Lapandewa Kaindea
Kerajaan dan Kesultanan Buton dibangun diatas 4 pilar kekuatan yang disebut Matana
Sorumba. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam keterangan jurnal yang tulis oleh
Hatmini, N., & Aslim, A. (2019) bahwa Empat Matana Sorumba tersebut adalah :
1. Lapandewa menjaga musuh yang datang dari arah selatan
2. Wabula menjaga musuh yang datang dari arah Timur
3. Mawasangka menjaga musuh yang datang dari arah Barat
4. Watumotobe menjaga musuh yang datang dari arah Utara.
Lapandewa dalam struktur pemerintahan kesultanan buton termasuk dalam kelompok bonto
ogena memiliki satu kadie yang disebut kadie bobato iysara dan berhak menjalankan
pemerintahan secara otonom dibawah naungan kesultanan buton.
Kaindea dalam Bahasa Lapandewa kaindea berarti perkebunan, begitu pula dalam kamus
Bahasa wolio-Indonesia yang dicetak pada tahun 1985 oleh Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa departemen pendidikan dan kebudayaan memaknai Kaindea dengan
arti yaitu tanah yang luas jika bercocok tanam bergantung pada hujan. Secara fakta memang
Masyarakat Hukm Adat Lapandewa Kaindea memiliki lahan perkebunan yang luas dan pada
masing-masing kebun yang pernah diolah memiliki pagar batu keliling sebagai pembatas
antara kebun yang satu dengan kebun yang lain.
Termasuk wilayah rete yang kini menjadi sengketa antara Masyarakat Hukum Adat
Lapandewa Kaindea dengan beberapa oknum warga Desa Gerakmakmur sesungguhnya
adalah tanah ulayat yang sejak jaman dahulu telah dikuasai oleh Masyarakat Hukum Adat
Lapandewa Kaindea. Pemilikan dan penguasaan lahan yang ada dikawasan rete dan
sekitarnya tersebut dapat dibuktikan dengan perkebunan masyakat Lapandewa Kaindea
yang sampai saat ini masih memiliki bekas pagar batu keliling pada masing-masing kebun
tersebut yang masyarakat local menyebutnya sebagai Tondo.
Pengertian Kaindea sebagai lahan perkebunan yang luas sebab itulah masyarakat
hukum adat Lapandewa Kaindea pada jaman dahulu dikenal sebagai lumbung pangan yang
berlimpah dan selalu aktif membayar pajak(Weti) pada pemerintahan kesultanan buton. Hal
ini sebagaimana keterangan dalam buku yang berjudul “Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni
(Buton III) yang diterbitkan Oleh Proyek Pengembangan Media Kebudayaan departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta Tahun 1977 yang menjelaskan bahwa pembayaran pajak
pada masa Sultan Buton yang ke 34 bernama Muh. Husein menjabat pada tahun 1914 dan
yang saat itu yang menjabat sebagai kepala distrik Sampolawa bernama La Ode Hamidi,
Kaindea telah tercatat sebagai pembayar pajak.
Setiap manusia memiliki kebudayaan dan bagaimana mengatur alam semesta entah itu
yang berkaitan dengan hal yang supranatural maupun bagaimana mempertahankan
kehidupanya. Lapandewa kaindea memiliki cara sendiri dalam mengatur kehidupanya baik
yang berkaitan dengan darat maupun laut. Sehingga didalam strukur adat terdapat bidang
yang mengatur tentang kehidupan darat yang disebut Wacino Gunu dan Bidang yang
mengatur tentang kehidupan Laut yang disebut Wacino Ngapa. Jadi Wacino Ngapa
melaksanakan ritual pada tempat-tempat keramat yang ada ditepi pantai wilayah laut yang
sekarang ini dihuni oleh Masyarakat lande Desa Gerak makmur. Adapun tempat-tempat
keramat yang diritualkan setiap tahun oleh Masyarakat Hukum Adat Lapandewa Kaindea
sejak zaman dahulu secara turun temurun hingga saat ini yaitu :
1. Bhantea yang terletak di tepi pantai Lande desa Gerak Makmur Kec. Sampolawa
2. Pala-Pala yang terletak diatas tebing Desa Gerak Makmur Kec. Sampolawa
3. Moko Rodha yang terletak di bawah tebing Desa Gerak Makmur Kec. Sampolawa
4. Singku yang terletak dibawah tebing Desa Gerak Makmur Kec. Sampolawa
5. Wunga-Wunga yang terletak di tepi pantai Desa Gerak Makmur Kec. Sampolawa
6. Waketere terletak di atas tebing bagian selatan Desa Gerak Makmur Kec.
Sampolawa
Lapandewa Kaindea juga memiliki benteng yang melingkari kampung, terdiri dari 4
pintu gerbang yakni: timur, barat, utara, dan selatan didalam benteng tersebut terdapat system
yang mengatur segala kehidupan masyarakatnya yang dipimpin oleh parabela. Benteng
tersebut memiliki ukuran luas 1657 M2 benteng tersebut merupakan benteng pemukiman
yang dalam penelitian yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayan yang
tulis oleh Sugeng Rianto yang berjudul: Sosok Parabela dan Kesinambungan Budaya
“Komunitas Benteng” di Buton halaman 21 bahwa adalah salah satu benteng tertua di
kabaupaten Buton. Hal ini berdasarkan hasil penelitian dari arkeolog pusat yang dilaksanakan
pada tahun 1995. Dalam benteng Kaindea merupakan benteng yang telah ditemukan keramik
pada masa dinasti Qing pada abad 17. Sehingga peradaban Lapandewa kaindea telah
berlangsung jauh sebelum abad ke 17.
Dari uraian tersebut diatas dapat diketahui dengan jelas bahwa sejak zaman dahulu
masyarakat hukum adat Lapandewa Kaindea sudah memiliki perdaban yang kuat. Sehingga
hubungan Kaindea dengan pihak kesultanan terjalin sangat erat. Hal ini dapat dilihat dari
posisi masjid dan Galampa (Rumah Adat) yang berdampingan, sebagaimana masjid keraton
Buton dan Baruga yang berdampingan, itu mencerminkan keterkaitan kuat agama dan budaya
kesultanan Buton dan Masyarakat Adat Lapandewa Kaindea.
Perkembangan pendidikan modern dalam lingkup Kesultanan Buton sangat
mempengaruhi perkembangan pemikiran masyarakat Lapandewa Kaindea sehingga sangat
dibutuhkan pendirian sekolah di Lapandewa kaindea yang saat itu masih bernama sekolah
rakyat (SR). Tak heran sejak tahun 1942 belum terbentuk negara Indonesia, pengendali
administrasi masih dalam kendali kesultanan buton. dikampung Kaindea sudah berdiri
sekolah rakyat SR kaindea. Hal ini dibuktikan dengan Surat Keterangan yang dibuat oleh
Kepala Dinas Pendidikan Kab. Buton selatan Nomor 420/241/2021 Tanggal 29 April 2021
yang menerangkan Bahwa Nama Sekolah SDN 1 Lapandewa Kaindea Telah Berdiri Pada
Tahun 1942 dan masih berstatus aktif beroperasi sampai dengan sekarang. Surat Keterangan
Kepala Dinas Pendidikan Tersebut berdasarkan Surat Keputusan Bupati Buton Selatan
Nomor 104 Tahun 2020 tentang Penetapan Nama Satuan Pendidikan Dasar dalam Wilayah
Kabupaten Buton Selatan.
b. Gerak Makmur
Nama gerak makmur adalah penamaan yang telah mengenal Bahasa
Indonesia, artinya bahwa penamaan tersebut adalah nama dimana masyarakat telah
dipengaruhi oleh bahasa Indonesia, sebelum itu Gerak Makmur bernama lande adalah
wilayah pesisir pantai yang kosong tak berpenghuni masyarakat etnis lapandewa
menyebutnya dengan nama “lande” sebagai tempat pingapa’ano masyarakat
lapandewa Kaindea. Tempat pingapa’ano mengandung maksud sebagai tempat
mencari ikan sehingga sejak jaman dahulu kawasan lande sudah dijaga dan
dipelahara oleh masyarakat hukum adat lapandewa kaindea. Hal ini dapat dibuktikan
ada beberapa tempat-tempat keramat yang selalu diritualkan dan dijaga kelestariannya
secara turun temurun oleh masyarakat hukum adat lapandewa kaindea hingga saat
sekarang ini.
Pada tahun 1942 datanglah tiga orang yang bernama La Ode Darama alias
Ama karungku, La Ncowe alias ama la Mente dan Ama mbugu. merekalah yang kami
tau karena ama Karungku Alias La Ode Darama sebelumnya telah Menghadap ke
Sultan Buton yang ke 38 yang Bernama La Ode Muhamad Falihi memita izin lokasi
di Teluk Lande dengan tujuan membuat Jaring dan tempat berlabuh perahunya,
namun Tanggapan Sultan Buton Laode Muh Falihi menyampaikan bahwa “maksud
kedatanganmu saya Sudah Ketahui akan tetapi kalau masuk di teluk lande harus
meminta izin kepada parabela Kaindea karena lokasi di teluk lande tersebut adalah
Kadie masyarakat Hukum Adat Lapandewa Kaindea” dan pada waktu itu parabela
Lapandewa Kaindea bernama La Ade alias Awa Mua.
c. Pemekaran Desa
Pada tahun 1964 sebagai awal mula munculnya nama desa secara administrasi dimana
bergantinya nama Lapandewa menjadi Gerak Makmur dimana desa gerak makmur
membawahi beberapa kampung yakni: Kampung Kaindea, Kampung Tambunaloko,
Kampung Sempa-sempa, Kampung lande, Kampung Wadawa, dan Kampung Indu yang
menjabat kepala desa pertama saat itu atas nama La Ode Buha (orang sampolawa) kemudian
kepala desa Gerakmakmur selanjutnya atas nama La Epu (orang kaindea). Kemudian pada
tahun 1978 terjadi pemekaran desa Lapandewa yang terdiri dari dusun Kaindea dan Dusun
Tambunaloko yang menjadi kepala desa pertama bernama La Ode Jamimu (Orang
Sampolawa). Pada Tahun 1997 terjadi lagi pemekaran Kampung Kaindea Dari desa
lapandewa menjadi Desa Lapandewa Kaindea. Perlu untuk diketahui bahwa sampai pada
tahun 1997 saat Kampung Kaindea mekar menjadi Desa Lapandewa Kaindea, sebahagian
besar warga wadawa masih tercatat dalam administrasi pemerintahan Desa Lapandewa
Kaindea.