetapi, mereka yang bukan orang using
tetap menjunjung budaya Using dan tidak menolak ketika dianggap atau disebut
sebagai orang Using. Hal inilah yang menjadikan orang Banyuwangi sangat unik
bila dibandingkan dengan daerah lain, meskipun terdiri dari banyak kelompok
mereka tetap bersemangat menjaga atau menjunjung bahasa atau budaya Using.
dipercaya, atau diyakini. Dalam prakteknya pun masih dilakukan. Seperti contoh
ritual Seblang (ritual bersih Desa dengan pertunjukan tari Seblang), Petik Laut
(upacara ucap syukur dan permohonan anugerah dari Tuhan untuk hasil laut yang
53
Using dikenal beberapa leluhur yang sangat dekat dengan kepercayaannya, seperti
Aji Anggring, Buyut Cili, Saridin, Mbah Jalil, Mbah Ketut, dan Sayu Sarinah.
Tokoh-tokoh ini sangat dipercayai oleh orang Using, dan juga dihormati bahkan
Selain ritual tersebut terdapat juga salah satu tradisi atau ritual yang
selametan. Sama dengan yang terdapat pada orang Jawa, selametan ini berfungsi
sebagai sarana untuk meminta pertolongan, kemudahan atau hajat (keinginan) dari
ini agar damai, tentram, sejahtera, dan makmur. Hal ini memang sebuah indikasi
bahwa orang Using masih mempercayai budaya atau kepercayaan Hindu yang
pada waktu sebelum Islam menyebar sangat kuat di daerah pulau Jawa. Meskipun
begitu, orang Using dikenal sangat taat dalam beragama, terutama Islam. Mereka
sering melakukan tradisi yang berkaitan dengan agama Islam, seperti Muludan,
yaitu sebuah tradisi mengarak atau pawai telur yang dihiasi sedemikian rupa
sebagai acara untuk menyambut Maulid Nabi. Bahkan dalam selametan pun
24
Novi Anoegrajekti, op.cit., p. 82.
54
keislaman oleh seorang ulama, kyai, atau ustad, atau setidaknya pemuka agama di
daerahnya.
hal berkesenian. Hal ini dapat dilihat bagaimana masyarakat Using ataupun
yang datang dari luar juga ikut diapresiasi, seperti misalnya Wayang Kulit,
Wayang Wong atau Ludruk. Meskipun ketiga kesenian ini tidak mendapat
apresiasi sebesar kesenian asli Using. Hal inilah yang membuat masyarakat Using
Daya apresiasi seni yang tinggi dari masyarakat Using diakibatkan oleh letak dan
sejarahnya yang selalu berkaitan dengan budaya Jawa dan Bali, sehingga mereka
menerima banyak pengaruh dari keduanya, ada juga yang menganggap hal ini
tidak terlepas dari sifat keterbukaan yang dimiliki oleh masyarakat Using dalam
kesenian tersebut tidak hanya kesenian asli Banyuwangi melainkan juga kesenian
dan Gambus. Dari beberapa kesenian di atas, kesenian yang paling populer di
25
Dariharto, op.cit., pp. 2-3
55
Banyuwangi adalah kesenian Gandrung dan Angklung. Orang Using tidak hanya
tinggi daya apresiasinya, akan tetapi orang Using juga memiliki daya kreatifitas
nilai yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, hal ini dikarenakan mereka
Seperti contoh karya seniman angklung M. Arif yang berjudul “Arum Manis”.26
“………………
Pabrik tebu tanah Jawa sepirang-pirang
Ngalor-ngidul tebu ring sawah-sawah
Perandane gula pasir bisa larang
Nyorot kopi nana gula gantine uyah”
“Mulane ayo kanca bebarengan
Dadi siji padha mbentuk persatuan
Gotong royong kanggone wong seduluran
Sapa kang tamak dikeplaki jakakehan”
“…………..
Pabrik tebu di tanah Jawa sangat banyak
Di mana-mana tebu ditanam di sawah-sawah
Tetapi ternyata harga gula pasir begitu tinggi
Menyeduh kopi tidak ada gula garam gantinya”
26
M. Arif merupakan salah satu seniman Banyuwangi yang sangat terkenal
sampai lingkup nasional pada zamannya (40an-60an). Ia bersama seniman-seniman
Banyuwangi dan Indonesia kala itu menghiasi panggung sastra dan musik nasional. Ia
juga salah satu seniman yang “tertangkap” pasca tragedi Gerakan 30 September 1965 (G
30 S), karena ia tergabung dalam organisasi Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang
dianggap kaki tangan dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Karyanya yang sangat
terkenal adalah gendhing “Genjer-Genjer” yang sempat menjadi lagu wajib Lekra.
56
hiburan ataupun sebagai bentuk identitas budaya Using sangat besar pengaruhnya
dalam dunia seni Banyuwangi. Baik dalam bentuk tariannya, lagu-lagunya atau
banyak tersebar patung-patung Gandrung, baik yang utuh berupa seorang penari
Gandrung maupun hanya sebatas kepala Gandrung ataupun “omprok” atau tutup
kepala yang digunakan oleh penari Gandrung. Selain itu, lagu-lagu atau gendhing
hal ini semakin menguatkan kecirikhasan Banyuwangi. Maka tidak heran jika di