Nyanyian panjang kadang bisa dinyanyikan berhari-hari karena tombo yang dilantunkan juga
panjang. Salah satu nyanyian panjang yang diketahui ialah Bujang Tan Domang dari persukuan
Monti Raja di Betung, Kecamatan Pangkalan Kuras. Tombo ini disusun ke dalam buku oleh Tenas
Effendy (peneliti dan mantan ketua Lembaga Adat Melayu Riau). Tebal isi nyanyian panjang di
buku itu beserta terjemahan Bahasa Indonesia lebih dari 700 halaman.
Salah satu poin terpenting dari sastra lisan ini adalah penentuan tapal batas tanah ulayat dan
pembagian tanah sesuai fungsinya. Ada empat jenis tanah dalam adat Petalangan: tanah
kampunguntuk perkampungan, tanah dusun untuk perkebunan dan cadangan perluasan
kampung, tanah peladangan untuk ladang, dan rimba larangan. Rimba larangan dibagi menjadi
dua: rimba kepungan sialang tempat pohon sialang tumbuh dan rimba simpanan tempat
berbagai jenis tumbuhan dan hewan hidup. Rimba larangan tidak boleh dirusak dan harus
dipelihara.
Pada tahun 1945, Kesultanan Pelalawan yang membawahi masyarakat Petalangan bergabung ke
Indonesia. Tanah ulayat milik persukuan secara tidak sadar diambil alih oleh negara dan dikelola
oleh swasta. Hutan, bukit, dan rawa yang tidak boleh dirusak diubah menjadi perkebunan kelapa
sawit dan hutan industri kertas. Pohon sialang yang memegang peranan penting dalam
penentuan tanah adat ditebang secara sepihak. Arus pendatang yang deras menjadikan suku
Petalangan minoritas di tanah mereka sendiri.
Tradisi nyanyian panjang meredup seiring dirambahnya hutan adat. Pengaruh pendatang yang
membawa budaya modern menjadi sebab dari tidak berlanjutnya tradisi ini ke generasi muda,
selain karena proses pewarisannya yang cukup merepotkan bagi mereka. Pebilang
tombo (penutur tombo) yang tersisa hanya dari kalangan tua.