Anda di halaman 1dari 40

Tugas Struktur

Mata kuliah : Pembelajaran Budaya Sulut

“Budaya Daerah Minahasa “

Dosen :

Anggota Kelompok 1

Anestri K.Ano (19106008)


Jesica Panjaitan (19106006)
Lusiana V Langitan (19106041)

UNIVERSITAS NEGERI MANADO


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PRODI PG-PAUD
TAHUN AKADEMIK 2021/2022

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................
A. IDENTIFIKASI ...........................................................................................................................
B. ASAL USUL SUKU MINAHASA ANAK SUKU TONSEA ..........................................................
C. LEGENDA MINAHASA (TOAR LUMIMU'UT..............................................................................
D. MATA PENCAHARIAN...............................................................................................................
E. RELIGI........................................................................................................................................
F. SISTEM KEMASYARAKATAN ..................................................................................................
1. .MASYARAKAT MINAHASA KUNO
2. .AWU DAN TARANAK........................................................................................................
3. .PAESA IN DEKEN.............................................................................................................
4. KAWANUA..........................................................................................................................
5. WALAK DAN PAKASA'AN.................................................................................................
6. TONA'AS DAN WALIAN.....................................................................................................
G.SISTEM PEMERINTAHAN ..........................................................................................................
H.UPACARA ADAT ........................................................................................................................
1. .MONONDEAGA ...................................................................................................................
2. MUPUK IM BENE .................................................................................................................
3. .METIPU ................................................................................................................................
4. WATU PINAWETENGAN......................................................................................................
5. UPACARA PEMAKAMAN......................................................................................................
6. UPACARA PERNIKAHAN.....................................................................................................
7. UPACARA PERKAWINAN.....................................................................................................
I.PRODUK BUDAYA .......................................................................................................................
1. FAM........................................................................................................................................
2. MAPALUS..............................................................................................................................
3. RUMAH ADAT........................................................................................................................
4. TARI –TARIAN.......................................................................................................................
5. ALAT MUSIK DAERAH..........................................................................................................
6. LAGU DAERAH......................................................................................................................
7. KULINER................................................................................................................................
8. .BAHASA
9. TULISAN KUNO MINAHASA
10. .BUSANA TRADISIONAL MINAHASA..................................................................................

KEBUDAYAAN MINAHASA
A. Identifikasi
Orang Minahasa adalah suatu suku bangsa yang mendiami suatu daerah pada bagian timur
laut jazirah Sulawesi Utara. Dalam ucapan umum orang Minahasa menyebut diri meraka Orang
Manado/Touwenang, Minahasa, atau Kawanua. Sedangkan Suku Minahasa adalah salah satu suku
bangsa di Indonesia. Mereka berasal dari Kabupaten Minahasa provinsi Sulawesi Utara. Suku
Minahasa sebagian besar tersebar di seluruh provinsi Sulawesi Utara.
Suku Minahasa terbagi atas sembilan subsuku:
1. Babontehu
2. Bantik
3. Pasan Ratahan
4. Ponosakan
5. Tonsea
6. Tontemboan
7. Tondano
8. Tonsawang
9. Tombulu
Di antara sembilan subsuku di atas, yang termasuk subsuku terbesar adalah : Tontemboan,
Tonsea, Tombulu, dan Bantik.
Minahasa berasal dari kata "MINAESA" yang berarti persatuan, yang mana zaman dahulu
Minahasa dikenal dengan nama "MALESUNG".
Menurut penyelidikan dari Wilken dan Graafland bahwa pemukiman nenek moyang orang Minahasa
dahulunya di sekitar pegununggan Wulur Mahatus, kemudian berkembang dan berpindah ke
Mieutakan (daerah sekitar tompaso baru saat ini).
Orang minahasa yang dikenal dengan keturunan Toar Lumimuut pada waktu itu dibagi dalam
3 (tiga) golongan yaitu :
 Makarua Siow : para pengatur Ibadah dan Adat
 Makatelu Pitu : yang mengatur pemerintahan
 Pasiowan Telu : Rakyat
Berdasarkan penyelidikan Dr. J.P.G. Riedel, sekitar tahun 670 di Minahasa telah terjadi
suatu musyawarah di watu Pinawetengan yang dimaksud untuk menegakkan adat istiadat serta
pembagian wilayah Minahasa. Pembagian wilayah minahasa tersebut dibagi dalam beberapa anak suku,
yaitu:
 Anak suku Tontewoh (Tonsea) : wilayahnya ke timur laut
 Anak suku Tombulu : wilayahnya menuju utara
 Anak suku Toulour : menuju timur (atep)
 Anak suku Tompekawa : ke barat laut, menempati sebelah timur tombasian besar
Pada saat itu belum semua daratan minahasa ditempati, baru sampai di garisan Sungai
Ranoyapo, Gunung Soputan, Gunung Kawatak, Sungai Rumbia. nanti setelah permulaan abad XV
dengan semakin berkembangnya keturunan Toar Lumimuut, dan terjadinya perang dengan Bolaang
Mongondow, maka penyebaran penduduk makin meluas keseluruh daerah minahasa. hal ini sejalan
dengan perkembangan anak suku sepert anak suku Tonsea, Tombulu, Toulour, Tountemboan,
Tonsawang, Ponosakan dan bantik.
Di Minahasa sejak dahulu tidak mengenal adanya pemerintahan yang diperintah oleh raja.
Yang ada adalah:
 Walian :Pemimpin agama / adat serta dukun
 Tonaas : Orang keras, yang ahli dibidang pertanian, kewanuaan, mereka yang dipilih menjadi
kepala walak
 Teterusan : Panglima perang
 Potuasan : Penasehat
Sebutan "SI TOU TIMOU TUMOU TOU" dalam bahasa Minahasa artinya: "Manusia hidup
untuk menghidupkan manusia". Ini jadi moto keturunan Minahasa asli.
Kata 'Tou' berarti manusia di bahasa Minahasa. 'Timou' berarti hidup. 'Tumou' berarti
mengembangkan, merawat dan mengajar.
Filosofi kehidupan yang berasal dari Minahasa tua ini jadi sering dikutip oleh almarhum Dr.
G.S.S.J. Ratu-Langie (Dr. Sam Ratulangi, 1890-1949), seorang filosof Minahasa, guru dan pahlawan
nasional di Indonesia.
Pulau Sulawesi, dulu dipanggil Celebes, terletak di kalung mutiara archipelago Indonesia,
terbentuk seperti salah satu bunga anggrek. Sulawesi Utara, sesuatu daerah yang indah, terletak di
bagian utara timur Sulawesi, mencakup 27.515 km persegi yang terdiri dari empat daerah - Bolaang
Mongondow, Gorontalo, Minahasa dan kepulauan Sangihe danTalaud.
Sulawesi Utara juga terkenal oleh sebab tanahnya yang subur yang menjadi rumah tinggal
untuk berbagai variasi tanaman dan binatang, didarat maupun dilaut. Tertutup dengan daunan hijau
pepohonan kelapa dan kebun-kebun cengkeh, tanah itu juga menyumbang

variasi buah-buahan dan sayuran yang lengkap. Fauna Sulawesi Utara mencakup antara lain binatang
langkah seperti burung Maleo, Cuscus, Babirusa, Anoa dan Tangkasii (Tarsius Spectrum).
Untuk melindungi fauna ini, sebuah kebun alam telah di berdirikan. Taman laut yang sangat
menakjubkan menyelenggarakan petualangan dibawah air. Variasi yang luar biasa dalam bidang
panorama dan cara kehidupan orang tertempat yang memiliki tradisi yang unik akan memikat
pengunjung dari luar.
Penduduk Minahasa adalah orang Kristen yang ramah dan salah satu suku-bangsa yang
paling dekat dengan negara barat. Hubungan pertama dengan orang Europa terjadi saat pedagang
Espanyol dan Portugal tiba disana. Tetapi hanya saat orang Belanda tiba, agama Kristen tersebar
terseluruhnya. Tradisi lama jadi terpengaruh oleh keberadaan orang Belanda. "Minahasa" berasal dari
confederasi masing-masing suku-bangsa dan patung-patung yang ada jadi bukti sistem suku-suku
lama.
Sulawesi Utara jadi salah satu produsen kelapa, cengkeh dan pala yang terbesar di Indonesia,
yaitu menambah pada kekayaan alamnya.

B. Asal Usul Suku Minahasa Anak Suku Tonsea


Di tanah Minahasa sendiri kaum pendatang mempunyai ciri seperti: Kaum Kuritis yang
berambut keriting, Kaum Lawangirung (berhidung pesek) Kaum Malesung/ Minahasa yang
menurunkan suku-suku : Tonsea, Tombulu, Tompakewa, Tolour, Suku Bantenan
(Pasan,Ratahan),Tonsawang, Suku Bantik masuk tanah minahasa sekitar tahun 1590 . Suku Minahasa
atau Malesung mempunyai pertalian dengan suku bangsa Filipina dan Jepang, yang berakar pada
bangsa Mongol didataran dekat Cina. Hal ini nyata tampak dalam bentuk fisik seperti mata, rambut,
tulang paras, bentuk mata, dan lain-lain.
Dalam bahasa, Bahasa Minahasa termasuk rumpun bahasa Filipina Tetua- tetua Minahasa
menurunkan sejarah kepada turunannya melalui cerita turun temurun biasanya dilafalkan oleh Tonaas
saat kegiatan upacara membersihkan daerah dari hal- hal yang tidak baik bagi masyarakat setempat
saat memulai tahun yang baru dan dari hal kegiatan tersebut diketahui bahwa Opo Toar dan Opo
Lumimuut adalah nenek moyang masyarakat Minahasa, meskipun banyak versi tentang riwayat kedua
orang tersebut.
Keluarga Toar Lumimuut sampai ketanah Minahasa dan berdiam disekitar gunung Wulur Mahatus, dan
berpindah ke Watuniutakan Sampai pada suatu saat keluarga bertambah jumlahnya maka perlu diatur
mengenai interaksi sosial didalam komunitas tersebut, yang melalui kebiasaan peraturan dalam
keturunannya nantinya menjadi kebudayaan minahasa.

Demikian juga dengan isme atau kepercayaan akan sesuatu yang lebih berkuasa atas manusia sudah
dijalankan diMinahasa sejak awal.

C. Legenda Minahasa (Toar Lumimu'ut)


Minahasa adalah suatu daerah yang terletak di sebelah utara Pulau Sulawesi (dahulu disebut
Celebes) di Indonesia. Penduduk menyebut diri mereka sendiri 'Orang Minahasa', sedangkan
Minahasa yang tinggal di luar Minahasa menyebut diri mereka sendiri Kawanua, yang berarti ´keluarga
´.
Kalau anda berada di Minahasa anda akan segera mendengar nama Toar dan Lumimu'ut
disebut. Di Kota Manado sendiri terdapat sepasang patung ini. Ini adalah cerita tentang
Toar dan Lumimu'ut. Menurut cerita legenda, nenek moyang Minahasa datang dari Monggolia. Orang-
orang Monggolia merupakan sebuah kelompok yang sulit di kendalikan dimana, setelah mereka
menyerbu Cina, untuk mencari tempat tinggal. Orang Monggolia yang terkenal adalah Genghis Khan.
Kelompok-kelompok Monggolia berlayar dengan kapal dan tiba di Celebes Utara melalui
Philipina. Hal ini menjelaskan mengapa orang Philipina dan orang Minahasa umumnya mempunyai
mata yang agak sipit. Mereka (orang Mongol) juga pergi sampai ke dalam Celebes yang sekarang di
sebut Tanah Toraja di Celebes Tengah. Disana atap-atap rumah dan bangunan-bangunan tradisional
mempunyai bentuk kapal berlayar dengan ikatan simpul yang menunjuk ke arah utara. Disini mereka
menggambarkan tentang penyerbu tersebut yang sebagai Tuhan yang datang dari Utara
Menurut legenda, orang Minahasa berasal dari kedua orang ini yang datang ke Celebes
bagian utara, mereka adalah lelaki Toar (matahari) dan wanita Lumimu'ut (tanah). Lumimu'ut adalah
seorang prajurit wanita, yang dibentuk dari batu karang, dicuci dalam laut, dipanaskan oleh matahari
dan disuburkan oleh Angin Barat. Mereka, awal mulanya, berkemah di pulau vulcanic, Manado Tua,
dekat tepi laut Minahasa, seberang Manado."Ibunya sangat cantik. Namanya adalah Lumimu'ut dan dia
adalah seorang keturunan tuhan. Kecantikannya yang luar biasa mempesonakan dan awet muda
yang dianugrahi kepadanya. Ketika anak lelakinya, Toar, sudah menjadi seorang pemuda dia
meninggalkan ibunya untuk menjelajahi dunia. Lumimu'ut memiliki sebuat tongkat perjalanan yang
panjang dan ketika dia mengucapkan perpisahan kepada Toar dia memberikannya sebuah tongkat
yang sama panjangnya dan dia memperingatkan nya untuk tidak menikah dengan anggota keluarga;
oleh sebab itu dia seharusnya tidak boleh menikahi seorang perempuan yang mempunyai tongkat
yang sama panjang seperti miliknya. Bertahun- tahun lamanya dan perjalan panjang kemudian Toar
kembali ke kampung halamannya. Disana dia bertemu dengan seorang wanita muda cantik dimana
dia jatuh cinta dan ingin menikahinya. Dia tidak mengenal ibunya sendiri yang memang tetap abadi
awet muda, dan dari pihak ibunya sendiri tidak mencurigai sama sekali bahwa pemuda dewasa yang
ganteng ini adalah anaknya sendiri.
Sebelum mengambil sumpah perkawinan Toar ingat akan permintaan ibunya ketika dia akan
meninggalkannya untuk perjalanan panjang. Oleh sebab itu dia meletakkan tongkatnya di samping
tongkat calon istrinya untuk membandingkan panjangnya. Tetapi selama perjalanan panjangnya
dia sudah memakai banyak tongkatnya, sehingga tongkat tersebut menjadi jauh lebih pendek.
Sehingga tidak ada halangan lagi untuk nenek moyang Minahasa ini.
Ketika kemudian mereka mengetahui kesalahan mereka, sudah sangat terlambat dan dengan
rasa malu mereka meninggalkan rumah kota mereka. Selama perjalanan mereka, mereka kemudian
tiba di Celebes Utara di pulau volcanic di Menado Tua, seberang pantai dekat Manado di Minahasa
Setelah beberapa waktu kemudian Toar dan Lumimu'ut akhirnya memutuskan untuk pergi ke
pantai di benua tersebut. Ketika mereka tiba disana mereka merasa pantai terlalu panas, oleh sebab itu
mereka pergi lebih dalam di desa tersebut dan menetap di gunung Tondano dimana iklimnya sejuk dan
segar. Disini mereka melahirkan anak-anak mereka dan perlahan mendiami daerah tersebut. Akhirnya
tentu saja anak-anak Toar dan Lumimu'ut menginginkan daerah meraka masing-masing. Legenda
menceritakan bahwa Toar mengizinkan masing-masing anaknya memilih sebidang daerah dan
melemparkan batu-batu di jurusan yang berbeda-beda. Dimana batu-batu tersebut jatuh disitulah
muncul kolonisasi baru Tonsea (manusia yang suka air), Tondano (manusia yang suka danau),
Tombulu (manusia yang suka bulu), Tombasso, Tontemboan (Tompakewa), Toulour, Tomohon. Di
legenda tersebut ke-7 tempat ini adalah ke tujuh daerah Minahasa yang kemudian membuat suku
dengan kepala sukunya masing-masing (Kepala Suku, Tonaas, Hukum Tua atau Hukum Besar)
Menurut mitos ini Penciptaan manusia turun temurun adalah dari wanita dan bukan,
sebagaimana di agama Kristen, dari laki-laki yang rusuknya diambil untuk menciptakan wanita. Patung
Toar dan Lumimu'ut berdiri di lapangan kecil di Manado, dimana bukan ibu kota Minahasa, karena itu
adalah Tondano. Manado, bagaimanapun, adalah ibu kota dari Propinsi Sulawesi Utara dan daerah
Minahasa secara luas sehubungan dengan administrasi dan masalah ekonomi. Pendiriannya secara
resmi dianggap dibuat oleh Dotu Lolong Lasut,

yang diperingati dengan sebuah patung di kota. Lokasi patung Toar dan Lumimuut di pusat Manado
dapat di dianggap sebagai simbol persatuan/penggabungan Manado oleh orang Minahasa.

D. Mata Pencaharian
Di Minahasa, jaringan jalan raya yang tergolong baik, serta adanya pelabuhan Bitung dan
bandar udara Sam Ratulangi, adanya industri-industri kecil, toko-toko besar, dan kegiatan ekonomi
modern lainnya sangat mempengaruhi sektor ekonomi pedesaan yang berpangkal pada sektor
pertanian rakyat yang masih bersifat tradisional.
Ekonomi pedesaan merupakan ciri-ciri perilaku petani Minahasa. Di Minahasa, jaringan jalan
yang tergolong baik, serta adanya pelabuhan Bitung dan bandar udara Sam Ratulangi, adanya industri-
industri kecil, toko besar maupun kecil di kotsa, dan kegiatan ekonomi modern lainnya memang sangat
erat berhubungan dan sangat mempengaruhi ekonomi pedesaan yang berpangkal pada sektor
pertanian rakyat yang masih tergolong tradisional.ekonomi pedesaan di Minahasa mempunyai bentuk
tersendiri yang menunjukkuan adanya perbedaan-perbedaan dari masyarakat-masyarakat pedesaan
lainnya. Berbagai sarana, prasarana, dan pranata ekonomi di Minahasa sekarang telah mengalami
pekembangan, jauh berbeda dari masa-masa dahulu.
Berbagai pabrik, petokoan, yang menjual barang-barang mewah maupun kebutuhan sehari-
hari, kegiatan-kegiatan perdagangan ekspor dan impor antar pulau maupun lokal dan masih banyak
lagi, semuanya tergolong pada kegiatan ekonomi modern, yang menunjukkan gejala perkembangan.
Khususnya mengenai sektor industri dapat dikemukakan bahwa bagian terbesar masih
tergolong pada industri kecil (sekitar 98%) dan sisanya tergolong pada industri menengah. Sebagai
penunjang sektor perdagangan, maka produksi sektor industri menunjukkan pertambahan.
Dalam sektor pertanian sudah sejak masa sebelum Perang Dunia II berkembang perkebunan
rakyat tanaman-tanaman industri, terutama kelapa, cengkeh, kopi, dan pala. Sekarang perkebunan-
perkebunan ini terus mengalami peningkatan intensifikasi dan ekstensifikasi dengan menggunakan
metode dan teknologi pertanian modern. Akhir-akhir ini komoditi petanian lain yaitu coklat, vanili, jahe
putih dan jambu mete mulai digiatkan secara intensif juga dengan metode dan teknologi pertanian
modern.
Persawahan menunjukkan pula adanya gejala-gejala perkembangan dalam upaya
peningkatan produksi padi. Perbaikan dan pembangunan irigasi, penggunaan pupuk dan bibit unggul
adalah contoh dari beberapa perkembangan yang dimaksud. Pertebatan ikan mas dengan
mempraktekan metode baru (menggunakan air yang mengalir deras ke dalam tebat- tebat yang terbuat
dari semen) dijalankan di banyak desa terutama oleh petani-petani kaya.
Perladangan menetap tradisional (kebun kering) yang umum di Minahasa adalah perladangan
jagung, umumnya untuk konsumsi petani sendiri. Biasanya petani menanam pula dalam kebun jagung
berbagai jenis sayur, tanaman bumbu masakan sehari-hari, dan buah- buahan (terutama advokat,
pepaya, jenis-jenis jeruk, nangka, sirsak, jambu biji, dan jenis- jenis jambu air) untuk konsumsi sendiri.
Akhir-akhir ini pemerintah daerah telah mengusahakan peningkatan produksi jagung melalui Proyek
Mandiri di kalangan petani, dijalankan dengan penyuluhan dinas pertanian, untuk dipasarkan melalui
Koperasi Unit Desa (KUD). Selain jagung, kebun sering ditanami pula dengan kacang merah, kacang
tanah, kedelai, kacang hijau, dan berbagai jenis ubi.
Selain pengembangan perikanan laut yang dilaksanakan oleh Perikani yang berpusat di
Aertembaga, terutama penangkapan dan pengolahan cakalang, nelayan-nelayan tradisional mulai
meningkatkan produksi berbagai jenis ikan dan binatang laut dengan menggunakan alat-alat yang lebih
baik maupun dengan apa yang disebut ”motorisasi” perahu penangkapan ikan. Namun demikian,
penangkapan jenis binatang laut masih umum dijalankan dengan teknologi tradisional.radisional
dipegunakan pula dalam penangkapan jenis-jenis biotik sumber protein di danau-danau dan sungai-
sungai. Di desa-desa sekeliling danau Tondano ada segolongan penduduk yang khusus menjalankan
kegiatan kegiatan menangkap berbagai jenis ikan dan binatang danau. Golongan nelayan ini mengisi
sebagian dari kebutuhan pritein hewani yang dapat diperoleh dipasar-pasar di kota-kota.
Hutan merupakan sumber energi maupun materi untuk berbagi kebutuhan penduduk. Berbagai
jenis bahan makanan (binatang dan tumbuhan) kebutuhan sehari-hari maupun pesta bersumber dari
hutan. Jenis-jenis binatang yang umum dimakan adalah babi hutan, tikus hutan (ekor putih), dan
kalong. Lain-lainnya yang jarang dimakan karena sudah tergolong langka atau tidak umum dimakan
oleh orang Minahasa adalah seperti rusa, anoa, babi rusa, monyet, ular piton, biawak, ayam hutan,
telur burung maleo, dan jenis-jenis unggas liar lainnya. Berbagai jenis tumbuhan liar baik yang terdapat
di hutan maupun lingkungan fisik lainnya merupakan bahan makanan yang memenuhi kebutuhan
sayur-sayuran, terutama pangi, rebung dan pakis.
Demikian pula, hutan menghasilkan berbagai jenis buah-buahan, seperti jenis-jenis mangga,
pakoba dan kemiri. Selain itu, enau merupakan sumber nira sebagai minuman yang terkenal di
Minahasa (disebut sanguer) maupun bahan gula merah. (Tumbuhan ini tumbuh di hutan maupun
kebun).
Untuk berbagai kebutuhan kayu sebagai bahan untuk membuat berbagai alat dan bangunan
gedung dan rumah, hutan merupakan sumbernya. Kecuali itu, hutan dan lingkungan-lingkungan fisik
lainnya merupakan tempat bertumbuhnya tumbuhan-tumbuhan yang memberi bahan-bahan untuk
berbagai kebutuhan umum. Seperti rotan, kayu bakar, daun rumbia (bahan atap rumah). Sayang sekali
luas hutan di Minahasa makin berkurang, terutama karena ekstensifikasi perkebunan cengkeh yang
dilakukan oleh penduduk desa maupun penduduk kota.
Di daerah Minahasa menunjukkan bahwa sektor pertanian memberikan sumber yang terbesar,
melebihi 126 milyar rupiah (42,36%). Daripadanya subsektor perkebunan adalah yang paling besar dan
sesudahnya adalah subsektor pertanian pangan dan subsektor-subsektor perikanan, peternakan, dan
kehutanan. Ada empat jenis komoditi (kelapa, cengkeh, pala dan kopi) dan satu golongan komoditi
lainnya (vanili, jahe putih, dan biji jambu mete) yang sangat penting bagi perekonomian daerah ini.
Bahkan tiga jenis komoditi yaitu kelapa, pala dan kopi mengisi paket ekspor Sulawesi Utara.

E. Religi
Unsur-unsur kepercayaan pribumi yang dapat disaksikan pada orang Minahasa yang sekarang
secara resmi telah memeluk agama-agama Protestan, Katolik maupun Islam merupakan peninggalan
sistem religi zaman dahulu sebelum berkembangnya agama Kristen. Unsur-unsur ini mencakup :
konsep-konsep dunia gaib, makhluk dan kekuatan adikodrati (yang dianggap “baik” dan “jahat” serta
manipulasinya, dewa tertinggi, jiwa manusia, benda berkekuatan gaib, tempat keramat, orang
berkekuatan gaib, dan dunia akhirat).
Unsur-unsur religi pribumi terdapat dalam beberapa upacara adat yang dilakukan orang yang
berhubungan dengan peristiwa-peristiwa lingkaran hidup individu, seperti kelahiran, perkawinan,
kematian maupun dalam bentuk-bentuk pemberian kekuatan gaib dalam menghadapai berbagai jenis
bahaya, serta yang berhubungan dengan pekerjaan atau mata pencaharian. Unsur-unsur ini tentu juga
tampak dalam wujud sebagai kedukunan (sistem medis makatana) yang sampai sekarang masih
hidup.
Dunia gaib sekitar manusia dianggap didiami oleh makhluk-makhluk halus seperti roh-roh
leluhur baik maupun jahat, hantu-hantu dan kekuatangaib lainnya. Usaha manusia untuk mengadakan
hubungan dengan makhluk-makhluk tersebut bertujuan supaya hidup mereka tidak diganggu
sebaliknya dapat dibantu dan dilindungi, dengan mengembangkan sustu kompleks sistem upacara
pemujaan yang dahulu dikenal sebagai na‟amkungan atau ma‟ambo atau masambo.
Dalam mitologi orang Minahasa rupanya sistem kepercayaan dahulu mengenal banyak dewa,
salah satunya adalah dewa tertinggi. Dewa oleh penduduk disebut empung atau opo, dan untuk sewa
yang tertinggi disebut opo wailan wangko. Dewa yang penting sesudah dewa tertinggi ialah karema.
Opo wailan wangko dianggap sebagai pencipta seluruh alam dan isinya yang dikenal oleh
manusia yang memujanya. Karema yang mewujudkan diri sebagai manusia adalah sebagai penunjuk
jalan bagi lumimuut (wanita sebagai manusia pertama) untuk mendapatkan keturunan seorang pria
yang bernama to‟ar, yang juga dianggap sebagai pembawa adat khususnya cara-cara pertanian yaitu
sebagai cultural hero (dewa pembawa adat).
Roh leluhur juga disebut opo, atau sering disebut dotu yang pada masa hidupnya adalah
seorang yang dianggap sakti dan juga sebagai pahlawan seperti pemimpin-pemimpin komunitas besar
( kepala walak dan komunitas desa; tona‟as ). Mereka juga dalam hidupnya memiliki keahlian dan
prestasi seperti dalam perang, keagamaan dan kepemimpinan. Ada kepercayaan bahwa opo-opo yang
baik akan senantiasa menolong manusia yang dianggap sebagai cucu mereka ( puyun) apabila
mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan. Pelanggaran yang terjadi dapat mangakibatkan yang
bersangkutan akan mengalami bencana atau kesulitan hidup akibat murka opo-opo, ataupun kekuatan
sakti yang diberikan akan hilang. Disamping itu, ada juga opo-opo yang memberikan kekuatan sakti
untuk hal-hal yang tidak baik, seperti untuk mencuri, berjudi dsb.
Konsepsi makhluk halus lainnya seperti hantu ialah panunggu, lulu, puntianak, pok- pok dsb
yang dianggap berada di tempat tertentu dan pada saat dan keadaan tertentu dapat maengganggu
manusia. Untuk menghadapi hal-hal tersebut sangat dirasakan peranan dari opo-opo yang dapat
menghadapi atau mengalahkan mereka atau mengatasi gangguan dari mereka.
Roh (mukur) orangtua sendiri ataupun roh-roh kerabat yang sudah meninggal dianggap selalu
berada di sekitar kelurganya yang masih hidup, yang sewaktu-waktu datang menun jukkan dirinya
dalam bentuk bayangan atau mimpi atau dapat pula melalui seseorang sebagai media yang dimasuki
oleh mukur sehingga bisa bercakap-cakap dengan kerabatnya. Mukur yang demikian tidak dianggap
berbahaya malahan bisa menolong kerabatnya.
Kepercayaan orang Minahasa bahwa ada bagian tubuh yang mempunyai kekuatan sakti
seperti rambut dan kuku. Binatang-binatang yang memiliki kekuatan sakti adalah ular hitam dan
beberapa jenis burung, terutama burung hantu (manguni). Untuk tumbuh- tumbuhan yang memiliki
kekuatan sakti adalah tawa‟ang, goraka (jahe), balacai, jeruk suangi dll. Gejala alam seperti gunung
meletus dan hujan lebat bersama petir secara terus-menerus dianggap sebagai amarah para dewa.
Senjata yang dianggap memiliki kekuatan sakti yang harus dijaga dengan baik adalah keris, santi
(pedang panjang), lawang (tombak), dan kelung (perisai). Ucapan berupa sumpah dan kutukan juga
dikenal sebagai kata-kata yang dianggap dapat mengakibatkan malapetaka, apalagi kalau yang
mengatakannya orangtua, kata-katanya dianggap memiliki kekuatan sakti. Benda-benda jimat baik
yang diwariskan orangtua ataupun yang didapat dari walian atau tona‟as yang disebut paereten
adalah benda-benda yang kesaktiannya dipercaya yang sampai sekarang masih dipakai.
Jiwa yang dianggap sebagai kekuatan yang ada dalam tubuh manusia yang menyebabkan
adanya hidup, rupanya memiliki konsepsi yang sama dengan jiwa sesudah meninggalkan tubuh karena
mati atau roh. Konsepsi jiwa dan roh ini disebut katotouan.
Unsur kejiwaan dalam kehidupan manusia adalah : gegenang (ingatan), pemendam
(perasaan), dan keketer (kekuatan). Gegenang adalah unsure yang utama dalam jiwa.
Pada saat sekarang, sesuai dengan aturan-aturan agama Kristen, maka konsepsi dunia akhirat
(sekalipun untuk mereka yang masih melakukan upacara-upacara kepercayaan pribumi untuk
mendapatkan kekuatan sakti dari makhluk-makhluk halus) ialah surga bagi yang selamat, serta neraka
bagi yang berdosa dan tidak percaya.
Upacara-upacara keagamaan pribumi masih banyak dilakukan oleh orang minahasa sebagai
perwujudan untuk mengadakan hubungan dengan dunia gaib atau sebagaikelakuakn religi atas dasar
suatu emosi keagamaan, upacara-upacara itu diantaranya adalah yang biasa dilakukan pada malam
hari di rumah tona‟as atau di rumah orang lain, bisa juga di tempat- tempat keramat seperti kuburan
opo-opo, batu-batu besar dan di bawah pohon besar. Pada saat tertentu yang dianggap penting
upacara dapat dilakukan di Watu Pinabetengan, tempat di mana secara mitologis paling keramat di
Minahasa.
Upacara dilakukan pada saat tertentu, misalnya pada malam bulan purnama. Tokoh tradisional
yang melakukan dan memimpin upacara keagamaan pribumi dikenal dengan nama walian, pemimpin
upacara dapat dipegang oleh wanita atau pria.
Agama-agama resmi yang umum diatur oleh orang Minahasa antara lain Protestan (yang
terdiri dari berbagai sekte), katolik dan Islam. Terlepas dari tingkat kepercayaan perseorangan, unsure-
unsur religi pribumi tidak dapat dilepaskan dari kehidupan keagamaan. Misalnya komponen pribumi
terpadu bersama komponen Kristen yang diluar upacara- upacara formal Gerejani seperti yang terlihat
dalam upacara-upacara dari masa hamil sampai masa meninggal maupun pada perilaku keagamaan
sehari-hari. Sebagaimana yang telah dikemukakan pada contoh sebelumnya dapat dilihat adanya
komponen religi pribumi dalam kebudayaan Minahasa yang secara mendalam telah mengalami
perubahan melalui jalur-jalur kolonialisme, pendidikan formal, dan kristenisasi maupun jalur-jalur kontak
atau difusi budaya lainnya.
F. Sistem Kemasyarakatan
Kabupaten Minahasa mempunyai kurang lebih 468 desa (kampung) sebagai kesatuan
administrasi yang dipimpin oleh seorang kepala desa, yang secara adat disebut Hukum Tua (Kuntua).
Dewasa ini, kesatuan administrasi desa dirubah menjadi Kelurahan/Desa yang dipimpin oleh seorang
Lurah/Kepala Desa. Kecuali desa sebagai kesatuan administrasi tersebut terdapat juga perkampungan
yang berupa kompleks perumahan bersama dengan sawah dan kebun yang secara administratif
merupakan bagian dari suatu desa. Pola perkampungan desa Minahasa bersifat menetap dan
kelompok rumahnya mempunyai bentuk memanjang mengikuti jalan raya.

1. Masyarakat Minahasa Kuno


2. Awu dan Taranak
Keluarga batih sebagai kelompok terkecil dalam masyarakat Minahasa di sebut Awu. Istilah itu
sebenarnya berarti abu, juga di pakai dalam arti dapur. Sampai sekarang di Minahasa masih
banyak di dapati tempat masak terbuat dari kayu atau bambu di isi dengan tanah atau abu.
Dalam hubungan masyarakat, istilah Awu dipakai dalam keluarga batih (rumah tangga) dan di
pergunakan banyaknya penduduk di satu kampung. Dalam masyarakat Minahasa kuno
sedapatnya seluruh keluarga baik yang sudah menikah atau belum tinggal di satu rumah besar
berbentuk bangsal yang di dirikan di atas tiang tiang tinggi. Bangunan di atas tiang tinggi itu erat
hubungannya dengan keamanan.
Dalam kunjungan Prof. Reinwardt tahun 1821 ke Tondano dia masih melihat rumah rumah
yang tiang tiangnya sekitar dua pelukan orang dewasa. Kemudian laporan Dr. Bleeker pada tahun
1855 menulis bahwa kampung kampung di Minahasa di bangun di atas tiang tiang tinggi dan
besar, dan di huni oleh empat keluarga bersama sama.

Menurut ketentuan adat, bila seorang anggota keluarga yang sudah dewasa membentuk
rumah tangga baru, maka rumah tangga baru itu mendapat ruangan tersendiri di keluarga pria atau
wanita. Ruangan terpisah itu dilengkapi dengan satu tempat masak sendiri, yang berarti yang
menempatinya telah berdiri sendiri. Ruangan tempat masak itulah yang di sebut awu.Awu akhirnya
di artikan sebagai rumah tangga. Karna itu pulalah orang yang sudah menikah saling menyebut
Ka Awu (Ka = teman, kakak).
Anggota Awu terdiri dari ayah, ibu, dan anak anak.
Sebagai kepala dari Awu bertindak si Ama (ayah) dan bila ia meninggal dunia maka si Ina
(ibu) yang menggantikannya. Beradanya fungsi kepala di sini dalam tangan sang ayah bukan
berarti kekuasaan mutlak pengaturan rumah tangga berada di tangannya. Kepala di sini lebih dititik
beratkan pada arti adanya rumah tangga dan kewajiban membela rumah tangga terhadap
serangan dari luar. Dalam ketentuan adat untuk pengurusan rumah tangga si Ama dan Ina wajib
bermusyawarah untuk mengambil keputusan dan menentukan kebijakan.
Dari perkawinan terbentuklah keluarga besar yang meliputi beberapa bangsal. Menurut
kebiasaan, pembangunan bangsal baru harus berdekatan dengan bangsal lama. Hal ini
menyangkut pengurusan kepentingan bersama, keamanan, dan masalah lahan pertanian
bersama. Kompleks bangsal bangsal ini yang di huni oleh penduduk yang berhubungan
kekeluargaan di namakan Taranak. Pimpinan Taranak di pegang oleh Ama dari keluarga cikal
bakal yang di sebut Tu'ur. Tugas utama Tu'ur adalah melestarikan

ketentuan ketentuan adat, meliputi hubungan antar Awu, mengatur cara cara mengerjakan lahan
pertanian yang di miliki bersama, mengatur perkawinan anggota anggota Taranak, hubungan antar
Awu dan Taranak sampai dengan mengadili dan menghukum anggota anggota yang bersalah.
Tetapi apapun yang dikerjakannya bila hal itu menyangkut keamanan dan prestise Taranak, ia
senantiasa minta pendapat dari para anggota Taranak, karena hal itu juga menjadi ketentuan adat.
Berlainan dengan di tingkat Awu yang mana pengurus berada dalam tangan Ama dan Ina
bersama sama, pada tingkat Taranak peranan si Ina tidak terlalu menonjol.
Taranak, Roong / Wanua, Walak
Perkawinan perkawinan antara anggota Taranak membentuk Taranak Taranak baru. Bangsal
bangsal mulai bertumbuh berkelompok, membentuk kompleks yang semakin luas . Batas
penentuan sesuatu Taranak sebagai satu masyarakat hukum mulai menjadi kabur, dan arti
Taranak sebagai satu kesatuan menjadi lebih abstrak. Untuk itu sebagai alat identifikasi para
penghuni kompleks bangsal, dipakailah kesatuan teritorial. Dengan kata lain fungsi identifikasi
mulai bergeser dari bentuk hubungan darah ke bentuk pemukiman.
Akibat proses ini terciptalah kompleks bangsal bangsal dalam satu kesatuan yang di sebut
Ro'ong atau Wanua. Wilayah hukum Wanua meliputi kompleks bangsal itu sendiri dan wilayah
pertanian dan perburuan sekitarnya yang merupakan milik bersama para penghuni Ro'ong atau
Wanua itu. Pemimpin Ro'ong atau Wanua disebut Ukung yang berarti kepala atau pimpinan. Untuk
pengurusan wilayah, Ro'ong atau Wanua di bagi dalam beberapa bagian yang disebut Lukar. Pada
mulanya Lukar ini dititik beratkan pada keamanan sehingga akhirnya Lukar di ganti menjadi Jaga.
Sampai kini di sebagian tempat di Minahasa masih di pakai kata Lukar dalam arti orang orang
yang melakukan keamanan di kampung atau di rumah dari lurah.
Para Ukung juga mempunyai pembantu yang di sebut Meweteng. Tugas mereka mulanya
membantu Ukung untuk mengatur pembagian kerja dan pembagian hasil dari Ro'ong / Wanua.
Pembagian ini sesuai dengan yang sudah disepakati bersama.
Selain itu pula ada pembantu Ukung yang berfungsi sebagai penasihat, terutama dalam hal
hal yang sulit dalam masalah adat. Penasihat penasihat seperti ini adalah para tetua yang
dihormati dan disegani yang dianggap bijaksana, tidak mempunyai cacat dan dapat dijadikan
contoh di dalam Wanua, yang di namakan Pa Tu'usan (yang dapat dijadikan contoh). Ro'ong /
Wanua bertambah dari waktu ke waktu menjadi beberapa Wanua tertentu yang akhirnya disebut
Walak.

3. Paesa In Deken
Para pemimpin Minahasa sejak berabad yang lalu mendasarkan keputusannya pada apa
musyawarah atau Paesa in Deken (tempat mempersatukan pendapat). Dari nama itu jelas terlihat
bahwa seluruh keputusan yang diambil merupakan hasil dari musyawarah.
Sekalipun demikian faktor dominan yang sering menentukan dalam pengambilan keputusan adalah
pendapat dari sang pemimpin. Telah menjadi suatu kelaziman bahwa pada setiap akhir
pengutaraan pendapatnya, sang pemimpin senantiasa selalu mengatakan: "Dai Kua?" (bukankah
begitu?) dan hampir selalu jawaban dari anggota adalah: "Taintu" (memang begitu). Hal tersebut di
dasarkan pada pemikiran bahwa pendapat dari pemimpin adalah pendapat dari sebagian besar
dari para anggota.
Sudah menjadi ketentuan bahwa semua ketentuan yang di putuskan harus di ikuti walau pun
tidak di setujui oleh sebagian anggota. Sanksi atas penolakan dari Paesa in Deken ini sangat berat,
yaitu : pengucilan dari masyarakat . Hukuman ini sangat berat sebab tidak seorang pun dari
Taranak yang menghiraukan nasib dari terhukum. Bila ia menjadi incaran musuh, ia tidak dapat
mengharapkan untuk mendapatkan pertolongan dari siapapun juga. Ketentuan inilah yang
merupakan kewibawaan dari pada para kepala/tu'a di Minahasa pada zaman dulu.
Namun, bila pemimpin bertindak tidak sesuai dengan ketentuan adat atau meresahkan
masyarakat maka para anggota masyarakat dengan sekuat tenaga akan menjatuhkan mereka. Hal
ini telah di demonstrasikan oleh rakyat Minahasa sewaktu menghadapi para kepala Walak. Atas
tekanan rakyat, kompeni dengan segala kekuasaannya tunduk dan memberikan persetujuan
penggantian kedudukan.
"Diluar musyawarah resmi yang dipimpin oleh para Ukung adapulah musyawarah musyawarah
lain orang orang Minahasa. Dan keputusan keputusan hanya dapat di ambil berdasarkan suara
terbanyak, tanpa memperhitungkan perbedaan dan pengecualian para peserta; dalam hal ini
mereka tidak akan berubah, dan tidak ada satu kekuatan apapun didunia yang dapat menggeser
mereka setapak saja, biarpun hal itu akan merugikan dan membawa kehancuran bagi mereka."
Yang di maksud adalah musyawarah yang diadakan di luar para Ukung, bila keputusan atau
kebijaksanaan para Ukung yang di anggap oleh bagian terbesar anggota masyarakat bertentangan
dengan ketentuan ketentuan, adat istiadat yang berlaku. Sumber kekerasan hati mereka untuk
mempertahankan keputusan musyawarah adalah keyakinan, bahwa para dewa ada di pihak
mereka. Dalam hal demikian para Ukung telah di anggap telah melanggar peraturan para dewa.
Keputusan yang mereka ambil, dan yang telah dimeteraikan dengan sumpah, di artikan bahwa
sesuatu yang telah diserahkan kepada dewa yang selalu disebut dalam sumpah itu, bukan sekedar
memohon pertolongan.
Dengan demikian sekalipun Paesaan in Deken mengandung benih otoriterisme, dan memberi
kesempatan pada seorang pemimpin untuk itu, musyawarah seperti ini (yang di adakan di luar
otoritas para Ukung) merupakan peringatan kepada para Ukung untuk tidak menyalahi ketentuan
ketentuan adat. Inilah unsur demokrasi yang pernah ada di Minahasa.
Selain itu di Minahasa tidak pernah ada pewarisan kedudukan seorang kepala, bila seorang
Tu'ur in Taranak meninggal dunia para anggota Taranak baik wanita maupun pria yang sudah
dewasa, akan mengadakan musyawarah untuk memilih seorang pemimpin baru. Dalam pemilihan
yang menjadi sorotan adalah kualitas. Bila ada dua orang yang kualitasnya sama dan sebagai
ucapan terima kasih kepada pemimpin itu semasa kepemimpinannya. Itu berarti sang ayah dalam
masa kepemimpinannya semasa hidupnya adalah pemimpin yang baik.
Kriteria Kualitas yang di perlukan itu ada tiga (Pa'eren Telu):
 Ngaasan - Mempunyai otak; hal mana dia mempunyai keahlian mengurus Taranak atau
Ro'ong.
 Niatean - Mempunyai hati; mempunyai keberanian, ketekunan, keuletan menghadapi segala
persoalan, sanggup merasakan apa yang dirasakan oleh angota lain.
 Mawai - Mempunyai kekuatan dan dapat di andalkan ; seorang yang secara fisik dapat
mengatasi keadaan apapun, sanggup menghadapi peperangan .
Dengan demikian, jelas tidak mudah untuk diakui dan dipilih sebagai pemimpin dalam
masyarakat Minahasa di masa lampau. Juga jelas bahwa fungsi pemimpin di Minahasa tidak
pernah terjadi karena warisan.

4. Kawanua
Dalam bahasa Minahasa Kawanua sering di artikan sebagai penduduk negeri atau wanua-
wanua yang bersatu atau "Mina-Esa" (Orang Minahasa). Kata Kawanua telah diyakini berasal dari
kata Wanua. Karena kata Wanua dalam bahasa Melayu Tua (Proto Melayu), diartikan sebagai
wilayah pemukiman. Mungkin karena beberapa ribu tahun yang lalu, bangsa Melayu tua telah
tersebar di seluruh wilayah Asia Tenggara hingga ke kepulauan pasifik. Setelah mengalami
perkembangan sejarah yang cukup panjang, maka pengertian kata Wanua juga mengalami
perkembangan. Tadinya kata Wanua diartikan sebagai wilayah pemukiman, kini berkembang
menjadi desa, negeri bahkan dapat

diartikan sebagai negara. Sementara dalam bahasa Minahasa, kata Wanua diartikan sebagai
negeri atau desa.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa istilah Wanua - yang diartikan sebagai tempat pemukiman -
sudah digunakan sejak orang Minahasa masih merupakan satu taranak ketika berkediaman di
pegunungan Wulur-Mahatus, yang kemudian mereka terbagi menjadi tiga kelompok Taranak,
masing-masing:
 Makarua Siouw
 Makatelu Pitu
 Telu Pasiowan
Karena sistem Taranak melahirkan bentuk pemerintahan turun-temurun, maka pada abad ke-
17 terjadi suatu persengketaan antara ketiga taranak tersebut. Persengketaan terjadi karena
taranak Makatelu Pitu, mengikat pernikahan dengan "Makarua Siouw", sehingga leluhur Muntu-
untu dan Mandey dari "Makatelu Pitu" muncul sebagai kelompok Taranak yang terkuat dan
memegang pemerintahan pada seluruh Wanua - yang waktu itu terdiri dari:
 Tountumaratas
 Tountewu
 Toumbuluk
Dengan bertambahnya penduduk Minahasa, maka Tountumaratas berkembang menjadi
Tounkimbut dan Toumpakewa. Untuk menyatakan kedua kelompok itu satu asal, maka dilahirkan
suatu istilah Pakasa‟an yang berasal dari kata Esa. Pakasa‟an berarti satu yakni, Toungkimbut di
pegunungan dan Toumpakewa di dekat pantai. Lalu istilah Walak dimunculkan kembali.
Perkembangan selanjutnya nama walak-walak tua di wilayah Tountemboan berganti nama menjadi
walak Kawangkoan Tombasian, Rumo‟ong dan Sonder.
Kemudian kelompok masyarakat Tountewo membelah menjadi dua kelompok yakni:
 Tounsea
 Toundano
Menurut Drs. Corneles Manoppo, masyarakat Toundano terbelah lagi menjadi dua yakni:
Masyarakat yang bermukim di sekitar danau Tondano dan Masyarakat "Toundanau" yang bermukim di
wilayah Ratahan dan Tombatu.
Masyarakat di sekitar Danau Tondano membentuk tiga walak yakni;
 Tondano Touliang,
 Tondano Toulimambot and
 Kakas-Remboken
Dengan hilangnya istilah Pakasaan Tountewo maka lahirlah istilah Pakasa‟an Tonsea dan Pakasa‟an
Tondano
Pakasa‟an Tonsea terdiri dari tiga walak yakni Maumbi, Kema dan Likupang. Abad 18
Tounsea hanya mengenal satu hukum besar (Mayor) atau "Hukum Mayor", wilayah Maumbi,
Likupang dan Kema di perintah oleh Hukum kedua, sedangkan Tondano memiliki banyak mayor-
mayor.
Masyarakat Tombuluk sejak jaman Watu Pinawetengan abad ke-7 tetap utuh satu Pakasa‟an
yang terdiri dari tiga walak yakni, Tombariri, Tomohon dan Sarongsong. Dengan demikian istilah
Wanua berkembang menjadi dua pengertian yaitu:
 Ro‟ong atau negeri,
Pengertian sempit, artinya Negeri yang sama dengan Ro‟ong (desa atau kampung) Jadi,
kata Wanua, memiliki dua unsur yaitu:
 Ro‟ong atau negeri
 Taranak atau penduduk Ro‟ong
itu sendiri memiliki unsur:
 Wale, artinya rumah dan
 Tana. Kata Tana dalam bahasa Minahasa punya arti luas yaitu mencakup Talun (hutan), dan
Uma (kebun atau kobong)
Kobong terbagi menjadi dua yaitu : "kobong kering" dan "kobong pece" (sawah). Kalau kita
amati penggunaan kata Wanua dalam bahasa Minahasa misalnya ada dua orang yang bertempat
tinggal di desa yang sama kemudian bertemu di hutan .Si A bertanya pada si B:"Mange wisa" (mau
kemana ?) Kemudian B menjawab: "Mange witi uma" (pergi ke kobong),
si B balik bertanya pada si A:"Niko mange wisa" (kamu hendak kemana ?) si A menjawab: "Mange
witi Wanua" (mau ke negeri, maksudnya ke kampung dimana ada rumah-rumah penduduk).
Contoh lain adalah kata "Mina - Wanua". Kata " Mina" artinya, pernah ada tapi sekarang sudah
tidak ada. Maksudnya, tempo dulu di tempat itu ada negeri dan sekarang sudah tidak ada lagi
(negeri lama) karena negeri itu telah berpindah ke tempat lain. Kata "Mina Amak " (Amak = Bapak)
adalah sebutan pada seseorang lelaki dewasa yang dahulu ada tapi sekarang sudah tidak ada,
karena meninggal.
Kata Wanua yang punya pengertian luas dapat kita lihat pada kalimat "Rondoren um
Wanua...". Kata Wanua dalam kalimat ini artinya; Negeri-negeri di Minahasa dan tidak berarti
hanya satu negeri saja. Maksudnya... melakukan pembangunan di seluruh Minahasa. Jadi sudah
termassuk negeri-negeri dari walak-walak dan pakasa‟an yang didiami seluruh etnis atau sub-etnis
Minahasa.
Jadi dapat dilihat bahwa pengertian utama dari kata Wanua lebih mengarah pada pengertian
sebagai wilayah adat dari Pakasa‟an (kesatuan sub-etnis) yang sekarang terdiri dari kelompok
masyarakat yang mengaku turunan leluhur Toar & Lumimu‟ut. Turunan dalam arti luas termasuk
melalui perkawinan dengan orang luar, Spanyol, Belanda, Ambon, Gorontalo, Jawa, Sumatera dan
sebagainya. Orang Minahasa boleh mendirikan Wanua diluar Minahasa, tapi orang Tombulu tidak
boleh mendirikan negeri Tombulu di wilayah Totemboan atau sebaliknya. Inilah yang dimaksud
dengan adat kebiasaan. Meletakkan "Watu I Pe-ro‟ong" atau batu rumah menjadi negeri yang baru
dilakukan oleh Tona‟as khusus, misalnya, bergelar Mamanua (Ma‟Wanua = Pediri Negeri) yang
tau batas-batas wilayah antara walak yang satu dengan walak yang lain, jangan sampai salah
tempat hingga terjadi perang antara walak.
Setelah meneliti arti kata Wanua dari berbagai segi, kita teliti arti awalah Ka pada kata
Kawanua. Beberapa awalan pada kata Ka-rete (rete=dekat) berdekatan rumah, artinya teman
tetangga. Ka-Le‟os (Le‟os=baik), teman berbaik-baikan (kekasih). Kemudian kata Ka-Leong
(leong=bermain) teman bermain.
Dari ketiga contoh diatas, dapat diprediksi bahwa awalan Ka memberi arti teman, jadi, Ka-
wanua dapat diartikan sebagai Teman Satu Negeri, Satu Ro‟ong, satu kampung. Untuk lebih
jelasnya kita ambil contoh melalui syair lagu "Marambak" (naik rumah baru)... "Watu tinuliran
umbale Mal‟lesok ungkoro‟ ne Kawanua..." artinya batu tempat mendirikan tiang rumah baru,
bersimbolisasi menepis niat jahat dan dengki dari teman satu negeri. Misalnya, batu rumah baru itu
di Tombulu bersimbol menjauhkan dengki sesama warga Tombulu satu kampung, dan tidak
ditujukan pada kampung atau walak lain misalnya Tondano dan Tonsea.
Demikian juga cerita tua-tua Minahasa dinamakan "sisi‟sile ne tou Mahasa" (buku
A.L Waworuntu) dan "A‟asaren Ne Tou Manhesa" artinya cerita-cerita orang Minahasa. Tidak
ditulis "A‟asaren ne Kawanua" atau cerita orang Kawanua. Disini terlihat bahwa orang Minahasa di
Minahasa tidak menamakan dirinya Kawanua. Orang Minahasa di Minahasa menamakan dirinya
"Orang Minahasa" dan bukan "Orang Kawanua" selanjutnya baru diterangkan asal sub-etnisnya
seperti, Tondano, Tontemboan, Tombatu

dan sebagainya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah Kawanua dilahirkan oleh
masyarakat orang Minahasa di luar Minahasa sebagai sebutan identitas bahwa seseorang itu
berasal dari Minahasa, dalam lingkungan pergaulan mereka di masyarakat yang bukan orang
Minahasa, misalnya di Makasar, Balikpapan, Surabaya, Jakarta, Padang, Aceh.
Orang Minahasa yang sudah beberapa generasi berada di luar Minahasa menggunakan istilah
Kawanua untuk mendekatkan diri dengan daerah asal, dan walaupun sudah kawin- mawin antara
suku, masih merasa dekat dengan Wanua lalu melahirkan Jawanua, Bataknua, Sundanua, dan
lain sebagainya.

5. Walak dan Pakasa'an


Pengertian walak menurut kamus bahasa Tontemboan yang dikutip Prof G.A. Wilken tahun 1912
dapat berarti:
 Cabang keturunan
 Rombongan Penduduk
 Bahagian Penduduk
 Wilayah kediaman cabang keturunan.
Jadi Walak mengandung dua pengertian yakni Serombongan penduduk secabang keturunan
dan wilayah yang didiami rombongan penduduk secabang keturuan. Kepala walak artinya
pemimpin masyarakat penduduk secabang keturunan, Tu‟ur Imbalak artinya wilayah pusat
kedudukan tempat pertama sebelum masyarakat membentuk cabang-cabang keturuan. Mawalak
artinya membahagi tanah sesuai banyaknya cabang keturunan. Ipawalak artinya membahagi tanah
menurut jumlah anak generasi pertama, tidak termasuk cucu dan cicit.
Penelitian G.A. Wilken ini membantah laporan residen Belanda Wensel yang menulis bahwa
arti kata Walak dari bahasa Melayu Balok karena Kapala Walak Minahasa harus menyediakan
Balok kayu untuk pemerintah Hindi Belanda abad 18. Kata Walak adalah kata Minahasa asli di
wilayah Tontemboan, Tombuluk, Tonsea dan Tondano. Jumlah Walak di Minahasa sebelum jaman
Belanda tahun 1679 tidak kita ketahui, ketika Minahasa mengikat perjanjian dengan VOC Belanda,
terdapat 20 Walak di Minahasa. Memasuki abad 19, jumlah Walak di Minahasa ada 27.
Penggabungan beberapa Walak yang punya ikatan keluarga dan dialek bahasa serta
“Peposanan” membentuk satu “pakasa‟an sehingga kepala-kepala Walak Pakasa‟an Tombulu
abad 17 haruslah keturunan dotu Supit, Lontoh dan Paat. Pakasa‟an tertua
menurut “A‟asaren Tuah Puhuhna” tulisan J.G.F. Riedel tahun 1870 adalah Toungkimbut di
wilayah selatan Minahasa sampai Mongondouw, Tountewoh di Tombatu sampai ke utara pantai
Likupang disebelah timur Minahasa dan Tombulu dibelahan barat Minahasa dari Sarongsong
sampai pantai utara Minahasa.
Menurut cerita beberapa tetua keluarga Minahasa, masih ada dua Pakasa‟an dalam cerita tua
Minahasa yang pergi ke wilayah Gorontalo (sekarang ini turunan opok Suawa) dan Tou-Ure yang
tinggal menetap di pengunungan Wulur – Mahatus. Tou-Ure artinya orang lama. Menurut teori
pembentukan masyarakat pendukung jaman batu besar atau “megalit” tulisan Drs. Teguh Asmar
dalam makalahnya “Prasejarah Sulawesi Utara” tahun 1986. Jaman Megalit terbentuk sekitar 2500
tahun sebelum Masehi, contoh jaman batu besar adalah memusatkan upacara adat di batu-batu
besar seperti Watu Pinawetengan. Jaman batu baru atau jaman Neoit di Sulawesi Utara dimulai
tahun Milenium pertama sebelum masehi atau sekitar seribu tahun sebelum masehi. Contohnya
pembuatan batu kubur Waruga. Pada waktu itu orang Minahasa yang berbudaya Malesung telah
mengenal pemerintahan yang teratur dalam bentuk kelompok Taranak secabang keturunan
misalnya turunan opok Soputan, Makaliwe, Mandei, Pinontoan, Mamarimbing, pemimpin tertinggi
mereka adalah yang bergelar Muntu-Untu, yang memimpin musyarah di Batu Pinwetengan pada
abad ke – 7.
Pakasa‟an Tou-Ure kemungkinan tidak ikut dalam musyawarah di Pinawetengan untuk
berikrar satu keturunan Toar dan Lumimuut dimana semua Pakasa‟an menyebut dirinya Mahasa
asal kata Esa artinya satu, hingga Tou-Ure dilupakan dalam cerita tua Minahasa. Belum dapat
ditelusuri pada abad keberapa pakasa‟an Tountewo pecah dua menjadi Pakasa‟an Toundanou
dan Tounsea hingga Minahasa memiliki empat Pakasa‟an
. Yakni Toungkimbut berubah menjadi Toumpakewa, Toumbuluk, Tonsea dan Toundanou. Kondisi
Pakasa‟an di Minahasa pada jaman Belanda terlihat sudah berubah lagi dimana Pakasa‟an
Tontemboan telah membelah dua wilayah Pakasa‟an Toundanouw (lihat gambar) dan telah lahir
pakasa‟an Tondano, Touwuntu dan Toundanou. Pakasa‟an Tondano teridiri dari walak Kakas,
Romboken dan Toulour. Pakasa‟an Touwuntu terdiri dari walak Tousuraya dan Toulumalak yang
sekarang disebut Pasan serta Ratahan. Pakasa‟an Toundanou terdiri dari walak Tombatu dan
Tonsawang.
Wilayah walak Toulour agak lain karena selain meliputi daratan juga membahagi danau
Tondano antara sub-walak Tounour yakni Touliang dan Toulimambot. Yang tidak memiliki
Pakasa‟an adalah walak Bantik yang tersebar di Malalayang, Kema dan Ratahan bahkan ada di
Mongondouw-walaupun etnis Bantik juga keturunan Toar dan Lumimuut.
Menurut legenda etnis Bantik jaman lampau terlambat datang pada musyawarah di batu
Pinawetengan. Ada tiga nama dotu Muntu-Untu dalam legenda Minahasa yakni Muntu- Untu abad
ke-7 asal Toungkimbut (Tontemboan). Muntu-Untu abad 12 asal Tonsea- menurut istilah Tonsea.
Dan Muntu-Untu abad 15 jaman Spanyol berarti ada tiga kali musyawarah besar di batu
Pinawetengan untuk berikrar agar tetap bersatu.

6. Tona'as Dan Walian


Pemimpin Minahasa jaman tempo dulu terdiri dari dua golongan yakni Walian dan Tona‟as.
Walian mempunyai asal kata “Wali” yang artinya mengantar jalan bersama dan memberi
perlindungan. Golongan ini mengatur upacara agama asli Minahasa hingga disebut golongan
Pendeta. Mereka ahli membaca tanta-tanda alam dan benda langit, menghitung posisi bulan dan
matahari dengan patokan gunung, mengamati munculnya bintang-bintang tertentu seperti
“Kateluan” (bintang tiga), “Tetepi” (Meteor) dan sebagainya untuk menentukan musim menanam.
Menghafal urutan silsilah sampai puluhan generasi lalu, menghafal ceritera-ceritera dari leluhur-
leluhur Minahasa yang terkenal dimasa lalu. Ahli kerajinan membuat pelaratan rumah tangga
seperti menenun kain, mengayam tikar, keranjang, sendok kayu, gayung air.
Golongan kedua adalah golongan Tona‟as yang mempunyai kata asal “Ta‟as”. Kata ini
diambil dari nama pohon kayu yang besar dan tumbuh lurus keatas dimana segala sesuatu yang
berhubungan dengan kayu-kayuan seperti hutan, rumah, senjata tombak, pedang dan panah,
perahu. Selain itu golongan Tona‟as ini juga menentukan di wilayah mana rumah-rumah itu
dibangun untuk membentuk sebuah Wanua (Negeri) dan mereka juga yang menjaga keamanan
negeri maupun urusan berperang.
Sebelum abad ke-7, masyarakat Minahasa berbentuk Matriargat (hukum ke-ibuan). Bentuk ini
digambarkan bahwa golongan Walian wanita yang berkuasa untuk menjalankan pemerintahan
“Makarua Siouw” (9x2) sama dengan Dewan 18 orang leluhur dari tiga Pakasa‟an (Kesatuan
Walak-Walak Purba).
Enam leluhur dari Tongkimbut (Tontemboan sekarang) adalah Ramubene, suaminya Mandei,
Riwuatan Tinontong (penenun), suaminya Makaliwe berdiam di wilayah yang sekarang
Mongondouw, Pinu‟puran, suaminya Mangalu‟un (Kalu‟un sama dengan sembilan gadis penari),
Rukul suaminya bernama Suawa berdiam di wilayah yang sekarang Gorontalo, Lawi Wene
suaminya Manambe‟an (dewa angin barat) Sambe‟ang artinya larangan (posan). Maka Roya
(penyanyi Mareindeng) suaminya bernama Manawa‟ang.

Sedangkan enam leluhur yang berasal dari Tombulu adalah : Katiwi dengan suaminya
Rumengan (gunung Mahawu), Katiambilingan dengan suaminya Pinontoan (Gunung Lokon),
Winene‟an dengan suaminya Manarangsang (Gunung Wawo), Taretinimbang dengan suaminya
Makawalang (gunung Masarang), Wowriei dengan suaminya Tingkulengdengan (dewa pembuat
rumah, dewa musik kolintang kayu) Pahizangen dengan suaminya Kumiwel ahli penyakit dari
Sarangsong.
Sementara itu enam leluhur yang berasal dari Tontewo (wilayah timur Minahasa) terdiri dari
Mangatupat dengan suaminya Manalea (dewa angin timur), Poriwuan bersuami Soputan (gunung
Soputan), Mongindouan dengan suaminya Winawatan di wilayah Paniki, Inawatan dengan
suaminya Kuambong (dewa anwan rendah atau kabut), Manambeka (sambeka sama dengan kayu
bakar di pantai) dewa angin utara, istrinya tidak diketahui namanya kemudian istri Lolombulan.
Pemimpin panglima perang pada jaman pemerintahan golongan Walian adalah anak lelaki Katiwei
(istri Rumengan) bernama Totokai yang menikah dengan Warangkiran puteri dari Ambilingan (istri
Pinontoan).
Pada abad ke-7 telah terjadi perubahan pemerintahan. Pada waktu itu di Minahasa – yang
sebelumnya dipegang golongan Walian wanita - beralih ke pemerintahan golongan Tona‟as Pria.
Mulai dari sini masyarakat Matriargat Minahasa yang tadinya menurut hukum ke-Ibuan berubah
menjadi masyarakat Patriargat (hukum ke-Bapaan)., Menjalankan pemerintahan “Makatelu pitu
(3x7=21)" atau Dewan 21 orang leluhur pria.
Wakil-wakil dari tiga Pakasa‟an Toungkimbut, Toumbulu, Tountowo, mereka adalh ; Kumokomba
yang dilantik menjadi Muntu-Untu sebagai pemimpin oleh ketua dewan tua-tua “Potuosan”
bernama Kopero dari Tumaratas. Mainalo dari Tounsea sebagai wakil, Siouw Kurur asal Pinaras
sebagai penghubung dibantu Rumimbu‟uk (Kema) dan Tumewang (Tondano) Marinoya kepala
Walian, Mio-Ioh kepala pengadilan dibantu Tamatular (Tomohon) dan Tumilaar (Tounsea),
Mamarimbing ahli meramal mendengar bunyi burung, Rumoyong Porong panglima angkatan laut
di pulau Lembe, Pangerapan di Pulisan pelayaran perahu, Ponto Mandolang di Pulisan pengurus
pelabuhan-pelabuhan, Sumendap di Pulisan pelayaran perahu, Roring Sepang di awaon
Tompaso, pengurus upacara-upacara di batu Pinawetengan, Makara‟u (Pinamorongan),
Pana‟aran (Tanawangko), Talumangkun (Kalabat), Makarawung (Amurang), REPI (Lahendong),
Pangembatan (Lahendong).

Dalam buku “Toumbulusche Pantheon” tulisan J.G.F. Riedel tahun 1894 dikemukakan tentang
sistem dewa-dewa Toumbulu yang ternyata mempunya sistem pemerintahan dewa-dewa seluruh
Minahasa dengan jabatan yang ditangani leluhur tersebut. Pemerintahan golongan Tona‟as
abad ke-tujuh sudah punya satu pimpinan dengan gelar Muntu-Untu yang dijabat secara
bergantian oleh ketiga sub-etnis utama Minahasa. Misalnya leluhur Ponto Mandolang
mengatur pelabuhan Amurang, Wenang (Manado) Kema dan Bentenan dengan berkedudukan di
Tanjung Pulisan. Tiap sub-etnis Minahasa mempunya panglima perangnya sendiri-sendiri tapi
panglima perang tertinggi adalah raja karena dilantik dan dapat diganti oleh dewan tua-tua yang
disebut “Potuosan”. Dari nama-nama leluhur wanita Minahasa abad ke-7 seperti Riwuatan asal
kata Riwu atau Hiwu artinya alat menenun, Poriwuan asal kata Riwu alat menenun, Raumbene
asal kata Wene‟ artinya padi, menunjukkan Minahasa abad ke-7 telah mengenal padi dan
membuat kain tenun.

G. Sistem Pemerintahan
Sejak awal bangsa Minahasa tiada pernah terbentuk kerajaan atau mengangkat seorang raja
sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintah adalah kepala keluarga yang gelarnya adalah
Paedon Tu‟a atau Patu‟an yang sekarang kita kenal dengan sebutan Hukum Tua. Kata ini berasal
dari Ukung Tua yang berarti Orang tua yang melindungi. Ukung artinya kungkung = lindung = jaga.
Tua : dewasa dalam usia, berpikir, serta didalam mengambil Kehidupan demokrasi dan kerakyatan
terjamin Ukung Tua tidak boleh memerintah rakyat dengan sewenang-wenang karena rakyat itu
adalah anak-anak dan cucu-cucunya, keluarganya sendiri Sebelum membuka perkebunan,
berunding dahulu dan setelah itu dilakukan harus dengan mapalus Didalam bekerja terdapat
pengatur atau pengawas yang di Tonsea disebut Mopongkol atau Rumarantong, di Tolour disebut
Sumesuweng.
Di Minahasa tidak dikenal sistim perbudakan, sebagaimana lasimnya di daerah lain pada
saman itu, seperti di kerajaan Bolaang,Sangir, Tobelo, Tidore dll. Hal ini membuat beberapa dari
golongan Walian Makaruwa Siyow (eksekutif ingin diperlakukan sebagai raja. seperti raja Bolaang,
raja Ternate, raja Sanger yang mereka dengar dan temui disaat barter bahan bahan keperluan
rumah tangga. Setelah cara tersebut dicoba diterapkan dimasyarakat Minahasa oleh beberapa
walian/hukum tua timbul perlawanan yang memicu terjadinya pemberontakan serentak di
seluruh Minahasa oleh golongan rakyat
/Pasiyowan Telu, Alasannya karena, bukanlah adat pemerintahan yang diturunkan Opo Toar
Lumimuut, dimana kekuasaan dijalankan dengan sewenang-wenang.
Akibat pemberontakkan itu, tatanan kehidupan di Minahasa menjadi tidak menentu, peraturan
tidak diindahkan Adat istiadat rusak, Perebutan tanah pertanian antar keluarga

Hal ini membuat golongan makarua/makadua siow (tonaas) merasa perlu mengambil tindakan
pencegahan dengan mengupayakan musyawarah raya yang dimotori oleh Tonaas-tonaas senior
dari seluruh Minahasa di Watu Pinabetengan.
Luas Minahasa pada jaman ini adalah dari pantai likupang, Bitung sampai ke muara sungai
Ranoyapo ke gunung Soputan, gunung Kawatak dan sungai Rumbia Wilayah setelah sungai
Ranoyapo dan Poigar, Tonsawang, Ratahan, Ponosakan adalah termasuk wilayah kerajaan
Bolaang Mongondow, sampai kira-kira abad ke-14.
Dalam musyawarah yang dihadiri oleh seluruh keturunan Toar Lumimuut, memilih Tonaas
Kopero dari Tompakewa sebagai ketua yang dibantu anggota Tonaas Muntuuntu dari Tombulu dan
Tonaas Mandey dari Tonsea.mereka bertugas untuk konsolidasi ketiga golongan Minahasa tsb.
H. Upacara Adat
1. Monondeaga
Upacara adat dari daerah Bolaang Mongondow yang dilaksanakan pada waktu anak gadis
memasuki masa akil baliq yang ditandai dengan datangnya haid pertama. Daun telinga dilobangi
dan dipasangi anting kemudian gigi diratakan sebagai pelengkap kecantikan dan tanda telah
dewasa.
2. Mupuk Im Bene
Upacara adat dari daerah Minahasa berupa pengucapan syukur pallen pactio Masyarakat
membawa/mempersembahkan segantang/sekarung padi bersama hasil ladang lainnya disuatu
tempat (lapangan atau dirumah gereja) untuk didoakan. Dan setiap rumah/keluarga menyiapkan
beragam makanan dan makan bersama dengan para tamu dengan sukaria.
3. Metipu
Merupakan upacara adat dari daerah Sangihe Talaud berupa penyembahan kepada Sang
Pencipta alam semesta yang disebut BENGGONA LANGI DUATAN SALURAN, dengan membakar
daun-daun dan akar-akar yang mewangi dan menimbulkan asap membumbung ke hadirat-Nya.
4. Watu Pinawetengan
Tanggal tujuh bulan tujuh tahun dua ribu tujuh saat istimewa bagi sebagian masyarakat
Minahasa. Pada penanggalan Masehi itu digelarlah upacara adat Watu Pinawetengan, sebuah
upacara penuh makna bagi persatuan masyarakat setempat.

Watu Pinawetengan adalah warisan leluhur Minahasa dan merupakan bukti bahwa demokrasi
dan persatuan sudah ada sejak dahulu.
Berdasarkan cerita rakyat, terdapat sebuah batu besar yang disebut tumotowa yakni batu yang
menjadi altar ritual sekaligus menandai berdirinya permukiman suatu komunitas. Johann Albert
Traugott Schwarz, seorang misionaris Belanda keturunan Jerman, pada tahun 1888 berinisiatif
melakukan penggalian di bukit Tonderukan yang sekarang masuk wilayah kecamatan Tompaso,
Minahasa, Sulawesi Utara (Sulut).
Ternyata penggalian berhasil menemukan batu besar yang membujur dari timur ke barat.
Johann Gerard Friederich Riedel yang lahir di Tondano pada tahun 1832, menyebutkan bahwa
batu tersebut merupakan batu tempat duduk para leluhur melakukan perundingan atau orang
setempat menyebutnya Watu Rerumeran ne Empung.
Batu tersebut merupakan tempat bagi para pemimpin upacara adat memberikan keputusan
(dalam bentuk garis dan gambar yang dipahat pada batu) dalam hal membagi pokok pembicaraan,
siapa yang harus bicara, serta cara beribadat.
Latar belakang itu memberi arah bahwa sudah ada demokrasi pada jaman dulu. Sejumlah
persoalan diselesai- kan dengan musyawarah sehingga mereka yang terlibat persoalan
meninggalkan Watu Pinawetengan dengan damai.
Inti dari upacara yang diselenggarakan di depan batu besar itu adalah wata' esa ene yakni
pernyataan tekad persatuan. Semua perwakilan kelompok etnis yang ada di Tanah Toar Lumimut
mengantarkan bagian peta tanah Minahasa tempat tinggalnya dan meletakkan di bagian tengah
panggung perhelatan. Diiringi musik instrumentalia kolintang, penegasan tekad itu disampaikan
satu per satu perwakilan menggunakan pelbagai bahasa di Minahasa. Setelah tekad disampaikan
mereka menghentakkan kaki ke tanah tiga kali. Pada penghujung acara para pelaku upacara
bergandengan tangan membentuk lingkaran sembari menyanyikan Reranian: Royorz endo.
"Royor endo, ezo e, Maesa-esa lalan ni kita e, Royor endo, ezo e, Sei si nimalewo, Ya
wana ni mengasa- ngasaranmo, Royor endo, ezo e, Mengale-ngalei uman Pakatuan
pakalawirenom, Royor endo, ezo e"
(Persatukanlah jalan kita. Janganlah ada yang merusakkan ataupun hanya berpura-pura. Mari
memohonkan usia lanjut dan lestari).
5. Upacara Pemakaman
Mula-mula Suku Minahasa jika mengubur orang meninggal sebelum ditanam terlebih dulu
dibungkus dengan daun woka (sejenis janur). Lambat laun, terjadi perubahan dalam kebiasaan
menggunakan daun woka. Kebiasaan dibungkus daun ini berubah dengan

mengganti wadah rongga pohon kayu atau nibung kemudian orang meninggal dimasukkan ke
dalam rongga pohon lalu ditanam dalam tanah. Baru sekitar abad IX Suku Minahasa mulai
menggunakan waruga. Orang yang telah meninggal diletakkan pada posisi menghadap ke utara
dan didudukkan dengan tumit kaki menempel pada pantat dan kepala mencium lulut. Tujuan
dihadapkan ke bagian Utara yang menandakan bahwa nenek moyang Suku Minahasa berasal dari
bagian Utara. Sekitar tahun 1860 mulai ada larangan dari Pemerintah Belanda menguburkan orang
meninggal dalam waruga.
Kemudian di tahun 1870, Suku Minahasa mulai membuat peti mati sebagai pengganti waruga,
karena waktu itu mulai berjangkit berbagai penyakit, di antaranya penyakit tipus dan kolera.
Dikhawatirkan, si meninggal menularkan bibit penyakit tipus dan kolera melalui celah yang terdapat
di antara badan waruga dan cungkup waruga. Bersamaan dengan itu pula, agama Kristen
mengharuskan mayat dikubur di dalam tanah mulai menyebar di Minahasa. Waruga yang memiliki
ukiran dan relief umumnya terdapat di Tonsea. Ukiran dan relief tersebut menggambarkan berapa
jasad yang tersimpan di waruga yang bersangkutan sekaligus menggambarkan mata pencaharian
orang tersebut.
Pada awalnya waruga tersebar di seluruh Minahasa. Saat ini waruga yang tersebar tersebut
dikumpulkan di desa Sawangan - Minahasa, yaitu sebuah desa yang terletak di antara Tondano
(ibu kota kabupaten Minahasa) dengan Airmadidi (ibu kota kabupaten Minahasa Utara). Sampai
saat ini waruga merupakan salah satu tujuan wisata sejarah di Sulawesi Utara. (Bagian utara
Minahasa).
6. Upacara Pernikahan
Proses Pernikahan adat yang selama ini dilakukan di tanah Minahasa telah mengalami
penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman. Misalnya ketika proses perawatan calon
pengantin serta acara "Posanan" (Pingitan) tidak lagi dilakukan sebulan sebelum perkawinan, tapi
sehari sebelum perkawinan pada saat "Malam Gagaren" atau malam muda-mudi. Acara mandi di
pancuran air saat ini jelas tidak dapat dilaksanakan lagi, karena tidak ada lagi pancuran air di kota-
kota besar. Yang dapat dilakukan saat ini adalah mandi adat "Lumelek" (menginjak batu) dan
"Bacoho" karena dilakukan di kamar mandi di rumah calon pengantin. Dalam pelaksanaan upacara
adat perkawinan sekarang ini, semua acara / upacara perkawinan dipadatkan dan dilaksanakan
dalam satu hari saja. Pagi hari memandikan pengantin, merias wajah, memakai busana pengantin,
memakai mahkota dan topi pengantin untuk upacara "maso minta" (toki pintu). Siang hari kedua
pengantin pergi ke catatan sipil atau Departemen Agama dan melaksanakan
pengesahan/pemberkatan nikah (di Gereja), yang kemudian dilanjutkan dengan resepsi
pernikahan. Pada acara in biasanya dilakukan upacara perkawinan ada, diikuti dengan acara
melempar bunga tangan dan acara bebas tari-tarian dengan iringan musik tradisional, seperti
tarian Maengket, Katrili, Polineis, diriringi Musik Bambu dan Musik Kolintang.
Bacoho (Mandi Adat)
Setelah mandi biasa membersihkan seluruh badan dengan sabun mandi lalu mencuci rambut
dengan bahan pencuci rambut yang banyak dijual di toko, seperti shampoo dan hair tonic. Mencuci
rambut "bacoho" dapat delakukan dengan dua cara, yakni cara tradisional ataupun hanya sekedar
simbolisasi.
Tradisi : Bahan-bahan ramuan yang digunakan adalah parutan kulit lemong nipis atau lemong
bacoho (citrus limonellus), fungsinya sebagai pewangi; air lemong popontolen (citrus lemetta),
fungsinya sebagai pembersih lemak kulit kepala; daun pondang (pandan) yagn ditumbuk halus,
fungsinya sebagai pewangi, bunga manduru (melati hutan) atau bunga rosi (mawar) atau bunga
melati yang dihancurkan dengan tangan, dan berfungsi sebagai pewangi; minyak buah kemiri
untuk melemaskan rambut dicampur sedikit perasan air buah kelapa yang diparut halus. Seluruh
bahan ramuan harus berjumlah sembilan jenis tanaman, untuk membasuh rambut. Sesudah itu
dicuci lagi dengan air bersih lalu rambut dikeringkan.
Simbolisasi : Semua bahan-bahan ramuan tersebut dimasukkan ke dalam sehelai kain
berbentuk kantong, lalu dicelup ke dalam air hangat, lalu kantong tersebut diremas dan airnya
ditampung dengan tangan, kemudian digosokkan kerambut calon pengantin sekadar simbolisasi.
Lumele‟ (Mandi Adat): Pengantin disiram dengan air yang telah diberi bunga- bungaan warna
putih, berjumlah sembilan jenis bunga yang berbau wangi, dengan mamakai gayung sebanyak
sembilan kali di siram dari batas leher ke bawah. Secara simbolis dapat dilakukan sekedar
membasuh muka oleh pengantin itu sendiri, kemudian mengeringkannya dengan handuk yang
bersih dan belum pernah digunakan sebelumnya.
7. Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan adat Minahasa dapat dilakukan di salah satu rumah pengantin pria
ataupun wanita. Di Langowan-Tontemboan, upacara dilakukan dirumah pihak pengantin pria,
sedangkan di Tomohon-Tombulu di rumah pihak pengantin wanita.
Hal ini mempengaruhi prosesi perjalanan pengantin. Misalnya pengantin pria ke rumah
pengantin wanita lalu ke Gereja dan kemudian ke tempat acara resepsi. Karena resepsi/pesta
perkawinan dapat ditanggung baik oleh pihak keluarga pria maupun keluarga wanita, maka
pihak yang menanggung biasanya yang akan memegang komando pelaksanaan pesta
perkawinan. Ada perkawinan yang dilaksanakan secara Mapalus dimana kedua pengantin dibantu
oleh mapalus warga desa, seperti di desa Tombuluan. Orang Minahasa penganut agama Kristen
tertentu yang mempunyai kecenderungan mengganti acara pesta malam hari dengan acara
kebaktian dan makan malam.
Orang Minahasa di kota-kota besar seperti kota Manado, mempunyai kebiasaan yang sama
dengan orang Minahasa di luar Minahasa yang disebut Kawanua. Pola hidup masyarakat di kota-
kota besar ikut membentuk pelaksanaan upacara adat perkawinan Minahasa, menyatukan seluruh
proses upacara adat perkawinan yang dilaksanakan hanya dalam satu hari (Toki Pintu, Buka/Putus
Suara, Antar harta, Prosesi Upacara Adat di Pelaminan).
Contoh proses upacara adat perkawinan yang dilaksanakan dalam satu hari : Pukul
09.00 pagi, upacara Toki Pintu. Pengantin pria kerumah pengantin wanita sambil membawa
antaran (mas kawin), berupa makanan masak, buah-buahan dan beberapa helai kain sebagai
simbolisasi. Wali pihak pria memimpin rombongan pengantin pria, mengetuk pintu tiga kali.
Pertama : Tiga ketuk dan pintu akan dibuka dari dalam oleh wali pihak wanita. Lalu dilakukan
dialog dalam bahasa daerah Minahasa. Kemudian pengantin pria mengetok pintu kamar wanita.
Setelah pengantin wanita keluar dari kamarnya, diadakan jamuan makanan kecil dan bersiap untuk
pergi ke Gereja. Pukul 11.00-14.00 : Melaksanakan perkawinan di Gereja yang sekaligus
dinikahkan oleh negara, (apabila petugas catatan sipil dapat datang ke kantor Gereja). Untuk itu,
para saksi kedua pihak lengkap dengan tanda pengenal penduduk (KTP), ikut hadir di Gereja.
Pukul 19.00 : Acara resepsi kini jarang dilakukan di rumah kedua pengantin, namun menggunakan
gedung / hotel.
Apabila pihak keluarga pengantin ingin melaksanakan prosesi upacara adat perkawinan, ada
sanggar-sanggar kesenian Minahasa yang dapat melaksanakannya. Dan prosesi upacara adat
dapat dilaksanakan dalam berbagai sub-etnis Minahasa, hal ini tergantung dari keinginan atau asal
keluarga pengantin. Misalnya dalam versi Tonsea, Tombulu, Tontemboan ataupun sub-etnis
Minahasa lainnya.
Prosesi upacara adat berlangsung tidak lebih dari sekitar 15 menit, dilanjutkan dengan kata
sambutan, melempar bunga tangan, potong kue pengantin , acara salaman, makan malam dan
sebagai acara terakhir (penutup) ialah dansa bebas yang dimulai dengan Polineis.

Prosesi Upacara Perkawinan di Pelaminan


Penelitian prosesi upacara perkawinan adat dilakukan oleh Yayasan Kebudayaan Minahasa
Jakarta pimpinan Ny. M. Tengker-Rombot di tahun 1986 di Minahasa. Wilayah yang diteliti adalah
Tonsea, Tombulu, Tondano dan Tontemboan oleh Alfred Sundah, Jessy Wenas, Bert Supit, dan
Dof Runturambi. Ternyata keempat wilayah sub-etnis tersebut mengenal upacara Pinang, upacara
Tawa‟ang dan minum dari mangkuk bambu (kower). Sedangkan upacara membelah kayu bakar
hanya dikenal oleh sub-etnis Tombulu dan Tontemboan. Tondano mengenal upacara membelah
setengah tiang jengkal kayu Lawang dan Tonsea-Maumbi mengenal upacara membelah Kelapa.
Setelah kedua pengantin duduk di pelaminan, maka upacara adat dimulai dengan
memanjatkan doa oleh Walian disebut Sumempung (Tombulu) atau Sumambo (Tontemboan).
Kemudian dilakukan upacara "Pinang Tatenge‟en". Kemudian dilakukan upacara Tawa‟ang
dimana kedua mempelai memegang setangkai pohon Tawa‟ang megucapkan ikrar dan janji.
Acara berikutnya adalah membelah kayu bakar, simbol sandang pangan. Tontemboan membelah
tiga potong kayu bakar, Tombulu membelah dua. Selanjutnya kedua pengantin makan sedikit nasi
dan ikan, kemudian minum dan tempat minum terbuat dari ruas bambu muda yang masih hijau.
Sesudah itu, meja upacara adat yang tersedia didepan pengantin diangkat dari pentas pelaminan.
Seluruh rombongan adat mohon diri meniggalkan pentas upacara. Nyanyian-nyanyian oleh
rombongan adat dinamakan Tambahan (Tonsea), Zumant (Tombulu) yakni lagu dalam bahasa
daerah.
Bahasa upacara adat perkawinan yang digunakan, berbentuk sastra bahasa sub-etnis
Tombulu, Tontemboan yang termasuk bahasa halus yang penuh perumpamaan nasehat. Prosesi
perkawinan adat versi Tombulu menggunakan penari Kabasaran sebagai anak buah Walian
(pemimpin Upacara adat perkawinan). Hal ini disebabkan karena penari Kabasaran di wilayah
sub-etinis lainnya di Minahasa, belum berkembang seperti halnya di wilayah Tombulu. Pemimpin
prosesi upacara adat perkawinan bebas melakukan improvisasi bahasa upacara adat. Tapi
simbolisasi benda upacara, seperti : Sirih-pinang, Pohon Tawa‟ang dan tempat minum dari ruas
bambu tetap sama maknanya.

I. Produk Budaya
Pengaruh budaya dan adat istiadat terhadap kehidupan masyarakat Minahasa terjadi pada pola
pengelompokan sosial, dimana pada umumnya masyarakat di Kota Minahasa ber-etnis sama, maka
kebiasaan dan adat istiadat Minahasa yang hidupnya berkelompok dan mengumpul dalam sebuah
lingkungan kecil terbawa dan teraplikasikan dalam kondisi bermasyarakat saat ini, yaitu lingkungan
permukiman menjadi padat dan bahkan pada kondisi asli tidak memiliki batas yang jelas antara satu
rumah dengan rumah yang lainnya. Pola pengelompokan berdasar ikatan kekeluargaan dan
kekerabatan terlihat jelas dalam permukiman.

1. Fam

Nama keluarga yang telah digunakan sebagai nama keturunan bagi orang Minahasa atau lebih
dikenal dengan istilah FAM, diambil dari nama keluarga yang digunakan oleh kepala rumah tangga
(orang tua lelaki). Setiap anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, otomatis disamping nama
depannya, melekat pula nama keturunan keluarga dari sang Bapak. Khusus bagi seorang wanita
yang telah kawin maka nama keluarga sang suami langsung disisipkan diantara nama depan
dengan nama keturunan keluarga sang wanita tersebut. Contoh : Abutan - Adam - Agou - Akai -
Aling - Alow - Alui - Amoi - Ampow - Andinata - Andu - Anes - Angkouw - Angow - Anis - Antou -
Arina - Awondatu - Awui (atau Awuy) - Assa - Aruperes - Agow – Atuy dll.

2. Mapalus
Masyarakat Minahasa pada umumnya memiliki adat istiadat dan budaya yang dikenal dengan
sebutan Mapalus. Budaya mapalus atau bekerja bersama dan saling bantu ini telah berakar
dan membudaya di kalangan masyarakat Minahasa. Budaya tersebut sampai saat ini masih
terjaga dan terpelihara. Pada kehidupan sehari-hari masih bisa dirasakan sikap suka
membantu dan bekerjasama. Kecuali beberapa kegiatan yang merupakan rangkaian dari
„mapalus‟ seperti memakai alat tiup ketika mengajak kelompok untuk ber‟mapalus‟ sudah
mulai hilang. Perlahan keaslian mulai terkikis dengan modernisasi.

3. Rumah Adat
Disebut dengan istilah wale atau bale, yaitu rumah/ tempat melakukan akivitas untuk hidup
keluarga. Rumah adat Minahasa merupakan rumah panggung yang terdiri dari dua tangga didepan
rumah. Menurut kepercayaan nenek moyang Minahasa peletakan tangga tersebut dimaksudkan
apabila ada roh jahat yang mencoba untuk naik dari salah satu tangga maka roh jahat tersebut
akan kembali turun di tangga yang sebelahnya.

Ada pula yaitu rumah kecil untuk tempat beristirahat, berlindung sewaktu hujan, memasak
ataupun tempat menyimpan hasil panen sebelum dijual. Ciri utama rumah tradisional ini berupa
"Rumah Panggung" dengan 16 sampai 18 tiang penyangga. Beberapa abad lalu terdapat rumah
tradisional keluarga besar yang didiami oleh 6 sampai 9 keluarga. Masing-masing keluarga
merupakan rumah tangga tersendiri dan mempunyai dapur atau mengurus ekonomi rumah tangga
sendiri. Saat ini jarang ditemui rumah adat besar seperti ini. Pada umumnya susunan rumah terdiri
atas emperan (setup), ruang tamu (leloangan), ruang tengah (pores) dan kamar-kamar. Ruang
paling depan (setup) berfungsi untuk menerima tamu terutama bila diadakan upacara keluarga,
juga tempat makan tamu. Bagian belakang rumah terdapat balai-balai yang berfungsi sebagai
tempat menyimpan alat dapur dan alat makan, serta tempat mencuci. Bagian atas rumah/loteng
(soldor) berfungsi sebagai tempat menyimpan hasil panen seperti jagung, padi dan hasil lainnya.
Bagian bawah rumah (kolong) biasanya digunakan untuk gudang tempat menyimpan papan, balok,
kayu, alat pertanian, gerobak dan hewan rumah seperti anjing. Untuk melihat rumah tradisional
adat Minahasa ini, dapat ditemukan pada desa- desa di Minahasa yang umumnya sebagian rumah
masih berupa rumah panggung tradisional. Akan tetapi kebanyakan telah mengalami perubahan
bentuk, sesuai dengan kebutuhan pemiliknya
Rumah adat Minahasa merupakan rumah panggung yang terdiri dari dua tangga didepan
rumah. Menurut kepercayaan nenek moyang Minahasa peletakan tangga tersebut dimaksudkan
apabila ada roh jahat yang mencoba untuk naik dari salah satu tangga maka roh jahat tersebut
akan kembali turun di tangga yang sebelahnya

4. Tari-Tarian

- Tari Maengket
Maengket adalah tari tradisional Minahasa dari zaman dulu kala sampai saat ini masih
berkembang. Maengket sudah ada di tanah Minahasa sejak rakyat Minahasa mengenal
pertanian terutama menanam padi di lading. Kalau dulu Nenek Moyang Minahasa, maengket
hanya dimainkan pada waktu panen padi dengan gerakan-gerakan yang hanya sederhana,
maka sekarang tarian maengket telah berkembang teristimewa bentuk dan tarinya tanpa
meninggalkan keasliannya terutama syair/sastra lagunya. Maengket terdiri dari 3 babak, yaitu :
- Maowey Kamberu - Marambak – Lalayaan.

1. Tari Maowey Kamberu


Maowey Kamberu adalah suatu tarian yang dibawakan pada acara pengucapan
syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, dimana hasil pertanian terutama tanaman padi
yang berlipat ganda/banyak.
2. Tari Marambak
Marambak adalah tarian dengan semangat kegotong-royongan, rakyat Minahasa Bantu
membantu membuat rumah yang baru. Selesai rumah dibangun maka diadakan pesta naik
rumah baru atau dalam bahasa daerah disebut “rumambak” atau menguji kekuatan rumah
baru dan semua masyarakat kampong diundang dalam pengucapan syukur.
3. Tari Lalayaan
Lalayaan adalah tari yang melambangkan bagaimana pemuda-pemudi Minahasa pada
zaman dahulu akan mencari jodoh mereka. Tari ini juga disebut tari pergaulan muda-mudi
zaman dahulu kala di Minahasa.
- Tari Katrili
Menurut legenda rakyat Minahasa, tari katrili adalah salah satu tari yang dibawa oleh Bangsa
Spanyol pada waktu mereka datang dengan maksud untuk membeli hasil bumi yang ada di
Tanah Minahasa. Karena mendapatkan hasil yang banyak, mereka menari-nari tarian katrili.
Lama-kelamaan mereka mengundang seluruh rakyat Minahasa yang akan menjual hasil bumi
mereka didalam menari bersama-sama sambil mengikuti irama musik dan aba-aba. Ternyata
tarian ini boleh juga dibawakan pada waktu acara pesta perkawinan di tanah Minahasa.
Sekembalinya Bangsa Spanyol kenegaranya dengan membawa hasil bumi yang dibeli di
Minahasa, maka tarian ini sudah mulai digemari Rakyat Minahasa pada umumnya. Tari katrili
termasuk tari modern yang sifatnya kerakyatan.
- Tari Kabasaran
Adalah Tari Perang, merupakan tarian tradisional Minahasa yang menceritakan bagaimana
suku Minahasa mempertahankan tanah Minahasa dari musuh yang hendak mendudukinya.
Tari Perang ini memperagakan bagaimana menggunakan Pedang Perisai dan Tombak. Tarian
Kabasaran ini ditarikan untuk acara-acara khusus seperti Penyambutan tamu dan atau
diberbagai Acara.

5. Alat Musik daerah

a. Kolintang
Kolintang adalah instrument musik yang berasal dari Minahasa biasanya Kolintang
dipakai sebagai pengiring dari seorang penyanyi lagu-lagu daerah ataupun cuma musik
instrumen saja. Kolintang sudah sangat terkenal di Indonesia bahkan juga sudah
dipromosikan ke luar negeri. Kolintang dimainkan oleh sebuah regu, biasanya satu regu itu
terdiri dari 5 sampai 6 orang.
b. Musik Bambu
Musik bambu juga adalah musik tradisional dari Minahasa satu regu terdiri 30
- 40 orang bahkan ada yang lebih. Musik bambu dari Minahasa juga sudah sangat
terkenal di Indonesia bahkan tidak jarang acara dari luar Sulawesi Utara yang
mengundang 1 regu musik bambu.

6. Lagu Daerah
Minahasa juga merupakan daerah yang memiliki lagu daerah yang cukup dikenal, diantaranya
adalah:
a. Esa mokan
b. Luri wisako
c. O ina ni keke
d. Opo wananatas
e. Sa aku ika genang
f. Mars Minahasa
g. Si Patokaan :
Sayang sayang si patokaan
Matego tego gorokan sayang
Sayang sayang si patokaan
Matego tego gorokan sayang
Sako mangemo tanah man jauh
Mangemo milei leklako sayang

7. Kuliner
a. Makanan
Dahulu orang selalu berpikir dua kali sebelum melangkahkan kaki menuju rumah makan
Manado. Pertama, khawatir kalau salah pilih karena nama masakan yang tidak akrab, dan kedua
takut kepedasan.
Maklumlah masakan orang Minahasa hampir semuanya pedas mulai dari sup hingga hidangan
utamanya. Hampir semuanya memakai cabai rawit atau biasa dipanggil rica anjing.
Cabai rawit ini dipanggil dengan nama itu karena orang Manado sejak dulu kalau memasak
daging anjing atau RW (rintek wuuk bahasa Tombulu, artinya bulu halus) selalu memakai cabai
rawit ini, hingga sebutan itu menjadi pas dan populer. Tapi kini rasa takut untuk makan di resto
Manado lambat laun telah hilang.
Sekarang banyak orang mulai lebih mengetahui bahwa makanan ini sebetulnya sehat dan
halal karena kebanyakan resto Manado tidak menjual daging anjing dan babi. Strategi ini
didasarkan pada pemikiran, bahwa kalau hidangan yang disediakan halal, maka segmen
pasarnya pasti lebih besar. Selain itu, hidangan Manado pada umumnya sangat menggiurkan
karena disandarkan pada bumbu segar seperti daun kemangi, daun jeruk, daun sereh, daun
bawang, daun gedi, daun bulat, daun selasih, daun cengkeh, daun pandan, cabai, jeruk limo,
lemon cui, jahe dan lainnya. Umumnya orang Minahasa memasak secara tradisional sejak dulu.
Jika meracik masakan pada umumnya mereka tidak pernah memakai bahan-bahan penyedap
sebagai tambahan agar masakan itu terasa lebih lezat. Bahkan jika ditambahkan bumbu
penyedap, rasa dan aromanya berbeda.
b. Minuman
Saguer dan Cap Tikus
Cap Tikus adalah jenis cairan berkadar alkohol rata-rata 40 persen yang dihasilkan melalui
penyulingan saguer (cairan putih yang keluar dari mayang pohon enau atau seho dalam bahasa
daerah Minahasa). Tinggi rendahnya kadar alkohol pada Cap Tikus tergantung pada kualitas
penyulingan. Semakin bagus sistem penyulingannya, semakin tinggi pula kadar alkoholnya.
Saguer sejak keluar dari mayang pohon enau sudah mengandung alkohol. Menurut kalangan
petani, kadar alkohol yang dikandung saguer juga tergantung pada cara menuai dan peralatan
bambu tempat menampung saguer saat menetes keluar dari mayang pohon enau.

Untuk mendapatkan saguer yang manis bagaikan gula, bambu penampungan yang
digantungkan pada bagian mayang tempat keluarnya cairan putih (saguer), berikut saringannya
yang terbuat dari ijuk pohon enau harus bersih. Semakin bersih, saguer semakin manis. Semakin
bersih saguer, maka Cap Tikus yang dihasilkan pun semakin tinggi kualitasnya.
Kadar alkohol pada Cap Tikus tergantung pada teknologi penyulingan. Petani sejauh ini masih
menggunakan teknologi tradisional, yakni saguer dimasak kemudian uapnya disalurkan dan
dialirkan melalui pipa bambu ke tempat penampungan. Tetesan-tetesan itulah yang kemudian
dikenal dengan minuman Cap Tikus.
Cap Tikus sudah dikenal sejak lama di Tanah Minahasa. Memang tidak ada catatan pasti
kapan Cap Tikus mulai hadir dalam khazanah budaya Minahasa. Namun, setiap warga Minahasa
ketika berbicara tentang Cap Tikus akan menunjuk bahwa minuman itu mulai dikenal sejak nenek
moyang mereka.
Yang pasti, minuman Cap Tikus sudah sejak dulu sangat akrab dan populer di kalangan petani
Minahasa. Umumnya, petani Minahasa, sebelum pergi ke kebun atau memulai pekerjaannya,
minum satu seloki (gelas ukuran kecil, sekali teguk) Cap Tikus. Minuman ini, menurut Pendeta Dr.
Richard AD Siwu, dosen Fakultas Teologi Universitas Kristen Tomohon (Ukit) dikenal oleh setiap
orang Minahasa sebagai minuman penghangat tubuh dan pendorong semangat untuk bekerja.
Sadar betul bahwa Cap Tikus mengandung kadar alkohol tinggi, sudah sejak dulu orang-orang
tua mengingatkan agar bisa menahan atau mengontrol minum minuman Cap Tikus. Sejak dulu
pula dikenal pameo menyangkut Cap Tikus, minum satu seloki Cap Tikus, cukup untuk
menambah darah, dua seloki bisa masuk penjara, dan minum tiga seloki bakal ke neraka.
Pak tani minum Cap Tikus karena memang dengan satu seloki semangat kerja bertambah.
Karena itu, minum satu seloki Cap Tikus diartikan menambah darah, dan semangat kerja.
Tanda awas langsung diucapkan setelah menenggak satu seloki, sebab jika menambah lagi
satu seloki bisa berakibat masuk penjara. Artinya, dengan dua seloki orang bakal mudah
terpancing bertindak berlebihan, karena kandungan alkohol yang masuk ke tubuhnya membuat
orang mudah tersinggung dan rentan berbuat kriminal.
Jenis minuman ini diproduksi rakyat Minahasa di hutan-hutan atau perkebunan di sela-sela
hutan pohon enau. Pohon enau-atau saguer dalam bahasa sehari-hari di Manado-disebut
pohon saguer karena pohon ini menghasilkan saguer, atau cairan putih yang rasanya manis
keasam-asaman serta mengandung alkohol sekitar lima persen.
Warung-warung makan di Minahasa pada umumnya juga menjual saguer. Bahkan, sebagian
orang desa sebelum makan lebih dulu meminum saguer dengan alasan agar bisa makan banyak.
Sisa saguer yang tidak terjual kemudian disuling secara tradisional menjadi minuman Cap
Tikus. Kadar alkoholnya, sesuai penilaian dari beberapa laboratorium, naik menjadi sekitar 40
persen. Makin bagus sistem penyulingannya, dan semakin lama disimpan, kadar alkohol Cap
Tikus semakin tinggi. Di kalangan para peminum, Cap Tikus yang baik akan mengeluarkan nyala
api biru ketika disulut korek api.
Mengapa dinamai Cap Tikus? Tidak diperoleh jawaban yang pasti. Ada dugaan, nama itu
dipakai karena pembuatannya dilakukan di sela-sela pepohonan, tempat tikus hutan bermain
hidup.
Jika di masa lalu, khususnya di kalangan para petani, Cap Tikus menjadi pendorong
semangat kerja, lain hal lagi dengan kaum muda sekarang. Kini Cap Tikus telah berubah menjadi
tempat pelarian. Cap Tikus telah berubah menjadi minuman tempat pelampiasan nafsu serta
menjadi sarana mabuk-mabukan yang kemudian menjadi sumber malapetaka. Selain bisa
diminum langsung, Cap Tikus juga menjadi bahan baku utama sejumlah pabrik anggur di
Manado dan Minahasa. Dengan predikat anggur, Cap Tikus masuk ke
kota dan bahkan di antarpulaukan secara gelap.

8. Bahasa
Dalam bahasa, Bahasa Minahasa termasuk rumpun bahasa Filipina Tetua- tetua Minahasa
menurunkan sejarah kepada turunannya melalui cerita turun temurun (biasanya dilafalkan oleh
Tonaas saat kegiatan upacara membersihkan daerah dari hal- hal yang tidak baik bagi masyarakat
setempat saat memulai tahun yang baru dan dari hal kegiatan tersebut diketahui bahwa Opo Toar
dan Opo Lumimuut adalah nenek moyang masyarakat Minahasa, meskipun banyak versi tentang
riwayat kedua orang tersebut.
Keluarga Toar Lumimuut sampai ketanah Minahasa dan berdiam disekitar gunung Wulur
Mahatus, dan berpindah ke Watuniutakan (dekat Tompaso Baru sekarang dan dengan kehidupan
pertanian yang sarat dengan usaha bersama dengan saudara sekeluarga/ taranak tampak dari
berbagai versi tarian Maengket) Sampai pada suatu saat keluarga bertambah jumlahnya maka
perlu diatur mengenai interaksi sosial didalam komunitas

tersebut, yang melalui kebiasaan peraturan dalam keturunannya nantinya menjadi kebudayaan
Minahasa.
Demikian juga dengan isme atau kepercayaan akan sesuatu yang lebih berkuasa atas
manusia sudah dijalankan di Minahasa sejak awal.
Di Minahasa ada sekitar empat bahasa daerah diantaranya bahasa Totemboan, Tombulu,
Tonsea, Bantik, Tonsawang. Pernah ada bahasa Ponosakan dan Bentenan, tapi bahasa-bahasa
itu sekarang sedang dalam proses kepunahan. Di samping bahasa-bahasa di atas ada bahasa
Melayu Manado yang digunakan sebagai bahasa pergaulan umum di seluruh Minahasa malah
sampai jauh di luar daerah Propinsi Sulawesi Utara.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Kota Minahasa selain menggunakan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa percakapan juga menggunakan bahasa daerah Minahasa. Seperti
diketahui di Minahasa terdiri dari sembilan macam jenis bahasa daerah yang dipergunakan oleh
delapan etnis yang ada, seperti Tountemboan, Toulour, Tombulu, dll. Bahasa daerah yang paling
sering digunakan di Kota Minahasa adalah bahasa Tombulu, karena memang wilayah Minahasa
termasuk dalam etnis Tombulu. Selain bahasa percakapan di atas, ternyata ada juga masyarakat
di Minahasa dan Kota Minahasa khususnya para orang tua yang menguasai Bahasa Belanda
karena pengaruh jajahan dari Belanda serta sekolah-sekolah jaman dahulu yang menggunakan
Bahasa Belanda.
Saat ini, semakin hari masyarakat yang menguasai dan menggunakan Bahasa Belanda
tersebut semakin berkurang seiring dengan semakin berkurangnya masyarakat berusia lanjut.
Walaupun tidak berdasarkan sensus dapat dikatakan bahwa penutur-penutur Dialek
Tontemboan adalah jumlah terbesar di Minahasa.
Kemunduran bahasa-bahasa Minahasa yang dirasakan masa kini adalah:
 Tidak ada perhatian terhadap bahasa sendiri.
 Penutur-penutur bahasa Minahasa belum mengenal akan bahasanya sendiri, walaupun ia
mahir menggunakannya.
 Tidak ada dorongan untuk mempelajari bahasanya.
 Pelajaran bahasa Indonesia di sekolah menggeserkan bahasa sendiri.
 Pelajaran-pelajaran bahasa asing lebih mempunyai aspek keuntungan.
 Belum ada buku yang memberi pelajaran dalam bahasa sendiri.
 Pemberitaan tentang bahasa Minahasa dapat dikatakan tidak ada.
 Keindahan dan kekayaan Bahasa Minahasa belum pernah di ungkapkan.
9. Tulisan Kuno Minahasa
Tulisan kuno Minahasa bersifat Ideogramatis: (Gambar atau simbol yang merupakan
seorang, obyek atau ide, tetapi dengan gambar atau kalimat tetap. Sebagai contoh, tulisan
Cina adalah ideogramatis).
Kata "Minahasa" artinya "konfederasi" atau juga "negara yang dibentuk melalui gabungan
beberapa daerah". Minahasa merupakan grup etnis yang hidup di Sulawesi Timur Laut dan terdiri
dari 8 suku.
Berlawanan dengan grup-grup etnis yang lain di Sulawesi, yang beragama Muslim, orang
Minahasa beragama Kristen. Walaupun jumlah sangat sedikit yang buta huruf, orang Minahasa
disebut "tolfuros", yang berarti "setengah-liar" atau "kejam". Mereka bicara berdasarkan bahasa
malayu, tetapi bentuk mereka, secara fysik, lain dibanding dengan suku-suku bangsa lainnya di
pulau itu; menurut beberapa sumber mereka mempunyai sifat yang khas Jepang. Menurut cerita
itu mereka masuk dari bagian utara ke pulau ini.

10. Busana Tradisional Minahasa


Minahasa adalah salah satu suku bangsa yang mendiami wilayah Propinsi Sulawesi Utara.
Dalam kehidupan sehari-hari ada kecenderungan bagi suku bangsa Minahasa untuk menyebut diri
mereka sebagai orang Manado.
Di masa lalu busana sehari-hari wanita Minahasa terdiri dari baju sejenis kebaya, disebut
wuyang (pakaian kulit kayu). Selain itu, mereka pun memakai blus atau gaun yang disebut
pasalongan rinegetan, yang bahannya terbuat dari tenunan bentenan. Sedangkan kaum pria
memakai baju karai, baju tanpa lengan dan bentuknya lurus, berwarna hitam terbuat dari ijuk.
Selain baju karai, ada juga bentuk baju yang berlengan panjang, memakai krah dan saku disebut
baju baniang. Celana yang dipakai masih sederhana, yaitu mulai dari bentuk celana pendek
sampai celana panjang seperti bentuk celana piyama.
Pada perkembangan selanjutnya busana Minahasa mendapatkan pengaruh dari bangsa Eropa
dan Cina. Busana wanita yang memperoleh pengaruh kebudayaan Spanyol terdiri dari baju kebaya
lengan panjang dengan rok yang bervariasi. Sedangkan pengaruh Cina adalah kebaya warna putih
dengan kain batik Cina dengan motif burung dan bunga- bungaan. Busana pria pengaruh Spanyol
adalah baju lengan panjang (baniang) yang modelnya berubah menyerupai jas tutup dengan
celana panjang. Bahan baju ini terbuat dari kain blacu warna putih. Pada busana pria pengaruh
Cina tidak begitu tampak

Baju Ikan Duyung


Pada upacara perkawinan, pengantin wanita mengenakan busana yang terdiri dari baju kebaya
warna putih dan kain sarong bersulam warna putih dengan sulaman motif sisik ikan. Model busana
pengantin wanita ini dinamakan baju ikan duyung. Selain sarong yang bermotifkan ikan duyung,
terdapat juga sarong motif sarang burung, disebut model salimburung, sarong motif kaki seribu,
disebut model kaki seribu dan sarong motif bunga, disebut laborci-laborci.
Aksesori yang dipakai dalam busana pengantin wanita adalah sanggul atau bentuk konde,
mahkota (kronci), kalung leher (kelana), kalung mutiara (simban), anting dan gelang. Aksesori
tersebut mempunyai berbagai variasi bentuk dan motif. Konde yang menggunakan 9 bunga
Manduru putih disebut konde lumalundung, sedangkan Konde yang memakai 5 tangkai kembang
goyang disebut konde pinkan. Motif Mahkota pun bermacam-macam, seperti motif biasa, bintang,
sayap burung cendrawasih dan motif ekor burung cendrawasih.
Pengantin pria memakai busana yang terdiri dari baju jas tertutup atau terbuka, celana
panjang, selendang pinggang dan topi (porong). Busana pengantin baju jas tertutup ini, disebut
busana tatutu. Potongan baju tatutu adalah berlengan panjang, tidak memiliki krah dan saku. Motif
dalam busana ini adalah motif bunga padi, yang terdapat pada hiasan topi, leher baju, selendang
pinggang dan kedua lengan baju.
Busana Pemuka Adat
Busana Tonaas Wangko adalah baju kemeja lengan panjang berkerah tinggi, potongan baju
lurus, berkancing tanpa saku. Warna baju hitam dengan hiasan motif bunga padi pada leher baju,
ujung lengan dan sepanjang ujung baju bagian depan yang terbelah. Semua motif berwarna kuning
keemasan. Sebagai kelengkapan baju dipakai topi warna merah yang dihiasi motif bunga padi
warna kuning keemasan pula.
Busana Walian Wangko pria merupakan modifikasi bentuk dari baju Tonaas Wangko, hanya
saja lebih panjang seperti jubah. Warna baju putih dengan hiasan corak bunga padi. Dilengkapi
topi porong nimiles, yang dibuat dari lilitan dua buah kain berwarna merahhitam dan kuning-emas,
perlambang penyatuan 2 unsur alam, yaitu langit dan bumi, dunia dan alam baka. Sedangkan
Walian Wangko wanita, memakai baju kebaya panjang warna putih atau ungu, kain sarong batik
warna gelap dan topi mahkota (kronci). Potongan baju tanpa kerah dan kancing. Dilengkapi
selempang warna kuning atau merah, selop, kalung leher dan sanggul. Hiasan yang dipakai
adalah motif bunga terompet.

Bentuk dan jenis busana Tonaas dan Walian Wangko inilah yang kemudian menjadi model dari
jenis-jenis pakaian adat Minahasa untuk berbagai keperluan upacara, bagi warga maupun aparatur
pemertintah setempat. Jenis-jenis dan bentuk busana di atas merupakan kekayaan budaya
Minahasa yang tak ternilai harganya. Selain sebagai penunjuk identitas kebudayaan, busana adat
tersebut menumbuhkan kebanggaan bagi masyarakatnya.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.tamanmini.com/anjungan/sulut/budaya//busana_tradisional_minahasa
http://sigarlaki.wordpress.com/2007/10/28/asal-usul-suku-minahasa/
http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2003/025/wis02.html
http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2004/0729/wis01.html
http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=11&mnorutisi=7
http://sigarlaki.wordpress.com/2007/10/28/asal-usul-suku-minahasa/
http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=11&mnorutisi=7
http://sigarlaki.wordpress.com/2007/10/28/asal-usul-suku-minahasa/
http://kawangkoan1.tripod.com/kebudayaan.htm
http://www.tamanmini.com/anjungan/sulut/budaya//busana_tradisional_minahasa
http://sigarlaki.wordpress.com/2007/10/28/asal-usul-suku-minahasa/
http://www.kkk.or.id/artikel3.htm [30 Nov2007]
http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2003/025/wis02.html
http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2004/0729/wis01.htm

Anda mungkin juga menyukai