Anda di halaman 1dari 26

Suku Minahasa

Suku Minahasa atau Orang Minahasa sering juga disebut orang Manado. Mereka sendiri suka pula
menyebut diri sebagai orang Kawanua. Masyarakat ini sebagian besar mendiami daerah timur laut
jazirah Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Utara. Sebenarnya masyarakat ini terbagi-bagi lagi kepada
delapan sub-suku bangsa, yaitu Tonsea, Tombulu, Tonsawang, Ratahan, Ponosakan, Totembuan,
Toulour dan Bantik. Jumlah populasi mereka diperkirakan sekitar 800.000 jiwa, belum termasuk yang
berdiam di daerah-daerah lain.

Baca lengkap : Sejarah Suku Minahasa

Suku Bantik

Suku Bantik merupakan suku bangsa yang masih dalam kerabat suku Minahasa. Suku Bantik itu sendiri
tersebar di beberapa daerah di Sulawesi Utara, antara lain Kalasei, Buha, Talawaan Bantik, Molas, dan
Tanamon.

Suku Borgo

Suku yang satu ini merupakan keturunan dari hasil pencampuran ras/etnis/bangsa antara lain Bangsa
Spanyol, Portugis, Belanda yang pernah mendiami Sulawesi Utara dan terjadi perkawinan silang antara
Suku bangsa luar dengan suku bangsa Minahasa.

Suku Mongondow

Orang Mongondow sebagian besar mendiami Kabupaten Bolaang Mongondow di Provinsi Sulawesi
Utara. Kabupaten yang terdiri atas 15 kecamatan ini dihuni oleh beberapa sub-suku bangsa. Sub-suku
bangsanya, Mongondow, Bintauna, Bolaang Itang, Kaidipang, dan Bolaang Uki. Pada zaman dulu
kelimanya berbentuk kerajaan-kerajaan kecil. Bahasa Mongondow memiliki lima dialek dari setiap sub-
suku bangsa tersebut di atas. Bahasa Mongondow menjadi bahasa perantara di antara masyarakat-
masyarakat di wilayah ini.

Baca lengkap : Sejarah Suku Mongondow

Suku Ponosakan

Suku Ponosakan juga merupakan bagian dari sub-suku Minahasa. Suku ini berdiam di kecamatan Belang
dan Ratatotok. Sementara itu jumlah populasinya diperkirakan berjumlah 5.000 orang.

Suku Ratahan

salah satu sub-suku Minahasa yang mendiami kecamatan Ratahan di provinsi Sulawesi Utara. Suku
Ratahan, terutama berada di kabupaten Minahasa Tenggara, dan tersebar di sekitar kota Ratahan, di
kampung-kampung Ratahan, Wioi, Wiau, Wongkai, Rasi, Molompar, Wawali, Minanga dan Bentenan.
Populasi suku Ratahan diperkirakan sebesar 15.000 orang pada sensus tahun 1989.

Suku Sangir
Suku bangsa Sangir mendiami Kepulauan Sangihe dari jajaran Kepulauan Sangir Talaud, Kabupaten
Sangir Talaud, Provinsi Sulawesi Utara. Pulau-pulau yang mereka diami adalah Sangir Besar,
Tagulandang, Makalehi, Kuang, Kawio, Kawaluso, Lupang, Toade, Karakitang, Kalawa, Mahengetang.
Semuanya termasuk dalam sepuluh kecamatan di Kabupaten Sangir Talaud.

Baca lengkap : Sejarah Suku Sangir

Suku Talaud

Suku bangsa Talaud mendiami gugusan pulau-pulau Talaud di Kabupaten Kepulauan Sangir-Talaud,
Provinsi Sulawesi Utara. Daerah mereka terdiri dari tiga pulau utama, yaitu Pulau Karakelang, Salibabu
dan Kabaruan. Nama lain dari Talaud adalah Taloda, artinya "orang laut". Ada juga yang menyebutnya
Porodisa.

Baca lengkap : Sejarah Suku Talaud

Suku Tombulu

Populasi suku ini diperkirakan berjumlah 60.000 orang yang mendiami beberapa kota di Tomohon,
Sulawesi Utara, antara lain Tombariri, Tombulu, Wori, Pineleng, dan Likupang Barat.

Suku Tonsawang

Orang Tonsawang adalah salah satu sub suku dari kelompok besar suku bangsa Minahasa. Mereka
mendiami beberapa desa di daerah Kabupaten Minahasa bagian selatan. Masyarakat ini menggunakan
dialek Tonsawang.

Suku Tonsea

Orang Tonsea adalah salah satu sub suku kelompok besar suku bangsa Minahasa. Mereka mendiami
beberapa kampung di sebelah timur laut Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Masyarakat ini memakai
dialek Tonsea yang masih bagian dari bahasa Minahasa. Populasinya sekitar 90.000 jiwa.

Suku Toulour

Orang Toulour termasuk salah satu sub suku dari kelompok suku bangsa Minahasa. Mereka mendiami
daerah bagian timur pesisir Danau Tondano, yang masih termasuk dalam wilayah Kabupaten Minahasa,
Provinsi Sulawesi Utara.

Kebudayaan Provinsi Sulawesi Utara

Kebudayaan di Sulawesi Utara. Selain kaya akan sumber daya alam Sulawesi Utara juga kaya akan seni
dan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang. Berbagai seni dan budaya dari berbagai suku yang ada
di Provinsi Sulawesi Utara justru menjadikan daerah nyiur melambai semakin indah dan mempesona.
Berbagai pentas seni dan budaya maupun tradisi dari nenek moyang memberikan warna tersendiri bagi
provinsi yang terkenal akan kecantikan dan ketampanan nyong dan nona Manado.

Secara garis besar penduduk di Sulawesi Utara terdiri atas 3 suku besar yakni suku minahasa, suku
sangihe dan talaud dan suku bolaang mongondow. Ketiga suku/etnis besar tersebut memiliki sub etnis
yang memiliki bahasa dan tradisi yang berbeda-beda. Tak heran Provinsi Sulawesi Utara terdapat
beberapa bahasa daerah seperti Toulour, Tombulu, Tonsea, Tontemboan, Tonsawang, Ponosakan dan
Bantik (dari Suku Minahasa), Sangie Besar, Siau, Talaud (dari Sangihe dan Talaud) dan Mongondow,
Bolaang, Bintauna, Kaidipang (dari Bolaang Mongondow)

Propinsi yang terkenal akan semboyan torang samua basudara (kita semua bersaudara) hidup secara
rukun dan berdampingan beberapa golongan agama seperti Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha dan
Kong Hu Chu. Namun dari keaneka ragaman tersebut bahasa Indonesia masih menjadi bahasa
pemersatu dari berbagai suku dan golongan.

Berikut ini beberapa Kebudayaan di Sulawesi Utara

1. Rumah Adat

Salah satu contoh rumah adat Sulawesi Utara dinamakan “Rumah Pewaris”. Rumah ini dihuni oleh para
pemimpin maupun rakyat biasa. Rumah tersebut harus dibuat dari balok atau papak tanpa sambungan.
Kayunya tak boleh bengkok sebagai pelambang ketulusan lahir dan batin. Atapnya dari daun rumbia dan
dikanan kiri rumah terdapat tangga. Rumah pewaris mempunyai ruang tamu, ruang keluarga, dan kamar
kamar.

Kolong rumah tersebut dapat digunakan untuk tempat menyimpan alat alat pertanian maupun alat alat
perikanan.didepan rumahnya, pada bagian kanan dan kiri masing masing terdapat sebuah tangga untuk
memasuki rumah, kita harus menaiki tangga yang sebelah kanan, sedangkan untuk keluar dari rumah,
kita harus menuruni tangga yang sebelah kiri. Seluruh rumah terbuat dari bahan kayu.

2. Pakaian Adat

1. Pakaian Adat Bolaang Mangondow


Bolaang Mangondow adalah sebuah etnis suku di Sulawesi Utara yang dulunya pernah membentuk
sebuah kerajaan dengan nama yang sama. Etnis suku ini memiliki kebudayaan yang cukup maju di masa
silam. Hal ini dibuktikan oleh beragam jenis pakaian adat Sulawesi Utara yang dimiliki sesuai dengan
peruntukannya.

Untuk pakaian yang digunakan sehari-hari, masyarakat suku Bolaang Mongondow menggunakan kulit
kayu atau pelepah nenas yang diambil seratnya. Serat –atau yang disebut oleh orang sana dengan nama
“lanut” ini kemudian ditenun sehingga menjadi kain. Kain inilah yang kemudian dijahit menjadi pakaian
sehari-hari. Kendati demikian, saat ini pakaian keseharian tersebut sudah sangat jarang bahkan tidak
bisa lagi ditemukan. Sebagian besar masyarakat telah ,mengikuti perkembangan zaman sehingga lebih
sering mengenakan pakaian dari bahan kapas.

Adapun dalam perhelatan upacara adat, pakaian adat Sulawesi Selatan yang digunakan masyarakat
Bolaang Mangondow diberi nama baniang untuk pria dan salu untuk para wanita. Baniang adalah
pakaian dari perpaduan antara destar yang diikat di kepala dan pomerus yang diikatkan dipinggang.
Sedangkan salu adalah baju dengan kelengkapan kain senket pelekat sebagai atasan dan bawahan serta
hiasan emas untuk bagian dada yang disebut hamunse.

Artikel Terkait : Alat Musik Tradisional Provinsi Kalimantan Selatan

2. Pakaian Adat Minahasa

Suku Minahasa menghuni daerah di sekitar semenanjung Sulawesi Utara. Suku ini disebut memiliki
peradaban yang lebih maju dibanding suku Bolaang Mongondow di masa silam. Hal ini dibuktikan
dengan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam memintal kapas untuk menghasilkan kain yang
lebih nyaman digunakan untuk kegiatan sehari-hari. Pakaian tersebut bernama bajang.

Untuk upacara adat, masyarakat Minahasa umumnya mengenakan pakaian adat Sulawesi Utara yang
lebih modern. Kemeja dengan bawahan sarung, serta dilengkapi dengan dasi dan destar penutup kepala
berbentuk segitiga adalah pilihan utama. Sementara pada wanita cenderung lebih sering menggunakan
kebaya dan bawahan kain dengan warna yang sama (yapon), serta hiasan pernik perhiasan lain yang
diselipkan di sanggulan rambut, leher, lengan dan telinga.
3. Pakaian Adat Sangihe dan Talaud

Pakaian adat Sulawesi Utara dari suku Sangihe Talaud adalah pakaian yang umumnya hanya dikenakan
pada saat upacara Tulude. Pakaian ini dibuat dari bahan serat kofo atau sejenis tanaman pisang dengan
serat batang yang kuat. Serat ini dipintal, ditenun, dan dijahit menjadi selembar pakaian yang disebut
pakaian laku tepu.

Laku tepu adalah pakaian dengan baju lengan panjang dan untaiannya sampai tumit. Pakaian ini
dikenakan bersama perlengkapan lain yaitu popehe (ikat pinggang), paporong (penutup kepala),
bandang (selendang di bahu), dan kahiwu (rok rumbai). Pakaian dan perlengkapan ini digunakan baik
oleh wanita maupun para pria dengan warna dasar kuning, merah, hijau, atau warna cerah lainnya.

3. Tarian Daerah Sulawesi Utara

Tari Maengket, merupakan tari pergaulan yang dilakukan secara berpasang pasangan. Menggambarkan
suasana kasih sayang dan cumbuan.

Tari Polopalo, adalah tari pergaulan bagi muda mudi daerah Gorontalo.

Tapi Panen, tari ini menggambarkan kegembiraan masyarakat Minahasa yang secara gotong royong
melaksanakan panen cengkeh dan kopra. Ditarikan oleh sekelompok wanita, garapan tai ini didasarkan
atas unsur unsur gerak tari tradisi setempat.

Tari Cakalele, adalah tari yang melambangkan keprajuritan dan kegagahan.

Artikel Terkait : Mekiwuka, Tradisi Menyambut Tahun Baru di Manado

4. Senjata Tradisional

Keris merupakan senjata tradisional yang biasa dipakai oleh rakyat di Sulawesi Utara. Bentuknya lurus
tanpa berlekuk lekuk. Sedangkan senjata terkenal lainnya adalah peda (semacam parang), sabel,tombak,
dan perisai.
Pedan dan parang dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan, seperti untuk bertani atau menyadap
enau. Pedan ini bentuknya pendek dengan ukurun 50cm, terbuat dari besi. Hulunya terbuat dari kayu
yang keras dan ujungnya bercabang dua.

Sabel termasuk jenis peda dengan ukuran lebih panjang, yaitu 1-1,5m. Hulunya juga bercabang dua dan
dipakai untuk perang, perisai sebagai penangkis terbuat dari kayu, diberi ukiran dengan motif motif
binatang atau daun daun.

5. Suku :

Minahasa suku terbesar di Provinsi Sulawesi Utara (30%)

Sangir (19.8%)

Mongondow (11.3%)

Gorontalo (7.4%)

Tionghoa (3%)

Lainnya ( Jawa, Sunda, Bugis, Makasar, Bali, dan kaum pendatang (29.5%)

Masyarakat Sulawesi Utara, khususnya Suku Minahasa mengenal adanya adat - istiadat Mapalus.
Mapalus adalah suatu sistem atau teknik kerja sama untuk kepentingan bersama dalam budaya Suku
Minahasa. Secara fundamental, Mapalus adalah suatu bentuk gotong royong tradisional yang memiliki
perbedaan dengan bentuk-bentuk gotong royong modern, misalnya: perkumpulan atau asosiasi usaha.

Secara filosofis, MAPALUS mengandung makna dan arti yang sangat mendasar. MAPALUS sebagai local
spirit and local wisdom Masyarakat Minahasa yang terpatri dan berkohesi di dalamnya: 3 (tiga) jenis
hakikat dasar pribadi manusia dalam kelompoknya, yaitu: Touching Hearts, Teaching Mind, dan
Transforming Life. Mapalus adalah hakikat dasar dan aktivitas kehidupan orang Minahasa (Manado)
yang terpanggil dengan ketulusan hati nurani yang mendasar dan mendalam (touching hearts) dengan
penuh kesadaran dan tanggung jawab menjadikan manusia dan kelompoknya (teaching mind) untuk
saling menghidupkan dan menyejahterakan setiap orang dan kelompok dalam komunitasnya
(transforming life).
Menurut buku, The Mapalus Way, mapalus sebagai sebuah sistem kerja yang memiliki nilai-nilai etos
seperti, etos resiprokal, etos partisipatif, solidaritas, responsibilitas, gotong royong, good leadership,
disiplin, transparansi, kesetaraan, dan trust. Seiring dengan berkembangnya fungsi-fungsi organisasi
sosial yang menerapkan kegiatan-kegiatan dengan asas Mapalus, saat ini, Mapalus juga sering
digunakan sebagai asas dari suatu organisasi kemasyarakatan di Minahasa.

Mapalus berasaskan kekeluargaan, keagamaan, dan persatuan dan kesatuan. Bentuk Mapalus, antara
lain:

Mapalus tani

Mapalus nelayan

Mapalus uang

Mapalus bantuan duka dan perkawinan; dan,

Mapalus kelompok masyarakat.

Dalam penerapannya, Mapalus berfungsi sebagai daya tangkal bagi resesi ekonomi dunia, sarana untuk
memotivasi dan memobilisasi manusia bagi pemantapan pembangunan, dan merupakan sarana
pembinaan semangat kerja produktif untuk keberhasilan operasi mandiri, misalnya: program
intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Prinsip solidaritas yang tercermin dalam Mapalus terefleksi
dalam perekonomian masyarakat di Minahasa, yaitu dikenalkannya prinsip ekonomi Tamber.

Prinsip ekonomi Tamber merujuk pada suatu kegiatan untuk memberikan sesuatu kepada orang lain,
atau warga sewanua (sekampung) secara sukarela dan cuma-cuma, tanpa menghitung-hitung atau
mengharapkan balas jasa. Prinsip ekonomi Tamber berasaskan kekeluargaan. Dari segi motivasi adat,
prinsip ini mengandung suatu makna perekat kultural (cagar budaya) yang mengungkapkan juga
kepedulian sosial, bahkan indikator keakraban sosial Faktor. kultural prinsip ekonomi Tamber
berdasarkan keadaan alam Minahasa yang subur dan berlimpah, dan tipikal orang Minahasa yang
cenderung rajin dan murah hati. Budaya Gotong Royong yang terbentuk dalam satu ikatan persaudaran
ini banyak dijumpai di banyak Budaya Indonesia. Hal ini hampir serupa dengat adat istiadat Pela
Gandong di Maluku, yang terbentuk dalam suasana keberagaman dalam satu ikatan gotong royong.

6. Bahasa Daerah :
Gorontalo, Mongondow, Sangir, Minahasa, dan lain lain.

7. Lagu Daerah

Esa Moka

Gadis Teruna

O Ina Ni Keke

Si Patokan

Sitara Tillo

Tahanusangkara

Tan Mahurang

Ceklen

Permainan ceklen atau bekel biasa dimainkan oleh anak-anak perempuan di hampir semua wilayah
Indonesia.

Permainan ini biasanya dimainkan oleh dua sampai lima orang anak dengan menggunakan biji bia atau
kerang laut sebanyak empat, enam atau delapan biji bia sesuai dengan kesepakatan bersama.

Anak-anak akan duduk di lantai sambil bersila, memainkan bola dan bia. Sebelum bermain anak-anak
harus melakukan suten untuk mencari siapa yang akan memulai permainan, berturut-turut sebanyak
jumlah yang ikut bermain.

2. Tumbu-tumbu blanga

Permainan ini biasanya dimainkan oleh anak-anak perempuan secara berkempok terdiri dari lima hingga
enam orang. Mereka akan bermain di teras rumah sambil duduk bersila dan melingkar.
Cara bermain tumbu-tumbu belanga adalah jari setiap anak dikepalkan dan disilangkan di tengah
lingkaran. Kepalan tangan diurutkan bertingkat dari bawah ke atas.

Setelah semua kepalan tangan sudah menyatu di tengah lingkaran, maka anak-anak akan mulai
bernyanyi lagu Tumbu-tumbu Blanga, berturut-turut dari kepalan yang paling bawah akan membuka
telapak tangan mereka sampai kepalan yang paling atas.

3. Baka-baka sambunyi

Ini merupakan permainan mencari musuh atau lawan. Di daerah lain seperti di Jawa dan Sumatera lebih
dikenal dengan nama petak umpet.

Sebelum bermain anak-anak berundi dengan telapak tangan atau hompimpah (gambreng) sebanyak
anak yang ikut bermain.

Setelah tinggal dua anak, barulah dua anak tersebut melakukan suten dan yang kalah harus jaga blengko
sambil menutup mata, sampai hitungan yang disepakati bersama. Anak yang ditutup matanya harus
mencari teman-teman yang menjadi musuh atau lawan.

4. Cenge-cenge

Permainan populer ini bisa dijumpai hampir di seluruh wilayah Indonesia, dengan nama atau sebutan
yang berbeda-beda. Di Sulawesi Utara dikenal dengan sebutan permainan cenge-cenge, sedangkan di
Jawa dikenal dengan engklek atau manda (Sunda), sura manda, dan di daerah lain dikenal dengan
permainan teklek, jlong-jling, dampu atau lempeng.

Biasanya permainan ini dimainkan oleh anak perempuan, walaupun anak laki-laki juga sering ikut
bermain.
Cara bermain adalah melompat menggunakan satu kaki, dan tidak boleh menginjak garis petak-petak di
atas tanah. Jika garisnya terinjak maka dianggap gugur atau kalah.

5. Dodorobe atau tembak-tembakan

Permainan ini biasanya dimainkan oleh anak laki-laki, lebih ke seni fisik dalam bermain perang-
perangan.

Senjata atau alat tembak yang dipakai adalah bambu cina atau dalam bahasa lokal Manado disebut bulu
tui. Adapun untuk peluru dipakai kertas atau buah jambu air yang masih kecil.

Cara bermain dodorobe adalah anak-anak dibagi menjadi dua kelompok. Masing-masing kelompok
punya benteng dan saling tembak meniru adegan perang.

Kelompok yang paling banyak kena tembakan dan bentengnya berhasil dianggap kalah.

6. Lompat tali

Biasanya dimainkan oleh anak perempuan, tapi anak laki-laki sering ikut serta bermain. Mereka
menggunakan tali yang terbuat dari karet maupun akar pohon.

Permainan ini dimulai dengan mencari pemenang dengan cara hompimpah atau gambreng untuk
menentukan siapa yang akan pegang tali.

Dua orang yang kalah diharuskan untuk memegang ujung tali, dan pemenangnya melompatinya sampai
tidak menyentuh tali itu.

Jika dalam lompatan terkena atau menyentuh tali, maka akan diganti oleh pemegang tali hingga
bergantian terus menerus.
7. Slepdur

PREMIUM

JELAJAHI

BAGIKAN:

News Regional

Ini 9 Permainan Tradisional Anak di Sulawesi Utara

Kamis, 5 Mei 2016 | 16:24 WIB

MANADO, KOMPAS.com - Libur panjang pada akhir pekan ini sangat cocok dimanfaatkan untuk
mengajak anak bermain di luar rumah. Beberapa permainan tradisional dari masa tahun 1950-an hingga
1990-an masih bisa diajarkan bagi tumbuh kembang anak.

"Permainan anak zaman dulu yang dilakukan beramai-ramai secara berkelompok sudah jarang lagi
ditemui. Anak-anak sekarang lebih memilih tinggal di rumah bermalas-malasan sambil bermain gadget
tanpa bersosialisasi dengan teman sebayanya," ujar Koordinator Studio dan Perfilman Kantor Balai
Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sulawesi Utara, Tengah, dan Gorontalo, Rocky H Koagouw, Kamis
(5/5/2016).

Padahal permainan anak-anak tradisional memberikan banyak manfaat bagi tumbuh kembang anak,
misalnya dalam pertumbuhan kesehatan dan motorik anak.

Belum lagi keseruan permainan yang bisa dinikmati bersama teman-teman sebaya yang secara emosi
memberikan efek kesenangan dan kenangan bagi setiap anak.

Agar permainan yang sarat pesan edukasi itu tidak punah, BPNB Suluttenggo mencoba
mendokumentasikannya dalam bentuk rekaman video.
"Lembaga kami berkewajiban menggali dan melestarikan kebudayaan melalui berbagai program seperti
pembuatan film dokumenter, dan berusaha terus memperbaiki perkembangan kebudayaan daerah
sebagai entitas budaya nasional. Salah satunya mendokumentasikan permainan anak tradisional," jelas
Kepala BPNB Suluttenggo Rusli Manorek.

Menurut Rusli ini merupakan langkah efektif penggalian dan sosialisasi nilai-nilai budaya luhur yang
terkandung dalam berbagai permainan anak tradisional.

"Menumbuh kembangkan kesadaran solidaritas sosial sejak dini pada anak, yang pada zaman dulu
dilakoni para orang tua pada tatanan masyarakat tradisional," kata Rusli.

Bekerja sama dengan kontributor Kompas.com di Manado, BNPB Suluttenggo membuat video
dokumenter permainan anak tradisional berikut ini.

1. Ceklen

Permainan ceklen atau bekel biasa dimainkan oleh anak-anak perempuan di hampir semua wilayah
Indonesia.

Permainan ini biasanya dimainkan oleh dua sampai lima orang anak dengan menggunakan biji bia atau
kerang laut sebanyak empat, enam atau delapan biji bia sesuai dengan kesepakatan bersama.

Anak-anak akan duduk di lantai sambil bersila, memainkan bola dan bia. Sebelum bermain anak-anak
harus melakukan suten untuk mencari siapa yang akan memulai permainan, berturut-turut sebanyak
jumlah yang ikut bermain.
2. Tumbu-tumbu blanga

Permainan ini biasanya dimainkan oleh anak-anak perempuan secara berkempok terdiri dari lima hingga
enam orang. Mereka akan bermain di teras rumah sambil duduk bersila dan melingkar.

Cara bermain tumbu-tumbu belanga adalah jari setiap anak dikepalkan dan disilangkan di tengah
lingkaran. Kepalan tangan diurutkan bertingkat dari bawah ke atas.

Setelah semua kepalan tangan sudah menyatu di tengah lingkaran, maka anak-anak akan mulai
bernyanyi lagu Tumbu-tumbu Blanga, berturut-turut dari kepalan yang paling bawah akan membuka
telapak tangan mereka sampai kepalan yang paling atas.

3. Baka-baka sambunyi

Ini merupakan permainan mencari musuh atau lawan. Di daerah lain seperti di Jawa dan Sumatera lebih
dikenal dengan nama petak umpet.

Sebelum bermain anak-anak berundi dengan telapak tangan atau hompimpah (gambreng) sebanyak
anak yang ikut bermain.

Setelah tinggal dua anak, barulah dua anak tersebut melakukan suten dan yang kalah harus jaga blengko
sambil menutup mata, sampai hitungan yang disepakati bersama. Anak yang ditutup matanya harus
mencari teman-teman yang menjadi musuh atau lawan.

4. Cenge-cenge

Permainan populer ini bisa dijumpai hampir di seluruh wilayah Indonesia, dengan nama atau sebutan
yang berbeda-beda. Di Sulawesi Utara dikenal dengan sebutan permainan cenge-cenge, sedangkan di
Jawa dikenal dengan engklek atau manda (Sunda), sura manda, dan di daerah lain dikenal dengan
permainan teklek, jlong-jling, dampu atau lempeng.

Biasanya permainan ini dimainkan oleh anak perempuan, walaupun anak laki-laki juga sering ikut
bermain.

Cara bermain adalah melompat menggunakan satu kaki, dan tidak boleh menginjak garis petak-petak di
atas tanah. Jika garisnya terinjak maka dianggap gugur atau kalah.

5. Dodorobe atau tembak-tembakan

Permainan ini biasanya dimainkan oleh anak laki-laki, lebih ke seni fisik dalam bermain perang-
perangan.

Senjata atau alat tembak yang dipakai adalah bambu cina atau dalam bahasa lokal Manado disebut bulu
tui. Adapun untuk peluru dipakai kertas atau buah jambu air yang masih kecil.

Cara bermain dodorobe adalah anak-anak dibagi menjadi dua kelompok. Masing-masing kelompok
punya benteng dan saling tembak meniru adegan perang.

Kelompok yang paling banyak kena tembakan dan bentengnya berhasil dianggap kalah.

6. Lompat tali

Biasanya dimainkan oleh anak perempuan, tapi anak laki-laki sering ikut serta bermain. Mereka
menggunakan tali yang terbuat dari karet maupun akar pohon.
Permainan ini dimulai dengan mencari pemenang dengan cara hompimpah atau gambreng untuk
menentukan siapa yang akan pegang tali.

Dua orang yang kalah diharuskan untuk memegang ujung tali, dan pemenangnya melompatinya sampai
tidak menyentuh tali itu.

Jika dalam lompatan terkena atau menyentuh tali, maka akan diganti oleh pemegang tali hingga
bergantian terus menerus.

7. Slepdur

Dikenal juga dengan nama ular naga, biasanya dimainkan oleh anak perempuan dan anak laki-laki secara
bersama-sama. Zaman dulu, slepdur dimainkan di malam hari saat bulan purnama.

Jumlah pemain dari slepdur harus banyak agar lebih seru. Permainan ini biasanya dimainkan di lapangan
luas.

Anak-anak berbaris bergandeng tangan dan ditaruh di bahu teman, dibuat layaknya ekor ular naga yang
panjang. Biasanya anak yang tinggi yang menjadi kepala naga.

Selain ekor ular, ada dua anak yang akan menjadi gerbang dan mereka akan memilih salah satu anak
untuk dijadikan tumbal atau pengganti gerbang.

Di saat ular sedang berjalan, anak-anak akan menyanyikan lagu slepdur untuk menentukan ketukan
berhentinya ular naga.

8. Tuan dosep
Ini termasuk permainan anak-anak yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Permainan ini
terdiri dari satu orang anak yang menjadi si miskin dan meminta anak kepada kelompok anak yang
banyak jumlahnya.

Si miskin akan memilih anak dari si kaya, sambil berjalan maju dan menyebut nama anak yang akan
dimintanya. Begitu seterusnya sampai kelompok anak yang banyak jumlahnya habis.

9. Tali koko

Permainan ini harus dimainkan secara berkelompok. Tali koko dikenal juga dengan nama permainan
gobak sodor, sodoran atau galah asin.

Cara bermainnya, satu tim menjadi tim penjaga garis batas dan satu tim lagi sebagai tim penembus
benteng.

Permainan ini terdiri dari empat sampai enam orang anak. Setiap anggota dari tim pemain akan
berusaha menembus garis belakang penjaga arena.

Tim penjaga garis akan mencegah agar tim pemain tidak bisa melewatinya. Tim penembus benteng
harus melewati penjaga garis jangan sampai badannya tersentuh tangan tim lawan.

Bila badan penembus tersentuh tim penjaga garis batas, maka permainan berganti. Tim penjaga garis
menjadi tim penembus benteng.

Begitu seterusnya sampai ada tim yang bisa melewati garis batas tanpa tersentuh tangan penjaga garis
dan merebut benteng. Tim itulah yang menjadi pemenang
Suku Rejang

Suku bangsa ini berdiam di wilayah Kabupaten Rejang Lebong yang terletak di bagian timur Provinsi
Bengkulu. Wilayah tersebut mencakup sebagian pegunungan Bukit Barisan. Orang Rejang suka pula
menyebut diri orang Lebong. Berasal dari kata telebong (berkumpul). menurut tambo (sejarah lisan)
mereka berasal dari Bandar Cina (Palembang, penulis) yang datang ke Pagaruyung, Sumatera Barat, dan
menjadi orang Minangkabau. Sebagian lagi pergi ke lembah Ranah Sikelawi di pegunungan Bukit Barisan
dan menetap di sana menjadi Orang Rejang. Sebagian lagi berdiam di wilayah Provinsi Sumatera Selatan,
yaitu di daerah perbatasan dengan Provinsi Bengkulu, tepatnya di Kabupaten Lahat. Ciri-ciri masyarakat
dan kebudayaan Rejang di Lahat ini sama dengan orang Rejang di Provinsi Bengkulu.

Baca lengkap : Sejarah Suku Rejang

Suku Enggano

Suku bangsa ini berdiam di Pulau Enggano, sebelah barat pantai provinsi Bengkulu. Jumlah penduduk
pulau Enggano sekitar 12.000 jiwa dan jumlah populasi suku bangsa ini di pulau tersebut sekitar 6.000
jiwa, sedangkan sisanya pendatang dari suku Batak, Minangkabau dan Jawa. Kata Enggano berasal dari
bahasa Portugis yang berarti "tipuan" atau "kekecewaan". Dulu pelaut Portugis merasa tertipu dan
kecewa karena mengira pulau itu adalah pulau Jawa. Orang di dataran Sumatera zaman dulu
menyebutnya Pulau Telanjang. Suku Enggano menyebut tanah mereka cefu kakuhia (pulau besar) dan
diri mereka sendiri disebut E Lopeh.

Baca lengkap : Sejarah Suku Enggano

Suku Serawai

Suku bangsa ini sebagian besar berdiam di Kecamatan Seluma, Talo, Pino dan Manna di Kabupaten
Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu. Pada zaman dulu daerah mereka mencakup Marga Semidang Alas,
Pasar Manna, Ilir Tallo, Ulu Tallo, Ulu Manna, dan Ilir Manna. Jumlah populasinya sekitar 250.000 orang.
Tanah kediaman mereka cukup subur sehingga mata pencaharian pokoknya adalah bercocok tanam di
sawah dan ladang. Selain bertanam padi mereka banyak membuka kebun kopi dan cengkeh. Perairan
sungai dan lautnya banyak menyediakan ikan dan hasil hutannya, kayu, rotan, damar dan lain-lain cukup
menguntungkan kehidupan mereka.

Baca lengkap : Sejarah Suku Serawai

Suku Kaur

Suku Kaur adalah suatu kelompok masyarakat yang berada di provinsi Bengkulu, tersebar di beberapa
daerah di Bintuhan kecamatan Kaur Selatan, Tanjungiman kecamatan Kaur Tengah, Padangguci
kecamatan Kaur Utara dan di pesisir pantai sebelah barat Sumatra. Wilayah pemukiman suku Kaur
berdampingan dengan pemukiman suku Serawai dan suku Pasemah, yang juga telah lama bermukim di
wilayah tersebut. Bahasa yang diucapkan oleh suku Kaur adalah bahasa Kaur, yang digolongkan ke
dalam rumpun bahasa Melayu Tengah. Bahasa Kaur sendiri diperkirakan lebih tua daripada bahasa
Melayu.

Suku Lembak

Kata Lembak ada beberapa arti. Ada yang mengartikan "lembah", dan juga "lebak", yaitu daratan
sepanjang aliran sungai, dan ada pula yang mengartikan "belakang". Masyarakat ini sendiri memang
berdiam di daerah pedalaman provinsi Bengkulu, di pegunungan Bukit Barisan yang menjadi perbatasan

dengan provinsi Sumatera Selatan, dari mana bersumber air sungai Musi dan anak-anaknya.

Baca lengkap : Sejarah Suku Lembak

Suku Muko-Muko

Suku bangsa Muko-Muko berdiam di wilayah Kecamatan Muko-Muko Utara dan Muko-Muko Selatan,
wilayah Kabupaten Bengkulu Utara. Jumlah populasinya kira-kira sekitar 60.000 jiwa. Kehidupan
masyarakat ini memiliki tingkat mobilitas yang rendah. Asal kata Muko-Muko itu belum diketahui
sampai kini.

Baca lengkap : Sejarah Suku Muko-Muko

Suku Pekal

Suku bangsa ini berdiam di lingkungan Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Populasinya sekitar 40.000
jiwa lebih. Nama Pekal belum diketahui asal usul dan artinya. Tetapi menurut catatan suku bangsa ini
juga disebut juga Anak Sungai, Orang Kataun, Orang Seblat, Mekea atau Orang Ipuh.

Kebudayaan dan Kesenian Provinsi Bengkulu

Bengkulu adalah salah satu provinsi yang ada di Indonesia dan kota. Bengkulu ini menjadi ibu kota dari
provinsi Bengkulu itu sendiri yang terletak di kawasan pesisir barat Pulau Sumatera yang berhadapan
langsung dengan Samudera Indonesia dan berada pada koordinat 300 45‘ – 300 59‘ Lintang Selatan dan
102014‘ – 1020 22‘ Bujur Timur dengan luas wilayah 151,7 km2 ditambah 1 pulau dengan luas 2 Ha dan
lautan seluas 387,6 Km2. Bengkulu berasal dari bahasa Melayu-Jawi kata bang yang berarti ―pesisir
dan kulon yang berarti ―barat, kemudian terjadi pegeseran pengucapan bang berubah menjadi beng
dan kulon menjadi kulu.

Pada saat Inggris berada di Bengkulu terjadi peristiwa gempa bumi besar yang diiringi Tsunami yang
membuat wilayah geografis Bengkulu berubah. Hal itu terjadi pada sekitar tahun 1700-1800. Kejadian
itu sampai membuat Benteng Malbourough selama beberapa tahun dikosongkan. Di wilayah Bengkulu
sekarang pernah berdiri kerajaan-kerajaan yang berdasarkan etnis seperti Kerajaan Sungai Serut,
Kerajaan Selebar, Kerajaan Pat Petulai, Kerajaan Balai Buntar, Kerajaan Sungai Lemau, Kerajaan Sekiris,
Kerajaan Gedung Agung, dan Kerajaan Marau Riang. Di bawah Kesultanan Banten, mereka menjadi
vazal.

Berikut adalah ciri khas budaya Bengkulu, seperti pakaian adat, rumah adat, tarian tradisional, dan lain –
lain :

1. Pakaian Adat Provinsi Bengkulu

Pakaian Adat Pria Bengkulu terdiri dari Jas, Sarung, Celana Panjang, Alas kaki yang dilengkapi dengan
penutup kepala dan sebuah keris. Jas tersebut terbuar dari kain bermutu seperti wol dan sejenis nya,
dan biasanya berwarna gelap seperti hitam atau biru tua, begitu juga celana nya terbbuat dari bahan
dan warna yang sama.

Pakaian Adat Wanita Bengkulu mengenakan baju kurung berlengan panjang, bertabur corak-corak,
sulaman emas berbentuk lempengan-lempengan bulat seperti uang logam. Bahan baju kurung
umumnya beludru dalam warna-warna merah tua, lembayung atau hitam. Sarung Songket benang emas
atau perak dalam warna serasi dan sutra merupakan perangkat busana yang di gunakan dari pinggang
sampai mata kaki.

Untuk Lebih Detail Baca Pakaian Adat Pria dan Wanita Provinsi Bengkulu

2. Tarian Tradisional dan Seni Musik Daerah Bengkulu

Tari Bidadari Teminang Anak- Tarian Bengkulu

Setiap daerah di Indonesia pasti memiliki tarian tradisional atau musik tradisional nya sendiri sesuai
dengan adat istiadat yang ada di daerah tersebut, di provinsi Bengkulu juga memiliki seni tari tradisional
dan seni musik tradisional yang khas, seperti berikut ini :

Tarian Tradisional Provinsi Bengkulu :


Tari Tombak Kerbau

Tari Putri Gading Cempaka

Tari Pukek

Tari Andun

Tari Kejei

Tari Penyambutan

Tari Bidadari Teminang Anak

Tari Topeng

Seni dan Kerajinan Tradisional Provisni Bengkulu :

Geritan yaitu cerita sambil berlagu

Serambeak yang berupa Petatah-Petitih

Andi-andi yaitu Seni sastra yang berupa nasihat

Sambei yaitu seni vokal khas suku Rejang,biasanya untuk pesta perkawinan

Kerajinan tradisional yang ada di Bengkulu adalah kerajinan Batik. Batik yang ada di Bengkulu ini sama
seperti batik-batik yang ada di Jawa dan sekitarnya yang mana menghasilkan beragam batik dan menjadi
ciri khas dari Indonesia. Tetapi tetap berbeda dengan batik jawa, batik jawa identik dengan warna
coklat, kuning, merah, hijau, dan biru. sedangkan batik besurek memiliki warna yang lebih cerah dan
beragam. Batik yang di maksud adalah Batik Besurek.

Batik Besurek adalah kain batik asli Bengkulu yang merupakan element Budaya Bengkulu, motif utama
batik Besurek adalah huruf kaligraf atau kain batik yang dihiasi dengan huruf-huruf Arab Gundhul. Di
beberapa kain, terutama untuk upacara adat, kain ini memang bertuliskan huruf Arab yang bisa dibaca.
Tetapi, sebagian besar hanya berupa hiasan mirip huruf Arab atau yang di sebut tadi dengan Arab
Gundhul.

3. Rumah Adat Masyarakat Provinsi Bengkulu

Rumah adat bengkuluDalam bahasa melayu Bengkulu, rumah tempat tinggal dinamakan juga “Rumah”.
Rumah tradisional Bengkulu termasuk tipe rumah panggung. Rumah panggung ini dirancang untuk
melindungi penghuninya dari banjir. Disamping itu kolong rumah panggung juga dapat dipergunakan
untuk menyimpan gerobak, hasil panen, alat-alat pertanian, kayu api, dan juga berfungsi sebagai
kandang hewan ternak.

Bentuk rumah panggung melayu ini terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu :

Bagian atas rumah masyarakat Bengkulu terdiri dari :

Atap, terbuat dari ijuk, bamboo, atau seng

Bubungan, ada beberapa bentuk

Pacu = plafon dari papan atau pelupuh

Peran : balok-balok bagian atas yang menghubungkan

Tiang-tiang bagian atas

Kap : kerangka untuk menempel kasau

Kasau : untuk mendasi reng

Reng : untuk menempel atap

Listplang, suyuk, penyunting

Bagian tengah terdiri dari :

Kusen, kerangka untuk pintu dan jendela

Dinding : terbuat dari papan atau pelupuh

Jendela : bentuk biasa dan bentuk ram

Pintu : bentuk biasa dan bentuk ram

Tulusi (lubang angin) : ventilasi, biasanya di atas pintu dan jendela, dibuat dengan berbagai ragam hias

Tinag penjuru

Piabung : tiang penjuru hal

Tiang tengah

Bendu : balok melintang sepanjang dinding

Bagian bawah terdiri dari :


Lantai, dari papan, bamboo, atau pelupuh

Geladak, dari papan 8 dim dengan lebar 50cm dipasang sepanjang dinding luar di atas balok

Kijing, penutup balok pinggir dari luar, sepanjang keliling dinding

Balok (besar), kerangka untuk lantai yang memanjang ke depan

Tailan : balok sedang yang berfungsi sebagai tempat menempelkan lantai

Blandar : penahan talian, melintang

4. Suku Bangsa

Suku-suku bangsa yang mendiami Provinsi Bengkulu dapat dikelompokkan menjadi suku asli dan
pendatang, meskipun sekarang kedua kelompok ini mulai bercampur baur.Bahasa yang dominan
dipakai adalah bahasa Rejang,yang banyak dipahami oleh sebagian besar penduduk, selain bahasa
Melayu (bahasa Indonesia)dan bahasa Serawai.Di Pulau Enggano dipakai bahasa Enggano.Suku-suku
pribumi mencakup suku-suku berikut:

Mukomuko, mendiami wilayah Kabupaten Mukomuko;

Pekal, mendiami wilayah Kabupaten Mukomuko dan Kabupaten Bengkulu Utara;

Rejang,mediami wilayah Kabupaten Bengkulu Utara, Kepahiang, Rejang Lebong dan Lebong;

Lembak, mendiami wilayah Kota Bengkulu dan Kabupaten Rejang Lebong;

Serawai, mendiami wilayah Kabupaten Seluma dan Bengkulu Selatan;

Pasemah, mendiami wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan dan Kaur;

Kaur, mendiami wilayah Kabupaten Kaur;

suku-suku pribumi Enggano (ada enam puak), mendiami Pulau Enggano. Suku bangsa pendatang
meliputi Melayu , Jawa (dari Banten),Bugis, Madura, minangkabau, Batak, Sunda,dan lain-lain.

Penduduk asli pendukung kebudayaan tertua di Bengkulu terdiri dari 4 suku bangsa besar, yakni:

Suku Melayu, sebagian besar bermukim di di Kotamadya Bengkulu.

Suku Rejang, tersebar di Kabupaten Lebong, Rejang Lebong dan sebagian Bengkulu Utara.

Suku Serawai, yang mendiami Kabupaten Bengkulu Selatan

Suku Engano, yang bermukim di Pulau Enggano. Orang Melayu merupakan kelompok etnik yang
terbesar jumlahnya diantara penduduk yang bermukim di wilayah propinsi Bengkulu. Alkisah, orang
Melayu Bengkulu ini merupakan percampuran antara suku bangsa asli Bengkulu dengan orang-orang
Melayu pendatang dari Jambi, Riau, Palembang, Minangkabau, dan daerah-daerah lainnya di sebelah
selatan.

5. Bahasa

Rumpunan bahasa yang terdapat dan digunakan di Provinsi Bengkulu antara lain sebagai berikut:

Bahasa Ra-Hyang atau Re-Hyang (Rejang).

Bahasa Enggano (Pulau Perempuan).

Bahasa Lampung.

Bahasa Malayu Ippoh (Muko-muko, Lubuk Pinang, Bantal, Lima Koto, Ketahun, Pasar Bengkulu, dsb).

Bahasa Malayu Lembak (Tanjung Agung, Dusun Besar, Pada Dewa, dsb).

Bahasa Malayu Kotamadya Bengkulu.

Bahasa Malayu Serawai dan Pasemah (Pha-semah) yang penyebarannya meliputi Manna, Tais, Kepalak
Bengkerung, Tanjung Sakti, Padang Guci, Kedurang, Kaur, dsb.

Bahasa Malayu Bintuhan. Tiga komunitas bahasa, yaitu Rejang, Enggano dan Lampung tidaklah termasuk
dalam kelompok rumpunan Bahasa Malayu yang dikemukakan sebelumnya. Tiga etnik ini memiliki
kelompok rumpunan bahasa tersendiri, dan etnik inilah yang merupakan penduduk asli negeri Bengkulu

6. Alat Musik Tradisional

Di provinsi Bengkulu terdapat alat musik yang cukup terkenal, yaitu Dol. Alat musik ini berbentuk mirip
gendang yang dimainkan dengan cara ditabuh. Masyarakat Bengkulu dari anak-anak sampai dewasa
sangat akrab dengan alat musik Dol. Alat musik lain yang dapat ditemukan di provinsi Bengkulu yaitu
gong, kerilu, serdap, gendang, kolintang, serunai, biola, rebana, dan rebak. Selain itu terdapat pula alat
musik tradisional seperti serdaun, yang merupakan alat musik tabuh tradisional yang dapat dijumpai
dalam tradisi masyarakat Rejang Lebong.

7. Lagu Daerah Bengkulu

Jenis lagu daerah bengkulu sangat beranekaragam. Ada yang dilantunkan dalam upacara adat, pengiring
kesenian atau pada waktu bermain. Ada lagu yang bercorak bahasa Rejang, Melayu Bengkulu, Pasemah,
atau bahasa daerah Bengkulu lain. Beberapa nama lagu daerah tersebut, seperti Toy Botoy-Botoy,
Bekatak Kurang Kariak, Ding Kedinding Ambin Umbut, Sekundang Setungguan, Ratu Samban.

8. Senjata Tradisional
Sewar/Badik

Setiap suku di Nusantara memiliki senjata tradisional yang digunakan dalam keperluan sehari-hari,
misalnya berburu, mencari kayu, membela diri, atau keperluan upacara adat. Suku-suku bangsa si
Bengkulu mengenal berbagai bentuk senjata tradisional antara lain Keris, Kuduk, Panah, Rudus, dan
Sewar/Badik.

9. Makanan dan Minuman Tradisional

Berikut ini makanan dan minuman khas yang dapat dijumpai di Bengkulu.

Gelami/dodol khas Bengkulu

Gelamai, yaitu dodol khas Bengkulu. Gelamai terbuat dari tepung ketan dan kelapa.

Perut punai, yaitu makanan yang terbuat dari tepung beras ketan dan gula merah.

Nasi santan, yaitu makanan yang terbuat dari beras dan santan.

Kopi anggut, merupakan minuman khas yang terdapat di kelurahan Anggut Atas kota Bengkulu.

Ikan pais, merupakan ikan pepes khas Bengkulu. Jenis pepes ini terbuat dari ikan gebu dan ikan buli.

Rebung Asam, yaitu rebung yang direndam dalam cucian beras dan dimasak seperti asam pedas.

Tidak semua jenis makanan tersebut dapat dijumpai di setiap daerah di Bengkulu. Setiap daerah
memiliki jenis makanan dan minuman yang berbeda. Jenis makanan dan minuman khas Bengkulu yang
lain, yaitu lemang, tekwan, oncong-oncong pisang, emping melinjo (baguk), lempuk durian, kue siput,
lumpuing, lontong ajo gulai tunjang, lontong tunjang, kue lupis, miso, kue tat, kelio lokan, lotek
bengkulu, bagar hiu, kopi bubuk, dan rujak.

Bobot

Bobot ini terbuat dari 2 batang kayu dengan panjang sekitar 150 cm (dapat digenggam jemari anak),
kemudian di bagian bawahnya sekitar 100 cm dipalangkan kayu yang sama dengan ukuran panjang
sekitar 50—75 cm. Gunanya adalah untuk tempat menarik kayu yang sudah diikat dengan rotan atau tali
akar. Bobot ini sangat digemari anak-anak Rejang di Lebong, karena kebanyakan orangtuanya sepanjang
hari.
Bahkan, ada yang berbulan-bulan tinggal di kebun atau ladang. Sehingga anak-anak yang ditinggalkan di
rumah di dusun (sebutan untuk kampung), harus mencari kayu bakar sendiri di pinggir-pinggir hutan.
Jadi, anak-anak masyarakat Rejang harus dapat hidup mandiri kalau di tinggal di dusun.Biasanya, mereka
mencari kayu bakar tidak sembarangan menebang kayu. Kayu yang dipilih seperti kayu nilo atau kayu-
kayu yang sudah mati. Lalu mereka potong seukuran 3—4 meter. Kemudian ditarik dengan Bobot ke
rumah masing-masing.

Kebiasaannya mereka mencari kayu sepulang dari sekolah dan beramai-ramai. Sedangkan Bobot ukuran
lebih besar, biasanya digunakan oleh orangtua (orang dewasa). Bentuknya mirip, hanya ukurannya
(ukuran kayu) lebih besar, sebab Bobot yang ukuran lebih besar biasanya ditarik oleh kerbau yang
membawa kayu-kayu balok dari tengah hutan.

Perbedaannya, antara Bobot kecil (untuk anak-anak) dan Bobot besar terletak di bagian ujung bagian
atas. Bobot besar harus ada kayu yang melengkung dihubungkan antara kedua kayu bulat Bobot.
Karena, kayu yang melengkung itu ketika ditarik oleh kerbau, bisa melekat di tengkuk kerbau. Namun,
harus ditambahkan tali yang seakan-akan melilit di leher kebaru. Maksudnya, agar Bobot tidak melorok
dan tetap di tengkuk kerbau.

Ceu Cet

Permainan Ceu Cet ini hampir mirip dengan permainan petak umpet. Artinya Ceu Cet adalah melompat-
lompat dari satu kota ke kotak lainnya. Bentuk permainannya adalah melompat ke kotak-kotak yang
sudah dibuat dengan garis di tanah. Kenapa harus di tanah? Karena sebelum pemainnya melompat ke
setiap kota yang tersedia, si pemain harus melemparkan sebuah batu berbentuk ceper ke masing-
masing kotak yang ada.Jika lemparan batu mengenai garis, maka dianggap dis dan akan dilanjutkan
dengan pemain yang lainnya. Demikian seterusnya.

Begitu juga kalau kakinya waktu melompat dari satu kotak ke kotak lain mengenai garis, iapun dianggap
dis. Jumlah pemainnya tidak terbatas dan tidak menggunakan waktu. Sembunyi Di Terang
BulanPermainan jenis ini hanya dilakukan saat terang bulan. Peralatannya hanyalah kayu bakar yang
sudah dipotong-potong, kemudian disusun dari bawah ke atas. Biasanya di halaman rumah.

Tinggi susunan kayu bakar, biasanya melebihi tinggi badan anak-anak usia 10-13 tahun. Cara
bermainnya, mereka memulai dari suten (suit). Siapa yang kalah untuk beberapa saat harus menutup
mata. Kemudian, mencari teman-temannya di antara susunan kayu bakar yang mereka buat. Permainan
ini dilakukan anak laki-laki dan perempuan. Biasanya mereka lakukan setelah pulang mengaji atau
menjelang tidur.Ketika yang kalah (si pencari) menemukan temannya di dalam tumpukan kayu bakar
yang disusun, ia harus menebak, siapa gerangan yang ada di dalam. Jika ia salah menebak, maka ia tetap
kalah. Demikianlah seterusnya.

Eket Pun Pisang

Permainan Eket Pun Pisang (Eket=rakit, Pun=batang/pohon, Pisang=pisang). Permainan ini dilakukan
anak-anak Rejang di Lebong di Bio Tik (kali/sungai kecil) yang ada di sekitar dusun mereka atau di sekitar
Danau tes. Kadang kala mereka melakukan perlombaan, siapa yang cepat sampai di tempat tujuan yang
sudah ditentukan.Eket Pun Pisang dibuat dari beberapa batang pisang yang dipotong dengan ukuran
panjang yang sama.

Kemudian batang-batang pisang itu ditusuk dengan kayu atau bambu dengan tujuan agar batang-batang
pisang itu menyatu. Ada pula yang menambahkan ikatan tali, agar rakitnya itu kuat. Eket Pun Pisang,
sering juga digunakan untuk menyeberangi Bioa Ketawen (Air Ketahun), karena keterbatasan jumlah
perahu yang ada. Kalau pun ada, biasanya yang punya tidak mau meminjamkan kepada anak-anak yang
suka bermain di air.Permainan ini sangat terkenal di Kotadonok, Tes, Turung Tiging, Turan Lalang,
Talangratu, Tapus, Talangbaru dan Tanjung.SlulutPermainan ini sangat digemari anak-anak Rejang di
Lebong, terutama di dusun mereka banyak tebing. Slulut (bersilancar dengan pelepah daun pinang)
menggunakan pelepah pinang yang tua yang sudah jatuh. Pelepah daun pinang itu bagian daunnya
dipotong dan tinggal beberapa centimeter untuk pegangan.Satu pelepah daun pinang itu bisa dinaiki
sekitar 3—4 anak.

Dan yang paling depan menjadi sopir memegang tanggai pelepah daun pinang. Mereka bia bermain di
tanah yang miring. Artinya, tanah yang bisa membuat mereka merosot dari atas ke bawah. Permainan
itu sangat mengasyikkan bagi anak-anak terutama di Kotadonok, Talangratu, Rimbo Pengadang, dan
Tapus.

Anda mungkin juga menyukai