Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena berkat Rahmat
dan karunia-Nya kami bisa menyelesaikan tugas makalah dengan pokok pembahasan
“ruang lingkup farmakoepidemiologi dan peran epidemiologi dalam bidang farmasi”
tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan makalah ini banyak mendapat tantangan dan hambatan akan
tetapi, dengan bantuan teman-teman masalah itu bisa teratasi. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Saya meyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari
bentuk penyusunan maupun materinya. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan
saran yang dari pembaca untuk kesempurnaan makalah selajutnya. Semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua
.

Palu, 21 Desember 2018

Agus Mardin
B 201 15 135
BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Latar belakang dibuatnya makalah ini adalah sebagai salah satu tugas Mata
Kuliah Kajian Masyarakat Pesisir dan Komunitas Adat Terpencil , tapi terlepas
daripada itu kita harus memiliki kesadaran dan rasa memiliki terhadap kekayaan
bangsa ini, baik kekayaan flora, fauna, suku budaya atau kekayaan yang lainnya.
Maka daripada itu makalah ini disusun sebagai bentuk keikut sertaan pelestarian
juga pengenalan bahwa di daerah nun jauh disana ada salah satu suku yang unik
dan keadaannya mungkin sudah hampir bias di hitung jari, yaitu suku to wanaa
yang tepat nya berada di wilayah kabupaten Morowali, pemukiman berada di
kecamatan Mamosolato, Petasia, dan Soyojaya, dan tedapat juga di wilayah
pedalaman di kabupaten Luwuk Banggai.

I.2 Tujuan Penulisan


Seperti telah di singgung diatas tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:
1. Mengenal keanekaragaman budaya bangsa
2. Menimbulkan rasa bangga dan memiliki terhadap asset kebudayaan bangsa
3. Untuk lebih mengenal suku pedalaman sulawesi tengah
4. Salah satu upaya menjaga dan melestarikan kebudayaan bangsa
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Asal Usul

Berbicara tentang Suku Wana, pertama-tama yang harus diketahui


adalah tentang sebuah kawasan yang terletak di pedalaman Propinsi Sulawesi
Tengah bagian Timur. Kawasan yang dimaksud merujuk pada pemukiman
Suku Wana yang meliputi wilayah pedalaman di Kabupaten Poso (terutama di
Kecamatan Ampana Tete, Ulu Bongka, dan pedalaman Kecamatan Bungku
Utara), Kabupaten Morowali (Kecamatan Mamolosato, Petasia, dan Soyojaya),
dan wilayah pedalaman di Kabupaten Luwuk Banggai. (Sudaryanto, 2005).
Oleh masyarakat luar, Suku Wana sering disebut sebagai Tau Taa Wana yang
artinya orang yang tinggal di kawasan hutan. Namun, suku wana sendiri lebih
sering menyebut dirinya dengan Tau Taa (tanpa wana) atau orang Taa. Hal ini
disesuaikan dengan bahasa yang mereka gunakan, yaitu bahasa Taa –selain
karena dalam bahasa mereka tidak dikenal istilah wana (Camang, 2006). Dalam
membangun kawasan pemukimannya, Suku Wana memilih untuk tidak
membaur dengan penduduk mayoritas. Mereka memilih tinggal di kawasan
pedalaman hutan Sulawesi Tengah dengan membangun semacam
perkampungan yang disebut lipu. Dalam tradisi suku Wana, nama kelompok
masyarakat yang menempati Lipu disesuaikan dengan nama kawasan di mana
Lipu tersebut berada. Misalnya To Posangke, To Oewaju, To Kajupoli, To
Bulang, To Kajumarangke, To Untunue, To Langada, dan sebagainya
(Departemen Transmigrasi dan PPH RI, Kantor Wilayah Propinsi Sulawesi
Tengah, 1999/2000). Berdasarkan data sejarah, orang-orang Wana berasal dari
sebuah kawasan di bagian selatan tenggara Pulau Sulawesi, tepatnya pada
bagian Barat Daya atau Barat Laut Malili, di sebelah Tenggara Teluk Bone.
Mereka sampai berada di pemukimannya saat ini diduga melalu gelombang
migrasi pada ratusan tahun sebelum Masehi. Dari ciri-ciri fisik, kebudayaan
material maupun dialek bahasa, Suku Wana termasuk dalam kelompok suku
besar “Koro Toraja” yang rute migrasinya berawal dari muara antara Kalaena
dan Maili kemudian menyusuri Sungai Kalaena dan terus ke utara melewati
barisan Pegunungan Tokolekaju sampai akhirnya tiba di bagian tenggara pesisir
Danau Poso (Dirjen Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996/1997). Dari tempat tersebut
nenek moyang Suku Wana selanjutnya bergerak ke arah Timur Laut manyisir
lereng Gunung Kadata menuju dataran Walati di Lembah Masewa yang dialiri
Sungai La. Mereka terus bergerak ke arah Timur menyusuri lembah Sungai
Kuse sampai akhirnya tiba di daerah Hulu Sungai Bau. Kemudian melanjutkan
perjalanan migrasinya ke arah timur hingga mencapai Hulu Sungai Bongka
(Kaju Marangka). Di sini mereka kemudian menetap dan berkembang menjadi
kelompok etnik Tau Taa Waba (Mattulada, 1985). Dari Kaju Marangka,
menurut A.C Kryut, peneliti awal dari Belanda, dalam artikelnya yang berjudul
De To Wana op Oost-Celebes (1930), sebagian imigran tersebut kemudian
menyebar dan mengelompok menjadi empat suku yang memiliki dialek bahasa
yang berbeda, yaitu : 1. Suku Barangas, berasal dari Luwuk dan bermukim
di kawasan Lijo, Parangisi, Wumanggabino, Uepakatau, dan Salubiro; 2.
Suku Kasiala, berasal dari Tojo Pantai Teluk Tomini dan kemudian bermukim
di Manyoe, Sea, sebagian di Wumanggabino, Uepakatau, dan Salubiro; 3.
Suku Posangke, berasal dari Poso dan berdiam di kawasan Kajupoli, Toronggo,
Opo, Uemasi, Lemo, dan Salubiro; 4. Suku Untunue, mendiami Ue Waju,
Kajumarangka, Salubiro, dan Rompi. Kelompok suku ini sampai sekarang
masih menutup diri dari pengaruh luar (Yayasan Sahabat Morowali, 1998).
Pendapat sejarah di atas mendapat pembenaran dari para tetua adat Suku Wana,
terutama tetua-tetua adat di Bulang dan tetua-tetua adat di Cagar Alam
Morowali, yang meyakini bahwa leluhur mereka adalah satu, berasal dari
Tundantana, yaitu sebuah tempat di wilayah Kaju Marangka, yang berada
dalam kawasan Cagar Alam (CA) Morowali. Tundantana diyakini sebagai
tempat manusia pertama yang dititiskan dari langit dan kemudian melahirkan
leluhur-leluhur Suku Wana. B. Konsepsi Leluhur Suku Wana Dilihat dari tipe
kabudayaan yang dikembangkan, Suku Wana tergolong dalam rumpun
Austronesia. Hal ini dapat diihat dari cara mereka dalam menjelaskan asal-usul
leluhur mereka yang konon turun dari langit (Sudaryanto, 2005). Menurut para
tetua adat Suku Wana, ada empat tempat urutan wilayan sebaran Suku Wana
sekarang, yang berhubung langsung dengan mitologi asal-usul leluhur Suku
Wana, yaitu : Kaju Kele’i yang lebih populer dengan sebutan Kaju Marangka,
Tongku Tua, dan Watumoana yang ketiganya berada di kawasan Cagar Alam
Morowali, serta Sarambe yang terletak di kawasan Daerah Aliran Sungai
(DAS) Bulang bagian Hulu, tepatnya dalam wilayah adat Suku Wana Bulang
Lipu Mpoa (Camang, 2003). Para tetua adat Suku Wana percaya bahwa silsilah
leluhur mereka yang pertama adalaj seorang perempuan bernama Ngga yang
diturunkan ke bumi oleh Pue (Tuhan) dan seorang lelaki bernama Mbakale
yang merintis dari sebatang kayu besar bernama Kaju Paramba’a. Keduanya
kemudian kawin dan melahirkan dua orang anak. Anak pertama bernama
Manyamrame (perempuan) dan anak kedua bernama Manyangkareo (laki-laki).
Setelah dewasa, Manyamrame dan Manyangkareo kemudian dikawinkan. Dari
perkawinan tersebut, lahir tujuh orang anak, masing-masing: Jambalawa
(perempuan), Sansambalawa (laki-laki), Lapabisa (perempuan), Vuampuangka
(laki-laki), Pini (perempuan), dan Andimaniyu (perempuan) (Dinas
Kesejahteraan Sosial Daerah Propinsi Sulawesi Tengah, 2003). Setelah Pini
yang tetap melajang di Kaju Marangka hingga membantu menjadi watumona
(batu beranak), keenam saudarnya dikawin-mawinkan yang masing-masing
sebagai berikut: Jambalawa dan Animasa (merantau ke tanah Gowa dengan
menggunakan bintang tiga), Sansambalawa dan Andimaniyu serta Lapabisa
(merantau ke tanah Cina dengan menumpang buntang tujuh), serta Lapabisa
dengan Vuampuangka (merantau ke tanah Jawa dengan menggunakan kapal).
Sedangkan Pini, tetap lajang di Kaju Marangka, dan diyakini sebagai orang
yang sekarang menjadi watumoana (Yayasan Sahabat Morowali, 1998). Dari
perkawinan antara Jambalawa dan Animasa, membuahkan sejumlah keturunan.
Tiga diantara anak keturunan itu datang kembali ke Burangas (tanah asal orang
tuanya), yakni: Pue Loloisong di Kaju Marangka dan Pue Rorat di Sarambe,
Janggu Wawu di Kaju Marangka. Sedangkan Sansambalawa dan Andimaniyu
mendapatkan anak bernama “Pue Dungola” yang sempat datang ke Tongku Tua
tetapi kembali lagi ke Cina (Dinas Kesejahteraan Sosial Daerah Propinsi
Sulawesi Tengah, 2003). Pue Loloisong, Pue Rorat, dan Janggu Wawu inilah
yang diyakini sebagai leluhur langsung Suku Wana. Pue Loloisong, menurut
keyakinan umum Tau Taa Wana dimakamkan di Kaju Marangka, sementara
Janggu Wawu menghilang ke alam lain ketika berada di Gunung Tongku Tua.
Sedangkan makam Pue Rorat diyakini berada dalam gua di puncak gunung
Sarambe, yang berada dalam wilayah lipu Mpoa (Dinas Kesejahteraan Sosial
Daerah Propinsi Sulawesi Tengah, 2003). Terlepas dari benar tidaknya
keyakinan tersebut, yang pasti Museum Sulawesi Tengah sejak tahun 1970-an
telah menetapkan Gua Sarambe sebagai tempat yang dilindungi sebagai cagar
budaya. Daam gua tersebut banyak terdapat benda-benda peninggalan sejarah
berupa guci kuno dan tempayan. C. Pengaruh Sosial Sebagaimana suku-suku
pedalaman lainnya, Suku Wana juga menjalankan pola hidup yang secara
simbolik terkait dengan upaya menjaga keharmonisan hubungan dengan para
leluhur mereka. Satu hal yang paling menonjol dari upaya tersebut adalah
dengan menjaga setiap jengkal tanah yang diwariskan oleh leluhur mereka.
Dalam keyakinan Suku Wana, tanah (tana poga’a) diciptakan oleh Pue (Tuhan)
adalah tidak lain untuk menjadi tempat hidup leluhur pertama mereka. Jadi,
tanah tempat hidup mereka sekarang ini adalah tanah yang diberikan oleh Pue
kepada nenek moyang mereka, yang selanjutnya diwarisi oleh Orang Wana
saaat ini untuk dijaga kelestariannya. Jika tanah tersebut sampai rusak atau
berubah fungsi, maka Pue dan leluhur mereka akan murka dan segera
mendatangkan bencana alam seperti tanah longsor dan kebakaran hutan. Dalam
kehidupan sehari-hari, Suku Wana menyebut tanah warisan leluhur mereka
dengan “tana ntautua” atau tanah para leluhur (Yayasan Sahabat Morowali,
1998). Keyakinan tentang kekeramatan tentang tana ntautua begitu melembaga
dalam kehidupan Suku Wana hingga sekarang ini. Hal ini membuat Suku Wana
selalu menolak setiapkali pemerintah berniat memindahkan (resettlement)
mereka menuju kawasan pemukiman yang menurut pemerintah labih layak.
Bagi Suku Wana, resettlement tersebut adalah sebuah pemaksaan untuk
membuat mereka durhaka kepada leluhur, karena tidak lagi menjaga dan
mempertahankan tana ntautua (Camang, Nunci, dan Tampobolan, 2005).
Keteguhan menjaga tana ntautua tersebut juga yang melahirkan implikasi-
implikasi simbolik yang bagi Suku Wana telah menjadi semacam hukum adat
yang harus dipenuhi. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut : 1. Menebang pohon berakibat pada petaka Dalam keyakinan Suku
Wana, pohon berfungsi sebagai perekat tanah leluhur. Jika pohon ditebang
secara berlebihan, maka tanah enjadi tidak rekat lagi sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya bencana alam. Dengan demikian, dalam memaknai
fungsi pohon, Suku Wana memiliki kesamaan dengan kaum konservasionis
yang juga menganggap pohon berfungsi sebagai perekat tanah. Hanya saja
keduanya memiliki alasan yang berbeda. Jika kesimpulan kaum konservasionis
itu merujuk pada ilmu ekologi modern, maka kesimpulan Suku Wana merujuk
pada cerita tentang kaju paramba’a. Tentu adat Suku Wana menjelaskan cerita
kaju paramba’a sebagai berikut : “kaju kele’i dan kaju paramba’a adalah kayu
yang sengaja ditancapkan oleh Pue (Tuhan) tidak saja untuk melindungi leluhur
Suku Wana tetapi juga untuk mengikat tanah leluhur atau tana ntautua agar kuat
dan terus menyatu. Tapi karena kaju paramba’a kemudian ditebang oleh ngga,
akibatnya timbul bencana tanah longsor, sehingga tana ntautua terpecah
menjadi pulau-pulau. tana ntautua yang dulunya luas menjadi sempit. Setelah
kaju paramba’a ditebang, maka yang sudah sempit akan menjadi semakin
sempit.” (dalam Abubakar dan Camang, 2004). Selain tanah dan kayu, satu
komponen lagi yang menurut Suku Wana harus dilindungi adalah sungai.
Pohon-pohon besar (kaju), tanah (tana), dan sungai (ue) adalah kesatuan yang
saling terkait. Kesatuan itulah yang oleh Suku wana kemudian disebut sebagai
hutan atau pangale. Jika salah satu unsur pangale tersebut dirusak, maka
keseimbangan kesatuan tersebut akan rusak. Untuk itu, menurut keyakinan
Suku Wana, jika manusia ingin kehidupannya di dunia ini terhindar dari
bencana, maka mereka harus mampu menjaga kelestarian pangale nya(Yayasan
Sahabat Morowali, 1998). 2. Pangale “Orang tua” yang harus dilindungi
Makna simbolik lain yang juga melembaga sampai saat ini di kalangan Suku
Wana sebagai hasil dari penafsiran terhadap cerita kajuparamba’a adalah
“hutan sebagai orang tua”. Hal ini pernah disampaikan oleh Jeo, pemula adat
dari Lipu Mpoa, dalam acara “Lokakarya dan Dialog Nasional Promosi Sistem
Hutan Kerakyatan,” di Jakarta tanggal 3 – 7 Juli 2010. Ketika itu, Jeo yang
biasa dipanggil Apa Inse, memaparkan : “Istilah hutan bagi kami adalah
Pangale. Dia adalah ibu bagi masyarakat kami. Kenapa hutan itu kami jaga
karena hutan (pangale) adalah ibu kami. Dalam melakukan kapongo (membuka
hutan), kami bikin upacara adat, karena itu termasuk memindahkan nyawa ibu.
Navu (kebun) kami akan hidup karena dalam lindungan ibu (pangale)... kami
marah pada HPH karena merusak hutan. Kami yang pelihara hutan justeru
dianggap merusak” (dalam Camang, Nunci, dan Tampubolon, 2005). 3.
Pangale : Tempat Keramat Selain memaknai hutan berdasarkan penafsirannya
terhadap cerita kaju paramba’a, komunitas Suku Wana juga memiliki
pemahaman tentang hutan berdasarkan keyakinannya terhadap pandangan
dunianya (kosmologi). Dari pandangan dunia ini, mereka kemudian
menafsirkan hutan (pangale) sebagai tempat sakral (keramat) yang mesti
diperlakukan secara religio magis. Suku Wana percaya bahwa terdapat tiga
jenis kekuatan roh yang menjaga hutan, yaitu roh-roh suci (malindu maya,
malindu oyo, lamba jadi) roh-roh jahat (walla), dan arwah-arwah manusia
(rate). Menyebut nama roh-roh ini adalah pantangan bagi Suku Wana ketika
mereka berada di dalam hutan, kecuali sedang meakukan ritual-ritual tertentu
(Camang, Nunci, dan Tampubolon, 2005). Keyakinan akan adanya roh
penunggu hutan tersebut membuat Suku Wana memiliki kesadaran yang tinggi
terhadap pelestarian kawasan hutan. Sebab, jika hutan dirusak, roh-roh
penunggu hutan akan marah, dan selanjutnya akan mendatangkan malapetaka
kepada manusia yang merusak hutan tersebut. D. Suku Wana dan Hubungan
dengan Dunia Luar Suku Wana umumnya merupakan petani ladang berpindah
dan mendiami bagian pendalaman berbukti dari Kecamatan Ulu Bongka,
Bungku Utara,dan Barone di Kabupaten Poso. Angaka sensus yang pasti tidak
diperoleh, tetapi warga suku Wana mungkin mencapai 5.000 orang, warga suku
Wana bukannya tak terpengaruh sama sekali dari peristiwa di luar daerah suku
Wana. Pada abad yang lalu, sebagian suku Wana tergabung dalam kesulitan
yang berkuasa di daerah pantai. Sebagian penduduk Wana tunduk pada Raja
Bungku di selatan dan sebagian kepada Raja Tojo di Utara. Dalam dasawarsa
pertama abad ke-20, pemerintah Hindia Belanda memasuki daerah Wana untuk
memerintahnya secara langsung. Terasingnya daerah sehingga menimbulkan
masalah administratif, pihak Belanda mencoba mengurangi beban
pemerintahan dengan memindahkan warga suku Wana rangi beban pemerintah
Indonesia beberapa puluh tahun. Suku Wana menolak upaya pemukiman
dengan alasan tanah pertanian baru kurang subur dan lingkungan yang asing.
Akhirnya, pemerintah Hindia Belanda menghentikan usaha dan mengizinkan
suku Wana tetap tinggal di daerah aslinya asalkan mereka mendaftarkan diri
pada penguasa dan membentuk kampung. Banyak suku Wana yang rela
membantu memenuhi persyaratan. Kampung dibangun, dan beberapa sekolah
mulai didirikan di pendalaman. Pemerintah Hindia Belanda berakhir pada masa
Perang Dunia II. Sekolompok kecil serdadu jepang ditempatkan di pendalaman
dengan rencana membangun lapangan udara (Michel D. Dove, 1985:7).
Pemerintah Indonesia berkuasa di daerah Wana. Eferktivitas dan jangkauan
pemerintah bervariasi, tergantung dari pejabat lokal dan kebijaksanaannya,
maupun waktu dan tempat. Suku Wana telah berintegrasi dengan jaringan
perdagangan pantai. Pada daerah pantai sebagai sumber sandang, garam, dan
alat-alat yang terbuat dari logam, mengandalkan proses dagang untuk
memperoleh pada jaman pemerintahan Hindia Belanda dan pada awal Republik
Indonesia, perdagangan damar suku Wana telah berkembang dengan baik.
Sebagai kompensasi pasaran damar yang merosot, suku Wana terpaksa
mengandalkan sumber uang dan barang dagangan. Beberapa generasi suku
Wana berhubungan dengan penduduk deaerah pantai. warga Wana berasimilasi
dengan mesyarakat pantai. Suku Tome Ampana, pemeluk agama Islam yang
menggunakan dialog bahasa Wana, dianggap sebagai kerabat dekat. Anggota-
anggota suku lain, terutama suku Mori, telah berpindah dan menikah di
kalangan masyarakat Wana. Di samping pergaulan dengan suku lain, warga
Wana juga telah mengenal agama islam sedikitnya sejak seabad yang lalu.
Pemerintah animisme dan satu beragama Islam (istilah animisme di sini di
gunakan untuk seseorang yang belum masuk salah satu agama modern).
Banyak warga Wana yang masuk islam, dengan berbagai cara lain pun, Islam
telah banyak berpengaruh pada kebudayaan Wana. Agama Kristen masuk
belakangan. Sebelum Perang Dunia II, beberapa pemeluk agama Kristen suku
Mori datang ke daerah Wana. Agama Wana tidak dapat sebagai animisme
primitif. E. Kepercayaan Tradisional Suku Wanna Sebagai terhadap tuduhan
sebagaian masyarakat bahwa mereka tidak mempunyai agama, warga Wana
penganut animisme menegeskan bahwa mereka benar-benar mempunyai
agama. Suatu lembaga yang terpisah dari kehidupan kultural, agama nampak
merupakan ide yang dimasukkan dari luar bahwa suku Wana tadinya tidak
mempunyai agama, sama dengan mengatakan suku Bali secara tradisional tidak
mempunyai seni, hanya tidak terdapat istilah khusus untuk seni dalam bahasa
Bali. Seperti seni yang merupakan bagian intergal dari kehidupan sehari-hari
Bali dapat menangkap sesuatu yang religius yang erat tertanam dalam
pengalaman budaya suku Wana. Agama Wana yang ditampilkan diatas
terhadap masyarakat Wana, tampak beberapa aspek sentral dari agama Wana
tradisional. Suku Wana memiliki sesuatu yang berfungsi sebagai bagian budaya
sendiri, baik dalam kelembagaan maupun intelektual. Konsep suku Wana
tentang agama merupakan penataan kembali secara dramatis konsep-konsep
budaya tradisional, sistem agama tradisional yang timbul karena adanya
tantangan dari para wakil agama modern (Juli Astutik. 2003). F. Konsep
Agama dalam Masyarakat Nasional Indonesia Kata agama berasal dari bahasa
sankerta, dan masuk di indonesia melalui jalan perdagangan dengan India pada
jaman dulu. Penguasa-penguasa lokal di Indonesia menerima elemen budaya
Hindu dan Budha untuk menkokohkan status mereka. Agama India pada masa
itu merupakan tanda sah istana kerajaan. Kebudayaan membaca dan menulis
juga masuk ke Nusantara. Ikatan yang kuat di masyarakat Indonesia antara
baca-tulis dan agama. Islam, yang belakangan masuk melalui jalan
perdangangan, memperkuat rasa hormat bagi agama dan kitab suci melalui
universalisme dan pentingnya Al-Qur’an. Islam secara tegas membedakan
pemuja berhala dan penganut alkitab. Meskipun tidak seberapa berhasil ditinjau
dari banyaknya yang beralih agama, kehadiran kolonial Belanda pada masa
berikutnya juga memperkuat pandangan bahwa agama yang sangat berbeda
dengan kepercayaan animisme hanya menimbulkan rasa tidak baik. Sejak
ribuan tahun, agama telah diasosiasikan dengan budaya tinggi, pendidikan,
kekuasaan dan internasionalisme(Dhaniel L. Pals, 2005:168_200). Posisi
sentral yang ditempati agama di antara nilai-nilai budaya Indonesia nampak
dalam pancasila, yakni lima prinsip dasar Republik Indonesia. Perumusan sila
bersifat liberal dan toleran. Sebagian besar penduduk beragama Islam,
pancasila menegaskan kebebasan beragama bagi pemeluk-pemeluk agama
lain.Pada prinsip, di indonesia toleransi terhadap minoritas agama baik, hanya
berlaku bagi sistem-sistem kepecayaan yang telah diakui sebagai agama
modern yang tidak termasuk agama-agama tradisional. Pemeluk agama modern
orang yang beragama, sedangkan penganut kepercayaan tradisional. Secara
pribadi mereka merasa agama lebih baik dibandingkan dengan agama modern,
umumnya penganut Islam, Kristen, Hindu dan Budha menghormati hak
penganut agama modern untuk tetap berpegang pada agama masing-masing.
Hak untuk tetap berpegang pada kepercayaan tradisional tidak diberikan kepada
orang yang belum beragama. Ada beberapa kriteria yang umum digunakan di
Indonesia untuk membedakan agama dan bukan agama: kriteria pertama ialah
Monoteisme, kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Monoteisme
merupakan ciri dijumpai pada agama teryentu yang bertasal dari Timur Tengah,
Kristen dan Islam (tetapi beberapa kalangan Muslim mungkin saja
mempertanyakan sifat monoteisme Kristen karena adanya doktrin Trinitas).
Hinduisme dan Budhisne, terdapat bukti-bukti bahwa di Indonesia penganut
kedua agama memakai gagasan monoteisme bangsa Indonesia. Kriteria kedua
adalah adanya kitab suci. Kedatangan agama dari India ke Indonesia diikuti
dengan masuknaya kebudayaan menulis. Kehadiran Islam dan agama Kristen
menambah rasa hormat bagi Kitab Suci. Semua agama modern berkembang
dalam kebudayaan menulis dan sesungguhnya kebudayaan menulis memegang
umumnya agama tradisional, berkembang dalam masyarakat buta huruf,
dengan dapat kemukakan argumentasi bahwa ada-tidaknya kitab suci tidak
mencerminkan suatu ajaran agama. Kriteria ketiga merupakan pelintasan batas-
batas etnis. Agama modern mempersatukan anggota berbagai kebudayaan
dalam suatu lepercayaan tunggal, sedangkan agama tradisional seringkali
memperkokoh persatuan suatu kebudayaan. Memaksa golongan minoritas yabg
berorientasi tradisional agar memilih agama modern. Ada satu kriteria yang
terdapat secara implisit dalam masalah keagamaan di indonesia, yaitu kriteria
kemajuan. Perbedaan agama dan bukan agama di indonesiabukan berdasarkan
pertimbangan yang terdapat dalam kepercayaan itu sendiri, melainkan penilaian
perkembangansosial para pemeluknya. Agama merupakan lambang manusia
berpendidikan, progresif dan berjiwa naasional. G. Konsep Agama di kalangan
Masyaralat Wana Menggariskan beberapa asumsi yang menjadi ciri iklim
keagamaan di Indonesia dan membentuk sikap masyarakat dan pemerintah
terhadap kelompok mesyarakat seperti suku Wana. Masyarakat wana bukan tak
menyadari sikap-sikap. Agama diinterpretasikan suku Wana sebagai sesuatu
yang sangat bersifat politis. Hal ini tidak mengherankan, kerena suku Wana
telah diberikan informasi bahwa pemerintah mengharuskan semua orang masuk
agama. Bagi warga Wana, sikap pemerintah mengharuskan semua yang terlalu
memikirkan status agama mereka, sulit dimengerti. Sadar bahwa mereka
digolongkan pemerintah Indonesia sebagai suku terasing. Masyarakat Wana
merasakan istilah ini mempunyai asosiasi dengan belum beragama dan
penolakan untuk diperintah. Bagi warga Wana yang telah membayar pajak, ikut
berpadat karya, terdaftar sebagai penduduk desa, dan bahkan masuk sekolah
atau memegagang jabatan pengurus desa pada masa pemerintahan Hindia
Belanda, pengcapan tak mau diperintah hanya karena agama mereka. Agtama
mempunyai makna politis dan pemelukan agama merupakan masalah yang
syarat dengan makna politik. Yang terlebih-lebi mebambah kecemasan suku
Wana adalah ramalan populer kalangan Islam dan Kristen tentang perang
agama, bencana alam besar yang segera terjadi, dan dunia kiamat. Faktor-faktor
menambah kerisauan masyarakat Wana akan adanya hal-hal yang mengancam
di balik perhatian orang lain terhadap status keagamaan dari warga Wana. Suku
Wana yang dianggap animisme menjawab tuduhan bahwa mereka belum
beragama dengan bersikeras mengatakan bahwa mereka mempunyai agama.
Mereka memberikan nama bagi agama mereka belum beragama. Mereka
memberi nama bagi agama mereka dengan istilah yang mencerminkan
kesadaran mereka akan pandangan masyarakat dominan terhadap mereka, yaitu
agama mereka, yaitu agama yang sebentarnya belum merupakan agama dan
agama kafir. Agama terkandung dalam semua aspek kehidupan suku Wana.
Untuk memberi ciri bagi agama mereka, masyarakat Wana telah memilih
unsur-unsur dari kebudayaan mereka berdasarkan pengetahuan mereka tentang
Islam dan Kristen, mereka anggap sebagai komponen yang harus ada pada
suatu agama yang diakui masyarakat Indonesia. Makanan, pratek pemakaman,
cara pengobatan, upacara yang berkaitan dengan pertanian, lembaga-lembaga
agama, hubungan dengan pihak pemerintah, semua ini dipandang dari orang
Wana sebagai masalah-masalah menurut pandangan suku Wana, merupakan
perbedaan yang menyolok mata antara mereka dengan tetangga mereka yang
beragama Islam dan Kristen. Bagi suku Wana, agama langsung berkonotasi
dengan pratek makan. Mengingat pantangan makan menurut agama Islam
memberikan kesan mendalam pada penduduk di pengunungan yang suka
berburu babi. Istilah Wana untuk kaum Muslim cukup memberikan penjelasan
mengenai hal ini. Larangan Islam untuk tidak makan daging babi telah
melahirkan sejumlah cerita suku Wana yang mencoba menggambarkan
hubungan Islam dengan binatang tabu. Kalau islam adalah agama yang
melarang makan makanan tertentu, warga Wana menganggap agama Wana
menyatakan semua mekanan boleh dimakan, terutama daging babi dan tikus,
yang keduanya dinilai sangat najis. Agama Kristen dikatakan sama dengan
agama Kristen dikatakan sama dengan agama Wana dalam hal tidak berpentang
makan. BAB III PENUTUP Kesimpulan Salah satu asumsi masyarakat
Indonesia modern adalah bahwa agama dan pembangunan berjalan seiring.
Sebagian terbesar anggota agama terkemuka di dunia modern hidup dalam
kondisi tekniologi dan sosial yang berbeda dengan kondisi pada saat agama
bersangkutan mulai berkembang. Walaupun agama-agama lahir dalam jaman
yang lebih bersahaja, tidak menghambat pembangunan. Seperti aspek budaya
lainnya, agama dapat berubah dan menyesuaikan diri dengan keadaan baru
sepanjang jaman. Tidak da alasan untuk beranggapan bahwa agama ini tidak
dapat digunakan suku Wana untuk menghadapi tantangan-tantangan baru di
masa depan.
DAFTAR PUSTAKA

Camang, N., 2003, Tau Taa Wana Bulang: Bergerak untuk Berdaya,
Yayasan Merah Putih Palu --- Regenkogsfondet Indonesia, Palu.

Camang, N., Nungcy, H.A., dan Tampubolon, MHR., 2005, Usulan


Naskah Akademik Peraturan Daerah Propinsi Sulawesi Tengah
Prakarsa/Inisiatif tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum
Adat Tau Taa Wana, Yayasan Merah Putih Palu.

Departemen Transmigrasi dan PPH RI, Kantor Wilayah Propinsi


Sulawesi Tengah, Ringkasan Rencana Teknis Pembinaan UPT Dataran Bulan
II Kab. Poso Propinsi Sulawesi Tengah TA 1999/2000.

Dinas Kesejahteraan Sosial Daerah Propinsi Sulawesi Tengah,


Pengkajian Calon Lokasi Pemukiman Komunitas Adat Terpencil (KAT) Suku
Wana (Tau Taa) di Lokasi Mpoa, desa Bulan Jaya, Kecamatan Ampana Tete,
Kabupaten Poso, Propinsi Sulawesi Tengah, Laporan Hasil Pengkajian tahun
2003.

Dirjen Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Sulawesi Tengah: Proyek
Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Sulawesi Tengah”, 1996/1997.

Mattulada, H.A. 1985, “Manusia dan Kebudayaan Kaili di Sulawesi


Tengah”, dalam Majalah GAGASAN, Universitas Tadulako, No. III, Tahun I,
Desember 1985.

Sudaryanto, I.Y., 2005, “Kesukuaan dan Pertentangan Agama di Cagar


Alam Morowali: Kasus Orang-orang Wana di Kajupoli Sulawesi Tengah”,
dalam Hikmat Budiman, ed., Hak-hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di
Indonesia, Jakarta: Yayasan Interseksi bekerjasama dengan Tifa Foundation.

Yayasan Sahabat Morowali, 1998, Hutan dalam Pandangan Orang


Wana, Laporan Studi.

Anda mungkin juga menyukai