Asal usul daerah sumatera utara tidak banyak diketahui oleh ahli sejarah karena sumatera
utara banyak mengalami perubahan-perubahan terutama mengenai penanaman daerah ini.
Dahulu, penamaan daerah ini sering ditetapkan menurut keinginan orang yang menjadi
pemimpin di daerah ini. Menurut keterangan-keterangan penduduk yang pindah ke daerah
ini, manusia asli di indonesia telah dijumpai di daerah ini sebelum mereka datang.
Orang batak mayoritas beragama Kristen dan sebagian beragama Islam. Akan tetapi,
masih ada masyarakat yang tinggal di pedesaan menganut animisme dan melakukan
kebiasaan-kebiasaan atau jaran-ajaran agama nenek moyang mereka.
Para ahli sejarah tidak banyak yang mengetahui dengan pasti mengenai asal-usul daerah
Sumatera Utara. Kurang lebih pada abadke-15, di Sumatera Timur sudah berdiri kerajaan-
kerajaan di Siak Pane, Aru di Deli Tua, dan Kerajaan-kerajaan aru lainnya. Kerajaan Deli
Tua muncul sezaman dengan Kerajaan Aceh di ujung utara Pulau Sumatera. Kerajaan Deli
Tua ini diduga bernama Timur Raya, yaitu Kerajaan Batak yang belum menganut agama
islam sama sekali. Kerajaan ini diperkirakan ada pada abad ke-15.
Medan muncul sejalan dengan berdirinya Aru di Deli Tua. Sebelum tahun 1570,
kampung medan dikenal dengan “MEDAN PUTRI”. Menurut Anderson pada tahun 1823,
penduduk Kota Medan menggunakan bahasa perantara yang dikenal dengan bahasa Melayu
Deli.
Sebelum agama islam datang ke Indonesia, pengaruh Hindu telah tersebar di seluruh
Indonesia, termasuk daerah Sumatera Utara. Pengaruh hindu masih tampak dalam bagaimana
cara mengairi sawah, membajak, membuat kerajinan kain, menenun, serta menggunakan
istilah Hindu dan sistem tulisan.
Pada pertengahan Abad ke-14, Aceh telah menganut agama Islam dengan kerajaan
Islam pertama adalah kerajaan pasai. Karena pantai timur dan barat Sumatera Utara di bawah
pengaruh kesultanan Aceh, penduduk pesisir Sumatera Timur dan Pantai Tapanuli berangsur-
angsur memeluk agam Islam. Agama Islam sangat berpengaruh terutama di daerah Tapanuli
Selatan.
1. Kekeraatn mencaku hubungan suku dan kasih sayang berdasarkan hubungan darah
dan kerukunan
2. Religi mencakup kehiduoan keagamaan, baik agama warisan nenek moyangmaupun
agama yang datang dari luar, yang mengatur hubungan dengan Maha Pencipta serta
hubungan antara manusia dan lingkungan.
3. Hagabean mencakup lengkanya putra-putri, banyaknya jumlah keturunan dan
panjangnya umur.
4. Kehormatan mencakup kemuliaan, wibawa, da karisma.
5. Kemajuan diraih dengan jalan merantau dan menuntut ilmu
6. Norma dan hukum
7. Kekayaan lahir dan batin
8. Pengayoman
9. Konflik menyangkut perjuangan mempertahankan dan memperjuangkan kesembilan
aspek diatas.
Seperti telah diuraikan diatas bahwa adanya kelompok etnis itu disebabkan oleh
adanya perbedaan bahasa, logat, dan sebagainya. Adapun jumlah kelompok bahasa di
Provinsi Sumatera Utara berlainan dengan jumlah-jumlah kelompok bahasa di Provinsi
Sumatera Utara berlainan dengan kelompok etnik yang mendukungnya (200 dialek ).
Kelompok bahasa Melayu Langkat, Deli dan Serdang, serta Labuhan Batu. Kelompok Bahasa
Batak terdiri atas Bahasa Batak Karo, Simalungun, Toba. Fakfak dan Mandaling. Kelompok
bahasa Batak campuran, seperti Sibolga,Natal,Lubu(Muara Sipongi) dan Siladang
(Penyabungan).
Aspek Demografi
Orang orang Batak atau orang-orang Sumatera Utara merupakan kelompok etnis yang
terdiri dari pribumi asal Sumatera Utara,pribumi pendatang ke daerah Sumatera Utara, dan
warga keturunan asing. Menurut catatan Kantor Statistik Provinsi Sumatera Utara, tahun
2000 tercatat jumlah penduduk Sumatera Utara 7.632.955 jiwa , dengan perincian 7.252.820
warga negara Indonesia dan 380.135 orang negara asing. Ibu kota Sumatera utara adalah
Medan
Dilihat dari struktur usia penduduk, Kota Medan di huni lebih kurang 1.266.606 jiwa
yang produktif(15-59 tahun). Selanjutnya, berdasarkan tingkat pendidikan,91,8% penduduk
telah mengenyam pendidikan dasar dan menengah, mulai dari tingkat SLTA,SMP,danSD
serta 8,12% jenjang perguruan tinggi. Dengan demikian, Kota Medan cukup memiliki tenaga
kerja yang dapat bekerja di berbagai jenis perusahaan, seperti jsa,perdagangan,dan
manufaktur.
Umumnya di Sumatera Utara, gerakan perpindahan penduduk terjadi dari daerah
pedalaman ke daerah pantai, terutama ke daerah pantai daerah timur provinsi ini. Pada masa
sebelum perang kemerdekaan, perpindahan tersebut tidak terlalu cepat, hanya sedikit
urbanisasi ke kota-kota di tepu pantai. Terutama karena dorongan ingin mencari mata
pencaharian. Tanah Deli merupakan tumpuan utama sehingga pernah mendapat julukan
sebagai”Tanah Dolar”.
Pada beberapa tahun terakhir ini, penduduk Sumatera Utara cenderung mengalami
pertambahan tetap. Artinya, pertambahan jumlah penduduk dari tahun ke tahun naik antara
100.000 dan 200.000 orang per tahun.
Aspek Psikisosial
Stratifikasi sosial orang Batak di dalam kehidupan sehari-hari mungkin tidak terlihat
sangat jelas. Stratifikasi sosial orang Batak dibedakan berdasarkan tiga prinsip berikut.
1. Perbedaan usia
2. Perbedaan pangkat dan jabatan
3. Perbedaan sifat keaslian
Pelapisan sosial berdasarkan perbedaan usia terihat dalam hubungan adat yang ada
dalam masyarakat. Dalam hubungan masalah-masalah adat, hanya orang-orang tua yang ikut
serta sedangkan orang orang muda tidak ikut campur. Bahkan,dalam masalah warisan,anak-
anak akan diwakilkan oleh orangtuanya. Dalam persoalan pekerjaan adat,orang-orang tua
mengurus soal-soal adat, orang-orang muda sebagai pekerja,tetapi anak-anak tidak
mempunyai pekerjaan apapun.
Sistem pelapisan sosial berdasarkan pangkat dan jabatan terlihat dalam kehidupan
sehari – hari. Dahulu keturunan bangsawan selalu diutamakan kedudukan dan perannya
dalam masyarakat. Mereka diutamakan dalam adat, pembagian daging atau “jambar”, dan
tempat duduknya ditengah – tengah pertemuan apapun. Pada dasarnya, orang – orang
bangsawanlah yang menentukan segala persoalan kemasyarakat dalam adat. Tingkatan
kedudukan yang teratas ini pada masyarakat Simalungun disebut “partongah” atau “puang”.
Pada masyarakat Mandailing juga terdapat lapisan masyarakat , seperti “namora” dan
bangsawan. Namora – namora dan orang – orang bangsawanlah yang memegang peranan
dalam soal – soal adat dan hukum.
Pada masyarakat Nias juga terdapat lapisan masyarakat yang terdiri atas beberapa
lapisan yang disebut kasta. Kaum bangsawan merupakan lapisan masyarakat yang paling atas
dan budak adalah lapisan paling bawah. Pergaulan dibatasi hanya dalam satu golongan.
Pergaulan dengan golongan lain seperti golongan atas ke golongan bawah dianggap hina.
Sebaliknya, bila seseorang dan tingkatan yang lebih rendah menaikkan tingkatnya, ia harus
mengadakan upacara adat. Pada masyarakat Melayu, juga ada pembagian lapisan masyarakat.
Lapisan bangsawan adalah kelas paling atas, termasuk didalamnya Sultan dan Tengku. Kaum
bangsawan ini menguasai seluruh daerah Sumatra Timur pada masa penjajahan Belanda.
Pada masyarakat Batak, orang yang mula – mula mendirikan sebuah kampong
dinamakan “marga tanah” dan orang yang datang kemudian dinamakan “marga parripe”.
Umumnya, “marga parripe” adalah marga- marga lain dari “marga tanah”. Sering marga
parripe ini adalah kemenakan dari “marga tanah” itu sendiri.
Dahulu,”marga tanah” lebih tinggi kedudukannya di tengah – tengan masyarakat.
Mereka menjadi pimpinan atau pejabat pemerintah dikampung tersebut. Tidak hanya
memegang pimpinan dalam bidang pemerintahan, tetapi juga adat dan kepecayaan. Marga –
marga pendatang harus tunduk kepada marga tanah.
Walaupun menurut peraturan tidak ada lagi perbedaan kedudukan setiap warga
negara, dalam praktik sehari – hari masih sering terlihat adanya sisa – sisa pengaruh lama. “
marga tanah” selalu diutamakan dalam masyarakat. Umumnya, marga tanah masih
mempunyai pengaruh besar untuk menduduki posisi dalam masyarakat. Terlebih lagi dalam
masyarakat pedesaan, masih terasa pengaruh tersebut. Kuat lemahnya pengaruh lama tersebut
bergantung pada dinamika dan cara berpikir masyarakat setempat. Makin cepat dinamika
suatu masyarakat semakin cepat penghapusan perbedaan tersebut.
Pengertian “keluarga” yang lebih luas adalah kerabat yang terdiri dari beberapa gezin.
Keluarga Batak terdiri dari Karo, Simalungun, Fakfak (Dairi), Toba, dan Angkola atau
Mandailing. Kelompok etnik campuran terdiri dariTapanuli Selatan (Natal) dan Tapanuli
Tengah (Sibolga). Pada umumnya, dalam keluarga Batak tersebut sekrang – kurangnya ada
tiga unsur yang terjalin dalam “Dalihan Na Tolu” atau Tri Tungku. Dalam sikap sehri – hari,
Dalihan Na Tolu diatur sedemikian rupa sebagai berikut.
Manat Mardongan Tubu. Artinya, kita harus bersikap hati-hati kepada dongan
tubu agar tidak menyinggung perasaannya. Kita minta penjelasan dan
pendapatnya dalam segala sesuatu. Jangan pernah kita memperlakukan seolah-
olah dongan tubu itu tidak penting karena semua suka duka menjadi tanggung
jawab dari dongan sabutuha (saudara satu ayah satu ibu).
Sumba Marhuka – hula. Artinya, kita harus merendah diri kepada hula – hula dan
selalu menghormati dengan setinggi – tingginya karena semua rezeki, hamoraon,
dan hangabeon ada karena restu dari hula – hula. Siapa pun yang tidak bersikap
hormat kepada hula – hula akan mendapatkan celaka. Kita harus memberikan
segala permintaan segala permintaan hula – hula agar tidak terkutuk.
Elek Malboru. Artinya, kita harus bersikap membujuk, membimbing, dan
memaafkan kepada boru. Borulah yang diharapkan dapat membantu segala
pekerjaan kita, baik berupa tenaga atau berupa materi. Jadi, kalau boru bersalah,
kita tidak boleh terlalu marah agar ia tidak menjauh. Bila perlu, boru dibujuk
dengan membawa makanan (dengke = ikan ) agar jangan marag lagi.
Pada masyarakat Batak masihterdapat beberapa rumah tangga dalam satu rumah
besar, misalnya “rumah bolon” (Simalungun , Toba) seperti di Tanah Karo. Di kampung
Lingga masih terdapat beberapa rumah tangga tinggal dalam satu rumah besar yang
merupakan keluarga luas virilokal.
Rumah tangga virilokal di masyarakat Batak bermakna ganda, yaitu pertama virilokal
dalam arti tinggal dalam “rumah bolon” bersama orang tuanya setelah menikah dan kedua
adalah virilokal tertentu untuk anak yang bungsu. Menurut hukum kebapaan pada adat
Simalungun, anak laki – laki yang bungsu telah ditentukan mewarisi rumah orang tua. Oleh
karena itu, setelah menikah, ia tinggal bersama orangtuanya. Bila orang tua nya meninggal
dunia dengan sendirinya rumah yang ditempatnya itu diwariskan kepadanya.
Selama hidup bersama ibu dab bapak atau mertua, pasangan suami – istri diberikan
berbagai bimbingan, nasihat, contoh – contoh baik, dan lain – lain. Setelah sekian lama hidup
bersama orang tua dan merasa bahwa rumah tangga baru tersebut sudah mampu berdiri
sendiri, barulah mereka dimerdekakan (ipajae). Dalam rangka “pajaehon” atau
memerdekakan rumah tangga baru tersebut, mereka dibekali dengan berbagai alat-alat rumah
tangga, antara lain satu periuk, satu kuali, dua piring mangkok, satu pisau, satu cangkul, satu
tumba beras, dan satu kaleng padi. Pemberian alat-alat ini hanya berupa simbolik menurut
adat.
Hubungan dengan orangtua atau mertua sudah berbeda dengan sebelumnya. Bila
sebelumnya mereka bebas mengambil apa saja yang mereka sukai di rumah orangtuanya,
setelah dimerdekakan mereka tidak lagi bebas. Jika ada yang mereka butuhkan, mereka dapat
memperolehnya dengan jalan meminta, meminjam, atau membeli bila perlu.
Kedudukan rumah tangga baru ini sepenuhnya memiliki peran sendiridalam hubungan
adat ditengah-tengah kerabatnya. Kedudukan dalam adat ditentukan oleh kelompok kerabat
yang disebut “ Dalihan Na Tolu “
Kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga adalah yang tertinggi, tetapi dalam
mengambil suatu keputusan harus di musyawarahkan bersama istri yang disebut “ Riah
Tongah Jabu”
Perkawinan orang batak adalah eksogami marga, yaitu mengambil si gadis dari luar
marga. Menikah dengan orang semarga dilarang, tetepi menikah dengan anak perempuan
saudara laki-laki ibu, marboru tondong/tulang (Simalungun), marboru tulang (Batak Toba),
anak beru (Karo) justru dianjurkan, atau dianggap perkawinan yang ideal.
Sistem kepercayaan kuno di daerah Batak Toba dan Karo yang masih dianut oleh
sebagian penduduk sampai sekarang berpangkal dari kepercayaan tentang adanya pencipta
dan ciptaannya. Pembagian alam atas tiga bagian dunia, tentang roh, dan makhluk-makhluk
halus lainnya, ramalan, korban dan kepercayaan tersebut dapat disimpulkan menjadi tiga
bagian, yaitu :
Pada masyarakat Batak yang patrilineal, anak Perempuan tidak berhak menjadi ahli
waris. Sebagai imbalan, anak perempuan wajib di sekolahkan, diberi uang belanja dan
dikawinkan oleh orang tuanya atau saudara laki lakinya apabila telah bertemu jodoh.
Perempuan tidak berhak mewarisi tetapi sebaliknya, mempunyai hak untuk dirawat,
disekolahkan dan di kawinkan. Hal ini merupakan sistem yang bersesuaian. Bila yang satu
diubah, yang sebaliknya harus diubah pula. Sebagai contoh, bila si perempuan berhak
mewarisi, kewajiban membelanjai harus ditiadakan.
Belakangan ini ada kecenderungan untuk memberi sesuatu kepada anak perempuan seperti
dalam istilah Batak ”Pauseang". Hal tersebut tidak ditafsirkan sebagai warisan. Pemberian ini
dianggap sebagai tanda kasih sayang bukan warisan. Nilai-nilai dan strategi koping yang
digunakan oleh masyarakat Batak adalah sebagai berikut.
Aspek Budaya
Makanan kebudayaan
Keluarga Batak memiliki beragam jenis makanan khas yang dihidangkan pada waktu-
waktu tertentu. Masyarakat Batak selalu berusaha untuk makan . bersama. Apabila masih ada
anggota keluarga yang belum datang, mereka akan menunggu untuk makan bersama.
Sebelum mengadakan suatu perkumpulan/ pesta, mereka harus menyiapkan sesaji berupa
indahan (nasi), piraini manuk (telur ayam kampung), sitompion (sagu), lampet (tepung beras,
kelapa, dan gula dibungkus daun pisang lalu direbus), gambiri (kemiri), ansimun (mentimun),
itak gur-gur (tepung beras, kelapa, gula, dikepel tanpa direbus), parbue (beras), pisang dan
aek silia-tio (air putih). Sesaji ini diletakkan dalam mombang (sejenis tampah yang terbuat
dari pelepah dan daun enau atau kelapa), kemudian diberi asap bakaran kemenyan untuk
mengiringi tonggo (mantera atau doa).
Walaupun umumnya mereka beragama Kristen, mereka merasa harus tetap mematuhi
tradisi yang diwariskan turun temurun. Itulah sebabnva, mereka selalu melakukan persiapan
ari dan sesaji sebelum melakukan suatu pekerjaan. Semua persiapan ini pada prinsipnya
dilakukan untuk mendapat restu dari Debata Mula Jadi Na Bolon (kekuatan tertinggi menurut
kepercayaan Batak).
Menurut kepercayaan orang Batak, apabila seseorang jatuh sakit, "tondi" atau “tendi”
si sakit pergi ke suatu tempat meninggalkan tubuhnya. Karena tondi itu pergi, orang tersebut
jatuh sakit. Agar orang yang sakit dapat sembuh, tendi nya harus dipanggil agar masuk
kembali ke tubuh orang yang sakit itu (tondi mulak tu badan). Mediator untuk memanggil
tondi tersebut adalah Baso atau Datu. Untuk pelaksanaannya, perlu disediakan bahan-bahan
ramuan tertentu. Kalau tondi itu setelah berulang-ulang dipanggil tidak mau pulang juga,
berarti orang sakit tersebut tidak ada harapan lagi untuk sembuh atau hidup.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bila ada anggota keluarga Batak sakit yang sakit,
mereka akan membawa orang yang sakit ke Baso atau ke datu. Orang Batak menyakini
bahwa seseorang sakit karena roh orang tersebut pergi meninggalkan tubuhnya sehingga
diperlukan dukun untuk memanggil kembali rohnya. Mereka percaya datu atau Baso dapat
memanggil roh. Apabila orang sakit tersebut meninggal, mereka beranggapan bahwa roh
orang yang sakit tidak mau kembali lagi.
Bila usia orang yang sakit lebih muda, mereka perlu meminta pertimbangan orang
yang lebih tua untuk memecahkan masalah dengan musyawarah. Bila istri yang mengalami
gangguan kesehatan, suami sebagai kepala rumah tangga perlu dilibatkan. Keputusan
masalah kesehatan berada di tangan suami, tetapi umumnya suami harus mendiskusikannya
terlebih dahulu dengan istri dan anak anaknya sebelum mengambil keputusan.