Anda di halaman 1dari 250

SEMINAR NASIONAL SEJARAH LOKAL

MUNAS II PPSI 2016


“MENGGALI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM KEHIDUPAN
KEBERAGAMAN KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA”
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
UNIVERSITAS INDONESIA

Pelindung dan
Dr. Adrianus L.G. Waworuntu
Prof. Dr. Susanto Zuhdi

Penasehat:
Dr. Abdurakhman
Dr. Moh. Iskandar
Agus Setiawan, Ph.D.

Organising Committee:
Ketua : Dr. Linda Sunarti
Sekretaris : Raisye Soleh Haghia, M. Hum.
Editor : Teuku Reza Fadeli, M.A.
Humas : Ghamal Satya Mohammad, M.A.

PROSIDING UNIVERSITAS INDONESIA


SEMINAR SEJARAH LOKAL 2016

Diterbitkan oleh Program Studi Ilmu Sejarah


Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
November 2016
ISBN: 978-602-74858-1-5

1
Dirga Fawakih......................................................................................................................164

Perjuangan Penjaga Keamanan Rakyat Mempertahankan Kemerdekaan di Bengkulu Agustus


– November 1945
Ega Rezeki Margaretha Barus ........................................................................................... 176

Tata Kota Pakwan Pajajaran Abad ke 15-16 Masehi


Etty Saringendiety ............................................................................................................... 188

Liberty Manik Pejuang dan Pemersatu Bangsa


Flores Tanjung ..................................................................................................................... 199

Pekerja Anak di Perkebunan Tembakau di Afdeeling Klaten, 1870-1930


Hayu Adi Darmarastri ........................................................................................................ 209

Melacak Jejak Instrumen Genderang Perang dalam Kesusastraan Berbahasa Jawa Kuna Awal
Hendra Santosa .................................................................................................................... 218

Kearifan Lokal Bahari Masyarakat Nelayan di Pantai Timur Sumatera


Hidayat..................................................................................................................................227

Konsep Belanegara dalam Pemikiran KGPAA Mangkunegara IV


H.Y. Agus M ......................................................................................................................... 241

Wabah Penyakit di Kota Cirebon Masa Kolonial 1906-1940


Imas Emalia .......................................................................................................................... 252

Budaya Maritim Migran Buton di Pantai Barat Seram (1942-2002)


Kasman Renyaan ................................................................................................................. 271

Ruang untuk Pendidikan Perilaku Anak Autis di Bandung


Kharista Astrini Sakya ........................................................................................................ 280

Benteng-Benteng di Wakatobi dalam Perspektif Sejarah Lokal dan Global hingga Awal Abad
XX
La Ode Rabani ..................................................................................................................... 287

Subaltern Kekerasan pada Buruh Perempuan di Perkebunan Sumatera Utara


Lukita Ningsih ...................................................................................................................... 298

Konflik Etnis Penguasa Kalijodo, 2001-2003: Sebuah Kajian Kausalitas Sosio-Historis


Lydiawati .............................................................................................................................. 306

Ayam Mati dalam Lumbung: Kelaparan di Wilayah Sentra Beras Nasional Karawang pada
1970-an
Muhammad Mulyadi ........................................................................................................... 316

Membudayakan Nilai-Nilai Tembang Dolanan sebagai Filter Terhadap Budaya Asing


Nara Setya Wiratama .......................................................................................................... 328

4
Budaya Maritim Migran Buton di Pantai Barat Seram (1942-2002)
Kasman Renyaan
Lulusan Pendidikan IPS Konsentrasi Pendidikan Sejarah, PPS Universitas Negeri Makassar
kasmanrenyaan@gmail.com

Abstrak
Makalah akan menjelaskan tentang “Budaya Maritim Migran Buton di Pantai Barat Seram
(1942-2002).” Hasil penelitian menunjukkan, budaya maritim telah mendorong orang Buton
berlayar ke pesisir pantai barat Seram (PBS), Maluku. Dorongan berlayar ke daerah tersebut
untuk mencari peluang yang bernilai ekonomis, diantaranya komoditi damar. Akan tetapi,
potensi sumberdaya alamnya ternyata menarik mereka untuk mengelolah lahan pertanian,
mendirikan pemukiman, dan akhirnya menetap di sana. Hal ini didasarkan pada kondisi alam
dan kehidupan di Buton, Sulawesi Tenggara, tidak subur untuk bertani. Bagi migran Buton,
harapan untuk mendapatkan kesejahteraan ada di Maluku. Dinamika kehidupan mereka
diawal penjajakan wilayah, harus berhadapan dengan penjajahan (Jepang) di kawasan pesisir
PBS, akibatnya sebagian mereka kembali ke Buton, sedangkan sebagian lainnya memilih
bertahan di Kepulauan Maluku. Kondisi itu berimbas pada redupnya budaya maritim mereka.
Kemudian dikembangkan lagi setelah mereka eksis dan benar-benar menetap di sana. Dan
melakukan ekspansi pelayaran ke daerah lain, guna memperoleh komoditi niaga dan
menjajakan barang dagangan hingga pecah konflik Maluku. Wacana usir BBM (Buton,
Bugis, Makassar) dari Maluku, berimbas pada upaya orang Buton kembali mencari tanah
leluhur mereka. Khusunya pelaut kondisi itu dianggap peluang untuk memperoleh
keuntungan dinamis, sehingga mereka bertahan dan eksis melaut demi memenuhi kebutuhan
hidup dan mendapatkan biaya pendidikan anak.

Kata kunci: budaya, maritim, migran, Buton, pantai barat Seram.

Abstract
The resultan of the research reveal that the maritime culture encouraged Butonese to sail to
the coastal area of West Coast of Seram. the desires to sail to the region was to seek
opportunity with economical values among others were dammar wood. However, the
potential natural sources of the visited area attracted them to manage the farming areas, made
the settlement, and lived in the area eventually. The aforementioned factors were based on
the natural condition and the life in buton, difficult to obtain the source of life and the land is
not fertile for farming. Therefore, obtaining welfare for Buton migrants is in Maluku. the
dynamics of butonese life in the beginning of exploratory area was faced with the
colonialism(Japanese) in West Coast of Seram, so half of them returned to Buton and the
other half chose to stay in Maluku. Such condition gave impact on decreasing maritime
culture and it was developed again after they were exist and setted dwon. After they had
power, they expanded their sailing to other regions to get trade commodity and sell their
products until Maluku conflict occurred. The expel of BBM (Butonese, Buginese and
Makassarrese) from Moluccas gave impact from Butonese to re-search their ancestralland.
However, for sailors, such condition was considerd as opportunity to obtain dynamic profit,
so they kept staying and kept sailing to fulfill their needs including the education fees.

271
Keyword: culture, maritime, migrant, Buton, west coast of Seram

Pendahuluan
Dunia maritim bagi orang Buton telah membudaya dalam kehidupan mereka. Laut dianggap
sebagai kehidupan itu sendiri. Aktivitas mereka sulit dikontrol, selain karena kepiawaian
mereka membaca ruang samudera, juga karena kekuatan nilai budaya yang dianutnya
(Tahara, dkk, 2015). Mereka bersama kelompok sukubangsa Bajau, Bugis, Makassar,
Mandar dan Madura, dikukuhkan sebagai pewaris tradisi maritim Indonesia (Horridge, 1986).
Sebagai suku bangsa bahari Indonesia (Hamid, 2011), orang Buton paling dinamis dan
espansif dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan maritim di kawasan timur, yang
disejajarkan dengan pelaut Bugis-Makassar. Mereka dikelompokan dalam satu akronim
kemaritiman, yakni BBM (Buton, Bugis dan Makassar) (fox, 1995: viii). Di antara kelompok
maritim itu, kata Dick (1975: 84), orang Buton yang paling dinamis di masa kini. Mereka
tidak hanya bisa berlayar dan berdagang, tetapi juga pandai membuat perahu (bangka),
mencari teman dalam berlayar (sabangka), dan membentuk jaringan dagang (langganan) di
setiap daerah yang didatangi saat mencari muatan atau menjajakan barang dagangan (Tahara,
dkk, 2015).
Tahapan sejarah pelayaran dan perdagangan maritim orang Buton yang menggunakan
bangka, sebagai sarana berlayar dengan pola ekspansi langke (merantau) dan papalele
(perdagangan keliling), melahirkan keinginan untuk hidup menetap di daerah yang sering kali
didatangi atau daerah yang hanya sekedar dilewati saat melaut. Ini didasarkan pada situasi
dan kondisi sebagian besar daerah Buton, Sulawesi Tenggara, tidak memungkinkan untuk
mengembangkan tanaman pangan (Zuhdi, 2014 : 293). Kepulauan Maluku, menjadi daerah
tujuan palayaran yang sangat dominan bagi pelaut Buton, sehingga melahirkan keinginan
mereka migrasi ke sana.
Migrasi orang Buton ke Pulau Seram, Maluku, seringkali kisahkan dalam mitos La Ode
Wuna. Tokoh fenomenal ini, banyak dikagumi oleh mereka. Dilukiskan sebagai makhluk
manusia setengah ular. Karena sebab tertentu, terpaksa meninggalakan tanah Buton. Lalu
mengembara ke Maluku, pada akhirnya diangkat oleh suku Alifuru sebagai raja (Sahulau) di
Pulau Seram. Demikian pula kisah, Kapita Pela, setelah terlibat konflik dengan pimpinan
sukubangsa Alifuru Kapitan Marsego, di wilayah Hoamual. Kedua kapitan itu lalu
mengangkat sumpah untuk saling melindungi, jadilah mereka saudara-angkat (pelagandong).
Ikatan tradisional tersebut, bagian dari stategi adaptasi migran Buton dengan penduduk lokal
(orang negeri) di Maluku. Dibeberapa kampung Buton di Seram Barat, pelagandong menjadi
simbol pesaudaraan di antara mereka.
Penguasaan terhadap sumber-sumber ekonomi oleh para migran di daerah Maluku,
belakangan memunculkan dikotomi “asli” dan “pendatang.” Beredaranya isu usir BBM
(Buton, Bugis, Makassar) dari Maluku pada masa konflik (1999), berakibat pada upaya orang
Buton untuk menemukan kembali tanah leluhur mereka. Akan tetapi, bagi mereka yang telah
mengakar dengan orang negeri di Maluku, memilih bertahan dan tidak kembali ke Buton.
Mereka yang bertahan ini, terutama yang menetap di pesisir pantai barat Seram (PBS)
khususnya pelaut; konflik tak lantas membatasi ruang gerak usaha mereka di laut. Di masa
konflik, mereka masih tetap berlayar mengarungi ruang samudara demi mencari hidup dan
kesejateraan.
Berangkat dari wacana tersebut, sejarah dan budaya maritim orang Buton, telah banyak
diungkap oleh para peneliti sejarah dan antropologi. Akan tetapi, kebanyakan kajian mereka
dipusatkan di daerah Buton dan Kepulauan Wakatobi. Sementara sejarah dan dinamika

272
migran Buton di Maluku, khusunya di PBS belum banyak yang ditulis. Itulah sebabnya,
makalah ini mengambil tema “Budaya Maritim Migran Buton di Pantai Barat Seram 1942-
2002.” Untuk memberi gambaran, maka akan diuraikan tentang latarbelakang migrasi
mereka, dinamika migran Buton dan kehidupan bahari mereka serta kondisi dinamis saat dan
pasca konflik Maluku.

Pidamara: Latarbelakang Migran Buton (sebelum 1942)


Kegiatan mencari damar di hutan pedalaman Maluku pada masa lalu dikenal dengan istilah
pidamara. Istilah ini merupakan perpaduan dua unsur budaya (bahasa) Buton dan Melayu
Ambon, Maluku. Asal kata pi dan damara. Pi bahasa Melayu Ambon, bermakna pergi.
Sedangkan damara, bahasa Buton Cia-Cia, berarti damar. Tidak ada data tertulis yang
memastikan kapan mereka pidamara? Akan tetapi, pidamara menjadi cerita kolektif migran
Buton PBS. Karena pidamara mereka bermukim di sana.
Damar secara tradisional digunakan pelaut untuk mendempul perahu, dupa dalam acara ritual
dan penduduk Maluku mengunakannya untuk sabun (Andaya, 2015: 86). Komoditi ini baru
memiliki nilai eknomomis dan harganya melambung tinggi di pasaran internasional, seiring
berkembangnya industri pernis dan cat di Eropa dan Amerika. Disusul Jepang dan Hongkong
pada pertengahan abad ke-19 (Miston, dkk, 2000). Puncak kejayaan perdagangan damar
terjadi pada awal abad ke-20. Komoditi damar pada tahun 1920-an, sedang “naik daun (La
Malihu, 1998: 120)., sehingga turut menarik pelaut Buton berlayar mencari damar ke
sejumlah hutan pedalaman Kepulauan Maluku, termasuk di Seram Barat. Pada tahun 1927
damar menjadi salah satu komoditas ungulan di Maluku Utara, selain kopra. Pedagang China,
bertindak sebagai pembelinya (Muhammad, 2012: 110). Demikian pula di Seram Barat,
bertindak sebagai pembeli damar adalah pedagang China.
Pohon damar banyak dijumpai di hutan pedalaman Seram Barat, diambil bebas kala itu.
Persaingan untuk mendapatkan komoditi ini, masih terbilang kurang. Meskipun di daerah
Buton, Muna dan sekitarnya, juga memiliki kawasan hutan damar. Akan tetapi banyak pula
orang Buton yang mencarinya, sehingga sedikit peluang yang dihasilkan dari usaha komoditi
itu. Karena itu, mereka berlayar ke Maluku dan memilih pedalaman Seram Barat. Sebagai
lahan garapan baru yang dianggap berpeluang, mendatangkan keuntungan dari usaha mencari
komoditi tersebut.
Setelah menyadari potensi sumberdaya alam di daerah yang didatangi itu, ternyata lebih baik
(subur) dan menjanjikan kesejateraan di masa mendatang. Kegiatan mencari damar sementara
waktu, beralih menjadi kegiatan mengelolah lahan pertanian (berkebun), dibarengi dengan
membuat rumah panggung (kakana) dilahan garapan itu, sebagai tempat tinggal. Pada
akhirnya menarik mereka menetap di sana. Kertarikan mengolah lahan pertanian ini
dodorong oleh kondisi daerah asal mereka (Wuta Wolio), tidak subur untuk bertani. Kegiatan
bartani ini, dilakukan sebelum mereka kembali membawa hasil (damar) ke wilayah barat
Indonesia. Pasalnya damar sebagaian dibawa pelaut ke luar Maluku, termasuk ke pelabuhan
Makassar, Gersik dan Surabaya. Hal ini berhubungan dengan peluang mendapatkan
keuntungan yang lebih besar. Menurut Dick (1987: 112, 115), pada tahun 1929 damar
menjadi salah satu komoditas yang banyak didatangkan perahu di pelabuhan Makassar di
samping kopra, rotan, dan kapok.
Kunjungan ke kota pelabuhan itu, tentu bukan hanya pelaut Bugis-Makassar, tetapi ada peran
pelaut Buton di sana. Sebelum berlayar ke kota pelabuhan tersebut, mereka menyempatkan
waktu untuk singgah di Buton, Pasarwajo atau daerah asal (kampung) mereka, mengambil
perbekalan atau hanya mengkut air minum. Pelaut inilah pemberi informasi kepada

273
keluarganya tetang kondisi kehidupan di Maluku, sehingga ketika mereka datang lagi di lain
waktu, telah banyak migran Buton yang ikut serta ke PBS. Pola ini terus berlangsung hingga
perlahan banyak terbentuk pemukiman penduduk di sana. Terbentuknya pemukiman di
kawasan pesisir PBS, mulailah terbangun jaringan pelayaran yang menghubungkan antara
Pasarwajo dengan Maluku yang semakin lama-semakin ramai (Malihu, 1998: 120-121).
Selain mereka datang mencari damar langsung di hutan pedalam Seram Barat, adapula yang
hanya berperan sebagai penyedia jasa angkutan antar pulau di Kepulauan Maluku.
La Sina (usia ± 100) dan beberapa temannya, berlayar dengan bangka Bunga Manuru dari
Buton ke PBS untuk mencari damar. Ia tidak dapat mengingat waktu kedatangganya saat itu,
namun menurutnya mereka datang pada masa Parinta Walanda (Pemerintahan Hindia
Belanda). Di Seram Barat, mereka pernah mengankut damar milik pedagang Cina di
Kampung Loki, tujuan Ambon dengan sistem sewah. Tidak hanya mereka, tetapi banyak pula
pelayar Buton datang mencari damar di hutan pedalaman Erang, Tanah Goyang, Loki,
Hunitetu, Kairatu, Tala, Seram Barat. Mereka biasanya berombongan ketika menelusuri
sejumlah hutan hingga tidur di pedalaman kawasan itu. Jenis damar yang dicari adalah damar
kaca (mata kucing). Selain damar mereka juga mengambil rotan, dan kayu gaharu
(wawancara 30 Maret 2016).
Setelah pendudukkan Jepang kegiatan mencari damar di hutan pendalaman Seram Barat,
termasuk penyediaan jasa angkutan terhenti. Jaringan pelayaran Pasarwajo-Seram Barat yang
tadinya ramai menjadi sepi (La Malihu, 1998). Ini disebabkan oleh ganguan keamanan tidak
menjamin kesalamatan mereka untuk mencari komoditas tersebut. Pedagang Cina yang
bertindak sebagai pembeli damar di Seram Barat, pergi meninggalkan daerah itu.
Pendudukkan Jepang ini, berpengaruh pula terhadap redupnya akses jaringan perdagangan
maritim Buton Pasarwajo-PBS.

Masa Penjajakan dan Penjajahan (1942-1949)


Migran Buton yang belum lama menetap di wilayah pesisir PBS, harus berhadapan dengan
penjajahan Jepang (1942-1945). Inilah dinamika kehidupan mereka di awal masa penjajakan
wilayah ini. Tentara Jepang menguasai kawasan PBS, setelah berhasil mengempur Belanda
dan sekutunya Australia yang berpusat di Kota Ambon pada 31 Januari 1942. Belanda
menyatakan sikap menyerah kepada Jepang, disusul sekutunya Australia. Jepang kemudian
mengambil alih kekuasaan atas atas wilayah Ambon, Seram dan sekitarnya (Pattikaiyhatu,
dkk, 1994: 70-71).
Tekanan psikologis atas hadirnya militer Jepang membuat mereka yang menetap di pesisir
PBS kembali dan merantau lagi ke tempat lain. Terutama setelah beredarnya informasi bahwa
Jepang akan menyunat ulang semua penduduk dewasa. Gelombang pertama yang kembali ke
Buton diangkut oleh dua perahu milik La Ode Bacaa, yaitu perahu irish Hindia (bertiang dua)
dipenuhi setidaknya 152 dan perahu Bintang Tembaga (bertiang satu), sekitar 130
penumpang. Kemudian belakangan menyusul perahu Cinta Barat dan Cinta Timur milik La
Madebu (La Malihu, 1998: 123).
Namun sebagian di antara mereka memilih bertahan dan menetap di PBS. Mereka yang
menetap ini, banyak yang merasakan sikasaan Tentara Jepang. Rakyat dilarang menyalakan
api pada malam hari, sehingga mereka harus makan di sore hari. Bila terpaksa makan malam,
mereka makan di tengah gelap gulita. Setelah adanya larangan menggunakan alat penerang.
Apabila ada yang berani menyelakan lampu malam hari, akan dilapor oleh mata-mata Jepang,
dari kalangan mereka sendiri. Apalagi fakta yang dialami saat itu, kondisi perang. Sebuah
perahu bangka Bunga Manuru, sementara naik dok di labuhan Hatawano, hancur terkena

274
bom. Akibat dari serangan udara Tentara Sekutu, membombardir Tentara Jepang yang
berpangkalan (pos siaga) di Kampung Hatawano. Beberapa buah bom itu jatuh di air laut,
menghantam kawanan ikan (make) di labuhan perahu kampung itu. “Banyak ikan (make)
mati, orang tidak dapat mengambilnya, takut terkena bom,” kata La Sina, melukiskan
(wawancara 03 Maret 2016).
Pertempuran udara Tentara Jepang melawan Sekutu di kawasan PBS masih segar dalam
ingatan para saksi sejarah. Itulah sebabnya, mereka mengatakan pesawat udara yang terbang
di kawasan PBS kala itu menakutkan, sehingga harus bersembunyi ke liang (gua) disetiapkali
mendengar bunyi pesawat. Menjelang akhir tahun 1944 kampung-kampung meraka
dikosongkan dan mengunsi ke pulau; Buru, Manipa, dan Kelang. Adapula yang mengunsi di
Kairatu dan Wasaerisa, Seram Barat. Namun, sebagian besar memilih mengunsi di Pulau
Manipa. Karena dianggap dekat bila dilayari perahu bangka dan mendayung perahu semang.
Pengunsian itu dilakukan, setelah adanya informasi untuk megosongkan wilayah PBS.
Pasalnya Tentara Jepang akan menduduki kawasan tersebut.
Untuk dapat bertahan hidup selama berada di Pulau Manipa, mereka mengolah sagu dan
membuat kebun. Kebun yang tanami jagung dan umbi-umbian lain sempat di panen.
Ditinggalkan setelah tersiar informasi Indonesia Merdeka, 17 Agustus 1945. Dilukiskan, pada
awal kedatangan dari tempat pengunsian itu, kampung mereka telah dipenuhi rerumputan.
Mereka memperoleh makanan dari kebun yang ditinggalkan (milik) Jepang. Umbi-umbian,
sayur-sayuran, dan lain sebagainya, melimpah ruah sehingga mereka berkata, makanan
banyak saat itu (La Sina, Yusuf; La Rahim wawancara, Maret 201 6).
Gelombang migrasi orang Buton ke PBS semakin meningkat pasca kemerdekaan, antara
tahun 1945-1949. Hai ini dipahami bahwa banyak orang Buton dari Sampolawa (Wuta
Wolio) datang dengan perahu ke Kampung Airpapaya dan menetap di sana. Keterangan yang
diperoloh penulis, bahwa ini merupakan gelombang ketiga dari tahapan migrasi mereka.
Sebelumnya pada masa pemarintahan Hindia Belanda. Di sana mereka membongkar hutan
dan bertani, setelah menghasilkan tanaman pangan. Para lelaki mulai berusaha di laut, kebun
ditinggalkan dan dirawat oleh istri dan anak-anak mereka. Inilah pola kehidupan orang Buton
yang menyeimbangkan darat dan laut.

Masa Eksis, Berdaya dan Ekspansi (1950-1998)


Kegiatan pelayaran dan perdagangan maritim orang Buton yang sempat redup di masa
pendudukan Jepang. Kemudian dikembagkan lagi pasca kemerdekaan Indonesia. Lepas dari
tahun 1950-an, mereka mulai eksis berlayar dan berdagang. Meskipun di periode ini, wilayah
pelayaran sebatas Ambon, Seram dan Buru. Peluang usaha niaga adalah hasil pertanian,
seperti buah pisang dan buah kelapa. Petani terkadang memanfaatkan perahu londe (semang)
untuk menjajakan barang dagangannya ke Kota Ambon. Ramainya perdagangan maritim ini
membentuk jaringan perdagangan Ambon-barat Seram. Kayu gergajian yang diproduksi
pelayar dari hutan terdekat di kawasan pesisir PBS dan daerah Kepulauan Maluku lainnya,
juga menjadi komoditi dagangan.
Menurut La Rahim, pada tahun 1950-an Ia dan 8 orang temannya, aktif melakukan usaha
perdagangan kayu di Ambon. Kayu diproduksi dari hutan terdekat kawasan pesisir PBS,
seperti di Tapinalo, Supi, Alang Hatualang dan Pulau Manipa. Jenis Kayu Besi yang menjadi
target pengolahan mereka. Pekerjaan dilakukan hingga berbulan-bulan lamanya. Dalam
sepohon Kayu Besi, biasanya memerlukan dalam waktu 10 hari kerja. Mengunakaan alat
potong gergaji buaya. Dapat menghasilkan 1-5 kubik/pohon. Kayu ini dipasarkan ke Ambon.
Di Ambon, harga jual kayu besi olahan kurang lebih Rp10.000/kubik. Jenis kayu koto dan

275
Samama, juga menjadi target perdagangan. Jenis kayu ini diolah menjadi papan. Kayu yang
dikerjakan meskipun dekat pantai, tetapi dianggap kayu hutan (ewang), sehingga pekerjaan
bebas dilakukan. Jika mereka memproduksi kayu di lahan (aong) milik orang lain (penduduk
lokal), mereka mengunakan sistem ngase, yakni bagian kampung (negeri). Di mana negeri
yang diwakil kepala negeri akan memperoleh sebagian dari hasil usaha itu. Setelah pekerjaan
berhasil dilakukan, berupa uang atau kayu olehan 1-2 kubik. Tergantung kesepakatan
sebelum pekerjaan dilakukan (wawancara, 01 Maret 2016). Pelayar tidak hanya
memproduksi barang dangangan, tetapi juga berperan sebagai penyedia jasa angkutan
penghubung Ambon-barat Seram dalam kurun waktu antar 1950-1959.
Setelah migran Buton telah berdaya dalam pengertian kehidupan ekonomi mereka lebih baik
dari periode sebelumnya. Mereka kemudian ekspansi pelayaran ke daerah lain, antara tahun
1960-1989. Kegiatan ini mendorong mereka keluar mencari hubungan dengan daerah lain.
Komunikasi dengan penduduk lokal di kepulauan Maluku berlangsung dengan baik.
Terutama saat mereka mencari muatan dan berdagang keliling. Mereka saling berbaur antara
satu dengan yang lain. Karena pelaut cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Sistem berusaha mereka, yakni barter, frak dan jual-beli. Namun, sistem jasa angkutan (frak)
lebih dominan bagi pelayar Buton di PBS. Daerah pelayaran untuk perolehan komoditi kopra,
misalnya selain di pesisir Pulau Seram (barat, hingga utara), Maluku Tengah, mereka juga
menjangkau Tobelo dan Madapolo, Maluku Utara, Flores, hingga Kofiyau, Papua. Komodi
kopra ini, paling ramai diperdagangkan di zona perdagangan maritim Laut Jawa. Terutama di
Pelabuhan Gersik, Surabaya, Probolinggo dan Banyuwagi, antara tahun 1960-1970-an. Masa
itu mereka sebut, masanya berlayar ke Jawa (pijawa-jawaa).
Sedangkan komoditi cengkeh, mereka memperolehnya langsung dari hasil produksi petani
sesama mereka di PBS, juga dipasarkan di Surabaya. Tanaman cengkeh mulai diusahakan
dilahan perkebunan mereka pada 1960-an. Kemudian baru dapat berproduksi tahun 1970-an.
Panen cengkeh ini, turut menarik perantau Buton datang menjadi kariawan pemetik buah
cengkeh, sehingga melahirkan terminologi perantau musiman. Ketika musim panen cengkeh
berakhir, perantau Buton kembali. Mereka yang kembali ini, menjadi keuntungan bagi pelaut
di PBS. Di saat membawa komoditi cengkeh ke Jawa, mereka juga mengangkut penumpang.
Komoditi dagangan yang tidak kalah pentingnya pada 1980-an, yakni talas (keladi). Keladi di
taman penduduk terbanyak di Pulau Banggai. Pelayaran keladi ini merupakan pelayaran yang
memotong arah angin bertiup, sehingga pelayaran tidak dibatasi oleh pola angin musim.
Keladi ditanam pada bulan Juli dan di panen pada bulan Juli tahun berikutnya. Kebanyakan
keladi dijual antara bulan Juli dan Desember setelah dipanen (Southon, 1985: 54, 57).
Sedangkan pelaut Buton dari PBS berdagang keladi bulan September sampai bulan Januari.
Pelayaran keladi dari PBS ke Banggai mengunakan angin selatan di tempuh dalam waktu 3-4
hari, sedangkan pelayaran balik menggunakan angin utara. Pada tahun 1987 harga keladi
dibeli Rp 500/kaleng, berisi 15 kg. Dijual papalele ke Pulau Buru, Kelang, pesisir PBS,
Ambon, dan Pulau-pulau Lease (Maluku Tengah) Rp1500/kaleng. Pada 1988 harga keladi di
Banggai melonjak naik Rp15.00/kaleng. Dijual di daerah Kepulaun Maluku menjadi Rp
4500/kaleng. Selain keladi, ubi kayu kering (kasubi kabangka) juga diangkut sebagai muatan
tambahan 200-300 kaleng. Di dalam perahu diletakan di atas tumpukan keladi. Ubi kayu
kering, sedikit lebih mahal Rp 2500/kaleng, dijual 4500/kalang. Komoditi makanan pokok
ini, khusus dijajakan untuk penduduk Buton di pesisir PBS. Pasalnya kurang laku bila dijual
kepada penduduk lokal di Maluku (Alibadi, wawancara 23 Maret 2016).
Hadirnya motorisasi perahu layar erat kaitannya dengan kemajuan teknik pelayaran yang
efektif dan dapat “memperpendek” jarak serta mempersingkat masa (waktu) pelayaran

276
(Hamid, 2011: 281). Pemotoran perahu layar di PBS baru dilakukan pada 1990-an dan
hampir merata pada 1993. Itulah sebabnya, beberapa pemilik perahu berkata, “mesin itu
masuk baru kemarin.” Artinya, mesin sebagai tenagga pengerak perahu belum lama
digunakan pelaut Buton di sana. Motorisasi perahu layar membuat pelayaran ke Jawa,
sebelumya dilakukan 1-2 kali bertambah menjadi 3 kali dalam setahun. Komoditi dagangan
pun bertambah pula, selain kopra adapula gagang, cengkeh, pala, dan coklat, dari Seram
Barat dipasarkan ke Gersik dan Surabaya. Jambu Mente, diperoleh pelaut dari pesisir PBS
dan dipasarkan di Bau-Bau. Sedangkan kacang tanah, dibeli dari Flores, diperdagangkan di
pesisir PBS dan Kota Ambon.
Pada tahun 1998 banyak pelaut Buton PBS berperan sebagai penyedia jasa angkutan antar
pulau. Kopra diangkut pelayar dari Pulau Buru ke Pelabuhan Bitung dan Luwuk. Pergi
membawa kopra dan pulang mengankut atap seng, besi, tehel, semen, dan sembako, milik
penumpang (pemilik muatan) dengan sistem sewah. Di akhir tahun ini pula, banyak nahkoda
perahu dari PBS tetangkap dan dipenjara. Karena perkara pengankutan kayu olahan oleh
aparat negara (kepolisian) melanganggap perbutan tersebut melangar hukum alias ilegal
loging. Alibadi, mantan nahkoda bangka Kurnia Selamat (25 ton), menekam di dalam penjara
atas perkara pengankutan kayu dari Pulau Buru ke Ambon akhir tahun 1998. Beruntung
sebelum putusan sidang, pecah kerusuhan di Ambon (1999), sehingga membuat perkaranya
tidak jadi diputuskan, Ia bebas dari tuntutan hukum (Alibadi, wawancara 23 Maret 2016).

Masa Kritis: antara Bertahan dan Kembali (1999-2002)


Di Maluku kurun waktu antara tahun 1999-2002 hampir sebagian besar daerah dilanda
konflik, Islam dan Kristen. Inilah masa kritis bagi masyarakat Maluku pada umumnya. Bagi
orang Buton, masa ini juga dikatakan masa kritis. Pasalnya wacana konflik ini, seringkali
dihubung-hubungkan dengan pengusiran etnis Buton, Bugis, Makasar (BBM) dari Maluku.
Diduga konflik terjadi selain karena kepentingan politik, juga atas dominasi ekonomi kaum
pendatang terutama kelompok BBM.
Indikasi terkait masalah tersebut dapat dibaca sebelum terjadi kerusuhan tahun 1999 ketika
beberapa orang Kristen di sebuah desa dekat Ambon bertikai dengan tetangganya yang
muslim; di tembok-tembok bangunan tertulis “usir BBM” (Coppenger, 2012: 43). Akibatnya,
banyak orang Buton kembali berupaya mencari tanah leluhur mereka, di Buton. Tercatat
sejak bulan Januari 1999 angka resmi menunjukkan, sekitar 160.000 migran Buton telah
kembali ke Buton sebagai pengungsi. Mereka berasal dari Ambon, Pulau Buru, Seram, dan
Maluku Tenggara, tetapi kebanyakan dari berasal dari Ambon (Palmer, 2004: 95-97). Mereka
yang kembali ke Buton hingga tahun 2000, tersebar di 20 kecamatan di Kabupaten Buton.
Jumlahnya telah mencapai 24.448 kepala keluarga atau 121.303 orang. Jumlah tersebut
sangat besar mencapai 26,36% dari total penduduk Kabupaten Buton (Muharam, dkk, 2000:
27).
Meskipun harus diperhadapkan dengan berbagai isu penolakan kelompok BBM, tetapi
sebagaian besar orang Buton di Kepulauan Maluku termasuk di PBS memiliki komitmen
bersama, tidak meninggalkan tanah kelahirannya itu. Mereka tetap menjalin hubungan
harmonis dengan anak negeri (penduduk lokal) di sana. Bagi pelaut Buton di PBS, meskipun
ditengah kondisi konflik, tetapi mereka tetap eksis melaut, berlayar dan berdagang. Mereka
aktif belayar membawa komoditi kopra ke Gersik, Surabaya dan Porbolinggo, meskipun
harus mempersenjatai diri dengan senapan dan bom rakitan. Menjaga kemungkinan bila
terjadi ancaman di laut termasuk bajak laut. Peluang usaha yang mereka geluti tidak hanya di

277
kawasan bagian barat, tetapi juga di wilayah timur, seperti Flores, dan Kofiyao, Papua,
dengan komoditas kayu olahan.
Ketika situasi keamanan di Maluku tidak kondusif, perhatian aparat kepolisian di Ambon
fokus pada pemulihan keamanan. Kondisi itu, dimanfaatkan sepenuhnya oleh para pelayar
dalam berusaha kayu olahan. Baik dengan cara jual-beli, maupun menjadi penyedia jasa
angkutan di Kepulauan Maluku dengan sistem sewah. Inilah kepandaian pelaut membaca
peluang bisnis di tengah situasi konflik Maluku. Karena itu, bagi pelayar-pedagang Buton di
PBS, bertahan dan melaut adalah pilihan hidup yang harus dijalani. Ini dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan juga biaya pendidikan anak mereka.
Pasca konflik Maluku, kecenderungan anak bersekolah menjadi salah satu faktor perahu tidak
memiliki jabatan koki. Pekerjaan memasak sebagai tugas utama seorang koki di dalam
perahu, menjadi tugas bersama para awak (sawi) saat pelayaran berlangsung. Kemudian
sempitnya ruang gerak pelayaran perahu karena banyaknya pelayar yang masuk Bui atas
perkara (ilegal loging) dalam angkutan kayu olahan, membuat pelaut Buton di PBS memilih
menjual perahu mereka. Sebagian ditinggalkan begitu saja, hingga dibirakan mati di tempat.
Bangka sebagai identitas budaya maritim orang Buton di PBS mati. Kini jejaknya pun sulit
dijumpai lagi. Kebanyakan pelayar-pedagang beralih profesi menjadi petani dan pencari ikan
di laut.

Kesimpulan
Budaya maritim telah mengantarkan orang Buton berjumpa dengan kawasan pesisir pantai
barat Seram. Dorongan berlayar ke daerah itu untuk mencari peluang yang bernilai ekonomis,
diantaranya damar. Kegiatan mencari damar (pidamara) di hutan pendalaman Seram Barat
menjadi latarbelakang migrasi mereka. Potensi sumberdaya alam di daerah yang didatangi
itu, telah menarik mereka mengelolah lahan pertanian, mendirikan pemukiman, dan akhirnya
menetap di sana. Faktor ini didasarkan pada kondisi alam dan kehidupan di tanah Wolio,
tidak memberikan harapan kesejateraan bagi mereka. Selain tanahnya tandus, juga dianggap
sempit untuk bertani. Itulah sebabnya mereka berlayar ke Maluku. Dinamika kehidupan
migran Buton di awal penjajakan wilayah, diperhadapkan dengan situasi penjajahan (Jepang),
sehingga mereka yang telah bermukim di sana, sebagian kembali ke Buton. Meskipun
demikian, ada yang memilih bertahan di Maluku. Kehidupan bahari dikembangkan sesudah
mereka berdaya dan benar-benar menetap di daerah itu. Mereka lalu melakukan ekspansi
pelayaran ke daerah lain guna memperoleh komoditi niaga dan menjajakan barang dagangan.
Hadirnya mesin pada 1990-an dapat menambah kecepatan ruang gerak menjangkau daerah
pelayaran. Aktifitas pelayaran mereka mengalami ganguan ketika pecah konflik Maluku.
Banyak orang Buton kembali mencari tanah leluhur mereka. Akan tetapi, kondisi dinamis itu
dianggap peluang bagi pelaut Buton di PBS. Mereka bertahan dan eksis melaut di tengah
hangatnya wacana usir orang Buton, Bugis, Makassar (BBM) dari Maluku. Motivasi mereka
melaut, selain untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga juga demi mendapatkan biaya
sekolah anak mereka.

Daftar Pustaka
Andaya, Leonard Y. 2015. Dunia Maluku: Indonesia Timur pada Zaman Modern Awal.
Terjemahan Septian Dhainiar Rahman. Yogyakarta: Ombak.
Coppenger, Caleb. 2012. Misteri Kepulauan Buton Menurut Sesepu dan Saya. Jakarta:
Adonai.

278
Dick, Howard W. 1975. ‘Perahu Shipping in Eastern Indonesia,’ part I, Bulletin Indonesian
Economic Studies, II : (2). Canberra: Australian National University. 69-107.
_____________, 1987. “Perahu Shipping in Eastern Indonesia in the Interwar Period”
Buletin of Indonesian Economic Studies, II (3). Canberra: Australian National University.
104-121.
Fox, James. J. 1995. ’Foreword’, dalam M. Southon. The Navel of the Perahu: Meaning and
Values in The Maritime Trading Economy of a Butonese Village. Canberra: Depteemen of
Anthropology Australian National University. Hlm. vii–xi.
Hamid, Abd. Rahman. 2011. Orang Buton: Suku Bangsa Bahari Indonesia. Yogyakarta:
Ombak.
Horridge, Adrian. 1986. Sailing Chaft Boat of Indonesia. Singapure: Oxford University
Press.
La Malihu, 1998. Buton dan Tradisi Maritim: Kajian Sejarah Tentang Pelayaran Tradisional
di Buton Timur di Buton Timur (1957-1995). Tesis. Tidak diterbitkan. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Michon, dkk. 2000. Cafter 7. The Damar Agro-Forests of Krui, Indonesia: Justice for Forest
Farmers. In C. Zerner (Ed): People, Plants and Justice: The Politics of Nature Conservation,
Columbia University Press. 159-203.
Muhammad, Syahril. 2012. Kesultanan Tarnate: Sejarah Sosial Ekonomi dan Politik.
Yogyakarta: Ombak.
Muharam, La Ode, dkk, 2000. Perubahan Sikap dan Etos Kerja Masyarakat Eksodus di Pulau
Buton. Laporan Hasil Penelitian. Tidak diterbitkan. Kendari. Universits Terbuka.
Palmer, Blair. 2004. Migrasi dan Identitas: Perantau Buton yang Kembali ke Buton Setelah
Konflik Maluku 1999–2002. Jurnal Antropologi Indonesia. Th XXVII, No.74.
Pattikayhatu, dkk. 1994. Sejarah Daerah Tamatis Zaman Kebangkitan Nasional di Daerah
Maluku (1900-1942). Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Southon, Michael. 1995. The Naval of The Perahu : Meaning dan Values ini The Maritime
Trading Economy of A Butonese Village. Departement of Anthropology, Research School of
Pasific and Asia Studies. Canberra: Australian National University.
Tahara, Tasrifin, dkk. 2015. Nilai Budaya Bahari Sabangka Asarope: Tradisi Pelayaran
Orang Buton. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Zuhudi, Susanto. 2014. Nasionalisme, Laut, dan Sejarah. Depok: Komunitas Bambu.

Sumber Lisan
Alibadi (umur 55 tahun). Wawancara di Amaholu 23 Maret 2016.
La Sina, (umur ± 100 tahun). Wawancara, di Amaholu, 30 Maret 2016.
La Rahim (89 tahun). Wawancara di Amaholu 01 Maret 2016.
Yusuf. (88 tahun). Wawancara di Amaholu, 17 Maret 2016.

279
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah lebih jauh ruang yang sesuai untuk meredam tantrum
anak autis di masa kini. Metode yang digunakan adalah dengan cara studi literature untuk
melihat terapi autis di masa lalu, wawancara terhadap pemilik yayasan dan observasi
lapangan di Yayasan Bunda Bening Bandung selama 1 bulan pengamatan.

Teori
A.Autis dan Ruang Interior
Autis adalah suatu gangguan pada perkembangan yang disebabkan oleh kerusakan pada otak
sehingga menyebabkan adanya gangguan pada berkembangnya perilaku, komunikasi,
kemampuan sosialisasi, belajar dan sensori (Peeters, 2004). Anak autis sering menghabiskan
waktu di dalam ruang seperti pada saat proses terapi maupun kegiatan sehari-hari yang
dilakukan di dalam ruang. Anak autis memiliki perilaku yang khusus dan sangat beragam,
diantaranya adalah suka menjentikkan jari, bergumam, membeo, mengepakkan sayap,
memicingkan mata, berjinjit, menjejerkan mainan, kebal terhadap rasa sakit, dll. Akan tetapi,
terkadang ketika anak merasa tidak nyaman, mereka akan menjadi tantrum (mengamuk)
meski tidak diketahui sebabnya. Oleh karena itu ada yang disebut dengan ruang tenang.
Ruang tenang (Quiet room) adalah ruangan yang berada di dalam suatu bangunan yang dapat
dipakai untuk meredam tantrum anak autis (Center for Autism Research, 2014).

PEMBAHASAN
A.Sejarah Autis di Indonesia
Istilah autis mulai muncul di Indonesia sejak tahun 1990. Yayasan pertama untuk anak autis
adalah yayasan autis Indonesia yang berdiri pada tahun 1997. Sampai saat ini, belum ada data
pasti mengenai jumlah penyandang autis di Indonesia. Dari catatan praktek dokter diketahui,
dokter menangani 3-5 pasien autis per tahun tahun 1980. (Buku Pedoman Penanganan dan
Pendidikan Autisme YPAC). Sebelum tahun 1990-an prevalensi ASD pada anak berkisar 2-5
penderita dari 10.000 anakanak usia dibawah 12 tahun dan setelah itu jumlahnya meningkat
menjadi empat kali lipat (Sutadi, 2003).

B. Terapi dan Ruang Terapi Autis di Masa Lalu


Pada artikel Life Magazine tahun 1965, dengan judul A Surprising, shocking treatment helps
far-gone mental cripples, Screams, Slaps and Love memperlihatkan metode terapi untuk
autis, bahwa jika anak tersebut berbuat baik maka berilah hadiah, apabila anak tersebut tidak
baik / menurut, maka berilah ganjaran. Pada masa itu, dikatakan bahwa autis adalah
seseorang yang tidak dapat melakukan kontak antar sesama manusia dan memiliki kegilaan /
kemarahan yang tidak terkendali dan membuat keadaan rumah berantakan / kacau.

281
secara alamiah terbentuk rapat dan dapat dijadikan benteng. Model seperti ini banyak
dijumpai di Jawa, Kalimantan, dan daerah-daerah yang memiliki tanah subur. Selain itu,
bentuk permukaan batu dan sungai yang berfungsi melindungi dari berbagai ancaman dapat
mengganti fungsi benteng. Model seperti ini dapat ditemukan di beberapa pantai dan daerah
sekitar aliran sungai, misalnya di pesisir Selatan Jawa, sebagian pantai di pulau Wangi-
Wangi, Kaledupa, Binongko, dan sungai-sungai besar di Kalimantan dan Sungai Jeneberang
di Sulawesi Selatan.
Benteng buatan sudah pasti bahwa pembentukannya terjadi karena intervensi atau
campur tangan manusia untuk berbagai fungsi. Bahan utama dari kategori benteng buatan
cenderung rapi, tersusun atas fungsi kosmologis, dan bahannya berasal dari daerah sekitar.
Bahan-bahan pembuatan benteng itu antara lain dari tanah liat berupa batu bata merah dan
batu alam, termasuk batu kapur. Benteng yang tersusun dari bata merah dengan kombinasi
bahan perekat dapat dijumpai di gerbang benteng pemukiman Kerajaan Majapahit di
Trowulan, Mojokerto Jawa Timur dan Benteng Somba Opu di Sulawesi Selatan.6
Benteng yang lebih rapi lagi dapat ditemukan di Fort (benteng) Roterdam Makassar,
Sulawesi Selatan, Benteng Amsterdam di Ambon, Benteng Vrede Brug di Yogyakarta, dan
Benteng Fatahillah di kota lama Jakarta (Batavia). Benteng-benteng yang sama dapat
ditemukan di Padang dan Lampung di pulau Sumatra. Sebagai gambaran, tentang model
benteng buatan memiliki pola struktur yang didesain rapi dengan struktur berdasarkan fungsi.
Umunya benteng buatan di berbagai sisinya difungsikan sebagai tempat mengawasi orang-
orang yang datang ke istana atau masuk dan keluar benteng.
Di Wakatobi, kedua jenis benteng, baik benteng alami maupun benteng buatan oleh orang-
orang lokal dapat ditemukan.7 Intervensi penguasa pada model benteng-benteng di Wakatobi
dapat ditemukan pada benteng Liya Togo di Wanci, Benteng Togo di Kaledupa (kini: Ollo),
Beteng Palahidu di Tomia, dan Benteng Wali di Binongko. Benteng-benteng lain sangat
minim sentuhan pada struktur benteng, terutama kerapian atau struktur dan estetikanya.
Benteng-benteng ini juga memberi indikasi bahwa penataan dan estetika benteng boleh jadi
menjadi pusat kekuasaan “raja” di tingkat lokal, sebagaimana tercermin dalam Undang-
undang Barata di kesultanan Buton.8
Benteng-benteng yang ukurannya lebih kecil dan terletak di daerah-daerah yang jauh
dari pusat benteng utama, dapat dibaca dalam dua perspektif, yakni di satu sisi benteng
tersebut merupakan bagian dari struktur birokrasi penguasa lokal yang pimpinanya masih
keluarga penguasa (umunya para bangsawan), dan di sisi yang lain, benteng-benteng kecil itu
merupakan benteng awal yang sengaja dibuat khusus untuk perlindungan dan pengawasan,
tidak dijadikan sebagai “istana”, pusat kekuasaan di bawah raja/penguasa lokal. Benteng-
benteng yang terdapat di beberapa lokasi di Wakatobi tampaknya terkait erat dengan struktur
birokrasi penguasa di wilayah itu.
Benteng pertama di Wakatobi, menurut penelitian penulis, diduga adalah Benteng
Tindoi. Sebelumnya benteng ini adalah pusat pemukiman dan tidak dimaksudkan sebagai
6
BPNB Makassar, Dari Kale Gowa Ke Somba Opu: Merajut Simpul-Simpul Pertahanan Kerajaan
Gowa Di Sulawesi Selatan (Makassar: Identitas Unhas dan Danarosi Media, 2013), hlm. 1.
7
Asumsinya di setiap pulau besar di kawasan itu, Kesultanan Buton menempatkan penguasa tertinggi,
meskipun tidak setingkat dengan penguasa Barata di Kaledupa. Konstruksi benteng dan Kultural (Fasilitas
seperti rumah ibadah, kuburan) pasti lebih rapi daripada benteng-benteng lainnya di pulau yang sama. Pendirian
benteng lain di pulau yang sama diyakini sebagai bagian dari struktur birokrasi atau kekuasaan yang diterapkan.
Boleh jadi menjadi pemukiman para pembesar atau penguasa baru atau keluarga raja atau penguasa berdasarkan
statusnya dalam struktur pemerintahan.
8
Pim Schoorl, Masyarakat, Sejarah, Dan Budaya Buton (Jakarta: Djambatan, 2003).

290
benteng pertahanan dari senjata yang memiliki kekuatan dahsyat seperti meriam atau bedil
Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda. Lokasinya di atas puncak tertinggi pulau Wangi-
Wangi dan masyarakat penghuni Tindoi sebelum Islam, beragama Hindu. Hal ini tampak dari
pemilihan pusat pemukiman di mana pada tradisi kosmologis Hindu, tempat tertinggi adalah
yang paling dekat dengan nirwana (surga). Nama Kadatua (Kedatuan, mirip konsep ruang
kekuasaan penguasa di Jawa:) sebuah daerah penyanggah pusat kerajaan.
Benteng di Kaledupa, Tomia, dan Binongko memiliki karakteristik yang sama dengan
wilayah tinggi menjadi pusat pembangunanan benteng pertama (awal). Untuk hal ini, dua
penjelasan bisa dihadirkan. Pertama, kawasan tinggi adalah pusat awal pemukiman dan
menjadi tempat pemimpin wilayah itu menjalankan kekuasaannya. Kedua, pada masa
peralihan agama (konversi) dari Hindu ke Islam, kawasan itu secara alami menjadi tempat
tertinggi yang memudahkan untuk kepentingan pengawasan dari gangguan musuh. Realitas
itu sebenarnya sangat rentan karena jika musuh yang menyerang dengan persenjataan berat
seperti meriam dari laut, maka dengan mudah satu kawasan (dalam benteng) dapat
dihancurkan. 9 Model pertahanan seperti ini tentu saja memenuhi kebutuhan di mana
gangguan keamanan baru datang dari mereka yang menggunakan transportasi laut yang
berukuran sedang dan mengandalkan layar. Model seperti ini di kenal dalam sejarah
Indonesia, biasa dilakukan oleh bajak laut. Dalam konteks inilah Benteng-benteng di
Wakatobi, tampaknya didirikan untuk keperluan ini, yakni untuk keperluan pertahanan dari
berbagai gangguan, terutama dari serangan bajak laut atau gangguan lain yang sifatnya rutin.
D. Benteng-Benteng di Wakatobi dalam Konteks Sejarah Lokal dan Global
Bagian ini memberi pemahaman bahwa benteng yang ada di Kabupaten Wakatobi pada
umumnya terkait erat dengan ideologi penciptaan benteng di tempat lain. Gagasan pembuatan
benteng tidak saja dilihat sebagai pusat pertahanan, pemukiman, perlindungan bagi logistik
untuk berbagai keperluan, dan ruang perlindungan bagi pemimpin suatu wilayah, melainkan
juga sebagai perpanjangan tangan atau hegemoni penguasa di pusat kekuasaan yang lebih
kuat. Indikasi itu tampak pada ciri benteng, dimana hampir seluruhnya, di dalam benteng –
benteng di Wakatobi terdapat makam. Benteng di Liya Togo, Tindoi, Togo (kini: Ollo),
Palea, Palahidu, dan benteng-benteng lainnya. Ciri ini memberi data dan informasi pada kita
di masa kini bahwa Kabupaten Wakatobi terintegrasi dengan kekuasaan yang lebih luas dan
dominan, terutama Kesultanan Buton sejak lama. Bisa jadi, kekuasaan lebih awal atau pada
saat bersamaan sudah ada di Wakatobi, sebelum kesultanan Buton memasukannya di dalam
wilayah kekuasaannya.10
Namun demikian, pertanyaan sejak kapan Kepulauan Wakatobi menjadi bagian dari Kerajaan
Buton, masih menjadi ‘misteri” mengingat negeri (kerajaan) Buton dibentuk dan menjadi
besar setelah 4 wilayah lain, dan disusul 72 wilayah di sekitarnya menyatakan bergabung
dengan kerajaan Buton.11 Selain itu dalam hikayat juga disebutkan bahwa, Kerajaan Buton
dalam proses pendiriannya terjadi perkelahian dengan dukun sangia.12

9
Bangsa yang melakukan penyerangan dengan meriam dengan ukuran berat dilakukan oleh bangsa
Eropa seperti Portugis, Spanyol, dan Belanda (di era VOC).
10
Fakta ini menunjuk pada wilayah Kerajaan Tiworo yang terintegrasi dalam Kekuasaan Kesultanan
Buton pada abad XVIII. Sebelumnya menjadi wilayah kerajaan Ternate.
11
Susanto Zuhdi, G.A. Ohorella, and D. Said, Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan
Buton (Jakarta: Depdikbud, 1996).
12
Lihat Susanto Zuhdi, “Labu Wana Labu Rope, Sejarah Butun Abad XVII – XVIII” Disertasi
(Jakarta: Universitas Indonesia, 1999). Juga; La Ode Rabani, “Menafsir Ulang Hikayar Sipanjonga Sebagai
SUmber Sejarah Buton, Konsekuensi Historiografis Dan Analisisnya,” in Menafsir Ulang Sejarah Dan Budaya
Buton, ed. M. Mu’min Fahimuddin (Baubau: Respect, 2011), 1–15.

291
Dalam konteks itu, maka sejarah benteng di Wakatobi dapat ditelusuri, dengan
mengemukakan pertanyaan, seperti; sejak kapan dan dalam konteks apa benteng-benteng
didirikan di Wakatobi, mengapa Wakatobi membutuhkan benteng. Faktor apa sajakah yang
mempengaruhi pendirian itu. Bagaimana dampak pendirian benteng bagi masyarakat dan
penguasa Wakatobi pada periode itu. Untuk menjawab pertanyaan itu, maka konteks
pendirian Benteng di dunia, Asia, dan Asia Tenggara khususnya di Nusantara perlu dibaca
sehingga kita mengetahui bahwa pendirian benteng adalah sebuah gagasan yang disebarkan
oleh orang-orang Eropa. Implementasi gagasan itu dilakukan di berbagai belahan dunia,
seperti Asia Selatan, Barat, Timur, Tenggara, termasuk di Nusantara dan lebih khusus lagi di
Wakatobi. Sisi unik dari pendirian Benteng di Wakatobi adalah mengapa dipulau yang kecil
itu harus mendirikan Benteng?
Konflik besar yang terjadi di Eropa berlangsung lama dan melibatkan dua negara besar,
Perancis dan Inggris. Perang memakan waktu lebih dari 100 tahun dan penyebabnya adalah
perebutan tahta. Perang kedua negara berlangsung sejak 1328-1454. Pada perkembangannya,
perang kedua negara terjadi lagi pada tahun 1601 dan terus mengalami pergolakan sampai
pertengahan abad ke-19. Perang ini mengalami pergeseran yakni dari perang yang
mengandalkan senjata bergeser ke perebutan dan persaingan perdagangan laut. Hal itu terjadi
karena adanya keuntungan yang besar dari kedua negara disebutkan bahwa permusuhan
dalam perang Eropa berlanjut di luar Eropa hingga Asia, termasuk ke Asia Tenggara. 13
Indonesia sebagai penghasil rempah-rempah dan menjadi tempat produksi komoditas
perdagangan utama dunia secara teoritis memperoleh dampak dari terjadinya perang itu,
terutama pada periode-periode awal abad XVI dan XVII.
Orang-orang Eropa sebagaimana yang dicatatat dalam Buku Rumphius, nampak bahwa
tujuan utama orang-orang Eropa dan para pedagang Melayu adalah memperoleh dan ingin
menguasai rempah-rempah yang ada di Kepulauan Maluku. Oleh karena rempah-rempah
yang diinginkan oleh banyak pedagang dan perusahaan, maka persaingan tidak bisa dihindari.
Terjadinya perang dan konflik yang menyertai perdagangan pada abad XVI mengindikasikan
kuatnya persaingan dagang di jalur rempah. Posisi Geografis Wakatobi yang berada di jalur
rempah dalam konteks itu, ikut terintegrasi di dalamnya, sehingga suka atau tidak suka harus
terlibat di dalamnya. Dengan cara pandang seperti itu, keberadaan warisan benteng di
Wakatobi bisa dipahami dengan baik.
Untuk menjelaskan pendirian benteng dalam konteks Asia Tenggara pada umumnya dan
Wakatobi khususnya, maka penjelasan dimulai dengan jatuhnya Kesultanan Malaka yang
disebabkan oleh intevensi Portugis yang mencapai puncaknya pada tahun 1511 Masehi.
Catatan Singgih Sulistiyo dalam makalahnya, historiografi maritim mengungkapkan bahwa
jatuhnya Kesultanan Malaka pada tahun 1511 telah membawa dampak pada terusirnya
sebagian besar para pedagang yang ada di Malaka. Para pedagang itu mencari daerah-daerah
baru yang lebih aman seperti di Makassar dan di kawasan Indonesia Timur. Kejatuhan
Kesultanan Malaka oleh penguasa Portugis yang menggunakan persenjataan meriam yang
memiliki efek dahsyat telah membekas pada para pedagang dan pelayar dari Malaka.
Memori atau ingatan tentang kedahsyatan senjata itu telah membawa dampak pada pencarian
cara baru dalam bertahan dari serangan senjata seperti meriam dan persenjataan berat lainnya.
Ide dan gagasan baru itu tampaknya diwujudkan dalam bentuk pembuatan benteng yang
menggunakan batu sebagai bahan pembangunannya.

13
Azwar Sutihat, “Aspek-Aspek Pemilihan Lokasi Benteng Lodewijk Di Selat Madura Dan
Keterkaitannya Dengan Strategi Pertahanan H.W. Daendels Di Jawa”, Skripsi (Yogyakarta: Gadjah Mada,
2008), hlm. 51.

292
6. ANALISIS
6.1. Konsep Pierre Bourdieu: Habitus, Capital, dan Field
Fokus utama perhatian Pierre Bourdieu sebagai seorang ilmuwan sosial sesungguhnya adalah
pada relasi sosial atau praktik sosial. Untuk memahami hal itu, Bourdieu memperkenalkan
trio kunci dalam mengkaji fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat: habitus, kapital,
dan arena. Ketiganya saling berkaitan, saling membangun, dan saling mempengaruhi. Tidak
ada yang lebih utama, dominan, atau bersifat kausal bagi yang lain. Sebelum membicarakan
mengenai peran habitus dan kapital dalam arena, definisi ketiganya harus terlebih dahulu
menjadi jelas.
Dalam definisi Bourdieu, habitus adalah struktur yang dimiliki oleh agen-agen sosial:
struktur yang distrukturkan (structured structure) dan juga menstrukturkan (structuring
structure). Habitus distruktur/ditentukan oleh sejarah masa lalu dan konteks masa kini
seorang agen sosial, sementara habitus menstruktur/menentukan persepsi, apresiasi, dan
perilaku sosial agen tersebut di masa kini dan masa depan. Struktur habitus sendiri tidaklah
tetap, ia berevolusi seiring waktu dan konteks kehidupan: habitus bersifat tahan lama
(durable) sekaligus dapat menyesuaikan diri (transposable). Secara sederhana, habitus
berfokus kepada bagaimana manusia bersikap, merasa, berpikir, dan hidup. Habitus
menggambarkan bagaimana manusia membawa sejarah hidupnya dalam dirinya, dan
bagaimana manusia membawa sejarah tersebut ke dalam lingkungan kehidupannya, yang
kemudian membuatnya berpikir, memilih, dan bertindak dengan cara tertentu dan bukan
dengan cara lain. Habitus adalah mengenai relasi antara kehidupan internal manusia dengan
kehidupan eksternalnya, antara kehidupan individualnya dengan kehidupan sosialnya
(Grenfell, 2008:53).
Kapital biasanya dipahami dalam konteks ekonomi, namun definisi Bourdieu mengenai
kapital lebih luas daripada sekedar masalah perekonomian. Kapital dalam pemikiran
Bourdieu adalah kepemilikan manusia dalam bentuk apapun yang dapat ditukarkan dalam
jaringan kompleks berbagai konteks kehidupan sosial manusia. Menurutnya, ada empat
bentuk kapital, yaitu: kapital ekonomi, kapital kultural, kapital sosial, dan kapital simbolik
(Grenfell, 2008:69). Kapital dapat ditransubstansiasikan dari yang material menjadi yang
imaterial, misalnya kapital ekonomi menjadi kapital simbolik berupa prestise dan kekuasaan.
Kepemilikan kapital menentukan posisi seorang individu di dalam arena sosialnya.
Sementara itu, arena (field) bagi Bourdieu adalah ruang sosial (social space) di mana
interaksi, transaksi, dan berbagai peristiwa sosial terjadi. Menurutnya, memahami arena
adalah memahami konteks historis ruang sosial tersebut secara spesifik dan menyeluruh,
termasuk bagaimana ruang tersebut muncul dan dimaknai sejak permulaannya. Arena sosial
yang dimaksud oleh Bourdieu merupakan arena dalam pengertian battle field, terdapat
nuansa kompetisi di dalamnya, sebuah arena yang self-contained, mempunyai kebiasaan dan
aturan sosialnya sendiri bagi setiap anggota yang hidup di dalamnya.
Ketiganya, bagi Bourdieu, saling terkait, saling membentuk, dan saling mempengaruhi satu
dengan yang lain. Mengenai hubungan ketiganya di dalam praktik sosial, Bourdieu
mengajukan persamaan berikut:
[(habitus) (capital)] + field = praktik sosial
Praktik sosial dihasilkan oleh relasi antara disposisi (habitus) dengan posisi seseorang
(capital), di dalam konteks arena sosial di mana ia berada. Praktik sosial yang dilakukan
tentunya bertujuan untuk memenangkan kompetisi di dalam arena tersebut. Oleh karena itu,

312
siapa yang memiliki habitus dan posisi (capital) yang paling strategis dan sesuai dengan
arena sosial di mana ia berada, ialah yang akan memenangkan kompetisi dalam arena sosial
tersebut. Perlu diingat bahwa habitus maupun kapital tidaklah bersifat fixed, keduanya dapat
berkembang seiring waktu dan konteks arena yang ada, sehingga habitus dan capital dapat
diubah, disesuaikan, dan dikembangkan (kapital juga dapat diakumulasikan dan
ditransubstansiasikan, sebagaimana telah dipaparkan di atas) untuk kemudian dapat
berkompetisi dengan lebih baik di dalam arena sosial.
Dalam merumuskan dan memaparkan semua ini, Pierre Bourdieu bukan sedang mencoba
membuat sebuah grand theory. Pemikiran utama Bourdieu mengenai habitus, kapital, dan
arena adalah sebuah metodologi yang field-oriented, yang dapat dipahami dengan lebih baik
dengan mengaplikasikannya langsung kepada contoh partikular yang terjadi di dalam
kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini, contoh permasalahan sosial yang sedang
diangkat adalah mengenai konflik etnis yang terjadi di Kalijodo.
6.2. Faktor Kausal Konflik Etnis Kalijodo
Peristiwa konflik etnis terbuka yang terjadi sedikitnya 4 kali dalam kurun waktu hanya 3
tahun merupakan akibat dari ketegangan yang sudah lebih dahulu terbentuk antar kelompok-
kelompok etnis di Kalijodo. Habitus primordial dan etnosentris6, yang diwariskan di dalam
masing-masing kelompok suku dan – tak bisa dihindari – juga mewarnai praktik-praktik
sosial kelompok-kelompok tersebut menyebabkan masing-masing suku (khususnya
Makassar/Bugis, Mandar, dan Banten) berusaha memenangkan dominasi atas suku yang lain
di arena lokalitas Kalijodo.
Dominasi ini berusaha dimenangkan dengan cara berusaha memenangkan terlebih dahulu
pundi-pundi ekonomi (economic capital) di dalam lokalitas itu. Sebab menurut Bourdieu, dan
memang demikian realitanya di dalam masyarakat, economic capital yang bersifat materil
dapat membawa individu/kelompok masyarakat untuk mendapatkan capitals lain yang
bersifat non-material, misalnya prestise, kedudukan, superioritas, dan kekuasaan.
Demikianlah kita dapat memahami mengapa perebutan ‘keran’ ekonomi dari bisnis perjudian
itu dapat mengakibatkan sentimen, kebencian, dan konflik kelompok yang sedemikian serius
di dalam masyarakat multietnis seperti Kalijodo: karena suku yang memiliki economic
capital tertinggi akan menjadi suku dengan kedudukan sosial yang tertinggi pula. Ini
diinginkan oleh masyarakat yang masih bersifat primordial. Persaingan untuk
mendapatkannya membuat mereka menjadi sangat sensitif terhadap satu sama lain.
Perebutan dominasi atas dasar primordialisme dan etnosentrisme ini akhirnya, disadari atau
tidak, menjadi struktur yang membentuk kehidupan sosial masyarakat Kalijodo. Praktik
sosial yang kemudian menjadi output-nya adalah ledakan konflik-konflik etnis sebagaimana
dapat kita lihat dengan jelas sepanjang 2001-2003.
6.3. Kritik terhadap Solusi Polda Metro Jaya 2003
Analisis faktor kausal di atas mengimplikasikan bahwa pebongkaran dan penghentian
perjudian Kalijodo, sebagaimana dilakukan oleh Polda Metro Jaya pada 2003, tidaklah dapat
menjadi solusi final bagi konflik antar etnis di lokalitas tersebut. Solusi tersebut hanya dapat
menjadi solusi jangka pendek dan superfisial dari sebuah kompleksitas ketegangan etnis.

6
Sikap etnosentris adalah kecenderungan untuk memandang dunia melalui cara pandang kebudayaan etnisnya
sendiri. Istilah ini lebih banyak diartikan secara negatif, yaitu sebagai ketidakmampuan untuk melihat orang lain
dengan cara di luar latar belakang budaya seseorang. Etnosentrisme memandang kelompok etnisitas yang lain
sebagai inferior/lebih rendah (Healey, 1998: 37).

313
Relitanya, seandainya perjudian di daerah itu betul-betul berhenti pun (sebab beberapa
sumber menyatakan bisnis perjudian Kalijodo tidak mati pada 2003), majalah Tempo bulan
Februari 2016 memuat data omset kawasan lokalisasi Kalijodo – tanpa perjudian – adalah
sebesar sekitar 1.000.000.000 sampai 1.500.000.000 rupiah per hari. ‘Keran’ perekonomian
masih mengalir begitu deras.
Demikianlah sejak 2003, perebutan dominasi tidaklah berhenti. Perebutan itu hanya bergeser:
dari perebutan bisnis perjudian bergeser menjadi perebutan dominasi bisnis prostitusi dan
minuman keras. Daeng Aziz dari Makassar yang kemudian memenangkan perebutan itu dan
menjadi penguasa kedua bisnis ini.

III. KESIMPULAN
Selain cerita ‘kehidupan malam’ yang melekat dengannya, lokalitas Kalijodo rupanya juga
menyimpan cerita kehidupan sosial yang lain, yakni permasalahan multietnisitas. Di dalam
pembahasan kali ini, yang terutama dibahas adalah ledakan-ledakan konflik pada 2001-2003,
yang terutama melibatkan kelompok etnis Makassar, Mandar, dan Sunda. Habitus kehidupan
sosial yang masih berstruktur primordialisme dan etnosentrisme ditengarai menjadi inti
permasalahan, yang membuat kelompok-kelompok etnis memiliki keinginan untuk menjadi
kelompok yang memegang dominasi di wilayah Kalijodo. Usaha memenangkan dominasi ini
membuat kelompok-kelompok etnis saling bersaing untuk menguasai economic capital –
yang angkanya sama sekali tidak kecil – di dalam lokalitas itu guna mendapatkan capital
yang lebih besar: kekuasaan dan prestise.
Pemerintah melalui Polda Metro Jaya pada 2003 berusaha menghentikan konflik yang ada
dengan cara menutup dan menghentikan praktik perjudian, yang pada saat itu menjadi salah
satu sumber pemasukan ekonomi terbesar, di Kalijodo. Berdasarkan analisis yang ada, usaha
tersebut dipandang tidak memadai untuk menghentikan konflik etnis, sebab penutupan
tempat perjudian (kalaupun benar-benar berhasil) hanya menghentikan salah satu bentuk
persaingan penduduk, sementara inti permasalahan bukanlah pada perjudian itu sendiri.
Lagipula sumber pemasukan ekonomi kehidupan malam Kalijodo masih terbuka sangat lebar.
Sejak awal tahun 2016, kawasan lokalisasi Kalijodo telah menjadi rata dengan tanah.
Penggusurannya tidaklah berhubungan dengan masalah konflik etnis, namun praktis, ledakan
konflik dan kekerasaan etnis yang pernah terjadi pada 2001-2003 tidak akan terulang lagi di
tempat yang sama. Tidak berarti permasalahan itu selesai. Ke mana kelompok-kelompok
etnis itu pergi dan bagaimana mereka melanjutkan hidup dapat diteliti di kemudian hari.
Lebih jauh lagi, permasalahan indentitas bangsa dan ketegangan multietnisitas sesungguhnya
bukan hanya milik Kalijodo, melainkan milik Indonesia. Solusi jangka panjang diperlukan
bagi permasalahan sebuah bangsa plural yang belum lagi satu abad menghidupi
kemerdekaan.
DAFTAR PUSTAKA

Koran dan Majalah:


Pos Kota. 2001. Kisruh Kalijodo. 17 Mei.
Pos Kota. 2002. Kalijodo, Puluhan Perusuh Diamankan. 12 Februari.
Warta Kota. 2002. Kembalikan Harmoni Kehidupan Kalijodo. 28 April.
Berita Kota. 2002. Kalijodo Rusuh Lagi, 7 Orang Kena Panah. 30 April.

314
Warta Kota. 2003. Luka-luka di Kalijodo. 10 November.
Tempo. 2016. ‘Surga’ di Tepian Angke. 26-28 Februari. 34-35.
Kompas. 2016. Kalijodo Siap jadi Taman Seluas 4 Hektar. 29 Februari. 25
Buku:
Grenfell, Michael (Ed.). 2008. Pierre Bourdieu: Key Concepts. Trowbridge, UK: Acumen.
Hull, Terence H. Endang Sulistyaningsih. Gavin W. Jones. 1997. Pelacuran di Indonesia:
Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan & The Ford Foundation.
Koentjaraningrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit
Djambatan.
Krisna, Yuyu A.N. 1979. Menyusuri Remang-Remang Jakarta. Jakarta: Sinar Harapan.
Murti, Krishna. 2004. Geger Kalijodo: Kisah Polisi dan Mediasi Konflik. Jakarta: Ideapress.
Sylado, Remy. 1999. Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Webb, Jan. Tony Schirato. Geoff Danaher. 2002. Understanding Bourdieu. London: Sage
Publications, Ltd.
Tesis yang Belum Dipublikasikan:
Prabowo, Listyo Sigit. 2005. Efektivitas Mediasi oleh Kepolisian dalam Penanganan Konflik
Etnis di Kalijodo. Jakarta: Universitas Indonesia.
Suardana, I Ketut. 2000. Kehidupan Pelacur di Pemukiman Kumuh Liar Kalijodo RW 05
Kelurahan Pejagalan Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara. Jakarta: Universitas Indonesia.

315
Ayam Mati dalam Lumbung: Kelaparan di Wilayah Sentra Beras Nasional Karawang
pada 1970-an
R. Muhammad Mulyadi
Program Studi Sejarah
Universitas Padjadjaran

Abstrak
Karawang yang terletak merupakan salah satu daerah tingkat II di Jawa Barat sampai kini
dikenal sebagai salah satu daerah penghasil beras yang utama di Indonesia. Hal itu
sebenarnya sudah berlangsung sejak zaman Hindia Belanda. Demikian juga pada masa Orde
Baru, Karawang dijadikan daerah sentra penghasil beras nasional. Bahkan pada masa Orde
Baru, tepatnya tahun 1975, di Karawang dibangun pabrik penggilingan beras nasional yang
diresmikan oleh Presiden Soeharto. Hal itu menandakan bahwa pada 1970-an produksi beras
di Karawang sangat besar jumlahnya. Akan tetapi, ironisnya di daerah sentra penghasil beras
inilah terjadi peristiwa kelaparan. Penduduknya banyak yang tidak dapat menikmati beras
yang dihasilkan daerahnya. Melalui makalah ini akan dijelaskan faktor-faktor yang
meatarbelakangi terjadinya peristiwa tersebut, baik dalam segi teknis pertanian maupun
faktor budaya lokal yang menyebabkan terjadinya peristiwa tersebut. Selain itu, makalah ini
juga akan memperlihatkan tanggapan dan tindakan yang dilakukan oleh Orde Baru terhadap
peristiwa kelaparan tersebut. Peristiwa ini sangat memukul “wibawa” pemerintah Orde Baru,
karena pada saat itu pemerintah sedang menggiatkan pembangunan pertanian sementara di
daerah sentra penghasil berasnya sendiri terjadi kekurangan beras sebagai pangan utama
masyarakat Indonesia.

Kata kunci: Karawang, Beras, Kelaparan, Orde Baru.

Latar Belakang
Pada tahun 1977 di beberapa wilayah di Indonesia, terutama wilayah Pulau Jawa,
terjadi peristiwa kelaparan. Di antara wilayah yang paling parah dilanda kelaparan adalah
wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat (Kompas, 20 Oktober 1977: VIII). Penyebab utama
dari peristiwa kelaparan pada 1977 adalah gagal panen di provinsi-provinsi yang dilanda
kelaparan. Kegagalan panen secara umum terutama disebabkan oleh musim kemarau yang
berkepanjangan, banjir dan serangan hama. Salah satu indikasi kegagalan panen adalah
tingginya jumlah impor beras selama tahun 1977 dibandingkan tahun sebelumnya. Pada
1977 Indonesia telah mengimpor beras sebanyak 2 juta ton dari berbagai negara. Jumlah
tersebut lebih tinggi apabila dibandingkan tahun 1976 yang mencapai 1,6 juta ton. Di
samping disebabkan kegagalan panen pada 1977, memang naiknya jumlah impor beras juga
disebabkan oleh terjadinya peningkatan konsumsi pada masyarakat1
Karawang merupakan bagian dari provinsi Jawa Barat yang paling parah menderita
kelaparan apabila dibandingkan daerah-daerah lainnya. Ketua Penanggulangan Bencana
Alam Pusat dan Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Pertahanan dan Keamanan, Brigjen
Jahmun Sudjono mengemukakan bahwa penilaian tersebut berdasarkan atas angka penduduk
1
Bustanul Arifin, Kepala Badan Urusan Logistik – Bulog – dalam Kompas, 2 Desember 1977: I.

316
yang menderita kelaparan mencapai 50 ribu jiwa. Jumlah angka penderita kelaparan tersebut
sama dengan angka yang dikemukakan Bupati Karawang, Tata Suwanta Hadisaputra
Sementara daerah Karawang yang paling parah menderita kelaparan adalah Kecamatan Pedes
(Kompas, 20 Oktober: VIII).2
Gambaran mengenai tingkat keparahan lainnya adalah jumlah korban yang besar. Hal
itu dapat dilihat dari salah satu desa di kecamatan Pedes yang menderita kelaparan menurut
Kepala Desa Dongkal adalah 5.000 jiwa. Sementara jumlah keseluruhan masyarakat desa
Dongkal adalah 9.700 jiwa (Kompas, 20 Oktober 1977: VIII). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa korban kelaparan di desa Dongkel adalah hampir 50%.
Tingkat keparahan tersebut juga dapat diketahui dengan melihat konsumsi makanan
penduduk Karawang yang kelaparan tersebut yaitu eceng gondok (eichhornia crasssipes).
Suatu tumbuhan yang tidak biasa dikonsumsi oleh manusia (Tito Subakti. Kompas, 21
Oktober 1977: IV dan IX). Menurut penduduk Desa Dongkal Kecamatan Pedes, di antara
mereka ada yang sudah tiga hari tidak makan nasi. Bahkan seorang penduduk mengakui
sudah tujuh hari hanya makan dedaunan saja (Kompas, 20 Oktober 1977: VIII).
Bupati Karawang Tata Suwanta Hadisaputra menolak berita-berita yang menyatakan
telah terjadi kelaparan di Karawang, dia menyatakannya dengan istilah kekurangan makan.
Istilah lainnya yang digunakan oleh Bupati adalah kurang makan.3
Gubernur Jawa Barat, A Kunaefi menyatakan bahwa situasi Jawa Barat saat itu bukan
merupakan “rawan pangan” tetapi merupakan “rawan beras” pada tingkat ringan sekali,
karena menurutnya masih ada bahan pangan lain di samping beras. Produksi karbohidrat di
Jawa Barat sudah cukup tinggi yaitu sekitar 165 kg ekivalen beras untuk setiap orang per
hari, termasuk komponen nonberas sekitar 10% (Pikiran Rakyat, 17 Oktober 1977: 1dan
Berita Yudha, 21 Oktober 1977: 1977: IV)). Meskipun pada dasarnya menyatakan bahwa
persediaan beras di Jawa Barat mencukupi, ketua Depot Logistik (Dolog) Jawa Barat, Lily
Kusumah menyatakan bahwa yang terjadi di Karawang adalah lemahnya daya beli
masyarakat (Berita Yudha, 1977: IV).
Terlepas dari istilah-istilah yang mengindikasikan adanya kelaparan atau rawan beras
dan kekurangan daya beli, pada kenyataannya pada Nopember 1977 penderita pra-HO
(Honger Odeem atau busung lapar) di Kecamatan Batujaya Karawang seluruhnya mencapai
60 orang. Sebelumnya dilaporkan jumlah penderita 28 orang (Kompas 1 Nopember 1977).
Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kecamatan Batujaya dr. Suryana Affandi
dalam laporannya kepada Bupati pada 1 Nopember 1977 melaporkan bahwa 36 penderita
berasal dari Desa Srikamulyan, dan 24 penderita dari Desa Kutamakmur. Sejumlah 15 di
penderita di antaranya telah dikirim ke Rumah Sakit Umum Karawang (Kompas, 19
Nopember 1977: VIII). Menurut mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara
yang mengunjungi pasien pada akhir Oktober, di antara pasien rumah sakit sudah terkena HO
sebanyak 3 orang, mereka bukan pra HO lagi. Bahkan di antara penderita HO tersebut ada
yang sudah tidak dapat berjalan (Sinar Harapan, 1 Nopember 1977: I dan Merdeka, 1
Nopember 1977: VIII)).

2
Menurut Harian Kompas pada tanggal yang sama, jumlah penderita sebenarnya terus bertambah. Solichin GP,
Sekdalopang juga menyatakan bahwa jumlah penderita kelaparan adalah 50 ribu jiwa (Kompas, 4 Oktober 1977.
Hal I). Lihat juga Pelita, 8 Oktober 1977: I).
3
Tito Subakti. “Segi Lain dari Kegagalan di Desa Rangdu.” Kompas, 21 Oktober 1977. Hal IV dan IX. Lihat
juga Berita Buana, 17 Oktober 1977.

317
Presiden Soeharto, sudah sejak awal Oktober 1977 menginstruksikan kepada semua
aparat negara dari Pusat, Provinsi dan Kabupaten untuk memberikan prioritas utama kepada
persoalan kelaparan di Karawang. Presiden Soeharto juga mengutus Solihin GP selaku
Sekretaris Pengendalian Operasionil Pembangunan (Sekdalopbang) untuk mengetahui lebih
dalam masalah kekurangan pangan di Karawang (Pikiran Rakyat, 1 Oktober 1977 dan Pelita,
3 Oktober 1977: I).

1. Faktor-faktor Terjadinya Bencana Kelaparan


Dari hasil kunjungannya ke lapangan, Solihin GP menyatakan bahwa memang
terjadi kekurangan pangan di masyarakat Karawang yang sudah mengkhawatirkan. Apabila
tidak ditangani secara cepat akan mengakibatkan terjadinya penyakit busung lapar. Mengenai
faktor-faktor penyebab bencana kelaparan Solihin GP menyebutkan adanya kegagalan panen
yang disebabkan oleh faktor alam, yaitu kekeringan dan banjir serta serangan hama. Faktor
lainnya adalah masalah sistem monokultur yang diterapkan oleh petani. Di luar masalah
faktor alam dan masalah teknis pertanian Sekdalopbang juga menyoroti masalah administrasi
pemerintahan, pemerintah setempat kurang memperhatikan masalah pertanian, terutama
Pemerintah Daerah Tingkat II Karawang. Berikut akan dibahas mengenai faktor-faktor
terjadnya bencana alam berdasarkan surat-surat kabar yang memberitakan masalah kelaparan
di Karawang pada 1977.

1.1. Faktor Alam


Peristiwa kelaparan di Karawang diawali dengan rentetan kejadian kegagalan panen.
Kegagalan panen di daerah Karawang sering disebabkan oleh adanya pengaruh iklim yaitu
kekeringan dan hujan berlebih yang menyebabkan banjir dan serangan hama. Hal itu
misalnya terjadi di Kecamatan Pedes, Rawamerta dan Batujaya, pada musim tanam (MT)
1975/1976 mengalami banjir, MT 1976 karena kekeringan dan serangan hama, MT
1976/1977 karena banjir, dan MT 1977 karena kekeringan, serangan hama dan penyakit
tanaman (Her Suganda. Kompas, 10 Desember 1977: II).4
Pada 1977 banjir yang melanda Karawang terjadi pada Januari dan Februari, akibat
banjir tersebut belasan ribu hektar tanaman padi petani rusak.
Pada 1977, sampai awal Maret, luas area sawah yang rusak diakibatkan banjir adalah seluas
11.209 Ha. Selain curah hujan yang tinggi, banjir yang terjadi di Karawang pada saat itu
disebabkan oleh bobolnya tanggul sungai Citarum (Merdeka, 21 Maret 1977: VII).
Sementara menurut Bupati Karawang banjir yang kerap terjadi di Karawang disebabkan oleh
karena sungai Cibeet dan sungai Cigeuntis belum menjadi anak waduk Jatiluhur. Selama dua
sungai itu belum menjadi anak waduk Jatiluhur maka banjir masih akan terus terjadi (Berita
Buana, 17 Oktober 1977).
Pada Maret 1977 tanaman padi di beberapa kecamatan di Karawang diserang hama
wereng. Beberapa kecamatan yang sawahnya mengalami serangan wereng adalah Batujaya,
Rengasdengklok, Jatisari, Cilamaya, Cikampek dan Pedes (Merdeka, 21 Maret 1977: VII).
Mengenai jenis hama yang paling ditakuti oleh para petani di Karawang adalah hama wereng,
walangsangit, lembingbatu dan tikus (Pikiran Rakyat, 6 Desember 1977: VIII). Areal
pesawahan yang jadi sasaran hama wereng tidak hanya tanaman padi yang berumur satu atau
4
Lihat juga Tito Subakti. “Segi Lain dari Kegagalan di Desa Rangdu.” Kompas, 21 Oktober 1977. Hal IV dan
IX.

318
dua bulan, tetapi juga di antaranya adalah padi yang telah menguning dan siap untuk dipanen
(Merdeka, 21 Maret 1977: VII).
Sampai awal Maret 1977, luas area sawah yang terkena serangan hama wereng sekitar
8.929 Ha. Hama wereng yang menyerang Karawang berasal dari daerah Subang. Akibat
curah hujan yang tinggi di daerah Karawang telah menyebabkan kelembaban udara yang
tinggi. Kondisi udara tersebut merupakan suatu hal yang disukai wereng. Sebagian besar
tanaman padi yang terserang wereng adalah jenis Pelita dan jenis lokal. Sementara tanaman
padi jenis PB 26, PB 28, PB 30 dan PB 34 tidak terkena serangan hama (Merdeka, 21 Maret
1977: VII).
Sampai 1977 pemerintah Jawa Barat mengakui kesulitan untuk mengatasi serangan
hama wereng. Meskipun pestisida sudah disemprotkan melalui udara dengan mengunakan
pesawat ringan. Termasuk upaya menanam padi varietas unggul tahan wereng. 5 Menteri
Pertanian, Toyib Hadiwidjaya juga mengakui bahwa meskipun upaya-upaya intensifikasi dan
ekstensifikasi serta pemenuhan sarana produksi sudah dilakukan, tantangan serta hambatan
termasuk serangan hama dan penyakit tanaman akan tetap muncul (Pelita, 10 Agustus 1977:
VI).

1.2. Masalah Perhatian Pemerintahan


Masalah kurangnya perhatian dari aparat pemerintahan adalah tidak mengetahui
ataupun tidak melaporkan peristiwa adanya kekurangan pangan di daerahnya. Selain itu,
penyuluh-penyuluh pertanian juga gagal mengetahui gejala-gejala akan berlansungnya
kegagalan panen. Padahal kondisi tersebut sebetulnya dapat dipantau oleh pemerintah dan
penyuluh pertanian (Tito Subakti. Kompas, 21 Oktober 1977: IV dan IX).
Menurut Theodorus Walandouw, Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia DPR RI
dari hasil kunjungannnya ke desa-desa yang merupakan desa kurang pangan diperoleh
keterangan bahwa di daerah terjadinya peristiwa kelaparan sudah terjadi empat kali gagal
panen. Apabila daerah-daerah tersebut mengalami panen dua kali dalam setahun, berarti
sudah dua tahun mengalami gagal panen. Akan tetapi mengapa para pejabat pemerintah di
daerah tersebut tidak melaporkannya ke atasan. Apabila pejabat tidak lalai dan melaporkan
peristiwa tersebut sejak awal dan melakukan tindakan pencegahan kelaparan maka peristiwa
kelaparan tidak akan terjadi (Berita Buana, 17 Oktober 1977 dan Berita Yudha, 15 Oktober
1977: I ). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Solihin GP, bahwa keterlambatan antisipasi
kelaparan disebabkan oleh kurang aktifnya pejabat-pejabat daerah turun ke lapangan (Berita
Yudha, 4 Oktober 1977: I).
Akan tetapi permasalahannya tidak sesederhana apa yang dikatakan oleh Theodorus
Walandouw, masalah gagal panen merupakan masalah yang memperlihatkan ketidakcakapan
kerja aparat pemerintah dari tingkat desa sampai dengan tingkat gubernur, maka peristiwa
gagal panen sering tidak dilaporkan ke atasan. Demikian juga berita mengenai kegagalan
panen yang menyebabkan kelaparan ditutupi rapat-rapat. Apabila berita tersebut sampai
terdengar ke atasan bahkan sampai ke masyarakat luas maka akan merasa malu karena dinilai
tidak cakap dalam bekerja. Oleh karena itu, sering bawahan membuat laporan yang hanya
menyenangkan atasannya saja. Pada masa Orde Baru dikenal dengan istilah “Asal Bapak
Senang atau disingkat ABS” (Tito Subakti. Kompas, 21 Oktober 1977: IV dan IX dan
Kompas 28 Oktober 1977).

5
R Sabur Nataprawira, Kepala Dinas Pertanian Jawa Barat dalam Kompas, 19 Oktober 1977.

319
Rasa malu karena dapat dianggap tidak cakap bekerja dan daerahnya diketahui oleh
masyarakat luas bahkan oleh pemerintah di atasnya mengalami kelaparan maka Bupati
Karawang pun melampiaskan kekesalanya kepada lurah Desa Rangdu Kecamatan Pedes, H
Juddin. Lurah yang dianggap sebagai penyebab tersiarnya berita kelaparan di Karawang
tersebut diberhentikan dengan hormat oleh Bupati. Alasan Bupati memberhentikannya
adalah bahwa bahwa lurah tersebut memiliki kesehatan fisik yang buruk. Setelah 5 tahun
masa baktinya dan sering sakit, oleh karena itu Bupati tidak menugaskannya kembali dan
menunjuk lurah baru yang dipandangnya lebih muda dan gesit (Berita Buana, 17 Oktober
1977). Akan tetapi sebenarnya lurah yang diberhentikan tersebut tidak dalam keadaan sakit.
Demikian pula penduduk Desa Rangdu masih mendukungnya. Hanya saja H. Juddin yang
telah menjadi lurah selama 12 tahun tersebut pernah melaporkan kepada Bupati bahwa
penduduk di desanya menderita kelaparan. Laporan tersebut kemudian sampai tersiar ke
masyarakat banyak, bahkan sampai ke pemerintah pusat. Bupati tampaknya tidak dapat
menerima keadaan tersebut terutama dengan istilah “kelaparan” (Merdeka, 30 Oktober 1977:
I).
Alasan pemberhentian karena telah melaporkan peristiwa kelaparan tersebut
dikuatkan dengan keterangan yang berbeda dari bupati kepada gubernur yang menyatakan
bahwa alasan pemecatan adalah masa jabatan yang telah melampaui dari seharusnya, yaitu 10
tahun. Menurut gubernur bahwa masa jabatan seorang lurah adalah 8 tahun.6 Apabila dilihat
dari masa jabatan yang dinyatakan bupati selama 10 tahun, sementara sebenarnya lurah H
Juddin yang diberhentikan mengakui telah menjadi lurah selama 12 tahun, maka mengapa
setelah 2 tahun kelebihan jabatan tersebut belum digantikan? Bahkan apabila dihitung
berdasarkan pengakuan H Juddin dirinya telah menjadi lurah selama 12 tahun, maka dia
sudah 4 tahun lebih dari batas yang sudah ditentukan. Di samping itu, bupati tidak
menyatakan sakit sebagai suatu alasan pemberhentian lurah itu kepada gubernur.
Sementara itu Solihin GP menegaskan bahwa kesalahan Bupati adalah dekonsentrasi
dari tugas pokok. Kemungkinan bupati memikirkan masalah industrialisasi di Karawang.
Padahal tugas pokok bupati adalah pembangunan ekonomi menurut Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun, yaitu pertanian. Sebagai
indikatornya Solihin GP menunjukkan bahwa bupati terlambat mengetahui perkiraan
kejadian (Kompas, 4 Oktober 1977: II dan Pelita, 4 Oktober 1977: VIII).
Pejabat pemerintah derah Karawang berupaya menutupi menyebarnya berita-berita
mengenai kelaparan di Karawang salah satu caranya adalah dengan menghalang-halangi
penduduknya yang berniat mengungsi untuk mencari makan ke tempat lain. Bahkan
penduduk yang terdampak kelaparan yang sedang bekerja di Sumatra pun dipanggil pulang
dengan alasan keadaan di Karawang sudah membaik. Hal itu dilakukan agar peristiwa
kelaparan tidak menyebar luas dan pemerintah daerah ingin membuktikan bahwa dirinya
mampu menyelesaikan masalah tersebut (Kompas, 28 Oktober 1977).
Rasa malu yang dialami oleh suatu pemerintahan karena kegagalannya dalam
menyejahterakan penduduknya harus ditutupinya. Bukan menyelesaikan masalahnya. Hal
itulah yang membuat laporan dari daerah terlambat ke pemerintah pusat. Bahkan banyak
laporan yang tidak sesuai dengan keadaaan.
Mengenai masalah administrasi yang disoroti adalah adanya tunggakan Bimas di
Karawang yang sangat besar di Kabupaten Karawang yaitu Rp 2,7 Milyar. Tunggakan Bimas
yang besar tersebut mengganggu intensifikasi untuk beberapa ribu Ha persawahan lainnya di
Karawang (Pikiran Rakyat, 1 Oktober 1977 dan Pelita, 4 Oktober 1977: VIII). Selain itu
6
Aang Kunaefi dalam Kompas 19 Oktober 1977.

320
seringkali kredit tidak jatuh ke tangan para petani. Dalam menyikapi masalah tersebut
Gubernur Jawa Barat meminta agar seluruh instansi pemerintah yang ada hubungannya
dengan permasalahan dengan Bimas mengkaji kembali pelaksanaan Bimas di Jawa Barat,
yaitu bahwa kredit benar-benar jatuh kepada para petani yang berhak dan bukan pada petani-
petani fiktif atau bukan petani (Pikiran Rakyat, 17 Oktober 1977: 1).

1.3. Kemiskinan
Sebagai gudang beras, memang Karawang terkenal sejak dulu. Tetapi penduduknya
tidak terkenal sebagai orang kaya. 7 Struktur penduduk Karawang dan kaitannya dengan
pertanian serta kepemilikan lahan dapat menjelaskan hal tersebut. Daerah Tingkat II
Kabupaten Karawang berpenduduk sekitar 1,2 juta jiwa dengan luas wilayah 172.783 Ha
mempunyai sawah seluas 104.203 Ha. Sebanyak 85% dari jumlah penduduk tersebut adalah
petani. Dari jumlah petani di Karawang, 40% adalah petani penggarap, 30% adalah buruh
tani, 10% petani yang menggarap sawahnya sendiri, dan 20% adalah petani yang
mengupahkan sawahnya kepada buruh tani (Merdeka, 25 Nopember 1977: II).
Dari data di atas dapat dilihat bahwa masyoritas petani di Karawang adalah buruh tani
tanpa lahan, dengan komposisi 40% petani penggarap dan 30% buruh tani. Petani penggarap
pada adalah petani yang mempunyai modal untuk menggarap sawah milik orang lain.
Meskipun modal didapatkannya dengan cara meminjam uang baik pada juragannya (pemilik
tanah) ataupun rentenir. Sementara buruh tani tidak mengeluarkan modal dan hanya menjadi
pekerja saja di sawah. Mengenai petani yang menggarap sawahnya sendiri yang mencapai
10% juga masih dapat dipertanyakan mengenai luas sawah yang dimilikinya. Karena
menggarap lahannya sendiri dapat diperkirakan bahwa sawahnya tidak terlalu luas sehingga
dapat digarap sendiri.
Luas ideal kepemilikan lahan sawah menurut Solihin GP adalah empat hektar.
Menurut seorang pejabat Pertanian Karawang idealnya satu keluarga tani memiliki satu
hektar sawah yang digarapnya secara langsung. Sedangkan menurut H. Sudar, seorang petani
terkemuka dari desa Kutagandok, kepemilikan sawah ideal adalah lima hektar. Menurutnya
dengan luas tanah seluas itu akan mencukupi kehidupan petani secara sederhana. Sementara
menurut seorang petani yang bernama Kajum, dua hektar dipandangnya dapat mencukupi
kebutuhan petani (Her Suganda. Kompas, 10 Desember 1977: II). Oleh karena memiliki luas
tanah yang tidak ideal dalam bidang pertanian banyak di antara mereka yang memiliki sawah
setengah sampai satu hektar memilih menjualnya daripada terus menerus memeliharanya.
Uangnya dibelikan sepeda motor lalu dioperasikan sebagai ojek. Mereka merasakan harga
hasil pertanian tidak seimbang dengan biaya yang dikeluarkan (Her Suganda. Kompas, 10
Desember 1977: II). Bahkan luas kepemilikan lahan yang minimal lima hektar pun
tampaknya tidak menjamin dapat bertahannya seorang petani dari kekurangan akibat bencana
kekeringan, banjir dan serangan hama. Seorang petani yang sebelumnya memiliki lima hektar
sawah, pada 1977 terpaksa menjadi kuli harian dengan dibayar Rp300.00,- per hari. Petani
ini sebelumnya selalu berhasil panen dan pernah menjadi orang kaya, serta pernah naik haji
(Kompas, 4 Desember 1977: 1).

7
Atang Sukardi Atmadja, Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Kerukunan Tani
Indonesia dalam Her Suganda.”Petani Karawang Adalah “Petani Tiga Tak”. Kompas, 10 Desember 1977. Hal
II.

321
Kemiskinan yang dialami petani dan kegagalan panen merupakan dua hal yang saling
berkaitan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kegagalan panen dan juga gagal panen atau
bahkan tidak dapat menanami sawahnya kembali dapat juga disebabkan oleh kemiskinan.
Karena kurang modal, setelah panen gagal pada musim tanam berikutnya pengolahan
sawah dilakukan seadanya. Kadang-kadang pupuk bersubsidi dari pemerintah djual separuh.
Obat tidak disemprotkan, bahkan dijual pula. Uangnya dibelikan beras atau dipakai
menututupi biaya garapan, akibatnya hasil pertanian sering tidak maksimal. Menurut seorang
petani, Kajum, untuk menutupi biaya makan dan biaya produksi pengolahan selanjutnya
minimal per hektar dihasilkan empat ton. Sebab menurutnya perkiraan biaya mengolah sawah
secara sederhana membutuhkan modal garapan Rp50.000,00.- per hektar, apabila mendekati
tingkat penerapan panca usaha tani sepenuhnya setidak-tidaknya dibutuhkan modal
Rp150.000,00.- per hektar. Sedangkan dalam kredit Bimas yang diberikan jauh dari
mencukupi, apalagi kredit Inmas yang hanya memperoleh bibit dan pupuk secara paket tanpa
uang (Her Suganda. Kompas, 10 Desember 1977: II dan Kompas, 4 Desember 1977: I).
Kegelisahan yang dialami petani kecil, petani miskin dan buruh tani adalah tidak
mendapat pinjaman uang dan beras dari petani kaya atau petani yang menjadi juragannya
(tuannya). Persediaan juragan juga sudah menipis. Persoalan petani kecil bertambah dengan
persoalan membayar hutang pada musim tanam sebelumnya dan juga kredit Bimas. 8 Para
juragan lebih suka menjual padi atau beras lalu uangnya dipinjamkan dengan cara ijon.
Biasanya untuk pinjaman sebesar Rp2.000,00.- yang harus dikembalikan pada musim panen
Rp3.000,00.- Karena yang digunakan sebagai ukuran adalah padi, mereka telah terpukul dua
kali. Harga padi pada musim paceklik adalah Rp7.000,00.- per kwintal. Sebaliknya pada
musim panen raya, harga padi (gabah) hanya Rp4.500,00.- sampai Rp5.000,00.- dengan
demikian hidup petani tidak mengalami perubahan. Hasil panen habis dipotong hutang,
sementara apabila gagal panen dia tetap harus membayar hutangnya (Her Suganda. Kompas,
10 Desember 1977: II).
Oleh karena tidak adanya modal untuk menanam padi, dari 3.970 Ha sawah di desa
Rangdu hanya sekitar 150 Ha sawah yang sudah mulai ditanami pada musim tanam
1977/1978 yang dimulai bulan November. Sedang sebagian lainnya sama sekali belum diolah
(Kompas, 4 Desember 1977: I).
Banyak petani penggarap mengembalikan tanah garapannya kepada pemilik sawah
karena tidak mempunyai biaya lagi. Mereka lebih memilih untuk bekerja di pasar-pasar di
kota Karawang sebagai kuli (Merdeka, 25 Nopember 1977: II).

2. Upaya Penanggulangan Bencana


Berita mengenai “kurang makan” di desa Rangdu Kecamatan Pedes Kabupaten
Karawang telah sempat menghebohkan masyarakat maupun pemeritah pusat. Berbagai
organisasi maupun pemerintah sendiri turut memberikan sumbangan kepada daerah yang
terkena paceklik itu (Berita Buana, 17 Oktober 1977). Pemerintah Karawang sendiri,
menurut Bupatinya telah mempunyai pola yang diterapkan yaitu kegiatan-kegiatan represif.
Berupa penanggulangan langsung dengan memberikan bantuan kepada masyarakat yang
betul-betul membutuhkan dan perlu ditolong. Kemudian bantuan pengobatan secara massal
berupa vaksinasi untuk mencegah kemungkinan timbulnya penyakit. Bantuan yang berupa
8
Herman Suwardi, Kepala Kantor Wilayah Departemen Pertanian Jawa Barat dan Kolonel Samallo. anggota
Laksusda Jawa Barat dalam Kompas, 19 Oktober 1977.

322
pangan untuk mencegah bahaya kelaparan secara cepat harus diserahkan pada posko bantuan
yang dibentuk berdasarkan intruksi presiden (Berita Buana, 17 Oktober 1977).
Bantuan berdasarkan berita-berita di surat kabar memang berdatangan ke Karawang,
tetapi hal tersebut tidak serta merta menghapuskan kelaparan di Karawang. Hal itu
disebabkan oleh adanya penyelewengan bantuan yang dilakukan oleh pengelola atau
kekurang mampuan dalam mendistribusikan bantuan. Menurut penduduk Desa Dongkal
Kecamatan Pedes, sampai pertengahan Oktober mereka baru menerima bantuan beras satu
kali. Bantuan tersebut berupa beras sebanyak 250 gram untuk setiap jiwa (Kompas, 20
Oktober 1977: VIII). Kepala Staf Posko Bantuan, Suhendi menyatakan bahwa bantuan yang
diberikan adalah 250 gram per jiwa. Tetapi banyak masyarakat yang menerima kurang dari
jumlah bantuan tersebut. Hal tersebut diakibatkan adanya “kebijaksanaan” dari yang
membagi. Penduduk pun mengadukan masalah penyelewengan bantuan tersebut kepada
Dewan Mahasiswa se-Jakarta. Menurut laporan penduduk ke organisasi mahasiswa tersebut
penyelewengan dilakukan oleh oknum petugas kampung (Kompas, 20 Oktober 1977: VIII).
Penyelewengan bantuan memang terjadi di daerah bencana kelaparan tersebut.
Penyelewengan dilakukan oleh para petugas bantuan yang terdiri aparat pemerintahan tingkat
kewedanaan, kecamatan dan unsur kesejahteraan sosial kabupaten. H. Dayat, mantan lurah
desa Rangdu 1945 -1956. menyatakan bahwa pembagian beras seharusnya dilakukan setiap
hari dengan membagikan 250 gram beras untuk setiap jiwa, tetapi dalam kenyataannya
pembagian beras dilakukan empat hari sekali. Berat beras yang diterima pun hanya 100 gram
per jiwa. Penduduk desa Rangdu baru menerima bantuan beras sebanyak tiga kali dalam
kurun 3 Oktober sampai 15 Oktober 1977 (Merdeka, 30 Oktober 1977: I). Sementara itu,
lurah Cikepek menyatakan bahwa setelah menerima bantuan beras sebanyak empat kali,
walaupun tidak setiap hari. Bantuan tersebut kemudian terhenti selama delapan hari (Suara
Karya, 1 Nopember 1977; I). Ada juga penduduk yang belum menerima sama sekali bantuan
sampai 1 Nopember, yaitu sebagiam besar penduduk Kampung Bunder Desa Pedes. Padahal
kondisinya sangat kritis (Sinar Harapan, 1 Nopember 1977: I).
Bantuan yang berupa beras dilihat penduduk ada di posko bantuan, tetapi tidak pernah
dibagikan. Bahkan beras bantuan dari posko pernah hilang sebanyak 3 ton dan diduga dijual
ke pasar. Bantuan lainnya seperti supermi, ikan sarden dalam kaleng, ikan asin dan jagung
tidak dibagikan ke penduduk. Kecuali singkong yang telah busuk dibagikan ke penduduk
(Merdeka, 30 Oktober 1977: I).
Mengenai bantuan beras yang dijual ke pasar dinilai oleh beberapa anggota DPRD
Karawang sebagai sesuatu yang memang terjadi. Hal itu terutama disebabkan oleh adanya
perbedaan angka mengenai jumlah bantuan beras yang diterima. Laporan bupati pada sidang
paripurna DPRD 24 Oktober 1977 menyatakan bahwa bantuan beras yang diterima adalah
160.940 Kg. Sementara Posko penanggulangan pangan bidang I mencatat jumlah beras yang
diterima sebanyak 172.152 Kg. Diduga selisih jumlah tersebut itulah yang dijual ke pasar
(Merdeka, 9 Nopember 1977: VII).
Upaya-upaya lain yang dilakukan kelaparan di daerah Karawang yang dilakukan oleh
pemerintah selain bantuan pangan adalah dengan memberdayakan daya beli masyarakat
melalui proyek padat karya. Proyek ini merupakan suatu kegiatan pembangunan fisik dengan
melibatkan masyarakat secara maksimal. Artinya sebanyak mungkin masyarakat dilibatkan
dalam kegiatan-kegiatan pembangunan fisik di wilayahnya, misalnya membangun saluran air.
Padat-karya di Karawang telah dimulai tanggal 1 Nopember 1977 dan berlangsung
selama dua bulan. Dalam jangka waktu sepuluh hari (1 – 10 Nopember 1977) telah
dibayarkan uang perangsang untuk tenaga kerja yang ikut padat-karya sejumlah

323
Rp24.166.700 dan telah diselesaikan perbaikan 267,455 km saluran tersier yang terdapat di 7
kecamatan kabupaten Karawang (Kompas, 17 Nopember 1977: II).
Setiap hari rata-rata dipekerjakan 7.916 orang, selama 10 hari telah diperkerjakan
79.161 orang per hari (Kompas, 17 Nopember 1977: II). Mengenai jumlah hari kerja itu,
tidak dijelaskan berapa orang tertolong dengan mendapat pekerjaan di proyek padat karya.
Sebab dari jumlah orang per hari tersebut, masih terkandung kemungkinan adanya seorang
buruh yang bekerja selama 10 hari berturut-turut. Bila masing-masing tenaga kerja peserta
padat-karya itu dianggap bekerja selama 10 hari, maka jumlah tenaga kerja yang tercakup
oleh proyek ini sekitar 7.900 orang. Tetapi apabila semakin banyak tenaga kerja diikutkan,
semakin kecil uang perangsang yang diterima masing-masing tenaga kerja (Kompas, 17
Nopember 1977: II). Proyek padat karya memang tidak menyentuh semua angkatan kerja.
Sebagai contoh di Kampung Bunder Desa Pedes hanya 80 orang saja penduduk usia kerja
yang terlibat dalam proyek padat karya. Selebihnya sebanyak 145 orang tidak dilibatkan.9
Pengelola proyek padat karya ditangani oleh tiga lembaga terpisah. Ada yang
ditangani oleh Direktorat Jendral Bina Guna dan ada juga yang ditangani oleh Dinas
Pekerjaan Umum Tingkat II Kabupaten Karawang dan yang ditangani oleh PT Waskita
Karya (Kompas, 19 Oktober 1977 dan Suara Karya, 1 Nopember 1977: I). Upah bagi peserta
proyek padat karya adalah sebesar Rp 300 dan pembayaran dilakukan setiap hari.10
Bantuan lainnya yang diberikan pemeritah pusat untuk menanggulangi kelaparan di
Karawang adalah dengan memberikan kedit pangan berupa beras dan jagung. Bantuan
tersebut hanya diberikan kepada penduduk yang benar-benar memiliki sawah tetapi
menderita kurang pangan. Penyalurannya diselenggarakan melalui Bank Karya Produksi
Desa (BKPD) yang terdapat di setiap desa dan kemantren setelah sebelumnya permohonan
diseleksi oleh Lembaga Sosial Desa (LSD) atau Kepala Desa. Sedangkan dalam
pengembalian kredit ditentukan dengan cara tunai, yaitu berdasarkan harga yang telah
ditetapkan utuk setiap kilogram beras Rp138,60 dan jagung Rp65 (Kompas, 19 Nopember
1977: VIII).
Kredit dengan jangka waktu maksimum tujuh bulan itu diberikan tanpa bunga dan tanpa
potongan. Tetapi apabila panen tidak berhasil atau puso, pengembalian kredit dapat
ditangguhkan pada musim panen berikutnya. Tidak dijelaskan secara terperinci, presentase
kerusakan tanaman yang termasuk puso atau panen tidak berhasil (Her Suganda. Kompas, 19
Nopember 1977: VIII).
Proyek Bank Pangan Kabupaten Karawang menetapkan pula besar kredit seratus
kilogram beras dan enam kilogram jagung untuk pemilik sawah dengan luas setengah hektar
sampai dengan satu hektar. Untuk pemilik sawah dengan luas 1,1 hektar sampai 2 Ha
diberikan 200 kg beras dan 12 kg jagung. Pemilik sawah dengan luas 2,1 Ha sampai dengan
3 Ha, memperoleh kredit 300 Kg beras dan 18 Kg jagung. Sedangkan pemilik sawah dengan
luas 3,1 Ha sampai dengan 4 Ha memperoleh kredit 400 Kg beras dan 24 Kg jagung. Besar
kredit untuk pemilik sawah di atas 4 Ha adalah 500 Kg beras dan 30 Kg jagung (Kompas, 19
Nopember 1977: VIII).
Proses permohonanannya dilakukan secara berkelompok disertai rekomendasi dari
Ketua LSD masing-masing desa. Pimpinan bank baru merealisasi kredit setelah meneliti
permohonan dan menandatangani surat perjanjian (Kompas, 19 Nopember 1977: VIII).
Pangan yang dipinjamkan itu berasal dari bantuan Bulog (Badan Urusan Logistik), terdiri
9
H. Soleh, Kepala Kampung Bunder, dalam Sinar Harapan, 1 Nopember 1977. Hal I.
10
Sekretaris Wilayah Jawa Barat, Kadarusman Kadi dalam Kompas 19 Oktober 1977. Sementara menurut surat
kabar Suara Karya terbitan 1 Nopember 1977, besar upah adalah Rp 250 per hari.

324
dari 900 ton beras dan 100 ton jagung. Besarnya alokasi kredit tiap kecamatan berbeda beda,
Kecamatan Pangkalan 80 ton beras dan 5 ton jagung, Karawang 50 ton beras dan 6 ton
jagung, Telukjambe 80 ton beras dan 5 ton jagung, Klari 50 ton beras dan 5 ton jagung,
Cikampek 80 ton beras dan 5 ton jagung, Cilamaya 80 ton beras dan 10 ton jagung,
Telagasari/Kemantren Wadas 80 ton beras dan 10 ton jagung, Rawamerta/Kemantren
Tempuran 80 ton beras dan 15 ton jagung, Rengasdengklok 80 ton beras dan 10 ton jagung,
Pedes 80 ton beras dan 10 ton jagung, da Batujaya 80 ton beras dan 15 ton jagung (Kompas,
19 Nopember 1977: VIII).
Kepada setiap pemilik sawah yang memperoleh kredit diwajibkan menyerahkan 5%
dari kredit yang diperolehnya sebagai simpanan LSD. Realisasi kredit tersebut semula
direncanakan tanggal 1 November akan tetapi mengalami keterlambatan. Hal itu disebabkan
terlambatnya administrasi di desa untuk melengkapi segala persyaratan (Kompas, 19
Nopember 1977: VIII dan Pelita, 8 Oktober 1977: I).

Penutup
Kelaparan di Karawang memberikan gambaran mengenai kebijakan pembangunan
pertanian pada era Orde Baru. Kebijakan-kebijakan pemerintah pusat mengenai
pembangunan pertanian menghadapi berbagai kendala dalam pelaksanaannya pada tingkat
bawah. Kendala tersebut misalnya seperti kurangnya perhatian pemerintah daerah terhadap
pertanian dan sikap mental pemerintah daerah yang cenderung memberikan laporan-laporan
yang baik kepada atasannya. Kendala lainnya adalah adanya penyelewengan-penyelewengan
yang kerap terjadi, termasuk penyelewengan dalam bantuan kemanusiaan. Suatu hal menarik
pada peristiwa kelaparan ini adalah begitu besar dan cepatnya pemerintah pusat bertindak
untuk menanggulanginya dibandingkan pemerintah daerahnya sendiri. Pemerintah daerah
menganggap peristiwa kelaparan adalah peristiwa kecil, sementara pemerintah pusat
menganggapnya sebagai suatu masalah besar yang harus dapat perhatian serius. Hal ini
memberikan gambaran bahwa pada era Orde Baru pemerintah pusat tidak selalu bertindak
lamban pada setiap peristiwa di daerah yang memerlukan penanganan khusus.

325
DAFTAR SUMBER

Artikel dalam Surat Kabar


Her Sugandha. “Petani Karawang Adalah “Petani Tiga Tak”. Kompas, 10 Desember 1977.
Hal II.
Ikranegara. “Matahari Krawang Berdenyar-denyar di Atas Cikande.” Kompas, 1 Nopember
1977. Hal VI.
N. Daldjoeni. “Menonton Bencana Kelaparan.” Kompas. 28 Oktober 1977.
Tito Subakti. “Segi Lain dari Kegagalan di Desa Rangdu.” Kompas, 21 Oktober 1977. Hal IV
dan IX.

Berita Surat Kabar


Berita Buana, 17 Oktober 1977. Kecamatan Pedes di Desa Karawang.
Berita Buana, 17 Oktober 1977. Keadaan Rakyat di “Gudang Beras” Karawang.
Berita Yudha, 4 Oktober 1977. Produksi Pangan di Karawang Turun 5%.
Berita Yudha, 15 Oktober 1977. Ratusan HA Dimiliki Orang Jakarta.
Berita Yudha, 21 Oktober 1977. Produksi Padi di Jabar Menurun 1,37%.
Berita Yudha, 28 Oktober 1977. 95 Kecamatan di Jabar Terancam Kekurangan Pangan.
Kompas, 4 Oktober 1977. Hal I. Kalau Tidak Diselamatkan Puluhan Ribu Penduduk akan
Menderita HO.
Kompas, 19 Oktober 1977. Beras Cukup, 30 pCt Rakyat Desa Kurang Pekerjaan.
Kompas, 20 Oktober 1977. Hal I. Penduduk Karawang di Sumatera Dianjurkan Pulang.
Kompas, 20 Oktober 1977. Hal VIII. Mahasiswa Lakukan Survey Gizi di Karawang.
Kompas, 1 Nopember 1977. Hal I dan XII. Mahasiswa Jumpai Penduduk Pra-HO di
Karawang.
Kompas, 17 Nopember 1977. Hal II
Kompas, 19 Nopember 1977. Hal VIII. “Kredit Pangan akan Segera Disalurkan.”
Kompas, 2 Desember 1977. Hal I dan IX. Tahun 1977, Indonesia Impor Beras 2 Juta Ton.
Kompas, 4 Desember 1977 Hal 1. Tiada Beaya, Petani Desa Rangdu Belum Tanam Padi.
Kompas, 6 Desember 1977. Hal VIII. Dikhawatirkan, 80% Penduduk di 7 Kecamatan
Kekurangan Pangan.
Merdeka, 21 Maret 1977. Hal VII. Sesudah Dilanda Banjir Karawang Diserang Wereng.
Merdeka, 30 Maret 1977. Hal VII. Rp 530 juta Kredit Macet pada 44 BUUD Karawang.
Merdeka, 30 Oktober 1977. Hal I. H. Juddin Dipecat Jadi Lurah Karena Laporkan yang
Benar.

326
Merdeka, 9 Nopember 1977. Hal VII. Laporan Bupati dan Posko Soal Bantuan di Karawang
Berbeda.
Merdeka, 14 Nopember 1977. Hal VII. 3000 Penduduk Subang Juga Terancam H.O.
Merdeka, 16 Nopember 1977. Hal VII. 16 Penderita H.O. dirawat di Karawang.
Merdeka, 25 Nopember 1977, Hal II. Karena Tak Punya Uang Petani Kembalikan Semua
Tanah Garapan.
Pelita, 10 Agustus 1977. Hal VI. Petani Tak Perlu Khawatir Serangan Hama.
Pelita, 4 Oktober 1977. Hal VIII. Solichin: Bupati Karawang Kurang Konsentrasi Terhadap
Tugasnya.
Pelita, 8 Oktober 1977. Dirjen Bansos: 50 ribu Penduduk Karawang Perlu Segera Ditolong.
Pelita, 10 Oktober 1977. Sekdalopbang Solichin GP Temui Sendiri Penduduk Cari Enceng
......
Pikiran Rakyat, 30 Juli 1979. Hal I. Kekurangan Beras Jabar Dipenuhi Dengan Impor.
Pikiran Rakyat, 1 Oktober 1977. Dirikan Pos2 Komando di Karawang.
Pikiran Rakyat, 8 Oktober 1977. Para Petani di 7 Kecamatan di Karawang Kurang Modal.
Pikiran Rakyat, 17 Oktober 1977, Hal I. Teliti Kembali Pelaksanaan Bimas di Daerah
Daerah.
Sinar Harapan, 1 Nopember 1977. Hal I. 35 Penderita Kurang Makan di Karawang dalam
Keadaan Gawat.
Sinar Harapan, 3 Nopember 1977. Hal I. 14.592 Orang Penderita Kurang Makan di Tiga
Kab. Semarang.
Suara Karya, 1 Nopember 1977. Hal I. Beberapa Desa di Krawang Sudah Dilanda “Pra HO).

327
Membudayakan Nilai-Nilai Tembang Dolanan sebagai Filter Terhadap Budaya Asing
Nara Setya Wiratama, M.Pd
Universitas Nusantara PGRI Kediri

Abstrak
Tembang dolanan merupakan salah satu dari sekian banyak jenis kebudayaan Indonesia yang
mulai ditinggalkan keberadaan dan eksistensinya ditengah derasnya pengaruh budaya asing
yang bertolak belakang dengan karakter budaya bangsa. Di dalam tembang dolanan ini
terdapat piwulang dan piweling luhur yang berisi tentang konsep ketuhanan, kemasyarakatan
dan kemanusiaan. Nilai-nilai tersebut sangat relevan di ambil dan dimanfaatkan. Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah (1) mendeskripsikan mengenai tembang dolanan; (2)
menganalisis nilai kearifan lokal dalam tembang dolanan; (3) memberikan analisis dan
sintesis tentang cara mengimplementasikan dan membudayakan nilai-nilai karakter melalui
tembang dolanan. Metode yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah metode deskriptif
analisis. Metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan, dengan maksud
untuk menemukan unsur-unsurnya, kemudian dianalisis lalu diperbandingkan. Metode
deskriptif adalah sebuah cara atau teknik yang dilakukan untuk memaparkan suatu
permasalahan sehingga dapat dengan jelas di analisis dan ditarik kesimpulan. Data penelitian
dikumpulkan melalui teknik kajian pustaka (content analysis), wawancara mendalam (in-
depth interviewing), dan observasi (observation). Cara yang dapat dilakukan adalah dengan
cara mensosialisasikan berbagai macam tembang dolanan ke sekolah yaitu dengan
memasukkan materi tembang dolanan ke muatan lokal. Penulis menggunakan tembang
dolanan ke peserta didik Sekolah Dasar (SD). Hal ini disebabkan pendidikan budaya lebih
maksimal hasilnya jika ditanamkan mulai dari Sekolah Dasar, sehingga peserta didik sudah
memiliki filter dari derasnya budaya asing. Tembang dolanan bukan hanya sebagai lagu
biasa untuk hiburan dan nyanyian anak-anak kecil namun merupakan karya seni yang
menarik karena di dalamnya tersirat makna yang penting bagi kehidupan manusia. Tembang
dolanan Jawa berisi pesan-pesan moral yang sesuai bagi pembentukan karakter atau budi
pekerti luhur bagi anak bangsa. Makna yang dimaksud antara lain adalah pesan moral kepada
anak-anak untuk memiliki sikap dan kepribadian yang religius, mengutamakan kebersamaan
dan keselarasan dalam berhubungan dengan orang lain, tidak memiliki sifat sombong, mawas
diri, dan saling menghargai.

I. Pendahuluan
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dewasa ini sangat signifikan.
Kemudahan dalam berkomunikasi dan jaringan memanjakan pola perilaku masyarakat
utamanya generasi muda dalam berbagai aspek. Banyak pengaruh positif dan tidak sedikit
pengaruh negatif yang ditimbulkan. Salah satu pengaruh negatif adalah perilaku
menyimpang, yang merupakan pelanggaran etika sosial masyarakat, dan tata krama
pergaulan yang bersumber pada nila-nilai luhur budaya bangsa. Perilaku menyimpang banyak
ditemui dalam masyarakat sehari-hari antara lain maraknya tawuran antar pelajar, perbuatan
asusila, pergaulan bebas dikalangan pelajar, dan para pejabat yang tanpa segan lagi
melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini berdampak pada pola tingkah laku dan kepribadian
generasi muda.

328
Indonesia dahulu dikenal sebagai bangsa timur yang ramah, santun, andhap-asor, lembah-
manah, suka bergotong royong, dan religius. Tatanan norma-norma tersebut, adat istiadat,
saling menghargai dalam bermasyarakat mulai ditinggalkan dan sedikit demi sedikit terbawa
arus globalisasi karena penetrasi budaya asing. Masyarakat mulai mengabaikan nilai-nilai
kearifan lokal yang telah diwariskan oleh nenek moyang dalam berinteraksi dan bersosialilasi
dengan lingkungannya. Hal ini merupakan dampak dari ketidaksiapan masyarakat ketika
harus berhadapan dengan era global dengan perkembangan peradaban yang semakin
kompleks1. Perkembangan peradaban dunia yang semakin maju, seseorang dapat mengalami
peristiwa ’kebanjiran budaya’ (culturally overn helmed) yaitu munculnya pengaruh dari dua
budaya atau lebih sekaligus, atau bersama-sama2. Langkah awal untuk mengatasi hal ini yaitu
kembali ke budaya lokal Indonesia sebagai landasan dalam kehidupan bermasyarakat.
Kenyataannya banyak masyarakat serta generasi muda yang belum menguasai budayanya
sendiri sudah harus berhadapan dengan pengaruh berbagai budaya asing yang begitu besar
sebagai dampak dari canggihnya teknologi informasi, sehingga mereka mengalami
kebingungan. Orang tua yang dahulu sering mengontrol anaknya lambat laun menjadi
kebingungan dikarenakan perkembangan anak yang demikian cepatnya menerima pengaruh
budaya asing, sedangkan anak belum mampu untuk memfilter dirinya sendiri. Orang tua telah
kehilangan kewibawaan, pendidik juga tidak mampu mengontrol dahsyatnya pengaruh
teknologi yang dilain sisi saat ini anak harus dapat menguasai IPTEK. Anak menjadi
kehilangan jati diri dan cenderung mengidentifikasi apa yang mereka lihat dan mereka
dapatkan melalui teknologi. Akibatnya mereka kurang mengenal budaya asli nenek
moyangnya, belum mampu memilih dan memfilter budaya yang baik sesuai karakter
bangsanya.
Melunturnya rasa kebanggaan terhadap budaya sendiri pada generasi muda jika dibiarkan
larut akan mempengaruhi nasib Negara ini beberapa tahun kedepan. Upaya yang dilakukan
dapat melalui berbagai cara, antara lain pembiasaan anak untuk bermain permainan
tradisional dan menyanyikan tembang (lagu-lagu) dolanan Jawa, yang banyak mengandung
nilai-nilai yang bersumber pada filsafat budaya Jawa yang adiluhung, mengajarkan nila-nilai
kebaikan, akhlak dan budi pekerti luhur serta mulia.
II. Pembahasan
Kebudayaan Jawa telah berusia ribuan tahun lamanya. Salah satu bagian dari kebudayaan
tersebut adalah kesenian, khususnya seni tembang. Seni tembang dalam budaya Jawa
mengandung unsur estetis, etis dan historis. Untuk unsur estetis atau keindahan seni tembang
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar kesenian pada umumnya, yaitu dulce et utile yang berarti
menyenangkan dan berguna 3 . Nilai kreatif tembang mampu menghibur hati yang sedang
sedih, pikiran yang kalut dan suasana yang tegang, sehingga suasana terasa ayem tentrem.
Nilai utilitaris tembang yang berkaitan dengan aspek kegunaan dapat dilihat dari praktek
ritual dalam masyarakat Jawa. Adanya acara rutin macapatan, panembrama, ura-ura,
gegendhingan, sesendhonan4 dan kehidupan menunjukkan bahwa seni tembang tetap diuri-
1
Baca Nugrahani, Farida, Reaktualisai Pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa dalam Konteks
Multikultural dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah dalam Kerangka Budaya, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2008, hlm. 16
2
Lihat Spradley, James, The Etnographic Interview (terjemahan Misbah Zulfa Eliza), Yogyakarta: PT
Tiara Wacana, 2007, hlm. 15
3
Purwadi, Diktat, Seni Tembang I, Yogyakarta: Pendidikan Bahasa Daerah, Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Yogyakarta, 2010, hlm. 4
4
Beberapa kegiatan adat Jawa yang masih dilaksanakan di beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa
Tengah

329
uri murih lestari. Masyarakat Jawa dalam pergaulan sangat memperhatikan unsur etis atau
kesusilaan
Tembang diartikan sebagai ragam suara yang berirama5. Tembang juga disebut dengan istilah
sekar, sebab tembang memang berasal dari kata kembang yang mempunyai persamaan
makna dengan kata sekar, atau bunga6. Tembang sebagai ekspresi estetik mengandung ciri-
ciri utama seperti: bersifat kontemplatif-transedental, bersifat simbolik, dan bermakna
filosofis. Sebagai ekspresi esetik, tembang dapat menimbulkan multi tafsir, karena
merupakan bagian dari karya sastra yang bersifat multiinterpretable. Sebagian besar warisan
budaya nenek moyang (Jawa) dikemas dalam bentuk kidung atau tembang. Salah satu
warisan budaya yang dahulu digemari oleh anak-anak (Jawa) adalah tembang dolanan.
Tembang dolanan berguna dalam proses belajar-mengajar di tingkat taman kanak-kanak.
Guru TK yang banyak menguasai tembang dolanan tentu memudahkan dalam kelancaran
belajar anak balita. Di antara materi pembelajaran, selama ini tembang dolanan terbukti
sangat digemari, bahkan setelah pulang di rumah anak-anak akan unjuk kepandaian
menyanyi di hadapan orang tuanya 7 . Metode bermain sambil belajar sebenarnya cocok
dilaksanakan oleh para guru TK yang menggunakan materi belajar tembang dolanan yang
saat ini mulai ditinggalkan.
Nilai etis filosofis tembang dolanan memang mudah dipahami oleh khalayak umum, orang
awam, perserta didik pemula dan anak-anak muda. Ajaran luhur yang dikandung dalam
tembang dolanan sering disampaikan secara terbuka dan apa adanya. Tembang dolanan
menghindari kata-kata konotatif dan makna simbolik, bahasa sehari-hari dan dekat dengan
alam merupakan tema-tema yang menjadi sumber inspirasi para pengarang tembang
dolanan8.
A. Tembang Dolanan
Tembang Dolanan merupakan salah satu dari sekian banyak jenis kebudayaan Indonesia yang
mulai ditinggalkan keberadaan dan eksistensinya ditengah derasnya pengaruh budaya asing
yang bertolak belakang dengan karakter budaya timur. Masyarakat Indonesia khususnya
masyarakat Jawa yang dikenal sopan, santun, andhap asor, saling menghargai saat ini
semakin memudar. Sesama rekan kerja dan keluarga saat ini bisa berbuntut di pengadilan.
Hal ini dikarenakan tidak seimbangnya pengaruh budaya yang masuk ke Indonesia dengan
filter kebudayaan sendiri. Internet dapat diakses dimana-mana, bahkan anak kecil yang
banyak ditinggal orang tuanya bekerja lebih mengetahui tentang jaringan daripada orang tua.
Berbagai cara pemerintah dalam upaya membatasi pengaruh asing ini belum bisa maksimal
jika belum adanya kesadaran sesama masyarakat akan bahaya penetrasi budaya asing.
Salahsatu cara yang dapat diambil yaitu dengan cara nguri-uri kembali budaya jawa
utamanya seni tembang dolanan kepada peserta didik sebagai generasi penerus bangsa.
Seni tembang dalam budaya Jawa banyak jenis dan ragamnya, mulai dari tembang gedhe,
tembang tengahan, tembang cilik (tembang macapat), dan tembang dolanan. Tembang
5
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta, 2008,
hlm. 1484
6
Irama tersebut berupa rangkaian tangga nada yang tersusun secara urut dan harmonis sehingga
menghasilkan bunyi-bunyian yang mengandung unsur-unsur keindahan atau estetik. Dalam istilah bahasa Jawa
tembang berarti lagu.
7
Diyono, Kempalan Gendhing-gendhing Pahargyan, Surakarta:Cendrawasih, 1996, hlm. 27
8
Purwadi, op. Cit, hlm. 8

330
dolanan sangat ringan pembawaannya dikarenakan untuk anak kecil bahasa didalamnya
sangat mudah untuk dipahami. Berikut pengertian tembang dolanan menurut Purwadi9:
Kata dolanan berasal dari kata dasar dolan yang berarti bermain. Dolanan dapat diberi
makna bermain-main. Pengertian tembang dolanan adalah jenis lelagon yang bernuansa
santai, bersenang-senang, suka cita, riang gembira dan ringan tanpa beban. Kebanyakan
tembang dolanan dinyanyikan oleh anak-anak yang sedang bermain-main. Para pencipta
tembang dolanan biasanya amat memahami suasana batin atau aspek psikologis anak kecil.
Tingkat kebahasaan dan kandungan pemikirannya dibuat sangat sederhana, mudah dan
komunikatif.

B. Nilai kearifan Lokal dalam Tembang Dolanan


Ada beberapa nilai karakter sebagai bagian dari nilai kearifan lokal yang penting untuk
ditanamkan dalam pembentukan kepribadian anak, khususnya Sekolah Dasar. Berbagai
karakter tersebut sejalan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang mengandung nilai luhur
universal, meliputi: 1) cinta kepada Tuhan dan alam semesta, 2) tanggung jawab,
kedisiplinan, dan kemandirian, 3) kejujuran, 4) hormat dan sopan santun, 5) kasih sayang,
kepedulian, dan kerja sama, 6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, 7)
keadilan dan kepemimpinan, 8) baik dan rendah hati, 9) toleransi, cinta damai, dan persatuan
10
. Nilai karakter di atas sudah ada dalam tembang dolanan sebagai hasil karya nenek
moyang bangsa Indonesia.
Dunia pendidikan didekati dengan paradigma yang tidak mampu menggambarkan hakekat
belajar dan pembelajaran secara komprehensif. Praktek-praktek pendidikan dan pembelajaran
sangat diwarnai oleh landasan teoretik dan konseptual yang tidak akurat11. Pendidikan dan
pembelajaran hanya mengagungkan pada pembentukan aspek-aspek kognitif dengan sedikit
ketrampilan serta jauh dari aspek afektif. Sistem pendidikan yang dianut bukan lagi upaya
pencerdasan kehidupan bangsa agar mampu mengenal realitas diri dan dunianya, melainkan
suatu upaya pembutaan kesadaran yang di sengaja dan terencana yang menutup proses
perubahan dan perkembangan. Barometer kelulusan banyak dilihat dari kemampuan kognitif,
kurang memperhatikan perilaku peserta didik. Berikut ini contoh beberapa tembang dolanan
beserta nilai kearifan lokal (local wisdom) yang terkandung di dalamnya:
ILIR-ILIR
Lir ilir, lir ilir, tanduré wus sumilir
Tak ijo royo-royo tak sengguh temantèn anyar
Cah angon, cah angon, pènèkna blimbing kuwi
Lunyu lunyu yo pènèken kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro, dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir
Dondomana j’rumatana kanggo séba mengko soré
Mumpung padhang rembulané, mumpung jembar kalangané.
Yo surako surak hiyo.

9
Purwadi, op. Cit, hlm. 7
10
Lihat Megawangi dalam Rudy, Rita Indrawati, Ideosinkrasi Pendidikan Karakter Melalui Bahasa dan
Sastra. Jakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia FPBS Universitas Negeri Jakarta dan Kepel
Yogyakarta, 2010, hlm. 717
11
Umamah, Nurul, Mengembangkan Aspek-aspek Afektif, Malang: Universitas Malang, hlm. 85

331
Bangunlah, bangunlah! tanaman sudah bersemi
Demikian menghijau bagaikan pengantin baru
Anak gembala, anak gembala panjatlah (pohon) belimbing itu!
Biar licin dan susah tetaplah kau panjat untuk membasuh pakaianmu
Pakaianmu, pakaianmu terkoyak-koyak dibagian samping
Jahitlah, benahilah! untuk menghadap nanti sore
Mumpung bulan bersinar terang, mumpung banyak waktu luang
Bersoraklah dengan sorakan Iya

Syair tembang dolanan yang berjudul Ilir-Ilir diatas mengandung pesan moral yang sarat
dengan nilai-nilai religius, tanggung jawab, kedisiplinan, kerja keras, dan pantang menyerah.
Tembang tersebut menyiratkan pesan bahwa sebagai manusia diminta untuk mampu bangkit
dari keterpurukan, dengan mempertebal iman dan berjuang demi mendapatkan kebahagiaan
(sebagaimana pasangan pengantin baru). Buah belimbing yang dipetik anak gembala atau cah
angon dengan susah payah dianalogikan sebagai perintah Tuhan yang maha kuasa untuk
melaksanakan ibadah sholat lima waktu. Meskipun berat dalam menjalankannya, sampai
diibaratkan pakaiannya tersobek, harus tetap dikerjakan12. Orang yang selalu menjalankan
perintah Tuhan pasti siap bila kapanpun dipanggil.
Lagu Lir-Ilir diatas merupakan lagu dolanan era masuknya Islam di Jawa yang di pelopori
Sunan Kalijaga 13 dalam merebut hati anak-anak yang masih berkeyakinan animisme dan
dinamisme.
GUNDHUL PACUL
Gundhul gundhul pacul cul, gembèlengan
nyunggi nyunggi wakul kul, gembèlengan
wakul ngglimpang, segané dadi sak ratan
wakul ngglimpang, segané dadi sak rattan

Kepala botak tanpa rambut ibarat cangkul, besar kepala (sombong, angkuh)
membawa bakul, dengan gayanya yang besar kepala (sombong, angkuh)
bakulnya jatuh, nasinya tumpah berantakan di jalan tidak bermanfaat lagi)

Syair tembang dolanan Gundhul Pacul menggambarkan sifat seorang anak yang sombong
(gembelengan), dan tidak bertanggung jawab. Sifat dan perilakunya yang buruk,
menyebabkan dirinya tidak mampu bekerja dengan baik, sehingga melakukan hal yang sia-
sia (tidak bermanfaat). Tembang ini mengandung pesan bahwa menjadi orang tidak boleh
12
Nugrahani, Farida, op.cit, hlm. 7
13
Sunan Kalijaga merupakan salahsatu dari sembilan dewan Walisonngo, penyebar agama Islam di Jawa,
selengkapnya baca Chodjim, A, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta
(Anggota IKAPI), 2003

332
merasa paling pintar, paling hebat, sehingga membuat sombong, serta ceroboh14. Sifat ini
hanya menyebabkan kegagalan, dan kesia-siaan, sebab orang yang sombong, serta ceroboh
tidak mampu mengemban amanah dan tanggung jawab dengan baik.
Dua contoh tembang di atas bukti bahwa banyak nilai-nilai karakter yang bisa
diimplementasikan dalam suatu pembelajaran. Tembang Dolanan lainnya yang bisa diajarkan
antara lain, pitik tukung, menthok-menthok, padhang mbulan, jaranan, dan masih banyak
yang lainnya.
C. Implementasi dan Membudayakan nilai-nilai karakter melalui Tembang
Dolanan
Implementasi dan membudayakan nilai-nilai karakter dapat dilakukan melalui berbagai
macam. Paul Supamo mengemukakan ada empat model pembelajaran nilai, yaitu: (1) model
sebagai mata pelajaran tersendiri; (2) model terintegrasi dalam semua bidang studi; (3) model
di luar pembelajaran; dan (4) model gabungan. Masing-masing model memiliki kelebihan
dan kelemahan15.
Pendidikan nilai tidak dapat dilakukan melalui ceramah atau khotbah, atau cerita semata,
karena teknik demikian hanya menambah pengetahuan tetapi jarang melahirkan pengalaman.
Lickona menekankan pentingnya diperhatikan tiga unsur dalam menanamkan nilai, yaitu:
pengertian atau pemahaman tentang nilai yang dipelajari, perasaan, dan tindakan yang sesuai
dengan nilai-nilai tersebut. Ketiga unsur ini saling berkaitan. Guru perlu memperhatikan
ketiga unsur ini agar nilai-nilai yang ditanamkan tidak sekedar sebagai pengetahuan semata,
tetapi menjadi tindakan-tindakan nyata16. Pembelajaran nilai17 yang dapat digunakan dalam
proses pembelajaran yaitu:
a. Strategi pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning);
b. Strategi pembelajaran Inkuiri;
c. Strategi pembelajaran berbasis Masalah;
d. Strategi pembelajaran Kooperatif;
e. Strategi pembelajaran Ekspositori.

Cara mudah yang dapat dilakukan adalah dengan cara mensosialisasikan berbagai macam
tembang dolanan ke sekolah. Guru memasukkan materi Tembang Dolanan ke dalam
kurikulum, salah satunya melalui Muatan Lokal. Dibawah ini pemakalah menggunakan
tembang dolanan ke peserta didik Sekolah Dasar (SD), disebabkan pendidikan budaya lebih
maksimal hasilnya apabila ditanamkan sejak Sekolah Dasar, sehingga nantinya peserta didik
sudah cukup mengenal kebudayaannya.
Berikut Pemakalah sajikan contoh Implementasi Tembang Dolanan di mata pelajaran18, ada
beberapa yang harus disiapkan diantaranya adalah:
1. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar

14
Nugrahani, Farida, op.cit, hlm. 10
15
Lihat Paul Supamo, dkk, Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 53
16
Ibid, hlm. 54
17
Lihat Adisusilo, dan Sutarjo, Pembelajaran Nilai Karakter (Konstruk- tivisme dan VCT sebagai Inovasi
Pendekatan Pembelajan Afektif), Jakarta: Rajawali Press, 2014, hlm. 85-124
18
Baca Departemen Pendidikan Nasional, Model Mata Pelajaran Muatan Lokal, Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional, 2009, hlm. 9

333
Contoh:
Mata Pelajaran : Karawitan
Kelas : IV
Semester :1
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Menabuh gamelan intro 1. Menabuh saron
lagu 2. Menabuh demung
3. Menabuh bonang
4. Menabuh jenglong
5. Menabuh gong
6. Menabuh bersama-sama
2.Menabuh gamelan iringan 1. Menabuh saron satu
Lagu 2. Menabuh saron dua
3. Menabuh bonang
4. Menabuh demung
5. Menabuh jenglong
6. Menabuh goong
7. Menabuh gamelan bersama-sama
3. Menabuh gamelan intro 1. Menabuh gamelan intro lagu bersama
lagu dan iringan lagu sesuai berdasarkan kelompok masing-
masing
1. Menabuh gamelan iringan lagu
bersama berdasarkan kelompoknya
2. Silabus
Komponen silabus minimal memuat: a) identitas sekolah, b) standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar, c) materi pembelajaran, d) indikator, e) kegiatan pembelajaran, f) alokasi
waktu, g) penilaian, dan h) sumber belajar. Implementasinya, silabus dijabarkan dalam
rencana pelaksanaan pembelajaran, dilaksanakan, dievaluasi, dan ditindaklanjuti oleh
masing-masing guru. Silabus harus dikaji dan dikembangkan secara berkelanjutan dengan
memperhatikan masukan hasil evaluasi hasil belajar, evaluasi proses (pelaksanaan
pembelajaran), dan evaluasi rencana pembelajaran.
3. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Setelah silabus selesai dibuat, maka guru perlu merencanakan pelaksanaan pembelajaran
untuk satu kali tatap muka. Adapun komponen dari RPP minimal memuat: a) Tujuan, b)
indikator, c) materi ajar/pembelajaran, d) kegiatan pembelajaran, e) metode pengajaran, f)
sumber belajar.
5. Penilaian
Penilaian pencapaian kompetensi dasar dilakukan berdasarkan indikator. Penilaian dilakukan
dengan menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan

334
kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek atau produk,
penggunaan portofolio, dan penilaian diri. Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk
memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta
didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi
yang bermakna dalam pengambilan keputusan.
Langkah-langkah di atas dapat diterapkan guna membudayakan tembang dolanan sejak dini
kepada peserta didik Sekolah Dasar. Pengertian atau pemahaman terhadap suatu nilai 19
adalah kesadaran, rasionalitas, atau alasan mengapa seseorang harus melakukan hal itu, suatu
pengambilan keputusan berdasarkan nilai-nilai tertentu. Hal ini sering disebut sebagai segi
kognitif dari nilai. Peserta didik dibantu untuk mengerti mengapa suatu nilai perlu dilakukan.
Perasaan mencintai kebaikan dan sikap empati terhadap orang lain merupakan ekspresi dari
perasaan ini. Oleh sebab itu, perasaan terhadap suatu nilai perlu dikembangkan dengan
memupuk perkembangan hati nurani dan sikap empati. Tindakan-tindakan yang dilandasi
oleh nilai yang dijunjung tinggi perlu difasilitasi agar muncul dan berkembang dalam
pergaulan sehari-hari. Lingkungan belajar yang kondusif untuk memunculkan tindakan-
tindakan ini sangat diperlukan dalam pendidikan karakter.
Pendidikan nilai hanya dapat diukur apabila nilai-nilai yang diberikan dilaksanakan atau
direalisasikan di lingkungan peserta didik 20 . Pendidikan nilai termasuk dalam strategi
pembelajaran afektif (sikap). Strategi pembelajaran afektif bukan hanya bertujuan untuk
mencapai pendidikan kognitif saja, melainkan juga sikap dan ketrampilan seseorang.
Pendidikan afektif erat kaitannya dengan nilai (value). Oleh karena itu, pendidikan sikap
pada dasarnya adalah pendidikan nilai. Istilah pendidikan nilai dibangundari dua kata yaitu
nilai dan pendidikan. Kata nilai berasal dari value (bahasa Ingris) yang berarti harga. Jadi
nilai adalah sesuatu yang berharga21.
III. Kesimpulan
Tembang dolanan bukan hanya sebagai lagu biasa untuk hiburan dan nyanyian anak-anak
kecil akan tetapi merupakan karya seni yang menarik karena di dalamnya tersirat makna yang
penting bagi kehidupan manusia. Tembang dolanan berisi pesan-pesan moral yang sesuai
bagi pembentukan karakter atau budi pekerti luhur bagi anak bangsa. Makna yang dimaksud
antara lain adalah pesan moral kepada anak-anak untuk memiliki sikap dan kepribadian yang
religius, mengutamakan kebersamaan dan keselarasan dalam berhubungan dengan orang lain,
tidak memiliki sifat sombong, mawas diri, dan saling menghargai
Banyak nilai-nilai luhur universal didalam tembang dolanan, meliputi: (1) cinta kepada
Tuhan dan alam semesta; (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; (3) kejujuran;
(4) hormat dan sopan santun, (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama, (6) percaya diri,
kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; (7) keadilan dan kepemimpinan; (8) baik dan
rendah hati; (9) toleransi dan cinta damai, sehingga perlu adanya tindakan nguri-uri budaya.
Implementasi dan pembudayaan tembang dolanan dalam sekolah untuk membentuk karakter
peserta didik dapat dilakukan melalui (1) model sebagai mata pelajaran tersendiri; (2) model
terintegrasi dalam semua bidang studi; (3) model di luar pembelajaran; dan (4) model
gabungan.

19
Nilai merupakan kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai, diinginkan, dikejar, dihargai,
berguna dan dapat membuat orang yang menghayatinya menjadi bermartabat. Baca Adisusilo, op.cit, hlm. 56
20
Baca Tilaar, H. A. R, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektid Abad 21,
Magelang: Tera Indonesia, 1999, hlm. 88-93
21
Lihat Mulyana, R, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung: Alfabeta, 2011, hlm. 7

335
DAFTAR PUSTAKA

Adisusilo, Sutarjo. 2014. Pembelajaran Nilai Karakter (Konstruktivisme dan VCT sebagai
Inovasi Pendekatan Pembelajan Afektif). Jakarta: Rajawali Press

Chodjim, A. 2013. Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta
(Anggota IKAPI)

Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Model Mata Pelajaran Muatan Lokal. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional

Diyono. 1996. Kempalan Gendhing-gendhing Pahargyan. Surakarta:Cendrawasih

Megawangi, Ratna. 2007. Character Parenting Space. Publishing House Bandung: Mizan

Mulyana, R. 2011. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.

Nugrahani, Farida. 2008. Reaktualisai Pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa dalam Konteks
Multikultural dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah dalam Kerangka Budaya.
Yogyakarta: Tiara Wacana.

Paul Supamo, dkk. 2002. Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah. Yogyakarta: Kanisius.

Purwadi. 2010. Diktat, Seni Tembang I. Yogyakarta: Pendidikan Bahasa Daerah, Fakultas
Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI). Jakarta

Spradley, James. P. 2007. The Etnographic Interview. (Edisi terjemahan Misbah Zulfa
Eliza).Yogyakarta: PT Tiara Wacana.

Rudy, Rita Indrawati. 2010. Ideosinkrasi Pendidikan Karakter Melalui Bahasa dan Sastra.
Jakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia FPBS Universitas Negeri Jakarta
dan Kepel Yogyakarta.

336
Tilaar, H. A. R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektid
Abad 21. Magelang: Tera Indonesia

Umamah, Nurul. 2009. Mengembangkan Aspek-aspek Afektif. Malang: Universitas Malang

337
Transformasi Budaya Petani dan Pembangunan Desa di Korea Selatan : Dampak
Gerakan Saemaul Undong
Nur Aini
Universitas Gadjah Mada

Abstrak
Secara historis, pembangunan pedesaan Korea Selatan pasca-1945 dapat dibagi menjadi dua
fase utama: periode pertumbuhan yang lambat (atau bahkan stagnasi) dan era pembangunan.
Awalnya negara Korea Selatan menghadapi kemiskinan pedesaan yang serius dan kekacauan
ekonomi. Kemudian, bagaimanapun, pemerintahan Park Chung Hee berhasil
mengembangkan sektor pertanian, meskipun di Korea Selatan pertumbuhan produksi
pertanian tidak menjadi sedinamis pertumbuhan industri. Korea Selatan merupakan negara
yang mewarisi sektor pedesaan berorientasi ekspor yang berlebihan pada masa pemerintahan
kolonial. Masalah-masalah ekonomi memerlukan solusi yang cepat, namun di awal
kemerdekaan negara harus mengatasi krisis politik dan militer yang serius (konflik gerilya
Korea Selatan 1948-1949, Perang Korea di Korea 1950-1953. Hal ini menghasilkan dampak
buruk terhadap perekonomian dan kemiskinan di pedesaan yang menjadi lebih parah di
negara itu. Berkat reformasi tanah yang dilakukan di bawah Syngman Rhee dan bantuan
Amerika, Korea Selatan berada dalam situasi yang lebih baik, tetapi pada awal tahun 1960
pertaniannya masih terbukti cukup terbelakang. Hal ini disebabkan prioritas pembangunan di
Korea Selatan lebih menekankan pada industrialisasi.
Kondisi yang demikian menyadarkan masyarakat Korea bahwa pembangunan dibidang
pertanian perlu juga diperhatikan, sehingga akan terjadi keseimbangan pembangunan
masyarakat desa baik dibidang Industri maupun pertanian. Demikian pula, masyarakat Korea
telah disadarkan oleh adanya proses modernisasi yang merupakan proses kecenderungan
sejarah peradaban dunia, sehingga masyarakat Korea berusaha berjuang membangun
negaranya kearah modern. Kondisi yang seperti itu membuat pemerintah Korea melakukan
pembangunan tidak hanya ditekankan pada pembangunan industrialisasi, tetapi pembangunan
masyarakat desa yang telah lama dilakukan oleh petani dengan budaya mereka lebih
diperhatikan.

A. Pendahuluan

Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu peristiwa yang berproses. Pembangunan


sebagai proses perkembangan peristiwa kehidupan manusia mengalami kontinyuitas dan
perubahan yang bertahap dari masa ke masa untuk mencapai keadaan yang harus dicapai.
Capaian dalam bentuk tingkat-tingkat tertentu harus diraih untuk dapat dikatakan bahwa
pembangunan telah mencapai tahap tertentu dan memasuki tahap berikutnya. Oleh karena itu,
ketika orang membicarakan dimensi global pembangunan, maka Negara harus merujuk pada
kenyataan hubungan Internasional sejak awal hingga saat ini. Hal ini disebabkan bekerjanya
kekuatan “pasar” secara universal menjadi faktor dominan hubungan global perekonomian
antar Negara dan selanjutnya akan memiliki dampak besar pada dimensi nilai, struktur, dan
normatif dari konseptualisasi pembangunan, meliputi perumusan-perumusan tujuannya harus
tunduk pada setting global sebagai kekuatan dominan.

338
Pada waktu pembangunan dioperasionalkan, penentu kebijakan sering terjebak pada
struktur dan tata nilai masyarakat Barat, sehingga “keinginan global” dianggap harus
diterima secara universal. Dimana negara-negara di Asia dulu dan sekarang berada, kemana
negara-negara di Asia hendak pergi, dan bagaimana cara negara-negara Asia menuju tempat
yang akan dituju melalui pembangunan di era globalisasi ini? Untuk dapat mengerti makna
dari pembangunan di Korea Selatan dan Indonesia di era globalisasi tulisan ini akan
menelaah perkembangan sejarah dari pembangunan di negara Korea dan Indonesia dengan
merunut peristiwa-peristiwa Internalisasi. Pada abad ke-19 Cina memiliki pengaruh yang
kuat baik di bidang kebudayaan, religi, sistem pemerintahan dan ekonomi di Korea.
Demikian pula, pada masa pemerintahan Presiden Park Chung Hee gerakan pembangunan
yang dikenal dengan Saemaul Undong digalakkan guna pembangunan ekonomi yang
memprioritaskan pertumbuhan dan produktivitas. Adapun pada periode Presiden Kim young
Sam, masyarakat Korea mengharapkan presiden dapat mengemban tugasnya dengan
membangun Negara yang lebih demokratis di era globalisasi ini.
Pada tahun 1966 sejak dibukanya hubungan diplomatik kenegaraan tingkat konsuler,
hubungan pemerintah daerah antara Korea Selatan dan Indonesia meningkat baik di bidang
sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Hubungan kerjasama yang pertama kali di Indonesia di
bidang pembangunan desa (gerakan Saemaul Undong) dilakukan oleh pemerintah provinsi
Gyeongsangbuk-do dengan pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sejak tahun 2007.
Adapun Implementasi gerakan Saemaul Undong (SU) di Indonesia dilaksanakan pertama kali
di Daerah Istimewa Yogyakarta. Gerakan SU diselenggarakan atas kerja sama Provinsi
DI.Yogyakarta dengan Provinsi Gyeongsangbuk-do Korea Selatan yang ditandatangani oleh
Gubernur DI. Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan Gubernur Provinsi
Gyeongsangbuk-do, Mr. Kim Kwan Yong pada tahun 2008.
Tulisan ini akan melihat bagaimana Korea Selatan dan Indonesia melakukan
pembangunan di era globalisasi. Pada periode kontemporer proses globalisasi dikendalikan
oleh kekuatan neoliberal melalui World Trade Organization (WTO) dan negara-negara
industri maju telah memaksa negara-negara dunia ketiga untuk menerapkan kebijakan
perdagangan bebas atau mereka akan terisolasi di arena internasional yang didominasi oleh
negara- negara kapitalis. Hal ini menyebabkan negara-negara di dunia ketiga mengorbankan
kepentingan nasional untuk mengikuti tren globalisasi. Paper ini menitikberatkan pada
betapa pentingnya pembangunan di Korea Selatan dan Indonesia di era globalisasi. Dengan
melihat peristiwa yang dilakukan di dua negara itu dalam proses perubahannya akan dapat
dipahami persoalan pembelajaran pembangunan lebih mendalam. Lebih jauh akan dilihat isu-
isu yang mempengaruhi seperti apa globalisasi terjadi sejak awal dan bagaimana proses
perubahan pembangunan yang terjadi hingga kini.

B. Kerangka Pemikiran :

Pembangunan Desa dan Peranan Pemerintah Dalam Pembangunan Desa


di era Globalisasi

Perdebatan yang mewarnai pemikiran tentang pembangunan pedesaan di negara-


negara berkembang adalah bagaimana merubah sistem pemerintah dalam usahanya untuk
meningkatkan modernisasi dan pembangunan pedesaan. Konsep pembangunan desa terpadu

339
diterapkan karena kebutuhan untuk mengkoordinasikan kebijakan sektoral dan program yang
didirikan oleh berbagai lembaga untuk memecahkan persoalan pembangunan desa. Target
utama dari program pembangunan desa adalah meningkatkan produktivitas dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Untuk mencapai target itu secara khusus
adalah diperlukan pembangunan infrastruktur, menciptakan pekerjaan di desa, dan
meningkatkan produksi pertanian.
Menurut Waterson, ada enam unsur dasar yang dimiliki program pembangunan desa
terpadu yaitu 1. Pembangunan pertanian dengan tenaga kerja yang intensif, 2. Kesempatan
kerja yang baru perlu diciptakan, 3. Tenaga kerja berskala kecil diintensifkan oleh
pembangunan industri kecil di wilayah pedesaan, 4. Ditingkatkan kepercayaan pada diri
sendiri dan partisipasi masyarakat desa dalam pengambilan keputusan, 5. Pembangunan
wilayah kota dapat membantu pembangunan desa, 6. Lembaga pembangunan dapat
mengkoordinasikan proyek dari berbagai macam sektor. 1
Prinsip lain dari pembangunan masyarakat meliputi pertama, pertumbuhan pertanian
sebagai kondisi awal yang cukup untuk pembangunan pedesaan seperti diversifikasi
pertanian, industri desa, dan organisasi desa dilakukan oleh petani itu sendiri. Kedua,
urbanisasi sebagai suatu faktor yang menfasilitasi pembangunan desa. Prinsip ini
menekankan pada transformasi dari sektor pertanian subsisten menjadi sektor pertanian pasar.
Pendekatan ini juga menganggap adanya penyatuan antara strategi Top-down dan
strategi bottom-up. Strategi Top-down menekankan pada kebijakan pemerintah, sedangkan
strategi Bottop-up strategi yang menekankan pada sumber daya lokal dan keikutsertaan
masyarakat pedesaan untuk melakukan program pembangunan desa. Dengan demikian,
keberhasilan strategi pembangunan desa dapat terwujud jika mengkombinasikan kedua
strategi itu.
Kombinasi kedua strategi Top-down dan strategi bottom-up adalah mencoba
menyeimbangkan kekuatan negara dan kekuatan masyarakat pedesaan dalam menentukan
arah dan tujuan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat pedesaan. Dengan demikian,
dalam menggerakkan pembangunan di wilayah pedesaan harus ada equal-partnership antara
rakyat desa dan aparat perencana dan pelaksana pembangunan.

C. Saemaul Undong dan Proses Modernisasi


Selama Rencana Pembangunan Lima Tahun pertama dan kedua (1962-1971) Park
Chung Hee memiliki kebijakan peningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi.
Akan tetapi, kebijakan ini memiliki aspek negatif. Permasalahan yang sangat serius adalah
melebarnya jurang antara pendapatan perkotaan dan pedesaan. Jika industrialisasi telah
menyebabkan terciptanya "masyarakat ganda," yaitu, daerah kantong industri dikelilingi oleh
daerah pedesaan yang terbelakang, ini akan akhirnya memperlambat proses modernisasi
secara keseluruhan. Kesadaran akan beratnya masalah ini membuat Park Chung Hee
bertekad untuk mengurangi kesenjangan antara standar hidup perkotaan dan pedesaan. Pada
tahun 1970 pada akhir Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua, Park Chung Hee
memprakarsai kebijakan pembangunan pedesaan yang kemudian dikenal dengan Saemaeul
Undong. Kesadaran ini disebabkan bahwa Presiden Park Chung Hee sendiri dibesarkan di
sebuah peternakan di Provinsi North Kyongsang, sehingga memiliki pemahaman yang baik
1
Sunyoto Usman, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat (Development and Society Deceive),
Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2004. hlm. 45.

340
tentang masalah pedesaan. Selanjutnya pembangunan pedesaan yang dicanangkan pada masa
pemerintahan Park chung Hee dilakukan dengan sistem mobilisasi negara dari atas ke bawah
dengan pendekatan laissez-faire. Dengan demikian modernisasi desa Korea Selatan dilakukan
di bawah kontrol yang kuat dan bimbingan dari pemerintah. Misalnya, koperasi pedesaan
Korea Selatan adalah organisasi simpan pinjam yang dikelola dan dikontrol ketat oleh negara,
bukan dikelola asosiasi sukarela.
Saemaeul Undong bertujuan mereformasi pembangunan dan memodernisasikan
masyarakat. Pemerintah menyatakan bahwa masyarakat pedesaan harus mereformasi diri
sesuai dengan pedoman pemerintah, memperbaiki kebiasaan buruk mereka, dan
menggunakan sumber daya mereka sendiri untuk membangun desanya. Pendekatan ini
membuat pemerintah memperbaiki kondisi administrasi, ekonomi, dan budaya serta
merevolusi mental penduduk. Gagasan dan semangat Saemaul Undong telah
dikumandangkan oleh Presiden Park Chung Hee pada acara pertemuan gubernur-gubernur
se-Korea tanggal 22 April 1970; “If we can create and develop the spirit of self-reliance and hard
work, I believe that all rural villages will soon turn into prosperous and tidy places to live in. We may
call such a drive Saemaul Undong”.2
“Saemaul Undong” berasal dari kata Sae yang berarti baru yang mengacu pada nilai-
nilai modernisasi, sedangkan Maul berarti desa yang mengacu pada nilai-nilai tradisional
masyarakat. Adapun kata Undong artinya adalah gerakan. Dengan demikian, kata Saemaul
Undong memiliki arti gerakan desa baru.
Saemaul Undong dapat disimpulkan sebagai gerakan untuk melakukan modernisasi
dan sekaligus melanjutkan nilai-nilai tradisional yang masih relevan untuk masyarakat.
Dalam rencana pembangunan desa ini Saemaul Undong memiliki tiga keunikan yang
menarik yang berbeda dengan rencana pembangunan di negara-negara lain pada waktu itu.
Keunikan itu terletak dari bagaimana prinsip yang dimiliki dari Saemaul Undong yaitu Rajin
(Diligence), Mandiri (Self-help), dan Gotong royong (Cooperation). 3 Dengan demikian,
Saemaul Undong dapat dikatakan sebagai suatu gerakan “revolusi mental” dengan tujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan, memperbaiki lingkungan fisik dan sosial masyarakat desa
itu sendiri.
Gerakan revolusi mental ini mengajak masyarakat untuk membangun kemampuan diri
sendiri serta kerja sama yang baik dengan masyarakat sekitar. Gerakan ini berhasil
membangkitkan keinginan masyarakat untuk membangun desanya, sehingga gerakan ini juga
mendukung kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah. Gerakan SU menekankan
pada pembangunan dan perbaikan infrastruktur seperti listrik, jalan, sarana komunikasi dan
lain-lain di pedesaan dan melakukan program penghijauan (revolusi hijau).
Gerakan Saemaul Undong secara praktis dimulai pada bulan Oktober 1970 dengan
mendorong kemandirian di masyarakat pedesaan melalui gotong royong bersama antara penduduk
desa. Lingkup gerakan ini merupakan gerakan nasional (nation-wide movement) untuk pembangunan
ekonomi dan bangsa Korea Selatan. Pemimpin desa dan organisasi masyarakat desa membuat
kebijakan Gerakan Desa Baru dengan semangat mandiri (self-help), rajin (diligent), dan gotong
royong (cooperation).

2
Boyer, William W., and Ahn, Byong Man. Rural Development in South Korea: A Sociopolitical
Analysis (London: University of Delaware Press, 1991), p. 33.
3
The National Council of Saemaul Undong Movement In Korea, Saemaul Undong In Korea, Seoul,
hlm.6.

341
Semangat mandiri (self-help) adalah keinginan untuk berdiri sendiri tidak bergantung
pd orang lain atas upaya upaya yang diwujudkan dengan semangat mandiri. Pepatah orang
Korea mengatakan bahwa “Surga hanya dapat diraih oleh seseorang apabila orang tersebut
mau merubah dirinya sendiri”. Hal utama yang harus dilakukan untuk menuju semangat
mandiri adalah memahami dirinya sendiri, selanjutnya menempatkan dirinya untuk
berpartisipasi dalam masyarakat, dan bertanggung jawab atas keputusan yang mereka
lakukan di dalam masyarakat.
Rajin (dilligent) adalah orang yang suka bekerja dengan giat sesuai dengan rencana-
rencana yang dikehendaki. Rakyat Korea diajak untuk bekerja keras membangun dan
memodernisasikan negaranya yang dilandasi dengan rasa keadilan dan saling percaya.
Mandiri dan rajin diperlukan untuk membangun negara menuju masyarakat yang
modern. Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam membangun negara diperlukan pula
kebersamaan dengan bekerja sama (gotong royong) sesama masyarakat agar rencana-rencana
pembangunan dapat diwujudkan. Keinginan untuk bekerja sama tidak hanya bermaksud
melestarikan tradisi saling membantu, tetapi juga membantu individu untuk memperbaiki
kehidupannya dengan meningkatkan sikap partisipasi dan kompetisi.

D. Saemaul Undong dan Pembangunan Nasional di Korea


Selatan
Sejak 1961 kudeta militer d'etat yang dipimpin oleh Park Chung Hee, perekonomian
Korea Selatan mulai berkembang dengan pesat. Di bawah Park Chung Hee, tujuan dasar
kebijakan ekonomi adalah untuk menciptakan ekonomi yang “self-sustained” and “self-
sufficient. Tujuan utama dari kebijakan pertanian adalah untuk meningkatkan produksi
pertanian dan peningkatan posisi sosial serta ekonomi petani. Dalam rangka menciptakan
landasan hukum bagi pelaksanaan berbagai kebijakan dan program pertanian, pada tahun
1967 pemerintah mengeluarkan UU Pertanian. Demikian pula, pemerintah membuat berbagai
program kebijakan untuk meningkatkan produksi pertanian, termasuk perluasan fasilitas
irigasi, peningkatan pasokan pupuk dan pestisida, serta menyediakan simpan pinjam untuk
petani.
Kebijakan pertanian Park Chung Hee meliputi: 1) pengembangan unit pertanian yang
layak melalui pembangunan pertanian daerah; 2) perluasan lahan pertanian dan padang
rumput; 3) penstabilan harga produk pertanian pada tingkat yang wajar; 4) promosi industri
peternakan; 5) pengembangan sumber daya kehutanan; dan 6) mendorong organisasi
pertanian di berbagai tingkatan.4
Dalam kasus mekanisasi pertanian, perhatian utama pemerintah diarahkan untuk
memberikan petani dengan peralatan yang mudah dioperasikan seperti pompa air,
penyemprot tumbuhan, dan bajak.
Adapun strategi pembangunan pertanian ditetapkan dalam kerangka tujuan yang luas
yaitu pembangunan yang seimbang antara sektor pertanian dan industri. Tujuan itu meliputi:
1) pencapaian distribusi pendapatan yang lebih merata; 2) percepatan ekspansi produksi biji-
bijian pangan dan pencapaian swasembada beras; 3) peningkatan infrastruktur pedesaan; 4)
pengembangan sumberdaya lahan dan air untuk mencapai semua hasil pertanian;, 5)
4
Campbell, M.J. New Technology And Rural Development: The Social Impact. (New York:
Routledge, 1990), p. 201.

342
percepatan mekanisasi pertanian dan 6) peningkatan fasilitas pemasaran hasil produksi
pertanian.5
Di bawah pemerintahan Park Chung Hee, empat Rencana Pembangunan Lima Tahun
di bidang Ekonomi dikembangkan. Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang
pertama dan kedua 1962-1971, kebijakan pemerintah adalah merangsang pertumbuhan
ekonomi melalui industrialisasi dan pertanian. Pada Repelita pertama (1962-1966) kebijakan
pemerintah selain menekankan pada industri tekstil juga menekankan pada upaya
peningkatan produksi bahan pangan dan modernisasi sistem produksi pertanian serta
perluasan areal pertanian. Di samping itu, pemerintah juga memperbaiki sistem penelitian
dan penyuluhan pertanian dengan menetapkan satu organisasi Rural Development
Administration (RDA) sebagai wadah yang mengorganisasikannya. Dana untuk melancarkan
repelita pertama ini mendapat bantuan dari Amerika Serikat karena Korea Selatan
merupakan negara yang miskin akan sumber daya alam, sehingga pada awal berdirinya
negara setelah perang Korea (1950-1953), Korea Selatan tidak memiliki modal untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonominya.
Repelita kedua (1967-1971) Korea selatan lebih beralih menjadi negara industri berat.
Akan tetapi, rencana pembangunan ini memiliki dampak negatif yaitu telah terjadi
kesenjangan pendapatan yang tajam antara penduduk di perkotaan dan di pedesaan.
Kesenjangan yang tajam antara penduduk di pedesaan dan perkotaan antara lain karena
kebijakan pemerintah tentang harga bahan pokok seperti harga gandum dan beras ditetapkan
di bawah harga pasar dengan tujuan untuk menyediakan bahan makanan bagi penduduk
perkotaan khususnya yang bekerja di lingkungan perindustrian. Oleh karena itu, pada tahap
kedua pembangunan ini presiden Park Chung Hee lebih menfokuskan pada pengembangan
berbagai varietas padi berdaya hasil tinggi seperti Tongil.
Pada tahap ketiga (1972-1976), Presiden Park Chung Hee melalui gerakan Saemaul
undong mencanangkan program pencukupan kebutuhan pangan penduduk dari produksi
sendiri. Meskipun pada periode ini menekankan pembangunan industri petrokimia berskala
besar serta mengembangkan mekanisasi, tetapi tujuan pembangunan industri petrokimia ini
adalah untuk mendukung pembangunan desa dan pembangunan pertanian.
Pada tahun 1970 pemerintah telah melaksanakan program pembangunan
masyarakat desa untuk mengubah desa tradisional menjadi desa baru. Proyek yang
dilaksanakan mencakup semua sektor penentu modernisasi pedesaan, yaitu:6
1. Perbaikan jalan desa
2. Renovasi perumahan petani
3. Perbaikan sistem penyediaan air
4. Listrik masuk desa
5. Pengenalan bibit unggul
6. Kampanye penghematan
7. Pembangunan balai desa
8. Partisipasi wanita desa dalam urusan pedesaan
9. Pelatihan pemimpin desa
10. Dan lain-lainnya.
Dengan melihat proyek yang dilaksanakan, maka Saemaul Undong dapat dikatakan sebagai
suatu pembangunan desa terpadu guna mempercepat modernisasi pedesaan.
5
Ibid., p. 476
6
Park, Chang-Ho, New Community Movementin Korea: Philosophy and Application of Saemaul
Undong (KOICA, 2002), p. 21-23.

343
Dalam pelaksanaan gerakan ini, pemerintah hanya memberikan bantuan dalam bentuk
semen dan bahan bangunan lainnya. Dengan investasi pemerintah untuk semen sebesar
US$ 10 juta, maka pendapatan per kapita penduduk dapat meningkat dengan tajam dari
US$ 1.025 pada tahun 1971 menjadi US$2.961 pada tahun 1977. Gerakan ini selain
membangun wilayah pedesaan secara bersama, juga menumbuhkan kepercayaan masyarakat
Korea akan potensi yang dimiliki serta membangun mentalitas untuk bekerja keras guna
mencapai kesejahteraan yang lebih baik. Untuk mencapai tujuan SU, pemerintah Korea
Selatan memobilisasi kekuatan militer dan berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat
yang selanjutnya termotivasi untuk mencapai tujuan itu melalui kerja keras.
Semangat “kerja keras” yang telah diajarkan dalam masyarakat hingga sekarang
menjadi moto mayarakat Korea. Pada kenyataannya dengan bekerja keras masyarakat dapat
berhasil dalam membangun desa secara bersama-sama. Keberhasilan SU adalah mengubah
pola pikir masyarakat dalam memandang berbagai peluang yang ada disekitarnya, baik
sebagai individu maupun sebagai masyarakat luas.
Setelah diadakan Saemaul Undong, para petani di pedesaan Korea mulai memperbaiki
lingkungan hidup, meningkatkan hasil produksi pertanian, dan petani-petani yang hidup di
bawah garis kemiskinan memiliki rasa percaya diri.
Dengan demikian, tujuan program Saemaul Undong (SU) adalah memberikan solusi
yang mendasar terhadap persoalan-persoalan ekonomi dari masyarakat pedesaan di Korea
Selatan. Program SU menekankan pada kesejahteraan, pembangunan, dan pemerataan
pertumbuhan ekonomi. SU didirikan dalam usahanya untuk menyeimbangkan pertumbuhan
ekonomi baik di bidang pertanian, industri maupun di bidang ekonomi dengan proses
distribusi pendapatan secara merata.
E.Pembangunan Pedesaan Di Indonesia dan
Pembelajaran dari Pembangunan Pedesaan di Korea Selatan

Pada prinsipnya bangsa Indonesia telah memiliki konsep pembangunan


pedesaan dan pertanian sejak awal Orde Baru. Konsep itu telah dimatangkan dalam berbagai
cetak biru pembangunan pedesaan, dan juga dalam Garis-Garis Besar Haluan negara serta
Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Apabila Thailand berhasil
mengembangkan desanya dengan model one tamboen one product, sementara Korea Selatan
dengan gerakan Saemaul Undong, di Indonesia desa dikembangkan dengan visi “satu desa-
satu penyuluh satu produk unggulan”.7
Melihat pengalaman pembangunan pedesaan di Korea Selatan, kondisi di Indonesia
mirip dengan Korea Selatan. Pada mulanya Indonesia mengalami problem yang serius
mengenai kemiskinan desa dan kekacauan ekonomi. Pada masa pemerintahan Kolonial
Belanda Indonesia merupakan negara underdeveloped yang sangat berorientasi pada ekspor
sektor pedesaan. Pada periode pertama pembangunan pedesaan setelah kemerdekaan secara
dominan juga diwarnai dengan ketidakstabilan politik dan krisis militer. Kondisi ini
mengakibatkan menurunnya kemampuan pemerintah baik pemerintah pusat maupun
pemerintah lokal untuk pembangunan pedesaan. Periode 1945 hingga 1965 diwarnai dengan
penurunan kemampuan pegawai di tingkat desa untuk menjalankan otoritasnya. Konflik
7
Menteri Pertanian Dr. Anton Apriyantono dalam kunjungannya ke beberapa lokasi Prima Tani di
Jawa Timur,
http://pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/wr29607j.pdf, diakses 20 September 2016.

344
ideologi dan politik antara golongan Komunis dan Angkatan Darat semakin memuncak
sehingga mengakibatkan usaha pemerintah untuk melaksanankan pembangunan pedesaan
mengalami kemandegan. Setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan, maka pada tahun
1967 ia merancang program “Pembangunan Nasional” yang salah satunya melalui “revolusi
hijau”.
Demikian pula, Korea Selatan diliputi dengan perang Saudara pada tahun 1950-1953
dan berlanjut dengan dibaginya negara Korea menjadi dua yaitu Korea Selatan dan Korea
Utara hingga sekarang. Konflik ideologi dan politik melibatkan negara lain ikut campur
tangan seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Cina. Akan tetapi, dua negara dengan
kekuatannya dapat membangun infrastruktur hingga Korea Selatan dapat menjadi negara
maju di era global, sedangkan Indonesia masih harus banyak belajar dari Korea bagaimana
negara Korea Selatan dapat dengan cepat membangun.
Perbedaan negara Korea Selatan dengan Indonesia adalah pemerintah Korea dapat
memanfaatkan kondisi masyarakat yang memiliki kebersamaan yang kuat. Meskipun
Swasembada beras dapat dicapai tahun 1979, namun jumlah petani yang memiliki
penghidupan di pertanian dalam proses perkembangan sejarahnya tidak drastis berkurang.
Adapun pembangunan pedesaan di Indonesia kurang dilandasi semangat untuk
mengembangkan pertanian dalam suatu komunitas. Hal ini menyebabkan banyaknya
penduduk pedesaan yang berkeinginan untuk melakukan urbanisasi atau beralih kegiatan
menjadi tenaga buruh di sektor industri.
Pemerintah juga kurang mengembangkan masyarakat dari sisi mentalitas penduduk di
pedesaan. Masyarakat terbiasa mencari jalan mudah, sehingga semangat untuk maju dan
bekerja keras untuk membangun desanya tidak dijadikan prinsip yang kuat dalam kegiatan
masyarakat di desa. Akibatnya sumber daya manusia masih tergolong rendah, sehingga
masyarakat desa tidak dapat menjadi modal pembangunan di desa mereka sendiri.
Dalam proses pembelajaran, implementasi gerakan Saemaul Undong (SU) di
Indonesia dilaksanakan pertama kali di Daerah Istimewa Yogyakarta. Gerakan SU
diselenggarakan atas kerja sama Provinsi DI.Yogyakarta dengan Provinsi Gyeongsangbuk-do
Korea Selatan yang ditandatangani oleh Gubernur DI. Yogyakarta, Sri Sultan
Hamengkubuwono X, dan Gubernur Provinsi Gyeongsangbuk-do, Mr. Kim Kwan Yong pada
tahun 2008. 8
Dukuh Batusari yang terletak di desa Kampung, Kecamatan Ngawen, Kabupaten
Gunungkidul menjadi dukuh percontohan gerakan Saemaul Undong dari tahun 2007 hingga
2009. Di dukuh Batusari Provinsi Gyeongsangbuk-do memberikan bantuan untuk mendirikan
balai pertemuan desa yang diberi nama “Gedung Saemaul”, pembangunan jalan,
penyempurnaan sumur bor, dan 15 ekor sapi. 9
Program Saemaul Undong ini selanjutnya dikembangkan di desa Salamrejo
Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, dan juga di desa Bantul. Meskipun terbatas
hanya pengiriman volunteer yang terdiri dari mahasiswa dan tenaga medis, tetapi Saemaul
Undong di desa ini telah memberikan dampak besar bagi penduduk desa yaitu revolusi
mental. Di desa itu Saemaul Undong lebih menekankan pada pemberian semangat dan
merevolusi mental penduduk agar memiliki ethos kerja yang tinggi dengan melakukan
pelatihan-pelatihan Kepemimpinan.10

8
Wawancara dengan Bapak Imam dan Bapak Bambang di BKPM PEMDA, 23 Oktober 2014.
9
Wawancara dengan Bapak Sutikno di desa Kampung, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul
pada tanggal 29 Oktober 2014
10
Wawancara dengan Bapak Cahyo di Pemda BKPM Yogyakarta pada tanggal 29 Oktober 2014.

345
Pembelajaran Saemaul Undong juga dilakukan di desa Sumbermulyo,
Kecamatan Bambang Lipuro, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Sumbermulyo,
Kecamatan Bambang Lipuro terletak disebelah Selatan Ibukota Kabupaten Bantul. Desa
Sumbermulyo terdiri dari 14 dusun antara lain: Tangkilan, Kedon, Jogodayoh, Derman,
Cepoko, Kintelan, Samen, Gersik, Caben, Gunungan, Plumbungan, Kaligondang, Bodalem,
Siten. Wilayah bagian dari desa Sumbermulyo yang meliputi Plumbungan, Kaligondang,
Jogodayoh, Gunungan, Samen, dan Derman dikenal dengan istilah Ganjuran. Nama itu
merupakan nama orang yaitu Kyai Ganjur yang pernah tinggal di dusun Plumbungan.

III. Kesimpulan

Melalui gerakan SU, Korea Selatan dapat bangkit untuk membangun pedesaan dan
diikuti oleh Rencana Pembangunan Ekonomi Lima Tahun (Five-Years Economic
Development Plan ) 1962−1976 yang berhasil mengubah wilayah pedesaan menjadi dasar
pembangunan Korea secara menyeluruh, sehingga Korea Selatan dapat menjadi salah satu
negara maju di dunia peringkat ke 11 di bidang ekonomi.
Strategi SU merupakan cara untuk memecahkan permasalahan di daerah pedesaan.
SU mengadopsi strategi top-down, tetapi juga menggunakan strategi bottom-up. Strategi SU
yang demikian adalah unik karena pemerintah pusat memiliki peran yang penting untuk
merencanakan, mengkontrol, mendukung, mengkoordinasi, dan mengawasi SU, sedangkan
orang desa diberi kebebasan untuk memilih pemimpinnya secara demokratis. Strategi
Saemaul Undong seperti ini dapat diimplementasikan di Indonesia, meskipun Indonesia telah
memiliki program pembangunan desa yang mirip dengan Saemaul Undong. Beberapa strategi
pembangunan pedesaan yang tidak dimiliki di Indonesia khususnya bagaimana strategi
merevolusi mental penduduk pedesaan sebagaimana yang dimiliki Saemaul Undong.
Program Saemaul Undong di DI. Yogyakarta membawa keberhasilan dalam perbaikan
infrastruktur desa, peningkatan income penduduk; penyediaan air bersih, dan peningkatan
ethos kerja yang tinggi. Oleh karena itu, harapan kedepan aparat desa terhadap Saemaul
Undong di desa ini adalah: 1. pengadaaan mesin giling untuk memproduksi pakan ternak; 2.
Pengadaan mesin traktor untuk mengembangkan pertanian; 3. Pengadaan terminal untuk pos
lalu lintas antar wilayah Ngawen-Yogya dan Ngawen-Solo; 4. Pembuatan pupuk organik; 5.
Pengadaan beasiswa untuk siswa SD dan SMP; 6. Penambahan bantuan semen; 7.
Mendirikan pasar untuk hasil produksi industri masyarakat; 8. Pelatihan mental agar
memiliki semangat kerja keras.11

Daftar Pustaka

Boyer, William W., and Ahn, Byong Man. Rural Development in South
Korea: A Sociopolitical Analysis. London: University of Delaware Press, 1991.

11
Wawancara dengan Bapak Imam Udin, Bapak Sumardi, dan Bapak Heri di desa Kampung pada
tanggal 28 Oktober 2014.

346
Bok Han, Sang and Kwang-Ok Kim (Eds.). Traditional Cultures of The Pacific Societies
Continuity and Change. Seoul : Seoul National University Press, 1986.

Brem Markus and Kyung Ryangkim, Agricultural Transition In Central and Eastern
Europe Lessons for the Korean Peninsula. Chuncheon, Korea: Kangwon National
University Press, 2002.

Brown, Lester R. The green Revolution In Korea: Development and Dissemination of New
Rice Varieties. Korea: Association for Potash Research, 1973.

Burmeister, Larry L. Research, Realpolitik, and Development in Korea: The State and The
Green Revolution, London: Westview Press, Inc, 1988.

Campbell, M.J. New Technology And Rural Development: The Social Impact. New York:
Routledge, 1990.

Choi, Hochin. The conomic History of Korea: From the Earliest Times to 1945. Seoul:
Sekyungsa, 1971.

Digby, Anne and Charles Feinstein, New Directions in Economic and Social History
Chicago: Lyceum, 1989.

Dong-Se Cha (Eds). The Korean Economy 1945-1995: Performance and Vision for the 21st
Century. Seoul: Korea Development Institute, 1997.

Hahm, Jack Pungsik. “The Role of Government in Rural Community Development:


with spesial emphasis on The Saemaul Woondong In Korea”. Claremont:
Disertatation,1976.

Harbison, Human Resources as the Wealth of Nation. New York: Oxford University
Press, 1973.

347
이병천. 개발독재 와 박정희 시대 (Dictatorship in the Name of Development and the Park
Chung Hee Era). Seoul: Changbi, 2003.

In-Jung Whang, management of Rural Change in Korea. Seoul: SNU Press, 1981.

김, 태일. “한국어 농민운동과 국가, 1964-1990”. 고려대학교 박사학위논문.

박, 기혁. “한국경제발전과 새마을운동”. 서울대학교 새마을운동 종합연구소.

348
Integrasi Sejarah Lokal dalam Kurikulum Sejarah SMA Peluang dan Kendala (Studi
Kasus Pengembangan Kurikulum SMA di Kabupaten Jember)
Nurul Umamah

Abstrak
Jember has potential of local history that needs to be studied as a learning resource.
Curriculum 2013 provides an opportunity for curriculum designers to develop learning
material that use historical events around the learner. However, some problems found when
implementing it. This article studies the opportunities and constraints for the integration of
local history in Senior High School History Curriculum. This study uses descriptive
exploratory with research subjects teacher of senior high school history in Jember. Data
obtained from research instruments which designed in a questionnaire to collect the data
integration opportunities and constraints of local history into the history curriculum of senior
high school. Samples were teachers who joined in Jember’s History Teacher Associate
(MGMP). Research found that the Local History able to be the content of the history
curriculum, but in its implementation, there are several obstacles: (1) there are many gap
between the needs of the community with educational objectives, curriculum, instructional
design, availability of teaching materials, readiness and initiative of learners; (2) Lack of
educators knowledge in understanding the characteristics of the contents; (3) Educators have
low understanding of the methodology of historical research, especially to explore historical
event form the oral history.

Kata Kunci: Integrasi, Sejarah Lokal, Kurikulum SMA

Pendahuluan
Pendidikan Sejarah Nasional Indonesia bertujuan untuk menanamkan kesadaran sejarah
bangsa Indonesia pada peserta didik. Penanaman kesadaran sejarah akan mudah dilakukan
bila peserta didik dikenalkan dengan sejarah di daerah tempat tinggalnya, Taufik Abdullah
(1992:15) mendefiniskan “sejarah dari suatu tempat”, atau locality sebagai sejarah lokal
Urgensi pembelajaran sejarah dengan konten lokal dikemukan oleh Taufik Abdullah
(1992:239) yang menegaskan bahwa penulisan sejarah lokal sangat berarti dalam upaya
membahas secara detail tentang fenomena dan peristiwa nasional yang bersifat berkeping.
Sejarah lokal diharapkan mampu memberikan sumbangan berupa kesadaran sebagai bangsa
yang multi budaya, ditunjukkan dengan pengakuan akan kelemahan masing-masing dengan
membangun kesederajatan di antara kebhinekaan. Supardi (2006:132) memaparkan bahwa
pendidikan sejarah lokal pada sekolah menengah hendaknya bermakna. Sifat elastisitas
sejarah lokal mampu menghadirkan berbagai fenomena baik berkaitan dengan dengan family
history, sejarah sosial dalam lingkup lokal, peran pahlawan lokal, kebudayaan lokal, dan
berbagai peristiwa yang terjadi pada tingkat lokal. Peserta didik akan diajak memahami
kenyataan sejarah mulai dari yang terkecil hingga dalam lingkup nasional dan global.
Pembelajaran sejarah dalam kontek lokal diharapkan dapat memberikan pandangan mengenai
peristiwa yang terjadi melalui sisi positif maupun negatif.
Urgensi lainnya pembelajaran sejarah lokal pada sekolah menengah memberikan peserta
didik kesempatan untuk mendapatkan pengalaman dengan meningkatkan kesadaran sejarah

349
dan memiliki komunikasi aktif dengan lingkungan (Oguzhan 2015: 1293). Donanchie (2008:
5) melakukan penelitian di empat negara Inggris, Wales, Skotlandia dan Irlandia dan
memperoleh fakta, ketika konten lokal dimasukkan langsung kedalam proses pembelajaran
dapat meningkatkan minat dan motivasi dalam mempelajari konten lokal.
Penelitian tentang pembelajaran sejarah lokal pada sekolah menengah di New Zaeland
dilakukan oleh Taylor dan Sheehan (2011:157) materi tentang peninggalan sejarah disekitar
sekolah. Peserta didik tidak dituntut menghafal fakta, melainkan diarahkan untuk berfikir
kritis dan kreatif. Pendidik melibatkan peserta didik belajar tentang masyarakat, pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang memungkinkan peserta didik untuk berpartisipasi dalam
masyarakat sebagai informasi, percaya diri dan warga yang bertanggung jawab. Pembelajaran
sejarah lokal dapat menggunakan bangunan, tempat, atau jejak-jejak sejarah sebagai media
maupun sumber belajar. Dengan demikian pendidikan dapat memberikan kontribusi nyata
dalam upaya memberikan kesadaran kepada peserta didik agar merawat dan melestarikan
warisan masa lampau.
Sejarah lokal telah direkomendasikan sebagai salah cara aktif belajar sejarah di beberapa
negara (Atekin, 2010:97-103). Kurikulum Turki memandang pentingnya sejarah lokal
ditekankan pada kemampuan sosial dan mempercepat kesadaran bersejarah. Nilai penting
dari sejarah lokal dalam menyediakan tautan antara sejarah dan mata pelajaran lain. Belajar
sejarah di luar kelas memungkinkan Peserta didik untuk mengembangkan keterampilan dan
minat lintas-kurikuler. Mata pelajaran lain seperti geografi, seni, ilmu sosial dan
kewarganegaraan dan ekonomi semua memiliki unsur sejarah.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Wibowo (2016:51) tentang pembelajaran sejarah lokal
di SMA Kota Madiun memberikan peluang lebih aktif bagi peserta didik untuk menggali
informasi secara mandiri terhadap sasaran yang sudah direncanakan. Pembelajaran sejarah
lokal juga memberikan banyak informasi tentang kebudayaan yang berkembang di
wilayahnya pada masa lalu, namun ketika membelajarkan sejarah lokal pada tingkat
menengah diharapkan tidak membentuk kebanggaan yang berlebihan terhadap daerah agar
peserta didik peserta didik tidak terjebak pada spirit primordial yang negatif.
Urgensi sejarah lokal sebagai bagian integral dari upaya penanaman nilai-nilai luhur dan
karakter bangsa, masih belum terakomodir dengan baik dalam pembelajaran. Fakta
tertemukan, pendidik cenderung membelajarkan sejarah sesuai dengan paket dari buku
sumber nasional (sejarah nasional). Sehingga pembelajaran sejarah terjebak pada paradigma
belajar yang menghafal dan terkesan membosankan. Sesungguhnya kurikulum telah memberi
keleluasaan bagi pendidik untuk mendesain pembelajaran yang kontekstual, sesuai dengan
kebutuhan lingkungan sekitar. Namun berkali-kali perubahan kurikulum dilakukan belum
menampakkan hasil yang signifikan.
Mengingat urgensi sejarah lokal dalam menanamkan kesadaran sejarah, menanamkan nilai-
nilai luhur dan karakter bagi peserta didik, maka perlu dilakukan penelitian tentang integrasi
sejarah lokal dalam kurikulum sekolah menengah. Penelitian ini secara detail akan mengkaji
peluang dan kendalanya, khususnya untuk Kabupaten Jember.

Metodologi
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif eksploratif dengan subyek penelitian guru
mata pelajaran sejarah SMA Se-Kabupaten Jember. Data diperoleh dari instrumen penelitian
berupa angket, untuk menjaring data peluang dan kendala pengintegrasian sejarah lokal ke
dalam kurikulum sejarah Sekolah Menengah Atas. Sampel penelitian adalah 30 guru sejarah
yang terhimpun dalam aktivitas MGMP Sejarah Kabupaten Jember.

350
Hasil dan Pembahasan
Hasil dan pembahasan menyajikan hasil penelitian, deskripsi hasil penelitian,
kemudian dikemukakan pemecahan masalah berdasarkan pendapat ahli dan temuan
penelitian terdahulu.
Peluang Integrasi Sejarah Lokal dalam Kurikulum Sejarah SMA di Kabupaten Jember
Hasil angket dari 30 pendidik, semua pendidik (100%) menyatakan sejarah lokal memiliki
peluang untuk diintegrasikan dalam kurikulum sekolah. Baik sebagai muatan lokal ataupun
diintegrasikan dalam kurikulum sejarah.Pendidik menyadari bahwa kurikulum nasional telah
memberikan kesempatan yang luas kepada pendidik untuk mengembangkan desain
kurikulum sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing.
Peluang sejarah lokal untuk diintegrasikan dalam kurikulum sekolah menengah terfasilitasi
melalui UU dan Peraturan Menteri. UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 menjelaskan muatan
lokal adalah bahan kajian untuk membentuk pemahaman peserta didik terhadap potensi
daerah tempat tinggalnya. Selanjutnya Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang standar isi
juga menyatakan muatan lokal sebagai mata pelajaran yang wajib diberikan pada semua
jenjang pendidikan. Sejak pemberlakuan KTSP 2006, pemerintah memberikan kebebasan
kepada sekolah untuk menentukan kurikulumnya, termasuk di dalamnya tentang muatan
lokal. Secara tegas dikemukakan ‘melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah’,
merupakan ruang lingkup muatan lokal (Depdiknas, 2006:4). Selanjutnya Lingkup isi/jenis
muatan lokal, dapat berupa: bahasa daerah, bahasa Inggris, kesenian daerah, keterampilan
dan kerajinan daerah, adat istiadat, dan pengetahuan tentang berbagai ciri khas lingkungan
alam sekitar, serta hal-hal yang dianggap perlu oleh daerah yang bersangkutan.
Peluang untuk menjadikan sejarah lokal sebagai isi kurikulum masih terbuka lebar dengan
diberlakukannya kurikulum 2013. Peraturan Pemerintah Nomer 32 tahun 2013 tentang
Standar Nasional Pendidikan pasal 77N menyebutkan (1) muatan lokal untuk setiap satuan
pendidikan berisi muatan dan proses pembelajaran potensi dan keunikan lokal; (2) muatan
lokal dikembangkan dan dilaksanakan pada setiap satuan pendidikan. Permendikbud 81A
lampiran II tentang Pedoman Pengembangan Muatan Lokal menjelaskan salah satu ruang
lingkup muatan lokal adalah melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah
(Permendikbud, 2013: 3).
Peluang integrasi sejarah lokal dalam kurikulum mata pelajaran sejarah telah dikaji dalam
beberapa penelitian. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2006)
yang berjudul Integrasi Pembelajaran Sejarah Lokal ke Dalam Sejarah Nasional Untuk
Menumbuhkan Sikap Menghargai Sejarah dan Pejuang Indragiri Hilir: Studi Deskriptif di
SMA Negeri 1 Tembilahan Indragiri Hilir Riau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Integrasi pembelajaran sejarah ke dalam sejarah nasional sangat memungkinkan dilaksanakan
di Sekolah Menengah Atas. Mengingat tersedianya sumber-sumber bacaan sejarah lokal,
serta media sejarah lokal yang dapat dijadikan alat bantu media pembelajaran tersebut.
Guru sejarah dituntut mampu mengemas skenario pembelajaran sejarah lokal yang lebih
menekankan pada kreatifitas peserta didik guna menjadikan pembelajaran yang bermakna.
Integrasi pembelajaran sejarah lokal ke dalam sejarah nasional menuntut kemampuan guru
dalam beberapa hal (1) merencanakan pembelajaran dengan sumber sejarah, metode,
pendekatan, media dan evaluasi yang sesuai dengan karakteristik pembelajaran sejarah lokal
yang akan dipelajari; (2) Integrasi pembelajaran sejarah lokal ke dalam pembelajaran sejarah
nasional dapat dilakukan dengan baik jika guru mampu melakukan mengidentifikasi materi
sejarah materi sejarah lokal dengan sejarah nasional.

351
Berdasarkan penelitian tersebut, maka pengintegrasian pembelajaran sejarah lokal dalam
sejarah nasional memungkinkan untuk dilakukan. Agar implementasi tersebut berjalan lebih
penelitian ini merekomendasikan beberapa hal: (1) guru harus berupaya keras dan mencari
informasi sebanyak-banyaknya tentang sejarah lokal untuk menambah pengetahuan dan bagi
pengembangan pembelajaran sejarah lokal tersebut, di ikuti dengan kemampuan merancang
skenario model pembelajaran yang bisa mengintegrasikan muatan-muatan sejarah lokal ke
dalam sejarah nasional, serta selalu menanamkan nilai-nilai sejarah lokal dalam pembelajaran
sejarah agar tercapainya pembelajaran yang bermakna; (2) pada hakikatnya proses
pembelajaran sejarah lokal yang mengangkat nilai-nilai perjuangan sejarah lokal dalam
pembelajaran sejarah memerlukan dukungan dan andil dari kepala sekolah sebagai manajer
dan supervisor, sehingga dengan kepala sekolah harus mampu memerankan diri untuk
membimbing dan memotivasi guru sejarah dan bidang studi lainnya agar secara serempak
membawa visi dan misi yang sama dalam upaya mengenalkan pengetahuan dan menanamkan
nilai-nilai sejarah lokal di lingkungan sekolah tersebut; (3) Dinas Pendidikan seharusnya
dapat memfasilitasi atau memotivasi guru-guru mengembangkan kompetensi muatan
(sejarah) lokal sehingga menjadi pembelajaran lebih bervariasi. Sebagai pemegang kebijakan
hendaknya memberikan suatu rambu-rambu dalam menerjemahkan kurikulum yang
memberikan bobot lebih dalam upaya menanamkan nilai-nilai sejarah lokal dalam
pembelajaran sejarah di sekolah.

Kendala Integrasi Sejarah Lokal dalam Kurikulum Sejarah SMA


Integrasi sejarah lokal dalam kurikulum sejarah memiliki beberapa kendala. Berikut disajikan
data hasil penelitian.
35.0 33.3
30.0 26.7
25.0 23.3
Persentase

20.0 16.7
15.0
10.0
5.0
0.0
Keb. masy. Peny. Kurikulum Karakteristik isi Metodologi
Kendala

Gambar 1. Kendala integrasi sejarah lokal ke dalam kurikulum sejarah

Berdasarkan gambar 1. dapat dideskripsikan 5 pendidik (16.7%) menyatakan sulit


menyesuaikan kebutuhan masyarakat dengan tujuan pendidikan. Pendidik menyadari urgensi
memasukkan sejarah lokal sebagai mata pelajaran muatan lokal. Namun tuntutan masyarakat
lebih mengarah pada kemampuan peserta didik dalam hal pembekalan kemampuan anak
dalam kewirausahaan, bahasa inggris dan ketrampilan-ketrampilan lain yang bersifat
ekonomis. Di samping itu adanya kebijakan dari Gubernur Jawa Timur diperkuat dengan
peraturan Bupati yang mewajibkan mata pelajaran muatan lokal untuk Propinsi Jawa Timur
adalah Bahasa Daerah.

352
Hasil angket dari 15 sekolah yang diambil secara random, sejumlah 13 sekolah muatan
lokalnya bahasa Jawa dan 2 sekolah bahasa Madura. Dengan demikian kebijakan ini menuup
peluang sejarah lokal dijadikan sebagai mata pelajaran muatan lokal. Berikut disajikan
gambarnya.

Persentase
Bahasa Madura
13%

Bahasa Jawa
87%

Gambar 2. Muatan lokal SMA di Kabupaten Jember

Selanjutnya 7 pendidik (23.3%) menyatakan kesulitan terkait dengan penyusunan kurikulum


sejarah lokal. Kesulitan yang dihadapi terkait dengan model penyusunan kurikulum; yakni: 2
orang menyatakan mengalami kesulitan dalam implementasi desain instruksional di kelas, 3
orang mengeluhkan ketersediaan bahan ajar, 2 orang menyatakan rendahnya kesiapan dan
prakarsa belajar peserta didik.
Pendidik menjadi ujung tombak dalam mendesain pembelajaran. Integrasi sejarah lokal
dalam pembelajaran sejarah merupakan bagian dari pembelajaran di lingkungan formal.
Dengan demikian tujuan utamanya adalah keberhasilan pembelajaran yang telah ditetapkan
dalam kurikulum (Widja, 1991: 116). Salah satu kesulitan jika ingin menekankan
pembelajaran sejarah lokal adalah bagaimana mengintegrasikan pembelajaran sejarah lokal
dalam kurikulum yang sedang berlaku, khususnya dalam kurikulum sekolah tingkat
menengah. Hal ini akan membawa konsekuensi dalam hal pengalokasian waktu dan
penyesuaian materi. Pendidik harus mampu membelajarkan sejarah lokal tanpa mengganggu
jadwal kegiatan pembelajaran sejarah di kelas, sehingga sasaran dalam kurikulum nasional
dan yang terkandung dalam pembelajaran sejarah lokal dapat tercapai.
Salah satu model pembelajaran yang dapat diimplementasikan adalah pembelajaran sejarah
lokal berbasis proyek yang dilakuakan paling sedikit satu kali dalam satu semester dan
penilaiannya digabungkan dengan nilai bidang studi sejarah (Mahoney dalam Widja, 1991:
126). Model pembelajaran lainnya yang dapat digunakan adalah model penyajian informasi
sejarah lokal dari pendidik kepada peserta didik tanpa mengharuskan peserta didik berada di
lapangan (Wibowo, 2014: 10).
Integrasi sejarah lokal dalam kurikulum sejarah dapat mengatasi salah satu kelemahan dalam
pembelajaran sejarah yakni adanya anggapan tidak relevannya pembelajaran dengan
kebutuhan dan minat peserta didik. Peserta didik menganggap bahwa pembelajaran sejarah
tidak membawa manfaat karena kajiannya mengenai masa lampau, yang hanya didominasi
oleh situasi too much chalk and talk and by a lack of involvement of childern in their own
learning, sehingga cenderung membosankan (Widja, 1991: 107; Aman, 2011: 7). Akibatnya

353
pembelajaran sejarah hanya dianggap sebagai pembelajaran pelengkap yang selalu diulang-
ulang. Dengan demikian membelajarkan sejarah lokal dapat menjadi salah satu alternatif
untuk membawa peserta didik mempelajari sejarah di lingkungan sekitarnya, sehingga lebih
antusias dalam pembelajaran dan dapat mengkonstruk makna positif sebagai hasil belajarnya.
Kendala yang ketiga terkait dengan pendidik mengaku kurang memahami karakteristik isi
sejarah lokal 8 (26.7%). Disadari bahwa menggali potensi sejarah yang ada di daerah sekitar
peserta didik tidaklah mudah, membutuhkan waktu dan pengetahuan yang memadai.
Bila kita berpijak pada pendapat Douch (dalam Widja, 1991: 122-123) terdapat tiga cara
yang dapat dilakukan untuk mengimplementasikan pembelajaran sejarah lokal dalam
pembelajaran sejarah, yakni (1) Guru dapat mengambil contoh dari kejadian lokal untuk
memberikan ilustrasi yang lebih hidup dan menarik dari uraian sejarah nasional dan sejarah
dunia yang diajarkan; (2) Bentuk pengintegrasian yang kedua adalah dalam bentuk
penjelajahan lingkungan. Dalam pembelajaran ini terdapat usaha memberikan pembelajaran
yang lebih nyata dengan aktivitas kesejarahan di luar lingkungan. Peserta didik selain belajar
di kelas diharapkan, juga melakukan obeservasi ke lingkungan sekitar sekolah untuk
mengamati langsung sumber-sumber sejarah serta mengumpulkan data sejarah. Aspek yang
dapat diamati tidak berupa sejarah dalam urutan peristiwa, akan tetapi dapat pula dengan
berbagai aspek kehidupan yang berkaitan dengan masalah geografi, sosial-ekonomi, folklore,
pertanian dan sebagainya; (3) Bentuk kegiatan penintegrasian sejarah lokal yang ketiga
adalah dengan studi khusus yang mendalam mengenai berbagai aspek kesejarahan di
lingkungan peserta didik.
Peserta didik diharapkan mengikuti prosedur layaknya peneliti profesional. Mulai dari
pemilihan topik sampai penyusunan laporan hasil studi. Cara ini memerlukan alokasi yang
lebih khusus lagi bagi kegiatan persiapan (perencanaan) serta kegiatan di lapangan. Terkait
dengan integrasi ke-3 ini 10 pendidik mengaku kurang memahami metodologi penelitian
sejarah, terutama terkait dengan penggalian data-data oral history.

Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sejarah lokal
memiliki 100% peluang untuk diintegrasikan dalam kurikulum (dalam pembelajaran
sejarah). Namun terdapat beberapa kendala yang menghambat pelaksanaannya, yaitu (1)
terdapat kesenjangan antara kebutuhan masyarakat dengan tujuan pendidikan (16.7%).
Kesulitan terkait dengan penyusunan kurikulum (23.3%), teutama terkait dengan penyusunan
desain instruksional di kelas, ketersediaan bahan ajar, kesiapan dan prakarsa belajar peserta
didik. Pendidik kurang memahami karakteristik isi bidang studi (26.7). Pendidik kurang
memahami metodologi penelitian sejarah, terutama terkait dengan penggalian data-data oral
history (33.0%).

Daftar Pustaka

Abdullah, T. 1992. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Aman. 2011. Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

354
Atekin, S. 2010. The Place and Importance of Local History in The Secondary History
Education. Journal of Theory and Practice in Education. Vol 6 (1): 86-105.

Depdiknas. 2016. Model Mata Pelajaran Muatan Lokal SD/MI/SDLB, SMP/MTs-SMPLB-


SMA/MA/SMALB/SMK. Jakarta: Depdiknas.

Donnanchie, I. 2008. Studying Local and regional History in Britain and Ireland. Scottish
Local History Journal. Vol. 78 (1):1-10.

Oguzhan , K. 2015. Teaching Local history Using Social Studies Models for Turkish Middle
School Students. Educational Research and Reviews. Vol. 10(8): 1284-1292.

Permendikbud No. 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah.

Permendikbud No. 81A Lampiran II tentang tentang Pedoman Pengembangan Muatan Lokal.

Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.

Peraturan Pemerintah RI No. 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan

Rahmawati, T. 2006. Integrasi Pembelajaran Sejarah Lokal ke Dalam Sejarah Nasional


Untuk Menumbuhkan Sikap Menghargai Sejarah Dan Pejuang Indragiri Hilir: Studi
Deskriptif di SMA Negeri 1 Tembilahan Indragiri Hilir Riau. Tidak Diterbitkan. Thesis.
Bandung; Universitas Pendidikan Bandung.

Supardi, 2006. Pendidikan Sejarah Lokal dalam Konteks Multikulturalisme. Cakrawala


pendidikan. Vol 25(1): 117-127.

Taylor, R and Sheehan, M. 2011. The Place of History in The New Zealand Curriculum. New
Zealand Journal of Teachers’ Work. Volume 8( 2), 156-167

Wibowo, A.M. 2016. Pengembangan Model Pembelajran Sejarah Lokal di SMA Kota
Madiun. Jurnal Agastya. Vol. 6 (1): 46-57.

Widja, I.G. 1991. Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Bandung:
Angkasa.

355
Ragam Hias pada Tajug Agung Pangeran Kejaksan Cirebon
Nyai Kartika
Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Seni Rupa dan Desain
Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, Bandung
kartikalukmansetiawan@gmail.com

Abstrak
Tajug Agung Pangeran Kejaksan sebagai suatu bangunan bersejarah. Tajug ini dibangun
pada masa awal penyebaran Islam di Cirebon pada abad ke-15 M. Beralamat di Jalan
Karanggetas, Cirebon, merupakan salah satu masjid kuno yang berada di wilayah Keraton
Kasepuhan Cirebon. Selain Masjid Pejlagrahan, Masjid Merah Panjunan, dan Masjid Agung
Sang Cipta Rasa Cirebon. Masalah utama yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah,
bagaimanakah Ragam Hias pada Tajug Agung Pangeran Kejaksan Cirebon. Metode Sejarah
digunakan dalam penelitian ini. Ada empat tahapan kerja dari metode sejarah yaitu heuristik,
kritik, interpretasi, dan historiografi. Ragam hias pada Tajug Agung Pangeran Kejaksan
Cirebon memperlihatkan adanya berbagai pengaruh unsur kebudayaan. Beragam pengaruh
budaya yang memengaruhi ragam hias pada Tajug Agung Pangeran Kejaksan ini terjadi
ketika masjid itu dibangun atau direnovasi. Baik itu pengaruh budaya lokal maupun pengaruh
budaya luar, seperti Arab, India, dan Tiongkok. Tajug Agung Pangeran Kejaksan memiliki
kekhasan yang masih dipertahankan hingga saat ini. Walaupun masyarakat berkembang
mengikuti zamannya, tetapi masjid ini masih dipertahankan dengan bentuk aslinya. Meskipun
elemen-elemen visual ada yang mengalami perubahan, tapi ada pula yang masih
dipertahankan. Ragam hias pun banyak menyimpan makna dan filosofi yang tinggi.

Kata Kunci: Ragam Hias, Tajug, Agung

Pendahuluan
Secara etimologis, kata masjid itu berasal dari bahasa Arab, masjid, yang memiliki arti
tempat orang sujud. Dari kata masjid ini kemudian melahirkan berbagai kata turunan di
berbagai daerah di Indonesia. Dalam bahasa Jawa diucapkan mesigit, dalam bahasa Sunda
masigit, dan dalam bahasa Madura maseghit. Di Jakarta masjid (antara a dan e) diucapkan
oleh orang-orang yang taat, yang lainnya mesigit (Balai Poestaka, 1926: 14). Masigit dalam
bahasa Sunda adalah “Tajug gede di tengah kota, biasana ayana di Kulon alun-alun”; ting.
Langgar, tajug, mustaka, pataka (Danadibrata, 2006: 431). Artinya sebagai masjid yang
besar berada di tengah kota, biasanya di sebelah Barat alun-alun.
Di beberapa daerah di Jawa Barat dikenal juga tajug (mushola). Tajug merupakan akronim
dari ditata lan dijugjug. Artinya tajug perlu ditata yang memiliki dua makna denotatif dan
konotatif. Makna denotatifnya penataan dalam arti membangun tajug, sebagai sarana ibadah,
tempat sholat, tempat interaksi antara manusia dengan manusia, tempat konsultasi, tempat
diskusi, tempat sarana sosial, tempat sarana pendidikan dan sarana yang lainnya. Makna
konotasinya adalah menjadikan badan sebagai tempat tajug yang multi komplek sebagai
hamba Allah SWT yang taat, yang tidak mementingkan diri sendiri, tidak egois. Dijugjug
mengandung arti sebagai mendatangi tajug. Mendatangi tajug dapat diartikan sebagai

356
mendekati orang alim, ulama, ustadz, guru, untuk menimba ilmu baik ilmu dunia, dan ilmu
agama
(https://alifhanggakusuma.wordpress.com/2014/04/25/tajug-mushola-ditinjau-dari-
pendekatan-pendidikan/ diakses 29 Oktober 2016). Agung berarti masjid besar, yang
dianggap suci.
Keberagaman bangunan masjid di Indonesia tentunya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
budaya yang melingkupinya, terutama saat masjid tersebut dibangun atau direnovasi. Baik itu
pengaruh budaya lokal maupun pengaruh budaya luar, seperti Arab, India, dan Cina
(Tiongkok). Tidak pelak lagi, dalam masa-masa awal perkembangannya hingga beberapa
abad kemudian, pengaruh budaya yang paling besar yang melingkupi bangunan-bangunan
masjid di Indonesia adalah pengaruh budaya dari luar.
Kuatnya pengaruh budaya luar terhadap bangunan masjid di Indonesia tampak pula pada
bangunan-bangunan masjid yang ada di Cirebon, Jawa Barat. Dalam kaitan itu semua
menarik untuk diteliti tentang bentuk-bentuk pengaruh budaya luar terhadap bangunan
masjid, khususnya masjid-masjid di Cirebon, Jawa Barat. Masalah utama yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah, bagaimanakah Elemen-Elemen Hybrid dalam Ragam Hias Tajug
Agung Pangeran Kejaksan Cirebon?

Isi
Tajug Agung Pangeran Kejaksan terletak di Jalan Karanggetas, Cirebon. Masjid ini didirikan
oleh Pangeran Kejaksan atau Syeikh Abdurahim. Pangeran Kejaksan adalah saudara sepupu
dengan Syeikh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Ibunya Pangeran Kejaksan adalah
kakak dari ayahnya Sunan Gunung Jati, sehingga derajat Pangeran Kejaksan lebih tua dari
Sunan Gunung Jati. Oleh Sunan Gunung Jati, Pangeran Kejaksan diberi jabatan sebagai
adhiyaksa/ jaksa yang mengurus urusan agama dan darigama (umum). Tajug Agung
Pangeran Kejaksan sebagai suatu bangunan bersejarah. Masjid ini dibangun pada masa awal
penyebaran Islam di Cirebon pada abad ke-15 M. (Wawancara dengan Uki Saluki, 24 Juli
2016).
Ragam hias sebagai salah satu unsur pelengkap dari suatu penampilan bangunan baik yang
bersifat sakral ataupun profan (Kartika, 2016b: 2). Ragam hias pada Tajug Agung Pangeran
Kejaksan Cirebon menunjukkan adanya kesinambungan dari masa sebelum Islam datang ke
Indonesia khususnya ke Cirebon hingga saat ini.
Elemen-elemen ragam hias yang terdapat pada Tajug Agung Pangeran Kejaksan
mengandung elemen-elemen hybrid. Hibrid yang merupakan campuran atau melebur
bersama-sama dapat ditemukan dalam ragam hias Tajug Agung Pangeran Kejaksan. Ragam
hias tersebut memiliki makna dari simbol-simbol yang ada. Seperti yang dikatakan Ernst
Cassirer, manusia merupakan homo simbolicum tampak benar, bahwa dalam
keberagamaannya, manusia membutuhkan simbol-simbol untuk mencitrakan kesalehannya,
bukan hanya personal, tapi juga sosial (Suganda, 2011). Manusia adalah homo semioticus,
kata van Zoest (1993), meski dalam semiotika manusia disebut sebagai homo semioticus
(Sobur, 2003: 13).
Hidup sepertinya memang digerakkan oleh simbol-simbol, dan dirayakan dengan simbol-
simbol. Simbol muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk berbagai
tujuan. Menurut James P. Spradley, simbol adalah “objek atau peristiwa apa pun yang
menunjuk pada sesuatu,”. Simbol adalah istilah dalam logika, matematika, semantik,
semiotik, dan epistemologi; simbol juga memiliki sejarah panjang di dunia teotologi

357
(“simbol” adalah sebuah sinonim dari “kepercayaan”), di bidang liturgi, seni rupa dan puisi
(Sobur, 2003: 153-154).
“Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol,” kata James P.
Spradley”. Makna hanya dapat ‘disimpan’ di dalam simbol,” ujar Clifford Geertz.
Pengetahuan kebudayaan lebih dari suatu kumpulan simbol, baik istilah-istilah rakyat
maupun jenis-jenis simbol lain. Seperti pada gambar berikut:

Gambar Gapura/Pintu masuk Gambar papan nama Tajug


Ke Tajug Agung Pangeran Kejaksan Agung Pangeran Kejaksan sebagai
Sumber: Dokumentasi oleh penulis Benda Cagar Budaya
(23 Oktober 2016) Sumber: Dokumentasi oleh penulis
(24 Juli 2016)

Gapura diartikan sebagai pintu besar untuk masuk pekarangan rumah (jalan, taman, dan
sebagainya); makna lainnya adalah pintu gerbang (http://kbbi.web.id/gapura/ diakses 30
Oktober 2016). Gapura juga sering dijumpai di Pura atau tempat suci Hindu. Oleh karena
gapura merupakan aspek penting dalam arsitektur Hindu. Pada Tajug Agung Pangeran
Kejaksan pun gapura masih dipertahankan. Gapura pada mulanya berbahan dasar tanah liat
dan bata merah yang disusun. Pada masa kini gapura di Tajug Agung Pangeran Kejaksan
sudah ada penambahan pagar besi, dan tambahan lengkungan berisi tulisan Tajug Agung
Pangeran Kejaksan.
Lengkungan juga terdapat pada bagian atap mihrab, seperempat silinder dengan lafad
Arab “laailaaha illallahu Muhammadarrosulullah” dengan hiasan bunga teratai yang mekar
di atas lengkungan. Atap mihrab berbentuk lengkungan dan di tengah lengkungan terdapat
motif bunga.Di bagian kiri dan kanan tiang mihrab diberi hiasan motif teratai mekar
dipadukan dengan daun dan sulur-suluran. Motif ini diukirkan dalam bidang persegi panjang.

358
Gambar Mihrab di Tajug Agung Gambar tiang pada mihrab bermotif
Pangeran Kejaksan bunga dan daun
Sumber: Dokumentasi oleh penulis Sumber: Dokumentasi oleh penulis
(24 Juli 2016) (24 Juli 2016)

Ragam hias bunga juga terdapat pada piring-piring keramik yang menjadi penghias dinding.
Pengaruh dari China adalah penggunaan beberapa keramik produksi Tiongkok untuk hiasan-
hiasan tempel Seperti gambar-gambar berikut:

Gambar Hiasan piring keramik Gambar Hiasan piring keramik


Bunga Teratai dan bagian tengah Sumber: Dokumentasi oleh penulis
pola Cina (24 Juli 2016).
Sumber: Dokumentasi oleh penulis
(24 Juli 2016).

Seperti halnya dari gambar yang termuat dalam piring keramik berupa kumpulan virtual
material dan elemen simbolik. Makna dari ornamen-ornamen yang terdapat dalam hiasan
porselen yang terdapat di dalam Tajug Agung Pangeran Kejaksan seperti bunga, tanaman,
pemandangan mempunyai makna yang dalam. Oleh karena di dalam budaya visual banyak
yang disederhanakan. Tidak seperti yang terjadi di dalam budaya tulis dan budaya lisan.
Kata ornamen berasal dari bahasa latin ornare, arti kata tersebut berarti menghiasi. Menurut
Gustami (1978) ornamen adalah komponen produk seni yang ditambahkan atau sengaja
dibuat untuk tujuan hiasan. Jadi, berdasarkan pengertian itu, ornamen merupakan penerapan
hiasan pada suatu produk. Bentuk-bentuk hiasan yang menjadi ornamen tersebut fungsi
utamanya adalah untuk memperindah benda produk atau barang yang dihias. Benda produk

359
tadi mungkin sudah indah, tetapi setelah ditambahkan ornamen padanya diharapkan
menjadikan semakin indah (Sunaryo, 2009: 3 dalam Kartika, 2016a: 11).
Makna simbolik; Motif hias bunga teratai melambangkan kemurnian dan kesucian (Herayati,
1999/2000). Dalam kepercayaan Budha, teratai juga merupakan simbol kemurnian karena
muncul tidak tercela meskipun dari dalam lumpur. Delapan helai mahkota bunganya
merupakan simbol delapan sikap kesusilaan. Di Keraton Cirebon, teratai dianggap sebagai
lambang kebesaran dalam ketatanegaraan. Sejumlah patung yang dipahat pada batu zaman
Hindu antara lain patung Siwa, Parwati, dan Ratu Majapahit Suhita, dilengkapi dengan
ornamen bunga teratai jenis utpala (periksa van der Hoop, 1949). Patung Budha biasanya
digambarkan berdiri atau duduk pada padmasana, yakni semacam singgasana dengan
ornamen bunga padma. Di zaman Islam, bunga teratai masih sering digubah sebagai motif
hias. Motif hias bunga teratai yang diukirkan pada bahan batu atau kayu dapat dijumpai pada
ornamen di kompleks Masjid Matingan Jepara dan Kasultanan Cirebon, yang terasa sekali
mendapat pengaruh dari Tiongkok. Di Tiongkok, motif hias bunga teratai banyak digunakan
dan merupakan lambang lima buah tanda pengenal perwujudan yakni pikiran, perasaan,
penglihatan, kebijaksanaan, dan kesadaran (Hartojo dan Amen Budiman, 1982 dalam
Sunaryo, 2009: 154).
Simbol adalah objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Simbol itu
meliputi apa pun yang dapat dirasakan atau dialami. Begitu eratnya kebudayaan manusia
dengan simbol-simbol, sampai manusia pun disebut makhluk dengan simbol-simbol. Seperti
yang dikatakan Geertz , manusia berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-
ungkapan yang simbolis”. Kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-makna yang tertuang
dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah. Kebudayaan adalah sebuah sistem
dari konsep-konsep yang diwariskan dan diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui
mana manusia berkomunikasi, mengekalkan dan memperkembangkan pengetahuan tentang
kehidupan ini dan bersikap terhadap kehidupan ini (Sobur, 2003).
Elemen-elemen hybrid pada Tajug Agung Pangeran Kejaksan Cirebon merupakan kumpulan
dari beberapa simbol, seperti yang diungkapkan oleh Hartono dan Rahmanto pada dasarnya
simbol dapat dibedakan : yaitu
1. Simbol-simbol universal, berkaitan dengan arketipos, misalnya tidur sebagai lambang
kematian.
2. Simbol kultural yang dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan tertentu (misalnya keris
dalam kebudayaan Jawa).
3. Simbol individual yang biasanya dapat ditafsirkan dalam konteks keseluruhan karya
seorang pengarang (Sobur, 2003).
Pertama, simbol yang bersifat universal dikaitkan dengan Tajug Agung
Pangeran Kejaksan; masjid sebagai simbol agama/religi sebagai tempat ibadah kaum muslim.
Kedua, simbol kultural posisi masjid yang berada di wilayah perkotaan sebagai pusat
ekonomi dan perdagangan. Tempat bertemunya berbagai macam orang yang berada Cirebon.
Ketiga, simbol individual tampak pada masjid sebagai karya para arsitektur, adalah bukti
adanya simbol individual.
Elemen-elemen hybrid yang terdapat pada Tajug Agung Pangeran Kejaksan yang sekarang
masih bisa dilihat dan diamati adalah hasil dari meleburnya elemen-elemen peninggalan masa
sebelum Islam. Unsur-unsur yang ada yaitu Hindu-Budha, dan China yang banyak
melakukan interaksi dengan ke-lokal-an Jawa yang ada di Cirebon. Penjelasannya adalah
periode sejarah berikutnya akan selalu membawa elemen-elemen sejarah dari periode

360
sebelumnya sehingga perjalanan sejarah adalah akumulasi dari sejumlah capaian, atau
penjumlahan elemen-elemen dari periode-periode sebelumnya (Widagdo, 2011: 241).
Pengklasifikasian yang hampir sama dikemukakan Arthur Asa Berger. Berger (2000a: 85)
mengklasifikasikan simbol-simbol menjadi: (1) konvensional, (2) aksidental (accidental), dan
(3) universal. Simbol-simbol konvesional adalah kata-kata yang dipelajari yang berdiri/ada
untuk (menyebut/menggantikan) sesuatu. Sebagai kontrasnya, simbol aksidental sifatnya
lebih individu, tertutup dan berhubungan dengan sejarah kehidupan seseorang. Akhirnya,
simbol universal adalah sesuatu yang berakar dari pengalaman semua orang. Upaya untuk
memahami simbol seringkali rumit/kompleks, oleh karena fakta bahwa logika di balik
simbolisasi seringkali tidak sama dengan logika yang digunakan orang di dalam proses-
proses pemikiran kesehariannya.
Seperti halnya identitas keagamaan yang disimbolkan oleh keberadaan elemen-elemen
Hybrid pada Tajug Agung Pangeran Kejaksan begitu artistik dan memiliki nilai keindahan
suatu bentuk yang pada dasarnya adalah alamiah yang berarti wajar, tidak berlebihan,
didukung oleh susunan dasar dari unsur-unsur seperti: titik, garis, bidang dan seterusnya. Hal
tersebut mampu untuk mendatangkan rasa senang bagi mereka yang menatap, bahkan
membangkitkan rasa puas secara emosional atau spiritual (Kusmiati, 2000: 2).

Gambar bagian atap masjid Mustaka Gambar ruang bagian dalam masjid
Sumber: Dokumentasi oleh penulis Sumber: Dokumentasi oleh penulis
(23 Oktober 2016) (24 Juli 2016)

Selain itu juga menimbulkan rasa kesenangan, karena terkait dengan nilai estetika sebagai
suatu kondisi yang berkaitan dengan sensasi keindahan yang dirasakan seseorang, tetapi rasa
keindahan itu baru dirasakan apabila terjadi perpaduan harmonis dan elemen-elemen
keindahan yang terkandung pada suatu obyek. Menurut Stuart Pugh (1996 dalam Kusmiati,
2000: 8-9), dari sekian banyak persyaratan yang harus diperhitungkan, maka faktor estetika
termasuk dimensi yang dianggap penting dalam proses disain. Teori estetika selalu bertolak
pada asumsi, bahwa manusia pada hakikatnya akan selalu tanggap, terhadap bentuk luar
suatu obyek yang bisa menghasilkan sensasi yang menyenangkan. Hubungan menyenangkan
itu sendiri adalah rasa indah; dan rasa keindahan merupakan jalinan elemen bentuk yang
tersusun secara sempurna, sehingga bisa menyentuh kesadaran persepsi setiap orang.
Keindahan suatu bangunan merupakan kesatuan dari berbagai faktor yang antara faktor
fungsi, konstruksi dan estetika (Kusmiati, 2000).

Kesimpulan

361
Keberadaan tempat-tempat ibadah memiliki nilai sejarah dan nilai-nilai filosofi, keagamaan,
sebagai pondasi untuk membangun sebuah masjid. Bangunan masjid itu mencerminkan
realitas dari masyarakat yang ada di sekitarnya, mengandung nilai filosofis baik bagi
desainernya, dan masyarakat sekitarnya.
Keberadaan beberapa elemen hybrid yang terdapat pada ragam hias Tajug Agung Pangeran
Kejaksan Cirebon pada dasarnya tidak sekedar memberi identitas, tetapi juga menunjukkan
adanya bukti artefak hasil persilangan budaya dengan beberapa negara asal budaya tersebut
membuktikan adanya interaksi dan komunikasi dengan masyarakat pribumi yang begitu baik
toleransi yang terjalin di antara mereka pada saat itu.
Tajug Agung pangeran Kejaksan Cirebon sebagai salah satu Benda Cagar Budaya.
Keberadaan dan sejarahnya serta makna filosofis yang terkandung di dalam elemen-elemen
hybrid ragam hias pada bagian eksterior dan interior tidak banyak yang mengetahuinya. Perlu
diestafetkan pengetahuan tersebut pada generasi berikutnya. Dengan cara didokumentasikan,
dibukukan makna dan filosofi dari elemen-elemen hybrid itu, agar generasi muda
mengetahuinya dan menjaga kearifan lokal tersebut.

Daftar Pustaka
Balai Poestaka.1926. Masdjid dan Makam Doenia Islam. Weltevreden: Balai
Poestaka.

Berger, Arthur Asa. 2010. Pengantar Semiotika Tanda-Tanda Dalam


Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Cassirer, Ernst. 1987. Manusia dan Kebudayaan: sebuah Esei Tentang Manusia.
Jakarta: Gramedia.

Danadibrata, R.A. 2006. Kamus Bahasa Sunda. Bandung: Kiblat.

DKM Tajug Agung Pangeran Kejaksan. Tth..

Kartika, N. et.al. 2016a. “Budaya Visual Tionghoa pada Masjid Merah Panjunan”.
Makalah disampaikan pada 2nd International Conference on Creative
Media, Design & Technology (REKA 2016) pada 26-27 September 2016.
Penang: USM Malaysia.

Kartika, N. et.al. 2016b. “Ragam Hias pada Masjid Pejlagrahan Cirebon”.


Makalah disampaikan pada The 5th International Seminar 2016 on
“Nusantara Heritage” diselenggarakan di ISBI Bandung, pada 4-5 Oktober

362
2016 Nusantara Heritage. Bandung: ISBI.

Kusmiati, Artini. 2000. Dimensi Estetika Pada Karya Arsitektur dan Dizain.
Jakarta : Fakultas Senirupa dan Disain, Universitas Trisakti.

Piliang, Yasraf Amir (2003): Hipersemiotika; Tafsir Cultural Studies Atas


Matinya Makna, Bandung, Jalasutra,

Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Suganda, Dadang et al. 2011. Visualisasi Tinggalan Sejarah Islam di Tatar


Sunda 1600-1942 (Edisi Priangan). Jatinangor: Sastra Unpad Press.

Sunaryo, Aryo. 2009. Ornamen Nusantara; Kajian Khusus Tentang Ornamen


Indonesia. Semarang: Dahara Prize.

Widagdo. 2011. Desain dan Kebudayaan. Bandung: ITB.

Internet
https://alifhanggakusuma.wordpress.com/2014/04/25/tajug-mushola-ditinjau-dari-
pendekatan-pendidikan/ diakses 29 Oktober 2016

http://kbbi.web.id/gapura/ diakses 30 Oktober 2016


Wawancara
Nama : Uki Saluki (Ketua DKM Tajug Agung Pangeran Kejaksan)
Wawancara dilakukan pada 24 Juli 2016.

Lampiran

363
Gambar pintu masuk ruang Gambar Serambi Tajug Agung Pangeran utama sholat di
Tajug Agung Kejaksan
Pangeran Kejaksan Sumber: Dokumentasi oleh penulis
Sumber: Dokumentasi oleh penulis (24 Juli 2016)
(24 Juli 2016)

Gambar Dua Jendela kayu sebelah kanan dan kiri yang memisahkan ruang tengah dan Ruang
utama sholat.
Sumber: Dokumentasi oleh penulis 24 Juli 2016

Gambar Hiasan piring keramik Gambar tempat wudhu di Tajug


Bagian tengah pemandangan Sumber: Dokumentasi oleh penulis
Sumber: Dokumentasi oleh penulis (24 Juli 2016).
(24 Juli 2016).

364
Wawancara dengan Uki Saluki, Ketua DKM Tajug Agung Pangeran Kejaksan
Sumber: Dokumentasi oleh penulis
(24 Juli 2016)

365
Peranan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682) dalam Menjaga Eksistensi Kesultanan
Banten di Bidang Kemaritiman
Oka Agus Kurniawan
Dosen Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Siliwangi, Jln Siliwangi No. 24 Tasikmalaya
081809075795
Email:okaaks@gmail.com

Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai usaha yang
dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682) dalam menjaga eksistensi kesultanan
Banten di bidang kemaritiman dan faktor-faktor yang menghambat usaha tersebut. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode sejarah yang meliputi empat tahapan, yaitu
heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian ini adalah usaha-usaha yang
dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa di bidang kemaritiman meliputi: (1). Menjadikan
Danau Buatan Tasikardi untuk dijadikan sumber air dalam pembangunan saluran air dengan
pipa-pipa besar dari batu bata yang menuju ke keraton Surosowan, (2). Membangun saluran
air yang mudah dilayari perahu-perahu kecil dari sungai yang berada di Tanara hingga
Pontang, (3). Menjalin kerjasama dalam bidang perdagangan dengan pedagang yang berasal
dari dalam negeri dan luar negeri yang meliputi bangsa Asia dan Eropa, (4). Membangun
pelabuhan dagang bertaraf internasional, dan (5). Menjalin hubungan diplomatik dengan
Trunojoyo dan negeri-negeri lainnya. Adapun yang menjadi faktor penghambatnya adalah
adanya intervensi dari tentara VOC untuk memblokade pelabuhan Banten, pertempuran yang
terus menerus baik di darat maupun di perairan, dan politik adu domba yang dilakukan oleh
tentara VOC terhadap Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya Sultan Haji.

PENDAHULUAN
Sultan Ageng Tirtayasa adalah seorang pemimpin yang membawa kesultanan Banten
mencapai puncak kejayaannya. Banyak hal yang telah dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa
dalam menjaga keberadaan Kesultanan Banten di tengah-tengah situasi yang berkembang
saat itu dengan banyaknya orang asing di sekitar wilayah kekuasaannya. Keadaan yang
berkembang saat itu sudah terjadi interaksi dengan pedagang-pedagang yang berasal dari
Asia dan Eropa, serta adanya intervensi dari pasukan VOC yang mulai menggoyahkan
eksistensi Kesultanan Banten. Berdasarkan situasi yang ada pada saat itu, sebagai pemimpin
yang menjaga Kesultanan Banten, maka Sultan Ageng Tirtayasa melakukan berbagai usaha
guna mempertahankan eksistensinya. Salah satu usaha yang dilakukannya adalah menjaga
eksistensi wilayah Kesultanan Banten di bidang kemaritiman.
Alasan pemilihan pokok bahasan perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa dalam bidang
kemaritiman ini adalah dikarenakan letak geografis Kesultanan Banten yang dekat dengan
perairan darat dan laut perlu dikaji lebih dalam, apalagi dengan potensi yang dimiliki tersebut
melahirkan interaksi yang melibatkan banyak pihak termasuk pihak asing yang bersentuhan
langsung dengan segenap masyarakat dan pihak kesultanan Banten. Ada banyak hal yang
bersentuhan langsung dalam ruang lingkup kemaritiman ini, diantaranya yang berhubungan
dengan perkembangan aktivitas manusia dengan kelautan, seperti pelayaran, perdagangan,

366
perikanan, teknologi navigasi, perkapalan, budaya pesisir, perompakan, angkatan laut dan
sebagainya1.
Sebagai wilayah yang bercorak maritim, maka pertumbuhan di bidang kelautan semakin
meningkat dan mendorong pihak asing ataupun penduduk di seberang pulau untuk datang ke
wilayah Kesultanan Banten untuk melakukan kepentingannya. Dengan kondisi yang seperti
itu, secara umum pertumbuhan wilayah laut menjadi satu kesatuan sebagai akibat adanya
interaksi kultural, sosial, ekonomi, dan politik antara penduduknya, yang kemudian meluas
karena berinteraksi dengan sistem-sistem lain sehingga terlibat dalam jaringan maritim
Nusantara, bahkan masuk dalam sistem ekonomi dunia2. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka
penulis ingin meneliti lebih jauh mengenai peranan Sultan Ageng Trtayasa di bidang
kemaritiman dalam menjaga eksistensi Kesultanan Banten.
METODE PENELITIAN
Metodologi yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode historis.
Abdurahman menjelaskan bahwa metode historis adalah proses yang dilaksanakan oleh
sejarawan dalam usaha mencari, mengumpulkan, dan menyajikan fakta sejarah serta
tafsirannya dalam susunan yang teratur. Pendapat lain diungkapkan oleh Garagan bahwa
metode sejarah merupakan seperangkat aturan yang sistematis dalam mengumpulkan sumber
sejarah secara efektif, melakukan penilaian secara kritis, dan mengajukan sintesis dari hasil-
hasil yang dicapai dalam bentuk tulisan3.

1. Sulistiyono, Singgih Sri. 2014. Mengeksplorasi Tema-tema Penelitian Sejarah


Maritim Indonesia, Makalah disampaikan pada kegiatan Worksop roadmap Jurusan
Ilmu Sejarah Unhas pada 29 Oktober 2014 di Hotel Aerotel Smile.
2. Lapian, Adrian B. Sejarah Nusantara Sejarah Bahari, pidato pengukuhan
pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar Luar Biasa Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, (Depok: 4 Maret 1992), hlm.6 -7.
3. Abdurahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu.

Gottschalk menjelaskan bahwa metode sejarah adalah suatu proses menguji dan menganalisis
secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau4. Berdasarkan ketiga pendapat tersebut,
penulis beranggapan bahwa metode sejarah digunakan berdasarkan pertimbangan bahwa
data-data yang digunakan berasal dari masa lampau sehingga perlu dianalisis terhadap tingkat
kebenarannya agar kondisi pada masa lampau dapat digambarkan dengan baik. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa metode historis merupakan suatu metode yang digunakan untuk
mengkaji suatu peristiwa atau permasalahan pada masa lampau secara deskriptif dan analitis.
Dengan demikian, metode sejarah merupakan metode yang paling cocok dengan penelitian
ini karena data-data yang dibutuhkan berasal dari masa lampau khususnya yang berkenaan
dengan penelitian ini.
Wood Gray dalam buku Sjamsuddin mengemukakan ada enam tahap yang harus ditempuh
dalam penelitian sejarah, yaitu :
1. Memilih suatu topik yang sesuai;

367
2. Mengusut semua evidensi (bukti) yang relevan dengan topik;
3. Membuat catatan tentang apa saja yang di anggap penting dan relevan dengan topik
yang ditemukan ketika penelitian sedang berlangsung;
4. Mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah dikumpulkan (kritik sumber);
5. Menyusun hasil-hasil penelitian (catatan fakta-fakta) ke dalam suatu pola yang benar
dan berarti yaitu sistematika tertentu yang telah disiapkan sebelumnya;
6. Menyajikan dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dan
mengkomunikasikannya kepada para pembaca sehingga dapat dimengerti sejelas
mungkin5;

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


1. Pembangunan Saluran Air
Selesainya bangunan istana di wilayah Tirtayasa, Sultan Ageng Tirtayasa atau Sultan Abdul
Fatah Abdul Fath merencanakan suatu pembuatan saluran air yang dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan strategi perang dan masyarakatnya.

4. Gottschlak, Louis. 2008. Mengerti Sejarah, Terjemahan Nugroho Notosusanto.


Jakarta: Yayasan Penerbit UI.
5. Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah.Yogyakarta: Ombak.

Saluran air yang dibangun dengan cara digali di sepanjang jalan kuno tersebut berhubungan
dengan pesisir pantai dan dapat dengan mudah dilalui oleh perahu-pearhu kecil dari Tanara
hingga ke Pontang. Diakui pula oleh Gubernur Jendral John Maetsuyker dan Dewan Hindia
bahwa pembuatan saluran air itu adalah untuk dipergunakan sewaktu-waktu untuk mendekati
daerah perbatasan kompeni untuk mempercepat hubungan militer dari Banten ke Jakarta6.
Pembuatan saluran air ini selain dipakai untuk keperluan transportasi perang dengan terhadap
VOC dapat dimanfaatkan juga sebagai sarana irigasi yang berfungsi untuk mengalirkan air ke
lahan-lahan pertanian. Dengan begitu pembuatan saluran air ini memiliki banyak manfaat dan
terlihat bahwa Sultan Ageng Tirtayasa adalah sosok yang memperhatikan rakyatnya dan tidak
hanya mementingkan keperluan peperangannya saja. Dengan adanya saluran irigasi ini, maka
tanaman yang ditanampun mendapatkan dampak positif dengan semakin suburnya tanah
yang ada pada saat itu.
. Berdasarkan pendapat Ekadjati yang dikutip oleh Lubis bahwa Dengan adanya saluran air
ini, produksi padi dan tanaman lainnya yang dihasilkan dari daerah pesawahan di kanan kiri
saluran buatan itu tidak hanya untuk menambah bahan makanan dan penghasilan rakyat,
tetapi juga untuk diekspor ke luar negeri dan perbekalan dalam situasi perang. Ditambahkan
pula Pada tahun 1660 didirikan perkampungan baru di sebelah barat Sungai Untung Jawa
yang dapat menampung sekitar 5.000-6.000 jiwa. Perkampungan baru itu berguna bagi
penyebaran penduduk ke daerah pesawahan baru dan benteng pertahanan hidup serta
persediaan tenaga tempur dalam menghadapi VOC7.

368
6. Tjandrasasmita, Uka. 1967. Sultan Ageng Tirtayasa. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional.
7. Lubis, Nina H. 2003. Banten dalam Pergumulan Sejarah. Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia.

Rencana yang matang ini, semakin membuat Sultan Ageng Tirtayasa dicintai oleh rakyatnya.
Beliau dengan sangat matang menciptakannya karena dengan adanya saluran air dan
perkampungan ini, maka wilayah tersebut dapat bermanfaat dengan dijadikan spot untuk
keperluan transportasi menuju pantai utara Banten dalam memantau pergerakan tentara VOC
di Batavia, keperluan logistik untuk melakukan peperangan dengan tentara VOC,
mendistribusikan air di lahan-lahan pertanian, dan dapat pula dijadikan tempat
persembunyian di wilayah perkampungan yang ada. Dengan dibuatnya saluran air ini pun
menjadi salah satu alasan bagi Kesultanan Banten dalam memberikan gelar Sultan Ageng
Tirtayasa, seperti yang diungkapkan oleh Tjandrasasmita, yaitu:
“Karena Sultan banyak mengusahakan pengairan dengan melaksanakan penggalian saluran-
saluran menghubungkan sungai-sungai yang membentang sepanjang pesisir utara, maka atas
jasa-jasanya ia digelari Sultan Ageng Tirtayasa”8.
Pembuatan saluran air ini tidak dibangun dalam waktu yang singkat, melainkan bertahun-
tahun dan dimulai sejak tahun 1660. Terdapat kabar dari pihak Belanda yang menceritakan
bahwa pada tanggal 27 Agustus 1663 Sultan Tirtayasa dengan rakyatnya sedang membuat
saluran air yang lebar dari sungai Cikande hingga ke Pasilian dan selesai pada tahun 1663.
Kemudian diberitakan lagi pada tahun 1670 penggalian saluran air dari Tanara hingga
Pontang. Demikian pula pemberitaan tentang kegiatan itu masih ada pada tahun 1676 hingga
tahun 16789.
2. Aktivitas Perdagangan
Kegiatan perdagangan yang dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu dengan melakukan
kerja sama dengan pedagang yang berasal dari dalam dan luar negeri. Sebagai kesultanan
yang bercorak kemaritiman, kesultanan Banten memiliki pelabuhan yang representatif yang
bertaraf internasional dengan suasana yang aman, baik, dan indah. Dengan keadaan yang
seperti ini, maka dapat menarik pedagang-pedagang yang berasal dari dalam negeri, Asia,
dan Eropa dengan kapal-kapal dagang besar dan kecil yang dinaikinya.

8. Tjandrasasmita, Uka. 1967. Sultan Ageng Tirtayasa. Jakarta: Departemen Pendidikan


dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional.
9. Tjandrasasmita, Uka. 1995. Banten sebagai Pusat Kekuasaan dan Niaga
Antarbangsa, dalam Banten Kota Pelabuhan jalan Sutra. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Secara spesifik, kapal-kapal yang berlabuh di pelabuhan Banten yang berasal dai Asia saat
itu, antara lain berasal dari Persia, India (Hindustan), Arab, Tiongkok, dari negeri-negeri
lainnya di Asia Tenggara, Jepang dan Filipina. Untuk kapal-kapal yang berasal dari Eropa
antara lain berasal dari Inggris, Belanda, Perancis, Denmark dan lain sebagainya. Kapal-kapal
itu semuanya membawa barang-barang yang diperlukan oleh rakyat Banten dan penduduk
lainnya di Indonesia yang pada umumnya akan ditukar dengan hasil-hasil bumi dan hutan

369
Indonesia, terutama rempah-rempah yang sepanjang abad merupakan sumber perebutan
mencari keuntungan di pasaran-pasaran di Eropa10. Dengan keadaan yang seperti ini
membuat VOC semakin gerah karena Kesultanan Banten melakukan kerjasama dengan pihak
luar yang dapat meingkatkan kemampuan pertahanan dan ekonominya karena sikap Sultan
Ageng Tirtayasa yang pada saat itu, menerapkan perdagangan bebas yang tidak mau diatur
oleh sistem monopoli VOC.
Sikap VOC yang tetap memaksakan kehendaknya untuk memonopoli perdagangan di Banten,
tetap tidak kesampaian karena Banten selalu berjuang dengan gigih untuk memulihkan
kedudukannya, bahkan pada tahun 1655 dua kapal Belanda dirusak oleh pasukan Banten.
Demikian pula kebun-kebun tebu di daerah Angke-Tangerang milik Belanda dirusak
sehingga VOC terpaksa menutup kantor dagangnya. Tahun-tahun berikutnya, Banten dapat
meningkatkan ekonominya dengan adanya loji-loji Perancis di bandar Banten11. Aktifitas
perdagangan lain yang dilakukan oleh Kesultanan Banten di bawah kepemimpinan Sultan
Ageng Tirtayasa telah berhasil melakukan kegiatan ekspor berupa lada sebesar 50.000 bal ke
pasaran Eropa12. Prestasi tersebut berhasil dicapai dikarenakan wilayah Banten sebagai salah
satu penghasil lada terbesar di Indonesia. Adapun Rempah-rempah lainnya seperti pala dan
cengkeh yang beredar di pelabuhan Banten sebagian besar dari daerah Indonesia bagian
Timur, yaitu Ambon, Ternate dan sebagainya.

10. Tjandrasasmita, Uka. 1967. Sultan Ageng Tirtayasa. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional.
11. Wangania. 1995. Teknologi pada Masa Kesultanan Banten 1527‑1813, dalam Banten
Kota Pelabuhan Jalan Sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Aktivitas perdagangan lain yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu dengan
berhubungan secara langsung dengan pihak asing dengan tujuan memesan senjata api dan
senjata berat lainnya guna meningkatkan kemampuan angkatan perangnya. Dengan maksud
tersebut Sultan mengadakan hubungan dengan negara Inggris, Portugis dan Perancis yang
bersedia menjual senjata-senjata yang dibutuhkan Banten12. Di situasi yang sama pada saat
itu antara Belanda, Inggris, Portugis dan Perancis sedang terjadi persaingan dagang yang
keras. Sementara, hubungan Banten dengan kerajaan Islam di Turki berjalan baik, sehingga
orang-orang Banten yang pergi haji, pulangnya dapat membawa senjata-senjata yang
dibelinya dari Turki.
Senjata-senjata perang ini, selain diperoleh dengan cara membeli dari luar negeri, Banten pun
sebenarnya sudah mampu membuatnya sendiri. Hal ini terbukti dari hasil penggalian di situs
Kampung Sukadiri dan Kepandean, di sana ditemukan seperangkat alat-alat pengecoran
logam dan juga wadah pencetak senjata13. Itulah sebabnya mengapa Banten pun mampu
mengirimkan meriam dan senjata api lainnya, lengkap dengan peluru serta mesiunya
sebanyak beberapa kapal kepada pasukan Trunojoyo di Jawa Timur14. Terlihat bahwa
networking yang dimiliki oleh Sultan Ageng Tirtayasa sangat luas dan sangat berguna bagi
eksistensi Kesultanan Banten. Selain senjata, dalam pengadaan kapal perang, Sultan
memesan dari beberapa galangan kapal di Jawa, seperti di Jepara dan Gresik. Sedangkan
kapal perang yang besar dan khusus, dibuat sendiri di galangan kapal di Banten dengan
bantuan orang-orang Portugis dan Belanda yang sudah Islam15.
3. Melakukan Kerjasama dengan Pihak Lain
Pertikaian antara Kesultanan Banten dengan VOC sempat berhenti dengan
disetujuinya gencatan senjata di antara ke dua belah pihak. Kesepakatan tersebut terjalin pada

370
tahun 1659 dan akan diperbaharui kesepakatannya setiap sepuluh tahun sekali. Perlakuan
seenaknya yang dilakukan oleh VOC tidak hanya kepada Banten melainkan kepada hampir
seluruh wilayah yang ditinggalinya.
12. Michrob, Halwani. 1993. Catatan Masalalau Banten. Serang: Saudara.
13. Mundarjito. 1978. Laporan Penelitian Arkeologi Banten: Berita Penelitian Arkeologi
No. 18. Jakarta: DP4SP
14. Sanusi Pane. Sejarah Indonesia, Jld. I dan II, Balai Pustaka, Jakarta.
Dengan perlakuan yang seperti itu kepada rakyat nusantara, maka sama saja dengan
menanam bom waktu yang sedikit demi sedikit akan meledak dan menghantam dominasi
hegemoni VOC di wilayah nusantara, salah satunya adalah di wilayah timur Pulau Jawa.
Pada saat itu, salah satu gerakan yang menentang VOC ialah gerakan perlawanan oleh
Trunojoyo. Gerakan ini secara tidak langsung merupakan bantuan bagi Sultan Ageng
Tirtayasa karena tentara VOC harus memusatkan perhatian dan tenaganya untuk menumpas
gerakan perlawanan tersebut. Dengan semakin banyaknya konflik antara VOC dengan
gerakan-gerakan perlawanan di Nusantara, maka kekuatan yang dibawa untuk menghadapi
Sultan Ageng Tirtayasapun semakin berkurang.
Tali persahabatan yang akan diletakkan antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan
Pangeran Trunojoyo bukan hanya sebagai dasar perjuangan menentang penjajahan melainkan
juga pertalian batin yang dasarnya adalah persamaan agama yang dianutnya, yaitu Islam.
Hubungan kerjasama ini diawali dengan cara mengirimkan utusan-utusan rahasia dengan
tindak lanjutnya adalah dikirimkan bantuan-bantuan berupa tenaga prajurit dan persenjataan.
Berdasarkan pemberitaan dari VOC tanggal 2 Desember 1676, Sultan Ageng Tirtayasa
mengirimkan bantuan berupa kapal-kapal penuh persenjataan dengan amunisinya kepada
Pangeran Trunojoyo. Selanjutnya pada tanggal 29 Desember 1676 empat buah kapal dari
Banten sudah sampai di Cirebon dan menunggu kedatangan kapal-kapal dari Pangeran
Trunojoyo. Bantuan-bantuan tersebut disusul oleh 6 buah kapal penuh perlengkapan dan
persenjataan yang menuju Gresik, karena di tempat itulah pertemuan telah dijanjikan di
antara kedua belah pihak 15.
Kerjasama yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa dengan Pangeran Trunojoyo
memecah konsentrasi VOC dalam membagi kekuatannya dengan di sebelah Barat ada
pasukan yang dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa dan di sebelah Timur ada pasukan yang
dipimpin oleh Pangeran Trunojoyo. Berdasarkan kondisi tersebut maka keadaan VOC yang
berada di Jakarta menjadi terjepit dengan diapit oleh dua kekuatan lokal yang siap melawan
dengan segala potensi yang dimilikinya.

15. Tjandrasasmita, Uka. 1975. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid. III. Dep. P&K, Jakarta.
Selain pangeran Trunojoyo, Sultan Ageng Tirtayasa melakukan kerja sama dengan
wilayah lain yang ada di Nusantara, yaitu Bangka dan Makasar. Tepatnya pada tanggal 20
Agustus 1671, 800 orang dari Makasar datang berkunjung ke Banten, dengan dipimpin oleh
Karaeng Montamarmo. Pada bulan berikutnya tanggal 19 September 1671 sebagaimana
diberitakan oleh W. Caeff, orang-orang Makasar datang di Banten sebanyak 300 orang laki-
laki dengan di bawah kepemimpinan Raja Lubo dari Mandar 16.
Tidak hanya wilayah yang secara geografis berada di Pulau Jawa saja yang diajak
kerja sama oleh Sultan Ageng Tirtayasa, wilayah yang ada di luar Pulau Jawapun beliau
melakukan kerja sama, seperti Salebar, Lampung, Bengkulu dan Indrapura dengan
melakukan perjanjian di antara kedua belah pihak. Agar semakin mudah dalam melakukan

371
komunikasi dengan Sultan Ageng Tirtaya, beliau menempatkan bupati-bupatinya yang dapat
dipercaya kesetiaannya kepada Sultan di wilayah-wilayah tersebut.
Selain itu, beliau juga mencoba menyatukan tali silaturahmi lagi dengan Cirebon yang
sebelumnya sempat retak dengan cara menjalin kerja sama dengan berkunjung ke Cirebon.
Pada tahun 1677, Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan empat buah kapalnya ke Cirebon
untuk mengadakan kunjungan persahabatan. Beliau meminta agar Sultan Cirebon dapat
berkunjung ke Banten sebagai tanda balasan persahabatan. Pada tanggal 14 Oktober tahun
1677, Pangeran Sepuh dan Pangeran Anom tiba di Banten meskipun mereka sebenarnya
masih lelah karena baru kembali dari Surabaya17. Sejak saat itu sampai tahun 1681 Cirebon
menjadi mitra yang sangat membantu. Upaya kerjasama yang dilakukan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa tidak hanya terbatas di lingkup lokal tetapi sampai ke macanegara, dengan
melakukan kerjasama terhadap Kerajaan Turki, Inggris, Perancis, dan Denmark. Negara-
negara tersebut memberikan bantuan berupa senjata-senjata api yang sangat dibutuhkan
untuk keperluan perang18.
16. Tjandrasasmita, Uka. 1967. Sultan Ageng Tirtayasa. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional.
17. Tjandrasasmita, Uka. 1967. Sultan Ageng Tirtayasa. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional.
18. Chijs, J.A. van der. 1881 Oud Bantam, Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap
van Kunstenen Wetenschappen, doel 26:1-62.
Dalam kegiatan diplomatik dengan bangsa Eropa, Sultan Ageng Tirtayasa pernah
mengirimkan utusan ke Ingris yang berjumlah 31 orang yang dipimpin oleh Naya Wipraya
dan Jaya Sedana pada tanggal 10 Nopember 1681. Utusan ini bukan saja sebagai kunjungan
persahabatan tetapi juga sebagai upaya mencari bantuan persenjataan19. Selain itu, Sultan
Ageng Tirtayasa mengirimkan surat- surat permohonan kepada Raja Charles II sebagai
pemimpin Inggris dan Raja Christian V sebagai pemimpin Denmark.
Isi surat Sultan Ageng Tirtayasa kepada Raja Charles II adalah dengan mengajak bekerja
sama dalam kegiatan perdagangan dimana Sultan Ageng Tirtayasa meminta bantuan kepada
Inggris untuk menjual 10 meriam besar, senjata, dan mesiu kepadanya. Sebagai tanda
persahabatan tak lupa Sultan Ageng Tirtayasa memberikan 100 bahar lada hitam dan 100
pikul jahe.Sementara isi surat Sultan Ageng Tirtayasa kepada Raja Christian V dengan isinya
adalah Kesultanan Banten meminta sen jata yang berasal dari Denmark untuk dibeli dan
sebagai gantinya Raja Christian V mendapatkan tanah untuk keperluan niaga di Banten20.
4. Membentuk Angkatan Laut
Dalam menghadapi peperangan melawan VOC, Banten sebagai kesultanan maritim
membentuk angkatan laut yang tangguh dengan membagi ke dalam lima divisi yang
memimpin di wilayah yang berbeda-beda, yaitu:
1. Armada laut yang menjaga perairan Karawang dipimpin oleh Pangeran Tumenggung
Wirajurit.
2. Armada laut yang berkedudukan di dekat pelabuhan Untung Jawa dipimpin oleh Aria
Suranata.
3. Armada laut yang berkedudukan di dekat Tanahara dipimpin oleh Pangeran Ratu
Bagus Singandaru.

372
4. Armada laut yang bertugas di dekat perairan Tanjung Pontang dipimpin oleh Ratu
Bagus Wiratpada.
5. Armada laut yang berkedudukan di dekat Pelabuhan Ratu dipimpin oleh Tumenggung
Saranubaya21.
Dengan pembentukan armada laut yang seperti ini, maka terdapat pemerataan kekuatan di
masing-masing wilayah yang dikuasai oleh Kesultanan Banten.
19. Michrob, Halwani. 1993. Catatan Masalalau Banten. Serang: Saudara.
20. Titik Pudjiastuti. 2007. Perang, Dagang, Persahabatan: Sultan-Sultan Banten.
Yogyakarta: Yayasan Obor
21. Michrob, Halwani. 1993. Catatan Masalalau Banten. Serang: Saudara.
Tidak hanya armada laut saja yang diperkuat, melainkan juga angkatan darat dan pasukan
meriam yang ditempatkan di pantai sekitar ibukota Kesultanan Banten demi mengantisipasi
dan menjaga dari kedatangan musuh. Untuk mendukung tingkat keberhasilan dalam strategi
perang ini, Sultan Ageng Tirtayasa menempatkan tiap meriam kepada 10 orang prajurit
khusus dan seorang pemimpin di masing-masing meriam yang dijaga. Pertempuran yang
terjadi di Teluk Banten tepatnya di depan kota Surosowan dimulai dengan datangnya 11
kapal perang VOC, dalam formasi mengepung dari Pulau Lima di timur sampai ke Pulau
Dua. Pasukan meriam yang sudah disiapkan di Surosowan, segera mengarahkan sasarannya
ke kapal-kapal tersebut dan selanjutnya terjadilah tembak menembak diantara keduanya22.
Dalam pertempuran ini, kapal perang VOC melarikan diri dan kembali ke Batavia dengan
meninggalkan kapal-kapal yang rusak dan tenggelam.
Pada saat melakukan peperangan melawan pasukan VOC di perairan jauh, Armada-
armada Banten mencatat kemenangan. Pasukan yang dipimpin oleh Rangga Natajiwa,
Surantaka dan Wiraprana dapat menghancurkan armada VOC di Krawang yang mengangkut
pasukan dari Jawa Timur. Sedangkan di perairan Pelabuhan Ratu, pasukan Saranurbaya dapat
menghancurkan kapal VOC, walaupun Saranurbaya sendiri luka parah yang mengakibatkan
ia meninggal dunia lima hari kemudian 23.
KESIMPULAN
Sultan Ageng Tirtayasa yang merupakan pemimpin dari Kesultanan Banten pada saat
itu mengeluarkan beberapa kebijakan dalam bidang kemaritiman, diantaranya sebagai
berikut:
1. Pembuatan saluran air atau sungai buatan sebagai sarana transportasi menuju pantai
utara Banten dalam melihat perkembangan tentara VOC di Batavia. Saluran air ini
berfungsi juga sebagai sarana irigasi dan sebagai spot logistik pada saat terjadinya
peperangan.

22. Djajadiningrat, P.A. Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta:
Jambatan, Hal 75-76
23. Michrob, Halwani. 1993. Catatan Masalalau Banten. Serang: Saudara.

373
2. Melakukan aktivitas perdagangan dengan pihak lokal dan asing yang berasal dari
Eropa dan Asia. Kegiatan perdagangan ini tidak hanya memperjual-belikan rempah-
rempah saja melainkan senjata peperangan dan galangan kapal.
3. Melakukan kerja sama dengan pihak yang berasal dari dalam dan luar negeri. Untuk
yang berasal dari dalam negeri kerja sama berupa dalam pengiriman kapal dan
senjata, serta memperkuat kedudukan di masing-masing wilayah dari gangguan VOC.
Untuk yang berasal dari luar negeri kerja sama berupa hubungan diplomatik dan
permintaan senjata untuk keperluan perang
4. Membentuk angkatan laut dengan membagi menjadi 5 divisi yang tersebar di 5
wilayah yang berbeda

DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Chijs, J.A. van der. 1881. Oud Bantam. Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap van
Kunstenen Wetenschappen.
Djajadiningrat, P.A. Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta:
Jambatan.
Gottschlak, Louis. 2008. Mengerti Sejarah. Jakarta: Yayasan Penerbit UI.
Lapian, Adrian B. 1992. Sejarah Nusantara Sejarah Bahari, Pidato pengukuhan
pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar Luar Biasa Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, (Depok: 4 Maret 1992)
Lubis, Nina H. 2003. Banten dalam Pergumulan Sejarah. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia
Michrob, Halwani. 1993. Catatan Masalalau Banten. Serang: Saudara.
Mundarjito. 1978. Laporan Penelitian Arkeologi Banten. Jakarta: DP4SP.
Pane, Sanusi. 1950. Sejarah Indonesia, Jilid I dan II. Jakarta: Balai Pustaka
Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah.Yogyakarta: Ombak.
Sulistiyono, Singgih Sri. 2014. Mengeksplorasi Tema-tema Penelitian Sejarah Maritim
Indonesia, Makalah disampaikan pada kegiatan Worksop roadmap Jurusan Ilmu Sejarah
Unhas pada 29 Oktober 2014 di Hotel Aerotel Smile.
Pudjiastuti, Titik. 2007. Perang, Dagang, Persahabatan: Sultan-Sultan Banten. Yogyakarta:
Yayasan Obor
Tjandrasasmita, Uka. 1967. Sultan Ageng Tirtayasa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional.
Tjandrasasmita, Uka. 1975. Sejarah Nasional Indonesia, Jld. III, Dep. P&K, Jakarta.
Tjandrasasmita, Uka. 1995. Banten sebagai Pusat Kekuasaan dan Niaga Antarbangsa, dalam
Banten Kota Pelabuhan jalan Sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wangania. 1995. Teknologi pada Masa Kesultanan Banten 1527‑ 1813: Dalam Banten Kota
Pelabuhan Jalan Sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

374
Politik Rakyat Kampung di Kota Surabaya Awal Abad Ke-20
Purnawan Basundoro

Abstrak
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan kegiatan politik yang dilakukan oleh rakyat
kampung di Kota Surabaya pada awal abad ke-20. Rakyat kampung sering dianggap sebagai
orang yang pasif, tidak mau terlibat ke dalam konflik, sehingga tidak mau berpolitik.
Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan mengacu pada dokumen-dokumen
sezaman, berita-berita yang dimuat di surat kabar yang terbit di Kota Surabaya, serta
mengacu pada sumber-sumber tersier lain. Pendekatan yang digunakan adalah sejarah politik,
yaitu sejarah yang menggambarkan perjuangan rakyat dalam rangka mencapai sesuatu yang
menjadi keinginannya. Strategi dan taktik yang dilakukan oleh rakyat kampung bermacam-
macam. Bagi rakyat kampung yang sudah mengenyam pendidikan, walaupun pendidikan
rendahan, mereka melakukan berbagai protes terkait kebijakan pemerintah kolonial yang
kurang menguntungkan bagi mereka, dengan cara menulis di surat kabar. Di Kota Surabaya
terdapat surat kabar yang dikelola oleh masyarakat Bumiputra, berskala tidak terlalu besar,
dan mau menampung berbagai keluh kesah rakyat kelas bawah. Kritik mereka yang tajam
hampir setiap hari menghiasai surat kabar tersebut. Strategi lain adalah melakukan protes
langsung kepada pemerintah dengan cara memanfaatkan organisasi politik yang telah ada.
Pertemuan-pertemuan resmi yang diadakan oleh anggota gemeenteraad, yang populer disebut
begandring, juga dimanfaatkan oleh rakyat kampung untuk menyuarakan aspirasi mereka.

Kata kunci: Surabaya, politik, rakyat

Pengantar
Penghuni kampung perkotaan sering dianggap sebagai orang-orang yang statis dan apolitis,
yang tidak mau merespon perubahan secara cepat, dan tidak mau terlibat dalam konflik
secara terbuka. Dengan demikian, maka kampung sering diidentikan dengan romantisme
tentang suasana yang akrab, guyub antar sesama penghuni kampung, dan saling bergotong-
royong dalam mengerjakan sesuatu. Sehingga, dalam studi-studi sosiologi selalu ditarik
kesimpulan bahwa warga kampung adalah warga yang bercorak paguyuban. Namun, pada
periode tertentu gambaran tersebut hanya cocok untuk mendefinisikan masyarakat kampung
di pedesaan. Kajian geografi, sejarah, dan sosiologi ternyata menemukan fakta bahwa di
berbagai kota besar di Indonesia keberadaan kampung ternyata eksis, bahkan sampai saat ini.
Kampung adalah hunian yang identik dengan pedesaan, dengan penghuninya yang masih
mempraktekan pola hidup dan budaya desa (Frederick, 1989: 9).
Beberapa kajian politik dan sejarah perkotaan menunjukkan bahwa rakyat yang
tinggal di kampung perkotaan ternyata tidak seperti yang dibayangkan sebagian ahli, yang
melihat masyarat kampung sebagai masyarakat yang statis. Di beberapa kota besar rakyat
kampung telah terlibat dalam berbagai aktivitas politik, walaupun pada tingkat lokal dengan
derajat yang masih rendah. Perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajahan, yang sebagian
besar dilakukan oleh masyarakat perkotaan juga melibatkan rakyat kampung yang
menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang-orang yang apolitis (Blackburn, 2011;
Soemardjan, 2009).

375
Studi tentang keterlibatan politik rakyat kampung perkotaan belum banyak dilakukan,
sehingga belum bisa ditarik kesimpulan-kesimpulan umum tentang motivasi yang mendasari
gerakan-gerakan politik rakyat kampung. Studi sejarah tentang tema dimaksud bisa
menjelaskan lebih jauh tentang motivasi tersebut, karena studi sejarah bisa menelusur lebih
jauh dalam konteks waktu yang panjang (Kuntowijoyo, 2013).
Kota Surabaya merupakan salah satu kota yang memiliki kampung-kampung yang
tersebar di banyak lokasi. Keberadaan kampung-kampung tersebut tidak bisa dilepaskan
dengan sejarah panjang Kota Surabaya yang diduga awalnya merupakan pedesaan di tepi
muara Sungai Brantas. Ketika kawasan Surabaya secara berlahan berubah menjadi perkotaan,
hunian penduduk yang disebut kampung tetap bertahan dengan corak pedesaan yang kental,
baik dari aspek kultural maupun aspek fisik. Akibatnya, kampung berubah menjadi semacam
enclave bagi orang-orang yang tetap memegang teguh budaya pedesaan yang bersifat agraris.
Kampung-kampung di Kota Surabaya dihuni oleh orang-orang dengan latar belakang sosial
dan ekonomi yang amat beragam. Sebagian besar dari mereka adalah penduduk asli Kota
Surabaya yang mengidentifikasikan dirinya sebagai pendukung budaya arek (Basundoro,
2012). Di kampung-kampung tersebut juga tinggal tokoh-tokoh politik yang mewarnai
dinamika poltik di Kota Surabaya. Keberadaan tokoh-tokoh politik tersebut tentu saja akan
mewarnai kondisi sosial di perkampungan setempat (Peters, 2013).
Studi-studi pendahuluan menyebutkan bahwa gerakan-gerakan politik rakyat
kampung di Kota Surabaya sudah berlangsung cukup lama dan mengalami akselerasi sejak
awal abad ke-20. Gerakan-gerakan politik rakyat kampung tidak bisa dilepaskan dengan
eksistensi penjajah Belanda yang bercokol di kota tersebut sejak lama. Berbagai benturan
kepentingan yang melibatkan kedua belah pihak, dan tidak jarang kepentingan-kepentingan
tersebut mengharuskan mereka saling berhadapan, mengakibatkan mereka mencari jalan
keluar sendiri-sendiri yang mengerucut dalam tindakan-tindakan politik. Tindakan tersebut
tentu saja bermotivasi untuk mengalahkan pihak lawan.
Pada awal abad ke-20 pemerintah kolonial Belanda membentuk pemerintahan otonom di
Kota Surabaya sebagai dampak diundangkannya Undang-Undang Desentralisasi Tahun 1903
(Desentralisatie Wet 1903). Pembentukan pemerintah kota yang otonom membawa
konsekuensi dilibatkanya seluruh elemen masyarakat kota untuk membiayai jalannya
pemerintahan. Hal tersebut telah menuai protes yang luar biasa dari rakyat perkampungan di
Kota Surabaya dan berubah menjadi gerakan-gerakan politik (Basundoro, 2013). Gerakan-
gerakan politik semacam itu merupakan sedikit contoh dari kegiatan politik rakyat kampung
di Kota Surabaya.
Makalah ini mengungkap secara lebih jauh kegiatan-kegiatan politik rakyat kampung
di Kota Surabaya sejak awal abad ke-20 sampai tahun 1960. Aktivitas politik rakyat
kampung Kota Surabaya tentu saja terkait erat dengan karakter kultural masyarakat setempat
yang sering disebut sebagai budaya arek. Budaya arek telah menjadi identitas pembeda atas
masyarakat Kota Surabaya terhadap masyarakat lain. Orang-orang dengan budaya arek
dianggap sebagai pribadi yang mandiri dan pemberani (Basundoro, 2012).

Kampung di Kota Surabaya Awal Abad ke-20


Kampung atau perkampungan di perkotaan sering diartikan sebagai pemukiman khas
yang mengacu pada hal serupa yang ada di pedesaan. Hans Dieter Evers misalnya,
menggambarkan kampung sebagai sesuatu yang terkait dengan “desa” dan komunitas-
komunitas, sehingga kampung bukanlah gambaran fisik belaka namun lebih mengacu pada

376
penghuninya (komunitas). 1 Penghuni kampung digambarkan oleh Sulivan sebagai
kebertetanggaan yang baik (neighbourliness), yaitu suasana kekeluargaan, kebersamaan,
keharmonisan, suatu situasi di mana orang hidup damai dan kompak, yang biasanya
dilukiskan dengan kata “rukun”.2 Dalam teori-teori sosial, komunitas yang ditandai dengan
sifat kekeluargaan yang erat dan harmonis identik dengan masyarakat pedesaan. Jika kondisi
tersebut masih tersisa pada komunitas-komunitas di perkotaan atau di kampung kota, maka
bisa diduga bahwa kampung-kampung di perkotaan merupakan kelanjutan dari komunitas
pedesaan.
Surabaya merupakan salah satu kota di Jawa yang pada awal abad ke-20 secara
bersamaan sudah memperlihatkan ciri metropolis dan juga masih mencerminkan situasi
agraris. Sebagian masyarakat, terutama masyarakat Eropa sudah tinggal di pemukiman-
pemukiman elit di real estatet, namun sebagian besar lainnya, terutama masyarakat
Bumiputra, masih tinggal di pemukiman-pemukiman khas pedesaan Jawa. Mereka tinggal di
kampung-kampung dengan kondisi seadanya, rumah-rumah terbangun dari bahan-bahan apa
adanya yang ditemukan di sekeliling mereka, jalanan masih berupa jalan tanah yang sempit
dan becek pada musim hujan, kebutuhan air masih bergantung pada air sungai atau sumur,
serta kondisi lainnya yang sangat jauh dari layak.
Berdasarkan sensus penduduk yang dilaksanakan pada tahun 1930 diketahui bahwa
91 persen orang Eropa di Kota Surabaya tinggal di rumah permanen yang terbuat dari batu
bata, sementara masyarakat Bumiputra yang tinggal di rumah dengan bahan yang sama hanya
16 persen. Sebanyak 64 persen masyarakat Bumiputra tinggal di rumah non-permanen, yang
terbuat dari bahan-bahan seadanya. 3 Rumah-rumah milik masyarakat Bumiputra di Kota
Surabaya sering kali dituding oleh masyarakat Eropa sebagai sumber penyakit yang sering
terjangkit di kota ini. Kondisi rumah-rumah yang dibangun dengan bahan-bahan seadanya
dianggap menjadi sarang binatang-binatang yang bisa menyebarkan virus penyakit, seperti
tikus yang bisa menyebarkan virus penyakit pes. Pemukiman masyarakat Eropa yang rata-
rata dibangun menurut model real estate sangat kontras dengan kondisi pemukiman
masyarakat Bumiputra. Menurut Von Faber, sebagian besar rumah-rumah masyarakat
Bumiputra yang tinggal di kampung-kampung lebih mirip kandang binatang.4
Pemukiman masyarakat Bumiputra berada di kampung-kampung yang tersebar di
banyak tempat di Kota Surabaya. Sebagian besar kampung terbentuk dari pemukiman-
pemukiman kecil yang berada di antara lahan-lahan pertanian dan tambak-tambak garam.
Pemukiman tersebut dari waktu ke waktu mengalami perluasan akibat pertambahan
penduduk yang terjadi secara simultan. Pada awal abad ke-20, sebagian perkampungan yang
dihuni oleh masyarakat Bumiputra di Kota Surabaya berada di tanah-tanah yang berstatus
sebagai tanah partikelir, yaitu tanah yang dikuasai oleh perorangan akibat proses jual beli
pada masa awal kekuasaan Belanda di Surabaya,5 sebagian lainnya tinggal di perkampungan
yang sudah berada di bawah kekuasaan Pemerintah Kota Surabaya. Tanah partikelir adalah
kawasan yang berada di luar kontrol otoritas resmi, karena tanah tersebut berada di bawah
1
Hans-Dieter Evers dan Rudiger Korff, Urbanisme di Asia Tenggara: Makna dan Kekuasaan dalam
Ruang-ruang Sosial, (Jakarta: Yayasan Obor Inonesia, 2002), hlm. 408
2
J. Sullivan, Local Government and Community in Java: An Urban Case Study, (Singapore: Oxford
University Press, 1992), hlm. 106
3
H.W. Dick, Surabaya City of Work: A Socioeconomic History 1900-2000, (Athens: Ohio University
Press, 2002), hlm. 143
4
G.H. von Faber, Nieuw Soerabaia: De geschiedenis van Indie’s voornaamste koopstad in de eerste
kwarteeuw sedert hare instelling 1906-1931, (Soerabaia: N.V. Boekhandel en Drukkerij, 1936)
5
Tentang proses terbentuknya tanah-tanah partikelir di Surabaya bisa dilihat pada Purnawan
Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang sejak Kolonial sampai Kemerdekaan, (Yogyakarta:
Ombak, 2009), Bab III.

377
kekuasaan perorangan. Dengan demikian maka kondisi pemukiman yang ada di kawasan
tersebut juga tidak tersentuh oleh program-program perbaikan kampung yang
diselenggarakan oleh pemerintah.

Lahirnya Kesadaran Berpolitik Rakyat Kampung


Makna politik bagi rakyat kampung di Kota Surabaya pada masa kolonial, diartikan
sebagai suatu taktik dalam menghadapi kekuatan dari luar, utamanya penjajah Belanda yang
memegang kendali kekuasaan pada waktu itu. Kekuatan dari luar juga bisa diartikan sebagai
kelompok masyarakat non-Surabaya, seperti kelompok masyarakat Cina, Arab, Indo, dan
lain-lain, yang mereka anggap sebagai kelompok masyarakat yang akan mengusik eksistensi
rakyat kampung Kota Surabaya. Dalam menghadapi kelompok-kelompok dari luar, rakyat
kampung di Kota Surabaya mengidentifikasikan diri mereka sebagai Arek Suroboyo, yang
memiliki karakter dan sifat-sifat berbeda dengan kelompok di luar mereka. Arek Suroboyo
mengidentifikasikan diri mereka sebagai warga asli Kota Surabaya, pemilik sah kota tersebut,
yang memiliki budaya dan tingkah laku berbeda dengan orang-orang di luar kelompok dan
budaya mereka. 6 Tidak jelas benar, bagaimana budaya arek terbentuk sehingga
menumbuhkan karakter yang berbeda bagi para penganutnya.
Kesadaran berpolitik rakyat kampung terbentuk secara perlahan-lahan seiring dengan
dinamika yang berkembang di Kota Surabaya. Seringnya kekuatan luar mengekspansi Kota
Surabaya, telah membuat kesadaran berpolitik rakyat kota ini tumbuh. Mereka menjadi
kekuatan yang sering dikonsolidasikan untuk melawan kekuatan dari luar tersebut. Jika
mengacu sejarah berdirinya kota ini yang dikait-kaitkan pengusiran bala tentara Tartar oleh
Raden Wijaya pada akhir abad ke-13, maka tidak menutup kemungkinan pada saat itu
kesadaran berpolitik untuk melawan kekuatan ekspansionis dari luar telah terbangun pada
rakyat kampung di Kota Surabaya. Kesadaran tersebut terus tumbuh dan berkembang ketika
kekuasaan Mataram menduduki kawasan tersebut pada abad ke-17 dan disambung dengan
kekuasaan kolonial Belanda yang mengiringi dilepaskannya pesisir utara Jawa oleh Mataram
kepada Belanda akibat persoalan hutang budi. Akibatnya, sejak pertengahan abad ke-18,
Surabaya secara resmi di bawah kekuasaan kolonial Belanda.
Keberadaan Belanda di Kota Surabaya telah menyebabkan ikatan sosial penghuni
kota ini tercabik. Lahirnya status baru pada kampung-kampung tempat tinggal warga
Bumiputra akibat proses jual beli kawasan oleh para penguasa Belanda telah menyebabkan
tumbuhnya benih-benih perlawanan secara individual dan secara kelompok kepada
kekuasaan kolonial. Akibat proses jual-beli kawasan oleh pejabat kolonial, status kampung-
kampung di Kota Surabaya terbelah menjadi dua, yaitu kampung partikelir dan kampung
non-partikelir. Kampung partikelir lahir dari kawasan yang telah dibeli oleh para pengusaha
swasta serta para pejabat kolonial. Selama akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, di
kawasan partikelir telah lahir perlawanan-perlawanan sporadis yang ditujukan kepada
pemilik kawasan serta kepada pemerintah kolonial. Penyebab tumbuhnya kesadaran
perlawanan tersebut salah satunya adalah kondisi kehidupan keseharian kegiatan-kegiatan
kerjapaksa yang disponsori oleh pemilik kawasan.7
Lahirnya lembaga pendidikan di Kota Surabaya, baik pendidikan yang berbasis
keagamaan (pesantren) maupun pendidikan umum yang disponsori oleh pemerintah kolonial
6
Lihat Akhudiat, Masuk Kampung Keluar Kampung: Surabaya Kilas Balik, (Surabaya Henk Publica,
2008), hlm. 115
7
Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang sejak Kolonial sampai
Kemerdekaan, (Yogyakarta: Ombak, 2009), Bab III

378
telah membentuk kesadaran baru bagi warga Kota Surabaya. Pendidikan berbasis keagamaan
(Islam) diasuh oleh para pemuka agama, yang sebagian dari mereka mendapat inspirasi dan
kesadaran baru setelah menunaikan ibadah haji di tanah suci. Di sana mereka mendapatkan
berbagai masukan pengetahuan baru, terutama tentang eksistensi nilai-nilai keislaman. Tidak
jarang kesadaran baru yang mereka peroleh di tanah suci membangkitkan bibit-bibit
perlawanan terhadap kolonialisme yang dianggap merupakan representasi musuh Islam, yaitu
kekafiran. Pemberontakan petani di Gedangan, kawasan perkebunan di selatan Kota
Surabaya, yang dipimpin oleh Kyai Hasan Mukmin merupakan contoh pemberontakan yang
lahir karena kesadaran keagamaan yang bercampur dengan kesadaran ketertindasan yang
dipimpin oleh seorang tokoh agama dalam. Pesantren-pesantren di Kota Surabaya banyak
terdapat di kampung-kampung. Inspirasi berdirinya lembaga pendidikan keagamaan tersebut
tentu saja tidak bisa dilepaskan dengan tokoh penyebar agama Islam di Kota Surabaya, yaitu
Sunan Ampel yang makamnya terdapat di Kampung Ampel. Salah satu pondok pesantren tua
di Kota Surabaya adalah Pondok Pesantren Sidoresmo, yang sering disebut sebagai Pondok
Pesantren Dresmo yang terletak di kawasan Wonokromo. Di duga pondok pesantren ini lahir
tidak terlalu lama sejak periode kewalian Sunan Kalijaga.8
Lahirnya lembaga pendidikan modern yang disponsori oleh pemerintah kolonial
Belanda telah membuka cakrawala baru bagi sebagian kecil rakyat kampung di Kota
Surabaya. Pada awal berdirinya sekolah-sekolah modern di kota ini, rakyat kampung
bukanlah subjek dari kegiatan pendidikan modern. Subjek utama dari kegiatan tersebut
adalah anak-anak Eropa serta sebagian dari anak-anak para elit Bumiputra. Menurut catatan
Von Faber, lembaga pendidikan Barat pertama di Kota Surabaya didirikan pada tahun 1822
yang didirikan oleh C.C. Werner. Lembaga pendidikan tersebut didirikan untuk menampung
anak-anak yang orang tuanya tidak mampu memberikan pendidikan kepada mereka di rumah.
Sekolah tersebut pada tahun 1845 memiliki murid 35 orang. Tahun 1849 pemerintah kolonial
di Surabaya mendirikan lembaga pendidikan resmi kedua berdasarkan keputusan nomor 37
tanggal 2 September 1849. Sekolah tersebut diajar oleh tiga guru pria dan seorang guru
wanita. Jumlah muridnya digambarkan tidak sebanding dengan lebar bangunan yang
digunakan untuk sekolah, sehingga murid-murid berdesak-desakan seperti ikan haring di
dalam tong.9 Sasaran lembaga pendidikan tersebut adalah anak-anak Eropa yang tinggal di
Kota Surabaya.
Kesempatan sekolah pada anak-anak Bumiputra di Kota Surabaya baru dibuka pada
tahun 1860. Pada tahun itu, pemerintah kolonial melonggarkan kesempatan pada anak-anak
Bumiputra memasuki sekolah Barat, namun hanya dikhususkan untuk anak-anak dan kerabat
para bangsawan. Mereka dididik di sekolah Barat agar kelak bisa menggantikan orang tuanya
menempuh karir sebagai pejabat. 10 Adapun anak-anak Bumiputra kebanyakan, hanya
berkesempatan sekolah di sekolah agama (pesantren) di bawah bimbingan seorang kyai, yang
jumlahnya pada waktu itu cukup banyak yaitu 162 buah. Mereka hanya diberi pelajaran
membaca Al Qur’an, yang dibacakan dalam bahasa Arab tanpa mereka tahu artinya. Para
murid tersebut hanya dipersiapkan sebagai santri dan berusaha menerapkan secara cermat
dalam kehidupan sehari-hari. Para murid yang datang dari jauh tingga di rumah-rumah guru
mereka, atau di pekarangan mereka.
Keberadaan lembaga pendidikan, baik pendidikan Barat maupun pendidikan agama,
telah memberi kesepatan kepada penduduk Bumiputra menyerap berbagai pengetahuan baru
8
Lihat Darul Aqsha, K.H. Mas Mansyur (1896-1946): Perjuangan dan Pemikiran, (Jakarta, Erlangga,
2004)
9
G.H. Von Faber, Oud Soerabaia: De geschiedenis van Indie’s eerste koopstad van de oudste tijden tot
de instelling van den gemeenteraad (1906), (Soerabaia: De Gemeente Soerabaia, 1931), hlm. 251
10
Ibid.

379
yang belum mereka peroleh sebelumnya. Pada awalnya, hanya anak-anak Bangsawan dan
kerabatnya yang boleh memasuki sekjolah-sekolah umum, namun demikian dari merekalah
pengetahuan baru menyebar ke anak-anak Bumiputra yang bukan bangsawan. Penyerapan
serba terbatas tersebut biasanya melalui orang-orang tua Bumiputra yang bekerja di rumah-
rumah bangsawan sebagai pembantu rumah tangga. Pada perkembangan selanjutnya, pada
awal abad ke-20 pemerintah kolonial atas desakan kaum progresif di Negeri Belanda
mengeluarkan kebijakan politik etis, yang salah satunya adalah memberi kesempatan
membuka sekolah-sekolah rendah untuk anak-anak Bumiputra.11 Lembaga pendidikan yang
didirikan oleh pemerintah kolonial yang diperuntukkan untuk anak-anak Bumiputra antara
lain Inlandsche School (Sekolah Bumiputra) kelas dua (Tweede Klasse), yang lama
sekolahnya lima tahun, Volksschool (Sekolah Desa) yang lamanya tiga tahun, serta sekolah
lanjutan (Vervolgschool), yang merupakan lanjutan dari Sekolah Desa. Sekolah-sekolah
tersebut berpengantar bahasa daerah. Untuk anak-anak yang berasal dari orang tua yang
memiliki kedudukan lebih baik, mereka bisa sekolah di Hollandsch Inlandschool (HIS) yang
berpengantar bahasa Belanda. Ruslan Abdulgani, yang berasal dari Kampung Plampitan
Surabaya merupakan salah satu anak kampung yang memiliki kesempatan sekolah di HIS.
Sekolah lain yang cukup terkenal di Kota Surabaya adalah Hoogere Burgerschool (HBS),
dengan status sekolah menengah. Banyak tokoh penting di Kota Surabaya lulusan dari
sekolah ini, antara lain Soekarno yang kelak menjadi Presiden Republik Indonesia. Sekolah
ini didirikan tahun 1875, menempati kawasan bekas kabupaten di sekitar Kebon Rojo.12 Pada
awal abad ke-20, HBS Kota Surabaya merupakan salah satu sekolah terkemuka di Indonesia.
Pada saat itu jumlah muridnya sebanyak 259 orang dan memiliki guru sebanyak 20 orang.13
HBS Kota Surabaya pada saat itu terkenal dengan sebutan Sekolah Radja. Pada tahun 1923,
HBS Surabaya menempati gedung baru yang lebih luas di kawasan Ketabang, sebelah timur
Balaikota Surabaya. Dengan pemindahan lokasi sekolah tersebut di tempat yang lebih luas,
maka jumlah muridnya pun bertambah banyak.14
Pada awal abad ke-20, hanya sedikit anak-anak di Kota Surabaya yang berkesempatan
sekolah. Pada tahun 1920an, jumlah penduduk Kota Surabaya yang telah mengenyam
pendidikan hanya sekitar tujuh persen. Dari jumlah anak-anak Bumiputra di Kota Surabaya
yang berhasil mengenyam pendidikan Barat, sebagian dari mereka tinggal di kampung-
kampung. Mereka adalah anak-anak dari orang-orang yang cukup mampu, yang bisa
membiayai mereka untuk sekolah. Melalui sekolah-sekolah yang mulai ada di Kota Surabaya,
kesadaran berpolitik penduduk perkampungan di kota ini tumbuh. Pada awal abad ke-20
anak-anak kampung yang orang tuanya cukup mampu bisa mendapatkan kesempatan
bersekolah. Sekolah telah menempa mereka menjadi pribadi-pribadi yang lebih terbuka dan
menyadari sepenuhnya keadaan mereka dan kotanya sebagai orang yang terjajah.
Pada awal abad ke-20, mulai masuk gagasan-gagasan pergerakan nasional, yaitu gagasan
untuk melawan penjajahan Belanda. Gagasan tersebut pada awalnya berkembang di Kota
Batavia, yang salah satu motornya berasal dari Kota Surabaya, yaitu Dokter Soetomo. Dokter
Soetomo yang pada tahun 1908 berstatus sebagai siswa sekolah dokter (STOVIA) di Batavia,
bersama dengan Dokter Wahidin Soedirohoesodo, memelopori berdirinya organisasi Budi
11
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1985), Bab IV
12
Saat ini di kawasan tersebut berdiri Kantor Pos Besar Kota Surabaya yang terletak di Jalan
Kabupaten.
13
Krama Atmadja, Pendapatan Peperiksaan Adanja Kota Soerabaja, (Batavia: Landsdrukkerij, 1903)
14
Jubileumboek HBS Soerabaia 1875-1975, (Den Haag: TP, 1975), hlm. 16

380
Utomo. Soetomo ditunjuk ebagai ketua Budi Utomo yang pertama. 15 Menyusul berdinya
Budi Utomo, pada tahun 1911 berdiri perkumpulan Sarekat Islam (SI) di Solo yang dimotori
oleh Samanhudi. Berdirinya organisasi ini pada awalnya adalah karena persaingan dagang
antara pedagang-pedagang Bumiputra muslim dengan pedagang Cina. Organisasi ini pada
gilirannya berkembang menjadi organisasi yang memiliki kesadaran besar untuk melawan
penjajah Belanda. Sarekat Islam tumbuh menjadi organisasi yang kuat dan sangat besar
ketika dipimpin oleh HOS. Cokroaminoto dan berkedudukan di Kota Surabaya.
HOS Cokroaminoto mulai memimpin SI sejak terpilih sebagai ketua organisasi ini dalam
Kongres SI di Yogyakarta tahun 1914. Di bawah kepemimpinan HOS Cokroaminoto, SI
melesat bagaikan meteor dan meluas secara horizontal. Kota Surabaya sebagai basis SI
berhasil tumbuh menjadi kota pergerakan, yang tidak saja menggerakkan kelompok-
kelompok terdidik untuk secara sadar melawan penjajah Belanda, namun juga menggerakkan
rakyat-rakyat kampung di kota ini untuk secara sadar memposisikan dirinya sebagai rakyat
yang terjajah. Anggota SI meluas di kampung-kampung, mereka adalah para buruh pabrik,
para petani penghuni tanah-anah partikelir, pegawai pemerintah Hindia Belanda, para
pedagang, serta kelompok-kelompok profesi lain yang merasa tertindas oleh penjajahan
Belanda.
SI yang secara ideologis memperjuangkan hak-hak rakyat kecil dengan cepat merebut simpati
rakyat kampung di Kota Surabaya. Melalui organisasi yang dikelola secara modern inilah
rakyat kampung memperoleh pelajaran penting tentang politik kebangsan. Rakyat kampung
partikelir yang selama bertahun-tahun menjadi sapi perah para tuan tanah memperoleh
kesadaran baru bahwa untuk keluar dari situasi yang menekan tersebut, mereka harus
berjuang. SI merupakan salah satu media yang tepat untuk memperjuangkan nasib mereka. SI
Surabaya berkembang menjadi organisasi yang sangat erat dengan perjuangan rakyat
kampung partikelir dalam rangka memperbaiki nasib mereka.16 SI aktif mengorganisir para
petani penghuni tanah partikelir, mendampingi mereka berhadapan dengan para tuan tanah
yang sangat menghisap kehidupan mereka, serta mengusahakan penasehat hukum manakala
para petani tersebut diajukan ke sidang pengadilan. Dengan cara semacam itu SI dianggap
sebagai dewa penolong rakyat kampung yang sedang dianda kesusahan. Dengan tempo yang
amat cepat SI berhasil menambah jumlah anggota ribuan jumlahnya. SI Cabang Surabaya
dibawah kontrol Corkoaminoto tumbuh menjadi cabang terbesar di seluruh Hindia Belanda.

Berdirinya Gemeente Surabaya dan Respon Rakyat Kampung


Memasuki abad ke-20 perubahan besar terjadi di Hindia Belanda. Perubahan tersebut
merupakan imbas dari kebijakan politik yang terjadi di negeri induk, yaitu Belanda. Pada
periode itu, perhatian politisi di Negeri Belanda terhadap kota-kota di Hindia Belanda mulai
mengemuka. Hal tersebut merupakan imbas dari protes orang-orang Belanda yang tinggal di
kota-kota di Hindia Belanda yang merasa tidak nyaman terhadap kondisi kota yang tidak
terurus. Mereka menganggap bahwa pemerintah kolonial yang berkedudukan di Batavia
kurang memperhatikan kondisi kota-kota, terutama kota yang jauh dari pusat kekuasaan.
Sistem pemerintahan kolonial yang sangat birokratis tidak memungkinkan mereka untuk
bertindak cepat menangani berbagai persoalan yang terjadi di daerah.

15
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Totosusanto (ed.), Sejarah Nasional Indonesia:
Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda, (Jakarta: Balai Pustaka, 2010), hlm. 335.
16
A.P.E. Korver, Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil?, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), hlm. 116

381
Beberapa tahun sebelum isyu tentang kondisi perkotaan dijadikan tuntutan oleh
orang-orang Belanda (nederlandsche burgerij) penghuni kota-kota di Hindia Belanda, di
Belanda muncul tuntutan agar mereka diberi “hak bicara” (medezeggenschap) dalam proses-
proses pembuatan kebijakan di bidang pemerintahan. Tuntutan tersebut menguat karena
berbagai kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah juga akan berimbas pada keberadaan
mereka di Hindia Belanda. Pada akhir tahun 1880, pada persidangan Tweede Kamer, salah
seorang anggota bernama L.W.C. Keuchenius membuka perdebatan tentang perlunya di
daerah-daerah di Hindia Belanda dibentuk suatu dewan yang disebut gewestelijk raden atau
dewan daerah. Melalui lembaga tersebut, warga Eropa dapat berbicara menyuarakan
asprasinya.17
Inti dari tuntutan tersebut adalah bahwa daerah sudah semestinya diberi otoritas yang
cukup besar untuk mengelola dirinya sendiri secara mandiri, tidak tergantung pada
pemerintah pusat di Batavia. Dengan adanya hak untuk mengelola daerahnya, maka
diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam mengembangkan dirinya. Pembangunan bisa
digenjot, sehingga problem-problem di daerah bisa diselesaikan dengan cepat. Salah satu
problem di daerah, utamanya di perkotaan, adalah buruknya lingkungan pemukiman untuk
hunian rakyat Bumiputra. Pemukiman-pemukiman nyaris tidak diurus dengan baik, sehingga
di banyak tempat berdiri rumah-rumah yang lebih mirip kandang binatang dibandingkan
sebagai tempat tinggal manusia.
Perdebatan yang panjang di parlemen di Belanda menghasilkan sebuah keputusan
perlunya dibentuk otonomi penuh di daerah-darah yang memenuhi syarat. Keputusan tersebut
melahirkan undang-undang tentang otonomi daerah yang pertama di Hindia Belanda, yaitu
Wet Houdende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch Indie, yang lebih dikenal
dengan nama Decentralisatie Wet 1903.
Sebagai pelaksanaan dari Decentralisatie Wet 1903, maka pada tanggal 1 April 1906
disahkan pemerintahan Kota Surabaya yang otonom yang bernama Gemeente Surabaya.
Berdirinya Gemeente Surabaya disahkan melalui Staatsblad No. 149 Tahun 1906. Dalam
staatsblad tersebut dijelaskan bahwa dengan berdirinya Gemeente Surabaya maka Surabaya
ditetapkan sebagai kota otonom atau kota mandiri yang berkewajiban mengelola dan
mendanai sendiri kota tersebut. Lebih lanjut diterangkan bahwa pemerintah pusat akan
menyisihkan dana sebesar F 284.300 sebagai modal awal yang akan digunakan untuk
menjalankan roda pemerintahan Gemeente Surabaya.
Sebagai konsekuensi atas pembentukan pemerintahan yang otonom, maka beberapa
kewajiban yang sebelumnya dijalankan oleh pemerintah pusat dalam rangka mengelola Kota
Surabaya, selanjutnya akan diserahkan kepada Gemeente Surabaya. Beberapa kewajiban
tersebut antara lain: perawatan, pembetulan, pembaharuan, dan pembuatan jalan umum, jalan
raya, lapangan, pekarangan, taman dan tanaman-tanaman, parit, sumur, rambu-rambu jalan
umum, papan nama, jembatan, dinding dam, penguatan dinding selokan dan got, pembandian
umum, cuci dan kakus, pemotongan hewan, dan pasar; penyiraman jalan raya, pengambilan
sampah di sepanjang jalan, pengambilan sampah di jalan-jalan kecil dan di lapangan;
penerangan jalan; pemadam kebakaran; serta embuatan makam.
Besaran dana yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada Gemeente Surabaya tentu
saja tidak cukup untuk menjalankan roda pemerintahan. Oleh karena itu pemerintah pusat
memberikan tugas kepada lembaga tersebut untuk mencari sumber pendapatan sendiri
17
Soetandyo Wignjosoebroto, Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda:
Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia (1900-1940), (Malang:
Bayumedia, 2005), hlm. 4-5

382
dengan cara menarik pajak kepada warga kota. Sumber pajak tersebut antara lain dari pasar,
pemotongan hewan, pajak kendaraan, pajak keramaian, dan lain-lain.
Lahirnya Gemeente Surabaya yang diberi kewajiban untuk mengelola Kota Surabaya,
berimbas kepada penghuni kota tersebut. Salah satu imbas yang sangat dirasakan oleh warga
kota adalah tindakan Gemeente Surabaya untuk memberlakukan berbagai macam pajak baru
yang harus dibayarkan oleh warga kota. Pajak baru tersebut antara lain bea pasar bagi para
pedagang yang berjualan di pasar yang dikelola oleh gemeente, pajak sepeda, pajak binatang,
pajak penyelenggaraan keramaian termasuk keramaian yang diselenggerakan secara
individual (mantenan, sunatan), pajak pemotongan hewan, dan lain-lain.
Kewajiban membayar pajak yang bermacam-macam tersebut tentu saja membuat
sengsara orang-orang yang tinggal di perkampungan. Sebagian rakyat Kota Surabaya yang
tinggal di kampung-kampung adalah rakyat miskin, yang tentu saja merasa berat jika harus
membayar pajak yang bermacam-macam jenisnya. Kondisi tersebut menyebabkan rakyat
kampung mencurigai keberadaan gemeente yang baru saja lahir. Mereka menuduh gemeente
sebagai lembaga baru bentukan pemerintah kolonial yang akan mencekik leher rakyat
kampung.Dengan olok-olok mereka memlesetkan gemeente menjadi gua minta, yang
diartikan sebagai lobang tanpa dasar yang terus-menerus meminta sesuatu kepada rakyat
tanpa mau berhenti.18
Salah satu surat kabar yang terbit di Kota Surabaya pada tahun 1920an, Proletar,
yang memiliki semboyan Organ dari Kaoem Proletar di Seloeroeh Doenia, selalu
mengkritik Gemeente Surabaya dengan sangat pedas. Surat kabar tersebut sering memuat
surat-surat pembaca dari warga perkampungan di Kota Surabaya tanpa disensor. Tulisan-
tulisan mereka sangat khas, yang mencerminkan karakter rakyat Kota Surabaya yang lugas,
keras, dan tanpa kompromi. Pada tanggal 1 Mei 1925 misalnya, Proletar memuat satu tulisan
yang mengkritik tindakan Gemeente Surabaya yang memberlakukan tarif yang sangat mahal
untuk penyembelihan hewan di rumah pemotongan hewan (abatoir) yang dikelola oleh
gemeente. Secara lengkap tulisan tersebut adalah sebagai berikut:

Orang semoea djoega tahoe jang goeminta ada mempoenjai roemah pemotongan (boekan
rumah jang motong orang) tapi boeat potong leher sapi, babi, dan kambing. Boeat kota
Soerabaja jang besar ini dimana orangnya ampir semoea boekan theosof djadi ia soeka
makan daging, maka tiap2 hari rata2 djumlah sapi jang dipotong ada seratoes, babi
seratoes, dan kambingd juga seratoes. La, ini semoea goeminta minta boeat satoe leher sapi f
7.10. boeat seekor babi minta f 4.05 dan boeat satoe kambing minta f 0.15, Wadah, rojalnja,
dalam satoe tahoen sadja goeminta soedah bisa ing ing ke negeri Belanda. Abang goeminta
tidak puas minta potong goeroeng jang begitoe tinggi, tetapi dia mempoenjai akal lagi boeat
mengeloearkan wang . ah, selamanja dia cari-cari sadja akal boeat mengeloearken wang
wang wang…teroes wang sampai dia djoega hamatanen wang. Pendek engkoh mindering
nommer besar dah, dia!19

Kutipan di atas merupakan bentuk kritikan yang amat pedas dari warga kampung
kepada Gemeente Surabaya. Menurut si penulis, tarif-tarif penyembelihan hewan merupakan
bentuk ekploitasi terhadap warga kampung yang akan membuat pemerintah kolonial, dalam
18
William H. Frederick, Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia
(Surabaya 1926-1946), (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 13
19
“Tjiamah Tjioeng!!!: Goeminta Maoe Kaja. Djagal Menjadi Pajah,” Proletar, 1 Mei 1925

383
hal ini Gemeente Surabaya, menjadi kaya raya. Hal tersebut bisa dibaca dari kalimat...
Wadah, rojalnja, dalam satoe tahoen sadja goeminta soedah bisa ing ing ke negeri Belanda.
Kalimat tersebut menggambarkan bahwa penarikan ongkos pemotongan hewan akan
membuat gemeente kaya raya, karena menurut pandangan si penulis, dalam satu tahun tarikan
sudah bisa dijadikan ongkos jalan-jalan ke negeri Belanda.
Namun, mahalnya ongkos penyembelihan hewan ternyata tidak diikuti dengan tindakan
gemeente untuk mengelola rumah pemotongan hewan dengan baik. Dalam berita yang lain,
yang juga dimuat di Proletar, digambarkan bahwa rumah pemotongan hewan tidak dirawat
dengan baik sehingga menimbulkan bau yang sangat tidak sedap dari darah hewan yang
membusuk. Kondisi seperti tersebut salah satunya terjadi di rumah pemotongan hewan yang
terdapat di Kapasan Sidodadi. Dengan sangat pedasnya surat kabar Proletar menyindir
bahwa:

Barangkali semoea pendoedoek di Soerabaja soedah pernah melewati Kapasan Sidodadi. Di


sitoe ada berdiri seboeah roemah pemotongan binatang poenjana…goeminta. Orang jang
tidak bindeng hidoengnja tentoe berbaoe……wadah, oodookloonjoo jang paling sedap ialah
tjap goeminta Spoerabaja. Itu baoe asal dari darah2 boesoek dari pemotongan sapi, babi,
dan kambing. Soedah tentoe djika orang2 yang beroemah berdekatan dengan itoe istana
darah, saban hari akan ditraktir oleh goeminta dengan exstra divinia itu. Orang2 kampoeng
Sidodadi dan Kapasan semuanja ada menjadi sehat badannja karena marika tiap2 hari
berbaoe minjak haroem si wangi divinia itu.20

Kutipan di atas yang dimuat di Proletar mewakili perasaan rakyat kampung Kapasan
Sidodadi, yang setiap hari harus berhadapan dengan bau busuk yang bersumber dari rumah
pemotongan hewan yang dikelola oleh gemeente.
Berbagai tulisan yang dimuat di Proletar, baik yang dikirim oleh rakyat kampung di Kota
Surabaya maupun yang ditulis oleh redaksi surat kabar tersebut, sejatinya mewakili perasaan
penduduk kota tersebut, utamanya penduduk kampung. Sebagian besar tulisan-tulisan yang
muncul merupakan kritik pedas terhadap kebijakan yang dibuat oleh gemeente, yang dengan
kata lain, tulisan-tulisan tersebut merupakan respon negatif atas lahirnya Gemeente Surabaya.
Mereka menganggap bahwa keberadaan gemeente justru lebih banyak merugikan rakyat
kampung dibandingkan keuntungannya.
Wajar jika rakyat kampung nyaris tidak atau belum mendapatkan keuntungan atas kelahiran
pemerintahan otonom (gemeente) di Kota Surabaya, karena sasaran pembentukan gemeente
memang masyarakat Eropa yang berdomisili di kota tersebut. Jika mengacu pada proses
pembentukan Undang-Undang Desentralisasi Tahun 1903, yang menjadi dasar pembentukan
Gemeente Surabaya, maka yang berkepentingan atas pembentukan gemeente adalah
masyarakat Eropa, bukan masyarakat Bumiputra. Rakyat kampung justru merasa terbebani
dengan berdirinya gemeente. Mereka merasakan bahwa sejak berdirinya Gemeente Surabaya,
hampir setiap kegiatan yang menyangkut urusan umum harus mengeluarkan biaya.
Munculnya berbagai biaya tersebut merupakan konsekuensi diberlakukannya otonomi kepada
kota. Karena pemerintah pusat sudah melepaskan mereka, maka tidak bisa tidak gemeente
harus menanggung penyelenggaraan pemerintahan kota.

20
“Tjiamah Tjioeng!!!: Goeminta maoenja sehat, tetapio penjakit biar dekat,” Proletar, 15 Mei 1925.

384
Pasar merupakan salah satu sumber pendapatan strategis dari Gemeente Surabaya. Setiap
pedagang yang berjualan di pasar dengan otomatis menjadi target pajak atau bea bagi
gemeente. Tarikan pajak penjualan yang dikenakan kepada para pedagang sering kali
dikeluhkan oleh mereka, karena dianggap sebagai beban baru yang mengurangi keuntungan.
Bagi pedagang yang jualannya laku tentu saja tidak menjadi persoalan, namun bagi pedagang
yang jualannya tidak laku tentu saja memberatkan. Petugas pajak pasar tidak pernah mau
peduli dengan nasib pedagang di pasar, apakah dagangan mereka laku atau tidak. Bagi
petugas pajak, kewajiban mereka adalah menarik pajak, dan para pedagang harus membayar
pajak. Penarikan pajak yang bersifat memaksa tentu saja sering diprotes para pedagang,
karena dirasakan sangat memberatkan mereka. Apalagi, sebagian besar pedagang yang
berjualan di pasar adalah para pedagang menengah ke bawah. Ketegasan para penarik pajak
sering diprotes masyarakat, terutama para pedagang. Salah satu cara yang dilakukan oleh
masyarakat yang merasa keberatan dengan para penarik pajak adalah menuliskan keluhannya
di surat kabar, sebagaimana dicontohkan dalam Proletar tanggal 20 Juni 1925.
Proletar tanggal tersebut memuat berita kecil berjudul “Nasibnja Pendjoeal Pasar Pabean
Soenggoeh Sangat Edan-edanan,” yang menceritakan nasib seorang penjual tembakau yang
harus terusir dari pasar Pabean karena tidak melapor kepada Inlander Pasar Chef, yang
bertugas menarik pajak. Penjual tembakau tersebut kemudian pergi ke kantor pasar untuk
melaporkan bahwa ia akan berjualan di pasar Pabean, namun permintaan tersebut ditolak oleh
petugas pasar.21 Kondisi tersebut merupakan contoh kecil tentang pengelolaan pasar-pasar di
kota Surabaya yang telah menjadikan pasar sebagai salah satu sumber pendapatan Gemeente
Surabaya. Karena pasar dijadikan sumber pendapatan, maka siapapun yang berjualan di pasar
harus ditarik bea atau pajak, baik pedagang kuat maupun pedagang lemah. Model
pembayaran pajak pun dibuat sedemikian rupa supaya pendapatan gemeente menjadi banyak.
Besaran bervariatif tergantung besar kecil dan ramai tidaknya pasar. Pasar yang besar dan
ramai seperti pasar Pabean tarif pajak bulanan adalah f 10, sedang jika membayar harian
sebesar f 0,45 setiap hari. Apabila pembayaran telat, maka akan didenda. Hal tersebut tentu
saja memberatkan bagi pedagang kecil. Protes-protes pun dilayangkan pada Gemeente
Surabaya, salah satunya melalui surat kabar Proletar. Surat kabar tersebut sangat getol
menyuarakan nasib rakyat kecil yang tinggal di perkampungan Kota Surabaya.
Pembentukan gemeente yang dimaksudkan sebagai lembaga yang secara mandiri bisa
mengelola kota ternyata mendapat respon yang negatif dari rakyat kampung. Hal tersebut
disebabkan karena gemeente merupakan lembaga yang jauh dari realitas rakyat kampung.
Pembentukan gemeente memang tidak ada kaitannya sama sekali dengan orang-orang yang
tinggal di kampung, karena pembentukan lembaga tersebut pada awalnya merupakan usulan
orang-orang Eropa yang tinggal di kota-kota di Indonesia, yang mendapat dukungan dari
kaum progresif di Negeri Belanda. Maka wajar jika rakyat kampung merespon secara negatif,
apalagi hampir semua kebijakan yang dibuat oleh gemeente memang tidak menyentuh
keberadaan orang-orang yang tinggal di perkampungan. Bahkan, orang-orang kampung
menganggap bahwa keberadaan gemeente justru menyengsarakan mereka. Pandangan negatif
tersebut terus berkembang di kampung-kampung di Kota Surabaya, sehingga ketika pada
akhir 1930 pemerintah pusat bermaksud mengintegrasikan rakyat kampung ke dalam sistem
perkotaan di bawah yuridiksi gemeente, sebagian besar dari mereka menolaknya. Dinamika
penolakan penggabungan kampung ke dalam gemeente akan dijelaskan pada pembahasan
selanjutnya.

21
“Nasibnja Pendjoeal Pasar Pabean Soenggoeh Sangat Edan-edanan,” Proletar, 20 Juni 1925

385
Penggabungan Kampung ke Sistem Gemeente dan Respon Penghuni
Setelah Gemeente Surabaya berdiri pada tahun 1906, di wilayah ini terjadi dualisme
pemerintahan, yaitu gemeente yang dimaksudkan untuk memerintah golongan masyarakat
Eropa, serta sistem pemerintahan tradisional kabupaten yang sebelumnya telah ada yang
mengelola masyarakat Bumiputra. Jika gemeente dipimpin oleh burgemeester atau walikota,
maka pemerintahan kabupaten dipimpin oleh bupati. Wilayah kekuasaan dua pemerintahan
tersebut juga berbeda, jika gemeente memiliki wilayah yang sebagian besar dihuni oleh
masyarakat Eropa dan membentuk pemerintahan tingkat bawah yang disebut wijk (dipimpin
oleh wijk meester atau wijkhoofder), maka wilayah kabupaten sebagian besar adalah
perkampungan dan desa-desa pinggiran kota yang dihuni olah rakyat kampung dan
membentuk pemerintahan tingkat bawah yang disebut desa atau kelurahan (dipimpin oleh
lurah). Pemerintahan tradisional sering disebut sebagai inlandsch gemeenten atau komunitas
Bumiputra. Pada waktu itu terdapat 26 wijk dan 29 desa, yang masing-masing dikepalai oleh
wijkmeester atau wijkhoofder dan lurah. 22 Wijkmester bertanggung jawab kepada
burgemeester, sedangkan lurah bertanggung jawab kepada bupati.
Dualisme sistem pemerintahan kota telah menyulitkan gemeente untuk mengontrol seluruh
wilayah kota. Banyak kawasan yang tidak layak dari segi estetis dan syarat kesehatan, tidak
bisa diperbaiki oleh pihak gemeente karena wilayah tersebut secara administratif masuk
dalam wilayah kampung dan desa yang berada di bawah kekuasaan bupati. Sementara itu,
jarang ada upaya dari bupati untuk memperbaiki kondisi perkampungan di kota Surabaya.
Karena tidak ingin terus-menerus terjadi dualisme kepemimpinan di wilayah kota Surabaya,
maka pada tahun 1930 pemerintah pusat berencana menyatukan semua wilayah di kota
Surabaya dalam satu otoritas, yaitu gemeeente. Pertimbangannya adalah karena hampir
semua wilayah di kota Surabaya sudah berubah menjadi kawasan perkotaan. Dengan
penyatuan itu, maka semua wilayah kota akan berada dalam satu kendali yaitu oleh gemeente.
Langkah tersebut diharapkan dapat memaksimalkan penanganan lingkungan yang kurang
sehat.
Pada saat gagasan penyatuan pemerintah kota diluncurkan oleh pemerintah, gagasan tersebut
langsung menjadi kontroversi. Gagasan itu menjadi bahan perdebatan yang berkepanjangan
di Volksraad yang berkedudukan di Jakarta. Perdebatan yang terjadi antara beberapa anggota
Volksraad, antara lain Stokvis, Soeroso, Dwidjosewojo, T. Kerkkamp, T. van Helsdingen, T.
Kies, serta wakil dari pemerintah, T. Fuchrer, berkisar pada masalah apakah kampung-
kampung yang semula berada dalam penguasaan bupati tersebut sudah seharusnya dimasukan
dalam pengurusan gemeente ataukah tetap dimasukkan ke dalam posisi semula. Perdebatan
yang berkepanjangan di Volksraad ternyata tidak menghasilkan sebuah kesepakatan
apapun.23
Rencana pemerintah untuk memasukan wilayah perkampungan ke dalam pengelolaan
gemeente nampaknya sudah bulat. Buktinya tanpa memperhatikan perdebatan yang
berkembang di Volksraad, pemerintah tetap akan merealisasikan gagasannya tersebut. Pada
akhir bulan Oktober 1930, Gubernur Jawa Timur menerima telegram dari Sekretaris Negara
bahwa Gubernur Jenderal telah mengeluarkan besluit bernomor 21 yang dikeluarkan pada
bulan Oktober 1930, dan sudah ditetapkan dalam ordonansi bahwa status kampung-kampung
22
Pembagian wijk di kota Surabaya didasarkan pada keputusan Residen Surabaya tanggal 27 April
1914 no. 2/24. Lihat Sjamsu Koesmen dan pangestu B.W., Buku Petundjuk Kota Besar Surabaja, (Surabaya:
Djawatan Penerangan Kota Besar Surabaja, 1957), hlm. 114. Untuk pembagian desa lihat “Perobahan daerah
Soerabaja-Ken,” Soeara Asia, 23 April 1943
23
“Kampoeng Arep Diilangi?” Swara Oemoem, 15 Oktober 1930

386
di kota Surabaya dicabut dan pengelolaannya diserahkan kepada Gemeente Surabaya.
Ordonansi tersebut akan berlaku efektif mulai tanggal 1 Januari 1931.24
Rencana pemerintah untuk mengambil alih pengelolaan kampung, atau dalam istilah
masyarakat kota Surabaya akan menghapus kampung, mendapat reaksi yang hebat dari
rakyat kampung. Mereka menganggap bahwa gemeente telah melakukan upaya yang licik
untuk mengambil alih kampung-kampung tempat tinggal masyarakat Bumiputra. Swara
Oemoem, surat kabar yang dikelola oleh rakyat Bumiputra dengan sinis menuliskan bahwa
upaya “pengoperan kampung”, istilah yang dibuat oleh mereka, merupakan upaya gemeente
agar bisa memperlihatkan cara kerja (pamer) lembaga tersebut kepada rakyat Bumiputra.25
Masyarakat Bumiputra yang tinggal di kampung-kampung juga mencurigai, bahwa
pengoperan kampung bermotif finansial yaitu berkenaan dengan penarikan pajak kepada
penduduk Bumiputra, sebagaimana ditulis oleh Swara Oemoem:

”Soepaja pendoedoek kampoeng bisa njatakna penggawejane Goeminta enggone mbersihi


kampoeng lan soepaja pendoedoek kampoeng bisa seneng atine, moela dalan-dalan
kampoeng saiki diwenehi got lan seteroese pinggir got mau digawekna dalan nganggo aspal.
Pengramoete Goeminta marang dalan kampoeng mau pancen bagoes, toer saiki pendoedoek
doeroeng dikenekna iki lan iku. Moeng sik tak koewatiri, yen kabeh mau sak pakan mantjing,
yaiku sarana enggal setitik ndjoer minta itu dan ini, ndjur ana padjege terop. Sing bijasane
gak ana bandjoer djeboes mak grigil lan mak gregel.” 26

”Agar penduduk kampung bisa melihat apa yang telah dikerjakan oleh gemeente ketika
membersihkan kampung, dan supaya penduduk kampung senang hatinya, maka jalan-jalan
kampung diberi saluran air, dan kemudian jalan-jalan diaspal. Pemeliharaan gemeente
terhadap jalan kampung tersebut memang bagus, dan sampai saat ini penduduk belum ditarik
[iuran] ini dan itu. Namun saya khawatir, semua itu hanya sekejap saja, karena setelah itu
[gemeente] kemudian meminta [pajak] ini dan itu, bahkan mendirikan terop nantinya juga
terkena pajak. Yang semula tidak ada [pajak], tiba-tiba diada-adakan dan memberatkan.”

Pajak menjadi sumber utama ketakukan warga kampung terhadap rencana pengambilalihan
pengelolaan kampung. Hal ini menjadi pikiran tersendiri bagi sebagian besar warga kampung
yang miskin. Mereka telah membayangkan bahwa hidup di bawah kekuasaan gemeente tentu
saja akan membebani mereka karena gemeente akan menarik banyak pajak. Mereka bahkan
membayangkan hal-hal yang sangat ekstrem berkaitan dengan pajak, seperti pajak
penyelenggaraan acara hajatan penduduk kampung:

”Grigil iku terikane setitik merga ing terop moeng jagongan wae, dene yen gregel ya oenda
oesoek mergane umpamane nek nganggo towak-towakan tarikane lewih gede karo yen
moeng seteman tok…” 27

24
“Kampoeng-kampoeng Diilangi,” Swara Oemoem, 25 Oktober 1930
25
“Kijamate Kampoeng,” Swara Oemoem, 15 November 1930
26
Ibid.
27
Ibid.

387
“Tarikan pajaknya sedikit jika di terop hanya duduk-duduk saja, tarikan pajak akan menjadi
besar jika di terop juga diadakan [acara] minum minuman keras.”

Penduduk kampung merasa bahwa pengambilalihan pengelolaan wilayah yang menjadi


tempat tinggal mereka memang lebih bermotif ekonomi, dan hal inilah yang membuat
mereka trauma. Kondisi mereka yang miskin dengan penghasilan pas-pasan atau tanpa
penghasilan tetap, tentu saja sangat berat. Bagi sebagian masyarakat yang masih tinggal di
tanah-tanah yang dikuasai oleh tuan tanah, yaitu di tanah-tanah partikelir, penarikan pajak
membuat mereka semakin bertambah berat, karena selain harus membayar berbagai
kewajiban kepada tuan tanah juga membayar pajak insidental kepada gemeente.28
Reaksi yang keras dari penduduk penghuni kampung menjadi bukti bahwa telah tumbuh
kesadaran baru pada masyarakat kampung bahwa area mereka menjadi incaran dari
kelompok lain, dalam hal ini gemeente. Secara sadar masyarakat kampung mulai memahami
bahwa ruang mereka menjadi ruang yang diperebutkan, oleh karena itu mereka juga berusaha
mempertahankannya. Pada titik yang paling krusial ini tumbuhlah kesadaran kolektif yang
tinggi antar sesama penduduk kampung. Jika dalam kasus-kasus perebutan ruang antara
individu atau antar kelompok kesadaran kolektif yang muncul berskala kecil, maka dalam
kasus ini kesadaran kolegial mereka muncul dalam spektrum yang lebih luas. Mereka sadar
bahwa yang dihadapi bukan lagi individu atau kelompok, melainkan kekuatan terstruktur
yang mengatasnamakan diri sebagai lembaga yang memiliki otoritas paling sah dalam
penyelenggaraan komunitas besar yang disebut komunitas kota. Kelompok yang mereka
hadapi adalah Gemeente Surabaya, sebuah lembaga yang memiliki legitimasi paling kuat
untuk mewakili kekuasaan negara.
Menghadapi tekanan yang demikian kuat dari pemerintah, penduduk kampung-kampung di
kota Surabaya kemudian bersatu membentuk sebuah organisasi yang diberi nama ”Perasaan
Pendoedoek Soerabaja.”29 Organisasi ini menjadi wadah dari penduduk kampung yang tidak
setuju dengan rencana pengambilalihan pengelolaan kampung oleh gemeente. Setiap satu
minggu sekali perwakilan-perwakilan dari berbagai kampung berkumpul untuk membahas
masalah yang mereka hadapi. Agar posisi mereka lebih kuat, maka sejak awal bulan
Desember 1930 organisasi tersebut menjalin komunikasi dengan Persatuan Bangsa Indonesia
(PBI) yang dipimpin oleh Dr. Soetomo.
Pada tanggal 1 Desember PBI telah menerima surat-surat dari perwakilan kampung yang
menghendaki agar dilakukan ”begandring” (vergadering) 30 rakyat kota Surabaya untuk

28
Sebelum kampung-kampung secara resmi dikelola oleh gemeente, penduduk kampung sudah ditarik
beberapa macam pajak, antara lain pajak tanah yang ditarik oleh lurah-lurah untuk disetorkan kepada
pemerintah di atasnya. Penduduk yang tinggal di tanah-tanah partikelir sudah dibebani berbagai kewajiban yang
harus dibayar kepada tuan tanah, salah satunya adalah kewajiban membayar sewa tanah yang mereka tinggali.
Selain itu setiap mereka memanen hasil tanaman mereka harus membagi hasil panenan tersebut kepada tuan
tanah. “Sambate Wong Tani Tanah Partikelir Karah Ketintang,” Swara Oemoem, 23 April 1930. Lihat juga
Peratoeran Baroe atas Tanah Particulier di Tanah Djawa Sebelah Koelon Tjimanoek (Staatsblad 1912 No.
422), (Batavia: Landsdrukkerij, 1913). Peraturan yg termuat dalam buku tersebut secara khusus diperuntukkan
untuk tanah partikelir di sebelah barat sungai Cimanuk, tetapi secara umum berlaku juga untuk tanah partikelir
di tempat lain. F.C. Hekmeijer, Onteigeningsordonnantie terugbrenging van particuliere landerijen op Java tot
het staatsdomein, (Batavia: G. Kolff, 1923)
29
“Kijamate Kampoeng,” Swara Oemoem, 2 Desember 1930
30
Banyak istilah bahasa Belanda yang diucapkan salah oleh masyarakat kota Surabaya pada waktu itu.
Begandring adalah ucapan masyarakat setempat dari kata Belanda vergadering, yang artinya pertemuan atau

388
membahas rencana pemerintah pusat yang akan segera mengambil alih pengelolaan kampung
ke pihak Gemeente Surabaya. Pada tanggal yang sama tidak kurang dari lima surat yang
masuk ke pengurus PBI yang menghendaki agar PBI segera mengadakan ”begandring”
untuk tujuan yang sama. Beberapa surat yang dikutip oleh harian Swara Oemoem bahkan
terkesan sangat emosional yang mencerminkan kekhawatiran yang luar biasa dari penduduk
kampung bahwa mereka akan kehilangan “tanah tumpah darah” yang selama ini menjadi area
komunitas mereka yang dikelola secara mandiri. Salah satu surat mengatakan:

”Bareng aku maca Sw O (Swara Oemoem: pen) No. 126 bab: “Kijamate Kampoeng” atiku
bandjoer keranta-ranta. Sedoeloer-sedoeloer mbok menawa wis makloem yen wong ing
kampoeng ikoe ana bae gawene. Moela yen kita saiki dak nggatekna kabaran iku, mesti
besoek dina boeri kita dewe sing bakal ngrasakna (ngomel). Moela saka iku aku ndjaloek
remboege sedoeloer-sedoeloer sing wis ngerti mengkono oega marang badan “Perasaan
Pendoedoek Soerabaja” kang wis kaping-kaping nganakake rapat.” 31

”Setelah aku membaca (tulisan di) Sw O (Swara Oemoem: pen) No. 126 yang berjudul
”Kiyamatnya Kampung” hatiku merasa sedih. Saudara-saudara tentu sudah memakluminya
bahwa di kampung ada saja hal-hal yang perlu dikerjakan. Oleh karena itu jika saat ini kita
tidak memperhatikan hal ini [pengambilalihan pengelolaan kampung: pen], pasti akan
menyesal di kemudian hari. Oleh karena itu saat ini juga saya minta saudara-saudara untuk
bermusyawarah, demikian pula kepada [organisasi] ”Perasaan Pendoedoek Soerabaja” yang
sudah berkali-kali mengadakan rapat [agar] bermusyawarah lagi.”

Kekhawatiran dan ketakutan penduduk kampung terhadap rencana pengambilalihan kampung


oleh gemeente merupakan imbas dari rasa curiga yang sangat besar terhadap gemeente.
Gemeente selama ini dipandang sebagai sebuah lembaga pengelola kota yang secara terbatas
hanya mengurusi komunitas Eropa di kota Surabaya. Lembaga ini merupakan lembaga yang
mandiri yang oleh pemerintah pusat diberi otoritas dan otonomi untuk mengelola komunitas
kota. Sebagai lembaga yang mandiri dan otonom gemeente diberi hak untuk mengelola
keuangan sendiri serta diberi kepercayaan untuk menggali keuangan secara mandiri pula.
Salah satu sumber keuangan yang amat penting bagi gemeente adalah pajak yang ditarik dari
warga kota.
Perebutan otoritas pengelolaan kampung antara penghuni kampung dengan gemeente harus
dilihat dalam konteks yang cukup luas, antara keinginan untuk menata lingkungan kota dan
kepentingan untuk memperoleh sumber pendapatan kota yang cukup besar. Konteks yang
pertama tidak bisa dijadikan alasan yang cukup strategis mengingat selama ini kampung
merupakan sebuah area yang hampir tidak diperhatikan oleh gemeente sejak Gemeente
Surabaya berdiri pada tahun 1906. Dengan demikian, maka konteks kedualah yang paling
memungkinkan dijadikan pijakan untuk melihat alasan pengambilalihan tersebut. Sejak

rapat. Lihat S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1995), hlm.
722. Gemeente (pemerintah kota/kotamadya) biasanya diucapkan dengan ucapan guminta. Dalam konteks
sosial-politik ucapan-ucapan lokal tersebut menunjukkan betapa dinamisnya kondisi sosial dan politik pada
waktu itu sehingga orang-orang awam yang kurang terpelajar dan kurang memahami bahasa Belanda sebagai
alat komunikasi ikut terlibat dalam dinamika politik lokal. Mereka adalah masyarakat Bumiputra penghuni
kampung-kampung di kota Surabaya.
31
“Kijamate Kampoeng,” Swara Oemoem, 2 Desember 1930

389
gemeente berdiri dan dinyatakan sebagai sebuah lembaga yang secara otonom harus mencari
pendanaan untuk dirinya-sendiri maka sejak saat itu pula kebutuhan akan anggaran menjadi
hal yang substansial. Jika anggaran tersebut hanya dibebankan kepada komunitas Eropa,
tentu saja amat berat. Pada tahun 1930 jumlah komunitas Eropa yang tinggal di kota
Surabaya hanya berjumlah 26.463 orang. 32 Masyarakat kampung lebih melihat aspek
pembiayaan kotalah yang dijadikan alasan utama pengoperan tersebut. Pandangan
masyarakat kampung tersebut mengemuka pada begandring openbaar, rapat terbuka warga
kampung yang diadakan pada tanggal 20 Desember 1930 oleh PBI.
Dalam pertemuan masyarakat kampung tersebut dapat dilihat pandangan-pandangan
penghuni kampung dalam mensikapi rencana pemerintah yang akan segera dijalankan di kota
Surabaya. Secara umum, pandangan yang mengemuka dalam ”begandring” tersebut terbelah
menjadi dua. Pertama adalah pandangan yang mewakili pemikiran bahwa pengambilalihan
pengelolaan kampung-kampung adalah jalan terbaik menuju perbaikan kampung-kampung
miskin tersebut. Pandangan ini diwakili oleh anggota-anggota gemeenteraad perwakilan
rakyat Bumiputra kota Surabaya yang hadir dalam ”begandring” tersebut. Pandangan ini
didukung seorang tokoh terkemuka kota Surabaya yaitu Dr. Soetomo. Kedua adalah
pandangan yang menolak ide pengambilalihan pengelolaan kampung, yang mayoritas
disuarakan oleh para penghuni kampung.
Mula-mula, Dr. Soetomo yang merupakan ketua PBI dan seorang tokoh yang amat disegani
oleh masyarakat Bumiputra kota Surabaya memberi pengarahan sambil memimpin
pertemuan. Ia mengemukakan bahwa setiap tindakan baru yang semula asing bagi
masyarakat biasanya akan mengagetkan. Dr. Soetomo menganalogikan apa yang sedang
dilakukan oleh gemeente terhadap kampung-kampung di kota Surabaya dengan tindakan
Raffles ketika melakukan berbagai perombakan di Indonesia. Apa yang dilakukan oleh
Raffles mengagetkan banyak pihak karena ia memasukan hal-hal baru dengan tiba-tiba.33 Dr.
Soetomo nampaknya ingin mengambil hati masyarakat kampung yang menolak tindakan
pemerintah untuk memgambil alih pengelolaan kampung. Ia memposisikan diri sebagai
perantara antara masyarakat kampung dengan pihak gemeente. Menurut pandangan Dr.
Soetomo, pengambilalihan kampung bukanlah semata-mata persoalan bagaimana gemeente
nantinya memperoleh pemasukan dalam bentuk pajak, tetapi yang lebih penting adalah agar
kampung-kampung miskin yang selama ini tidak diperhatikan nantinya ada yang menangani,
yaitu gemeente. Kampung yang teratur beserta penghuninya yang sejahtera merupakan cita-
cita Dr. Soetomo sejak ia menetap di kota Surabaya. Bahkan ia rela mengundurkan diri dari
keanggotaan Gemeenteraad Surabaya pada tahun 1925 juga demi perjuangannya agar
kampung-kampung miskin di kota Surabaya ditangani dengan serius oleh gemeente.34
Apa yang disampaikan oleh Dr. Soetomo dalam ”begandring” tersebut tidak diperhatikan
dengan baik oleh perwakilan-perwakilan kampung yang hadir. Mereka tetap mencurigai
bahwa tindakan mengambil alih pengelolaan kampung adalah penyerobotan atas dasar
32
Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel, Volkstelling 1930: voorloopige uitkomsten 1e
gedeelte Java en Madoera, (Bataviacentrum: Landsdrukkerij, 1931), hlm. 74-75
33
“Gemeente lan Kampoeng,” Swara Oemoem, 27 Desember 1930
34
Pada tahun 1924 Dr. Soetomo terpilih menjadi anggota Gemeenteraad Surabaya. Dalam persidangan
awal tahun 1925 ia mengusulkan agar Gemeente Surabaya menyisihkan anggaran untuk perbaikan kampung-
kampung miskin di kota tersebut. Namun usulan Dr. Soetomo tidak disetujui oleh gemeente, sehingga ia beserta
tiga anggota dari golongan bumiputra mengundurkan diri sebagai bentuk protes. Beberapa saat setelah Dr.
Soetomo mundur dari gemeenteraad, anggaran untuk perbaikan kampung turun sebesar f 100.000. Turunnya
anggaran tersebut mendapat cemooh dari kelompok masyarakat kota Surabaya terutama yang berafiliasi dengan
komunis sebagaimana ditulis dalam surat kabar mereka, Proletar. “Tjiamah Tjioeng!!: Goemintah”, Proletar, 30
Mei 1925

390
kesewenang-wenangan. Terdapat perbedaan pandangan antara Dr. Soetomo dengan
perwakilan penduduk kampung yang hadir dalam begandring tersebut. Dr. Soetomo yang
seorang dokter lebih menekankan aspek kesehatan dalam proses pengambilalihan
pengelolaan kampung. Jika kampung-kampung berada dalam kendali gemeente, maka
kondisi lingkungan akan lebih diperhatikan dibandingkan jika kampung-kampung tersebut
tetap mandiri di bawah kekuasaan bupati, karena bupati tidak pernah secara langsung
memperhatikan kampung-kampung Bumiputra. Ia menekankan supaya rakyat mengikuti
kemauan gemeente jika perubahan yang akan dilakukan terhadap kampung-kampung miskin
cocok dengan kehendak rakyat. Berkali-kali ia menekankan bahwa masuknya gemeente ke
dalam kehidupan rakyat Bumiputra bukan berarti pertanda kemunduran bagi mereka, justru
kemajuanlah yang akan diperoleh oleh rakyat.35
Pendapat Dr. Soetomo tersebut didukung oleh anggota gemeenteraad Surabaya dari golongan
Bumiputra lainnya, yaitu Rooslan Wongsokoesoemo, Lengkong, dan Soendjoto. Mereka
menekankan bahwa jalan terbaik bagi para penghuni kampung adalah melepas pengelolaan
kampung kepada gemeente. Mereka berpendapat bahwa jumlah kampung di kota Surabaya
yang mencapai 176 sangat sedikit yang sudah diperbaiki, dan kondisi tersebut tentu saja
merugikan para penghuni kampung-kampung yang belum diperbaiki. Menurut Lengkong,
yang membayar pajak ke pemerintah bukan hanya warga kampung yang kampungnya sudah
diperbaiki tetapi juga warga kampung lain yang kampungnya masih belum diperbaiki.
Soendjoto dalam pengarahannya mengatakan bahwa selama ini penduduk kampung secara
mandiri mengelola kampungnya sendiri, tetapi karena kondisi ekonomi para penghuni
kampung yang rendah serta tidak adanya aturan yang jelas tentang pengembangan
pemukiman, maka kondisi kampung justru semakin semrawut tidak beraturan. Lebih lanjut ia
mengemukakan hal yang cukup berbeda dengan anggota gemeenteraad yang lain, yang
intinya bahwa jika gemeente ingin memperbaiki kampung sebenarnya tidak harus dengan
mengambil alih pengelolaan kampung-kampung tersebut, karena pengambilalihan akan
menimbulkan efek sosial yang cukup besar. Efek sosial tersebut adalah lengsernya para
pejabat tradisional yang paling rendah yaitu lurah. Jika kampung-kampung diambilalih
pengelolaannya oleh gemeente maka jabatan lurah akan dihapus dan diganti oleh
wijkmeester. Pelengseran lurah dikhawatirkan akan menimbulkan instabilitas pada rakyat
kampung karena lurah pada umumnya merupakan jabatan tradisional yang mengakar.36 Ia
tetap menekankan bahwa pengambilalihan pengelolaan kampung cukup penting agar rakyat
bisa menerima kembali pajak yang telah diberikan kepada negara dalam bentuk fasilitas yang
akan dibangun oleh gemeente jika kampung di bawah penguasaan lembaga tersebut.
Masyarakat kampung sendiri sadar betul bahwa upaya mereka untuk menghalangi
pengambilalihan pengelolaan kampung adalah tindakan yang sia-sia. Hal ini disebabkan
karena lembaga formal yang mestinya melindungi mereka, yaitu kabupaten, yang selama ini
berkuasa atas kampung-kampung tersebut ternyata tidak melakukan tindakan apa-apa. Pada
satu sisi, dualisme kekuasaan di kota Surabaya yang secara definitif berlangsung sejak
gemeente berdiri, secara tidak langsung merugikan warga kampung. Mereka membayar
berbagai jenis pajak yang disetor kepada atasan mereka, namun mereka tidak mendapatkan
imbalan yang sepadan. Kampung-kampung dibiarkan rusak dan tidak mendapat fasilitas
apapun, kondisi warga juga dibiarkan miskin tanpa jalan keluar. Pada sisi yang lain,
kekuasaan tradisional menciptakan suasana tentram karena mereka merasa berada dalam
lindungan bangsanya sendiri yang sederajat, bukan oleh bangsa asing yang kadang-kadang
tidak menciptakan komunikasi yang intensif. Kampung, bagi para penghuninya menciptakan
35
“Gemeente lan Kampoeng,” Swara Oemoem, 27 Desember 1930
36
Ibid.

391
romantisme akan hubungan yang intim antar warga dan dengan kepala-kepala mereka. Di
dalam kampung, kepala kampung, lurah, dan bupati adalah ”ayah” bagi warga kampung yang
memerankan diri sebagai ”anak”. Oleh karena itu pengambilalihan pengelolaan kampung
oleh gemeente menimbulkan kegoncangan yang luar biasa. Berhadapan dengan kekuasaan
gemeente, yang nota benenya adalah kekuasaan asing, akan menimbulkan jarak sosial dan
politik yang amat jauh. Kesenjangan terjadi antara dua lembaga yang berada dalam
kekuasaan etnik yang berbeda. Kondisi ekonomi warga yang rata-rata miskin dengan rumah-
rumah yang sangat tidak layak telah menciptakan jurang pemisah yang luar biasa, baik secara
riil maupun secara simbolik.
Pada akhirnya penduduk kampung menyadari bahwa pengambilalihan kampung adalah
sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi karena hal tersebut merupakan kemauan pemerintah.
Mereka kemudian hanya melakukan ”tawar-menawar” dengan pihak-pihak yang berkuasa.
Hal ini terungkap dengan jelas dalam ”begandring” tersebut. Wakil dari kampung
Kedungklinter misalnya menyatakan, bahwa jika masalah pengambilalihan kampung sudah
tidak bisa ditawar lagi, yang artinya dalam lima hari ke depan kampung-kampung di kota
Surabaya akan berada dalam kekuasaan gemeente, maka ada beberapa hal yang diminta oleh
warga kampung, khususnya warga kampung Kedungklinter. Pertama, wijkmeester yang akan
diangkat untuk menggantikan lurah hendaknya orang yang cakap, yang paham terhadap
kondisi warga kampung yang sebagian besar masih miskin, dan paham mengenai urusan
kampung. Paham artinya, mereka tahu budaya warga kampung setempat. Kedua, dengan
diambil alihnya kampung-kampung oleh gemeente maka secara otomatis wilayah yang
dikelola oleh gemeente menjadi semakin luas dan penduduknya semakin banyak. Oleh karena
itu maka keanggotaan Bumiputra di gemeenteraad hendaknya diperbanyak, dan pegawai-
pegawai Bumiputra di gemeente juga diperbanyak. Ketiga, anggota-anggota gemeenteraad
baik yang mewakili golongan Bumiputra maupun golongan bangsa lain hendaknya mau turun
ke kampung-kampung untuk melihat secara langsung kondisi kampung di Surabaya yang
sebenarnya.37
Secara umum hampir semua perwakilan kampung merasa keberatan jika kampung-kampung
diambilalih pengelolaannya oleh gemeente. Bahkan salah seorang wakil kampung yang hadir,
yaitu Pranoto mengusulkan agar kampung-kampung bersatu dan membentuk gemeente
sendiri. Ia mengusulkan agar Soendjoto, yang pada waktu itu menjadi anggota Gemeenteraad
Surabaya, mau menjadi burgemeester dari gemeente yang ia usulkan. Maskan, perwakilan
dari kampung lain berharap, agar gemeente usulan dari Pranoto juga dilengkapi dengan raad
cilik, yaitu raad yang beranggotakan perwakilan kampung-kampung yang fungsinya sama
dengan gemeenteraad.38
Berbagai usulan, saran, dan masukan yang diajukan oleh perwakilan kampung yang beraneka
macam itu oleh anggota gemeenteraad yang hadir dianggap sebagai ekspresi yang wajar atas
kekesalan masyarakat penghuni kampung di kota Surabaya. Celetukan-celetukan yang
37
“Gemeente lan Wong Kampoeng,” Swara Oemoem, 29 Desember 1930. Begandring yang diadakan
di gedung PBI pada tanggal 20 Desember 1930 memang begandring yang menyedot perhatian banyak
perwakilan kampung di kota Surabaya. Begandring ini dianggap amat penting karena menyangkut eksistensi
kampung yang status administrasinya akan segera berpindah tangan. Pengoperan kampung memang amat
mencemaskan rakyat karena dalam bayangan mereka penguasa baru, dalam hal ini gemeente, adalah sebuah
lembaga yang akan terus-menerus meminta imbalan kepada rakyat atas apa yang akan mereka kerjakan di
kampung. Orang kampung selalu memlesetkan gemeente dengan gua minta. Kecemasan tersebut misalnya
diungkapkan oleh Kadroen yang mewakili salah satu kampung yang mencontohkan bahwa setelah kampung-
kampung di kota Malang dioper ke tangan gemeente, penduduk yang tinggal di kampung-kampung tersebut
merasa rugi. Dengan tegas ia mengemukakan bahwa hal tersebut hendaknya jangan terjadi di kota Surabaya.
38
Ibid.

392
muncul merupakan dinamika yang khas dari kultur masyarakat kota Surabaya yang lugas dan
apa adanya, yang kadang tidak masuk akal dalam konteks waktu itu. Bahkan, Lengkong yang
merasa dirinya sebagai bukan orang Surabaya sampai harus memberi tekanan agar jangan
sampai orang-orang kampung mencurigai dirinya sebagai orang yang berpihak kepada
gemeente atau berpihak kepada masyarakat Eropa yang tinggal di kota Surabaya. Pada akhir
pertemuan Lengkong menegaskan bahwa walaupun ia adalah orang Minahasa tetapi jiwa dan
raganya diperuntukkan bagi bangsa Indonesia. Beberapa kali ia menekankan agar masyarakat
Surabaya jangan salah memilih perwakilan mereka untuk menjadi anggota gemeenteraad dan
jangan percaya begitu saja kepada apa yang diomongkan calon-calon gementeraad ketika
mereka berkampanye. Ia menekankan agar persoalan yang menimpa penduduk kampung
hendaknya dipecahkan bersama dan dipercayakan juga kepada anggota gemeenteraad
perwakilan Bumiputra.39
”Begandring” malam itu memang tidak menghasilkan keputusan yang pasti. Para anggota
gemeenteraad hanya berjanji akan membawa aspirasi masyarakat ke gemeente. Bahkan
Rooslan Wongsokoesoemo menyatakan bahwa ia cukup bingung dengan suasana yang
berkembang dalam ”begadring” tersebut. Ia merasa bahwa usulan dari penduduk kampung
akan sulit direalisasikan karena keputusan pengambilalihan pengelolaan kampung adalah
keputusan dari gubernur jendral yang akan segera diberlakukan dalam beberapa hari
mendatang. Ia juga mengkhawatirkan akan terjadinya protes keras dari penduduk kampung
mengenai hal tersebut. Para anggota gemeenteraad sadar bahwa persoalan yang sedang
dihadapi terkait erat dengan kultur masyarakat agraris yang sudah menyatu sedemikian rupa
dengan tanah tempat tinggal mereka. Jika persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat
tidak dihadapi dengan baik, maka bukan tidak mungkin akan meledak gerakan protes seperti
yang terjadi pada awal abad ke-20 di kota Surabaya. Mengingat hal tersebut, maka Rooslan
Wongsokoesoemo, sebagaimana dikutip oleh Swara Oemoem, berkali-kali mengingatkan
kepada masyarakat agar jika ada keberatan-keberatan berkaitan dengan kebijakan pemerintah
maka hendaknya diserahkan kepada yang berwajib karena:
”PBI ora gawe sikap apa-apa lan moetoes soepaja lan keberatan-keberatan saka rakjat iku
dipasrahake marang sing wadjib, autoriteiten apa dene pers kang bisa noedoehake
kepentingan mau marang oemoem.” 40

”PBI tidak bersikap apa-apa dan memutuskan supaya keberatan-keberatan dari rakyat
diserahkan saja kepada pihak yang berwajib, [lembaga] yang memiliki otoritas dan pers yang
bisa menunjukkan hal tersebut kepada [masyarakat] umum.”

Berbagai upaya penduduk kampung untuk menghalangi pengambilalihan pengelolaan


kampung ternyata tidak berhasil. Pemerintah kolonial Belanda, dalam hal ini gubernur
jenderal, tetap bersikukuh bahwa satu-satunya cara untuk mengubah kondisi kampung-
kampung yang tidak beraturan, kumuh, dan menjadi sumber ketidaknyamanan kota adalah
dengan mengambil alih pengelolaan kampung dari kekuasaan Bumiputra kepada kekuasaan
Eropa. Pada tanggal 1 Januari 1931, keluarlah Undang-undang Penghapusan Inlandsch-
39
Ibid.
40
Ibid.

393
Gemeenten Surabaya yang dimuat dalam Staatsblad No. 373 Tahun 1931.41 Sejak penetapan
itu maka seluruh wilayah kota Surabaya berada dalam satu kendali, yaitu Gemeente
Surabaya.
Hapusnya dualisme pemerintahan di kota Surabaya telah menjadikan kekuasaan gemeente
semakin kuat dengan wilayah yang semakin luas. Pada saat kekuasaan baru berjalan satu
dekade, Jepang keburu menduduki Indonesia. Pemerintah kota yang dibentuk oleh Jepang
yang menggantikan gemeente, memerintah dan mengontrol kota dengan corak yang sangat
berbeda. Kondisi tersebut berjalan sampai Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya
pada tahun 1945. Pada tahun 1950-an, perhatian pemerintah kota tertuju pada kondisi jalan-
jalan di kota Surabaya yang sebagian besar dikuasai oleh rakyat miskin. Tujuannya adalah
mengembalikan jalan raya pada fungsi aslinya, yaitu sebagai infrastruktur transportasi.
Dinamika pemerintah kota, dalam mengontrol jalan-jalan di kota Surabaya akan diuraikan
pada bagian selanjutnya.

Penutup
Kondisi politik di Kota Surabaya pada awal abad ke-20 memperlihatkan situasi yang
sangat dinamis. Aktivitas politik pada waktu itu tidak hanya diikuti oleh elit setempat, namun
diikuti pula oleh rakyat perkampungan. Pada waktu itu, kegiatan politik yang dilakukan oleh
rakyat kampung adalah dalam rangka melawan berbagai kebijakan pemerintah kolonial yang
dirasakan merugikan mereka. Pada awal abad ke-20, terjadi perubahan drastis di Kota
Surabaya, yang sebagian besar perubahan tersebut menyerempet kepentingan rakyat kecil
yang tinggal di kampung-kampung di kota tersebut. Salah satu perubahan yang terjadi adalah
pemberian otonomi penuh kepada Kota Surabaya dengan berdirinya Gemeente Surabaya
pada tahun 1906.
Otonomi tersebut tidak diberikan kepada rakyat Bumiputera yang tinggal di Kota Surabaya,
melainkan kepada orang-orang Eropa, khususnya kepada orang-orang Belanda yang tinggal
di kota tersebut. Pemberian otonomi penuh tersebut berimbas kepada kebutuhan keuangan
yang bersifat mandiri, baik pengelolaannya maupun sumber pendapatannya. Karena sumber
pendapatan keuangan Gemeente Surabaya terbatas, maka semua hal yang menyangkut
kepentingan umum dijadikan sumber pendapatan. Padahal, kepentingan umum tersebut tidak
melulu terkait dengan orang-orang Belanda, melainkan sebagian besar justru terkait dengan
rakyat Bumiputera. Dengan demikian, maka rakyat Bumiputera dijadikan salah satu target
pendapatan, sehingga kehidupan mereka yang sudah susah menjadi semakin susah karena
adanya kebijakan tersebut. Menghadapi situasi yang menekan, maka mereka melakukan
berbagai perlawanan. Dalam konteks perlawanan itulah, rakyat kampung di Kota Surabaya
melakukan berbagai strategi dan taktik yang dapat dikategorikan sebagai tindakan berpolitik
dalam rangka memperjuangkan kepentingan mereka.
Strategi dan taktik yang dilakukan oleh rakyat kampung bermacam-macam. Bagi rakyat
kampung yang sudah mengenyam pendidikan, walaupun pendidikan rendahan, mereka
melakukan berbagai protes terkait kebijakan pemerintah kolonial yang kurang
menguntungkan bagi mereka, dengan cara menulis di surat kabar. Di Kota Surabaya terdapat
surat kabar yang dikelola oleh masyarakat Bumiputra, berskala tidak terlalu besar, dan mau
menampung berbagai keluh kesah rakyat kelas bawah. Kritik mereka yang tajam hampir
setiap hari menghiasai surat kabar tersebut. Strategi lain adalah melakukan protes langsung
41
Staatsblad No. 373 Tahun 1931. Walaupun undang-undang tersebut berlaku sejak tanggal 1 Januari
1931 namun pelaksanaannya baru efektif mulai tanggal 1 Februari 1931. Lihat “Volksmeting,” Swara Oemoem,
4 Februari 1931

394
kepada pemerintah dengan cara memanfaatkan organisasi politik yang telah ada. Salah satu
organisasi politik yang kerap dimanfaatkan oleh rakyat kampung untuk menyuarakan aspirasi
mereka adalah Sarekat Islam (SI) yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto. Pertemuan-
pertemuan resmi yang diadakan oleh anggota gemeenteraad, yang populer disebut
begandring, juga dimanfaatkan oleh rakyat kampung untuk menyuarakan aspirasi mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Surat Kabar:

Harian Umum, 12 Juni 1958.


Harian Umum, 1 Juli 1958.
Java Post, 21 Mei 1958.
Java Post, 10 Juni 1958
Java Post, 12 Juni 1958
Java Post, 25 Juni 1958
Java Post, 10 September 1955
Perdamaian, 2 Mei 1955
Perdamaian, 3 Mei 1955
Perdamaian, 11 Mei 1955
Perdamaian, 14 Mei 1955
Perdamaian, 17 Mei 1955
Perdamaian, 26 Mei 1955
Perdamaian, 31 Mei 1955
Perdamaian, 1 Oktober 1955
Perdamaian, 3 Oktober 1955
Perdamaian, 25 Oktober 1956
Perdamaian, 31 Desember 1956
Pewarta Soerabaia, 25 Januari 1957
Pewarta Soerabaia, 26 Februari 1958
Pewarta Soerabaia, 26 Maret 1958
Proletar, 1 Mei 1925
Proletar, 15 Mei 1925
Proletar, 30 Mei 1925
Proletar, 20 Juni 1925

395
Soeara Asia, 23 April 1943
Soeara Rakjat, 23 Mei 1957.
Soeara Rakjat, 24 Mei 1957.
Soeara Rakjat, 15 Juni 1957.
Soerabaja Post, 8 Mei 1956
Soerabaja Post, 7 Mei 1956
Soerabaja Post, 14 Mei 1956
Soerabaja Post, 16 Mei 1956
Soerabaja Post, 21 Mei 1958
Soerabaja Post, 22 Mei 1956
Soerabaja Post, 4 Juni 1958.
Soerabaja Post, 12 Juni 1958
Soerabaja Post”, 19 Juni 1956
Soerabaja Post, 19 Juli 1957
Soerabaja Post, 27 Juli 1957
Soerabaja Post, 10 Agustus 1957.
Swara Oemoem, 27 Desember 1930
Swara Oemoem, 29 Desember 1930.
Swara Oemoem, 15 Oktober 1930
Swara Oemoem, 25 Oktober 1930
Swara Oemoem, 15 November 1930
Swara Oemoem, 2 Desember 1930
Swara Oemoem, 4 Februari 1931
Swara Oemoem, 23 April 1930.
Terompet Masjarakat, 25 Maret 1963
Terompet Masjarakat, 10 April 1963
Terompet Masjarakat, 29 April 1953
Terompet Masjarakat, 16 Mei 1953
Terompet Masjarakat, 24 Juni 1958
Terompet Masjarakat, 28 Nopember 1963
Terompet Masjarakat, 14 Desember 1963
Terompet Masjarakat, 16 Desember 1963
Terompet Masjarakat, 17 Desember 1963
Terompet Masjarakat, 18 Desember 1963
Terompet Masjarakat, 19 Desember 1963

396
Terompet Masjarakat, 20 Desember 1963

Buku

Akhudiat. 2008. Masuk Kampung Keluar Kampung: Surabaya Kilas Balik. Surabaya Henk
Publica, 2008

Akira, Oki. 1988. “The Transformation of the Southeast Asian City: The Evolution of
Surabaya As a Colonial City,” dalam East Asian Cultural Studies, 27 (March)

Anonim. 1913. Peratoeran Baroe atas Tanah Particulier di Tanah Djawa Sebelah Koelon
Tjimanoek (Staatsblad 1912 No. 422). Batavia: Landsdrukkerij

Anonim. 1975. Jubileumboek HBS Soerabaia 1875-1975. Den Haag: TP, 1975

Atmadja, Krama. 1903. Pendapatan Peperiksaan Adanja Kota Soerabaja. Batavia:


Landsdrukkerij

Aqsha, Darul. 2004. K.H. Mas Mansyur (1896-1946): Perjuangan dan Pemikiran. Jakarta,
Erlangga

Basundoro, Purnawan. 2008. “Gerakan Protes Rakyat Miskin Kota Surabaya pada awal Abad
ke-20,” dalam M. Nursam, Baskara T. Wardaya, dan Asvi Warman Adam (ed.), Sejarah yang
Memihak: Mengenang Sartono Kartodirdjo. Yogyakarta: Ombak.

Basundoro, Purnawan. 2009. Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang sejak Kolonial
sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: Ombak

Basundoro, Purnawan. 2012. Pengantar Sejarah Kota. Yogyakarta: Ombak

Basundoro, Purnawan. 2013. Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-
1960an. Jakarta: Marjin Kiri

Blackburn, Susan. 2011. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Masup.

Crouch, Harold. 1999. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

397
Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel. 1931. Volkstelling 1930: voorloopige
uitkomsten 1e gedeelte Java en Madoera. Bataviacentrum: Landsdrukkerij

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1985. Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke


Jaman. Jakarta: Balai Pustaka

Dick, Howard W. 2002. Surabaya City of Work: A Socioeconomic History, 1900-2000.


Athen: Ohio University Press

Evers, Hans-Dieter dan Rudiger Korff. 2002. Urbanisme di Asia Tenggara: Makna dan
Kekuasaan dalam Ruang-ruang Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Inonesia

Frederick, William H. 1989. Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya
Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946). Jakarta: Gramedia

Hageman, J. 1859. “Aanteekeningen nopens de industrie, handel en nijverheid van


Soerabaja.” Tijdschrift voor nijverheid en landbouw in Nederlandsch Indie 5

Hekmeijer, F.C. 1923. Onteigeningsordonnantie terugbrenging van particuliere landerijen


op Java tot het staatsdomein. Batavia: G. Kolff

Ingleson, John. 1986. In Search of Justice: Workers and Unions in Colonial Java, 1908-
1926. Singapore: Oxford University Press, 1986

Ingleson, John. 2004. Tangan dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh, Sarekat Kerja dan
Perkotaan Masa Kolonial. Jakarta: Komunitas Bambu

Kal, H. Th. 1906. Mededeelingen over de hoofdplaats Soerabaja,” dalam Tijdschrift voor het
Binnenlandsch Bestuur, Een-en-dertigste deel. Batavia: G. Kolff & Co.

Koesmen, Sjamsu dan Pangestu B.W. 1957. Buku Petundjuk Kota Besar Surabaja. Surabaya:
Djawatan Penerangan Kota Besar Surabaja

Kohl, Herbert. 1992. From Archetype to Zeitgeist: Powerful Ideas for Powerful Thinking.
Boston: Litle, Brown Company

Korver, A.P.E. 1985. Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil?. Jakarta: Grafiti Pers

398
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Totosusanto (ed.). 2010. Sejarah Nasional
Indonesia: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda. Jakarta: Balai Pustaka

Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi

Sanit, Arbi. 2000. Badai Revolusi : Sketsa Kekuatan Politik PKI di Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Santoso, Jo. 2006. (Menyiasati) Kota Tanpa Warga. Jakarta: Gramedia

Singh,Vishal. 1958. “The Political Situation in Indonesia”. International Spatator, 8


Nopember 1958

Sullivan, J. 1992. Local Government and Community in Java: An Urban Case Study.
Singapore: Oxford University Press

Soemardjan, Selo. 2009. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Jakarta: Komunitas Bambu

Von Faber, G.H. 1931. Oud Soerabaia: De geschiedenis van Indie’s eerste koopstad van de
oudste tijden tot de instelling van den gemeenteraad (1906). Soerabaia: De Gemeente
Soerabaia

Von Faber, G.H. 1936. Nieuw Soerabaia: De geschiedenis van Indie’s voornaamste
koopstad in de eerste kwarteeuw sedert hare instelling 1906-1931. Soerabaia: N.V.
Boekhandel en Drukkerij

Wignjosoebroto, Soetandyo. 2005. Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial


Hindia-Belanda: Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di
Indonesia (1900-1940). Malang: Bayumedia

399
Museum sebagai Rujukan Sejarah Lokal: Representasi Identitas Betawi dalam
Museum Orang Betawi
Putri Haryanti
Mahasiswa S2 Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
haryanti.putri@gmail.com

Abstrak
Artikel ini membahas tentang pembentukan identitas etnis Betawi yang direpresentasikan ke
dalam tata pamer Museum Orang Betawi yang berlokasi di Kota Depok, Jawa Barat.
Museum Orang Betawi sebagai museum yang membawa nama etnis Betawi adalah museum
yang merepresentasikan etnis Betawi melalui koleksi barang-barang keseharian orang Betawi
di dalam dan di luar rumah sejak zaman Batavia hingga Jakarta. Di sisi lain, museum adalah
lembaga non formal yang tidak hanya sekedar wadah penyimpanan koleksi benda-benda
bersejarah. Akan tetapi, sebuah museum bisa juga menjadi sarana untuk menampilkan sejarah
lokal sebuah daerah melalui representasi etnis yang ada di daerah tersebut. Inilah yang coba
ditampilkan oleh Museum Orang Betawi kepada para pengunjung, bahwa Museum Orang
Betawi tidak hanya sebagai wadah penyimpanan koleksi benda-benda bersejarah milik etnis
Betawi, tetapi juga mampu menampilkan narasi sejarah lokal. Oleh karena itu, dengan
pemilihan koleksi yang mencerminkan identitas etnis Betawi, museum ini telah menyusun
koleksi yang ada berdasarkan alur cerita pada tata pamer museum. Sehingga alur cerita pada
tata pamer yang disajikan mampu menampilkan sebuah narasi sejarah lokal tentang
representasi etnis Betawi yang berperan dalam membangun nilai-nilai kearifan lokal dan
nilai-nilai keindonesiaan.
Kata kunci: sejarah lokal, museum, etnis, identitas

Abstract
This article discusses the construction of Betawinese ethnic group’s identities which is
represented in the exhibition arrangement of Museum Orang Betawi in Kota Depok, West
Java. As portrayed in its name, Museum Orang Betawi represents Betawinese ethnic group
through a collection of Betawinese people’s daily appliances that are used both inside and
outside their houses, starting from the era of Batavia to Jakarta. Museum itself is a nonformal
institution which functions not only as a repository for historical items, but also as a medium
to display the local history of a region through its ethnical representation. This is what has
been displayed by Museum Orang Betawi to its visitors, that it does not only preserve
historical items owned by Betawinese ethnic group, but also displays a narration of local
history. Collections representing the identity of Betawinese ethnic group are selected and
arranged based on a storyline implied from the museum’s exhibition arrangement. Hence, the
presented storyline is able to display a narration of local history about the representation of
Betawinese ethnic group in establishing values of local wisdom and Indonesian-ness.

Keywords: local history, museum, ethnic group, identity

400
1. Pendahuluan
Sejarah lokal memiliki tingkatan pembahasan yang begitu dekat dengan objek yang
ditelitinya, yaitu manusia. Maka, tingkat pengerjaan sejarah lokal tidak hanya sebatas ajang
latihan saja, melainkan dibutuhkan kemampuan teknis dan daya analitas tinggi (Abdullah
1990, 20). Hal ini dikarenakan tingkat abstraksi yang lebih rendah bukan berarti tingkat
pengerjaannya juga dianggap rendah, sebaliknya pengerjaan sejarah lokal menuntut
kecermatan dan ketelitian yang lebih tajam (Abdullah 1990, 20). Bahkan penurunan tingkat
abstraksi yang lebih detail justru membutuhkan pula penguasaan dari disiplin ilmu lain,
misalnya, antropologi, arkeologi, epigrafi, filologi, sosiologi, linguistik, filsafat, politik,
geografi, ekonomi, psikologi, dan sebagainya (Priyadi 2012). Sehingga penulisan sejarah
lokal dapat menunjukkan semangat interdisipliner di kalangan sejarawan Indonesia masa kini
(Kuntowijoyo 2003, 145).
Sejarah Nasional Indonesia memiliki tingkat abstraksi yang tinggi sehingga lebih bersifat
umum (Abdullah 1990). Sedangkan sejarah lokal memiliki tingkat abstraksi rendah, sehingga
penjelasan sejarahnya lebih bersifat detail (Abdullah: 1990). Inilah mengapa sejarawan-
sejarawan besar banyak yang membuat prestasi dengan menulis sejarah lokal (Priyadi 2012).
Karena mereka menggunakan berbagai disiplin untuk menghadapi abstraksi yang lebih
rendah tersebut. Oleh karenanya, sejarawan yang berhasil meraih reputasinya melalui
penelitian sejarah lokal juga disebut dengan sejarawan paripurna (Priyadi 2012).

2. Sejarah dan Museologi


Dalam mendukung daya analisis yang tinggi, sejarawan yang meneliti sejarah lokal dapat
menggunakan disiplin lain tergantung pada subjek penelitiannya. Apabila sebuah penelitian
sejarah lokal ingin menggunakan disiplin ilmu lain berupa kebudayaan materi, maka
penelitian sejarah lokal tersebut dapat menggunakan museum sebagai salah satu sumber
rujukannya. Sehingga museum dapat menjadi mitra bagi sejarawan yang sedang meneliti
sejarah lokal.
Jenis-jenis museum sangat beragam. Berdasarkan tingkat, ruang lingkup wilayah, tujuan
penyelenggaraan dan luas koleksinya, museum dibagi menjadi museum nasional, museum
negeri/provinsi/regional, museum lokal, dan museum lapangan terbuka (Yulianto et al. 2015).
Berdasarkan koleksinya, jenis-jenis museum bisa sangat bervariasi bergantung pada tema
yang diangkat oleh museum, seperti sejarah alam, etnografi dan arkeologi, sejarah
perjuangan, rumah bersejarah, seni, industri, maritim, religi, dan perbankan (Yulianto et al.
2015).
Memasuki era modern, museum tidak menitikberatkan pada koleksi, tetapi mulai
berkembang teori museologi baru (new museology) yang mendorong peran museum sebagai
lembaga yang membangun identitas komunitas dengan cara meneliti untuk memahami apa
yang menjadi keinginan dan kebutuhan masyarakat dan berusaha untuk mewujudkannya
(Magetsari 2008, 9). Kemudian museum pada era pascamodern yang muncul pada abad ke-
21 merupakan suatu tempat di mana pengunjung dapat bersikap lebih aktif dan pengunjung
juga dapat menentukan sendiri makna dari museum (Yulianto et al. 2015, 9).
Dalam pertumbuhannya di seluruh dunia, didorong dengan berkembangnya teori museologi
baru, museum mulai mengenal adanya museum identitas yang jumlahnya baik di kota-kota
atau di daerah pedesaan, telah cukup besar dalam beberapa dekade terakhir abad kedua puluh
(Davis 2007). Hal ini menunjukkan bahwa ada kebutuhan normal bagi sekelompok
masyarakat untuk menyadari atribut-atribut yang membuat mereka berbeda dari masyarakat
lain (Davis 2007).

401
Museum identitas yang dimaksud masuk ke dalam kategori museum komunitas. Sebuah
komunitas akan menunjukkan kekhasannya atau ada yang membuat mereka berbeda dari
komunitas lainnya. Perbedaan antara satu komunitas dan komunitas lainnya bisa berdasarkan
faktor-faktor sosial, budaya, dan ekonomi. Sehingga masing-masing individu akan
mengidentifikasikan dirinya pada sekelompok individu yang akhirnya membentuk suatu
komunitas.
Dengan berbagai jenis museum yang ada, sejarawan yang sedang meneliti sejarah lokal dapat
memilih jenis museum yang sesuai dengan ruang lingkup penelitiannya. Keterkaitan sejarah
lokal dengan museum sebagai sumber informasi sangat erat hubungannya dengan museum
komunitas. Karena museum komunitas memiliki ruang lingkup secara geografis, yakni
menyangkut masalah lokasi ataupun juga ruang lingkup identitas, yakni menyangkut masalah
etnisitas.
MOB (Museum Orang Betawi) memiliki dua kategori tersebut, yaitu secara geografis dan
etnisitas. Di mana MOB 1 memiliki ruang lingkup geografis yang jelas, yaitu mencakup
wilayah di mana etnis Betawi berasal. Selanjutnya, MOB dapat menjadi sumber rujukan
sejarah lokal dengan pendekatan antropologi, melalui aspek identitas suatu etnis.
Kemudian, lokasi MOB yang terletak di Kota Depok menandakan bahwa daerah sebagai unit
administrasi, sering tidak sesuai dengan “daerah” dalam pengertian etnis-kultural. Etnis
Betawi yang selama ini diketahui berasal dari Jakarta, sebagian juga berada di Depok. Karena
keberadaan etnis Betawi tidak dipengaruhi oleh unit administrasi secara struktural. Inilah
mengapa lokasi MOB tidak harus berada di Ibukota Jakarta, melainkan berada di Kota
Depok.

3. Sejarah Lokal
Dalam ilmu sejarah, ada beberapa istilah sejarah yang sudah kita kenal, seperti “sejarah
nasional”, “sejarah daerah”, dan “sejarah regional”. Istilah sejarah nasional atau sejarah
Indonesia patut diterima karena berdasarkan konsensus (Abdullah 1990, 12). Konsensus ini
ditentukan bukan karena tuntutan “subject matter”, tetapi lebih pada tuntutan ideologis
(Abdullah 1990, 13). Justru yang harus ditinjau lebih sungguh-sungguh adalah istilah
“sejarah daerah”.
Daerah sebagai unit administratif, kenyataannya tidak sesuai dengan “daerah” dalam
pengertian etnis-kultural, sebagai contoh, “sejarah Minangkabau” tidak identik dengan
“sejarah Sumatera Barat” (Abdullah 1990, 14). Sebab sejarah Minangkabau adalah konsep
etnis-kultural yang selalu bergerak, sedangkan sejarah Sumatera Barat ditentukan oleh politik
administratif (Abdullah 1990,14). Dengan begitu, istilah sejarah daerah memiliki arti yang
ganda. Di lain sisi, istilah “sejarah regional” dianggap sebagai memiliki arti yang lebih
sempit dan tunggal daripada “sejarah daerah” (Abdullah 1990, 14). Namun, istilah regional
pada masa sekarang bisa diartikan melampaui batasan nasional, contohnya konsep ASEAN,
sehingga muncul adanya sejarah regional Asia Tenggara (Abdullah 1990, 14). Alhasil, istilah
“sejarah regional” merupakan gejala pengkromoan dari istilah “sejarah daerah” (Abdullah
1990, 14).
Kembali pada mengapa istilah sejarah lokal yang dipilih, karena merupakan istilah yang
netral dan tunggal, daripada istilah “sejarah daerah” dan “sejarah regional” yang dianggap
bias (Abdullah 1990, 14). Pengertian kata lokal dapat berarti “tempat”, “ruang”, jadi sejarah
lokal hanyalah sejarah dari suatu tempat yang batasannya geografisnya ditentukan sendiri
1
Mulai dari sini pada penyebutan Museum Orang Betawi akan disingkat dengan MOB

402
oleh penulis sejarah (Abdullah 1990, 15). Batasan geografisnya dapat ditentukan berdasarkan
suatu tempat tinggal suku bangsa, dapat pula suatu kota, juga suatu desa (Abdullah 1990, 15).
Mazhab Leicester sendiri menyatakan bahwa sejarah lokal adalah asal-usul, pertumbuhan,
kemunduran, dan kemajuan dari kelompok masyarakat lokal (Priyadi 2012, 7). Namun,
apakah sejarah lokal itu membahas tentang masa lalu mulai dari zaman pra sejarah sampai
pada sejarah kontemporer yang membahas masa kini tidaklah dipersoalkan lagi. Karena yang
menjadi perhatian dalam sejarah lokal adalah kisah dari kelompok-kelompok masyarakat
yang diikat oleh kesatuan etnis-kultural. Walaupun juga tidak perlu disinggung secara
berlebihan apakah ada dua atau tiga kelompok etnis-kultural yang terlibat di dalamnya. Sebab
yang ditekankan dalam sejarah lokal adalah ruang lingkup geografis (Abdullah 1990, 15).
Oleh karenanya, sejarah lokal dapat dirumuskan sebagai kisah masa lampau suatu kelompok
atau kelompok-kelompok masyarakat yang berada pada daerah geografis tertentu yang
dibatasi sendiri oleh penelitinya (Abdullah 1990, 15).
Dengan membatasi ruang lingkup geografis, sejarah lokal tidak hanya menekankan pada satu
corak saja, yaitu studi sejarah lokal yag difokuskan pada sejarah peristiwa yang lebih
terpukau pada “apa, siapa, di mana, dan bila” (Abdullah 1990, 27). Akan tetapi, sejarah lokal
juga lebih menekankan pada tiga corak studi sejarah lokal lainnya yaitu, yang lebih
menekankan pada struktur, studi tematis, dan studi sejarah umum yang menguraikan
perkembangan daerah misalnya, propinsi, kota, kabupaten yang dibahas dari masa ke masa
(Abdullah 1990, 27).
Tentunya penulisan sejarah lokal tidaklah terbatas pada empat corak di atas, melainkan masih
tidak terbatasnya kemungkinan lain dalam penulisan sejarah lokal (Abdullah 1990, 33).
Sebagai contoh, hubungan seni dan struktur sosial di daerah Pakualaman, sejarah intelektual
dari daerah tertentu, dan berbagai kemungkinan lain yang tidak terbatas (Abdullah 1990, 33).
Salah satu pendekatan yang bisa ditempuh sebagai kemungkinan lain dalam penulisan sejarah
lokal adalah dengan pendekatan antropologis, melalui aspek identitas suatu etnis. Sejarah
Lokal tentang suatu etnis pernah ditulis oleh J. Keuning. Ia adalah seorang antropolog yang
pernah tinggal di daerah Toba Batak. Keuning membahas hubungan antara dua sub-suku
bangsa, yaitu Batak Toba dan Batak Mandailing (Abdullah 1990). Dua sub-suku bangsa
tersebut terlibat dalam konflik yang mempersoalkan masalah pencarian identitas, yang mana
“kita” dan mana yang “mereka” (Abdullah 1990,280).
Dengan pendekatan antropologis, melalui aspek identitas suatu etnis, maka representasi
identitas etnis Betawi yang menjadi topik dalam tulisan ini juga dapat dijadikan pendekatan
dalam sebuah penulisan sejarah lokal seputar etnis Betawi. Kemudian kurun waktu yang
dijadikan dalam pembahasan sejarah lokal dengan pendekatan antropologis tentunya dapat
bertolak dari isu yang berkembang pada masa kini (Abdullah 1990, 34). Oleh karenanya,
sejarah lokal seputar etnis Betawi tidak harus diawali dengan pengetahuan tentang sejarah
etnis Betawi, tetapi bisa diawali dengan kenyataan yang terjadi pada hari kini.
Penulisan sejarah lokal yang bertolak bukan dari sejarah, melainkan kenyataan pada masa
sekarang, tentunya tidak harus terpaku menggunakan sumber arsip. Di lain sisi dapat
menggunakan sumber sejarah lainnya, seperti benda yang dijadikan koleksi oleh museum.
Tentunya juga tidak semua jenis museum yang bisa dijadikan rujukan, melainkan museum
yang merepresentasikan realitas masyarakat pada masa kini, yaitu museum identitas atau
museum komunitas.

4. Museum Komunitas

403
Penulisan sejarah lokal yang menggunakan aspek identitas suatu etnis dapat mengambil
sumber rujukan pada sebuah museum yang masuk ke dalam kategori museum komunitas,
museum etnografi, atau museum lokal.
Apa yang dialami oleh sejarah lokal dengan rumusan definisinya, juga dialami oleh museum
yang menamakan dirinya dengan museum komunitas. Mendefinisikan apa itu museum
komunitas sangat sulit mengingat sifat masyarakat yang dinamis. Di lain sisi, museum harus
berhubungan, melayani, dan berinteraksi dengan beberapa komunitas (Davis 2007).
Individu-individu dalam setiap wilayah geografis akan membentuk kelompok dikarenakan
berbagai pengaruh, baik itu sosial, ekonomi, dan juga budaya. Museum adalah salah satu
contoh lembaga yang dihasilkan oleh sekelompok individu yang terbentuk karena pengaruh-
pengaruh tersebut.
Berikut adalah tujuh faktor dalam mendefinisikan apa saja jenis kategori museum komunitas
berdasarkan bagaimana komunitas itu terbentuk serta dikaitkan dengan peran museum
terhadap masyarakat dan komunitas pada khususnya (Watson 2007). Berdasarkan tujuh
faktor yang ada, dalam tulisan ini hanya akan menjelaskan dua faktor saja:
1. Komunitas yang terbentuk karena berbagi pengalaman sejarah
atau budaya.
2. Komunitas yang terbentuk oleh pengetahuan khusus.
3. Komunitas yang terbentuk oleh faktor demografi / sosial
ekonomi.
4. Komunitas yang terbentuk oleh identitas (nasional, regional,
lokal atau yang berkaitan dengan gender, disabilitas, dan usia).
Peran museum dalam mendukung dan mendefinisikan identitas suatu masyarakat sangat
penting. Masalah identitas pun sangat kompleks dan sulit untuk didefinisikan ketika
bagaimana cara suatu individu memandang mereka sendiri dan dinilai oleh orang lain.
Namun, di lain sisi, identitas juga terkait dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan
kelas sosial, etnis, dan agama. Identitas juga menyangkut negara, di mana identitas nasional
telah menjadi salah satu bentuk yang disukai dan dianggap identitas yang istimewa dalam
dunia modern. Sebagaimana Benedict Anderson menganggap museum sebagai alat
bagaimana negara-negara 'membayangkan' diri mereka sendiri.
5. Komunitas yang terbentuk oleh praktik ritual ketika
mengunjungi museum.
6. Komunitas yang terbentuk karena pengecualian mereka dari
masyarakat lain.
7. Komunitas yang terbentuk karena lokasi.
Sebuah komunitas sering memandang diri mereka dalam suatu ruang geografis apakah itu
wilayah, kota, kabupaten atau pedesaan. Bahkan, beberapa orang dapat hidup di suatu tempat
untuk waktu yang lama tapi masih mengasosiasikan dirinya dan merasa menjadi bagian dari
sebuah komunitas di mana mereka tidak lagi tinggal di tempat tersebut. Selain itu
perkembangan teknologi media telah memberikan kesempatan bagi museum untuk
mendukung terciptanya 'komunitas virtual' di dunia maya. Namun, banyak orang yang
mengasosiasikan dirinya dengan tempat di mana mereka saat ini tinggal. Salah satu cara
mereka mengungkapkannya adalah dengan menampilkan sebuah keunikan dari desa, kota,
atau negara yang membuat mereka merasa bangga. Inilah identitas yang tertanam dalam
artian karena suatu tempat. Kemudian ide lokasi sering dikaitkan dengan waktu. Masyarakat

404
mengidentifikasi diri mereka dengan lamanya waktu mereka telah tinggal di tempat tertentu.
Selanjutnya museum membantu mendukung jenis identitas masyarakat dengan menampilkan
tata pamer dari kelompok orang yang berada dalam jangka waktu tertentu atau kerangka
waktu tertentu.
Komunitas yang terbentuk karena faktor-faktor tersebut di atas dapat membentuk
museumnya masing-masing dengan jenis museum yang sama, yaitu museum komunitas.
Untuk faktor ke-7, komunitas yang terbentuk karena lokasi bisa membentuk museum lokal.
Sedangkan museum lokal dapat juga diartikan sebagai museum komunitas. Sebaliknya,
museum komunitas tidak terbatas pada museum lokal saja, melainkan berdasarkan pada enam
faktor lainnya yang telah disebutkan pada paragraf di atas.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa museum yang terbentuk berdasarkan identitas berkaitan
dengan komunitas yang terbentuk karena kelas sosial, agama, dan etnisitas. Sebagai contoh
dalam tulisan ini adalah MOB yang penulis klasifikasikan sebagai museum komunitas. Oleh
karena MOB terbentuk berdasarkan etnis yang sama, sekaligus juga menunjukkan identitas
mereka sebagai etnis Betawi.
Pihak pengelola MOB sendiri mengelompokkan museum mereka sebagai museum etnografi.
Namun, koreksi yang perlu dilakukan adalah berdasarkan tujuh definisi komunitas yang telah
dibahas pada paragraf sebelumnya, maka MOB masuk dalam definisi komunitas pada poin
ke-4.
Tidak bisa dihindari, bahwa sebuah museum etnografi juga bisa mengusung isu identitas
dalam setiap program dan pameran yang mereka jalankan. Namun, pembeda antara museum
komunitas dan museum etnografi adalah pihak penyuplai benda koleksi yang ada di museum
dan pihak pengelola museum. Museum etnografi memiliki jaringan para ahli di antaranya,
antropolog, arkeolog, sejarawan dan para ahli lainnya sebagai penyuplai benda koleksi
museum sekaligus mengadakan riset tentang benda-benda koleksi tersebut. Sedangkan
museum komunitas, pihak penyuplai benda-benda koleksi museum adalah komunitas mereka
sendiri, tidak harus berasal dari para ahli. Kalaupun museum komunitas mempekerjakan para
ahli, kesemuanya merupakan upaya komunitas yang bersifat kooperatif, sehingga tidak ada
pemisahan yang tajam antara pengelola museum, para ahli, dan pengunjung (Magetsari 2008,
11). Sehingga komunitas juga berperan sebagai pengelola museum. Sedangkan museum
etnografi dapat merekrut pengelola museum berdasarkan kualifikasi pendidikan yang
dibutuhkan oleh museum.
MOB mendapatkan benda-benda koleksinya yang merupakan pemberian dari komunitasnya.
Tentu saja ada seorang ahli budaya Betawi yang ikut menyumbangkan benda koleksi.
Namun, ahli budaya Betawi tersebut juga bisa diidentifikasi sebagai bagian dari komunitas.
Oleh karenanya, menurut hemat penulis, MOB termasuk ke dalam jenis museum komunitas.

5. Benda-benda Koleksi Museum sebagai Sumber Sejarah


Sejarah adalah suatu ilmu yang mengeksplorasi peristiwa di masa lalu atas dasar sumber-
sumber sejarah yang masih ada. Sumber-sumber sejarah dapat dibagi menjadi sumber primer
dan sekunder. Sumber primer adalah sumber asli dari tangan pertama berupa catatan atau
bukti tentang seseorang, tempat, objek, atau peristiwa (Doty et al.). Sumber primer dapat
berbentuk dokumen (arsip dan surat kabar) catatan sensus, foto, sejarah lisan, dan benda
(Doty et al.). Sumber sekunder berupa catatan atau bukti yang berasal dari sumber asli atau
primer serta buku teks (Doty et al.).

405
Kekuatan benda sebagai sumber sejarah yaitu dapat menawarkan alternatif petunjuk bila
tidak ada dokumen tertulis (Dotyet al.). Kadang-kadang benda adalah satu-satunya bukti yang
tersisa dari bangsa masa lalu yang tidak meninggalkan catatan tertulis dari kehidupan mereka.
Hal ini dikarenakan juga ada beberapa budaya tidak memiliki bahasa tertulis. Kehadiran
benda bersejarah juga dapat memberikan wawasan kepada peneliti ketika sang peneliti
menemui kesulitan dalam membaca sumber tertulis yang ada (Doty et al.).
Walaupun objek di museum dapat menjadi sumber informasi sejarah. Patut dicatat bahwa,
objek saja tidak akan memberikan informasi tentang seluruh cerita, tapi setidaknya objek
dapat membantu untuk memahami bagian dari cerita yang sumber lain tidak bisa (Doty et
al.). Layaknya sumber primer lainnya, objek pun harus dipelajari dengan hati-hati dan kritis.
Disamping objek museum memiliki kekuatan dalam hal memberikan informasi cerita tentang
sejarah, objek di museum juga memiliki keterbatasan, yaitu biasanya tidak memberikan
petunjuk kepada siapa, apa, di mana, mengapa, kapan, dan bagaimana suatu peristiwa; tidak
selalu memberikan petunjuk tentang siapa si pembuat atau pemilik objek tersebut; kadang-
kadang sulit untuk mengetahui maksud penggunaan dari sebuah objek; dan kadang sulit juga
untuk mengetahui apakah objek sudah dalam kondisi yang lengkap atau ada bagian yang
hilang (Doty).
Museum adalah media yang dalam situasi tertentu menyajikan dan menafsirkan sejarah serta
mendasarkan kredibilitasnya pada benda bersejarah yang sudah dijadikan koleksi museum
(Maroevic 2006). Dengan hadirnya sumber sejarah berupa benda-benda koleksi di museum,
maka benda-benda koleksi milik museum dapat menjadi sumber informasi sejarah. Karena
benda-benda koleksi museum dapat pula disebut sebagai objek INDOC (information-
documentation object) yang memiliki tiga dimensi yang berfungsi untuk memahami luasnya
masa lalu dan untuk memilih cara yang tepat menafsirkan dan mengkomunikasikan sejarah di
museum (Maroevic 2006, 334). Dimensi ini adalah waktu, ruang, dan masyarakat (Maroevic
2006).
Suatu masyarakat dapat membentuk signifikansi sosial atau status yang mendefinisikan peran
suatu benda dalam suatu lingkungan sejarah atau lingkungan sosial saat ini (Maroevic 2006).
Signifikansi ini tidak tergantung pada nilai dari sebuah benda, tetapi lebih pada interpretasi
pemahaman dan makna suatu benda (Maroevic 2006).
Dalam mengungkap nilai-nilai dari suatu benda, makna dari objek museum akan meningkat
jika memperoleh dukungan sosial. Inilah mengapa Signifikansi atau pentingnya objek
museum memiliki hubungan langsung dengan masyarakat. Tentunya kita tidak bisa juga
mengenyampingkan peran kalangan profesional. Karena hasil evaluasi secara ilmiah dari
kalangan profesional merupakan prasyarat penting sebagai sumber untuk menjalankan sistem
(Maroevic 2006). Akan tetapi, signifikansi atau pentingnya benda museum dapat diketahui
melalui proses komunikasi yang dijalankan oleh misi museum berupa program, tata pamer,
dan pameran atau bentuk lain sebagai komunikasi langsung kepada lingkungan sosial saat ini.
Sehingga museum ikut bertanggung jawab memberi solusi atas problematika sosial, di mana
semua jenis kelompok sosial akan mendapatkan jawaban yang baik untuk beberapa
pertanyaan mereka ketika mereka berhadapan dengan objek museum (Maroevic 2006).
Di sinilah maka signifikansi suatu objek museum menemui maknanya ketika mendapat
dukungan dan melibatkan masyarakat. Objek museum tidak lagi hanya bercerita tentang
peristiwa sejarah dan menempatkannya hanya sebagai artefak, naturefact atau karya seni.
Dalam konteks tersebut objek museum hanya akan menjadi sesuatu yang suci dan akan
membuat museum dalam keterasingan berada di tengah-tengah masyarakatnya (Maroevic
2006).

406
Dalam perkembangannya, museum yang telah melibatkan masyarakat dalam menjalankan
misi museumnya mulai memasuki teori museologi baru. Dengan adanya teori tersebut,
berkembang jenis museum yang tidak lagi menekankan pada koleksi, yaitu museum
komunitas yang memiliki sifat yang terbuka terhadap masyarakat dan komunitasnya pada
khususnya dalam menjalankan proses signifikansi objek museum.

6. Benda-benda Koleksi Museum Orang Betawi


Museum memiliki kekuatan sebagai tempat yang memberikan kemampuan signifikasi bagi
diri kita sebagai individu, sebagai anggota masyarakat, bahkan sebagai masyarakat yang
berbangsa (Davis 2007). Kekuatan museum dapat dieksplor melalui identitas suatu komunitas
yang ditampilkan oleh museum. Oleh karenanya, kekuatan MOB adalah tata pamernya yang
menampilkan benda koleksi berupa barang-barang keseharian milik etnis Betawi sebagai
kekayaan budaya yang memiliki unsur 'identitas'. Walaupun UNESCO tidak menyebutkan
benda secara khusus dalam definisi identitas budaya (Davis 2007). Namun, bagi UNESCO
dan semua kalangan profesional museum, konsep kepemilikan properti budaya bisa dibilang
aspek yang paling signifikan dari identitas budaya (Davis 2007). Karena benda memiliki
kemampuan untuk mengkomunikasikan aspek-aspek realitas baik secara langsung atau
berasosiasi dengan identitas tertentu (Davis 2007). Inilah mengapa benda yang memiliki
aspek-aspek realitas yang melampaui waktu atau ruang mempunyai arti khusus. Oleh
karenanya benda-benda tersebut dicari kemudian dilindungi.
Benda-benda bersejarah yang dicari kemudian dilindungi tersebut tidak hanya dikoleksi oleh
museum. Akan tetapi, signifikansi benda-benda koleksi museum akan muncul ketika
dihadapkan secara terbuka kepada para pengunjungnya. Apabila museum tersebut adalah
museum komunitas, maka signifikansi benda-benda koleksi museum akan melibatkan
setidaknya komunitasnya.
MOB yang menamakan dirinya sebagai museum etnografi didirikan pada tanggal 11
Septermber 2015 (Museum Orang Betawi2). Dalam satu tahun perjalanan menjadi sebuah
museum, MOB memiliki beberapa benda koleksi yang disajikan dalam tata pamer museum
berupa benda-benda yang menggambarkan aspek kehidupan etnis Betawi, sejak zaman
Batavia hingga Jakarta, yang dimiliki sendiri atau disumbangkan oleh komunitasnya, sketsa
para tokoh Betawi dari berbagai bidang serta karya yang pernah mereka hasilkan, dan lukisan
pengantin etnis Betawi (Museum Orang Betawi).
MOB tidak hanya sebagai wadah penyimpanan koleksi benda-benda bersejarah milik etnis
Betawi dengan cara merawat dan memeliharanya. Akan tetapi juga memberikan ruang bagi
komunitasnya untuk ikut memberikan signifikansi pada benda koleksi yang dimiliki oleh
museum. Bentuk signifikansi atau pemaknaan terhadap benda-benda koleksi tersebut adalah
komunitas yang berasal dari etnis Betawi diperkenankan untuk menyumbangkan barang-
barang keseharian mereka (Museum Orang Betawi). Kemudian mereka dilibatkan untuk ikut
memaknai setiap benda yang telah menjadi koleksi museum.
Bentuk signifikansi lainnya adalah pihak museum kerap mengadakan pertemuan untuk
sekedar berdiskusi dan bernostalgia.3 Walaupun jumlah peserta diskusi harus dibatasi sekitar
dua puluh orang, dikarenakan ruangan yang disediakan museum tidak terlalu besar. Namun,
itulah upaya museum tersebut untuk mengundang komunitas terlibat secara kritis dengan
warisan budaya mereka.
2
Setiap penyebutan Museum Orang Betawi yang berada dalam tanda kurung, menandakan bahwa informasi
dalam teks didapat dari Akun Facebook Museum Orang Betawi
3
komunikasi personal dengan salah satu pengelola MOB

407
Setelah menjalankan proses signifikansi terhadap benda-benda koleksi kemudian pihak MOB
bersama dengan komunitasnya menghasilkan narasi sejarah yang menjadi dasar dalam
penyusunan alur cerita pada tata pamer museum (Museum Orang Betawi). Narasi sejarah
yang dihasilkan adalah berupa representasi dan identitas etnis Betawi.

7. Narasi Sejarah Lokal berupa Representasi Identitas Etnis Betawi


Representasi saling terkait erat dengan identitas. Hubungan yang erat tersebut tergambar
melalui pendapat Stuart Hall. Menurutnya identitas adalah “...always constituted within, not
outside, representation” (Hall 1997, 222). Dengan demikian, identitas etnis Betawi dapat
direpresentasikan melalui museum.
Dalam aspek identitas, diketahui bahwa identitas adalah sebuah produksi yang berlangsung
secara terus menerus dan tidak pernah selesai (Hall 1997, 222). Oleh karenanya, museum
komunitas yang merepresentasikan identitas memiliki narasi yang terus berproses mengingat
sifat masyarakat yang dinamis, juga tidak hanya satu dimensi saja, melainkan dimensi yang
beragam berupa narasi sejarah, narasi puitis, narasi sosial budaya, bahkan narasi mitologis
(Santos 2012, 28). Sehingga MOB sebagai museum komunitas menciptakan narasi yang
sifatnya terbuka dalam mendukung penyusunan alur cerita pada tata pamer museum.
Narasi terbuka yang diciptakan oleh MOB merupakan proses signifikansi terhadap benda-
benda koleksi dengan menawarkan saluran komunikasi yang terbuka dan partisipasi aktif
komunitasnya. Sehingga MOB mengundang komunitasnya dan pengunjung secara umum
untuk ikut merefleksikan dan menegosiasikan makna yang ingin dibentuk. Di lain sisi, MOB
memilih untuk tidak menciptakan narasi yang terlepas dari tema-tema keindonesiaan,
melainkan MOB juga menempatkan etnis Betawi menjadi bagian terpenting dari sejarah
nusantara (Museum Orang Betawi).
Narasi yang bersifat terbuka dan penuh negoisasi yang diandalkan oleh MOB sangat
dipengaruhi oleh keinginan pihak museum untuk menampilkan representasi dan identitas
etnis Betawi. Representasi dan identitas etnis Betawi yang ditampilkan oleh MOB merupakan
konsep-konsep kunci yang dapat digunakan dalam penelitian kebudayaan, termasuk
penelitian sejarah. Penelitan sejarah, khususnya penelitian sejarah lokal dapat menggunakan
narasi pada tata pamer MOB sebagai rujukan. Karena narasi sejarah berupa representasi dan
identitas etnis Betawi yang lahir dan dibentuk langsung oleh komunitasnya merupakan
inisiatif langsung dari sumber akar rumput. Selanjutnya inisiatif dari sumber akar rumput
mampu memberikan penjelasan sejarah secara menyeluruh tidak hanya melihat gejala-gejala
yang ada di permukaan. Sebagaimana pendapat Kuntowijoyo, tentang kausalitas sejarah
harus mampu melihat arus-bawah yang mendasari peristiwa, lebih dari sekedar gejala-gejala
di permukaan (Kuntowijoyo 2003, 145).

8. Kesimpulan
Museum komunitas adalah tempat yang sempurna untuk mentransmisikan inisiatif kultural.
Sebagai contoh adalah MOB yang berinisiatif untuk mengkonstruksi identitas etnis Betawi
dengan melibatkan secara langsung sumber akar rumputnya, yaitu komunitas etnis Betawi.
Museum komunitas juga merupakan tempat yang bisa dijadikan sumber rujukan dalam
penulisan sejarah lokal. Karena museum komunitas menampilkan narasi tentang aspek
kehidupan komunitas lokal. Sebuah komunitas yang memiliki ruang lingkup geografis yang
jelas, dalam hal ini lokalitas MOB berdasar pada lokasi di mana etnis Betawi berasal.

408
Sejarah lokal juga dapat bertolak dari isu hari kini. Oleh karenanya, penulisan sejarah lokal
dapat menggunakan pendekatan antropologis dengan menitikberatkan pada isu identitas suatu
etnis. Sedangkan sumber rujukannya bisa melalui museum komunitas yang lekat dengan isu
identitas, misalnya MOB.
Alur cerita dalam tata pamer MOB bertolak dari narasi yang mengandalkan saluran informasi
yang terbuka dan partisipasi aktif komunitasnya. Dapat dikatakan, bahwa narasi yang
ditampilkan dalam tata pamer MOB berasal dari sumber akar rumput atau sumber arus-
bawah. Sehingga, apabila narasi tersebut dijadikan referensi dalam penelitian sejarah lokal,
maka penulisan sejarah akan bersifat menyeluruh tidak hanya menampilkan gejala-gejala
permukaannya saja.

Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. 1990. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Davis, Peter. 2007. “Place Exploration: museum, identity, community.” In Museum and their
Communities, ed. Sheila Watson. Milton Park: Routledge, 53-75.
Hall, Stuart. 1997. “Cultural Identity and Diaspora.” In Representation: Cultural
Representation and Signifying Practices. London: Sage Publication Ltd, 222-237.
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Magetsari, Nurhadi. 2008. “Filsafat Museologi.” In Museografia, October, 5-16.
Maroevic, Ivo. 2006. “The Museum Objects as Historical Source and Document.” In ICOM,
October, 332-337.
Priyadi, Sugeng. 2012. Sejarah Lokal: Konsep, Metode dan Tantangannya. Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
Watson, Sheila. 2007. “Introduction to Part One.” In Museum and their Communities, ed.
Sheila Watson. Milton Park: Routledge, 1-24.
Yulianto, Kreso et al. 2015. Museum Tematik di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pelestarian
Cagar Budaya dan Permuseuman.
Sumber elektronik
Doty, Richard et al. “Primary Source”.
https://historyexplorer.si.edu/sites/default/files/PrimarySources.pdf (October 29, 2016)
Facebook Museum Orang Betawi (October 29, 2016)

409
Pemanfaatan Sejarah Lokal Kudus sebagai Sumber Belajar Sejarah
R. Suharso
Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Semarang
D/a Jurusan Sejarah FIS Unnes, Gd. C 2 Lt. 1 Kampus Unnes Sekaran Gunugpati
Email : harsohapsoro98@gmail.com

Abstrak
Pembangunan fisik Kota Kudus menghadapi dilematis. Di satu sisi harus berkembang dan
terus berbenah, disisi lain perkembangan dan perubahan tersebut haarus melestarikan
penginggalan-peninggalan sejarah yang ada di Kota Kudus. Dalam upaya mensinkronkan
antara pembangunan fisik dan memperhatikan peninggalan-peninggalan sejarah, terdapat
berbagai masalah. Masalah tersebut menjadi fokus kajian dalam penelitian ini. Secara
operasional masalah yang akan dikaji adalah bagaimana konstruksi social masyarakat
terhadap peninggalan-peninggalan sejarah di Kota Kudus, baiamana morfologi Kota Kudus
dan bagaiaman model pengembangan konservasi budaya yang efisien dan efektif dalam
upaya melestarikan peninggalan-peninggalan sejarah di Kota Kudus.,melalui transmisi
pembelajaran sejarah di sekolah SMA Negeri Kudus. Tujuan penelitian ini adalah
mendeskripsikan konstruksi social masyarakat terhadap peninggalan sejarah, medeskripsikan
morfologi Kota Kudus, membuat model pemberdayaan pengembangan konservasi budaya
yang efektif dan efisien guna melestarikan peninggalan-peninggaln sejarah, melalui
pembelajaran sejarah local di sekolah SMA Negeri sekabupaten Kudus. Penelitian ini
dilakuka dua tahap dengan pendekatan Penelitian dan Pengembangan (Research and
Development). Pada tahap pertama penelitian terfokus pada analisis data tentang konstruksi
social dan morfologi Kota Kudus yang akan dijadikan sebagai dasar penyusunan model. Pada
tahap kedua penelitian terfokus pada uji coba model pengembangan konservasi budaya dalam
upaya melestarikan peninggalan-peninggalan sejarah di Kota Kudus. Penelitian pada tahap
pertama menggunakan pendekatan kualitatif dan penelitian tahap kedua menggunakan
pendekatan R and D. Model yang telah jadi digunakan sebagai pembelajaran sejarah di kelas
sejarah SMA negeri se kabupaten Kudus. Lokasi penelitian adalah Kota Kudus yang meliputi
Kecamatan Kota, Kecamatan Jati, Kecamatan Bae, Kecamatan Gebog, Kecamatan Mejobo,
dan Kecamatan Kaliwungu. Sumber data penelitian ini adalah informan yang terdiri dari
masyarakat, para pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab atas peninggaln-
peninggalan sejarah, termasuk benda cagar budaya yang dilindungi. Sementara sumber-
sumber data yang berkaitan dengan fenomena adalah perilaku masyarakat terkait dengan
peninggaln-peninggalan sejarah. teknik pengambilan data dilakukan dengan wawancara
mendalam, observasi, dan studi documenter. Teknik analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Analisis historis dan kualitatif.

Kata Kunci: Model, Konservasi, cagar budaya dan peninggaln sejarah

410
PENDAHULUAN

Salah satu kota yang berkembang karena adanya aktivitas penyebaran agama Islam adalah
Kota Kudus. Sebagai kota yang terletak di jalur pantura, Kudus memiliki lokasi yang
strategis. Kudus merupakan salah satu kota tempat penyebaran agama Islam di Jawa yang
dilakukan oleh dua walisongo. Yaitu Sunan Kudus dan Sunan Muria. Sebagai salah satu
tempat awal penyebaran Islam di Pulau Jawa, Kota Kudus banyak menyimpan peninggalan
sejarah Islam. Salah satunya adalah Masjid Menara Kudus yang dibangun pada pertengahan
abad ke-16, terletak di Desa Kauman Kecamatan Kota (Suara Merdeka, 2005:10). Masjid
tersebut telah menjadi salah satu tempat bersejarah yang penting bagi umat Islam di Jawa
(www.kudus.net). Di kawasan Masjid Menara Kudus terdapat makam Sunan Kudus yang
banyak disinggahi oleh wisatawan sebagai tempat wisata ziarah. Selain itu juga terdapat
makam Sunan Muria di Desa Colo, Kecamatan Dawe dan juga ramai dikunjungi para
peziarah dan berbagai daerah. Makam kedua wali ini termasuk salah satu rangkaian wisata
ziarah ke makam Walisongo. Setidaknya dalam link Demak-Kudus-Tuban. Setiap tahun
peziarah di kedua makam ini rata-rata mencapai 2,8 juta orang.
Saat ini Kota Kudus mengalami perkembangan cukup pesat yang dapat dilihat dan
banyakya pembangunan fisik seperti jalan, kios ruko, penginapan, dan sebagainya yang
mempengaruhi tingkat investasi di kota tersebut (Suara Merdeka, 2005:10). Namun
pembangunan fisik ini dilakukan dengan mengabaikan potensi bangunan bersejarah yang
dimiliki. Dalam hal ini pemerintah kurang memperhatikan mengenai pentingnya konservasi,
seperti diijinkannya perombakan bangunan RSUD yang merupakan bangunan peninggalan
Belanda untuk dijadikan sebagai bangunan baru dan pembangunan ruko di Jalan A. Yani
dengan menghancurkan bangunan sebelumnya yaitu Gedung Pemuda yang dinilai lebih
menguntungkan secara ekonomi. Jika pembangunan fisik kota ini terus dilakukan dengan
mengabaikan keberadaan bangunan sejarah dikhawatirkan akan mengancam keberadaan
peninggalan bersejarah yang dimiliki Kota Kudus sehingga memunculkan kebutuhan akan
adanya suatu upaya konservasi pada bagian penting kota yang memiliki nilai sejarah.
Pengelolaan sumber daya arkeologi untuk sekarang ini menghadapi dilema karena
ada dua kekuatan yang berbenturan. Kekuatan pertama adalah munculnya semangat
pembangunan, terutama pembangunan ekonomi sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan
rakyat di negara-negara berkembang. Kekuatan kedua adalah munculnya gerakan yang yang
didorong oleh akibat globalisasi yang semakin mengeksis eksistensi kebudayaan lokal. Kedua
gerakan tersebut memberi dampak yang berbeda terhadap eksistensi tinggalan arkeologi
sebagai warisan suatu bangsa. Dampak gerakan pertama memberi efek yang cenderung
merusak karena dua faktor. Faktor pertama akibat penghargaan yang semakin menurun
terhadap segala hal yang berasal dari masa lalu. Hal ini berakibat pada upaya-upaya
pembangunan fisik yang mementingkan pertimbangan keuntungan pragmatis sehingga
banyak bangunan-bangunan atau situs arkeologi dihancurkan untuk diganti dengan bangunan
modern yang dianggap lebih banyak memberi guna. Faktor kedua sebaliknya, yaitu
penghargaan yang tinggi kepada warisan masa lalu tetapi dengan melihatnya dari sudut
ekonomi. Faktor ini menyebabkan benda-benda arkeologi dicuri dan dujual untuk alasan
ekonomi. Atau, jika berupa bangunan atau situs, tinggalan arkeologis itu dikembangkan
menjadi objek wisata dengan melakukan berbagai modifikasi agar menarik perhatian
wisatawan dan mengabaikan nilai historisnya.
Dampak globalisasi itu sendiri membawa pengaruh negatif dan menimbulkan
kekhawatiran masyarakat bahwa jatidiri suatu komunitas atau suatu bangsa akan terancam.
Oleh karena itu muncul kesadaran bahwa warisan budaya bangsa harus dilestarikan sebelum

411
lenyap diterjang globalisasi. Di dalam kawasan situs arkeologi, kedua kecendrungan tersebut
muncul dalam berbaga bentuk yang manifestasinya dapet dilihat sebagai konflik-konflik
sosial yang bermuara pada kompetensi dalam pemanfaatan sumber daya arkeologi.
Permasalahan tersebut di dalam disiplin ilmu arkeologi terapan masuk dalam bidang kajian
manajemen sumberdaya budaya (cultural resource management) atau manajemen
sumberdaya arkeologi (archeological resource management), dua istilah yang masing-
masing digunakan di Amerika Serikat dan di Inggris.Fenomena di atas memberi petunjuk,
bahwa globalisasi dan modernisasi adalah sebuah persoalan besar yang berpotensi membuat
segala sesuatunya berubah. Potensi terjadinya perubahan sosial budaya semakin menguat
sebagai akibat dari perkembangan kapitalisme yakni berkaitan dengan perubahan
pembangunan pusat bisnis yang terkadang mengancam simbol identitas budaya melalui
bangunan bangunan peninggalan sejarah.
Situasi dan kondisi sebagaimana tersebut di atas belum mendapat perhatian serius
bahkan cenderung terabaikan. Salah satu penyebab terabaikannya peninggalan bersejarah
oleh pemerintah adalah karena belum teridentifikasinya kawasan-kawasan yang memiliki
potensi konservasi. Sebenarnyaa terdapat beberapa peninggalan bersejarah yang sudah
dikonservasi oleh pemerintah, seperti menara Kudus dan Masjid Bubar. Namun bagian yang
dikonservasi hanya berupa bangunan peninggalan agama Islam dan belum memperhatikan
bangunan peninggalan budaya lainnya seperti peninggalan bergaya kolonial Belanda, dimana
konservasi hanya dilakukan pada bangunan saja dan belum mengikutsertakan kawasan di
sekelilingnya. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi permasalahan tersebut
adalah dengan mengidentifikasi kawasan yang merniliki potensi konservasi dan
mengintegrasikan antara keberadaan peninggalan artefak sejarah dengan aktivitas kehidupan
perkotaan saat ini yang diwujudkan dalam upaya konservasi kota. Konservasi dapat
dilakukan dengan menigidentifikasi morfologi kota yang terbentuk di Kota Kudus.
Disamping identifikai morfologi kota juga perlu dilakukan proses penyadaran masyarakat
akan pentingnya peninggalan-peninggalan sejarah. Bahwa peninggalan sejarah merupakan
aset budaya yang sangat berharga dan diperlihara untuk diwariskan pada generasi-generasi
penerus bangsa.
Dua persoalan penting yang berkaitan dengan identifikasi morfologi kota Kudus dan
penyadaran masyarakat menjadi dua determinan penting yang perlu dikembangkan dan
sekaligus sebagai benteng terdepan melestarikan peninggalan-peninggalan sejarah di Kota
Kudus. Melakukan identifikasi morfologi kota dan penyadaran masyarakan bukanlah
persoalan sederhana yang bisa dilakukan hanya dengan berwacana atau menyusun asumsi-
asumsi, tapi pelu melakukan kajian-kajian mendalam melalui penelitian. Untuk melakukan
identifikasi morfologi kota Kudus diperlukan sebuah desain atau model, begitu juga
sebaliknya untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya kawasan peninggalan-
peninggalan sejarah juga diperlukan sebuah model. Penelitian ini bermaksud menemukan
model yang integratif yang berbasis pada morpologi kota dan konstruksi sosial masayarakat
terhadap peninggalan-peninggalan sejarah di Kota Kudus. Diharapkan dengan ditemukannya
sebuah model pengembangan konservasi budaya dapat membangun kesadaran masyarakat
tentang arti penitngnya melestarikan peninggalan-peninggalan sejarah Kota Kudus.

412
METODE PENELITIAN

Desain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian pengembangan
(Research and Development). Pemilihan desain ini didasarkan pada pertimbangan karakter
masalah yang ingin digali dalam penelitian ini, morfologi Kota Kudus dan Konstruksi Sosial
Masyarakat terhadap peninggalan sejarah di Kota Kudus. Melalui temuan tersebut kemudian
disusunlah sebuah Model pengembangan konservasi budaya dalam upaya melestarikan
peninggalan-peninggalan sejarah di Kota Kudus.
Secara garis besar langkah-langkah desain penelitian pengembangan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Konstruksi Sosial (2) Pengumpulan data, (3)
Penyusunan Model, (4) Validasi Desain, (5) Revisi Model, (6) Uji Coba Produk, (7) Revisi
Produk (8) Uji Coba Model (9) Model akhir. Langkah-langkah sebagaiman tersebut di atas
dapat digambarkan pada bagan di bawah ini :

Gambar 1 (Desain Penelitian Pengembangan)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Temuan Empiris Morfologi Kota


Penyempurnaan buku panduan yang telah dilakukan oleh tim peneliti berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan, maka temuan studi yang didapat antara lain adalah:
1. Sejarah Kota Kudus

413
Sejarah perkembangan Kota Kudus dibagi dalam spuluh masa yang dipengaruhi oleh
beberapa kebudayaan, yaitu Hindu, Islam, dan kolonial Belanda. Kawasan-kawasan yang
berperan dalam sejarah perkembangan Kota Kudus adalah:
 Kawasan yang berkembang karena pengaruh agama Hindu terdapat pada Kampung
Kauman dan Kampung Demangan, karena pada kawasan in ditemukan benda
peninggalan agama Hindu berupa bangunan yang terbuat dari susunan batu bata.
Kondisi kawasan bersejarah ini masih ada, dan sudah dijadikan sebagai bangunan
cagar budaya yang dilindungi oleh pemerintah.
 Kawasan yang berkembang pada masa penyebaran agama Islam di Kota Kudus adalah
sepanjang Jalan Menara dan Jalan Kyai Telingsing (Kampung Sunggingan) dan
Kampung Langgar Dalem yang terletak di Kudus Kulon, serta di sekitar Masjid
Jepang di Desa Jepang Kecamatan Mejobo dan di sekitar masjid wali yang terletak
menyebar di Kudus Wetan. Kawasan yang memiliki peran sejarah paling besar adalah
Kudus Kulon, karena aktivitas penyebaran agama Islam di kawasan ini dilakukan
sejak awal pertengahan abad ke-16 sampai abad ke-16 yang dilakukan oleh beberapa
tokoh dari generasi yang berbeda. Hingga saat ini, aktivitas bernuansa Islam di
Kawasan Kudus Kulon (terutama di Masjid Menara Kudus) masih terlihat dari
kegiatan umat Islam untuk beribadah maupun berziarah yang cukup ramai setiap
harinya.
 Kawasan yang memiliki pengaruh corak Hindia Belanda terdapat di kawasan bekas
Jalan Deandels. Di kawasan tersebut banyak terdapat bangunan Belanda dan
kebanyakan berupatempat tinggal, yang dulunya digunakan sebagai tempat kediaman
Belanda ketika pelaksanaan pembangunan Jalan Deandels.
Dalam sejarah perkembangannya, Kota Kudus juga mengalami perkembangan
lingkungan terbangun dalam bentuk pola penggunaan lahan, dari penggunaan lahan awal
berupa masjid dan pemukiman tradisional yang kemudian berkembang menjadi beberapa
penggunaan lahan lainnya seperti kawasan perdagangan, pemerintahan, dan sebagainya.
 Zoning awal berupa kawasan permukiman masyarakat Hindu di sepanjang Jalan
Sunan Kudus dan di sekitar Sungai Gelis yang terjadi pada masa sebelum abad ke-15.
 Perkembangan selanjutnya adalah kawasan permukiman masyarakat Islam di sekitar
pesantren Kyai Telingsing dan di sepanjang jalan dari utara keselatan (Jalan Menara
dan Jalan Kyai Telingsing) yang terbentuk pada awal pertengahan abad ke-16.
 Kawasan masjid dan permkiman masyarakat Islam mulai terbentuk di sekitar Masjid
Langgar Dalem, kompleks masjid dan makam terdapat Masjid Menara Kudus, masjid
wali di Desa Gribig Kecamatan Gebog, serta Masjid Jepang di Desa Jepang
Kecamatan Mejobo yang terjadi pada pertengahan abad ke-16.
 Pada awal abad ke-17 mulai muncul pemukiman tradisional di Desa Demaan dan di
kawasan sebelah timur Sungai Gelis (termasuk dalam kawasan Kudus Kulon).
Permukiman baru terdapat di sekitar masjid wali yang terletak menyebar di Kudus
Wetan, yaitu di Desa Jati Wetan Kecamatan Jati dan Desa Loram Kulon Kecamatan
Jati.
 Pada akhir abad ke-18 mulai dibentuk kawasan pusat kota di Kudus Wetan oleh
Pemerintah Belanda. Pada masa ini juga mulai muncul kawasan permukiman Cina
(pecinan) dan Arab Persi (pekojan) yang berkembang di sepanjang jalan utama dan di
sekitar pusat kota baru.
 Setelah pembangunan kawasan permukiman, pada abad ke-19 mulai muncul
infrastruktur kota, transportasi berupa jalur kereta api dan pembangunan jalan-jalan
baru, serta kawasan industri berupa industri gula yang terdapat di Desa Rendeng.

414
 Ditemukannya ramuan tembakau dan cengkeh di kalanagan pribumi pada akhir abad
ke-19 memacu tumbuhnya kawasan industri rokok kretek di kawasan kota lama yang
kemudian memicu pertumbuhan industri rokok di Kudus Wetan. Pada masa ini
terdapat penambahan guna lahan berupa gudang dan pabrik tembakau yang terletak di
Kudus Kulon dan jalan-jalan utama kota.
 Pada tahun 1970-an mulai dibangun terminal dan penggunaan lahan berupa jalur-jalur
baru atau pelebaran jalan sebagai sarana transportasi yang mengakibatkan terjadinya
perubahan penggunaan lahan di sepanjang jalur baru tersebut.
 Pada akhir Tahun 1980-an sampai sekarang terjadi perluasan kota yang mengarah ke
sebelah selatan dan timur. Salah satu hal yang dilakukan pemerintah untuk memicu
pertumbuhan kawasan tersebut adalah dengan memindahkan kompleks bangunan
pemerintah dari pusat kota ke timur (Kecamatan Mejobo).
2. Keutuhan pola Kota Kudus
Keutuhan pola kota yang dilihat dalam penelitian ini adalah keutuhan pola kota tradisional
dan pola kota penyebaran agama islam. Secara umum, keutuhan pola kota tradisional dan
pola kota penyebaran agama Islam di Kota Kudus masih dapat dikenali, meski tidak
kesemua pola yang ada masih utuh (ada sebagaian yang sudah hilang atau berubah
bentuk). Pola kota tradisional dijumpai di Kudus Wetan yang merupkan kota bentukan
Belanda, sedangkan pola kota penyebaran agama Islam banyak ditemui di Kudus Kulon
yang juga merupakan kawasan permukiman tradisional. Keutuhan kedua pola kota
tersebut adalah sebagai berikut:
 Keutuhan pola kota tradisional di Kota Kudus yang masih dapat dikenali ditemukan di
kawasan alun-alun Kudus Wetan meski sudah banyak terjadi perubahan fisik di
sekitarnya, sperti perubahan bentuk fisik bangunan kabupaten yang merupakan
bangunan baru. Selain itu, keutuhan pola kota tradisional yang masih dapat dijumpai
berupa peken/pasar dan pawisman/pomahan, meski kedua pola tersebut juga sudah
mengalami perubahan dari bentuk aslinya.
 Keutuhan pola kota penyebaran agama Islam masih dapat dilihat di kawasan-kawasan
yang menjadi lokasi penyebaran agama Islam. Lokasi ini biasanya ditandai dengan
keberadaan masjid wali sebagai orientasi utama permukiman di sekitarnya, seperti
keberadaan Masjid Menara Kudus yang menjadi orientasi permukiman di Kampung
Kauman dan sekitarnya. Pola kota penyebaran agama Islam berupa pusat kota yang
ditandai dengan pusat pemerintahan, masjid, dan alun-alun masih terdapat di Kudus
Kulon. Pusat kota yang terdapat di Kudus Wetan juga masih ada, namun sekarang
sudah berubah fungsi menjadi tempat parkir. Pola lain yaitu pemisahan bangunan
publik dan privat berupa lorong sempit yang sebagian masih ada, namun hanya
terdapat di kawasan permukiman tradisional.

Model Pengembangan Konservasi Cagar Budya di Kudus


Berdasarkan temuan empiris dan hasil Forum Group Diskusi (FGD) berhasil disusun
sebuah model pengembangan konservasi. Pada model tersebut ada beberapa indicator penting
yang perlu dikembangan antara lain; (2) Lembaga, dalam hal ini yang dimasud dengan
lembaga adalah instansi pemerintah yang berwenang menangani cagar buda. (3) Materi,
meteri yang dimasud adalah materi yang menanamkan nilai-nilai yang mapu memotivasi dan
perasaan untuk memiliki dan melestarikan budaya. (3) Organisasi, yang dimasud dengan
organisasi dalam model ini adalah lembaga non pemerintah yang berkepentingan terhadap
peninggalan-peninggalan budaya. Ketiga indicator tersebut sangat menentukan keberadaan
cagar budaya. Kehadiran ketiga lembaga tersebut akan mampu menekan keopentingan-

415
keoentingan ekonomi yang cenderung merusak budaya dan menumbuhkan motivasi pada
masyarakat untuk menghayani nilai-nilai sosial budaya. Peran ketiga indicator tersebut pada
akhirnya mengarahkan pada konstruksi berpikir masyarakat terhadap peninggalan-
peninggalan budaya secara positip, terciptalah kawasan cagar budaya dan tata kota sesuai
dengan morfologi kota. Secara garis besar Model Pemberdayaan konservasi budaya dapat
digambarkan pada bagan di bawah ini:

Gambar 2 (Model Pengembangan Konservasi Cagar Budaya)

Sejarah Kota Kudus


Pembentukan suatu kota dimulai dari adanya embrio aktivitas, kebutuhan akan sarana
dan prasarana perkotaan, dan kelengkapan kota lainnya yang terus mengalami
perkembangan. Di Nusantara munculnya gejala perkotaan mulai dikenali pada awal abad XI
Masehi, yang secara umum dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu kota pelabuhan
perdagangan yang mempunyai akses ke jalur pelayaran internasional atau sebuah pusat
administrasi dari daerah pertanian yang subur. Pada awal abad XIV, paling tidak sejenis
model perkotaan kota muncul. Kota-kota lama di pedalaman Jawa dibangun di tepi sungai
yang memberi pasokan air, mobilitas dan perlindungan mereka. Bahkan seluruh kota lama di
pedalaman Jawa pun dibangun di tepi sungai besar maupun kecil. Banyak kota pantai
bermunculan karena mempunyai kepentingan dengan jalur perdaganagn seperti Gresik,
Tuban, Lasem, Demak, Kudus, Jepara, Sunda Kelapa, Banten, Makasar, Banjarnasin, Malaka
dan sebagainya. Pusat kota pada masa itu umumnya tersusun atas keraton, lapangan upacara
atau alun-alun, pasar dan permukiman yang tersusun atas satuan kebangsaan (ras) dan
semuanya tertampung dalam teritori oleh dinding keliling (kutha dalam bahasa Tamil). Suatu
konsep baru yang nanti dikenal oleh kota-kota pedalaman.
Kota-kota di sepanjang Pantai Utara Jawa mengalami perkembangan pesat karena
adanya kemudahan jalur transportasi berupa jalan Daendles atau Jalan Raya Pos. Jaringan
Jalan Raya Pos dibangun ketika H.W. Daendles menjadi Gubernur Jendral di Batavia yang
menghubungkan kota-kota pantai utara Jawa dari Anyer hingga Penarukan (1808-1811).
Tujuannya adalah sebagai mobilitas pertanahan dan penguasaan distribusi hasil bumi dari
pedalaman. Jalan Raya Pos menimbulkan dampak besar pada kota-kota yang dilewatinya.
Pusat kotanya pun disusun mengikuti pola kota-kota lain di Jawa, dimana alun-alun sebagai

416
muara semua jalan di kota itu dikelilingi oleh bangunan kabupaten di sisi selatan, masjid di
sisi barat dan pusat perdagangan (pasar) di sisi timur. Bahwa kota-kota di Jawa pada jaman
prakolonial, baik kota-kota pusat kerajaan Jawa di pedalaman maupun di pesisir, dibangun
berdasarkan suatu konsepsi tata ruang yang sama. Pada umumnya struktur tata ruang kota
tradisional di Jawa terdiri atas sebuah lapangan luas yang ditengahnya ditanam sebuah atau
dua buah pohon beringin. Lapangan ini biasa disebut sebagai alun-alun. Adanya alun-alun
tersebut tidak bisa dilepaskan dari bangunan-bangunan yang ada di sekitarnya. Di sebelah
barat ada Masjid Agung, sedangkan sejumlah bangunan resmi lainnya didirikan di sisi barat
atau timur. Alun-alun biasanya merupakan titik pertemuan dari jalan-jalan utama yang
menghubungkan keraton dengan bagian barat, utara dan timur dari kota. Sedangkan daerah
sebelah selatan keraton merupakan daerah tempat tinggal keluarga raja dan pengikut-
pengikutnya.
Namun kota-kota pesisir yang semula berorientasi pada sisi sungai (sungai-sungai di
Jawa umumnya mengalir dari selatan ke utara atau sebaliknya), berubah kea rah sisi jalan tadi
(barat-timur) karena adanya pembangunan jalan tersebut. Semula jalur air yang merupakan
sumbu simbolik antara kerajaan di pusat pedalaman dengan pesisir di perifer, kini digantikan
oleh jalur barat-timur yang memotong sumbu simbolik itu. Dengan demikian semakin
merosotnya jalan air ke pedalaman. PJM Nas menyimpulkan bahwa Jalan Raya Pos adalah
awal modernisasi Jawa atau awal terbukanya orang Jawa untuk lebih menghargai aktivitas
perdagangan di daerah pedalaman menggantikan gaya hidup feodalistik mereka. Perubahan
orientasi kota-kota yang terletak di Pantai Utara Jawa Tengah dapat dibagi menjadi tiga jenis,
yaitu kota yang yang berkembang karena adanya aktivitas perdagangan atau pemerintahan
yang menonjol, adanya aktivitas penyebaran agama Islam, dan karena adanya pelabuhan laut.
Salah satu kota yang berkembang karena adanya aktivitas penyebaran agama Islam
adalah Kota Kudus yang menjadi lokasi dibuatnya Film Kudus Kota Kretek. Sebagai kota
yang terletak di jalur pantura, kudus memiliki lokasi yang strategis. Kudus merupakan salah
satu kota tempat penyebaran agama Islam di Jawa yang dilakukan oleh dua walisongo, yaitu
Sunan Kudus dan Sunan Muria. Sebagai salah satu tempat awal penyebaran Islam di Pulau
Jawa, Kota Kudus banyak menyimpan peninggalan sejarah Islam. Salah satunya adalah
Masjid Menara Kudus yang dibangun pada pertengahan abad ke-16, terletak di Desa Kauman
Kecamatan Kota. Masjid tersebut telah menjadi salah satu tempat bersejarah yang penting
bagi umat Islam di Jawa. Di kawasan Masjid Menara Kudus terdapat makam Sunan Kudus
yang banyak disinggahi oleh wisatawan sebagai tempat wisata ziarah. Selain itu para peziarah
dari berbagai daerah. Makam kedua wali ini termasuk salah satu rangkaian wisata ziarah ke
makam walisongo, setidaknya dalam link Demak-Kudus-Tuban. Setiap tahun peziarah di
kedua makam ini rata-rata mencapai 2,8 juta orang. Selain itu juga banyak peninggalan yang
bercirikan Islam lain seperti masjid kuno, pemukiman kuno, dan sebagainya.
Kudus merupakan sebuah kota yang terletak di psisir utara Jawa Tengah dan berjarak
sekitar 30 kilometer dari Kota Demak. Kudus muncul dalam sejarah sekitar abad ke-16 yaitu
pada saat masa kewalian di Jawa. Kota Kudus menjadi dua wilayah yatiu Kudus Kulon yang
terletak di sebelah barat dan Kudus Wetan yang terletak di sebelah timus Sungai Gelis.
Dalam sejarah, Kudus Kulon merupakan embrio kota dan berfungsi sebagai pusat kota lama
yang tetap dibiarkan hingga sekarang untuk mengenang sejarahnya pada masa lalu. Dimana
embrio ini terdiri dari 7 desa dan berkembang bersama dengan daerah lain yaitu Kauman,
Kerjasan, Langgar Dalem, Demangan, Janggalan, Damaran, dan Kajeksan.
Masyarakat Kudus menyadari bahwa kota mereka terdiri dari dua bagian. Kudus
Kulon dengan penduduk lebih homogen baik dari segi ras, religi, dan mata pencaharian
dianggap memiiliki orientasi Islam fanatic sehingga sering disebut sebagai daerah santri yang

417
dianggap sebagai masyarakat ortodoks. Di Kudus Kulon, tatanan kehidupan kota yang ada
masih dipertahankan terutama dari nilai tradisional serta kereligiusannya sehingga unsur fisik
dan nonfisik spasial masih terlihat. Sedangkan Kudus Wetan memiliki penduduk yang lebih
heterogen karena banyak terdapat warga keturunan cina dan priyayi yang disebut masyarakat
abangan. Kudus Wetan berkembang menjadi pusat pemerintahan, transportasi, industri dan
daerah pusat perdagangan.
Sejarah terbentuknya Kota kudus tidak lepas dari sejarah tokoh pemimpin agama
Islam di Jawa, yaitu Sunan Kudus. Sunan Kudus merupakan salah satu walisongo yang
termuat dalam sejarah sebagai tokoh mubaligh penyebar agama Islam di daerah pesisir utara
Pulau Jawa pada sekitar abad 15-16 (Triyanto, 2001:40). Sunan Kudus mempunyai nama
kecil Ja’far Sodiq yang merupakan putra pasangan Sunan Ngundang dan Syarifah (adik
Sunan Bonang). Sebelum dikenal sebagai wali, Ja’far Sodiq adalah seorang tokoh pemimpin
perang/senopati kerajaan Bintoro Demak yang dikenal sebagai qodli atau penghulu/ahli
hukum Islam kesultanan Demak (Triyanto, 2001:40). Setelah bertahun-tahun mengabdi di
kesultanan Demak, Sunan Kudus pindah ke suatu daerah di sebelah timur Demak yang
kemudian berkembang menjadi Kota Kudus. Sebelum mendirikan masjid dan Kota Kudus,
beliau bertempat tinggal di Desa Langgar Dalem. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya
prasati di Langgar Dalem yang memuat angka tahun yang lebih tua dari pada angka tahun
863 H dapat diketahui bahwa pemukiman ini mungkin baru permukiman kecil saja.
Sedangkan Kudus sebagai permukiman perkotaan muncul pada abad 16 M seperti tersirat
pada prasasti di atas mihrab masjid Menara yang menyebut “Negeri Kudus” (Suryo et al,
1989:90).
Sebagaimana sudah menjadi tradisi dalam sejarah Islam bahwa setiap membangun
sebuah kota, daerah atau wilyah selalu diawali dengan membangun sebuah masjid. Begitupun
dengan masjid Kudus yang dibangun oleh Sunan Kudus. Tetapi di antara masjid peninggalan
para Wali Songo, Masjid Kudus paling sulit dilacak bentuk aslinya meski didirikan paling
akhir yaitu pada 965 Hijriah, atau 1549 Masehi. Namun asli masjid adalah Masjid Al-Aqsha
yang lebih populer sebagai Masjid Menara Kudus, merajuk pada pembangunan bercorak
Hindu di sisi kanan depan masjid.
Dalam mengembangkan Kota Kudus, Sunan Kudus dibantu oleh gurunya yaitu Kyai
Telingsing. Beliau adalah mubaligh Islam dari Yunan, yang datang bersama seorang
pemahat/pengukir ulung bernama Sun Ging An kemudian menjadi kata kerja nyungging yang
berarti mengukir, daerah ukir mengalir di masa lalu ini kemudian menjadi Desa Sunggingan.
Cara berdakwah Sunan Kudus meniru pendekatan Sunan Kalijaga yang sangat toleran
dengan budaya setempat. Cara penyampaian yang dilakukannya bahkan lebih halus yaitu
dimana bentuk menara, gerbang dan pancuran/pedasan wudhu melambangkan delapan jalan
Budha. Bahkan sampai sekarang di Kudus tidak diperdagangkan daging sapi karena menurut
masyarakat setempat, hal ini merupakan wasiat dari Sunan Kudus untuk menjaga hati para
penganut agama Hindu bahkan setelah mereka memeluk agama Islam. Dengan cara itulah
Sunan Kudus berhasil mengislamkan Kudus.
Dalam perkembangannya selain menjadi ibukota, Kudus juga merupakan salah satu
kawedanan yang ada di kabupaten Kudus. Pusat pemerintahan kawedanan ini terletak di
sebelah timur Sungai Gelis, baik pemerintahan kabupaten maupun pemerintahan kolonial.
Seperti kota kabupaten lainnya, dahulu Kota Kudus memilki alun-alun yang dibelah oleh
sebuah jalan lurus dengan dua buah pohon beringin di kiri kanan jalan menuju kabupaten.
Kemudian sejak tahun 1969 alun-alun tersebut dirubah menjadi simpang tujuh hingga saat
ini.

418
Menurut Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka (1884-1964) ahli bahasa dan kebudayaan
jawa, Kudus merupakan satu-satunya kota di tanah Jawa yang memakai bahasa Arab (Sala,
1977:1). Sebelumnya Kota Kudus bernama Kota Tajug yang berarti adalah kota yang
mempunyai nilai-nilai keramat. Tetapi kemudian Sunan Kudus menggantinya dengan Kudus
yang berarti adalah tempat suci. Nama Kudus diambil dari bahasa arab Al Kuds, sebagaimana
yang tertera dalam prasasti bahasa arab yang ada diatas mihrab masjid Kudus yang bila
diartikan dalam bahasa Indonesia berbunyi “Dengan asma Allah yang maha pengasih dan
Maha Penyayang, telah mendirikan Masjid Kudus dan Negeri Kudus Khalijah pada zaman
ulama dari keturunan Muhammad untuk membeli kemuliaan surga yang kekal, untuk
mendekati Allah di negeri Kudus, membuat masjid Al Manar yang dinamakan Al-Aqsa
khalifatullah di bumi ini. Yang agung dan mujtahid yang arief, kamil fadhil al maksus
dengan pemeliharaan Al Qadli Ja’far Shadiq pada tahun 956 H bertepatan dengan 1549 M”.
Sebaliknya, pada panel relief ditangga masuk serambi Langgar Dalem tertulis prasasti yang
menunjukan angka tahun 863 H atau bertepatan dengan 1458 M. Sedangkan pada prasasti
Blander Menara Kudus tertulis sengkalan yang berbunyi “Gapura rusak ewahing jagad wong
ngarungu” yang berarti tahun 1609 H bertepatan dengan tahun 1687 M.
Kudus mengalami puncak perkembangan di bidang sosial ekonomi dengan sebelah
timur terbatas pada pegawai pemerintahan dan perdagangan gula dan tekstil pribumi,
sedangkan di sebelah barat perkembangan terutama terjadi pada para pedagang santri yang
bergerak di kereta api dibangun untuk mengantisipasi perkembangan populasi dan industri
gula. Pusat kota baru berkembang menjadi pusat pemerintahan, sedangkan pusat kota lama
hanya menjadi derah permukiman yang bercorak religius dan industri rumash tangga.
Masih di bawah kekuasaan kolonial, industri rokok kretek timbul di kalangan pribumi
terutama di daerah kota lama. Hal ini bermula dari ditemukannya campuran antara tembakau
dan cengkeh, dan industri rokokpun segera merebak dan mencapai puncak perkembangan
dengan dibangunnya industri-industri rokok berskala besar, sedang, dan kecil. Industri baru
yang sangat menguntungkan ini segera berkembang di daerah timur kota. Tenaga kerja yang
sebagian besar wanita berasal dari daerah di sekitar kota, terutama di arah utara kota.
Perkembangan industri ini memacu perekonomian masyarakat lebih tinggi, dengan
timbulnya golongan masyarakat borjuis yang tertutup dan mempunyai ikatan kuat
diantaranya. Rumah-rumah adat masih tetap dibangun meski tidak sebanyak pada masa
sebelumnya. Selera masyarakat mulai beralih ke bangunan rumah model Eropa (model
kolonial maupun ekspresionis). Bangunan dibangun di dalam lingkungan di kalangan
golongan borjuis.
Kondisi politik yang tidak stabil serta persaingan diantara pengusaha pribumi dan
nonpribumi membawa akibat yang kurang menguntungkan di kalangan pengusaha Kudus,
terutama pengusaha pribumi di kota lama. Banyak pabrik yang kemudian menghentikan
kegiatannya atau bahkan menutupnya (gulungan tikar).
Hal ini mengakibatkan pengusaha nonpribumi mendapat kesempatan untuk merebut
pasar, gudang-gudang dan pabrik terutama di daerah timur kota. Daerah kota lama menjadi
seperti daerah yang ditinggalkan, bekas bangunan pabrik dan gudang banyak yang
terbengkalai atau bahkan dirobohkan. Namun demikian industri rumah tangga terutama
konveksi tenun dan batik masih tetap bertahan. Kompleks rumah-rumah besar yang semula
dimiliki satu keluarga besar banyak dijual ke keluarga lain, bahkan pada satu rumah kadang
dihuni oleh lebih dari satu keluarga.
Stabilitas politik yang berangsur-angsur stabil membari kesempatan pada
perkembangan kota yang baru. Kudus berkembang menjadi kota industri kecil, dan beberapa

419
industri rokok nonpribumi berkembang semakin besar. Kepadatan lalu lintas semakin tinggi
sementara jaringan transportasi dengan kereta semakin menghilang.
Menyikapi perkembangan kota ini Pemerintahan Daerah menjalankan program-
program keindahan kota. Terminal dibangun di pinggir kota, jalan-jalan diperlebar, dan
penghijauan kota digalakkan terutama pada tujuh jalan utama ke pusat kota. Sayangnya
program keindahan kota ini kurang memperhitungkan segi konservasi, dimana beberapa
fasade bangunan sepanjang jalan yang terkena pelebaran jalan tadi hilang, berganti dengan
fasade bangunan-bangunan baru.
Kudus mengalami peningkatan perkembangan kota industri terpadu oleh Kepala
Daerah Tingkat I Jawa Tengah. Program ini memungkinkan Kudus mengembangkan sumber
industri yang pada gilirannya akan mempengaruhi pengembangan aktivitas komersial dan
transportasi yang membutuhkan pengembangan kota serta prasarana jalan. Kota lama tidak
banyak mengalami perubahan sementara perluasan kota mengarah ke sebelah selatan dan
timur. Kompleks bangunan pemerintah dipindahkan ke timur (Kecamatan Mejobo) untuk
lebih memacu perkembangan di daerah tersebut. Berdasarkan analisis sejarah kota, dapat
disimpulkan bahwa kota Kudus adalah ibukota kabupaten Kudus yang sejak abad ke-18
sudah berada di bawah kekuasaan Pemerintah Belanda. Dalam sejarah perkembangan
kota,tokoh yang terkenal adalah Sunan Kudus

Toponim
Berikut ini beberapa toponim yang terdapat di kota lama (Kudus Kulon) yang
menunjukan fenomena adanya pemukiman/ asal mula sesuatu kampung di masa lalu
berdasarkan nama-nama suatu tempat yaitu:

Sunggingan
Nama Sunggingan berasal dari kata Sun Ging An, yaitu pemahat/pengukir ulung yang
datang bersama Kyai Tee Ling Sing dalam mengembangkan Kota Kudus. Sun Ging An
kemudian menjadi kata kerja nyungging yang berarti mengukir dan daerah ukir mengukir di
masa lalu ini kemudian dikenal masyarakat luas dengan nama Desa Sunggingan
(http://www.geocities.com/kudus_online1/kebudayaan.htm). Sunggingan merupakan sebuah
pemukiman untuk para penyungging yang terletak di sebelah selatan Masjid Bubar.
Sebenarnya desa kuno Kudus terletak di Desa Sunggingan, namun dengan berdirinya
kompleks Menara Kudus, Desa Sunggingan tidak lagi menjadi pusat kota karena adanya
pusat aktivitas baru di daerah Menara dimana para mubaligh selain menyebarkan agama
Islam juga berdagang sehingga sebagai tempat transaksi tersebut muncul pasar dan sarana
lainnya (Data Arsitektur Tradisional Kudus, 1986:2.1).
Kauman
Desa Kauman merupakan daerah tempat tinggal para ulama yang terletak di sekitar
masjid Menara (Suryo et al, 1989:4). Lingkungan Kauman merupakan lingkungan desa kuno
dan dapat dikatakan sebagai pusat kota dan lingkungan pada saat itu menggantikan
Sunggingan yang tersisih akibat adanya kegiatan baru di sekitar Menara (Data Arsitektur
Tradisional Kudus, 1986:2.1).
Nganguk
Jauh sebelum Sunan Kudus membangun Masjid Menara Kudus, konon disinilah letak
Masjid Sunan Kudus yang pertama kali. Menurut cerita setempat, Nganguk merupakan

420
tempat tinggal Kyai Telingsing, guru dari Sunan Kudus dalam mengembangkan Kota Kudus.
Karena usianya sudah lanjut, maka beliau ingin mencari pengganti. Pada suatu hari Kyai
Telingsing berdiri sambil menengok ke kanan dan ke kiri seperti mencari sesuatu (Jawa:
ingak-inguk), dan tiba-tiba Sunan Kudus muncul dari arah selatan dan dibangunlah masjid itu
dalam waktu yang amat singkat, bahkan ada yang mengatakan bahwa masjid itu tiba-tiba
muncul dengan sendirinya (bhs Jawa: mesjid tiban) sehingga daerah itu kemudian dinamai
Nganguk, sedangkan masjidnya dinamakan Masjid Nganguk Wali (Salam, 1977:24)
Masjid Nganguk Wali berada di Desa Kramat yang terletak berdekatan dengan Desa
Nganguk. Nganguk sendiri dibagi menjadi dua yaitu Nganguk pengapon dan Nganguk wali.
Nganguk pengapon terletak di Desa Nganguk pengapon sedangkan Nganguk Wali terletak di
Desa Kramat. Sehingga meskipun masuk wilayah administrasi Desa Kramat, namun masjid
Nganguk wali terletak di Kampung bernama Nganguk Wali.
Masjid Nganguk Wali merupakan bangunan masjid yang baru (dipandang dari sudut
arkeologi) karena banguna yang ada sekarang merupakan bangunan yang didirikan setelah
bangunan yang asli rusak. Bangunan yang ada sekarang ini merupakan perpaduan budaya
Hindu-Islam-Cina (Data Arsitektur Tradisional Kudus, 1986:5.2.1). unsur Hindu terlihat dari
bentuk bangunan dengan atap tajug, unsur Islam terlihat dari bentuk-bentuk melengkung
serta kaligrafi Arab, dan unsur Cina terlihat dari denah mahkota tajug yang menyerupai
bentuk pagoda dan keramik yang berbentuk mozaik.
Demaan
Pangeran Puger sebagai wakil raja Mataram memerintah Demak dan daerah
sekitarnya. Namun beliau memberontak terhadap kerajaan Mataram dan mengalami
kekalahan sehingga menyingkir ke Kudus untuk memperdalam keagamaan bersama para
pengikutnya dari Demak di sebelah timur Sungai Gelis. Konon beliau melarikan diri dalam
peperangan melawan Amangkurat II pada tahun 1677-1703 (Salam, 1977:42). Daerah ini
kemudian diberi nama Desa Demaan (Wikantari dalam Mohamad, 1996).
Paduraksan
Suryo et al (1989:4) mengemukakan bahwa penamaan Kampung Paduraksan dapat
dikaitkan dengan cerita tentang Sunan Kudus yang bertugas sebagai kadi untuk
menyelesaikan perselisihan (bhs Jawa: padu = perselisihan, reksa = memelihara,
menyelesaikan). Menurut Tan Boen Kim dalam Adinugroho (2002:78), tempat yang
digunakan untuk menyelesaikan perselisihan kemungkinan adalah Masjid Paduraksan saat
ini. Dahulu di daerah Paduraksan terdapat tanah lapang yang di tengahnya terdapat pohon
beringin. Pada tahun1918, tanah lapang ini merupakan pasar. Sedangkan letak Masjid
Paduraksan dulunya merupakan perkampungan orang Cina. Tanah lapang ini sekarang
digunakan sebagai tempat berjualan sovenir atau tempat parkir kendaraan yang akan
mengunjungi Masjid Menara Kudus.
Pajeksan
Pajeksan merupakan nama sebuah Desa yang terletak di sebelah utara Kampung
Padureksan. Penamaan ini hampir mirip dengan penamaan pada Kampung Padureksan, hanya
di sini Sunan Kudus berperan sebagai seorang Jaksa, sedangkan di Kampung Padureksan
Sunan Kudus berperan sebagai pelerai perselisihan.
Langgar Dalem
Asal nama Langgar Dalem diduga berasal dari nama sebuah langgar yang terletak di
sebelah timur laut masjid Menara Kudus. Berdasarkan hasil observasi, nama Langgar Dalem
berasal dari kata langgar dan dalem. Langgar adalah Mushola yang digunakan sebagai tempat

421
ibadah umat Islam. Sedangkan dalem memiliki beberapa pengertian, yaitu rumah dan tempat
tinggal Sunan Kudus, letak dari langgar yang berada di dalam pemukiman atau berasal dari
kata Jawa “dalem” yang merupakan sebutan untuk orang yang dihormati.
Konon, sebelum masuknya agama Islam di Kampung Langgar Dalem, banyak
masyarakat setempat yang masih menyembah berhala. Setelah datangnya Sunan Kudus
dalam rangka penyebaran agama Islam, berhala-berhala tersebut ditanam di bawah bangunan
langgar.
Di bawah tangga pintu masuk Masjid Langgar Dalem terdapat ukiran dua ekor naga
yang saling membelit dan melilit batang trisula yang kedua ujungnya bercabang tiga. Ukiran
tersebut berupa sangkalan berbunyi “trisula pinulet naga” yang artinya 863 H/1458 M.
Kalinyamatan
Di dalam kampung Langgar Dalem, berbatasan dengan kampung Jagalan, terdapat
bekas bangunan kuno yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai tempat pertapaan dari
Ratu Kalinyamat, sehingga tempat tersebut terkenal dengan sebutan kalinyamatan. Daerah ini
juga diduga merupakan tempat tinggal para pengikut Ratu Kalinyamat yang terletak di
sebelah timur Masjid Menara (Suryo, Djoko et al, 1989:4, 1977:40).
Pekojan
Daerah Pekojan merupakan sebutan untuk daerah pemukiman yang dihuni oleh
orang-orang Koja (India). Daerah ini terletak di sebelah timur Sungai Gelis (Suryo, Djoko et
al, 1989). Saat ini daerah Pekojan banyak digunakan sebagai area pertokoan karena lokasinya
yang terletak di sepanjang Jalan Sunan Kudus sangat strategis (menghubungkan Kudus
Wetan dan Kudus Kulon).
Pecinan
Daerah Pecinan merupakan sebutan untuk seluruh daerah pemukiman yang dihuni
oleh orang-orang Cina. Daerah ini juga terletak di sebelah timur Sungai Gelis (Suryo, Djoko
et al, 1989). Namun sekarang rumah bergaya Cina jarang ditemui, karena kebanyakan sudah
berubah menjadi pertokoan/bangunan baru.

Peninggalan Bersejarah Lainnya di Kota Kudus


Masjid Bubar
Di Desa Demangan, sebelah selatan Pasar Kudus Tua terdapat sebuah bangunan yang
menurut kepercayaan penduduk setempat merupakan bekas masjid bubar. Dikatakan bubar
karena ketika masjid ini tengah dibangun oleh sunan Kudus mengalami kegagalan karena
diketahui orang lain (bhs Jawa: Kemenungsan). Bangunan ini terbuat dari batu bata yang
disusun dan batu andesit yang berornamen (Data Arsitektur Tradisional Kudus, 1986:5.1.2).
Salam (1977:39) berpendapat bahwa dari bentuk bangunan secara keseluruhan maka
bangunan tersebut bukanlah bangunan bekas masjid, melainkan mendekati biara atau tempat
pertapaan orang Hindu jaman dahulu yang kemudian dibongkar oleh orang Islam. Hal ini
diperkuat oleh Data Arsitektur Tradisional Kudus (1986:5.1.2) yang menyatakan bahwa
bangunan peninggalan ini sebenarnya merupakan kompleks bangunan pemujaan (ibadah)
agama Hindu, dibuktikan dengan adanya bagian pemujaan berupa peninggalan antara lain
lingga, yoni, ornamen slimpetan dan relief manusia berupa Dewa Syiwa. Sedangkan menurut
hasil wawancar, relief manusia itu merupakan jelmaan dari manusia yang mengetahui
pembangunan masjid tersebut di pagi hari yang dilakukan oleh makhluk gaib dan menjadikan
mereka marah sehingga mengutuk manusia tersebut menjadi relief pada sebuah batu.

422
Gapura Paduraksan Masjid Loram Kulon
Masjid Loram Kulon terletak di Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati. Sunaryo BA
dalam bukunya “ Mengenal Kebudayaan Daerah” menyebutkan bahwa konon Sungging
Badar Duwung merupakan pendiri Masjid tersebut dan juga pembuat salah satu tajug yang
terdapat di Masjid Menara Kudus (Saksi Sejarah Museum dan Purbakala Bidang
Kebudayaan, 2004:8). Sungging Bandar Duwung yang memiliki nama asli Tji Wie Gwan
merupakan ayah angkat Sultan Hadirin dari kerajaan Campa yang akhirnya dijadikan sebagai
patih kerajaan Jepara. Sedangkan mustaka yang terdapat pada masjid tersebut merupakan
peninggalan sultan hadirin yang juga dikenal sebagai Sunan Mantingan Kalinyamatan Jepara.
Gapura masjid ini sudah dilindungi oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa
Tengah dengan dasar hukum UU No. 5 Tahun 1992 tentang cagar budaya.
Gapura Masjid Jepang
Gapura Masjid Jepang terletak di Desa Jepang, Dukuh Mejobo, Kecamatan Jati dan
merupakan bangunan berasal dari abad XV Masehi, semasa dengan Masjid Menara Kudus.
Bangunan Masjid ini merupakan bangunan baru yang didirikan di atas pondasi bangunan
yang asli. Gapura (gerbang) masuk menuju masjid merupakan bangunan budaya Hindu (Data
Arsitektur Tradisional Kudus, 1986:5.3.1) dan merupakan salah satu benda cagar budaya
yang sudah dilindungi oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah.
Diperkirakan oleh masyarakat, kompleks bangunan merupakan makam dari Syeikh SITI
Jenar. Banguna ini beratap tajug dengan tiang luar membentuk lengkung yang diperkirakan
masa pembangunannya dilakukan pada masa Islam tanpa meninggalkan budaya Hindu.
Gapura Wali Jati
Gapura Wali Jati di Desa Wetan, Kecamatan Jati yang terletak di serambi depan
Masjid Baitul Mutaqin. Kondisi pintu gapura saat ini sudah hilang, hanya tersisa sebagian
bangunannya saja. Menurut hasil wawancara, gapura yang terdiri dari dua bangunan utara
dan selatan ini dibuat oleh para wali namun kamanungsan (Jawa: terpergok oleh manusia)
sehingga bangunan tersebut tidak terselesaikan. Peristiwa ini seperti yang terjadi di Masjid
Bubar, yaitu bangunan yang tidak terselesaikan karena kamanungsan, sehingga kedua
bangunan ini memiliki sedikit kemiripan.
Makam Kyai Telingsing
Makam Kyai Telingsing terletak di Desa Sunggingan, di sebelah selatan Des
Demangan. Menurut kepercayaan setempat, Kyai Telingsing adalah Guru dari Sunan Kudus
dan termasuk salah seorang tokoh sesepuh pemimpin Kota Kudus, sebelum digantikan oleh
Sunan Kudus. Beliau adalah Tiong Hoa beragama Islam yang juga merupakan seorang
pemahat dan seniman yang terkenal. Oleh masyarakat nama Telingsing diartikan sebagai
nama Tiong Hoa dari perkataan The Ling Sing.
Makam Pangeran Puger
Pangeran Puger merupakan wakil Raja Mataram yang memerintah Demak dan daerah
sekitarnya. Namun beliau melakuka pemberontakan terhadap kerajaan Mataram dan
mengalami kekalahan sehingga menyingkir ke Kudus untuk memperdalam keagamaan
bersama para pengikutnya dari Demak di sebelah timur Sungai Gelis. Kono beliau melarikan
diri dalam peperangan melawan Amangkurat II (1677-1703). Makam Pangeran Puger terletak
di kampong Demaan dan merupakan kompleks makam beliau beserta para keluarga dan
kerabatnya. Makam ini merupakan kuncup makam dengan skala bangunan rumah. Dalam
bangunan makam terlihat dua buah makam yang dipercaya masyarakat sebagai makam
Pangeran Puger beserta istrinya (terletak dalam satu bangunan), serta bangunan yang terletak

423
bersebelahan merupakan makam putrinya, yaitu Putri Pesat Sari. Komplek makam ini
dibangun tahun 1928 dengan bentuk tajug. Tajug ini memiliki keistimewaan yaitu bentuk
tajug pada tingkat ke atas yang berorientasi ke segala arah (segi delapan) dengan koordinatif
sumbu utara selatan. Tingkatan tajug yang pertama merupakan tritis (serambi dari bangunan),
dimana tritisan ini dikelilingi dinding langkan dan pagar jeruji dari kayu (Data Arsitektur
Tradisional Kudus, 1986:5.4.1). namun tajug dan pagar kayu tersebut saat ini sudah tidak ada
lagi dan diganti dengan bangunan sejenis yang sudah baru dan berbeda dengan bentuknya
semula.
Makam Sunan Kudus
Di sebelah barat Masjid Menara Kudus terdapat makam Sunan Kudus beserta para
pengikut dan keturunannya yang terletak dalam satu kompleks. Di pintu makam Sunan
Kudus terukir dengan kalimat Asma’ul Husna serta berangka tahun 1895 Jawa atau 1296
Hijriah = 1878 M). Bentuk maesan pada makam Sunan Kudus dikelilingi tembok yang
dihiasi dengan ukiran-ukiran, di atas makamnya diberi mustaka (mustaka) seperti terdapat
pada Masjid di sampingnya, serta bangunan tajug di sebelah selatan makam (Salam, 1977).
Pabrik Gula Rendeng
Pabrik Gula Rendeng (selanjutnya disebut PG Rendeng) merupakan salah satu
bangunan peninggalaan kolonial Belanda yang terletak di Desa Rendeng. Pabrik ini
merupakan suatu kompleks kawasan yang sangat luas, dan juga meliputi kawasan perumahan
bagi para petinggi pabrik yang terletak di sebelah pabrik gula tersebut. PG Rendeng berdiri
sejak Tahun 1840 yang didirikan oleh maskapai Belanda “Mirandoelie Voute & Co” yang
berkantor pusat di Den Haag, Belanda dengan nama “Rendeng Suiker Fabriek”.
Ketika Jepang masuk ke Indonesia Tahun 1942, PG Rendeng dikuasai oleh Jepang
dan nama pabrik berbahasa Belanda digantikan dengan Bahasa Jepang yaitu “Rendeng
Sitocho Kabushiki Kaisha” sampai dengan tahun 1945. Pada tahun 1947, PG Rendeng
kembali dikuasai Belanda berdasarkan perjanjian Linggar Jati. Dan pada Tahun 1958, terjadi
pengambil alihan perusahaan-perusahaan milik Belanda oleh pemerintah Indonesia, termasuk
PG Rendeng. Sejak saat itu PG Rendeng mengalami beberapa status dan bentuk perusahaan,
yaitu:
Tahun 1961 : Termasuk dalam Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perkebunan Negara
Tahun 1968 : Termasuk dalam Perusahaan Negara Perkebunan XV (PNP XV)
Tahun 1973 : PNP XV berubah menjadi PTP XV (Persero)
Tahun 1981 : PTP XV (Persero) digabung dengan PTP XVI (Persero) menjadi PTP XV-
XVI (Persero)
Tahun 1994 : PTP XV-XVI (Persero) dibawah pengelolaan PTP XXI-XXII (Persero)
Tahun 1996 : PTP XV-XVI (Persero) dan PTP XVIII (Persero) dilebur menjadi PTP
Nusantara IX (Persero)
Bangunan PG Rendeng dan perumahan pegawainya ini bergaya kolonial Belanda, masih asli,
dan masih dapat digunakan dengan baik. Sampai saat ini PG Rendeng di bawah pengelolaan
PTP Nusantara IX (Persero).

424
SIMPULAN

Berdasarkan penjabaran dari analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya,
maka dapat diambil kesimpulan yang merupakan intisari dari penelitian ini yaitu bahwa Kota
Kudus memiliki cukup banyak potensi kawasan konservasi, karena adanya beberapa
kebudayaan yang terdapat di Kudus yaitu Hindu, Islam, dan kolonial Belanda dengan corak
peninggalannya masing-masing. Kawasan yang berpotensi untu dikonservasi ini dibagi
menjadi tiga tipe potensi yaitu potensi tinggi, potensi sedang, dan potensi rendah. Penentuan
tipe potensi ini dilakukan berdasarkan analisis skoring pembobotan dengan variabel berupa
kriteria konservasi yang telah dilakukan pada bab sebelumnya.
Kawasan yang memiliki potensi tertinggi untuk dikonservasi terdapat di Desa
Kauman. Potensi konservasi tingkat sedang terdapat di Desa Demangan, kawasan alun-alun
(simpang tujuh), kompleks masjid dan makam di Masjid wali At Taqwa Desa Gribig
Kecamatan Jati, serta kompleks Masjid Jepang Desa Jepang Kecamatan Mejobo. Sedangkan
potensi konservasi tingkat rendah terdapat di kompleks masjid wali di Desa Jati Wetan
Kecamatan Jati, kawasan pabrik gula Rendeng, Desa Demaan, Desa Sunggingan, serta
kawasan bekas Jalan Deandles. Kawasan yang memiliki potensi untuk dikonservasi ini
hendaknya tidak diabaikan begitu saja, dan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi
pemerintahan. Pembangunan kota seharusnya direncanakan dengan mempertimbangkan
keberadaan kawasan tersebut, sehingga terjadi sebuah sinergi dan kesinambungan antara
masa lampau dengan masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Basrowi Muhammad & Soenjono, 2004, Teori Sosial dalam Tiga Paradigma, Surabaya,
Yayasan Kampusina.
Bungin, Burhan, 2207, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan
Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta. Raja Grafindo Perkasa.
Basundoro, Purnawan. 2012. Pengantar Sejarah kota. Jogjakarta. Ombak.
De Graaf, H.J, 1985. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa. Jakarta. Graffiti Pers.
Faisal, Sanafiah. 1998. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Press.
Furchan, Arief, 1992. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional.
Guillot, Claude & Ludwig Kalus. 2008. Inskripsi Islam Tertua di Indonesia. Jakarta. KPG
(Kepustakaan Populer Gramedia).
Handinoto. 2012. Arsitektur dan kota-kota di Jawa pada masa kolonial. Jakarta. Graha Ilmu.

425
Irawan Soehartono. 2000. Metode Penelitian Sosial Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial lainnya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Irawan, Prasetya, 2006. Penelitian Kualitatif & Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Depok:
Departemen Ilmu Administrasi, FISIP UI.
Lance, Castles. 1982. Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok
Kretek Kudus. Jakarta. Sinar Harapan.
Salam, Solichin. 1977. Kudus Purbakala Dalam Perjuangan Islam. Kudus. Menara Kudus.
Tjandrasasmita, Uka. 2000. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di
Indonesia: Dari abad XIII sampai XVIII Masehei. Kudus. Menara Kudus.
Wiryomartono, A Bagoes P. 1995. Seni bangunan dan seni Bbna kota di Indonesia: Kajian
mengenai konsep, struktur dan elemen fisik kota sejak peradaban Hindu, Budha, Islam,
hingga sekarang. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.

426
Dedikasi Perempuan Dalam Dunia Pers : Telaah terhadap Keoetamaan Isteri, Medan
(1936-1941)
Raisye Soleh Haghia

Abstrak
Penelitian ini membahas mengenai pemikiran majalah Keoetamaan Isteri tentang kemajuan
perempuan yang diungkapkan melalui artikel dalam majalah Keoetamaan Isteri. Majalah
tersebut terbit di Medan pada tahun 1937-1941. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa
majalah Keoetamaan Isteri lahir sebagai salah satu alat untuk mewujudkan visi Perhimpunan
Keoetamaan Isteri dalam mempertinggi derajat kaum perempuan. Pemikiran yang terungkap
dari penelitian ini yaitu bagaimana suatu ide untuk mengembangkan potensi perempuan
sehingga menjadi perempuan yang mempunyai ilmu pengetahuan dan berkiprah dalam
kehidupan bermasyarakat dituangkan dalam majalah yang bersifat lokal. Majalah tersebut
merupakan media untuk menyebarkan segala tujuan, harapan, dan aktivitas perhimpunan ke
berbagai daerah khususnya di Medan.

Kata kunci: Pers, Pemikiran, majalah Keoetamaan Isteri, perempuan.

A. Profil Perempuan Dalam Majalah Keoetamaan Isteri


Profil mengenai perempuan merupakan salah satu rubrik yang selalu ada di dalam
setiap edisi penerbitan majalah Keoetamaan Isteri. Dengan melihat rubrik profil majalah
Keoetamaan Isteri, dapat diketahui lebih jauh mengenai gambaran perempuan yang
diharapkan oleh majalah Keoetamaan Isteri. Profil perempuan dalam majalah Keoetamaan
Isteri berisi cerita satu gambaran mengenai individu yang dipaparkan secara mendalam
sehingga dapat menangkap watak pribadinya.
Dalam penulisan ini diteliti 20 profil tokoh peremuan. Tokoh perempuan yang ditulis dalam
rubrik profil perempuan dalam majalah Keoetamaan Isteri tidak hanya tokoh-tokoh dari
dalam negeri saja, tetapi juga tokoh-tokoh dari luar negeri pun sering dimuat. Untuk
mendapatkan pengetahuan yang mendalam mengenai tokoh yang dibahas, biasanya profil
tersebut dilengkapi dengan deskripsi mengenai karakteristik tokoh yang ditampilkan,
kepribadiannya, evaluasi mengenai tingkat kemampuan, dan intelektualitasnya, latar
belakang, status yang membuat tokoh tersebut bisa menarik perhatian publik, impian-impian
tokoh tersebut ,serta deskripsi mengenai lingkungan sekitar tokoh tersebut.
Rubrik Profil ini menampilkan bagian dari kehidupan seorang tokoh perempuan yang
diambil dari berbagai latar belakang yang melingkupinya. Tokoh-tokoh perempuan yang
diangkat dalam rubrik ini di antaranya adalah Yone Suzuki. Ditulisnya rubrik mengenai
Yone Suzuki ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan rasa percaya diri kepada kaum
perempuan di Indonesia bahwa perempuan juga bisa berkiprah di berbagai bidang kehidupan.
Hal ini menginspirasikan bahwa perempuan juga bisa menjadi seorang pemimpin berbagai
perusahaan besar, bahkan perusahaan yang dipimpin oleh Yone Suzuki ini mempunyai
pengaruh yang besar di seluruh dunia. Yone Suzuki bisa dikatakan seorang perempuan yang
berani melawan arus adat kebiasaan perempuan Jepang. Yone Suzuki ini merupakan salah

427
satu contoh perempuan modern yang bisa menjalankan peranan sebagai ibu rumah tangga
yang baik1.
Selain Yone Suzuki, ada pula profil seorang perempuan yang sangat berjasa bagi kehidupan
orang banyak, yaitu Marie Curie. Dia berhasil menemukan radium yang berfungsi untuk
pemberantasan penyakit kanker. Penemuannya tersebut memberikan harapan kepada setiap
manusia yang mengidap penyakit kanker untuk bisa kembali melanjutkan kehidupannya.
Marie Curie merupakan seorang perempuan yang memberikan inspirasi kepada seluruh
perempuan yang ada di dunia untuk tekun dan ulet dalam menimba ilmu karena dengan ilmu
seorang perempuan tersebut akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk kehidupan
masyarakat dunia. Melalui perjuangan yang panjang dan penelitian bertahun-tahun, akhirnya
Marie Curie menemukan radium tersebut. Perempuan yang memiliki ilmu akan dihormati
dan dijunjung tinggi oleh dunia. Apalagi dengan ilmunya tersebut bisa menyelamatkan
berjuta nyawa. Profil Marie Curie ini diangkat dengan tujuan semoga bisa menjadi pemicu
untuk perempuan-perempuan Indonesia untuk terus menimba ilmu. Marie Curie merupakan
salah satu contoh perempuan yang bisa memerankan peranan yang baik sebagai ibu rumah
tangga dan seorang ilmuwan yang dibanggakan oleh dunia2.
Selain dalam bidang perniagaan dan kedokteran, ada juga perempuan yang aktif terlibat
dalam bidang militer, khususnya angkatan udara. Perempuan itu bernama Sahiba Goukcen.
Dia adalah seorang pahlawan dan juru terbang perempuan turki yang gagah berani dan yang
membentuk suatu angkatan udara perempuan di Turki. Semenjak kecil, Sabiha telah
kehilangan orangtuanya akibat perang. Namun, Sabiha bisa tumbuh sebagai seorang
perempuan yang berjiwa besar. Semenjak kecil Sabiha sudah memiliki perhatian terhadap
dunia penerbangan, akhirnya dia pun disekolahkan ke sekolah penerbangan supaya bakat dan
keinginan yang dimiliki bisa didukung oleh ilmu pengetahuan yang ia pelajari. Pada saat
sekolah di sekolah penerbangan tersebut Sabiha memperoleh nilai hasil ujian yang luar biasa
bagus sampai mencengangkan Presiden Turki yaitu Mustafa Kemal Pasya sehingga Sabiha
diangkat menjadi anak angkat presiden. Kemal Pasya bangga terhadapnya karena Sabiha bisa
menjadi contoh perempuan modern yang dimiliki oleh Turki3.
Selain itu, ada juga perempuan yang dengan lantang memimpin rakyatnya untuk berjuang
mempertahankan harga diri bangsanya. Perempuan itu bernama Mei Ling atau dikenal
dengan nama Madam Chiang Kai Shek. Dia bisa berdiri tegak mendampingi suaminya dalam
memimpin negeri Tiongkok yang memiliki penduduk yang banyak4. Keteguhannya dalam
mendampingi suaminya dalam menyatukan bangsa Tiongkok menyebabkan ia mendapat
julukan “Ratu Bermahkota Duri”. Hal tersebut disebabkan oleh Madam Chiang Kai Shek
merupakan perempuan yang sangat mempengaruhi kehidupan jendral Chiang Kai Shek5.
Melihat peranan yang dijalankan oleh Madam Chiang Kai Shek memberikan pelajaran
kepada kaum perempuan bahwa peranan perempuan dalam mendampingi suami untuk
menjalankan tugasnya adalah sebuah keniscayaan dan memiliki arti penting dalam perjalanan
kehidupan sebuah bangsa. Adanya perbedaan peranan yang dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan merupakan sebuah jalan untuk menyelaraskan kehidupan. Kesadaran kaum
perempuan untuk bahu-membahu meringankan beban suaminya dalam menghadapi
permasalahan kehidupan merupakan sesuatu yang harus ditanamkan dalam jiwa bangsa
Indonesia. Keinginkan untuk mewujudkan bangsa yang bermartabat harus dilakukan oleh
1
Keoetamaan Isteri, No. 1 Januari 1938, hlm.5-6.
2
Keoetamaan Isteri, No. 1 Januari 1939, hlm.7.
3
Keoetamaan Isteri, No. 11 November 1939, hlm.14.
4
Keoetamaan Isteri, No. 10 Oktober 1939, hlm.6.
5
Keoetamaan Isteri, No. 11 November 1940, hlm.14.

428
laki-laki dan perempuan dengan selaras dan beriringan sehingga perbedaan antara laki-laki
dan perempuan tidak dijadikan alasan untuk mengenyampingkan perempuan dalam rangka
mengangkat hargadiri bangsa6.
Keempat profil perempuan yang dijelaskan di atas adalah perempuan-perempuan yang
bergelut di bidang yang awalnya dianggap tabu untuk dimasuki oleh kaum perempuan. Akan
tetapi, ternyata dengan ilmu yang dimiliki dan keuletan serta kesungguhan, perempuan bisa
mengisi kehidupannya dengan hal lebih berarti untuk dirinya, masyarakat, dan negara. Dari
profil di atas dapat dilihat bahwa perempuan mempunyai peranan di lingkungannya, baik
sebagai istri yang bertanggung jawab kepada suami dan keluarga, maupun sebagai anggota
masyarakat yang senantiasa dapat berperan untuk memajukan masyarakat melalui apa yang
dapat dikembangkan dan disumbangkannya.
Selain tokoh dari luar negeri, banyak juga profil tentang kaum perempuan dalam
negeri. Tokoh dari dalam negeri yang selalu dimuat dalam majalah Keoetamaan Isteri bahkan
setiap bulan April pasti akan ada edisi khusus, yaitu profil tentang R.A. Kartini. Kartini
merupakan seseorang yang dianggap sangat berpengaruh terhadap kemajuan bagi kaum
perempuan di Indonesia. Kartini mampu menuangkan pemikirannya tentang apa yang harus
dilakukan perempuan Indonesia supaya perempuan Indonesia mempunyai kesamaan harkat
dan martabat dengan kaum lelaki dan kuncinya terletak dalam bidang pendidikan. Apabila
dilihat dari peranannya sebagai pendidik generasi muda (anaknya), perempuan mempunyai
peranan yang penting. Hal tersebut ditulis oleh Kartini dalam catatan hariannya pada Januari
1903, tulisan itu berisi tetang kepeduliannya terhadap pengajaran bagi rakyat Jawa:
“Siapa yang menolak jika dikatakan bahwa perempuan mempunyai tugas yang mulia untuk
membentuk moral masyarakat?... kenyataannya sekolah tidak mampu membimbing
masyarakat kea rah kemajuan…. Keinginan yang kuat untuk belajar seharusnya dating dari
keluarga sendiri…., tetapi, bagaimana mungkin keluarga mampu memberikan Pendidikan
yang bermanfaat jika hal paling mendasar yaiitu ibu tidak mampu memberikan kepada
anaknya pendidikan?“7
Pejuang perempuan yang lainnya adalah Raden Dewi Sartika. Raden Dewi Sartika yang
dikenal pula dengan R.A Kartini dari tanah Pasundan 8 . Kiprah Dewi Sartika dalam
memajukan pendidikan bagi kaum perempuan membuahkan hasil yang signifikan. Semakin
hari sekolah yang ia pimpin mendapatkan perhatian dari berbagai bangsa dan pemerintah.
Mulai dari tahun 1904 atas bantuan Bupati Bandung, R.A.A Martanegara, pada tanggal 16
Januari 1940 didirikanlah sekolah untuk anak-anak perempuan. Sekolah tersebut di bawah
pimpinan Raden Dewi Sartika. Dalam sekolah tersebut anak-anak diberikan pelajaran baca
tulis, berhitung, menjahit, dan lain-lain. Pengetahuan tentang adat istiadat pun tak lupa
diajarkan. Kemudian, pada tahun 1905, sekolah tersebut mendapatkan subsidi dari
pemerintah. Banyak orang yang berkunjung ke sekolah tersebut untuk melihat sekolah dan
muridnya. Selain itu, banyak pula yag meminta gadis-gadis lulusan sekolah tersebut untuk
menjadi guru di tempat lain. Sampai pada tahun 1914 pengurus “Keoetamaan Isteri” telah
meminta kepada Raden Dewi Sartika supaya mendidik lima orang gadis dari Padang supaya
mereka bisa menjadi guru di tanah airnya, Minangkabau. Banyak penghargaan yang Dewi
Sartikan dapatkan dari pemerintah. Dalam majalah Pandji Poestaka, Raden Dewi Sartika
berpendapat bahwa perempuan harus dibekali dengan ilmu pengetahuan, didik dan
6
Ibid.
7
Armin Pane (terj), Habis Gelap Terbitlah Terang, Jakarta : Balai Pustaka, 1972, hlm.396.
8
Keoetamaan Isteri, No. 4 April 1940, hlm.19.

429
dicerdakan pemikirannya karena apabila seoran akan menjadi seorang ibu yang akan
dicontoh oleh anaknya9.
Di samping itu, dalam rubrik profil juga mengetengahkan figur perempuan pejuang yang
bertujuan untuk membangkitkan semangat juang perempuan, yaitu S.K Trimurti. S.K.
Trimurti adalah contoh sosok perempuan yang berani menyampaikan kebenaran dengan
ketajaman penanya. Meskipun pernah beberapa kali dimasukkan ke dalam penjara oleh
mahkamah pengadilan tinggi, kegigihannya untuk terus menyampaikan kebenaran tidak
pernah surut. Kegigihannya dalam berjuang mengajarkan kepada kaum perempuan untuk bisa
bertanggungj awab atas apa yang telah kita perbuat, meskipun harus menjalani kehidupan di
dalam penjara dengan membawa seorang bayi yang berusia 6 bulan. Berani berbuat berani
bertanggung jawab adalah pelajaran yang diberikan oleh S.K Trimurti kepada kita semua
supaya kita kaum perempuan bisa menjadi perempuan dan ibu sejati. Dalam majalah
Keoetamaan Isteri, S.K Trimurti mengatakan bahwa sudah menjadi sebuah risiko untuk
seorang jurnalis ditangkap oleh pemerintah apabila tulisannya tidak selaras dengan
pemerintahan yang ada10.
Selanjutnya profil perempuan yang dibahas dalam majalah Keoetamaan Isteri, yaitu
Rangkajo Hadisah. Dia adalah seorang perempuan yang tangguh yang berasal dari ranah
minang dan berhasil memimpin perkumpulan perempuan selama 30 tahun. Dia merupakan
pendiri perhimpunan Amai Setia pada tahun 1910. Dia adalah penganjur kemajuan di Kota
Gadang. Pada tahun 1910 Rangkajo Hadisah mempunyai pikiran bahwa di samping
kemajuan yang telah diperoleh kaum laki-laki perlulah diusahakan kemajuan untuk kaum
perempuan supaya kemajuan di dalam negeri seimbang. Kemajuan ini haruslah dicapai
dengan mempertinggi kecerdasan dan pengetahuan serta kepandaian kaum putri yang selaras
dengan keputriannya. Dengan keinginan tersebut, didirikanlah perkumpulan kerajinan Amai
Setia. Dalam majalah keoetamaan Isteri dijelaskan mengenai awal munculnya ide untuk
mendirikan perkumpulan untuk kaum perempuan seperti berikut ini:
“Pada tahoen 1910 Rangkajo Hadisah beroleh soeatoe pikiran, bahwa disamping kemadjoean
jang telah diperoleh kaoem laki-laki perloelah dioesahakan kemadjoean oentoek kaoem
poeteri soepaja kemadjoean didalam negeri akan seimbang. Kemadjoean itoe haroeslah
ditjapai dengan mempertinggi ketjerdasan dan pengetahoean serta kepandaian kaoem poeteri
jang selaras dengan kepoeteriannja.” 11
Selanjutnya profil yang dibahas adalah Rahmah el Joenoesijah. Dia adalah pengajar di
Dinijah School Poeteri. Rahmah el Joenoesijah mengajarkan bermacam kepandaian dan ilmu
kepada murid-muridnya. Adapun yang dipelajari oleh murid-muridnya yaitu mengaji dan
bertenun. Hal tersebut bermaksud supaya anak-anak perempuan itu menjadi perempuan yang
berilmu. Selama lima tahun, anak-anak perempuan itu hendak diasuhnya mulai dari
menyelenggarakan rumah tangga sampai kepada mengenal peraturan bernegara. Rahmah el
Joenoesijah dikenal juga dengan sebutan “Kartini Baru”.
Keanekaragaman perempuan yang ditampilkan dalam majalah Keoetamaan Isteri ini
memperlihatkan bahwa majalah Keoetamaan Isteri berkeinginan untuk menampilakan tipe
perempuan ideal yang diharapkan dapat mempengaruhi pembacanya. Adapun harapan
perempuan ideal tersebut di antaranya adalah sosok perempuan yang tabah,
bertanggungjawab kepada keluarganya, dan dapat menggali potensi yang ada dalam dirinya
untuk kemajuan diri dan bangsanya. Dalam masa pergerakan dan masa untuk meningkatkan
9
Pandji Poestaka, No. 2 Februari 1929, hlm.162.
10
Keoetamaan Isteri, No. 11 November 1939, hlm.9.
11
Keoetamaan Isteri, No. 4 April 1940, hlm.21.

430
derajat kaum perempuan, majalah Keoetamaan Isteri memerankan peranan yang signifikan
dan tanggap terhadap tuntutan zaman pada masa itu. Dari rubrik profil perempuan yang
dibahas, tampak bahwa majalah Keoetamaan Isteri mendukung peningkatan derajat kaum
perempuan dengan memperluas peranan perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Perempuan
yang diharapkan adalah perempuan yang mampu dan bertanggungjawab untuk dapat
berperan ganda, tidak saja berperan sebagai ibu yang baik dalam rumah tangga, tetapi juga
lebih jauh lagi, yaitu dapat berperan dalam sektor publik demi kemajuan bangsa Indonesia.

B. Peranan Majalah Keoetamaan Isteri dalam Memajukan Pendidikan Bagi Kaum


Perempuan
Abad ke-20 membawa pencerahan bagi kaum perempuan. Dibukanya kesempatan
bagi perempuan untuk mengenyam pendidikan hal tersebut mengakibatkan semakin
terbukanya lahan bagi kaum perempuan untuk berkarya demi mengangkat derajatnya. Pada
abad ke-20 sudah banyak kaum perempuan yang memikirkan bagaimana caranya membantu
nasib kaumnya yang selama ini dianggap buruk12. Kesadaran untuk memperbaiki nasibnya
lahir dari adanya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan secara terbuka. Seperti yang
dikatakan oleh Adi Negoro dalam majalah Keoetamaan Isteri sebagai berikut :
“Keinsyafan itoe timboel diloear keidzinan kaoem laki-laki, sebab kaoem laki-laki asjik oleh
lain-lain kepentingan oemoem. Faktor-faktor jang paling oetama dalam phase kebangoenan
itoe, ialah pendidikan dan onderwijs dari Barat dan pemandangan kedalam masjarakat orang
Barat. Zonder pendidikan Barat dan zonder familie Abendanon tidak ada “Kartini’s” tapi
djoega betoel kalau dibilang, zonder system kolot jang bermaharadjalela dalam masjarakat
bangsa Indonesia, tidak ada “Kartini’s”. “13
Dengan terbukanya pendidikan bagi perempuan, terbuka pulalah berbagai lapangan yang
dulunya tabu untuk dikerjakan oleh kaum perempuan, seperti halnya perempuan terlibat
dalam dunia politik, sosial, dan ekonomi. Dahulu pekerjaan perempuan hanyalah mengurusi
pekerjaan rumah tangga saja. Seperti yang dijelaskan oleh Emma Poeradiredja dalam majalah
Keoetamaan Isteri sebagai berikut :
“………Perempoean Indonesia sekarang sudah lebih lebar pandangannja!
Ini keadaan datangnja, lantaran keinsyafan laki-laki dan perempoean, bahasa mereka
haroes mendjadi kawan satoe sama lain jang sama harganja, sama martabatnja dalam segala
pekerdjaan sebab mereka jakin, bahasa perempoean, maoepoen laki-laki mempoenjai sifat-
sifat dan pendirian sendiri dan djika sifat-sifat dan pendirian laki-laki dan perempoean itoe
dipersatoekan didalam segala pekerdjaan, baharoelah datang kesempoernaan didalam
masjarakat.
Maka dari itoelah, kaoem perempoean mesti memberikan djoega tenaganja, diloear
roemah tangga. Ini satoe kewadjiban, boekan hak sadja.”14
Meningkatnya pengetahuan kaum perempuan, hal tersebut diiringi oleh semakin
meningkatnya permintaan terhadap sarana dan pasarana untuk menambah wawasan mereka.
Salah satu sarana untuk menambah dan meningkatkan pengetahuan kaum perempuan adalah
sebuah media yang pada saat itu merupakan media yang ampuh, yaitu majalah.

12
Adi Negoro, “Soal Kaoem Iboe”, Keoetamaan Isteri, No. 4 April 1939, hlm.13.
13
Ibid, hlm.13.
14
Emma Poeradiredja,“ Perempoean Indonesia diloear Roemah Tangga”, Keoetamaan Isteri, No. 4 April
1939, hlm.7.

431
Bertambah banyak sekolah dan makin banyak rakyat yang pandai menulis dan
membaca, bertambah besarlah kesempatan bagi pers untuk maju. Untuk meningkatkan
pendidikan dan pengetahuan kepada masyarakat pada saat itu majalah Keoetamaan Isteri
memiliki rubrik khusus yang berjudul “Pendidikan”. Rubrik ini merupakan rubrik tetap yang
selalu ada berbarengan dengan terbitnya majalah Keoetamaan Isteri. Rubrik pendidikan
diasuh oleh Moenar. Dalam rubrik tersebut diangkat beberapa tema khusus mengenai cara
mendidik dan mengatasi permasalahan yang sering dihadapi oleh orang tua. Di antarnya tema
yang diangkat dalam rubrik tersebut, yaitu : “Pendidik sedjati Ibu dan Bapak”. Dalam
pembahasannya, Moenar menjelaskan bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan
primer manusia yang harus dipenuhi. Pada usia 3—6 tahun pendidikan yang paling
membekas dalam benak sang anak adalah pendidikan yang diterima dari lingkungan
terdekatnya, yaitu keluarga. Apabila dipresentasikan maka 90% dari pendidikan yang
deterimanya berasal dari tangan ibunya dan 10 % lagi ia dapatkan di luar ibunya sebab anak
sudah mulai senang bersosialisasi dengan anak tetangga, anak tamu, dan saudara-saudaranya
yang dengan tidak sadar ikut mempengaruhi tumbuh kembang anak15.
Pendidik sejati ialah pendidik yang mempunyai hubungan darah dengan sang anak,
yaitu ibu dan bapaknya. Dalam hal ini yang paling memegang peranan dalam hal pendidikan
anak adalah ibunya karena intensitas bertemu antara ibu dan anak jauh lebih banyak
dibandingkan dengan bapaknya. Dalam kehidupan sehari-hari sang bapak bekerja selama 8
sampai 10 jam dengan meninggalkan rumah dan kalau sudah pulang ke rumah pun anak-anak
sudah tidur, jadi sang bapak kurang mempunyai kesempatan yang banyak untuk bergaul dan
memberikan pendidikan kepada sang anak. Baik buruknya pendidikan yang diterima oleh
sang anak pada waktu itu hampir semuanya ditanggung oleh sang ibu, sang bapak tinggal
mengoreksi saja. Berat memang peranan seorang ibu dalam kehidupan rumah tangga, yaitu
sebagai pemimpin rumahtangga yang berkewajiban untuk mendidik putra-putranya16.
Selain tema di atas ada juga sebuah tema yang diangkat dalam rubrik pendidikan yang
berjudul “Kesalahan Mendidik Anak yang Dilakukan oleh Ibu” . Dalam penjelasannya,
Moener mengatakan bahwa di dalam memberikan pendidikan kepada anak memang ada
waktunya orang tua untuk mengikat dan ada kalanya memberikan kelonggaran. Asalkan tidak
memberikan dampak negatif terhadap perkembangan psikologis anaknya. Ada kalanya orang
tua harus marah, tetapi kemarahan orang tua itu harus memajukan sang anak di dalam segala
bidang sehingga anak juga merasa bahwa kemarahan ibunya itu memang pada tempatnya dan
ia merasa memng ia yang harus memperbaikinya17.
Adapun kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan oleh Ibu kepada anaknya, di
antaranya yaitu: pertama, sang ibu justru menunjukan kelemahannya terhadap anaknya.
Misalnya “ ayo… kalau tidak mau diam, nanti ibu kasih tahu ayah”. Di dalam ungkapan
tersebut menandakan bahwa si ibu tidak ditakuti oleh anaknya; bahwa si ibu sendiri yang
menyuruh anaknya tidak percaya padanya. Secara tidak langsung sang ibu mengajarkan
bahwa ia tak punya hak untuk mendidik anaknya18.
Kesalahan kedua adalah biasanya apa yang dilarang oleh sang ayah diperbolehkan
oleh sang ibu, atau sebaliknya. Salah satu contoh misalnya sang anak dilarang jajan
sembarangan oleh ayahnya, tetapi dengan sembunyi-sembunyi anak itu diberikan uang oleh
ibunya. Di sini tampak bahwa tak ada kekompakan di antara orang tua. Atau kasarnya si ibu
ingin “menjilat” atau cari muka kepada anaknya supaya sang anak mengatakan ibu lebih baik
15
Keoetamaan Isteri, No. 1 Oktober 1937, hlm.8.
16
Ibid.
17
Keoetamaan Isteri, No.5 April 1938, hlm.11.
18
Ibid.

432
daripada ayahnya. Dari contoh kasus di atas dapat dilihat secara tidak langsung sang ibu
mengajarkan kepada anaknya untuk membenci ayahnya sendiri19.
Selain itu, dalam rangka menjalankan peranannya untuk memajukan pendidikan bagi
kaum perempuan, majalah Keoetamaan Isteri pun sering memuat artikel lepas dari berbagai
penulis. Seperti halnya pada bulan November 1940, majalah Keoetamaan Isteri memuat
artikel berjudul “Perempoean Indonesia dan Peladjaran di Sekolah Tinggi” yang ditulis oleh
Mr. M. Ullfah Santoso. Artikel tersebut menjelaskan kemajuan pendidikan untuk kaum
perempuan di Belanda, keadaan pendidikan bagi kaum perempuan di Indonesia pada abad ke-
19, sampai pada kemajuan pendidikan untuk kaum perempuan di Indonesia pada abad ke-20.
Dalam artikel tersebut diceritakan bahwa pada abad ke-19 hanya satu atau dua gadis
Indonesia yang boleh pergi ke sekolah rendah. Selebihnya hanya menunggu kawin di rumah
dengan sistem pingit yang mengakar dalam masyarakat Indonesia pada saat itu. Kemudian
beranjak pada permulaan abad ke-20 dikatakan bahwa sudah banyak gadis-gadis Indonesia
yang pergi ke sekolah rendah karena sudah didirikan beberapa sekolah khusus gadis seperti
Kartinischool dan lain-lain. Sesudah beberapa orang tua mengetahui bahwa pentingnya
pendidikan untuk kaum perempuan, diperbolehkanlah kaum perempuan untuk meneruskan
pendidikannya ke jenjang berikutnya.20
Pada awalnya, anak-anak gadis hanya boleh mengambil pendidikan keguruan karena
pada masa itu orang tua mereka masih berpendapat bahwa gadis-gadis Indonesia hanya
pantas untuk menjadi seorang guru. Kemudian, berangsur-angsur kaum perempuan pun mulai
bisa mengambil ilmu-ilmu yang biasanya hanya diambil oleh kaum laki-laki, seperti dokter,
apoteker, ahli hukum, dan lain-lain21.
Artikel tersebut dibuat untuk memberikan inspirasi kepada kaum perempuan untuk
terus meningkatkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Dalam penutupnya, Mr. M.
Ulffah Santoso mengatakan bahwa “Karangan ini saja toetoep dengan pengharapan, moga-
moga gadis Indonesia banjak jang meneroeskan peladjarannja ke sekolah tinggi dalam
berbagai-bagai vak oentoek memadjoekan ra’yak kita! Amin!”22
Selain artikel di atas ada juga artikel dalam majalah Keoetamaan Isteri pada bulan Maret
1941 berjudul “Pendidikan Anak Perempoean Dewasa” yang ditulis oleh Nj. Soenaja
Mangoenpoespita. Artikel tersebut menjelaskan cara-cara mendidik anak-anak perempuan
yang telah beranjak dewasa. Dalam artikel tersebut menjelaskan dan membandingkan sistem
pendidikan yang diterapkan kepada anak-anak perempuan yang beranjak dewasa sebelum
abad ke-20 dan sistem pendidikan yang diterapkan pada abad ke-20. Sebelum abad ke-20,
pada umumnya anak perempuan dianggap sebagai benda dan dianggap sebagai makhluk yang
belum memiliki akal untuk berpikir. Sehingga segala hal yang menyangkut dirinya diatur
oleh orang tua mereka. Salah satu akibatnya adalah banyak terjadinya kawin paksa23. Hal di
atas berbeda dengan sistem pendidikan anak yang ada pada abad ke-20. Dalam tulisannya,
Nj. Soenarja Mangoenpoespita menjelaskan bahwa kaum perempuan dewasa harus mengerti
dan memahami bahwa setiap anak memiliki kejiwaan yang bertahap. Setiap tahapan dari
kejiwaannya tersebut harus ditangani dengan benar.
“ Menoeroet aliran baroe (modern) dari ilmoe djiwa dan ilmoe pendidikan, maka tiap-
tiap anak itoe masing-masing telah mempoenjai dasar (aanleg) dan telah ada kemaoeannja
19
Ibid.
20
Mr. M. Ullfah Santoso, “Perempoean Indonesia dan Peladjaran di Sekolah Tinggi”, Keoetamaan Isteri, No.
11 November 1940, hlm.7.
21
Ibid.
22
Ibid, hlm.8.
23
Keoetamaan Isteri, No 3 Maart 1941, hlm.10.

433
sendiri, jang pada waktoe dilahirkan beloem dapat disifati dengan terang. Dari sebab itoe,
siapa jang ingin memperhatikan tentang pendidikan, sebaik-baiknja selaloe mengingat benar-
benar segala kemaoean dan dasar dari mereka jang haroes dididik, jak’ni dalam hal ini anak-
anak perempoean jang telah meningkat waktoe aqil-balig.
Biasanja pendidikan itoe ditoedjoekan kepada empat periode, jang maoe tidak maoe
haroes dialami oleh mereka jang dididik. Dengan singkat bagia-bagian itoe adalah seperti
berikoet :
1. Pendidikan boeat anak sebeloem dilahirkan.
2. Pendidikan pada waktoe anak itoe masih ketjil, ja’ni sampai beroemoer 6 tahoen.
3. Pendidikan pada waktoe mereka berosia 6 sampai 13 tahoen.
4. Pendidikan pada waktoe anak beroemoer 13 sampai meningkat waktoe dewasa, jak’ni
kira-kira beroemoer 18 tahoen.”24
Kemudian, pada edisi bulan Oktober 1941, majalah Keoetamaan Isteri mengangkat tulisan
yang disampaikan oleh Nj. S. Moenar yang berjudul “Pendidikan Gadis-gadis Kita”. Dalam
paparannya dijelaskan bahwa dalam mendidik anak-anak gadis bangsa Indonesia tidak boleh
melupakan adat ketimuran yang merupakan identitas bangsa. Kemajuan zaman pada saat itu
yang mengakibatkan kiblat mode pakaian, adat perilaku, dan tata krama merujuk kepada adat
barat, tetapi sebagai orang tua harus bisa tetap mengarahkan anaknya untuk tidak melupakan
adat timur25.

C. Perempuan dan Jurnalistik


Munculnya majalah perempuan merupakan kemajuan yang bisa mengindikasi adanya
dinamika kehidupan dan kesadaran dari dan bagi kaum perempuan. Keperluan kaum
perempuan terhadap majalah atau pers untuk mendukung dan menambah ilmu pengetahuan
sehingga bisa dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Sebelum adanya majalah atau koran
khusus perempuan, kaum perempuan yang hendak mengeluarkan pikirannya berupa tulisan
harus menumpang atau diberi tumpangan pada majalah atau koran umum 26 . Mengingat
banyaknya soal yang harus dibicarakan dan dicapai secara bersama-sama oleh kaum
perempuan, kaum perempuan memerlukan adanya wadah yang bisa dijadikan tempat untuk
menyampaikan aspirasi mereka terhadap masyarakat, pemerintah, dan lingkungan mereka.
Terbitnya majalah Keotamaan Isteri membuka peluang yang besar untuk kaum perempuan
dalam rangka menambah ilmu pengetahuan, baik ilmu kerumahtanggaan, ilmu kesehatan,
ilmu sosial, ilmu ekonomi, dan ilmu politik. Hal tersebut diselenggarakan dalam rangka
untuk meningkatkan derajat kaum perempuan karena perempuan memegang peranan yang
sangat penting dalam membangun keluarga serata bangsanya. Seperti halnya yang dikatakan
oleh Rasoena Said dalam majalah Keotamaan Isteri edisi Oktober 1937, hal 12. ia
mengatakan :
”Membantoe memadjoekan poetri berarti membantoe madjoenya penghidupan, sebab
kehidupan itoe tidak tjoekoep dengan poeteri-poeteri atau poetra-poetra sadja, akan tetapi
kedoea jenis ini menghendaki hidoep bersama-sama. Memadjoekan poetri, berarti djoga
memberi teman jang baik bagi poetra”

24
Ibid.
25
Keoetamaan Isteri, No. 10 Oktober 1941, hlm.24.
26
Rasoena Said, “Poeteri Dengan Jaurnalistiek”, Keoetamaan Isteri, No. 1 Januari 1937, hlm.12.

434
Kutipan di atas memberikan gambaran bahwa pentingnya memberikan pendidikan untuk
kaum perempuan karena perempuan mempunyai kewajiban yang sangat besar dalam
mendidik dan membesarkan bangsanya. Meningkatnya kesadaran kaum perempuan terhadap
pentingnya pendidikan menyebabkan perempuan memerlukan tempat untuk melakukan
perbandingan dan pertimbangan terhadap apa yang akan mereka lakukan. Seperti yang
dijelaskan oleh Rasoena Said dalam majalah Keoetamaan Isteri edisi bulan Oktober 1937
sebagai berikut :
“kebangoenan dan kesadaran poeteri kita akan nasibnja serta kemadjoeannja dalam ilmoe
pengetahoean, member kesanggoepan kepadanja oentoek memboeat perbandingan dan
pertimbangan. Dan bila perbandingan telah diboeat dan pertimbangan diperoleh, maka
timboellah keinginan boeat menjetakan pertimbangan atau fikiran itoe”.27
Pada masyarakat yang tingkat kesejahteraannya sudah tinggi, kebutuhan akan pers tidak
hanya didorong oleh keinginan untuk menyatakan pikirannya tetapi juga oleh keperluan
untuk membaca yang timbul karena kenaikan kecerdasan rakyat. Bersama dengan naiknya
kecerdasasan rakyat itu, kita akan melihat kenaikan derajat persnya. Itulah sebabnya
Rasoena Said mengatakan bahwa “djika hendak mengoekoer ketjerdasan soeatoe masjarakat,
perhatikanlah isi soerat chabarnja28”.
Isi surat kabar dibentuk oleh kecerdasan pembacanya serta keadaan-keadaan di dalam suatu
daerah. Jika isi surat kabar itu menggunakan bahasa dan pemikiran yang lebih tinggi
dibandingkan pembacanya, surat kabar itu akan gulung tikar, demikian juga sebaliknya, jika
isi surat kabar itu menggunakan bahasa dan pemikiran yang lebih rendah dari derajat
kecerdasan pembacanya, surat kabar tersebut akan gulung tikar juga. Oleh sebab itu, isi surat
kabar itu hendaknya dapat diterima oleh pihak atas, yaitu lapisan yang tingkat kecerdasanya
sudah tinggi dan dapat diterima juga oleh kalangan menengah.
Pada abad ke-20 salah satu pekerjaan yang dianggap cocok dan bisa dijalankan oleh
perempuan adalah sebagai jurnalistik. Jurnalistik merupakan kegiatan atau pekerjaan mengisi
surat kabar. Hal tersebut dianggap cocok karena pekerjaannya tidak menyita waktu yang
banyak dan bisa dikerjakan di rumah sehingga kewajiban perempuan sebagai seorang ibu dan
sebagai pemimpin di rumah tangga masih bisa dijalankan dengan baik dan kewajiban
perempuan terhadap masyarakat pun masih bisa dijalankan. Seperti yang disampaikan oleh
Rasoena Said sebagai berikut :
“ Sekarang pekerdjaan journalistic dengan poeteri. Pekerdjaan ini adalah satoe
pekerdjaan jang sebaik-baiknja oentoek poeteri. Dia dapat dikerjakan diroemah sadja,
disamping dari pekerdjaan sebagai iboe, sebagai isteri. Pekerdjaan ini tidak menghendaki kita
moesti keloear roemah. Soesoenan techniek karangan-karangan itoe bisa diatoer diroemah,
dan oentoek mengantar ke drukkerij tjoekoeplah dikerdjakan oleh looper sadja.
Pada permoelaan kita ambil sadja madjallah boelanan doeloe karena pekerdjaan
oentoek ini tidak sebanjak pekerdjaan oentoek soerat chabar harian. Dengan demikian
kewadjiban kita poeteri sebagai iboe dan sebagai pemimpin dalam roemah tangga, tidak
terlantar dan kewadjiban kita terhadap oemoem, terhadap kemanoesiaan dan terhadap
kehidoepan dapat dipenoehi”.29

27
Ibid.
28
Ibid, hlm.13.
29
Ibid.

435
Dalam rangka meningkatkan peranan perempuan dalam jurnalistik, majalah
Keoetamaan Isteri memuat beberapa artikel yang berkaitan dengan hal tersebut. Di antaranya
artikel yang ditulis oleh Rasoena Said yang berjudul “Poeteri Dengan Journalistik” yang di
muat pada edisi bulan Oktober 1937. Artikel tersebut membahas mengenai pentingnya
perempuan terlibat dalam dunia jurnalistik karena pekerjaan jurnalistik merupakan pekerjaan
yang dianggap cocok pada saat itu untuk dijalankan oleh kaum perempuan.
Selain itu artikel tersebut menjelaskan mengenai pentingnya sebuah wadah bagi kaum
perempuan untuk membuat pertimbangan, memikirkan dan menyuarakan kehendak mereka
kekhalayak ramai. Masih jarangnya majalah perempuan pada saat itu seharusnya menjadi
tantangan baru untuk kaum perempuan dalam rangka membentu kaum perempuan untuk
meningkatkan derajatnya, sehingga diperlukan keterlibatan perempuan-perempuan lain yang
sudah berpendidikan untuk mengembangkan majalah perempuan, minimal dengan mengisi
majalah tersebut dengan tulisan-tulisan yang bermanfaat untuk kaum perempuan. Dalam
artikel tersebut Rasoena Said mengatakan bahwa :
“Selama ini, djika ada poeteri jang hendak mengeloearkan perbandingan dan fikirannja
dengan toelisan, dia hanja menoempang atau diberi orang toempangan. Madjallah poeteri
jang tertentoe sebagai “Pedoman Isteri” dan “Soeara ‘Aisjiah” beloem mentjoekoepi,
mengingat banjak soal jang perloe kita perkatakan bersama-sama. Djika diadakan doea atau
tiga madjallah lagipoen rasanja beloem akan mentjoekoepkan keperloean itoe”. 30
Perkembangan permintaan terhadap majalah perempuan seiring dengan bertambah
banyaknya perempuan yang melek huruf karena yang akan membaca majalah tersebut adalah
orang-orang yang sudah menyadari arti penting majalah dalam kehidupan mereka, yaitu
mereka yang benar-benar sangat merasa perlu untuk membaca.
Selain artikel dari Rasoena Said ada juga artikel yang membahas tentang perempuan dan
jurnalistik yang ditulis oleh Rangkajo L. Roesli yang berjudul “Kaoem Iboe dengan Soerat
Kabar” dan dimuat dalam edisi bulan Mei 1938. Artikel ini menjelaskan bahwa pada saat itu
dunia jurnalistik bukanlah dunia yang gelap bagi kaum perempuan. Banyaknya surat kabar
dan majalah perempuan menandakan bahwa kaum perempuan tersebut sudah sadar dan sudah
mulai melangkah ke jenjang berikutnya dalam rangka mempertinggi derajat kaum perempuan
dan bangsanya. Hal di atas tersirat dalam kutipan dibawah ini ;
“Kita tentoe sama sekali telah mengetahoei akan kegoenaan soerat kabar. Doenia persoerat
kabaran bagi kita kaoem iboe tidak lagi gelap seperti dahoeloe. Dimana-mana sekarang
soedah ada soerat kabar oentoek batjaan kaoem perempoean. Walaupoen tidak akan
dikeloearkan, dan dikemoedikan oleh kaoem poeteri sendiri, setidak-tidaknja ada djoega
menempel djadi rubriek jang terpisah dari beberapa soerat kabar harian atau periodik”.31
Selain itu artikel tersebut menjelaskan mengenai keadaan kaum perempuan sebelum abad ke-
20 di Indonesia banyak yang masih buta huruf.
“Djika dibandingkan kira-kira 20 tahoen dahoeloe dengan sekarang, adalah sebagai siang
dengan malam perbedaannja. Dahoeloe banjak lagi poeteri-poeteri kita jang beloem tahoe
mata hoeroef. Waktoe itoe persoerat kabaran ini masi gelap bagi mereka. Dari gadis sampai
toea mereka tidak tahoe erti bersoerat kabar, jang disebabkan teroetama sekali ialah karena
tidak pandai membajta dan menoelis. Pengetahoean mereka waktoe itoe tidak lebih dari
lingkoengan dapoer sadja”.32

30
Ibid, hlm.12.
31
Rangkajo L. Roesli, “kaoem Iboe dengan Soerat Kabar”, Keoetamaan Isteri. No. 5 Mei 1938, hlm.26.
32
Ibid, hlm.5.

436
Dalam usaha untuk menyuburkan minat perempuan dalam jurnalistik, majalah Keoetamaan
Isteri pun kembali memuat artikel yang membahas tema tersebut. Pada bulan Mei 1939,
majalah Keoetamaan Isteri memuat artikel yang berjudul “Perempoean dan Journalistik”
yang ditulis oleh jurnalis perempuan yang terkenal berani, yaitu S.K. Trimurti. Pada
pembukaan artikel tersebut, S.K. Trimurti membahas mengenai penggunaan penggabungan
kata perempuan dan jurnalistik yang awalnya dianggap tabu oleh masyarakat. Beda halnya
dengan penggabungan kata laki-laki dan jurnalistik.
“ Perkataan perempoean dirangkai dengan journalistik senantiasa mendjadi masalah, tetapi
tiada begitoe halnja dengan perkataan laki-laki dengan journalistik.
Agaknja soedah biasa dan pada tempatnja orang laki-laki bermain tangan dengan journalistik.
Atau, telah galibnja journalistiek itoe mendjadi haknja kaoem laki-laki, sebagai galibnja
kaoem laki-laki menghendaki semoea apa jang didoenia ini. Sampai kepada perempoean
toeroet berlomba-lomba dalam kalangan journalistic, itoe hanja soal ikoet-ikoettan,
disebabkan kaoem laki-laki memberikan sedikit kelapangan kepadanja, itoelah moelanja soal
perempoean dengan journalistiek mendjadi soeatoe masalah, sedang soal laki-laki dengan
journalistiek tidak”.33
Dalam artikel tersebut S.K. Trimurty menekankan kepada para pembaca bahwa terlibatnya
perempuan dalam jurnalistik itu adalah sebuah ilmu. Jadi apabila jurnalistik tersebut
dipandang sebagai ilmu, seharusnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan jurnalistik serta
perempuan dan jurnalistik karena keduanya merupakan ilmu. Apabila keduanya dipandang
sebagai ilmu, seharusnya tidak ada bedanya laki-laki dan perempuan dalam
memperolehnya 34 . Setelah itu, S.K. Trimurty pun menjelaskan tentang keistimewahan
perempuan dan jurnalistik karena hal tersebut akan melahirkan teori atau metode yang erat
dengan bagaimana caranya perempuan berlomba-lamba dalam jurnalistik karena pasti akan
ditemukan perbedaan pendekatan yang dilakukan oleh laki-laki maupun oleh perempuan
dalam menanggapi atau mengulas tentang berita atau kejadian yang terjadi dalam masyarakat
sehingga akhirnya bisa dioleh dan menjadi bahan untuk diterbitkan dalam majalah atau surat
kabar.
Kemudian S.K. Trimurty memaparkan juga masih adanya diskriminasi yang dirasakan oleh
perempuan-perempuan dalam hal melibatkan dirinya dalam dunia jurnalistik. Perempuan-
perempuan pada saat itu belum diberikan kepercayaan untuk menulis tentang berbagai isu
sosial dan politik. Perempuan hanya diberi kesempatan hanya untuk menulis tentang dunia
keperempunan saja. Hal ini di uraikan S.K. Trimurty dalam tulisannya sebagai berikut :
“ Sebabnja, kaoem laki2 pada oemoemnja, masih menganggap, bahwa journalistiek dan
persoeratchabaran itoe pada hakekatnja kepoenjaan atau hanja boleh dipoenjai oleh kaoem
laki-laki sadja. Kalau perempoean hanja diberinja kesempatan sedikit (jang sebenarnja
boekan pekerdjaan journalistiek jg. Diberikannja itoe), ini hanjalah satoe pemberian goena
patoet2, goena membikin senangnja hati perempoean, sebagai seorang soeami membelikan
gelang oentoek isterinja dengan sebagian dari oeang gadji (hasilnja), boekannja memberikan
semoea hasil kepada perempoean, jang dipandangnja sebagai bendahari roemah tangga.
Kalau diselidiki lebih dalam, maka sebab-sebab ini akan terdapat, karena kaoem laki-
laki oemoemnja masih memandang perempoean sebagai barang, meski perempoean jang
diberikan gelaran mentereng sebagai journaliste. Seteroesnja, banjak djoega kaoem
33
S.K. Trimurty, “Perempoean dan Journalistiek”, Keoetamaan Isteri, No. 9 September 1939, hlm.11.
34
Ibid, hlm.11.

437
perempoean jang lantas beranggapan, bahwa memang hanja sekianlah bagian perempoean
dalam journalistiek”.35

D. Perjuangan Kaum Perempuan Untuk Menembus Volksraad


Perjuangan kaum perempuan dalam mempertinggi derajatnya terus berangsur setingkat demi
setingkat ke jenjang yang lebih tinggi. Mulai dari tumbuhnya kesadaran untuk memperbaiki
kedudukannya dalam rumah tangga, kemudian bidang sosial sampai pada keikutsertaannya
dalam memperbaiki masyarakat36. Dalam memperbaiki masyarakat kaum perempuan sudah
mulai menyadari pentingnya keterlibatan mereka dalam Volksraad karena dengan terlibatnya
perempuan dalam Volksraad mereka yakin bahwa perjuangan untuk memperbaiki masyarakat
dianggap lebih mudah. Seperti yang dijelaskan oleh redaksi majalah Keoetamaan Isteri pada
edisi bulan Februari 1938 sebagai berikut :
“Sangat besarlah goenanja kita kaoem poeteri mempoenjai wakil didalam satoe badan seperti
Volksraad itoe. Sebab boekan sedikit soal2 jang diperbintjangkan disana, jang teroes
langsoeng mengenai soal poeteri dan kepoeterian kita. Dan kita jakin dan pertjaja, bahwa
soal2 jang mengenai kaoem perempoean lebih bagoes dan lebih patoet dibitjarakan oleh
orang perempoean djoega, sebab bagaimanapoen dalamnja pengetahoean laki-laki tentang
kaoem perempoean, tentoe tidak akan dapat melebihi dari pengetahoean kaoem perempoean
sendiri”.37
Adanya usulan-usulan untuk terlibatnya perempuan dalam Volksraad di antaranya
diusulkan oleh Serikat Kaoem Iboe Sumatra (SKIS) di Padang Panjang. Setelah diadakannya
rapat anggota, diputuskan bahwa perlu adanya wakil perempuan di dalam Volksraad. Pada
saat itu ditunjuklah Nj. Maria Ulfah Santoso sebagai calon kandidat. Selain itu, Pengurus
Besar Isteri Indonesia di Semarang menganjurkan kepada anggota Volksraad supaya
mendukung pencalonan wakil perempuan dalam Volksraad38. Selain anjuran dari Pengurus
Besar Isteri Indonesia, Perhimpunan Keoetamaan Isteri pun ikut menganjurkan dan
mendukung adanya perwakilan perempuan di dalam Volksraad. Hal tersebut dijelaskan oleh
redaksi majalah Keoetamaan Isteri sebagai berikut :
“ Kita dari Keoetamaan Isteri mengandjoerkan djoega soepaja perhimpoenan-perhimpoenan
kaoem poeteri seloeroeh Indonesia, menjatakan persetoendjoennja tentang adanja wakil
kaoem poeteri didalam Dewan Ra’jat itoe, dan menjatakan fikirannja masing-masing, djika
sekiranja tidak setoendjoe dengan candidat jang terseboet diatas. Sebaik-baiknja segala
soerat-menjoerat tentang hal ini diteroeskan kepada comite di Djakarta atau kepada P. B.
Isteri- Indonesia di Semarang”39.
Perjuangan perempuan untuk menjadi anggota Volksraad pada awalnya berupa
tuntutan-tuntutan terhadap pemerintah supaya adanya perwakilan perempuan dalam
Volksraad. Tuntutan tersebut dijawab oleh pemerintah dengan pernyataan bahwa pemerintah
tidak keberatan dengan adanya perwakilan perempuan di dalam Volksraad. Seperti yang
dijelaskan dalam majalah Keoetamaan Isteri edisi Juli 1939 sebagai berikut :
“Tempo hari telah kita dengan, bahwa Pemerintah tidak merasa keberatan akan adanja
anggota poeteri didalam Volksraad dari pihak perempoean Indonesia, asal sadja ternjata
35
Ibid, hlm. 12.
36
Redaksi majalah Keoetamaan Isteri, “Kaoem Poeteri Kita ke Volksraad”, Keoetamaan Isteri No. 2 Februari
1938, hlm.7.
37
Ibid.
38
Ibid.
39
Ibid, hlm.8

438
golongan itoe mempoenjai minat jang tjoekoep besar terhadap soal perwakilan itoe.
Tjoekoep atau tidaknja perhatian kaoem poeteri Indonesia terhadap soal itoe rasanja tidak
perloe dikadji lagi, karena sebagai mana telah tersiar dalam soerat-soerat chabar dan
madjallah-madjallah, soeara dan seroean kaoem poeteri, dari segala podjok dan pendjoeroe,
telah gempar memenoehi soeasana Indonesia”.40
Dukungan pemerintah tersebut disambut gembira oleh kaum perempuan dengan harapan
dalam pemilihan anggota Volksraad berikutnya ada wakil perempuan yang terpilih untuk
duduk sebagai anggota Volksraad.
Pada saat pemilihan anggota Volksraad untuk periode 1939-1943, tiap-tiap golongan
dalam masyarakat berlomba untuk menunjukkan tokoh-tokoh yang mereka usung untuk
menjadi anggota dalam Volksraad. Salah satu golongan yang cukup besar pada saat itu
adalah kaum perempuan yang juga ikut mengangkat kandidat-kandidatnya 41 . Pada saat
pemilihan anggota Volksraad dilakukan, kaum perempuan sudah merasa gembira karena
mereka menganggap bahwa harapan akan adanya perempuan yang menjadi anggota
Volksraad akan segera terwujud. Akan tetapi, setelah pemilihan selesai dan anggota-anggota
Volksraad diumumkan ternyata tidak ada satu pun anggota perempuan Indonesia yang duduk
sebagai anggota.
Setelah pemilihan anggota Volksraad selesai dengan hasil yang mengecewakan bagi
kaum perempuan, maka beberapa perhimpunan perempuan mengadakan pertemuan pada
tanggal 28 Juli 1939 yang bermaksud untuk mengadakan demonstrasi atau protes terhadap
pemerintah karena tidak diangkatnya perwakilan perempuan Indonesia untuk menjadi
anggota Volksraad tahun 1939-194342. Adapun wakil-wakil perhimpunan kaum perempuan
yang mengadakan pertemuan tersebut, yaitu : Pasoendan Isteri, Isteri Indonesia, PKVI,
Perserikatan Isteri Minangkabau, dan Serikat Isteri Djakarta43.
Dukungan Perhimpunan Keoetamaan Isteri terhadap perjuangan untuk mewujudkan
adanya perwakilan kaum perempuan di dalam Volksraad di antaranya dengan memuat berita-
berita tentang tuntutan-tuntutan dan perekembangan serta memberikan semangat kepada
kaum perenpuan untuk terus memperjuangkan apa yang mereka inginkan. Seperti halnya
dalam penutup artikel yang ditulis oleh redaksi majalah Keoetamaan Isteri edisi Juli 1939
sebagai berikut :
“ Kita jakin dan pertjaja, bahwa tindakan saudara-saudara kita di Betawi itoe akan dapat
samboetan dan persetoedjoean jang sepenoehnja dari seloeroeh kaoem poeteri Indonesia jang
sadar dan insjaf akan nasibnja. Kita dari K.I menjatakan persetoendjoean dan kegembiraan
kita, dan bersedia boeat membantoe sekedar tenbaga jang ada pada kita.
Melihat gaja-gajannja, bertambah koeatlah kejakinan kita, bahwa pintoe gedoeng
Volksraad jang kokoh dan masih tertoetoep rapat bagi kita itoe, nanti akan terboeka djoega…
an kemoedian akan masoeklah wakil kita kesana, oentoek berdjoeang bersama dengan kaoem
poeteranja, membela kaoem poeteri Indonesia seloeroehnja”.44
Dari paparan-paparan diatas dapat ditarik benang merah mengenai pemikiran majalah
Keoetamaan Istri tentang kemajuan bagi perempuan. Majalah Keoetamaan Isteri berupaya
ingin menciptakan kaum ibu atau perempuan angkatan baru yang tahu akan harga dirinya
40
Keoetamaan Isteri, No.7 Juli 1939, hlm.6.
41
Keoetamaan Isteri, No. 7 Juli 1939, hlm.5.
42
Ibid, hlm.6.
43
Keoetamaan Isteri, No. 6 Juli 1939, hlm.6.
44
Ibid, hlm.6.

439
serta insaf dan sadar akan nasibnya45. Perempuan angkatan baru tersebut diharapkan dapat
mengubah keadaan yang awalnya kaum perempuan hanya bisa menyerah kepada keadaan
menjadi kaum perempuan yang bertanggungjawab. Perempuan harus menyadari bahwa
mereka akan menjadi seorang ibu yang nantinya akan menjadi tiangnya negeri, tiangnya
masyarakat, dan kebaikannya akan menjadi kebaikan masyarakat. Kaum perempuan angkatan
baru atau modern ialah perempuan-perempuan yang sanggup memenuhi kewajibannya dalam
empat pasal seperti yang dijelaskan oleh Nj. Dasoeki pada saat pidato dalam perayaan Hari
Ibu yang diadakan oleh JIBDA cabang Medan pada hari Minggu tanggal 22 Desember 1940
di gedung 2de Neutrale HIS jalan Medan adalah sebagai berikut :
Pertama, kaum perempuan yang tahu akan kewajiban terhadap dirinya sendiri. Kewajiban
terhadap dirinya tersebut di antaranya yaitu keharusan untuk terus mencari ilmu dan
mengasah otaknya dan terus melanjutkan sekolah sampai tingkat yang lebih tinggi.
Membentuk kepribadian yang baik adalah sebuah kewajiban bagi seorang ibu sejati.
Perempuan modern dituntut untuk memiliki ilmu yang bisa mengagkat derajat dan membatu
kehidupan keluarga sehingga bisa saling meringankan beban suami untuk mencarai nafkah.
Kedua, kaum perempuan yang mengetahui kewajiban terhadap rumah tangganya.
Dalam hal ini kaum perempuan modern harus mengetahui kewajibannya, yaitu dia harus
mengurus rumah tangganya, pandai menyenangkan hati suami dan anak-anak serta kerabat
dan keluarganya. Pandai menghidangkan makanan yang enak, tetapi murah, pintar membuat
pakaian yang bagus dengan biaya yang murah, dan yang terpenting adalah seorang ibu sejati
harus bisa menjaga kehormatan diri dan suaminya.
Ketiga, kewajiban terhadap anak-anaknya. Menjalankan peranan untuk memenuhi
kewajibannya terhadap diri sendiri dan rumah tangganya memang berat, tetapi yang lebih
berat lagi adalah kewajiban kaum ibu terhadap anak-anaknya. Seorang ibu harus memiliki
pengetahuan yang memadai sehingga bisa memberikan pendidikan yang mendasar kepada
anak-anaknya di rumah. Seorang ibu yang sejati adalah seorang perempuan yang memiliki
wawasan yang luas terutama mengenai pengetahuan umum. Hal tersebut penting karena
seorang ibu harus bisa mendidik anaknya supaya sang anak bisa beradaptasi dan mengikuti
perkembangan zaman yang akan datang yang akan dia jalani. Banyak orang tua yang salah
kaprah dengan mendidik anak-anaknya dengan sistem masa lalu yang pernah orang tua
tersebut lalui padahal sang anak akan hidup pada masa yang akan datang dengan kondisi dan
tantangan yang berbeda. Oleh karena itu, seorang ibu yang cerdas akan dengan mudah
melihat masa depan dan mempersiapkan anaknya untuk bisa menghadapi tantangan pada
masa yang akan datang.
Keempat, kewajiban terhadap masyarakat. Kewajiban yang paling berat yang tampak di
zaman modern bagi kaum perempuan adalah kewajiban kepada masyarakat, tanah air, dan
bangsanya. zaman modern menuntut kaum perempuan untuk bisa menguasai berbagai ilmu
pengetahuan sosial, ekonomi dan politik. Hal itu disebabkan oleh bidang tersebut
membutuhkan dan menunggu tenaga perempuan untuk aktif dan terlibat di dalamnya.
Dengan berdirinya berbagai perhimpunan yang bergerak dalam bidang sosial ataupun
ekonomi berarti memerlukan tenaga-tenaga perempuan untuk menggerakan dan
mengendalikan laju perhimpunan perempuan tersebut sehingga bisa dengan mudah untuk
mewujudkan tujuannya.

45
Nj. Dasoeki, “Kewadjiban Kaoem Iboe”, Keoetamaan Isteri, No. 1 Januari, hlm.10.

440
Lampiran 1: Contoh Rubrik Perhimpunan-Perhimpunan

441
Lampiran 2: Ma’loemat Bestuur

442
Lampiran 3: Foto Pendiri Perhimpunan Keoetamaan Isteri

443
Lampiran 4: perayaam 10 tahum Perhimpunan Keoetamaan Isteri

Lampiran 5: Foto Pengurus Perhimpunan Keoetamaan Isteri cabang Panei

444
Lampiran 6: Foto Pengurus Perhimpunan Keoetamaan Isteri cabang Pangkalan Bradan

Lampiran 7: Foto Pengurus Perhimpunan Keoetamaan Isteri cabang Pematang Siantar

445
446
Peran Perempuan dalam Revitalisasi PKK untuk Kesejahteraan Masyarakat di Kota
Medan
Rita Margaretha Setianingsih
Sastra Arab Universitas Sumatera Utara

Abstrak
Sejak dahulu perempuan Indonesia memiliki berbagai peran di dalam kehidupan. Dalam
lingkungan keluarga, perempuan menjadi tulang punggung bagi terciptanya generasi baru.
Sejak dahulu pula perempuan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pemenuhan
kebutuhan nutrisi keluarganya. Dalam lingkup yang lebih luas, perempuan kerap disebut
dalam sumber-sumber lama sebagai tokoh-tokoh yang menjalankan pemerintahan maupun
perekonomian. Pada era tersebut banyak dijumpai perempuan yang berkiprah dalam meraih
dan mempertahankan kemerdekaan. Saat ini perjuangan yang juga harus diemban oleh
perempuan adalah mengupayakan terciptanya kehidupan berbangsa sebagaimana dicita-
citakan saat proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. Perjalanan sejarah
belakangan ini memiliki fenomena terjadinya penurunan kualitas moral yang mengancam
kehidupan bernegara dan kehidupan kemanusiaan. Salah satu bentuk menghindari keruntuhan
Negara Indonesia dan kemanusiaan, sebagaimana yang dicanangkan pemerinah pada tahun
2010 adalah pemberlakukan pendidikan karakter bangsa melalui Pembinaan Kesejaheraan
Keluarga yang umumnya disebut dengan PKK. Melalui revitalisasi PKK inilah diharapkan
pemberdayaan perempuan dan terlaksana serta turut berpartisipasi dalam pembangunan
masyarakat di dalam karakter berbangsa di Indonesia. Penelitian yang dilakukan pada
lembaga PKK yang dapat diterapkan di Indonesia. Adapun yang menjadi sasaran lokasi
penelitian adalah masyarakat di Indonesia pada umumnya, khususnya Sumatera Utara yang
terdiri dari berbagai kabupaten dan utamanya masyarakat Kota Medan yang menjalankan 10
program pokok PKK.

Kata Kunci: Perempuan, PKK, dan Revitalisasi

Abstract

Indonesian women have many roles in their every day’s life. In their family, women are
special human which have to born a new generation. Since along ago, women were a part of
family which cannot separate from nutrition’s needed. Women also manage and to take care
the economy in their family. In the Indonesian fight era, women progress in liberation and
defend Indonesia. They must be strove for the attainment of life, to fight the hunger, to fight
the poverty, to attainment of peace. In their social every day’s life, women must be have
social interaction and community. In Indonesia have organization called Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga or PKK. This PKK organization built in Bogor since 1957 through
Home Economic Seminar. The PKK organization has 10 (ten) programs how to manage their
family. The ten programs are (1) to full Pancasila experience and implementing of Pancasila;
(2) mutual co-operation; (3) food; (4) clothing; (5) housing and household managing; (6)
education and skill; (7) health; (8) develop exercise economic enterprise: (9) preservation
environments; and (10) healthy planning. This research use observation, focus group

447
discussion and questioners as methodology research. The aims of this paper are to result the
social innovation and culture which could be use for the community through PKK
organization. Also to know the nation education characters policy to fulfillment the
prosperity of the community.

Keywords: education, nation’s characters, family prosperity

PENDAHULUAN
Sejak dahulu perempuan Indonesia memiliki berbagai peran di dalam kehidupan. Dalam
lingkungan keluarga, perempuan menjadi tulang punggung bagi terciptanya generasi baru.
Sejak dahulu pula perempuan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pemenuhan
kebutuhan nutrisi keluarganya.
Dalam lingkup yang lebih luas, perempuan kerap disebut dalam sumber-sumber lama sebagai
tokoh-tokoh yang menjalankan pemerintahan maupun perekonomian. Pada era tersebut
banyak dijumpai perempuan yang berkiprah dalam meraih dan mempertahankan
kemerdekaan. Saat ini perjuangan yang juga harus diemban oleh perempuan adalah
mengupayakan terciptanya kehidupan berbangsa sebagaimana dicita-citakan saat proklamasi
kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. Perjalanan sejarah belakangan ini memiliki
fenomena terjadinya penurunan kualitas moral yang mengancam kehidupan bernegara dan
kehidupan kemanusiaan.
Salah satu bentuk menghindari keruntuhan Negara Indonesia dan kemanusiaan, sebagaimana
yang dicanangkan pemerinah pada tahun 2010 adalah pemberlakukan pendidikan karakter
bangsa melalui Pembinaan Kesejaheraan Keluarga yang umumnya disebut dengan PKK.
Melalui revitalisasi PKK inilah diharapkan pemberdayaan perempuan dapa terlaksana untuk
turut berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat di dalam karakter berbangsa di
Indonesia.
Penelitian dilakukan pada lembaga PKK yang dapat diterapkan di Indonesia. Oleh karena itu
adapun yang menjadi sasaran lokasi penelitian adalah masyarakat di Indonesia pada
umumnya, khususnya Sumatera Utara yang terdiri dari berbagai kabupaten dan utamanya
masyarakat Kota Medan yang menjalankan 10 program pokok PKK. Manusia sebagai
makhluk budaya berkewajiban mempertahankan kualitas lingkungan hidup yang terasa
semakin menurun dan mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup
lainnya. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan
konsisten oleh semua pihak harus dilakukan, terlebih menghadapi pemanasan global yang
mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperbesar derajat penurunan kualitas
lingkungan hidup.
Masih dalam konteks judul makalah, kata membangun usaha dapat berarti (1) kegiatan
dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai suatu maksud, pekerjaan
(perbuatan, ikhtiar, daya upaya) untuk mencapai sesuatu; dan (2) kegiatan di bidang
perdagangan (dengan maksud mencari untung). Adapun dalam ikhwal pengelolaan
lingkungan hidup, diharapkan agar setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
berkewajiban (a) memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka dan tepat waktu; (b) menjaga keberlanjutan
fungsi lingkungan hidup; dan (c) menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup
dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

448
Untuk memenuhi semua itu, manusia yang (dalam keseharian ternyata cenderung meminta
dianggap/disebut secara eksplisit) berbudaya haruslah mengedepankan kearifan lokal,
khususnya tentang alam lingkungan. Itu berkenaan dengan nilai-nilai luhur yang berlaku
dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan
hidup secara lestari.
Adapun tujuan penulisan ini adalah menghasilkan inovasi iptek-sosial dan budaya yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat khususnya para perempuan lewat organisasi PKK;
Mengembangkan inovasi iptek-sosial dan budaya yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
lewat organisasi PKK; dan melihat adanya kebijakan khusus bagi perempuan dalam
pendidikan karakter bangsa untuk mewujudkan revialisasi lembaga PKK bagi pemenuhan
kesejahteraan masyarakat.
PEMBINAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA
PKK atau Pembinaan Kesejahteraan Keluarga adalah organisasi kemasyarakatan yang
memberdayakan perempuan untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan Indonesia
melalui 10 program pokoknya. PKK sebagai gerakan pembangunan masyarakat bermula dari
Seminar Home Economic di Bogor tahun 1957. Sebagai tindak lanjut dari adalah adanya
penyusunan 10 segi kehidupan keluarga. Gerakan ini dimulai pada tahun 1967 setelah ibu
Isriai Moenadi melihat masyarakat yang menderita busung lapar.
Untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga melalui 10 segi pokok keluarga membentuk tim
Penggerak PKK di semua tingkatan, yang keanggotaannya secara relawan dan terdiri dari
tokoh atau pemuka masyarakat, para isteri kepala dinas dan isteri kepala daerah sampai
dengan tingkat desa dan kelurahan yang kegiatannya didukung dengan anggaran pendapatan
dan belanja daerah.
Pada tanggal 27 Desember 1972 Menteri Dalam Negeri megeluarkan surat nomor Sus/6/12
kepada seluruh Gubernur di Jawa Tengah dengan tembusan ke Gubernur di seluruh
Indonesia, agar merubah nama Pendidikan Kesejahteraan Keluarga menjadi Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga. Sejak itu nama organisasi ini menjadi Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga (PKK), dan pada tanggal 27 Desember ditetapkan sebagai hari kesatuan gerak PKK
yang diperingati setiap tahun.
Dalam era reformasi dan ditetapkan TAP MPR nomor IV/MPR/1999 Tentang GBHN 1999-
2004 serta pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999
dan undang-undang nomor 25 tahun 1999. Kemudian dilakukan penyesuaian yang disepakati
dan seluruhnya dijabarkan dalam pedoman umum gerakan Perberdayaan dan Kesejahteraan
Keluarga (PKK).
Adapun visi gerakan PKK adalah terwujudnya keluarga yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia dan berbudi luhur, sehat sejahtera, maju-mandiri,
kesetaraan dan keadilan gender serta kesadaran hukum dan lingkungan. Sedangkan misinya
adalah :
1. Meningkatkan mental spiritual, perilaku hidup dengan jalan menghayati dan
mengamalkan Pancasila serta meningkatkan pelaksanaan hak dan kewajiban
sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi;
2. Meningkatkan kesetiakawanan sosial dan kegotongroyongan serta pembentukan
watak bangsa yang mantap dan seimbang;
3. Meningkatkan pendidikan dan ketrampilan yang diperlukan dalam upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa serta meningkatkan pendapatan keluarga;

449
4. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pangan keluarga, serta upaya peningkatan
pemanfaatan pekarangan melalui halaman asri teratur indah dan nyaman
(HATINYA) PKK, Sandang, dan Penataan Perumahan Sehat;
5. Meningkatkan derajad kesehatan fisik dan mental, kelestarian lingkungan hidup
serta membiasakan hidup berencana untuk kehidupannya dan perencanaan
ekonomi keluarga serta membiasakan menabung; dan
6. Meningkatkan pengelolaan Gerakan PKK baik kegiatan, pengorganisasian
maupun pelaksanaan Program yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi
masyarakat setempat serta ketentuan yang berlaku.

Adapun 10 Program Pokok PKK adalah yang dikeluarkan pada tahun 1999 adalah (1)
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila; (2) Gotong Royong; (3) Pangan; (4) Sandang; (5)
Perumahan dan Tatalaksana Rumah Tangga; (6) Pendidikan dan Ketrampilan; (7) Kesehatan;
(8) Pengembangan Kehidupan Berkoperasi; (9) Kelestarian Lingkungan Hidup; dan
Perencanaan sehat.
Program produk tahun 1999 ini sudah tidak layak lagi diterapkan untuk zaman millenium
dan diharuskan ada perubahan dan ditinjau ulang. Untuk perubahan yang diharapkan ada
unsur ilmu dan aplikasi pendidikan di dalamnya. Selain itu juga perlu ditambahkan adanya
unsur budaya lokal (local genius) dari masing-masing daerah di Indonesia. Misalnya untuk
Program Perencanaan Sehat diperlukan adanya Pos Pelayanan Keluarga Berencana –
Kesehatan terpadu (Posyandu) yang merupakan kegiatan dasar yang diselenggarakan dari,
oleh, dan untuk masayarakat yang dibantu otleh petugas kesehatan.
Sayang sekali posyandu yang menjadi kampanye untuk memperkenalkannya di masyarakat
sudah mulai berkurang. Sebagai akibatnya tingkat angka kelahiran bayi pada abad Millenium
di Indonesia dirasakan makin meningkat. Oleh sebab itu diperlukan adanya revitalisasi dalam
pemenuhan lembaga guna mendukung program pemerintah untuk kesejahteraan masyarakat.
Permasalahan hubungan insan sebagai ketrampilan komunikasi sosial di dalam kehidupan
sosial psikologis merupakan bidang penting PKK. Kepiawaian ini penting untuk mencapai
kesejahteraan keluarga. Ketrampilan rumah tangga sebagai ketrampilan fisik menjadi
instrumen atau alat untuk memperlancar hubungan antara insan dan kehidupan sosial
psikologis dalam mencapai kesejahteraan keluarga dan kebahagiaan keluarga.
Untuk meningkatkan ekonomi keluarga, perempuan lewat PKK dapat dikenal dengan
pengembangan berkehidupan berkeluarga. Potensi ekonomi tersebar habis di seluruh pelosok
tanah air dan dapat makin berkembang jika dikelola dengan benar lewat dengan
memberdayakan perempuan lewat PKK, sehingga kesejahteraan masyarakat dapat
meningkat. Revitalisasi peran koperasi lewat PKK dapat menjawab tantangan perubahan
kenistayaan yang harus senantiasa dilakukan.
Pendidikan Kesejahteraan Keluarga dikembangkan dalam dunia pendidikan Indonesia
berdasarkan pemikiran sebagai berikut (1) Kesejahteraan masyarakat atau Negara ditentukan
oleh kesejahteraan keluarga, karena keluarga manjadi bagian dari masyarakat itu; (2)
Kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga ditentukan oleh kesejahteraan dan kebahagiaan
individu sebagai anggota keluarga; dan (3) Kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tidak
otomatis dapat tercapai oleh setiap anggota keluarga.
PKK adalah bidang pengetahuan dan pelajaran dalam usaha memperkuat dan meningkatkan
kehidupan keluarga melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut (1) Mendidik individu tentang
kehidupan keluarga; (2) Mendidik individu untuk mampu memperbaiki dan meningkatkan

450
pelayanan dan barang-barang yang digunakan oleh keluarga mereka (3) Mendidik individu
untuk mampu melakukan penelitian untuk mengetahui perubahan-perubahan kebutuhan
individu, keluarga, masyarakat uang sekaligus meneliti berbagai benda, alat untuk memenuhi
dan memuaskan kebutuhan itu; dan (4) Meningatkan kondisi masyarakat, Negara dan dunia
untuk kehidupan keluarga yang sejahtera (Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan : 2007 : 212).
Jadi PKK diharapkan untuk meningkatkan kehidupan keluarga dengan mendidik individu,
memperbaiki kualitas pelayanan sosial melalui komunikasi sosial dengan saling menghormati
dan menguntungkan. Di samping itu PKK memperhatikan barang-barang kebutuhan keluarga
berupa kebutuhan makanan, pakaian, perumahan dengan segala fasilitas dan
perlengkapannya.

PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA


Masyarakat Tapanuli Selatan mengenal adanya Poda Na Lima Ada kearifan tradisional yang
turun temurun ditanamkan kepada kaum perempuan untuk dapat menerapkan 10 program
PKK, yang disebut dengan Poda Na Lima berarti lima nasehat yang berhubungan dengan
adat. Ke-limanya adalah (1) paias rohamu, bersihkanlah hatimu; (2) paias pamatangmu,
bersihkanlah badanmu; (3) paias parabitonmu, bersihkanlah pakaianmu; (4) paias bagasmu,
bersihkanlah rumahmu; (5) paias pakaranganmu, bersihkanlah lingkungan/perkaranganmu.
Paias rohamu, yang menghendaki agar hati tetap bersih, dalam hal ini ada rasa iri dan
dengki; paias pamatangmua, mengharapkan manusia bersih tubuhnya dan jika tubuh kita
sehat maka rohani kita pun akan sehat pula (sehat jasmani dan rohani); paias parabitonmu,
manusia harus bersih pakaiannya sehingga tampak keindahan dan kesehatannya. Paias
bagasmu dan paias pekaranganmu merupakan sebuah simbol yang memberikan makna
bahwa manusia diharapkan untuk selalu menjaga lingkungan dimana mereka tinggal.
Kebersihan lingkungan mutlak dilakukan, tidak hanya bagi lingkungan tempat tinggal tetapi
juga bersih lingkungan di sekitarnya (Harahap, 2005).
Dalam hal ini juga akan timbul nilai-nilai kelompok yang dapat diterapkan pada masyarakat
yaitu (1) menghargai orang lain; (2) silih asih, asah, dan asuh; (3) kerja sama/gotong royong;
(4) kerja kelompok/team working; (5) musyawarah; (6) kreatif; (7) responsif/tidak reaktif; (8)
menerima pendapat lain; (9) berpikir tenang/dengan hati; (10) disiplin; (11) jujur; (12) bicara
dengan fakta dan data; (13) aktif partisipasi; dan yang lain.
Selain itu di dalam kehidupan sehari-hari ada beberapa hal yang perlu pula diterapkan adalah
needs for realization (kebutuhan untuk santai); needs for belonginess (kebutuhan untuk rasa
memiliki); needs for feeling secure (kebutuhan untuk merasa aman); needs for responsibility
(kebutuhan untuk rasa bertanggungjawab); needs for adventure (kebutuhan untuk
bertualang); dan needs for be loving (kebutuhan untuk dicintai). Ternyata beberapa
kebutuhan ini dirasakan perlu mendapatkan perhatian khusus pada masa-masa atau pada abad
mellinium ini. Itu semua merupakan tuangan dari individual needs atau kebutuhan pribadi
yang dapat diterapkan oleh kaum ibu dalam menjawab tantangan kehidupan di dalam era
globalisasi.
Ada beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dan diperbaharui dalam 10 program PKK
adalah (1) Perawatan dan bimbingan anak (care for younger children); (2) Perawatan dan
bimbingan remaja (care for adolesence); (2) Perawatan orang sakit di rumah (care for
patient); (3) Tata ruang dan pertamanan (home decoration dan gardening); (4) Memilih,
mengolah dan menyiapkan berbagai jenis makanan; (5) Memilih, membuat dan memelihara
pakaian untuk berbagai kesempatan; (6) Penampilan diri dan cara mempercantik diri
(personal appearance and self grooming); (7) Pengetahuan barang untuk keperluan

451
kehidupan keluarga dan kehidupan di lingkungan lainnya; dan (8) Kerajinan tangan
/handicraft dan pekerjaan seni di dalam kehidupan keluarga.
Begitu dengan keinginan agar 10 program PKK yang harus direvitalisasi yaitu:
1. Hubungan inter dan antar keluarga, misalnya hubungan keluarga yang satu dengan
yang lain (criteria of marital succes); hubungan dengan tetangga; hubungan dengan
masyarakat atau dengan keluarga lain (in law);
2. Bimbingan anak, diharapkan ada tanggungjawab; pertumbuhan; perkembangan;
perawatan dan pendidikan anak;
3. Makanan, diajarkan tentang menu menuju sehat; menghidangkan dan table manner
4. Pakaian, memenuhi syarat peradaban dan kesusilaan dan mengutamakan penampilan
5. Perumahan, penataan air, kebersihan rumah; pembuangan sampah
6. Kesehatan, dipentingkan bagi pribadi; anak; orangtua dan ada P3K
7. Keuangan, diharapkan dapat memandang dan memberlakukan uang dan tahu jenis
tabungan keluarga;
8. Tatalaksana Rumah tangga, merencanakan kegiatan keluarga secara sederhana,
lengkap, luwes dan praktis;
9. Keamanan lahir dan batin, mempunyai pengetahuan, sikap, kecakapan, ketrampilan
untuk mewujudkan keluarga sejahtera
10. Perencanaan sehat, diutamakan mempunyai program family planning.

HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan penyebaran kuesioner dan dapat memperlihatkan bahwa :
1. Alamat responden sekarang berada di Kecamatan Sunggal, Kecamatan Percut Sei
Tuan dan Desa Tanjung Anom
2. Alamat responden berasal dari Kecamatan Sunggal, di Medan
3. Sudah tinggal di Kota Medan selama lebih dari satu tahun
4. Pendidikan responden rata-rata adalah Sarjana Strata Satu
5. Rata-rata pekerjaan utama responden adalah pegawai negeri
6. Mengetahui bahwa di daerah mereka tinggal ada PKK
7. Adanya PKK membantu kehidupan kaum perempuan
8. Persepsi tentang pengelolaan PKK dalam perkembangan dewasa ini cenderung
tidak berubah
9. Ada perkembangan dalam pengelolaan PKK sebanyak 15 ibu
10. Ada peran pemerintah setempat tentang PKK sebanyak 15 ibu
11. Ada 18 ibu menjawab bahwa lingkungan rumah tinggal mereka bersih
12. Ada 18 ibu menjawab bahwa mereka memperoleh tas belanja dari plastik
13. Ada 14 ibu menjawab bahwa ada dan Posyandu di tempat responden tinggal
14. Ada 14 ibu menjawab ada pertemuan PKK di tempat mereka tinggal

452
15. Ada 14 ibu menjawab ada kegiatan lansia di tempat responden tinggal
16. Ada 17 ibu menjawab perlu program PKK direvitalisasi
17. Semua ibu (20) orang menjawab bahwa PKK memberikan dampak positip bagi
mereka
18. Ada 15 ibu yang aktif dalam kegiatan PKK
19. Semua Ibu setuju perempuan berkiprah dalam mempertahankan Kemerdekaan
20. Ada 16 ibu menjawab bahwa ada penimbangan anak di Posyandu
21. Semua ibu menjawab bahwa Posyandu memberikan makanan sehat
22. Semua ibu menjawab bahwa Posyandu memberikan obat-obatan bagi anak-anak
balita (bawah lima tahun)
23. Ada 18 ibu menjawab bahwa ibu-ibu PKK dilibatkan dalam pelestarian
berwawasan lingkungan
24. Ada 17 orang ibu yang menjawab bahwa ibu-ibu atau PKK tidak memanfaatkan
limbah dengan 3 R (recycle, reuse, and reduce).
25. Ada 17 ibu yang menjawab bahwa ada peran serta pemerintah dalam upaya
meningkatkan Kota Medan berwawasan lingkungan.

Secara keseluruhan dari hasil penelitian memperlihatkan bahwa kaum ibu dapat pula melalui
PKK dapat memanfaatkan berbagai macam kegiatan yang ada di dekat lingkungannya,
misalnya di bantaran sungai untuk menanam tanaman produktif. Lahan berupa bantaran
sungai yang terdapat di depan atau belakang rumah dapat ditanami beberapa jenis tanaman
produktif. Sayur-sayuran adalah yang terutama. Tentunya harus dimintakan izin dahulu
kepada pihak yang berkompeten. Apa yang telah dilakukan oleh Kelompok Tani Lingkungan
Hidup Sangga Buana, di Jakarta, dengan memanfaatkan lahan dimaksud bukan sekedar upaya
mendapatkan keuntungan semata tetapi lebih besar dari hal itu semua adalah upaya
mengatur diri mereka sendiri dan secara sukarela berusaha untuk mensejahterakan kehidupan
dengan menciptakan lingkungan yang sehat. Hal ini ini menumbuhkan kesadaran masyarakat
bahwa mereka harus paham akan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
sanggup menjalankan kewajiban dan tanggung jawab untuk tercapainya kualitas lingkungan
hidup. Masyarakat harus berdaya, mandiri dan aktif dalam memenuhi kebutuhan yang lebih
baik dan sehat secara terus menerus. Di sini terlihat bahwa akhirnya budaya ”cinta
lingkungan” terwujud di Kelompok Tani Lingkungan Hidup Sangga Buana dan tentunya
diharapkan manajemen mengatur diri sendiri dapat tumbuh di setiap sanubari warga Lebak
Bulus, tempat dimana kelompok itu terdapat, khususnya bangsa Indonesia.
Kaum ibu juga dapat berusaha melakukan usaha daur ulang atau recycle sampah organik.
Sampah organik yang cepat busuk seperti makanan bekas, minuman bekas, yang
menghasilkan bau yang dapat diolah menghasilkan gas untuk bahan bakar atau ditimbun
untuk menjadi pupuk organik. Atau usaha daur ulang sampah anorganik plastik dan sampah
anorganik logam. Gelas plastik, botol plastik atau kaca, kaleng alumnium semuanya dapat
didaur ulang itu dikumpulkan di suatu tempat, dan digolongkan sesuai dengan jenisnya.
Misalnya botol plastik dengan semua bahan dari bahan plastik dan yang dari kaca
dikumpulkan dengan bahan yang terbuat dari kaca. Setelah dikumpulkan dan setelah cukup
yang terkumpul dapat dijual, ada unsur pengelolaan yang re-cycle (proses daur ulang).

453
Program Apotik Hidup, adalah sebuah kegiatan menanam bermacam-macam tanaman obat-
obat yang dapat ditanam di halaman atau pekarangan sendiri, baik dilakukan secara sendiri
maupun secara bergotong royong. Umumnya di pedesaan pekerjaan untuk tanaman obat-
obatan ini dilakukan oleh kaum perempuan yang terkumpul dalam suatu wadah organisasi,
misalnya Kelompok Tani Wanita, Dasa Wisma, atau PKK Kring. Tanaman obat-obatan ini
hasilnya dapat dijual ke pasar dan bisa juga menambah penghijauan lingkungan untuk paru-
paru dunia.
Di beberapa daerah di Jawa kaum PKK membuat suatu kegiatan yang biasanya disebut
dengan mengelola beras ”jimpitan” atau beras segenggam yang dikumpulkan dari rumah ke
rumah. Pengumpulan beras tersebut dilakukan saat kaum bapak-bapak melakukan ronda
malam, mereka mengambil beras yang diletakkan di depan rumah dengan menggunakan
tempat tertentu. Beras tersebut tiap malam dikumpulkan kemudian setelah dirasakan cukup
banyak, beras tersebut dijual kepada mereka-mereka yang menghendaki dengan harga murah.
Beras tersebut hanya diperuntukkan bagi mereka yang dianggap tidak mampu dan tidak
mempunyai penghasilan tetap. Uang hasil penjualan kemudian digunakan untuk mendukung
kegiatan PKK lainnya. Terkadang beras tersebut juga dapat dimasak untuk membantu desa
atau kampung saat melakukan kerja bakti.
Begitu juga dengan belum adanya kebijakan larangan penggunaan styrofoam sebagai
pembungkus makanan oleh pemerintah pusat, dan larangan hanya sekedar menjadi inisiatif
pemerintah daerah. Saat ini baru Pemerintah Kota Bandung yang menerapkan kebijakan dan
menerapkan sanksi berupa pencabutan izin usaha. Seperti diketahui bahwa styrofoam
mengandung polystyrene yang merupakan polimer aromatik yang dapat mengeluarkan bahan
styrene ke dalam makanan ketika makanan tersebut bersentuhan. Bahan ini harus dihindari,
berbahaya untuk kesehatan otak, mengganggu hormon estrogen berakibat pada masalah
reproduksi, dan sistem syaraf. Bahan ini sulit didaur ulang, karena saat dibakar akan
mengeluarkan api berwarna kuning jingga dan meninggalkan jelaga. Biasanya ditulis dengan
bentuk segitiga yang di dalamnya ada angka 6.

KESIMPULAN
Dalam kehidupan masa sekarang di zaman millenium ini seorang ibu atau seorang
perempuan melalui program PKK hendaknya dapat membantu individu dan keluarga sebagai
bagian dari masyarakat, negara, bangsa dunia dan manusia, supaya individu dapat
melaksanakan peranannya dengan baik dan berhasil, sehingga kehidupan individu dan
keluarga menjadi efektif dan memuaskan dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya dalam
lingkup yang sempit maupun yang luas. Juga diharapkan membuat individu, keluarga dan
masyarakat dalam membantu Negara, dunia dan umat manusia untuk dapat mencapai
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat, sehingga tercapai kehidupan yang
aman damai diwarnai oleh kejujuran dan keadilan.
Pemanfaatan lingkungan hidup yang baik dan benar dapat dirasakan bukan saja oleh
pengusaha suatu bidang usaha. Partisipasi ibu- ibu PKK dalam penciptaan lingkungan yang
hijau, dalam jangka panjang akan menciptakan lingkungan yang sehat dan tentunya
diharapkan manusia yang sehat pula. Bagi komunitas PKK tertentu dimana masyarakat
berperan dalam menciptakan lingkungan yang sehat, jelas mendukung produktivitas kerja dan
kenyamanan hidup bagi lingkungan sekitarnya.
Kembali ke kelompok PKK, harus diingat bahwa PKK tidak hanya menjadi tempat
berkumpulnya masyarakat, tetapi PKK harus mempunyai peran dan pengaruh besar untuk
meningkatkan ekonomi masyarakat. Masyarakat, khusus PKK di Kota Medan merupakan

454
potensi yang bisa diberdayakan untuk melakukan aktivitas ekonomi, tentunya juga tak lupa
untuk tetap mengacu kepada hal yang ramah lingkungan. Semua usaha manusia ini sejalan
dan sesuai dengan amanat Allah kepada umat Nya yaitu untuk memelihara bumi.
PKK haruslah menjadi pelopor kegiatan cinta lingkungan, dan ada upaya untuk mendorong
dan menggerakkan kaum agar berperan serta dalam kegiatan mencegah pencemaran dan
memulihkan lingkungan yang sudah mulai rusak. Misalnya dengan gerakan daur ulang
sampah, gerakan penghematan energi, dan yang lainnya lagi. Semua bertujuan menciptakan
kesadaran masyarakat tentang pentingnya keharmonisan manusia dan lingkungan. Manusia
sebagai makhluk budaya berkewajiban mempertahankan kualitas lingkungan hidup yang
terasa semakin menurun dan mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk
hidup lainnya. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan
konsisten oleh semua pihak harus dilakukan, terlebih menghadapi pemanasan global yang
mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperbesar derajat penurunan kualitas
lingkungan hidup.
Penelitian ini mengupayakan membuat suatu kajian yang nantinya dapat digunakan untuk
memperbaiki kebijakan pemerintah berhubungan dengan keberadaan PKK di beberapa desa
di Indonesia. Ada 10 program PKK yang harus direvitalisasi, yaitu hubungan inter dan antar
keluarga, misalnya hubungan keluarga yang satu dengan yang lain (criteria of marital
succes); hubungan dengan tetangga; hubungan dengan masyarakat atau dengan keluarga lain
(in law); kemudian bimbingan kepada anak, diharapkan ada rasa tanggungjawab; ada
pertumbuhan; ada perkembangan; ada perawatan dan ada pendidikan kepada anak. Begitu
pula dengan makanan, diajarkan tentang menu sehat; menghidangkan dan table manner.
Tak luput adalah pakaian yang keseharian atau pada saat-saat tertentu digunakan, memenuhi
syarat peradaban dan kesusilaan dan mengutamakan penampilan. Perumahan pun perlu
diperhatikan terutama dalam penataan air, kebersihan rumah; pembuangan sampah. Seorang
ibu atau perempuan melalui program PKK juga perlu memperhatikan kesehatan,
dipentingkan bagi pribadi; anak; orangtua dan ada P3K.
Ada pula yang perlu diperhatikan adalah keuangan, diharapkan dapat memandang dan
memberlakukan uang dan tahu jenis tabungan keluarga; tatalaksana Rumah tangga,
merencanakan kegiatan keluarga secara sederhana, lengkap, luwes dan praktis; keamanan
lahir dan batin, mempunyai pengetahuan, sikap, kecakapan, ketrampilan untuk mewujudkan
keluarga sejahtera; dan juga perencanaan sehat, diutamakan mempunyai program family
planning.
Adapun strategi pemberdayaan diharapkan dapat mewujudkan pembangunan yang bersifat
mandiri dengan mencoba memanfaatkan berbagai sumber tempatan secara maksimal. Upaya
pengentasan kemiskinan dapat diberlakukan dalam berbagai bentuk. Pemberian motivasi bagi
penciptaan berbagai bentukan lapangan usahapun menjadi bagian dalam upaya mewujudkan
pembangunan yang bersifat mandiri. Adalah juga kewajiban kita semua, tidak hanya
bergantung pada pemerintah dalam beberapa kesempatan juga tampak kesulitan, untuk
menciptakan masyarakat sejahtera. Itu dimulai dari lingkungan kecil, diri sendiri, keluarga,
atau kelompok dalam lingkungan terbatas. Lingkungan kita sendiri.
Pemanfaatan lingkungan hidup yang baik dan benar dirasakan bukan saja oleh pengusaha
suatu bidang usaha dalam penciptaan lingkungan yang hijau, dalam jangka panjang akan
menciptakan lingkungan yang sehat yang tentunya diharapkan manusia yang sehat pula. Bagi
komunitas PKK dimana berperan dalam menciptakan lingkungan yang sehat, jelas akan
mendukung produktivitas dan kenyamanan hidup bagi lingkungan sekitarnya. Semoga
HATINYA PKK dapat diterapkan dan berkelanjutan.

455
DAFTAR PUSTAKA

Bangun, Payung, 1999, Kebudayaan Batak dalam Koentjaraningrat (ed). Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan, hal. 94 – 117.
Borrong, Robert. P. 2000. Etika Bumi Baru. Akses Etika Dalam Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Jakarta : BPK. Gunung Mulia.
Harahap, 2006. Poda Na Lima. Jakarta
Harahap, Fitriaty. 2010. Wanita Pemetik Teh di Sidamanik. USU
Hardjasoemantri, Koesnadi. 1997. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press
Keraf, A. Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta : Buku Kompas
Lestari, Ivana. 2009. Untung Berlipat Modal Satu Juta. Yogyakarta : Indonesia Cerdas
Lusiana Indriasari. 2002. Chaerudin, Pelindung Bantaran Sungai Pesanggrahan, dalam
Kompas, 23 April 2002.
Setianingsih, Rita Margaretha., 2011. Poda Na Lima dan Asta Brata sebagai Karakter Raja,
Edisi Khusus. Medan : Balai Arkeologi Medan
-------------------2012. Komitmen Membangun Usaha Yang Ramah Lingkungan. Dalam
Seminar Konggres Kaum Wanita Kristiani.
Soemarwoto, Otto. 2001. Atur Diri Sendiri, Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Yogya : Gadjah Mada University Press
Pelita Hati, Lila. 2012. Peningkatan Pendapatan Keluarga Nelayan Di Desa Percut
Kecamatan Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Melalui Pelatihan Merangkai Bunga Kristal
Bagi Istri Nelayan, USU.
Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan FIP-USU. 2007. Ilmu dan Aplikasi. Jakarta : Grasindo
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup

456
“Tagok” Sebuah Pekerjaan Sekaligus Wujud Gotong Royong Nelayan Pantai Pedalen
Kabupaten Kebumen
Romadi
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial UNNES
Email: romadi_unnes@yahoo.com

Abstrak
Hidup dengan mata pencaharian nelayan tidaklah mudah. Resiko pekerjaan sangat tinggi, dan
sering berakibat kematian. Oleh karenanya, kegotong royongan nelayan dalam menghadapi
bahaya di laut sudah terpupuk lama. Salah satu bentuk hidup gotong royong itu adalah tagok,
yang dilakukan nelayan Pantai Pedalen Kebumen. Pantai itu merupakan salah satu pantai di
Kabupaten Kebumen, yang menjadi pusat kegiatan nelayan. Kebumen merupakan salah satu
kabupaten di Jawa Tengah yang berada di pantai selatan, berbatasan langsung dengan
Samudera Indonesia. Pantai Pedalen terletak di Grumbul Pedalen yang berada di Desa
Argopeni Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen. Jarak pantai Pedalen dari pusat kota
Kebumen sekitar 50 km ke arah barat daya. Sementara itu, pusat kota Kebumen terletak
sekitar 200 km dari Semarang, sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah. Di Pantai Pedalen
itulah pusat aktivitas nelayan, salah satunya tagok. Untuk mengetahui kehidupan nelayan di
Pantai Pedalen, terutama tagok, dilakukanlah sebuah penelitian. Informasi dikumpulkan
melalui studi pustaka, wawancara dan observasi. Dari informasi yang terkumpul, kemudian
disusunlah sebuah tulisan ini. Secara umum, diketahui bahwa sejak 20 tahun terakhir,
aktivitas nelayan di Pantai Pedalen begitu meningkat, baik dari segi jumlah nelayan maupun
perahu. Nelayan mengorganisir diri dengan membentuk sebuah koperasi yang diberi nama
Mina Pawurni. Dalam melakaukan aktivitas sehari-hari, nelayan Pantai Pedalen mengalami
hambatan lingkunan, sebab pantai selatan Jawa terkenal dengan hempasan gelombangnya
yang tinggi. Terlebih lagi, Pantai Pedalen berupa ceruk sempit di antara bukit karang, yang
menyembul batu batu karang dari dalam air. Kondisi itu sangat menyulitkan nelayan, ketika
berangkat maupun pulang melaut. Sedikit salah perhitungan, perahu akan hancur membentur
batu karang. Oleh karena itu, nelayan setempat berangkat dan pulang melaut memerlukan
tagok, yang bertugas memikul perahu secara beramai-ramai untuk menghindarkan perahu
dari benturan batu karang. Upah dari pekerjaan itu berupa ikan laut hasil tangkapan, sesuai
keikhlasan nelayan yang dibantunya.

Kata kunci : Tagok, gotong royong, nelayan

PENDAHULUAN
Kebumen merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang terletak di pesisir selatan,
sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Banyumas dan Cilacap, sebelah utara berbatasan
dengan Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara dan Purbalingga, sedangkan sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Purworejo. Sementara itu batas selatan adalah Samudera
Hindia (BPS, 2004:5).
Secara geografis, daerah Kebumen dapat dibedakan menjadi tiga kawasan yaitu kawasan
pegunungan di utara, pantai di selatan, dan daerah tengah. Wilayah yang terletak di pantai
meliputi Kecamatan Ayah, Buayan, Puring, Petanahan, Klirong, Buluspesantren, Ambal, dan

457
Mirit. Sementara itu, wilayah pegunungan terdiri dari Kecamatan Rowokele, Sempor,
Sadang, Karanggayam, Karangsambung, Aliyan, dan Pejagoan. Daerah yang termasuk
dataran rendah yang tidak berbatasan dengan laut yaitu Kecamatan Gombong, Karanganyar,
Adimulyo, Kuwarasan, Sruweng, Kebumen, Kutowingangun, dan Prembun. Kabupaten
Kebumen merupakan dataran rendah yaitu 16 kecamatan atau 347 desa, 30 desa di antaranya
berbatasan langsung dengan laut. Pantai Pedalen yang dibahas dalam tulisan ini terletak di
Desa Argopeni Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen.
Kecamatan Ayah terletak pada 7˚-8˚ LS dan 109˚-110˚ BT, berbatasan dengan Kecamatan
Nusawungu Kabupaten Cilacap di sebelah barat, sebelah timur dan utara berbatasan dengan
Kecamatan Rowokele, dan sebelah selatan Samudra Indonesia. Luas wilayah 7.637,20
hektar yang merupakan lahan sawah seluas 1.201,21 hektar atau 15,73% dari luas wilayah
kecamatan dan lahan bukan sawah sebesar 6.435,99 hektar atau 54,27% dari luas wilayah
kecamatan. Hutan negara 2.298,00 hektar atau 30,10% dari luas desa. Berdasarkan topografi
Kecamatan Ayah terbagi menjadi 18 desa, 11 desa adalah desa pegunungan, dan tujuh desa
adalah dataran. Desa yang terletak paling selatan berbatasan langsung dengan pesisir/laut,
semua adalah desa pegunungan (Bappeda, 2005: 1). Penelitian ini berlokasi di Kecamatan
Ayah, khususnya Desa Argopeni, sebab di pantai desa ini menjadi salah satu pusat kegiatan
mempunyai lokasi yang sangat unik, yaitu berupa pantai batu karang. Kondisi lingkungan
pantai yang unik itulah melahirkan sebuah pekerjaan, yang disebut tagog, yang muncul
seiring tumbuhnya aktivitas nelayan sekitar tahun 1970-an.
Pada tahun 1970-an, mata pencaharian masyarakat Desa Argopeni sebagian besar adalah
petani, hanya beberapa orang nelayan sebagai pekerjaan sampingan. Namun pada tahun
2006, masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan, hampir mencapai 50%. Itu
artinya masyarakat Desa Argopeni mulai tergantung kepada sumber daya kelautan,
walaupun perhatian pemerintah terhadap sektor kelautan masih kurang, baik tingkat nasional
maupun daerah. Pembangunan kelautan dari sudut pandang ekonomi merupakan kegiatan
ekonomi pengelolaam sumber daya kelautan yang lebih berorientasi pada pencapaian
kesejahteraan penduduk nelayan yang mendiami kawasan pesisir, pantai, dan pulau-pulau
kecil di seluruh tanah air. Pendekatan kesejahteraan dalam pengelolaan sumber daya kelautan
lebih mengedepankan capital inflow dan memperkecil capital outflow dari komunitas
nelayan. Pembangunan kelautan dengan pendekatan kesejahteraan, mampu mengatasi
problem kemiskinan dan pengangguran di daerah pesisir, dan menciptakan pusat
pertumbuhan ekonomi baru di kawasan terpencil yang potensial (Kamaludin, 2005: iii-iv).
Pada tahun 1970-an - 1990-an, pembangunan yang dilakukan pemerintah lebih berorientasi
ke daratan. Sumber kekayaan alam yang ada di darat dikuras habis, yang berakhir dengan
krisis penghidupan dan beranekaragam ”kemarahan alam”. Laut termarginalisasi, hanya
dijadikan membuang sampah dan limbah. Penghidupan penduduk di daerah perairan tetap
lekat dengan kemiskinan, keterbelakangan, dan kekumuhan lingkungan. Penyelenggara
negara kurang menyadari bahwa Indonesia secara geografis memiliki berbagai peluang,
ancaman, kekuatan, dan kelemahan sebagai negara kepulauan yang berada di antara dua
benua dan dua samudera. Kondisi ini diperburuk dengan sistem ekonomi yang cenderung
agraris saja. Konsekuensinya, laut dan samudera menjadi ”wilayah tak bertuan” (Kusnadi,
2002: vi). Oleh karena itu, diperlukan studi-studi untuk memahami keadaan lokal dan
persepsi masyarakat setempat, supaya tidak terjadi konflik-konflik kepentingan baik antar
nelayan maupun antara pemerintah pusat dan daerah. Kita tidak boleh melupakan kearifan
tradisional yang mengatakan bahwa ”air tidak dapat dibelah-belah” (Widodo, 2005: xiii).
Sesuai dengan perkembangan terbaru, bahwa kehidupan kemaritiman perlu dikaji lebih luas
untuk menunjukkan bahwa Indonesia negara maritim. Salah satu yang perlu diangkat dalam

458
sebuah tulisan, adalah kehidupan tagog, sebuah pekerjaan sekaligus wujud gotong royong
dalam kehidupan nelayan pantai Pedalen Kebumen.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode historis, yang meliputi empat langkah yaitu
heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Heuristik adalah pencarian sumber-
sumber informasi, yang dalam peneliian ini dilakukan melalui wawancara maupun studi
pustaka. Wawancara dilakukan dengan nelayan dan tokoh masyarakat Desa Argopeni
Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen. Informasi lisan hasil wawancara dalam penelitian ini
menjadi data yang amat penting, sebab terbatasnya sumber-sumber tertulis yang berkaitan
dengan topik tulisan. Terbatasnya sumber tertulis sangat dimakhlumi sebab tema kehidupan
nelayan di Pantai Pedalen bersifat lokal, sehingga kurang menarik para peneliti atau penulis
lain. Namun demikian, ada sumber pustaka, berupa buku-buku yang relevan dengan tema
tulisan yang dapat digunakan untuk melengkapi informasi dalam tulisan ini. Informan dipilih
orang-orang mengalami dan yang sangat mengetahui kondisi nelayan, khususnya tagog.
Setelah informasi itu valid, langkah selanjutnya adalah menafsirkan informasi sesuai dengan
tema tulisan. Informasi yang sudah ditafsirkan disusun dalam bentuk tulisan cerita yang
bersifat deskriptif.

Gambaran Umum Desa Argopeni


Pantai Pedalen terletak di Desa Argopeni Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen. Kondisi
geografis Desa Argopeni mempunyai kekhasan sendiri, karena semua wilayahnya berada di
pegunungan kapur Gombong Selatan. Batas utara Desa Argopeni adalah Desa Kalipoh,
sebelah barat berbatasan dengan hutan Karang Agung milik Perhutani, sebelah tenggara
berbatasan dengan Desa Karangduwur, dan timur laut berbatasan dengan hutan Perhutani,
serta batas selatan Samudera Indonesia (BPMD, 2006: 1). Sejak tahun 1990-an, Desa
Argopeni terdiri dari lima pedukuhan, yaitu Dukuh Simbek, Gajah, Jemenar, Tembelang,
dan Gunung Gadung, yang masing-masing pedukuhan terdiri dari beberapa grumbul. Dukuh
Simbek terdiri dari Grumbul Simbek, Jambu, Magangan, dan Pedalen. Dukuh Gajah terdiri
dari Grumbul Mengkreng, Watu Bandung, Panusupan, Jurang, dan Jambu. Dukuh Jemenar
terdiri dari Grumbul Klesem, Sikarung, Karangjati, Siluwuk, Sliling, dan Sasak. Dukuh
Tembelang terdiri dari Grumbul Pejuren, Tembelang, Kalimanggar, Penusupan, dan
Padurekso. Sementara itu, dukuh Watu Gadung terdiri dari Grumbul Grumung, Jemenar,
Padurekso, dan Gunung Gadung. Letak geografis Desa Argopeni sangat unik, karena setiap
grumbul terpisah jauh dengan grumbul lain dengan batas hutan, bukit, dan jurang yang hanya
dihubungkan dengan jalan setapak, namun sebagian jalan tersebut dapat dilalui sepeda motor.
Bahkan ada beberapa grumbul di Desa Argopeni hanya terdapat kurang dari 10 rumah.
Dukuh dan grumbul menjadi alamat yang sangat penting bagi warga Desa Argopeni dalam
kegiatan sehari-hari, dibandingkan RW dan RT yang tertera di KTP. Luas Desa Argopeni
adalah 530 ha, yang terdiri dari pemukiman 167 ha, sawah tadhah hujan 30 ha, sawah irigasi
setengah teknis 30 ha, bengkok dan fasilitas umum 0,55 ha, dan hutan 290 ha (BPMD, 2006:
2).Jenis pekerjaan masyarakat Desa Argopeni adalah petani 836 orang, buruh tani 396 orang,
buruh swasta 75 orang, PNS 9 orang, pedagang 74 orang, peternak 167 orang, nelayan 264
orang, pensiunan 7 orang, dukun bayi 1 orang, penjahit 2 orang, sopir 7 orang, tukang kayu 4
orang, tukang batu 7 orang, guru swasta 8 orang, perangkat desa 8 orang, dan pembuat batu
bata 10 orang. Anak-anak yang masih sekolah tidak dihitung dalam jenis pekerjaan (Arsip
Desa Argopeni Tahun 1998).

459
Kepemilikan lahan dari 1092 KK di Desa Argopeni dapat diperinci sebagai berikut:
tidak memiliki tanah 3 RT, lahan kurang dari 0,1 ha ada 27 RT; lahan 0,1-0,2 ha ada 31 RT;
luas lahan 0,21-0,3 ha ada 51 RT; luas lahan 0,31-0,4 ha ada 30 RT; luas lahan 0,41-0,5 ha
ada 234 RT; luas lahan 0,51-0,6 ha ada 291 RT; luas lahan 0,61-0,7 ha ada 55 RT; luas
lahan 0,71-0,8 ha ada 6 RT; luas lahan 0,81-0,9 ha ada 4 RT; luas lahan 0,91- 1 ha ada 4
RT; dan yang mempunyai lahan seluas lebih dari satu ha ada 6 RT (BPMD, 2006: 3).
Menurut sumber lain, pada tahun 2002, Desa Argopeni yang berpenduduk 3.482 jiwa, 1.153
jiwa menjadi nelayan, baik nelayan perahu, nelayan nonperahu, bakul ikan, tagog, nelayan
buruh, dan sebagainya. Hal ini disebabkan, wilayah desa yang luasnya 530 hektar, 55% di
antaranya, yaitu 290 hektar berupa hutan, sisanya 254 berupa tanah desa, yang terdiri
pekarangan, sawah, dan tegalan. Setiap warga mempunyai tanah pekarangan, sawah, dan
tegalan yang sempit, bahkan banyak warga yang hanya memiliki pekarangan, banyak yang
tidak memiliki tanah sama sekali (SM Kedu & DIY, 3 Agustus 2012). Menurut Waluyo (51)
Kepala Desa Argopeni, jumlah nelayan yang tertulis dalam arsip desa tidak menggambarkan
jumlah sesungguhnya, banyak nelayan yang tidak bersedia disebut sebagai nelayan,
melainkan sebagai petani atau buruh tani. Warga yang di KTP atau KK mencantumkan
pekerjaan sebagai nelayan adalah warga yang mempunyai Kartu Tanda Anggota Nelayan
(KTAN) yang dikeluarkan oleh Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HSNI) Kabupaten
Kebumen Cabang Desa Argopeni.

STRATIFFIKASI SOSIAL NELAYAN PANTAI PEDALEN


Menurut Aris K. Pranoto (2006) masyarakat pesisir adalah sekumpulan manusia yang hidup
bersama-sama mendiami wilayah pesisir, membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas
terkait dengan ketergantungannya pada sumber daya pesisir. Masyarakat pesisir
diberdayakan tidak seperti memberdayakan masyarakat lain, karena dalam masyarakat pesisir
terdapat banyak kelompok kehidupan masyarakat, yaitu: (1) Masyarakat nelayan tangkap,
yaitu sekelompok masyarakat pesisir yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap
ikan di laut, yang dapat dibedakan berdasarkan jenis peralatan, yaitu nelayan tangkap modern
dan nelayan tangkap tradisional, (2) Masyarakat nelayan pengumpul/bakul, yaitu kelompok
masyarakat pesisir yang bekerja di sekitar tempat pendaratan dan pelelangan ikan, umumnya
perempuan, (3) Masyarakat nelayan buruh, yaitu kelompok masyarakat nelayan yang paling
banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat pesisir. Umumnya nelayan buruh miskin,
sehingga tidak memiliki modal dan peralatan yang memadai untuk usaha produktif, (4)
Masyarakat nelayan tambak, yaitu nelayan yang membudidayakan ikan di tambak.
Untuk mengembangkan kehidupan nelayan, Kusumastanto mengidentifikasi faktor-
faktor yang sangat mempengaruhi masyarakat pesisir yaitu (1) Nelayan sangat tergantung
kepada lingkungan yang rentan kerusakan; (2) Nelayan sangat tergantung pada musim; (3)
Nelayan tergantung kepada pasar; dan (4) Nelayan berada pada lingkaran kemiskinan
(Kusumastato, 2003: 47). Kondisi masyarakat nelayan yang juga dijumpai pada nelayan
Pantai Pedalen Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
nelayan lainnya. Hanya secara geografis, nelayan Pantai Pedalen mendiami suatu desa yang
berada di pegunungan, sehingga mempunyai lingkungan masyarakat agraris. Nelayan masih
banyak yang mempunyai sambilan pekerjaan, misalnya sebagai petani, peternak sapi atau
kambing, penderes kelapa, dan sebagainya. Pekerjaan sambilan itulah yang sering menjadi
penyelamat ekonomi keluarga, ketika masa paceklik ikan.
Pada tahun 2006, di Desa Argopeni, dari 1035 KK, yang termasuk keluarga
prasejahtera sejumlah 481 KK, keluarga sejahtera 1 ada 205 KK, keluarga sejahtera 2 ada

460
303 KK, keluarga sejahtera 3 ada 33 KK, dan yang termasuk keluarga sejahtera 3 plus ada 9
KK (DKPBM, 2006: 3). Keluarga yang termasuk kategori kaya, yaitu keluarga sejahtera 3
dan sejahtera 3 plus di Desa Argopeni adalah PNS, TNI/Polri, perangkat desa,
wiraswasta/pemilik toko, pengurus organisasi nelayan/koperasi dan juragan kapal. Struktur
sosial masyarakat Desa Argopeni menempatkan orang kaya sebagai golongan masyarakat
yang dihormati. Apalagi, di antara perangkat desa dan juragan kapal merangka p sebagai
orang-orang yang mempunyai kekuasaan di antara masyarakat lain, yaitu sebagai pengurus
HNSI, pengurus KUD, dan pengurus kelompok nelayan.
Secara tidak langsung nelayan kawasan Pantai Pedalen dapat digolongkan menjadi,
menjadi tiga, yaitu golongan tertinggi adalah TNI/Polri/PNS, pengurus organisasi nelayan,
perangkat desa, dan juragan kapal, golongan kedua pemilik kapal dan awak kapal, dan
golongan ketiga yaitu bakul ikan, dan tagog. Nelayan yang dinilai sebagai golongan paling
dihormati adalah pengurus organisasi nelayan, yang umumnya dijabat oleh juragan kapal,
bahkan sampai merangkap beberaja jabatan, misalnya satu orang menjadi pengurus KUD,
dan menjadi pengurus kelompok nelayan.
Juragan kapal bukan saja pemilik kapal, melainkan memiliki banyak kapal, yang kapalnya
dapat disewa atau digunakan oleh nelayan yang tidak mempunyai kapal dengan sistem bagi
hasil. Juragan kapal biasanya tidak pernah ikut terjun langsung melaut mencari ikan, karena
mereka orang-orang terpandang, yang biasanya mempunyai pekerjaan lain. Nelayan laut
adalah orang-orang yang beraktivitas mencari ikan di laut dengan perahu. Kelompok inipun
masih dapat dibedakan menjadi dua, yaitu nelayan yang mempunyai perahu, dan nelayan
yang tidak mempunyai perahu, namun ikut melaut mencari ikan. Ketika mencari ikan di laut,
dalam satu perahu, biasanya terdiri dari pemilik perahu dan tenaga kerjanya, yang umumnya
masih mempunyai hubungan keluarga dekat. Namun demikian, terdapat juga dalam satu
perahu mempunyai kedudukan yang sama, karena perahu tersebut hasil patungan dalam
pembeliannya, atau hasil menyewa secara bersama-sama. Atau bahkan dalam satu perahu
mempunyai kedudukan yang sama karena perahu tersebut milik juragan perahu, yang
digunakan untuk melaut dengan sistem bagi hasil. Sementara itu, bakul ikan masih
dikelompokkan lagi menjadi tengkulak dan bakul ikan gendongan. Tengkulak adalah pembeli
ikan dalam jumlah besar yang dilakukan melalui proses lelang. Dari hasil lelang ikan di TPI,
ikan akan dijual ke daerah yang lebih luas, termasuk luar Kebumen. Namun demikian, juga
ada yang dijual kepada pedagang ikan di Kebumen, termasuk bakul ikan di sekitar lokasi
TPI. Sementara bakul ikan gendongan, mempunyai aktivitas jual beli ikan di pasar sekitar
lokasi desa, yaitu Pasar Ayah, Pasar Jetis, dan Pasar Demangsari. Tagog adalah kelompok
orang-orang yang pekerjaannya mengangkat dan menepikan perahu, melepas dan membawa
mesin tempel ke lokasi penyimpanan, mengangkat jarring ke tempat penyimpanan, dan
membawa hasil tangkapan ikan ke TPI. Di antara pekerjaan tagog di atas, yang paling banyak
dilakukan adalah mengangkat dan menepikan kapal, sebab pekerjaan lain dapat dilakukan
oleh nelayan sendiri. Tagog dalam struktur masyarakat nelayan, termasuk golongan paling
rendah. Mereka tidak mempunyai modal kerja, selain tenaga dan sebuah ember plastik.

APA dan SIAPA TAGOG ?


Belum ada sumber tertulis yang ditemukan yang menjelaskan sejak kapan tagog itu ada, dan
berasal dari istilah apa, demikian juga sumber lisan. Sirin (65) sesepuh tagog, juga
mengatakan munculnya istilah tagog seiring waktu berkembangmnya aktivitas nelayan di
Pantai Pedalen. Namun ada dugaan, bahwa istilah tagog pengaruh dari nelayan yang bekerja
di daerah lain di masa lalu, sebelum di Kebumen tumbuh masyarakat nelayan. Terdapat
beberapa daerah yang mengenal istilah tagog, seperti dalam Bahasa Sunda dan Bahasa

461
Minangkabau, tetapi dalam kedua Bahasa tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan
aktivitas kenelayanan. Selain istilah tagog, terdapat istilah tekong, untuk menyebut nakhoda
kapal, yang asal usulnya juga belum diketahui dengan pasti.
Berkaitan dengan istilah tagog, juga tekong, nelayan tidak pernah
mempermasalahkannya, mereka lebih fokus menjalankan aktivitasnya. Aktivitas tagog,
dilakukan secara berkelompok atau bersama-sama, dan bergantian. Jumlah tagog di Pantai
Pedalen sekitar 30-40 orang, mereka tidak mempunyai tanda khusus berupa kartu
keanggotaan atau seragam, atau tanda tanda lainnya. Sekilas tidak dapat dibedakan antara
tagog dan nelayan. Tagog baru akan diketahui apabila menjalankan aktivitasya. Begitu ada
kapal yang akan mendarat, maka secara spontan tagog yang mendapat giliran akan segera
mendekat ke pantai, untuk membantu nelayan menepikan kapalnya. Mereka membawa ember
plastik, untuk tempat ikan sebagai upahnya. Tidak semua tagog beraktivitas setiap hari,
umunya setiap hari hanya sekitar 10-15 orang, tergantung banyak sedikitnya pendaratan
kapal.
Jumlah pendaratan kapal dipengaruhi oleh musim ikan di Laut Selatan. Musim bagi
nelayan dapat diartikan menjadi dua yaitu musim sesuai yang dipahami oleh sebagian besar
masyarakat yaitu musim hujan dan kemarau, dan musim yang berlaku di kalangan nelayan,
yaitu musim panen dan paceklik. Musim hujan dan kemarau juga mempengaruhi aktivitas
nelayan sehingga mempengaruhi hasil tangkapan. Musim kemarau (April-September) bertiup
angin muson timur menyebabkan angin sangat kencang di Samudera Indonesia, yang
mengakibatkan gelombang laut sangat tinggi.
Pada musim barat (Desember- Maret), gelombang laut sering agak besar antara 0,5 meter –
satu meter, dan musim timur (Juli-Agustus), gelombang juga dapat mencapai 0,5-1 meter.
Pada saat terjadi angin tiba-tiba yang kuat (squall), gelombang dapat mencapai 1,5 sampai
1,75 meter. Akan tetapi, pada musim pancaroba (April-Mei dan Oktober-November), angin
cenderung lemah, gelombang umumnya kecil kurang dari 0,5 meter (Nontji, 1993: 90-91).
Kondisi demikian memaksa nelayan harus ekstra hati-hati dan paham akan gejala-gejala
alam. Nelayan sering kali membatalkan aktivitas melaut apabila mengamati angin kencang
atau kemungkinan akan datang angin kencang ketika sudah berada di tengah laut. Sementara
itu, ketika musim hujan datang (Oktober-Maret), aktivitas melaut sering terganggu oleh
hujan dan badai. Dalam kondisi hujan lebat atau adanya badai, nelayan tentu akan
membatalkan aktivitas melautnya daripada menghadapi bahaya seperti perahu terbalik atau
tenggelam. Jadi bagi nelayan baik musim kemarau maupun musim hujan mempunyai tingkat
bahaya yang tinggi, sehingga mempengaruhi hasil tangkapan.
Musim panen ikan dan musim paceklik hanya dapat dipahami dengan baik oleh
masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan mengenal dua musim yaitu musim panen pada
bulan Agustus – Desember dan musim pacelik pada bulan Januari – Juli. Pada musim panen
ikan, frekuensi penangkapan ikan meningkat, karena ingin mendapatkan hasil tangkapan
yang banyak. Terkadang nelayan mengabaikan bahaya yang disebabkan oleh perubahan
kondisi alam seperti badai, hujan lebat, gelombang besar, dan sebagainya. Bahkan kondisi
perahu yang kurang bagus pun sering kali diabaikan. Hasil tangkapan yang banyak digunakan
oleh nelayan untuk berbagai keperluan seperti membeli barang-barang mewah, perhiasan,
peralatan rumah tangga, dan sebagainya. Walaupun demikian, nelayan masih memperhatikan
pantangan melaut, yaitu di Hari Jum’at Kliwon, yang menurut mereka berkaitan dengan
keberadaan Nyai Roro Kidul. Pada hari itu nelayan melakukan aktivitas di darat seperti
memperbaiki jarring, dan kegiatan sosial lainnya. Demikian juga berkaitan dengan upacara
sedhekah laut, nelayan masih melakukannya. Sejak tahun 1990-an, ketika musim ikan tiba,
nelayan akan melakukan sedhekah laut. Sedhekah laut dilaksanakan sebagai perwujudan rasa

462
syukur kepada Tuhan atas hasil tangkapan ikan yang melimpah. Upacara sedhekah laut
dikaitkan dengan Nyai Roro Kidul. Masyarakat, baik sebagai petani maupun nelayan selalu
menganggap sakral hal-hal yang berkaitan dengan keberadaan Nyai Roro Kidul. Masyarakat
menganggap bahwa Sang Nyai adalah tokoh yang ”mbaureksa” wilayah laut dan pantai
selatan. Tempat di kawasan Kecamatan Ayah diyakini masyarakat sebagai tempat keramat,
yaitu Pantai Logending yang merupakan pintu gerbang masuk ke Kerajaan Pantai Selatan
(Kompas, 11 November 2005).
Tradisi upacara sedhekah laut di Pantai Pedalen disebut labuhan. Waktu upacara tidak
ditentukan secara pasti, karena menunggu pemberitahuan dari sesepuh nelayan, yaitu Sarpin
(67). Apabila Sarpin sudah memberitahu waktu upacara sedhekah laut,maka nelayan akan
mempersiapkan peralatannya. Namun demikian, secara umum waktu labuhan adalah
mangsa kapat (Oktober). Waktu ini bersamaan dengn akan mulainya musim ikan. Upacara
labuhan diisi dengan larung sesaji, dilanjutkan dengan makan bersama dengan bermacam-
macam lauk yang dibawa penduduk, pengelola TPI menyembelih kambing, pada malam hari
diadakan pagelaran wayang kulit. Rangkaian upacara labuhan di Pantai Pedalen dinilai
sangat sakral oleh nelayan. Pada proses larung, sesaji terdiri dari 100 jenis bunga yang
tumbuh di sekitar kawasan Ayah, dilarung ke laut dipimpin oleh Sarpin pada waktu matahari
mulai terbit menuju ke laut selatan. Sementara itu, hidangan khusus upacara labuhan adalah
nasi megana yang terbuat dari sarang tawon. Beberapa nelayan juga masih melakukan ritual
untuk keselamatan dirinya ketika melaut, berupa berupa sesaji yang akan dibuang di tengah
laut sebagai persembahan kepada Nyai Roro Kidul. Ritual yang dilakukan sendiri, yaitu tidak
melanggar beberapa pantangan ketika melaut, yaitu : (1). Tidak dalam keadaan junub; (2).
Tidak membicarakan (ngrasani) Nyai Roro Kidul, dan sejenisnya; (3). Dilarang memakai
pakaian atau perhiasan yang disukai Nyai Roro Kidul; dan (4). Dilarang berkata kotor (saru)
atau berlaku tidak sopan (sembrono) selama melaut agar tidak kesiku.
Pada musim paceklik, nelayan memanfaatkan perahunya untuk wisata, khususnya di
Pantai Logending yang sudah dikembangkan sebagai objek wisata oleh pemerintah. Bagi
kaum wanita, masa paceklik digunakan untuk membuat kerajinan tangan yang dapat dijual.
Kaum laki-laki yang tidak mempunyai perahu, bekerja sebagai penderes kelapa untuk
membuat gula merah (gula jawa). Pembuatan gula merah dilakukan oleh kaum perempuan
dengan cara nira dimasak sampai mengental. Nelayan yang berusia muda, memanfaatkan
masa paceklik untuk merantau ke kota menjadi buruh atau bekerja menjadi kuli bangunan.
Musim paceklik ikut mendorong para pemuda untuk merantau selamanya, dan mendorong
kaum muda lainnya menjadi perantau.
Intensitas penangkapan ikan pada musim panen ikan (Agustus-Desember) dan
musim paceklik (Januari-Juli) dapat dilihat pada data tahun 2003 di TPI Argopeni, yaitu pada
bulan Agustus-Desember jumlah nelayan yang melaut selama lima bulan mencapai 2.065
orang, berarti rata-rata setiap bulan 413 orang, sedangkan bulan Januari-Juli sejumlah 2.254
orang, rata-rata 375 orang setiap bulan. Intensitas pendaratan perahu nelayan selama musim
panen mencapai 15.455 pendaratan, atau rata-rata setiap bulan 3.091 pendaratan. Pada musim
paceklik (Januari-Juli) jumlah pendaratan perahu mencapai 10.706 pendaratan, rata-rata
setiap bulan 1784 pendaratan (BPS, 2004: 230). Data tahun 2006 juga menunjukkan bahwa
pada musim panen ikan, jumlah nelayan yang melaut dan intensitas pendaratan perahu
meningkat, dibandingkan musim paceklik ikan. Data tahun 2006 menunjukkan, bahwa
jumlah nelayan yang melaut selama Januari-Juli adalah 1.793 orang, berarti rata-rata setiap
bulan 256 orang, sedangkan pada musim panen ikan mencapai 1912 orang, rata-rata setiap
bulan adalah 382 orang. Dilihat dari intensitas pendaratan perahu, pada musim panen ikan
mencapai 14.130 pendaratan, rata-rata setiap bulan 2.826 pendaratan, sedangkan musim
paceklik berjumlah 10.478 pendaratan, rata-rata setiap bulan 1.496 pendaratan (BPS, 2007:

463
229). Nelayan Pantai Pedalen hanya mampu menangkap ikan di jalur I, yaitu daerah
tangkapan yang berjarak antara 0-4 mil laut. Di jalur I inilah ratusan nelayan Pantai Pedalen,
dan pantai lainnya menangkap ikan secara bersama-sama maupun bergantian, sehingga hasil
tangkapan yang diperoleh tidak maksimal. Daya jangkau kapal nelayan Pantai Pedalen yang
sangat terbatas, karena ukuran kapal nelayan kecil, rata-rata berukuran 1 GT dengan mesin
15 PK, dengan ABK 2-5 orang. Nelayan rata-rata melaut dalam waktu satu hari (one day
fishing), berangkat subuh, pulang di sore hari, atau berangkat sore hari, pagi hari mendarat
(www.kebumenkab.go.id).
Pada musim panen ikan, pendaratan kapal di Pantai Pedalen meningkat, oleh karena itu
jumlah tagog yang beraktivitas di situ juga makin banyak. Secara umum, tagog sudah
memahami kapan harus beraktivitas, baik dilihat dari hari, maupun waktu atau jam
beraktivitas, sebab menyesuaikan dengan waktu-waktu pendaratan kapal nelayan.
Munculnya tagog di Pantai Pedalen, tidak bisa dilepaskan dari sifat gotong royong
masyarakat, selain karena kondisi alam Pantai Pedalen. Dalam kehidupan masyarakat
nelayan Pantai Pedalen sehari-hari, tidak semua pekerjaan dapat dilakukan sendiri. Apalagi
melihat kondisi lingkungan Pantai Pedalen yang berupa ceruk batu karang, menyebabkan
kapal tidak dapat berlabuh ke tepian pantai dengan baik. Apabila kapal ditambatkan di tepi
pantai pun, amat berbahaya, karena dapat terombang ambing gelombang dan membentur batu
karang, sehingga pecah. Apalagi, di Pantai Pedalen tidak dibangun tempat pendaratan kapal,
semua masih sangat alami, walaupun di lokasi pantai terdapat markas Badan SAR Kebumen,
dan Kantor HSNI Kebumen. Namun demikian, pemerintah belum membangun tempat
pendaratan kapal, hal ini kemungkinan karena kondisi pantai yang menyulitkan, sebab selain
pantai berupa batu karang, juga kedalaman pantai curam. Keberadaan tagog makin penting,
juga karena kapal nelayan Pantai Pedalen merupakan kapal khusus yang terbuat dari bahan
fiberglass. Perahu khusus adalah perahu yang terbuat dari bahan fiberglass berserat,
sehingga perahu tidak memerlukan sambungan antar bagian (Purjiyanta, 2007: 40). Perahu
berbahan fiberglass lebih mahal harganya tetapi kuat dan tidak mudah pecah terkena
gelombang laut. Sejak 1990-an, nelayan mulai menggunakan perahu yang terbuat dari
fiberglass. Perahu yang terbuat dari kayu sering kali mudah bocor di sela-sela sambungan
kayu, semakin banyak ditambal semakin mudah bocor dan membahayakan nelayan. Untuk
mensiasati gelombang laut selatan yang besar, maka nelayan Pantai Pedalen lebih banyak
yang menggunakan perahu terbuat dari fiberglass. Keuntungan penggunaan perahu
fiberglass adalah lebih ringan dan tidak mudah bocor, sedangkan kerugiannya, apabila
perahu fiberglass sudah bocor sulit diperbaiki lagi.
Ketika mendarat, kapal nelayan harus diangkat ke tepi pantai, dan dibawa jauh dari
jangkauan gelombang pantai, maka nelayan memerlukan batuan orang lain. Nah, orang-orang
yang membantu nelayan menepikan kapal itulah tagog. Tagog muncul karena adanya
kebutuhan nelayan, sebab nelayan tidak mampu menepikan kapal sendiri. Untuk menepikan
kapal, setidaknya dibutuhkan bantuan empat orang tagog untuk memikul secara bersama-
sama. Orag-orang yang menjadi tagog adalah orang-orang tetangga nelayan itu sendiri.
Mereka menjadi tagog karena tidak mempunyai pilihan pekerjaan lain yang lebih baik.
Mereka tidak mampu menyewa kapal untuk mencari ikan di laut, merekapun tidak
mempunyai sawah yang bisa digarap untuk mencukupi kebutuhan keluarga, kalaupun
mempunyai sawah dengan luas yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Oleh karena itu, pilihan pekerjaan menjadi tagog, namun demikian, faktor pendidikan yang
rendah juga menjadi salah satu penyebab orang-orang menjadi tagog. Menurut penelitian
Darno, yang dimuat di Jurnal Analisa, pendidikan nelayan Desa Argopeni umumnya rendah,
paling banyak tamatan SD sederajat ke bawah, walaupun ada dari mereka yang lulus SLTP
ke atas dengan jumlah sangat sedikit (Darno,2008: 5).

464
Pekerjaan sebagai tagog mendapat upah sesuai kerelaan nelayan yang dibantunya,
setiap tagog tidak sama persis upahnya dari nelayan yang sama, sebab dengan model
cawukan, yaitu beberapa ekor ikan yang diambil tanpa ditakar. Apabila hasil melaut nelayan
memperoleh ikan banyak, maka upah tagog pun akan banyak, namun sebaliknya apabila hasil
melaut nelayan sedikit, maka tagog pun akan mendapat upah sedikit. Antara nelayan dan
tagog sudah saling memahami dan memakhlumi berkaitan dengan upah.
Agar tidak terjadi rebutan antar tagog, maka dibentuklah kelompok tagog, yang
secara tidak langsung mengatur sistem kerja tagog. Secara umum, tagog sudah memahami
aturan giliran mengangkat perahu, sehingga tidak saling berebut mengangkat kapal apabila
ada kapal yang akan mendarat. Di antara mereka setiap mendapat giliran melaksanakan
pekerjaan masih mengumpulkan beberapa ekor ikan kepada ketua kelompok. Setelah ikan
terkumpul dari para tagog yang bertugas hari itu, ikan kemudian dijual, dan uang hasil
penjualan disimpan sebagai uang kas. Uang kas digunakan untuk keperluan bersama,
khususnya kegiatan sosial. Hal ini dilakukan, sebab tagog tidak mendapat bagian dari hasil
raman (hasil lelang ikan), tidak seperti nelayan dan bakul ikan, yang mendapat bagian raman
yang diatur dan dikumpulkan oleh KUD Mina Pawurni. Demikian juga mengenai dana
paceklik, yang diambilkan dari hasil raman, tagog tidak mendapat bagian.

SIMPULAN
Tagog merupakan wujud gotong royong antara nelayan dengan orang-orang yang membatu
mendaratkan kapal. Oleh karena itu, keberadaan tagog sangat diperlukan oleh nelayan,
demikian juga tagog sangat tergantung kepada nelayan. Upah dari tagog tergantung seberapa
besar pemberian dari nelayan, dan seberapa banyak kapal yang mendarat. Kondisi yang
demikian menempatkan tagog sebagai struktur bawah dalam kehidupan nelayan Pantai
Pedalen Kabupaten Kebumen.

DAFTAR PUSTAKA

Bachri, Samsoel, Goa Jatijajar Kebumen dan Obyek-Obyek Wisata Sekitarnya (Kebumen:
Sekretariat Pemda Kebumen, 1978).

BPS, Kebumen dalam Angka 2002-2006 (Kebumen: Kerjasama Bappeda dan BPS Kabupaten
Kebumen, 2003-2007).

Darno, ”Kehidupan Beragama Masyarakat Nelayan di Jawa Tengah dan Jawa Timur”, dalam
Jurnal ANALISA Volume XV, No. 01 Januari-April (Semarang: Balitbang Agama Jateng,
2008).

Kamaluddin, Laode M., Indonesia Sebagai Negara Maritim dari Sudut Pandang Ekonomi
(Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2005).

465
Kusnadi, Konflik Sosial Nelayan Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan
(Yogyakarta: LkiS, 2002).

Kusumastanto, Tridoyo, Ocean Policy Dalam Membangun Negeri Bahari Di Era Otonomi
Daerah (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003).

Nontji, Anugerah, Laut Nusantara (Bandung: Djambatan, 1993).

Pranoto, Aris K., Implementasi Kebijakan Publik Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
(Jakarta: Humas Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 2006).

Purjiayanta, Eka, Mengenal Kapal Laut (Bandung: Ganeca Eact, 2007).

Purwanto, Heri (Peny), Strategi Nelayan (Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara, 2007).

Siswanto, Budi, Kemiskinan dan Perlawanan Kaum Nelayan (Malang: Laksbang


Mediatama, 2008).

Widodo, Sutejo K, Ikan Layang Terbang Menjulang (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 2005).

Surat Kabar

“Utangi Maling Kayu Tiga Ekor Lembu”, Suara Merdeka Edisi Kedu & DIY, 3 Agustus
2002.

“Tradisi di Argopeni: Warga Donor Darah Setiap Jum’at Kliwon”, Suara Merdeka, 23
Februari 2006 hlm. 24.

“Memberdayakan Pesisir Kebumen”, Suara Merdeka, 25 Juli 2006. hlm. K.

“Pantai Logending, Gerbang Kerajaan Nyai Roro Kidul”, Kompas, 11 November 2005.

466
Stevanus Rumbewas: Pejuang Integrasi Papua
Rosmaida Sinaga1

Abstrak
Kajian ini bertujuan untuk mengungkapkan perjuangan Stevanus Rumbewas dalam
mengintegrasikan Papua ke wilayah NKRI. Penelitian ini menggunakan metode sejarah.
Berdasarkan sumber lisan dan sumber tertulis diketahui bahwa Stevanus Rumbewas adalah
tokoh yang berani menancapkan bendera merah putih, setelah merobek warna biru dari
bendera Belanda yang berkibar di depan rumahnya di Serui. Peristiwa itu terjadi, sesaat
setelah ia mendengar rekaman berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang disiarkan
seorang penyiar radio di Biak yang bernama Aryoubaba. Pengibaran bendera merah putih itu
merupakan simbol bahwa Serui, Papua merupakan bagian dari wilayah NKRI. Keinginannya
untuk mengintegrasikan Papua ke NKRI semakin meningkat setelah pertemuannya dengan
tokoh yang diasingkan Belanda, G.S.S.J. Ratulangi dan rombongannya di Serui pada 5 April
1946. Ratulangi memelopori pembentukan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) pada
29 November 1946 yang diketuai oleh Silas Papare. Stevanus Rumbewas diangkat sebagai
Komisaris PKIIuntuk menyuarakan Papua sebagai bagian dari wilayah NKRI. Pada saat
Pepera, Stevanus Rumbewas berjuang untuk mempertahankan Papua sebagai bagian dari
wilayah Indonesia. Bahkan ketika dia diangkat sebagai anggota DPRD GR Provinsi Irian
Barat, dia memperjuangkan aspirasi masyarakat untuk membentuk Kabupaten Yapen
Waropen terlepas dari kabupaten induknya Kabupaten Teluk Cenderawasih.Perjuangannya
yang tidak kenal lelah menyebabkan beliau menerima berbagai penghormatan dan
penghargaan dari pemerintah dan masyarakat. Beliau dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Serui. Namanya diabadikan sebagai nama sebuah jalan di Kota Serui dan nama
Bandar Udara di Kamanap Serui. Pemerintah Daerah menghibahkan sebuah rumah yang
telah direnovasi kepada keturunannya.

Kata kunci: Pejuang. Integrasi Papua

A. Latar Belakang
Stevanus Rumbewas merupakan pejuang integrasi Papua ke Indonesia. Perjuangannya itu
diketahui dari reaksinya saat mendengar berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Aryoubaba, seorang penyiar radio di Biak merekam berita proklamasi dari siaran radio
Singapura dan menyiarkannya ke seluruh penjuru Papua. Ketika mendengar berita itu,
Rumbewas spontan mencabut bendera merah putih biru di depan rumahnya dan merobek
warna birunya, kemudian berenang menancapkan bendera merah putih itu di tanjung bagian
barat pelabuhan Kota Serui (Ester Yambeyapdi, 2011: 12).
Keberanian Rumbewas didukung oleh kepiawaiannya menyadarkan masyarakat Serui untuk
menentang Belanda. Kepiawaiannya itu terbukti dari kerelaan masyarakat Serui
menyumbang biaya perjalanan wakil Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) ke
Jogjakarta. Berdasarkan radiogram dari Jakarta pada 21 Juli 1949, diundang dua orang wakil
PKII untuk menghadiri sidang penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia.
Berdasarkan rapat pengurus PKII diputuskan Silas Papare dan Stevanus Rumbewas
1
Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan

467
berangkat ke Jogjakarta. Menindaklanjuti keputusan itu, Rumbewas menggunakan perahu
untuk mengumpulkan bantuan dari masyarakat Pulau Yapen. Namun, uang yang terkumpul
hanya mampu membiayai perjalanan satu orang. Karena itu, Rumbewas mengikhlaskan Silas
Papare untuk berangkat ke Jogjakarta, sedangkan dia tetap berjuang dari Serui. Hal ini
membuktikan keikhlasannya dalam memperjuangkan integrasi bangsa.
Perjuangan para elite Papua bersama saudaranya dari Indonesia berhasil memaksa Belanda
untuk menyerahkan Papua ke Indonesia. Penyerahan itu didasarkan Perjanjian New York
yang ditandatangani oleh Belanda pada 15 Agustus 1962. Berdasarkan perjanjian itu, Irian
Barat diserahkan kepada Indonesia pada 1 Oktober 1962 melalui pemerintah sementara PBB
( United Nations Temporary Executive Authority – UNTEA) dan 1 Mei 1963 UNTEA
menyerahkan kepada Indonesia dan Indonesia berkewajiban untuk mengadakan Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Barat sebelum akhir 1969. Pada 29 September 1962
Rumbewas menerima radiogram dari Presiden Soekarno yang isinya memintanya untuk
menemui Presiden Soekarno. Presiden Soekarno memberangkatkannya ke beberapa Negara
Asia Tenggara dan Tokyo untuk menjelaskan keinginan rakyat Papua kepada dunia (Kompas,
7 Oktober 1979, kol. 5).
Pada saat Pepera Rumbewas sebagai anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) berjuang
untuk mempertahankan Papua sebagai bagian dari Indonesia. Dia menyatakan bahwa pada 27
Desember 1949 Irian Barat dipisahkan dari Indonesia dan dibekukan dalam peti es K.M.B.
Bendera merah putih ini berkibar sampai akhir zaman dari Sabang sampai Merauke (Pemda
Yapen Waropen, 1999: 26 & 30). Pernyataannya tersebut membuktikan tekadnya untuk
mengintegrasikan Papua ke Indonesia.
Perjuangan Rumbewas berlanjut pada saat beliau menjadi anggota DPRD Provinsi Irian Barat
(1 Mei 1963-20 Maret 1969). Dalam sidang paripurna DPRD, dia menyampaikan aspirasi
masyarakat Yapen Waropen untuk memiliki kabupaten sendiri terlepas dari Kabupaten Teluk
Cenderawasih. Beliau memohon kepada gubernur dan sidang Dewan untuk menyetujui
pembentukan Kabupaten Yapen Waropen. Beliau menyatakan tidak turun dari Mimbar
Dewan, sebelum ada persetujuan dari gubernur. Tuntutan itu akhirnya disetujui oleh
Gubernur Provinsi Irian Barat Frans Kaisepo (Pemda Yapen Waropen 1999: 30-31).
Perjuangannya untuk membebaskan Papua dari Belanda dan mengintegrasikan Papua ke
Indonesia serta menyampaikan aspirasi masyarakat kepada lembaga eksekutif dan legislatif
menyebabkan Rumbewas menerima berbagai penghargaan dari pemerintah dan masyarakat.
Beliau dimakamkan di TMP Serui. Namanya diabadikan pada sebuah jalan di Kota Serui dan
Bandar Udara di Kamanap, Serui, Papua. Selain itu, Pemda Kabupaten Kepulauan Yapen
menghibahkan sebuah rumah yang direnovasi kepada keluarganya.
Uraian di atas membuktikan bahwa Stevanus Rumbewas merupakan pejuang integrasi Papua
ke wilayah Indonesia. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana
perjuangannya dalam mengintegrasikan Papua ke Indonesia dan bagaimana wujud
penghargaan pemerintah dan masyarakat terhadap perjuangannya.

B. Stevanus Rumbewas dan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII)


Keinginan Rumbewas untuk mengintegrasikan Papua ke Indonesia semakin meningkat
setelah pertemuannya dengan G.S.S.J. Ratulangi dan rekan-rekannya (Lanto Daeng
Pasewang, Intje Achmad Saleh, J. Latumahina, Mayor Suwarno, Zainal Abidin, P.L.Tobing
dan W.S.T. Pondaag), yang diasingkan Belanda ke Serui. Ratulangi adalah gubernur
Sulawesi yang diangkat oleh Presiden Soekarno pada 19 Agustus 1945. Dia diasingkan ke

468
Serui karena dia dan beberapa anggota Pusat Keselamatan Rakyat dianggap menghambat
pemulihan keamanan di daerah itu (Bernarda Meteray, 2012: 71-72).
Berdasarkan catatan Benyamin Kayai (Serui, 22 Juli 1980) diketahui rombongan Ratulangi
tiba di Serui pada 5 April 1946. Saat itu, Belanda melarang masyarakat Serui bergaul dengan
mereka karena dianggap sebagai kriminal yang berbahaya. Meskipun ada larangan, pada
malam hari Yakop Thung Tjing Ek dan Benyamin Kayai serta Alwi Rahman
mengunjunginya secara rahasia. Kunjungan tersebut dipermudah oleh isteri Yakop Thung
Tjing Ek, Martha Raweyai, pengasuh anak keluarga Ratulangi. Pertemuan itu digunakan
Ratulangi dan Latumahina untuk meyakinkan para elit Serui tentang Papua sebagai bagian
dari Indonesia (Bernarda Meteray, 2012: 72-73).
Setelah beberapa kali para elit Serui itu mengunjungi Ratulangi, disepakati untuk membentuk
partai. Karena itu, pada 27 November 1946 mereka memohon ijin untuk melaksanakan rapat
kepada den Hertog, kepala distrik Serui. Setelah diijinkan, mereka membentuk Partai
Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) pada 29 November 1946 dengan badan pengurus PKII
sebagai berikut:
Ketua : Silas Papare
Wakil Ketua : Baldus Dumatubun
Penulis I : Alwi Rahman
Penulis II : Arie Kamarea dan Andreas Samberi
Bendahara I : Achmad Djalali
Bendahara II : Mathius Aba
Komisaris I : Thung Tjing Ek
Komisaris II : Benyamin Kayai, Paulus Payawa, Andus Wayoi, Stevanus Rumbewas
Dewan Penasihat : Barnabas Aninam dan L.R. Tiwo
Tujuan dari PKII adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat Serui dan memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Meskipun PKII berkedudukan di Serui, tetapi wilayah kerjanya
meliputi seluruh Papua (Catatan Benyamin Kayai, Serui 22 Juli 1980).
Pada 23 Maret 1948 Ratulangi dan kawan-kawannya dibebaskan dan dipindahkan ke
Yogyakarta. Meskipun Ratulangi hanya 1 tahun 9 bulan diasingkan di Serui, tetapi beliau
mampu mengubah sikap Silas Papare dari anti menjadi pro-Indonesia. Menurut Penders
(dalam Bernarda Meterai, 2012: 75) perubahan sikapnya itu disebabkan kekecewaannya
terhadap Belanda yang tidak mengijinkannya menghadiri Konferensi Malino dan
pertumbuhan sosial ekonomi pascaperang yang lamban di bawah Belanda.
Silas Papare berhasil meluaskan paham keindonesiaan di Papua. Hal ini terbukti dari
pembentukan cabang PKII di Biak, Manokwari dan Sorong. Silas Papare ditangkap Belanda
karena adanya informasi tentang rencana pemberontakan terhadap Belanda di Serui. Namun,
Silas Papare dapat dibebaskan atas usaha dari Alwi Rahman beserta masyarakat Serui.
Meskipun demikian, Belanda khawatir terhadap usaha Silas Papare menyebarluaskan
keindonesian di Serui. Akibatnya, Belanda memindahkan Silas Papare ke Biak dengan dalih
dia divonis mengalami sakit ingatan, sehingga perlu dirawat di rumah sakit Biak (Bondan
Soedharto dkk., 1989: 84-85).
Peningkatan aktivitas PKII di Serui menyebabkan sejumlah pegawai pamong praja dihukum
dan dipecat, yang mengakibatkan perubahan badan pengurus PKII sebagai berikut:

469
Ketua : Silas Papare
Wakil Ketua : Alwy Rahman
Penulis I : Ari Kamarea
Penulis II : Andarias Samber
Bendahara I : Matheus Abaa
Bendahara II : Achmad Djalali
Penasihat : Barnabas Aninam
Komisaris I : Yakob Thung Tjing Ek
Komaris II : Benyamin Kayai
Komisaris III : Stevanus Rumbewas
Komisaris IV : Stevanus Reipasie
Komisaris V : Paulus Payawa

Perubahan pengurus itu beriringan dengan pembentukan cabang PKII di Serui Kota, Kurudu,
Kaipuri, Kamanap, Maryadei, Serui Laut, Yapen Utara, dan Yapen Selatan. Pembentukan
cabang PKII itu menyebabkan jumlah anggotanya meningkat hingga berjumlah 2.000 orang
pada 1948. Para anggotanya termasuk guru dan pegawai di tingkat distrik dan kampung aktif
berkampanye untuk kemerdekaan Indonesia (Bernarda Meterai, 2012: 76-77).
Perjuangan Rumbewas untuk mengintegrasikan Papua ke Indonesia bertentangan dengan
kebijakan Belanda yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia. Pada 15 Juli 1946 Belanda
menjadikan Papua sebagai suatu karesidenan dan melantik Jan P.K. van Eechoud sebagai
residennya. Perubahan itu dilaksanakan bersamaan Konferensi Malino di Makasar yang
digagas van Mook. Konferensi itu membahas bentuk ketatanegaraan Indonesia. Van Mook
mengusulkan negara federasi, yaitu Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Timur Besar. Dengan
disetujuinya usul itu, berarti Belanda berhasil meletakkan dasar pemecahan wilayah
Indonesia (Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar, 1963: 79-80).
Pada 11 Desember 1946 van Eechoud bertemu dengan sejumlah tokoh masyarakat Papua di
Hollandia (sekarang Jayapura) untuk membahas masa depan Papua, pemisahannya dari
Indonesia dan kondisi tidak memungkinkan untuk mengirim seseorang mewakili sejuta
penduduk wilayah itu. 2 Hal ini membuktikan Belanda ingin memisahkan Papua dari
Indonesia, sehingga Papua dapat dijadikan penampungan Indo-Belanda dan para pengusaha
Belanda yang meninggalkan Indonesia serta meneruskan tugas zending dan missi di pulau itu
(Bone, 1958: 22).
Para elit politik Papua pro-Indonesia umumnya dan khususnya aktivis PKII di Serui berupaya
membangun kesadaran politik masyarakat, sehingga PKII didukung penduduk di Serui dan
Waropen. Silas Papare selaku ketua PKII memperjuangkan Papua sebagai bagian dari
wilayah Indonesia, karena Papua merupakan bagian dari Hindia Belanda. Dia berharap
Indonesia membebaskan Papua dari penjajahan Belanda dan membangun Papua.
Perjuangannya itu menyebabkan dia dipenjarakan di Hollandia pada 1948. Kemudian
dibebaskan karena Silas Papare berjasa membantu Sekutu melawan Jepang, sehingga
2
J.W.M. Courtois, “Memorie van Overgave van den Afdeeling Noord Nieuw Guinea, Hollandia 1948”, J.
Miedema dan W.A.L. Stokhof, Irian Jaya Source Materials No. 2 Series A – No. 1: Memories van Overgave
van de Afdeeling Noord Nieuw Guinea (Leiden : DSALCUL/IRIS, 1991), hal. 126-7.

470
Belanda menganugerahkan medali perunggu dan Dinas Intelijen Amerika Serikat
memberikan penghargaan. Setelah dibebaskan dari penjara, Silas Papare kembali ke Serui.
Penahanan yang dilakukan Belanda terhadap elit Papua yang pro-Indonesia tidak berhasil
memadamkan semangat perjuangan untuk melepaskan Papua dari cengkeraman Belanda dan
mengintegrasikan Papua ke Indonesia (Bernarda Meterai, 2012: 77-79).
Pada 21 Juli 1949 pemerintah Indonesia mengirim radiogram kepada pengurus PKII yang
isinya menginginkan adanya perwakilan dari Papua ke Yogyakarta. Karena itu, diadakan
rapat pengurus PKII dan ditetapkan Silas Papare dan Stevanus Rumbewas untuk
diberangkatkan ke Yogyakarta. Selanjutnya, mereka mengumpulkan biaya dari pengurus dan
pendukung PKII. Rumbewas menggunakan perahu dari Kampung Ambadiru – Tindars –
Poom Yapen Utara – Marau – Ansus – Papuma – Rajorrawi – Sasawa – Kanawa – Maryarotu
– Kamanap – Ariepi – Tatui – Sarandori – Maryadei – Serui Kota. Meskipun, dia
mengunjungi banyak kampung di Pulau Yapen, uang yang dikumpulkannya hanya mampu
membiayai perjalanan satu orang, sehingga hanya Silas Papare yang berangkat ke Jawa pada
27 Juli 1949. Sedangkan Rumbewas berjuang di Serui (catatan harian, Stevanus Rumbewa;
lihat juga catatan pribadi Benyamin Kayai; lihat juga Kompas, Minggu 7 Oktober 1979, hal.
2, kolom 4).
Ketika tiba di Yogyakarta, Silas Papare bersama Soeparno, J. Latumahina dan Nottan
membentuk Badan Perjuangan Irian (BPI). Selain itu, Koran Suara Irian diterbitkan untuk
menyebarluaskan isu Papua sebagai bagian dari Indonesia. Meskipun Silas Papare berjuang
dari Jakarta, tetapi selalu mengontak pejuang di Papua yang pro-Indonesia. Hal ini terbukti
dari suratmenyurat antara pejuang di Papua dan Silas Papare di Jakarta. Inggamer, tokoh
Perserikatan Indonesia Merdeka (PIM) di Biak melaporkan kepada Silas Papare berbagai
kejadian selama kedatangan pendukung Belanda di Biak, seperti Marcus Kaisiepo, Nicolaas
Jouwe, dan Johan Ariks. Mereka menyatakan bahwa Belanda adalah yang terbaik bagi orang
Papua. Ratu Juliana berjanji membangun Papua dalam 20 tahun. Penduduk Papua diharapkan
tidak memilih Indonesia karena negaranya miskin dan mengalami banyak penderitaan
(Bernarda Meterai, 2012: 91-92).
BPI di Yogyakarta didukung berbagai partai politik di Jawa. Dalam surat Latumahina kepada
Silas Papare pada 12 Oktober 1949 diberitahukan berbagai dukungan kepada BPI dan
penugasan Silas Papare dan Latumahina membantu delegasi Indonesia di Konferensi Meja
Bundar (KMB). Menjelang KMB kelompok Johan Ariks dan Silas Papare bersaing mencari
dukungan masyarakat dan pemerintah dalam penentuan status Papua. Namun, partisipasi
mereka secara langsung dalam KMB kurang diperhitungkan Indonesia dan Belanda. Dalam
laporan rahasia Pemerintah Australia di Hollandia dituliskan bahwa menjelang KMB Belanda
menganggap belum ada orang Papua yang mampu berperan dalam skala politik tingkat
tinggi. Karena itu, yang mewakili orang Papua adalah Pemerintah Belanda. Sedangkan di
pihak Indonesia terdapat wakil dari orang Papua yakni Silas Papare, yang statusnya hanya
sebagai pengamat (Bernarda Meterai, 2012: 93-94).
KMB berakhir dengan tercapainya Piagam Pengakuan Kedaulatan Indonesia oleh Belanda,
tetapi menunda penyelesaian masalah Papua. Dalam pasal II ayat 6 dari piagam itu
dinyatakan bahwa masalah Papua diselesaikan dengan perundingan antara Indonesia dan
Belanda selambat-lambatnya setahun setelah pengakuan kedaulatan itu. Namun, pada 18
Desember 1949 Belanda mengubah status Papua dari karesidenan menjadi gubernemen.
Papua dijadikan sebagai provinsi dari kerajaaan Belanda. Pada 27 Desember 1949 van
Eechout mengumumkan penduduk Papua menjadi penduduk dari Gubernemen Papua.
Karena itu, pemerintahannya dilaksanakan atasnama Ratu Belanda. Hal ini membuktikan

471
bahwa Belanda ingin mempertahankan Papua sebagai wilayah kekuasaannya (Rosmaida
Sinaga, 2013: 189).
Rumbewas menuliskan dalam catatan pribadinya bahwa di Serui pada 27 Desember 1949
dirayakan Pengakuan Kedaulatan RI di kediaman Bestuurs Assistant J. Roti. Perayaan itu
ditandai dengan pengibaran bendera di J. Roti yaitu di sebelah kanan pintu rumah itu
dikibarkan Bendera Belanda dan di sebelah kiri Bendera Indonesia. Pada acara itu,
Rumbewas memberikan sambutan sebagai berikut:
Tanggal 27 Desember 1949 Indonesia menerima kedaulatan dari Sabang sampai Soasiu.
Salam dan bahagia saudara-saudara rakyat RIS. Saudara-saudara RIS pada hari ini telah tiba
saatnya bergembira, yang diperjuangkan oleh seluruh bangsa Indonesia, maka kami harap
buah yang harum dan lezat rasanya kekal abadi yang murni ideologi Irian - Indonesia. Amin.
Dari kata sambutan itu diketahui keinginan Rumbewas untuk mengintegrasikan Papua ke
Indonesia. Hal ini tercermin dari pernyataannya “kami harap buah yang harum dan lezat
rasanya kekal abadi yang murni ideologi Irian- Indonesia”.
Perubahan status Papua tidak mampu menyurutkan keinginan elit Papua yang aktif dalam
KIM dan PKII untuk menolak Belanda di Papua. Drooglever menjelaskan awal 1950an masih
besar simpati pada Indonesia, khususnya di wilayah barat Papua terutama orang Indonesia
yang bekerja di industri minyak di Sorong, orang Buton di wilayah Fakfak dan orang Jawa di
pertanian Merauke, serta orang Papua yang pro-Indonesia di Serui. Di Biak ada Corinus
Krey, Lukas Rumkorem dan putranya, Zeth. Di pantai Waropen ada Stephan Refasi, Petrus
Wetwbossy, Marthen dan Amos Indey serta Petrus Sembor. Mereka semua adalah ambtenaar
dan guru. Pada 1956 Hermanus Wayoi dan Agus Nenepath yang bekerja di pemerintahan
menyatakan pro-Indonesia (Bernarda Meterai, 2012: 94-95).
Keterlibatan masyarakat Serui dalam kegiatan politik yang mendukung Indonesia
menyebabkan Belanda menerapkan pengawasan dan penangkapan. Dalam catatan pribadinya
Benyamin Kayai menuliskan bahwa sejak 1950 hingga 1962 Belanda mengintimidasi warga
Serui. Namun, sikap pro-Indonesia dari PKII tidak pernah surut. PKII menyebarluaskan hasil
KMB, kehadiran Marcus Kaiseipo di Serui, kehadiran kaum Indo-Belanda pasca KMB,
riwayat pendirian PKII, dan reorganisasi pengurus cabang PKII di tiap kampung. Pada 22
Januari 1950 pengurus PKII mengadakan pertemuan untuk membahas peran Silas Papare
sebagai wakil Papua di Yogyakarta, tujuan dan hasil KMB, dan pidato Ratu Wilhelmina
(Bernarda Meterai, 2012: 96).
Menurut catatan harian Rumbewas, Belanda mendatangkan batalion dari Hollandia dengan
kapal Dreite ke Serui untuk menakut-nakuti rakyat yang terlibat dalam partai politik.
Meskipun demikian, perjuangan kelompok elitnya terus berlanjut. Pada 29 Mei 1950 Komisi
Indonesia beranggotakan Muh. Yamin, Latuharhary, Yusuf dan Silas Papare beserta tujuh
wartawan luar negeri datang ke Serui. Demikian juga, komisi Belanda beranggotakan
Maarseven, van Baal, van den Boos, dan Nicolas Youwe beserta tujuh wartawan luar negeri
datang ke Serui untuk bertemu dengan masyarakat Serui yang diwakili 16 orang. Menurut
Rumbewas dari 16 orang itu ada 5 orang yang memihak Belanda dan 11 orang memihak
Indonesia. Dalam pertemuan itu, Rumbewas menyatakan dia merupakan wakil masyarakat
Serui. Karena itu, Rumbewas ditugaskan untuk menjawab 23 soal tentang sikap masyarakat
Serui terhadap hasil KMB. Kecerdesan Rumbewas dalam menjawab setiap soal dipuji oleh
Moh. Yamin. Moh. Setelah menjawab soal itu, Rumbewas menyampaikan pidato perpisahan
di hadapan ke dua rombongan komisi itu. Tangan kanan Rumbewas menggemgam tangan
Mr. Latuharhary serta berkata: “Tuntutlah kedaulatan atas Irian Barat kepada Belanda.
Tangan kiri Rumbewas menggemgam tangan Maarseven serta berkata: Berikanlah

472
kedaulatan atas Irian Barat dan serahkanlah kepada Indonesia. Semoga Tuhan menyertai
perundingan KMB dengan jalan damai. Penduduk Irian Barat cinta damai. Amin”. Dari
pidato Rumbewas itu tercermin keinginannya agar Indonesia memperjuangkan Papua sebagai
bagian dari Indonesia dan Belanda menyerahkan Papua ke Indonesia.
Pada 1951, Belanda di Serui menangkap semua pengurus PKII dan menjebloskan sebagian ke
penjara Hollandia. Alwy Rahman dipenjarakan selama sembilan bulan, Barnabas Aninam
dan Stevanus Rumbewas dipenjarakan selama dua tahun, Yakup Thung Tjing Ek ditahan
sehari dalam keadaan sakit di ruang HPB Serui, dan Benyamin Kayai dipenjarakan selama
dua minggu, Achmad Djalali sebagai bendahara I dipecat dari jabatannya sebagai jurubayar
pegawai HPB Serui. Belanda menyadari bahwa banyak kalangan elit Papua yang mendukung
Indonesia sesudah KMB (Bernarda Meterai, 2012: 99). Oleh karena itu, Belanda berupaya
memisahkan Papua dari Indonesia. Bahkan pada 1958 Belanda dan Australia mengadakan
konfrensi yang menghasilkan kesepakatan untuk membentuk “Persatuan Melanesia”. Sebagai
tindak lanjutnya, pada 21-22 Oktober 1959 Belanda dan Australia mengadakan konferensi di
Canberra dan dilanjutkan dengan pertemuan di Hollandia pada Maret 1960 untuk membahas
kemungkinan untuk mempersatukan Pulau Niew Guinea (jajahan Belanda dan Australia)
menjadi satu Negara. Namun, upaya Belanda itu gagal, karena Indonesia bersama elit Papua
yang pro-Indonesia berhasil memaksa Belanda untuk menyerahkan Papua ke Indonesia.
Penyerahan itu didasarkan Perjanjian New York yang ditandatangani oleh Belanda pada 15
Agustus 1962. Berdasarkan perjanjian itu, Irian Barat diserahkan kepada Indonesia pada 1
Oktober 1962 melalui pemerintah sementara PBB ( United Nations Temporary Executive
Authority – UNTEA) dan 1 Mei 1963 UNTEA menyerahkan kepada Indonesia (Rosmaida
Sinaga, 2013: 193, 214).

C. Menjadi Anggota DPRDGR


Menurut catatan pribadi Rumbewas, dia dilantik sebagai anggota DPRDGR pada 8 Mei 1963.
Ketika Rumbewas dudk di DPRDGR, dia berhasil memperjuangkan Daerah Yapen Waropen
sebagai kabupaten sendiri yang terlepas dari Kabupaten Teluk Cenderawasih. Pada 1 Januari
1969 Kabupaten Teluk Cenderawasih dimekarkan menjadi dua kabupaten yaitu: Kabupaten
Teluk Cenderawasih dan Kabupaten Yapen Waropen.
Pembentukan Kabupaten Yapen Waropen menjadi kenangan yang tidak terlupakan bagi
masyarakat Kepulauan Yapen Waropen atas jasa dari Rumbewas. Para anggota DPRD GR
Provinsi Irian Barat di antaranya Stevanus Rumbewas, Alex Berotabui, David Woisiri dan
Bastian Samori menyampaikan aspirasi masyarakat Yapen Waropen kepada Gubernur
Provinsi Irian Barat, Frans Kaisepo pada Sidang Paripurna DPRD GR. Rumbewas dalam
pidatonya menuntut Gubernur dan Sidang Dewan untuk menyetujui pembentukan Kabupaten
Yapen Waropen terlepas dari Kabupaten Teluk Cenderawasih. Setelah Rumbewas
menyampaikan pandangan umumnya dalam Sidang Dewan, dia tidak mau turun dari mimbar
Dewan dan menyatakan tidak akan turun dari mimbar Dewan sebelum ada persetujuan dari
Gubernur Provinsi Irian Barat. Akhirnya Gubernur Frans Kaisepo menyetujui tuntutan
Rumbewas tentang pembentukan Kabupaten Yapen Waropen terpisah dari Kabupaten Teluk
Cenderawasih. Pengesahan Kabupaten Yapen Waropen ditandai dengan pelantikan bupati
pertama yaitu Sarwoto Kertodipuro pada 6 Maret 1969 di Serui (Pemda Kabupaten Yapen
Waropen, 1999: 30-31).

D. Penghargaan Pemerintah dan Masyarakat terhadap Pengabdian Stevanus Rumbewas

473
Adapun penghargaan yang diterima Stevanus Rumbewas sebagai berikut: pertama,
pemerintah Indonesia melalui Suharto memberikan Pemberian Piagam Penghargaan kepada
Rumbewas atas perjuangannya dalam menentang penjajahan Belanda dan mengintegrasikan
Papua ke Indonesia. Piagam Penghargaan itu didasarkan pada Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 1982 tanggal 29 Februari 1984. Kedua, pengabadian namanya
pada sebuah jalan di kota Serui dan Bandar udara Kamanap, Serui. Ketiga, pemakamannya di
Taman Makan Pahlawan Kota Serui. Stevanus Rumbewas dimakamkan di sebelah makam
pahlawan nasional Silas Papare. Keempat, pemberian rumah yang telah direnovasi dari
Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Yapen kepada keturunannya. Rumah dimaksud
kini ditempati oleh cucunya yang bernama Melianus Stevanus Rumbewas.

E. Penutup
Perjuangan Rumbewas menentang kolonial Belanda dan mengintegrasikan Papua ke
Indonesia dimulai dari tindakannya yang berani untuk merobek warna biru dari bendera
Belanda, sehingga bendera itu berwarna merah putih dan menancapkannya di pelabuhan
Serui kota. Perjuangannya semakin intensif setelah pertemuannya dengan Ratulangi dan
pengangkatannya sebagai komisaris PKII. Perjuangannya dalam menentang Belanda telah
mengantarkannya ke penjara selama dua tahun. Namun, penjara tidak mampu menciutkan
nyalinya untuk menentang Belanda hingga Papua kembali ke Indonesia.
Setelah Papua diintegrasikan ke Indonesia, dia menjadi anggota DPRD GR. Sebagai anggota
dewan, dia memperjuangkan tuntutan masyarakat Yapen Waropen untuk membentuk
kabupaten sendiri. Aspirasi masyarakat Yapen Waropen tersebut diperjuangkannya pada
sidang paripurna DPRD GR Provinsi Irian Barat hingga berhasil, sehingga pada 6 Maret
1969 diresmikan Kabupaten Yapen Waropen.
Perjuangan Rumbewas dalam menentang Belanda dan mengintegrasikan Papua ke NKRI
serta pembentukan Kabupaten Yapen Waropen, mendorong masyarakat dan pemerintah
memberikan berbagai penghargaan kepadanya. Adapun penghargaan yang diterima
Rumbewas di antaranya: beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Serui, namanya
diabadikan sebagai nama sebuah jalan di Serui dan nama Bandar Udara di Kamanap, Serui.
Pemerintah Daerah Kabupaten Yapen memberikan rumah yang telah direnovasi kepada
keturunannya. Presiden Suharto memberikan piagam penghargaan atas jasa-jasanya
mengintegrasikan Papua ke Indonesia.
Penulisan tentang perjuangan para elit Papua dalam menentang Belanda dan
mengintegrasikan Papua ke Indonesia sangat penting untuk membuktikan partisipasi
masyarakat Papua dalam memperjuangkan keutuhan Negara Indonesia. Selain itu, para
sejarawan diharapkan menggali sumber-sumber sejarah yang membuktikan adanya simpul-
simpul Sejarah Papua dengan Sejarah Nasional Indonesia. Hal ini diperlukan untuk
menjawab keraguan masyarakat Papua sebagai bagian dari Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Agung, Ide Anak Agung Gde. 1985. Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia
Serikat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Kartawidjaja, Tarmidja. 1989. Sejarah Pendidikan Daerah Irian Jaya (1855-1980). Jayapura:
BAPEDA Tingkat I Iran Jaya.
Lagerberg, K. 1979. West Irian and Jakarta Imperialism. London: C. Hurst & Company

474
Meteray, Bernarda. 2012. Nasionalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas
Palit, W.J.J.. 1966. Perkembangan Pendidikan Persekolahan di Irian Barat dari Tahun 1855
sampai Tahun 1965, Sukarnapura, Irian Barat: Universitas Cenderawasih.
Patiara, John dkk..1983. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di
Daerah Irian Jaya. Jakarta: Depdikbud.
Pemda Kabupaten Yapen Waropen. 1999. 30 th Kabupaten Yapen Waropen (1969-1999.
Serui: Pemda Kabupaten Yapen Waropen
Penders, C.L.M. 2002. The West New Guinea Debacle Dutch Decolonization and Indonesia
1945-1962. Leiden: KITLV Press.
Rickles, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta.
Sinaga, Rosmaida. 2013. Masa Kuasa Belanda di Papua 1898-1962. Jakarta: Komunitas
Bambu.
Soedarto, Bondan dkk.. 1989. Sejarah Perjuangan Rakyat Irian Jaya. Jayapura: BAPEDA
Tingkat I Iran Jaya.
Yambeyapdi, Ester. 2011. Silas Papare Pahlawan Nasional Asal Papua. Jayapura: Dinas
Kesejahteraan Sosial dan Masyarakat Terisolir Provinsi Papua.

Koran
Kompas, Minggu 7 Oktober 1979, hal. 2. Kol. 3-6

DAFTAR INFORMAN
No Nama Tempat dan Alamat Pekerjaan
Tgl Lahir
1 Yustus Rumbewas (Cucu Serui, 11 Kampung Guru SD YPK
dari Stevanus Rumbewas) Oktober 1970 Kamanap Kamanap
2 Melianus Stevanus Serui, 10 Mei Serui PNS Dinas
Rumbewas 1968 Sosial
Kabupaten
Kepulauan
Yapen
3 Ema Serawani Waropen, 1944 Waropen Pensiunan
PNS
4 Benyamin Rumbewas Kamanap Kamanap Ketua
Bamuskam
Kampung
Kamanap

475
Konstruksi Sejarah Lokal Situbondo sebagai Sumber Belajar
Rully Putri Nirmala Puji
Pendidikan Sejarah, Universitas Jember

Abstrak
Sejarah lokal merupakan komponen pembentuk struktur Sejarah Nasional suatu bangsa yang
seutuhnya. Nampaknya para pendesain pendidikan mulai melirik potensi sejarah lokal yang
dianggap banyak memberikan manfaat karena dirasa memiliki kedekatan dengan kondisi
sosial dan lingkungan belajar peserta didik. Para sejarawan juga memandang sejarah lokal
sebagai suatu bahan kajian yang masih perlu untuk diteliti dan dikembangkan lagi
keberadaannya. Hal ini memberikan motivasi kepada para pengembang pendidikan dan
sejarawan Indonesia dalam melakukan eksploitasi terhadap eksistensi sejarah lokal. Kajian
ini bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan peninggalan sejarah lokal yang berada di
daerah Situbondo, Jawa Timur. Selain itu kajian ini juga memiliki objektif dalam
mengembangkan sejarah lokal Situbondo bagi aspek pendidikan, yaitu sebagai sumber
belajar. Kajian ini menggunakan jenis penelitian ekspositori dengan menggunakan
pendekatan sejarah. Instrumen yang digunakan dalam kajian ini ialah menggunakan metode
observasi, wawancara dan juga analisis dokumen. Kajian ini memberikan implikasi terhadap
eksistensi sejarah lokal bagi perkembangan ilmu sejarah Indonesia dan juga bagi aspek
pendidikan.

Pendahuluan
Rekonstruksi terhadap sejarah lokal memberikan kesempatan untuk menyebarkan
kualitas moral sebuah bangsa yang berbudaya (Anshoriy, 2008:163-164; Saifullah (1981:18).
Melalui pembelajaran sejarah lokal maka hal tersebut dapat menjadi usaha pendidikan
sebagai alat yang efektif dalam mempertahankan nilai warisan budaya dan mengembangkan
identitas nasional (Soedijarto, 1998:99).
Situbondo merupakan daerah yang memiliki keunggulan lokal yang tinggi dari segi
potensi historisnya jika dilihat dari banyaknya peninggalan sejarah yang berada di kawasan
tersebut. Minimnya kesadaran akan sejarah dan juga kepedulian akan kultur budaya
masyarakatnya membuat Situbondo kurang diperhatikan dan diperhitungkan oleh Pemerintah
Kabupaten. Berdasarkan alasan teoritik dan juga kondisi empiris di lapangan mendorong
pengkaji untuk merekonstruksi sejarah lokal Panarukan sehingga nilai budaya dan historis
tetap terus dapat dilestarikan.

Metodologi
Kajian ini merupakan kajian ekspositori yang bertujuan untuk mengekplorasi suatu
objek tertentu. Kajian ini juga menggunakan metodologi sejarah dalam merekonstruksi fakta
sejarah mengenai Situbondo khusunya daerah Panarukan. Tekhnik pengambilan data dengan
melakukan observasi, wawancaea dan juga analisis dokumen. Observasi dilakukan dalam
menemukan informasi mengenai peninggalan sejarah di kota Situbondo. Analisis dokumen
digunakan dalam mengidentitifikasi sumber-sumber sejarah dalam merekonstruksi sejarah
lokal yang seutuhnya. Selain itu pengkaji juga menggunakan tekhnik wawancara untuk

476
mendapatkan informasi mengenai eksistensi peninggalan sejarah bagi kalangan masyarakat
sosial Situbondo.

Hasil dan Pembahasan


Panarukan dalam perspektif sejarah
Nama Panarukan berasal dari nama Patukangan. Daerah ini merupakan daerah hadiah
kepada Arya wiraraja dalam menumpas serbuan dari Raja Jayakatwang. Dalam misinya itu,
Arya wiraraja membantu Raja Kertarajasa Jayawardhana. Melalui keberhasilan serangan
tersebut maka raja memenuhi janjinya kepada Arya wiraraja untuk membagi dua pulau jawa
(wilayah kerajaan) menjadi dua bagian. Bagian tersebut yaitu bagian Majapahit barat dan
Majapahit timur. Aryawiraraja mendapat bagian bernama Lamajang dan Tigang Juru. Daerah
tersebut meliputi wilayah Lamajang lor dan lamajang kidul serta wilayah Patukangan dan
Blambangan. Patukangan disinyalir adalah wilayah Panarukan di daerah Jawa Timur
sekarang (Hidayat, 2013:122).
Pada masa kerajaan Majapahit nama Panarukan disebut-sebut dalam kitab
Negarakretagama karangan Empu Prapanca. Dalam kitab Negarakretagama pupuh 17 bait 7
menyebutkan bahwa tahun 1281 Sri Nata (Hayam Wuruk) melalukan perjalanan dengan
diiringi oleh semua raja Jawa serta Permaisuri dan pejabat pemerintahan Majapahit.
Sedangkan pada pupuh 18 disebutkan mengenai kemewahan dan perlengkapan property
perjalanan sang raja. Setiap raja yang mewakili iringan membawa lambang kerajaan sendiri
sebagai identitas kerajaannya masing-masing seperti kerajaan Pajang, Lasem dan Daha.
Kereta yang dinaiki oleh Raja Hayam Wuruk berhiaskan emas dan ratna manikam serta
berkendara Gajah dan Kuda (Muljana 2007, 348-351).
Perjalanan besar tersebut memakan waktu sekitar 2 hingga 3 bulan lamanya. Rute perjalanan
melewati daerah-daerah yang hingga kini dapat diidentifikasi keberadaannya yaitu melalui 8
kebupaten seperti Mojokerto, Pasuruan, Malang, Probolinggo, Lumajang, Jember,
Bondowoso dan Situbondo. Bunyi pupuh 28 bait 1 kitab Negarakretagama menyebutkan
perjalanan Hayam Wuruk yang mendatangi Panarukan : Setelah sementara waktu di
Patukangan para mantri (penguasa) Bali serta Madura datang, Mantri Balunggung
(Blambangan) kepercayaan beliau, seluruh mantri (penguasa) se wilayah timur datang
berkumpul (Slamet mulyana, 2007:356). Tempat yang diyakini Patukangan oleh De Graff
dan Slamet Mulyana pada saat sekarang adalah Panarukan itu sendiri.
Datangnya raja Hayam Wuruk ke daerah Patukangan (Panarukan) memberikan
gambaran bahwa Panarukan memiliki potensi yang penting pada masa kerajaan Majapahit.
Panarukan dijadikan sebagai bandar perdagangan yang komunitasnya juga mencakup
pedagang asing. Raja Hayam Wuruk bahkan memilih Patukangan (Panarukan) sebagai
tempat bertemunya sang raja dengan raja-raja luar seperti Bali, Madura, Balumbungan, serta
Andelan. Pertemuan itu disebut-sebut berada di wilayah tanjung kecil yang diperkirakan itu
adalah pantai Pathek sekarang (Sidomulyo, 2007:64-65).
Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada tahun 1478, ditandai dengan
candara sengkala: sirna ilang kertaning bumi yang berabrti tahun 1400 saka. Selepas
Majapahit melemah, banyak daerah-daerah vassal yang kemudian memiliki itikad untuk
melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Daerah Pantai seperti Tuban, Gresik, Panarukan
dan Demak menyatakan lepas dari kekuasaan Majapahit (Purwadi, 2007:233).
Eksistensi kerajaan Majapahit runtuh dan digantikan oleh masa pemerintahan
kerajaan islam Demak. Pembangunan kerajaan Demak dimulai tahun 1475 dengan pendirinya

477
yaitu Raden Patah. Tetapi nyatanya eksistensi dan hegemoni kerajaan Demak sangat jauh
dengan eksistensi kerajaan Majapahit. Banyak daerah-daerah bekas vassal dari Majapahit
yang tidak mengakui kedaulatan Demak. Daerah tersebut adalah Pasuruan, Panarukan dan
Bali yang tetap menjadi daerah kerajaan yang beragama Hindu. Orang bekas kerajaan
Majapahit yang tidak ingin memeluk agama islam banyak menyingkir ke daerah Pasuruan
dan Panarukan serta Bali.
Penguasa kerajaan Demak yang pertama adalah Raden patah, kemudian digantikan
dengan Adipati Unus, lalu digantikan oleh Sultan Trenggana. Pada masa pemerintahan Sultan
Trenggana merupakan puncak kejayaan Demak. Pada masa pemerintahannya banyak
melakukan penyerangan kepada beberapa wilayah yang masih menjadi wilayah kekuasaan
Majapahit. Wilayah itu biasa disebut dengan kawasan kafir karena tidak memeluk agama
muslim. Daerah yang dapat ditaklukkan oleh Demak ialah wirasari 1528, Madiun 1529,
Surabaya 1531, Pasuruan 1535. Gunung Penanggungan yang merupakan kawasan religi
Hindu-Jawa juga ditaklukkan oleh kerajaan Demak pada tahun 1543. Hingga sasaran terakhir
terhadap daerah Panarukan dan Blambangan pada tahun 1546 (Kartodirdjo, 1999:31).
Mendez Pinto menyebutkan bahwa Sultan Trenggana menyerang Panarukan pada
tahun 1546 yang merupakan pelabuhan penting pada masa itu. Dalam misi peperangan ini,
Sultan Trenggana disebut-sebut telah terbunuh (Ricklefs, 2010:71). Usahanya untuk
menyatukan kota pelabuhan yang masih kafir ke dalam wilayah kerajaan Demak nyatanya
gagal (Graff, 1989:46). Panarukan hingga pada akhir abad ke XVI tetap kafir seperti halnya
Blambangan. Panarukan berada di bawah lindungan raja Bali di Gelgel. Kerajaan Bali
dikatakan sebagai pengganti sah Maharaja Majapahit yang telah mengalami kemunduran
(Graff, 1989:219).
Menurut laporan Barros pada tahun 1528 Panglima perang Portugis di Malaka
mendapat utusan dari kerajaan Panarukan yang ingin mengadakan persahabatan. Panarukan
pada waktu itu diperkirakan telah menjadi merdeka dari kerajaan Majapahit. Diperkirakan
datangnya utusan itu dimaksudkan untuk meminta bantuan Portugis di Malaka dalam
pertempuran melawan kaum islam yang diperkirakan itu adalah ancaman Demak. Kemudian
Demak benar-benar melakukan penyerangannya pada tahun 1546 (Graff, 1989:63).
Pada tahun 1579 seorang Romo Jezuit, Bernardino Ferrari datang mengunjungi
Panarukan dengan menggunakan kapal milik Portugis di Malaka. Missi Bernardino datang ke
Panarukan ialah untuk melayani orang-orang Portugis yang tinggal di daerah tersebut. Raja
Panarukan bahkan meminta dengan perantara sebuah utusan terhadap Portugis untuk
mengirimkan lebih banyak missionaris ke dalam wilayah kerajaannya (Graff, 1989:236).
Menurut gambaran tersebut maka dapat disimpulkan bahwa telah ada pemukiman
untuk orang-orang Portugis yang berada di daerah Panarukan. Hal ini didukung karena
kepentingan orang Portugis dalam menyebarkan agama dan melakukan perdagangan. Hal ini
membuat pelahuan Panarukan menjadi Pelabuhan yang sangat ramai dikunjungi kala itu.
Dulunya Pelabuhan Panarukan didirikan oleh George Birnie sekitar tahun 1890 dengan nama
Maactschappij Panaroekan. Kota Panarukan kemudian berkembang dan meninggalkan
warisan sejarah serta kearifan lokal bagi kehidupan bersosial masyarakat.

Peninggalan Sejarah Panarukan


Panarukan merupakan bagian daerah dari kota Situbondo dan juga merupakan salah satu
wilayah dalam kawasan Karesidenan Besuki Jawa Timur. Situbondo memiliki letak
Astronomis yang berada di posisi antara 7° 35´ - 7° 44´ Lintang Selatan dan 113°30´ - 114°
42´ Bujur Timur. Batas wilayah Kabupaten Situbondo meliputi sebelah Utara berbatasan

478
dengan Selat Madura, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso dan
Banyuwangi, batas wilayah sebelah Timur berbatasan dengan Selat Bali sedangkan untuk
batas wilayah Barat yaitu dengan Kabupaten Probolinggo (BPS Situbondo, 2001: xxv).
Situbondo sebagai salah satu bagian dari negara Indonesia, tentu tidak terlepas dari Sejarah
Nasional bangsanya. Sejarah nasional yang bersifat Universal membutuhkan Sejarah Lokal
sebagai sebuah komponen untuk membentuk Sejarah nasional seutuhnya. Misalnya sejarah
pergerakan nasional tidak akan bisa terlepas dari sejarah pergerakan yang bersifat lokalitas
dari beberapa daerah di Indonesia, seperti perjuangan di Surabaya, Madiun, Jakarta dll.
Keunggulan lokal terbagi menjadi beberapa potensi yaitu Potensi sumber daya alam, sumber
daya manusia, geografis, budaya dan historis. Situbondo memiliki banyak potensi historis
dalam keunggulan lokalnya. Hal tersebut didukung dengan ditemukannya beberapa
peninggalan Sejarah di Situbondo.

Tabel 1 Banyaknya peninggalan Sejarah Situbondo menurut jenisnya 1996-2001


No Nama Benda 1996 1997 1998 1999 2000 2001

1 Candi - - - - - -
2 Situs 16 18 18 18 18 16
3 Bangunan 12 12 12 12 12 11
Sejarah
4 Arca 9 9 9 9 9 8
5 Prasasti 5 5 5 5 5 5
6 Sarkofagus 3 3 3 3 3 3
7 Lumpang 4 4 4 4 4 6
8 Makam 113 113 113 113 113 111
keramat
9 Batu relief 1 2 2 2 2 2
10 Lain * 6 6 7 7 7 4
Jumlah 169 172 173 173 173 166
Sumber: BPS (2001 hal 110).
Menimbang tabel kuantitas peninggalan sejarah diatas menunjukkan bahwa Situbondo
memiliki nilai historis yang tinggi dalam setiap babakan sejarahnya. Beberapa bentuk
peninggalan sejarah yang ditemukan menjadi salah satu bentuk manifestasi tingginya
peradaban di daerah Situbondo. Peninggalan tersebut mulai dari peninggalan selama manusia
masih belum mengenal tulisan. Masa ini biasa disebut dengan masa Pra sejarah. Hingga
kepada masa mereka telah mengenal tulisan yang biasa disebut dengan masa Sejarah.
Peralihan Situbondo dari masa pra sejarah menuju masa sejarahnya masih sulit untuk
ditentukan. Hal tersebut memerlukan pengkajian lebih jauh untuk dapat mengungkapnya.
Kendala yang dihadapi adalah karena masih sangat sedikit sumber tertulis maupun sumber
pengkajian terkait mengenai sejarah Situbondo. Sumber gubahan seperti naskah kuno
Negarakretagama karya mpu prapanca banyak menyinggung daerah Situbondo khususnya
Panarukan. Untuk dapat mencari sumber mengenai Sejarah Situbondo pengkaji juga banyak

479
menggunakan sumber berbahasa asing yang merupakan warisan kolonial maupun arsip-arsip
terkait.
Salah satu bentuk peninggalan yang berada di kawasan Situbondo adalah Benteng
VOC yang bertempat di desa Kilensari kecamatan Panarukan. Peninggalan lainnya yaitu
berupa tugu Portugis di desa Peleyan Barat atau yang disebut dengan kota Beddha kecamatan
Panarukan. Peninggalan ini bercorak kolonial dan bersinggungan dengan zaman Madya yang
berkisar antara abad XVI-XIX. Zaman madya adalah periodesasi sejarah Indonesia saat
masuk dan berkembangnya agama islam. Tidak mungkin ada asap tanpa ada api, peribahasa
ini tentu cocok untuk menggambarkan peninggalan tersebut. Tidak mungkin ada peninggalan
sejarah tanpa ada aktivitas peradaban manusianya.

Peninggalan Masa Kolonial di Panarukan


Benteng Portugis
Menurut fakta sejarah yang dikumpulkan dari beberapa tulisan sejarawan, kedatangan
Portugis ke Panarukan tidak mendapatkan perlawanan bagi masyarakat Panarukan itu sendiri.
Bahkan Portugis banyak melakukan hubungan baik perdagangan dengan masyarakat pribumi
Panarukan. Diperkirakan bahwa Panarukan menjadi tempat transit dagang pada masa itu.
Nama Panarukan berasal dari kata menaruh (Panarukan) yang dilakukan oleh bangsa Portugis
untuk menimbun bahan makanannya sebelum dibawa ke Malaka (Arifin, 2008:147).
Strategi perdagangan Portugis adalah membangun suatu pusat administrasi yang
berhubungan dengan benteng-bentengnya. Kota-kota dagang Portugis dilengkapi dengan
benteng (fortelessa). Melalui benteng tersebut maka Portugis membuat adanya pemisahan
antara penduduk setempat dengan orang-orang Portugis itu sendiri. Orang- orang Portugis
mendapat perlindungan dengan berada di dalam benteng. Pada tahun 1580 Pontonio de Bruto
dan Joao de Moreno mendirikan benteng pertahanan untuk menimbun barang-barang
dagangannya, seperti lada, cengkeh. Barang dagangan tersebut mereka bawa dari kepulauan
Maluku untuk dibawa ke Malaka (Arifin, 2008:147). Namun nantinya tujuan pendirian
benteng sebagai tempat penimbunan hasil bumi beralih fungsi menjadi benteng pertahanan
dari serangan musuh dan juga rakyat yang mulai melakukan perlawanan atas penyimpangan
yang mereka lakukan (lap pel, 2003:51)
Lokasi benteng ini terdapat di wilayah Dusun Kilensari Timur Desa Kilensari
kecamatan Panarukan, Kabupaten Situbondo. Struktur bangunan benteng pada saat ini berada
pada kondisi yang kurang baik. Kondisi Benteng saat ini sudah tidak utuh lagi. Persentasi
bagian benteng yang masih utuh hingga sekarang adalah 30%. Bagian atas Benteng sudah
tidak dapat dilihat lagi. Bagian yang dapat diamati adalah bagian bawah dan pondasinya saja.
Kemungkinan hilangnya bagian benteng tersebut dikarenakan terjadinya erosi. Hal ini
dikarenakan daerah ini bersebrangan langsung dengan wilayah sungai sampeyan. Bagian
benteng yang berada di tepi sungai juga sangat memprihatinkan. Secara keseluruhan, struktur
benteng ini sudah tidak dapat diidentifikasi lagi.
Belum dapat ditentukan pada tahun berapa benteng ini beralih fungsi menjadi
pemakaman umum. Data yang didapat untuk mengidentifikasi hal ini pun juga masih sangat
terbatas. Keterbatasan sumber seperti sumber lisan atau dokumen juga sangat sulit untuk
didapatkan. Sumber sejarah lisan maupun folklore yang biasa di wariskan secara turun
temurun juga tidak memiliki kekuatan data yang valid.
Struktur benteng Portugis ini terbuat dari batu bata. Terdapat ciri khas yang unik dari
batu bata tersebut dibandingkan dengan batu bata kebanyakan pada zaman sekarang. Batu

480
bata yang digunakan berukuran sangat besar dengan ukuran panjang 33-35 cm, kemudian
ukuran lebar sekitar 15-17 cm. Sedangkan untuk tebal batu bata berkisar 7-10cm. Tentu
ukuran ini tidak sama dengan ukuran batu bata yang biasa digunakan pada bangunan-
bangunan modern. Menurut kesaksian warga setempat, batu bata tersebut telah banyak
dimanfaatkan untuk digunakan sebagai bahan bangunan dengan cara dicongkel. Bangunan
yang masih tersisa hanya berupa tembok yang tingginya sekitar 1m-1,5 m dengan tebal
tembok 125cm-180cm. Kemudian di tepi sungai masih terdapat sisa-sisa bangunan yang
sedikit menunjukkan bentuk benteng tersebut.

Tugu Portugis
Tugu Portugis ini terdapat di dusun peleyan Barat atau kota Beddha desa Peleyan
kecamatan Panarukan. Lokasi ini terletak di sebelah Timur sungai Sampeyan. Jarak dari
pusat kota ke lokasi ini kurang lebih 8 km. Kondisi Tugu Portugis ini berada di area
persawahan milik warga. Tugu Portugis ini terletak di tepi desa. Masyarakat setempat
menyebutnya dengan sebutan tugu Portugis / tugu bung. Lokasi Tugu Portugis ini tidak jauh
dari tempat benteng Portugis seperti yang sudah disebutkan di muka. Hal ini menunjukkan
bahwa ada keterikatan yang jelas antara tugu tersebut dan juga benteng. Melalui peninggalan
ini maka aktivitas Portugis di Panarukan menjadi lebih jelas.
Berbeda dengan kondisi bangunan antara benteng Portugis di Panarukan dengan Tugu
Portugisnya. Bentuk bangunan dari tugu Portugis ini masih terlihat jauh lebih bagus meski
terus diperlukan perawatan-perawatan agar peninggalan ini tetap dalam kondisi baik. Kondisi
bangunan masih terlihat utuh, sehingga menguntungkan bagi para pengkaji yang ingin
mengidentifikasi peninggalan ini. Struktur bangunan ini terbuat dari batu bata dan sudah
dikuliti. Tinggi keseluruhan dari tugu Portugis ini berkisar 4 m. Diperkirakan di dalam sawah
masih ada bagian dari Tugu yang masih terbenam. Oleh karena itu bagian bawah tugu tidak
dapat diidentifikasi lagi, melainkan hanya bagian atasnya saja yang dapat terlihat.
Dikarenakan kondisi tugu Portugis ini terletak di daerah persawahan warga membuat akses
masuk menjadi terhambat.

Batu bata yang digunakan berukuran panjang ±30 cm, lebar ±15 cm dan tebal 5 cm.
Tugu ini memiliki lima bagian yaitu bagian dasar yang berbentuk lingkaran dengan tinggi 31
cm, di atasnya lagi terdapat bangunan bulat yang memiliki diameter lebih kecil yang
berukuran tinggi 110 cm. Bagian atasnya lagi berupa bangunan segi enam dengan tinggi 125
cm. Diatasnya lagi ada bagian leher berbentuk segi dua belas dengan ukur lebih kecil dan
mempunyai tinggi 90 cm. Di bagian paling atas berbentuk kerucut dengan tinggi 40 cm. Pada
bagian atas terdapat lubang yang diperkirakan berfungsi sebagai tempat penerangan (Lap pel,
2003:20).
Daerah ini diperkirakan dulunya berupa pantai yang sangat dekat dengan aliran laut.
Hal ini ditunjukkan dengan kesaksian warga sekitar yang banyak menemukan sisa kerang-
kerang besar yang merupakan proses sedimentasi. Karena proses pendangkalan yang cepat di
sungai sampeyan membuat daerah dataran harus melebar beberapa kilometer dari laut.
Diperkirakan Tugu ini adalah tugu petunjuk bagi pelaut jawa bahwa daerah ini merupakan
daerah pelabuhan yaitu yang disebut dengan pelabuhan Panarukan (Lap pel, 2003:20).
Tugu Portugis ini diperkirakan menjadi bahan petunjuk bagi para kapal dagang yang berlayar
di perairan Panarukan. Pada bagian atas tugu ditemukan sebuah lubang yang diperkirakan
sebagai tempat penerang. Cahaya dari tugu tersebut memberikan informasi bahwa pelabuhan

481
sudah dekat. Sama halnya pada abad ke XVI, Portugis juga memanfaatkan tugu tersebut
sebagai tempat penerangan untuk menarik para pedagang untuk singgah.
Keberadaan tugu Portugis ini jarang dikunjungi oleh para pengunjung. Tugu Portugis ini
tidak memiliki dampak kultural bagi masyarakat sekitar. Oleh sabab itu tidak ditemukan
bekas-bekas adanya upacara sesaji atau pengunjung yang mengunjungi tempat ini. Di sebelah
Timur lokasi tugu Portugis ini tedapat sebuah tempat pemandian kecil yang diperkirakan itu
adalah tempat pemandian putri Panarukan. Untuk memastikan ini dibutuhkan pengkajian
lebih lanjut tentang kebenaran berita itu.

Kondisi Sosial Masyarakat Panarukan Pada Masa Kolonial

Panarukan merupakan salah satu bagian daerah dari Kabupaten Situbondo. Penduduk
Kabupaten Situbondo terdiri atas etnis Madura, Jawa, Cina, dan etnis lainnya. Etnis Madura
menempati etnis mayoritas di kabupaten Situbondo. Penggunaan bahasa Madura menjadi
dominan untuk dipakai dalam kehidupan sehari-hari (Laporan Penelitian, 2003:13). Adanya
komunitas etnis China di daerah Panarukan dapat dilihat dengan ditemukannya pemakaman
kaum China antik yang berada di kota Beddha.
Sebelum abad ke XVI bangsa Cina banyak datang ke Indonesia dan menyebar ke
daerah-daerah Sumatera, Kalimantan dan Indonesia bagian Timur. Menyusul pada abad ke
XVI secara besar-besaran masyarakat Cina datang ke Indonesia sampai pertengahan abad ke
XIX. Bangsa Hokien dari Cina mampu menguasai perdagangan, pertambangan dan pertanian
di Indonesia. Pencampuran antara kaum Cina dan Pribumi maka lahirlah Cina baru yaitu
Cina Totok (asli) dan Cina Peranakan (Ningrat, 1998:353).
Sejak dikeluarkannya PP 10 Tahun 1959, maka semakin banyaklah orang Cina
peranakan masuk ke perkotaan Situbondo. Daerah Situbondo yang banyak dijumpai Cina
peranakan adalah di kawasaan Pecinan. Daerah ini pada msa sekarang berada di Jl. Ahmad
Yani. Kemudian untuk daerah Kalbut terdapat juga daerah pecinan. Besuki juga memiliki
daerah Pecinan. Terdapat peninggalan Klenteng untuk tempat ibadah umat Cina dan itu satu-
satunya di Besuki.
Sebelum Portugis masuk kekawasan Panarukan pada abad ke XVI, Daerah ini
merupakan salah satu daerah yang menganut agama Hindu, hal ini dipengaruhi oleh
kekuasaan kerajaan majapahit yang pada waktu itu berkuasa. Majapahit memegang hampir
seluruh wilayah Indonesia sekarang. Tentu saja pengaruh agama yang dianut kerajaan besar
tersebut akan menjadi agama bagi kebanyakan daerah vassalnya.
Pelabuhan Panarukan yang merupakan pelabuhan penting masa itu membuat
masyarakat sekitar memanfaatkan penghasilan dari potensi maritimnya. Para pedagang
banyak berkumpul di pelabuhan ini untuk melakukan hubungan dagang. Adanya interaksi
dagang membuat adanya sebuah stratifikasi sosial yang berada di kawasan ini. Stratifikasi
sosial bagian atas di duduki oleh kaum bangsawan dan saudagar-saudagar kaya. Bentuk
stratifikasi sosial tersebut dapat terlihat dari cara berpakaian bangsawan kala itu. Berikut ini
dideskripsikan mengenai pakaian traditional para juragan atau yang disebut sebagai saudagar
kaya Situbondo menurut Kuntunok (2000) adalah :
Putri :
1. Gelung nok nong bulat besar rambut tidak disasak.

482
2. Cucok sisir terbuat dari uang dinar, emas ( Jampella atau ringgit terbuat dari emas)
bentuknya setengah lingkaran.
3. Kebaya lengan panjang dan ujung kebaya meruncing. Kebaya terbuat dari bahan
sifon, beludru air, macan ketawa dan brukat.
4. Peniti terbuat dari dinar tersusun dari atas sampai kebawah dan dibiarkan
menggantung.
5. Giwang atau Krabu dari emas ukuran besar sesuai model
6. Menggunakan samper sarung atau samper tanpa wiru dan stagen.
7. Alas kaki memakai sandal selempang dari kulit atau beludru
Putra :
1. Pakai kopyah hitam / odheng
2. Jas krah berdiri atau jas Belanda dengan lengan panjang dan didalamnya pakai kaos
oblong atau singlet
3. Menggunakan jam saku berantai dan diujungnya terdapat dinar. Cara memakai jam
disaku rantainya disangkutkan ke kancing baju tengah dan dinarnya bergantung di
ujungnya.
4. Pakai celana ukuran tiga perempat dan luarnya menggunakan sarung yang tompalnya
dibelakang. Biasanya sarung ini buatan Donggala, Makasar (Bugis)
5. Pakai Obe (sabuk epek berdompet).
6. Lengannya menggunakan gelang akar bahan besar dengan maksud menunjukkan
martabat sosialnya.
Pakaian juragan atau saudagar yang dimaksud adalah orang-orang yang kaya pada waktu itu.
Biasanya pakain itu dipakai oleh pedagang-pedagang besar, para pemilik tanah, pengusaha,
pemilik perahu dan juga orang-orang terpandang lainnya. Pakaian para juragan ini dibuat
sangat mencolok untuk menunjukkan kekayaan dan kekuasannya. Secara tidak langsung
pakaian dapat menunjukkan kelas strata sosial si penggunanya.

Kesimpulan
Sejarah Panarukan tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Kolonial yang berkaitan dengan
sejarah Madya di Indonesia. Hal ini dapat diliat dari peninggalan-peninggalan sejarah yang
berada di kawasan ini. Namun nampaknya peninggalan ini perlu mendapatkan perawatan
demi menjaga kelestariannya. Rekonstruksi terhadap sejarah lokal Panarukan akan
memberikan implikasi terhadap kesadaran sejarah dalam kehidupan bersosial dan
bermasyarakatnya. Cadangan bagi penelitian selanjutnya ialah dengan memanfaatkan sejarah
lokal Panarukan bagi kepentingan pendidikan dan kehidupan berbudaya. Melalui hal ini
maka sejarah lokal akan dapat difahami dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Daftar Pustaka
Anshoriy, N. & Pembayun. 2008. Pendidikan Berwawasan Kebangsaan. Yogyakarta: LkiS
Pelangi Aksara.

483
Arifin, E. B. 2008. Quo Vadis Hari Jadi Kabupaten Situbondo. Situbondo: Bappekab
Situbondo.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Situbondo, 2001. Situbondo Dalam Angka. Situbondo:
Badan Pusat Statistik Kabupaten Situbondo.
De Graff, H. J. 2002. Puncak Kekuasaan Mataram. Jakarta: Grafiti Pers
De Graff, H.J & Th. Pigeaud. 1989. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan Dari
Majapahit ke Mataram. Jakarta: Grafiti Pers.
F. J. Kuntunok, I. 2000. Busana Situbondo. Tidak diterbitkan.
Hidayat, M. 2013. Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru: Menafsir ulang Sejarah
Majapahit Timur. Denpasar: Pustaka Larasan.
Kartodirdjo, S. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Kartodirdjo, S. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari
Kolonialisme Sampai Nasionalisme Jilid 2. Jakarta: Gramedia.
Mulyana, S. 1983. Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta: Inti Idayu
Press.
Muljana, S. 2005. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: PT.
LkiS Pelangi Aksara.
Muljana, S. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di
Nusantara. Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara.
Mulyana, S. 2007. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta: PT LkiS Pelangi
Aksara.
Saifullah, A. 1981. Pendidikan Pengajaran & Kebudayaan. Surabaya: Usaha Nasional.
Purwadi, 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Abadi.
Purwadi, 2007. Sistem Pemerintahan Kerajaan Jawa Klasik. Sumatera Utara: Pujakesuma.
Ricklefs, M. C. 2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Sidumolyo, H. 2007. Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca. Jakarta: Wedatama Widya
Sastra
Soedijarto, H. 1998. Pendidikan Sebagai Sarana Reformasi Mental Dalam Upaya
Pembangunan Bangsa. Jakarta: Balai Pustak

484
Willem Iskandar sebagai Tokoh Pendidikan Sumatera Utara sebagai Sejarah Lokal
dalam Mata Kuliah Sejarah Indonesia
Samsidar Tanjung
Dosen Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan
samsidar.tanjung55@gmail.com

Abstrak
Williem Iskandar, adalah tokoh pendidikan di Sumatera Utara yang belum banyak dikenal
oleh masyarakat nya, termasuk mahasiswa. Sebagai tokoh sudah sewajarnyalah mahasiswa
sebagai calon intelektual nantinya di masyarakat dan terutama mahasiswa sejarah yang akan
menjadi guru sejarah, sangat naif apabila tidak mengetahui sejarah tokoh ini. Sejarah lokal
dalam hal ini sangat penting untuk diajarkan kepada anak didik sebagai wadah untuk
bagaimana mengenal daerahnya dan potensi yang ada. Melalui pembelajaran di kelas maupun
melalui cerita turun temurun, hendaknya tokoh Willem Iskandar dapat dikenalkan. adapun
metode untuk itu adalah dengan melalui sumber dan media belajar yang dapat dimanfaat
seperti buku, situs dan peninggalan serta kata – kata bijak yang di sampaikan oleh Willem
Iskandar, serta ide dan pemikiran-pemikiran dengan makna pesan untuk supaya masyarakat
Sumatera Utara tidak bodoh, kemudian mengolah informasi yang telah didapatkan dan di
diskusikan didalam kelas secara bersama-sama sehungga mahasiswa secara langsung dapat
mengetahui tokoh Willem Iskandarmelalui proses pembelajaran tersebut. Pembahasan materi
tentang tokoh ini adalah termasuk katagori materi sejarah lokal, yang dapat dipelajari dan
berfungsi untuk mengenalkan dan mengkaji karya dan prestasi yang dapat dicontoh dan dapat
di ambil hikmahnya untuk ditaladani.

Kata Kunci: Sejarah Lokal, Willem Iskandar, Tokoh Pendidikan

I. PENDAHULUAN
Sejak adanya manusia diciptakan Allah pendidikan sudah ada, terutama pendidkan
informal dalam keluarga, termasuk penanaman nilai-nilai budaya apakah itu merupakan
kearifan lokal atau tradisi yang secara turun temurun sudah di ajarkan. .Setiap manusia selalu
ingin meningkatkan kualitas hidupnya kearah yang lebih baik , salah satu nya adalah melalui
pendidikan formal. Selain dari itu pendidkan juga dapat diperoleh dari ibu, ayah, keluarga,
masyarakat lingkungan dan pengalaman sendiri. Kemakmuran dan kemajuan dari suatu
negara dan bangsa ditandai dengan seberapa baik dan majunya pendidkan di negara tersebut.
Disetiap daerah di Indonesia mempunyai tokoh pendidikan, termasuk di Sumatera Utara dan
memberikan peranan besar dalam memajukan pendidikan di Indonesia khususnya sumatera
Utara.

Pada tahun 1855, telah lahir putra daerah dari Batak Mandailing( T apanuli Selatan) dengan
nama dengan Sati Nasution dengan gelar Sutan Iskander alias Willem Iskander(Basyral ,
beliau telah ikut mempelopori usaha mencerdaskan kehidupan bangsa terutama di Sumatera
Utara.Willem Iskander seorang tokoh pendidikan yang dapat di golongkan berskala
nasional.Jauh sebelum Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa, Beliau sudah lebih

485
dahulu mendirikan lembaga pendidikan untuk menghasilkan guru berbasis kerakyatan.
Disamping sebagai seorang tokoh pendidikan beliau juga adalah seorang yang sangat piawai
dalam hal musik / seniman dan penulis. Pada masa itu beliau telah banyak perperan didunia
perpoliti kan rajin menulis dan karena pintarnya beliau juga sangat berperan di masyarakt
sebagai tokoh yang sangat kreatif dan pintar serta cerdas , olehkarena itu nama dan peranan
nya di masyrakat Batak mandailing sangat di kenal. Pendidkan fomral yang beliau dapatkan
karena kerja kerasnya dan sampai lah kejenjang perguruan tinggi ke Belanda.

Sejarah lokal di Sumatera Utara telah mencatat bahwa Willem Iskander adalah pemikir
penggagas dan sekaligus pejuang terutama di bidang pendidkan .Kebesarannya terletak pada
kelanggengan gagasan-gagasannya dan karya-karyanya dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa Indonesia.Kepeloporannya di bidang pendidikan menempatkan dirinya sebagai
penggagas dan pelaksana kaderisasi cendekiawan bangsa secara estafet melalui pendidikan
guru.Program pendidikan guru yang digariskan Willem Iskander sangat strategis, karena guru
adalah ujung tombak kemajuan.
Willem Iskander mendirikan dan memimpin Sekolah Guru Bumiputera (Kweekschool
voor Inlandisch Onderwijzers) di desa Tanobato, Mandailing.Ini adalah sekolah guru ketiga
di Hindia Belanda setelah Surakarta dan Bukittinggi.Dari ketiga sekolah guru itu, hanya
sekolah guru di Tanobato yang dipimpin oleh guru yang mendapatkan pendidikan khusus
ilmu keguruan dan ilmu pendidikan, yaitu Willem Iskander sendiri.
Usaha Willem Iskander untuk memajukan pendidikan di wilayah Mandailing mempunyai
dampak luas terhadap dunia pendidikan , terutama pada masyarakat diluar Sumatera Utara,
yakni Aceh. Sejarah Aceh mencatat, bahwa peranan guru-guru yang berasal dari Tapanuli
Selatan sangat besar dalam pengembangan pendidikan formal di wilayah itu.
Willem Iskander dalam dunia pendidikan dikarenakan gagasan pembaharuannya
diutarakan dalam bahasa yang mudah dipahami dalam karya-karyanya. yang terkenal adalah
kumpulan prosa dan puisi dengan judul Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk yang pertama kali
terbit di Batavia pada tahun 1872.Karya ini merupakan inti ajaran Willem Iskander tentang
kemajuan, pendidikan, nasionalisme dan budi pekerti luhur.Diantara puisi-puisi yang paling
tersohor adalah Sekolah (puisi ini dalam bahasa Mandailing berjudul Ajar Ni Amangna Di
Anakna Na Kehe Tu Sikola) yang bertemakan Pendidikan dan Mandailing yang bertemakan
Nasionalisme.
Di era modernisasi yang kita rasakan saat ini tidak banyak generasi muda yang
mengenal dan mengetahui perjuangan para pahlawan pendidikan yang telah merintis serta
memajukan pendidikan di Indonesia.Para generasi muda lebih memilih untuk bergelut
dengan teknologi dan kemajuan zaman.Bahkan mereka tidak menyadari mereka bisa
menikmati pendidikan seperti sekarang ini berkat para pahlawan dan pejuang bangsa yang
dengan segenap kekuatannya memperjuangkan pendidikan yang layak bagi bangsa dan
negaranya.Persaingan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi membuat para generasi muda
lupa akan sejarah bangsanya.Mereka menganggap sejarah hanya segaris peristiwa yang harus
dilupakan.Padahal dari sejarah kita dapat mengetahui tentang para pejuang Bangsa yang
dapat menginspirasi kita di masa mendatang.
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan
merupakan satu kelompok manusia yang telah menerima materi Sejarah sejak Sekolah Dasar
(SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga Perguruan
Tinggi, namun belum semuanya memperlihatkan hal-hal atau sikap positif terhadap Kearifan
Lokal.

486
Berdasarkan hasil pengamatan selama ini bahwa generasi muda atau pemuda masih banyak
yang belum mengenal Willem Iskander, mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah FIS
UNIMED sebagai caon guru sejarah kelak di dunia pendidikan perlu dibekali dengan
pengethuan sejarah yang ada di daerahnya ,. Menyahuti dari program kurikulum Nasional
yang menekannkan perlunya mengenalkan kepada peserta didik sejarah yang ada
disekitarnya . Masalah yang terjadi adalah meskipun mereka sudah mempelajari konsep
pahlawan dan sejarah lokal, namun mereka masih banyak yang belum mengenal dan
mengetahui sikap teladan, perjuangan dan karya-karya Willem Iskander dalam dunia
pendidikan yang sangat menginspirasi.
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan, melalui angket kepada mahasiswa Jurusan
Pendidikan Sejarah beserta dan studi dokumen untuk mencari informasi yang lebih banyak
lagi mengenai Willem Iskander. Metode yang dipakai berbentuk penugasan , menggali
informasi sebanyak –banyaknya tentang tokoh WillemIskander. Selanjutnya diskusikan
secara berkelompok untuk saling memberi informasi yang di dapatkan di lapangan.

II. PEMBAHASAN

A. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah calon guru sejarah


Mahasiswa adalah orang-orang terpelajar yang mengecap pendidikan di Perguruan
Tinggi.Sebagai mahasiswa dapat dilihat dalam 4 hal yaitu Pertama, mereka adalah kaum
terpelajar atau intelektual karena sedang bergulat dengan penimbaan ilmu pengetahuan di
Perguruan Tinggi.Kedua, mahasiswa adalah calon pemimpin. dengan kapasitas keilmuan dan
sikap terpelajar memungkinkan untuk menjadi pemimpin dalam segala lapisan masyrakat
dimasa yang akan datang. Ketiga, mahasiswa adalah penggerak perubahan (agent of
change).Hal itu memungkinkan karena kemampuan dan daya banding yang mereka miliki
serta banyaknya informasi yang membuat mereka selalu melakukan dan memprakarsai
perubahan dalam berbagai bidang kehidupan.Keempat, mahasiswa adalah garda dengan
perbaikan masyarakat karena potensi intelektualitas, obsesi dan cita-cita masa depan mereka.
( Abdullah taufik 2009)
Dengan melihat beberapa posisi Mahasiswa tersebut, Mahasiswa mempunyai peran yang
sangat penting dalam penegakan demokrasi di Indonesia dan sebagai generasi penerus
bangsa, mahasiswa memiliki peran sebagai anak bangsa untuk menjaga dan mempertahankan
kemerdekaan Negara Indonesia. Melalui pengetahuan yang didapat baik di lingkungan
kampus maupun di lingkungan masyarakat maka sebagai mahasiswa Indonesia harus
memiliki persepsi atau pandangan positif pada setiap peristiwa sejarah hingga nantinya dapat
menimbulkan kesadaran sejarah yang pada akhirnya dapat mendorong sikap patriotisme,
nasionalisme serta cinta tanah air Indonesia karena mereka yang nantinya sebagai calon
pemimpin bangsa ( Akbar Tanjung 1989) .Maka sudah semestinya mahasiswa / pemuda
terdidik untuk mengetahui tentang perjuangan Willem Iskander sebagai Tokoh Pendidikan
Sumatera Utara, terkhusus untuk mahasiswa pendidkan sejarah.
Terfokus pada masalah yang dikaji, maka dalam hal ini sebagai bidang kajian yang akan
digeluti yakni pengetahuan sejarah. mempunyai fungsi yang fundamental dalam
pembentukan identitas nasional dan kesadaran sejarah yang merupakan sumber inspirasi
untuk membangkitkan rasa kebangsaan dan tanggung jawab sebagai anak bangsa Indonesia
untuk memaknai setiap peristiwa sejarah guna menghargai nilai-nilai perjuangan bangsa
hingga mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.Deliar Nur (1988)

487
Mata kuliah Sejarah Indonesia . dan Sejarah Sumatera Utara dalam pembahasan mengenai
perjuangan para pejuang termasuk Willem Iskander sebagai tokoh pendidikan . Materi
sejarah perjuangan Willem Iskander akan di bahas dan dikrirtisi dengan tujuan sebagai
pengetahuan bagi mahasiswa pendidikan sejarah diberi bekal untuk bagaimana mengerti
bahwa ada seorang tokoh di daerahnya yang mempunyai sksla internasional di bidang
pendidikan. Sehingga Mahasiswa tidak samar-samar untuk berusaha mengingat kembali
peristiwa tersebut.

1. Keteladanan Willem Iskander


Wajah Indonesia di masa depan akan terlihat dari kondisi pemudanya hari ini. Rutinitas apa
yang mereka lakukan saat ini akan memberi gambaran akan rutinitas mereka di masa depan.
Berada dalam lingkaran kebaikan atau keluar dari lingkaran tersebut. Semuanya akan
menjadi potret realitas yang tidak bisa dianggap remeh.Dan mahasiswa merupakan salah
bagian dari generasi muda yang wajib ambil bagian dalam kemajuan bangsa ini.(Efendi dan
Nasir, (ed) 1980)
Dipundak Mahasiswa terletak satu tanggungjawab besar yaitu menjaga kestabilan dan
memajukan bangsa ini Gani (1991). Mereka para generasi tua, baik yang telah berkontribusi
untuk kemajuan bangsa ini maupun tidak sama sekali, pasti akan meninggalkan bangsa ini.
Siapa lagi yang akan menggantikan mereka jikalau tidak para pemuda saat ini. Dan siapa pula
yang akan merawat serta mewariskan peradaban bangsa ini jikalau tidak pemuda. Sudah
sepatutnyalah didalam diri para pemuda telah tertanam sikap menerima dan menghargai
sesama, cinta bangsa dan tanah air, juga sikap terus berusaha dan pantang menyerah.Sikap ini
merupakan dasar yang paling kokoh sebagai pondasi diri Mahasiswa.(Sanit Arbi, !991).
Karakter dasar Mahasiswa yang sangat spesifik ialah beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, inovatif, mandiri, demokratis, bertanggunng
jawab, berdaya saing, serta memiliki jiwa kepemimpinan dan memiliki sikap pantang
menyerah ( Prayitno, Belferik Manulang (ed). (2010) ). Sikap-sikap Mahasiswa ini harus
tertanam kuat di dalam diri Mahasiswa.Hal ini dikarenakan semakin kencangnya arus
perubahan zaman dalam era globalisasi dan modernisasi saat ini, dapat mengakibatkan
tergerusnya rasa cinta tanah air para generasi muda terhadap bangsanya maupun
negaranya.Tentunya ditengah pergolakan zaman ini Mahasiswa harus dapat tampil sebagai
pelita harapan pengubah bangsa kearah yang lebih maju.
Dalam pandangan Kurikulum 2013, kegiatan pembelajaran adalah suatu proses pendidikan
yang memberikan kesempatan bagi siswa agar dapat mengembangkan segala potensi yang
mereka miliki menjadi kemampuan yang semakin lama semakin meningkat dilihat dari aspek
sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotor).Syawal (2013).
Kemampuan ini akan diperlukan oleh Mahasiswa tersebut untuk kehidupannya dan untuk
bermasyarakat, berbangsa, serta berkontribusi pada kesejahteraan kehidupan umat manusia.
Karena itu suatu kegiatan pembelajaran seharusnya mempunyai arah yang menuju
pemberdayaan semua potensi Mahasiswa agar dapat menjadi kompetensi yang diharapkan.
Hadirnya kurikulum 2013 membuka peluang baru untuk merealisasi keberhasilan
pembentukan karakter.Pembelajaran pada kurikulum ini dijabarkan melalui empat
kompetensi inti.Kompetensi inti pertama untuk menanamkan sikap spiritual, sedangkan
kompetensi inti kedua untuk menanamkan sikap sosial. Kedua kompetensi inti ini telah jelas
akan menghasilkan terbentuknya karakter Mahasiswa. Implementasi kurikulum 2013 di
Indonesia akan menjawab berhasil atau tidakkah pembentukan karakter bagi Mahasiswa.

488
Universitas Negeri Medan merupakan The Character Building University yang artinya
Unimed sebagai lembaga pendidikan yang membentuk Mahasiswa berkarakter. Pendidikan
karakter merupakan dasar bagi Mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Jadi, Mahasiswa Unimed khususnya Mahasiswa Pendidikan Sejarah harus
memiliki karakter guna mengembangkan Ilmu Sejarah di tengah masyarakat agar mereka
tidak lupa Sejarah.
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah yang merupakan calon guru sejarah diharapkan akan
menjadikan tokoh williem Iskander sebagai bagian dari materi sejarah Indonesia di
sekolah.dan dapat mengambil sikap terhadap sosok tokoh pendidikan, Willem Iskander
telah banyak karya dan sumbangan beliau terhadap dunia pendidikan di Indonesia demi
kemajuan pendidikan bangsa dan tanah air. Mahasiswa memiliki sikap positif terhadap sosok
Willem Iskander. Mereka mengagumi, meneladani dan bangga terhadap Willem Iskander.
Alasannya, karya-karya Beliau berupa buku Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk juga sekolah
guru Kweekschool Tanobato merupakan peninggalan penting bagi Sejarah Sumatera Utara,
selain itu juga tokoh ini berasal dari Sumatera Utara yang menjadikan sebuah kebanggaan
bagi Mahasiswa Sumatera Utara.( hasil wawancara 2016 )
Mahasiswa di Jurusan Pendidikan Sejarah mengapresiasi Willem Iskander setinggi-
tingginya dengan mengusulkan bahwa Beliau layak dijadikan Pahlawan Nasional. Mahasiswa
tidak sembarangan mengusulkan tetapi mereka merasakan bahwa begitu besarnya karya,
pengaruh dan gagasan-gagasan di bidang kependidikan yang digagasnya dan menjadi hasil
karya yang gemilang Willem Iskander. Bahkan jauh sebelum Ki Hajar Dewantara mendirikan
Taman Siswa, Willem Iskander sudah lebih dahulu mendirikan Kweekschool.

2. Tokoh Pendidikan Willem Iskander


Willem Iskander adalah seorangpejuang pendidikan dan pendidik pejuang seperti
yang dituliskan Basyral Hamidy Harahap dalam bukunya Willem Iskander (1840-1876)
sebagai Pejuang Pendidikan dan Pendidik Pejuang Daerah Sumatera Utara.Basyral Hamidy
Harahap bukannya tanpa alasan menuliskan hal tersebut karena mengingat besarnya jasa
Willem Iskander di dunia pendidikan khususnya di Sumatera Utara.Gagasan-gagasan
pembaharuan dan perjuangan kependidikan Williem Iskander sudah berhasil mendidik guru-
guru Bumiputera dan menulis gagasan-gagasannya dalam buku-buku baik karya asli maupun
saduran dan terjemahan, melalui hasil karyanya itu, gagasan-gagasannya terus berlaku
sepanjang masa.
Sekolah guru Tanobato yang merupakan sekolah guru pertama di Sumatera Utara
merupakan sekolah yang didirikan dan dipimpin oleh Willem Iskander.Sekolah ini tercatat
banyak mencetak guru-guru yang berkualitas.Bahkan guru-guru yang dihasilkan tidak hanya
mengabdikan ilmunya di Sumatera Utara saja, tetapi sampai ke luar Sumatera Utara,
diantaranya Aceh.Sejarah Aceh mencatat, bahwa peranan guru-guru yang berasal dari
Tapanuli Selatan sangat besar dalam pengembangan pendidikan formal di wilayah itu.(
Onggang Mangaraja 1964)
Karya lainnya yaitu buku Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk yang merupakan karya
terbesar Willem Iskander.Karya terdiri dari beberapa sub bagian cerita, a) Sada Alak Pulon
Ta On Na Mabiar di Ahaila ( satu orang dari pulau kita ini yang takut malu) b) Amamate ni
Alak Na Lidang ( meninggalnya orang yang jujur) c) Na Dangol Muda NaSo Binoto ( Sedih
kalau tidak tahu) d) Pidong Garuda Bosar ( burung garuda besar) e) Tiruan Ni Olong Ni Roa
Marangka Maranggi ( contoh kasih sayang yang bersaudara)f) Nabinuat Tingon Barita Ni
Tuan Columbus ( yang diambil dari cerita tuan Columbus) Sibaroar ( dengan makna cerita

489
siapa yang berniat kejahatan kepada orang lain , akan mendapat celaka sendiri) ini
merupakan inti ajaran Willem Iskander tentang kemajuan, pendidikan * ,nasionalisme dan
budi pekerti luhur. Diantara puisi-puisi yang paling tersohor adalah Sekolah (dalam bahasa
Mandailing Ajar Ni Amangna Di Anakna Na Kehe Tu Sikola) artinya belajar lah nak pergi
kesekolah yang bertemakan Pendidikan dan Mandailing yang bertemakan Nasionalisme.
Untuk mendirikan sekoah guru Willem di dukug oleh berbagai pihak antara lain
petinggi pemerintah Belanda terutama di daerah misal Residen Tapanuli, Asisten Residen
Mandailing-Angkola, Kontrolir dan pejabat Desa, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah
yang sudah mendapatkan mata kuliah Sejarah Indonesia III, Sejarah Sumatera Utara hingga
Sejarah Pendidikan wajib mengenal sosok ini karena di dalam mata kuliah ini terdapat
sejarah tentang Willem Iskander. Meskipun sedikit dibahas, tetapi Mahasiswa harus
mengetahui latar belakang kehidupan dan pengaruhnya dalam Sejarah Indonesia khususnya
Sumatera Utara.
Sosok Willem Iskander dikenalkan melalui proses pembelajaran di perkuliahan
melalui buku-buku, jurnal, telaah arsip-arsip, internet dan seminar..bahkan langsung dapat
melihat situs peninggalan sekolah di Tanobato yang sampai sekarang masih ada, Alamat
Universitas Negeri Medan nama jalannya Willem Iskander.
Melalui karya-karya Willem Iskander di dalam bukunya Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-
Rumbuk informasi tentang Willem Iskander dapat diketahui bahwa sekolah guru Tanobato
yang didirikan Willem Iskander mempunyai kontribusi dalam mencerdaskan bangsa pada
jaman itu Kurikulum disekolah Tano Bato melingkupi muatan lokal (bahasa Mandailing dan
Melayu dan bahasa Belanda), selanjutnya mengajar kan fisika agar supaya mudah dimengerti
oleh siswa beliau memkai bahasa mendailing sebagai bahasa pengantarnya. . Keunggulan
sekolah Tano Bato ini matematika , bahasa Melayu. Dan bahasa Belanda sesuai dengan apa
yang telah di katakan oleh Van Der Chijs Nasution (2007) . Peejuangan Willem Iskander
untuk memajukan dan mencerdaskan bangsa semakin jelas dengan pernyataan bahwa
Sekolah Guru Tano Bato tampil sebagai pusat pendidikan dan pelatihan guru yang paling
menonjol diseluruhHindia Belanda Basyral(1998) . Kehidupan Willem Iskander, tentang
betapa berat perjuangannya untuk mendapatkan pendidikan di sekolah di negeri Belanda
sebagai seorang pribumi pada saat itu sangat berat. Dengan ilmu dan pengalaman yang
didapatnya , beliau mendirikan sekolah guru pertama di Sumatera Utara. . Mahasiswa
mengetahui kesemuanya melalui proses pembelajaran dengan media dan sumber belajar
yang tersedia.

Dengan dimasukkannya pokok bahasan tentang willem Iskander kedalam materi sejarah
Indonesia sebagai Tokoh Pendidikan di Sumatera Utara, akan menambah referensi sejarah
lokal yang wajib di bahas di sajikan dalam perkuliahan dan pelajaran sejarah Indones
.Willem Iskander memang memenuhi semua kriteria yang menjadikan Beliau sebagai tokoh
pendidikan.Tokoh Pendidikan adalah seseorang yang berjasa baik dalam gagasan, kegiatan,
maupun karya-karyanya dalam memajukan pendidikan.Willem Iskander layak dijadikan
tokoh pendidikan karena jasa-jasanya di bidang pendidikan yang sepanjang hayatnya
mengabdikan diri demi kemajuan Bangsanya.
Willem Iskander akan selalu dikenang. Nama Willem Iskander telah diabadikan sebagai
nama jalan di Mandailing Natal dan di Medan. Selain itu merupakan nama sebuah SMK di
Mandailing Natal, dan nama Sanggar Seni di Tebet, Jakarta Timur. Juga Willem Iskander
mendapat penghargaan Hadiah Seni dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional
1978, KEPRES No 101/M/Tahun 1978 yang diberikan oleh Menteri Pendidikan kala itu, Dr.

490
Daoed Joesuf. Namun, hingga kini Willem Iskander belum diangat menjadi Pahlawan
Nasional.

III. KESIMPULAN DAN PENUTUP


Pemahaman Mahasiswa tentang Keteladanan sosok Willem Iskander sebagai seorang tokoh
pendidikan yang dapat disejajarkan dengan tokoh pendidikan yang ada di negara ini.
Kedudukan sejarah lokal dalam menyajikan pembelajaran sejarah Nasional sangat penting,
itulah sebabnya sejarah willem Iskander merupakan hal yang sangat penting untuk diketahui
, diteladani dan di belajarkan di sekolah. Untuk selanjutnya dapat menjadi bagian dari materi
ajar di sekolah, sebagai sejarah lokal. Untuk menanamkaan sikap siswa maupun mahasiswa
terhadap orang- orang yang berjasa di negeri ini, sudah sewajarnya dikenalkan para tokoh
yang ada di daerahnya masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. (1991),Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta
Arikunto,Suharsimi. (2006),Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta
Azwar, Saifuddin. (1981),Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Arbit Sanit ST (1988) Menyongsong Pendidikan Abad 21. Dalam Perubahan-perubahan dan
kesadaran menghadapi abad 21 . kumpulan karangan ; Jakarta: Dian Rakyat.
Hamidy Harahap, Basyral. (1987), Willem Iskander Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk.
Jakarta: Puisi Indonesia
Hamidy Harahap, Basyral. (1997), Willem Iskander (1840-1876) sebagai Pejuang
Pendidikan dan Pendidik Pejuang Daerah Sumatera Utara.
Harahap, Syahrin. (2011), Metodologi Studi Tokoh dan Penulisan Biografi. Jakarta: Prenada
Mar’at. (1981), Sikap Manusia Perubahan serta Perubahannya. Jakarta: Bumi Aksara
Masjkuri dkk.(1982),Sejarah Pendidikan Sumatera Utara.DEPDIKBUD
Mudyaharjo, Redja(2001), Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar
Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Noer ,Deliar (1988) Masyarakat masa depan dalam Prubahan, Pembaharuan, dan Kesadaran
menghadapi abad 21 . Kumpilankarangan Jakarta: Dian Rakyat.

Parlindungan, Mangaraja Onggang. (1964),Tuanku Rao.Jakarta: Tandjung Pengharapan


Poeze, Harry. (2008), Di Negeri Penjajah Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1965.
Jakarta: Gramedia
Prayitnodan Manullang B, (2010) Pendidikan Karakter dalam Pembangunan Bangsa ; Medan
; pasca sarjana Unimed.
Sati Nasution Willem Iskander (1840- 1876) : Pelopor Pendidkan dari Sumatera Utara(
2007). http:// Sihepeng.com-02.com/Sihepeng/Willem-Iskander diakses oktober 2016.
Sugiono.(2009),Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta

491
Taliabu Bergolak: Penaklukkan Taliabu dalam Sejarah Maluku (Utara) di Abad XVI
Sarifudin Bin La Kuma
Alumni Pendidikan Sejarah Universitas Tadulako. Sekarang aktif sebagai pegiat dalam
kelompok diskusi Kelompok Batu Karang

Abstrak
Taliabu ditetapkan sebagai daerah administratif sejak tahun 2013. Bersama dengan Sula
Sanana dan Sula Mangoli, Taliabu menjadi salah satu daerah penting bagi Kesultanan
Ternate. Daerah ini ditaklukkan oleh keluarga Tomaitu pada akhir abad XV. Sultan Ternate
menempatkan salah satu Salahakan dari keluarga Tomagola berkat jasanya, namun di awal
abad XVI digantikan oleh keluarga Tomaitu. Masuknya Belanda, Taliabu dijadikan sebagai
daerah onderafdelling. Selain Ternate, ada upaya-upaya penaklukkan dari daerah lain seperti
Banggai, Buton dan Gowa. Dalam peta-peta yang ditulis oleh beberapa ilmuwan Barat tidak
jarang kita temui Taliabu dimasukkan dalam wilayah Sulawesi. Tulisan ini hendak
membedah keterlibatan Taliabu dalam sejarah Maluku dalam bingkai sejarah lokal. Ada tiga
hal penting yang dikaji dalam tulisan ini yaitu (1) seperti apa penaklukkan Taliabu oleh
Kesultanan Ternate?; (2) Mengapa Taliabu menjadi daerah penting dalam Kesultanan
Ternate?; dan (3) Bagaimana Kesultanan Ternate mempertahankan hegemoninya di Taliabu?
Penaklukkan Taliabu dapat memperkaya kazanah sejarah lokal Maluku (Utara)

Kata Kunci: Penaklukkan, Taliabu, Maluku

Abstract
Taliabu designated as administrative areas since 2013. Together with Sula Besi and Sula
Mangole, Taliabu become one of the important areas for the Sultanate of Ternate. This area
was conquered by Tomaitu family in the late fifteenth century. Sultan Ternate put one
Salahakan of Tomaitu family thanks to his services, but the beginning of the sixteenth
century was replaced by a family Tomagola. The entry of the Netrherlands, Taliabu serve as
Afdelling area along Sula Besi and Sula Mangole under the leadership of a posthouder. In
addition to Ternate, there are efforts to the conquest of other regions such as the Banggai,
Buton, and Gowa. In the maps are written by some western scientists are not rare to
encounter Taliabu included in the Sulawesi region. This paper is about to dissect Taliabu
involvement in the History of Maluku in the frame of local history. There are three important
things that studied in this paper are: (1) What Taliabu conquered by the Sultanate of
Ternate?; (2) Why Taliabu become an important area in the Sultanate of Ternate?; and (3)
How to maintain its hegemony in the Sultanate of Ternate Taliabu? Conquest of Taliabu can
enrich local history Maluku (North).
Keywords: Conquest, Taliabu, Maluku

A. Mencari Jejak Taliabu: Sebuah Pengatar


Asal mula penamaan suatu daerah memang selalu menjadi pembicaraan menarik.
Terungkapnya nama sebuah pulau dapat mengetahui makna dari digunakannya nama
tersebut. Namun, tidak semua daerah dapat diketahui dengan tepat penamaan tersebut. Hal ini

492
pula yang terjadi pada Taliabu. Ketidakpastian asal usul nama Taliabu dapat dilihat dalam
beberapa hal, pertama, belum ada kajian yang membahas asal mula penamaan ini. Kedua,
minimnya minat masyarakat dalam mengetahui Sejarah Pulau Taliabu. Penulis yang secara
khusus membahas Taliabu seperti James T. Collins, belum membahas sejarah penamaan
‘Taliabu’.
Taliabu pertama kali disebut oleh Francois Valentijn. Valentijn menyebut Taliabu dengan
Xula Talyabo. Kata Taliabu menggunakan huruf ‘y’ dan ‘u’ serta menjadi satu kesatuan
dengan Xula. Kemudian Jacob Claaszoon dalam Memorie van Overgave yang bertahun 1794
menyebut Taliabu dengan Tandjoeng Valds(?). Claaszoon menggunakan nama yang sangat
berbeda saat ia menulis tentang Sulawesi. Peggunanaan Taliabu secara utuh dilakukan dalam
Soela Eilanden. Sejak saat itu Taliabu selalu di sandingkan dengan Sula Besi (Sula Sanana)
dan Sula Mangole. Meski hingga saat ini masyarakat masih selalu menyebut dengan Taliabo
atau Taliabu. Namun, yang tercatat secara administratif adalah Taliabu. Setelah mengalami
pemekaran di Tahun 2013 Taliabu lebih dikenal dengan Pulau Taliabu.
Catatan para penulis diatas hanya menyebut nama Taliabu dan tidak membahas tentang
makna dari penamaannya. Makna kata Taliabu dapat ditemukan melalui oral history. Kata
Taliabu terdiri dari dua suku kata yaitu Tali dan Bu. Tali sama dengan tali dalam bahasa
Indonesia, dan Bu merupakan singkatan dari Buton. Sehingga Taliabu diartikan pertalian
dengan Buton. Huruf ‘a’ hanya penambahan. Sebuah blog menyampaikan hasil wawancara
yang tidak jauh berbeda. Blog tersebut megatakan “Dalam hasil wawancara dengan Pak
Bunga Harun Kimlaha mengatakan bahwa dalam komunitas Suku Mange nama Taliabu
terdiri atas kata Ta Lia Bu. Ta yang artinya Ternate, Lia yang artinya tali atau pengikat dan
Bu yang artinya Buton. Sehingga Taliabu dimaknai sebagai pertalian antara Ternate dan
Buton, (Pak Bunga Harun Kimlaha, Padang Tengah, 20/10/2009)”.
Pengartian nama secara harfiah menggambarkan adanya hubungan yang erat antara Ternate
dan Buton. Hubungan tersebut ditandai dengan pemberian nama sebuah pulau yang terletak
di sebelah barat wilayah kekuasaan Ternate, Taliabu. Hal ini perlu dilakukan penelusuran
lebih lanjut. Namun, sedikit beralasan melihat status Buton di Maluku begitu tinggi karena ia
berbagi prestise bersama dengan Banggai dalam memiliki raja. Status Buton yang tinggi ini
dapat melacak keturunan salah satu dari empat telur naga mistis. Keterkaitan antara
penamaan Taliabu dengan Buton jelas menjadi tanda tanya besar bagi kajian sejarah. Selama
ini belum ada satu pun data yang menjelaskan tentang hal tersebut. Namun, isu ini diperkuat
dengan cerita-cerita yang berkembang dalam masyarakat sehingga memperkuat anggapan
persaudaraan antara Taliabu dan Buton.
Taliabu sempat muncul dalam peta yang digambarkan oleh beberapa penulis yang mengkaji
Sulawesi. Penulis yang menonjol adalah yang dilakukan oleh Iohan Blaeu dan Gerit De
Haan. Peta yang digambarkan oleh Iohan Blaeu pada tahun 1669 terlihat peta Taliabu
bertuliskan Xula di sebelah Timur peta tersebut (berdekatan dengan Pulau Banggai). Peta
lainnya yang menonjol adalah yang digambar oleh Gerit De Haan. Peta yang bertahun 1790
itu memasukkan Sula Besi, Mangole dan Taliabu.

B. Isi
7. 1. Ekspansi Kesultanan Ternate di Taliabu
Maluku Utara merupakan salah satu propinsi yang terletak di wilayah Timur Indonesia.
Menurut Biro Perencanaan Sekretariat Jenderal Kementrian Kehutanan bahwa:

493
Luas wilayah Provinsi Maluku Utara tercatat ± 145.819,1 km², yang terdiri dari luas daratan
mencapai ± 45.087,27 km² dan luas lautan mencapai ± 100.731,83 km², serta terdiri dari 7
(tujuh) kabupaten dan 2 (dua) kota, yaitu Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera
Tengah, Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Halmahera
Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Pulau Morotai, dan Kota Tidore Kepulauan
serta Kota Ternate.

Pada Maret 2013 satu Kabupaten terbentuk yaitu Kabupaten Pulau Taliabu, sehingga menjadi
8 (delapan) kabupaten dan 2 (dua) kota. Dalam Sejarah Maluku Utara, terdapat empat
kerajaan yaitu, Kerajaan Ternate, Kerajaan, Tidore, Kerajaan Jailolo, dan Kerajaan Bacan.
Keempat kerajaan ini dikenal dengan Moluku Kie Raha. Kerajaan Jailolo merupakan kerajaan
tertua, namun di abad XVI kerajaan ini tenggelam dan tidak pernah muncul kembali setelah
ditaklukkan. Ternate dan Tidore merupakan dua kerajaan lokal yang terlibat persaingan
politik dalam menunjukkan eksistensinya di Maluku. Ternate memiliki wilayah kekuasaan
yang luas.
Dalam lingkungan Kesultanan Ternate ada empat keluarga yang berpengaruh yaitu,
Tomagola, Tomaitu, Marsaoli, dan Limatahu. Keempat keluarga ini dikenal denga fala raha
atau empat keluarga. Andaya memberikan penjelasan “mereka dihubungkan dengan kekuatan
bumi dan dianggap sebagai jawara yang datang dari rakyat biasa untuk melawan kekuatan
yang eksternal yang diwakili oleh lautan dan raja asing”. Tomaitu dan Tomagola menjadi
kekuatan Ternate dalam memperluas kekuasaan wilayah kesultanan hingga keseberang
lautan.
Banyak wilayah yang merdeka menjadi taklukkan Ternate. Kepulauan Sula merupakan dalam
lingkaran daerah taklukkan yang jatuh pada akhir abad ke-XV. Sula takluk kebawah Kerajaan
Ternate dibawah kepemimpinan raja Zainal Abidin? (1486-1500). Penaklukkan Sula atas
Ternate dilakukan oleh keluarga Tomaitu. Sedangkan keluarga Tomagola bertugas
menaklukkan daerah sekitar Ambon. Sula terdiri dari 3 (tiga) pulau utama, yaitu Sula Besi,
Sula Mangole dan Taliabu. Awal abad XVI kepemimpinan Tomaitu di Sula digantikan oleh
keluarga Tomagola, sebelum akhirnya kembali lagi ke keluarga Tomaitu. Ditaklukkannya
Sula secara otomatis menyeret Taliabu ke dalam teritorial Ternate. Keberhasilan keluarga
Tomaitu membuatnya diangkat menjadi salahakan atau Gubernur Sula. Kepemimpinan
Tomaitu di Sula menambah daftar daerah ekspansi Ternate di seberang laut sekaligus
menunjukkan kedigdayaan kerajaan di mata dunia. Terutama terhadap saingan terberatnya,
Tidore.
Pusat pemerintahan Maluku berada di Ternate yang dipimpin oleh seorang sultan. Sultan
Ternate dikenal sebagai pemimpin 72 pulau terutama saat kepemimpinan Sultan Baabullah
(1528-1583). Sultan memiliki struktur pemerintahan yang membantunya. Dalam lingkungan
istana terdapat Bobato atau semacam menteri. Bobato dipimpin oleh seorang Jogugu atau
perdana menteri. Tidak semua orang bisa menjadi Jogugu. Bagian penting ini selalu dipegang
oleh tokoh-tokoh kepercayaan Sultan. Ternate dikenal dengan kekuatan armada lautnya.
Armada laut diambil dari pemuda-pemuda di setiap daerah taklukkannya. Pimpinan armada
laut dipegang oleh seorang Kapita Laut atau Panglima Laut. Kapita Laut selalu dijabat putera
mahkota atau salah seorang putera raja lainnya. Daerah taklukkan Ternate dibagi dalam
beberapa wilayah yang disebut Jiko atau semacam distrik. Jiko dipimpin oleh seorang
Sangaji yang disebut Jiko Ma Kolano atau kepala pemerintahan wilayah. Sangaji
membawahi sejumlah Soa atau setingkat desa. Soa dipimpin oleh seorang Kimalaha. Meski
telah memiliki Sangaji di sebuah distrik, sultan juga mengangkat seorang Utusang yang
berpera sebagai wakil pribadi sultan. Utusang bertugas untuk mengurus kepentingan kerajaan

494
seperti dalam mengumpul upeti dan tugas-tugas khusus lainnya. Keberadaan Utusang tidak
terlepas dari kepentingan politik kesultanan. Status sebagai daerah taklukkan membuat
Ternate khawatir daerah tersebut kembali melakukan pemberontakan.
Pada pertengahan abad XVII, ketegangan muncul antara sultan dengan keluarga Tomaitu.
Atas ketegangan tersebut, hubungan antara Ternate dan Sula sempat merenggang. Ternate di
bawah pemerintahan Sultan Hamzah tidak mendapat dukungan dari keluarga Tomagola
dalam melakukan penyerangan ke Gorontalo pada tahun 1647. Saat itu, Sula bukan
merupakan daerah territorial Ternate melainkan dibawah kekuasaan Gowa. Setelah kegagalan
penyerangan ke Gorontalo, Sultan Ternate mencoba menghubungi keluarga Tomaitu di Sula.
Baru setelah tahun 1647 Ternate mendapat angin segar dukungan dari keluarga Tomaitu dan
mengirim sejumlah prajurit yang berasal dari orang-orang Sula, Mangole dan Taliabu.

1. 2. Arti Penting Taliabu Terhadap Ternate


Penaklukkan Ternate terhadap daerah Sula umumnya (Taliabu khususnya) bukanlah
keputusan yang tidak mendasar. Keputusan yang diambil sangat strategis dan terbilang
brilliant. Sula terkenal dengan kekuatan laut dengan prajurit dan kora-kora begitu banyak.
Setelah ditaklukkan Ternate, Sula menjadi daerah dengan penyuplai bala tentara dan kora-
kora terbanyak kepada Kesultanan Ternate dibandingkan daerah lainnya. Tahun 1644, jumlah
prajurit di Sula Besi diperkirakan mencapai 4.300 orang. Sedangkan Taliabu dan Mangole
dapat memperlengkapi 60 kora-kora. Jumlah melebihi dari jumlah yang dikumpulkan oleh
Sultan Hamzah (1627-1648) untuk Ternate yang dikumpulkan dari negeri di sekelilingnya
saat melakukan penyerangan ke Gorontalo.
Perahu-perahu Taliabu dan Mangole sangat terkenal dengan kecepatannya sehingga ditakuti
di perairan Maluku. Perahu-perahu ini membentuk sebagian besar armada laut Kesultanan
Ternate. Saat Sultan Baabullah (1570-1583) melakukan perjalanan ke wilayah barat
(Banggai, Tobunku dan Buton) pada akhir abad XVI, ia menggunakan perahu-perahu cepat
Sula yang dikomandoi oleh Cappalaya yang menjadi salah satu kunci keberhasilan
perjuangannya.
Pada zaman VOC, Sula ikut mengambil bagian dalam ekspedisi hongi (hongi toten) ke
sejumlah daerah di Maluku. Hongi toten adalah ekspedisi penebangan cengkeh secara besar-
besaran di sejumlah daerah di Maluku Utara. Ekspedisi ini dilakukan untuk mengontrol harga
cengkeh dipasaran dunia yang saat itu mengalami ketidakstabilan harga. Menurut M. Adnan
Amal, VOC (melalui hongi toten) adalah bangsa perusak hutan terbesar di dunia. Namun,
menurut hemat penulis, dampak dari hongi toten membuat masyarakat (Maluku) mengenal
sistem penanaman cengkeh menggunakan jarak. Saat itu cengkeh tumbuh secara liar.
Sula adalah sebuah wilayah yang dianggap oleh Belanda menjadi “keranjang roti dan
rempah-rempah” yang tidak hanya bagi Ternate, tetapi juga bagi keseluruhan Kawasan Timur
Indonesia. Mereka yang berasal dari Ambon secara teratur pergi untuk mendapatkan beras
dan sagu dari Kepulauan Sula ini. Sula Besi adalah wilayah termakmur di Sula dengan
berbagai jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal. Pulau ini begitu subur,
menumbuhkan jagung, ketela dan tanaman berakar lain, cengkih, dan persediaan beras yang
bagus.
Taliabu dan Mangole menjadi penyedia bahan makanan untuk kesultanan Ternate terutama
beras, sagu dan ikan. Produk utama dari Taliabu dan Mangole adalah sagu. Di Taliabu sagu,
terdapat di sekitar Samada yang terletak di sebelah barat Taliabu. Meski tidak ada data yang
jelas untuk mengetahui jumlah pohon sagu di Samada, namun diperkirakan berjumlah hingga
ribuan pohon. Sagu dipanggang menjadi biscuit keras yang menjadi salah satu produk yang

495
dikirim secara teratur sebagai penghargaan untuk Sultan Ternate. Ikan dapat diperoleh di
sekitaran pantai selatan Taliabu, tepatnya di Wai Kuyu. Penangkapan ikan menggunakan
jaring yang dalam bisa mencapai sekitar 2.800 ekor ikan setiap tarikan.
Selain penyuplai kora-kora dan bahan-bahan makanan terhadap Ternate, Taliabu juga
terkenal dengan budaknya. Pengiriman para budak dari wilayah pedalaman nonmuslim
Taliabu merupakan salah satu kontribusi berharga dari pulau ini untuk Ternate. Para budak
diambil dari masyarakat suku Mange. Umumnya mereka dari suku alifuru yang telah lama
menetap di Taliabu sehingga menjadi penduduk asli di daerah ini.

1. 3. Hegemoni Ternate di Taliabu


Secara geografis, Taliabu terletak di sebelah barat kekuasaan Kesultanan Ternate. Daerah ini
berbatasan dengan wilayah Kerajaan Banggai yang dibelah dengan Selat Salue Timpaus.
Apabila ingin melakukan perjalanan ke daerah Banggai, Tobunku, dan Buton jalur Taliabu
merupakan alternatif terbaik dan aman. Posisinya yang stategis yang dapat dijangkau oleh
daerah Banggai dan Buton serta terdapat bahan-bahan makanan pokok membuat daerah ini
diperebutkan. Tercatat Banggai, Buton, hingga Gowa pernah mengadu kekuatan untuk
menguasai Taliabu. Dikatakan bahwa dulu Taliabu berada di bawah kendali Kerajaan
Banggai, “ketika Banggai sedang berada pada puncak kejayaannya… menetapkan hukum
pada semua tetangganya, yang kemudian menjadi sangat lemah”.
Perhubungan Taliabu telah disinggung diatas sebelumnya, yaitu melalui nama. Hubungan
antara Taliabu dan Buton sudah terjalin sejak lama. Hal ini dapat dilihat dalam cerita yang
berkembang di masyarakat Taliabu. Masyarakat mempercayai raja perempuan Buton (Wa Ka
Ka) pertama merupakan adik dari seorang kaki tangan (tidak disebutkan namanya) Sultan
Ternate (?) yang ditugaskan ke Taliabu. Suatu hari Sultan mengutus kaki tangannya untuk
pergi ke Pulau Taliabu. Ia pergi bersama kedua orang saudaranya, seorang lelaki dan seorang
perempuan. Setelah beberapa lama tinggal di Taliabu, ia memerintahkan adik perempuannya
untuk merantau ke suatu daerah. Daerah tersebut diberi nama Buton. Mereka berjanji agar
Taliabu dan Buton tetap menjalin hubungan yang baik dan tidak saling menyerang.
Sekilas cerita diatas tidak mengungkapkan nama Sultan Ternate. Namun merujuk pada
penaklukkan daerah Taliabu, hal ini terjadi di akhir abad XV. Begitu pula dengan nama
seorang utusan yang diutus ke Taliabu tidak disebutkan. Masyarakat ragu menyebutkan
nama, karena kedua orang tersebut (Utusan dan Raja) dianggap manusia keramat. Dugaan
pun muncul, kedua orang tersebut memang keramat atau masyarakat tidak mengetahui nama
kedua tokoh dalam cerita? Selain itu, waktu kejadian peristiwa juga tidak jelas. Apabila
disebutkan nama Sultan Ternate, dapat diperkirakan waktu peristiwa itu terjadi.
Kepemilikan Pulau Taliabu mendapat babak baru setelah Kerajaan Gowa menggantikan
tempat Ternate sebagai pemimpin pada tahun 1636. Pada tahun itu, tidak hanya Taliabu yang
terlepas dari genggaman Ternate, tercatat pula Buton, Banggai, Sula, Tobunku, Manado, dan
Buru. Meski berada di bawah kekuasaan Gowa, keluarga Tomaitu tetap mendapat tempat
dalam struktur pemerintahan. Keluarga Tomaitu begitu mendapat tempat di hati masyarakat
Sula. Keluarga Tomaitu pulalah yang membawa kembali Sula ke pangkuan Ternate. Begitu
halnya juga kalaudi di Taliabu. Perubahan kepemilikin Taliabu terjadi terutama di zaman
pemerintahan Sultan Hamzah yang berkuasa di antara tahun 1627-1648.
Perhatian khusus Ternate terhadap Taliabu (Sula) tidak hanya sebatas itu. Hal lainnya terjadi
dalam penempatan orang-orang kepercayaan sebagai perwakilan Sultan. Seperti penjelasan
Andaya “Tidak seperti tempat-tempat di wilayah pinggiran di sebelah barat Ternate lainnya,
Pulau Sula diperintah secara langsung oleh perwakilan dari Sultan Ternate. Sultan Ternate di

496
pulau ini diwakili oleh seorang salahakan dari keluarga Tomaitu yang bertempat tinggal di
Ipa (Sula Besi), dengan kawulanya yang merupakan orang-orang Ternate yang banyak dan
mengendalikan kedua pulau baik itu Sula Besi maupun Mangole. Pulau Taliabu di bawah
perwakilan Sultan Ternate yang lain, kalaudi yang tinggal di pulau ini dengan golongan kecil
(coterie) yang terdiri dari rakyat Ternate”. Walau selalu disandingkan bersama Sula Besi dan
Sula Mangole, namun Ternate mengutus satu perwakilan lain khusus untuk mewakili Sultan
di Taliabu.

C. Kesimpulan
Penaklukkan Taliabu terjadi setelah daerah ini diketahui memiliki potensi bahan makanan
yang berlimpah, terutama sagu dan ikan sebagai bahan makanan pokok. Selain itu budak-
budak yang berasal dari Taliabu terbilang kuat dan perkasa. Kecepatan kora-kora yang
diproduksi oleh masyarakat lokal mejadi alasa lain daerah Taliabu sebagai potensi besar buat
kesultanan Ternate.
Pontensi tersebut disadari pula oleh kerajaan-kerajaan sekitar seperti Banggai, Buton, dan
Gowa. Kerajaan-kerajaan ini secara bergantian menjadi penguasa di Taliabu. Namun, Buton
berhasil menancapkan hegomoni terhadap Taliabu. Hal ini dapat dilihat melalui cerita-cerita
masyarakat. Hingga kini masyarakat Buton menjadi penduduk yang mendominasi di Taliabu
bahkan dalam struktur pemerintahanya.
Pada zaman Belanda, Taliabu merupakan daerah afdelling Sula bersama Sula Besi dan
Mangole dengan dikepalai oleh seorang posthouder. Taliabu memiliki sebuah benteng yang
terletak di Desa Kawalo Taliabu Selatan. Benteng tersebut merupakan peninggalan Belanda.
Hingga saat ini belum ada sumber yang membahas tentang benteng tersebut. Diperlukan
penelusuran lebih mendalam tentang benteng tersebut. Nasib benteng Kawalo sangat tragis
dan tidak terawat. Bentuk benteng tidak sempurna lagi. Karena Taliabu bukan merupakan
satu kepemimpinan dengan Sanana. Jika di Sanana dipimpin oleh seorang salahakan dari
keluarga Tomaitu, maka di Taliabu di pimpin oleh kalaudi.
Kurangnya literatur yang tersedia membuat sejarah Taliabu kurang diketahui oleh
masyarakat. Sepintas Sejarah Pulau Taliabu hanya diketahui oleh orang-orang tua yang sudah
lanjut usia. Kini, jumlah mereka tidak banyak lagi. Ada yang berusia mencapai ratusan tahun.
Salah satu tokoh tersebut yaitu, Kakek Payung (almarhum) – nama yag umumya dikenal
masyarakat –, Bunga Harun Kimlaha (almarhum) dan Agus Kesupa.

Daftar Pustaka
Andaya, Leonard Y., Dunia Maluku: Indonesia Timur Pada Zaman Modern Indonesia.
Yogyakarta: Ombak, 2015.
Biro Perencanaan Sekretariat Jenderal Kementrian Kehutanan, 2013. Profil Kehutanan 33
Provinsi.
Claaszoon, Jacob. Memorie van Overgave. l794.
Collins, James T., Notes On The Language of Taliabo, dalam Oceanic Linguistics, Vol. 28,
No. 1 (Summer 1989), 1989, pp. 75-95.
Haliadi-Sadi, Sejarah Perkembangan Nama Teluk Tomini di Pulau Sulawesi, hal. 37-47,
dalam Jurnal IKAHIMSI, Edisi 1. No. 2, Juli-Desember 2011.
M. Adnan Amal, VOC di Maluku. Ternate: LepKHAIR. 2013

497
--------------------, Kepulauan Rempah-Rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950.
Jakarta: KPG bekerjasama dengan Pemerintah Propinsi Maluku Utara. 2010.
Medeelingen Van Het Bereau Voor De Bestuurszaken Der Buitenbezittingen Bewerke Door
Het; Encyclopaedisch Bureau; Aflevering XV. Soela Eilanden. (terj. Umar van Morboosch).
Weltevreden: N. V. Boekhandel Visser & Co. 1918.
Sarifudin Bin La Kuma, Migrasi Orang Buton: Pelayaran dan Peragangan Orang Lede.
Skripsi pada Program Studi Pedidikan Sejarah Jurusan Pendidikan IPS Fakultas Kegurua dan
Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako Palu. 2015.
Valentijn, Francois, Uitvoerige beschryving der vyf Moluccos. Dordrecht: Joannes van Braam
Boekverkoopen. 1724.
Wawancara dengan Agus Kusepa (92 tahun) di Desa Mananga pada Juli 2014.
Wawancara dengan M. Adnan Amal (83 tahun) di Ternate pada Agustus 2014.

498
Gerakan Perlawanan Samin di Pegunungan Kendeng pada Masa Kolonial dan Era
Reformasi
Prof. Dr. S. Nawiyanto, M.A.
Staf Pengajar Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember)
Email: snawiyanto@gmail.com

Abstrak
Artikel ini membahas gerakan perlawanan Samin di masa kolonial dan era reformasi,
sehingga menampilkan perbandingan historis dari masyarakat setempat dalam periode yang
berbeda. Dengan menggunakan metode historis dan berdasar pada berbagai sumber yang
tersedia yang dapat dijangkau, artikel ini bertujuan untuk menjelaskan persamaan dan atau
perbedaan dalam gerakan perlawanan Samin di masa lalu dan masa kini, dalam hal faktor-
faktor kondisional yang melahirkan gerakan dan karakteristik pergerakan Samin.
Diargumentasikan bahwa gerakan perlawanan Samin telah berubah dari gerakan perlawanan
berbasis sosial-ekonomi dalam konteks eksploitasi kolonial untuk gerakan perlawanan
berbasis lingkungan. Perubahan ini sekaligus mencerminkan pergeseran dari gerakan sosial
lama menjadi gerakan sosial baru. Selain mengangkat isu baru yang secara radikal berbeda,
kebaruan gerakan perlawanan Samin di masa reformasi juga terlihat dalam bentuk tampilnya
perempuan Samin secara aktif di garis depan aksi perlawanan yang mereka lakukan, dan
aliansi yang dibangun dengan kelompok-kelompok lain yang memiliki kepedulian dengan
isu-isu lingkungan.

Kata kunci: gerakan perlawanan, masyarakat Samin, Pegunungan Kendeng, Jawa, masa
kolonial, masa reformasi

Abstract
This article discusses the Saminist resistance movement in the colonial period and the era of
reform, thus displaying a historical comparison of a local community in a different period. By
using the historical method and drawing upon various available sources that have been
reached, this article aims to explain the similarities and or differences in the Saminist
resistance movement in the past and the present, in terms of the conditional factors gaving
birth to the movement and characteristics of the Saminist movement, it is argued that the
Saminist resistance movement has changed from a socio-economy-based resistance
movement in the context of colonial exploitation to an environment-based resistance
movement. This change at once also trasformed it from an old social movement into a new
social movement. In addition to raising the new issue that is radically different, the novelty of
the Saminist resistance movement in the reform period is also evident in the form of the
appearance of Samin women actively in the forefront of resistance actions that they did, and
the alliances it built with other groups having concerns with the environmental issues.

Keywords: resistance movement, Samin community, Kendeng Mountains Complex, Java,


colonial period, reform period

499
Pendahuluan
Komunitas Samin secara luas dikenal karena tradisi perlawanan yang kuat yang banyak
perhatian akademis. Sebuah studi klasik oleh Benda dan Castles (1969) menunjukkan bahwa
gerakan Samin masa pada masa kolonial adalah reaksi terhadap tekanan ekonomi tumbuh
dikenakan oleh pemerintahan kolonial Belanda dalam bentuk sistem perpajakan, jasa tenaga
kerja, dan peraturan hutan. Studi King (1973) mengungkapkan bahwa gerakan Samin
mewakili keresahan sosial di antara penduduk pedesaan karena integrasi kepala desa ke
dalam birokrasi kolonial. Sementara itu, studi Korver (1976) menjelaskan aspek
milenarianisme dalam gerakan perlawanan Samin. Sejumlah penelitian lebih tertarik pada
gerakan Samin era reformasi dengan fokus perlawanan terhadap pengembangan industri
semen di kompleks Pegunungan Kendeng (Buana, 2012; Aziz, 2012; Subarkah dan
Wacaksono, 2014).
Terlepas dari kontribusi berharga yang diberikan, masih sedikit yang telah diketahui tentang
bagaimana gerakan Samin selama dua era menyajikan fitur yang berbeda atau serupa. Tulisan
ini bermaksud mengisi celah pengetahuan tentang perbandingan historis dari masyarakat
setempat dalam lingkup temporal yang berbeda. Fokus diarahkan pada masyarakat Samin di
kompleks Pegunungan Kendeng, yang membentang dari Grobogan di Jawa Tengah hingga
Lamongan di Jawa Timur. Istilah yang berbeda sering digunakan untuk menyebut masyarakat
Samin. Mereka lebih suka disebut sebagai wong Sikep atau Sedulur Sikep, bukan wong
Samin (Rosyid, 2008:4-6). Selain karena kesahajaan mereka, komunitas Samin juga dikenal
luas di antaranya karena kejujuran, persaudaraan, dan hubungan harmonis mereka dengan
lingkungan alam (Octaviani, 2015: 28).
Dengan membandingkan secara historis gerakan Samin selama periode yang berbeda,
diharapkan dapat memperluas pengetahuan tentang karakter yang unik dan khas gerakan dan
alasan di belakang mereka. Pokok masalah yang dikaji dalam tulisan ini adalah: Mengapa
gerakan perlawanan Samin dilancarkan selama masa penjajahan Belanda?; Apa yang menjadi
karakteristik gerakan? Pertanyaan serupa akan diajukan untuk gerakan Samin pada era
reformasi. Fitur apakah yang telah berubah dan tetap sama dari waktu ke waktu. Tulisan ini
bertujuan: 1) mengkaji faktor-faktor kondisional yang menjadi persemaian gerakan
perlawanan; 2) menguraikan perbedaan dan atau kesamaan yang ada dalam gerakan
perlawanan Samin dalam dua periode waktu yang berbeda.
Kerangka teoretis yang menginspirasi pembahasan ini adalah teori gerakan sosial yang
dikembangkan oleh Rajendra Singh (2002) dan gerakan perlawanan petani seperti yang
digunakan oleh Sartono Kartodirdjo (1987). Singh membedakan dua jenis, gerakan sosial
lama dan gerakan sosial baru. Perbedaan antara kedua bentuk gerakan sosial terkait dengan
basis dukungan massa. Gerakan sosial lama secara eksklusif terbatas pada kelas tertentu.
Kebaruan gerakan sosial baru terletak pada basis dukungan massa yang datang melintasi
sekat kelas. Gerakan sosial baru bukanlah manifestasi dari perjuangan kelas dan fokusnya
adalah non-materi (Singh, 2002: 19-20). Sementara itu, menurut Kartodirdjo, gerakan petani
umumnya berumur pendek, tersegmentasi dan bersifat lokal. Tulisan ini juga dapat
ditempatkan dalam konteks apa yang Kuntowijoyo sebut sebagai penulisan sejarah androgini
yang memberikan tempat yang adil bagi perempuan dan laki-laki (Kuntowijoyo, 1994:110).
Penulisan sejarah Indonesia cenderung androsentris atau lebih berpusat pada laki-laki, seolah-
olah perempuan tidak memainkan peran dalam sejarah.

500
Gerakan Perlawanan Samin Masa Kolonial
Gerakan Samin dimulai sekitar tahun 1890 ketika Samin Surosentika mulai menyebarkan
ajarannya di Desa Klopoduwur, Blora Selatan. Banyak orang dari desa-desa tetangga,
terutama desa Tapelan di Kabupaten Bojonegoro, juga bergabung untuk belajar ajarannya
(Hutomo, 1996: 13). Pada tahun 1906 ajaran Samin menyebar ke bagian selatan Kabupaten
Rembang. Penduduk desa dari Kabupaten Ngawi dan Grobogan juga tertarik untuk
mempelajari ajaran-ajaran Samin (Benda dan Castles, 1969: 211). Dalam dua dekade para
pengikut ajaran Samin telah ditemukan di berbagai tempat. Para pengikut Samin juga
ditemukan di Rembang, Pati, Kudus, dan Grobogan. Di Jawa Timur mereka ditemukan di
Kabupaten Bojonegoro, Ngawi, Madiun, Tuban, dan Lamongan (Manijo 2016: 57;
Endrayadi, 2013: 95).
Tokoh kunci dalam gerakan adalah Samin Surosentika. Ia adalah putra kedua Raden
Surowidjojo, yang ayahnya adalah Bupati Sumoroto (sekarang, bagian dari Ponorogo).
Ketika ia masih kecil, orang tuanya menamainya Raden Kohar. Kemudian, ia memutuskan
untuk menghapus gelar aristokrat dan mengubah namanya menjadi Samin, yang dianggap
sebagai lebih merakyat (Widiana, 2015: 207). Samin adalah seorang guru spiritual dan
mewarisi dari ayahnya semangat untuk berjuang melawan aturan menindas, yang memilih
hidup nyaman dan tinggal di antara orang-orang biasa (Widodo, 2009: 59; Rosyid, 2012: 405;
Rosyid, 2014: 190). Ajaran Samin terkandung dalam beberapa buku (serat), termasuk Jamus
Kalimasada, Serat Uri Pambudi, dan Serat Punjer Kawitan (Rosyid, 2014: 199). Sejumlah
ajaran Samin memiliki implikasi politik yang kuat, terutama bukunya yang berjudul Serat
Punjer Kawitan. Ajaran politik Samin dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dalam
bentuk menolak membayar pajak, menolak untuk memperbaiki jalan, menolak untuk
melakukan patroli malam, menolak untuk memberikan jasa tenaga kerja (Saputra, 2008: 12;
Hutomo, 1996: 32-37) .
Penyebaran ajaran Samin ke beberapa desa mengakibatkan meningkatnya jumlah pengikut
Samin. Dilaporkan bahwa pada tahun 1903 para pengikut Samin berjumlah 772 kepala
keluarga. Jumlahnya tumbuh menjadi 3.000 kepala keluarga pada tahun 1907 (Benda dan
Castles, 1969: 211). Saat pengikut Samin tumbuh dalam jumlah, gerakan mulai menarik
perhatian administrator Belanda. Ada desas-desus yang berkembang bahwa para pengikut
Samin akan melancarkan pemberontakan melawan pemerintahan kolonial Belanda.
Menanggapi desas-desus tersebut, pada Maret 1907 sejumlah pengikut Samin di Blora
ditangkap ketika mereka berkumpul menghadiri slametan dengan tuduhan merencanakan
pemberontakan. Pada saat itu, Samin Surasentika tidak hadir, tetapi sedang di Kabupaten
Rembang (Endrayadi, 2013: 93). Pada 8 November 1907, Samin Surasentika diangkat oleh
pengikutnya sebagai ratu adil, dengan gelar Panembahan Suryongalam. Untuk mengantisipasi
situasi memburuk, Samin Surasentika dan sejumlah pengikutnya ditahan. Samin kemudian
dikirim ke pengasingan di Padang, Sumatera (Rosyid, 2012: 405-406; Benda dan Castles,
1969: 211-212).
Penangkapan Samin Surosentika tidak menghalangi perjuangan murid-muridnya untuk
menyebarkan ajarannya. Pada tahun 1908 Wongsorejo menyebarkan ajaran Samin di Jiwan
dekat Madiun. Dia memprovokasi penduduk di sana untuk menolak pembayaran pajak
karena uang yang terkumpul tidak digunakan untuk mendukung kepentingan mereka, tetapi
untuk pemerintah kolonial. Mereka juga diprovokasi untuk tidak melakukan jasa tenaga kerja
dalam pembangunan jalan karena jalan hanya akan digunakan untuk manfaat Belanda. Ada
juga murid Samin lainnya yang memainkan peran utama dalam penyebaran ajaran Samin di

501
tempat lain. Surohidin dan Pak Engkrak, misalnya, menyebarkan ajaran Samin di Kabupaten
Grobogan pada tahun 1911. Kedua tokoh ini mengambil-alih kepemimpinan gerakan Samin
setelah kematian Samin Surosentiko (Widodo, 2009: 60). Sementara itu, di Kabupaten Pati
penyebaran Samin dilakukan oleh Karsijah (Benda dan Castles, 1969: 212-213). Tokoh
penting lain adalah Samat, seorang petani dan murid Samin menyebarkan varian Samin di
Pati antara 1914 dan 1920. Varian Samin ini, yang disebut sebagai Samatisme, percaya
bahwa Belanda hanya penyewa tanah, bukan pemilik, bahwa waktunya akan tiba ketika tanah
itu dikembalikan ke penduduk asli sebagai pemilik sejati (Blumberger, 1931: 9-10; Benda
dan Castles, 1969: 215).
Ilustrasi tersebut mengindikasikan bahwa gerakan Samin selama era kolonial adalah sebuah
gerakan berbasis laki-laki. Peran utama dalam gerakan Samin dimainkan oleh laki-laki. Tidak
ada bukti yang menunjukkan bahwa perempuan Samin mengambil bagian aktif dan muncul
di garis depan gerakan. Bukti konklusif yang tersedia lebih menunjukkan bahwa gerakan
Samin pada dasarnya sebuah gerakan berbasis petani. Pendukungnya berasal dari kaum tani
di pedesaan. Awalnya mereka adalah petani pemilik tanah menengah, tetapi kemudian petani
miskin juga bergabung dengan gerakan termotivasi oleh peningkatan beban pajak (King,
1973: 465). Para pengikut Samin telah diakui secara luas sebagai petani terampil (Benda dan
Castles, 1969: 228). Mereka memiliki ikatan erat dengan tanah mereka dan bumi memiliki
tempat sentral dalam keyakinan mereka (King, 1973: 459). Terlepas dari fakta ini,
pertimbangan lingkungan belum menjadi bagian dari argumentasi gerakan Samin.
Cukup jelas bahwa faktor-faktor sosial ekonomi membentuk penyebab utama dari gerakan
Samin. Munculnya gerakan Samin terjadi pada periode ketika pengaruh penjajahan Belanda
masuk lebih dalam ke kehidupan desa. Proses monetisasi yang dilakukan oleh Belanda telah
mengenakan beban berat pada penduduk pedesaan. Hal ini mengintensifkan pelaksanaan
sistem perpajakan kolonial, pertanian komersial, perdagangan, sistem kerja upahan, dan
masalah kepemilikan dan kontrol atas tanah. Di bawah tekanan sosial-ekonomi yang semakin
tinggi dan penurunan yang luar biasa dalam kesejahteraan, pada akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20 Jawa menampilkan fenomena meluasnya kerusuhan sosial yang terjadi di
pedesaan, seperti ditunjukkan oleh pecahnya gerakan protes di seluruh pulau (Peluso, 1992:
68-69). Hubungan erat antara gerakan Samin dan keluhan ekonomi ditandai dengan bentuk
perlawanan anti pembayaran pajak dan layanan tenaga kerja (Benda dan Castles, 1969: 219).
Gerakan Samin juga dimotivasi oleh keluhan terkait dengan peraturan hutan. Dengan
penciptaan peraturan kehutanan, yang menyatakan bahwa hutan disediakan secara khusus
untuk eksploitasi pemerintah, tercerabutlah kaum Samin dari sumber daya penting untuk
kebutuhan domestik mereka. Orang-orang Samin yang tinggal di dekat hutan tidak lagi
memiliki akses untuk menggunakan hutan sebagai sumber mata pencaharian. Semua bentuk
kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan hutan dilarang (Widodo, 1997: 268). Hal ini
menjelaskan mengapa gerakan Samin menyebar luas di daerah-daerah dekat hutan negara
(Idhom, 2008: 70). Pemerintah kolonial secara sepihak membuat ketentuan yang mengatur
batas tanah publik, di mana tanah berakhir dan di mana kawasan hutan mulai. Kawasan hutan
ditandai dan diplot dalam bentuk peta dan polisi hutan digunakan untuk patroli agar hutan
terlindung dari perambahan oleh penduduk. Untuk mencari kayu bakar dari hutan, mereka
harus membeli lisensi dari mandor hutan. Sanksi hukum diberlakukan bagi mereka yang
mengambil sumber daya hutan tanpa izin dari penguasa kolonial (Widodo, 1997: 268).
Gerakan Samin menolak peraturan kolonial yang membatalkan hak tradisional masyarakat
Samin. Sehubungan dengan sumber daya alam, para pengikut Samin percaya akan milik
umum. Mereka memegang prinsip bahwa tanah, air, dan hutan adalah milik bersama (Lemah
Podo duwe, banyu Podo duwe, kayu podho duwe) (Warto, 2001: 51; Benda dan Castles,

502
1969: 223). Dalam keyakinan mereka, siapa pun bisa menggunakan sumber daya alam yang
tersedia setiap kali mereka membutuhkan. Tidak seorang pun, termasuk pemerintah, bisa
mengklaim hak eksklusif atas sumber daya alam. Dengan prinsip ini orang Samin umumnya
tidak mengakui adanya otoritas (Korver, 1976: 250). Tidak mengherankan mereka terus saja
mengambil berbagai sumberdaya hutan meskipun dianggap sebagai pelanggaran terhadap
peraturan hutan kolonial (Benda dan Castles, 1969: 223).
Gerakan Samin selama periode kolonial memiliki beberapa karakteristik. Pertama,
mempunyai skala kecil dan lokal, karakteristik yang umum ditemukan dalam gerakan petani
(Kartodirdjo, 1987: 278-279). Hal ini disebabkan fakta bahwa seperti masyarakat pedesaan
lainnya, masyarakat Samin tersegmentasi secara horizontal dan vertikal. Interaksi mereka
berlangsung terutama dalam batas-batas lokal dan satu-satunya ikatan yang menghubungkan
mereka dengan dunia luar desa adalah hubungan guru-murid. Gerakan ini belum menjadi
gerakan sosial modern yang beroperasi atas dasar saluran vertikal dan organisasi politik
modern, seperti yang ditemukan misalnya dalam kasus Sarekat Islam. Gerakan Samin juga
merupakan sebuah gerakan sosial lama menurut konsepsi Singh (2002) karena fokusnya pada
masalah distribusi sumber daya ekonomi dan dukungan massa berbasis petani semata.
Gerakan Samin mewakili reaksi non-kekerasan terhadap sistem kolonial yang mengganggu
mata pencaharian masyarakat pedesaan yang bersandar pada pertanian dan sumber daya
hutan. Mereka pada dasarnya menolak ekonomi uang dan sistem produksi komoditas yang
berorientasi pasar. Dalam menolak kebijakan pemerintah kolonial Belanda dan aparat lokal,
para pengikut Samin mengambil berbagai bentuk perlawanan. Tidak hanya mereka menolak
untuk membayar pajak, melakukan layanan kerja, menyerahkan padi ke lumbung desa,
menyerahkan tanah mereka untuk ekspansi hutan jati, para pengikut Samin juga
menggunakan perlawanan dalam bentuk verbal dan budaya (Manijo, 2016: 53). Mereka
berbicara dengan bahasa Jawa ngoko, ungkapan-ungkapan dengan makna yang berbeda
dengan komunitas Jawa lainnya (Lestari, 2013: 85; Benda dan Castles, 1969: 225-226).
Karakter ini membuat gerakan Samin sangat unik dibandingkan dengan gerakan perlawanan
petani Jawa lainnya. Gerakan Samin menambahkan berbagai dimensi baru resistensi petani
dengan penolakan tegas terhadap kekuasaan kolonial dan menutup diri dari kehidupan publik
masyarakat kolonial lainnya (Idhom, 2009: 272). Selain itu, tidak seperti gerakan tani lain
yang umumnya berumur pendek, gerakan Samin mampu bertahan lama. Gerakan ini telah
menunjukkan daya tahan yang kuat. Gerakan Samin terus berlangsung, meskipun para
pemimpin kuncinya telah mati. Benda dan Castles (1969: 208) menggambarkannya sebagai
"fenomena sosial yang hidup paling lama dalam sejarah Jawa modern". Bahkan gerakan
Samin juga telah digambarkan sebagai "fenomena sosial tertua di Asia Tenggara (Rosyid,
2009: 230). Gerakan Samin mampu melewati masa kolonial Belanda, teriknya matahari
pendudukan Jepang, periode kemerdekaan dan bahkan masih ada sampai hari ini.

Gerakan Perlawanan Samin Era Reformasi


Seperti leluhur mereka pada masa lalu, selama era Reformasi masyarakat Samin juga
melancarkan gerakan perlawanan. Tiga faktor kondisional memainkan telah menyediakan
persemaian untuk tumbuhnya ide-ide perlawanan pada masa reformasi. Yang pertama adalah
faktor sejarah yang menempa mereka untuk mengadakan "tradisi perlawanan". Seperti telah
ditunjukkan di atas, sejak jaman penjajahan Belanda masyarakat Samin telah dihadapkan
pada pengaruh eksternal yang mengancam kehidupan mereka. Pemerintah Belanda berupaya
mengintegrasikan masyarakat Samin dalam hubungan kolonial. Di bawah kepemimpinan
Samin Suransentiko dan para muridnya, masyarakat Samin berjuang menghadapi tekanan
kolonial dengan cara mereka sendiri. Tidak ada keraguan bahwa gerakan perlawanan Samin

503
terhadap pemerintah kolonial Belanda telah memberikan sumber inspirasi dan pelajaran
sejarah bagi generasi Samin yang menyemangati tindakan mereka. Gerakan perlawanan
Samin masa lalu telah membentuk identitas Samin dan melegitimasi perlawanan terhadap
pembentukan industri semen (Azis 2012: 260).
Faktor kondisional kedua adalah konteks nasional yang melingkupi gerakan dalam bentuk
keterbukaan politik yang lebih luas setelah jatuhnya Orde Baru. Ada lebih banyak ruang
untuk mengekspresikan pendapat publik dan bahkan untuk menyuarakan aspirasi melalui
demonstrasi. Runtuhnya Orde Baru telah membuka jalan bagi Samin berjuang untuk
menuntut hak atas pengelolaan sumber daya alam. Orang-orang Samin percaya bahwa
meskipun pengelolaan semua sumber daya alam berada dalam kontrol negara, tetapi harus
digunakan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakat. Seperti di tempat lain, di
kalangan masyarakat Samin, ada tuntutan untuk transparansi dan keterbukaan dalam proses
pengambilan kebijakan terkait dengan proyek-proyek pembangunan dalam rangka untuk
mengakomodasi aspirasi masyarakat setempat. Kasus hukum korupsi yang melibatkan
eksekutif lokal memunculkan kecurigaan bahwa terjadi praktek serupa terkait dengan
pemberian izin pendirian pabrik semen di wilayah Pegunungan Kendeng (Sufyan, 2014: 19).
Faktor kondisional ketiga yang memicu pecahnya gerakan perlawanan Samin adalah rencana
eksploitasi batu kapur dan pendirian pabrik semen di Kompleks Pegunungan Kendeng.
Menyusul perubahan politik dari Orde Baru ke era Reformasi, Pemerintah Provinsi Jawa
Tengah dan Pemerintah Kabupaten Pati mengeluarkan kebijakan ekonomi untuk menarik
investasi. Salah satu investor, PT Semen Gresik, tertarik menanamkan modal dalam produksi
semen di Kompleks Pegunungan Kendeng. Di kawasan ini direncanakan berdiri pabrik
semen dengan kapasitas produksi 2,5 juta ton/tahun yang membutuhkan sekitar 1.560 hektar
lahan (Endrayadi, 2013: 236).
Penolakan masyarakat Samin untuk rencana investasi oleh PT Semen Gresik di Sukolilo,
Kabupaten Pati didasarkan pada keyakinan bahwa pembangunan industri semen akan
berdampak buruk pada ekonomi lokal dan lingkungan. Masyarakat Samin tergantung pada
pertanian untuk kesejahteraan mereka. Pertanian adalah identitas masyarakat Samin. "Samin
adalah petani, jika bukan petani, maka dia bukan Samin" (Wawancara Gunretno, 6 Agustus,
2012). Masyarakat Samin adalah petani tradisional dengan tanaman padi dan tanaman
lainnya seperti jagung, kacang-kacangan, ubi kayu dan umbi-umbian. Pertanian membentuk
fondasi mata pencaharian masyarakat Samin (Endrayadi, 2013: 223). Pegunungan Kendeng
menyediakan sumber utama irigasi untuk tanaman pertanian (Buana, 2012: 117). Banyak
mata air berasal dari Pegunungan Kendeng dan menjadi kekuatan yang memberi hidup bagi
masyarakat Pati dan kabupaten lain (Mojo dan Hadi, et al, 2015:. 238).
Penambangan Pegunungan Kendeng dikhawatirkan membawa kerusakan lingkungan,
menyebabkan hilangnya sumber air yang sangat dibutuhkan untuk tanaman, dan
membahayakan kelangsungan hidup petani di wilayah tersebut. Ketakutan mereka juga
didasarkan pada pangamatan atas pengalaman buruk kerusakan lingkungan yang
berlangsung di daerah Tuban di mana PT Semen Gresik sebelumnya telah memperluas
operasinya (Raharja, 2015: 6). Kondisi masyarakat yang tinggal di dekat industri semen yang
berlokasi di Tuban dikatakan telah membuat Gunretno dan rekan-rekan Saminnya yang
mengunjungi mereka merasa hancur dan terpukul karena jauh dari apa yang telah dijanjikan
sebelumnya (Azis, 2012: 257).
Berita tentang rencana untuk membangun pabrik semen di wilayah Pegunungan Kendeng
oleh PT Semen Gresik telah beredar di antara orang-orang Samin pada tahun 2006. Dalam
mengantisipasi perkembangan ini, sebuah aliansi yang disebut Jaringan Masyarakat Peduli
Pegunungan Kendeng (JMPPK) dibentuk pada tahun 2008 dengan Gunretno sebagai

504
pemimpin (Endrayadi, 2013: 195). Gunretno adalah pemimpin muda Samin, yang
sebelumnya menjabat sebagai bendahara di kelompok Karya Tani Maju (KTM), sebuah
organisasi petani yang didirikan pada tahun 1999 (Endrayadi, 2013: 192-193). JMPPK
memainkan peran utama dalam meningkatkan kesadaran akan bahaya industri semen di
kalangan masyarakat Samin dengan mengemasnya melalui isu krisis lingkungan.
Keprihatinan atas krisis lingkungan yang mengancam disebarkan oleh JMPPK di antaranya
melalui pertemuan arisan di kalangan perempuan Samin (Sufyan, 2014: 18).
Disadari bahwa masyarakat Samin tidak bisa berdiri sendiri dalam perjuangan mereka
melawan penetrasi korporasi kapitalis yang didukung otoritas negara. Dalam rangka
meningkatkan kekuatan perlawanan, JMPPK mencari dukungan dari pihak lain. Aliansi
dibangun, misalnya, dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Bekerjasama
dengan organisasi ini, pada tahun 2008 JMPPK mengajukan gugatan hukum terhadap
keputusan pemerintah yang mengijinkan pengoperasian industri semen di wilayah
Pegunungan Kendeng (Buana, 2012: 118; Raharja, 2015: 5). Selain itu, JMPPK juga
memperoleh dukungan dari Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta (Indexberita.net, 9 Juni
2016), dan juga dari kelompok-kelompok lain seperti Sheep Indonesia dan Serikat Petani Pati
(Azis, 2012: 257).
Perjuangan Samin dalam menentang pendirian industri semen dan eksploitasi batu kapur di
Sukolilo memang membuahkan hasil. Pada tanggal 26 Juli 2009, Gubernur Jawa Tengah,
Bibit Waluyo memutuskan untuk membatalkan rencana yang diusulkan oleh PT Semen
Gresik (Subarkah dan Wicaksono, 2014: 184). Pada awal 2010 Mahkamah Agung Republik
Indonesia mengeluarkan keputusan mencabut izin pendirian pabrik semen oleh PT Semen
Gresik (Buana, 2012: 118). Kemenangan ini hanya sementara. Kegagalan di Sukolilo disusul
dengan upaya-upaya PT Semen Indonesia untuk membangun pabrik semen di Pegunungan
Kendeng di Kabupaten Rembang. PT Semen Indonesia adalah Holding Group Strategic
menggabungkan tiga pabrik semen di Indonesia (PT Semen Gresik, PT Semen Padang, dan
PT Semen Tonasa) dan Thang Long Cement Vietnam (Subarkah dan Wicaksono, 2014: 181).
Dalam kasus melawan PT Semen Indonesia, gugatan yang diajukan oleh WALHI dan
JMPPK terkait izin lingkungan No. 660, 1/17 Tahun 2012 tentang kegiatan pertambangan
oleh PT Semen Indonesia telah ditolak (Raharja, 2015: 5). Kekalahan perjuangan melalui
jalan hukum telah mendorong mereka untuk mengadopsi bentuk-bentuk perlawanan lain.
Gerakan perlawanan mereka menunjukkan bahwa orang Samin adalah anti kapitalisme tulen.
Seperti pendahulu mereka di era kolonial, mereka menolak untuk bergantung pada uang.
Wawancara yang dilakukan Tim Biru Indonesia mengungkapkan bahwa mereka lebih suka
tanah dan air, bukan uang. Dalam pandangan mereka, tanah dan air dapat ditransfer ke anak-
cucu mereka (Raharja, 2015: 4).
Seperti selama era kolonial, gerakan perlawanan Samin untuk menjaga lingkungan
Pegunungan Kendeng dapat dilihat sebagai upaya untuk melawan hegemoni negara.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, telah menggunakan kekuatannya untuk menindas
masyarakat Samin. Dalam hal ini, pemerintah telah secara sadar memberikan hak untuk
mengelola wilayah Pegunungan Kendeng ke kapitalis. Hubungan antara pemerintah dan
kelompok-kelompok bisnis dikhawatirkan menimbulkan praktik monopoli. Praktek tersebut
diyakini mengecualikan kepentingan rakyat Samin dan hak-hak tradisionalnya atas
sumberdaya Pegunungan Kendeng. Dalam keyakinan mereka, alam dan segala isinya adalah
ciptaan Tuhan sehingga setiap manusia harus memiliki hak yang sama untuk menggunakan
(Tri Sulistiyono, 2011: 42). Semua sumber daya alam diyakini sebagai milik bersama, seperti
tercermin dalam ekspresi mereka, "Lemah podo duwe, banyu podo ngombe, kayu Podo
duwe". Mereka tidak ingin menggunakan secara eksklusif sumber daya alam yang tersedia

505
dan menafikan orang lain. Sejalan dengan keyakinan ini, segala bentuk intervensi eksternal
untuk memonopoli secara eksklusif penggunaan sumber daya alam dianggap tidak adil,
berbahaya dan bertentangan dengan prinsip mereka dan karena itu harus ditolak (Wawancara
dengan Gunretno, 12 Agustus 2012).
Akan tetapi tidak seperti selama periode kolonial Belanda, gerakan perlawanan Samin selama
era reformasi memperlihatkan karakteristik baru, peran penting perempuan Samin. Mereka
telah muncul di garis depan gerakan protes. Strategi ini diterapkan dalam rangka untuk
meminimalkan risiko tindakan kekerasan oleh aparat kepolisian dalam menangani pengunjuk
rasa (Buana, 2012: 118). Salah satu pemimpin perempuan kunci dalam gerakan ini Gunarti.
Dia adalah adik Gunretno dan putri Wargono, seorang pemimpin dihormati orang Samin
Sukolilo (Rosyid, 2014: 411-413). Sebagai seorang wanita Samin, pertanian merupakan
kegiatan rutin sehari-hari. Pada hari Minggu Gunarti mengajari anak-anak masyarakat Samin
di pondok pasinaon di mana mereka belajar tentang membaca, menulis, nilai-nilai moral
(Yudono, 2006), dan juga keterampilan bertani dasar. Pondok belajar telah menjadi media
penting untuk mewariskan etika dan nilai-nilai kehidupan Samin untuk generasi mendatang.
Melalui lagu dan permainan, sikap Samin terhadap lingkungan alam ditularkan kepada anak-
anak mereka (Azis, 2012: 261).
Keterlibatan perempuan Samin dalam aksi protes mulai dilakukan JMPPK pada tahun 2009.
Dilaporkan bahwa pada tanggal 22 Januari tahun 2009 banyak wanita bersama-sama dengan
warga desa lainnya pergi ke balai desa Sukolilo untuk mengklarifikasi berita tentang
penjualan tanah desa pada PT Semen Gresik. Niat mereka untuk bertemu kepala desa untuk
berdialog gagal. Hal ini membuat para pengunjuk rasa marah dan kemudian kerumunan
memblokir dan menyandera empat mobil yang membawa tim survei dari PT Semen Gresik.
Situasi menjadi tegang setelah sekitar 250 personel polisi dikerahkan untuk membubarkan
pengunjuk rasa. Bentrokan fisik tak terhindarkan setelah polisi mengambil tindakan represif.
Kejadian ini menyebabkan beberapa korban di antara demonstran, termasuk perempuan.
Sembilan demonstran ditahan dalam insiden tersebut (Anonim, 2009: 5).
Untuk mengurangi risiko tindakan represif, aksi teatrikal diadopsi dalam aksi perlawanan.
Baru-baru ini, sembilan perempuan Samin dilaporkan menjalankan protes dengan menabuh
lesung di depan Istana Negara di Jakarta untuk meminta komitmen Presiden Jokowi agar
mencegah pembangunan situs pabrik dan pertambangan semen di Pegunungan Kendeng
(Kompas, 7 April 2015: 14). Pada 12 April 2016 delapan perempuan Samin menyemen kaki
mereka di depan Monumen Nasional. Dua dari mereka adalah Giyem (48) dan Yeni Yulianti
(28). Tindakan ini diambil sebagai cara terakhir untuk bertemu dengan Presiden Joko Widodo
untuk mengungkapkan keberatan mereka terhadap pembangunan industri semen di kawasan
Kendeng. Setelah menjalankan aksi teatrikal mereka selama dua hari, Kepala Staf
Kepresidenan Teten Masduki dan Menteri Negara Sekretaris Pratikno menemui pengunjuk
rasa dan berjanji mengatur dialog dengan presiden (Indexberita.net, 9 Juni 2016).
Terlepas dari keterlibatan aktif perempuan Samin, gerakan perlawanan Samin selama era
reformasi juga menunjukkan keunikan, yang membedakan dari akar kolonialnya. Gerakan
Samin mengemas diri sebagai gerakan lingkungan dengan fokus wilayah pegunungan
Kendeng. Dengan mengangkat isu lingkungan, gerakan Samin dapat dikategorikan sebagai
gerakan sosial baru, seperti yang dikonsepsikan Singh (2002). Gerakan samin telah bergeser
dari gerakan sosial lama yang berangkat dari isu-isu sosial-ekonomi terkait dengan
eksploitasi kolonial Belanda. Kebaruannya sebagai gerakan sosial juga dapat dilihat dari
fakta bahwa gerakan perlawanan Samin ini mendapatkan dukungan tidak hanya dari petani
Samin saja, melainkan juga dari kelompok-kelompok kepentingan lain, yang melintasi
segmentasi kelas sosial yang bersifat tunggal.

506
Perhatian Samin terhadap isu-isu lingkungan terkait dengan perlindungan Kompleks
Pegunungan Kendeng tidak hanya berhenti pada tataran retorika belaka. Lebih jauh dari itu,
tanpa instruksi dari atas sekalipun, orang-orang Samin telah menanam berbagai pohon
tahunan di lahan kosong dengan inisiatif mereka sendiri. Di antara jenis pepohonan yang
ditanam terdapat misalnya mahoni, akasia, jambu mete, jati dan beberapa tanaman lain (Mojo
dan Hadi, et al, 2015: 241). Langkah-langkah nyata tersebut diambil atas dasar keyakinan
bahwa tanpa melestarikan lingkungan Pegunungan Kendeng, aktivitas pertanian Samin akan
menderita dampak serius (Sugihardjo et.al., 2012: 150). Selain itu, orang-orang Samin tidak
hanya peduli persoalan lingkungan. Dengan bijak mereka menggunakan sumber daya yang
alam yang ada. Mereka memanfaatkan sumber daya alam hanya untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, bukan untuk tujuan komersial demi akumulasi keuntungan. Mereka melakukan
budidaya tanaman pertanian bukan untuk diperdagangkan (Mojo dan Hadi, et al, 2015:. 241).
Seperti nenek moyang mereka, orang-orang Samin konsisten dengan hidup bersahaja dan
jujur (Sugihardjo, et al, 2012: 150; Sastroatmodjo, 2003:. 48). Kemakmuran bendawi bukan
tujuan utama kehidupan orang-orang Samin. Mereka ingin tetap hidup sederhana dalam
harmoni dengan alam dan tidak mau terbujuk oleh hasrat dan jeratan eksploitasi kapitalis.

Kesimpulan
Salah satu fitur pokok yang sama dari gerakan perlawanan Samin selama periode kolonial
dan reformasi adalah penolakan terhadap pengaruh eksternal yang mereka anggap
mengancam kehidupan dan nilai-nilai Samin. Gerakan perlawanan Samin pada kedua periode
umumnya dijalankan dengan cara non-kekerasan. Pada era kolonial gerakan perlawanan
Samin mengambil bentuk anti pembayaran pajak dan layanan tenaga kerja, dan peraturan-
peraturan yang mewakili hubungan eksploitatif kolonial yang membatasi akses tradisional
orang-orang Samin terhadap sumber daya hutan. Pada era reformasi gerakan perlawanan
Samin ditujukan untuk menolak pembangunan industri semen.
Argumen yang digunakan untuk mendukung gerakan pada kedua periode tampak
memperlihatkan adanya perbedaan. Di zaman kolonial Belanda gerakan perlawanan Samin
banyak didasarkan pada alasan sosial-ekonomi. Sementara itu, gerakan perlawanan Samin
masa reformasi secara kuat dikemas dengan argumen lingkungan. Pembangunan pabrik
semen di kawasan Pegunungan Kendeng diyakini berbahaya besar karena akan
menghancurkan lingkungan mereka, yang kemudian berimbas pada pertanian yang menjadi
mata pencaharian andalan masyarakat Samin. Dengan argumen lingkungan yang diusungnya,
maka gerakan perlawanan Samin dapat disebut sebagai gerakan sosial baru. Kebaruannya
juga diperkuat dengan dukungan yang datang dari kelompok-kelompok lain yang melintasi
sekat kelas, bukan hanya eksklusif berbasis kaum tani. Karakteristik lain yang membedakan
dengan gerakan Samin masa kolonial (lama) adalah keterlibatan secara aktif perempuan
Samin di garis depan aksi perlawanan, penggunaan saluran hukum dan ekspresi teatrikal.
Bisa dikatakan bahwa gerakan perlawanan Samin pada masa kolonial dan reformasi
mengejawantahkan spirit yang sama, namun dengan wajah yang berbeda.

Daftar Pustaka
Anonim. 2009. “Bebaskan Saudara Para Petani Pejuang Lingkungan”, Amorfati, No. 3,
July:5.
Azis, Munawar. 2012. “Identitas Kaum Samin Pasca Kolonia Pergulatan Negara, Agama, dan
Adat dalam Pro-Kontra Pembangunan Pabrik Semen di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah”, Jurnal
Kawistara, Vol. 2 No. 3 (December): 225-328.

507
Benda, Harry J. and Lance Castles. 1969. “The Samin Movement”, Bijdragen tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde, Vol. 125:207-240.
Blumberger, Petrus J.Th. 1931. De nationalistische beweging in Nederlandsch-Indië.
Haarlem: H. D. Tjeenk Willink & Zoon.
Buana, Dian Chandra. 2012. “Kearifan Lokal Versus Otoritas Penguasa: Studi Kritis
Perlawanan Hukum Masyarakat Adat Sikep Terhadap Pendirian Pabrik Semen di
Pengunungan Kendeng, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati”, Jurnal Politika, Vol. 8 No.
1:109-124.
Endrayadi, Eko Crys. 2013. “Perjuangan Identitas Komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten
Pati Provinsi Jawa Tengah”. Disertasi. Universitas Udayana.
Hutomo, Suripan Sadi. 1996. Tradisi dari Blora. Semarang: Penerbit Citra Almamater.
Idhom, Addi Mawahibun. 2009. “Resistensi Komunitas Sedulur Sikep terhadap Rencana
Pembangunan Tambang Semen di Pegunungan Kendeng Sukolilo”, Skripsi, Yogyakarta:
Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Kalijaga.
Indexberita.net, “Samin, Robin Hood dan Semen di Kaki”
(Http://www.indexberita.net/read/samin-robin-hood-dan-semen-di-kaki-3171004082, as
retrieved on 9 June 2016)
Kartodirdjo, Sartono. 1987. “Peasant Insurgents Revisited: A Comparative Study of
Nineteenth and Twentieth Century Peasant Movements in India and Indonesia”
Itinerario,Vol. 11, No. 1 (March): 277-290.
King, Victor T. 1973. “Some Observations on the Samin Movement of North-Central Java:
Suggestions for the Theoretical Analysis of the Dynamics of Rural Unrest”. Bijdragen tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 129:457-481.
Kompas, 7 April 2015. “Sumber Daya Alam: Negara Dituntut Lindungi Petani”.
Korver, A. Pieter E. 1976. “The Samin Movement and Millenarianism”. Bijdragen tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 132:249-266.
Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Lestari, Indah Puji. 2013. “Interaksi Sosial Komunitas Samin dengan Masyarakat Sekitar”,
Jurnal Komunitas, 5(11):74-86.
Manijo. 2016. “Dinamika Sedulur Sikep Kaliyoso: Genealogi Gerakan dan Diskursus
Pendidikan Agama”, Edukasia, Vol. 11, No. 1 (February):51-68.
Mojo, Endrat, Sudharto P. Hadi and Hartuti Purnaweni. 2015. “Saminist Indigenous
Knowledge in Water Conservation in North Karts Kendeng Sukolilo”, Jurnal Komunitas,
Vol. 7 No. 2:236-242.
Octaviani, Emillia Vinna. 2015. “Pola Komunikasi Suku Samin di Kabupaten Blora Terkait
Ajaran yang Dianutnya”, Vol. 7, No. 2 (July):26-29.
Peluso, Nancy Lee. 1992. Rich Forest, Poor People: Resource Control and Resistance in
Java. Berkeley: University of California Press.
Raharja, A. Gonzaga Dimas Bintarta. 2015. “Tanah Bisu Sedulur Sikep: Menggali Ulang
Konflik Agraria antara Masyarakat Samin di Pegunungan Karst Kendeng Rembang dalam
Kontestasi Kapitalisme Perusahaan Semen Indonesia”, Unpublished paper, Department of
Anthropology, Faculty of Cultural Sciences, Gadjah Mada University.

508
Rosyid, Moh. “Partisipasi Politik Komunitas Samin di Bidang Pendidikan”, Forum Tarbiyah,
Vol. 7, No. 2 (December):229-244.
Rosyid, Moh. 2012. “Studi Komparatif Konsep Ketuhanan Islam dan Agama Adam pada
Komunitas Samin”, Ulumuna, Vol. 16, No. 2 (December):403-442.
Rosyid, Moh. 2014. “Memotret Agama Adam: Studi Kasus pada Komunitas Samin”, Vol. 23,
No. 2 (October):189-210.
Saputra, Heru S.P. & Andang Subaharianto. 2008. “Sedulur Sikep (Wong Samin): dari
Perlawanan Pasif dengan Sangkalan ke Budaya Tanding dengan Teks”, Jurnal Kultur, Vol. 2,
No. 2 (September):197-228.
Singh, Rajendra. 2002. “Teori-Teori Gerakan Sosial Baru”, Jurnal Wacana, Vol. 11.
Storey, William Kelleher. 2011. Menulis Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Subarkah and Anggit Wicaksono. 2014. “Perlawanan Masyarakat samin (Sedulur Sikep) Atas
Kebijakan Pembangunan Semen Gresik di Sukolilo Pati (Studi Kebijakan Berbasis
Lingkungan dan Kearifan Lokal”
(Http://download.portalgaruda.org/article.php?article720078, as retrieved on 5 June 2016)
Sufyan, Ahmad. 2014. “Gerakan Sosial Masyarakat Pegunungan Kendeng Utara Melawan
Pembangunan Pabrik Semen di Kabupaten Rembang”. Unair online Journal, as retrieved on
26 June 2016.
Sugihardjo, Eny Lestari, Agung Wibowo. 2012. “Strategi Bertahan dan Strategi Adaptasi
Petani Samin Terhadap Dunia Luar”, Jurnal Sepa, Vol. 8 No 2 (February):145-153.
Tri Sulistiyono, 2011. “Saministo Phobia”, Citra Lekha, Vol. 16, No. 2:31-44.
Warto. 2001. Blandong: Kerja Wajib Ekxploitasi Hutan di Rembang Abad ke-19. Surakarta:
Pustaka Cakra.
Widiana, Nurhadi. 2015. “Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal: Studi Kasus Masyarakat
Samin di Dususn Jepang Bojonegoro”, Teologia, 26(2):198-215.
Widodo, Amrih. 1997. “Samin in the New Order: Politics of Encounter and Isolation”, in
James Schiller and Barbara martin Schillers (ed.), Imagining Indonesian: Cultural Politics
and Political Culture. Ohio: Ohio University Press.
Widodo, Slamet. 2009. “Proses Transformasi Pertanian dan Perubahan Sosial pada
Masyarakat Samin Bojonegoro”, Embryo, Vol. 6 No. 1 (June):57-66.
Yudono, Jodhi. 2006. “Sepenggal Kisah tentang Masyarakat Samin”. Kompas, 25 January.

509
Melawan Amnesia Sejarah: Studi Gerakan Sosial Paguyuban Petani Lahan Pantai di
Kulon Progo, Yogyakarta
Silverio R L Aji Sampurno

Abstrak
Dalam ingatan sejarah masyarakat Yogyakarta, seorang raja harus memiliki sikap gung
binathara bau dendha hanyakrawati yang salah satunya dimanifestasikan dalam ungkapan
“Tahta untuk Rakyat”. Studi ini dimaksudkan untuk merekonstruksi perlawanan Paguyuban
Petani Lahan Pantai (PPLP) di Kulon Progo terhadap kepentingan kekuasaan tertinggi di
Yogyakarta, yaitu Sri Sultan Hamengku Bawono X dan Pakualam IX serta sekarang
Pakualam X. Pertanyaan yang diajukan adalah: (1) mengapa PPLP melakukan perlawanan?
(2) Bagaimana aksi perlawanan yang dilakukan PPLP? Untuk menjawab pertanyaan itu,
penelitian ini menggunakan metode wawancara, pengumpulan berita surat kabar dan studi
pustaka. Wawancara dan berita surat kabar terutama digunakan untuk merekonstruksi proses
gerakan sosial. Di pihak lain, studi pustaka digunakan untuk menganalisis tata nilai
masyarakat Yogyakarta, terutama konsep kekuasaannya, untuk diperbandingkan dengan
praksis kekuasaan yang dijalankan oleh penguasa tertinggi di Yogyakarta saat ini. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penguasa saat ini telah mengalami amnesia sejarah, sehingga
meninggalkan tata nilai dan praksis pemerintahan yang telah diwariskan oleh penguasa
sebelumnya, terutama masa pemerintahan Hameng Buwono IX. Akibatnya masyarakat
mengalami keresahan sosial yang berpuncak pada perlawanan.

Kata Kunci :Gerakan Sosial, Kekuasaan, Amnesia Sejarah

Pendahuluan
Sejak berlangsungnya reformasi pada tahun 1998, salah satu perkembangan dalam
masyarakat Indonesia yang menonjol adalah semakin beraninya rakyat untuk menyuarakan
kepentingannya. Mereka tidak lagi diam dalam kekalahan ketika berhadapan dengan
penguasa, baik dalam arti pemerintah sebagai penguasa politik maupun pengusaha sebagai
penguasa ekonomi. Rakyat kecil dewasa ini tidak lagi merasa segan dan takut ketika
kepentingan mereka terabaikan atau terpinggirkan. Klaim-klaim penguasa yang digunakan
sejak zaman Orde Baru, seperti “demi kemajuan ekonomi”, “peningkatan pendapatan
daerah”, “kepentingan bersama”, serta “kebenaran dan penegakan hukum”, untuk menekan
rakyat, dewasa ini memperoleh perlawanan yang cukup sengit.
Di Yogyakarta yang secara turun temurun masyarakatnya dikenal menjunjung tinggi
kerukunan, ternyata memiliki potensi konflik yang cukup tinggi. Potensi konflik yang paling
kuat antara lain terjadi pada masyarakat yang tinggal di daerah sepanjang pantai selatan.
Masyarakat kelas bawah yang sudah berpuluh tahun tinggal di daerah pantai selatan harus
menghadapi dua penguasa sekaligus yang mengadakan kolusi, yaitu penguasa politik dan
ekonomi. Para penguasa itu hendak menguasai lahan pantai serta menggusur hidup dan
kehidupan mereka. Salah satu kasus yang menonjol adalah gerakan sosial yang terjadi di
pantai Watu Kodok, Desa Kemadang, Kecamatan Tanjungsari. Secara tiba-tiba seorang
pengusaha yang bernama Enny Supiani dari Jakarta datang ke Watu Kodok dan menyatakan
rencananya untuk melakukan pembangunan resort di pantai Watu Kodok. Dia membawa
surat kekancingan dari Keraton Yogyakarta sebagai bentuk restu atau ijin dari penguasa

510
politik Kerajaan Yogyakarta dan berusaha membersihkan pantai Watu Kodok dari
keberadaan penduduk.
Potensi konflik yang kuat juga terjadi di daerah pantai selatan yang masuk wilayah
Kabupaten Bantul. Pada tahun 2008 di Parangtritis muncul gerakan yang menamakan diri
sebagai Aliansi Rakyat Melawan Penggusuran (ARMP) dengan keanggotaannya yang terdiri
dari masyarakat pantai selatan di wilayah Kabupaten Bantul, seperti Samas dan Pantai Baru.
Mereka diresahkan oleh isu penegasian keberadaan warga masyarakat penghuni pantai
selatan dan penggusuran mereka untuk digantikan usaha yang berskala besar, yaitu
pembangunan hotel. Warga ARMP merasa dinegasikan oleh pemerintah Kabupaten Bantul,
dan Provinsi DIY sebagai penduduk liar yang menempati lahan Sultanaat Ground (SG) dan
turut menyuburkan praktik prostitusi. Bahkan sejak berdirinya Parangtritis Geomaritime
Science Park (PGSP) pada September 2015, tekanan semakin menguat. Warga ARMP tidak
hanya dianggap penduduk liar dan penyubur prostitusi, tetapi juga pengganggu konservasi
gumuk pasir.1
Konflik yang paling keras terjadi di daerah pantai wilayah Kabupaten Kulon Progo.
Masyarakat petani lahan pantai diresahkan oleh kepentingan penguasa (pemerintah daerah)
yang hendak mengubah wilayah mereka sebagai lahan bisnis pengusaha internasional. Di
ujung barat pantai akan dibangun bandara internasional yang representatif sebagai pengganti
dari bandara Adisucipto. Baik pada sisi darat (land side) dan sisi udara (air side) Bandara
Adisucipto dipandang sudah tidak dapat menampung trafik yang ada. Dengan alasan
keterbatasan bandara Adisucipto dan mengembangkan bisnis penerbangan secara aman dan
nyaman, serta agar semakin banyak penumpang di tahun-tahun mendatang, terutama terkait
dengan diberlakukannya Perdagangan Bebas Asean (Asean Free Trade Area) pada tahun
2015, maka pihak angkasa Pura I Yogyakarta berusaha memindah bandara ke daerah yang
lebih luas dan memadai untuk dibangun layanan bandara internasional, yaitu di Kecamatan
Temon Kabupaten Kulon Progo. Terpilihnya Kecamatan Temon karena wilayahnya relatif
datar dan memiliki kedekatan dengan jalur transportasi darat, terutama Kereta Api. Posisi
strategis itu memungkinkan terintegrasinya transportasi udara dan darat, sehingga efisiensi
dan efektifitas lalu lintas barang dan orang dapat dioptimalkan. Kepala Dinas Perhubungan,
Komunikasi dan Informatika DIY, Sigit Haryanta mengatakan untuk tahap awal, jaringan
transportasi darat bandara baru akan ditopang dua jalan, yakni jalan nasional sepanjang 40
kilometer Jogja-Wates-Karangnongko dan jalur jalan lintas selatan (JJLS). Tahap selanjutnya
adalah persiapan pembangunan jalur rel kereta api ke dari Jogja ke Kedundang, Temon,
Kulonprogo, tempat bandara baru dibangun.2
Pembangunan bandara itu melahirkan konflik berkepanjangan dengan masyarakat yang
kemudian bersatu dalam organisasi gerakan bernama Wahana Tri Tunggal (WTT).
Organisasi itu didirikan pada tanggal 9 September 2012 dengan beranggotakan warga dari
enam desa yang terkena dampak pembangunan bandara di Kulon Progo, yaitu Desa Glagah,
Palihan, Sindutan, Jangkaran, Kebonrejo, dan Temon Kulon. Mereka melawan kekuatan
pemerintah yang berlindung dengan alasan bahwa sebagian besar wilayah itu merupakan
Paku Alam Ground (PAG) dan “demi kepentingan umum yang lebih besar”.
Di sebelah timur area pembangunan bandara internasional, saat ini telah dibangun perusahaan
penambangan pasir besi yang dikelola oleh PT Jogja Magasa Iron (JMI). Masyarakat yang
telah berpuluh tahun mengembangkan lahan pantai dengan pertanian sayur dan buah
(Holtikultura) merasa terpinggirkan. Mereka pada tahun 2006 membentuk gerakan yang
1
Selamatkanbumi.com, “Menolak digusur, warga Parangkusumo menggelar Panggung Rakyat” edisi 2 Agustus
2016.
2
http://www.harianjogja.com tanggal 1 Desember 2015

511
dinamai sebagai Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP). Konflik terkeras antara petani
dengan pihak perusahaan terjadi pada tahun 2008-2010 ketika JMI dengan didukung oleh
pemerintah daerah berusaha memaksakan kehendak untuk mengusir para petani dari lahan
garapan dan tempat tinggal mereka. Saat ini, meski konflik belum berakhir, tetapi sedang
mengalami peredaan, terutama karena pemerintah daerah lebih mengutamakan pembangunan
bandara internasional di wilayah Glagah dan sekitarnya.

Kisah Perlawanan PPLP


PPLP resmi di bentuk tanggal 1 April 2007 setelah mencuatnya isu penambangan pasir besi
pada akhir tahun 2005. Pembentukan organisasi ini atas dasar spontanitas dan responsitas.
PPLP sendiri merupakan gerakan sosial-politik yang muncul karena adanya tambang pasir
besi di Kulon Progo yang memakan beberapa desa diempat kecamatan. Keempat kecamatan
tersebut adalah Kecamatan Temon, Kecamatan Wates, Kecamatan Panjatan dan Kecamatan
Galur.
Kemunculan PPLP bermaksud untuk menolak terjadinya penambangan pasir besi di pesisir
Kulon Progo. Alasan penolakan mereka cukup masuk akal karena lahan yang mereka jadikan
sumber hidup itu telah mereka tempati kurang lebih dari dua puluh tahun lamanya. Dalam
tuntutannya para petani menginginkan peniadaan tambang pasir besi di daerah mereka yang
dinilai menyengsarakan warga pesisir.
Selain itu, penolakan tersebut karena dinilai tambang pasir bisa menyebabkan rusaknya
vegetasi dan kerusakan tanah baik secara fisik, kimia maupun biologisnya. Selain
permasalahan lingkungan, kemunculan tambang pasir besi juga tidak menghargai jerih payah
para petani pesisir ini. Pasalnya sebelum adanya penanaman pertanian di daerah pesisir ini,
kawasan pesisir Kulon Progo yang mereka huni merupakan kawasan yang kering dan
gersang. Lahan ini hanya bisa ditanami oleh rumput duri, pandan duri, dan sidaguri. Akan
tetapi setelah puluhan tahun mengembangkan inovasi cara-cara bertani yang baik, akhirnya
mereka menemukan cara bagaimana lahan pasir yang gersang ini bisa ditanami oleh tanaman
pertanian seperti cabai dan sawi. Semua itu adalah bukti bahwa mereka pada dasarnya
mampu mengolah tanah tanpa merusak alam. Kearifan lokal masyarakat tersebut sudah
selayaknya mendapatkan perhatian dari pemerintah sendiri.
Namun demikian, menghadapi permasalahan ini, pemerintah lokal seakan-akan acuh tak acuh
terhadap apa yang disuarakan oleh para petani. Padahal para petani hanya menginginkan agar
tanah mereka kembali seperti sedia kala sehingga mereka bisa bercocok tanam kembali dan
melanjutkan hidupnya. Seiring dengan berjalannya waktu nampaknya tidak ada kejelasan
terhadap status hak tanah mereka. Karena dinilai gerakan ini terlalu masif3, menyebabkan
salah satu anggotanya menjadi tahanan yakni Tukijo. Penahanan Tukijo sendiri, dinilai oleh
PPLP sarat dengan adanya rekayasa4, dalam upaya membungkam aksi-aksi PPLP.

Akar Permasalahan
1. Hukum Agraria

3
Lihat https://kulonprogotolaktambangbesi.wordpress.com/2011/02/10/rekam-jejak-perjuangan-masyarakat-
pesisir-kulon-progo-versi-singkat/
4
https://kulonprogotolaktambangbesi.wordpress.com/2011/05/02/kronologi-dan-pernyataan-sikap-pplp-kp-atas-
penculikan-terhadap-tukijo-oleh-polisi-resor-kulon-progo/

512
Munculnya gerakan masyarakat pantai selatan Yogyakarta merupakan realitas sosial yang
kompleks. Paper ini akan memfokuskan diri pada pencarian genetika historis dari perspektif
agraria dan etika kekuasaan kerajaan Yogyakarta. Dari perspektif agraria, apabila dirunut
jauh ke belakang, hak kerajaan Yogyakarta atas tanah sudah diakui sejak zaman penjajahan
Belanda. Sebagai kerajaan merdeka (vorstenlanden), pemerintah kolonial Belanda mengakui
bahwa Sultan dan Paku Alam merupakan pemilik hak mutlak tanah-tanah di wilayah itu
(vorstdomein). Dari sudut pandang ini, wajar apabila kemudian dalam Rijksblaad van
Sultanaat Djogjakarta No. 16, tahun 1918 pasal 1 dituliskan bahwa “Sakabening bumi kang
ora ana yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang egendom dadi bumi kagungane kraton
ingsun Ngajogjakarta Hadiningrat”.5
Ketika zaman berganti dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17
Agustus 1945, Kerajaan merdeka Yogyakarta, di bawah pemerintahan Sultan Hamengku
Buwono yang kesembilan (HB IX) bersama dengan Kadipaten Paku Alam di bawah Paku
Alam kedelapan (PA VIII) pada tanggal 5 September 1945 memutuskan untuk bergabung
dan menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia
kemudian menjadikan Yogyakarta sebagai daerah istimewa dengan pengakuan terhadap
kekuasaan keraton atas wilayah itu.
Wacana untuk mempertahankan kedudukan istimewa keraton atas wilayah DIY dan
Rijksblaad van Sultanaat Djogjakarta No. 16 tahun 1918 menguat pada masa pemerintahan
Sultan Hamengku Buwono X ini, terutama sejak awal tahun 2000an. Istilah Sultan Ground
(SG) dan Paku Alam Ground (PAG) yang sudah lama hilang dari ingatan masyarakat
Yogyakarta, kembali dihidupkan dan mengemuka. Tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan
secara hukum sebagai tanah perseorangan diklaim sebagai tanah keraton. Pewacanaan hak
keraton atas tanah memuncak dengan dikeluarkannya Undang Undang No. 13 tahun 2012
tentang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada pasal 32 dijelaskan bahwa
Kasultanan sebagai badan hukum merupakan subjek hak yang mempunyai hak milik atas
tanah Kasultanan (ayat 2); Kadipaten sebagai badan hukum merupakan subjek hak yang
mempunyai hak milik atas tanah Kadipaten (ayat 3).) Tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) meliputi tanah keprabon dan tanah bukan
keprabon yang terdapat di seluruh kabupaten/kota dalam wilayah DIY (ayat 4). Berdasar UU
keistimewaan itu, pihak keraton semakin gencar melakukan kerjasama dengan pemerintah
kabupaten untuk pendataan dan penertiban.6
Konflik yang terjadi di sepanjang pantai selatan sangat erat dengan klaim keraton terhadap
daerah pantai sebagai Sultan Ground (SG) dan Paku Alam Ground (PAG). Melalui
Kawedanan Hageng Punokawan Panitikisma pihak keraton mengeluarkan surat kekancingan
kepada pemilik modal, baik nasional maupun internasional, untuk memanfaatkan daerah
pantai sebagai lahan usaha. Masyarakat yang sudah turun temurun tinggal di daerah pantai
memandang bahwa keraton dan khususnya Sultan Hamengku Buwono X telah bertindak
sewenang-wenang. Mereka memandang Sultan X yang sekarang berkuasa telah mengalami
amnesia sejarah dengan mengabaikan berbagai kebijakan yang telah ditempuh oleh
pendahulunya, yaitu Sultan Hamengku Buwono IX.
Dalam pandangan masyarakat pernyataan bahwa wilayah pantai merupakan Sultan Ground
dan Paku Alam Ground adalah klaim sepihak dan tidak memiliki landasan hukum agraria
yang kuat. Sultan HB IX telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) DIY No. 5 tahun
1954 yang termuat dalam Lembaran Daerah Istimewa Yogyakarta pada 14 Januari 1956.
5
Terjemahan: Semua tanah yang tidak mempunyai bukti kepemilikan ataupun bukan dalam kekuasaan hak
eigendom pemerintahan kolonial menjadi tanah milik Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat
6
Http://www.harianjogja.com, edisi 19 Maret 2016

513
Melalui Perda tersebut “masyarakat dapat melakukan sertifikasi hak milik atas tanah kerajaan
jika tanah tersebut sudah ditempati selama 20 tahun. Artinya tanah kerajaan baik itu
Sultanaat Grond maupun Pakualaman Grond bisa diakuisisi masyarakat berdasarkan hukum
nasional”.7 Dari sudut pandang ini, apabila masyarakat telah menempati dan atau melakukan
pengolahan terhadap lahan pantai lebih dari 20 tahun, mereka dapat menguasainya sebagai
hak milik.
Ketika pemerintah RI mengeluarkan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960,
pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta bermaksud untuk mengikutinya dan menyatukan
hukum agraria Yogyakarta dengan hukum agraria nasional. Maksud tersebut tertuang pada
Perda No. 3 tahun 1984. Dalam penjelasannya pada nomor 10 tertulis bahwa “demi adanya
keseragaman, kesatuan dan kepastian hukum perlu ditinjau kembali dan tidak
diberlakukannya Rijksblad-Rijksblad, Peraturan Daerah-Peraturan Daerah dan ketentuan
peraturan perundang-undangan daerah lainnya tentang Agraria di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, sehingga hanya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Pusat yaitu Undang-Undang Pokok Agraria beserta, aturan pelaksanaannya yang
berlaku, dengan menetapkan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tentang
Pelaksanaan berlaku sepenuhnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta”.8
Penjelasan Perda No. 3 tahun 1984 itu dipandang mengubur selamanya dualisme peraturan
pertanahan yang berlaku di Yogyakarta. Klaim-klaim yang diwacanakan oleh keraton selama
ini lebih dipandang sebagai kepentingan internal kerabat keraton dan pengusaha yang ingin
mengeksplotasi tanah-tanah yang telah lama digarap oleh masyarakat.9 Kepentingan ekonomi
itu sangat mencolok pada konflik PPLP dimana saham yang ada di PT JMI merupakan
gabungan dari milik kerabat sultan dan Indo Mines Ltd.10

2. Etika Kuasa
Secara turun temurun Sultan ditempatkan sebagai penguasa tertinggi masyarakat Yogyakarta.
Apapun titah dari Sultan, semua lapisan masyarakat akan menaati dan melaksanakannya
dengan tanpa berpikir panjang. Pola kekuasaan seperti itu dalam dunia akademik dikenal
sebagai konsep dewa-raja. Kekuasaan raja digambarkan sebagai sebesar kekuasaan dewa
dengan kecenderungan penjelasan yang menekankan aspek negatifnya, yaitu absolutisme dan
otoritarianisme kuasa yang secara aktif terrepresentasi pada kesewenang-wenangan penguasa,
sehingga rakyatnya menderita.
Salah satu kajian akademik tentang kuasa Sultan masa kerajaan Mataram dan Yogyakarta
dilakukan oleh G. Moedjanto. Dia menggambarkan kekuasaan sultan sebagai gung binathara
baudendha nyakrawati, ber budi bawa leksana, ambeg adil paramarta. Pemaknaan gung
binathara sebagai kekuasaan raja besar bagai dewa tidaklah salah, tetapi kata ‘gung’ dalam
bahasa Jawa memiliki makna yang banyak (konotatif). Selain dapat diartikan besar, kata
‘gung’ juga dimaknai sebagai ‘mulia’. Apabila gung binathara dimaknai mulia bagai dewa,
7
Wasisto Raharjo Jati, “Politik Agraria Di Yogyakarta: Identitas Patrimonial dan Dualisme Hukum Agraria”
yang termuat pada Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1 – Maret 2014, p. 25.
8
Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 3 tahun 1984, p. 5.
9
Watin, Ketua ARMP menyatakan “SG sudah tidak ada lagi, karena sesuai dengan Keppres 33 dan Perda DIY
Nomor 3 Tahun 1984, keberadaannya sudah dihapus” Lihat pada http://selamatkanbumi.com/en/menolak-
digusur-warga-parangkusumo-menggelar-panggung-rakyat/
10
Pihak Keraton Yogyakarta memiliki saham sebesar 30% yang digawangi oleh PT JMI dan 70% sisanya
dimiliki oleh Indo Mines Ltd. Lihat Ibnu Hadjar Al Asqolani, “Menolak Tambang demi Alam” pada Balairung
edisi 46/XXVII/September/2012, p. 13.

514
maka loyalitas masyarakat Yogyakarta yang tinggi terhadap Sultan dapat dimaknai sebagai
kepercayaan bahwa titahnya terjamin kemuliaannya, sehingga tanpa keraguan sedikitpun
untuk melaksanakan.
Permasalahan lain adalah penterjemahan Bathara sebagai dewa. Kosa kata Bathara memang
cukup membingungkan, karena tidak banyak teks tradisional yang membahasnya. Ingatan
masyarakat Jawa tentangnya lebih banyak berasal dari seni pertunjukan wayang yang
menggunakan kata ‘Bathara ’ sebagai sebutan dewa, seperti Bathara Guru, Narada, Kama
dan sebagainya. Dari sudut pandang ini, menjadi dapat dipahami apabila Bathara disamakan
dengan dewa. Akan tetapi, apabila dikaji lebih mendalam, masyarakat Jawa dan nusantara
pada umumnya, memiliki pembedaan antara Bathara dan dewa. Dalam kitab Shangyang
Siksakanda ng Karesian, yang dipandang sebagai kitab suci agama Sunda Wiwitan,
digambarkan tentang sosok Batara (Bathara ) sebagai berikut:
Sakala batara jagat basa ngretakeun bumi niskala. Basana: Brahma, Wisnu, Isora,
Mahadewa, Siwah. bakti ka Batara! Basana: Indra, Yama, Baruna, Kowera, Besawarma,
bakti ka Batara! Basana: Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Pata(n)jala, bakti ka Batara: Sing
para dewata kabeh pada bakti ka Batara Seda Niskala. Pahi manggihkeun si tuhu lawan
preityaksa.
Ini na parmanggihkeuneun dina sakala, tangtu batara di bwana pakeun pageuh jadi manik
sakurungan, pakeuneun teja sabumi. Hulun bakti di tohaan, ewe bakti di laki, anak bakti di
bapa, sisya bakti di guru, mantri bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti
di dewata.

Terjemahan:
Suara panguasa alam waktu menyempurnakan mayapada. Ujarnya: Brahma, Wisnu, isora,
Mahadewa, Siwa baktilah kepada Batara! Ujarnya: Indra. Yama, Baruna, Kowara,
Besawarma, baktilah kepada Batara! Ujarnya: Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Patanjala,
baktilah kepada Batara! Maka para dewata semua berbakti kepada Batara Seda Niskala
Semua menemukan “Yang Hak” dan “Yang Wujud”.
Ini yang harus ditemukan dalam sabda, ketentuan Batara di dunia agar teguh menjadi
“Permata di dalam sangkar”, untuk cahaya seluruh dunia, Hamba tunduk kepada majikan,
istri tunduk kepada suami, anak tunduk kepada bapak, siswa tunduk kepada guru, mantri
tunduk kepada mangkubumi, mangkubumi tunduk kepada raja, raja tunduk kepada dewata.
Dari kutipan di atas kiranya dapat dipahami bahwa Bathara adalah bukan dewa dan
kedudukannya lebih tinggi, karena sebagai pusat bakti dari para dewa. Dengan demikian,
penyamaan Bathara dengan dewa adalah kurang tepat, untuk tidak mengatakannya sebagai
salah. Gambaran lebih jelas tentang sosok Bathara terdapat pada kepercayaan masyarakat
Philipina sebagai berikut:
The Creator God was almost always said to be invisible, or without form, and as such,
images of the deity were not generally made. The name was considered sacred, and very
rarely uttered, usually only in sacred rituals by special initiates. This same phenomenon
occurs widely throughout the Malay Archipelago. Generally, the Supreme God was seen as
distant and too involved in higher matters for direct worship. Instead, a lower class of
deities, who, like humans, were also created, were the principle objects of prayer,
supplication and ritual. However, sacrifices, offerings and rituals aimed at the Supreme God
were unknown…

515
The lower gods were known by names like diwa, diwata, tuhan and anito. As in many
shamanistic cultures, these deities were divided into benefic and malefic categories. A sort of
cosmic dualism was ever present in which humans and other earthly beings were also
involved. However, the malefic deities were not generally seen as enemies and were often
supplicated themselves. Their role in bringing harm to earthly beings was seen as having a
special significance in the cosmic scheme of things. While a sort of battle between good and
evil did exist, this was primarily between the beings of earth and the lower realms. In this
conflict, the shaman/priest acted as the primary defender in native society. He/she sought the
aid of the benefic deities against the malevolent lower spirits, or the appeasement of the
malefic deities. In special cases, the shaman/priest even appealed to the Supreme Deity.11

Dari kutipan di atas tampak bahwa Bathara merupakan sosok yang dipercaya sebagai Hyang
Pencipta dan selalu tidak terlihat oleh manusia, sehingga tidak pernah digambarkan maupun
dibuatkan simbol. Namanya diyakini sangat suci, sehingga sangat jarang diucapkan, baik
dalam kehidupan keseharian masyarakat maupun ritual. Ketiadaan ritual dikarenakan dalam
pandangan religi nusantara diyakini Bathara bersifat pasif (suwung awang uwung/doing
nothing).
Dengan penelusuran terhadap sosok Bathara dapat diperoleh pemahaman bahwa
penggambaran Sultan sebagai gung binathara bukan kekuasaannya sebesar dewa, tetapi lebih
pada kemuliaannya karena mampu mengosongkan diri dari segala pamrih (suwung awang
uwung). Dalam konteks Yogyakarta, ingatan masyarakat terhadap raja yang ideal (gung
binathara) bermuara pada sosok Sultan Hamengku Buwono IX. Dia dipandang mampu
melepaskan diri dari kepentingan duniawi, baik diri maupun keluarganya, dan sepenuhnya
menjadikan keraton sebagai pelayan kepentingan masyarakat.12
Ingatan yang kuat terhadap sosok HB IX menjadikan masyarakat menilai sikap dan perilaku
Sultan HB X dengan membandingkan pada pendahulunya. Kuatnya pembelaan terhadap
kepentingan keluarga, menjadikan sosok HB X digambarkan sebagai jauh dari ideal, bahkan
tidak jarang yang menempatkannya sebagai menyimpang. Penengaraan adanya
penyimpangan sikap dan perilaku dari konsep ‘gung binathara’ semakin menonjol ketika dia
memproklamasikan diri sebagai Sultan Hamengku Bawono X yang dapat dimaknai sebagai
pemutusan hubungan historis dari para pendahulunya.

Penutup
Beranjak dari uraian di atas dapatlah dikatakan bahwa perlawanan para petani lahan
pantai yang tergabung di dalam PPLP dilakukan karena lahan tersebut sudah memberi
penghidupan bagi mereka selama puluhan tahun, paling tidak sudah duapuluhtahun mereka
kelola, mulai dari awal pengolahan lahan pasir yang belum bisa ditanami sampai dengan bisa
memberikan pengidupan kepada mereka. Dampak yang akan dirasakan petani dan warga
sekitar adalah hilangnya matapencaharian para petani, menimbulkan orang-orang miskin
baru, rusaknya ekosistem yang sudah terbangun selama ini.
Bentuk perlawanan yang dilakukan oleh para petani ini adalah dengan berbagai cara
mulai dari pendudukan lembaga yang dianggap ikut serta dalam proyek reklamasi, sampai
dengan pengiriman surat kepada DPRD.

11
Kutipan diambil dari http://www.seasite.niu.edu
12
Ungkapan ‘Tahta untuk Rakyat’ dipandang tepat untuk menggambarkan sikap dan perilaku Sultan HB IX
terhadap masyarakat Yogyakarta.

516
Kepustakaan
Balairung edisi 46/XXVII/September/2012
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1 – Maret 2014
Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 3 tahun 1984
http://www.harianjogja.com tanggal 1 Desember 2015
http://www.harianjogja.com, edisi 19 Maret 2016
https://kulonprogotolaktambangbesi.wordpress.com/2011/02/10/rekam-jejak-perjuangan-
masyarakat-pesisir-kulon-progo-versi-singkat/
https://kulonprogotolaktambangbesi.wordpress.com/2011/05/02/kronologi-dan-pernyataan-
sikap-pplp-kp-atas-penculikan-terhadap-tukijo-oleh-polisi-resor-kulon-progo/
http://www.seasite.niu.edu
http://www.selamatkanbumi.com, “Menolak digusur, warga Parangkusumo menggelar
Panggung Rakyat” edisi 2 Agustus 2016.

517
Kea’rifan Lokal Perempuan Mandeh dalam Perspektif Historis
Dr. Siti Fatimah, M. Pd., M. Hum.

Abstrak
Sejarah memperkenalkan masa lamapau untuk bermanfaa’t bagi kehidupan dan kebijakan
masa kini. Kea’rifan lokal adalah hasil dari produk sejarah masa lampau yang mengandung
pesan moral berdasarkan pengetahuan lokal. Kawasan wisata Mandeh, hari ini booming
sebagai ikon pariwisata Sumatera Barat, bahkan Indonesia. Pada bulan September 2016 ini,
kawasan wisata Mandeh mendapat prediket ke II di Indonesia dari Kementerian Pariwisata
sebagai Kawasan Wisata Surga yang Tersembunyi. Masyarakat Mandeh, khususnya
perempuan memiliki berbagai kea’rifan lokal yang mampu mengisi asset pariwisata ke
depan. Dengan demikian, tulisan ini bertujuan untuk menggali kea’rifan lokal perempuan
Mandeh dalam perspektif historis, yang mampu memberi kontribusi terhadap asset pariwisata
ke depan. Secara lebih khusus, tulisan ini akan menguangkapkan: (1) Bagaimana bentuk
kea’rifan lokal perempuan mandeh dalam memelihara lingkunagan; (2) Bagaimana
perempuan Mandeh memanfaa’tkan alam sekitar untuk kesehatan; (3) Bagaimana perempuan
Mandeh mengolah kuliner berdasarkan potensi lokal dan kea’rifan lokal yang mereka miliki.
Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang sudah penulis lakukan selama beberapa tahun
belakangan. Dari hasil penelitian tersebut, kajian tentang keaa’rifan lokal, yang merupakan
bagian dari historical studies memiliki peran penting dalam menjawab persoalan hari ini,
khususnya di bidang pariwisata yang menjadi sektor unggulan bangsa Indonesia ke depan.

Keyword: Perempuan, Kearifan Lokal, dan Pariwisata

Abstract
Introduces the history of the past to benefit the present life and policy. Local wisdom
is the result of a past history of a product that contains a moral message based on local
knowledge. Mandeh tourist area, today is booming as a tourism icon of West Sumatra, and
even Indonesia. In September 2016, the tourist area Mandeh gets achievement II in Indonesia
from the Ministry of Tourism as a tourism area, the Hidden Paradise.
Mandeh society, especially women have a variety of local wisdom is capable of
filling the tourism assets in the future. Thus, this paper aims to explore the local wisdom of
women Mandeh a historical perspective, were able to contribute to the future of the tourism
assets. More specifically, this paper will reveal: (1) How do the local knowledge of women
Mandeh protecting the environment; (2) How can women take advantage of the natural
surroundings Mandeh for health; (3) How do women Mandeh culinary process based on local
potential and local knowledge they have. The study of local wisdom, which is part of the
historical studies have an important role in addressing the problem today, especially in the
field of tourism which became the leading sectors of the Indonesian nation forward.

Keywords:Women, Local Wisdom, and Tourism

518
BAB I PENDAHULUAN

Kawasan wisata Mandeh dapat dikatakan Raja Ampatnya kawasan barat Sumatera.
Namun kawasan wisata ini masih sangat asli dan belum digarap dengan baik. Dalam
Rancangan Induk Pengembangan Pariwisata nasional (RIPPMAS) 1998, kawasan wisata
Mandeh telah ditetapkan sebagai pusat pengembangan wisata bahari untuk wilayah barat
Indonesia, bersamaan dengan Biak dan Bunaken pada wilayah Timur. Menuju persiapan ini,
diperlukan untuk menggali seluruh aspek potensi lokal dalam pelestarian wisata maritim.
Salah satu di antaranya adalah melalui kelompok perempuan. Dengan demikian, kesadaran
perempuan menjadi penting dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan.
Prinsip visi pembangunan pariwisata dirancang dari ide masyarakat lokal dan untuk
kesejahteraan masyarakat lokal. Dengan demikian, pengolahan pariwisata harus melibatkan
masyarakat lokal, khususnya kelompok perempuan, sehingga kelompok perempuan merasa
memilki dan peduli terhadap keberlanjutan pariwisata. Perempuan harus menjadi pelaku
bukan hanya sebagai penonton. Dalam mengisi pembangunan berkelanjutan, perempuan
dapat berpartisipasi dalam melestarikan produk lokal tradisional, menjaga konsep tradisional
dalam menjaga lingkungan, memelihara budaya tradisional, menggunakan cara-cara
tradisional dalam mengolah makanan, dengan menerapkan konsep keberlanjutan, sehingga
makanan berbahan ikan, kerang, cumi, udang, dan jenis-jenis hasil laut lainnya dapat diakui
sebagai cultural capital. Dari hasil penelitian yang dilakukan, perempuan Mandeh memiliki
banyak kearifan lokal (local wisdom), yang tentunya mempunyai nilai jual tinggi dalam
keberelanjutan pembangunan, khususnya yang sangat bermanfaat untuk pembangunan
pariwisata. Kearifan lokal perempuan tersebut dapat ditemui pada cara-cara dan ide-ide
mereka dalam pelestarian lingkungan, pemanfaatan alam sekitar, dan pengolahan makanan
yang bersumber pada potensi lokal.
Selama ini, perempuan lebih banyak diberlakukan sebagai objek, tidak terkecuali
dalam pembangunan pariwisata. Pada hal dalam banyak hal bila perempuan diberi
kesempatan apalagi diberdayakan maka mereka akan mampu menjadi agent dalam
pembangunan, khususnya dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan. Dalam penelitian
ini dengan menggunakan pendekatan Women Community Based Tourism diyakini bahwa
perempuan tidak lagi menjadi objek pembangunan semata-mata, melainkan mampu menjadi
subjek dari pembangunan berkelanjutan, khususnya bidang pariwisata yang saat ini sedang
menjadi ikon Negara republik Indonesia.
Dalam banyak studi yang telah dilakukan, khususnya yang berhubungan dengan
perempuan dan pariwisata, jika perempuan dilibatkan secara partisipatif melalui potensi yang
dimilikinya ternyata perempuan memberikan sumbangan yang sangat penting dalam
keberlanjutan pariwisa. Beberapa studi yang sudah dilakukan antara lain adalah: pertama,
Anak Agung Putri Sri, Dosen Fakultas Udayana, UNUD, meneliti tentang “faktor-faktor
yang memotivasi perempuan sebagai pengelola pondok wisata di Kelurahan Ubud,
Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar.” Kemudian penelitian ini dipublikasikan dalam
journal Analisis PARIWISATA Vol.3, No. 1. Th. 2013. Artikel ini mengungkapkan motivasi
perempuan sebagai pengelola pondok wisata dengan menggunakan landasan teori struktur
fungsional. Hasil penelitiannya menunjukkan; motivasi perempuan sebagai pengelola
pariwisata adalah untuk mengaktualisasikan diri guna meningkatkan ekonomi keluarga.
Selain untuk meningkatkan ekonomi yang bertujuan untuk kesejahteraan keluarga, juga
mempertimbangkan faktor budaya, sistem sosial, kemajuan teknologi, pendidikan, dan faktor

519
lingkungan. Artinya, apa yang dilakukan perempuan tidak terlepas dari berbagai kearifan
lokal yang dimilikinya.
Kedua, I Nyoman Darma Putra, Program Studi Magister Kajian Pariwisata, Universitas
Udayana, Bali, dengan judul penelitian “Empat Sri Kandi Kuliner Bali: Peran Perempuan
dalam Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan”, dalam bentuk Thesis. Namun, penelitian ini
sudah ditulis dalam bentuk artikel pada journal JUMPA, Volume 01, No. 01, Juli 2014.
Artikel ini membicarakan peran perempuan dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan di
pulau Bali dengan mempromosikan kuliner khas Bali. Di sisi lain, perempuan Bali tidak saja
mampu memproduksi wisata kuliner, tetapi lebih jauh sudah mampu membuka lapangan
pekerjaan baik bagi laki-laki dan perempuan. Empat perempuan Bali ini sudah berhasil
memperkenalkan kuliner Bali kepada turis-turis mancanegara. Apa yang mereka lakukan
menjadi sangat penting sebagai modal sosial yang lahir dari kea’rifan lokal yang mereka
miliki. Oleh karena itu, menggali berbagai kea’rifan lokal dari perspektif masa lampau
menjadi sangat penting.
Bila dikaitkan dengan berbagai kearifan lokal yang dimiliki perempauan Mandeh,
masyarakat mandeh adalah bagian dari masyarakat minangkabau yang terkenal dengan nagari
seribu kuliner. Namun sebagian besar kuliner yang berbasis kearifan lokal tersebut sudah
mulai hilang satu persatu, tidak diteruskan lagi ke generasi berikutnya. Di samping itu,
penelitian tentang perempuan dan pariwisata selama ini hanya berfokus dilakukan pada
perempuan-perempuan yang daerah wisata sudah maju dan terkenal, seperti Bali. Sejalan
dengan dicanangkannya kawasan wisata Mandeh sebagai kawasan wisata maritim yang
berkelas internasional, maka perlu untuk melalakukan pengkajian dari berbagai aspek dalam
kepentingan pariwisata. Salah satu pengkajian terpenting tersebut adalah yang berhubungan
dengan berbagai kearifan lokal yang mereka miliki, khususnya kearifan lokal yang dimiliki
oleh kaum perempuan secara turun temurun dalam mengolah lingkungan dan berbagai
makanan dari hasil laut.

II. KAWASAN WISATA MANDEH

Kawasan Mandeh terletak pada bagian barat pantai Sumatera. Secara administratif
termasuk ke dalam Provinsi Sumatera Barat, kabupaten Pesisir Selatan, Kecamatan Koto XI

520
Tarusan. Kawasan ini memiliki morfologi yang unik, yaitu morfologi daratan pulau induk
dan pulau-pulau kecil dibentuk oleh kawasan datar berbukit dan bergunung. Perbedaan
ketinggian sangat nyata, terdapat pulau induk di pantai bagian barat, ke arah timur kawasan
berbukit dan bergunung dengan ketinggian curam. Lahan datar selain merupakan daratan
dengan peruntukan pemukiman penduduk dan lahan pertanian, juga merupakan lahan berawa
yang ditumbuhi mangrove (bakau), nipah, dan jawi-jawi.
Pemukiman penduduk terdapat di nagari Mandeh, Sungai Nyalo, dan Sungai Pinang.
Jarak antara satu nagari dengan nagari jika ditempuh dengan jalan darat kira-kira sepuluh
sampai lima belas kilometer. Hanya saja antara satu nagari dengan nagari lainnya sangat sulit
dijangkau melalui jalan darat, kecuali dengan menggunakan perahu. Kondisi jalan darat yang
masih tanah mengakibatkan sangat sulit dilalui oleh kendaraan roda dua apalagi roda empat.
Di samping jalan darat yang ditempuh sangat berliku-liku dan turan naik karena termasuk
gugusan bukit barisan (lihat peta 1). Saat ini pemerintah pesisir selatan sedang merencanakan
dan melaksanakan perbuatan jalan yang permanen, yang dimulai dari Sungai Pinang menuju
kawasan Mandeh. Jika ditempuh melalui jalan laut dengan perahu, jarak antara satu nagari
dengan nagari lain dapat ditempuh dalan 20 sampai 40 menit, tergantung jarak antar lokasi.
Misalnya dari nagari Mandeh ke nagari Sungai Nyalo dapat di tempuh dengan perahu yang
sederhana selama lima belas atau dua puluh menit. Begitu juga dari nagari yang satu ke
nagari yang lainnya tergantung kepada jauh jarah tempuhnya dan jenis perahu yang
digunakan. Perjalanan melalui jalur laut menghabiskan cost yang lebih tinggi dibanding
dengan jalan darat, namun dari segi waktu tempuh jauh lebih cepat di banding dengan jalan
darat.

III. POTENSI KEARIFAN LOKAL PEREMPUAN MANDEH


Pada masyarakat tradisional manapun di dunia, terutama masyarakat yang menganut sistem
kekerabatan patriakhis, perempuan mendominasi dalam peran-peran domestik. Masyarakat
Mandeh adalah tergolong ke dalam etnis Minangkabau yang menganut sistem matrilineal.
Dalam masyarakat Minangkabau, meskipun perempuan secara ideal di tempatkan pada posisi
yang menguntungkan secara budaya dan ekonomi, (Siti Fatimah, 2013:73-74 ) tetapi tetap
juga peran-peran penting yang dimainkan berada dalam ranah domestik.
Berdasar hasil observasi (7 Februari dan 3 April 2015), dan diperkuat dari data Kecamatan XI
Tarusan dalam angka, terdapat sekitar tiga ratus orang perempuan yang produktif baik
sebagai ibu rumah tangga maupun remaja. Perempuan tersebut berdomisili di nagari Mandeh,
yang terdiri dari kampuang Taratak, Kampuang Tangah, dan Kampuang Baru. Kemudian
mereka ada juga yang berdomisili di nagari Sungai Nyalo, dan Sungai Pinang. Ketiga nagari
ini akan digarap menjadi Obyek Daya Tarik Wisata (ODTW) dalam kesatuan kawasan wisata
Mandeh. Perempuan di kawasan ini seluruhnya adalah berprofesi sebagai ibu rumah tangga.
Lokasi Mandeh yang terisolir dari wilayah yang ada dalam kecamatan lainnya, menyebabkan
perempuan di sini jauh dari sentuhan modernisasi. Sampai hari ini perempuan Mandeh rata-
rata menikah dalam usia muda (wawancara, 17 Februari, 2015). Setelah menikah mereka
menjadi ibu rumah tangga, mengurus suami dan anak-anak mereka. Meskipun demikian,
mereka tetap memiliki pengetahuan commonsense yang menjadi kearifan lokal mereka.
Potensi kearifan lokal tersebut sampai hari ini ada yang bertahan dan ada yang sudah mulai
hilang secara berlahan-lahan. Jika dihubungkan dengan teori memori, untuk menelaa’h
kearifan lokal masa lampau perempuan, khususnya yang berhubungan dengan kearifan
perempuan pesisir Mandeh dalam mengelola lingkungan dan berbagai jenis makanan dari
berbagai jenis hayati laut, maka perlu direproduksi kembali ingatan masa malu mereka.

521
Memory (ingatan) merupakan kemampuan dasar yang dimiliki manusia dalam merekam
sesuatu pengetahuan dan pengalaman. Menurut Silvia Menurut Helena Cardoso (2003),
dikutip Mestika Zed (2014:141-142), dalam bukunya Teori dan Metodologi sejarah, memori
bertugas untuk menyimpan informasi, di mana pengalaman manusia diarsipkan, kemudian
diaktifkan kembali bila diperlukan untuk mengingatnya kembali. Proses perekaman memori
bisa terjadi melalui kegiatan belajar aktif (disengaja) atau lewat hidup pada lingkungan yang
beragam, termasuk lewat individu lain. Pada dasarnya memori adalah sebuah proses
bangunan berfikir yang kompleks.
Menurut teori memory, terdapat beberapa jenis memori, antara lain ada yang disebut dengan
long term memory dan short term memory. Memori yang mudah dilakukan, namun segera
pula hilang atau dilupakan disebut dengan memori dekleratif. Memori demikian tergolong ke
dalam short term memory. Sebaliknya, memori prosedural biasanya lebih permanen,
digunakan untuk belajar keterampilan dan memerlukan latihan repetitif. Jika dihubungkan
dengan kearifan lokal perempuan dalam pengelohan lingkungan dan makanan tradisional
berdasarkan pengalaman-pengalaman yang mereka terima secara turun temurun dan
berulang-ulang, maka memori ini lebih banyak tergolong ke dalam long term memory.
Dalam tulisan ini, kearifan lokal perempuan pesisir, khususnya kearifan lokal perempuan
Mandeh dapat dilihat dalam (1) pelestarian lingkungan; (2) pemanfaatan alam sekitar, dan (3)
pengolahan kuliner.

A. Pelestarian lingkungan
Kawasan Mandeh memiliki morfologi pantai dan darat yang unik di banding dengan
pantai lainnya yang terdapat di Indonesia, khususnya di Indonesia bagian barat. Bila di
daerah lain biasanya terdapat hanya satu bentuk morfologi saja, misalnya; di Riau dengan
morfologi pantai berlumpur, Pariaman dan wilayah pantai barat lainnya dengan morfologi
berpasir. Sementara kawasan Mandeh memiliki morfologi pantai yang lengkap; pantai
berlumpur, pantai berpasir, dan pantai bertebing (clif). Ketiga bentuk morfologi tersebut
mempengaruhi kearifan lokal masyarakat Mandeh, khususnya perempuan. Di samping itu,
pantai ini dipersambungkan oleh hutan belantara dan gugusan bukit barisan. Oleh karena itu,
jika penduduk yang umumnya berprofesi sebagai nelayan tidak pergi ke laut karena tidak
musim ikan atau yang mereka sebut dengan musim terang, maka mereka pergi ke ladang
atau ke hutan.
Dengan demikian, kearifan lokal perempuan Mandeh juga memiliki keunikan
tersendiri. Ketika musim ikan melimpah mereka membantu suami mereka mengolah ikan
dengan cara nerebus dan mengeringkan. Mereka juga punya pengetahuan dalam memisahkan
mana ikan yang pantas untuk dijemur atau dikeringkan dan mana ikan yang pantas untuk
direbus. Biasanya ikan kecil-kecil seperti teri atau mereka sebut dengan bada dan tandeman
adalah ikan yang paling pantas untuk direbus. Sedangkan ikan karang dan ikan jenis-jenis
tertentu mereka keringkan dan mereka sebut dengan ikan balah. Akan tetapi, ketika musim
ikan berkurang, yang mereka sebut dengan Bulan Tarang, maka mereka pergi mencari kayu
api atau membantu suami mereka berladang ke hutan. Khusus untuk perempuan Mandeh
biasanya mereka pergi ke hutan bakau untuk mencari lokan.
Dalam sistem berladang banyak sekali kearifan lokal yang mereka miliki, antara lain
bekerja mengatur kapalo banda, semacam pengaturan irigasi secara kecil-kecilan. Di
samping itu, mereka juga menerapkan aturan-aturan berladang yang sudah mereka sepakati.
Mereka mengingatkan dan melarang suami mereka menebang pohon-pohon tertentu untuk
dijadikan kayu api, misalnya; pohon kayo yang akarnya menyentuh pada aliran air, pohon

522
kayu yang tumbuh di antara dua anak air atau mata air. Maka, mereka tidak akan
diperbolehkan menebang pohon-pohon kayu tersebut (wawancara, 3 April, 2015).
Lain halnya dengan wilayah pantai, khususnya bagi wilayah pantai yang berlumpur,
perempuan pada masa lalu bersama-sama suami mereka menanam pohon yang mereka sebut
dengan pohon nipah, jawi-jawi, dan bakau. Hari ini pohon-pohon tersebut terpelihara dengan
baik. Di sepanjang muara dan wilayah pantai yang berlumpur, kita akan menyaksikan hutan
Mangrove, Nipah dan Jawi-jawi yang indah, yang memiliki ketinggian lima sampai lima
belas meter. Namun sejak wilayah ini dicanangkan menjadi Objek Daya Tarik Wisata yang
bertaraf internasional, hutan tersebut sudah ada yang mulai dibabat oleh para investor lokal
(wawancara dan observasi, 17 Februari 2015)
Khusus untuk suami-suami mereka yang berprofesi sebagai nelayan, cara-cara yang
dilakukan perempuan untuk para suami mereka adalah mengingatkan, menegur, dan
melarang suami-suami mereka agar tidak menggunakan alat-alat tangkap yang merusak
ekosistem laut. Oleh karena itu, kebanyakan para nelayan di wilayah ini, hanya menggunakan
bagan, pukat biasa dalam menangkap ikan. Di samping itu, hari ini banyak sekali terdapat
penangkalan ikan Gerapu yang dimiliki oleh para investor lokal dan pemerintah, yang mereka
sebut dengan kerambah. Berbeda dengan penangkalan (kerambah) ikan yang kebanykan
terdapat di tempat lain, makanan yang diberikan adalah pellet, sejenis makanan ikan yang
mampu merusak ekosistem laut. Di wilayah ini, makanan ikan Gerapu yang terdapat dalam
kerambah berasal ikan-ikan kecil yang khusus terdapat pada hutan Mangrove. Ikan-ikan ini
ditangkap oleh penduduk setempat dan dijual kepada pemilik kerambah, sehingga laut di
sekitar kawasan Mandeh tersebut sampai hari masih terbebas dari pencemaran (observasI dan
wawancara, 8 Maret 2015).
B. Pemanfaatan Alam Sekitar
Masyarakat Mandeh khususnya kaum perempuan memiliki pengetahuan kearifan
lokal yang luar biasa dalam memanfaatkan alam sekitar untuk makanan sehari-hari yang
menyehatkan dan obat-obatan. Dalam kehidupan sehari-hari untuk mengatasi berbagai
penyakit, mereka lebih banyak menggunakan dari bahan-bahan tumbuhan yang ada di alam
sekitar. Kawasan Mandeh di samping memiliki morfologi pantai yang lengkap, kawasan ini
juga memiliki perbukitan dengan curah hujan yang bagus. Oleh karena itu, di wilayah ini
juga tumbuh berbagai jenis tanaman tua dan muda. Ketika melakukan observasi di wilayah
ini, ditemukan berbagai hasil bumi yang sedang dijemur di pinggir jalan dan halaman rumah
mereka, antara lain adalah; pinang, padi, coklat, kayu manis, cengkeh, dan gambir. Hal ini
berarti di samping mereka berprofesi sebagai nelayan, di hari-hari tertentu mereka berladang
dan bertani.
Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari, masyarakat nagari Mandeh
dan Sungai Nyalo menanam berbagai aneka sayuran yang bisa mereka kosumsi untuk
kebutuhan sehari-hari, misalnya; terong, singkong, ubi jalar, kacang panjang, kangkung,
pisang, nangka dan lain sebagainya. Di samping itu, ada beberapa jenis tumbuh-tumbuhan
yang tumbuh sendiri, tetapi sangat bermanfaat untuk kebutuhan makanan sehari-hari,
misalnya; rimbang, pakis, enau, dan rebung, . Keseluruhan tumbuh-tumbuhan ini diolah oleh
kaum perempuan dengan hasil-hasil laut ketika memasaknya, sehingga menjadi makanan
yang bergizi dan lezat.
Khusus untuk tumbuh-tumbuhan muda, baik yang mereka tanam maupun yang
tumbuh sendiri, secara garis besar memiliki dua kegunaan. Pertama, untuk memenuhi
kebutuhan dapur mereka sehari-hari; kedua, untuk kebutuhan obat-obatan dalam mengatasi
berbagai penyakit. Untuk mengolah tumbuh-tumbuhan dan hasil laut menjadi konsumsi

523
kuliner akan diuraikan pada bagian berikutnya. Khusus bagian ini, menjelaskan bagaimana
kearifan lokal perempuan Mandeh mengolah berbagai jenis tumbuh-tumbuhan dengan istilah
lokal mereka untuk kegunaan obat-obatan.
Berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang bisa dijadikan obat-obatan cukup tersedia di
wilayah Mandeh ini. Baik yang berasal dari tanaman tua, seperti cengkeh, pala, kayu manis,
maupun tanaman muda seperti pohon jarak, kelapa, dan berbagai jenis tumbuhan rambat
lainnya. Jika anak (bayi) mereka kejang-kejang, maka akan mengambil daun jarak, kemudian
mendiangnya di atas tungku dan menempelkan pada bagian yang dirasakan sakit oleh si anak.
Jika mereka sakit gigi akan diobat dengan cengkeh dan buah pinang. Penyakit gatal-gatal
mereka tumbuk kunyit, diberi sedikit minyak kelapa, kemudian dipanaskan dalam kaleng
susu. Seterusnya, minyak kunyit tersebut ditempelkan pada tempat yang gatal-gatal, dalam
bahasa lokal mereka menyebutnya biriang (wawancara, 7 Februari 2015). Pengetahuan
pengobatan semacam ini sudah lama mereka terima secara turun temurun.
Bagi remaja putri yang mengalami sakit ketika mensturasi, mereka diperaskan daun
papaya atau daun bluntas oleh orang tua mereka untuk diminum sehingga rasa sakit menjadi
hilang dan mensturasinya menjadi lancar. Penyakit batuk ringan biasanya cukup merebuskan
daun sirih ditambah sedikit gula jawa dan cengkeh. Bila penyakit batuk berat yang mereka
sebut dengan batuk seratus hari atau batuk Cido, mereka akan mencari sejenis rumput yang
bernama rumput banto, kemudian rumput itu diperas dan diambil airnya ditambah dengan
kuning telur ayam kampung yang sudah dikocok lalu diminumkan kepada yang sakit.
Pengobatab-pengobatan semacam ini menurut mereka sangat mujarab dan terbukti
khasiatnya.
Dari hasil wawancara dan observasi yang dilakukan ada puluhan cara-cara
pengobatan tradisional dalam pengobatan berbagai penyakit yang berdasarkan pengetahuan
dan kearifan lokal mereka.

C. Pengolahan Kuliner
Perempuan pesisir pada umumnya tidak saja memiliki berbagai kearifan lokal dalam
pelestarian lingkungan, pemanfaatan alam sekitar menjadi obat-obatan, namun kearifan lokal
yang lebih menonjol terdapat dalam keahlian mereka dalam mengolah makanan dari berbagai
jenis hayati laut, misalnya ikan, udang, cumi dan kerang. Hal ini sejalan dengan teori Nature,
perempuan secara seksualitas memiliki pekerjaan sesuai dengan kodratnya secara seksualitas,
yaitu laki-laki melakukan pekerjaan di luar rumah yang dianggap berat, sedangkan
perempuan mengurus rumah tangga yang dianggap pekerjaan yang lebih ringan (Arief
Budiman,1985:1-2). Dengan demikian pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan
terjadi secara alamiah atas dasar pembagian seksualitas tersebut. Dalam masyarakat yang
cenderung patriakhis pekerjaan perempuan sangat erat kaitannya dengan urusan domestik,
mengurus rumah tangga seperti memasak, mencuci, mengurus anak, dan mengurus suami.
Meskipun demikian, dalam proses alamiah tersebut ternyata perempuan juga mampu berfikir,
berbuat sesuatu sesuai dengan peran yang sudah diberikan kepada mereka. Improvisasi-
inprovisasi berdasarkan pengalaman-pengalaman yang mereka lalui telah melahirkan
berbagai bentuk kearifan lokal yang dimiliki oleh kaum perempuan itu sendiri. Namun
pertanyaan hari ini adalah apakah pengtahuan-pengetahuan yang luar biasa tersebut sampai
hari ini, seperti mengolah jenis-jenis makanan dari bahan-bahan hayati yang berasal dari laut
itu masih dipertahankan sampai sekarang atau sudah banyak yang ditinggalkan, akibat tidak
terbendungnya pola konsumsi instan dan siap saji yang sudah sampai masuk sampai ke desa-

524
desa, yang dianggap sebagai bagian dari proses modernisasi oleh sebagian masyarakat
indonesia pada saat ini. Berdasarkan dari hasil pengamatan di lapangan banyak cara-cara
pengolahan kuliner yang spesifik tersebut mulai dilupakan. Dari hasil wawancara pada ibu-
ibu di kawasan Mandeh, Koto XI Tarusan, dulu untuk kuliner yang dibuat dari ikan teri
basah, dalam istilah lokal mereka menyebut bada, ada belasan jenisnya. Tapi hari ini tidak
beberapa lagi yang mereka kenal (buat). Begitu juga untuk jenis-jenis kuliner lainya dari
ikan, kerang, udang, dan cumi. Saat ini ada beberapa olahan dari bahan ikan, kerang, udang,
dan cumi yang masih bertahan. Contoh masakan yang paling popular dari kerang, yang masih
bertahan sampai saat ini adalah rendang lokan, kalio lokan dan sate lokan.

Gambar 1: Lokan Gambar 2: Rendang Lokan

Gam
bar
3:
Kalio
Loka
n

Gam
bar
4:
Sate
Loka
n
Ketiga jenis masakan ini tidak saja lezat namun juga mengandung gizi yang tinggi.
Diperkirakan masih banyak lagi jenis masakan dari kerang ini selain yang tiga tersebut, tetapi
sudah jarang diolah atau sudah mulai dilupakan.
Dalam budaya tradisi sebagai cultural capital kuliner Minangkabau, penduduk pesisir yang
lebih dikenal dengan rantau, terkenal dengan keahliannya mengolah berbagai jenis makanan
yang lezat dari berbagai hasil laut. Sementara masyarakat darek (darat atau pedalaman), yang
lebih dikenal dengan daerah inti Minangkabau, terkenal dengan keahliannya mengolah
makanan dari daging (sapi) dan belut. Dengan demikian, jika masyarakat darek ahli dan
punya kearifan lokal dalam membuat berbagai jenis rendang daging, maka masyarakat pesisir
ahli dalam mengolah atau membuat rendang lokan dan rendang ikan.
Yang paling menarik pada bagian ini adalah kemampuan perempuan Mandeh dalam
memadukan berbagai masakan atau kuliner yang berasal dari bahan hayati laut dengan

525
tumbuh-tumbuhan alam sekitar mereka. Mereka sangat arif dalam mengidentifikasi jenis-
jenis ikan yang bau amisnya lebih tinggi dan yang kurang, sehingga mereka mengetahui jenis
tumbuh-tumbuhan apa yang bisa dikombinasikan ketika mengolah ikan tersebut. Misalnya,
ikan karang (gerapu, kakap, dan sejenisnya), harus mempunyai keahlian sendiri dalam
mengolahnya sehingga melahirkan cita rasa yang lezat dan sedikitpun tidak terasa amisnya.
Lain halnya dengan ikan-ikan yang mereka anggap tidak terlalu amis maka mereka pun
punya cara tersendiri dalam mengolahnya. Kemampuan dalam mengidentifikasi jenis-jenis
ikan yang akan diolah mereka menjadi kuliner yang lezat dengan meramunya dengan
berbagai jenis tumbuh-tumbuhan lokal sampai hari ini mereka warisi secara turun temurun.
Berikut beberapa contoh masakan dari berbagai jenis hayati laut: pertama gulai ikan
(kepala) ikan karang. Kuliner ini menjadi kuliner sangat pavorit hari ini di wilayah pesisir
oleh para tamu-tamu yang datang dari berbagai daerah. Dalam mengolah makanan ini, ada
beberapa ramuan yang hanya teradapat di daerah pesisir, seperti yang mereka sebut dengan
daun ruku-ruku. Pohonnya mirip dengan pohon kemangi, tetapi memiliki aroma yang jauh
berbeda. Sementara, di daerah selain sumatera barat khususnya pesisir tidak terdapat pohon
ini, kecuali yang sudah dikembangbiak oleh masyarakat pesisir yang pergi merantau.
Kemudian terdapat sejenis asam yang khas, hanya terdapat di daerah pesisir yang mereka
sebut dengan asam kandis, memiliki batang pohon yang tinggi dan besar dengan buahnya
sebesar-besar duku dan memiliki biji di dalannya. Cara pengolahannya adalah buah asam
tersebut dibelah dua kemudian dikeluarkan bijinya dan dijemur sampai kering. Asam kandis
tersebut akan tahan berbulan-bulan atau bertahun-tahun lamanya, jika ditempatkan pada
tempat yang kering. Dua jenis tumbuhan ini adalah adalah merupakan unsur utama dalam
pembuatan gulai ikan karang sehingga sedikitpun masakan gulai ikan tersebut tidak manjadi
amis. Kearifan loakal ini terlihat dalam pepatah petitih mereka yang berbunyi “Asam di darat
ikan di laut bertemu dalam belanga”. Artinya ikan didapat dari laut sedangkan asapnya dari
bukit diolah menjadi makanan yang lezat untuk konsumsi sehari-hari.
Jika dikaitkan dengan konsep ecofeminism, dalam sebagian besar kebudayaan yang
ada, perempuan telah menjadi pelindung dan pemelihara keanekaragaman hayati (Vandana
Shiva dan Maria Mies, 2005:193). Maka jika dihubungkan dengan temuan-temuan dalam
tulisan ini, perempuan tidak saja memproduksi, mengembangkan kembali, mengkonsumsi,
serta melestarikan keanekaragaman hayati dalam bidang pertanian, tetapi juga dalam bidang
kelautan. Namun dalam masyarakat yang secara struktural sangat patriakhis apa yang
dilakukan perempuan tersebut dikatakan bersifat konsumtif dan tidak memiliki makna
produktif. Hal ini sangat berpengaruh terhadap pola-pola kebjiakan dalam pembangunan
yang dilakukan, yang dianggap sebagai masyarakat dunia ketiga, dengan menggunakan
pendekatan dan polarisasi yang kapitalistik terhadap perempuan. Arkhirnya setiap kebijakan
yang akan diambil jarang sekali memperhitungkan dan melibatkan kaum perempuan.

IV. PENUTUP
Kearifan lokal mempunyai arti yang sangat mendalam (Journal Perempuan, no. 56: 30). Isu
keraifan lokal perempuan dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, kearifan lokal
perempuan sebagai alat dominasi kebudayaan, bila ia mendominasi perempuan, maka
kearifan lokal akan merupakan bahagian yang mendominasi kehidupan perempuan. Kedua,
kearifan lokal bukan sebagai alat dominasi. Kearifan lokal ini sangat berguna bagi
lingkungan masyarakat. Bentuk kearifan lokal yang dibahas dalam tulisan ini adalah kearifan
lokal yang membebaskan perempuan.

526
Dalam konteks kearifan lokal, perempuan ternyata memilki kemampuan dalam
memecahkan persoalan-persoalan yang dimiliki. Perempuan mampu menyesuaikan diri
dengan alam. Kasus-kasus dalam tulisan ini memperlihatkan bagaimana perempuan menyatu
dengan alam. Dalam perspektif feminis, dapat disimpulkan bahwa mengganggu alam adalah
mengganggu perempuan itu sendiri.

Daftar Rujukan
Berita Budaya, Senin, 2 Juli, 2012
Budiman, Arief. 1985. Pembagian Kerja dan Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis
tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat, Jakarta: Gramedia.
Fatimah, Siti. 2014. “Cultural Heritage in Minangkabau” dalam Prosiding Seminar
Nasional, Pendidikan Seni Budaya dan Industri Kreatif, Padang: UNP PRESS.
Journal Analisis PARIWISATA, Vol. 3, No. 1, Th. 2013.
Journal JUMPA, Volume, 01, No. 01, Juli 2014.
Journal Prempuan, no. 57. “Menelurusi Kearifan Lokal”
Kecamatan Koto XI, Tarusan dalam Angka, 2014.
Shiva, Vandana & Maria Mies, 2005. Ecofeminis: Perspektif Gerakan Perempuan dan
Lingkungan, Yogyakarta: IRE Press.
Zed, Mestika, 2012. Teori dan Metodologi Sejarah, Padang: UNP Press.

527
Rky. Hadisah, Rky. Rakena Poeti, Roehana Koeddoes: Para Pionir Keradjinan Amai
Setia Koto Gadang (1911 – 1942)
Sri Pujianti
Mahasiswa S2- Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
sridhifa27@gmail.com

Abstrak

Tulisan ini membahas peran dari tiga tokoh pemrakarsa berdirinya perkumpulan perempuan
di daerah Koto Gadang bernama Keradjinan Amai Setia (KAS), KAS berjuang dalam
memajukan kaum perempuan untuk meraih pendidikan yang layak. KAS lahir pada 11
Februari 1911 yang diprakarsai oleh Rangkayo (RKY) Hadisah, RKY. Rakena Poeti, dan
Roehana Koeddoes. Perkumpulan ini didirikan dengan tujuan utama meningkatkan derajat
perempuan Koto Gadang khususnya dan Minangkabau umumnya dengan jalan memberikan
pelajaran tulis, baca, berhitung urusan rumah tangga, etika, kerajinan tangan, dan menjual
hasil kerajinan tangan tersebut. Ketiga tokoh ini memiliki peran yang saling mendukung
dalam KAS, di antaranya RKY. Hadisah pada masa 1916-1929 sangat berperan dalam
memajukan kerajinan tangan rakyat melalui keikutsertaan dan peran aktif KAS dalam Pasar
Keramaian yang diadakan pemerintah Belanda. Atas dasar prestasi ini pada 1929, RKY.
Hadisah meraih penghargaan bintang jasa saat kunjungan Gubernur Jenderal Hindia Belanda
De Graaf. Adapun RKY. Rakena Poeti sangat berperan dalam pengembangan kursus-kursus
keterampilan seperti menjahit, menyulam, merenda bangku, dan menenun. Untuk memajukan
pendidikan dan keterampilan perempuan Koto Gadang, pada 1913 Roehana Koeddoes pun
melakukan usaha untuk mendapatkan dana guna membangun gedung KAS melalui Lotre
Nasional Negeri Belanda dan barulah pada 1914 gedung KAS dibangun. Pada 1915 KAS
kemudian mendapatkan pengakuan rechtspersoon melalui Surat Keputusan No. 31 Tanggal
16 Januari 1915. Hingga akhirnya pada 1923 KAS berhasil membuka Nijverheidschool yang
berjalan hingga 1942.

Kata kunci: tokoh, perempuan, pendidikan, seni, kerajinan, tradisional, kolonial.

Abstract

This paper discusses the role of three initiators of the establishment of an association of
women in Koto Gadang named Keradjinan Amai Setia (KAS). KAS attempted to promote
women’s education to better quality. The association was born on February 11th, 1911
initiated by Rangkayo (RKY) Hadisah, RKY. Rakena Poeti, and Roehana Koeddoes. The
association’s main objective is to improve women’s social level in Koto Gadang in particular
and Minangkabau in general by providing lessons such as writing and reading skills,
household affairs accounting skills, ethics, handicrafts-making skills as well as marketing
skills. The three pioneers had different roles to support mutual development of KAS. For
instance, in 1916 to 1929, RKY. Hadisah played an important role in advancing people’s
traditional handicrafts by actively participating in Pasar Keramaian held by the Dutch
government. As for RKY. Rakena Poeti played an important role in the development of
women’s skills likewise sewing, embroidering, crocheting, and weaving. To advance

528
education and skills of women in Koto Gadang, in 1913 Roehana Koeddoes strived to gain
fund to build KAS’ headquarter by taking The National Lottery of Netherlands. As a result,
KAS’ headquarter was built in 1914. In 1915, KAS acquired rechtspersoon recognition by
decision No. 6 in January 31st, 1915. Finally, by the end of 1923 to 1942, KAS had
successfully opened Nijverheidschool.

Keywords: Figures, women, education, the art, craft, traditional, colonial

Pendahuluan
“Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah
wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita
harus mendapatkan pendidikan dan perlakuan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani
dan rohani, berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah, yang kesemuanya
hanya akan terpenuhi dengan ilmu pengetahuan.”
– Roehana Koeddoes –

Ungkapan tersebut lahir dari pemikiran seorang perempuan Minangkabau, Sitti Roehana atau
Roehana Koeddoes, yang menghendaki perlakuan yang baik dan layak bagi kaum perempuan
di Koto Gadang dan Minangkabau. Dalam hal ini, penulis ingin menelusuri bagaimana
perjuangan dan peran perempuan Minangkabau di Koto Gadang yang diwakili oleh RKY.
Hadisah, RKY. Rakena Poeti, dan Roehana Koeddoes dalam membangun kemajuan
kaumnya. Kemajuan yang dimaksudkan adalah upaya kaum perempuan dalam membangun
diri dan kemandirian melalui bekal kepandaian di bidang kerajinan yang telah didapat secara
turun-temurun sehingga diharapkan terciptanya penghidupan yang lebih baik dan layak.
Adapun pendidikan adalah dampak yang lebih luas dikemudian hari dalam upaya
menciptakan kehidupan perempuan yang lebih mandiri secara ekonomi dalam kehidupan
keluarga dan sosial masyarakat.
Perempuan dan pendidikan adalah dua hal yang masih menarik untuk
diperbincangkan. Perempuan adalah pihak yang dalam perjalanan sejarahnya mengalami
diskriminasi sebagai “perempuan” dan sebagai pihak yang memperjuangkan “sesuatu”, yang
pada masa tersebut masih dianggap bertentangan dengan kodrat, agama, dan budaya 1 .
Berbicara pendidikan tak lepas dari sisinya sebagai media perubahan sosial dalam masyarakat
dan sebagai suatu hal yang menyimpan berbagai persoalan yang muncul akibat
keberadaannya. Memasuki akhir abad ke-19 hingga dasawarsa ke empat abad ke-20, ini
menjadi masa yang berarti bagi sejarah perempuan Indonesia. Karena pada masa ini,
kesadaran untuk maju dan terorganisasi mulai perlahan muncul, meskipun dibutuhkan proses.
Berbagai rintangan budaya dan psikologis menjadi bagian yang harus dihadapi perempuan
pada masa tersebut.
Bertitik tolak dari hal tersebut, dalam penulisan ini akan memusatkan perhatian pada
beberapa hal. Pertama, bagaimana kondisi Koto Gadang dari masa ke masa. Hal ini perlu
dibentangkan agar dapat dipahami secara utuh gambaran umum wilayah administratif dan
kehidupan sosial tradisional masyarakat Koto Gadang. Kedua, bagaimana proses masuk dan
berkembangnya pemerintahan serta pendidikan kolonial di Koto Gadang. Untuk menjawab
hal ini akan dijabarkan secara sederhana kebijakan politik dan hubungan masyarakat Koto
1
Fitriyanti, 2001, Roehana Koeddoes Perempuan Sumatera Barat, Jakarta: Yayasan Perempuan Indonesia, hal.
viii.

529
Gadang dengan pemerintah kolonial hingga berdirinya organisasi sosial dan pendidikan
menjadi corong kemajuan masyarakat Koto Gadang. Selanjutnya persoalan ketiga adalah
sejauh apa peran dan pengaruh dari keberadaan Keradjinan Amai Setia yang menjadi salah
satu motor penggerak perubahan bagi kaum perempuan Koto Gadang dan Minangkabau.

Koto Gadang dari Masa ke Masa


Sumatera Barat adalah salah satu dari sedikit daerah administratif setingkat provinsi di
Indonesia yang teritorialnya hampir identik dengan sebuah daerah budaya. Daerah budaya
yang dimaksud adalah Minangkabau.2 Daerah Minangkabau tersebut secara garis besar terdiri
atas tiga bagian, yaitu darek, pesisir, dan rantau. Darek adalah daerah inti Minangkabau yang
terdiri dari tiga daerah, yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Limo Puluhkota.
Dalam Tambo Minangkabau, ketiga daerah ini dikenal dengan Luhak nan Tigo atau Alam
Minangkabau. 3 Adapun daerah pesisir meliputi bagian barat pegunungan Bukit Barisan,
sedangkan daerah rantau adalah daerah tempat orang Minangkabau mencari penghidupan dan
bermukim sementara yang berada di luar Luhak nan Tigo, bahkan hingga Malaysia Barat.4
Koto Gadang adalah salah satu nagari di Sumatera Barat yang terletak di daerah
darek, di dataran tinggi daerah perbukitan kaki Gunung Singgalang. Nagari ini terletak dekat
dengan Kota Bukittinggi yang hanya dibatasi oleh lembah (Ngarai Sianok). Nagari Koto
Gadang terdiri atas tiga jorong, yaitu jorong Subarang, Ganting, dan Koto Gadang. Sebelum
kedatangan Belanda ke Minangkabau, sistem pemerintahan di Koto Gadang sama dengan
sistem pemerintahan tradisional di Minangkabau lainnya, yaitu nagari. Barulah pada masa
1914, sistem pemerintahan ini berganti dengan sistem distrik, yang juga berlaku bagi semua
wilayah pemerintahan kolonial Belanda di Hindia Belanda.5 Adapun batas-batas nagari Koto
Gadang adalah sebagai berikut.6
- Utara : Nagari Sianok
- Selatan : Nagari Koto Tuo, Guguk, dan Nagari Tabek Sarojo
- Barat : Nagari Balingka, Sungai Landia
- Timur : Ngarai Sianok
Dalam kehidupan sosial masyarakatnya, nagari Koto Gadang terdapat empat suku
utama, yaitu Sikumbang, Koto, Guci/Piliang, dan Caniago. Setiap suku tersebut dikepalai
oleh seorang penghulu, yang bertugas menjalankan pemerintahan dalam suatu Kerapatan
Adat Nagari (KAN). Hal yang khas dari Koto Gadang adalah adanya sistem penghulu nan 24,
yang mewakili pimpinan suku-suku yang ada di wilayah Koto Gadang. 7 Namun, seiring
dengan perkembangan masyarakatnya pembagian dalam suku pun turut melahirkan
penghulu-penghulu baru sehingga terdapat 47 gelar penghulu, tetapi sebutan terhadap
penghulu atau ninik mamak nan 24 tersebut tidak berubah.8 Dalam hal pembagian penduduk,
penduduk nagarinya terdiri atas tiga golongan, yaitu penduduk asal yang terdiri atas empat
suku utama; penduduk yang datang kemudian; dan orang dagang.9
2
Gusti Asnan, 2007, Memikir Ulang Regionalisme Sumatera Barat Tahun 1950-an, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, hal. 1.
3
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997, Sejarah Pendidikan Sumatera Barat, Jakarta: CV Eka
Dharma, hal. 1-2.
4
Mochtar Naim, 1979, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, Jogjakarta: Gajah Mada University Press,
hal. 14.
5
Syahzli Syam, 1998, Kerajinan Renda Kotogedang 1912 – 1942, Skripsi, Padang: Fakultas Sastra Universitas
Andalas, hal. 14.
6
Saefuddin Sutan Malintang (stc), 1969, Nagari Koto Gadang dari Zaman ke Zaman, Koto Gadang, hal. 15.
7
Ibid., hal. 18.
8
Riza Mutia, 1998, Pengaruh Pendidikan Belanda terhadap Masyarakat Koto Gadang Pada Awal Abad XX,
Skripsi, Padang: Fakultas Sastra Universitas Andalas, hal. 22.
9
Saefuddin Sutan Malintang (stc), 1969, Nagari Koto Gadang dari Zaman ke Zaman, Koto Gadang, hal. 15.

530
Dalam hal kehidupan ekonominya, orang Sumatera Barat umumnya adalah bertani,
berdagang, tukang, dan kerajinan, termasuk masyarakat Koto Gadang. Dalam kaitannya
secara geografis dan gaya hidup, penduduk di daerah dataran tinggi menurut Graves
membagi atas tipe daerah yang luas areal persawahannya; dan daerah marginal atau daerah
yang sedikit areal persawahannya.10
Koto Gadang termasuk dalam tipe desa marginal yang terletak di perbukitan sehingga
penduduknya lebih cenderung bergerak di bidang kepengusahaan berupa kerajinan atau
merantau untuk mencari penghidupan di daerah lainnya. Hal ini dikarenakan areal pertanian
yang tidak mencukupi. Namun demikian, kendati wilayah pertaniannya terbatas, orang Koto
Gadang tidak meninggalkan areal pertanian begitu saja. Pengolahan pertaniannya melibatkan
orang lain yang datang dari daerah sekitarnya atau dikenal dengan sistem pasaduoi.11
Dalam bidang kerajinan di Koto Gadang, kerajinan yang pertama kali berkembang
adalah kerajinan perak dan suji. Kerajinan perak umumnya dikerjakan oleh kaum laki-laki
dan hasilnya dipakai untuk upacara adat atau perkawinan, sedangkan kerajinan suji
dikerjakan oleh kaum perempuan yang hasilnya tidak dijual ke luar Koto Gadang dan hanya
dibuat untuk keperluan masyarakat setempat.

Proses Masuk dan Berkembangnya Pemerintahan serta Pendidikan Kolonial di Koto


Gadang
Minangkabau adalah wilayah yang terdiri atas ratusan nagari, tiap nagari terdiri atas puluhan
penghulu. Dasar pemerintahan nagari adalah demokratis, namun dalam pemilihan para
penghulu ini bukan dijalankan oleh satu lembaga atau dipilih rakyat dalam suatu pemilihan.
Akan tetapi para penghulu adalah orang-orang yang merupakan keturunan yang diketahui
secara jelas dan diakui rakyat setempat yang memilihnya. 12 Jadi, penghulu adalah orang yang
memiliki hak historis yang diturunkan dari mamak ke kemenakan yang terjalin dari riwayat
permulaan terbentuknya suatu nagari tersebut.
Pemerintah kolonial dalam hal ini mendapati kesulitan untuk menduduki wilayah
Minangkabau yang terdiri atas banyak penghulu suku tersebut. Untuk itu, pemerintah
kolonial menciptakan aristokrasi sendiri dengan jabatan baru seperti penghulu kepala yang
membawahi setiap nagari. Di mana dua atau lebih nagari disatukan dalam pimpinan seorang
kepala lareh.13 Jadi, dalam kesatuan administratif kepala lareh ini menempati posisi yang
paling rendah, tetapi menjadi jabatan tertinggi yang dijabat oleh pegawai pribumi. Pada masa
abad ke-19 hingga awal abad ke-20 tersebut yang menjadi kepala lareh adalah orang Koto
Gadang (lihat Lampiran 1a). Di bawah jabatan kepala lareh tersebut terdapat lagi jabatan
kepala nagari atau penghulu kepala (lihat Lampiran 1b). Dalam hal ini, dapat kita lihat bahwa
pada masa itu terdapat sebuah kepercayaan atau prioritas dari pemerintah Belanda kepada
orang Koto Gadang daripada daerah lainnya di IV Koto untuk menjadi pemimpin.
Dalam perjalanan sejarahnya, orang Koto Gadang mengalami kemajuan dan
mendapat kepercayaan tersebut salah satunya karena adanya sejenis kerja sama terbuka di
antara pemerintah kolonial dengan pemuka masyarakat Koto Gadang pada masa itu.14 Selain
10
Elizabeth Graves, 1981, The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in the Nineteenth Century,
Thesis, Ithaca, New York: Cornel University, hal 4 – 5.
11
Pasaduoi adalah sistem pengolahan pertanian yang dilakukan orang Koto Gadang untuk menjaga lahan
pertanian agar tetap produktif sehingga memberikan penghidupan bagi masyarakatnya. Lihat dalam Donifitra,
2004, Serba-Serbi Berita dalam Majalah Berita Koto Gedang 1932 – 1939, Skripsi, Padang: Fakultas Sastra
Universitas Andalas, hal. 25.
12
Rusli Amran, 1981, Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang, Jakarta: Sinar Harapan, hal. 187 – 188.
13
Ibid,. hal. 193.
14
Pada masa terjadinya Pemberontakan Batipuh masyarakat Koto Gadang turut membantu pemerintah Belanda.
Hubungan kerja sama ini kemudian dituangkan dalam sebuah perjanjian antara pihak pemerintah Belanda, yaitu

531
akan adanya kerja sama tersebut, minat orang Koto Gadang terhadap perkembangan
pendidikan cukup besar. Hal ini juga terlihat dari kemauan mereka menempuh pendidikan
yang berada jauh dari Koto Gadang.
Dalam perintis pendidikan gaya Belanda yang ditujukan bagi anak-anak pribumi di
Padang Darat, Steinmetz (1836 – 1848) pun berinisiatif mendirikan Sekolah Nagari atau
Sekolah Desa. 15 Dalam perkembangan pendidikan Belanda ini pulalah berkembang
organisasi sosial dan lahirnya surat kabar lokal dengan aspirasi yang dituangkan dalam media
anak nagari tersebut.
Salah satunya adalah Medan Moeda Setia (MMS), yang merupakan organisasi sosial
anak nagari Koto Gadang yang diketuai oleh Sutan Soeleman 16 dan Studiefonds Koto
Gadang,17 sedangkan surat kabarnya adalah Soenting Melajoe. Surat kabar yang lahir pada
1912 ini merupakan surat kabar pertama perempuan Koto Gadang, yang diredakturnya adalah
anak nagari Koto Gadang sendiri, Sitti Roehana atau Roehana Koeddoes bersama dengan
Zoebeidah Ratna Djoewita.18 Selain itu, pada masa-masa selanjutnya pun orang-orang Koto
Gadang banyak yang bersuara dalam media-media yang dipimpin langsung oleh anak
nagarinya, di antaranya Soera Koto-Gedang dan Berita Koto-Gedang, yang tak hanya terbit
di Padang atau Fort de Kock tetapi juga di Batavia.

Para Pionir Keradjinan Amai Setia dan Kemajuan Kaum Perempuan


Sebelum masuk pada kiprah pionir Keradjinan Amai Setia dalam memajukan kaum
perempuan di Koto Gadang, perlu dipahami secara sederhana mengenai kedudukan kaum
perempuan menurut golongan dan fungsinya dipengaruhi oleh beberapa faktor 19 , di
antaranya:
a. sistem susunan keluarga yang berlaku di daerah tertentu,
b. faktor sosial dan ekonomi,
c. perbedaan tingkat sosial, dan
d. pengaruh dari agama.
Di Minangkabau sendiri dalam hal kedudukan kaum perempuan pada sistem susunan
keluarga atau kekerabatannya, berlaku hukum keturunan menurut garis ibu atau matrilineal
descend. Dalam sistem kekerabatan matrilineal ini ada beberapa prinsip yang
diperhitungkan20, yaitu sebagai berikut.
a. Keturunan dihitung melalui garis ibu, artinya segala macam hak dan kewajiban
dalam keluarga hanya diperhitungkan melalui garis keturunan ibu.
b. Suku dihitung menurut garis keturunan ibu.
c. Menurut adat, kekuasaan yang sebenarnya terletak di tangan ibu.
d. Perkawinan bersifat matrilokal, artinya suami mendatangi dan bertempat tinggal
di rumah istri, tetapi ia tidak menjadi anggota kelompok kerabat istri.
e. Harta dan gelar pusaka diwariskan kepada kemenakan.

Residen Steinmetz dengan masyarakat Koto Gadang, yaitu Tuanku Laras Datuk Kayo suku Piliang dan Jaksa
Lapoer suku Koto gelar Rangkayo Besar serta rapat penghulu ninik mamak nan 24 nagari Koto Gadang.
15
Rusli Amran, Op. Cit., hal 153 – 182.
16
“Jubileum MMS 1900 – 1925” dalam Soeara Koto-Gedang, No. 6 Juni 1925, Tahun X.
17
Riza Mutia, Op. Cit., hal 599 – 62.
18
Surat kabar ini diterbitkan di Kota Padang dan Roehana adalah bagian dari redaksi, yang tiap dua kali dalam
sepekan mengirimkan berbagai tulisannya dari nagari Koto Gadang kepada redaksi Soenting Melajoe di Padang.
19
F.D. Holleman, 1971, Kedudukan Hukum Wanita Indonesia dan Perkembangannja di Hindia Belanda,
Jakarta: Bhatara, hal. 29.
20
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997, Sejarah Pendidikan Sumatera Barat, Jakarta: CV Eka
Dharma, hal. 9 – 11.

532
Ditambahkan pula, dalam hal perkawinan di Minangkabau, termasuk nagari Koto
Gadang bersifat endogami terhadap nagari dan eksogami terhadap suku. Dalam hal ini
bermakna bahwa perkawinan sesuku dilarang menurut adat karena dianggap masih satu
keturunan. Adapun pola perkawinan yang ideal adalah kawin dengan anak mamak (pulang ka
bako) dan dengan orang (satu) kampung. Tujuannya adalah lebih mempererat hubungan
persaudaraan di antara penduduk senagari dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.21
Oleh karena itu, kaum perempuan Koto Gadang dilarang kawin dengan orang diluar
nagarinya. Hal ini berlangsung hingga awal abad ke-20, di mana bagi mereka yang
melanggar akan dikenakan hukum buang. Sebagai contoh dalam surat kabar Berita Koto-
Gedang 22 pernah dimuat mengenai perkawinan seorang perempuan Koto Gadang dengan
orang Jawa sehingga ia dihukum oleh keluarganya.
Penekanan ini pun terlihat dari adanya perbedaan pandangan dari orang Koto Gadang
terhadap anak yang lahir dari kedua orang tuanya berasal dari Koto Gadang dan salah satu
dari orang tuanya berasal dari orang yang bukan Koto Gadang. Hal ini dibandingkan dengan
emas 24 karat apabila kedua orang tua si anak berasal dari nagari Koto Gadang; emas 22
karat apabila si anak berasal dari ibu yang berasal dari Koto Gadang dan ayahnya bukan dari
Koto Gadang; dan emas 18 karat apabila hanya ayah si anak yang orang Koto Gadang.23
Dalam bidang pendidikan, di Koto Gadang awalnya mengenal pendidikan tradisional
yakni pendidikan di surau, barulah memasuki awal abd ke-20 mengalami pergeseran menjadi
sistem pendidikan di kelas atau madrasah. Namun demikian, perkembangan ini tidak diikuti
dengan peningkatan jumlah sekolah yang menerima siswa perempuan untuk duduk dibangku-
bangku sekolah tersebut.
Hal ini tak lepas dari masih kuatnya pandangan dari kehidupan sosial masyarakat
Koto Gadang bahwa perempuan adalah kaum yang lemah sehingga harus mendapat
perlindungan dan ditinggikan layaknya Bundo Kanduang. Kendati sesungguhnya
keikutsertaan Bundo Kanduang dalam setiap musyawarah nagari tersebut tidak berpengaruh
pada penentuan keputusan musyawarah nagari.
Bagi kaum perempuan yang berasal dari kalangan ekonomi atas, posisi yang
dimuliakan tentulah bukan suatu hal yang sulit. Mereka mendapatkan jaminan kekayaan yang
berlimpah dari kaum laki-laki atau ninik mamaknya untuk kelangsungan hidupnya sehingga
dapat hidup dengan layak. Namun demikian, tidak semua perempuan di Minangkabau
khususnya di Koto Gadang mendapat perlakuan baik dan layak seperti demikan. Seperti yang
telah sebutkan, ada agama atau kepercayaan24 dan faktor ekonomi yang juga berperan dalam
menentukan kedudukan perempuan. Utamanya adalah perempuan yang berasal dari ekonomi
lemah.
Mereka kurang atau bahkan tidak mendapatkan perlakuan seperti yang diutarakan
dalam adat. Kendati mendapat warisan, hal itu hanyalah simbolik dalam bentuk rumah
gadang dan sawah ladang yang tidak dapat diperjualbelikan. Harta tersebut adalah milik
kaum yang hanya boleh digadaikan. 25 Jadi, warisan atau harta pusaka tersebut tidaklah
banyak memengaruhi kehidupan ekonomi perempuan di Koto Gadang. Hal ini pun kian
dipertegas oleh banyaknya laki-laki Koto Gadang yang merantau menjadi intelektual dan
21
A. A. Navis, 1986, Alam Terkembang Jadi Guru, Jakarta: Grafity Pers, hal. 193 – 224.
22
Berita Koto-Gedang, No. 4 Maret 1930, Tahun II.
23
Soeara Kemadjoean Koto Gadang, No. 2 Februari 1934, Tahun I.
24
Terkait dengan kedudukan anak perempuan dalam menentukan nasibnya dalam perkawinan atau menentukan
jodoh juga digambarkan dalam sebuah tulisan S. Maharajolelo bertajuk “Anak Perempoean” pada surat kabar
Soenting Melajoe, No. 25, 19 Juni dan No. 28, 10 Juli, Tahun III, 1914.
25
Mengenai ketentuan harta pusaka dapat lihat dalam A. A. Navis, Op. Cit., hal 166 – 168.

533
kemudian memilih menikah dengan perempuan di luar Koto Gadang yang lebih sepadan.26
Keberadaan kaum perempuan inilah yang kemudian menggerakkan hati dan semangat dari
perempuan-perempuan Koto Gadang untuk memajukan kaumnya.
Keradjinan Amai Setia (KAS) menjadi wadah pertama bagi perempuan Koto
Gadang dalam meraih kemajuan kaumnya. Ketika berbicara KAS, kita tidak terlepas dari
nama Roehana Koeddoes. Nama yang sangat ramai dalam berbagai tulisan yang
mengulasnya sebagai tokoh utama dari berdirinya perkumpulan dan sekolah keterampilan ini.
Namun, dalam ilmu pengetahuan termasuk sejarah, tidak ada kata akhir dari sebuah
penemuan. Artinya, selalu ada perkembangan dari setiap penulisan atau keterbaruan dari
setiap unsur penelitian, termasuk dalam makalah ini.
Dalam perkembangan literatur yang ada, penulis mencoba menyertakan nama
lainnya27 yang terkait dengan sejarah berdiri dan tumbuhnya KAS menjadi organisasi dan
sekolah keterampilan perempuan Koto Gadang ini.
Roehana Koeddoes, satu dari tiga perempuan Koto Gadang yang akan dibahas dalam
tulisan ini yang menjadi penggerak pertama dalam perubahan kaum perempuan di Koto
Gadang melalui KAS pada akhir abad ke-19 hingga dasawarsa keempat abad ke-20. Sitti
Roehana lahir pada 20 Desember 1884 di Koto Gadang. Lahir sebagai anak pertama dari
pasangan Kiam dan Moehammad Rasjad Maharadja Soetan. Ayah Roehana adalah seorang
Hoofd Djaksa yang termasuk beruntung karena mendapatkan pendidikan yang baik
sebagaimana umumnya laki-laki di Koto Gadang. Pada usia 10 tahun, Roehana telah dibawa
merantau oleh ayahnya dan tumbuh dalam kehidupan keluarga dengan kondisi ekonomi yang
cukup.
Dalam perjalanan tumbuh kembangnya, Roehana dikenalkan dengan berbagai buku,
majalah, dan surat kabar oleh sang ayah. Tidak dipungkiri, pada usia 5 tahun Roehana telah
mampu mengenal huruf Latin, Arab, dan Arab Melayu. Memasuki usia 8 tahun, Roehana
yang ikut orang tuanya bertugas di Tonang Talu (Pasaman) kian menunjukkan kebisaannya
dalam membaca, menulis, dan bercerita tentang berbagai hal. Hal ini tidak saja ia lakukan
pada saat mengasuh dua adiknya, tetapi juga ia pertontonkan pada orang-orang yang lalu
lalang di sekitar kediaman ayahnya. Di samping itu, Roehana pun seringkali sengaja datang
pada keramaian dan menunjukkan kemampuannya pada orang banyak. Peran ayahnya,
Rasjad dalam memberikan ruang bagi putrinya untuk tumbuh dengan keberanian tersebut
sangatlah besar dan berpengaruh hingga masa-masa jatuh bangunnya Roehana dalam
berbagai perjuangan untuk menunjukkan peran perempuan dalam kehidupan masyarakat
secara lebih luas.
Ketika sang ibu, Kiam meninggal dunia pada 1897, Roehana menjadi kakak sekaligus
ibu bagi adik-adiknya. Namun kemudian, perannya ini turut dibantu oleh keberadaan ibu
tirinya yang tak lain adalah adik dari ibunya sendiri, Asiah. Memasuki usia remaja, Roehana
memutuskan untuk menetap di Koto Gadang dan tinggal bersama dua neneknya, Tuo Tarimin
dan Tuo Sini. Dua orang ini merupakan tokoh yang juga berpengaruh dalam pengembangan
26
Perihal nasib kaum perempuan ini diulas dalam beberapa tulisan berjudul “Kemanakah Anak Kita jang
Perempoean Disekolahkan” oleh Anna Sjarif dalam Soeara Koto-Gedang, No. 4 April, No. 5 Mei, dan No. 6
Juni, Tahun IX, 1925.
27
Dalam membangun KAS, Roehana Koeddoes dibantu oleh tokoh perempuan Koto Gadang lainnya yang juga
punya andil dalam pengembangan KAS menjadi pusat pengembangan keterampilan khas Koto Gadang hingga
masa pendudukan Jepang. Ada nama Roehana, Hadisah, Adisah, dan Rakena Poeti yang menjadi pendiri utama
KAS, lihat artikel bertajuk ”Sepoeloeh Tahoen KAS 1915 – 1925”, Soera Koto-Gedang No. 1, Januari, Tahun
X, 1925. Namun dalam hal ini, penulis hanya menuliskan dua nama lainnya, yakni Hadisah dan Rakena Poeti
karena sesuai dengan penelusuran terakhir pada Agustus 2016 pada Museum KAS terdapat 3 foto tokoh ini,
sedangkan Adisah tidak disertakan. Sungguhpun demikian, penulis terus melakukan penelusuran untuk
membuktikan adanya nama Adisah yang dibeberapa sumber disebutkan adanya dua nama Hadisah/Adisah I dan
II, lihat Fitriyanti, Op. Cit., hal. 82.

534
minat, bakat, dan pemikiran Roehana pada masa-masa selanjutnya hingga Roehana menikah
dengan Abdul Koeddoes serta mendirikan Keradjinan Amai Setia Koto Gadang dan Roehana
School di Bukittinggi.28
RKY. Hadisah 29 adalah perempuan yang membantu Roehana dalam meneruskan
kelangsungan KAS, terutama ketika Roehana pada masa-masa ia berurusan dengan
pengadilan di tahun 1915 dan 1916. Pada masa-masa tersebut Hadisah-lah yang mengambil
estafet kepengurusan dalam KAS (lihat foto Lampiran 2)
RKY. Rakena Poeti 30 adalah perempuan Koto Gadang yang perannya juga tidak
dapat dipandang sebelah mata. Kepiawaiannya dalam keterampilan jahit-menjahit,
menyulam, merenda bangku, dan menenun juga menjadi semangat awal bagi perempuan
Koto Gadang untuk mengembangkan kerajinan tersebut sebagai penopang ekonomi keluarga
(lihat foto Lampiran 3).
Fokus pada perjalanan Keradjinan Amai Setia bersama ketiga tokohnya, dalam
makalah ini penulis ingin lebih menekankan pada semangat dari lahirnya KAS merupakan
semangat dari Roehana dan kawan-kawannya dalam membangun diri dan kemandirian
perempuan Koto Gadang pada masanya. Adalah semangat dalam mengoptimalkan manfaat
dari keterampilan perempuan, yang telah turun-temurun dilakukan perempuan Koto Gadang,
yakni kerajinan tangan jahit-menjahit.
Keradjinan Amai Setia lahir dari perkumpulan perempuan yang diprakarsai oleh
RKY. Rakena Poeti 31 dan Roehana Koeddoes pada 11 Februari 1911. Tujuan dari
didirikannya KAS tak lain adalah meningkatkan derajat perempuan Koto Gadang khusunya
dan perempuan Minangkabau umumnya. Melalui bekal baca, tulis, berhitung urusan rumah
tangga, etika, kerajinan tangan, dan menjual hasil kerajinan tangan tersebut perempuan Koto
Gadang dapat menjadi perempuan mandiri.
Pada masa 20 November 1913 atas izin dari Departemen Onderwijs en Eerendiest,
Roehana pun melakukan usaha untuk mendapatkan dana guna membangun gedung KAS
melalui Lotre Nasional Negeri Belanda. Barulah setahun setelahnya dana diperoleh sebanyak
f. 10.000 untuk pendirian gedung KAS. Selanjutnya perkumpulan ini kemudian mendapatkan
pengakuan rechtspersoon melalui Surat Keputusan No. 31 Tanggal 16 Januari 1915 dengan
tujuannya yang tercantum Anggaran Dasar KAS Fasal 2 dan Fasal 4 (lihat Lampiran 4). Pada
masa awal kepengurusannya, KAS terdiri atas:
Ketua : Roehana Koeddoes
Pembantu : Hadisah dan Adisah32
Pengawas : Lampasir Dt. Maharajo
28
Fitriyanti. Op. Cit., hal 27 – 55.
29
Hadisah lahir pada 1878 dan meninggal pada 1948. Informasi mengenai kehidupan masa kecil dan pendidikan
serta latar belakang keluarga masih dalam penelitian lebih lanjut oleh penulis.
30
Rakena Poeti lahir pada 1888 dan meninggal pada 1980. Informasi mengenai kehidupan masa kecil dan
pendidikan serta latar belakang keluarga masih dalam penelitian lebih lanjut oleh penulis.
31
Nama ini ditulis dalam booklet “Sejarah Singkat Amai Setia Koto Gadang” yang diedarkan oleh Yayasan
Keradjinan Amai Setia Koto Gadang untuk pengunjung Museum KAS (berdasarkan kunjungan penulis Agustus
2016). Untuk itu, dalam penyebutan nama ini penulis masih melakukan penelusuran lebih lanjut, mengingat
dalam salah satu sumber, Fitriyanti, Op. Cit., hal 55 menyebut nama ini dengan Ratna Puti, seorang istri jaksa
yang berperan dalam memerakarsai sebuah pertemuan yang diadakan Roehana dalam mengajukan pendirian
KAS. Berdasarkan wawancara penulis dengan Widiya, petugas Museum KAS, nama RKY. Rakena Poeti
disebutkan sebagai bagian dari sejarah KAS pada booklet, yang fotonya pun ada dalam Museum KAS.
32
Nama ini juga disebut dalam “Sepoeloeh Tahun 1915 – 1925 KAS” pada surat kabar Soeara Koto-Gedang,
No. 1 Januari 1925, Tahun X sebagai salah satu dari empat tokoh sebagai yang memerakarsai berdirinya KAS.
Untuk selengkapnya masih ditelusuri peran dari tokoh Adisah ini mengingat belum ditemukannya catatan
tertulis lainnya yang menunjukkan bagian dari peran tokoh ini dalam KAS.

535
Penasihat : Amir St. Makhudum, Abdul Kudus Pamuncak Sutan, dan Abdul Latif Sutan
Marah Alam.33
Dalam kepengurusan KAS ini, Roehana tidak menjabat lama karena adanya berbagai
faktor yang membuat masa kepengurusannya cukup singkat.34 Kemudian kepengurusan KAS
digantikan oleh Hadisah. Dalam masa kepengurusan Hadisah, KAS pernah mendapatkan
subsidi dari passar fonds sebesar f. 300 setahun. Di samping itu, pada 1922 KAS pun
mendapatkan bantuan dari pemerintah sebesar f.180. 35 Atas usahanya ini, Hadisah pun
meraih penghargaan bintang jasa yang disematkan padanya saat perayaan 10 Tahun KAS
pada Januari 1925 oleh Dt. Besar dan pada saat perayaan tersebut pun dilakukan penanaman
pohon cemara secara simbolik oleh St. Soeleman sebagai simbol atas kesuksesan KAS
bertahan sebagai organisasi perempuan yang berkiprah bagi kemajuan perempuan nagari
Koto Gadang.
KAS tumbuh sebagai organisasi perempuan yang menjembatani perempuan-
perempuan Koto Gadang, bukan hanya yang gadis tetapi juga yang telah menjadi ibu rumah
tangga. Hasil dari yang diperoleh perkumpulan ini kemudian dijual dan disebarluaskan
terutama dalam Pasar Keramaian yang diikuti oleh KAS (lihat Lampiran 5).
Dalam perkembangannya pada 1929, tak hanya penghargaan dari dalam negeri,
Hadisah pun meraih penghargaan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda, de Graaf, dalam
bentuk bintang tanda jasa atas kiprahnya dari 1916 – 1929 membawa KAS pada
perkembangan yang sangat baik sebagai sarana bagi perempuan Koto Gadang dalam
memajukan kerajinan khas daerahnya. Hingga akhirnya KAS terus tumbuh dan berkembang
pada 1923 membentuk sekolah kepandaian puteri atau Nijverheidschool yang berjalan hingga
1942.36

Penutup
Dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau, perempuan diposisikan sebagai
pihak yang mendapat perlindungan dari saudara laiki-laki dan ninik mamaknya. Perempuan
diberikan segala kewenangan dalam mengelola harta kaum, namun tak semua perempuan
mendapati harta kaum yang kemudian menghidupinya menjadi perempuan yang mandiri dan
hidup layak. Fenomena inilah yang mengantarkan pemikiran seorang Roehana dalam
membangun sebuah cita-cita dalam memajukan kaumnya di Koto Gadang.
Keberuntungan, kesempatan, dan kegigihanlah pulalah yang kemudian mengantarkan
Roehana dan rekannya dalam mendirikan KAS. Roehana yang lahir dari keluarga dan
lingkungan yang cukup memberi kebebasan dalam mengekspresikan keinginanya,
memudahkannya untuk kemudian tumbuh menjadi perempuan yang maju dalam hal
pemikiran dan wawasannya. Kendati tidak memperoleh pendidikan formal layaknya laki-laki
Koto Gadang. Melalui keterampilan dan ilmu serta kepiawaiannya dalam menjalin kerja
sama dengan orang-orang berpengaruh di sekitar dan masanya itu, Roehana dan rekannya
mampu menumbuhkembangkan KAS sebagai perkumpulan dan sekolah keterampilan
perempuan yang mendapatkan perhatian dari pemerintah kolonial.

33
Saefuddin Sutan Malintang, Op.Cit., hal 46.
34
Lengkapnya lihat Fitriyanti, Op. Cit., hal 84 – 90.
35
Soeara Koto-Gedang, No. 1 Januari 1925, Tahun X.
36
Booklet “Sejarah Singkat Amai Setia Koto Gadang” yang diedarkan oleh Yayasan Keradjinan Amai Setia
Koto Gadang untuk pengunjung Museum KAS. Untuk selanjutnya masih dalam penelusuran oleh penulis
mengingat belum banyaknya sumber otentik yang menyebutkan akhir dari perkumpulan dan sekolah
keterampilan perempuan pertama di Koto Gadang ini.

536
Hal utama yang penulis amati dari alur pemikiran Roehana dan rekannya dalam KAS
adalah upaya para pionir ini dalam melihat ketidakberdayaan pada kehidupan perempuan
masa itu di Koto Gadang. Utamanya perempuan yang hidup dalam kesederhanaan bahkan
kemiskinan. Perempuan-perempuan saat itu banyak yang menikah diusia yang sangat muda
dan mendapati kehidupan perempuan yang harus bekerja keras ke ladang, sawah, dan hutan
untuk mencari kayu serta hidup dalam keterbatasan. Pun ada dari perempuan-perempuan itu
yang memiliki ketarampilan yang dalam menjahit, tidaklah halus hasil keterampilannya dan
tak banyak yang dapat mereka perbuat dari kepandaian turn-temurun tersebut.
Asahan dari setiap perkembangan kerajinan yang diajarkan di KAS inilah kemudian
yang mengantarkan perempuan Koto Gadang pada mengenal perannya. Perempuan tak lagi
harus bekerja secara fisik di sawah dan ladang, tetapi perempuan dapat memanfaatkan
ketekunanya dalam berbagai kerajinan sehingga dari kerajinan tersebut akan dihasilkan
sesuatu yang baik bagi hidupnya. Tak hanya itu, pengajaran dalam bidang etika dan urusan
kerumahtanggaan yang diperoleh, mengantarkan perempuan Koto Gadang menjadi
perempuan yang maju pemikirannya. Mereka mulai mengerti bahwa dalam perkawinan itu,
dibutuhkan ilmu pengetahuan untuk dalam mengiringi suami. Ketika perempuan tidak punya
ilmu pengetahuan, perempuan akan ditinggalkan oleh laki-laki karena tidak mampu berbagi
dan memahami kesulitan laki-laki pada masa itu. Di tambahkan pula, hal ini menjadi
penyemangat perempuan Koto Gadang pada masa selanjutnya untuk tak hanya belajar
keterampilan, tetapi juga mulai memasuki sekolah-sekolah pemerintah.

Daftar Pustaka
Surat Kabar
Berita Koto-Gedang, Batavia, 1929-1933.
Soera Koto-Gedang, Batavia, 1924
Soenting Melajoe, Padang, 1914

Artikel/Jurnal
Luviana. “Identitas Perempuan Indonesia dalam Koran dan Majalah”, dalam Jurnal
Perempuan: Kami Punya Sejarah, Jakarta, No. 52, 2007.

Tulisan yang Tidak Diterbitkan


Donifitra. “Serba Serbi Berita dalam Majalah Berita Koto Gedang 1932 – 1939.” Skripsi
Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, 2004.
Herwandi. “Munculnya Laras di Minangkabau Abad XIX.” Tesis Jurusan Sejarah Fakultas
Sastra Universitas Andalas, Padang, 1987.
Syam, Syahzli. “Kerajinan Renda Kotogedang 1912 – 1942.” Skripsi Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, 1998.
Mutia, Riza. “Pengaruh Pendidikan Belanda terhadap Masyarakat Koto Gadang Pada Awal
Abad XX.” Skripsi Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, 1998.

Buku
Agung, Leo S. dan Suparman T. 2012. Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Amran, Rusli. 1981. Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Asnan, Gusti Asnan. 2007. Memikir Ulang Regionalisme Sumatera Barat Tahun 1950-an.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

537
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1993. Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman
Penjajahan. Jakarta: CV Manggala Bhakti.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1997. Sejarah Pendidikan Sumatera Barat.
Jakarta: CV Eka Dharma.
Fitriyanti. 2001. Roehana Koeddoes: Tokoh Pendidik dan Jurnalis Perempuan Pertama
Sumatera Barat. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Graves, Elizabeth. 1981. The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in the
Nineteenth Century. New York: Cornel University.
Holleman, F.D. 1971. Kedudukan Hukum Wanita Indonesia dan Perkembangannja di Hindia
Belanda. Jakarta: Bhatara.
Husein, Ahmad, Kasjmir Sutan Muntjak, dkk. 1991. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan R.I di
Minangkabau/Riau 1945 – 1950. Jilid I. Jakarta: Badan Pemurnian Sejarah Indonesia-
Minangkabau (BPSIM)
Marsden, William. 2008. Sejarah Sumatera. Jalarta: Komunitas Bambu.
Naim, Mochtar. 1979. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Jogjakarta: Gajah Mada
University Press.
Navis, A. A. 1986. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta: Grafity Pers.
Niel, van Robert. 2009. Munculnya Elite Modern di Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sugesti, Helen. 2003. Kamus Belanda-Indonesia dan Indonesia-Belanda. Jakarta: Absolut.

Lampiran 1
a. Daftar Nama Kepala Laras IV Koto (1825 – 1914)
Nama Suku Asal Tahun
Jimat Dt. Tan Muhammad Piliang Koto Gadang 1825 – 1830
Ibrahim Dt. Kayo Piliang Koto Gadang 1830 – 1863
Ismael Dt. Kayo Koto Koto Gadang 1863 – 1872
Junaid Dt. Dinagari Koto Koto Gadang 1872 – 1891
Khatib Lajidin Dt. Kayo Piliang Koto Gadang 1891 – 1894
Jahya Dt. Kayo Piliang Koto Gadang 1894 - 1914
Sumber: Saefuddin Sutan Malintang (stc), 1969, Nagari Koto Gadang dari Zaman ke Zaman, Koto Gadang,
hal. 42 dalam Riza Mutia, Pengaruh Pendidikan Belanda terhadap Masyarakat Koto Gadang Pada Awal Abad
XX, Skripsi, Padang: Fakultas Sastra Universitas Andalas, hal 33.

b. Daftar Nama Penghulu Kepala/Kepala Nagari Koto Gadang (1800 – 1942)


Nama Suku Tahun
Ibrahim Dt. Kayo Piliang 1800 – 1837
Salih Dt. Rajo Malintang Koto 1837 – 1873
Samad Dt. Rajo Malintang Koto 1873 – 1907
Hakip Dt. Rajo Malintang Koto 1907 – 1915
Abdul Hakim Dt. Rajo Naando Sikumbang 1915 – 1919
Abdul Malik Dt. Magek Labiah Sikumbang 1919 – 1922
Hadis Dt. Tumangguang Koto 1922 – 1934
Parin Dt. Putiah Koto 1934 – 1940

538
Murat Dt. Pangeran Sikumbang 1940 – 1942
Sumber: Syafruddin Mahyuddin, 1984, Pergeseran Kehidupan Masyarakat Minangabau terhadap
Perkembangan Pendidikan (Kasus Koto Gadang), Laporan Penelitian Universitas Andalas, hal. 5 dalam Riza
Mutia, Pengaruh Pendidikan Belanda terhadap Masyarakat Koto Gadang Pada Awal Abad XX, Skripsi,
Padang: Fakultas Sastra Universitas Andalas, hal 32.

Lampiran 2
Foto RKY. Hadisah
1878 – 1948

Sumber: Museum KAS, Koto Gadang.

Lampiran 3
Foto RKY. Rakena Poeti
1888 – 1980

539
Sumber: Museum KAS, Koto Gadang.

Lampiran 4
Anggaran Dasar KAS
Fasal 2
Perkumpulan ini bertujuan untuk mengangkat kaum wanita Minangkabau dan berusaha untuk
mencapai tujuan dengan memberikan pelajaran menulis, membaca, berhitung, mengurus
rumah tangga, sopan santun dan pekerjaan tangan yang berguna, dan mejual hasil dari
kerajinan itu.
Fasal 4
Bahwa semua wanita dan anak-anak gadis Minangkabau yang akan menjadi anggota
perkumpulan menyeetorkan uang sekurang-kurangnya 0,25 gulden sebuan, apakah itu
sebagai penyumbang, uang sekolah untuk seorang anak atau lebih untuk mengunjungi
sekolah itu.

Sumber: K.A. James. “De Nagari Koto Gadang”. Tijdschrift Binnenlandens Bestuur Batavia. No. 49 Tahun
1915, hal. 186 dalam Riza Mutia, Pengaruh Pendidikan Belanda terhadap Masyarakat Koto Gadang Pada
Awal Abad XX, Skripsi, Padang: Fakultas Sastra Universitas Andalas, hal. 63.

Lampiran 5
Foto Beberapa Piagam Penghargaan
Keikutsertan KAS dalam Pakan/PasarKeramaian

540
Pakan Malam, Fort de Kock, 1930

Pasar Keramaian, Padang Pandjang, 1935

541
Pasar Keramaian, Padang Pandjang, 1936 Pasar Keramaian, Pajakoemboeh, 1937

Pasar Keramaian, Loehak L Kota, 1938 Pasar Keramaian, Pajakoemboeh, 1940

Sumber: Museum KAS, Koto Gadang.

542
Lampiran 6
Foto Alat Tenun yang Terdapat di Museum KAS Koto Gadang

Foto Alat Suji yang Terdapat di Museum KAS Koto Gadang

Sumber: Dokumentasi penulis saat berkunjung ke Museum KAS, Koto Gadang, Agustus 2016.

543
Lampiran 7
Foto Roehana Koeddoes
1884 – 1972

Sumber: Museum KAS, Koto Gadang.

544
Lampiran 8
Foto Bangunan Keradjinan Amai Setia, Koto Gadang

Bangunan utama dari KAS ini saat masih dirawat dengan baik dan difungsikan sebagai museum sekaligus
kantor Yayasan Keradjinan Amai Setia, Koto Gadang.

Sumber: Dokumentasi penulis saat berkunjung ke Museum KAS, Koto Gadang, Agustus 2016.

545
629

Anda mungkin juga menyukai