Anda di halaman 1dari 22

LaporanTugas Struktur

Mata kuliah : Pembelajaran Budaya Sulut

“Budaya Daerah Minahasa “

Dosen :

Anggota Kelompok 1

Anestri K.Ano (19106008)


Jesica Panjaitan (19106006)
Lusiana V Langitan (19106041)

UNIVERSITAS NEGERI MANADO


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PRODI PG-PAUD
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
LAPORAN BUDAYA MINAHASA

A. Identifikasi
Orang Minahasa adalah suatu suku bangsa yang mendiami suatu daerah pada bagian timur laut
jazirah Sulawesi Utara. Dalam ucapan umum orang Minahasa menyebut diri meraka Orang
Manado/Touwenang, Minahasa, atau Kawanua. Sedangkan Suku Minahasa adalah salah satu suku
bangsa di Indonesia. Mereka berasal dari Kabupaten Minahasa provinsi Sulawesi Utara. Suku
Minahasa sebagian besar tersebar di seluruh provinsi Sulawesi Utara
Suku Minahasa terbagi atas sembilan subsuku:
1. Babontehu
2. Bantik
3. Pasan Ratahan
4. Ponosakan
5. Tonsea
6. Tontemboan
7. Tondano
8. Tonsawang
9. Tombulu
Di antara sembilan subsuku di atas, yang termasuk subsuku terbesar adalah : Tontemboan, Tonsea,
Tombulu, dan Bantik.
Sebutan "SI TOU TIMOU TUMOU TOU" dalam bahasa Minahasa artinya: "Manusia hidup untuk
menghidupkan manusia". Ini jadi moto keturunan Minahasa asli. Kata 'Tou' berarti manusia di bahasa
Minahasa. 'Timou' berarti hidup. 'Tumou' berarti mengembangkan, merawat dan mengajar.

1. Suku Babontehu
Suku Babontehu ini pada masa dahulu berada di bawah satu kerajaan tersendiri bernama
Kerajaan Manado, yang berpusat di pulau Manado tua. Mereka sejak dahulu adalah bangsa pelaut,
dan terkenal sebagai pelaut yang ulung. Dalam kelompok mereka, sebelum mereka bergabung dengan
kelompok suku Minahasa.
Pada awalnya mereka tinggal dan bermukim di pulau Manado Tua, karena mereka bermigrasi ke
pulau ini. Tapi sebelum kehadiran mereka di pulau ini telah ada penduduk di pulau ini yang terlebih
dahulu menghuni pulau Manado Tua ini, yaitu suku-bangsa Mangindanou, yang terkenal sebagai Bajak
Laut. Tapi setelah sekian lama entah karena sebab apa, orang-orang Mangindanou ini pindah dan
bermigrasi ke daerah lain, diduga ke Filipina. Pada masa itu pulau ini dikenal dengan nama “pulau
Manadou”. Setelah pulau Manado ini kosong, masuklah orang Babontehu dalam kelompok kecil,
dengan jumlah sekitar 30-40 kepala keluarga. Kehadiran suku Babontehu ini rupanya diterima oleh
suku Bantik yang berada di Pogidon (Wenang) dan Minanga (Malalayang), dan mereka telah menjalin
hubungan baik sejak dulu. Suku Babontehu ini pernah memiliki suatu kerajaan yang bernama Kerajaan
Babontehu, yang dipimpin oleh seorang Kolano (Raja).
Pada zaman itu, sekitar tahun 1570-1606, datanglah bangsa Portugis berlabuh ke pulau Manado
Tua, tapi mereka tidak melakukan apa-apa, terlihat mereka hanya ingin bersahabat dengan penduduk
pulau Manado Tua.. Di pulau Manado Tua ini, orang Babontehu melakukan barter hasil bumi dengan
penduduk negeri Pogidon (Wenang) dan Minanga (Malalayang).

Suku Babontehu ini sempat berperang dengan Kerajaan Bolaang Mongondow, tapi dalam
pertempuran mereka mengalami kekalahan. yang membuat mereka terusir dari pulau Manado Tua,
sehingga mereka pun pindah ke daerah baru dan membangun pemukiman baru di kepulauan
Sangihe.Setelah sekian lama suku Babontehu akhirnya menggabungkan diri dengan kelompok suku
Minahasa, dan diakui sebagai salah satu sub-suku Minahasa. Saat ini masyarakat suku Babontehu
tersebar di beberapa daerah di provinsi Sulawesi Utara.

2. Bantik
Suku Bantik merupakan salah satu suku di Indonesia yang mendiami tanah Minahasa di Sulawesi
Utara. Suku ini termasuk rumpun Austronesia-Proto Malayo-Minahasa dimana penyebarannya
sekarang ini mendiami daerah pesisir pantai di Sulawesi Utara. Sebagian sejarahwan asal Minahasa
mengklaim bahwa bahasa Bantik berbeda dengan bahasa suku lainnya di Minahasa, namun
sebenarnya semua suku di Minahasa menuturkan turunan bahasa Austronesia sehingga tata bahasa
banyak yang ditemukan sama atau berubah sedikit karena dialek, sebagai contoh kata kuman yang
berarti makan ditemukan sama dengan bahasa-bahasa lain di Minahasa atau kata batu yang
ditemukan berubah bunyi menjadi watu pada beberapa suku di Minahasa. Lepas dari semua ini, asal
usul semua suku di Minahasa adalah satu leluhur yaitu Toar dan Lumimuut (Dalam bahasa Bantik
Toada bo Lrumimuutu) berdasarkan cerita turun-temurun.

Beberapa adat masih bertahan hingga sekarang. Adapun adat-adat lama suku Bantik yaitu:

 Matambung

Sejarah Matambung adalah tentang mencari sisa-sisa yang tertinggal atau kerabat yang hilang
atau terpencar pasca tenggelamnya pulau Panimbulrang yang menjadi tempat tinggal leluhur Bantik
kuno. Seiring berjalannya waktu, suku Bantik terdahulu melakukannya untuk mencari penyu di sisiran
pantai pulau-pulau sekitar tempat mereka tinggal. Dalam pencarian penyu, suku Bantik sering bertemu
suku lainnya sehingga tidak jarang terjadi adu fisik antara suku-suku ini. Oleh karenanya, setiap orang
yang melakukan adat Matambung diharuskan memiliki kesaktian yang cukup kuat. Adapun 2 orang
tokoh Bantik yang terkenal yang melakukan adat Matambung adalah Tonaa’sa Samolra dan
Sahumanang. Seiring perkembangan zaman, adat Matambung ini menghilang dan hingga tidak terlihat
lagi.

 Matubaga

Matubaga adalah kegiatan mengartikan suara burung. Selain suara burung, gerakan terbang burung
di udara juga diperhatikan. Dulunya kegiatan ini dilakukan oleh Lrelrean. Jabatan Lrelrean tidak
diangkat oleh masyarakat, namun seorang Lrelrean memang terlahir dengan bakat khusus. Menurut
tua-tua adat Bantik, suara burung menjadi penanda kejadian yang akan datang, apakah itu baik atau
buruk. Ada beberapa suara burung yang diartikan misalnya burung Yellow-Billed Malkoha (Disebut
burung Bantik), burung gagak, burung elang, burung rangkong, dan lain-lain. Matubaga sudah terkenal
di era Belanda tinggal di Minahasa. Menurut Graafland (Pendeta di era Belanda), beberapa orang
menyebutnya Koko ne Bantik yang ditakuti karena mistisnya. Kegiatan ini memang sudah tidak kental
di era sekarang ini, namun sebagian kecil masyarakat masih melakukannya.

 Mako Mahisakulru/Mabukuan

Mahisakulru atau Mabukuan adalah adat pergi berperang. Menurut beberapa literatur, suku Bantik
adalah suatu suku yang gemar berperang. Terdapat cerita lama turun-temurun yang mengatakan
bahwa suku Bantik kalau pergi berperang lebih senang seorang diri. Hal ini menunjukkan atau mungkin
merujuk kepada keperkasaan seorang pria Bantik. Adapun terdapat semboyan dalam suku Bantik yaitu
Banti’ Taya Mababata, yang artinya Bantik tidak pernah kalah. Semboyan ini sebenarnya merupakan
suatu semangat dalam berperang.

Adat Bantik mengatakan apabila dalam kondisi peperangan seorang pria Bantik tergores sedikit
saja di bagian tubuhnya atau sehelai rambutnya putus, maka hal itu sangat memalukan karena
dianggap kalah dalam peperangan dan mereka lebih memilih untuk tidak pulang ke kampung
halamannya atau lebih terhormat mati di medan laga. Selain hal diatas, ada satu adat yang umumnya
terdapat pada sebagian besar rumpun Austronesia yaitu ‘potong kepala’. Budaya ini dilakukan ketika
berperang atau duel satu lawan satu. Dalam adat Bantik hal ini disebut sebagai Mangalralra timbonang

 Mabenu

Mabenu adalah adat yang berhubungan dengan kematian. Dalam acara-acara pemakaman,
beberapa orang tua kampung atau sesepuh akan berkumpul di dekat jenazah dan menyanyikan lagu
‘Benu’. Menurut tradisi, tidak sembarangan orang yang bisa diacarakan seperti ini namun hanya
mereka yang semasa hidupnya memiliki jasa-jasa terhadap masyarakat Bantik. Para tua-tua yang
menyanyi lagu ini pun tidak boleh sembarangan orang. Tidak ada yang tahu pasti kapan adat ini
dimulai, namun menurut cerita rakyat, adat Mabenu ini bermula dari seorang pahlawan yang bernama
Benu yang gugur di medan perang dan kematiannya ditangisi ibunya dengan kidung kematian.
Tangisan ibu ini sangat menyayat hati orang yang mendengarnya. Kidung kematian ini dalam adat
bantik disebut Lrumoro. Sampai saat ini, adat ini masih bertahan di tengah-tengah masyarakat
moderen.

 Angkumang

Pada zaman dahulu, leluhur Bantik kuno memiliki adat yang cukup unik dalam kehidupan sosial,
terutama dalam kehidupan perkawinan. Dulunya, para pria yang ingin menikah harus bersusah-payah
untuk mendapatkan istri karena adanya adat bahwa pria harus bekerja kepada calon mertuanya
sebelum diperbolehkan memperistri anak calon mertuanya itu. Sang pria harus tinggal di bawah kolong
rumah keluarga calon istri (Rumah adat dulu adalah rumah tinggi, sekitar 3-5 meter) dan bekerja
kepada ayah si calon istri (Dalam waktu yang cukup lama) untuk membuktikan bahwa dia layak untuk
menikah. Setelah perkawinan sudah dilakukan, sang suami akan tinggal serumah dengan keluarga tadi
dan mendapat makan dari ayah mertuanya. Inilah yang disebut Angkumang. Tidak mudah untuk
mendapat makan, karena sang ayah akan terus memperkerjakan anak mantunya. Setiap hari sang pria
harus bangun pagi dan melakukan pekerjaan yang ditunjuk oleh mertuanya. Adat ini sudah tidak
berlaku lagi pada masyarakat moderen, namun nilai-nilai sosialnya masih ada.

 Mongolra’i

Mongolra’i adalah suatu ritual untuk mengobati orang sakit. Etnis lain menyebut ritual semacam ini
sebagai Mangorai. Dalam ritual ini, balrian (Pemimpin agama) akan bertanya dan memohon kepada
Yopo (Dewa/leluhur) untuk mengembalikan jiwa seseorang ke dalam tubuhnya. Balrian berbicara
semalaman dengan bahasa Bantik yang biasanya tidak dimengerti kaum awam (Kemungkinan bahasa
Bantik kuno). Beberapa orang menyakini bahwa jiwa balrian akan pergi mencari dan meminta agar jiwa
orang yang sakit dikembalikan. Ritual mongolra’i ini sudah tidak terlihat lagi sejak tahun 1930.
Kemungkinan hilangnya ritual ini adalah karena suku Bantik sudah banyak yang menganut agama
Kristen.

 Mabansalra

Mabansalra adalah kegiatan menangkap ayam hutan. Etnis lain menyebutnya Mawansal. Ayam
hutan terkenal sangat lincah sehingga dibutuhkan teknik, strategi, serta keahlian bagi para
pemburunya. Setiap orang yang melakukan Mabansalra sudah pasti cerdik atau berpengalaman.
Mengingat jumlah ayam hutan yang semakin sedikit, juga seiring perkembangan zaman, kegiatan ini
semakin berkurang hingga adat Mabansalra sekarang ini sudah tidak kita temui lagi.

 Madandi

Madandi adalah tarian atau nyanyian yang dilakukan oleh beberapa orang dan disertai gerakan
dimana para penyanyinya membentuk lingkaran. Tarian ini merupakan warisan asli masyarakat
Austronesia yang adalah leluhur masyarakat Bantik, oleh karena itu tarian-tarian semacam ini bisa kita
temukan di berbagai penjuru Asia maupun Amerika (Yang dibawa oleh orang Indian). Madandi pada
umumnya dilakukan pada hari-hari tertentu misalnya hari sesudah panen. Madandi ini seiring
perkembangan zaman telah bertransformasi menjadi tarian Mahamba dimana para penarinya juga
menyanyi sambil melakukan seni gerak namun gerakannya sudah sangat bervariasi dan tidak
membentuk lingkaran lagi. Pada masa sekarang ini, kita masih bisa menemui adat Madandi ini pada
sebagian kecil masyarakat Bantik. Umumnya, generasi muda lebih mengenal tarian Mahamba.

 Poposaden

Poposaden (Poposadeng dalam dialek Bantik Minanga) adalah budaya bekeja sama dalam
bekerja. Pada etnis Minahasa lainnya dikenal sebagai Mapalus. Budaya ini secara umum dikenal di
Indonesia sebagai gotong royong (Bahasa Jawa). Poposaden pada masyarakat Bantik kuno umumnya
sama dengan gotong royong pada suku-suku lainnya seperti bekerja sama membangun rumah,
budaya membuka ladang, dan lain sebagainya. Budaya seperti ini sudah ada sejak lama bahkan sudah
ada pada leluhur orang Indonesia yakni bangsa Austronesia sehingga budaya ini termasuk dalam
kategori salah satu budaya tertua, tidak terkecuali pada suku Bantik. Poposaden telah menjadi bagian
dari kehidupan sosial masyarakat, sehingga budaya ini sampai sekarang masih bertahan.

3. Pasan Ratahan
Sejarah awal mula nama RATAHAN diambil dari kata NATAAN. Pada ratus tahun 16 dibagian barat
Kesultanan Ternate tepatnya di sebelah utara pelabuhan mandolang (Belang), berdiam sekelompok
orang ditempat yang namanya sekarang Wanua Kangan (Negeri Lama). Mereka hidup tersendiri,
dimana banyak mereka perkiraan 30 rumah tangga. Mereka dipimpin oleh seorang yang gagah berani
yang namanya LIKUR. Kediaman mereka perkiraan 7 meter dari permukaan tanah, dengan maksud
supaya mereka lepas dari bahaya dari gangguan musuh ataupun binatang buas, serta sangat tidak
berdekatan satu dengan yang lainnya. Golongan orang ini berasal dari Mangindane (Philippines), yang
berlayar menuju Sangir dan belakangnya mereka turun dipesisir pantai Bentenan, dan dari sanalah
mereka berupaya menemukan lokasi untuk membuka areal perkebunan dan pemukiman baru dengan
berlaku kearah Barat, dan tiba di Wanua Kangan (Negeri Lama).
Pembagian wilayah pemukiman diatur sebagai berikut :

 Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Mapumpun, Belung, dan Walian Kakamang menuju
sekitar Gunung Lokon dan bermukim di Mayesu, tidak jauh Kinilow dan Muung. Mereka disebut
Tou Muung kemudian menjadi Tomohon. Mereka dinamakan Tombulu.
 . Kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Walalangi dan Walian Rogi menuju ke Niaranan
dan Kembuan (Tonsea Lama). Beberapa lagi membangun pemukiman di sekitar Gunung
Kalawat (Klabat). Mereka disebut “Tou Un Sea” (Tonsea)
 Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Karemis dan Piay, pergi ke arah barat dan menyebar ke
Tombasian, Kawangkoan, Langowan, Rumoong (Tareran) dan Tewasen.
 Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Pangemanan, Runtuwene dan Mamahit, menuju ke
Kakas, Atep dan Limambot. Mereka dinamakan Toulour.
 Kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Wuntu, menuju ke Bentenan. Beberapa lagi
membangun pemukiman di Ratan. Mereka disebut Ratahan. Yang menuju ke Towuntu
(Liwutung), mereka disebut tou Pasan. Beberapa di sela tou Pasan mengadakan tumani dan
bermukim di Tawawu (Tababo), Belang dan Watuliney, membaur dengan masyarakat dari
Taranak Ponosakan, yaitu keluarga Butiti, Wumbunan dan Tubelan yang datang dari Wulur
Mahatus (Pontak). Mereka disebut tou Ponosakan.
 Kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Kamboyan, menuju ke dataran sekitar Danau
Bulilin, tempat asal mereka semula dan meninggali pemukiman di Bukit Batu, Kali dan Abur.
Mereka disebut Toundanouw (Tondano), berfaedah orang yang tinggal di sekitar air. Kemudian
bangsa Belanda menamakan mereka Tonsawang, berfaedah orang yang suka menolong.
 Kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Angkoy dan Maindangkay menuju ke arah barat
sampai tiba di sekitar Gunung Bantik dan membangun pemukiman Malalayang. Beberapa di
sela mereka pergi bermukim di Pogidon dan Singkil. Karena bermukim di sekitar Gunung
Bantik, mereka dinamakan tou Bantik.

Rumah Tradisional Minahasa

Sebuah rumah keluarga, golongan terkecil di masyarakat Minahasa disebut Awu. Bahkan ciri
utama yang abu, juga digunakan dalam guna dapur. Sampai saat ini sedang banyak tempat memasak
ditemukan di Minahasa yang terbuat dari kayu atau bambu diberi pokok dengan tanah atau abu.
Berkaitan dengan masyarakat, maka istilah Awu dipakai untuk satu unit keluarga (rumah tangga)
dan digunakan untuk menentukan banyak masyarakat di desa. Dalam masyarakat Minahasa lawas
semua keluarga, menikah atau belum menikah, tinggal di salah satu rumah agung dengan bangun-
bangun sebuah Bangsal propertti di atas tiang-tiang tinggi. Kontruksi di atas tiang tinggi untuk
keamanan argumen. Ketika Prof Reinwardt mengunjungi Tondano pada tahun 1821 dia sedang melihat
rumah-rumah yang tiang dapat dipeluk oleh dua orang dewasa. Kemudian dalam laporan Dr Bleeker
pada tahun 1855 dia menulis bahwa desa-desa di Minahasa propertti di atas tiang-tiang tinggi dan
agung, dan direbut oleh empat dari keluarga yang sama bersama-sama.

Menurut kepastian tradisional, jika salah satu anggota keluarga dewasa membangun rumah tangga
baru, maka rumah tangga baru hendak menemukan kamar terpisah di keluarga pria atau wanita.
Ruang yang dipisahkan dilengkapi dengan satu tempat sendiri untuk memasak, yang berfaedah bahwa
penghuni itu independen. Ruangan untuk memasak disebut AWU. Awu belakangnya yaitu ditafsirkan
rumah tangga. Untuk argumen itulah orang-orang yang sudah menikah sering disebut Ka Awu (Ka =
kenalan, saudara).

Pernikahan sela anggota Taranak membikin Taranaks baru. Bangsals mulai muncul dalam
golongan, membentuk kompleks yang semakin menjadi semakin lapang. Batas-batas dari Taranak
sebagai komunitas hukum mulai menjadi kabur, dan guna dari sebuah Taranak sebagai suatu
kesatuan menjadi semakin tidak terwujud. Ada sebagai alat identifikasi para penghuni kompleks
Bangsal, sebuah unit teritorial digunakan. Dengan kata lain fungsi identifikasi mulai bergeser dari
bangun-bangun hubungan darah untuk suatu bangun-bangun penyelesaian.

Sebagai hasil dari proses ini sebuah komplek bangsal diciptakan dalam unit yang disebut Ro'ong
atau Wanua. wilayah hukum yang Wanua meliputi kompleks Bangsal sendiri dan wilayah pertanian dan
perburuan sekitarnya yang yaitu milik bersama dari penghuni Ro'ong atau Wanua. Kepala dari Ro'ong
atau Wanua disebut Ukung yang berfaedah kepala atau pemimpin. Untuk pengelolaan wilayah
tersebut, Ro'ong atau Wanua dibagi dalam beberapa anggota yang disebut Lukar. Pada awal mulanya
ini Lukar bersandar terhadap keamanan, tetapi belakangnya Lukar dialihkan menjadi jaga (satpam).

4. Totemboan
Dalam mitologi awal Minahasa kelompok etnis Tontemboan (yang dulu juga dikenal dengan nama
julukan : Tompakewa, Tontewo'on, Tonkimbut) menempati kawasan Selatan. Sesudah pembagian
mitologis di Batu Pinabetengan kelompok etnis ini mengklaim diri berpusat di gunung/desa
Tumataratas di sebelah Utara gunung Soputan. Mereka kemudian menyebar ke kawasan sekitarnya
dan mengambil gunung Soputan sebagai pusatnya.

Kelompok etnis Tontemboan selanjutnya terpecah menjadi beberapa sub group yaitu :
 . Satu cabang atau sub group menempati daerah Tombasian, yang berdekatan dengan
kelompok etnis Tonsawang dan kini sudah menjadi kecamatan Tombasian atas dan
Tombasian bawah.Kebutuhan akan lahan pertanian peladangan nampaknya mendorong
kelompok Tombasian ini bergerak ke arah Barat ke pesisir pantai di kawasan Tumpaan,
Amurang sampai ke kecamatan Tenga.
 Satu cabang dari Kelompok Tombasian ini selanjutnya memisahkan diri dan menamakan
kelompoknya sebagai Toulangowan dan mendiami kawasan kecamatan Langowan sekarang
ini.
 Satu cabang atau subgroup Tontemboan menempati kawasan Tompaso, yang kini masih
tetap disebut kecamatan Tompaso.Mereka menamakan diri sebagai kelompok Tompaso.
Sebagian dari mereka hijrah ke desa Kayuuwi karena konflik internal.Pada masa kolonisasi
tahun 1920-an kelompok mereka berpindah ke daerah Selatan Minahasa dan mendirikan desa
Tompaso Baru, yang kini menjadi pusat dari Kecamatan Tompaso Baru.
 Cabang atau sub group lain dari kelompok etnis Tontemboan ialah Toukawangkoan yang
mendiami desa Kawangkoan, yang kemudian menjadi kecamatan Kawangkoan.Pada saat
pemerintah Belanda giat membangun benteng di pantai Manado, para tukang gergaji kayu dari
Kawangkoan menghantar bahan baku kayu. Kayu itu berukuran lebih panjang (=wangko) dari
pesanannya dan yang ditarik dengan gerobak sapi ke Manado.
 Perpecahan kembali terjadi di kalangan Toukawangkoan dan sebagian dari mereka
mendirikan desa baru, yaitu Sonder yang kemudian menjadi kecamatan, dan menamakan diri
TouSonder.

Pada awal abad 20 sebagian dari Tounsonder ini ikut serta dalam program kolonisasi ke daerah
Minasahas Selatan dan bermukim di desa Tambelang, kecamatan Tompaso Baru kini.Kelompok
TounSonder ini ikut serta dalam program kolonisasi ke daerah Minahasa Selatan dan bermukim di
desa Tambelang, kecamatan Tompaso Baru kini.Kelompok TounSonder ini sebenarnya mendiami
wilayah yang relatif miskin dan sulit untuk dijadikan perkebunan sistem ladang berpindah.Sebagian
penduduk Sonder beralih profesi menjadi pedagang keliling dengan menggunakan gerobak yang ditarik
sapi dan kegiatan menjaja barang keliling ini dikenal sebagai 'pasar ron' (Renwarin 1997).Pada paruh
kedua abad 19 sebagian dari kelompok Tontemboan, khususnya Bolaang-Mongondow dan mendirikan
desa Nonapan, kecamatan Poigar Bolaang.Pada dasawarsa 1940'an saat perkebunan kelapa di
daerah Likupang membutuhkan tenaga kerja, banyak dari warga Tontemboan pindah ke sana dan
mendirikan desa-desa baru.Misalnya desa Winuri, kecamatan Likupang, dibangun oleh penduduk yang
berasal dari desa Kiawa, TouKawangkoan."Pada dasawarsa 1970-a, saat jalan Amurang-Doloduo
terbuka, kawasan Dumoga menjadi tempat migrasi yang baru dari masyarakat Minahasa, antara lain
dari kelompok etnis Totenmboan yang hidup dari pertanian sawah

5. Tondano
Suku Toulour disebut juga sebagai orang Tondano, adalah salah satu sub-suku Minahasa yang
terdapat di provinsi Sulawesi Utara. Populasi suku Toulour ini diperkirakan lebih dari orang. Suku
Toulour, mendiami daerah sekeliling danau Tondano sampai di pantai Timur Minahasa (Tondano
Pante) yaitu daerah Tondano, Kombi, Eris, Lembean Timur, Kakas, Remboken. PakasaanToulour
terbagi atas dua walak yaitu Tondano Toulimambot di bagian barat dan Tondano Touliang di bagian
barat. Penduduk Minahasa sekitar kota Tondano, menyebut diri mereka sebagai "orang Toulour", atau
"orang Tondano / orang Tou nDano”. Orang Toulour berbicara dalam bahasa Toulour, yang disebut
juga sebagai bahasa Tondano.

Asal-usul orang Tondano, menurut cerita, dahulu serombongan pendatang, orang-orang Tifore, yang
datang dari pesisir Timur (Atep). Orang-orang Tifore ini melakukan kawin campur dengan orang
Toumbulu, dan menetap di daerah bagian barat danau (yang sekarang disebut danau Tondano). Dari
keturunan inilah yang menurunkan orang-orang Tondano. Mereka mendirikan pemukiman di sekitar
danau Tondano.

I
stilah "Tondano" diduga berasal dari bahasa Tountemboan, yaitu "Touwun Dano", yang berarti "orang
danau". Sedangkan istilah "Toulour" berasal dari bahasa Tonsea dan Tombulu, yaitu "Tou Lour", yang
berarti "orang air".

Daerah pemukiman suku Toulour ini berada di dua daerah utama, yaitu Touliang (sebelah timur
sungai) dan Toulimambot (sebelah barat sungai). Pada zaman kolonial Belanda, daerah ini oleh
Belanda dinamakan districToulour dengan kotanya adalah Tondano. Oleh karena itu penduduk di
daerah ini menyebut diri mereka sebagai orang Toulour, tapi juga sebagai orang Tondano.

Dalam budaya orang Toulour, mereka memiliki suatu tradisi beladiri yang tetap terpelihara, yaitu
beladiri khas walak Tolour biasa dikenal dengan nama ilmu beladiriSakalelesoma'tanu rano woreghes
(silat sakti air dan angin). Sakalele ini memiliki 36 jurus, yang sangat hebat. Ilmu beladiriSakalele
memiliki jurus-jurus dicipta berdasar pergerakan  alam, air dan angin di danau Tondano.

Orang Toulour, pada umumnya hidup sebagai petani. Beberapa orang bekerja sebagai nelayan
penangkap ikan di danau Tondano. Sedangkan pada bidang profesi lain, mereka bekerja sebagai
pedagang, guru, pegawai dan lain-lain.

6. Tonsea

Asal Usul Suku Minahasa Anak Suku Tonsea

Suku Tonsea, adalah salah salah satu sub-suku Minahasa yang berada di provinsi Sulawesi Utara.
Daerah pemukiman suku Tonsea ini berada di kabupaten Minahasa Utara meliputi daerah
semenanjung Sulawesi, kota Bitung, Airmadidi, Kauditan, Kema, kota Bitung, Tatelu, Talawaan dan
Likupang Timur. Populasi suku Tonsea diperkirakan lebih dari 90.000 orang pada sensus tahun 1989.
Suku Tonsea berasal dari pakasa'an Tountewoh, yang merupakan anak suku Minahasa. Pada abad
17, suku Tonsea dipimpin oleh seorang yang bernama Xaverius Dotulong, sebagai pemimpin dari suku
Tonsea yang berkedudukan di Kema. Orang Tonsea berbicara menggunakan bahasa Tonsea

Suku Tonsea berasal dari pakasa'anTountewoh, yang merupakan anak suku Minahasa. Orang
Tonsea berbicara menggunakan bahasa Tonsea. Bahasa Tonsea merupakan salah satu dialek bahasa
Minahasa.
Bahasa Tonsea sendiri memiliki beberapa dialek, yaitu: 
 dialek Maumbi
 dialek Airmadidi
 dialek Likupang
 dialek Kauditan
 dialek Klabat
 dialek Bitung
Dialek-dialek di atas, tidaklah terlalu berbeda jauh, karena setiap pemakai dialek yang berbeda
wilayah bisa saling berkomunikasi dengan baik menggunakan dialeknya masing-masing, apabila
bertemu.
Pada masa sekarang ini, bahasa Tonsea sendiri mengalami penurunan dalam jumlah penuturnya,
akibat dominasi dari bahasa Melayu Manado yang cenderung semakin dipakai oleh golongan generasi
muda suku Tonsea. Mayoritas suku Tonsea adalah pemeluk agama Kristen. Agama Kristen tumbuh
dengan kuat dalam kehidupan masyarakat suku Tonsea, terlihat dari banyaknya bangunan gereja yang
berdiri di setiap pemukiman masyarakat suku Tonsea. Mereka sering mengadakan kegiatan di gereja.
Kegiatan gereja adalah sangat penting bagi kehidupan mereka.

Masyarakat suku Tonsea, pada umumnya berprofesi sebagai petani. Mereka menanam beberapa
jenis sayuran, termasuk jagung, beberapa jenis buah-buahan. Selain itu mereka juga menanam
tanaman keras seperti cengkeh. Pada bidang profesi lain, orang Tonsea berprofesi sebagai pedagang,
guru, pegawai negeri dan di sektor-sektor swasta. Saat ini banyak orang Tonsea yang merantau ke
daerah lain, seperti Manado, Makasar atau ke pulau-pulau lain, seperti Papua, Maluku, Sumatra, Jawa
dan Kalimantan.

7. Tombulu
Suku Tombulu (Toumbulu), adalah salah satu suku tua di tanah Malesung (Proto Minahasa/
Minahasa Tua), yang terdapat di provinsi Sulawesi Utara. Suku Tombulu, terkonsentrasi di Tomohon
yang mendiami daerah kota Tomohon, kecamatan Tombariri, kecamatan Pineleng, kecamatan
Tombulu, kecamatan Wori, Likupang Barat dan ibukota Sulawesi Utara kota Manado. Populasi suku
Tombulu diperkirakan lebih dari 60.000 orang pada sensus 1981.

Suku Tombulu, memiliki 8 walak (klan), yaitu:


 Tomohon (Tou Muung)
 Sarongsong
 Tombariri
 Kakaskasen
 Ares
 Maumbi (Kalawat Atas)
 Kalawat Wawa (Klabat Bawah) di Paniki
 Likupang.
Asal-usul suku Tombulu, menurut cerita rakyat (legenda/ mitos) seperti yang ditulis Pdt.M.Ph. Wilken
dan Graflaand, yang tersimpan secara turun temurun dalam masyarakat suku Tombulu, adalah nenek
moyang pertama di Minahasa adalah Opo Toar dan Lumimuut. Menurut ceritanya mereka hanyut
terbawa arus dari arah utara, lalu terdampar di pantai barat Minahasa, di batu karang yang dinamai
Batu Kapal yang terletak di daerah Sapa (kecamatan Tenga kabupaten Minahasa Selatan sekarang).
Mereka hanyut terbawa arus air bah. Awalnya terdapat 25 kepala keluarga yang menyebar, salah
satunya antara lain keluarga Pinontoan dan istrinya Ambilingan dengan 6 orang anaknya. Mereka
datang ke dataran gunung Lokon. Keturunan dari keluarga inilah yang diyakini menurunkan "suku
Tombulu".
Tempat-tempat yang dituju sebagai pemukiman baru dan terbentuknya beberapa walak pada suku
Tombulu, adalah:
 TonaasTumbelwoto, memimpin sebagian orang Tombulu pergi tumani ke WanuaTula’u hingga
terbentuklah walak Saronsong,
 Sebagian rakyat berpindah ke KinilowTu’a. TonaasKa’awoan meninggalkan KinilowTu’a
memimpin sebagian orang Tombulu pergi kearah barat ke suatu tempat yang terdapat rumput
yang dinamai Wariri, sebagian orang yang menetap di sana disebut Touwariri, lalu sebutannya
menjadi orang Tombariri.
 Selanjutnya dari sana sebagian rakyat yang dipimpin oleh Walian Lokon Mangundap, Kalele,
Apor, Karundeng, Kapalaan, dan Posumah,  mendirikan negeri baru yang dinamai Katinggolan
yang merupakan cikal bakal dari terbentuknya WanuaWoloan.
 Tonaas Mokoagow juga meninggalkan KinilowTu’a dan pergi tumani ke WanuaMu’ung dan
Kamasi membentuk Tou Mu’ung (Tomohon).
 TonaasTiconumu dan Tuerah pergi tumani ke WanuaKakaskasen dan membentuk Walak
Kakaskasen,
 Tonaas Lolong lasut dan Ruru pergi tumani ke Wanua Wenang dan Ares membentuk Walak
Ares (di kota Manado sekarang).
 Dari KinilowTu’a beberapa taranak pergi tumani ke Wanua kali dari sana Tonaas Alow pergi
melintasi sungai wenang utara, lalu tumani ke WanuaKalawat atas dan membentuk Kalawat
atas yang kemudian berubah menjadi KalawatMaumbi.
 Dari Kalawat Atas keluar Tonaas Kondoy, WangkoSaumanan pergi ke barat tumani ke
WanuaKalawatKalewosan yang kemudian menjadi Wanuaure, kini disebut Komo Luar.
KalawatKalewosan ini kemudian menjadi Kalawat Wawa, ibu negeri Wanuaure.
 Tonaas Kalengkongan beserta sebagian rakyat meninggalkan Kalawat Atas dan Kalawat
Wawa, pergi tumani ke Wanua Likupang. Menimbulkan Walak Likupang.

Jadi suku Tombulu telah pecah menjadi beberapa walak. Tetapi pada abad 15, Tonaas Dotulong,
TidajohKoagow dari PakasaanTonsea telah merampas Wilayah Dimembe, suatu wilayah yang sangat
luas sekali.
Orang Tombulu dalam keseharian di dalam lingkungan sesama orang Tombulu, menggunakan
bahasa Tombulu. Bahasa Tombulu ini merupakan salah satu dialek bahasa Minahasa. Bahasa
Tombulu lumayan terkenal, karena beberapa lagu daerah yang populer kebanyakan berasal dari
bahasa Tombulu, seperti lagu "O Ina Ni Keke".

Dalam hal kepercayaan, seperti sub-suku Minahasa lain pada umumnya memeluk agama Kristen,
begitu pula suku Tombulu ini adalah pemeluk agama Kristen. Agama Kristen telah lama berkembang
dalam lingkungan masyarakat suku Tombulu, Diperkirakan mereka memeluk agama Kristen sejak
kehadiran bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda ke tanah Minahasa ini.

Masyarakat suku Tombulu pada dasarnya hidup sebagai petani. Mereka menanam padi di sawah
dan ladang. Selain padi mereka juga menanam beberapa jenis sayur-sayuran dan buah-buahan. Juga
beberapa tanaman keras seperti cengkeh dan kopra.
8. Panosakan
Suku Ponosakan, adalah salah satu sub-suku Minahasa yang terdapat di provinsi Sulawesi Utara.
Suku Ponosakan mendiami kecamatan Belang dan kecamatan Ratatotok, tersebar di beberapa
kampung, yaitu di kampung Belang, Basaan, Ratatotok dan Tumbak serta sebagian kampung
Watuliney dan Tababo. Populasi suku Ponosakan ini diperkirakan lebih dari 5000 orang.

Suku Ponosakan merupakan satu-satunya suku dari kelompok Minahasa, yang masyarakatnya
banyak memeluk agama Islam. Pengaruh agama Islam ini mereka dapat dari orang-orang Mongondow.
Karena orang Ponosakan pernah terlibat hubungan baik dengan orang-orang Mongondow di masa lalu.

Orang Ponosakan berbicara dalam bahasa Ponosakan. Bahasa Ponosakan adalah salah satu dialek
bahasa Minahasa. Tetapi bahasa Ponosakan ini memiliki banyak kemiripan dengan bahasa
Mongondow. Menurut orang Mongondow bahasa Ponosakan ini adalah salah satu dialek dari bahasa
Mongondow. Walau demikian, walau bahasa orang Ponosakan mirip dengan bahasa Mongondow, tapi
mereka tetap mengaku bahwa mereka adalah orang Minahasa.

Saat ini generasi muda orang Ponosakan, banyak yang sudah hampir tidak mengetahui lagi bahasa
Ponosakan, karena para generasi muda Ponosakan banyak yang beralih menggunakan bahasa
Manado Pasar (Melayu Manado). Dari 5000 orang populasi suku Ponosakan ini, diperkirakan yang
berbicara dalam bahasa Ponosakan hanya sebesar 2000 orang saja. Hal ini membuat bahasa
Ponosakan bisa terancam punah, akibat dominasi bahasa-bahasa lain yang lebih kuat pengaruhnya di
daerah-daerah orang Ponosakan.

9. Tonsawang
Suku Tonsawang, adalah salah satu sub-suku Minahasa yang berada di provinsi Sulawesi
Utara. Suku Tonsawang, berada di daerah administratif kecamatan Tombatu dan Touluaan. Populasi
suku Tonsawang diperkirakan lebih dari 20.000 orang pada sensus tahun 1981.

Suku Tonsawang ini berasal dari Pakasa'anToundanouw, menurut sejarah, dikatakan bahwa dahulu
di daerah pantai Amurang terdapat sebuah danau, dan arah tenggara danau terdapat sebuah daerah
perbukitan bernama Batu, di tempat itu berdiam sekelompok orang yang menyebut dirinya sebagai
orang “Toundanouw”, yang berarti "orang dari air". Orang Toundanouw ini terbagi menjadi 2 kelompok,
salah satunya adalah yang sekarang disebut sebagai orang Tonsawang., sedangkan kelompok satu
lagi disebut orang Tombatu.

Menurut cerita lain, nenek moyang orang Tonsawang, dikatakan berasal dari pulau kecil Mayu dan
Tafure (Tifore atau Tidore) di selat Maluku yang mendarat di Atep, kemudian melanjutkan perjalanan
ke Tompaso, dan kemudian melanjutkan perjalanan lagi menuju ke tempat mereka sekarang ini.
Walaupun mereka menyebut diri mereka sebagai orang Tonsawang, tapi kadang-kadang mereka
menyebut diri mereka juga sebagai orang Toundanouw. Karena dilihat dari asal-usul, bahwa orang
Tonsawang bersama orang Tombatu, adalah berasal dari keturunan orang Toundanouw.
Di wilayah pemukiman suku Tonsawang, terdapat peninggalan sejarah yang dikenal dengan nama
Lesung Nawo Oki yang telah berumur ratusan tahun. Penemuan ini menunjukkan bahwa di wilayah
hunian suku Tonsawang ini sejak dahulu telah dihuni manusia, yaitu dengan adanya Lesung Nawo Oki
ini. Lesung Batu Nawo Oki ini berkaitan erat dengan legenda Raja Nawo Oki, yaitu nama pemimpin
orang Tonsawang pada masa lalu, sekitar abad 17.

Masyarakat suku Tonsawang, mayoritas adalah pemeluk agama Kristen. Agama Kristen
berkembang dengan pesat di daerah ini sejak masuknya bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda ke
daerah ini sekitar akhir abad 17.

Suku Tonsawang pada umumnya hidup sebagai petani. Menanam berbagai jenis tanaman, seperti
padi dan jagung serta sayur-sayuran dan buah-buahan. Selain itu mereka juga menanam tanaman
keras seperti cengkeh, kopra dan lain-lain.

B. Legenda Minahasa (Toar Lumimu'ut)

menceritakan seorang putri yang bernama Karema seorang putri cantik yang hidup sendirian di
tanah Minahasa akhirnya meminta teman hidup dengan cara berdoa kepada opo empung akhirnya tiba
tiba batu karang itu terbelah dan lahir lah seorang putri cantik dan dinamai Lumimuut.Legenda tersebut
kemudian disambung dengan cerita Lumimuut dan Karema mengadakan suatu upacara berdoa ke
segala penjuru angin dan ketika mereka mengahadap ke arah barat tiba tiba Lumimuut di karuniai
benih di dalam perutnya dan dia hamil melahirkan seorang putra yang dinamai Toar.
Karema yang selaku ibu dari Lumimuut memerintahkan kepada Lumimuut dan Toar untuk
mengembara dan membawa masing-masing sebuah tongkat dan bilamana mereka bertemu dan
tongkat itu tidaklah sama panjang berarti mereka tidaklah ada hubungan darah.Suatu ketika mereka
dalam pengembaraan mereka bertemu dan mengukur tongkat masing masing dan tongkat tersebut
tidaklah sama panjang.Akhirnya mereka menikah dan kembali ke tempat asal mereka untuk mencari
Karema namun mereka tidak menemukan sosok Karema.

C. Mata Pencaharian
 Dalam sektor pertanian, kelapa, cengkeh, kopi, dan pala. coklat, vanili, jahe putih dan jambu
mete.
 Persawahan menunjukkan pula adanya gejala-gejala perkembangan dalam upaya peningkatan
produksi padi.
 Perladangan menetap tradisional (kebun kering) yang umum di Minahasa adalah perladangan
jagung,buah-buahan, Selain jagung, kebun sering ditanami pula dengan kacang merah,
kacang tanah, kedelai, kacang hijau, dan berbagai jenis ubi.
 pengembangan perikanan laut yang dilaksanakan oleh Perikani yang berpusat di Aertembaga,
terutama penangkapan dan pengolahan cakalang.
 Hutan , Jenis-jenis binatang yang umum dimakan adalah babi hutan, tikus hutan (ekor putih),
dan kalong. Lain-lainnya yang jarang dimakan karena sudah tergolong langka atau tidak umum
dimakan oleh orang Minahasa adalah seperti rusa, anoa, babi rusa, monyet, ular piton, biawak,
ayam hutan, telur burung maleo, dan jenis-jenis unggas liar lainnya. sayur-sayuran, terutama
pangi, rebung dan pakis. \ berbagai jenis buah-buahan, seperti jenis-jenis mangga, pakoba dan
kemiri. Selain itu, enau merupakan sumber nira sebagai minuman terkenal di Minahasa
(disebut sanguer) maupun bahan gula merah.

D. Religi
Unsur-unsur kepercayaan pribumi yang dapat disaksikan pada orang Minahasa yang sekarang
secara resmi telah memeluk agama-agama Protestan, Katolik maupun Islam merupakan peninggalan
sistem religi zaman dahulu sebelum berkembangnya agama Kristen. Agama-agama resmi yang umum
diatur oleh orang Minahasa antara lain Protestan (yang terdiri dari berbagai sekte), katolik dan Islam.
Terlepas dari tingkat kepercayaan perseorangan, unsure-unsur religi pribumi tidak dapat dilepaskan
dari kehidupan keagamaan. Misalnya komponen pribumi terpadu bersama komponen Kristen yang
diluar upacara-upacara formal Gerejani seperti yang terlihat dalam upacara-upacara dari masa hamil
sampai masa meninggal maupun pada perilaku keagamaan sehari-hari

E. Sistem Kemasyarakatan
Kabupaten Minahasa mempunyai kurang lebih 468 desa (kampung) sebagai kesatuan administrasi
yang dipimpin oleh seorang kepala desa, yang secara adat disebut Hukum Tua (Kuntua). Dewasa ini,
kesatuan administrasi desa dirubah menjadi Kelurahan/Desa yang dipimpin oleh seorang Lurah/Kepala
Desa. Kecuali desa sebagai kesatuan administrasi tersebut terdapat juga perkampungan yang berupa
kompleks perumahan bersama dengan sawah dan kebun yang secara administratif merupakan bagian
dari suatu desa. Pola perkampungan desa Minahasa bersifat menetap dan kelompok rumahnya
mempunyai bentuk memanjang mengikuti jalan raya.
 Masyarakat Minahasa Kuno
 Awu dan Taranak
 Paesa In Deken
 Kawanua
 Walak dan Pakasa’an
 Tona’as dan Walian

F. Sistem Pemerintahan
Sejak awal bangsa Minahasa tiada pernah terbentuk kerajaan atau mengangkat seorang raja
sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintah adalah kepala keluarga yang gelarnya adalah
Paedon Tu‟a atau Patu‟an yang sekarang kita kenal dengan sebutan Hukum Tua. Di Minahasa tidak
dikenal sistim perbudakan, pada saat itu terjadi perdebatan membuat golongan makarua/makadua
siow (tonaas) merasa perlu mengambil tindakan pencegahan dengan mengupayakan musyawarah
raya yang dimotori oleh Tonaas-tonaas senior dari seluruh Minahasa di Watu Pinabetengan. Luas
Minahasa pada jaman ini adalah dari pantai likupang, Bitung sampai ke muara sungai Ranoyapo ke
gunung Soputan, gunung Kawatak dan sungai Rumbia Wilayah setelah sungai Ranoyapo dan Poigar,
Tonsawang, Ratahan, Ponosakan adalah termasuk wilayah kerajaan Bolaang Mongondow, sampai
kira-kira abad ke-14.
Dalam musyawarah yang dihadiri oleh seluruh keturunan Toar Lumimuut, memilih Tonaas Kopero
dari Tompakewa sebagai ketua yang dibantu anggota Tonaas Muntuuntu dari Tombulu dan Tonaas
Mandey dari Tonsea.mereka bertugas untuk konsolidasi ketiga golongan Minahasa tsb.

G. Upacara Adat
 Monondeaga
Upacara adat dari daerah Bolaang Mongondow yang dilaksanakan pada waktu anak gadis
memasuki masa akil baliq yang ditandai dengan datangnya haid pertama. Daun telinga dilobangi dan
dipasangi anting kemudian gigi diratakan sebagai pelengkap kecantikan dan tanda telah dewasa.

 Mupuk Im Bene
Upacara adat dari daerah Minahasa berupa pengucapan syukur pallen pactio Masyarakat
membawa/mempersembahkan segantang/sekarung padi bersama hasil ladang lainnya disuatu tempat
(lapangan atau dirumah gereja) untuk didoakan. Dan setiap rumah/keluarga menyiapkan beragam
makanan dan makan bersama dengan para tamu dengan sukaria.

 Metipu
Merupakan upacara adat dari daerah Sangihe Talaud berupa penyembahan kepada Sang Pencipta
alam semesta yang disebut BENGGONA LANGI DUATAN SALURAN, dengan membakar daun-daun
dan akar-akar yang mewangi dan menimbulkan asap membumbung ke hadirat-Nya.

 Watu Pinawetengan
Tanggal tujuh bulan tujuh tahun dua ribu tujuh saat istimewa bagi sebagian masyarakat Minahasa.
Pada penanggalan Masehi itu digelarlah upacara adat Watu Pinawetengan, sebuah upacara penuh
makna bagi persatuan masyarakat setempat

 Upacara Pemakaman
Mula-mula Suku Minahasa jika mengubur orang meninggal sebelum ditanam terlebih dulu dibungkus
dengan daun woka (sejenis janur). Lambat laun, terjadi perubahan dalam kebiasaan menggunakan
daun woka. Kebiasaan dibungkus daun ini berubah dengan mengganti wadah rongga pohon kayu atau
nibung kemudian orang meninggal dimasukkan ke dalam rongga pohon lalu ditanam dalam tanah.
Baru sekitar abad IX Suku Minahasa mulai menggunakan waruga. Bersamaan dengan itu pula, agama
Kristen mengharuskan mayat dikubur di dalam tanah mulai menyebar di Minahasa.

 Upacara Pernikahan
Proses Pernikahan adat yang selama ini dilakukan di tanah Minahasa telah mengalami
penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman. Misalnya ketika proses perawatan calon pengantin
serta acara "Posanan" (Pingitan) tidak lagi dilakukan sebulan sebelum perkawinan, tapi sehari sebelum
perkawinan pada saat "Malam Gagaren" atau malam muda-mudi. Acara mandi di pancuran air saat ini
jelas tidak dapat dilaksanakan lagi, karena tidak ada lagi pancuran air di kota-kota besar. Yang dapat
dilakukan saat ini adalah mandi adat "Lumelek" (menginjak batu) dan "Bacoho" karena dilakukan di
kamar mandi di rumah calon pengantin. Dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan sekarang ini,
semua acara / upacara perkawinan dipadatkan dan dilaksanakan dalam satu hari saja.
 Upacara perkawinan
Upacara perkawinan adat Minahasa dapat dilakukan di salah satu rumah pengantin pria ataupun
wanita. Di Langowan-Tontemboan, upacara dilakukan dirumah pihak pengantin pria, sedangkan di
Tomohon-Tombulu di rumah pihak pengantin wanita.
Hal ini mempengaruhi prosesi perjalanan pengantin. Misalnya pengantin pria ke rumah pengantin
wanita lalu ke Gereja dan kemudian ke tempat acara resepsi.
Karena resepsi/pesta perkawinan dapat ditanggung baik oleh pihak keluarga pria maupun keluarga
wanita, maka pihak yang menanggung biasanya yang akan memegang komando pelaksanaan pesta
perkawinan. Ada perkawinan yang dilaksanakan secara Mapalus dimana kedua pengantin dibantu oleh
mapalus warga desa, seperti di desa Tombuluan. Orang Minahasa penganut agama Kristen tertentu
yang mempunyai kecenderungan mengganti acara pesta malam hari dengan acara kebaktian dan
makan malam.

H. Produk Budaya
 Fam
Nama keluarga yang telah digunakan sebagai nama keturunan bagi orang Minahasa atau lebih
dikenal dengan istilah FAM, diambil dari nama keluarga yang digunakan oleh kepala rumah tangga
(orang tua lelaki). Setiap Khusus bagi seorang wanita yang telah kawin maka nama keluarga sang
suami langsung disisipkan diantara nama depan dengan nama keturunan keluarga sang wanita
tersebut. Contoh : Abutan - Adam - Agou - Akai - Aling - Alow - Alui - Amoi - Ampow - Andinata -
Andu - Anes – Angkouw dll

 Mapalus
Budaya mapalus atau bekerja bersama dan saling bantu ini telah berakar dan membudaya di
kalangan masyarakat Minahasa. Budaya tersebut sampai saat ini masih terjaga dan terpelihara.
Pada kehidupan sehari-hari masih bisa dirasakan sikap suka membantu dan bekerjasama. Kecuali
beberapa kegiatan yang merupakan rangkaian dari „mapalus ‟ seperti memakai alat tiup ketika
mengajak kelompok untuk ber‟mapalus‟ sudah mulai hilang. Perlahan keaslian mulai terkikis
dengan modernisasi.

 Rumah Adat
Disebut dengan istilah wale atau bale, yaitu rumah/ tempat melakukan akivitas untuk hidup
keluarga. Rumah adat Minahasa merupakan rumah panggung yang terdiri dari dua tangga
didepan rumah. Rumah adat Minahasa merupakan rumah panggung yang terdiri dari dua tangga
didepan rumah. Menurut kepercayaan nenek moyang Minahasa peletakan tangga tersebut
dimaksudkan apabila ada roh jahat yang mencoba untuk naik dari salah satu tangga maka roh
jahat tersebut akan kembali turun di tangga yang sebelahnya

 Tari-Tarian
 Tari Maengket
Maengket adalah tari tradisional Minahasa dari zaman dulu kala sampai saat ini masih
berkembang. Maengket sudah ada di tanah Minahasa sejak rakyat Minahasa mengenal pertanian
terutama menanam padi di ladang. Maengket terdiri dari 3 babak, yaitu : - Maowey Kamberu -
Marambak – Lalayaan.

- Tari Maowey Kamberu


Maowey Kamberu adalah suatu tarian yang dibawakan pada acara pengucapan syukur kepada
Tuhan yang Maha Esa, dimana hasil pertanian terutama tanaman padi yang berlipat
ganda/banyak.

- Tari Marambak
Marambak adalah tarian dengan semangat kegotong-royongan, rakyat Minahasa Bantu membantu
membuat rumah yang baru. Selesai rumah dibangun maka diadakan pesta naik rumah baru atau
dalam bahasa daerah disebut “rumambak” atau menguji kekuatan rumah baru dan semua masyarakat
kampong diundang dalam pengucapan syukur.

- Tari Lalayaan
Lalayaan adalah tari yang melambangkan bagaimana pemuda-pemudi Minahasa pada zaman
dahulu akan mencari jodoh mereka. Tari ini juga disebut tari pergaulan muda-mudi zaman dahulu kala
di Minahasa.

 Tari Katrili
Menurut legenda rakyat Minahasa, tari katrili adalah salah satu tari yang dibawa oleh Bangsa
Spanyol pada waktu mereka datang dengan maksud untuk membeli hasil bumi yang ada di Tanah
Minahasa

 Tari Kabasaran
Adalah Tari Perang, merupakan tarian tradisional Minahasa yang menceritakan bagaimana suku
Minahasa mempertahankan tanah Minahasa dari musuh yang hendak mendudukinya. Tari Perang ini
memperagakan bagaimana menggunakan Pedang Perisai dan Tombak. Tarian Kabasaran ini ditarikan
untuk acara-acara khusus seperti Penyambutan tamu dan atau diberbagai Acara.

 Alat Musik daerah

 Kolintang
Kolintang adalah instrument musik yang berasal dari Minahasa biasanya Kolintang dipakai sebagai
pengiring dari seorang penyanyi lagu-lagu daerah ataupun cuma musik instrumen saja. Kolintang
sudah sangat terkenal di Indonesia bahkan juga sudah dipromosikan ke luar negeri. Kolintang
dimainkan oleh sebuah regu, biasanya satu regu itu terdiri dari 5 sampai 6 orang.
 Musik Bambu
Musik bambu juga adalah musik tradisional dari Minahasa satu regu terdiri 30 - 40 orang bahkan
ada yang lebih. Musik bambu dari Minahasa juga sudah sangat terkenal di Indonesia bahkan tidak
jarang acara dari luar Sulawesi Utara yang mengundang 1 regu musik bambu.
 Lagu Daerah
Minahasa juga merupakan daerah yang memiliki lagu daerah yang cukup dikenal, diantaranya
adalah:
 Esa mokan

 Luri wisako

 O ina ni keke

 Opo wananatas

 Sa aku ika genang

 Mars Minahasa

 Si Patokaan :

Sayang sayang si patokaan Matego tego gorokan sayang Sayang sayang si patokaan Matego tego
gorokan sayang Sako mangemo tanah man jauh Mangemo milei leklako sayang.

 Kuliner
 Makanan
masakan orang Minahasa hampir semuanya pedas mulai dari sup hingga hidangan utamanya.
Makanan khas minahasa yaitu Nasi Jaha,Tinutuan, Cakalang Fufu,Tinoransak,Sambal Roa, Keu
Klappertaart.
 Minuman
Minuman orang minahasa yaitu, Saguar, Es kacang merah,Minuman cap Tikus, Es sirsak manado,Es
Tji Mei dll.
 Busana Tradisional Minahasa
Di masa lalu busana sehari-hari wanita Minahasa terdiri dari baju sejenis kebaya, disebut wuyang
(pakaian kulit kayu). Selain itu, mereka pun memakai blus atau gaun yang disebut pasalongan
rinegetan, yang bahannya terbuat dari tenunan bentenan. Sedangkan kaum pria memakai baju karai,
baju tanpa lengan dan bentuknya lurus, berwarna hitam terbuat dari ijuk. Selain baju karai, ada juga
bentuk baju yang berlengan panjang, memakai krah dan saku disebut baju baniang. Celana yang
dipakai masih sederhana, yaitu mulai dari bentuk celana pendek sampai celana panjang seperti bentuk
celana piyama.

Pada perkembangan selanjutnya busana Minahasa mendapatkan pengaruh dari bangsa Eropa dan
Cina. Busana wanita yang memperoleh pengaruh kebudayaan Spanyol terdiri dari baju kebaya lengan
panjang dengan rok yang bervariasi. Sedangkan pengaruh Cina adalah kebaya warna putih dengan
kain batik Cina dengan motif burung dan bunga-bungaan. Busana pria pengaruh Spanyol adalah baju
lengan panjang (bajang) yang modelnya berubah menyerupai jas tutup dengan celana panjang. Bahan
baju ini terbuat dari kain blacu warna putih.

 Baju Ikan Duyung


Pada upacara perkawinan, pengantin wanita mengenakan busana yang terdiri dari baju kebaya
warna putih dan kain sarong bersulam warna putih dengan sulaman motif sisik ikan. Model busana
pengantin wanita ini dinamakan baju ikan duyung. Selain sarong yang bermotifkan ikan duyung,
terdapat juga sarong motif sarang burung, disebut model salimburung, sarong motif kaki seribu, disebut
model kaki seribu dan sarong motif bunga, disebut laborci-laborci.
Pengantin pria memakai busana yang terdiri dari baju jas tertutup atau terbuka, celana panjang,
selendang pinggang dan topi (porong). Busana pengantin baju jas tertutup ini, disebut busana tatutu.
Potongan baju tatutu adalah berlengan panjang, tidak memiliki krah dan saku. Motif dalam busana ini
adalah motif bunga padi, yang terdapat pada hiasan topi, leher baju, selendang pinggang dan kedua
lengan baju.

 Busana Pemuka Adat


Busana Tonaas Wangko adalah baju kemeja lengan panjang berkerah tinggi, potongan baju lurus,
berkancing tanpa saku. Warna baju hitam dengan hiasan motif bunga padi pada leher baju, ujung
lengan dan sepanjang ujung baju bagian depan yang terbelah. Semua motif berwarna kuning
keemasan. Sebagai kelengkapan baju dipakai topi warna merah yang dihiasi motif bunga padi warna
kuning keemasan .
Hasil Diskusi Kelompok 1 tentang Budaya Minahasa

1. Ayu ( Kelompok 2)
Jelaskan Secara Singkat Asal Usul suku Tonsea, dan bahasa yang mereka gunakan dalam
kehidupan sehari-hari!
Jawaban : Dijawab Semua Anggota Kelompok 1 dengan jawaban :

Jesica Panjaitan : Suku Tonsea, adalah salah salah satu sub-suku Minahasa yang berada di
provinsi Sulawesi Utara. Daerah pemukiman suku Tonsea ini berada di kabupaten Minahasa
Utara meliputi daerah semenanjung Sulawesi, kota Bitung, Airmadidi, Kauditan, Kema, kota
Bitung, Tatelu, Talawaan dan Likupang Timur. .
Suku Tonsea berasal dari pakasa'an Tountewoh, yang merupakan anak suku Minahasa.
Pada abad 17, suku Tonsea dipimpin oleh seorang yang bernama Xaverius Dotulong, sebagai
pemimpin dari suku Tonsea yang berkedudukan di Kema. Orang Tonsea berbicara
menggunakan bahasa Tonsea Suku Tonsea berasal dari pakasa'anTountewoh, yang
merupakan anak suku Minahasa. Orang Tonsea berbicara menggunakan bahasa Tonsea.
Bahasa Tonsea merupakan salah satu dialek bahasa Minahasa.
Contoh bahasa Tonsea : Nyaku mange aki Wenang ( Saya Pergi Ke Manado)
Sipa ngaran mu? ( Siapa nama mu?)

Lusianna Langitan :
Bahasa yang masih digunakan sampai saat ini yaitu bahasa tombulu.Bahasa tonsea hingga
saat ini masih eksis namun penggunaanya di kalangan generasi muda sudah sangat
jarang.Untuk itu diharapkan perhatian khusus dari pemerintah dan masyarakat setempat.

Anestri K. Ano :
Mayoritas suku Tonsea adalah pemeluk agama Kristen. Agama Kristen tumbuh dengan kuat
dalam kehidupan masyarakat suku Tonsea, terlihat dari banyaknya bangunan gereja yang
berdiri di setiap pemukiman masyarakat suku Tonsea. Mereka sering mengadakan kegiatan di
gereja. Kegiatan gereja adalah sangat penting bagi kehidupan mereka.

Masyarakat suku Tonsea, pada umumnya berprofesi sebagai petani. Mereka menanam
beberapa jenis sayuran, termasuk jagung, beberapa jenis buah-buahan. Selain itu mereka juga
menanam tanaman keras seperti cengkeh. Pada bidang profesi lain, orang Tonsea berprofesi
sebagai pedagang, guru, pegawai negeri dan di sektor-sektor swasta. Saat ini banyak orang
Tonsea yang merantau ke daerah lain, seperti Manado, Makasar atau ke pulau-pulau lain,
seperti Papua, Maluku, Sumatra, Jawa dan Kalimantan.

2. Dwi Julistri Kambotan ( Kelompok 3 )


Coba Jelaskan ciri khas suku Minahasa!
Jawaban : Dijawab oleh Semua Anggota Kelompok

Lusianna Langitan :
Pada upacara adat minahasa pada waktu acara rumah baru diselinggi dengan tarian kabasaran
dengan tarian tersebut anggota kabasaran berdoa kepada leluhurnya memberikan perlindungan untuk
anggota keluarga baru dan rumahnya disamping itu mereka memberikan bunga yang biasanya disebut
oleh suku minahasa tawaang merah dan menanamnya di depan rumah.

Anestri K .Ano : salah satu ciri khas Minahasa yang saya tahu selama saya 2 tahun tinggal di Tomohon
: kebiasaan yang sering dilakukan misalnya setiap ada musim panen mereka mengadakan
pengucapan syukur atas panen tersebut. Cara mereka berbicara sangat lembut berbeda dengan
daerah saya di Maluku utara yang terdengar agak kasar.

Jesica Panjaitan : Ciri khas Suku Minahasa memiliki banyak ciri khasnya, baik dalam adat -istiadat,
kuliner, pakaian tradisional, alat musik daerah, mata pencarian masyarakat, busana adat dan lain-lain
Untuk ciri khas dalam kuliner, minahasa memiliki masakan orang Minahasa hampir semuanya pedas
mulai dari sup hingga hidangan utamanya. Makanan khas minahasa yaitu Nasi Jaha,Tinutuan,
Cakalang Fufu,Tinoransak,Sambal Roa, Keu Klappertaart.

Untuk Alat musik Tradisional, minahasa memiliki Kolintang, musik Bambu.


Serta Lagu Daerah Minahasa diantaranya adalah:
 Esa mokan
 Luri wisako
 O ina ni keke
 Opo wananatas
 Sa aku ika genang
 Mars Minahasa
 Si Patokaan

Anda mungkin juga menyukai