Anda di halaman 1dari 43

Memahami Apa itu Tadabbur Alquran dan Manfaatnya untuk Umat Islam

Tadabbur Alquran sangat penting dilakukan oleh umat Islam agar dapat memahami
kekuasaan dan keagungan Allah SWT. Dalam surat An Nisa ayat 82 Allah berfirman, “Maka
tidakkah mereka mentadabburi Alquran? Sekiranya (Alquran) itu bukan dari Allah, pastilah
mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.”
Fungsi dari tadabbur adalah untuk mengambil hikmah dari Alquran. Bahkan Zaid bin
Sabit tidak terburu-buru untuk mengkhatamkan Alquran agar bisa mentadabburi firman-firman
Allah tersebut. Melansir Tadabbur dalam Alquran tulisan Robiansyah (2019),

Pengertian Tadabbur

Tadabbur berasal dari kata dasar dabara yang artinya “akhir sesuatu”. Sedangkan menurut Ibnu
Mandur dalam kitabnya Lisān al-Arab, tadabbur maksudnya mengetahui ujung dan
kesudahannya, termasuk mengetahui dampak dan konsekuensi dari sesuatu.

Secara sederhana tadabbur adalah mengerahkan upaya untuk melihat, memahami, merenungi
sesuatu, bahkan sampai pada sisi terjauhnya. Jika dikaitkan dengan Alquran, maka tadabbur
artinya penghayatan terhadap ayat-ayat Alquran dengan maksud untuk membuka hati dan pikiran
manusia.
Dikutip dari buku Dasar-Dasar Hukum Acara Jinayah karya Zulkarnain Lubis dan Ritonga
(2016), secara terperinci Ibnu Katsir menjelaskan bagaimana seorang Muslim seharusnya
mentadabburi Alquran.
“Tadabbur adalah memahami makna lafal Alquran dan memikirkan apa yang ayat-ayat
Alquran tunjukkan tatkala tersusun, dan apa yang terkandung di dalamnya serta apa yang
menjadi makna-makna Alquran itu sempurna, dari segala isyarat dan peringatan yang tidak
tampak dalam lafal Alquran serta pengambilan manfaat oleh hati dengan tunduk di hadapan
nasihat-nasihat Alquran, patuh terhadap perintah-perintahnya serta mengambil ibrah darinya.”

Manfaat Tadabbur Alquran


Ayat-ayat Alquran memuat kabar gembira dan peringatan yang dapat dijadikan pedoman bagi
umat manusia untuk menggapai kehidupan yang terbaik di dunia dan akhirat. Dengan
memahaminya, bertambahlah ilmu dan ketenteraman hati orang yang membacanya.

Misalnya ketika terus-menerus merenungi ayat-ayat yang menjelaskan tentang penciptaan alam
semesta, manusia, dan yang lainnya, umat Islam akan “melihat” Sang Pencipta. Dan ketika
membaca kisah para nabi yang dicela dan didustakan, kita dapat merenungkan janji-janji dan
ancaman Allah kepada umat-Nya.
manfaat merenungi makna Alquran antara lain:

 Menjadikan seseorang berpikir positif dalam menghadapi kehidupan.


 Memiliki keyakinan bahwa Alah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya.
 Mendapat banyak pelajaran dari kaum-kaum terdahulu
 Semakin mengingat Allah sehingga giat beribadah
 Pengetahuan manusia terbatas, namun dengan mentadabburi Alquran manusia dapat
menemukan banyak solusi.
 Memberikan kenyamanan dalam berpikir, bertindak, dan berbuat
 Merasakan ketenangan
SURAH ANNAS

ِ ‫هللا الرَّحْ مٰ ِن الر‬


‫َّحي ِْم‬ ِ ‫بِس ِْم‬
ِ َّ‫اس ْال َخن‬
ْ‫) الَّ ِذي‬٤( ‫اس‬ ِ َّ‫) اِ ٰل ِه الن‬٢( ‫اس‬
ِ ‫) ِم ْن َش ِّر ْال َو ْس َو‬٣( ‫اس‬ ِ َّ‫ك الن‬
ِ ِ‫) َمل‬١( ‫اس‬ ِ َّ‫قُلْ اَ ُعوْ ُذ بِ َربِّ الن‬
ِ َّ‫) ِمنَ ْال ِجنَّ ِة َوالن‬٥( ‫اس‬
)٦( ‫اس‬ ِ َّ‫ص ُدوْ ِر الن‬
ُ ‫ي َُوس ِْوسُ ِف ْي‬
Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhannya manusia” (1) Raja manusia (2) Sembahan
manusia (3) dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi (4) yang membisikkan (kejahatan)
ke dalam dada manusia[1] (5) dari (golongan) jin dan manusia (6)

Surat An Nâs merupakan surat terakhir dalam urutan tata letak di Al Quran. Surat ini termasuk
surat Makkiyah, yakni surat yang diturunkan sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah.
Surat ini terdiri dari enam ayat, yang beberapa kali mengulang kata An Nâs, yang berarti
manusia.

Surat perihal manusia ini, perlu kita tadabburi lebih lanjut karena memiliki kandungan yang
banyak. Selain itu, pokok isinya ialah perintah untuk kita, agar berlindung kepada Allah dari
perilaku jahat, maupun bisikan dan dorongan untuk berlaku jahat, yang bisa datang dari setan,
baik dari golongan jin ataupun manusia.

Surat ini, bersama dengan surat Al Falaq, sering disebut sebagai Al Mu’awwadzatain, yakni dua
surat yang berisi permohonan perlindungan kepada Allah. Ada pula yang menamainya Al
Muqasyqasyataan, yakni dua surat yang dapat membebaskan diri dari sifat munafik.

Keseluruhan ayat dalam surat ini, bila kita perhatikan, ialah mengajarkan kita untuk berlindung
kepada Allah, dari bisikan keburukan, yang dapat datang dari mana saja. Tiga ayat pertama,
ditujukan kepada Allah, yang dapat melindungi kita. Sementara tiga ayat berikutnya,
menunjukkan sumber bahaya yang dapat membisikkan kita berlaku jahat.

Setidaknya ada dua poin penting yang dapat kita bahas dari surat ini.

Pertama, ialah pengenalan atas tiga sifat Allah. Ketiga sifat ini dapat kita temukan pada tiga
ayat di muka. Sifat pertama, Allah ialah Rabb, Tuhan yang menciptakan dan mengatur segala
ciptaan-Nya.. Ketika kita hendak berlindung dari godaan jin dan manusia, kita harus berlindung
kepada Allah, yang menciptakan keduanya. Sebab, tentulah Sang Pencipta memiliki kuasa penuh
atas makhluk yang diciptakan.

Sifat kedua, Allah adalah Malik, raja diraja. Malik dalam surat ini dibaca pendek, tidak
dipanjangkan menjadi Mâlik seperti dalam surat Al Fatihah. Ada sedikit perbedaan makna di
sini. Ketika Malik itu dibaca pendek, menjadi raja. Sementara Mâlik ketika dibaca panjang,
menjadi pemilik. Tentu, kedua sifat ini dimiliki oleh Allah. Hanya saja, dalam surat ini,
sebagaimana yang disepakati ulama, ialah Malik yang dibaca pendek, artinya, Allah adalah raja
diraja. Kita memohon perlindungan kepada-Nya, karena tentu makhluk-Nya hanya bisa
dilindungi oleh-Nya. Sebab, Dialah sang raja atas segala raja.

Sifat ketiga, Allah adalah Ilah, sembahan yang patut disembah, tiada yang lain selain daripada-
Nya.

Poin kedua yang dapat kita ambil hikmah dari surat ini, ialah permohonan perlindungan kepada
Allah, dari makhluk-Nya yang jahat. Siapakah mereka dan atas sikap mereka yang seperti apa
kita harus berlindung?

Ayat ke-4 hingga ke-6, memberikan penjelasan, perihal siapa yang mengganggu kita dari taat
kepada-Nya. Mereka itu adalah setan, yang dalam ayat ke-4 dijelaskan mengintai manusia dan
akan merangsek memberi rasa waswas ketika kita lalai. Setan itu, seperti yang dijelaskan pada
ayat ke-6, berasal dari golongan jin (makhluk halus yang tidak dapat diindrai oleh kita), maupun
manusia.

Setiap manusia, dalam sebuah hadits disebut, memiliki jin yang membersamai, yang dikenal
sebagai jin qarin. Jin ini, bisa jadi baik, bisa jadi jahat. Selain jin qarin, di berbagai tempat pun
banyak yang ditinggali jin. Misal, di kuburan, yang mereka bisa saja sewaktu-waktu
mewujudkan di hadapan manusia, dengan tujuan menakut-nakuti kita.

Di saat kita takut kepada jin itulah, posisi kita menjadi lebih lemah. Mereka akan menimbulkan
rasa waswas, takut, dan terkadang membuat kita lupa dengan Allah. Karenanya, kita diharuskan
untuk berlindung kepada Allah dari kejahatan mereka itu.
Pada kesempatan yang lain, kita juga bisa dibisiki oleh setan dari golongan jin, untuk berlaku
jahat. Misal, ketika sedang sendiri, amat sering ada dorongan untuk berbuat yang tidak baik.
Atau misalkan, dalam keadaan sepi, bisa saja ada dorongan dari dalam diri kita, untuk mencuri.
Dorongan semacam itu, kemungkinan, ialah akibat dari bisikan setan dari golongan jin.

Sementara itu, ada pula setan dari golongan manusia. Kita mafhum, bahwa manusia itu ada yang
baik, ada pula yang jahat. Kepada orang baik, apalagi orang shaleh seperti ulama, kita dianjurkan
untuk berkawan dan mendekat, agar kita turut termotivasi untuk berbuat baik. Sementara itu, ada
juga orang yang cenderung berbuat maksiat. Bahkan ada yang terang-terangan mengajak kita
berbuat maksiat. Kita perlu perlindungan Allah, agar tidak mudah terhasut oleh ajakan manusia
semacam ini.

Atau, bisa juga, bisikan dari manusia itu seperti kesesatan yang disebarkan. Di era kebebasan
informasi seperti saat ini, kita akan dengan mudah menemukan banyak orang yang menghasut
manusia. Ada yang menghasut untuk tidak percaya pada Tuhan, atau kalaupun ada Tuhan, tidak
mau untuk diatur seperti orang-orang atheis. Ada juga yang mengajak untuk berlaku bebas,
bahkan bebas juga dalam menjalankan agama, tanpa mau terikat oleh kesepakatan ulama, seperti
orang yang beragama secara liberal. Kita perlu perlindungan Allah dari kesesatan semacam ini.

Baik setan dari golongan iin maupun manusia, pada dasarnya, mengajak kita lupa kepada Allah.
Inilah bibit kesyirikan. Bisikan itu, dimasukkan ke dalam sadr, semacam rongga yang dimiliki
manusia. Ada tiga pendapat mengenai keberadaan sadr di dalam tubuh manusia. Pertama, sadr
itu ialah rongga dada, yang menjadi tempat jantung. Kedua, sadr itu adalah rongga kepala,
tempat keberadaan otak, yang menjadi pusat kesadaran manusia. Ada juga pendapat ketiga,
yakni keduanya karena ketika timbul rasa waswas, ada hormon dari otak yang memicu
pergerakan jantung. Di manapun letaknya, yang jelas, setan dari golongan jin dan manusia, akan
tetap mencoba menghasut kita agar lupa kepada Allah.

Solusi dari potensi bisikan itu ialah memperbanyak zikir. Surat An Nâs, bersama dengan Surat
Al Falaq dan Al Ikhlas, merupakan tiga surat yang selalu Rasulullah Saw. baca ketika hendak
tidur. Ketiga surat ini memang disunnahkan beliau karena dapat menjaga kita dari ancaman
keburukan, baik yang berasal dari jin maupun manusia. Ada juga ulama yang menganjurkan
untuk membaca surat An Nâs ini ketika hendak shalat, agar dijauhkan dari bisikan setan yang
membuat kita tidak khusyuk.

Sekian pembahasan mengenai surat An Nâs. Semoga dapat menyadarkan kita, bahwa kita ini
rentan terhadap bisikan kejahatan. Maka dari itu, perbanyaklah permohonan perlindungan
kepada Allah, agar kita senantiasa berada dalam perlindungan-Nya.

Wallahu a’lam

Keutamaan Membaca Surat Annas


Menangkal Sihir

Sebagaimana asbabun nuzul surah Annas, yani surah Annas bermanfaat menangkal sihir yang
menyerang seseorang muslim. Hal ini telah terbukti dengan apa yang dialami oleh Rasulullah
SAW sendiri.

Melindungi Diri

Membaca surat Annas dapat menjauhkan umat islam dari godaan yang datang dari hasutan
manusia, setan dan jin. Sebagaimana diriwayatkan dalam sbeuah hadis, “ telah diturunkan
kepadaku ayat-ayat yang tidak semisal dengannya yaitu al Mu’awwidzataini (Surah annas dan
surah al falaq).” (HR. Muslim, at Tirmidzi, An Nasai).

Mendapat Keamanan Saat Tidur

Setan dan jin dapat menggoda manusia dalam keadaan tidur. Maka dari itu sebainya membaca
surat Annas sebagai banteng diri saat tidur.
SURAH ALFALAQ

ِ ‫) َو ِم ْن َش ِّر النَّفَّاثَا‬٣( ‫ب‬


‫ت‬ َ َ‫ق إِ َذا َوق‬ َ َ‫) ِم ْن َش ِّر َما خَ ل‬١( ‫ق‬
ٍ ‫) َو ِم ْن َشرِّ غَا ِس‬٢( ‫ق‬ ِ َ‫قُلْ أَ ُعو ُذ بِ َربِّ ْالفَل‬
ِ ‫) َو ِم ْن َشرِّ َح‬٤( ‫فِي ْال ُعقَ ِد‬
٥( ‫اس ٍد إِ َذا َح َس َد‬
Tadabbur Ayat 1:

ِ َ‫قُلْ أَ ُعو ُذ بِ َربِّ ْالفَل‬


‫ق‬

Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh (fajar)

Ayat pertama ini memerintahkan kita untuk ber-isti’adzah yaitu meminta perlindungan kepada
Allah subhanahu wa ta’ala agar terhindar dari marabahaya. Ini adalah wujud nyata ketauhidan;
memohon perlindungan hanya kepada Allah Ta’ala dan bukan pada selain-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,


‫غ فَا ْستَ ِع ْذ بِاهَّلل ِ إِنَّهُ هُ َو ال َّس ِمي ُع ْال َعلِي ُم‬
ٌ ‫ان ن َْز‬
ِ َ‫َوإِ َّما يَ ْن َز َغنَّكَ ِمنَ ال َّش ْيط‬

“Dan jika syetan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan
kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.
Fushshilat, 41: 36)

Sedangkan meminta perlindungan kepada selain Allah adalah termasuk kesyirikan, sebagaimana
disebutkan pada ayat,

ً ‫ال ِمنَ ْال ِجنِّ فَزَا ُدوهُ ْم َرهَقا‬ ِ ‫َوأَنَّهُ َكانَ ِر َجا ٌل ِمنَ اأْل ِ ْن‬
ٍ ‫س يَعُو ُذونَ بِ ِر َج‬

“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan
kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka rasa takut.”
(QS. Al Jin, 72: 6)

Qatadah dan ulama salaf lainnya mengatakan bahwa makna ’rahaqa’ dalam ayat ini adalah
’itsman’ (dosa).

Di dalam ayat ini Allah Ta’ala menyebut dirinya sebagai Rabbul Falaq. Al Falaq berasal dari
kata ‘falaqa’ yang berarti membelah. Dalam ilmu sharaf ‘Al-Falaq’ bermakna isim maf’ul sifat
musyabbahah yang berarti terbelah. Lebih khusus ‘Al-Falaq’ bisa bermakna Al-Ishbah
(pagi/shubuh) karena Allah membelah malam menjadi pagi.

Secara umum ‘Al Falaq’ bermakna segala sesuatu yang muncul atau keluar dari yang lainnya.
Seperti mata air yang keluar dari gunung, hujan dari awan, tumbuhan dari tanah, anak dari rahim
ibunya. Ini semua dinamakan ‘Al-Falaq’.

Perhatikan ayat-ayat berikut. Allah Ta’ala berfirman,

‫ق ْال َحبِّ َوالنَّ َوى‬


ُ ِ‫إِ َّن هّللا َ فَال‬

“Sesungguhnya Allah yang menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan.” (QS.
Al An’am, 6: 95).
Allah Ta’ala juga berfirman,

ِ َ‫اإلصْ ب‬
‫اح‬ ِ ‫ق‬ ُ ِ‫فَال‬

“Dia menyingsingkan pagi.” (QS. Al An’am, 6: 95)

Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar mengartikan al-falaq dengan makna cuaca shubuh, yaitu
ketika perpisahan di antara gelap malam dengan mulai terbit fajar hari akan siang. Al-Falaq ada
juga diartikan dengan peralihan. Peralihan dari malam ke siang, peralihan dari tanah yang telah
sangat kering karena kemarau, lalu turun hujan, maka hiduplah kembali tumbuh-tumbuhan.
Peralihan dari biji kering terlempar ke atas tanah, lalu timbul uratnya dan dia memulai hidup.

Maka berlindunglah kita kepada Allah Ta’ala, dalam sebutan-Nya sebagai Rabb, yang berarti
mengatur, mendidik dan memelihara; supaya berkenanlah kiranya Dia melindungi kita, dari
kemungkinan-kemungkinan bahaya yang terkandung pada pergantian siang dan malam atau
peralihan musim.

Tadabbur Ayat 2:

َ َ‫ِم ْن َش ِّر َما َخل‬


‫ق‬

“dari kejahatan (makhluk yang) Dia ciptakan.”

Yakni mencakup manusia, jin, hewan, dan benda-benda mati yang dapat membahayakan. Ibnu
Katsir mengatakan bahwa ayat ini berarti berlindung dari kejelekan seluruh makhluk. Sementara
itu Tsabit Al-Bunani dan Al-Hasan Al-Bashri menafsirkan berlindung dari jahannam dan iblis
serta keturunannya.

Jika dikatakan berlindung dari seluruh makhluk, hakikatnya ketika membaca ayat ini kita pun
sedang berlindung kepada Allah Ta’ala dari kejahatan diri kita sendiri. Karena berkenaan dengan
hawa nafsu, Allah Ta’ala berfirman,
‫س أَل َ َّما َرةٌ بِالسُّو ِء إِاَّل َما َر ِح َم َربِّي‬
َ ‫إِ َّن النَّ ْف‬

“Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi
rahmat oleh Tuhanku.” (QS. Yusuf, 12: 53).

Kita berlindung dari kejelekan dirinya sendiri, sebagaimana yang terdapat dalam khutbatul
hajjah,

‫نَعُوْ ُذ بِاهللِ ِم ْن ُشرُوْ ِر أَ ْنفُ ِسنَا‬

“Aku berlindung kepada Allah dari kejelekan diriku sendiri.” (HR. At Tirmidzi)[5]

Tadabbur Ayat 3:

َ َ‫ق إِ َذا َوق‬


‫ب‬ ِ ‫َو ِم ْن َش ِّر غ‬
ٍ ‫َاس‬

“dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita”

Kita pun berlindung secara khusus dari kejahatan yang terjadi di malam hari. Karena di waktu
malam inilah banyak penjahat melakukan aksinya. Begitupula jin dan binatang-binatang yang
berbahaya. Di samping itu, menghindari bahaya juga lebih sulit dilakukan pada waktu malam.

Kata ghasiq dalam ayat ini berarti malam, berasal dari kata ghasaq yang berarti kegelapan.
Sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:

ِ ‫أَقِ ِم الصالة لِ ُدلُو‬


ِ ‫ك الشمس إلى َغ َس‬
‫ق الليل‬

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam.”

(QS. Al Israa’, 17: 78)

Sedangkan kata kerja waqaba mengandung makna masuk dan penuh, artinya sudah masuk dalam
gelap gulita.
Tadabbur Ayat 4:

‫ت فِي ْال ُعقَ ِد‬


ِ ‫َو ِم ْن َشرِّ النَّفَّاثَا‬

“dan dari kejahatan perempuan-perempuan penyihir yang meniup pada buhul-buhul (talinya)”

Buya Hamka mengatakan bahwa yang dimaksud di sini ialah bahaya dan kejahatan mantra-
mantra sang dukun. Segala macam mantra atau sihir yang digunakan untuk mencelakakan orang
lain.

Biasanya tukang-tukang sihir dalam melakukan sihirnya membuat buhul-buhul dari tali lalu
membacakan jampi-jampi dengan menghembus-hembuskan nafasnya ke buhul tersebut. Ayat ini
menunjukkan, bahwa sihir memiliki hakikat yang perlu diwaspadai bahayanya. Untuk
mengatasinya adalah dengan meminta perlindungan kepada Allah dari sihir itu dan dari orang-
orangnya.

Dalam ayat ini disebut dengan ’An Nafatsaat’ yaitu tukang sihir wanita. Karena umumnya yang
menjadi tukang sihir adalah wanita. Namun ayat ini juga dapat mencakup tukang sihir laki-laki
dan wanita.

Tadabbur Ayat 5:

‫َو ِم ْن َشرِّ َحا ِس ٍد إِ َذا َح َس َد‬

“dan dari kejahatan yang dengki apabila dia dengki.”

Hasad (dengki) adalah berangan-angan hilangnya nikmat yang ada pada orang lain baik agar
pindah kepada diri kita ataupun tidak.

Berkata ahli hikmah: “Orang yang dengki memusuhi Allah pada lima perkara: (1) Bencinya
kepada Allah mengapa memberikan nikmat kepada orang lain, (2) Sakit hatinya melihat
pembahagian yang dibahagikan Tuhan, – “Seakan-akan dia berkata: “Mengapa dibagi
begitu?” (3) Dia menantang Allah, karena Allah memberi kepada siapa yang Dia kehendaki, (4)
Dia ingin sekali supaya nikmat yang telah diberikan Allah kepada seseorang, agar dicabut
kembali, (5) Dia bersekongkol dengan musuh Tuhan dan musuhnya sendiri, yaitu Iblis.”

Akhirnya, marilah kita jadikan QS. Al-Falaq yang merupakan bagian dari al-Mu’awwidatain ini
menjadi do’a rutin kita.
SURAH ALIKHLAS

Selayang Pandang

Surat Al-Ikhlash adalah surat ke 112 dalam Al-Qur’an, terdiri dari 4 ayat, termasuk ke dalam
golongan surat Makiyyah, dan diturunkan setelah surat An-Naas. Membaca surat ini bersama al-
muawwidzatain setiap pagi dan petang sebanyak tiga kali adalah masyru’ (disyariatkan),
berdasarkan hadits dari Abdullah bin Khubaib, dia berkata:

ُ‫صلِّ َي لَنَا فَأ َ ْد َر ْكنَاه‬


َ ُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم لِي‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬
َ ‫َطلُبُ َرس‬ ْ ‫خَرجْ نَا فِي لَ ْيلَ ِة َمطَ ٍر َوظُ ْل َم ٍة َش ِدي َد ٍة ن‬ َ
‫ُول‬
َ ‫ت يَا َرس‬ ُ ‫ال قُلْ فَلَ ْم أَقُلْ َش ْيئًا ثُ َّم قَا َل قُلْ فَلَ ْم أَقُلْ َش ْيئًا ثُ َّم قَا َل قُلْ فَقُ ْل‬
َ َ‫صلَّ ْيتُ ْم فَلَ ْم أَقُلْ َش ْيئًا فَق‬
َ َ‫ال أ‬
َ َ‫فَق‬
َ ‫ت تَ ْكفِي‬
‫ك ِم ْن‬ َ ‫ال قُلْ قُلْ هُ َو هَّللا ُ أَ َح ٌد َو ْال ُم َع ِّو َذتَ ْي ِن ِحينَ تُ ْم ِسي َو ِحينَ تُصْ بِ ُح ثَاَل‬
ٍ ‫ث َمرَّا‬ َ َ‫هَّللا ِ َما أَقُو ُل ق‬
‫ُكلِّ َش ْي ٍء‬

“Kami keluar pada malam hari yang hujan dan sangat gelap agar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam shalat bersama kami, dan kami bertemu dengannya. Beliau bertanya:
‘Sudahkah kamu shalat?’ Aku tidak menjawab apa-apa. Beliau bersabda lagi: ‘Katakanlah!’
Aku juga tidak mengatakan apa-apa. Lalu beliau bersabda lagi: ‘Katakanlah!’ Aku juga tidak
mengatakan apa-apa. Lalu beliau bersabda lagi: ‘Katakanlah!’ maka aku berkata: ‘Ya
Rasulullah apa yang aku katakan?’ Beliau bersabda: katakanlah ‘Qul Huwallahu Ahad dan Al
Mu’awwidzatain (Al Falaq dan An Nas) pada sore hari dan pagi hari tiga kali, maka hal itu
telah mencukupimu dari segala sesuatu.’”  (Diriwayatkan oleh  Abu Daud No. 5082. Syaikh Al
Albani mengatakan: hasan, dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Daud,  No. 5082)
Surat Al-Ikhlash dinamakan juga Surat Al-Asas, Qul Huwallahu Ahad, At-Tauhid, Al-Iman, dan
masih banyak nama lainnya; karena mengandung pengajaran tentang tauhid.

Ada dua sebab kenapa surat ini dinamakan Al Ikhlash.Yang pertama, dinamakan Al Ikhlash
karena surat ini berbicara tentang ikhlash. Yang kedua, dinamakan Al Ikhlash karena surat ini
murni membicarakan tentang Allah. Penjelasannya sebagai berikut.

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin mengatakan bahwa Surat Al Ikhlas ini berasal dari
’mengikhlaskan sesuatu’ yaitu membersihkannya/memurnikannya. Dinamakan demikian karena
di dalam surat ini berisi pembahasan mengenai ikhlas kepada Allah ’Azza wa Jalla. Oleh karena
itu, barangsiapa mengimaninya, dia termasuk orang yang ikhlas kepada Allah.
Ada pula yang mengatakan bahwa surat ini dinamakan Al Ikhlash (di mana ikhlash berarti
murni) karena surat ini murni membicarakan tentang Allah. Allah hanya mengkhususkan
membicarakan diri-Nya, tidak membicarakan tentang hukum ataupun yang lainnya. Dua tafsiran
ini sama-sama benar, tidak bertolak belakang satu dan lainnya.

Keutamaan Surat Al-Ikhlash

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut surat ini sebagai satu surat yang sebanding
dengan sepertiga Al-Qur’an.

ِ ْ‫ث ْالقُر‬
‫آن‬ َ ُ‫ْج ُز أَ َح ُد ُك ْم أَ ْن يَ ْق َرأَ فِي لَ ْيلَ ٍة ثُل‬
ِ ‫ال أَيَع‬ َ ‫ع َْن أَبِي ال َّدرْ دَا ِء ع َْن النَّبِ ِّي‬
َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
‫آن‬ِ ْ‫ث ْالقُر‬ َ ُ‫ال قُلْ هُ َو هَّللا ُ أَ َح ٌد تَ ْع ِد ُل ثُل‬ ِ ْ‫ث ْالقُر‬
َ َ‫آن ق‬ َ ُ‫قَالُوا َو َك ْيفَ يَ ْق َر ْأ ثُل‬

Dari Abud Darda’ dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, “Apakah
seseorang dari kamu tidak mampu membaca sepertiga al-Qur’ân di dalam satu malam?” Para
sahabat bertanya, “Bagaimana seseorang (mampu) membaca sepertiga al-Qur’ân (di dalam
satu malam)?” Beliau bersabda: “Qul Huwallaahu Ahad sebanding dengan sepertiga al-
Qur’ân.”  (HR. Muslim, no. 811)

Maknanya adalah bahwa kandungan al-Qur’an ada tiga bagian: (1) hukum-hukum, (2) janji dan
ancaman, (3) nama-nama dan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla . Dan surat ini semuanya berisi
tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla.
Disebut “sebanding dengan sepertiga al-Qur’an” juga maknanya adalah dalam hal ganjaran
pahala, dan bukan berarti membacanya tiga kali cukup sebagai pengganti mambaca al-Qur’an.

Di dalam hadits lain disebutkan bahwa orang yang mencintainya akan dicintai oleh Allah Azza
wa Jalla.

َ ‫ث َر ُجاًل َعلَى َس ِريَّ ٍة َو َكانَ يَ ْق َرأُ أِل َصْ َحابِ ِه فِي‬


‫صاَل تِ ِه ْم‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بَ َع‬ َّ ِ‫ع َْن عَائِ َشةَ أَ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَا َل َسلُوهُ أِل َيِّ َش ْي ٍء‬
َ ‫فَيَ ْختِ ُم بِقُلْ هُ َو هَّللا ُ أَ َح ٌد فَلَ َّما َر َجعُوا َذ َكرُوا َذلِكَ لِلنَّبِ ِّي‬
َ ‫صفَةُ الرَّحْ َم ِن َوأَنَا أُ ِحبُّ أَ ْن أَ ْق َرأَ بِهَا فَقَا َل النَّبِ ُّي‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ‫ال أِل َنَّهَا‬
َ َ‫يَصْ نَ ُع َذلِكَ فَ َسأَلُوهُ فَق‬
ُ‫أَ ْخبِرُوهُ أَ َّن هَّللا َ يُ ِحبُّه‬

Dari ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seorang laki-laki memimpin
sekelompok pasukan, (ketika mengimami shalat) dia biasa membaca di dalam shalat jama’ah
mereka, lalu menutup dengan ”Qul huwallaahu ahad”. Ketika mereka telah kembali, mereka
menyebutkan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka beliau berkata: 
“Tanyalah dia, kenapa dia melakukannya!” Lalu mereka bertanya kepadanya, dia menjawab:
“Karena surat ini merupakan sifat Ar-Rahmaan (Allah Yang Maha Pemurah), dan aku suka
membacanya”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Beritahukan kepadanya
bahwa Allah mencintainya”. (HR. Al-Bukhâri, no. 7375; Muslim, no. 813)

Asbabun Nuzul

Sebab turun surat al-Ikhlas ini adalah munculnya pertanyaan orang-orang kafir tentang nasab
Allah Azza wa Jalla, sebagaimana disebutkan di dalam hadits :

ْ‫ك فَأ َ ْنزَ َل هَّللا ُ قُل‬ َ ِ ‫ب أَ َّن ْال ُم ْش ِر ِكينَ قَالُوا لِ َرسُو ِل هَّللا‬
َ َّ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ا ْنسُبْ لَنَا َرب‬ ٍ ‫ع َْن أُبَ ِّي ب ِْن َك ْع‬
َّ ‫هُ َو هَّللا ُ أَ َح ٌد هَّللا ُ ال‬
‫ص َم ُد‬

Dari Ubayy bin Ka’ab radhiyallahu anhu bahwa orang-orang musyrik berkata kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Sebutkan nasab Rabbmu kepada kami!”, maka Allâh
menurunkan: (Katakanlah: “Dia-lah Allâh, yang Maha Esa). (HR. Tirmidzi, no: 3364; Ahmad,
no: 20714; Ibnu Abi ‘Ashim di dalam as-Sunnah 1/297. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani).

Tadabbur Ayat 1:

‫قُلْ هُ َو هَّللا ُ أَ َح ٌد‬

Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa”.

Kata ( ْ‫– )قُل‬artinya katakanlah-. Perintah ini ditujukan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
dan juga umatnya.

Al-Qurtubhi mengatakan bahwa (‫ )قُلْ هُ َو هَّللا ُ أَ َح ٌد‬maknanya adalah :

َ ‫ َواَل َولَد َواَل َش ِر ْي‬،َ‫احبَة‬


‫ك‬ َ ‫ص‬َ ‫ َواَل نَ ِظ ْي َر َواَل‬،ُ‫ الَّ ِذي اَل َشبِ ْيهَ لَه‬،ُ‫الو ْتر‬
ِ ‫الوا ِح ُد‬
َ

Al Wahid Al Witr (Maha Esa), tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak ada yang sebanding
dengan-Nya, tidak memiliki istri ataupun anak, dan tidak ada sekutu baginya.

Asal kata dari (‫ )أَ َح ٌد‬adalah (‫)وحْ ٌد‬,


َ sebelumnya diawali dengan huruf ‘waw’ kemudian diganti
‘hamzah’.

Syaikh Al Utsaimin mengatakan bahwa kalimat ( ‫– )هَّللا ُ أَ َح ٌد‬artinya Allah Maha Esa-, maknanya
bahwa Allah itu Esa dalam keagungan dan kebesarannya, tidak ada yang serupa dengan-Nya,
tidak ada sekutu bagi-Nya.

Para Ulama penyusun Tafsir al-Muyassar berkata, “Katakanlah wahai Rasul, ‘Dia-lah Allah
Yang Esa dengan ulûhiyah (hak diibadahi), rubûbiyah (mengatur seluruh makhluk), asma’ was
shifat (nama-nama dan sifat-sifat-Nya), tidak ada satupun yang menyekutui-Nya dalam perkara-
perkara itu”.

Buya Hamka mengatakan bahwa inilah pokok pangkal akidah, puncak dari kepercayaan.
Mengakui bahwa yang dipertuhan itu ALLAH nama-Nya. Dan itu adalah nama dari Satu saja.
Tidak ada Tuhan selain Dia. Dia Maha Esa, mutlak Esa, tunggal, tidak bersekutu yang lain
dengan Dia.

Tadabbur Ayat Kedua

َّ ‫اهَّلل ُ ال‬
‫ص َم ُد‬
Allah adalah ash-Shamad.

Ash-Shamad adalah satu nama di antara Asmaul Husna yang dimiliki Allah Azza wa Jalla. Di
dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa para ulama memiliki beragam pemahaman berkenaan
dengan makna as-Shamad, sebagai berikut:

 (Rabb) yang segala sesuatu menghadap kepada-Nya dalam memenuhi semua kebutuhan dan
permintaan mereka. Ini pendapat Ibnu Abbas radhiyallahu anhu dari riwayat ‘Ikrimah.
 As-Sayyid (Penguasa) yang kekuasaan-Nya sempurna; as-Syarîf (Maha Mulia) yang kemuliaan-
Nya sempurna; al-‘Azhîm (Maha Agung) yang keagungan-Nya sempurna; al-Halîm (Maha Sabar)
yang kesabaran-Nya sempurna; al-‘Alîm (Mengetahui) yang ilmu-Nya sempurna; al-Hakîm (Yang
Bijaksana) yang kebijaksanaan-Nya sempurna. Dia adalah Yang Maha Sempurna dalam seluruh
sifat kemuliaan dan kekuasaan, dan Dia adalah Allah Yang Maha Suci. Sifat-Nya ini tidak layak
kecuali bagiNya, tidak ada bagi-Nya tandingan dan tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya.
Maha Suci Allâh Yang Maha Esa dan Maha Perkasa. Ini pendapat Ibnu Abbas radhiyallahu anhu
dari riwayat ‘Ali bin Abi Thalhah radhiyallahu anhu.
 Yang Maha Kekal setelah semua makhluk-Nya binasa. Ini pendapat al-Hasan dan Qatadah.
 Al-Hayyu al-Qayyûm (Yang Maha Hidup, Maha berdiri sendiri dan mengurusi yang lain), yang
tidak akan binasa. Ini pendapat al-Hasan.
 Tidak ada sesuatupun yang keluar dari-Nya dan Dia tidak makan. Ini pendapat ‘Ikrimah.
 Ash-Shamad adalah yang tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Ini pendapat ar-Rabi’ bin
Anas.
 Yang tidak berongga. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Sa’id bin Musayyib,
Mujahid, Abdullah bin Buraidah, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, ‘Atha bin Abi Rabbah, ‘Athiyah
al-‘Aufi, adh-Dhahhak, dan as-Suddi.
 Yang tidak memakan makanan dan tidak minum minuman. Ini pendapat asy-Sya’bi.
 Cahaya yang bersinar. Ini pendapat Abdullah bin Buraidah.
Imam Thabarani rahimahullah berkata, “Semua makna ini benar, dan ini semua merupakan sifat
Penguasa kita ‘Azza wa Jalla. Dia adalah tempat menghadap di dalam memenuhi semua
kebutuhan, Dia adalah yang kekuasaan-Nya sempurna, Dia adalah ash-Shamad, yang tidak
berongga, dia tidak makan dan tidak minum,  Dia adalah Yang Maha Kekal setelah
makhlukNya (binasa)“.

Dan imam al-Baihaqi juga berkata seperti ini.

Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan Allahu as-Shamad, artinya, bahwa segala
sesuatu ini adalah Dia yang menciptakan, sebab itu maka segala sesuatu itu kepada-Nyalah
bergantung. Ada atas kehendak-Nya.

Kata Abu Hurairah: “Arti Ash-Shamadu ialah segala sesuatu memerlukan dan berkehendak
kepada Allah, berlindung kepada-Nya, sedang Dia tidaklah berlindung kepada sesuatu jua pun.”

Husain bin Fadhal mengartikan: “Dia berbuat apa yang Dia mau dan menetapkan apa yang Dia
kehendaki.”

Muqatil mengartikan: “Yang Maha Sempurna, yang tidak ada cacat-Nya.”

Tadabbur Ayat 3:

‫لَ ْم يَلِ ْد َولَ ْم يُولَ ْد‬

Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,

Makna Kalimat (‫ )لَ ْم يَلِ»» ْد‬sebagaimana dikatakan Maqatil adalah: ”Tidak beranak kemudian
mendapat warisan.” Sedangkan kalimat (‫ ) َولَ ْم يُولَ ْد‬maksudnya adalah tidak disekutui. Demikian
karena orang-orang musyrik Arab mengatakan bahwa Malaikat adalah anak perempuan Allah.
Kaum Yahudi mengatakan bahwa ’Uzair adalah anak Allah. Sedangkan Nashara mengatakan
bahwa Al Masih (Isa, pen) adalah anak Allah. Dalam ayat ini, Allah meniadakan itu semua.”

Syaikh Musa’id ath-Thayyâr hafizhahullah berkata, “Yaitu: (Allah) ini Yang berhak diibadahi,
Dia tidak dilahirkan sehingga akan binasa. Dia juga bukan suatu yang baru yang didahului oleh
tidak ada lalu menjadi ada. Bahkan Dia adalah al-Awwal yang tidak ada sesuatupun sebelum-
Nya, dan al-Âkhir yang tidak ada sesuatupun setelah-Nya.”

Tegasnya, di ayat yang ketiga ini Allah Ta’ala membantah anggapan orang-orang musyrikin,
kaum Yahudi dan Nasrani yang mengatakan bahwa Allah Ta’ala memiliki anak.

Di dalam Al-Qur’an banyak sekali firman-Nya yang juga membantah aqidah batil ini.

َ ُ‫ۖ أَنَّ ٰى يَ ُكونُ لَهُ َولَ ٌد َولَ ْم تَ ُك ْن لَه‬ ‫ض‬


َ َ‫ۖ َو َخل‬ ٌ‫صا ِحبَة‬
‫ۖ َوهُ َو بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِي ٌم‬ ‫ق ُك َّل َش ْي ٍء‬ ِ ْ‫ت َواأْل َر‬
ِ ‫بَ ِدي ُع ال َّس َما َوا‬

“Dia Pencipta langit dan bumi. bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai
isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-An’am, 6:
101).

Di dalam firman-Nya yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

‫ق اأْل َرْ ضُ َوت َِخرُّ ْال ِجبَا ُل هَ ًّدا ﴿﴾ أَ ْن َدعَوْ ا‬


ُّ ‫ات يَتَفَطَّرْ نَ ِم ْنهُ َوتَ ْن َش‬
ُ ‫َوقَالُوا اتَّ َخ َذ الرَّحْ ٰ َمنُ َولَدًا ﴿﴾ لَقَ ْد ِج ْئتُ ْم َش ْيئًا إِ ًّدا ﴿﴾ تَ َكا ُد ال َّس َما َو‬
‫لِلرَّحْ ٰ َم ِن َولَدًا‬

Dan mereka berkata, “Rabb yang Maha Pemurah mempunyai anak”.  Sesungguhnya kamu
telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena
ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menda’wakan bahwa
Allâh yang Maha Pemurah mempunyai anak.  (QS. Maryam, 19: 88-91).

Di dalam salah satu hadits Qudsi disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ‫َّاي أَ ْن يَقُو َل إِنِّي لَ ْن أُ ِعي َدهُ َك َما بَد َْأتُهُ َوأَ َّما َش ْت ُمهُ إِي‬
‫َّاي‬ َ ‫ك أَ َّما تَ ْك ِذيبُهُ إِي‬ َ ِ‫ك َو َشتَ َمنِي َولَ ْم يَ ُك ْن لَهُ َذل‬ َ ِ‫قَا َل هَّللا ُ َك َّذبَنِي ابْنُ آ َد َم َولَ ْم يَ ُك ْن لَهُ َذل‬
‫ص َم ُد الَّ ِذي لَ ْم أَلِ ْد َولَ ْم أُولَ ْد َولَ ْم يَ ُك ْن لِي ُكفُؤًا أَ َح ٌد‬
َّ ‫ول اتَّ َخ َذ هَّللا ُ َولَدًا َوأَنَا ال‬
َ ُ‫أَ ْن يَق‬

Allâh berkata: “Anak Adam mendustakanKu, padahal dia tidak pantas melakukannya. Dia juga
mencelaKu, padahal dia tidak pantas melakukannya. Adapun pendustaannya kepadaKu adalah
perkataannya bahwa Aku tidak akan menghidupkannya kembali sebagaimana Aku telah
memulai penciptaannya. Sedangkan celaannya kepadaKu adalah perkataannya bahwa Aku
memiliki anak, padahal Aku adalah Ash-Shamad, Aku tiada beranak dan tidak pula
diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara denganKu.” (HR. Bukhari, no. 4975)

Meskipun demikian besar kemurkaan Allah Ta’ala kepada manusia-manusia beraqidah


menyimpang tersebut; Dia tetap melimpahkan kesehatan dan rizki kepada mereka. Hal ini
sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫ْس َش ْي ٌء أَصْ بَ َر َعلَى أَ ًذى َس ِم َعهُ ِم ْن هَّللا ِ إِنَّهُ ْم لَيَ ْد ُعونَ لَهُ َولَدًا َوإِنَّهُ لَيُ َعافِي ِه ْم َويَرْ ُزقُهُ ْم‬
َ ‫ْس أَ َح ٌد أَوْ لَي‬
َ ‫لَي‬

“Tidak ada seorangpun yang lebih sabar daripada Allah terhadap gangguan yang dia
dengarkan. Sebagian manusia menganggap Allâh memiliki anak, namun Dia tetap memberikan
keselamatan/kesehatan dan memberi rizqi kepada mereka.” (HR. Al-Bukhâri, no. 6099; Muslim,
no. 2804).

Tadabbur Ayat Keempat:

‫َولَ ْم يَ ُك ْن لَهُ ُكفُ ًوا أَ َح ٌد‬

Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”

Maksudnya adalah tidak ada seorang pun sama dalam setiap sifat-sifat Allah. Jadi Allah
meniadakan dari diri-Nya memiliki anak atau dilahirkan sehingga memiliki orang tua. Juga Allah
meniadakan adanya yang semisal dengan-Nya.

Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya dalam ayat keempat ini, yakni:
tiada beristri; hal ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:

َ َ‫صاحبَةٌ َوخَ ل‬
‫ق ُك َّل َش ْي ٍء‬ ِ ُ‫ض أَنَّى يَ ُكونُ لَهُ َولَ ٌد َولَ ْم تَ ُك ْن لَه‬
ِ ْ‫ت َواأْل َر‬
ِ ‫بَ ِدي ُع السَّماوا‬

“Dia pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai
istri, Dia menciptakan segala sesuatu.” (QS. Al-An’am: 101)

Dialah Yang memiliki segala sesuatu dan Yang Menciptakannya, maka mana mungkin Dia
mempunyai tandingan dari kalangan makhluk-Nya yang menyamai-Nya atau mendekati-Nya,
Mahatinggi lagi Mahasuci Allah dari semuanya itu.
Sedangkan Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan makna ayat: ”dan tidak ada
seorangpun yang setara dengan Dia” yaitu tidak ada yang serupa (setara) dengan Allah dalam
nama, sifat, dan perbuatan.

Demikianlah tadabbur surat Al-Ikhlash. Semoga Allah Ta’ala mengokohkan ma’rifat kita
kepada-Nya.

Wallahu A’lam.
SURRAH ALLAHAB

Surat Al-Lahab adalah firman Allah Ta’ala yang berisi celaan kepada salah seorang paman Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selalu mengobarkan permusuhan kepada pribadi dan dakwah
yang diserukan oleh beliau. Ia bernama Abdul ‘Uzza bin Abdil Muthalib atau Abu ‘Utaibah;
tetapi lebih dikenal dengan nama Abu Lahab karena wajahnya yang memerah (makna lahab
adalah api yang bergejolak). Dalam tafsir Al-Azhar Buya Hamka mengungkapkan bahwa disebut
dengan gelar itu karena Abu Lahab mukanya itu bagus, terang bersinar dan tampan. Sedangkan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyebutnya dengan ungkapan: “Gelar ini pantas
untuknya karena ia akan dimasukkan ke dalam naar yang menyala-nyala yang mengeluarkan
lidah api yang dahsyat.”

Surat ini dinamakan pula Al-Masad (tali terbuat dari sabut). Hal ini berkaitan dengan isteri dari
Abu Lahab yang bernama Arwa yang juga bersekongkol dan bahu membahu dengan suaminya
dalam memusuhi Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia bergelar Ummu Jamil: Ibu dari
kecantikan! Dia adalah saudara perempuan dari Abu Sufyan. Sebab itu dia
adalah ‘ammah (saudara perempuan ayah) dari Mu’awiyah dan Ummul Mu’minin Ummu
Habibah.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyebutkan bahwa dalam mensikapi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, para paman beliau terbagi menjadi tiga kelompok:

1. Kelompok yang beriman, berjihad bersama beliau dan tunduk kepada Allah Rabb sekalian alam.
2. Kelompok yang mendukung dan menolong beliau, namun tetap kafir.
3. Kelompok yang ingkar dan berpaling. Mereka ini kafir terhadap agama beliau.

Adapun kelompok pertama, seperti Al-Abbas bin Abdul Muthalib dan Hamzah bin Abdul
Muthalib. Sedangkan yang mendukung serta menolong tetapi masih tetap dalam kekafiran,
seperti Abu Thalib. Kelompok ketiga yaitu yang ingkar dan berpaling, seperti Abu Lahab.[2]

Asbabun Nuzul

Sebab turunnya ayat ini diterangkan dalam riwayat berikut.

‫ص ِع َد إِلَى ْال َجبَ ِل فَنَادَى يَا‬ َ َ‫ط َحا ِء ف‬ْ َ‫خَر َج إِلَى ْالب‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ‫ي‬ َّ ِ‫س أَ َّن النَّب‬ٍ ‫ع َْن اب ِْن َعبَّا‬
‫صبِّ ُح ُك ْم أَوْ ُم َمسِّي ُك ْم أَ ُك ْنتُ ْم‬
َ ‫ال أَ َرأَ ْيتُ ْم إِ ْن َح َّد ْثتُ ُك ْم أَ َّن ْال َع ُد َّو ُم‬
َ َ‫ت إِلَ ْي ِه قُ َريْشٌ فَق‬
ْ ‫احا ْه فَاجْ تَ َم َع‬
َ َ‫صب‬
َ
َ َ‫ب أَلِهَ َذا َج َم ْعتَنَا تَبًّا ل‬
‫ك‬ ٍ َ‫ب َش ِدي ٍد فَقَا َل أَبُو لَه‬
ٍ ‫ال فَإِنِّي نَ ِذي ٌر لَ ُك ْم بَ ْينَ يَ َديْ َع َذا‬ َ َ‫ص ِّدقُونِي قَالُوا نَ َع ْم ق‬
َ ُ‫ت‬
‫ب إِلَى آ ِخ ِرهَا‬ ٍ َ‫َّت يَدَا أَبِي لَه‬
ْ ‫فَأ َ ْن َز َل هَّللا ُ َع َّز َو َج َّل تَب‬

“Dari Ibnu Abbas bahwa suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju Bathha`,
kemudian beliau naik ke bukit seraya berseru, ‘Wahai sekalian manusia.’ Maka orang-orang
Quraisy pun berkumpul. Kemudian beliau bertanya, ‘Bagaimana, sekiranya aku mengabarkan
kepada kalian, bahwa musuh (di balik bukit ini) akan segera menyergap kalian, apakah kalian
akan membenarkanku?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda lagi, ‘Sesungguhnya aku
adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian. Sesungguhnya di hadapanku akan ada adzab
yang pedih.’ Akhirnya Abu Lahab pun berkata, ‘Apakah hanya karena itu kamu mengumpulkan
kami? Sungguh kecelakanlah bagimu.’ Maka Allah menurunkan firman-Nya: ‘TABBAT YADAA
ABII LAHAB.’ Hingga akhir ayat.” (HR. Bukhari no. 4972 dan Muslim no. 208)

Tadabbur Ayat 1:

ٍ َ‫َّت يَدَا أَبِي لَه‬


َّ‫ب َوتَب‬ ْ ‫تَب‬

“Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan binasalah ia.”

Ayat ini adalah bantahan kepada Abu Lahab ketika ia berkata:


َ‫أَلِهَ َذا َج َم ْعتَنَا تَبًّا لَك‬

“Apakah hanya karena itu kamu mengumpulkan kami? Celaka engkau!”

Perkataan Abu Lahab ini menurut Syaikh Al-Utsaimin adalah untuk meremehkan. Artinya, ini
adalah perkara sepele, sehingga tidak perlu mengumpulkan para pemimpin Quraisy. Yang
demikian ini sama seperti perkataan musyrikin yang diungkapkan dalam firman Allah Ta’ala,

‫أَهَ َذا الَّ ِذي يَ ْذ ُك ُر آلِهَتَ ُك ْم‬

“Apakah ini orang yang mencela ilah-ilah kalian?” (Al-Anbiyaa: 36)

Melalui ayat pertama ini Allah Ta’ala membantah dan mencela Abu Lahab dengan celaan yang
sangat keras yang akan berbuah kehinaan baginya hingga hari kiamat tiba:

ٍ َ‫َّت يَدَا أَبِي لَه‬


َّ‫ب َوتَب‬ ْ ‫تَب‬

“Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan binasalah ia.”

At-Tabaab artinya Al-Khasaar yaitu kerugian. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,

ٍ ‫َو َما َك ْي ُد فِرْ عَوْ نَ إِاَّل فِي تَبَا‬


‫ب‬

“Dan tipu daya Fir’aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian” (Al-Mu’min : 37)

Allah Ta’ala memulai dengan menyebutkan tangan sebelum yang lainnya, karena kedua
tanganlah yang sering bekerja dan bergerak, mengambil dan memberi, dan lain-lain.

Dalam Tafsir Al-Azhar disebutkan bahwa penyebutan kedua tangan artinya usahanya akan gagal.
Bukan saja usaha kedua belah tangannya yang akan gagal, bahkan dirinya sendiri, rohani dan
jasmaninya pun akan binasa. Apa yang direncanakan Abu Lahab di dalam menghalangi dakwah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah ada yang akan berhasil.
Ibnu Katsir menyebutkan bahwa ayat ini menunjukkan do’a kejelekan. Abu Lahab merugi, putus
harapan, amalan dan usahanya sia-sia. Sedangkan makna ( َّ‫) َوتَب‬, maksudnya adalah kerugian dan
kebinasaan atasnya akan terlaksana.

Salah satu riwayat yang menyebutkan kegigihan Abu Lahab dalam menghalangi dakwah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, diungkapkan oleh Rabiah Bin Abbad Ad-Daili radliyallahu ‘anhu,

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوهُ َو يَقُو ُل يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِ َّن هَ َذا قَ ْد‬
َ ِ ‫اظ َوهُ َو يَ ْتبَ ُع َرسُو َل هَّللا‬ ٍ ‫ب بِ ُع َك‬ ٍ َ‫ْت أَبَا لَه‬ُ ‫َرأَي‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَفِرُّ ِم ْنهُ َوهُ َو َعلَى أَثَ ِر ِه َونَحْ ُن‬َ ِ ‫غ ََوى فَاَل يُ ْغ ِويَنَّ ُك ْم ع َْن آلِهَ ِة آبَائِ ُك ْم َو َرسُو ُل هَّللا‬
‫اس َوأَجْ َملَهُ ْم‬ َ َ‫ان َكأَنِّي أَ ْنظُ ُر إِلَ ْي ِه أَحْ َو َل َذا َغ ِدي َرتَي ِْن أَ ْبي‬
ِ َّ‫ض الن‬ ُ ‫نَ ْتبَ ُعهُ َونَحْ ُن ِغ ْل َم‬

“Aku melihat Abu Lahab di pasar ‘Ukazh mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
(yang sedang berdakwah, red.) dengan berseru, ‘Wahai manusia, orang ini telah sesat.
Janganlah kalian tersesat olehnya sehingga meninggalkan tuhan-tuhan bapak kalian’.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjauh darinya, namun Abu Lahab tetap
mengikutinya. Kami pada waktu itu masih anak-anak, membuntuti (Abu Lahab) yang aku
melihatnya seakan-akan aku melihat orang yang juling, yang rambutnya di kepang dua, kulitnya
sangat putih dan sangat tampan di antara mereka”. (HR. Ahmad)

Tadabbur Ayat 2:

َ ‫َما أَ ْغنَى َع ْنهُ َمالُهُ َو َما َك َس‬


‫ب‬

“Tidak bisa mencukupinya harta maupun apa yang diusahakan olehnya.”

Dalam Taisir al-Karim ar-Rahman (2/1307), Syaikh As-Sa’di menyebutkan makna ayat ini
artinya: “(Abu Lahab, red.) tidak akan bisa menolak azab Allah dengan harta atau apa yang
diusahakan olehnya.”

Syaikh Al-Utsaimin menyebutkan bahwa kata ‫( َما‬maa) dalam ayat ini berkemungkinan
mempunyai makna istifham (pertanyaan) yang berarti: “Manfaat apa yang ia dapatkan dari
hartanya dan apa yang ia usahakan?” Jawabnya: “Tidak ada sama sekali.” Atau juga bermakna
nafy (penolakan), berarti maknanya: “Tidaklah bermanfaat kepadanya harta bendanya dan apa
yang ia usahakan.”

Kedua makna tersebut menurut beliau saling berkaitan, yaitu bahwa harta dan apa yang ia
usahakan tidak bermanfaat sedikitpun untuknya. Padahal menurut kebiasaan, harta itu
bermanfaat. Harta dapat dijadikan alat penebus jika seseorang ditawan musuh, “Jika engkau
membebaskanku maka aku akan memberimu uang sekian-sekian”. Dengan meminta harta sedikit
atau banyak, musuhnya akan membebaskannya. Selain itu jika seseorang sakit atau lapar, maka
ia dapat memanfaatkan hartanya. Harta sangatlah bermanfaat, namun dikatakan tidak bermanfaat
jika tidak dapat menyelamatkan pemiliknya dari neraka. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,

َ ‫َما أَ ْغنَى َع ْنهُ َمالُهُ َو َما َك َس‬


‫ب‬

Yakni hartanya tidak dapat menyelamatkannya dari siksaan Allah Ta’ala. Kemudian Firman-
Nya,

َ ‫َو َما َك َس‬


‫ب‬

Dikatakan maknanya adalah anaknya. Yakni, tidak bermanfaat baginya harta dan anaknya.
Sebagaimana yang dikatakan Nabi Nuh ‘alaihis salam,

‫َصوْ نِي َواتَّبَعُوا َم ْن لَ ْم يَ ِز ْدهُ َمالُهُ َو َولَ ُدهُ إِاَّل خَ َسارًا‬


َ ‫َربِّ إِنَّهُ ْم ع‬

“  Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan  telah mengikuti orang-orang


yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka…” (Nuh :
21)

َ » ‫ َو َم»»ا َك َس‬ialah anak. Pendapat ini juga didukung dengan sabda Nabi
Maka mereka artikan ‫ب‬
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫ َوإِ َّن أَوْ الَ َد ُك ْم ِم ْن َك ْسبِ ُك ْم‬،‫ب َما أَ َك ْلتُ ْم ِم ْن َك ْسبِ ُك ْم‬ ْ َ‫إِ َّن أ‬.
َ َ‫طي‬

“Sesungguhnya sebaik-baik apa yang kalian makan ialah (berasal) dari usaha kalian, dan
sesungguhnya anak-anak kalian adalah (hasil) dari usaha kalian.” (HR. Tirmidzi, No. 1358)

Pendapat yang benar adalah ayat tersebut lebih umum dari yang demikian. Ayat di atas
mencakup anak. Juga mencakup harta yang sedang ia usahakan untuk ia dapatkan, juga
mencakup apa yang ia usahakan untuk meraih kemuliaan dan kehormatan. Setiap usaha yang
dilakukan untuk menambah kemulian dan kehormatan, tidak bermanfaat untuknya sedikitpun,

َ ‫َما أَ ْغنَى َع ْنهُ َمالُهُ َو َما َك َس‬


‫ب‬

“Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan”

Tadabbur Ayat 3:

ٍ َ‫َسيَصْ لَى نَارًا َذاتَ لَه‬


‫ب‬

“Kelak dia akan masuk ke dalam neraka yang menyala-nyala.”

Artinya kelak dia akan dikepung oleh jilatan api neraka dari segala sisi.[6] Huruf ‫ س‬pada ‫َسيَصْ لَى‬
menurut Syaikh Al-Utsaimin, adalah untuk ‘at-tanfis’ yang menunjukkan ‘al-haqiqah’ (hakiki)
dan al-qurb (waktu dekat). Yakni, Allah Ta’ala mengancam Abu Lahab dalam waktu dekat akan
masuk ke dalam api yang bergejolak. Karena kemewahan dunia, dan bagaimanapun lamanya
tinggal di dunia, tetap saja dikatakan akhirat itu dekat. Sehingga manusia yang ada di alam
barzakh merasa sebentar walaupun tahun demi tahun yang panjang telah berlalu.

Allah Ta’ala berfirman,


ِ َ‫ك إِاَّل ْالقَوْ ُم ْالف‬
َ‫اسقُون‬ ٍ َ‫يَوْ َم يَ َروْ نَ َما يُو َع ُدونَ لَ ْم يَ ْلبَثُوا إِاَّل َسا َعةً ِم ْن نَه‬
ٌ ‫ار بَاَل‬
ُ َ‫غ فَهَلْ يُ ْهل‬

“Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak
tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka
tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.” (Al-Ahqaaf : 35).

Sesaat yang ada di siang hari tentunya waktu yang sangat singkat.

Kehinaan yang ditimpakan kepada Abu Lahab bahkan telah Allah Ta’ala segerakan di dunia ini.
Saat terjadi perang Badar, ia tidak melibatkan diri karena takut mati. Namun, kebenciannya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu dahsyat. Olehnya itu, ia menyewa al-Ash
bin Hisyam bin al-Mugirah untuk membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
4.000 Dirham.

Mendengar kemenangan mujahidin Islam di Badar, Abu Lahab jatuh sakit dan dijangkiti
penyakit bisul atau sejenis cacar yang menyebabkan kematiannya. Di riwayat lain, penyakit
anehnya ini disebabkan oleh bekas pukulan Ummu al-Fadhl yang melukai bagian kepalanya
dengan tiang balok. Dia melampiaskan dendam atas penganiayaan Abu Lahab yang menampar
muka Abu Sufyan bin al-Harits bin Abdul Muttalib setelah kecewa mendengar
darinya berita kemenangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat-sahabatnya.

Mayat Abu Lahab selama 3 hari 3 malam terlantar. Semua orang jijik dari bau busuk yang
menyengat dari jasadnya. Olehnya itu, tidak seorangpun yang berani mengurusnya, apa lagi
menguburkannya, termasuk putra-putranya. Ia pun dibungkus dengan kain dan dibawa pergi ke
sebuah tempat yang agak terisolir dari perkampungan, kemudian dilempar dengan batu hingga
tubuhnya terkubur dan tidak kelihatan oleh tumpukan batu tersebut.

Tadabbur Ayat 4:

‫ب‬ َ ‫َوا ْم َرأَتُهُ َح َّمالَةَ ْال َح‬


ِ ‫ط‬

“Demikian juga istrinya sang pembawa kayu bakar.”


Ummu Jamil, yakni Arwa binti Harb bin Umayyah, istri Abu Lahab, seperti telah disebutkan
sebelumnya, biasa membantu suaminya dalam kekufuran, penentangan dan pembangkangan
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, pada hari kiamat, ia pun akan
mengalami nasib yang sama dengan Abu Lahab, disiksa di neraka Jahannam.

ِ َ‫َح َّمالَةَ ْال َحط‬


Ada beberapa tafsiran ulama berkenaan dengan kalimat: ‫ب‬

Pertama, pembawa kayu bakar maksudnya adalah Ummu Jamil sering menyebar namimah.

Mujahid menafsirkan bahwa ungkapan ‘sang pembawa kayu bakar’ merupakan kiasan yang
bermakna orang yang suka mengadu-domba. Dahulu, Ummu Jamil suka menebar fitnah demi
mengadu-domba antara nabi dan para sahabatnya dengan kaum musyrikin. Karena perbuatannya
itulah yang menyebabkan dia dijuluki sebagai sang pembawa kayu bakar.

Kedua,  sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud Ummu Jamil pembawa kayu
bakar adalah karena kerjaannya sering meletakkan duri di jalan yang biasa dilewati
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pendapat yang dipilih Ibnu Jarir Ath Thobari.

ِ َ‫)ح َّمالَةَ ْال َحط‬


Ketiga, sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud ( ‫ب‬ َ adalah Ummu
Jamil biasa mengenakan kalung dengan penuh kesombongan. Lantas ia katakan, “Aku aku
menginfakkan kalung ini dan hasilnya digunakan untuk memusuhi Muhammad.” Akibatnya,
Allah Ta’ala memasangkan tali di lehernya dengan sabut dari api neraka.

Tadabbur Ayat 5:

‫فِي ِجي ِدهَا َح ْب ٌل ِم ْن َم َس ٍد‬

“Yang di lehernya ada tali (kalung) dari sabut.”

Al-jid ialah al-‘unuq artinya leher. Hablun ialah tali, al-masad adalah sabut. Ummu Jamil pergi
ke gurun dengan membawa tali untuk mengikat kayu-kayu berduri yang akan ia letakkan di jalan
yang dilalui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, na’udzubillah min dzalik. Hal ini
mengisyaratkan rendahnya cara berfikir, karena ia menghinakan dirinya sendiri. Seorang wanita
dari kabilah yang terkemuka dari kalangan suku Quraisy pergi ke gurun dengan melilitkan tali
sabut di lehernya. Tetapi demi untuk menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ia rela
melakukannya.

Sedangkan Ibnu Katsir menjelaskan maksud ayat ini adalah di leher Ummu Jamil kelak ada tali
sabut dari api neraka. Sebagian ulama memaknakan masad dengan sabut. Ada pula yang
mengatakan masad adalah rantai yang panjangnya 70 hasta. Ats-Tsauri mengatakan
bahwa masad adalah kalung dari api yang panjangnya 70 hasta.

Ibrah dari Surat Al-Lahab

Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya bahwa Tuhan menurunkan Surat tentang Abu Lahab dan
isterinya ini akan menjadi pengajaran dan i’tibar bagi manusia yang mencoba berusaha hendak
menghalangi dan menantang apa yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya, karena
memperturutkan hawa nafsu, mempertahankan kepercayaan yang salah, tradisi yang lapuk dan
adat-istiadat yang karut-marut. Mereka menjadi lupa diri karena merasa sanggup, karena
kekayaan ada. Disangkanya sebab dia kaya, maksudnya itu akan berhasil. Apatah lagi dia merasa
bahwa gagasannya akan diterima orang, sebab selama ini dia disegani orang, dipuji karena
tampan, karena berpengaruh. Kemudian ternyata bahwa rencananya itu digagalkan Tuhan, dan
harta-bendanya yang telah dipergunakannya berhabis-habis untuk maksudnya yang jahat itu
menjadi punah dengan tidak memberikan hasil apa-apa. Malahan dirinyalah yang celaka.
Demikian Ibnu Katsir.
SURAH ANNASHR

‫بِس ِْم هَّللا ِ الرَّحْ مٰ ِن ال َّر ِح ِيم‬

َ ِّ‫) فَ َسبِّحْ بِ َح ْم ِد َرب‬٢( ‫اس يَ ْد ُخلُونَ فِ ْي ِد ْي ِن هَّللا ِ أَ ْف َواجًا‬


‫ك‬ َ َّ‫) َو َرأَيْتَ الن‬١( ‫إِ َذا َجٓا َء نَصْ ُر هَّللا ِ َو ْالفَ ْت ُح‬
)٣( ‫َوا ْستَ ْغفِرْ هُ ۚ إِنَّه َكانَ تَ َّوابًا‬
Makna dari “Al Quran dan Maknanya, M. Quraish Shihab”

1. Apabila telah datang (dan pasti akan datang pada waktunya) pertolongan Allah dan
kemenangan (memasuki kota Mekkah),
2. Dan engkau (Nabi Muhammad saw.) telah melihat manusia masuk agama Allah dengan
berbondong-bondong
3. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhan Pemeliharamu dan mohonlah ampunan kepada-
Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat

Latar turunnya surat

Makkah, kota kelahiran yang amat dicintai oleh Nabi, harus beliau tinggalkan ketika tekanan
semakin menjadi. Allah perintahkan untuk berhijrah ke Madinah. Membangun peradaban,
menjadi suri tauladan. Ketika risalah itu kemudian hendak mencapai akhir, terlihatlah kejayaan
Islam terus meluas ke banyak penjuru. Kembalinya ke Makkah, merupakan sebuah pertanda,
inilah kemenangan di atas kemenangan. Kejayaan di atas kejayaan.

Peristiwa itu kita kenal sebagai Fathu Makkah, penaklukan (dalam terma positif) atas kota
Makkah. Terjadi pada bulan Ramadhan, tahun ke-8 Hijriah.

Ada dua pendapat mengenai waktu turunnya surat ini.

Pertama, surat ini turun sebelum peristiwa Fathu Makkah. Sebagai isyarat, bahwa pada
kemudian hari, akan terjadi kembalinya Makkah ke dalam pangkuan umat Islam. Hal ini terlihat
dari penggunaan kata idzaa, yang berarti “apabila”. Pendapat ini didukung oleh Ar Razi.

Kedua, surat ini turun setelah peristiwa Fathu Makkah. Tepatnya, pada tahun ke-10 Hijriah.
Surat ini, menurut pendapat Ibnu Abbas, merupakan pertanda risalah kenabian telah menuju titik
akhir. Itu pun menjadi pertanda pula, akan berakhirnya usia hidup Nabi Muhammad. Sebab,
setelah surat ini, turun ayat ke-3 surat Al Maidah, yakni

‫ْت لَ ُك ُم اإْل ِ س ْٰل َم ِدينًا‬ ُ ‫ت لَ ُك ْم ِد ْينَ ُك ْم َوأَ ْت َم ْم‬


ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِى َو َر‬
ُ ‫ضي‬ ُ ‫ْاليَوْ َم أَ ْك َم ْل‬

Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepada
kamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagi kamu.

Al Maidah ayat 3

Kemudian turun ayat-ayat akhir lainnya sampai Rasulullah wafat. Dalam sebuah keterangan
disebut, Nabi Muhammad masih hidup hingga 70 hari setelah turunnya surat ini.

Dikisahkan pada ayat kedua, setelah Makkah berhasil ditaklukkan, penduduk kota Makkah
berbondong-bondong masuk Islam. Hal ini tecermin dalam kata afwaajaa yang merupakan
jamak dari fawj, yang berarti kelompok. Maknanya, ada banyak kelompok suku, kabilah, dan
kelompok lainnya yang masuk Islam secara bersama di saat hari Fathu Makkah sampai
pelaksanaan Haji Wada.

Apa itu An Nashr dan Al Fath?


Ada dua kata kunci yang menarik dari surat ini. Pertama, ialah An Nashr (‫)نصر‬. Menurut Syaikh
Al Utsaimin, An Nashr artinya adalah anugerah dari Allah, berupa gentarnya musuh kepada Nabi
Muhammad Saw. hal ini sesuai dengan hadits beliau,

ُ ْ‫صر‬
ِ ‫ت بِالرُّ ْع‬
‫ب َم ِسي َْرةَ َشه ٍْر‬ ِ ُ‫ن‬

Aku diberi pertolongan dengan rasa gentar pada musuh sekalipun berada pada jarak
perjalanan satu bulan.

Hadits Riwayat Bukhari Muslim

Sementara itu, makna An Nashr menurut Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili adalah bantuan atau
pertolongan untuk memperoleh sesuatu yang diminta.

Dari kedua makna ini, dapat kita lihat bahwa An Nashr itu datang dari Allah sebagai kekuatan
agar yang kita minta, Allah berikan. Dalam konteks ini, ialah permintaan untuk kembali ke
Makkah.

Kedua, kata Al Fath (‫)فتح‬. Menurut arti kamus, kata ini berarti membuka, memulai,
menaklukkan, merekah. Makna dari Syaikh Al Utsaimin, makna Al Fath dalam surat ini adalah
kemenangan.  Hal ini berkait dengan firman Allah di ayat pertama surat Al Fath,

‫إِنَّا فَتَحْ نَا لَكَ فَ ْتحًا ُّمبِينًا‬

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata

Al Fath ayat 1

Kemenangan yang nyata ini, merupakan kemenangan Islam atas musuh-musuhnya dalam arti
luas. Arti khususnya, kemenangan yang Rasulullah dapatkan dalam Fathu Makkah secara damai
dan masuknya orang-orang ke dalam Islam secara serempak.

Sementara itu, Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili menuliskan, bahwa Al Fathini adalah memperoleh
sesuatu yang diminta, yang sebelumnya sempat ditangguhkan. Kaitan dengan An Nashr tadi,
bahwa An Nashr itu adalah sebagai sebab dan Al Fath ini sebagai akibat. Disebabkan
pertolongan dari Allah, kemenangan didapat. Kira-kira, seperti itu maknanya.

Hikmah kehidupan

Peristiwa Fathu Makkah, yang menjadi tema pokok dari surat ini, memiliki banyak hikmah
dalam kehidupan kita.

Pertama, peristiwa Fathu Makkah, menjadi inspirasi bagi peristiwa bersejarah di negeri kita,
yakni penaklukan Sunda Kelapa oleh Pangeran Jayakarta. Indikasinya dapat kita lihat dari
penggunaan nama Jayakarta itu sendiri. Ia menukil ayat pertama surat Al Fath, berupa Fathan
Mubiina, kemenangan yang nyata. Kemudian dibahasakan sebagai Jaya Karta, kejayaan yang
sempurna. Ini pun menandai penaklukan kota ini dari cengkeraman penjajah dan kembali ke
pangkuan masyarakat.

Semangat perjuangan seperti ini, harus terus kita lestarikan. Sebagai umat Rasulullah, plus
sebagai masyarakat Indonesia yang mempelajari sejarah.

Kedua, ketika Allah berikan kemenangan, maka yang harus dilakukan pertama kali bukan
membanggakan diri, berkacak pinggang, dan menepuk dada. Namun melakukan tasbih sekaligus
tahmid, dan beristighfar.

Bertasbih sambil bertahmid, merupakan keharusan kita, yakni menyucikan asma Allah, dari yang
sebelumnya dikotori oleh dugaan-dugaan orang kafir ataupun dari diri kita sendiri. Misal, dugaan
Allah mempunyai anak. Atau dugaan bahwa Allah menelantarkan umat Islam karena tidak
memberi bantuan dengan segera. Kita bertasbih menyebut nama Allah.

Tasbih di sini, menurut para ulama, satu paket dengan bertahmid. Yakni, memuji Allah.

Setelah itu, mohonkan juga ampun dengan beristighfar. Barangkali, dalam perjalanan kita untuk
melewati rintangan itu, terdapat kekhilafan. Atau kita sempat ragu juga dengan pertolongan
Allah. Untuk menghapus kesalahan tersebut, lakukanlah istighfar.
Semua ini dirangkum dalam sebuah bacaan rukuk dan sujud yang Nabi Muhammad Saw. selalu
baca setelah turun surat ini, yakni

ٰ ‫ك‬
‫اللّهُ َّم ا ْغفِرْ لِى‬ َ ‫ُسب َْحانَكَ َربَّنَا َوبِ َح ْم ِد‬

Maha Suci engkau wahai Tuhan kami, dan bagi-Mu segala puji, Ya Allah, ampunilah aku.

Ketiga, dari sini kita diajari untuk senantiasa bertaubat. Jangan sampai kita terlalu sibuk dengan
urusan-urusan lain, sampai lupa untuk melakukan introspeksi diri. Perlu setidaknya sejenak
dalam satu kurun waktu, bisa sehari, sebulan atau bahkan setahun, kita renungi apa yang telah
kita lakukan. Kita gali kembali kesalahan yang telah lalu, kemudian kita taubat kepada Allah.
Jika kesalahan itu menyangkut orang lain, sudah seharusnya kita meminta maaf.

Kemenangan demi kemenangan yang kita dapat, jangan sampai membuat khilaf. Justru, harus
membuat kita menjadi insaf. Bahwasanya waktu yang telah ditentukan akan segera tiba.
Bersiaplah menuju hari pertemuan kita dengan Allah Ta’ala.

Ampunan Allah itu amat luas. Akan Dia berikan kepada siapa saja yang rajin bertasbih,
bertahmid, dan beristighfar. Allah akan berikan taubat kepada mereka, ditambah dengan rahmat,
dan taubat mereka akan dikabulkan oleh Allah. Inilah gambaran yang diberikan dalam Tafsir Al
Muyassar.

Nabi Muhammad sendiri, sebagai Nabi yang mulia saja, tiap hari tidak kurang dari seratus kali
beristighfar. Kita, umat yang banyak dosa ini, setidaknya sama atau sepantasnya lebih dari itu.

Terakhir, penaklukan kota Makkah memiliki banyak arti. Dahulu, orang-orang tidak mau masuk
Islam, menghina Nabi, mencela Islam. Atau mungkin ada yang mau, namun takut karena tekanan
para pembesar Quraisy. Akan tetapi, setelah pertolongan Allah datang, kemudian Makkah masuk
ke dalam pangkuan Islam, semua menjadi berbalik. Orang-orang memasuki Islam secara
serempak. Dari banyak kabilah dan terus menyebar ke berbagai penjuru. Kepala suku yang
memasuki Islam, banyak yang diikuti oleh anggota sukunya.
Mengapa sampai terjadi yang demikian? Sebab Islam datang dengan wajah aslinya. Datang
dengan damai, menjadi rahmat bagi semua.

Penaklukan Makkah jangan dilihat dengan kacamata peperangan. Tidak ada pertumpahan darah
setetes pun, ketika Makkah ditaklukkan. Mereka yang menaklukan pun bukanlah pasukan
perang. Namun pengikut Rasulullah yang hendak melaksanakan ibadah haji. Datang bukan
dengan wajah sangar layaknya penakluk, namun dengan wajah bersahaja layaknya sahabat yang
rindu dengan kawan lama.

Mereka, kaum muslim yang datang dari Madinah menuju Makkah, telah siap secara lahir dan
batin. Selama di Madinah, mereka dididik dalam madrasah Rasulullah. Mereka juga meneladani
kepribadian Nabi yang mereka lihat sendiri. Sikap Nabi Muhammad yang penyayang, mereka
ikuti.

Hal inilah yang perlu kita teladani saat ini. Di tengah masyarakat dunia yang cenderung antipati
terhadap Islam. Mereka membenci bukan karena Islam yang buruk. Akan tetapi, karena
kesalahpahaman antara mereka dengan kita. Perilaku buruk seorang muslim, dapat mencoreng
wajah Islam. Oleh karena itu, menjadi seorang muslim adalah sekaligus sebagai cerminan dari
ajaran Islam.

Kita mesti mendalami terus ajaran Islam sembari meneladani sifat Nabi Muhammad. Insya
Allah, secara perlahan, persepsi buruk orang lain terhadap Islam, atau bahkan mungkin orang
Islam terhadap Islam sendiri, dapat berbalik. Minimal, dalam lingkungan terdekat kita. Jangan
sampai ada yang Islamophobia.

Tentulah semua ini harus diiringi dengan permohonan yang tulus kepada Allah dan sikap rendah
hati kepada sesama. Sebagaimana yang diteladankan dalam Surat ini beserta kisah di baliknya.

Semoga, kita dapat mengambil hikmah tersebut.


SURAH ALKAFIRUN

‫) َوال أَنَا عَابِ ٌد َما‬٣( ‫) َوال أَ ْنتُ ْم عَابِ ُدونَ َما أَ ْعبُ ُد‬٢( َ‫) ال أَ ْعبُ ُد َما تَ ْعبُ ُدون‬١( َ‫قُلْ يَا أَيُّهَا ْال َكافِرُون‬
٦( ‫) لَ ُك ْم ِدينُ ُك ْم َولِ َي ِدي ِن‬٥(   ‫) َوال أَ ْنتُ ْم عَابِ ُدونَ َما أَ ْعبُ ُد‬٤( ‫َعبَ ْدتُ ْم‬

“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan
kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah
apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku
sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al Kaafirun: 1-6)

Surat Al-Kafirun adalah termasuk golongan surat Makkiyah, terdiri dari 6 ayat, dan diturunkan
setelah surat Al-Ma’un. Surat ini adalah jawaban tegas terhadap upaya kompromi kafir Quraisy
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan urusan ibadah.

Diriwayatkan bahwa Al-Walid ibnul Mughirah, Al-‘Ash ibnu Wail As-Sahmy, Al-Aswad ibnu
‘Abdil Muthalib, Umayyah ibnu Khalaf dan yang lainnya, mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan mengatakan, “Hai Muhammad, marilah engkau mengikuti agama kami, dan kami
mengikuti agamamu. Kami juga akan senantiasa mengajakmu dalam segala kegiatan kami.
Kamu menyembah Tuhan kami selama setahun, dan kami menyembah Tuhanmu selama setahun
juga. Jika ternyata yang engkau bawa itu adalah lebih baik, maka kami akan mengikutimu dan
melibatkan diri di dalamnya. Dan jika ternyata yang ada pada kami itu lebih baik, maka engkau
mengikuti kami, dan engkau pun melibatkan diri di dalam agama kami.” Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menyekutukan-Nya dengan
selain-Nya”. Kemudian Allah menurunkan surat ini sebagai balasan atas ajakan mereka.
Selanjutnya, Rasulullah berangkat menuju Masjidil Haram yang ketika itu di tempat tersebut
sedang berkumpul para pembesar Quraisy. Nabi berdiri di hadapan mereka membacakan surat
yang baru saja turun hingga selesai. Akhirnya, mereka tampakberputus asa. Sehingga, mereka
berupaya merubah siasat dengan melakukan penindasan dan penyiksaan terhadap Nabi dan para
pengikutnya, hingga Nabi melakukan hijrah.

Tadabbur Ayat 1 dan 2:

)٢( َ‫) ال أَ ْعبُ ُد َما تَ ْعبُ ُدون‬١( َ‫قُلْ يَا أَيُّهَا ْال َكافِرُون‬

Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.”

Ini adalah seruan kepada seluruh orang kafir di muka bumi ini, tetapi orang-orang yang dituju
oleh khitab (pembicaraan) ini adalah orang-orang Quraisy.

Penyebutan kafir disini adalah untuk mencela, menghinakan, dan menghardik mereka.

Menurut Ibnu Jarir panggilan seperti ini diperintahkan oleh Allah kepada Nabi-Nya agar
disampaikan kepada orang-orang kafir itu, yang sejak semula berkeras menentang Rasul dan
sudah diketahui dalam ilmu Allah Ta’ala bahwa sampai saat terakhir pun mereka tidaklah akan
mau menerima kebenaran.

Allah Ta’ala memerintahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk


mengumumkan dengan lantang kepada orang-orang kafir: “Aku tidak akan menyembah apa
yang kamu sembah.”, yakni berlepas diri dari apa-apa yang mereka ibadahi selain Allah, baik
zhahir maupun batin.

Syaikh Ahmad Musthafa Al-Maraghi menjelaskan ayat ini sebagai berikut: Katakanlah kepada
mereka, “Sesungguhnya apa yang kamu sembah itu bukanlah Tuhan yang aku sembah. Sebab
kalian telah menyembah sesuatu yang membutuhkan perantara dan membutuhkan anak. Bahkan
berbentuk seseorang atau sesuatu dan lainnya yang kalian duga sebagai tuhan. Tetapi aku adalah
penyembah Tuhan yang tidak ada yang menyamai dan tidak ada yang menandingi-Nya; tidak
mempunyai anak atau istri, tidak berjisim, tidak terjangkau oleh akal manusia, tidak bertempat
tinggal, tidak terpengaruh oleh masa, dan tidak diperlukan perantara untuk minta kepada-Nya, di
samping tidak memerlukan wasilah di dalam mendekatkan diri kepada-Nya”.

Tadabbur Ayat 3:

)٣( ‫َوال أَ ْنتُ ْم عَابِ ُدونَ َما أَ ْعبُ ُد‬

“Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.”

Yakni Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya; karena tidak ikhlasnya kalian kepada Allah dalam
beribadah kepada-Nya. Ibadah kalian disertai dengan kesyirikan itu tidak bisa disebut ibadah.
Sesungguhnya kalian itu bukan orang-orang yang berhak menyembah Tuhan yang aku sembah.
Sebab sifat-sifat Allah sangat bertentangan dengan tuhan kalian. Karenanya tidak mungkin
menyamakan antara kedua Tuhan itu.

Tadabbur Ayat 4 dan 5:

)٥(   ‫) َوال أَ ْنتُ ْم عَابِ ُدونَ َما أَ ْعبُ ُد‬٤( ‫َوال أَنَا عَابِ ٌد َما َعبَ ْدتُ ْم‬

Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah
(pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.

Maksudnya, dan aku tidak akan pernah menyembah sembahan kalian. Artinya, aku tidak akan
menempuh jalan kalian dan tidak juga mengikutinya. Tetapi, aku akan senantiasa beribadah
kepada Allah dengan cara yang Dia sukai dan ridhai. Oleh karena itu, Dia berfirman: dan kamu
tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.(ayat 5). Maksudnya, kalian
tidak akan mengikuti perintah-perintah Allah dan syariat-Nya dalam menyembah-Nya, tetapi
kalian telah memilih sesuatu dari diri kalian sendiri.[10] Hal ini sebagaimana Allah firmankan,
‫إِ ْن يَتَّبِعُونَ إِاَّل الظَّ َّن َو َما تَه َْوى اأْل َ ْنفُسُ َولَقَ ْد َجا َءهُ ْم ِم ْن َربِّ ِه ُم ْالهُدَى‬

“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa
nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.”
(QS. An Najm: 23)

Ayat-ayat ini secara jelas menunjukkan berlepas diri dari orang-orang musyrik dari seluruh
bentuk sesembahan yang mereka lakukan.

Adanya pengulangan kata: ‫ َوال أَ ْنتُ ْم عَابِ ُدونَ َما أَ ْعبُ ُد‬dalam surat ini (perhatikan ayat 3 dan 5) dijelaskan
oleh Imam Bukhari dan para pakar tafsir lainnya, bahwa ayat,

‫ َواَل أَ ْنتُ ْم عَابِ ُدونَ َما أَ ْعبُ ُد‬  َ‫اَل أَ ْعبُ ُد َما تَ ْعبُ ُدون‬

“Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang
aku sembah.” Ini untuk masa lampau.

‫ َواَل أَ ْنتُ ْم عَابِ ُدونَ َما أَ ْعبُ ُد‬ ‫َواَل أَنَا عَابِ ٌد َما َعبَ ْدتُ ْم‬

“Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah
(pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.”

Buya Hamka mengutip komentar Syaikh Muhammad Abduh tentang ayat 4 dan 5 ini sebagai
berikut: “Dua jumlah suku kata yang pertama (ayat 2 dan 3) adalah menjelaskan perbedaan yang
disembah. Dan isi dua ayat berikutnya (ayat 4 dan 5) ialah menjelaskan perbedaan cara
beribadat. Tegasnya yang disembah lain dan cara menyembah pun lain. Tidak satu dan tidak
sama. Yang aku sembah ialah Tuhan Yang Maha Esa, yang bersih daripada segala macam
persekutuan dan perkongsian dan mustahil menyatakan diri-Nya pada diri seseorang atau sesuatu
benda. Allah, yang meratakan kurnia-Nya kepada siapa jua pun yang tulus ikhlas beribadat
kepada-Nya. Dan Maha Kuasa menarik ubun-ubun orang yang menolak kebenaran-Nya dan
menghukum orang yang menyembah kepada yang lain. Sedang yang kamu sembah bukan itu,
bukan Allah, melainkan benda. Aku menyembah Allah sahaja, kamu menyembah sesuatu selain
Allah dan kamu persekutukan yang lain itu dengan Allah. Sebab itu maka menurut aku, ibadatmu
itu bukan ibadat dan tuhanmu itu pun bukan Tuhan. Untuk kamulah agama kamu, pakailah
agama itu sendiri, jangan pula aku diajak menyembah yang bukan Tuhan itu. Dan untuk akulah
agamaku, jangan sampai hendak kamu campur-adukkan dengan apa yang kamu sebut agama
itu.”

Tadabbur Ayat 6:

‫لَ ُك ْم ِدينُ ُك ْم َولِ َي ِدي ِن‬

“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”

Untukmu agamamu yang batil dan kamu pertahankan dengan kesombongan dan permusuhan.
Dan untukulah agamaku yang benar, yaitu agama yang ditunjukkan oleh Tuhanku. Aku tidak
akan mencari dan menginginkan selain-Nya. Dan sesungguhnya kalian akan terus menerus di
jalan yang salah, sedangkan aku tetap di atas jalan yang benar.

Kalian mempunyai balasan atas amal kalian, dan aku pun menerima balasan atas amalanku.
Pengertian ayat ini sama dengan ayat,

‫لَنَا أَ ْع َمالُنَا َولَ ُك ْم أَ ْع َمالُ ُك ْم‬

“…Bagi kami amal-amal kami, dan bagi kamu amal-amal kamu…” (QS. As-Syura: 15)[15]

Al-Qurthubi meringkaskan tafsir seluruh ayat ini begini:

“Katakanlah olehmu wahai Utusan-Ku, kepada orang-orang kafir itu, bahwasanya aku tidaklah
mau diajak menyembah berhala-berhala yang kamu sembah dan puja itu, kamu pun rupanya
tidaklah mau menyembah kepada Allah saja sebagaimana yang aku lakukan dan serukan.
Malahan kamu persekutukan berhala kamu itu dengan Allah. Maka kalau kamu katakan bahwa
kamu pun menyembah Allah jua, perkataanmu itu bohong, karena kamu adalah musyrik. Sedang
Allah itu tidak dapat dipersyarikatkan dengan yang lain. Dan ibadat kita pun berlain. Aku tidak
menyembah kepada Tuhanku sebagaimana kamu menyembah berhala. Oleh sebab itu agama kita
tidaklah dapat diperdamaikan atau dipersatukan: “Bagi kamu agama kamu, bagiku adalah
agamaku pula.” Tinggilah dinding yang membatas, dalamlah jurang di antara kita.

Buya Hamka menyimpulkan hikmah yang terkandung dalam ayat ini sebagai berikut: “Surat ini
memberi pedoman yang tegas bagi kita pengikut Nabi Muhammad bahwasanya akidah tidaklah
dapat diperdamaikan. Tauhid dan syirik tak dapat dipertemukan. Kalau yang hak hendak
dipersatukan dengan yang batil, maka yang batil jualah yang menang. Oleh sebab itu maka
Akidah Tauhid itu tidaklah mengenal apa yang dinamaiCynscritisme, yang berarti menyesuai-
nyesuaikan. Misalnya di antara animisme dengan Tauhid, penyembahan berhala dengan
sembahyang, menyembelih binatang guna pemuja hantu atau jin dengan membaca Bismillah.”

Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Membaca Surat Al Kaafirun

Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia mengatakan,

) َ‫َكانَ يَ ْق َرأُ فِى ال َّر ْك َعتَي ِْن (قُلْ هُ َو هَّللا ُ أَ َح ٌد) َو (قُلْ يَا أَيُّهَا ْال َكافِرُون‬

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca di shalat dua raka’at thowaf yaitu surat
Qul Huwallahu Ahad (Al Ikhlas) dan surat Qul Yaa Ayyuhal Kaafirun (Al Kaafirun).” (HR.
Muslim no. 1218)

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

)‫ قَ َرأَ فِى َر ْك َعت َِى ْالفَجْ ِر (قُلْ يَا أَيُّهَا ْال َكافِرُونَ ) َو (قُلْ هُ َو هَّللا ُ أَ َح ٌد‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُول هَّللا‬
َ ‫أَ َّن َرس‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca di dua raka’at sunnah Fajr (Qobliyah
Shubuh) yaitu surat Qul Yaa Ayyuhal Kaafirun (Al Kaafirun) dan surat Qul Huwallahu Ahad (Al
Ikhlas).” (HR. Muslim no. 726)

Dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan,


‫ أَوْ َخ ْمسًا َو ِع ْش ِرينَ َم َّرةً يَ ْق َرأُ فِي‬، ً‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَرْ بَعًا َو ِع ْش ِرينَ َم َّرة‬
َ ‫ي‬َّ ِ‫ت النَّب‬ ُ ‫َر َم ْق‬
}‫ { َوقُلْ هُ َو هَّللا ُ أَ َح ٌد‬، } َ‫ب {قُلْ يَا أَيُّهَا ْال َكافِرُون‬ِ ‫ال َّر ْك َعتَي ِْن قَب َْل ْالفَجْ ِر َوبَ ْع َد ْال َم ْغ ِر‬.

“Saya melihat Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam shalat sebanyak dua puluh empat atau dua
puluh lima kali. Yang beliau baca pada dua rakaat sebelum shalat subuh dan dua rakaat setelah
maghrib adalah surat Qul Yaa Ayyuhal Kaafirun (Al Kaafirun) dan surat Qul Huwallahu Ahad
(Al Ikhlas).” (HR. Ahmad 2/95. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan, sanad hadits ini shahih
sesuai syarat Bukhari-Muslim)[18]

Wallahu A’lam…

Anda mungkin juga menyukai