Anda di halaman 1dari 3

Nyanyian Panjang Orang Petalangan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menganugerahkan titel Warisan


Budaya Takbenda Indonesia 2016 kepada beberapa produk budaya yang tersebar di seluruh
Indonesia. 6 di antaranya berasal dari Provinsi Riau, salah satunya ialah Nyanyian Panjang dari
Kabupaten Pelalawan.

Apa itu Nyanyian Panjang?


Nyanyian panjang merupakan tradisi lisan yang berkembang di masyarakat suku Petalangan
di Perbatinan Kurang Satu Tiga Puluh (sebagian besar Kabupaten Pelalawan). Nyanyian panjang
mengandung cerita dari tombo atau nyanyian biasa. Tombo berisi tentang asal usul, hukum adat,
dan batas tanah ulayat suatu suku. Suatu suku dianggap tak memiliki asal usul yang jelas jika
mereka tak memiliki tombo. Nyanyian panjang tombo memiliki aturan dalam pelaguan, sakral,
dan tidak boleh diubah, berbeda dengan nyanyian panjang biasa yang lebih bebas dalam pelaguan
dan isinya.

Nyanyian panjang kadang bisa dinyanyikan berhari-hari karena tombo yang dilantunkan juga
panjang. Salah satu nyanyian panjang yang diketahui ialah Bujang Tan Domang dari persukuan
Monti Raja di Betung, Kecamatan Pangkalan Kuras. Tombo ini disusun ke dalam buku oleh Tenas
Effendy (peneliti dan mantan ketua Lembaga Adat Melayu Riau). Tebal isi nyanyian panjang di
buku itu beserta terjemahan Bahasa Indonesia lebih dari 700 halaman.
Salah satu poin terpenting dari sastra lisan ini adalah penentuan tapal batas tanah ulayat dan
pembagian tanah sesuai fungsinya. Ada empat jenis tanah dalam adat Petalangan: tanah
kampunguntuk perkampungan, tanah dusun untuk perkebunan dan cadangan perluasan
kampung, tanah peladangan untuk ladang, dan rimba larangan. Rimba larangan dibagi menjadi
dua: rimba kepungan sialang tempat pohon sialang tumbuh dan rimba simpanan tempat
berbagai jenis tumbuhan dan hewan hidup. Rimba larangan tidak boleh dirusak dan harus
dipelihara.

Nasib yang Terlunta

Pada tahun 1945, Kesultanan Pelalawan yang membawahi masyarakat Petalangan bergabung ke
Indonesia. Tanah ulayat milik persukuan secara tidak sadar diambil alih oleh negara dan dikelola
oleh swasta. Hutan, bukit, dan rawa yang tidak boleh dirusak diubah menjadi perkebunan kelapa
sawit dan hutan industri kertas. Pohon sialang yang memegang peranan penting dalam
penentuan tanah adat ditebang secara sepihak. Arus pendatang yang deras menjadikan suku
Petalangan minoritas di tanah mereka sendiri.
Tradisi nyanyian panjang meredup seiring dirambahnya hutan adat. Pengaruh pendatang yang
membawa budaya modern menjadi sebab dari tidak berlanjutnya tradisi ini ke generasi muda,
selain karena proses pewarisannya yang cukup merepotkan bagi mereka. Pebilang
tombo (penutur tombo) yang tersisa hanya dari kalangan tua.

Membangkitkan Batang Terendam


Sastra lisan ini perlahan mulai dibangkitkan oleh peneliti dan masyarakat Petalangan.
Penyelamatan kesenian ini penting agar masyarakat Petalangan mengetahui asal usul, adat
istiadat, dan hak-hak mereka atas tanah yang telah direnggut. Nyanyi panjang juga dapat menjadi
referensi penting mengenai pelestarian hutan dan harmonisasi hubungan antara manusia dengan
alam di Indonesia.
Usaha-usaha penyelamatan telah dilakukan oleh beberapa peneliti Indonesia dan luar negeri.
Beberapa nyanyi panjang yang berhasil dicatat antara lain Bujang Tan Domang dan Balam
Ponganjuw. Terakhir, tradisi lisan ini berhasil menjadi salah satu warisan budaya tak benda
Indonesia dengan anugerah diberikan kepada Mak Itam dari Lubuk Terap, Kecamatan Bandar
Petalangan.

Ditulis oleh Ammarrifki A. Sjarif (UKMR'15)

Anda mungkin juga menyukai