Anda di halaman 1dari 26

TUGAS MAKALAH ETNOGRAFI INDONESIA

NILAI-NILAI BUDAYA 15 SUKU BANGSA

DI INDONESIA

Disusun Oleh:

Theodora Dyah Paramita

071112080

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Arilangga
Semester Gasal 2012/2013
SURAT PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya:

Nama : Theodora Dyah Paramita

NIM : 071112080

Nomor HP : 0838-462-57-350

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa dalam mengerjakan Tugas


Makalah Etnografi Indonesia (SOA252) ini saya tidak plagiat, copy
paste, maupun kecurangan lainnya.

Apabila setelah diperiksa ternyata terdapat kecurangan tersebut, maka


saya bersedia menerima sanksi yakni tidak lulus mata ajaran Etnografi
Idonesia (SOA252).

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk


keperluan penilaian soft skill mata ajaran Etnografi Indonesia (SOA252).

Surabaya, 20 Desember 2012

Yang menyatakan,

Theodora Dyah Paramita


1. Suku Aceh 6. Melayu Riau 11. Ot Danum
2. Suku Aneuk Jamee 7. Batak Mandailing 12. Trunyan
3. Nias 8. Melayu Jambi 13. Donggo
4. Mentawai 9. Melayu Bangka 14. Biak
5. Batak Toba 10. Dayak Kendayan 15. Muyu
1. KEBUDAYAAN SUKU MELAYU BELITUNG

Identifikasi, Lokasi dan Penduduk


Melayu Belitung merupakan kelompok masyarakat yang mendiami Pulau
Belitung atau seringkali disebut Pulau Biliton yang ada di Kabupaten
Belitung, Provinsi Sumatra Selatan. Pulau ini terletak di utara Pulau
Bangka. Berdasarkan survey penduduk pada tahun 2009 oleh pemerintah
setempat, jumlah penduduk di Pulau Belitung berjumlah 166.288 jiwa yang
tersebar di lima kecamatan (Pemerintah Kabupaten Belitung dalam
belitungkab.go.id, 2012). Orang Melayu Belitung dikenal dan menyebut diri
mereka dengan sebutan urang Bilitong. Sedangkan nama atau sebutan
Belitung sendiri datang dari 2 versi yang berbeda. Versi yang pertama
mengungkapkan bahwa Belitung merupakan nama dari raja di Jawa
Tengah yakni Rake Watukara Dyah Belitung. Sedangkan versi kedua
menyatakan bahwa kata Belitung berasal dari kata “Bali Potong”, karena diyakini bahwa pulau ini
pada masa lampau merupakan bagian dari pulau Bali yang karena kutukan dewa pulau ini
terpotong dari pulau Bali (Melalatoa, 1995: 145).

Bahasa. Suku Melayu Belitung berkomunikasi dengan bahasa setempat yang disebut dengan
bahasa Melayu Belitung yang masih termasuk dalam rumpun bahasa Melayu. Bahasa ini
kemudian dibagi menjadi 8 dialek sesuai dengan daerah masing-masing (Melalatoa, 1995: 145).

Pola Tempat Tinggal. Suku Melayu Belitung mengenal dua jenis perkampungan yakni
perkampungan yang disebut kampong dan perkampungan yang disebut dengan keleka. Kampong
merupakan perkampungan yang ada di daerah yang jauh dari jalan dan pantai. Sedangkan keleka
merupakan perkampungan yang dibangun di tepi-tepi hutan dan seringkali ditempati pada masa
mengerjakan ladang. Sesuai dengan keadaan geografisnya, suku Melayu Belitung sebagian besar
hidup di perbukitan dan di daerah sekitar pantai (Melalatoa, 1995: 147).

Organisasi Sosial. Pada suku Melayu Belitung, penarikan garis keturunan dilakukan menurut
garis ayah ataupun ibu (bilateral). Kelompok keluarga luas menempati perkampungan keleka dan
dipimpin oleh seorang kepala adat serta pembantunya. Di suatu keleka, selain terdapat kepala
adat, juga terdapat pemimpin agamanya yakni seorang dukun. Suku ini mengenal pula sistem
stratifikasi sosial yang dibagi menjadi dua yakni golongan pertama adalah mereka yang
merupakan keturunan Raja Balok dengan gelar-gelar yang melekat di nama mereka (Kiai Agus,
Kiai Ayu) dan golongan kedua merupakan rakyat bisasa. Seiring berjalannya waktu, maka
pembagian golongan sosial saat ini sudah tidak dilakukan di suku Melayu Belitung (Melalatoa,
1995: 147)

Religi atau Agama. Masyarakat suku Melayu Belitung sebagian besar memeluk agama Islam
meskipun diantara mereka masih terdapat kepercayaan-kepercayaan animisme dan dinamisme.
Tetapi pengaruh agama Islam yang mulai masuk pada abad ke-17, berakar kuat di masyarakat ini
(Melalatoa, 1995: 147).

Kebudayaan yang Menonjol. Suku Melayu Belitung memiliki beberapa kebudayaan yang masih
dijaga dan dilestarikan hingga saat dan sebagian besar dari kebudayaan mereka berbentuk
upacara-upacara adat seperti maras taun, buang jong. Sedangkan tari-tariannya adalah tari
Ancak, Nirok, Tanggok, dan sebagainya (Melalatoa, 1995: 147)

Nilai-nilai budaya
Aspek Sosial, nilai: harmonis dan rukun. Bagian ini tercermin dari kehidupan masyarakat suku
Melayu Belitung yang mampu hidup damai dan berdampingan dengan suku lain di satu daerah
yang sama dan bahkan dapat hidup damai dengan adanya etnis lain (bkp-
pangkalpinang.deptan.go.id, t.t.).
Aspek Seni, nilai: waspada dan kebersamaan. Nilai waspada tercermin dari kebudayaan buang
jong yang bertujuan meminta keselamatan pada saat akan berlayar (bkp-
pangkalpinang.deptan.go.id, t.t.). Sedangkan nilai kebersamaan tercermin dari kebudayaan Nirok
Tanggok yang secara bersama-sama mencari ikan pada musim kemarau.
Aspek Religi, nilai: ketuhanan dan selamat. Nilai ketuhanan tercermin dari kebudayaan suku
Melayu Belitung yang khas dengan nilai-nilai Islam. Sedangkan nilai selamat tercermin dari
kebudayaan buang jong yang meminta keselamatan pada Tuhan pada masa berlayar tiba (bkp-
pangkalpinang.deptan.go.id, t.t.).
Pembangunan dan Modernisasi. Pembangunan dan modernisasi suku ini telah meningkat
pesat. Selain adanya bandar udara Hannandjoedin Belitung yang melayani berbagai rute dengan
berbagai maskapai penerbangan, pembangunan semakin gencar dilakukan oleh pemerintah
setempat setelah adanya film Laskar Pelangi yang melakukan pengambilan gambar di pulau ini
dengan cara perbaikan daerah-daerah wisata untuk menarik wisatawan (bkp-
pangkalpinang.deptan.go.id, t.t.).

2. KEBUDAYAAN SUKU TRUNYAN


Identifikasi, Lokasi dan Penduduk. Masyarakat suku Trunyan
atau lebih sering disebut dengan orang Trunyan atau orang
Bali Trunyan merupakan sekelompok masyarakat yang tinggal
di tepi danau Batur desa Trunyan, Kecamatan Kintamani,
kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Suku Trunyan merupakan
suku asli Bali dan merupakan kelompok masyarakat yang
kurang mendapat pengaruh dari kebudayaan Hindu zaman
Majapahit dan Hindu Dharma sehingga adat istiadatnya pun
agak berbeda dengan adat istiadat Bali pada umumnya. Selain
disebut dengan orang Trunyan, mereka juga dikenal dengan sebutan Bali Aga dan Bali Mula.
Masyarakat suku Trunyan, pada tahun 1923, berjumlah 1.416 jiwa, tetapi saat ini jumlah
masyarakat ini menjadi lebih dari 2.500 jiwa (http://news.liputan6.com, 2003). Desa Trunyan
merupakan desa yang terletak di salah satu sisi danau Batur. Akses menuju desa ini bisa
dilakukan melalui jalur darat ataupun menyeberangai danau Batur (Melalatoa, 1995: 893).

Bahasa. Masyarakat suku Trunyan memiliki bahasa yang diperkirakan bagian dari dialek bahasa
Bali untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa yang mereka gunakan seringkali
disebut pula sebagai bahasa Bali “Kasar”. Steoreotipe ini muncul karena memang bahasa
masyarakat Trunyan lebih kasar dibandingkan dengan bahasa Bali pada umumnya (Melalatoa,
1995: 893).

Pola Tempat Tinggal. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa masyarakat Trunyan hidup di
tepi danau Batur, maka masyarakat ini bertempat tinggal di sekitar danau ini dan hidup
berkelompok. Pada masa lampau, terdapat perumahan untuk keluarga luas virilokal dan disebut
dengan karang. Di dalam sebuah karang, rumah-rumah memiliki unit-unit bangunan yang lengkap
seperti adanya tempat menumbuk padi, tempat menyimpan benda pusaka dan sebagainya.
Namun, setelah adanya peristiwa letusan Gunung Agung, bentuk rumah seperti itu tinggal dua.
Saat ini, masyarakat Trunyan hidup menyebar dan sebagian mengelompok. Mereka tidak
mengenal adanya kakus sehingga keadaan sanitasi di daerah ini sangat buruk (Melalatoa, 1995:
894).

Organisasi Sosial. Prinsip keturunan dari masyarakat suku Trunyan adalah dari pihak laki-laki
atau patrilineal. Selain itu, mereka juga mengenal beberapa kelompok kekerabatan yakni keluarga
batih, kelompok yang lebih besar atau keluarga luas virilokal dan disebut dengan karang, serta
klen kecil yang disebut dengan dadia yakni kumpulan dari keluarga luas atau karang yang berasal
dari satu nenek moyang dan masih saling mengenal satu sama lain. Masyarakat Trunyan juga
turut dibagi kedalam dua kasta, yakni kasta yang memerintah atau Banjar Jero dan kasta yang
diperintah atau Banjar Jeba (Melalatoa, 1995: 895).

Religi atau Agama. Telah dijelaskan diatas bahwa masyarakat ini merupakan masyarakat yang
sedikit menerima pengaruh Hindu zaman Majapahit dan Hindu Dharma. Oleh karena itu, meskipun
sebagian besar masyarakat Trunyan beragama Hindu, tetapi Hindu ini berbeda dengan agama
Hindu yang ada di Bali pada umumnya, agama ini mereka sebut sebagai Hindu Bali Trunyan.
Hindu Bali Trunyan merupakan suatu sistem religi masyarakat Trunyan dan lebih menitikberatkan
pada pemujaan roh nenek moyang atau leluhur. Meskipun mereka juga memiliki upacara-upacara
adat, tetapi umat Hindu Trunyan tidak melakukan upacara adat yang penting bagi umat Hindu,
semisal galungan, kuningan, ngaben, nyepi, dan beberapa upacara lainnya (Melalatoa, 1995:
895).

Kebudayaan yang Menonjol. Berkaitan dengan beragamnya upacara adat di masyarakat


Trunyan, terdapat satu upacara adat yang sangat terkenal dan menjadi daya tarik sendiri bagi turis
baik domestik maupun internasional. Upacara adat ini adalah adat pemakaman masyarakat
Trunyan yang disebut dengan mepasah. Mepasah merupakan adat pemakaman yang dilakukan
tanpa Ngaben seperti umat Hindu lain. Sehingga jenazah hanya diletakkan di atas bumi dan di
udara yang terbuka tanpa dibakar ataupun dikebumikan. Namun, peletakan ini tidak sembarangan
dan terdapat serangkaian upacara yang menyertainya. Tetapi ada juga jenazah yang dikubur
yakni jenazah yang meninggal dengan tidak wajar, karena penyakit luka yang belum sembuh dan
yang cacat saat meninggal dunia (Melalatoa, 1995: 895).

Nilai-Nilai Budaya
Aspek sosial, nilai: tolong menolong. Nilai ini tercermin dari tugas keluarga luas yakni saling
tolong menolong dalam segi mencari nafkah.
Aspek Religi, nilai: percaya dan selamat. Nilai percaya dapat dilihat dari kebudayaan suku
Trunyan yang memberikan sesajian untuk dewa-dewa yang mereka percaya ada dan berkuasa.
Sedangkan nilai selamat dapat diketahui dari upacara yang dilakukan sebelum masa tanam tiba
untuk mencegah gagal panen (Melalatoa, 1995: 894).
Aspek Ekonomi, nilai: makmur. Nilai makmur tercermin dari setiap mata pencaharian suku
Trunyan dan usaha yang dilakukan oleh masyarakat ini untuk dapat memiliki kehidupan yang lebih
baik.

Pembangunan dan Modernisasi. Masyarakat suku Trunyan telah mengalami modernisasi dan
pembangunan di segala bidang. Hal ini dapat terjadi karena adanya persentuhan budaya dengan
masyarakat Bali, Jawa, dan bahkan para wisatawan yang berkunjung ke Trunyan. Selain itu,
akses menuju Trunyan juga menjadi lebih mudah dengan adanya perahu motor yang sudah mulai
dikembangkan oleh penduduk setempat (Melalatoa, 1995: 896).

3. KEBUDAYAAN SUKU DONGGO


Identifikasi, Lokasi dan Penduduk. Kebudayaan suku Donggo
merupakan kelompok sosial yang berdiam dan berasal dari
Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Meskipun masyarakat
Donggo tinggal dan berdiam di Kabupaten Dompu, diyakini bahwa
masyarakat ini berasal dari Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima
(Melalatoa, 1995: 246). Kata Donggo sendiri berasal dari kata
Dou Donggo yang berarti orang gunung (sabda.org, t.t.).
Berdasarkan survey yang dilakukan pada tahun 1986, masyarakat
Donggo berjumlah sekitar 20.724 jiwa (Melalatoa, 1995: 246)

Bahasa. Dalam bertutur kata dan bercakap-cakap sehari-hari,


masyarakat Donggo menggunakan bahasa Mbojo yang hampir sama dengan bahasa suku
bangsa Mbojo di Bima (Melalatoa, 1995: 246).

Pola Tempat Tinggal. Pada umumnya, masyarakat Donggo hidup di pegunungan, tetapi seiring
berjalannya waktu, masyarakat Donggo akhirnya turun dan tinggal di dataran rendah. Mereka pun
saat ini telah tinggal menetap di suatu daerah setelah sebelumnya hidup secara nomaden
(Melalatoa, 1995: 246). Rumah masyarakat suku Donggo disebut pula dengan Uma Leme, yang
beratapkan alang-alang dan berdinding kayu sangga.

Organisasi Sosial. Dalam masyarakat Donggo, dikenal pula keluarga batih yang keturunannya
ditarik berdasarkan keturunan pihak laki-laki (patrilineal). Didalam keluarga batih, seorang ayah
memiliki kekuasaan yang lebih besar dibandingkan seorang ibu. Sehingga, apabila pasangan
suami istri bercerai, maka yang memperolah hak untuk mengasuh adalah pihak suami. Dalam
masyarakat Donggo, juga dikenal kelompok kerabat yang disebut ngge’e la’bo yakni keluarga inti
yang tinggal bersama nenek, bibi, atau keponakan. Suku ini dipimpin oleh seorang Pimpinan
Kelompok yang disebut dengan neuhi (Melalatoa, 1995: 246).
Religi atau Agama. Sebagian besar suku ini memeluk agama Islam dan sebagian kecil lainnya
memeluk agama Kristen. Meskipun demikian, tetap saja ada kepercayaan asli penduduk setempat
yang tumbuh di dalam masyarakat suku Donggo. Kepercayaan asli ini disebut dengan Marafu
(protomalayans.com, 2012).

Kebudayaan yang Menonjol. Tidak banyak referensi yang menunjukkan kebudayaan yang
menonjol pada suku ini. Tetapi, dibeberapa sumber menyatakan bahwa kebudayaan suku Donggo
yang terkenal dan masih dilakukan hingga sekarang ialah upacara Kasaro (upacara untuk orang
meninggal) upacara Sapisari (upacara penguburan), dan Tari Kalero (protomalayans.com, 2012).

Nilai-Nilai Budaya
Aspek Pengetahuan, nilai: kreatif. Nilai ini tercermin dari kegiatan masyarakat Donggo yang
berinisiatif untuk melakukan upacara kadaki yakni upacara pengusiran hama ketika musim panen
telah tiba.
Aspek Sosial, nilai: berbagi dan tenggang rasa. Nilai berbagi dapat diketahui dari tradisi
pembagian hasil buruan kepada saudara-saudaranya. Sedangkan nilai tenggang rasa dapat dilihat
dari acara mako yakni acara untuk memberi semangat kepada anak.
Aspek Religi, nilai: ketuhanan dan iman. Kedua nilai ini dapat tercermin dalam kehidupan
masyarakat Donggo yang hampir semuanya telah beragama baik Kristen maupun Islam.
Aspek Ekonomi, nilai: makmur. Hal ini dapat dilihat dari usaha yang dilakukan oleh masyarakat
Donggo dalam memperoleh penghasilan melalui pekerjaan mereka dan mata pencaharian
mereka.

4. KEBUDAYAAN SUKU MUYU


Identifikasi, Lokasi dan Penduduk. Suku bangsa Muyu
merupakan sebuah suku bangsa yang mendiami bagian timur,
Kabupaten Merauke, Provinsi Irian Jaya. Menurut data
pemerintah setempat pada Juni 1956, jumlah penduduk suku
Muyu berjumlah sekitar 17.296 jiwa. Angka ini merupakan 2,5%
dari seluruh penduduk yang hidup di Nugini Barat (Melalatoa,
1995: 613).

Bahasa. Dalam berkomunikasi satu sama lain dalam


kesehariannya, suku ini menggunakan bahasa asli setempat
yakni bahasa Muyu, yang termasuk kedalam kelompok bahasa Mandobo. Bahasa Muyu sendiri
dibagi menjadi dua dialek yakni dialek Ninanti dan dialek Metomka (Melalatoa, 1995: 613).

Pola Tempat Tinggal. Suku Muyu memiliki karakteristik tinggal berjauhan dan tinggal di desa-
desa kecil. Desa ini hanya berisikan 3 hingga 8 rumah. Rumah suku Muyu berbentuk panggung
tetapi beberapa diantaranya ada yang didirikan di atas pohon yang tinggi. Dalam satu rumah,
dihuni oleh satu keluarga inti yang monogami ataupun poligini (Melalatoa, 1995: 613).

Organisasi Sosial. Suku Muyu mengenal beberapa kelompok kekerabatan yakni kerabat
keluarga inti atau disebut dengan namaretna yakni keluarga yang monogami ataupun poligini.
Untuk diketahui, suku Muyu melegalkan adanya poligini yakni seorang suami diizinkan memiliki
lebih dari satu istri untuk mempermudah pekerjaan yang berat. Kelompok kerabat yang lainnya
adalah nuwambip, yakni suatu kekerabatan yang keturunannya diperhitungkan dari pihak lelaki
(patrilenal). Dalam kekerabatan ini, perkawinan bersifat eksogami. Dalam nuwambip terdapat
suatu paham yakni semakin banyak istri maka semakin pula ia dihormati. Perkawinan pun
dilakukan dan diawali dengan adanya peminangan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan
(Melalatoa, 1995: 613).

Religi atau Agama. Saat ini, sebagian besar suku Muyu telah beragama Katolik. Tetapi,
meskipun demikian, kepercayaan lokal tetap saja tumbuh dalam masyarakat ini. Seperti halnya
penyembahan terhadap dewa-dewa pencipta dan kebudayaan yang disebut dengan komot.

Kebudayaan yang Menonjol. Tidak dapat ditemukan secara pasti kebudayaan yang menonjol
yang ada dalam suku ini selain adanya Pesta Babi dan tari ketmon yang dilakukan untuk
mengiringi upacara Pesta Babi ini. Tujuan diadakannya pesta babi adalah untuk mendapat untung
dari jual beli babi pada pesta ini (http://hooillands-obralkata.blogspot.com, 2012).

Nilai – Nilai Budaya


Aspek sosial, nilai: tolong menolong. Nilai ini tercermin dari kehidupan suku Muyu yang
melegalkan pernikahan poligini dalam rangka untuk meringankan pekerjaan istri tua dalam
mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Aspek seni, nilai: indah dan kreatif. Representasi dari nilai ini adalah adanya mas kawin
berbentuk liontin yang dibuat dari kulit lokan.
Aspek ekonomi, nilai: makmur. Hal ini dapat dilihat dari kebudayaan Pesta Babi yang dilakukan
oleh masyarakat Muyu dalam jual dan beli babi.

Pembangunan dan Modernisasi. Sampai saat ini, kebudayaan suku Muyu masih bisa
dikategorikan sebagai kebudayaan yang terbelakang. Hal ini dikarenakan suku Muyu masih
sangat kental dengan dongeng-dongeng masa lampau terkait dengan penciptaan, dewa-dewa,
dan peristiwa-peristiwa alam lainnya (Melalatoa, 1995: 613)

5. Kebudayaan Suku Nias

Identifikasi, Lokasi dan Penduduk. Nias merupakan sebuah


suku bangsa yang terletak di lautan Hindia dan termasuk
bagian dari Provinsi Sumatra Utara. Nias merupakan sebuah
kabupaten dengan Gunungsitoli sebagai ibukota kabupatennya.
Pulau Nias memiliki panjang 120 kilometer dan lebar 40
kilometer dengan panjang pantai 450 kilometer. Keadaan alam
di pulau Nias berbukit-bukit dengan pegunungan di tengah-
tengan bagian pulau ini sedangkan dataran rendahnya ada di
bagian pantai (Melalatoa, 1995). Kata Nias sendiri merujuk
pada istilah orang Nias yang menamai diri mereka sebagai Ono
Niha. Ono berarti anak atau keturunan sedangkan Niha
adalah manusia. Sedangkan pulau Nias sendiri berasal dari
kata Tanö Niha dengan Tanö yang berarti tanah (Marzali,
2009). Menurut survey BPS pada tahun 2007, jumlah penduduk Nias sebesar 442.524 jiwa. Pulau
Nias sendiri sebagai sebuah kabupaten terdiri dari 14 kecamatan, 443 desa dan 4 kelurahan.

Bahasa. Suku bangsa Nias dalam berkomunikasi memiliki bahasanya sendiri. Bahasa itu disebut
sebagai bahasa La Niha (Koentjoroningrat, 2009). Bahasa ini merupakan rumpun Melayu-
Polinesia. La Niha dalam perkembangannya terbagi menjadi dua dialek, yakni dialek Nias Utara
dan dialek Nias Selatan. Perbedaan ini terjadi karena faktor eksternal sehingga perbedaan inipun
menciptakan banyak perbedaan dalam penggunaan istilah kekerabatan, nama dewa, dll
(Melalatoa, 1995).

Pola tempat tinggal. Suku Nias bertempat tinggal didesa-desa yang disebut banoa. Satu banoa
terdiri atas beberapa kampung dengan rumah-rumah penduduknya. Pola kampung di suku Nias
berbentuk seperti huruf U dimana rumah kepala negeri atau tuhenori dan kepala desa atau salawa
ada di setiap ujungnya sebagai pusat dan menghadap lapangan dengan batu-batu pipih. Batu-
batu pipih ini bukan hanya difungsikan sebagai tempat duduk tetapi juga sebagai simbol status
orang Nias. Rumah adat suku Nias bernama Omo, yang berdasarkan bentuk dan status
pemiliknya dibagi menjadi dua yakni omo hada dan omo pasisir. Omo hada merupakan rumah
adat bagi para kepala negeri, kepala desa dan juga bangsawan. Sedangkan omo pasisir
merupakan rumah adat yang diperuntukkan bagi orang biasa (Melalatoa, 1995).

Organisasi Sosial
Model kelompok kekerabatan suku Nias terdiri dari dua kelompok yakni keluarga batih atau
sangambato dan keluarga luas. Dalam keluarga batih, ayah adalah pemimpin utama dalam
keluarga. Perannya bisa digantikan oleh ibu apabila ayah telah tiada. Beberapa peranan aah juga
dapat diwakilkan kepada putra sulungnya. Kelompok kekerabatan yang kedua adalah keluarga
luas virilokal yakni keluarga batih senior dan keluarga batih yang tinggal dalam satu rumah dan
satu ekonomi (Melalatoa, 1995). Perkawinan menjadi sesuatu yang sangat penting bagi suku
Nias. Bagi mereka perkawinan merupakan hal terpenting dalam daur hidup manusia. Untuk itulah,
perkawinan di Nias dilakukan dengan beragam ritual dan keseriusan di dalamnya. Perkawinan
bagi suku ini bersifat eksogami, diluar marga mereka. Kemudian, perkawinan di kebudayaan Nias
juga memiliki mas kawin atau bowo untuk diberikan kepada pihak wanita. Mas kawin di beberapa
daerah Nias berupa 100 ekor babi. Apabila seseorang tidak bisa memenuhi mas kawin itu, maka
orang itu harus menjalani pengabdian kepada calon mertua terlebih dahulu (bride service).
Prinsip Keturunan, masyarakat Nias mengikuti garis keturunan dari orang tua laki-laki (Melalatoa,
1995).
Pelapisan sosial, di dalam masyarakat Nias sendiri terdapat pelapisan masyarakat, yang terdiri
dari kelompok bangsawan atau si’ulu dan kelompok rakyat biasa atau sato. Kaum bangsawan
merujuk pada kepala desa ataupun kepala negeri sedangakan rakyat biasa merujuk pada
pemimpin-pemimpin dalam kelompok pemburu, perang, dan sebagainya. Baik bangsawan
maupun rakyat biasa keduanya merupkan anggota dewan musyawarah desa. Kepemimpinan
suku Nias dibagi menjadi dua yakni kepala negeri atau tuhenori atau bupati dan kepala desa atau
salawa (Melalatoa, 1995)

Religi atau Agama. Mayoritas penduduk Nias memeluk agama Kristen Protestan sebagai
agamanya dan sebagian kecil dari mereka mengaut Islam, Katolik, Budha dan Pelebegu.Pelebegu
merupakan kepercayaan asli suku Nias yang memuja roh leluhur. Reperesentasi roh leluhur itu di
buat dalam bentuk patung-patung kayu untuk tempat roh leluhur.

Kebudayaan yang menonjol. Terdapat berbagai macam kebudayaan Nias yang menonjol
diantaranya adalah lompat batu, tari perang, dan tari maena. Tari maena merupakan sebuah
tarian seremonial dan kolosal dari Suku Nias, karena tidak ada batasan jumlah yang boleh ikut
dalam tarian ini. Semakin banyak peserta tari maena, semakin semangat pula tarian dan
goyangan (fataelusa) maenanya. Tarian ini biasanya ditarikan pada saat pesta ataupun acara
perkawinan. Sedangkan tari perang atau Maluaya merupakan sebuah tarian yang ditarikan oleh
minimal 12 orang pria, gerakannya sangan kuat dan tegas. Tarian ini ditarikan pada saat upacara
pernikahan, penguburan dan pesta untuk menyambut pendatang baru atau wisatawan. Tradisi
lompat batu atau fahombo merupakan sebuah tradisi yang dilakukan oleh seorang pria dengan
memakai baju adat Nias atau boru oholu dan meloncati susunan batu setinggi 2 meter. Tradisi ini
pada awalnya merupakan sebuah ajang pengujian fisik dan mental remaja pria menjelang
dewasa. Setiap lelaki dewasa yang akan ikut perang wajib lulus dalam lompat batu ini.

Nilai-Nilai Budaya
Aspek Pengetahuan, nilai: inovatif, kreatif
Nilai-nilai ini dapat ditemukan dalam hasil kebudayaan suku Nias yakni artefak dan menhir. Menhir
yang ditemukan di Nias merupakan menhir yang telah dipahat dan terdapat pola hias. Dari sini
dapat kita ketahui bahwa perkembangan pengetahuan di Nias sudah tergolong maju kala itu.
Aspek Sosial, nilai: harmoni, tolong-menolong, kebersamaan, tenggang rasa
Bagian ini dapat dilihat dari tradisi “makan bersama” yang dilakukan oleh masyarakat Nias. Melalui
makan bersama ini akan melatih sikap sopan, tenggang rasa dan saling menghormati. Sedangkan
tolong menolong dapat dilihat dari tradisi mame so’i tradisi untuk mengulurkan tangan dan
membantu.
Aspek Seni, nilai: indah, tegas, harmoni, kolosal
Melalui tari maena dan tari perang serta tradisi lompat batu, nilai-nilai inipun dapat ditemukan. Tari
maena dan tari perang merupakan perpaduan antara kolosal, harmoni dan indah. Sedangkan
tradisi lompat batu memiliki nilai tegas.
Aspek Religi, nilai: Ketuhanan, kebenaran, disiplin
Suku Nias dalam kehidupan beragamanya senantiasa disiplin dalam menjalankan apa yang
menjadi kewajibannya sebagai seorang yang beragama.

Pembangunan dan Modernisasi. Akibat pembangunan dan modernisasi yang terus berlangsung,
saat ini pulau Nias bukan hanya dihuni oleh suku Nias saja, banyak latar belakang suku lain yang
juga menempati pulau ini, diantaranya adalah Batak, Minangkabau dan lain sebagainya. Selain itu,
seiring berjalannya waktu, bahasa suku Nias sedikit banyak telah tercampur dengan bahasa
Indonesia sehingga beberapa kata pun hilang. Tahun 2004 yang lalu, akibat gelombang tsunami,
Nias pun sempat terporak-porandakan. Tetapi saat ini pembangunan tetap dilakukan untuk
menjaga dan mempertahankan salah satu warisan budaya ini. Untuk melakukannya pemerintah
daerah Nias memprogramkan Nias Rural Access and Capacity Buiding Project untuk memperbaiki
rumah-rumah adat Nias yang rusak dan bangunan-bangunan yang lain.

6. KEBUDAYAAN SUKU DAYAK KENDAYAN


Identifikasi, Lokasi dan Penduduk. Suku Dayak
Kendayan merupakan sebuah suku yang menjadi
sub suku Dayak. Kendayan sendiri berasal dari
kata kanayatn, sebuah nama bukit di Menyuke,
Kalimantan. Suku ini terletak di provinsi Kalimantan
Barat dan tersbar di sekitar 15 kecamatan di
Kabupaten Pontianak. Berdasarkan survey pada
tahun 1983, jumlah penduduk suku Kendayan
adalah 204.634 jiwa (Melalatoa, 1995).

Bahasa. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Kendayan adalah bahasa khas Kendayan
yakni bahasa Banana’ atau Bajanya. Namun, keberadaan bahasa asli suku ini sudah hampir
hilang dikarenakan pengaruh bahasa asing dan nasional yang masuk ke daerah ini (Melalatoa,
1995).

Pola Tempat Tinggal. Masyarakat Kendayan mayoritas hidup di pedalaman hutan dan di bukit-
bukit. Mereka tinggal berjauhan satu sama lain. Akses menuju suku ini pun tidak begitu mudah
karena setiap kampung hanya dihuubngkan dengan jalan setapak dan sungai yang berarus deras.
Suku Kendayan sendiri memiliki rumah adat yang disebut dengan rada’ang (Melalatoa, 1995).

Organisasi Sosial. Dalam suku Kendayan, garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan pihak ibu
atau dikenal dengan sistem bilateral. Meskipun memiliki sistem bilateral, kedudukan aah dalam
keluarga tetap masih lebih tinggi dibandingkan ibu. Suku Kendayan sendiri dipimpin oleh tiga
petinggi yakni kepala dusun yang disebut Timanggong, kepala desa atau Pasirah dan ketua RT
atau Pangaraga (Melalatoa, 1995).

Religi atau Agama. Masyarakat Kendayan sendiri masih mempercayai adanya roh-roh yang
mendiami suatu benda dan roh-roh yang menguasai dunia. Mereka juga memiliki serta
mempercayai tuhan mereka yang disebut dengan Jubata. Meskipun demikian, pengaruh agama
Katolik dan Kristen serta sebagian kecil Islam pun telah ada di masyakarat Kendayan dan
sebagian besar dari mereka pun telah memeluk agama-agama diatas (Melalatoa, 1995).

Kebudayaan yang Menonjol. Masyarakat Kendayan memiliki cukup banyak kebudayaan yang
berbentuk upacara adat ataupun tari-tarian. Misalnya saja upacara naik dango, yakni upacara
sebagai bentuk ucapan syukut atas panen dan permohonan supaya pada masa mendatang
lumbung mereka tetap diberkati. Sedangkan untuk seni tari, tari Jonggan menjadi salah satu tarian
yang dilakukan hingga saat ini. Tarian ini menceritakan pergaulan pemuda dan pemudi dan
bererita mengenai sukacita dan kebahagiaan.

Nilai-nilai Budaya
Aspek Pengetahuan, nilai: inovatif dan kreatif. Nilai ini dapat dilihat dari alat atau wadah yang
dibuat dari bambu dan kayu untuk membawa padi dan membawa benih bagi mereka yang bekerja
sebagai petani.
Aspek Sosial, nilai: gotong royong dan rukun. Bagian ini termanifestasi dari sistem kerja
masyarakat Kendayan yang seringkali berkelompok dengan kerabat dan tetangga.
Aspek Seni, nilai: riang. Nilai seni riang tercermin dari seni tari Jonggan yang berceritakan dan
bertemakan mengenai sukacita dan kegembiraan.
Aspek Ekonomi, nilai: makmur dan ikhtiar. Terwujud dalam mata pencaharian masyarakat
Kendayan yang beragam dan bervariasi.

Pembangunan dan Modernisasi. Modernisasi yang ada di masyarakat suku Kendayan, sedikit
banyak telah mempengaruhi suku ini. Dengan adanya modernisasi yang berarti masuknya nilai-
nilai asing ke dalam budaya ini, maka lambat laut bahasa asli suku inipun sudah tiada lagi dipakai
oleh pemudanya. Pemuda Kendayan lebih suka menggunakan bahasa Indonesia untuk
berkomunikasi sehari-hari.

7. Kebudayaan Suku Mentawai


Identifikasi, Lokasi, Penduduk. Kebudayaan suku Mentawai
terletak di Kepulauan Mentawai, Kabupaten Padang Pariaman,
Provinsi Sumatra Barat. Suku ini tersebar di empat pulau besar
yang ada di Kabupaten Padang Pariaman, yakni Siberut, Sipora,
Pagai Utara dan juga Pagai Selatan. Suku Mentawai merupakan
salah satu suku terasing yang ada di Indonesia. Pada survey
tahun 1988, jumlah penduduk Kepulauan Mentawai ialah 53.363
jiwa. Jumlah ini sudah tercampur dengan suku-suku lain yang
turut tinggal di Kepulauan Mentawai. Sehingga, belum diketahui
secara pasti jumlah asli suku Mentawai (Melalatoa, 1995: 547).

Bahasa. Masyarakat suku Mentawai menggunakan bahasa Mentawai yang merupakan rumpun
bahasa Austronesia. Bahasa ini kemudian trebagi menjadi beberapa dialek yakni Sekudai,
Sikalangan dan Simalegi (Hidayah 1997: 182).
Pola Tempat Tinggal. Masyarakat Mentawai tinggal di rumah adat khas Mentawai yang disebut
dengan uma, sebuah rumah panggung besar yang dapat menampung 5 hingga 20 keluarga
(Melalatoa, 1995: 548-549). Masyarakat Mentawai seringkali hidup berkelompok dan tinggal dalam
sebuah desa

Organisasi Sosial. Seperti halnya sebagian besar suku di Indonesia yang menarik garis
keturunan dari pihak laki-laki, begitu juga masyarakat suku Mentawai, mereka menarik garis
keturunan secara patrilineal. Perkawinan yang yang dilakukan pun bersifat eksogami. Setelah
menikah, pasangan suami istri akan ditinggal di uma dengan beberapa anggota keluarga yang
lain. Dalam uma, terdapat pemimpin kepala suku yang disebut dengan rimata. Tidak terdapat
sistem pelapisan sosial pada masyarakat suku ini. Hanya saja, suku ini dipimpin oleh seorang
dukun yamh disebut dengan sikerei atau kerei (Melalatoa, 1995: 547-549).

Religi atau Agama. Masyarakat Mentawai hingga saat ini belum mengenal agama resmi yang
ada di Indonesia. Mereka masih menganut kepercayaan nenek moyang yang disebut dengan
sistem religi Sabulungan. Dalam sistem religi ini, ada tiga roh yang dipuja, yakni roh laut, roh hutan
dan gunung serta roh langit (Melalatoa, 1995: 549).

Kebudayaan yang Menonjol. Masyarakt suku Mentawai memiliki beberapa kebudayaan yang
menonjol yakni upacara adat Punen dan seni tari yang disebut maturuk. Seni tari ini merupakan
seni tari yang digunakan untuk memanggil roh (Salmeno, 1990).

Nilai-Nilai Budaya
Aspek sosial, nilai: rukun. Nilai ini tercermin dari salah satu adat masyarakat Mentawai yang
tinggal dalam satu uma dengan 5 hingga 20 keluarga.
Aspek Religi, nilai: beriman. Hal ini tercermin dari kepercayaan masyarakat Mentawai dengan
sistem religi yang ada yang disebut dengan Sabulungan.

Pembangunan dan Modernisasi. Modernisasi yang membawa pengaruh budaya dari luar suku
Mentawai, secara tidak langsung telah mempengaruhi suku Mentawai. Meskipun suku Mentawai
masih menjadi suku yang yang terasing, tetapi karena adanya modernisasi ini, ada beberapa
kebudayaan yang saat ini sudah tidak lagi dilakukan. Misalnya saja merajam tubuh dengan tatto,
dan dilarangnya praktik sikerei (Salmeno, 1993: 66).

8. Kebudayaan Suku Mandailing


Identifikasi, Lokasi dan Penduduk. Suku bangsa Mandailing
merupakan suku yang bertempat di Kabupaten Tapanuli Selatan,
Provinsi Sumatra Utara. Pada dasarnya, suku ini merupakan bagian
dari suku bangsa Batak. Berdasarkan survey yang dilakukan pada
tahun 1990, penduduk suku bangsa Mandailing berjumlah 954.332
jiwa. Mandailing sendiri berasal dari kata Mande dan Hilang dari
bahasa Minangkabau yang memiliki arti ibu yang hilang. Tetapi
terdapat bagian lain yang mengatakan bahwa nama Mandailing berasal dari kata Mandala Holing
yang merupakan kerajaan di daerah Sumtra Utara.

Bahasa. Masyarakat Mandailing menggunakan bahasa Mandailing untuk berkomunikasi satu


sama lain. Bahasa yang digunakan merupakan rumpun bahasa Austronesia. Dalam
penggunaanya, bahasa Mandailing dibagi menjadi lima ragam seturut dengan kosakatanya. Selain
memiliki bahasa asli, masyarakat suku Mandailing juga memiliki aksara tradisional yang disebut
dengan urup tulak-tulak. Huruf ini dipakai untuk menulis kitab-kitab kuno pada masa lampau.

Pola Tempat Tinggal. Masyarakat suku Mandailing tinggal di kampung ataupun desa yang
disebut dengan huta. Sedangkan rumah tempat mereka tinggal disebut dengan bagas.
Masyarakat Mandailing hidup di wilayah bukit barisan dan di dataran rendah. Dalam suatu huta
terdapat sebuah balai desa yang disebut dengan sopo godang dan dipakai serta difungsikan
sebagao tempat untuk melakukan kegiatan musyawarah untuk mencapai mufakat.

Organisasi Sosial. Masyarakat suku Mandailing menarik garis keturunan secara patrilineal atau
dari keturunan laki-laki. Pernikahan dalam suku ini memakai sistem eksogami marga, yang berarti
seseorang harus mencari pasangan hidup di luar dari marga yang ia miliki. Selain itu, juga
terdapat sistem stratifikasi sosial pada masyarakat Mandailing. Sistem stratifikasi ini telah
berlangsung lama dan dilakukan secara turun temurun. Stratifikasi ini dibagi menjadi tiga, yakni na
mora-mora atau kelompok bangsawan, alak na jaji atau rakyat biasa dan hatoban atau hamba.

Religi atau Agama. Berbeda dengan suku Batak lain yang mayoritas beragama Kristen
Protestan, masyarakat suku Mandailing sebagian besar menganut agama Islam. Meskipun pada
masa lampau terdapat sistem kepercayaan nenek moyang yang disebut dengan permalin,
kepercayaan ini tiada lagi dianut oleh suku ini karena ketaatan mereka pada agama Islam.

Kebudayaan yang Menonjol. Kebudayaan yang menonjol di suku ini dapat dilihat dari upacara
kematian yang diadakan oleh masyarakat Mandailing. Upacara kematian yang dikenal dengan
nam pasidung ari ini merupakan upacara yang dilakukan untuk mengantar kepergian atau
kematian orang yang lanjut usia dan yang dihormati oleh masyarakat.

Nilai-nilai Budaya
Aspek pengetahuan: inovatif. Tergambar dari kebudayaan Mandailing yang telah memiliki
aksara sendiri untuk menuliskan kitab-kitab kuno.
Aspek sosial, nilai: tertib dan disiplin. Hal ini dapat dilihat dari adanya suatu tata cara adat yang
disebut ugarai dalam menjalankan adat istiadat yang ada.
Aspek seni, nilai: indah. Bagian ini dapat dilihat dari arsitektur tempat musyawarah suku ini atau
sopo godang yang didesain sedemikian rupa untuk melambangkan kebesaran, keagungan, dan
kemuliaan.
Aspek religi, nilai: taat dan ketuhanan. Tercermin dalam kepercayaan suku Mandailing yang
sepenuhnya memeluk agama Islam dan tak lagi menganut sistem kepercayaan nenek moyang.

Pembangunan dan Modernisasi. Dengan adanya arus modernisasi di dalam masyarakat


Mandailing, maka bangunan rumah adat suku Mandailing tidak lagi dipakai. Masyarakt Mandailing
lebih meilih menggunakan rumah-rumah modern yang lebih praktis. Selain itu, arus modernisasi
juga membuat golongan muda dalam suku Mandailing tak lagi mengerti dan mengenal simbol-
simbol yang melekat pada bangunan tradisional suku ini.

9. Kebudayaan Suku Melayu Jambi


Identifikasi, Lokasi, Penduduk. Kebudayaan suku
Melayu Jambi merupakan sebuah suku yang terletak di
bagian tengah Pulau Sumatra, Provinsi Jambi tepanya di
wilayah kotamadya Jambi dan merupakan salah satu
suku dari ketujuh suku yang ada di kotamadya Jambi.
Selain terletak di kotamadya Jambi, suku ini juga
tersebar di kabupten Batanghari, Kabupaten Jabung dan
Kabupaten Bungotebo. Dari survey yang dilakukan pada
tahun 1976, diketahui bahwa masyarakat suku Melayu Jambi berjumlah sekitar 300.000 jiwa.
Bahasa. Bahasa yang digunakan oleh suku Melayu Jambi untuk berkomunikasi ialah bahasa
Melayu terkait dengan suku ini yang masih serumpun dengan bangsa Melayu. Kekhasan bahasa
Melayu Jambi adalah adanya pergantian huruf vokal “a” menjadi “o” dalam beberapa kata.

Pola Tempat Tinggal. Masyarakat suku Melayu Jambi tinggal di sepanjang aliran sungai
Batanghari. Mereka memiliki rumah adat yang disebut dengan rumah betiang yang diangun diatas
tiang atau panggung. Dalam rumah adat ini, terdapat pula pembagian fungsi rumah di setiap
ruangan.

Organisasi sosial. Suku Melayu Jambi mengenal adana keluarga inti dan itu bersifat monogami.
Garis keturunan diturunkan dari kedua belah pihak yakni baik pihak perempuan dan pihak laki-laki
(bilateral). Pemilihan pasangan hidup juga tidak sembarangan, masyarakat suku Melayu Jambi
diharuskan untuk menikah dengan orang yang satu kampung. Untuk sistem kemasyarakatan
sendiri, suku Melayu Jambi mengenal adanya stratifikasi sosial. Dalam suku ini, stratififkasi ini
dibagi menjadi tiga yakni bangsawan sebagai tingkatan paling tinggi, kemudian saudagar dan
yang terakhir adalah rakyat biasa yang disebut sebagai orang kecik.

Religi atau Agama. Sebagian besar penduduk suku Melayu Jambi telah memeluk agama Islam
sejak abad yang ke-15. Oleh karena itu, adat istiadat yang ada pada suku inipun terpengaruh oleh
adanya kebudayaan Islam.

Kebudayaan yang Menonjol. Suku Melayu Jambi memiliki kebudayaan khas berupa kerajinan
tenun, songket dan batik. Kerajinan ini kemudian dikembangkan pleh masyarakat setempat
sebagai mata pencaharian masyarakat setempat.

Nilai-nilai Budaya
Aspek sosial, nilai: tertib. Tercermin dari adanya peraturan yang harus ditaati seorang suku
Melayu Jambi dalam memilih pasangan hidup. Selain itu, nilai ini tercermin pula dengan adanya
pembagian fungsi ruangan dalam rumah adat suku ini.
Aspek seni, nilai: indah. Nilai ini dapat dilihat dari hasil tenunan ataupun songketan masyarakat
Melayu Jambi yang memiliki nilai estetika yang baik dan indah.
Aspek religi, nilai: ketuhanan dan iman. Termanifestasi dengan adanya agama Islam yang
dianut oleh masyarakat suku Melayu Jambi.

Pembangunan dan Modernisasi. Pembangunan dan modernisasi di suku ini berkembang cukup
pesat. Dengan adanya modernisasi menyebabkan beberapa kebudayaan pun kini tak lagi
dilakukan.

10. Kebudayaan Suku Ot Danum


Identifikasi, Lokasi, Penduduk. Masyarakat suku Ot
Danum merupakan masyarakat yang tinggal di utara
provinsi Tengah, dan tinggal di sepanjang hulu sungai
Barito, sungai Kapuas, sungai Kahayan, sungai Kantingan
dan sungai Pambuang. Berdasarkan survey pemerintah
setempat, jumlah penduduk dari masyarakat Ot Danum
berjumlah sekitar 78.800 jiwa (melawikab.go.id, t.t.). Kata
Ot Danum sendiri memiliki arti hulu sungai, ot berarti hulu
sedangkan danum berarti sungai. Sehingga masyarakat Ot
Danum merupakan masyarakat yang tinggal di hulu sungai
(Melalatoa, 1995: 647).

Bahasa. Untuk bahasa, masyarakat suku Ot Danum memiliki bahasa sendiri untuk berkomunikasi
dan disebut dengan bahasa Ot Danum. Bahasa mereka merupakan keluarga bahasa Barito dan
bahasa Ngaju dan Ma’anyan (Melalatoa, 1995: 647).

Pola Tempat Tinggal. Seperti yang telah dijelaskan diatas, suku Ot Danum merupakan sebuah
suku yang tinggal di hulu sungai, sehingga pola tempat tinggalnya pun sejajar dengan tepi jalan
yang tegak lurus dengan sungai. Rumah asli masyrakat Ot Danum disebut pula dengan betang,
rumah ini panjang dan dididrikan diatas tonggak kayu (Zulyani, 1997).
Organisasi Sosial. Kekerabatan yang ada di masyarakat ini merupakan kekerabatan ambilineal
dimana garis keturunan di ambil dari pihak ayah dan sebagian dari pihak ibu (Zulyani, 1997).
Mereka pun juga mengenal upacara mengenai daur hidup manusia seperti upacara kelahiran,
masa bayi, perkawinan dan kematian (Melalatoa, 1995: 647). Dalam sebuah desa, masyarakat ini
dipimpin oleh seorang penghulu yang bertugas sebagai ahli upcara dan hukum adat di desa.

Religi atau Agama. Masyarakat Ot Danum, hingga saat ini masih menganut sistem kepercayaan
nenek moyang yang disebut dengan Kaharingan yang mempercayai adanya roh-roh tetapi
sebagian kecil dari mereka telah mengenal agama Kristen dan Islam (Zulyani, 1997).

Kebudayaan yang Menonjol. Masyarakat Ot Danum memiliki sebuah ritual khusus yang pada
akhirnya menjadi salah satu kebudayaan yang menonjol dalam suku Dayak, ritual ini merupakan
uapcara sunatan bagi laki-laki yang disebut dengan hobalak (Zulyani, 1997). Selain upacara
hobalak, suku ini juga dikenal dengan tradisi anyaman dari rotan, daun kelapa dan bambu
(metrotvnews.com, 2010).

Nilai-Nilai Budaya
Aspek sosial, nilai: arif. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan masyarakat Ot Danum yang sampai
saat ini senantiasa menjaga lingkungan dengan menghormatinya dan merawatnya. Mereka
meyakini bahwa lingkungan alam yang ada merupakan peninggalan nenek moyang yang harus
dilestarikan dan dijaga (protomalayans.blogspot.com, 2012).
Aspek Seni, nilai: indah. Dapat dilihat dari hasil seni masyarakat Ot Danum berupa anyaman
dari rotan, daun kelapa dan bambu.
Aspek ekonomi, nilai: makmur. Dapat diketahui dari
penambagan emas yang dilakukan oleh suku Ot
Danum yang menjadikan mereka makmur
(http://protomalayans.blogspot.com, 2012).

Pembangunan dan Modernisasi. Pembangunan dan


modernisasi di suku ini berkembang cukup pesat.
Dengan adanya modernisasi menyebabkan beberapa
kebudayaan pun kini tak lagi dilakukan. Selain itu,
adanya pendatang yang juga mempengaruhi
modernisasi juga turut berperan besar dalam
penambangan emas di suku ini.

11. KEBUDAYAAN SUKU BIAK


Identifikasi, Lokasi dan Penduduk. Masyarakat suku Biak merupakan sebuah suku bangsa yang
mendiami Kabupaten Teluk Cendrawasih, Pulau Biak, Irian Jaya. Masyarakat suku Biak seringkali
disebut pula sebagai suku Biak Numfor karena suku ini bukan hanya mendiami Pulau Biak tetapi
juga Pulau Numfor. Daerah Biak merupakan daerah yang tandus dan kering karena sebgaian
besar wilayahnya yang terdiri dari batuan kapur dan larang. Sebagian kecil diantaranya
merupakan lahan pertanian yang subur. Survey penduduk yang dilakukan pada tahun 1990,
mencatatat jumlah suku ini berjumlah 90.843 jiwa (Melalatoa, 1995: 169).

Bahasa. Masyarakat Biak memiliki bahasa mereka sendiri untuk berkomunikasi dan bertutur kata
sehari-hari, bahasa mereka disebut dengan bahasa Biak dan masih termasuk dalam golongan
bahasa Melanesia. Selanjutnya, bahasa ini terbagai menjadi beberapa dialek seturut dengan
persebaran daerah suku ini.

Pola Tempat Tinggal. Karena wilayah Biak sebagian besar terdiri dari batuan kapur dan kering
serta tandus, maka masyarakat Biak sebagian besar tinggal tersebar di pesisir pantai. Hal ini
dilakukan untuk mempermudah mencari bahan makanan dan memudahkan mobilisasi (Melalatoa,
1995: 170).

Organisasi Sosial. Masyarakat suku Biak menarik keturunan dari pihak laki-laki (patrilineal).
Hubungan antara kekerabatan sangat erat terkait dengan kebiasaan masyarakat Biak yang
mencapur darah saudara laki-laki pada makanan saudara perempuannya. Mereka juga mengenal
adanya keluarga batih yang disebut dengan sim, kemudian keluarga luas yang disebut dengan
rumh dan klen kecil yang disebut dengan keret (Melalatoa, 1995: 171). Pada masa lmapu
masyarakat ini juga mengenal adanya stratifikasi sosial yakni budak atau women, kepala adat atau
manawir, ksatria atau mambri, dan pengusaha. Namun, pada masa sekarang, stratifikasi tersebut
tiada lagi berlaku hal ini berkaitan dengan adanya pandangan yang semakin terbuka dari
masyarakat Biak (Melalatoa, 1995: 171).

Religi atau Agama. Pada saat ini sebagian besar masyarakat Biak menganut agama Kristen
Protestan. Tetapi, meskipun demikian, masyarakat Biak memiliki kepercayaan tradisional dan asli
suku Biak dan menyembah Nanggi. Penyembahan Nanggi dilakukan dengan adanya upacara
Fannanggi.

Kebudayaan yang Menonjol. Korwar merupakan salah satu kebudayaan suku Biak yang paling
menonjol diantara yang lain. Korwar merupakan seni rupa dan seni ukir dari masyarakat Biak.
Korwar ini berupa patung yang digunakan untuk upacara adat kematian (Melalatoa, 1995: 171).

Nilai-nilai Budaya
Aspek sosial, nilai: rukun. Nilai ini dapat tercermin dari kebiasaan suku Biak yaitu saudara
perempuan yang mencampur makanannya dengan darah saudara laki-lakinya. Hal ini membuat
hubugan mereka lebih erat lagi.
Aspek seni, nilai: indah. Hal ini termanifestasi dari kebudayaan korwar atau seni ukir yang
dilakukan oleh masyarakat Biak untuk mempersiapkan upacara kematian.
Aspek religi, nilai: iman dan ketuhanan. Hal ini dapat dilihat dari agama Kristen yang diyakini
dan dihidupi oleh masyarakt suku Biak.

Pembangunan dan Modernisasi. Dengan semakin banyaknya pendatang di antara suku Biak,
maka modernisasi pun tidak dapat terelakkan. Hal ini dapat dilihat dari hilangnya sistem stratifikasi
sosial masyarakat Biak. Selain itu, pembangunan juga terus dilakukan pemerintah untuk suku ini
terbukti dengan adanya pembangkit uap di Biak.

12. Kebudayaan Suku Aneuk Jamee


Identifikasi, Lokasi dan Penduduk. Masyarakat suku Aneuk Jamee
merupakan kebudayaan yang terletak di pesisir pantai bagian barat
Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Aneuk Jamee disebut juga sebagai
Anak Jamee banyak ditemukan di bagian Aceh Selatan dan tersebar
di lima kecamatan. Pada survey pada tahun 1984, masyarakat suku
ini berjumlah lebih dari 100.000 jiwa (Melalatoa, 1995: 42).

Bahasa. Suku Aneuk Jamee menggunakan bahasa asli mereka


yang bernama sama dengan suku mereka dan bahasa ini teramat
mirip dengan bahasa suku Minangkabau.

Pola Tempat Tinggal. Masyarakat suku Aneuk Jamee, tinggal


dengan pola mengelompok dan berdekatan satu sama lain.
Perkampungan tempat mereka tinggal terletak di dataran yang dikelilingi oleh gunung dan bukit
(Melalatoa, 1995: 42).

Organisasi Sosial. Masyarakat suku Aneuk Jamee mengenal adanya keluarga inti yang disebut
dengan rumah tanggo. Rumah tanggo ini terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Dalam masyarakat ini,
juga dikenal sistem pembagian pekerjaan diantara ayah dan ibu. Ayah berperan sebagai kepala
keluarga dan pencari nafkah sedangkan ibu berperan sebagai pengasuh anak. Prinsip keturunan
di tarik dari pihak ayah dan pihak ibu (bilateral). Dalam sistem kemasyarakatannya, suku Aneuk
Jamee juga mengenal serta mengetahui sistem pelapisan atau stratifikasi sosial. Pelapisan ini
dibagi menjadi tiga yakni datuk, imam, dan rakyat biasa (Melalatoa, 1995: 42).

Religi atau Agama. Letaknya yang ada di Aceh, membuat suku ini terpengaruh oleh Kerajaan
Samudra Pasai sebagai penguasa saat itu. Dari sini, berdamapak pada religi dan agama yang ada
di masyarakat suku Aneuk Jamee yang beragama Islam (Melalatoa, 1995: 43).
Kebudayaan ynag Menonjol. Orang suku ini memmiliki adat istiadat yang berupa tari seudati,
dabuih dan juga ratoh (perpaduan antara unsur tari, musik, seni suara).

Nilai-nilai Budaya
Aspek sosial, nilai: harmonis, tanggung jawab. Nilai ini dapat diketahui dari kebudayaan suku
Aneuk Jamee yang melakukan adanya pembagian tugas yang jelas pada sebuah keluarga.
Aspek seni, nilai: kreatif, indah. Pelaksanaan nilai ini dapat dilihat dari kebudayaan suku ini
yakni tari seudati dan ratoh yang riang serta kreatif karena merupakan perpaduan dari bebedapa
unsur.

Pembangunan dan Modernisasi. Pembangunan dan moderniasi yang terus terjadi di bagian
Aceh, membuat suku inipun mendapatkan pengaruhnya pula. Dengan adanya pembanguna dan
modernisasi, bentuk mata pencaharian masyarakat suku ini mengalami pergeseran. Yang pada
awalnya bercocok tanam dan menjadi nelayan, pada saat ini sebagian besar masyarakat bekerja
sebagai pedagang, pejabat, PNS, pengusaha, dan sebagainya.

13. KEBUDAYAAN SUKU MELAYU RIAU


Identifikasi, Lokasi dan Penduduk. Suku Melayu Riau
merupakan sebuah suku yang mendiami daerah provinsi Riau
dan Kepulauan Riau, Sumatra Tengah. Pada tahun 1975,
survey menyatakan jumlah penduduk di provinsi Riau
berjumlah 1.640.225 jiwa. Provinsi Riau sendiri terletak di jalur
lalu lintas transportasi laut serta udara yang sibuk dan padat
baik secara domestik maupun internasional. Pada dasarnya,
suku Melayu Riau bukanlah satu-satunya suku yang menempati Provinsi Riau secara
keseluruhan, provinsi ini juga ditempati oleh suku Sakai, suku Akit, suku Bonai, dan suku Orang
Laut (http://www.riauheritage.org, 2011).

Bahasa. Masyarakat suku Melayu Riau memiliki bahasa khas mereka untuk bercakap-cakap dan
berkomunikasi. Bahasa mereka merupakan bahasa Melayu Riau. Bahasa Melayu Riau ini sendiri
merupakan rumpun bahasa Melayu dan bahasa ini terbagi menjadi dua dialek, yakni dialek Riau
daratan dan dialek Riau pesisir (Irdasyamsi, 2012).
Pola Tempat Tinggal. Seperti yang dijelaskan diatas, masyarakat suku Melayu Riau merupakan
suku yang mendiami Riau daratan dan Riau pesisir, maka pola tempat tinggal mereka memanjang
seturut dengan aliran sungai serta berada di sepanjang pinggir jalan desa. Seringkali suku ini juga
mendirikan rumah mereka di atas sungai dan dikenal dengan nama rumah rakit. Sedangkan untuk
bangunan yang didaratan, rumah suku Melau Riau berbentuk tiang dengan atap limas yang
panjang dan dsiebut dengan bubungan Melayu (Irdasyamsi, 2012).

Organisasi Sosial. Suku ini menarik garis keturunan baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak
perempuan (bilateral). Selain itu mereka juga mengenal adat menetap setelah menikah yang
dibagi menjadi dua yakni matrilokal dan neolokal. Mereka juga mengenal beberapa sebutan untuk
orang-orang yang dituakan misalnya saja kakak pertama yang disebut dengan Long. Selain itu,
mereka juga mengenal adanya pelapisan sosial yang dingai menjadi tiga strata yakni lapisan atau
strata satu adalah bangsawan, kemudian datuk atau kepala suku, dan terakhir adalah pemuka
masyarakat (Melalatoa, 1995: 707).

Religi dan Agama. Masyarakat suku Melayu Riau sebagian besar telah memeluk agama Islam.
Tetapi meskipundemikian masih ada beberapa diantara mereka yang hingga saat ini masih
mempercayai kepercayaan nenek moyang dan hal-hal gaib serta mistis (Melalatoa, 1995).

Kebudayaan yang Menonjol. Terdapat banyak sekali kesenian dan kebudayaan yang ada di
dalam masyarakat suku Melayu Riau. Untuk seni tari, ada tari Ladun, tarian Selendang Awang,
Mak Inang Selendang, dan sebagainya. Selain itu, mereka juga memiliki kebuadyaan menenun.
Hasil dari tenunan khas Riau ini antara lain kain tenun Siak dari Siak Sri Indrapura, kain sutera
petak catur dan sebagainya (Irdasyamsi, 2012).

Nilai-nilai Budaya
Aspek sosial, nilai: tenggang rasa, rukun. Nilai tenggang rasa dapat dilihat dari adanya
sebutan-sebutan untukkprang yang dituakan misalnya Long untuk kakak pertama. Sedangkan nilai
rukun dapat dilihat dari kehidupan masyarakat suku Melayu Riau yang mampu hidup damai dan
berdampingan dengan suku lain yang ada di daerah Provinsi Riau.
Aspek pengetahuan, nilai: inovatif. Nilai ini dapat dilihat dari perkembangan teknologi yang
digunakan oleh masyarakat ini. Sejak berabad-abad yang lalu mereka pun telah mengembangkan
alat-alat untuk memudahkan bertani dan bercocok tanam, beberapa diantaranya ialah adanya
antan, nyiru, beliung dan sebagainya (Irdasyamsi, 2012).
Aspek seni, nilai: kreatif dan dinamis. Kedua nilai ini termanifestasi pada kebudayaan setempat
yang beragam sehingga masyarakat suku ini merupakan suku yang kreatif, sedangkan dinamis
dapat dilihat dari perkembangan beberapa kebudayaan yang tidak mati karena adanya perubahan
zaman, tetapi malah berkembang.
Aspek religi, nilai: iman, ketuhanan. Masuknya Islam sebagai agama yang mereka anut
membuktikan bahwa mereka beriman dan mempercayai adanya Tuhan.

Pembangunan dan Modernisasi. Pembangunan dan modernisasi berlangsung cepat di Provinsi


Riau. Hal ini sedikit banyak juga mempengaruhi suku ini. Dengan adanya modernisasi, bentukan
rumah tradisional pada saat ini telah bergeser pada bentuk-bentuk rumah modern. Selain itu,
dengan semakin banyaknya pendatang di tengah-tengah suku ini, maka yang mengikat mereka
saat ini secara keseluruhan bukan lagi rasa kesukuan melainkan rasa cinta akan kampung
halaman (Irdasyamsi, 2012).

14. KEBUDAYAAN SUKU ACEH


Identifikasi, Lokasi dan Penduduk. Suku Aceh merupakan
sebuah suku yang terletak di Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam. Suku ini mendiami sebagian besar wilayah Aceh
dan tersebar di delapan wilayah kabupaten dan kotamadya.
Suku Aceh juga memiliki sebutan untuk sukumereka sebagai
bagian dari identitas mereka yakni Ureung Aceh. Dari tahun ke
tahun, jumlah masyarakat suku Aceh pun semakin banyak. Dari
survey tahun 1987 dapat diketahui bahwa jumlah msyarakat
suku ini berjumlah 3,12 juta jiwa (Melalatoa, 1995: 4).

Bahasa. Bahasa masyarakat suku Aceh disebut dengan bahasa


Aceh. Bahasa Aceh sendiri terbgai menjadi delapan dialek seturut dengan persebaran suku Aceh
kedelapan kabupaten dan kotamadya di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Bahasa ini
merupakan bahasa rumpun Hesperonesia. Hingga saat ini, bahasa Aceh masih aktif dipakai oleh
suku ini untuk berkomunikasi sehari-hari dan bahkan digunakan untuk pertemuan-pertemuan
formal (Melalatoa, 1995: 4).

Pola Tempat Tinggal. Masyarakat suku Aceh tinggal mengelompak dengan jarak yang cukup
lebar di antara tiap rumah. Mereka sebagian besar tinggal di pesisir ataupun di daerah sela-sela
bukit. Perkampungan dalam masyarakat Aceh disebut dengan gampong. Dalam setiap gampong,
terdapat tiga bangunan penting yakni rumah penduduk, meunasah yakni tempat untuk melakukan
aktivitas keagamaan, dan masjid (Melalatoa, 1995: 5-6).

Organisasi Sosial. Masyarakat suku Aceh menarik garis keturunan dari pihak laki-laki dan
perempuan atau bilateral. Keturunan yang masuk menjadi bagian dari garis keturunan laki-laki
memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan yang perempuan karena pengaruh dari agama
Islam yang mereka anut. Selain itu, mereka juga mengenal dan melaksanakan sistem uxorilokal
paska menikah. Suku ini juga mengenal adanya pelapisan sosial, tetapi pelapisan sosial itupun
kini mengalami pergeseran kedudukan. Dalam setiap kampung atau gampong yang menjadi
komunitas lebih besar yang disebut dengan mukim dipimpin oleh kepala yang disebut dengan
Kepala Mukim dan Imeum Mukim (Melalatoa, 1995: 9).

Religi atau Agama. Sebagian besar masyarakat Aceh telah menganut agama Islam dan sebagian
kecil dari mereka memeluk agama lain dan dapat dipastikan bahwa mereka bukanlah orang atau
suku Aceh Asli. Nilai-nilai Islam sangat berkembang dan seolah-olah telah menjadi bagian dari
suku ini. Sehingga banyak kebudayaan suku Aceh yang dipengaruhi oleh adanya nilai-nilai Islam.
Kebudayaan yang Menonjol. Salah satu budaya Aceh yang sangat terkenal ialah tari Seudati.
Tari ini merupakan tarian yang mengkombinasikan gerakan, suara beserta sastra. Tari ini pada
masa lampau ditarikan sebagai sarana berdakwah bagi umat muslim (Melalatoa, 1995: 10).

Nilai-nilai Budaya
Aspek sosial, nilai: kebersamaan, rukun. Masyarakat suku Aceh hingga saat ini hidup dengan
tentram dan damai serta rukun serta harmonis dengan masyarakat pendatang yang ada di Aceh.
Selain itu mereka mengedepankan nilai-nilai kebersamaan terbukti denga adanya meunasah
sebagai tempat untuk berkumpul dan melakukan hal keagamaan.
Aspek seni, nilai: taqwa dan halus. Tarian Seudati merupakan tarian yang halus dan lemah
lembut. Melalui tarian ini kita bisa mengetahui ketaqwaan maasyarakat suku ini dalam
menjalankan agamanya.
Aspek religi, nilai: iman dan kebenaran. Masyarakat ini menjadikan nilai-nilai Islam sebagai
acuan untuk bertindak, bertuturkata dan berinteraksi dengan orang lain. Mereka teguh
menjalankan agamanya.
Aspek ekonomi, nilai: makmur. Orang Aceh menyadari bahwa dengan bekerja keras alam
bekerja entah bertani atau pekerjaan yang lain maka hasil yang didapat pun mulia.

Pembangunan dan Modernisasi. Aceh telah mengalami berbagai perubahan dan modernisasi.
Hal ini dapat dilihat semakin berkembangnya Aceh baik dari segi wisata, infrastruktur maupun
kehidupan masyarakat setempat. Saat ini semakin banyak pula perusahaan-perusahaan asing
yang berinvestasi di Aceh, semisal ExxonMobil.

15. KEBUDAYAAN SUKU BATAK TOBA


Identifikasi, Lokasi, dan Penduduk. Kebudayaan suku Batak Toba
merupakan kebudayaan yang terletak di Sumatra Utara tepatnya di
kabupaten Tapanuli. Batak Toba merupakn bagian atau sub dari
suku bangsa Batak. Disebut dengan Batak Toba karena pada
awalnya berasal dari daerah danau Toba. Contoh dari marga suku ini
ialah Marpaung, Manurung. Berdasarkan sensus penduduk, suku ini
berjumlah 696.777 jiwa
(http://kebudayaankesenianindonesia.blogspot.com, 2012).

Bahasa. Masyarakat Batak Toba bertutur kata menggunakan bahasa


Batak dengan dialek Batak Toba. Bahasa ini mereka gunakan untuk percakapan sehari-hari
dengan kerabat sesama Batak Toba.

Pola Tempat Tinggal. Masyarakat Batak Toba hidup di daerah sekitar danau Toba dengan
lingkungannya yang berbukit-bukit. Oleh sebab itu, mereka tinggal berkelompok disekitar danau
Toba ataupun tinggal di bukit. Perkampungan mereka disebut dengan huta. Rumah suku Batak
Toba berbentuk rumah panggung dan tinggi.

Organisasi Sosial. Marga menjadi bagian yang penting bagi suku Batak, baik suku Batak Toba
ataupun Batak Karo. Marga ini diturunkan dari pihak laki-laki atau dari pihak ayah. Mereka juga
menghendaki pernikahan endogami atau pernikahan antar sesama suku Batak, meskipun saat ini
bagian ini sudah tiada lagi seketat dulu.

Religi atau Agama. Suku Batak Toba sebagian besar telah menganut dan memeluk agama
Kristen sebagai agama mereka. Agama Krisen sendiri dapat sampai di Batak berkat misionaris-
misionaris yang datang dan mengajar. Tetapi, suku Batak Toba juga memiliki keyakinan nenek
moyang yang sepertinya saat ini tidak lagi dipakai oleh masyarakat ini. Keyakinan itu
mempercayai kepada adanya Debata Mulajadi Nabolon.

Kebudayaan yang Menonjol. Beberapa kebudayaan yang menonjol dari suku Batak Toba adalah
adanya kain ulos sebagai kain yng digunakan pada upacara-upacara perkawinan, kematian, dan
upacara yang lainnya. Selain itu ada juga tarian Tor-Tor yang ditarikan dengan hentakan kaki yang
bermakna sebagai sarana penghibur dan penyemangat jiwa (nationalgeographic.co.id, 2012).
Nilai-nilai Budaya
Aspek sosial, nilai: rukun dan harmonis. Marga dari suku ini menciptakan suatu ikatan
harmonis dan kerukunan yang digunakan untuk menjalin hubungan yang baik dan erat diantara
mereka.
Aspek religi, nilai: ketuhanan, iman. Masyarakat Batak Toba telah mengenal, mempercayai dan
menghidupi agama Kristen sebagai agama mereka.
Aspek seni, nilai: riang, harmonis, dinamis. Tari Tor-Tor yang ditarikan secara bersamaan dan
serentak yang bermakna pula sebagai sarana penghibur. Dan juga kain ulos yang menggunakan
berbagai warna untuk melambangkan simbol-simbol.

Pembangunan dan Modernisasi. Pembangunan dan modernisasi telah membawa perubahan


bagi suku ini. Seperti halnya pernikahan yang dulunya bersifat endogami atau terbatas saja untuk
suku Batak, saat ini permikahan bisa saja bersifat eksogami meskipun terdapat serangkaian
aturan adat yang mengatur.
MATRIKS PERBANDINGAN NILAI NILAI BUDAYA 15 SUKU BANGSA

SUKU PENGETA
SOSIAL SENI RELIGI EKONOMI
BANGSA HUAN
harmonis dan waspada dan ketuhanan dan
rukun. Bagian ini kebersamaan. Nilai selamat. Nilai
tercermin dari waspada tercermin ketuhanan tercermin
kehidupan dari kebudayaan dari kebudayaan
masyarakat suku buang jong yang suku Melayu Belitung
Melayu Belitung yang bertujuan meminta yang khas dengan
mampu hidup damai keselamatan pada nilai-nilai Islam.
dan berdampingan saat akan berlayar Sedangkan nilai
dengan suku lain di (bkp- selamat tercermin
Melayu satu daerah yang pangkalpinang.depta dari kebudayaan
Belitung sama dan bahkan n.go.id, t.t.). buang jong yang
dapat hidup damai Sedangkan nilai meminta
dengan adanya etnis kebersamaan keselamatan pada
lain (bkp- tercermin dari Tuhan pada masa
pangkalpinang.depta kebudayaan Nirok berlayar tiba (bkp-
n.go.id, t.t.). Tanggok yang secara pangkalpinang.depta
bersama-sama n.go.id, t.t.).
mencari ikan pada
musim kemarau.
tolong menolong. percaya dan makmur.
Nilai ini tercermin dari selamat. Nilai Nilai makmur
tugas keluarga luas percaya dapat dilihat tercermin
yakni saling tolong dari kebudayaan dari setiap
menolong dalam segi suku Trunyan yang mata
mencari nafkah. memberikan sesajian pencaharian
untuk dewa-dewa suku Trunyan
yang mereka percaya dan usaha
ada dan berkuasa. yang
Sedangkan nilai dilakukan
Trunyan
selamat dapat oleh
diketahui dari masyarakat
upacara yang ini untuk
dilakukan sebelum dapat
masa tanam tiba memiliki
untuk mencegah kehidupan
gagal panen yang lebih
(Melalatoa, 1995: baik.
894).

kreatif. berbagi dan . ketuhanan dan makmur. Hal


Nilai ini tenggang rasa. Nilai iman. Kedua nilai ini ini dapat
tercermin berbagi dapat dapat tercermin dilihat dari
dari diketahui dari tradisi dalam kehidupan usaha yang
kegiatan pembagian hasil masyarakat Donggo dilakukan
masyarak buruan kepada yang hampir oleh
at Donggo saudara-saudaranya. semuanya telah masyarakat
Donggo
yang Sedangkan nilai beragama baik Donggo
berinisiatif tenggang rasa dapat Kristen maupun Islam dalam
untuk dilihat dari acara memperoleh
melakukan mako yakni acara penghasilan
upacara untuk memberi melalui
kadaki semangat kepada pekerjaan
yakni anak mereka dan
upacara mata
pengusira pencaharian
n hama mereka.
ketika
musim
panen
telah tiba.

tolong menolong. indah dan kreatif. makmur. Hal


Nilai ini tercermin dari Representasi dari ini dapat
kehidupan suku nilai ini adalah dilihat dari
Muyu yang adanya mas kawin kebudayaan
melegalkan berbentuk liontin Pesta Babi
pernikahan poligini yang dibuat dari kulit yang
Muyu dalam rangka untuk lokan. dilakukan
meringankan oleh
pekerjaan istri tua masyarakat
dalam mengerjakan Muyu dalam
pekerjaan rumah jual dan beli
tangga babi.

inovatif, harmoni, tolong- indah, tegas, Ketuhanan,


kreatif menolong, harmoni, kebenaran, disiplin
Nilai-nilai kebersamaan, Melalui tari maena Suku Nias dalam
ini dapat tenggang rasa dan tari perang serta kehidupan
ditemukan Bagian ini dapat tradisi lompat batu, beragamanya
dalam dilihat dari tradisi nilai-nilai inipun dapat senantiasa disiplin
hasil “makan bersama” ditemukan. Tari dalam menjalankan
kebudaya yang dilakukan oleh maena dan tari apa yang menjadi
an suku masyarakat Nias. perang merupakan kewajibannya
Nias yakni Melalui makan perpaduan antara sebagai seorang
artefak bersama ini akan kolosal, harmoni dan yang beragama.
dan melatih sikap sopan, indah. Sedangkan
Nias
menhir. tenggang rasa dan tradisi lompat batu
Menhir saling menghormati. memiliki nilai tegas
yang Sedangkan tolong
ditemukan menolong dapat
di Nias dilihat dari tradisi
merupaka mame so’i tradisi
n menhir untuk mengulurkan
yang telah tangan dan
dipahat membantu.
dan
terdapat
pola hias.
inovatif gotong royong riang. Nilai seni riang makmur dan
dan dan rukun. tercermin dari seni ikhtiar.
kreatif. Bagian ini tari Jonggan yang Terwujud
Nilai ini termanifestasi dari berceritakan dan dalam mata
dapat sistem kerja bertemakan pencaharian
dilihat dari masyarakat mengenai sukacita masyarakat
alat atau Kendayan yang dan kegembiraan Kendayan
Dayak
wadah seringkali yang
Kendayan
yang berkelompok beragam dan
dibuat dari dengan kerabat bervariasi
bambu dan tetangga.
dan kayu
untuk
membawa
padi dan
membawa
benih bagi
mereka
yang
bekerja
sebagai
petani.

rukun. Nilai ini beriman. Hal ini


tercermin dari salah tercermin dari
satu adat masyarakat kepercayaan
Mentawai yang masyarakat
Mentawai tinggal dalam satu Mentawai dengan
uma dengan 5 hingga sistem religi yang ada
20 keluarga. yang disebut dengan
Sabulungan.

inovatif. tertib dan disiplin. indah. Bagian ini taat dan ketuhanan.
Tergamba Hal ini dapat dilihat dapat dilihat dari Tercermin dalam
r dari dari adanya suatu arsitektur tempat kepercayaan suku
kebudaya tata cara adat yang musyawarah suku ini Mandailing yang
an disebut ugarai dalam atau sopo godang sepenuhnya
Mandailing menjalankan adat yang didesain memeluk agama
yang telah istiadat yang ada. sedemikian rupa Islam dan tak lagi
Mandailing memiliki untuk melambangkan menganut sistem
aksara kebesaran, kepercayaan nenek
sendiri keagungan, dan moyang.
untuk kemuliaan.
menuliska
n kitab-
kitab kuno.

tertib. Tercermin dari indah. Nilai ini dapat ketuhanan dan


adanya peraturan dilihat dari hasil iman. Termanifestasi
yang harus ditaati tenunan ataupun dengan adanya
seorang suku Melayu songketan agama Islam yang
Jambi dalam memilih masyarakat Melayu dianut oleh
pasangan hidup. Jambi yang memiliki masyarakat suku
Melayu
Selain itu, nilai ini nilai estetika yang Melayu Jambi
Jambi
tercermin pula baik dan indah.
dengan adanya
pembagian fungsi
ruangan dalam
rumah adat suku ini.

arif. Hal ini dapat makmur.


dilihat dari kehidupan Dapat
masyarakat Ot diketahui dari
Danum yang sampai penambagan
saat ini senantiasa emas yang
menjaga lingkungan dilakukan
dengan oleh suku Ot
Ot Danum menghormatinya dan Danum yang
merawatnya. menjadikan
mereka
makmur
(http://protom
alayans.blog
spot.com,
2012).
rukun. Nilai ini dapat indah. Hal ini iman dan
tercermin dari termanifestasi dari ketuhanan. Hal ini
kebiasaan suku Biak kebudayaan korwar dapat dilihat dari
yaitu saudara atau seni ukir yang agama Kristen yang
perempuan yang dilakukan oleh diyakini dan dihidupi
mencampur masyarakat Biak oleh masyarakt suku
Biak
makanannya dengan untuk Biak
darah saudara laki- mempersiapkan
lakinya. Hal ini upacara kematian.
membuat hubugan
mereka lebih erat
lagi.
harmonis, tanggung kreatif, indah.
jawab. Nilai ini dapat Pelaksanaan nilai ini
diketahui dari dapat dilihat dari
kebudayaan suku kebudayaan suku ini
Aneuk Jamee yang yakni tari seudati dan
Aneuk
melakukan adanya ratoh yang riang
Jamee
pembagian tugas serta kreatif karena
yang jelas pada merupakan
sebuah keluarga. perpaduan dari
bebedapa unsur.

Inovatif. tenggang rasa, kreatif dan dinamis. iman, ketuhanan.


alat-alat rukun. Nilai Kedua nilai ini Masuknya Islam
untuk tenggang rasa dapat termanifestasi pada sebagai agama yang
memudah dilihat dari adanya kebudayaan mereka anut
kan sebutan-sebutan setempat yang membuktikan bahwa
bertani untuk orang yang beragam sehingga mereka beriman dan
dan dituakan misalnya masyarakat suku ini mempercayai adanya
bercocok Long untuk kakak merupakan suku Tuhan.
tanam, pertama. Sedangkan yang kreatif,
beberapa nilai rukun dapat sedangkan dinamis
diantarany dilihat dari kehidupan dapat dilihat dari
Melayu Riau
a ialah masyarakat suku perkembangan
adanya Melayu Riau yang beberapa
antan, mampu hidup damai kebudayaan yang
nyiru, dan berdampingan tidak mati karena
beliung dengan suku lain adanya perubahan
dan yang ada di daerah zaman, tetapi malah
sebagainy Provinsi Riau. berkembang.
a
(Irdasyam
si, 2012).

kebersamaan, taqwa dan halus. iman dan makmur.


rukun. Masyarakat Tarian Seudati kebenaran. Orang Aceh
suku Aceh hingga merupakan tarian Masyarakat ini menyadari
saat ini hidup dengan yang halus dan menjadikan nilai-nilai bahwa
tentram dan damai lemah lembut. Islam sebagai acuan dengan
serta rukun serta Melalui tarian ini kita untuk bertindak, bekerja keras
Aceh harmonis dengan bisa mengetahui bertuturkata dan alam bekerja
masyarakat ketaqwaan berinteraksi dengan entah bertani
pendatang yang ada maasyarakat suku ini orang lain. Mereka atau
di Aceh. Selain itu dalam menjalankan teguh menjalankan pekerjaan
mereka agamanya. agamanya. yang lain
mengedepankan maka hasil
nilai-nilai yang didapat
kebersamaan terbukti pun mulia.
denga adanya
meunasah sebagai
tempat untuk
berkumpul dan
melakukan hal
keagamaan.

rukun dan riang, harmonis, ketuhanan, iman.


harmonis. Marga dinamis. Tari Tor-Tor Masyarakat Batak
dari suku ini yang ditarikan secara Toba telah mengenal,
menciptakan suatu bersamaan dan mempercayai dan
ikatan harmonis dan serentak yang menghidupi agama
kerukunan yang bermakna pula Kristen sebagai
digunakan untuk sebagai sarana agama mereka.
Batak Toba menjalin hubungan penghibur. Dan juga
yang baik dan erat kain ulos yang
diantara mereka. menggunakan
berbagai warna untuk
melambangkan
simbol-simbol.

Dari matriks perbandingan diatas, dapat diketahui bahwa 15 suku diatas memiliki nilai-nilai tersendiri
yag hidup di suku tersebut. Nilai-nilai diatas merupakan nilai-nilai yang dikerjakan dan dilakukan
dalam kehidupan masing-masing suku. Dari matriks diatas, dapat dilihat pula bahwa terdapat
beberapa nilai yang sama di antara 15 suku tersebut.

Persamaan yang pertama, diambil dari segi nilai pengetahuan. Ada tiga suku yang memiliki nilai
pengetahuan yang sama yakni inovatif, ketiga suku tersebut adalah Melayu Riau, Dayak Kendayan
dan Nias. Inovatif dalam nilai pengetahuan ini terkait dengan kehidupan mereka di masa lampau yang
telah mencipatakan alat-alat untuk memudahkan mereka dalam bekerja. Selain itu, terdapat dua nilai
sosial yakni kerukunan yang sama pula diantara suku Batak Toba dan juga Mentawai.

MATRIKS PERSAMAAN BUDAYA INOVATIF PADA 3 SUKU BANGSA

SUKU PENGETAHUAN SOSIAL SENI RELIGI EKONOMI


BANGSA
Melayu Riau Inovatif. alat-alat
untuk memudahkan
bertani dan bercocok
tanam, beberapa
diantaranya ialah
adanya antan, nyiru,
beliung dan
sebagainya
(Irdasyamsi, 2012).

Dayak inovatif dan kreatif.


Kendayan Nilai ini dapat dilihat
dari alat atau wadah
yang dibuat dari
bambu dan kayu
untuk membawa padi
dan membawa benih
bagi mereka yang
bekerja sebagai
petani.
Nias inovatif, kreatif
Nilai-nilai ini dapat
ditemukan dalam
hasil kebudayaan
suku Nias yakni
artefak dan menhir.
Menhir yang
ditemukan di Nias
merupakan menhir
yang telah dipahat
dan terdapat pola
hias.

MATRIKS PERSAMAAN BUDAYA INOVATIF PADA 2 SUKU BANGSA

SUKU PENGETAHUAN SOSIAL SENI RELIGI EKONOMI


BANGSA
Batak Toba rukun dan
harmonis.
Marga dari
suku ini
menciptakan
suatu ikatan
harmonis dan
kerukunan
yang
digunakan
untuk menjalin
hubungan
yang baik dan
erat diantara
mereka.

Mentawai rukun. Nilai ini


tercermin dari
salah satu
adat
masyarakat
Mentawai
yang tinggal
dalam satu
uma dengan 5
hingga 20
keluarga.
REFERENSI

Hidayah, Zulyani. 1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES.


Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan..
Albert C. Kruyt. 1979. Suatu Kunjungan ke Kepulauan Mentawai (1921). Jakarta: Yayasan Idayu.
Yongki Salmeno. 1990. “Kearifan Tradisional vs Perubahan Zaman.”Bulletin Denyut, Juli.

http://disporbudpar.kalselprov.go.id/guide/people-and-culture/sistem-kemasyarakatan (diakses pada


20 Desember 2012)

http://www.melawikab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=57&Itemid=77 (diakses
pada 20 Desember 2012)

http://metrotvnews.com/index.php/metromain/news/2010/08/14/26044/Menyelami-Kehidupan-Suku-
Dayak-di-Kalimantan-Tengah (diakses pada 20 Desember 2012)

http://protomalayans.blogspot.com/2012/06/suku-dayak-ot-danum.html (diakses pada 20 Desember


2012)

http://news.liputan6.com/read/58741/trunyan-bali-tanpa-ngaben (diakses pada 20 Desember 2012)

http://www.belitungkab.go.id/mod_sosbud.php?id=penduduk (diakses pada 20 Desember 2012)

http://www.riauheritage.org/2011/11/seni-budaya-melayu-riau-tradisional-dan.html (diakses pada 20


Desember 2012)

http://irdasyamsi.files.wordpress.com/2012/05/kebudayaan-melayu-riau.pdf (diakses pada 20


Desember 2012)

http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/06/mengupas-sejarah-dan-makna-tari-tor-tor (diakses
pada 20 Desember 2012)

http://kebudayaankesenianindonesia.blogspot.com/2012/06/suku-batak-toba-di-provinsi-
sumatera_1739.html (diakses pada 20 Desember 2012)

Anda mungkin juga menyukai