Anda di halaman 1dari 28

Sejarah dan Kebudayaan Tidung di Kabupaten

Malinau1
Martinus Nanang2

Walaupun penelitian ini difokuskan pada etnik Tidung yang bertempat tinggal di
Kabupaten Malinau, dalam kenyataannya tidaklah mungkin memahami kebudayaan mereka
dengan membatasi diri pada kawasan Malinau saja. Sejarah Tidung mencakup kawasan yang
luas di Kalimantan Timur bagian utara, Sabah, dan Sulu di Filipina Selatan.
Laporan ini diawali dengan pembahasan mengenai “common etnohistory” (sejarah yang
saling berkaitan) antara kelompok-kelompok anak suku Tidung dalam konteks keseluruhan
yang mencakup kawasan yang dalam bahasa Inggris disebut “Northeastern Borneo”
(Kalimantan Bagian Utara yang meliputi Kalimantan Timur dan Sabah) dan Sulu di Filipina
Selatan. Sesudah itu baru dilihat secara lebih khusus tentang masing-masing etnik Tidung di
Kabupaten Malinau, khususnya tentang populasi, asal-usul, bahasa/linguistik dan dialek, mata
pencarian, pranata sosial, religi dan agama, bentuk-bentuk kesenian, upacara adat, serta
artefak dan ekofak sejauh ada.

I. Sejarah Umum Tidung

Pada bagian ini diuraikan sejarah umum yang memperlihatkan kaitan akar historis Tidung,
termasuk hubungan sejarah mereka dengan Sabah dan Sulu.3 Kajian sejarah dan etnolinguistik
digunakan sebagai landasan untuk membuat pengelompokan suku ini.

1.1. Etnonimi Tidung

Latar belakang historis yang kabur dari etnik Tidung menimbulkan pertanyaan bagi
banyak orang, tak terkecuali ahli sejarah. Kekaburan latar belakang ini menimbulkan
kebingungan mengenai identitas dan nama suku (etnonimi) Tidung.
Orang Tidung menyebut nama etnik mereka sebagai “Tidung”, yang berarti “bukit atau
gunung” (Sellato 2001:21). Beberapa sub-etnik menyebut “Tideng” atau “Tidong.” Perbedaan
bunyi vokal itu tidak menimbulkan masalah karena pada beberapa sub-etnik Tidung memang
biasa terjadi “pertukaran” vokal e/o/u. Ada juga versi yang kurang populer, yang menyatakan

1
Tulisan ini ditulis di Tokyo tahun 2009 dan telah diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Malinau pada Bab XIII dari buku berjudul “Sejarah Penyebaran & Kebudayaan Suku-suku di Kabupaten Malinau,
2008 (tahun anggaran). Dalam buku tersebut tidak dicantumkan nama penulis.

2Peneliti Center for Social Forestry (CSF) Universitas Mulawarman, Staf Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (FISIP) Universitas Mulwarman, dan Visiting Fellow, Graduate School of Agriculture and Life Sciences, Global
Forest Environmental Studies (GFES), The University of Tokyo.
3
“Sulu” adalah nama kesultanan di Filipina Selatan yang mencakup wilayah kepulauan Palawan dan Mindanao
bagian Selatan. Jaman sekarang Sulu adalah sebuah provinsi dengan otonomi khusus di wilayah Muslim di
Mindanao Selatan. Penduduk asli Sulu disebut orang “Suluk” atau “Tausūg”. Orang Suluk itulah yang jaman dulu
sering menyerang wilayah Tidung.

1
bahwa nama Tidung berasal dari seorang leluhur jaman dahulu bernama Aki Tidung. Namun
tidak diketahui apa pun mengenai keturunan dari Aki Tidung tersebut.
Penjelasan yang cukup menarik datang dari Tidung Malinau. Menurut ceritera leluhur
Tidung Malinau dahulu bersatu dengan orang Lundayeh di ulu sungai, dengan kepala suku
yang berpengaruh bernama Uvay Semaring. Mereka mendiami anak sungai Mentarang
(Sesayap Ulu) yang disebut Pa’ Tideng, yang berarti ‘pegunungan’ dalam bahasa mereka.
Nama etnik Tidung diperkirakan berasal dari persekutuan tersebut. Tidak pasti apakah Uvay
Semaring adalah nama seorang tokoh aktual atau sebuah tokoh legende. Namun namanya
sangat tersohor dan dikenal di kalangan Lundayeh, Tidung dan bahkan Brunei (Okushima,
download 2009). Ceritera ini dapat menjembatani jurang dalam pengucapan dan pengertian
mengenai etnonimi suku Tidung.

1.2. Sebaran Penduduk dan Sub-etnik

Jaman sekarang orang Tidung masih mendiami kawasan yang mereka kuasai sekitar tiga
abad lalu, yaitu Kalimantan Timur Bagian Utara yang membentang dari Nunukan di Utara ke
Bulungan di Selatan, sepanjang pantai Timur Sabah (Sandakan dan Tawao) dan Sulu bagian
Selatan seperti Sibutu, Simunul, dan Bangao. Di luar kawasan “tradisional” tersebut orang
Tidung juga dapat dijumpai di pantai Berau, Kutai Lama, Sangkulirang, Sangatta, dan Anggana.
Ada juga sejumlah migran Tidung yang mendiami Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil
di Teluk Jakarta.
Di Kuala Penyu Sabah Barat terdapat etnik Murut yang disebut Tenggara’ atau Tengara’.
Suku-suku tetangga mereka menganggap mereka sebagai turunan Tidung yang bukan Islam.
Bahasa mereka lebih dekat dengan bahasa Tarakan. Menurut cerita, Pulau Tarakan dulu
pernah disebut Tenggara atau Kampung Raja Tara(-k) (Hamzah 1998). Dalam wilayah yang
disebutkan di atas jumlah populasi Tidung bisa mencapai 70,000 jiwa. Jika Bulungan (yang
sudah tidak mengakui diri sebagai Tidung) dimasukkan dalam kelompok etnik Tidung, maka
populasi Tidung seluruhnya bisa mencapai lebih 100,000 jiwa (Okushima, download 2009).
Narasumber di Malinau mengatakan bahwa etnik Tidung terbagi dalam beberapa sub-
etnik, yang nama-namanya sesuai dengan daerah tempat tinggal mereka. Dengan demikian
ada sub-etnik Tidung Betayau (Sungai Betayau), Tidung Sekatak (Sungai Sekatak), Tidung
Sesayap (Tanah Tidung), Tidung Malinau (Malinau), Tidung Sembakung, Tidung Sebuku
(Nunukan), Tidung Sampurna/Kepatal (Sabah), Tidung Bengaweng, Tidung Ida’an, Tidung
Kelabakan (Tawao), Tidung Tarakan, dan Tidung Nunukan. Dasar pembagian ini adalah tempat
tingal geografis. Tetapi boleh jadi juga berdasarkan perbedaan bahasa khususnya dialek.
Perbedaan dialek adalah salah satu aspek yang perlu digali lebih mendalam untuk menguji
pembagian sub-etnik seperti di atas. Contoh kecil misalnya kata “ikan” disebut “pait” di Malinau
dan “kanon” di Tarakan; kain sarung berarti “ampik” di Malinau dan “gabol” di Tarakan. Di
bawah ini diuraikan lebih mendalam latar belakang historis dan dialek sebagai dasar
pengelompokan baru orang-orang Tidung yang tersebar tersebut.

1.3. Asal Usul


Menurut Okushima dalam sebuah cerita lisan (oral history) dikatakan bahwa nenek
moyang orang Tidung berasal dari lembah Kinabatangan dan sebagian dari Sipitang (Sabah
Barat), Talisayan (Mindanao), dan sempat menyebar ke Morotai (Halmahera). Pembuktian
historis mengenai asal usul tersebut sejauh ini belum ada. Namun hal itu mungkin saja benar
mengingat bahwa memang pada jaman kejayaan laut Kerajaan Brunei (sekitar abad ke 17-18)
2
orang Tidung menguasai perdagangan dengan Sulu, Sulawesi dan Morotai (Halmahera).
Menurut Nichol (1980). Kerajaan Brunei mengorganisir tentara-tentara Tidung di pantai Timur
dan tentara Bisaya di pantai Barat. Sampai akhir abad ke-18 orang Tidung masih memegang
hegemoni atas kawasan laut dan pantai Borneo Timur Laut (Forrest 1792:374).

1.4. Bahasa dan kelompok Linguistik


Orang Tidung yang mendiamai wilayah tradisional mereka umumnya berbicara Bahasa
Tidung. Banyak dari generasi baru, terutama migran di Kutai Kartanegara dan Teluk Jakarta,
tidak lagi menggunakan bahasa nenek moyang tersebut. Tentang pembagian kelompok
linguistik pada suku Tidung saya meringkas hasil studi dari Mika Okushima (Okushima,
download 2009) berikut ini.
Seperti dikatakan di atas, ahli linguistik berpendapat bahwa Bahasa Tidung berkaitan erat
dengan kelompok Murut (Lihat Hudson 1978:15; Wurm dan Hattori 1981; Regis 1989:446-448).
Umumnya orang Tidung memandang diri mereka sebagai orang Murut yang sudah menjadi
Islam. Namun demikian dengan memperhatikan variasi dialek, mungkin dapat dikatakan bahwa
orang Tidung terbentuk dari berbagai kelompok bahasa, bukan dari satu kelompok bahasa
saja. Orang Murut, terutama orang Murut di Serudong, Kalabakan, dan lembah Sembakung
sampai sekarang juga masih berbicara bahasa Tidung. Orang Murut dari daerah tersebut telah
memiliki sejarah relasi yang panjang dengan orang Tidung.
Studi tentang variasi linguistik terhadap Tidung sekarang agak terkendala karena orang
Tidung sendiri telah banyak bercampur dengan sesama mereka yang berasal dari kelompok
sub-linguistik yang berbeda-beda. Persebaran kelompok-kelompok (sub-) etnik Tidung mulai
terbentuk sekurang-kurangnya sejak 200 tahun yang lalu, sebagai akibat dari serangan-
serangan dari Sulu dan kerajaan/kesultanan lokal, dan juga setelah penjajahan Inggris. Juga
karena makin kuatnya sub-kelompok seperti Tarakan dan Bulungan yang mulai berekspansi
untuk mengontrol jalur perdagangan.
Menurut Okushima kesamaan dalam variasi dialek Tidung dengan Murut bisa dilihat dari
beberapa contoh. Misalnya, penggunaan huruf –g dan –d pada ujung kata: timug (air), liog/léag
(leher), muid/lemuid (meletakkan), alad/aad (sayap); Selain itu ada juga penggunaan vokal
(huruf hidup) yang dapat saling dipertukarkan di antara kedua kelompok suku, seperti
kaywon/keywon/kewon/kiwon: malam; atau awalan (prefix) seperti y-/i-/e yang ditambahkan
pada nama: I-Berayu di Tarakan. Beberapa kata yang cukup berbeda antara kelompok seperti
‘burung” dan “ikan” juga berasal dari Tenggalan atau Murut.
Okushima membagikan kelompok linguistik Tidung berdasarkan sifat-sifat linguistiknya ke
dalam tiga kelompok.

1) Kelompok Sesayap

Kelompok Sesayap terdiri dari Tarakan, Malinau, Betayau dan lain-lain. Menurut cerita
lisan kelompok ini berasal dari Sesayap Ilir. Dialek mereka mengandung homogenitas yang
tinggi dan kata-kata dasar cukup umum bagi orang Bulusu’, tetangga mereka di pedalaman.
Kemungkinan besar kelompok tersebut berasal dari wilayah Sabah. Namun mereka tidak lagi
mengingat “jaman Sesayap” tersebut. Cerita lisan dari Tidung Tarakan dan Malinau
menyatakan bahwa mereka merupakan keturunan Berayu (Berayuk, Benayuk) satu dari dari
kerajaan Tidung tertua. Mereka kemudian menyebar ke berbagai arah dan membangun
komunitas politik di kawasan pantai seperti Mandul, Tarakan, Nunukan, dan Bunyu. Pada
3
dasarnya wilayah politik di kawasan utara Borneo dimulai di daerah pantai, sehingga mereka
mempunyai kontrol atas produk-produk dari pulau-pulau yang lain.

a. Tarakan

Pada umumnya orang Tidung memandang Tarakan sebagai salah satu dari pusat politik
dan kebudayaan mereka, terutama karena pengaruhnya (hegemoni) yang panjang atas daerah
lain. Nenek moyang mereka pindah dari Sesayap ke Tarakan karena wabah penyakit. Nama
Tarakan diambil dari nama raja pertama I-Tara (atau I-Tarak), yang tidak lain adalah cucu raja
Berayu. Dipercayai bahwa orang Tidung sudah ada di sana sepanjang 26 generasi. Penguasa
Tarakan sering mengirim misi ke daerah-daerah tetangga seperti Sesayap, Kayan,
Sembakung, Nunukan dan bahkan Berau, Sulu, dan Sulawesi (Amir Hamzah 1998). Salah satu
misi adalah membangun koloni di muara Sungai Kayan melalui perkawinan dengan orang
Kayan. Kelompok campuran inilah (nanti akan kita lihat lebih jauh) yang membangun
Kerajaan/Kesultanan Bulungan.
Para bajak laut yang pada masa itu sering menyerang Sulu dan Mindanao kemungkinan
berasal dari Tarakan, atau kerabat dari orang Tarakan ini yang mendiami pulau-pulau lainnya.
Kekuatan Tidung tersebut dapat dikalahkan oleh serangan balik dari Sulu dan Magindanao.
Hilangnya kekuatan Tarakan berakibat serius bagi perekonomian karena perdagangan tidak
dapat dikuasai lagi. Mereka pun kehilangan lahan pertanian yang baik. Pada waktu yang sama
Bulungan memisahkan diri dari Tarakan dan kemudian menguasai daerah-daerah sekitarnya.
Kerajaan Bulungan berhasil mengusir para pedagang Sulu dan Melayu serta mulai memonopoli
hasil hutan dari wilayah pedalaman yang luas. Sebagai akibatnya, sejumlah besar orang
Tidung Tarakan mau tidak mau harus tinggal di Sembakung, Bulungan, Sebatik dan daerah lain
pada abad ke-19 dan abad ke-20.
Sampai sekarang dialek Tarakan masih menjadi lingua franca4 untuk semua kelompok
Tidung. Namun dialek Tidung Tarakan telah kehilangan beberapa ciri aslinya yang pada grup
lain masih dipertahankan, misalnya “glottal stop” dan pembedaan antara ‘r’ dan ‘l’. Nampaknya
ini karena adanya kontak yang panjang dengan Melayu, terutama orang Sulu dan Bajau.
Beberapa karakteristik leksikal5 dapat berfungsi sebagai ‘penanda’ bagi kelompok ini: tendulu
(tangan) disebut engon/engan pada kelompok Tidung lain, dan kemagot (kanan) disebut beget
pada group lain. Kata manuk (burung) di Tarakan disebut pempulu (‘) di Sebatik dan
Kalabakan.

4
“Lingua Franca” adalah bahasa yang dipakai bersama oleh orang-orang yang tidak berasal dari satu
bahasa ibu. Kata lain dari lingua franca dalam bahasa Inggris adalah “vehicular language” yang berbeda
dari “vernacular language.” “Vehicular language” adalah bahasa yang dipakai melampaui batas-batas
komunitas aslinya. Dalam hal ini sebagai lingua franca, maka dialek Tarakan juga dipakai dalam
komunikasi kelompok Tidung lainnya.
5
“Leksikal” (lexical/lex-i-cal) berarti tentang atau berkaitan dengan kata-kata atau kosa kata dari suatu
bahasa dan dibedakan dari tatabahasa dan kontruksi bahasa tersebut.

4
b. Malinau

Secara leksikal dialek Malinau mirip dengan dialek Tarakan. Namun latar belakang
sejarah Malinau cukup berbeda dari sejarah Tarakan. Leluhur Tidung Malinau juga berasal dari
kerajaan Berayu, namun rajanya adalah keturunan bangsawan Kutai. Orang Malinau kemudian
pindah ke Bunyu dan Nunukan sebelum akhirnya kembali ke ilir Sesayap. Para pemimpin
mereka menekankan perlunya perkawinan dengan Tarakan, dan kelompok Tidung lainnya yang
muncul di Sesayap seperti Bengawong (Amir Hamzah 1998; Sellato 2001; Okushima 2002).
Wilayah kekuasaan Malinau lebih kecil dari Tarakan, dan kemungkinan pernah berada di
bawah kekuasaan Tarakan. Perbedaan penting antara keduanya ialah bahwa Tidung Malinau
berhasil mengelak dari kekuasaan Bulungan dengan memindahkan pusat politik mereka ke
pedalaman dan bersekutu dengab suku-suku pedalaman di sana, khususnya untuk melindungi
sarang burung (Sellato 2001:24-29). Lebih jauh tentang Tidung Malinau akan dibahas pada
bagian kedua tulisan ini.

c. Betayau dan lain-lain

Tentang Tidung Betayau masih banyak yang harus digali karena informasi tertulis saat
ini masih sangat terbatas. Kosa kata mereka mirip dengan Tidung Tarakan dan Tidung Malinau.
Namun mereka menggunakan ucapan yang khas dengan menggunakan vokal setengah
tertutup melalui tenggorokan. Tidung Betayau dipercaya merupakan ‘cabang’ dari Tidung
Tarakan, namun mungkin sekali bahwa mereka juga merupakan perpaduan dengan suku-suku
lainnya. Sekarang sebagian besar dari mereka tidak lagi mendiami wilayah tradisional mereka
di Sembakung dan Sebuku.

2) Kelompok Sembakung-Sebuku

Kelompok Sembakung-Sebuku mencakup Bengawong, Sumbol, dan Dengusan, dan


lain-lain. Berbeda dari kelompok Sesayap di atas, kelompok ini merupakan penghuni kawasan
pedalaman atau bisa disebut Tidung Pedalaman. Mereka tidak berasal dari kawasan Sungai
Sembakung dan Sungai Sebuku, namun lebih dari Utara yaitu daerah Kinabatangan, Tawau
dan Labuk. Menurut cerita mereka datang ke lembah Sembakung dan Sebuku untuk mencari
hasil hutan, terutama sarang burung. Kedua daerah tersebut telah menjadi pusat perdagangan
pada akhir abad ke-18 (Dalrymple 1793:529; Hunt 1837:29).
Pada jaman kejayaannya dulu, demikian cerita lisan, para pemimpin Tidung mempunyai
ikatan yang erat sekali dengan bangsawan Sulu. Mungkin hal itu disebabkan ekpansi Sulu ke
wilayah pantai Kalimantan (Borneo) bagian utara pada paruh kedua abad ke-18. Namun tidak
lama sesudah itu Kerajaan Bulungan juga melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah tetangganya
yang juga mencakup lembah Sembakung dan Sebuku. Akibatnya, daerah pantai Kalimantan
bagian utara mengalami penurunan jumlah penduduk (depopulasi) secara drastis pada abad
ke-19. Orang-orang Tidung dari Sembakung dan Sebuku mengungsi ke Tarakan, Nunukan,
Tawao, Kinabatangan, Labuk, Kutai, dan bahkan ke kepulauan Sulu di Filipina.
Sejumlah kata dasar yang dipakai oleh kelompok Tidung ini mempunyai kesamaan
dengan (atau berasal dari) suku Murut (Tenggalan), Sungai, Idahan, dan Kadazan di Sabah
Timur. Bunyi ucapan mereka agak lembut dan agak kurang jelas di banding dengan kelompok
linguistik Sesayap. Bunyi ucapan konsonan (huruf mati), terutama ‘l’ tidak nampak: daan (jalan)
pada kelompok lain disebut dalan/jalan),dan uun (orang) disebut ulun pada kelompok lain.
5
a. Bengawong

Tidung Sembakung disebut Bengawong atau Bengaweng, Bengawang. Menurut cerita


lisan mereka pernah mendiami daerah antara Tawao dengan Teluk Davel seperti Kalumpang
dan Pegagau. Gangguan dari Sulu mendorong mereka pindah ke Sembakung di desa Atap
sekarang. Sebagian dari mereka meneruskan perjalanan ke Sesayap Ilir termasuk kampung
Tidung Pala. Faksi lain yang tinggal di anak sungai Sesayap dulu dikenal sebagai kelompok
yang paling kuat sesudah Tarakan. Namun kegiatan sebagai bajak laut menyebabkan mereka
mendapat serangan dari Bulungan dan sekutunya. Mereka yang selamat melarikan diri ke
Tarakan, Tawao (Apas-Balung dan Kalumpang), Sandakan (Beluran, Labuk, dll.), Kutai (Kutai
Lama, Sangkulirang, Sangatta, Anggana, dll.), serta berbaur dengan orang Bajau dan Melayu
(Darmansyah dkk 1980:18). Ada juga orang Bengawong migran yang tetap tinggal di
Sembakung dan berbaur dengan migran Tidung lainnya yang berasal dari Tarakan dan Sebuku
(Okushima 2002:152-153, 161). Sebagian dari orang Bengawong yang dulu pindah ke Kutai
dan Tarakan akhirnya pindah ke Sabah di bawah kekuasaan kolonial Inggris, bergabung
dengan kerabat yang lebih dulu tinggal di sana. Aji Pati (Pangeran Adipati) adalah tokoh asli
Tidung yang terkenal di Labuk pada jaman kolonial. Ia berasal dari kelompok Tarakan yang
bermigrasi ke sabah pada sekitar 1894. Sekitar 1879 ada lagi kelompok yang kembali dari
Tawao ke Sembakung di mana mereka secara langsung dikontrol oleh Kesultanan Bulungan.
Jaman sekarang orang Bengawong berdiam terutama di Sembakung, Tarakan, Apas,
Indrasabah, Beluran-Labuk, Sandakan, dan Segama. Dalam jumlah kecil ada juga yang
berdiam di kawasan pantai Berau dan Kutai.
Karena permusuhannya dengan Bulungan seperti diceritakan di muka, orang
Bengawong memiliki hubungan cukup erat dengan Sulu dan Tarakan. Perbedaan leksikal
mereka dapat dilihat pada contoh berikut: angkan (makan) pada kelompok Tidung lainnya
disebut ngakan, engtangi (menangis) tumangi di group lain, anggay/inggay (memberi) di lain
grup ngitak/enggitak.

b. Sumbol, Dengusan, Kulamis

Tidung Sebuku agak kurang dikenal karena jumlah populasinya yang kecil. Hanya
sedikit rekaman tentang kata-kata mereka dan dikategorikan termasuk sub kelompok
“Nonukan” atau Nunukan (Wurm dan Hattori 1981). Ini disebabkan banyak dari mereka yang
berpindah dari Sebuku ke Pulau Nunukan, persis di seberang muara Sebuku.
Tidung Sebuku dapat dikelompokkan dalam tiga sub-kelompok dan diberi nama
menurut anak sungai tempat tinggal mereka, yaitu Tidung Sumbol (Sumbel, Sembol),
Dengusan (Dangusan), dan Kulamis. Kelompok ini pernah diserang oleh Bulungan lalu tersebar
ke Tarakan, Sembakung dan Labuk pada akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19. Orang
Kulamis juga lari ke Sembakung. Sebagian dari orang Sumbol dan Dengusan bermigrasi ke
Labuk dan berbaur dengan orang Bengawong. Sebagian dari orang yang sebelumnya pindah
dari kampung Sumbol ke Tarakan karena takut akan serangan Bulungan, kembali lagi ke
Sebuku setelah situasi dianggap tenang; sementara lainnya bermigrasi ke Nunukan dan Tawau
Barat. Setelah Perang Dunia II, sebagian orang Tidung Labuk (yaitu Sumbol, Dengusan dan
Bengawong) bermigrasi sampai di Segama. Pada jaman banjir kap (logging boom) akhir 1960-
an makin banyak orang orang dari Labuk yang berpindah ke kawasan kota seperti Beluran dan
Sandakan.

6
Hingga kini kelompok Sebuku masih ada di Sembakung, Sebuku, Nunukan, Kalabakan,
Merotai, Batu Tinagad, Segama, Beluran-Labuk, Sandakan dan beberapa tempat lain. Kepala
suku Tidung Sebuku diyakini berasal dari bangsawan Sulu sebelum dikalahkan oleh Bulungan,
mirip dengan cerita Bengawong di muka. Sesudah itu orang Tidung Sebuku berada di bawah
kekuasaan sultan-sultan Bulungan pada jaman kolonial Belanda.
Pada jaman dulu kemungkinan sekali ada perbedaan fonetik dan leksikal antara
kelompok Sumbol, Dengusan dan Kulamis. Tetapi sekarang nampaknya terjadi asimilasi yang
mendalam antar kelompok-kelompok itu. Contoh berikut mengindikasikan percampuran antara
Labuk Sumbol dan Dengusan: wencey (baik), bais di kelompok lain; kesoy/kesey (suami),
delaki/idaaki di kelompok lain; pasig (pasir), agis di kelompok lain; buduk (keladi), malaw/maaw
di kelompok lain. Ada juga konsonan frikatif c (t∫) dan j (dЗ) untuk menggantikan s dan d.
Contohnya, encaduy (berenang) menjadi insaduy/ansaduy, enyucud (menggosok) menjadi
enyunsud/insusud), lajum (tajam) menjadi ladom, dan ijun (kamu) menjadu adun/dudu. Bentuk
bunyi konsonan ini hilang di kalangan Tidung Sumbol dan Dengusan. Kemungkinan karena
mereka mendapat pengaruh dari kelompok Tidung yang lain.

3) Kelompok Bulungan

Pengelompokan etnik Bulungan sebagai salah satu dari kelompok etnik Tidung
membuat secara teoretis tidak mungkin untuk memisahkan pembahasan sejarah kelompok ini
dari pembahasan tentang etnik Tidung secara keseluruhan.
Seperti sudah dilihat di muka masih belum jelas apakah orang Tidung berasal dari
kelompok yang berbahasa Kayan. Menurut cerita lisan, orang Bulungan (juga disebut Melayu
Bulungan) berasal dari etnik Tidung dan juga Kayan, tetapi juga dari kelompok lain seperti
Bulusu’, Tenggalan, Bajau, Sulu, Berau, dan kelompok Melayu lainnya. Orang Bulungan sendiri
lebih menekankan bahwa leluhur mereka adalah orang Kayan (lihat Genealogi raja-raja
Bulungan pada Gambar 4). Kelompok etnik Kayan sendiri adalah sebuah masyarakat yang
terstratifikasi di bawah kepemimpinan adat yang kuat. Mereka berpindah ke daerah pantai lebih
belakangan setelah etnik Tidung. Orang Kayan ditakuti karena kehebatannya dalam perang
dan “mengayau” (head hunting). Mereka menguasai sumber daya alam, termasuk sarang
burung yang bernilai tinggi. Orang Tidung Tarakan setelah mendapatkan dukungan dari
kelompok Kayan yang kuat, akhirnya bisa menguasai Bulungan. Sungai Kayan diberi nama
demikian mengikuti nama suku Kayan yang perkasa tersebut (Okushima 1999:76-86).
Setelah terjadinya hubungan dengan orang Kayan melalui perkawinan, raja-raja
Tarakan mengirim kerabat ke Bulungan sebagai panglima angkatan laut (Wira) untuk
melindungi wilayah itu. Pada jaman pemerintahan Wira Amir (Sultan Amiril Mukminin-1731-
1777) dan puteranya Sultan Alimudin (1777-1817), Bulungan membentuk kerajaan/kesultanan
sendiri dan memisahkan diri dari Kerajaan Tarakan. Pada waktu itu juga terjadi pertumpahan
darah di kesultanan Berau. Akhirnya, orang Bulungan menentukan sendiri silsilah
kebangsawanannya dan identitas etniknya, bukan lagi sebagai Tidung melainkan sebagai
“Bulungan,” keturunan dari bangsawan Kayan (Akbarsyah 1997:8-14; Amir Hamzah 1998;
Sellato 2001:17-19). Dengan terbentuknya identitas baru ini mereka harus membedakan diri
dari bangsawan Tarakan yang sebelumnya adalah “penguasa” atas mereka.
Menurut cerita lisan di kalangan orang Bulungan sendiri terdapat beberapa faksi yang
saling memperebutkan hegemoni. Tentara Kayan berbasis di beberapa benteng di Kayan Ilir
(Beratan, dll.), sedangkan orang Sulu di bawah pimpinan seorang Arab menguasai pantai utara
(Salim Batu). Bangsawan Melayu lainnya juga membangun kampung di muara Sungai Kayan
7
(Tanjung Palas, dll.). Namun sejak cucu Wira Amir, Sultan Kaharudin, ditetapkan sebagai
penguasa oleh Pemerintah Belanda pada pertengahan abad ke-19 (1866-1873)6, Tanjung
Palas di mana terletak istananya secara otomatis menjadi ibu kota kerajaan Bulungan. Pada
waktu itu kebanyakan penduduk Tanjung Palas adalah orang Berau yang merupakan keluarga
atau pelayan dari ibunda Sultan Kaharudin. Menurut Amir Hamzah (1998) hal ini menjadi
alasan mengapa orang Berau lebih suka menekankan asal usul Kayan mereka, sebab konon
Kaharudin mengalahkan wilayah-wilayah yang bertetangga dari Sajau ke Tawao dengan
kekuatan dominan dari pasukan Kayan. Situasi tersebut menyebabkan depopulasi serius pada
abad ke-19, dikenal sebagai “Ayau dari Segai.”
Jadi bukan saja orang Tidung, melainkan juga Melayu Bulungan, mempunyai asal-usul
(sekurang-kurangnya sebagian) dari orang Kayan dan orang Bulungan menganggap penting
garis keturunan ini untuk membedakan (meneguhkan identitas) diri mereka dari faksi musuh
mereka, yaitu Tidung Tarakan serta kekuasaan lain seperti Sulu dan Brunei.

Karakteristik Linguistik Kayan

Latar belakang historis seperti di muka menjadi alasan mengapa dialek Bulungan
memuat istilah-istilah atau kata-kata Melayu dan Kayan, walaupun secara leksikal tetap saja
merupakan variasi dari Bahasa Tidung. Contoh, tinay dan butit (perut). Perhatikan
perbandingan kata-kata dalam Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Perbandingan kata dan leksikon dalam dialek Tidung, Bulungan dan Kayan
Indonesia Tidung Bulungan Kayan
mandi mendju, mendiu men-dus doh (B)/du: (K)
perut tinay tinay, butit butit (K,B)
babi hutan bakas babuy bavuy (K,B)
saudara ipar iras sango hango (K,B)
dingin saluy sengam sengam (G), hangam (K,B)
datang kesaboy, mulem m-atang atang (K,B), téang (G)-mencapai
mulut kabang beba ba’ (K,B)/mawa’, guwa, (G)
sakit duwal, sedaw pedas perah (K,B)
apa? sey, ken nun nun, nawn (G,K,B)

Sumber: Okushima..: 31. (G: Ga’ay, K: Kayan, B: Bahau).

Kata-kata Kayan seperti pada Tabel 1 di mirip atau sama dengan beberapa kata Bahay
dan Ga’ay, serta sub-kelompok Bahau di Berau, Bulungan dan Sesayap Ulu (kawasan Malinau)
seperti Hopan (Uma’ Apan), Ngorek, Pua’, Merap, Ga’ay Gung Kiua:n (Seloy), Ga’ay Long
Baun, dan beberapa kelompok Ga’ay di kawasan DAS Kayan dan Kelai. Mereka itulah
penduduk yang awal yang mendiami kawasan tersebut, dari pada kelompok Kayan yang
bermigrasi ke Kutai (Guerreiro 1985, 1996; Sellato 1995; Okushima 1999). Sudah pasti bahwa
mereka ini mengalami kontak dengan orang-orang dari Kayan Ilir seperti Tidung, Besulu’,
Tenggalan, Brunei dan Sulu. Rupanya kelompok pantai , yang oleh orang Kayan disebut

6
Sultan Amiril Kaharudin dua kali menjadi raja Bulungan: 1817-1862 sebagai raja ketiga, dan 1866-1873
sebagai raja kelima. Penempatan kedua ini adalah rupanya yang menurut Okushima ditentukan oleh
Pemerintah Kolonial Belanda. Tetapi menurut Yayasan Museum Kesultanan Bulungan (2004) ini untuk
mencegah Datu Alam menjadi Sultan.

8
“Betanéng/Petaning”karena berdiam di dua delta Petaning, berhubungan dengan Tidung lama
yang berasal dari Tarakan dan daerah lain.
Beberapa pemimpin terkenal dari silsilah (genealogi) Bulungan, seperti “Lemlisuri”
(Lemlaisuri) dan “Lahai Bara” (Akhbarsyah 1997:9) adalah bangsawan Kayan yang diberi nama
mengikuti leluhur yang legendaris dari Hopan, Ngorek dan lain-lain (Uréy Lemléy, lemléy:
sejenis pohon; Lahay Bara:, bara:= berbicara, mengucapkan mantera). “Belalinejep”, dewa
halilintar dalam mitos asli juga ditemukan dalam mitos Merap (Belaléy’ Laye: Tegkoue, belaléy=
halilintar).
Dewasa ini Melayu Bulungan berdiam di dan sekitar Bulungan, khususnya Kayan,
Malinau, Tarakan, Kalabakan dan Tawau. Mereka itu adalah keturunan dari misi Bulungan
yang dikirim oleh sultan untuk menguasai wilayah-wilayah tersebut pada akhir abad ke-19.
Orang Tidung juga dapat ditemukan di daerah pantai Bulungan seperti di Antal dan Salim Batu.
Orang Tidung Bulungan berbicara dengan dialek yang hampir sama dengan dialek Tarakan
dan Malinau, kendatipun beberapa dialek berasal dari Melayu Bulungan, seperti kata bekincé’
(memasak) pada Tidung lain disebut insubon/entanuk.
Selain ketiga kelompok Tidung yang sudah diuraikan di muka, ada juga kelompok
Tidung lain seperti yang tinggal di Teluk Jakarta.7 Juga sebagian Melayu Berau mempunyai
asal usul dari Tidung, walaupun dialek mereka lebih dekat ke dialek Brunei sebagai akibat dari
perkawinan. Mengenai mereka ini belum banyak informasi yang dapat dikumpulkan.

II. Etnik Tidung di Kabupaten Malinau

2.1 Populasi

Di Kabupaten Malinau orang Tidung terkonsentrasi di Malinau Kota, Malinau Ulu dan
Malinau Seberang. Jumlah populasi orang Tidung di Kabupaten Malinau secara tepat tidak
diketahui, sebab tidak ada catatan statistik atau hasil sensus. Diperkirakan jumlahnya mencapai
9000 jiwa (jumlah pasti tidak diketahui) dan di seluruh “kawasan historis Tidung tradisional”
seperti dijelaskan di muka bisa mencapai 70,000 jiwa.8 Sejarah Tidung diwarnai oleh banyak
migrasi. Hampir semua raja Tidung membawa rakyatnya untuk berpindah dengan membuka
perkampungan baru (Gambar 2). Orang-orang Tidung yang sekarang berdiam di Malinau pun
adalah “hasil” dari perpindahan yang dilakukan oleh leluhur mereka, baik dari kelompok Berayu
maupun kelompok Sesayap/Menjelutung.

2.2 Asal-usul Tidung Malinau

Menurut pemahaman penulis berdasarkan informasi yang tersedia lewat wawancara


dengan beberapa sumber di Malinau, orang Tidung Malinau terdiri dari dua kelompok dilihat

7
Penduduk Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta (termasuk orang Tidung) lebih dewasa ini lebih membedakan diri
mereka sebagai orang pulau yang bukan orang Darat (Jakarta).

8Jumlah di ini adalah perkiraan seorang sumber Tidung. Sumber lain memperkirakan jauh lebih tinggi, yaitu sekitar
15 ribu jiwa orang Tidung berdiam di wilayah Kabupaten Malinau.

9
dari asa-usul mereka. Keduanya adalah kelompok Berayu yang banyak mendiami Malinau Kota
dan kelompok Sesayap yang lebih banyak berdiam di Malinau Seberang. Dalam pembahasan
berikut kita akan melihat sejarah migrasi kedua kelompok tersebut hingga sampai ke dan
menetap di Malinau. Masing-masing kelompok adalah keturunan dari dua kerajaan Tidung yang
terpisah, yakni Kerajaan Berayu dan Kerajaan Menjelutung. Tentang istilah “kerajaan” atau
“raja” rupanya perlu diberikan catatan khusus.
Setiap “raja” memindahkan “pusat kerajaan” begitu mereka diangkat menjadi raja dan
setelah ayah mereka meninggal dunia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa yang disebut
“kerajaan” bukanlah sebuah monarki dalam konsep yang umum kita kenal (dengan istana,
mahkota dan “regalia” atau simbol-simbol kekuasaan lainnya), melainkan lebih merupakan
sistem kepemimpinan suku yang pada mulanya mungkin cukup kecil cakupannya, walaupun
akhirnya juga meluas sampai ke suku-suku di luar Tidung. “Raja” adalah kepala suku (tribal
leader) atau pemimpin komunitas (community leader) tersebut. Itulah sebabnya kerajaan itu
menjadi “mobile” atau mudah untuk dipindah-pindah.9

1) Asal-usul Kelompok Berayu10

Kelompok Malinau Kota memiliki leluhur dari Kerajaan Berayu (di Tanah Merah,
Kabupaten Tana Tidung sekarang) dengan raja pertamanya yang bernama Kundung, yang
diyakini memiliki kaitan kekerabatan dengan Kerajaan Kutai. Tetapi “Kerajaan Tideng” yang
sebenarnya dimulai sejak putera Kundung bernama Bagei menjadi raja. Menurut cerita lisan
Raja Bagei berhasil mengamankan wilayah terhadap gangguan eksternal (seperti serangan
bajak laut dari Sulu), tetapi dibenci oleh rakyat karena kekejamannya. Karena itu dia hendak
dibunuh oleh adiknya sendiri Guppan yang
dengan cara halus memasukkannya ke
dalam peti mati (lungun) dan setelah diikat
dilabuhkan ke sungai, sampai ke laut.
Konon ceritanya Bagei selamat dan
menetap di tempat lain.
Kerajaan Tidung di bawah Guppan
juga sering mendapat gangguan eksternal
dari perompak-perompak Sulu (Filipina). Di
lain pihak Guppan berhasil membangun
persahabatan dengan Brunei berkat
kunjungan dari Datuk Lancang dan
Laksamana Tantalani. Guppan juga
mendapat kunjungan rombongan dari
Majapahit.11 Kerajaan Tideng berkali-kali Foto 1. Lokasi makam Panembahan Alamsyah di Sebawang
pindah seiring dengan pergantian rajanya. (Koleksi Aji Mustika Jaya)
Guppan memindahkan pusat kerajaan ke

9
Dalam konsep monarki yang besar, istana adalah representasi kekuasaan dan tidak jarang menjadi representasi
kolektif (collective representation), identitas kebanggaan rakyatnya. Tetapi istana seperti itu tidak ada dalam sejarah
raja-raja Tidung.
10
Isi sub-judul ini adalah ringkasan dari manuskrip karangan Abdul Muthalib dan Aji Mustika jaya (2005), “Sejarah
Tanah Tidung dari Masa ke Masa,” hlm. 3-37 (tidak diterbitkan). Tetapi istilah “Panamban” penulis ganti dengan
“Panembahan” (Panembahan) sesuai dengan istilah yang dipakai dalam manuskrip Kaharudin bin Angkai (1936).
11
Kerajaan Majapahit berdiri sekitar 1293-1500. Dengan demikian, meskipun tidak ada catatan tahun dari Kerajaan
Tidung, dapat diperkirakan bahwa kerajaan tersebut sudah berdiri selambat-lambat abad ke-16.

10
Liyu Maye (Selat Besar) di Muara Sungai Tidung. Pengganti Guppan, Raja Lambat,12 yang
disebut Pangeran bertanduk, anak Raja Bagei, memindahkan pusat kerajaan ke Bekilan
dengan alasan keamanan. Tetapi segera mereka pindah lagi dari Bekilan ke Bebatu Supa
karena Bekilan dianggap tidak cocok untuk pertanian.
Putera Raja Lambat, Panembahan Mas Mangku, yang menggantikan ayahnya sebagai
raja, memindahkan lagi pusat kerajaan ke Selidung atau Penagar/Pagun Panagar). Lokasi itu
pun sering mendapat gangguan dari bajak laut Sulu Filipina. Karena itu raja memerintahkan
dibuat pagar keliling kampung sebagai benteng pertahanan. Itulah sebabnya tempat itu disebut
Penagar. Rupanya pada jaman itulah Islam mulai masuk, sehingga Panembahan Mas Mangku
sendiri memeluk Agama Islam.13 Panembahan Mas Mangku setelah wafat diganti oleh
puteranya sendiri bernama Panembahan Alamsyah atau Panembahan Sebawang. Kali ini
pusat kerajaan dipindahkan dari Penagar ke Sebawang karena alasan keamanan seperti
sebelumnya.
Panembahan Alamsyah menikah dengan puteri Pangeran Indra (Yapan) dari Kerajaan
Kepatal. Pernikahan tersebut kemudian hari menjadi asal usul penguasaan sumber daya alam
berupa sarang burung oleh “dinasti Berayu”, karena Pangeran Indra menyerahkan seluruh
sarang burung miliknya yang membentang dari Gong Sulak dan sekitarnya sampai ke daerah
Langap di Sungai Malinau. Prasasti penyerahan tersebut masih terdapat di pintu gua Kupan
dengan tulisan yang sudah kabur.
Pengganti Panembahan Alamsyah adalah puteranya sendiri Mangku yang diberi gelar
Panembahan Mangku Bumi. Sama seperti raja-raja terdahulu Mangku juga memindahkan
lokasi kerajaan, namun dengan alasan berbeda yaitu untuk memudahkan hubungan ke luar.
Sebawang dirasa cukup terpencil dan tidak mudah untuk berhubungan dengan pihak luar.
Kerajaan pun berpindah ke Tideng Pale (Gunung Tawar).
Panembahan Alamsyah digantikan oleh puteranya sendiri yang bernama Panembahan
Aji Kaharudin. Namun raja ini menikah di Bulungan dan tidak kembali ke Tidung Pale hingga
akhir hayatnya. Sebagai penggantinya diangkatlah Samsi Alam (Panembahan Tuga), anak
Pangeran Basar bin Rangki keturunan
Kepatal. Kemudian hari kedudukan
Panembahan Tuga sebagai raja
menimbulkan kekuatiran bagi yang
mengangkatnya dulu, yaitu Aji Dayang.
Rupanya Aji Dayang tidak rela
Panembahan Tuga menjadi “besar.” Maka,
dengan taktik yang cukup halus untuk tidak
menimbulkan perselisihan dengan
Panembahan Tuga, putera Panembahan Aji
Kaharudin yang bernama Hasan di
Bulungan dipanggil ke Tideng Pale.
Demikianlah dia lalu diangkat menjadi raja
Tidung dengan gelar Panembahan Hasan
Foto 2. Makam Panembahan Raja Tua, Kuala Malinau atau Panembahan Pamusakan.
(Koleksi Aji Mustika Jaya) Sepeninggal Panembahan Hasan,
tongkat kepemimpinan kerajaan Tidung

12
Dalam manuskrip yang ditulis oleh Kaharudin bin Angkai (1936) ada nama raja “Rambat” ang dikatakan berasal
dari Banjar. Pengganti Rambat adalah Amas Mangku. Hal ini menunjukkan bahwa “Rambat” sebenarnya adalah
“Lambat”, dan “Amas Mangku” sama dengan “Mas Mangku” sebagaimana tertulis ditulis oleh Muthalib dan Jaya
(2005). Tetapi mengapa asal usul Raja Rambat (dari Banjar) berbeda dengan Raja Lambat (anak Raja Bagei dari
Berayu)? Tidak mungkin itu sekedar perbedaan bunyi ucapan (r dan l). Jawabannya masih perlu ditelusuri.
13
Penyebaran Islam ke Kalimantan Timur bagian utara diperkirakan terjadi pada abad ke-11, dibawa dari
Semenanjung Malaka (Tumasik) melalui Brunei, atau dari Goa (Makassar) melalui Kutai.

11
dipegang oleh Hanapiah, suami Aji Ratu yang tidak lain adalah puteri Panembahan Hasan.
Raja yang diberi gelar Panembahan Raja Tua tersebut adalah putera Pangeran Muda dari
Berau. Pada masa itulah pusat kerajaan berpindah dari Tideng Pale ke Setiud dan Sawang
Pangku/Kuala Bengalun, dan akhirnya ke Kuala Malinau/Pagun Alung Malinau/Pulau Sapi,
Mentarang sekarang.
Panembahan Raja Tua dikenal sebagai raja pemersatu dan karena itu juga berhasil
menjaga keamanan wilayah dari serangan “ayau” (gium utok: mencari kepala, ngalap utok:
mengambil kepala) ataupun peperangan. Para kepala suku menyepakati “Perjanjian Sebila”
yang diikrarkan dengan mengisap darah. Suku-suku yang dipersatukan adalah yang disebut
“lun daud” (orang ulu) yaitu Lundaye di Sungai Tidung, Lun Tubu di Sungai Tidung dan Sungai
Tubu, Lun Abay di Sungai Malinau dan Lun Bau yang berasal dari hulu sungai Kayan.
Persahabatan juga diikat dengan Suku Bau yang datang dari Sungai Bahau/Tanah Buwa di ulu
sungai Kayan diijinkan berdiam di daerah Langap hulu sungai Malinau. Raja Tua juga menjalin
persaudaraan dengan kepala suku Abay yang pindah dari Semamu ke Long Gita, serta dengan
kepala suku Punan Tubu dan Suku Abay yang mendiami Sentaban dan kepala suku Abay dari
Lidung Kemenci.
Sepeninggal Raja Tua tampuk pimpinan beralih ke anak keduanya yang bernama Sapu
dan diberi gelar Panembahan Raja Pandita.14 Raja Pandita memindahkan pusat kerajaan ke
Kuala Kabiran/Pagun Alung Kabiran15 (1887-1892) yang terletak di seberang Tanjung
Belimbing sekarang. Raja pandita adalah pemimpin terakhir keturunan Kerajaan Berayu yang
disebut “raja”, sebab penggantinya Panembahan Aji Kuning tidak lagi disebut “raja”, melainkan
“kepala kampung” atau “pembakal.”
Mengapa garis pemerintahan kerajaan berakhir dalam diri Raja Pandita? Sampai
dengan masa pemerintaan Raja Pandita Kerajaan Tidung belum tertaklukkan oleh Pemerintah
Kolonial Belanda. Sementara itu di Bulungan Belanda merancang rencana konspirasi untuk
menaklukkan Kerajaan Tidung. Siasat yang diatur adalah mengundang Raja Pandita ke
Bulungan untuk melakukan perundingan. Tahun 1892, dengan pengawalan Angkatan Perang
Belanda, Raja Pandita berangkat ke Bulungan untuk berunding dengan Sultan Bulungan16 dan
Asisten Redisen Belanda. Ternyata Raja pandita ditawan, diasingkan ke Batavia lalu ke Jepara.
Di sana dia menetap sampai akhir hayatnya.
Sepeninggal Raja Pandita Belanda mulai menginjakkan kakinya di Bumi Tidung, dalam
kerja sama dengan Kesultanan Bulungan. Kontrak politik antara Belanda dan Kerajaan
Bulungan yang sudah disepakati 12 November 1850 (diperkuat dengan perjanjian 20
November 1906), di mana kerajaan-kerajaan kecil “dipersatukan” oleh Kerajaan Bulungan
dengan dukungan Belanda, mulai berlaku.
Panembahan Aji Kuning yang sebagai Kepala kampung memimpin Tidung sesudah
perginya Raja Pandita, memindahkan kampung Tidung dari Kuala Kabiran ke Sebamben
(1903). Kampung inilah yang kini berkembang menjadi Malinau Kota. Ciri-ciri kota yang tertata
rapi sudah dibuat sejak 1910. Aji Kuning juga membangun cikal bakal masjid An-Nur sekarang,
yang dulunya bernama Masjid Jami’ Malinau. Kepemimpinan Panembahan Aji Kuning sebagai
Kepala Kampung Malinau Kota berturut-turut diteruskan oleh Aji Maki (Akiu), yang adalah anak
Aji Taruna cucu Panembahan Raja Pandita, kemudian oleh Abdullah dan Aji Kaharudin. Aji
Kaharudin diganti oleh Muhamad Udang (Aji Nata Jaya), Muhamad Untung (1962-1963), A.S.

14
Dalam manuskrip tulisan Kaharuddin bin Angkai (1936) namanya ditulis “Penambahan Radja Pendeta”
(Panembahan=Penamban; Pendeta=Pandita).
15
Pagun Alung Kabiran berarti Kampung Kuala Kabiran (pagun = kampung, alun= kuala/muara/long, “kabiran”
sejenis monyet berbulu panjang dan berekor panjang).
16
Dari catatan genealogi raja-raja Bulungan terlihat bahwa Sultan Bulungan yang berkuasa pada waktu itu adalah
Sultan Adzimudin (1831-1898).

12
Ibrahim (1963-1965), Sulaiman Abdullah (1965-?), Abdullah Atung, Ibnu Hayat, dan Abdul
Hamid Y.
Pada 11 januari 1942 pasukan Jepang mendarat di Tarakan dan sesudah itu memasuki
Malinau. Seperti diketahui tentara pendudukan Jepang sangat kejam. Maka rakyat Tidung pun
bercerai-berai menghindari kekejaman itu. Banyak dari mereka yang berpindah ke berbagai
daerah seperti hilir sungai Bengalun, Sembuak (sampai Sebalu), Pulau Sengangau, Pulau
Sapi, Tanjung Lapang, Liuk Bange, dan Tanjung Belimbing, dan tempat-tempat lain. Menurut
catatan pada manuskrip Muthalib dan Jaya pada April 1945 nyaris terjadi pembunuhan massal
terhadap warga Malinau saat warga dikumpulkan oleh tentara Jepang untuk menonton
pertunjukkan sandiwara di sebuah gedung tertutup. Tragedi itu tidak sempat terjadi karena tiba-
tiba ada empat buah pesawat tempur sekutu melintas di udara Malinau. Semua orang lari
kocar-kacir untuk menghindari kemungkinan serangan. Akhirnya 2 Mei 1945 tentara sekutu
membombadir Malinau, sehingga banyak rumah penduduk yang rusak dan terbakar. Namun
tidak terjadi korban jiwa karena penduduk sudah mengungsi sebelumnya. Jepang sempat
menembak jatuh satu pesawat sekutu. Reruntuhan pesawat tersebut masih ada sampai
sekarang .

Rupanya kedatangan sekutu menempatkan kembali Belanda pada kekuasaan baru.


Namun 17 Desember 1949 menjadi saksi berakhirnya kekuasaan tersebut. Pada hari itu Datuk
Muhamad bin Datuk Balindungan (Kiyai), Aji Kapitan, Aji Sariduin, dan Said Alwi menurunkan
bendera Belanda dan menaikkan bendera merah putih di bumi Malinau. Malinau resmi merdeka
empat tahun sesudah proklamasi kemerdekaan RI. Kenangan akan peristiwa heroik itu
diabadikan dengan tugu pahlawan sejak 1950.
Sejak Belanda menguasai wilayah Tidung, terutama karena sejumlah tanah milik warga
dikuasai oleh Belanda, maka sejak 1926 banyak orang Tidung yang menyebar (bermigrasi)
keluar Malinau Kota. Mereka ada yang ke Seluwing (Pelita Kanaan), Tanjung Belimbing,
Tanjung Lapang, Pulau Sapi, dan Kuala Sembuak. Yang pindah ke Kuala Sembuak antara lain
Abdurahman Bahamis dan Said Muhamad Sahab.

2) Asal-usul Kelompok Sesayap

Seperti disebutkan di muka, perpindahan ke Kuala Sembuak terjadi tahun 1926 diawali
oleh orang dari Malinau Kota. Sesudah itu makin banyak orang yang berpindah ke sana,
sehingga terbentuklah komunitas yang cukup besar, sehingga daerah itu pun dijadikan sebuah
kampung dengan nama “Pagun Malinau Sembial” (Kampung Malinau Seberang).
Yang berpindah ke sana bukan saja warga dari Sebamben, melainkan juga dari
Sesayap. Pada 1932 keluarga dari Sesayap bernama Abdul Samad (Pangeran Muda) bersama
Ujang Kamar mudik ke Semamben dengan maksud ikut berdiam di Kuala Sembuak. Atas ijin
dari Aji Kuning, mereka diijinkan tinggal di Kuala Sembuak. Tapi Ujang Kamar kembali ke
Sesayap.
Pangeran Bangsawan yang leluhurnya berasal dari Kerajaan Menjelutung (Injelutung),
yang letaknya dekat muara Sungai Sesayap sekitar akhir abad ke-13, menceritakan bahwa
orangtuanya mulai menetap di Kuala Sembuak tahun 1928. Dia lalu menceritakan secara
singkat riwayat Kerajaan Menjelutung sampai akhirnya banyak warga yang berpindah ke Kuala
Sembuak. Islam masuk Menjelutung dibawa oleh saudagar Arab bernama Syekh Mulki pada
abad ke-15. Amir Tajudin adalah raja pertama yang menganut Islam. Pada masa raja Baginda
II (pengganti Amir Tajudin) terjadi kepindahan ke Sesayap (di Kecamatan Sesayap II
sekarang). Pusat kerajaan kemudian dipindahkan ke Duri yang menjadi cikal bakal pusat distrik
di jaman Belanda.
Dari Duri orang-orang Tidung menyebar ke beberapa tempat lagi. Sebagian dari mereka
datang dan membuka ladang di Kuala Sembuak (Malinau Seberang) pada tahun 1928 di
bawah pimpinan Bahar alias Pangeran Bakti, ayah dari Pangeran Bangsawan. Sebagian lagi
pindah ke Tidung Pala, juga sekitar 1928. Kelompok lainnya kembali ke Sesayap. Selain itu ada
juga yang kembali ke lokasi Kerajaan Menjelutung lama, yaitu Pulau Belanak di ilir Sesayap.
13
Kerajaan Berayu di Kundung (I)
Pulau Mandul (Tanah
Merah sekarang) Dayang
Dandu Uvay Semaring
=

Limba (Raja Guppan Kenawai ?


Begei/Raja 4 mata
Kerajaan sering mendapat gangguan
Liyu Maye Guppan keamaman dari bajak laut Filipina,
Majapahit, dan mendapat kunjungan
persahabatan dari Brunei. Kafilah Brunei
Pindah ke Bekilan, Raja Lambat (Raja
di bawah pimpinan Datuk Lancang dan
lalu ke Bebatu Supa Bertanduk/anak Raja Panglima Laut Laksamana Tantalani.
Bagei)

Pindah ke Selidung Mangku (Panembahan Memeluk Islam


(Penagar/Pagun Mas Mangku) – anak
Penagar Raja Lambat

Pindah ke Sungai Alamsyah (Panembahan Aji Bini Pangeran


Sebawang (abad Alamsyah/Panembahan Surya
XIV) Sebawang)

Kawin dengan anak Pangeran Indra


Pindah ke Tideng Mangku (Panembahan (Yapan) dari Kepatal. Kelak Raja
Pale Mangku Bumi) Yapan menyerahkan seluruh
kekayaan sarang burung ke
Menikah dan Panembahan Alamsyah.
Panembahan Aji
menetap di Kaharudin
Bulungan sampai
akhir hayat
Samsi Alam
(Panembahan Tuga)

Panembahan Hasan
(Panembahan Pamusakan)

= = = Datuk
Aji Kuning = Aji Aji
Aji Dayang
(Bulungan) Hanafiah Mulya Peta Lulu Rindu Maulana
Dayang Ratu
(Panembahan (Bugis Bone) (Bulungan)
Raja Tua) anak
Pangeran Muda dari
Pindah ke Setiud, lalu ke “Perjanjian Sebila” yang mempersatukan suku-
Berau
Sawang Pangku/Kuala suku Lundaye, Lun Tubu, Lun Abay, Lun Bau
Bengalun, lalu ke Kuala
Malinau/Pulau Sapi/Pagun Raja Pandita ditangkap karena konspirasi raja
Alung (1776-1887) Sapu (Panembahan Raja Bulungan dengan Belanda. Beliau diasingkan ke
Batavia lalu ke Jepara.

Pindah ke Kuala Panembahan Aji Kuning Karena perjanjian politik antara Bulungan dan
Kabiran/Pagun Alung (hanya sebagai Belanda (12 Nov 1850 + 20 Nov 1906), kerajaan-
Kabiran (1887-1892) Pembakal/Kepala kerajaan kecil ditaklukkan di bawah Bulungan.
Kampung) Berakhirlah kerajaan Tidung ini dan pengganti Raja
Pandita hanyalah berpangkat Pembakal.

Perempuan
Laki-laki
= Kawin dengan

Sumber: Muthalib & Jaya, 2005 (manuskrip tidak diterbitkan)


14
Gambar 1. Silsilah raja-raja Tidung Keturunan Berayu beserta kejadian-kejadian penting
Nama tempat mereka sekarang adalah Desa menjelutung. Alasan kepindahan tidak
dirinci oleh sumber, namun kemungkinan sama dengan alasan migrasi Tidung Malinau Kota,
yaitu karena ingin menjauh dari Belanda.
Gambaran mengenai asal usul dan garis sejarah raja-raja yang merupakan leluhur dari
kelompok Malinau Seberang Kelompok Sesayap ini dapat dilihat pada Gambar 2.

2.3 Mata Pencarian


Menurut perkiraan sumber setempat (bukan berdasarkan survei) jenis-jenis mata
pencarian yang dijalankan oleh orang Tidung sekarang di Kabupaten Malinau meliputi: bertani
ladang (50%), bertani sawah (25%), berkebun (rotan, kakao, buah - 15%), menangkap ikan 5%,
dan jenis pekerjaan lainnya (pegawai, dll.) 5%. Di bawah ini hanya diuraikan seperlunya
tentang berladang dan menangkap ikan, khususnya dalam konteks teknologi yang digunakan
masyarakat Tidung tradisional.

1) Berladang

Walaupun situasi sudah cukup berbeda sekarang, perlu juga diketahui bahwa jaman
dulu untuk membuka ladang selalu dilakukan proses rembug tokoh kampung di bawah
pimpinan kepala adat. Biasanya lokasi kampung berada pada satu hamparan wilayah. Ladang
milik raja, yang biasanya mencapai 60 kaleng benih, dikerjakan lebih dulu.
Pekerjaaan berladang (gumo) terdiri dari beberapa tahap dan menggunakan teknologi
yang berbeda-beda. Mula-mula lahan dibuka dengan memotong kayu-kayu atau tumbuhan-
tumbuhan kecil. Kegiatan ini disebut “nabas”. Nabas dilanjutkan dengan “intagan” (menebang
pohon). Jaman dulu menebang pohon dilakukan dengan menggunakan “usoi” (beliung), sejenis
kapak yang diikat dengan rotan pada tangkainya. Pohon-pohon (biasanya ukuran sedang
sampai besar) yang sudah ditebang dengan usoi harus dipotong-potong dahannya agar mudah
kering dan terbakar. Kegiatan memotong dahan itu disebut “ngelada’”. Bila bekas tebangan
sudah kering, maka dibakar dan sisa-sisa pembakaran dibersihkan (bekukup/bekakes). Setelah
bersih barulah “nugal” (menanam padi). Menanam padi dengan cara “nugal” ini dilakukan
dengan menggunakan tongkat pembuat lobang pada tanah yang disebut “tetugal”, sementara
penabur benih menggunakan “lanjung” (sejenis bakul) untuk membawa benih.
Dalam bahasa lokal jenis-jenis padi yang ditanam adalah langsat, bangking, siom, turi,
nipun, lumbi. Padi ketan terdiri dari empat macam, yaitu ubok lagang (ketan merah), ubok pulak
(ketan putih), ubok itom (ketan hitam), dan seregunting. Padi rawa/sawah juga ditanam oleh
orang Tidung. Sejak dulu mereka mengenal “padi menado” yang berpohon tinggi, umbus, adan
(berbiji halus). Padi dalam Bahasa Tidung disebut bilon.
Umumnya teknologi pertanian tidak menggunakan pupuk. Agar hasil ladang baik
biasanya diadakan ritual atau upacara religi yang disebut “Timpunan” dan “Nyisil”. Pada malam
sebelum membuka lahan diadakan “timpunan” menggunakan telur ayam. Malam sesudah
acara itu tetua adat menunggu mimpi. Timpunan untuk memilih bibit padi dan bertanam
pertama kali di atas tanah seluas 2x2m2 diadakan saat akan mulai menanam padi. Dalam
upacara ini enam potong kayu ditancapkan di tanah, dua di antaranya di tengah dan diikat
dengan kain merah dan putih. Kayu itu bukan sembarang kayu, melainkan kayu “memali” (Bhs.
Tidung) yang batangnya berduri dan tumbuh di daerah basah di tepi sungai. Di antara kayu-
kayu itu dibuat 99 buah lobang.

15
Rambat
(dari Banjar)

Amas Mangku

Adji Bini Panembahan Tua Adji Pangeran


Sebawang Surija

Panembahan
Mangkubumi

Panembahan
Kaharuddin

Panembahan
Alimudin Hasan
Pengasakan

Puteri Dajang (A. Puteri Adji Mulia Puteri Adji Ratu Puteri Adji Rindu
Dajang)

Jubang Adji Sapu ( Panembahan Keritan A. Lamud (Adji Puteri


Kuning Raja Pendeta) Kahardin Teruna) Ikes

Adji Bilung Puteri Dajang Adji Teruna Gasa A.


Muhamad (Panembahan Renik Kambit Kaharuddin
Ajem Imau
Adji Kuning)
Sd. Abdurarchman
Puteri (Sar. Panembahan
Buding Tajang
Tinggal b. Sech) (Putera)
Midin
Suleman Puteri Ahai Puteri Dajang
Ukung Renik Timah

Adji Kapitan Puteri Urai Puteri Hasan Tm. Nama-nama dengan


Gantung Angkung Talib huruf tebal adalah raja-
raja yang disebutkan
dalam silsilah raja-raja
Tajang Tajang Tajang Tidung keturunan
(Putera) (Putera) (Putera) Berayu (Gambar 1)

Sumber: Kaharuddin bin Angkai (1936)

Gambar 2. Silsilah Ahliwaris gua sarang burung di Sungai Palu Ruas (Gong Sulak) yang
diberikan oleh Suku Berusuh dari kampung Long Gung Sulak

16
Raja Awai

Raja Nala

Raja Miril

Raja Ingtoken

Yanduk Raja Piau Adu Idu

Adik Baginda II menikah Baginda I


dengan Raja Berau

Saludin Amir Tajudin Halijah

Baginda II

Pangeran Mukhamad

Pangeran Marajadinda

Pangeran Marajadinda II Generasi


(Amir Hamzah) sesayap

Pangeran Marajadinda
III (Mangkasar)

Pangeran Marajadinda
IV (Gaza)

Pangeran Marajadinda V
(Abdusamah ) – lahir 1878.

Pangeran Sukma
(Putera)

Pangeran Amir Hamzah

Amir Fauzi

Sumber: Wawancara 23/10/2008

Gambar 3.Silsilah (parsial) raja-raja Sesayap keturunan Menjelutung sebagai


leluhur dari Tidung Malinau kelompok Sesayap

17
Ritual “nyisil” adalah memanen padi untuk pertama kali. Padi yang dipanen pertama
kali adalah padi yang ditanam pada waktu upacara timpunan. Dalam upacara ini dibentangkan
bendera sepanjang kira-kira 10 meter, dengan warna umumnya kuning dan jingga, tidak boleh
merah. Orang Tidung memotong padi dengan ani-ani.

2) Berburu dan Menangkap Ikan

Selain bertani atau berladang orang Tidung sejak dahulu adalah pemburu binatang.
Alat-alat yang mereka gunakan mirip dengan yang digunakan pada suku-suku lain di
Kalimantan, bahkan ada nama yang hampir sama, seperti cara menangkap binatang yang
disebut “nganti”, dalam Bahasa Benuaq di Kutai Barat disebut “ngati.” Jenis binatang buruan
meliputi rusa, kancil, babi hutan (dahulu sebelum menganut Islam orang Tidung makan babi)
dan burung.

Tabel 2. Daftar kegiatan berladang dan peralatan yang digunakan.

Nama kegiatan Kegiatan Alat


nabas menebas tumbuhan untuk membuka lahan gayang (parang)
intagan menebang pohon usoi (beliung)
ngelada’ memotong dahan pohon yang sudah gayang + usoi
diterbang
bakar
bekukup membersihkan sisa-sisa bakaran yang kecil gayang, api
bekakes membersihkan sisa-sisa bakaran yang gayang, api
terdiri dari kayu yang (agak) besar.
nugal Menanam padi. tetugal (kayu tugal), lanjung (tempat
benih dari pandan)
ngerumput menyiangi rumput yang tumbuh di sela beruing (alat potong rumput)
tanaman padi.
potong padi panen ingkapan (ani-ani), kiran (bakul
tempat padi langsung setelah
dipotong), batai (tempat padi dari
kulit rumbia untuk mengangkut ke
lumbung/rumah – sekarang diganti
dengan karung).
Sumber: wawancara

Tabel 2. Peralatan tradisional untuk berburu pada suku Tidung

Nama alat Kegunaan Uraian

Jaring Menangkap hewan besar dan


kecil, burung
Ujul-ujul Menangkap hewan sedang Jerat leher terbuat dari bahan kawat, dipasang di jalur
dan besar (babi hutan, kancil, pelintasan binatang.
rusa)
Belatik Menangkap hewan sedang Alat berbentuk tombak dari bambu dipasang di jalur
dan besar (babi hutan, kancil, pelintasan binatang, apabila tali tersenggol oleh
rusah) binatang alat akan “menombak” secara otomatis.
Tengkuep Menangkap binatang sedang Perangkap berupa lobang yang dipasang di lereng
dan besar (babi hutan, kancil, gunung. Binatang yang terjatuh dalam lobang tidak
18
rusa) dapat keluar lagi.
Pepadik Menangkap binatang kecil Perangkap yang serupa dengan tengkuep, tapi khusus
untuk menangkap binatang kecil.
Sapuk Sumpit untuk membunuh Terbuat dari batang kayu yang diberi lobang lurus
binatang kecil maupun besar untuk menghembuskan “anak sumpit” yang dapat
menembus badan binatang. Untuk membunuh
binatang besar digunakan racun dari getah kayu,
untuk membunuh binatang kecil (mis., burung) tidak
diperlukan racun.
Nganti Biasanya untuk menangkap Alat yang telah dilumuri perekat (dari getah kayu)
burung dipasang di tempat burung berkumpul (misalnya di
atas pohon yang sedang matang buahnya), lalu si
“penganti” menunggu burung terjatuh karena tidak
dapat terbang lagi akibat terkena getah.
Sumber: Wawancara

Table 3. Alat dan cara penggunaannya untuk menangkap ikan

Nama Alat Uraian

Jala Seperti dipakai di daerah lain. Menangkap ikan dengan jala disebut “injala”.
Pukat Dibentangkan di dalam air, ditinggal pergi lalu diperiksa setelah beberapa lama,
misalnya sehari atau semalam).
Pintik Pancing biasa, umpannya biasanya cacing, beras, buah atau ubi kayu.
Ace Ace adalah sejenis pancing yang umpannya terbuat dari tembaga. Tembaga tersebut
berputar-putar kalau ditarik.
Pantau Memakai kayu atau gabus berbentuk burung.
Sekuit Pancing kecil.
Tuwo “Tuwo” = tuba, “nuwo” = menangkap ikan dengan tuba. Menebarkan racun dari kulit
kayu ke dalam sungai atau danau, sehingga ikan mabuk dan muncul kepermukaan dan
mudah untuk ditangkap.
Suar, “Suar” (alat), “nyuwar”: kegiatan mencari ikan di malam hari dengan menggunakan
tempuling, lampu minyak yang diberi relfektor tembaga, sehingga sinarnya focus ke depan. Jaman
parang sekarang orang bisa “nyuar” dengan lampu senter. Alat untuk menangkap ikan waktu
“nyuwar” adalah “tempuling”, yaitu sejenis tombak bermata dua (dwisula) atau tiga
(trisula). Untuk ikan kecil bisa digunakan “parang.”
Racun & Membunuh ikan dengan racun binatang dan menyeterum ikan dengan listrik sudah
seterum banyak dilaksanakan orang sekarang, walaupun dalam kenyataannya banyak orang
tidak setuju.
Sumber: Wawancara

2.4 Lembaga Sosial dan Asosiasi Sosial

Pengertian lembaga sosial bisa menyesatkan. Karena itu dalam tulisan ini
pengertiannya dibatasi pada lembaga sosial sebagai “pranata sosial” (social institution). Dalam

19
hal ini lembaga sosial berarti nilai, keyakinan dan norma-norma yang mengatur hubungan antar
individu dalam masyarakat. Lembaga sosial menyangkut pola hubungan (patterns of
relationships) yang meliputi peran dan status. Pola tersebut diatur dan dipertahankan dengan
norma atau aturan tertentu. Menurut para ahli ilmu sosial ada lima macam lembaga/pranata
sosial dasar yang biasanya ada pada setiap kelompok sosial, yaitu pendidikan, pemerintahan,
keluarga, sistem ekonomi, dan agama/religi.
Dalam bentuk yang lebih kongkrit pola-pola hubungan tersebut diatur dan dijalankan
dalam yang disebut “asosiasi sosial”, yaitu semacam “perkumpulan” yang memiliki seperangkat
aturan, tata-tertib, anggota dan tujuan yang jelas. Dengan kata lain asosiasi memiliki wujud
kongkret, sementara lembaga berwujud abstrak. Lembaga-lembaga yang diperkenalkan di
bawah ini wujudnya lebih merupakan “asosiasi” dari pada lembaga dalam pengertian di atas.
Orang Tidung memiliki lembaga adat yang bertingkat-tingkat, yaitu Lembaga Adat
Tidung (LAT) Kabupaten, LAT Kecamatan dan LAT Desa. Menurut Baharudin LAT mengatur
seluruh aspek penting kehidupan kemasyarakatan orang Tidung, seperti kewanitaan, ekonomi
dan matapencarian (pertanian, dll), keagamaan, kepemudaan, politik. Selain itu setiap sub-suku
juga memilik lembaga adatnya masing-masing. Pada tingkat paling luas ada Forum Komunikasi
Warga Tidung (FKWT) yang berpusat di Tarakan.
Beberapa tokoh/ketua LAT yang diketahui pada waktu data ini dikumpulkan adalah sbb:
LAT tingkat Kabupaten diketuai Pangeran Bangsawan, LAT Kecamatan Malinau Kota diketuai
Syukur Main, LAT Desa Malinau Ulu dipimpin Aji Baharudin PS, LAT Malinau Kota dipimpin
Baharudin M., dan LAT Malinau tengah oleh H. Tama Baweng.
Fungsi lembaga-lembaga ini umumnya mengurus kepentingan warga dalam segala
aspeknya dan mengatur hubungan dengan etnik lain. Lembaga-lembaga tersebut mendapatkan
dana dari sumbangan warga maupun dari bantuan pemerintah (sewaktu-waktu). “Adat” pada
suku Tidung diwarnai oleh nilai-nilai Islami.
Pemimpin tertinggi pada jaman dulu disebut “raja” yang berfungsi memimpin institusi
pmerintahan. Seperti sudah dijelaskan di muka konsep “raja” di sini lebih cocok disebut “kepala
suku” yang dalam bahasa Tidung disebut “muyu.” Di bawah raja ada para “pengawal”
(semacam kesatria, yang tidak dapat disebutkan istilah lokalnya oleh informan), lalu ada
“kabinet” yang terdiri dari tokoh-tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Rakyat biasa
ada pada lapisan bawah, dan paling bawah sekali adalah “lipan” (budak). Lipan biasanya
didapat sebagai hasil dari perang “ayau” (gium utok), biasanya dari suku lain. Sampai
pertengahan abad ke-20 ‘mengayau’ masih ada.17 Budak diperlakukan sebagai pekerja (tidak
ada yang dijadikan “korban persembahan” seperti pada suku tertentu di Kalimantan). Budak
juga dapat “diberikan” sebagai “jujuran”. Jaman sekarang perbudakan sudah tidak ada.
Keturunan para budak dahulu hidup dengan “damai” dengan para keturunan bangsawan dan
mereka biasanya masih menghormati para bangsawan.
Seperti sudah dilihat di muka, Kerajaan Tidung pernah mencakup etnik Tidung sendiri,
Lundaye dan Punan, dan cakupan geografisnya di DAS Malinau sampai di Tubu dan
Mentarang. Awalnya di Sebawang, lalu berturut-turut pindah ke Tideng Pale, Setiud, Saweng
Pangku, Long Malinau, Kuala Kabiran, Sebamben atau kampung Kuala Sembuak dan akhirnya
di Tanjung Belimbing.
Dengan adanya sistem monarki, pemimpin suku (raja, muyu) menjadi pemimpin
berdasarkan pada garis keturunan. Pengambilan keputusan dilakukan secara mutlak oleh raja.

17
Tahun 1894 di Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah, atas prakarsa Belanda diadakan kesepakatan antara kepala-
kepala suku di Kalimantan untuk menyudahi praktek memburu kepala (mengayau). Rupanya kesepakatan tersebut
tidak begitu berdampak pada situasi di daerah Tidung.

20
Pemilihan pemimpin desa/kampung jaman sekarang dilakukan menurut mekanisme baku
sesuai undang-undang, yaitu melalui pemilihan. Sedangkan pengambilan keputusan publik
biasanya dilakukan secara musyawarah.
Secara tradisional untuk menjadi kepala adat seseorang harus mengerti tentang adat
dan desa, silsilah, memiliki kekuasaan (power) dan dituakan di dalam masyarakatnya.
Pemisahan tugas dan fungsi kepala adat dan kepala desa menurut seorang sumber Tidung
sudah terjadi sejak jaman Belanda.18 Kepala adat menangani hal-hal yang bersifat informal
seperti perselisihan, perkawinan, ritual, sedangkan kepala desa bertanggung jawab atas hal-hal
yang bersifat formal kepemerintahan.

2.5 Religi dan Agama

Menurut Baharudin dan Mustika Jaya 100% orang Tidung sekarang beragama Islam.
Tradisi keislaman pada Tidung Malinau sudah mengakar sejak 1593 sehingga adat dan budaya
non-Islam sebelumnya tidak banyak membekas dalam ingatan warga Tidung, bahkan pada tua-
tua Tidung.
Namun demikian terdapat kepercayaan dan ritual-ritual yang mempunyai kemiripan
kepercayaan dan ritual dalam agama-agama asli (aboriginal religions). Contohnya, pertanda
alam yang disebut “nimpun”, yaitu suatu pertanda tertentu yang menentukan tempat dan hari
baik untuk memulai membuka ladang. Pertanda ini salah satunya adalah pelintasan burung
yang tiba-tiba. Misalnya burung kecil yang disebut “pempulu sasat” (Seset, dalam Bahasa
Benuaq) terbang dari kanan ke kiri menandakan hari baik dan sebaliknya. Juga “pempulu
kemuned” yang kecil seperti burung pipit dan berbunyi “tek-tek.” Bunyi tek satu kali adalah
pertanda baik; bunyi tek dua kali adalah pertanda buruk dan kegiatan harus dihentikan. Dalam
kepercayaan akan pertanda alam ini juga dikenal yang disebut “lingker”, yaitu akar di hutan
yang bersilang sendiri seperti terikat. Jika ditemukan hal demikian, pekerjaan (misalnya
membuat ladang atau berburu ) harus dibatalkan. Contoh lain adalah upacara “besetan”
sebagai ritual penyembuhan orang sakit.
Secara umum hubungan antar umat beragama dalam keadaan baik dan saling
menghormati. Saling mengirim kue pada hari raya antara umat Islam dan Kristen sudah bukan
sesuatu yang aneh. Ada indikasi upaya kelompok-kelompok keagamaan radikal yang masuk ke
daerah ini dan berpotensi menimbulkan keresahan umum. Namun biasanya hal itu dapat
diredam.

18
Sebenarnya pemisahan secara gamblang antara Kepala Adat dan Kepala Desa diatur dalam Undang-undang
Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang tersebut mengakibatkan perubahan drastis dalam
sistem pemerintahan kampung di banyak kelompok suku di Indonesia, dan menyesuaikan dengan pola
pemerintahan desa-desa di Jawa. Demikianlah kita melihat pemisahan antara fungsi Kepala desa dan Kepala Adat
yang sangat berbeda. Sejak itulah pula terjadi penurunan peran adat dalam banyak komunitas masyarakat adat.

21
2.6 Bentuk-bentuk Kesenian

1) Seni Tari

Orang Tidung memiliki beberapa varian seni tari. Pada umumnya tarian-tarian tersebut
masih membawa warna tradisionalnya. Beberapa contoh tarian yang populer adalah sebagai
berikut:
a. “Bebalon” (“bebilin” di Sesayap dan Tarakan) berupa permainan musik saja atau tepuk
tangan saja, dimainkan oleh tua-muda, laki-perempuan, biasanya pada waktu upacara
menyambut tamu, pesta perkawinan, rapat besar, dan selamatan.
b. “Gandang” (seperti gantar pada suku Benuaq dan Tonyooi di Kutai Barat), tarian dengan
hentakan kaki dan tangan memainkan gerakan sambil memegang alat bunyi dari bambu
kering yang diisi kerikil atau biji jagung. Tarian ini dimainkan oleh laki-laki maupun
perempuan.
c. “Jepen” (Arab: japin berarti langkah). Tarian ini juga dimainkan pada berbagai acara
oleh laki-laki maupun perempuan. Aslinya tarian ini berasal dari Arab, masuk ke
Indonesia melalui Riau, Kalimantan Barat dan sampai juga ke Kutai dan Tanah Tidung,
oleh karena pengaruh Islam sudah berlangsung lama.
d. “Sediwa” (“karangan” dalam Bahasa Tidung Sesayap) menggunakan alat musik
gendang dan rebana. Bentuknya berupa nyanyian (biasanya sedih) tentang riwayat
kehidupan seseorang. Topik cerita adalah kisah-kisah sukses orang kecil. Pesan yang
disampaikan adalah pesan motivasional dan perjuangan.
e. “Senudon”: dongeng. Tiap suku bangsa memiliki dongeng tradisi. Begitu juga dengan
orang Tidung. Dongeng adalah suatu kisah fiktif atau juga kisah nyata, menjadi suatu
alur perjalanan hidup dengan pesan moral, yang mengandung makna hidup dan cara
berinteraksi dengan mahluk lainnya. Cerita-cerita yang ringan, jenaka, dramatis
biasanya mengandung pesan moral yang dalam, sering kali kandungan pesannya
adalah prinsip-prinsip moral dasar yang bersifat universal (misalnya sikap belas kasihan
kepada orang kecil, menghargai kejujuran, dll.). Sayang, sebagaimana terjadi juga pada
banyak suku bangsa lain, tidak banyak orang Tidung yang masih mengingat dongeng-
dongeng secara lengkap.
Alat2 musik yang dipakai dalam semua kegiatan seni tersebut adalah kulintangan
(sejenis gong kecil), gambus, gong dan rebana. Kulintangan secara khusus dipakai pada
upacara “rambai” (pesta sambut tamu) dan pesta perpisahan dengan tamu.

2) Seni Rupa

Seni rupa adalah cabang seni yang


membentuk karya seni dengan media yang bisa
ditangkap mata dan dirasakan dengan rabaan.
Kesan ini diciptakan dengan mengolah konsep
garis, bidang, bentuk,volume, warna, tekstur dan
pencahayaan dengan acuan estetika (Wikipedia).
Dalam pengertian ini seni ukir,seni pahat, seni
lukis tergolong dalam seni rupa. Bagaimana
keadaan dan perkembangannya pada suku
Tidung?
Jenis seni ini tidak cukup berkembang di Foto 4. Ukiran mahkota pengantin suku Tidung, mirip
kalangan suku Tidung. Ditunjukkan mahkota dengan motif ukiran Bulungan (Koleksi Aji Baharudin
pengantin yang sedang dipakai pada perkawinan PS)
dari anak Baharudin PS. Di situ ada ukiran Tidung, namun sumber Tidung tidak dapat

22
menjelaskan maknanya (lihat Foto 4). Siapa seniman ukir Tidung yang cukup dikenal juga
tidak ada. Seni lukis dan patung nyaris tidak ada.
Mengapa jenis kesenian ini tidak berkembang? Perlu kajian lebih lanjut, sebab sejauh
ini pelusuran penulis belum sampai sampai di sana.

3) Seni Suara

Seni suara Tidung tradisional terdiri dari dua macam, yaitu sediwa dan begandang.
“Sediwa” sudah diuraikan di muka. Dengan diiringi irama gendang dan rebana orang
melantunkan lagu-lagu sedih tentang riwayat seseorang. “Begandang” sama dengan pantun.
Dinyanyikan oleh laki-laki maupun perempuan untuk menyampaikan isi hati secara khiasan.
Baik sediwa maupun begandang dinyanyikan dengan musik. Tidak ada musik instrumentalia
saja pada suku Tidung, setiap musik disertai dengan lirik nyanyian.

4) Seni Anyam-menganyam

Seperti halnya seni pahat, jenis seni ini juga tidak begitu populer. Ada beberapa contoh
anyaman sbb:
a. Tikar (ayam belungis): bahan pandan atau rotan rotan. Motifnya berwarna-warni dengan
garis-garis lurus parallel (disebut jail-jali) dan silang (disebut pelingas kanon). Ada juga
yang disebut “batik bebayal.” Barang seni ini selain untuk dipakai sendiri juga dibuat
sebagai barang komersil.
b. Tas dari bahan pandan atau rotan, dipakai untuk berbelanja, jalan-jalan, atau sekolah.
c. Topi dari bahan pandan atau rotan: topi lebar
untuk bekerja di lading di bawah terik matahari.
d. Anjat langkang: sejenis tas yang dari bahan
rotan sega yang jarak anyamannya dibuat
jarang-jarang. Biasanya tas seperti ini dipakai
untuk ke pergi ke ladang atau tempat alat-alat
kerja.
e. Liaban (nyiru), terbuat dari bahan bambu, dipakai
untuk membersihkan padi atau beras.
Foto 5. Motif “batik jejali” pada tikar
pandan Tidung (Foto: Martinus Nanang)
f. Tempat sampah, terbuat dari bambu, pandan,
atau rotan.

2.7 Artefak dan Ekofak

Benda-benda kuno buatan manusia jaman dulu disebut


“artefak” (artifact). Benda-benda tersebut memberikan informasi
mengenai kebudayaan dari pembuat maupun pemakainya.
Selain artefak ada juga yang disebut “ekofak” (ecofact atau
biofact), yaitu benda atau obyek yang mempunyai makna
arkeologis, namun tidak merupakan hasil buatan manusia.
Apakah artefak dan ekofak dapat ditemukan pada Suku Tidung
di Malinau?
Sejauh informasi yang tersedia, penulis belum
menemukan benda-benda kuno “buatan” orang Tidung sendiri
di jaman dulu, kecuali beberapa situs sejarah. Benda-benda
kuno yang masih ada dan menjadi koleksi beberapa orang
saja, semuanya merupakan benda budaya dari masyarakat Foto 6. Bekas tiang lamin Raja
luar. Dalam foto-foto di bawah ini dapat dilihat beberapa buah Pandita (koleksi Aji Mustika Jaya)

23
guci dan piring kembang buatan Tiongkok. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara
leluhur Tidung jaman dulu dengan Tiongkok melalui perdagangan, meskipun belum tentu
secara langsung. Kenyataan bahwa Tidung dulu pernah menjadi “penguasa laut”, dan bahwa
mereka sudah banyak berhubungan dengan Sabah, Sulu, Makassar, dll, memungkinkan bagi
mereka untuk berkenalan dan membeli barang-barang tersebut.
Sisa tiang rumah Raja Pandita di seberang Tanjung Belimbing mungkin bisa dianggap
sebagai sebuah artefak sejarah yang penting, sebab bisa menjadi saksi sejarah kehidupan raja
dan masyarakat pada waktu itu. Selain itu ada juga makam tua Panembahan Alamsyah di
Sebawang, dan makam tua Panembahan Raja Tua di Kuala Malinau (Foto 1 dan Foto 2).

Foto 7-10. Koleksi pribadi guci-guci kuno seorang warga Tidung (Foto: Martinus Nanang)

Foto11-13. Pistol Belanda dan piring kuno koleksi seorang warga Tidung (Foto: Martinus
Nanang), kepala ikat pinggang dari emas (koleksi foto Aji Mustika Jaya).

2.9. Beberapa Upacara Adat Lainnya

Berikut ini ringkasan beberapa upacara, baik yang termasuk dalam rites of passage
maupun tidak. “Rites of passage” adalah ritus-ritus yang menandai tahap-tahap tertentu dalam
perjalanan hidup di mana terjadi perubahan status, yang pada kebudayaan tertentu berbeda
dengan kebudayaan lainnya. Contohnya, ritual kelahiran anak, menginjak tanah, pemberian
nama, upacara inisiasi saat akil balik atau pubertas, perkawinan, dan upacara kematian.
Upacara yang tidak termasuk perjalanan hidup misalnya pembukaan ladang, pembangunan
rumah, doa perjalanan, dan lain-lain. Upacara-upacara tersebut disebut upacara “okasional”
saja.

24
1) Upacara Adat Perkawinan

Dalam upacara perkawinan pupur/bedak dan “bayar get” merupakan unsur penting.19
Upacara dibuka dengan membayar “get”,
yaitu mempelai laki-laki memberikan
sejumlah uang kepada orangtua
pengantin perempuan (mertua
pengantin laki-laki). Besarnya bayaran
tergantung pada permintaan dari orang
tua mempelai perempuan. Setelah
upacara akad nikah dilaksanakan pada
malam pertama dilangsungkan acara
“bejepen”, pada malam ketiga bejepen
lagi dan kedua mempelai bersanding lagi
pada waktu tersebut. Pada malam
keempat dilangsungkan upacara
Foto 14. Pelaminan pengantin Tidung (Koleksi Aji Mustika silaturahmi yang disebut “bemertua”,
Jaya) yaitu mempelai perempuan mengunjungi
mertua laki-laki. Pada kesempatan
tersebut diadakan acara bejepen dan tari-tarian lagi.
Perkawinan dalam suku Tidung dahulu bersifat “patrilokal”, di mana setelah upacara
perkawinan pasangan tinggal di tempat orangtua mempelai laki-laki. Tetapi pada masa
sekarang, ada kecenderungan “bilokal”, walaupun garis kekerabatan masih bersifat patrilineal
(mengikuti garis mempelai laki-laki).

2) Upacara Adat Kematian

Upacara kematian pada dasarnya mengikuti pola tertentu yang berlaku umum. Namun
ada variasi tertentu tergantung pada status sosial dan umur orang yang meninggal dunia. Untuk
orang dengan status sosial tinggi salah satu paraphernalia (peralatan ritual) adalah payung
bertingkat. Tingginya tingkat ini melambangkan ketinggian status sosial: untuk bangsawan
disiapkan payung bertingkat tujuh, untuk golongan menengah bertingkat lima, dan untuk anak-
anak bertingkat tiga. Untuk orang biasa tidak digunakan payung bertingkat. Perlengkapan lain
adalah keranda dari bambu untuk mengangkat jenazah, kain serba putih, bunga berwarna-
warni. Untuk memandikan jenazah Sembilan orang laki-laki dan perempuan mengambil air dari
sungai menggunakan gadur dan mengenakan ikat kepala berwarna putih.

3) Upacara Membuat Rumah

Sebelum sebuah rumah atau rumah panjang (lamin)20 – sekarang tidak ada lagi rumah
panjang pada suku Tidung - mulai dibangun biasanya diadakan upacara ritual. Dimulai dengan

19 Jaman dulu pupur bisa digunakan sebagai media santet dan bisa membahayakan mempelai.
20
Rumah panjang atau lamin Tidung jaman dulu, seperti rumah panjang suku-suku lain, merupakan rumah
panggung yang dibuat setinggi mungkin sampai tidak terjangkau mata tombak dari bawah. Tangganya adalah
tangga tunggal sehingga bisa ditarik ke atas pada malam hari. Jendelanya berbentuk “jendela uap”. Jaman sekarang
masih ada rumah tunggal dengan jendela uap.

25
upacara pemancangan tiang pertama. Tiang pertama tersebut dibalut dengan kain berwarna
kuning dan satu botol air diikatkan pada tiang. Sehari sesudah pemancangan tiang pertama
(atau tergantung hitungan hari baik) diadakan gotong royong.

III. Penutup

Penelusuran tentang sejarah dan asal-usul etnik Tidung menampilkan banyak hal yang
menarik tentang kedua kelompok etnik tersebut. Beberapa dari hal-hal tersebut digaris-bawahi
(highlighted) di bawah ini.
Pertama, nama suku (etnonimi) menggambarkan asal-usul suku jaman dulu, sekaligus
menegaskan bagaimana orang Tidung mengidentifikasikan diri mereka. Orang Tidung ternyata
mempunyai asal usul yang sama dengan orang Bulungan. Perkembangan kebudayaan
selanjutnya menunjukkan juga beberapa kesamaan di antara keduanya, misalnya dalam hal
kesenian, keagamaan dan upacara adat. Laporan tentang etnik Bulungan dibuat dalam bab
tersendiri.
Kedua, secara linguistik etnik Tidung mempunyai banyak varian. Kita telah melihat
pembagian sub-etnik Tidung berdasarkan kelompok linguistik, yang ternyata cukup berbeda
dari pembagian menurut lokasi tempat tinggal. Dalam klasifikasi berdasarkan kelompok
lingustik, etnik Bulungan dimasukkan sebagai salah satu sub-etnik Tidung.
Ketiga, masih banyak hal yang sangat menarik untuk diperdalam. Namun waktu yang
singkat tidak memungkin bagi penulis untuk menggali lebih banyak dan lebih dalam, sehingga
bagian-bagian tertentu dari tulisan ini cukup dangkal. Beberapa hal penting yang masih perlu
diperdalam adalah:
1) Sejarah dan kebudayaan kelompok Tidung Betayau. Ini diperlukan untuk memperoleh
gambaran yang lebih menyeluruh tentang Tidung (bukan saja Tidung Malinau).
2) Sejarah dan silsilah raja-raja Sesayap perlu dibuat lebih lengkap dan rinci. Peristiwa dan
hal penting pada jaman kekuasaan masing-masing “raja” perlu dijelaskan dan silsilah
keluarga dan keturunan mereka perlu ditambahkan dengan nama-nama yang belum
tercantum pada Gambar 3.
3) Studi linguistik yang lebih komprehensif tentang bahasa dan dialek-dialek Tidung dan
perbandingannya dengan suku-suku lain. Perbandingan tersebut akan berguna untuk
melihat kaitan historis antar Tidung dengan etnik-etnik lain tersebut. Dalam tulisan ini
penulis mencatat banyak kemiripan antara dialek Tidung dengan (bahkan) etik Benuaq
yang berada jauh di Kutai Barat. Mungkinkah mereka mempunyai hubungan historis yang
belum terungkap?
4) Kajian tentang perkembangan kesenian, khususnya perlu digali mengapa aspek kesenian
tertentu (misalnya seni tari) dapat berkembang dengan baik dan yang lain (seni rupa)
tidak. Salah satu bahan kajian dalam hal ini adalah proses komodifikasi kebudayaan
Tidung, khususnya kesenian.
5) Jika Pemerintah Kabupaten ingin membuat suatu “strategi kebudayaan” (strategy of
culture) atau “strategi pembangunan berbasis kebudayaan” (culture-based development
strategy), penelitian kebudayaan harus mendalam, yaitu menyangkut hakekat
kebudayaan dan “modeling” terhadap perkembangan kebudayaan yang ada. Ini akan
menjadi wilayah yang sangat menarik bagi ahli kebudayaan, antropolog, sosiolog dan
peneliti sejenis.

26
Referensi

Akhbarsyah 1997. Birau di Tanjung Selor: Kemasan Atraksi Seni-budaya Daerah Tingkat II
Bulungan dalam Era BIMP-EAGA. Pemerintah Daerah Tingkat II BUlungan, Sekretariat
Wilayah Daerah.

Darmansyah, M.A., dkk. 1980. Stuktur Bahasa Tidung. Banjarmasin: Departemen Penelitian
dan Kebudayaan, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Forrest, T. 1792 (reprinted 1996). A Voyage to New Guinea and the Moluccas 1774-1776.
Oxford University Press.

Guerreiro, A.J. 1985. An Ethnological Survey of the Kelay River Area, Kabupaten Berau, East
Kalimantan. Borneo Research Bulletin 17:106-120.

Hamzah. 1998. Sekilas Mengenai Tanah Tidung. Manuskrip tidak diterbitkan.

Hudson, A.B. 1978. Linguistic Relations among Bornean Peoples with Special Reference to
Serawak: an Interim Report. Dalam Studies in Third World Societies (Ed.). Sarawak:
Linguistics and Development Problems: 1-33.

Hunt, J. 1837. Sketch of Borneo or Pulo Kalimantan. Dalam Moor, J.H. (Ed.). Notices of the
Indian Archipelago and Adjascent Countries. Singapore.

Kaharudin bin Angkai. Riwayat Etnik-etnik yang Mendiami Sungai Sesayap dan Malinau.
Manuskrip ditulis tahun 1936 (Tidak diterbitkan).

King, Victor T. 1993. The Peoples of Borneo. Blackwell Publishers, Oxford-Cambridge.

Muthalib, A. and Jaya, A. M. “Sejarah Tanah Tidung dari Masa ke Masa.” Manuskrip, tidak
diterbitkan.

Nichol, R. 1980. Brunei Rediscovered: A Survey of early Times. Brunei Museum Journal 4-4:
219-237.

Okushima, M. “Ethnic Background of the Tidung: Investigation of the Extinct Rulers of Coastal
Noetheast Borneo. Didownload dari:
http://www.kuis.ac.jp/icci/member/okushima/ronko/tidung.pdf , 10 Desember 2008.

Okushima, M. 1999. Wet Rice and the Kayanic Peoples of East Kalimantan: Some Possible
factors Explaining Their Preference to Dry Rice Cultivation. Borneo Research Bulletin
30:74-104.

Okushima, M. 2002. Commentary on the Sebuku Document: Local History from the Perspective
of a Minor Polity of Coastal Northeast Borneo. Sophia Asian Studies 20:149-172.

Okushima, M. “Ethnohistory of the Kayanic peoples in Northeast Borneo (part 1): Evidence from
Their Languages, Old Ethnonyms, and Social Organization (1).” Di-download dari
http://www.thefreelibrary.com, 12 Maret 2009.

Prasithrathsint, A. 1993. “The Linguistic Mosaic.” In Grant Evans (Ed.) Asia’s Cultural Mosaic:
An Anthropological Introduction. Prentice Hall: New York.

27
Regis, P. 1989. Demography. Dalam: Kitingan, J. dan M.J. Ongkili (Eds.). Sabah 25 Years
Later, 1963-1988. Kota Kinabalu: Institute for Development Studies.

Sellato, B. 2001. Forest, Resources and People in Bulungan: Elements for a History of
Settlement, Trade, and Social Dynamics in Borneo 1880-2000. Jakarta: Center for
International Forestr Research.

Wurm, A and S. Hattori (Eds.) 1981. Language Atlas of the Pacific Area (Part 1). Canberra.

Yayasan Museum Kesultanan Bulungan. 2004. Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan dari
Masa ke Masa.

28

Anda mungkin juga menyukai