Anda di halaman 1dari 3

Tan Sing Loen, Meneruskan Tradisi Sekolah Gratis

ANTONY LEE

Jauh sebelum sekolah gratis ramai dibicarakan, sebuah sekolah di daerah pecinan, Kota
Semarang, Jawa Tengah, sudah menerapkannya. Tidak hanya untuk etnis Tionghoa, sekolah
gratis ini didedikasikan bagi semua golongan sejauh mereka tidak mampu. Sebagai Ketua
Yayasan Khong Kauw Hwee, Tan Sing Loen sudah belasan tahun mengelola sekolah ini.

Perkenalan Tan Sing Loen (74) dengan Yayasan Khong Kauw Hwee sebenarnya sudah
berlangsung sejak sekolah ini dirintis, sekitar tahun 1950.

Ketika itu, dia masih sekadar membantu mencarikan dana lewat penyelenggaraan bazar.
Keterlibatannya dengan yayasan itu pun semula masih sekadar membantu. Sesekali dia terlibat
langsung dengan kegiatan sekolah sebab ketika itu Tan Sing Loen masih sibuk berdagang alat-
alat listrik di tokonya, juga di kawasan pecinan Semarang.

Pada tahun 1984 dia diminta untuk menjadi sekretaris yayasan. Lalu, beberapa tahun kemudian
dia menggantikan ketua yayasan yang meninggal dunia.

Sekolah Kuncup Melati yang dikelola Tan Sing Loen ini sekilas tidak berbeda dengan sekolah
lain. Bangunan sekolah yang terletak di Gang Lombok—kawasan pecinan Semarang—ini juga
tak terlalu besar. Namun, di sekolah ini ratusan anak tak mampu dari berbagai latar belakang
menimba ilmu tanpa dipungut bayaran sepeser pun. Dana operasional sekolah ini semata-mata
didapat dari para donatur.

Tak jarang pula, untuk membantu yayasan, para orangtua murid menyempatkan diri turut
membersihkan lingkungan sekolah. Ini karena di sekolah tersebut tidak ada petugas kebersihan.

Pendidikan gratis yang hanya bermodal sumbangan dan kerelaan hati para donatur ini terdiri atas
taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD). Sudah sejak tahun 1950 sekolah tersebut
membantu ribuan anak tak mampu untuk mengenyam pendidikan. Pada tahun ajaran baru tahun
ini seluruh siswanya berjumlah 243 anak.

"Sekolah ini merupakan wadah pengabdian. Para murid tidak pernah dipungut biaya apa pun.
Namun, justru banyak donatur yang terketuk hatinya untuk membantu," ungkap Tan Sing Loen
akhir Juli lalu.

Bantuan yang diterima sekolah ini tidak selamanya berupa uang. Ada pula masyarakat yang
memberikan alat tulis, seragam, membantu membayar rekening listrik, rekening telepon, atau
memberi makanan. Pengurus yayasan tak pernah menolak bantuan dalam bentuk apa pun.

Saat Kompas sedang berbincang dengan laki-laki yang sering dipanggil Om Tan ini, seorang
perempuan datang ke ruangan kepala sekolah. Dia menawarkan diri untuk mengisi kekosongan
guru bahasa Mandarin bagi murid kelas enam, tanpa meminta bayaran.

"Entah dari mana dia dapat informasi bahwa kami kekurangan guru. Tetapi, memang bantuan
semacam ini juga sering datang meski kami tidak pernah meminta. Dermawan selalu saja ada,"
tuturnya.

Setiap bantuan berupa barang diberikan langsung kepada para murid. Om Tan menerapkan
manajemen terbuka. Oleh karena itulah, setiap donatur bisa langsung melihat untuk apa
sumbangan yang diberikan.
Pengabdian dan sukarela

Menurut Om Tan, pengelolaan yayasan ini berpedoman pada prinsip pengabdian dan sukarela.
Hal ini pula yang mengawali berdirinya sekolah tersebut pada tahun 1949. Berbekal sisa uang
iklan buku peringatan kelahiran Kong Hu Chu senilai Rp 800 dan sumbangan seorang dermawan
Rp 1.000, para perintis Khong Kauw Hwee membuat bangku dan meja untuk kegiatan belajar
mengajar.

Pada awal 1950 dibukalah kursus pemberantasan buta huruf yang diadakan di lingkungan
Kelenteng Tay Kak Sie di Gang Lombok. Masalah sempat dihadapi akhir tahun 1960-an ketika
salah seorang pendiri meninggal dunia. Kondisi finansial sempat memburuk dan donatur pun
tidak banyak. Hampir saja sekolah ini ditutup.

Akan tetapi, pada awal 1970-an, alumni sekolah ini mencoba membentuk panitia penyelamatan
dan mereka bahu-membahu membangkitkan kembali yayasan ini. Perbaikan terus dilakukan.

Pada saat Om Tan menjadi ketua yayasan, mengandalkan sumbangan dari donatur, terkumpul
sejumlah uang untuk mendirikan bangunan sendiri untuk sekolah ini. Dua tahun waktu yang
dibutuhkan hingga bangunan ini berdiri tahun 1992. Bangunan sekolah TK dan SD Kuncup Melati
yang baru ini menempati lahan di sebelah barat Kelenteng Thay Kak Sie, berlantai tiga, dan
terdiri atas sembilan ruangan: dua ruangan untuk TK, enam ruangan untuk SD, dan ruangan
untuk tata usaha (TU).

Beragam pengalaman didapatkan Om Tan selama 13 tahun memimpin Khong Kauw Hwee.
Kesulitan sempat dialaminya saat sekolah yang mengandalkan donasi ini murid-muridnya diminta
membayar sejumlah uang oleh dinas pendidikan pada periode 1990-an.

"Dinas pendidikan tidak percaya kalau sekolah ini benar-benar tidak memungut bayaran dari
murid. Saya juga diminta menghadap kepala dinas ketika itu," cerita Om Tan.

Kesulitan ini pun akhirnya berganti menjadi uluran tangan bagi Om Tan dan yayasan. Sang
kepala dinas yang semula tidak percaya, setelah mendapat penjelasan, justru berbalik terharu
dan memberikan bantuan buku-buku pelajaran. Kenangan ini sangat membekas dalam hati Om
Tan.

Dia juga tidak pernah membeda-bedakan siswa yang akan masuk di sekolah ini. Siapa pun dan
dari latar belakang apa pun, selama memiliki niat bersekolah dan tak mampu, pasti diterima. Hal
ini pula yang membuat siswa sekolah ini tak hanya berasal dari etnis Tionghoa.

Om Tan merasakan sendiri bagaimana susahnya orang yang tak bisa mengenyam pendidikan. Ia
sendiri lulusan sekolah dasar.

Kedekatan

Bagaimana dengan kualitas pendidikan? Para siswa tetap diberi materi pendidikan sesuai
dengan kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Bahkan, mereka juga diberi tambahan pelajaran
bahasa Inggris dan Mandarin. Prestasi siswanya juga tak buruk sehingga sekolah ini menduduki
peringkat menengah dari semua sekolah di Kota Semarang.

Meski tak pernah mendapat gaji, Om Tan tetap bahagia mengabdi di Khong Kauw Hwee.
Bayaran paling berharga baginya adalah tegur sapa dari para orangtua murid dan kedekatan
dengan mereka.
"Saya tidak gila hormat. Kalau saya yang sudah berusia 74 tahun ini bisa membantu anak- anak
tak mampu, itu membuat saya merasa berguna," ujarnya.

Belasan tahun bekerja tanpa bayaran hanya senyum tulus orangtua murid dan pengabdian yang
membuat Om Tan bertahan. Hal ini pula yang membuat pria bersahaja ini selalu tersenyum
setiap menjumpai seseorang.

Menurut Kepala SD Kuncup Melati Agustin Indrawati (47), sekalipun para pengajar mendapatkan
imbalan, tetapi jumlahnya sangat terbatas. "Mengajar di sini lebih mengutamakan kepuasan
batin," ungkap Agustin Indrawati yang sudah 27 tahun mengabdi.

Meski 10 murid terbaik sekolah ini bisa melanjutkan ke SMP Mataram di Semarang dengan
gratis, Om Tan mengaku, sebetulnya ia ingin sekolah Kuncup Melati ini bisa berkembang.

"Biar anak-anak tak mampu juga bisa sekolah sampai SMP, bahkan SMA, tak cuma lulus SD
saja," ungkapnya.

Biodata

Nama: Tan Sing Loen

Tempat, tanggal lahir: Semarang, 10 Oktober 1933

Pendidikan Terakhir: Sekolah Dasar

Istri: Bee Bwat Nio (72)

Anak:
- Tan Hok Teh (47)
- Tan Hok Chi (46)
- Tan Bee Sian (44)
- Tan Bee Ling (36)
- Tan Bee Lian (34)
- Tan Hok Kim (32)

Jabatan: Ketua Yayasan Khong Kauw Hwee

Anda mungkin juga menyukai