Anda di halaman 1dari 3

NASIONALISME ORANG BANDA: MENGENAL INDONESIA LEWAT PERAHU

Oleh
Kasman Renyaan (KR)
Email: Kasmanrenyaan@gmail.com

Tokoh pergerakan Nasional Muhammad Hatta dan Sutan Sjahrir ketika dipindahkan dari Boven
Digoel, Papua ke Banda Naira pada 1936 memiliki kenangan tersediri terkait semangat
menebarkan nasionalisme. Di Negeri Rempah ini, Bung Hatta dan Bung Sjarhir tidak hanya
berdiam diri, mengurung, menanti kapan bebas dan tiba jemputan untuk kembali ke Jakarta?
Namun hari-hari mereka selalu dihiasi dengan berbagai aktivitas dan kreativitas yang produktif.
Dari rutinitas membaca, menulis artikel sambil menyerupu kopi atau teh dengan aroma kayu
manis, jalan-jalan di perkebunan pala, menghadiri undangan nikah, membentuk klub bola
(perbamu) hingga berperan sebagai guru untuk anak-anak Banda. Khusus untuk anak-anak yang
tidak diterima di sekolah formal bentukan Belanda.

Dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak Banda Hatta dan Bung Sjahrir membuka
kelas di waktu Sore hari. Karena itulah, meskipun Hatta keluar menikmati keindahan alam di
berbagai tempat di Naira, tetapi pada jam 5 Sore, Ia harus berada di rumah untuk mengajar
anak-anak Banda yang menjadi muridnya. Itulah sebabnya, anak muridnya menyebut Om
Kacamata (pangilan anak-anak Banda untuk Hatta), juga dengan sebutan “Jam Berjalan.”
Pasalnya Hatta paling tepat waktu. Soal disiplin waktu, Hatta tak pernah mengenal kompromi.
Pada suatu waktu Hatta diundang untuk hadir di pesta pernikahan, tetapi ia terpaksa pergi
meninggalkan acara meski belum usai. Lantaran acara bahagia itu dianggapnya mengulur-ulur
waktu.

Kelas privat yang dibuka Hatta dan Sjahrir dikenal dengan Sekolah Sore. Anak-anak murid tidak
hanya mengikuti proses belajar di dalam kelas, akan tetapi dibawa pula ke luar untuk menikmati
panorama alam Banda yang hijau nan asri di bawah naungan pohon pala dan kenari. Sesekali
berenang di pantai Kasteng, mendayung perahu dan memancing ikan di laut serta berperahu ke
pulau-pulau terdekat dari Naira.

Menariknya di Sekolah Sore Bung Hatta mengajarkan matapelajaran membaca, menulis,


aritmatika dan bahasa Jerman. Semua matapelajaran itu disampaikan dengan bahasa Belanda.
Khusus bahasa asing, keduanya sangat serius memprioritaskan bagi anak Banda, dengan tujuan
agar anak-anak itu dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Sekaligi dapat memahami
setiap bahasa orang Belanda yang sedang menjajah tanah Banda. Sementara Sjahrir, mengajar
bahasa Belanda dan berhitung untuk murid-murid yang lebih kecil. Khusus soal bahasa asing,
keduanya sangat serius memprioritaskan bagi anak Banda.

Kepiawaian Hatta dan Sjahrir mengajar membuat anak-anak Banda cepat mengkap setiap
matapelajaran yang dibawakan. Akan tetapi, kepiawaian itu tidak untuk renang. Anak-anak
Banda yang justru mengajari keduanya cara berenang dan menaiki perahu kole-kole. Pada suatu
waktu anak-anak mengajari ke dua tokoh pergerakan itu naik perahu, keduanya disuruh
perpegangan kole-kole, lalu ditarik ke tengah, Hatta dan Sjahrir gelagapan hampir tengelam.
Sjahrir begitu terkesan saat bermain bersama anak-anak Banda.

Di waktu santai itu, Hatta dan Sjahrir tak lupa mengajarkan nasionalisme dan patriotisme
kepada anak-anak Banda. Meski sedang mereka berperahu menuju pulau terdekat. Lewat cerita
dan praktek nyata, misalnya cerita tentang tokoh Teuku Umar dan Diponegoro oleh Belanda
dilukiskan sebagai pemerontak karena menetang pemerintahan yang sah. Akan tetapi,
sesungguhnya mereka mengajarkan kepada anak-anak Banda bahwa itu adalah pejuang untuk
kemerdekaan tanah airnya.

Semangat mengkampanyekan gerakan nasionalime kepada anak bangsa diam-diam terus


digalangkan oleh kaum Intelektual itu di tempat pengasingannya. Hal ini tergambar ketika Hatta
membeli sebuah perahu kecil (kole-kole/arubae), dari salah satu warga nelayan di Negeri Lontor,
Banda Besar. Perahu itu setelah dimiliki Hatta, lalu di cat dengan warna merah dan putih.
Mengapa perahu Hatta di Cat dengan warna merah purih? Ini tentunya bagian dari cara Hatta
memperkenalkan semangat nasionalime kepada orang Banda lewat warna perahunya. Yang
sebelumnya tak dimengerti oleh anak-anak Banda terkait maksud dari warna cat itu. Hatta
sekaligus ingin mekampanyekan simbol nasionalisme bangsa ini kepada Pemerintah Hindia
Belanda di tempat Pengasingan. Bahwa perjuangan mereka tak akan pernah surut, meski di
buang ke negeri terpencil di ujung timur Nusantara. Lewat warna perahunya pula, Hatta
sebetulnya ingin menunjukan kepada anak-anak Banda dan penjajah Belanda, kelak warna ini
akan menjadi simbol bendera negara merdeka, bernama Indonesia.

Belakangan warna cat perahu itu di protes polisi Hindia Belanda. Yang tentu tahu apa maksud
kaum intektual buangan Kompeni itu, mengecet perahunya dengan merah putih jelas tidak
sesuai dengan warna bendera Belanda, Merah Putih Biru. Namun ketika mendapat protes, Hatta
tak kehabisan akal untuk mepertahankan warna cat perahunya. Dengan menyenggah bahwa,
Cat perahunya adalah merah putih biru sebagaimana warna bendera Belanda. Dimana perahu
berwarna merah dan putih, sedangan yang menjadi warna biru adalah laut, sehingga perahunya
tetap berwarna merah putih biru. Dasar argumen Hatta itu dianggap masuk akal, sehingga
membumkam polisi Belanda, diam berlalu tampa kata.

Medengar Hatta yang sudah memiliki perahu, sahabat seperjuangannya Bung Sjahrir seakan tak
mau kalah. Sjahrir pun memesan sebuah perahu ukuran sedang. Sedikit lebih besar dari ukuran
perahu Hatta. Perahu yang dibelinya dari nelayan itu lalu dimodifikasi menyerupai perahu Eropa
(yacht) dan diberi nama. Namun menariknya, sebelum Sjahrir menetapkan nama perahunya Ia
mengajak murid-muridnya untuk bermusyawarah. Hal ini merupakan cara Sjahrir mengajarkan
demokarasi, bahwa segala keputusan diambil harus dilakukan dengan musyawarah mufakat.
Masing-masing anak murid memberikan usulan untuk nama dari perahu baru itu. Muridnya
bernama Halik, yang pertama mengusulkan, “Gunung Api.” Nama pulau vulkanik di Pulau Banda.
Namun nama itu ditolak dengan penjelasan, gunung api meletus dan Om Rir (pagilan anak-anak
Banda kepada Sjahrir) tak mau perahunya meletus seperti halnya gunung api.

Kemudian muridnya yang lain anak peranakan Cina-Banda memberi usulan nama perahu itu
dengan “Amesterdam.” Sebuah nama yang sangat kental dengan bangsa kolonial. Halik,
mendengar usulan itu langsung menyenggah, kenapa tidak dinamakan Hogkong saja, kamu kan
orang Hongkong? Kun, yang tak terima ungkapan agak rasis itu memprotes, bahwa dirinya
bukan orang Hongkong, tetapi asli orang Banda, karena lahir di Banda, hanya nenek moyangnya
saja yang berasal dari Amoy. Namun kata Halik sama saja, tetap saja dari Cina Hongkong.
Perbebatan dingin sempat mewarnai musyawarah itu, sehingga anak yang lain mengusulkan
nama “Banda Besar,” seperti nama sebuah pulau terbesar di Kepulauan Banda. Akan tetapi,
nama itu jelas ditolak oleh Des Alwi, salah satu murid yang kelak menjadi tokoh Banda Naira.
Dengan dasar argumen bahwa, jangan sampai perahu itu diklaim oleh anak-anak Lontor sebagai
milik mereka. Lagian kata Des, nama-nama pulau termasuk nama-nama ikan sudah banyak
digunakan masyarakat untuk nama perahu di Banda. Hanya nama ikan bodok saja yang belum
digunakan. “Tapi nama bodok tidak mungkin dipakai untuk nama perahu Om Rir,” ucap Des.
Murid yang lain menguslkan, Sumatera, sesuai nama daerah asal Om Rir.

Namun Sjahrir menolak mengunakan nama daerahnya itu. Iya berfikir sejenak dan mentepkan
nama INDONESIA untuk menyebut perahunya. Anak-anak Banda saling memandang dan
bertanya tentang maksud kata itu, yang sangat asing di telinga mereka kala itu.

Sjahrir menjelaskan kepada anak-anak, bahwa INDONESIA sesungguhnya nama yang sangat di
benci Belanda, sehingga tidak diajarkan di sekolah-sekolah formal Belanda. Orang Belanda lebih
senang menyebut daerah pendudukannya ini, dengan nama Inde atau “Hindia Belanda.” Sama
dengan Tiongkok untuk orang Cina. “Tetapi Om Sjahrir dan Om Hatta dan kita orang pribumi
lebih senang menyebutnya INDONEISA.” Demikian perahu Sjahrir, di namakan INDONESIA. Orang
Banda pada akhirnya mengelan kata Indonesia lewat perahu Sjahrir itu.

Dalam perjalanan, perahu Indonesia itu seringkali digunakan Sjahrir ke Pulau Pisang, yang
berjarak beberapa kilometer dari Neira. Di pulau gersang namun subur tidak berpenghuni itu, ia
mengajar mereka bernyanyi Indonesia Raya. Sebagai lagu-lagu wajib mengawali aktivitas dan
membangkitkan semangat nasionalisme anak-anak Banda. Untuk semangat nasionalisme
Sjahrir di pulau itu, maka nama pulau itu kini diganti menjadi Pulau Sjahrir.

Demikian pula Hatta, namanya diabadikan orang Banda menjadi nama salah satu pulau tidak
jauh dari Pulau Sjahrir. Sebagai bentuk kecintaan dan nasionalisme orang Banda atas kedua
tokoh bangsa yang pertamakali mengenalkan Indonesia di tanah Banda. Bukan hanya itu saja,
atas gagasan bekas anak murid mereka, Des Alwi, nama keduanya diabadikan sebagai nama
salahsatu nama sekolah tinggi swasta di Tanah Banda.

DAFTAR BACAAN

Farid, Muhammad. 2020. Tanah Banda, Esai tentang Mitos, Sejarah, Sosial, Budaya Pulau
Banda Naira: Surabaya. Sintesa Prophetica.

Arif Zulkifli, dkk (Peny), 2017. Sjahrir Peran Besar Bung Kecil : Enam Tahun di Surga
Pengasingan. Jakarta: Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai