i
SONGKET BATUBARA
DALAM KONTEKS ADAT DAN BUDAYA MELAYU
Drs. Muhammad Takari, M.Hum. Ph.D. dan Drs. Fadlin Muhammad Dja’far, M.A.
Universitas Sumatera Utara dan Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia
Latar Belakang
Makalah ini ditulis dalam rangka rangkaian kegiatan sosial yang
dilakukan oleh Dharma Wanita dari Bank Sumut di Kota Medan. Setelah
sebelumnya melakukan diskusi dengan kami, di bulan September 2019
yang lalu, maka diputiskanlah, salah satu kegiatannya adalah Seminar
tentang Songket Batubara. Dengan kesediaan berbagi ilmu secara ikhlas,
akhirnya kami tulis makalah yang bertajuk “Songket Batubara dalam
Konteks Adat dan Budaya Melayu.” Makalah ini ditulis berdasarkan
penelitian lapangan di Desa Padang Genting Kabupaten Batubara selama
lebih dari satu dasawarsa terakhir, dengan pendekatan kualitatif, dan
berdasar pada ilmu antropologi dalam konteks multidisiplin.
Budaya songket dalam kehidupan masyarakat Melayu Batubara adalah
ekspresi dari budaya masyarakat Sumatera Utara. Kawasan ini adalah
berdasar pada landasan multikultur yang telah berproses selama berabad-
abad.
Pada masa sekarang ini, Sumatera Utara adalah salah satu dari 34
provinsi di Indonesia, yang pada masa penjajahan Belanda terdiri dari dua
kawasan keresidenan yang setara provinsi yaitu: Sumatera Timur dan
Tapanuli. Provinsi Sumatera Utara beribukota Medan, sebagai kota ketiga
terbesar di Indonesia, sesudah Jakarta dan Surabaya. Sumatera Utara
dihuni oleh pelbagai etnik, yang dapat dikelompokkan kepada tiga
kategori, yaitu etnik setempat: Melayu, Nias, Karo, Pakpak-Dairi,
Simalungun, Toba, Mandailing-Angkola, dan Pesisir (Barat Tapanuli
Tengah dan Sibolga). Kemudian kategori kedua adalah etnik pendatang
Nusantara, yaitu: Aceh, Minangkabau, Banjar, Sunda, Jawa, Bugis dan
Makassar, dan lainnya. Kategori ketiga adalah etnik pendatang Dunia
seperti: Hokkian, Hakka, Khek, Kwong Fu, Tamil, Punjab, Sikh, Arab,
Eropa, dan lainnya.
Keberadaan multikultural di Sumatera Utara ini tak mengherankan
mengingat sejak abad ke-18 kawasan ini menjadi pusat ekonomi yang
begitu maju di kawasan Nusantara. Komposisi etnik ini bagaimanapun
mewarnai Sumatera Utara hingga kini. Sementara etnik Melayu terus
Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 1
mempertahankan dan mengembangkan jatidirinya dalam perkembangan
kontemporer. Etnik lain dapat saja masuk Melayu dengan syarat
memenuhi adat Melayu dan masuk agama Islam. Di antara identitas
kemelayuan itu adalah aktivitas dan artefak songket. Di kawasan ini
kebudayaan tenunan songket yang cukup terkenal ke seluruh Dunia
Melayu adalah songket Batubara. Pada masa sekarang ini, Batubara sendiri
telah menjadi kabupaten sendiri, yang dimekarkan dari Kabupaten
Asahan.
Songket Melayu Batubara, dikaji dari aspek budaya tampaknya tak
lepas dari sejarah keberadaan etnik Melayu di kawasan ini yang
merupakan perpaduan dari ras Melayu Minangkabau, Batak Toba,
Simalungun, Mandailing mahupun orang-orang Melayu Semenanjung
Malaysia, Siak, serta Aceh. Dengan demikian kebudayaan songket ini juga
mencerminkan keberadaan perpaduan antara orang-orang Melayu dari
berbagai latar belakang peradaban.
Tulisan ini akan mengkaji songket Melayu Batubara dalam konteks adat
dan budaya Melayu yang melatarbelakanginya. Namun sebelumnya akan
dikaji terlebih dahulu aspek geografi.
Geografi
Secara geografis, wilayah Batubara meliputi tujuh kecamatan, yaitu: (1)
Kecamatan Seibalai, (2) Kecamatan Tanjung Tiram, (3) Kecamatan Talawi,
(4) Kecamatan Limapuluh, (5) Kecamatan Airputih, (6) Kecamatan Seisuka,
dan (7) Kecamatan Medangderas. Kawasan ini memiliki potensi sumber
daya alam semulajadi dan sumber daya manusia. Kawasan Batubara ini
memiliki luas 92.220 hektar, berada pada ketinggian antara 0-80 meter di
atas permukaan laut, dengan temperatur udara antara 23 sampai 27 darjah
celcius. Batubara memiliki 94 desa dan 7 kelurahan, salah satu di
antaranya adalah Desa Padang Genting yang menjadi fokus kajian ini
(sumber data: Kantor Kepala Desa Padang Genting, 2018).
Secara geografikal, Batubara terletak antara batas-batas sebagai berikut:
(1) sebelah Timur dengan Kecamatan Meranti dan Air Joman Asahan; (2)
sebelah Barat dengan Kabupaten Serdang Bedagai, (3) sebelah Selatan
dengan Kabupaten Simalungun; dan (4) sebelah Utara dengan Selat
Melaka. Secara astronomis terletak antara 2-3 derjat Lintang Utara dan
99,1-99,7 derjat Bujur Timur (sumber data: Kantor Kepala Desa Padang
Genting, 2006).
Daerahnya termasuk kawasan pesisir pantai dan dataran rendah
beriklim tropis, sehingga cukup potensial dikembangkan sebagai kawasan
Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 2
pertanian, perkebunan, pariwisata, dan industri, serta pelbagai bidang jasa
lainnya.
Jumlah penduduk Batubara mencapai sekitar 348.000 orang lebih.
Sebahagian besar adalah petani yaitu sebesar 32,5%. Kemudian buruh
perkebunan 18%, nelayan 17,5%, sisanya 32 % buruh bangunan, pengrajin,
pedagang, karyawan, dan berbagai mata pencaharian lainnya. Khusus di
Desa Padang Genting mayoritasnya adalah nelayan.
Sejarah Batubara
Dari berbagai sumber sejarah dan keterangan para informan, wilayah
Batubara secara administratif, lebih lama tidak bersatu dengan Asahan.
Baik pada zaman kerajaan maupun penjajahan. Namun setelah Indonesia
merdeka kedua afdeling ini disatukan dalam satu Kabupaten Asahan.
Menurut sejarah, wilayah Batubara telah dihuni penduduk sejak 1720 M
(Sinar, 1988). Ketika ini ada lima suku penduduk yang mendiami wilayah
Batubara, yaitu suku: Lima Laras, Tanah Datar, Pesisir, Lima Puluh, dan
Boga. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang Datuk sekaligus
memimpin wilayah tertentu (Sahril 2006).
Dilihat dari nama-nama wilayah kesukuan di Batubara, memperlihat-
kan keeratan hubungannya dengan wilayah Pagarruyung Minangkabau.
Hal ini memperkuat pendapat masyarakatnya, bahwa mereka dahulu
sebagian hijrah dari wilayah Minangkabau. Namun sesampainya di
Batubara ini mereka mengamalkan adat Melayu dan disebut sebagai
Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 6
masyarakat Melayu Batubara. Namun demikian sebilangan masyarakat
Melayu Batubara ini ada pula yang berasal dari Aceh dan Batak. Mereka
ini kemudian bergaul dan membentuk budaya Melayu Batubara
(wawancara dengan Haji Yusufuddin, Januari 2019).
Para Datuk tunduk pada Kerajaan Siak Sri Inderapura di Riau dan Johor
di Malaysia. Karena wilayah ini merupakan bagian dari Kerajaan Siak
yang tunduk pada Johor. Yang mengangkat datuk pada lima wilayah
Kedatukan itu adalah Raja Siak. Untuk mewakili kepentingan Kerajaan
Siak sekaligus mengepalai Datuk-datuk yang ada, diangkat seorang
bendahara secara turun-temurun. Ketika itu, Batubara telah memiliki
struktur pemerintahan. Sebagai kepala pemerintahannya adalah
bendahara tersebut. Kemudian di bawahnya terdapat sebuah dewan
anggotanya dipilih datuk-datuk yang ada (Sahril 2006:23).
Anggota dewan ini adalah seorang syahbandar tetap yang dipilih dari
suku Tanah Datar, juru tulis dipilih dari suku Lima Puluh, mata-mata dari
Limalaras, dan penghulu batangan dari kaum pesisir. Secara
pemerintahan, Batubara tidak memiliki keterkaitan dengan kerajaan yang
ada di Asahan (temubual dengan Haji Yusufuddin, Januari 2006).
Berbagai versi menceritakan asal mula nama Batubara. Nama Batubara
sendiri sudah tercantum dalam literatur di abad ke-16 dengan istilah
Batubahara. Dari laporan seorang utusan pemerintahan Inggris di Penang
yang berkunjung ke Batubara tahun 1823, menyatakan bahwa di hulu
sungai Batubara ketika itu terdapat sebuah bangunan batu yang tidak
tercatat tanggal pembangunannya. Bangunan ini empat persegi. Di salah
satu sudutnya ada tiang sangat tinggi. Pada dindingnya terdapat lukisan
relief manusia. Mungkin dari bangunan inilah kawasan ini disebut sebagai
Batubahara yang kemudian menjadi Batubara. Terdapat pula catatan
kolonial Belanda masuk ke Sumatera Timur tahun 1862 ketika wilayah
Pagurawan dan Tanjong (kawasan Indrapura sekarang) di bawah
kekuasaan Datuk Limapuluh.
Pada tahun 1885 Pemerintah Hindia Belanda mengambil alih kekuasaan
wilayah Batubara dengan membayar ganti rugi pada Kerajaan Siak. Sejak
ini dimulailah penjajahan Belanda di Batubara. Pada masa penjajahan,
wilayah Batubara merupakan salah satu afdeeling (kabupaten) dari lima
afdeeling yang ada di Sumatera Timur yang beribukota Medan. Kelima
afdeeling itu adalah Deli yang langsung di bawah residen Medan, afdeling
Batubara yang berkedudukan di Labuhanruku, afdeeling Asahan di
Tanjungbalai, Labuhanbatu di Labuhanbatu dan afdeeling Bengkalis
berkedudukan di Bengkalis (Sahril, 2006:23)..
Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 7
Berdasarkan sejarah sejak dahulu Asahan dan Batubara baik kerajaan
maupun afdeeling adalah dua daerah tetangga terpisah kekuasaannya.
Bukan dua daerah yang disatukan. Wajar saja kalau masyarakat Batubara
meminta sejajar dengan bekas afdeling lainnya, memiliki otonomi
tersendiri terpisah dari Asahan, sebagaimana terjadi sejak zaman dahulu.
Pada zaman kemerdekaan yaitu mulai tahun 1945, wilayah Batubara
menjadi satu Kewedanaan yang membawahi lima kecamatan, yaitu:
Talawi, Tanjungtiram, Limapuluh, Airputih, dan Medangderas. Kemudian
istilah kewedanaan itu pun dihapus. Hanya tinggal nama lima kecamatan
itu menyatu dengan Kabupaten Asahan.
Pada awal era reformasi yaitu tahun 1998, warga Batubara kembali
mengupayakan terwujudnya Kabupaten Batubara. Jika dibandingkan
upaya pemekaran kabupaten lain, boleh dikatakan pemekaran Kabupaten
Asahan memakan waktu yang cukup panjang dan melelahkan. Pro dan
kontra sesama warga Batubara pun tak terelakkan. Sudah dapat dibaca,
yang kontra adalah pihak-pihak yang dekat dengan pusat kekuasaan di
Pemerintahan Kabupaten Asahan yang beribukota Kisaran. Apalagi ketika
pada masa jabatannya pertama 2000-2005, Bupati Asahan, Drs. Risuddin
ketika itu cukup kuat melakukan penekanan terhadap pihak-pihak yang
mendukung pemekaran (Sahril 2006:23). Namun pada masa jabatan kedua
terlihat sedikit mencair, sehingga pihak-pihak yang tadinya kontra mulai
terlihat mendukung kembali berdirinya Kabupaten Batubara. Beberapa
desa di wilayah Batubara yang sempat menyatakan menolak bergabung
dengan Kabupaten Batubara, sampai 2006 hanya tinggal dua desa saja
yang masih menolaknya selebihnya setuju (Sahril 2006:23). Akhirnya
Batubara menjadi daerah kabupaten tersendiri sejak 2007. Demikian
sekilas tentang aspek politik Asahan dan Batubara yang terus mengalami
proses hingga dasawaarsa pertama 2000-an.1
Kabupaten Batubara ini diresmikan pada tanggal 15 Juni 2007,
bersamaan dengan dilantiknya Penjabat Bupati Batu Bara, Drs. H. Sofyan
1
Dalam konteks politik Indonesia selepas masa reformasi 1998, maka tahun 2001 dimunculkan
Undang-undang Otonomi daerah (Otda), yang mengatur kekuasaan daerah untuk memerintah secara
otonomi di daerahnya sendiri. Demikian pula yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara, dengan
semangat Undang-undang Otonomi Daerah itu, maka beberapa kabupaten mengembangkan diri. Di
antaranya adalah Kabupaten Tapanuli Utara, yang akhirnya dipecah menjadi 4 kabupaten yaitu:
Tapanuli Utara, Toba Samosir (Tobasa), Samosir, dan Humbang Hasundutan; kemudian Kabupaten
Tapanuli Selatan dimekarkan menjadi Kabupaten Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Padanglawas
Utara, dan Padanglawas Selatan; selain itu Kabupaten Dairi dimekarkan menjadi Kabupaten Dairi dan
Pakpak Bharat; Kabupaten Deli Serdang dimekarkan menjadi Kabupaten Deli Serang dan Serdang
Bedagai (Sergei); serta Kabupaten Nias dimekarkan menjadi Kabupaten Nias Utara dan Kabupaten
Nias Selatan.
Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 8
Nasution, S.H. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten
Asahan dan beribu kota di Kecamatan Limapuluh.
Rumah Ibu Ratna terdiri dari beranda depan dan samping kiri,
kemudian ruang tamu yang dilengkapi dengan pajangan untuk kain-kain
songket yang diproduksi oleh para pegawainya, dengan jumlah sekitar 63
orang. Setelah itu ada pula ruangan keluarga di bagian tengah. Di belakang
ada dapur tempat memasak makanan. Di sebelah kanan ada dua ruang
tempat tidur.
Rumah Ibu Ratna dibina dalam gaya arsitektural Melayu dengan
dominasi warna kuning dan putih dengan ukiran (tebuk) lebah bergantung
di sisi-sisi bawah atap rumahnya yang terbuat dari seng.
Pengadaan Bahan-bahan
Okik
Bahan-bahan yang diperlukan dalam sebuah produksi tenunan songket
yang utama adalah alat tenun (okik), yang dibuat oleh para pengrajin atau
tukang di Desa Padang Genting. Pembuat alat tenun songket ini umumnya
adalah kaum lelaki yang juga biasanya adalah tukang untuk membuat
Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 14
perabot rumah tangga atau juga tukang membuat rumah Melayu, baik
rumah Melayu tradisional maupun modern.
Khusus pembuat okik kumpulan Yusra ada dua orang, yaitu yang
pertama adalah Sukiman (usia 55 tahun)2 dan Tajuddin bin Khayat (60
tahun). Biasanya Ibu Ratna memesan alat okik ini bila ada anggota
penyongket yang baru bertambah atau juga untuk memperbaiki okik yang
rusak.
Alat ini sebagian besar terbuat dari balok (kayu broti) dan papan.
Adapun jenis-jenis kayu yang digunakan adalah kayu apa saja, yang sering
diistilahkan sebagai kayu sembarang, atau kayu sempengan. Namun
untuk menjaga kualitas kayu, biasanya kelompok penenun songket Ibu
Ratna ini memilih kayu-kayu yang baik kualitasnya seperti kayu meranti,
merbau, durian, dan sejenisnya. Kayu-kayu ini dibeli di panglong-
panglong kayu yang ada di kota Tanjung Tiram. Toko kayu itu selalu
disebut dengan panglong, yang umumnya diusahakan dan diurus oleh
orang-orang atau taukeh China.
Uang awal untuk mengadakan okik ini, boleh dibagi 50% oleh Ibu Ratna
atau penuh ditanggung oleh Bapak Sukiman dan Tajuddin. Itu tergantung
dari kesepakatan mereka.
Secara struktural, okik ini terdiri dari bagian-bagian seperti yang
dijelaskan berikut ini: (1) gorub, (2) karab, (3) belero, (4) belebas, (5) papan
pungguhan, (6) cucak, (7) sumbi, (8) poso, (9) tinjak, (10) turak, dan (11)
rahat.
Gambar 2: Okik
2Bapak Sukiman ini adalah bersuku Jawa, yang lahir dan dibesarkan di Provinsi Sumatera Utara.
Isterinya Siti Asmah bersuku Melayu. Mereka sejak dari kecil memang duduk dan tinggal di Desa
Padang Genting Batubara. Orang-orang Jawa yang dilahirkan di Sumatera Utara disebut dengan
Pujakesuma, akronim dari Putra Jawa kelahiran Sumatera. Di antara masyarakat Jawa ini banyak yang
kemudian mendukung kebudayaan Melayu dan menganggap dirinya juga sebagai bagian dari
masyarakat Melayu. Masyarakat Jawa yang terdapat di Desa Padang Genting ini merupakan
keturunan dari masyarakat Jawa Deli yang pada masa penjajahan Belanda sejak abad ke-18
didatangkan dari Jawa yang umumnya dipekerjakan di kebun-kebun teh, getah, dan sawit yang dibina
oleh Belanda. Mereka juga disebut Jawa Kontrak (Jakon), karena melakukan kontrak kerja dengan
Belanda (akte verklaring). Kemudian sesudah kemerdekaan terus berlaku migrasi yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia atau atas keinginan dan usaha sendiri yang disebut dengan transmigrasi
swakarsa.
Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 15
Secara umum fungsi okik adalah untuk merentang benang, melintang
benang, memadatkan tenunan, membuat lapisan benang tenunan.
Selengkapnya okik itu dapat dilihat pada Gambar 3.
Benang
Bahan lain untuk tenuan songket adalah benang katun (cotton). Di Desa
Padang Genting, benang diimpor dari ibukota Indonesia Jakarta. Adapun
jenama (merek) yang umum digunakan adalah benang yang diproduksi
oleh P.T. Bentang Mutiara Tunggal Perkasa Cap Kapal. Menurut
penjelasan Ibu Ratna, setiap minggunya ia menghabiskan dua kodi
benang. Agak berbeda dengan yang ada pada budaya Batak, yang
umumnya mencelup benang untuk pewarnaan, maka di desa ini, mereka
Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 16
tidak lazim melakukan pewarnaan, mereka langsung membeli benang
dengan warna-warna yang sesuai dengan keperluan untuk menenun.
Sejak dekade awal 2000-an, ada upaya pengembangan kualitas songket,
dan sesuai dengan perkembangan permintaan pasar. Khususnya pada
kelompok Ibu Ratna, ia menenun songket yang bahan dasarnya terbuat
dari benang sutera. Benang ini bisa didapatkannya dari seorang
pengusaha ternak ulat sutera yang menghasilkan benang sutera,
tempatnya di Kota Tanjungmorawa, Kabupaten Deli Serdang, masih di
kawasan Provinsi Sumatera Utara. Namun menurut penjelasan Ibu Ratna,
harga songket yang terbuat dari sutera ini relatif mahal, karena benang
sutera juga mahal. Selain itu, bagi para muslim, laki-laki tidak
diperbolehkan memakai bahan-bahan sutera, sehingga peminatnya
umumnya adalah ibu-ibu pejabat (elite), yang umumnya adalah orang
kaya harta. Pembuatan songket sutera ini adalah disesuaikan saja dengan
permintaan yang ada.
Motif
Motif visual yang digunakan oleh para penenun songket Batubara,
adalah masih meneruskan motif tradisi Melayu ang ada. Menurut
penjelasan para informan, motif-motif yang digunakan adalah: (A) Motif
dasar, terdiri dari empat jenis, yaitu: (i) pucuk betikam, (ii) pucuk perak, (iii)
pucuk pandan, dan (iv) pucuk caul. (B) Motif tambahan, terdiri dari berbagai
jenis motof seperti: bunga tanjung, bunga, pucuk parang, tampuk manggis,
cempaka, bunga tabur, tolab bermukim (gabungan ari berbagai motif bunga),
dan lain-lain. Motif dasar biasanya digunakan untuk kepala kain, hiasan
utama pada songket, motif tambahan adalah menyertai motif utama. Pada
bagian bawah atau atas songket yang diletakkan secara horizontal,
biasanya digunakan motif apa saja yang diistilahkan dengan pinggir pahat.
Sejak generasi penenun Ibu Ratna, para penenun songket melakukan
berbagai inovasi (pembaharuan) motif-motif. Misalnya menggunakan
motif yang berasal dari Trengganu Malaysia, dari Palembang, dari
Minangkabau, dari tradisi ulos Batak, dan lainnya. Mereka dapat
melihatnya dari berbagai buku dan majalah.
Pucuk betikam adalah motif dasar songket yang bentuknya adalah
gabungan dua segitiga atau belah ketupat. Selanjutnya untuk pucuk perak
bentuknya adalah enam bidang elips yang menyatu pada satu titik.
Kemudian pucuk pandan adalah motif yang memimesis bentuk daun
pandan, dan pucuk caul, adalah bentuk bunga yang kompleks tenunannya.
Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 17
Sebahagian besar motif songket adalah karya imajinasi seniman songket
Melayu, yang menirukan bentuk-bentuk flora (tumbuhan), sesuai dengan
ajaran-ajaran Islam yang tidak menggalakkan bentuk binatang atau
manusia (antropomorfisme). Contoh-contoh motif itu adalah sebagai
berikut.
Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 18
Gambar 7: Motif Pucuk Rebung
Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 19
Gambar 10: Motif Pucuk Caul
Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 21
Gambar 15: Motif Dua Singa
Tahap-tahap Pembuatan
Dalam membuat songket, para penenun mestilah mengikuti tahap-
tahap dari awal sampai akhirnya menjadi sehelai songket. Mengikut
keterangan Ibu Ratna, dalam membuat songket, dilakukan melalui
berbagai tahapan.
(1) tahap pertama disebut dengan menorou, yaitu aktivitas menggulung
benang dari gulungannya kepada gulungan kecil;
(2) tahap kedua adalah mengani, yaitu aktivitas menarik benang dengan
diluruskan mengikut bentuk yang hendak dicapai;
(3) tahap ketiga adalah menggulung benang ke papan gulung dan
direntang mengikut bentuk papan gulung tersebut;
(4) tahap keempat adalah menyosoh, yaitu menggulungnya ke papan
karab;
(5) tahap kelima adalah memasukkan sisir;
(6) tahap keenam adalah menaikkan ke okik;
Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 22
(7) tahap ketujuh mengumut dan merancang motif apa yang akan
disongket, yang tentu saja mengikutkan jalur benang;
(8) tahap kedelapan adalah menenun songket dengan cara
mengarahkan benang dengan torak ke kiri dan kanan, kemudian
diketatkan dengan tinjak yang ditekan dengan kedua telapak kaki
di bagian bawah penyongket. Demikian sekilas proses pembuatan
songket di Batubara ini.
Penutup
Dilihat dari konteks budaya bahwa budaya tenunan songket Melayu
Batubara didukung oleh etnik Melayu Batubara yang secara kesejarahan
merupakan dan terbentuk dari proses integrasi sosial antara masyarakat
Melayu keturunan Batak Toba, Mandiling, Karo, Simalungun,
Minangkabau serta orang-orang Melayu Riau, Semenanjung Malaysia, dan
Aceh. Dilihat dari segi istilah-istilah yang digunakan tampaknya kuat
mencerminkan budaya Melayu Sumatera Timur dan kemungkinan Riau
serta Semnanjung Malaysia. Namun tak kalah pentingnya kemungkinan
adanya hubungan kultural dengan songket di Minangkabau, walau
Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 24
sampai saat ini peneliti belum menemukan jawabannya, dan masih perlu
penelitian ke tahap berikutnya.
Songket adalah bahagian dari busana adat Melayu, yang biasa
pemakaiannya adalah berkaitan dengan adat. Dalam kebudayaan Melayu
terdapat empat konsep tentang adat, yakni adat yang sebenar adat (sebagai
hukum dari Allah terhadap alam dan manusia), adat yang diadatkan
(sistem kepemimpinan dalam pengertian luas), adat yang teradat
(kebiasaan yang lama-lama menjadi adat), dan adat istiadat (yang
merupakan upacara).
Sebagai unsur kebudayaan, maka teknologi yang digunakan dalam
pembuatan songket Batubara lebih menekankan kepada teknologi
tradisional Melayu, yang dapat ditandai dengan masih digunakannya alat
tenun tradisional yang disebut okik, serta cara menyongket dan istilah-
istilah teknis dan aktivitas yang digunakan. Namun demikian,
kebudayaan tradisional ini juga mengikuti perkembangan-perkembangan
teknologi modern, misalnya saja mereka menggunakan benang yang
diproduksi secara modern begitu juga dengan sistem pewarnaan, dan
lainnya.
Motif dasar songket Melayu Batubara umumnya berdasar kepada
stilisasi tumbuh-tumbuhan dan alam. Namun sepanjang penelitian yang
kami lakukan ditemukan motif-motif lama yang berbentuk stilisasi hewan.
Kemungkinan besar Islam sebagai agama Ilahiyah dan samawiyah tidak
menganjurkan bentuk-bentuk hewan atau manusia, yang dapat
menjerumuskan manusia kepada penyembahan arca atau patung. Tentu
untuk ini masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, wassalam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Latiff Abu Bakar dan Mohd. Nefi Imran (ed.), 2004. Busana Melaka. Melaka: Institut Seni Malaysia
Melaka, Biro Sosiobudaya Dunia Melayu Dunia Islam.
Abdul Latiff Abu Bakar dan Mohd Nefi Imran (ed.), 2004. Busana Melayu Serumpun. Melaka: Institut
Seni Malaysia Melaka (ISMMA).
Andaya, Barbara Watson, 1987. The Cloth Trade in Jambi and Palembang During the 17th and 18th
Centuries. New York: t.p.
Anderson, John, 1971. Mission to the east Coast of Sumatra in 1823. Singapura: Oxford University Press.
Cunningham, Clark E., 1958. The Postwar Migration of the Toba Bataks to East Sumatra. New Haven: Yale
University Southeast Asia Studies.
Dada Meuraxa, 1973. Sejarah Kebudayaan Sumatera. Medan: Waspada.
Husin Embi (et al.), 2004. “Adat Perkawinan di Melaka.” di dalam, Abdul Latiff Abu Bakar dan
Hanipah Hussin (ed.), 2004. Kepimpinan Adat Perkawinan Melayu Melaka. Melaka: Institut Seni
Malaysia Melaka.
Kamaruddin Haji Husin, 1993. Bahasa Melayu Bacaan Asas. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Mochtar Naim, 1984. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Norwani Mohd. Nawawi, 2002. Songket Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 25
Nurkarim Nehe, 13 Februari 2006, “Sentuhan Sutra Mengawal Songket Batubara, Waspada, p. 22.
Nurkarim Nehe, 13 Februari 2006, “Songket Batubara Melintasi Generasi Ketiga, Waspada, p. 22.
Nurkarim Nehe, 13 Februari 2006, “Menanti Bapak Angkat, Waspada, p. 22.
Pelzer, Karl J., 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria 1863-1947,
terjemahan J. Rumbo. Jakarta: Sinar Harapan.
Sahril, 27 Februari 2006, “Penantian Panjang Kabupaten Batubara,” Waspada, p. 23
Sahril, 27 Februari 2006, “Batubara Negeri Bersinar yang Masih Redup,” Waspada, p. 23.
Sahril, 27 Februari 2006, “Wisata Bahari P. Pandan Pesona Keterasingan” Waspada, p. 23.
Steward, Julian H., 1976. Theory of Culture Change: the Methodology of Multilinear Evolution. London:
University of Illinois Press.
Tengku Luckman Sinar, 1980. Ragam Hias Melayu Sumatera Timur. Medan: Perwira.
Tengku Luckman Sinar, 1988. Sari Sejarah Serdang. Medan.
Zainal Kling, 2004. “Adat Melayu.” di dalam Abdul Latiff Abu Bakar dan Hanipah Hussin (ed.), 2004.
Kepimpinan Adat Perkawinan Melayu Melaka. Melaka: Institut Seni Malaysia Melaka
DAFTAR INFORMAN
1. Hajjah Ratna binti Abdul Thalib, usia 59 tahun, pekerjaan ketua pengrajin songketvYusra, alamat
rumah Desa Padang Genting, Kecamatan Talawi, Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatera Utara.
2. Zuraidah binti Abdullah, berumur 52 tahun, sebagai ketua pengrajin tenun songket, dengan alamat
Desa Padang Genting Dusun IV, Kecamatan Talawi, Batbara, Sumut.
3. Asmah binti Aiyub, 57 tahun, ketua pengrajin tenun songket, beralamat di Desa PadangGentiing
Dusun IV, Kecamatan Talawi, Kabupaten Batubara.
4. Wan Sahib bin Wan Adnan, usia 62 tahun, ketua pengrajin songket, Desa Padang Genting,
Kecamatan Talawi, Batubara.
5. Suhaimi bin Tajuddin, berusia 48 tahun, mantan Sekretaris Desa Padang Genting, Batbara.
6. H. Yusufuddin bn Noer, usia 61 tahun, sebagai Pensiunan Polisi Pengamanan Laut Indonesia,
alamat Desa Padang Genting, Kecamatan Talawi, Batubara.
Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 26
Takari & Fadlin, Songket Batubata dalam Konteks Adat dan Budaya Melayu 27