Anda di halaman 1dari 3

Muhammadiyah Peletak Dasar Lahirnya

Peradaban Ilmu Pengetahuan di Pesisir


Huamual
Kamis, 9 Pebruari 2017 12:00 WIT

Kasman Renyaan

Oleh: Kasman Renyaan, S.Pd, M.Pd ( Sejarawan Muda, Jebolan Magister UNEM
Makassar)

MALUKUnews: Keberhasilan dan capaian dari gerakan Muhammadiyah membangun


pendidikan di Maluku, dari kota sampai kepelosok desa, dan , dari kampung pesisir hingga ke
pedalaman, memang sudah tak bisa diragukan lagi.

Di kawasan pesisir Huamual Barat, yang secara administratif berada di wilayah Kecamatan
Huamual, Kabupeten Seram Bagian Barat (SBB), Maluku, misalnya, sekolah
Muhammadiyah, ternyata menjadi pondasi awal lahirnya lembaga pendidikan formal lainnya.
Adalah fakta, bahwa jauh sebelum kelahiran produk sekolah lain, untuk tingkat Sekolah
Dasar (SD) atau Madasyah Iftidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau
Madrasyah Tsanawiyah (MTS), dan Sekolah Menengah atas (SMA) atau Madrasyah Aliah
(MA). Baik yang berstatus swasta maupun negeri, sekolah berlebel Muhammadiyah
merupakan lembaga pendidikan formal tertua, karena lebih dahulu lahir membangun
peradaban ilmu di sana.

Sebut saja, Sekolah Madrasyah Iftidaiyah Muhammadiyah (MIM) Amaholu. Sekolah ini
didirikan pada 7 Januari 1967 di Kampung Amaholu, Petuanan Desa Luhu. Dimana
bangunan awal sekolah ini, tepatnya berada di selatan Amaholu Los dan Utara Amaholu
(Tangah). Dan bertindak sebagai inisiator lahirnya sekolah ini adalah, H. Usman Hart. Ia
merupakan seorang kader Muhammadiyah, dengan latarbelakang Pendidikan Guru Agama
(PGA) Islam. Setelah menelesikan studi PGA-anya, Ia langsung diutus oleh pihak
Muhammadiyah Wilayah Maluku, untuk membangun pendidikan di pesisir Huamual.
Kemudian oleh pihak Muhammadiyah, Ia diangkat sebagai kepala ranting di kawasan pesisir
itu. Ia juga menjabat sebagai kepala sekolah dan berperan sebagai tenagga pengajar pada
sekolah tersebut. Kehadiran sekolah MIM Amaholu ini, telah menjadi jawaban atas tuntutan
kemajuan pendidikan anak pesisir yang kala itu, sulit mendapakan aseskan pendidikan. Dan
untuk bersekolah, mereka harus merantau ke kota Ambon.

Sekolah ini menampung peserta didik, tidak hanya dari Kampung Amaholu. Akan tetapi, dari
beberapa kampung-kampung tetangga lainnya yang ikut serta bersekolah di sini. Diantaranya,
memiliki peserta didik dari Kampung Air Papaya, Eli Besar, Eli Tanah Merah, Eli Kecil,
Batulubang, Asam Jawa, Hantawano, Amaholo Los, Mangge-Mangge dan beberapa
kampung-kampung bersuku Buton lain, yang kini berada di bawah petuanan Negeri Luhu dan
Desa Iha. Beberapa kampung-kampung Buton tersebut, hingga tahun 1970-an belum
memiliki lembaga pendidikan formal tingkat dasar. Sehingga banyak anak yang tidak bisa
menikmati dunia pendidikan.
Namun demikian, fasilitas ruang belajar, yang dibangun atas swadaya masyarakat dari bahan
kayu seadanya, menjadi jawaban atas pencerdasa anak bangsa di sana. Orang tua pun dengan
sendirinya, telah terdorong untuk menyekolahkan anak-anak mereka yang selama itu rindu
akan hadirnya lembaga pendidikan formal di daerah mereka. Karena sebelumnya, minat anak
usia sekolah cendrung melaut, berlayar-berdagang, mengikuti orang tuanya, menjadi koki
(juru masak) di perahu. Akan tetapi, berkat adanya sekolah MI Muhammadiyah ini, pradikma
masyarakat mulai berubah. Anak mereka akan tercerdaskan. Banyak anak sudah bisa
bersekolah. Buta huruf perlahan terhapus. Pendidikan telah dinikmati oleh anak pesisir, yang
bergantug hidup pada laut itu. Demikian pula orang tua, melaut selain untuk kebutuhan hidup
keluarga, juga menjadi modal tambahan biaya anaknya yang telah bersekolah. Apabila anak
mereka berhenti bersekolah dan terpaksa mencari uang dengan cara melaut, mengikuti orang
tuannya, setidaknya dengan hadirnya MI Muhammadiyah ini, mereka dapat memiliki
pengetahuan membaca, menulis dan berhitung meskipun hanya tingkat dasar. Bagi mereka,
kehadiran sekolah Muhammadiyah itu, menjadi bekal komunikasi kebaharian mereka. Dalam
istilah orang Buton di sana, meski sekolah dasar, namun menjadi modal utama mengetahui
“kali-kali Bonongko,” yang biasanya berguna untuk urusan bisnis mereka.

Dalam satu tahun berjalannya proses pembelajaran, pada 1968 bangunan sekolah parmanen
didirikan di Kampung Amaholu (Tengah), dengan biaya swadaya masyarakat danbantuan
pemerintah, melaui depertemen Agama. Kemudian untuk menampung para alumni MIM itu,
masyarakat pun mintahH. Usman Hart, yang juga menjabat kepala kampong untuk tiga
lingkungan dusun, Hatawano, Amaholu dan Amaholu Los, agar didirikannya sekolah
lanjutan tingkat pertama. Karena itulah, pada 1980-an H. Usman Hart, mengusulkan kepada
pihak Yayasan Muhammadiyah Maluku, yang dinahkodai oleh Imam Alifauzi, dibukannya
Madrasyah Tsyanawiah Muhammadiyah (MTS) Amaholu, di Kampung Amaholu. Sebagai
jawaban dari tuntutan kebutuhan pendidikan menegah di sana. Ketika itu, di pesisir Huamual
barat untuk lembaga pendidikan tingkat menengah pertama yang menampung alumni MI
hanya ada pada MTs Muhammadiyah Kambelo.Di mana jarak antara Kampung Amaholu dan
Kambelo tergolong jauh, jika dilalui dengan berjalan kaki.

Meskipun demikian, sekolah MTS Muhammadiyah Kambelo, yang berada di Negeri


SriKambelo tersebut, juga telah membuka akses keterisolasian pendidikan di kawasan
pesisiritu, khusunya untuk sekolah menegah tingkat pertama. MTS Muhammadiyah ini, telah
menampung siswa dari banyak kampung di sana, diantaranya Olatu, Tapinalo, Erang Temi,
Limboro, Lirang, Nasiri, Talaga, Mangge-Mangge, dan Amaholu sendiri pada erah1980-an.

Berdasarkan kondisi itulah, dan dengan berbagai dorongan kuat dari masyarakat, melalui
Yayasan Muhammadiyah pada 11 Agustus 1988, didirikanlah MTS Muhammadiyah
Amaholu. Sekolah ini pun menampung siswa alumumi sekolah dasar dari beberapa kampung-
kampung Buton di kawasan pesisir tersebut.

Menurut H. Usman Hart, yang diwawancari penulis (05 Juli 2011), proses awal berdirinnya
sekolah ini tidak sedikit mendapat tantangan dan hambatan. Terutama persoalan kurangnya
minat siswa untuk bersekolah lanjut. Pasalnya anak setelah tamat MI mereka tak mau lagi
melanjutkan pendidikannya kejenjang MTS. Selain itu, masih minimnya tenaga guru,
sehingga Ia harus mengajar hamper semua mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum
sekolah kepada para siswa. Demikian pula, dengan para orang tua belum banyak yang
memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan dan masa depan anak mereka. Agar dapat
mendorong anak-anak mereka untuk melanjutkan sekolahnya. Itulah sebabnya, pasca
berdirinya MTS ini, tidak menunjukan tanda-tanda kemajuan, hingga aktifitas belajar-
mengajar di sekolah dengan sendirinya mandek.

Selama 2 (dua) tahun proses belajar terhenti, pada 1988 -1990. Kemudian barulah pada 1991
kesadaran masyarakat untuk menyekolah kanan ak-anak mereka muncul kembali. Aktivitas
sekolah di MTS Muhammadiyah ini, mulai dilanjutkan kembali. Berkenaan dengan itu,
kegiatan pembelajaran, perlahan berjalan normal. Namun, tantangan kemudian adalah terkait
kurangnya tenaga pengajar (guru). Karena tidakada tenaga pengajar yang defenitif, baik yang
disediakan oleh Yayasan Muhammadiyah, maupun oleh institusi pemerintah dalam hal ini
Departemen Agama pada daerah setempat. Namun, berkat keulatan dan semangat pantang
menyerah oleh H. Usman Hart, menjadikan sekolah ini ada dan Berjaya ditenggah kehidupan
masyarakat pesisir hingga sekarang.

Sekolah-sekolah yang berlebel Muhammadiyah di Kabupaten SeramBagian Barat (SBB),


telah tumbuh menjamur. Kurang lebih terdapat 22 sekolah Muhammadiyah di sana, dari
sekolah dasar hingga SMA. Khususnya di kawasan pesisir Huamual barat, oleh masyarakat
setempat, menyebutnya dengan istilah wilayah “19 dusun,” petuanan Negeri Luhu dan Desa
Iha tersebut, setiap kampung telah mimiliki lembaga pendidikannya masing-masing, baik
untuk lembaga pendidikan formal maupun non formal. Sedangkan untuk sekolah
Muhammadiyah sendiri, terdapat 6 lembaga pendidikan. Mulai dari tingkat SD atau MI
hingga SMA. Sebut saja, MI Muhammadiyah Amaholu, MI Muhammadiyah Kambelo, MTS
Muhammadiyah Kambelo, MTS Muhammadiyah Amaholu, SMP Muhammadiyah Temi dan
SMA Muhammadiyah Limboro. Beberapa sekolah itu, sampai saat ini telah mencetak ribuan
alumni. Di antara mereka, banyak yang telah menjadi guru, dosen, tentara, polisi dab pegawai
lainnya.

Pada prinsipnya, mereka turut membangun pendidikan Indonesia hari ini. Dalam perjalanan
sejarah politik di Kabupaten SBB pada 2006, termasuk alumni sekolah MI Muhammadiyah
Amaholu, Abdul Jabar Abdul, pernah maju mencalongkan diri sebagai bupati, yang
hampirmenjadi orang nomor satu di bumi Saka Mese Nusa itu. Fakta tersebut,
menggambarkan sekolah-sekolah Muhammadiyah, menjadi peletak dasar lahirnya peradaban
ilmu di pesisir Huamual. (***)

Anda mungkin juga menyukai