Anda di halaman 1dari 196

SEJARAH MINANGKABAU

BAB I

SUSUNAN MASYARAKAT MINANGKABAU

1. Minangkbau dan Sumatera Barat.

Dewasa ini kata “Minangkabau” mempunyai pengertian yang identik


dengan istilah “sumatera-barat”. Perkembangan sejarah Minangkabau
menunjukkan, bahwa daerah geografis Minangkabau tidak merupakan
bagian dari daerah Propinsi Sumatera Barat sekarang. Dalam pengertian
sempit wilayah itulah yang dimaksud dengan istilah “Alam Minangkabau”
Buku ini menggunakan kata minangkabau bagi daerah administratif
Republik Indonesia, yang resmi disebut Propinsi Sumatera Barat. Istilah
Alam Minangkabau digunakan bagi daerah Minangkabau-Lama atau
Minangkabau Asli.
Penamaan Propinsi Sumatera Barat bagi daerah yang hanya meliputi
sebagian (kecil) dari Pesisir Barat Sumatera sebenarnya kurang tepat dan
mudah menimbulkan salah pengertian. Istilah itu terjemahan dari bahasa
Belanda “de Westkust van Sumatra” atau “ Sumatra’s Westkust”, bagian
Pesisir Barat Sumatera yang mula-mula sekali jatuh dibawah pengawasan
dan kekuatan ekonomi dan politik-adminstratif Belanda (pertengahan abad
ke-17).
Sumber-sumber sejarah Minangkabau yang berasal dari orang
Belanda dari abad ke-17, jelas membedakan “de Westkust van Sumatra”
dengan “het land (dt) t der Manicabers”, yang didiami oleh “het volek der
manicabers” dibawah naungan “de Coninek” atau “de Keyser der
Manicabers” - , yang berkedudukan di “Pager-Oudjong”.
Sedang “de inwoonderen van de Westkust van Sumatra” disebut
menurut kota atau daerah kediaman mereka “Ticco/Ticko/ticcou, Priaman,
Oulaccan, Cottatenge, Padangh, Pauw” atau “de Bayangers, de Songy
Pagouwers, de Indrapouraers”, dan sebagainya.
Penulis-penulis dan penguasa Belanda dari abad ke-19 memperluas
pengertian daerah “de Westkust van Sumatra” hingga juga meliputi “Alam
Minangkabau” dan daerah-daerah lainnya sebagai “the Governement” ,
kemudian “de Residentie Sumatra’s Westkust (SWK)”. Jepang
menterjemahkan istilah itu seperti “Sumatra Nishi Kai-gan Shu” dan
Pemerintah Republik Indonesia menamakannya “keresidenan”, kemudian
“Propinsi Sumatera Barat”.
Istilah minangkabau mengandung pengertian kebudayaan disamping
makna geografis. Ada (suku) “bangsa Minangkbau”, ada kebudayaan
Minagkabau, tetapi tidak ada (suku)”bangsa Sumatera Barat”., maupun
kebudayaan Sumatera Barat. Daerah geografis yang dicakup oleh istilah
Sumatera Barat lebih luas daripada Minangkabau, tetapi kata Minangkabau
berisi pengertian kebudayaan disamping makna geografis, yang tidak
dikandung dalam kata Sumatera Barat.
Dewasa ini penduduk ataupun mereka yang berasal dari kota/daerah
Padang, Pariaman, Agam umpamanya lazim menyebut dari mereka menurut
kota, tempat maupun daerah asalnya atau “orang Minang (kabau)”, tetapi
tidaklah biasa menamakan “orang Sumatera Barat”.

2. Pesisir, Dare dan rantau.

Daerah Minangkabau terdiri atas kesatuan-kesatuan geografis, politik-


ekonomis dan kultu-historis, lazim disebut “Pesisir”, “Dare” dan “Rantau”.
Dataran rendah disebelah Barat Bukit Barisan dan berbatasan dengan
Samudera Indonesia, biasa disebut “Pesisir”. Daerah pesisir itu terbagi pula
atas kesatuan-kesatuan politik-ekonomis, kultur-historis menurut nama
daerah ataupun kota (dagang) yang dalam sejarah pernah memainkan
peranan ekonomis dan politik penting, seperti Tiku-Pariaman disebelah
Utara, Padang ditengah-tengah, Bandar-X dan Indrapura disebelah Selatan.
Berbatasan dengan “Pesisir”, terletak ditengah-tengah daerah
pegunungan Bukit Barisan, ialah “Dare” (darat). Dataran-dataran tinggi Dare
adalah lembah Gunung Singglang – Tandikat, Gunung Merapi dan Gunung
Sago, “semarak” Alam Minangkabau. Dataran-dataran tinggi lembah-lembah
puncak Bukit Barisan itulah daerah Minangkabau asli, yang dalam buku ini
selanjutnya disebut “Alam Minangkabau”.
Lembah-lembah sungai dan anak-anak sungai yang berasal dari
daerah pegunungan Bukit Barisan dan bermuara diselat Sumatera (Malaka)
maupun di laut Cina Selatan, disebut “Rantau”. Penduduknya terutama
berasal dari “Dare” dan merupakan daerah “kolonisasi” Alam Minangkabau.
Kalau pada mulanya pengertian Rantau terbatas pada daerah
kolonisasi dilembah sungai-sungai dan anak sungai yang mengalir arah
kejurusan Timur dari Alam Minangkabau, dewasa ini istilah rantau
mengalami perluasan pengertian dan bermakna daerah-daerah diluar
Minangkabau. “Pergi merantau” dalam arti kata meninggalkan rumah orang
tua, sanak saudara dan kampung halaman untuk sementara waktu maupun
untuk selama-lamanya, sepanjang perjalanan sejarah Minangkabau telah
menjadi darah-daging bagi sebagian penduduk Minangkabau. Rantau ialah
tempat berusaha mencari berbagai ilmu pengetahuan, keterampilan dan
pengalaman yang hasilnya untuk menambah kesejahteraan dan
kebahagiaan diri sendiri, sanak saudara dan kampung halaman, seperti
diungkapkan dalam pantun:
“Keratau madang di hulu,
“Berbunga, berbuah belum,
“Kerantau Bujang dahulu,
“dikampung berguna belum”.
Pergi merantau mempunyai arti dan efek sosial-ekonomis dan sosial-
kulturil bagi Minangkabau dan penduduknya, dari zaman dahulu hingga
dewasa ini.

3. Luhak dan laras

Lereng-lereng Bukit Barisan “semarak” Alam Minangkabau”, berhutan


lebat, berjurang terjal, luas dan dalam, merupakan batas-batas alamiah yang
memisahkan dataran-dataran tinggi lembah gunung-gunung itu dengan
sesamanya. Daerah-daerah terisolir dengan batas-batas alam yang sulit
untuk diatasi pada abad-abad yang lampau itu bukan saja merupakan
isolement alamiah, tetapi juga mengakibatkan isolement rohaniah. Timbullah
kesatuan-kesatuan geografis, sosial-ekonomis, politis dan kulturil, disebut
“luhak”.
Dalam perkembangan selanjutnya terjadilah tiga luhak besar luhak
“Agam” dilembah dataran tinggi Gunung Singgalang – Merapi, luhak “50-
Koto” dilembah dataran tinggi Gunung Sago dan luhak “Tanah Datar”
dilembah dataran tinggi Gunung Tandikat-Singgalang dan Merapi. Ketiga
luhak besar itulah dalam sejarah disebut “Luhak nan Tigo”.
Pembagian daerah Alam Minangkabau atas tiga daerah geografis itu
oleh Belanda dilanjutkan dengan menggunakan istilah “afdeling”, dibawah
pimpinan seorang “asisstent resident, yang oleh penduduk dinamakan “tuan
luhak”. Pemerintah Republik Indonesia meneruskan pembagian administratif
itu dengan menyebut tiap-tiap bagian “kabupaten” dipimpin oleh seorang
bupati-kepala daerah.
Daerah Pasaman-Lubuk Sikaping disebelah Barat-Daya Alam
Minangkabau tidak termasuk “Pesisir”, “Dare”, maupun “Rantau”. Sebagian
kabupaten daerah itu merupakan “daerah kolonisasi “ Alam Minangkabau
dan Tanah Batak (Mandailing). Penduduknya, “settlers” dari kedua daerah
itu, ber”dwi-kebudayaan”, berbahasa Minangkabau dan Batak (Mandailing)
dalam pergaulan sehari-hari, menurut garis keturunan dan menerima pusaka
dari pihak ibu (mati-lineal) atau dari pihak bapak (patri-lineal).
Daerah Sawah Lunto-Sijunjung disebelah Timur dan daerah Solok-
Muara Labuh disebelah Tenggara dan Timur-laut Alam Minangkabau dalam
sejarah dinamakan “ekor Rantau” dan merupakan daerah peralihan antara
Alam Minangkabau dan Rantau. Penduduknya mengaji asal usul mereka dari
daerah Alam Minangkabau yang telah berbilang abad membuka,
mengerjakan dan mendiami daerah-daerah itu. Sebagai wilayah yang
letaknya berbatasan dengan Riau (Sijunjung) dan Jambi (Muara Labuh),
kultur-sosiologis daerah itu merupakan daerah peralihan antara “Melayu
Minangkabau” dengan “Melayu-Riau” dan “Melayu-Jambi”.
Kalau istilah luhak mengandung pengertian geografis, politik-
administratif, sosial-ekonomis dan kulturil, kata laras mempunyai makna
“hukum”, yaitu tatacara adat turun temurun. Hukum itu dirumuskan oleh dan
disebut menurut nama tokoh-tokoh mitologis, yang oleh orang Minangkabau
dianggap sebagau cikal-bakal mereka.
Hukum atau adat “Datuk Perpatih nan Sebatang” merumuskan tata-
cara hidup dalam keluarga dan masyarakat bagi “induk-suku Bodi Caniago”
dan hukum atau adat “Datuk Ketemanggungan” bagi “induk-suku Koto-
Piliang”. Tiap-tiap induk suku dalam perjalanan sejarah terbagi-bagi pula
menjadi “anak-suku”, disebut “Jurai”, yang jumlahnya sekarang 128 buah.
Anggota induk-suku dan jurai-jurainya hidup tersebar luas diseluruh
Minangkabau. Masing-masing induk-suku dan jurai-jurainya mempunyai
sejumlah nama pusaka disebut “gelar”, yang diwariskan oleh “mamak”
(saudara pria dari pihak dan dari garis ibu) kepada “kemenakan” (anak
saudara wanita dari pihak dan garis ibu). Tiap-tiap orang Minangkabau
mengetahui apa sukunya, mempunyai nama pusaka yang diterimanya ketika
menanjak umur dewasa (Kawin).
Di “Rantau” nama suku tidak diturunkan lagi oleh ibu kepada anaknya
dan gelar diwariskan oleh bapak kepada puteranya.
“Dare” hidup “berpenghulu”, Rantau hidup “beraja” kata pepatah.
Perkembangan yang menyimpang dari pola adat Minangkabau di Rantau itu
mungkin sekali akibat dari pengaruh hukum, adat “Melayu” didaerah itu.

4. Suku dan keluarga

Suku artinya kaki. Sesuku mengandung makna “sekaki”, seperempat


bagian dari seekor hewan ternak seperti kambing, sapi kerbau dan
sebagainya. Suku berarti seperempat bagian. Itulah asal mula pengertian
kata “suku” di Minangkabau sekarang. Induk-suku menurut “adat Datuk
Perpatih nan Sebatang” dan “adat Datuk Ketemanggungan” terdiri dari empat
kelompok besar, yaitu Bodi, Caniago, Koto dan Piliang. Masing-masing suku
“asal” membagi dirinya atas 4 “anak-suku” dan tiap-tiap suku mempunyai
“jurai”, hingga masing-masing induk suku-anak suku dan jurai dewasa ini
berjumlah 32 buah.
Istilah suku dalam bahasa Minangkabau seringkali diterjemahkan
sebagai “clan” (bahasa Inggris) atau “stam” (bahasa Belanda). Alih bahasa
itu tidak menggambarkan pengertian azasi dari istilah suku sebagai
kelompok berdasarkan ikatan darah dari pihak atau garis ibu. Pengertian
suku juga berbeda dengan makna “marga” di Tanah Batak ialah
pengelompokan berdasarkan kampung atau daerah asal, jadinya
mengandung pengertian wilayah. Suku berdasarkan pengelompokan ikatan
dari pihak atau garis ibu, mengandung pengertian “genealogis”.
Karena itu istilah “keluarga” di Minangkabau mempunyai pengertian
berbeda daripada di Tanah Batak dan daerah-daerah lain. Menurt pengertian
Minangkabau keluarga adalah anggota “sedarah”, karena berasal dari satu
ibu (saudara “Seperut atau kandung”), dari satu “ninik” (keluarga sekaum)
dan karenanya mempunyai suku yang sama (saudara sepesukuan). Untuk
menggambarkan jauh-dekat, rapat-renggang hubungan atau ikatan darah
dari satu suku, orang Minangkabau mempunyai istilah keluarga “sejengkal”,
“sehasta”, “sedapa” dan sebagainya, disamping kata-kata saudara
“kandung”, “sekaum” dan “sepesukuan”.
Ikatan kekeluargaan berdasarkan hubungan darah dalam berbaai
gradasi (kandung, seperut, sekaum, sepesukuan, belahan), mempunyai segi-
segi positif disamping segi-segi negatif. Orang Minangkabau tidak akan
pernah hidup sebatang kara dan terlantar. Teoritis dimanapun ia berada,
akan selalu dapat dijumpainya keluarga sekaum, sepesukuan atau belahan,
yang moril berkewajiban menampung anggota sekaum, sepesukuan dan
belahan itu. Pada zaman ketika jumlah manusia Minangkabau belum
berkembang seperti sekarang, tuntutan hidup belum banyak dan tanah
merupakan sumber penghasilan dan penghidupan utama, tanggung jawab
moril untuk menampung keluarga seperut, sekaum dan sebagainya, tidaklah
terasa terlalu bera. Dizaman modern seperti sekarang ini, dimana jumlah
orang Minangkabau turut berkembang biak menurut irama dan tempo
penduduk daerah-daerah Indonesia lain, sumber penghasilan semata-mata
tanah saja lagi, sedangkan tuntutan hidup semakin bertambah, kewajiban
moril itu mempunyai konsekuensi ekonomis dan merupakan beban hidup
yang berat sekali. Sistim “komunalisme” berdasarkan ikatan darah itu dapat
melemahkan dan menghambat perkembangan inisiatif individu. Sistim
kekerabatan komunalisme tidak mengakui peranan dan hak individu, karena
sebagai perorangan ia baru ada arti dan fungsinya dalam ikatan
kekeluargaan.
Berbeda dengan pandangan hidup Yunani-kuno yang diwarisi oleh
negara-negara Barat yang mengakui individu sebagai kesatuan hukum
terkecil, di Minangkabau kesatuan hukum terkecil ialah keluarga dengan
batas-batas yang kabur sekali.
Tuntutan masyarakat modern, yang lebih mengutamakan dan
menonjolkan peranan, hak-hak serta inisiatif individu dibidang ekonomi,
politik dan sebagainya, mendahulukan hak-hak dan kewajiban terhadap
keluarga dalam pengertian Minangkabau, lebih banyak merupakan
hambatan daripada memberikan dorongan untuk memajukan individu.
Pengelompokan berdasarkan ikatan darah itu mengandung banyak
unsur-unsur dan penilaian subjektif. Karenanya mudah mengaburkan
penilaian-penilaian yang bersifat objektif, sebagai salah satu tuntutan
kehidupan modern dewasa ini dimana-mana. Peneterapan sistim
komunalisme kekeluargaan dibidang ekonomi, politik dan administratif dapat
menghancurkan, sekurang-kurangnya menghambat perkembangan ekonomi
dan sebagainya, dengan cara yang wajar. Mendahulukan ikatan kekerabatan
dibidang penghidupan modern yang bersandar pada sistim dan penilaian
zakelijk-objektif, mampu menghadapi persaingan yang kian hari kian tajam
sifatnya, tidak akan membawa masyarakat Minangkabau kepada kemajuan
materil dan idil. Inilah salah satu dari kempleks sebab-sebab lain, maka
orang Minangkabau, terutama kaum cerdik-cendekiawan dan kaum
pengusahanya lebih suka mengembangkan bakat kemampuan ekonomi
mereka dirantau dari pada di Minangkabau sendiri. Anggota keluarga yang
maju dan kelihatan menonjol, oleh anggota-anggota keluarga lainnya
dianggap “sebagai payung tempat bernaung” dan “pohon beringin tempat
berteduh”. Hal serupa itu seringkali menimbulkan sebagai akibatnya
menunggangi bersama pucuk yang baru bertunas dan mematikan putik
sebelum berkembang.
Karena sistim kekerabatan komunalisme itu maka pada umumnya
kesetiaan dan loyalitas orang Minangkabau terutama dipusatkan kepada
keluarga menurut aturan dan gradasi perut (kandung), kaum dan suku, baru
pada kaum dan nagarinya, jarang sekali sampai kepada luhaknya. Cintanya
terutama ditunjukkan kepada anggota-anggota keluarganya menurut urutan
diatas, kepada rumah keluarga, “rumah gadang” pusaka keluarga dan
setapak bumi tempat ibunya melahirkannya.
“Nasionalisme” Minangkabau karena itu pada dasarnya adalah
nasionalisme “kampung” tempat ia dilahirkan dan dibesarkan dan
nasionalisme “keluarga” dilingkungan mana ia berada.
Suku dan keluarga sebagai salah satu sokoguru masyarakat
Minangkabau hingga dewasa ini, merupakan kekuatan dan kelemahan
masyarakat Minangkabau sekaligus. Ketika menghadapi pengaruh
kekuasaan dari luar daerah Minangkabau, pandangan hidup yang
mendahulukan kepentingan keluarga dan suku daripada kepentingan umum,
sulit dapat mencapai satu komando yang dipatuhi bersama.
Segera dapat tertanam dan lama dapat bertahan pengaruh ekonomi-
politik Aceh didaerah Pesisir ( 1550 – 1660), disebabkan antara lain karena
itulah. Mudah digantikan kekuasaan Aceh itu oleh Belanda didaerah Pesisir
untuk kemudian meliputi seluruh Minangkabau ( 1660 – 1819), antara lain
disebabkan karena susunan masyarakat Minangkabau itu pulalah.
Berbeda dengan Aceh yang dapat membangun sebuah kerajaan
Islam yang berwibawa sejak permulaan abad ke-16, tidak pernah dalam
sejarah ada “Kerajaan Islam Minangkabau”, yang dipatuhi dan berwibawa
diseluruh Minangkabau. Hanya dua kali dalam sejarahnya sebagian besar
Minangkabau patuh pada satu kekuasaan, tunduk pada satu ideologi dan
mempunyai “tentara Nasional” yaitu dizaman Raja Adityawarman ( 1347 –
1375), pendiri Kerajaan Pagaruyung Minangkabau dan dizaman Gerakan
Padri ( 1800 -  1840). Kedua kekuasaan yang timbul sebagai “mateor” itu
hapus, karena mendapat reaksi hebat dari kalangan yang ingin menegakkan
dan melanjutkan sistin komunalisme kekeluargaan dan nagari kembali,
berdasarkan ikatan darah.

5. Mamak dan kemenakan

Sesuai dengan fungsi dan tugasnya dalam kekerabatan berdasarkan


garis ibu, maka ada “mamak-rumah”, “mamak-kaum” atau “mamak-suku”.
Mamak rumah ialah saudara pria ibu atau garis ibu “serumah gadang”, yang
terpilih untuk menjadi wakil-pembina-pembimbing anggota “keluarga-
keluarga” garis ibu yang terdekat. Tugasnya ialah “mengampungkan”, artinya
memelihara, membina, memimpin kehidupan dan kebahagiaan jasmaniah
maupun rohaniah “kemenakan-kemenakan”nya, yaitu anak-anak dan
anggota-anggota dari seluruh keluarganya.
Karena itu ia menguasai penggunaan hasil sawah-ladang
keluarganya, yang dikerjakan dan dimiliki bersama oleh anggota-anggota
keluarganya. Ia pulalah yang dalam instansi pertama menyelesaikan segala
macam dan jenis persengketaan, yang timbul diantara sesamaanggota
keluarganya. Mamak-rumah itu disebut itu disebut “tungganai” dipanggilkan
“datuk” dan memakai gelar pusaka kaumnya. Tungganai-tungganai suatu
kaum, yang jadinya mempunyai suku yang sama, memilih seorang diantara
mereka sebagai wakil-pembimbing-pembina kaum, ”mamak-kaum”. Ia
disebut penghulu, dipanggilkan datuk dengan gelar pusaka kaumnya.
Sebagai penghulu-mamak kaum ia lazim menjadi anggota Kerabat Adat,
dewan pemerintahan dalam nagari, instansi eksekutif, legislatif, yudikatif
tertinggi. Tergantung kebiasaan tiap-tiap luhak, ”mamak-kaum” yang duduk
sebagai anggota Kerabat Adat, disebut ”penghulu pucuk”, ”penghulu payung”
atau ”penghulu-andiko”. Pucuk bagian tertinggi yang bertunas terus dan
karena ityu menjamin kelanjutan hidup tanaman. Payung adalah tempat
berlindung dari terik panas maupun basah hujan. Istilah ”andiko” berasal dari
kata Sansekerta ”andika” yang berarti ”memerintah”. Kata-kata tersebut jelas
menggambarkan fungsi dan tugas seorang penghulu dalam kaumnya, yaitu
seperti ”beringin besar tempat berteduh dan urat-urat tunggangnya tempat
bersandar”.
Seorang ulama dapat menjadi tungganai dalam lingkungan ”rumah
gadang”nya dan menjadi penghulu dalam lingkungan kaum atau sukunya.
Dalam hal yang demikian, ia memperoleh gelar pusaka kaumnya, yang
jarang sekali digunakan sebagai panggilan baginya sebagai seorang ahli
agama Islam. Kenyataan ini antara lain menunjukkan, bahwa gerakan dan
Perang Padri bukanlah pertentangan agama dan adat, kaum agama dan
kaum adat semata-mata. Secara pribadi seorang ulama anggota dari
lingkungan adat, tempat ia berada dan mematuhi juga hukum-hukum adat.
Hanya karena pendidikan, pengetahuan dan fungsinya dalam masyarakat ia
lebih menitik beratkan pandangan dan cara-cara hidupnya pada agama dan
hukum adama. Ada perimbangan, equilibrium antara hukum adat dan hukum
agama, antara penghulu dan ulama dalam susunan masyarakat
Minangkabau. Gerakan dan Perang Padri timbul sebagai akibat kompleks,
politis maupun kulturil, yang mencapai puncaknya pada permulaan abad ke-
19.
Sesuai dengan fungsi dan kedudukannya dalam lingkungan keluarga,
kaum/suku dan masyarakat, penghulu tidak pernah berjalan seorang diri atau
melakukan sesuatunya seorang diri. Ia selalu diiringi tungganai-
kemenakannya terdekat dan beberapa orang ”dubalang” sebagai orang
suruhan dan pelaksanaan perintah penghulu.
Apabila seorang penghulu sudah tua dan sring sakit-sakitan, hingga
acapkali terhalang melaksanakan tugasnya sebagai wakil-pembimbing-
pembina kaum/sukunya dan sebagai anggota kerapatan adat dalam nagari,
tungganai-tungganai kaum/sukunya menunjuk salah seorang dari mereka
sebagai ”penongkat”. Tugasnya seperti ”tongkat”, penumpu yang
memberikan kekuatan dan tenaga kepada penghulu yang sudah tua. Ialah
yang bertindak sebagai wakil dan atas nama penghulu tua dalam kaum/suku,
maupun dalam kerapatan-kerapatan Adat. Ia dipanggilkan ”Datuk Muda”.
Apabila penghulu yang sudah tua meninggal dunia, ”Datuk-Muda” naik
penghulu, upacara adat yang dihadiri oleh segenap penghulu dalam nagari
dan wakil-wakil penghulu dari nagari-nagari yang berdekatan. Diresmikan
dalam upacara itu gelar pusaka yang dipakainya selanjutnya sebagai
penghulu kaum dan anggota kerapatan Adat dalam nagarinya. Biaya besar
yang membarengi upacara naik penghuluy itu dengan menyembelih kerbau,
dipikul bersama oleh seluruh anggota suku dan kaum kerabat yang
mempunyai pertalian darah dengan ”keluarga” yang tungganainya naik
penghulu itu.
Sekalian mamak dari satu perut dan suku disebut ”ninik-mamak”.
Dalam pengertian luas istilah itu berarti seluruh anggota pemerintahan sipil
Seorang penghulu harus dapat menunjukkan tanah dan rumah
pusakanya. Ia mempunyai ”regalia”. Tanda-tanda kebesaran sebagai
penghulu, yaitu ”saluk” (destar), baju dan celana yang bersulam benag
emas, keris, tongkat, terompah kulit bersulam benag emas dan perak, dan
sebagainya. Ia harus memenuhi syarat-syarat dan tunduk pada peraturan-
peraturan yang ditetapkan bagi seorang penghulu. Anak-anak saudara
wanita dan saudara-saudara dri pihak ibu disebut ”kemenakan”. Ada
kemenakan ”kandung”, kemenakan ”seperut” atau ”sekaum”, kemenakan
”sepesukuan” dan sebagainya. Dalam pengertian luas kemenakan berarti
”rakyat”, seluruh penduduk yang takluk sibawah perintah penghulu-penghulu
sesuatu nagari.
Dikatakan dalam pepatah ”kemenakan beraja kepada mamak, mamak
beraja kepada penghulu, penghulu beraja kepada musyawarah dan
musyawarah beraja kepada patut dan benar”. Beraja dalam hubungan ini
berarti tunduk dibawah perintah. Jadi dalam mengatur ataupun memecahkan
sesuatu persoalan yang timbul dalam lingkungan keluarga atau lingkungan
tempat, diikuti cara penyelesaian yang ”berjenjang naik dan bertangga
turun”. Kemenakan dapat naik banding kepada penghulu, tetapi keputusan
Kerapatan Adat sebagai instansi tertinggi di nagari, menentukan.
Yang dimaksud dengan ”patut dan benar” dan harus dijadikan
pedoman serta pegangan dalam musyawarah, ialah pepatah-petitih yang
diterapkan pada kondisi dan situasi waktu serta tempat. Karena pepatah-
petitih tidak pernah dituliskan, penilaian patut dan benar, yang disesuaikan
dengan kondisi dan situasi waktu atau tempat, tidak selalu sama untuk
segala zaman dan keadaan. Ukuran dan penilaian patut dan benar
karenanya dapat selalu berbeda pentafsirannya. Karena itu pula dapat
memperdalam sengketa dan perpecahan antara suku dengan suku dan
antara eselon-eselon suku dengan sesamanya. Keahlian menggunakan dan
mentafsirkan pepatah-petitih, terutama bagi seorang penghulu guna
mempertahankan sikap dan kepentingan keluarga yang diwakilinya.
Membuat pidato menjadi satu bentuk seni sastra , sebagaimana keadaannya
di yunani lama.
Masyarakat dan susunan masyarakat Minangkabau dengan
sendirinya melatih dan mempersiapkan tiap-tiap orang Minangkabau,
istimewa seorang penghulu, untuk pandai ”bersilat lidah” dan ”mengadu
ujung jarum”, menggunakan ”spinsvondigheden” untuk mengalihkan lawan
dimedan pemusyawaratan.
Disamping istilah ”kemenakan” lazin pula digunakan kata ”anak buah”.
Anak buah bearti ”orang suruhan” penghulu untuk melakukan kerja berat dan
berbahaya, seperti membuka lahan untuk dijadikan sawah atau ladang dan
menjaga keamanan nagari sebagai ”pagar kampung’.
Tiap-tiap nagari mempunyai sejumlah ”anak buah”, barisan pengawal
yang anggota-anggotanya ahli menggunakan senjata tajam dan ahli bersilat
(pendekar). Mereka lazim disebut ”dubalang” (hulubalang) dan adalah
anggota dari ”orang yang empat jenis”, yaitu penghulu, imam-khatib, manti
dan dubalang. Dikatakan dalam pepatah, ”kata penghulu kata penyelesaian,
kata imam-khatib kata hakekat”. Tugas manti menyampaikan keputusan
penghulu dan dubalang adalah pelaksanaan keputusan itu. Yang disebut
dengan kata hakekat disini ialah pertimbangan berdasarkan agama Islam,
yang mendasari keputusan penghulu sebagai ahli adat dan penguasa.
Karena banyak waktu terluang, dubalang sebagai ”pendekar” dan
”juara” seringkali mengisi waktu itu dengan berjudi, menyabung ayam atau
balam, cara pengisian waktu yang juga tidak asing bagi seorang penghulu.
Silang sengketa yang ada kalanya timbul diantara penghulu dengan sesama
mereka, biasanya tidak tinggal dan terbatas pada penghulu-penghulu yang
bersangkutan saja. Sering kali pula meluas menjadi percekcokan mulut,
diikuti dengan perang tanding senjata diantara kemenakan penghulu-
penghulu yang bersangkutan.
Dalam susunan laskar-laskar di Minangkabau semasa ”Revolusi Fisik”
hubungan pribadi ”penghulu-kemenakan” ini dapat kita lihat kembali.
Disiplin anggota-anggota laskar dengan perwira yang langsung
mengepalai umumnya berdasarkan pola hubungan ”penghulu-kemenakan”.
Sang prajurit hanya patuh pada perintah dan pimpinan pribadi laskar sebagai
”bapak”. Ekses-ekses yang timbul sebagai akibat hubungan dan ikatan
pribadi dalam laskar-laskar itu dengan sesamanya, lebih banyak
menimbulkan kerugian daripada keuntungan dalam perjuangan melawan
Belanda. Pemerintah ketika itu mengambil kebijakan membubarkan laskar-
laskar itu, dengan segala akibatnya yang seringkali negatif bagi keamanan
daerah-daerah yang tadinya dikuasai oleh laskar-laskar itu.
Yang sebenarnya berpengaruh dan memegang tampuk kekuasan
pimpinan di Minangkabau, adalah penghulu. Ia seoran penguasa otonom,
mempunyai daerah (sawah dan ladang), rakyat (kemenakan), yang
mematuhi segala perintah (undang-undang yang dibuatnya.
Nagari tempat penghulu-penghulu bertempat kediaman, adalah
sesuatu federasi-penghulu-penghulu dan pada hakekatnya merupakan
sebuah ”republik”. Gabungan ”republik-republik genealogis” inilah, yang
jumlahnya mendekati seribu buah dan hubungan dengan sesamanya longgar
sekali, kalau tidak sering bermusuhan, oleh dunia luar disebut
”Minangkabau”.

6. Datuk, tuanku dan raja

Susunan masyarakat Minangkabau berdasarkan ikatan kekeluargaan


dengan suku sebagai kesatuan genealogis menurut garis ibu, tidak
memungkinkan timbul dan berkembang golongan ”ningrat-darah” seperti di
Jawa umpamanya. Golongan ningrat darah (”kaum feodal”) sebagai lapisan
masyarakat tertinggi yang eksklusif dan ”tertutup” (a closed society), secara
turun temurun memonopoli kekuasaan politik militer, juridis-asministratif,
kulturil dan ekonomis, tidak ada di Minangkabau.
Kedudukan dan fungsi sebagai penghulu berdasarkan pilihan seluruh
anggota keluarga (perut, kaum dan suku) dan karenanya tidak dipusakai oleh
anak maupun oleh kemenakan kandung, putra saudara wanita terdekat.
Seorang penghulu adalah ”ningrat-jabatan”, dengan hak-hak istimewa
(”prerogatives”) yang pada gelar pusaka yang dipakainya sebagai penghulu.
Yang diturunkan kepada kemenakan seperut, sekaum ataupun sepesukuan
dan terpilih sebagai pegantinya, ialah fungsi ”ningrat-jabatan” dengan hak-
hak prerogatif yang ”inhaerent” pada jabatannya itu.
Sebagai penghulu-ningrat-jabatan ia disebut ”datuk”. Terhadap
keluarga yang memilihnya seperti orang yang dituakan, ia bertindak sebagai
”administrator” dan pembina-pemelihara harta pusaka keluarga dalam bentuk
tanah dan rumah pusaka. Sebagai anggotan Kerapatan Adat ia terutama
mewakili dan membela hak-hak keluarga yang dipimpinnya.
Penghulu seringkali pula disebut ”tuanku”, terutama didaerah Pesisir
dan Rantau, dimana seorang penghulu sering bergelar ”raja”. Dizaman
pemerintah Belanda istilah tuanku digunakan sebagai sebutan kepala
daerah, seperti kepala nagari, kecamatan (asisten Demang), ”onderafdeling”
atau kewedanan (Demang).
Didaerah Rantau kedudukan penghulu yang disebut ”raja” turun
temurun dari bapak kepada anak. Demikian pula halnya dengan beberapa
daerah di Pesisir, umpamanya di Indrapura.
Daerah Pariaman mengenal gelar ”sutan, sidi dan bagindo buat
golongan yang mempunyai kedudukan maupun fungsi mendekati golongan
ningrat di Jawa. Untuk membedakan golongan ini dari lapisan rakyat biasa,
mereka lazim disebut ”orang berbangsa”. Orang berbangsa di Padang
memakai titel ”sutan atau marah” didepan namanya. Berbeda dengan gelar
penghulu, titel ”orang berbangsa” dapat diturunkan kepada anak, tetapi tidak
kepada kemenakan. Nama suku dan gelar pusaka tetap diterima oleh pihak
ibu. Golongan ”orang berbangsa” tidak disebut dengan istilah ”tuanku”, cukup
dengan menggunakan titel sutan, marah, sidi atau baginda saja. Ia
memperoleh nama panggilan tuanku, apabila mempunyai kedudukan atau
fungsi sebagai ningrat-jabatan.
Setelah Perang Padri selesai, titel tuanku digunakan pula sebagai
panggilan untuk seorang ualama yang berpengaruh dan berwibaa besar
didaerahnya, umpamanya ”tuanku imam” atau ”tuanku syech”. Itulah salah
satu hasil yang langgeng sebagai Gerakan dan Perang Padri, yang antara
lain dapat ditafsirkan sebagai ”revolusi” kaum agama di Minangkabau.
Berperan sebagai kaum ”intelektuil” (yang pandai tulis baca huruf dan
bahasa Arab), dalam masyarakat yang seluruh kekuasaan praktis dipegang
dan dimonopoli oleh penghulu, rasa tidak puas dengan kedudukan sebagai
rohaniawan, pendidik pemuda dan pembina penghidupan rohani penduduk,
tanpa dibarengi oleh kekuasaan duniawi apapun juga, kian meluas
dikalangan ulama muda terutama. Sungguhpun berasal dan dengan
sendirinya anggota dari sesuatu suku, ”the angry generation” ulama pada
akhir abad ke-18, dan permulaan abad ke-19 melancarkan Gerakan Padri
yang mencapai titik kulminasinya sebagai Perang Padri. Selama lebih kurang
satu generasi berhasil politis menguasai daerah-daerah Minangkabau,
mereka tidak saja menggunakan kesempatan baik itu untuk merombak
struktur organisasi masyarakat didaerah kuasa mereka. Biarpun kemudian
menderita kekalahan, perombakan-perombakan struktur yang telah mereka
laksanakan selama berkuasa itu, tidak dapat dihapus dan ditiadakan lagi
seluruhnya, ketika penghulu dengan bantuan Belanda berkuasa kembali di
Minangkabau. Diantaranya ialah diikutsertakam golongan agama dalam
Kerapatan Adat, yang tidak pernah terjadi sebelum Perang Padri. Titel
tuanku digunakan pula bagi pemimpin agama yang disegani.
Selama revolusi Fisik titel tuanku ditentang dan dihapus, dianggap
”feodal”, tidak sesuai dengan ”jiwa revolusioner” karena berbau ”kolonial” dan
diganti dengan sebutan ”bapak”
Sistem titulatur Minangkabau sama ruwet dan kompleksnya dengan
susunan masyarakat Minangkabau, terutama pada zaman sebelum Gerakan
dan Perang Padri.

7. Nagari, koto dan bandar

Pemakaian istilah nagari, koto dan bandar sebagai kesatuan


geografis, politik dan administratif seringkali digunakan dalam makna yang
berbeda-beda. Ada kata koto yang mengandung pengertian sama denmgan
istilah nagari. Luhak 50-Koto umpamanya terdiri atas 50 nagari. Kata koto
berarti nagari dalam nama ”kota Gadang” ”Koto Tuo” dan sebagainya.
Diluhak Agam. Dalam istilah ”Bandar-X”, kata bandar berarti nagari.
Nagari adalah federasi genealogis, bukan territorial, yang longgar.
Koto sebenarnya berarti ”benteng”, pusat pertahanan dan tiap-tiap nagari
maupun bandar. Dikelilingi oleh Parit dan dipagari dengan bambu berduri
(”aur”). Sehabis Perang Padri, Belanda menyuruh timbun parit dan bongkar
pagar bambu duri itu. Koto kehilangan fungsinya sebagai benteng dan lalu
mempunyai pengertian ”kampung”.
Nagari mempunyai wilayah sendiri dengan batas-batas alam yang
jelas, mempunyai pemerintah yang berwibawa, ditaati oleh seluruh penduduk
nagari. Pemerintahan nagari dilakukan oleh Dewan Kerapatan Adat, yang
anggota-anggotanya terdiri dari penghulu-penghulu andiko sebagai wakil
keluarga (kaum), maupun suku. Pada hakekatnya nagari adalah ”republik
otonom”, yang dengan sesamanya membentuk federasi longgar. Federasi
longgar dari ”federasi-republik-nagari” dinamakan ”luhak’. Luhak yang tiga
pada hakekatnya adalah federasi longgar dari luhak-luhak, disebut Alam
Minangkabau. Confederasi Alam Minangkabau dikepalai oleh raja
Minangkabau, yang kemudian berkedudukan di Pagaruyung, diluhak
Batipuh-Tanah Datar. Fungsi dan kedudukannya sejak permulaan abad ke-
15 tidak dapat disamakan dengan raja Mataramdi Jawa umpamanya. Raja
Pagaruyung praktis tidak mempunyai wibawa dan kekuasaan eksekutif,
legislatif dan yudikatif apapun juga terhadap luhak-luhak dan nagari.
Pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif sepenuhnya
ialah penghulu dan dewan Kerapatan Adat setempat.
Adityawarman sebagai seorang keturunan Melayu (Darmasraya) Jawa
(Majapahit), dibesarkan di keraton Majapahit, berhasil memaksakan sistim
pemerintahan sentralisasi menurut pola sistim Majapahit, ketika ia menjadi
raja Minangkabau (lk. 1347- 1375). Adtyawarman didampingi oleh seorang
Perdana Menteri sebagai tokoh tunggal dibidang politik. Ia diberi gelar ”Datuk
Perpatih nan Sabatang”, yang dalam kerajaan Pagaruyng memainkan
peranan lebih kurang seperti Mahapatih Gajah Mada di Majapahit. Tokoh
militer sebagai senopati, panglima angkatan perang, yang mendampingi raja
Adityawarman meninggal dunia dang kekuasaan militer kerajaan
Minangkabau menjadi lemah akibat pertempuran di Padang Sibusuk (1409),
nagari-nagari ”bebas” kembali dan raja Minangkabau kehilangan kekuasaan
dibidang politik. Yang dipertuan di Pagaruyung/Minangkabau lambat laun
menjadi ”ornamen”, hiasan tanpa sesuatu kekuasaan politik. Ia berfungsi
sebagai lambang kebudayaan. Kekuasaan terpecah-pecah menurut jumlah
nagari sebagai republik-republik otonom dalam ”konfederasi Minangkabau”
Nama Datuk Perpatih nan Sebatang dan Datuk Ketemanggungan
hidup terus di Minangkabau sebagai perumus adat (hukum) ”Bodi-Caniago”
dan ”Koto-Piliang”. Adanya koto sebagai pusat pertahanan tiap-tiap nagari
menjadi petunjuk, bahwa hubungan antara ”republik-nagari” yang satu
dengan yang lain, tidak selalu dapat dikatakan baik. Perselisihan paham,
dibarengi maupun tidak selalu dengan perang tanding antara pengikit-
pengikut penghulu yang seorang dengan yang lain, bukanlah sesuatu yang
mustahil pula dalam nagari. Dalam teori tiap-tiap perselisihan faham antara
nagari dengan sesamanya, antara penghulu yang seorang dengan yang lain,
antara pengikut-pengikut (kemenakan) seorang penghulu dengan sesama
mereka selalu dapat diselaesaikan dalam musyawarah.
Musyawarah dikatakan ”beraja kepada patut dan benar”. Kata sepakat
yang tercapai dalam musyawarah itu hendaknya ”bulat dapat digolongkan”
dan ”pipih dapat dilayangkan”. Tetapi pelaksanaan kata bulat, yang
”sedencing bak besi, seciok bak ayam dan seikat bak sirih” itu, tidak
selamanya seirama dan senada dengan perumusan persetujuan yang telah
disepakati bersama. Musyawarah berarti mempertemukan pendapat yang
saling bertentangan dan kata sepakat yang tercapai hampir selamanya
merupakan satu kompromi. Hal ini berarti, bahwa selalu ada pihak yang
merasa dirugikan dan tidak puas dan karenanya enggan atau tidak
sempurana mematuhi kata sepakat itu digambarkan dalam kata-kata: ”Ia-kan
kata orang, dijalankan kemauan sendiri”. Dalam prakteknya sikap yang
dirumuskan dengan kata-kata itu ialah mencabut persetujuan yang didapat.
Ungkapan-ungkapan seperti ”mengunting dalam lipatan, menusuk kaean
seiring, angguk anggak, geleng amuh (mengangguk tandanya tidak,
mengeleng tandanya setuju)’, dan sebagainya, menunjukkan kearah itu.
Dalam prakteknya sikap yang dirumuskan dengan ungkapan-ungkapan itu
lebih banyak memperenggang daripada mepererat dan lebih banyak
menimbulkan persoalan-persoalan baru daripada menyelesaikan yang lama
antara suku dan suku, antara nagari dengan sesamanya.
Rasa saling curiga-mencurgai, kurang percaya mempercayai sering
timbul sebagai akibatnya. Kekuasaan di Minangkabau terpecah belah antara
penghulu, nagari dan sebagainya. ”Atomisasi” kekuasaan itu membuat
masyarakat Minangkabau sangat peka, mudah disusupi kekuasaan asing.
Sejarah Minangkabau sejak pertengahan abad ke-16 memberikan bukti yang
nyata. Minangkabau ”yang berbenteng adat”, politis dan ekonomis
dipengaruhi sejak pertengahan abad ke-16 oleh Aceh dan sejak pertengahan
abad ke-17 oleh Belanda, terutama daerah Pesisir, karena itu arti ekonomis
dan pilitisnya lebih besar ketika itu daripada Alam Minangkabau dab daerah
Rantau.
Demokrasi sebagai salah satu unsur masyarakat Minangkabau adalah
demkrasi dalam rapat. Pelaksanaan keputusan-keputusan rapat yang dicapai
secara musyawarah, seringkali tidak lagi memenuhi syarat-syarat demokrasi.
Bandar berarti kota pelabuhan dan berasal dari kata Persia. Didaerah
Pesisir Selatan terutama, bandar mengandung pengertianyang sama dengan
nagari. Sama pula keadaanya dengan nagari, bandarpun pada hakekatnya
adalah ”kota republik dagang” yang otonom pula. Masing-masing mempunyai
koto, bertindak sendiri-sendiri, sering pula tidak bebas dari persaingan sengit
dengan sesamanya.
Hubungan antara nagari yang satu dengan yang lain, antara bandar
dengan sesamanya, longgar sekali. Adakalanya penduduk nagari atau
bandar yang satu memandang sebagai musuh nagari/bandar yang lain.
Perkawinan antara penduduk nagari/bandar yang satu jarang terjadi dengan
penduduk nagari/bandar yang lain. Perkawinan di Minangkabau pada
umumnya eksogam menurut suku, endogam menurut nagari. Karenanya
ikatan dan hubungan darah antara penduduk senagari erat sekali. Lazimnya
penduduk yang satu masih keluarga penduduk yang lain
Dizaman perang Padri tiap-tiap nagari menjalankan siasat perang dan
sisitim pertahanan sendiri-sendiri, mengadakan hubungan dan membuat
perjanjian dengan Bekanda sendiri-sendiri pula, seringkali tidak setahu atau
dengan mufakat nagari-nagari lain. Ikatan politik (yang kalau ada) sangat
longar dan hubungan yang sangat renggang antara ”republik” nagari dengan
sesamanya, adalah salah satu sebab, maka dalam waktu yang relatif
singkat, Belanda dapat politis-ekonomi menguasai Alam Minangkabau,
kecuali ”koto-Bonjol”.
Peta politik Minangkabau menjelang Perang Padri ruwet dan
kompleks sekali. Adalah keliru dan anachronistis, berlawanan dengan waktu,
anggapan yang menggambarkan kerajaan Pagaruyung/Minangkabau
sebagai sesuatu kekuasaan sentral, politis, ekonomis maupun militer.
Pagaruyung dengan lembaga-lembaga pemerintahan, hukum, adat dan
agamanya sejak pertempuran di Padang Sibusuk hanya berfungsi sebagai
lambang ”persatuan idiil”. Raja ”religio-magis”, bertuah, tanpa diperlengkapi
dengan sesuatu kekuasaan praktis apapun juga.
Pertanian merupakan sumber penghidupan yang utam bagi
Minangkabau disamping pertambangan mas. Lada, hasil bumi yang digemari
oleh dunia sepanjang masa, antara tahun 500-1000 diprodusir oleh daerah
rantau dan disalurkan keluar daerah melalui muara-muara sungai besar di
Pesisi Timur. Sebagai produsen penting dari hasil bumi itu dalam abad-abad
tersebut., rantau menjadi medan percaturan politik antara kekuasaan dunia
ketika itu, seperti Cina dan Persia. Timbul dan berkembang kerajaan
Sriwijaya di daerah Pesisir Timur sejak abad ke-7 anatara lain untuk
menguasai perdagangan lada dari rantau. Akibat hubungan dagang rantau
dengan daerah-daerah diluar Indonesia ketika itu, ialah rantau yang mula-
mula sekali menerima dan menganut agama ajaran.
Tidak kurang pentingnya ialah emas sebagai hail bumi Minangkabau,
yang disalurkan keluar daerah melalui sungai-sungai besar di Pesisir Timus
dan sejak abad ke-16 juga melalui daerah ”Pesisir”.
Lada dan emas itulah terutama yang ”mengundang Aceh
(pertengahan abad ke-16) dan Belada (pertengahan abad ke-17) untuk
menguasai daerah ”Pesisir”. Akibat hubungan dagang yang segera diikuti
hubungan politik antara daerah Pesisir dan Aceh, masuk dan berkembang
agama Islam didaerah itu dan merembes kedaerah ”Alam Minangkabau”.
Raja Pagaruyung/Minangkabau menjadi orang Islam (akhir abad ke-16).
Kekayaan emas didaerah Minangkabau digambarkan (secara
berlebih-lebihan) dalam surat yang dikirimkan oleh yang Dipertuan Sultan
Agha Mecha) kepada pimpinan ”Kompeni” di Jakarta (Batavia) pada
pertengahan tahun 1667, yang antara lain berbunyi, bahwa ”de Coning van
de Manicabo” mempunyai ”sungai-sungai dari emas” dan ”tambang emasnya
ribuan jumlahnya”.
Emas dan ladalah yang diberikan sebagai tanda persahabatan dari
raja-raja dan penghulu-penghulu daerah Pesisir kepada pimpinan ”Kompeni
di Jakarta, buah tangan seperti ”bungan tanpa bau (harum)”.
Tidak semua nagari di Minangkabau bersawah luas, bertanah subur
atau bertambang emas yang kaya. Koto Tuo, Koto Gadang, Balingka dan
nadari-nagari disepanjang danau Maninjau diluhak Agam, Sungai Puar
dilereng G. Merapi, Silungkang didaerah Sawah Lunto-Sijunjung dan Sulit Air
didaerah Solok-Muara Labuh adalah nagari yang bersawah sempit dan
bertanah kering.
Sejak permulaan abad ke-20 Koto gadang adalah salah sebuah
nagari Luhak Agam, yang menginsyafi arti politik-ekonomis kalau
bekerjasama dengan Belanda. Koto Gadanglah satu-satunya nagari
diseluruh Minangkabau yang mempunyai Sekolah Rendah Belanda (HIS)
hingga tahun 1942, dengan akibat nagari itu menjadi ”gudang kaum intelek
Minangkabau” yang paling banyak menghasilkan pegawai pamong-praja
(”demang”), dokter dan guru dizaman pemerintahan Belanda.
Pandai emas Koto Gadang khususnya dan luhak Agam umumnya
terkenal diseluruh Minangkabau karena keahliannya, sama halnya dengan
pandai besi dari Sungai Puar. Koto Tuo, Balingka dan nagari-nagari
disepanjang Pantai Danau Maninjau terkenal sebagai daerah yang
menghasilkan kaum saudagar yang berani, pengusaha yang gigih dan alim
ulama yang berpengaruh jauh keluar batas-batas nagarinya masing-masing.
Nama nagari ”Kumango” dilereng sebelah Timur G. Merapi , luhak Batipuh –
Tanah Datar, digunakan bagi nama barang-barang kelontong, ”barang
kumango”, karena penduduknya banyak bergerak dibidang perdagangan
barang-barang itu.
Kekurangan sawah dan tanah subur membuat nagari-nagari yang
miskin menjadi makmur dan memainkan peranan penting dibidang ekonomi-
politik dan agama di Minangkabau, karena keberanian dan kegigihan
penduduknya berusaha, berniaga dan menuntut ilmu hingga ke-daerah-
daerah yang jauh letaknya dari nagari mereka masing-masing.

8. Alim Ulama

Dewasa ini kaum alim ulama di Minangkabau sebagai golongan


rohaniawan, merupakan salah satu unsur pimpinan kaum ninik-mamak dan
kaum cerdik pandai. Unsur agama, politik (pemerintahan) dan ekonomi
(pembangunan) tiga ”atau” tungku (dapur) yang sejararangan tiga”
Kaum ninik mamak mewakili pemerintahan sipil dari kampung sampai
kepropinsi. Kaum cerdik pandai atau cerdik cendekiawan mewakili golongan
terpelajar, pengusaha dan saudagar. Garis yang tegas antara ketiga unsur
pimpinan itu tentunya tidak selalu dapat ditarik dengan tegas.
Dalam kerapatan-kerapatan adat atau dewan-dewan pemerintahan,
dari kampung sampai kepropinsi, suara kaum agama diminta dan didengar.
Dalam sejarah Minangkabau tidaklah selalu demikian halnya. Pada zaman
sebelum Gerakan Perang Padri, golongan agama sebagai kaum intelek
ketika itu, karena faham tulis baca (Arab), hanya berperanan sebagai
pendidik generasi muda dan pembimbing kehidupan rohani masyarakat.
Kedudukan dan fungsi sebagai rohaniawan masyarakat itu tidak dibarengi
oleh kekuasaan praktis apapun juga. Sebagai anggota dari sesuatu keluarga
dan suku, seorang ulama mungkin sekali memakai gelar keluarga atau
sukunya. Tetapi karena bidang keahlian dan tugasnya terletak dibidang
pendidikan, dibidang pemerintahan ia tidak bersuara. Sebutan yang
diletakkan pada nama seorang ulama ialah ”pandito”, khatib, imam atau
”syeh”, tergantung pada besar kecil keahlian dan wibawa yang dipunyai
sebagai guru agama dan pembimbing rohani masyarakat. Sebagao golongan
terpelajar mereka mengalami tekanan jiwa, karena tidak kebagian tempat
dan memperoleh penilaian yang wajar dalam susunan hirarki pemerintahan
dalam nagari. Karena itu merasa tidak puas. Perasaan tidak puas itu
berkembang dan meluas, seringkali sebagai akibat tindakan-tindakan dan
perbuatan-perbuatan kaum penghulu, yang tidak selamanya sejalan dengan
perintah agama dan hukum syarak.
Penyalah-gunaan kekuasaan oleh golongan maupun individu yang
sedang memegang kekuasaan atau mabuk kekuasaan, selalu terjadi dalam
sejarah. Tidak terikat pada waktu dan tempat. Reaksi yang
diakibatkannyapun selalu terjadi dari zaman ke zaman dan diseluruh dunia.
Dalam hubungan ini reaksi yang timbul dari permulaan abad ke-19 di
Minangkabau, bukanlah sesuatu yang ”khas” Minangkabau. Tetapi dapat
diangap sebagai perkembangan sejarah yang logis dari sesuatu golongan
yang merasa tidak puas. Perasaan tidak puas dari kalangan ulama-ulama
muda itu dengan bantuan sebagian besar dari murid-murid anak asuhan
mereka, dalam sejarah Minangkabau dikenal sebagai ”Gerakan-Padri” yang
kemudian meletus menjadi perang saudara, disebut ”Perang Padri” (1821-
1837). Pendapat, bahwa gerakan yang akan menentukan perjalanan sejarah
Minangkabau dalam abad-abad berikutnya itu hanyalah pertentangan kaum
adat dan kaum agama, penghulu dan ulama terlalu sempit. Kaum ulamapun,
karena berasal dari dan dibesarkan dalam lingkungan adat, sebagai
perorangan patuh kepada adat.
Inti dari gerakan pembaharuan dan perombakan susunan masyrakat
Minangkabau pada permulaan abad ke-19 itu, ialah karena segolongan dari
masyarakat yang menganggap dirinya kompeten, tidak mendapat tempat
dan kedudukan yang wajar dalam konstelasi politik di Minangkabau ketika
itu.
Biarpun Gerakan Padri yang mencetuskan Perang Padri dapat
ditumpas berkat bantuan senjata Belanda, sebagai ideologi yang
berpengaruh dan berkuasa didaerah Minangkabau yang dikuasainya selama
lebih kurang satu generasi, tidaklah lenyap seluruhnya dengan kekalahan
yang diderita oleh ”kaum Padri”. Sebagai ulama mereka tetap memonopoli
pendidikan (agama) dan pembinaan rohani masyarakat Minangkabau.
Perubahan-perubahan serta perombakan-perombakan sistim yang
sempat mereka praktekkan, ada yang bertahan dan berlangsung terus
sesudah Perang Padri selesai. Golongan agama diikut sertakan dalam
kerpatan-kerapatan adat, pendapat dan suara mereka didengar dan
dilaksanakan. Titel tuanku yang tadinya dimonopoli oleh penghulu sebagai
pemegang kekuasan tunggal dalam keluarga maupun sukunya dan sebagai
anggota ”dewan pemerintahan republik nagari” juga digunakan bagi kaum
ulama. Tergantung pada besar kecil pengaruh dan wibawa yang dipunyai,
seorang ulama bergelar atau disebut juga tuanku, seperti ”tuanku imam” atau
”tuanku syeh”
Pada zaman pendudukan tentara Jepang (1942-1945) dalam usaha
memperkokoh kedudukannya, penguasa ketika itu lebih menonjolkan
kedudukan dan peranan kaum ulama daripada penghulu. Alim ulama
sebagai pemimpin rakyat yang selalu dipersempit ruang geraknya dan
dipersulit kedudukkannya oleh Belanda, dianggap anti kolonial. Mereka
dipertentangkan dengan penghulu, sebagai ninik-mamak yang membantu
Belanda dan dicap sebagai ”kaki-tangan penjajahan”. Kaum Ulama tidak
melengahkan kesempatan yang dibuka oleh Jepang untuk memberikan
pendidikan latihan militer sebagai ”Gyu-gun”, barisan sukarela, guna
memenangkan ”Perang Asia Timur Raya”.
Dalam revolusi fisik (1945-1950) yang segera meletus setelah
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, di Minangkabau kaum ulama
memainkan peranan penting sebagai pimpinan militer, pimpinan
pemerintahan sipil dan partai-partai politik.

9. Pemerintahan

Ada daerah geografis Minangkabau yang sebagai Propinsi Sumatera


Barat meliputi ”Pesisir”, ”Dare’” (Alam Minangkabau) dan ”Rantau” didiami
oleh suku-bangsa Minangkabau. Ada kerajaan Minangkabau yang raja atau
kaisar serta dewan-dewannya berkedudukan kemudian di Pagaruyung,
Batusangkar. Adapula kebudayaan Minangkabau, berupa bahasa, tata cara
adat, ”Weltanschuung” penduduk yang mendiami ataupun berasal dari ilayah
Minangkabau.
Dalam sejarah sejak permulaan abad ke-15 tidak ada ”Pemerintah”
Minangkabau lagi yang berwibawa dan ditaati oleh seluruh daerah
Minangkabau. Kerajaan Minangkabau sesudah abad itu dalam sejarah tidak
lagi merupakan kesatuan-politik-administratif, sosial-juridis dan sosial-
ekonomis seperti kerajaan Mataram di Jawa umumnya, tetapi adalah ”kon-
federasi republik-republik genealogis” disebut luhak.
Raja atau kaisar Minangkabau bukanlah seorang tokoh politik seperti
raja Mataram di Jawa. Bukan pula merupakan lambang kesatuan dan
persatuan bangsa seperti umpamanya raj Inggris masih mempunyai hak-hak
prerogratif seperti membubarkan kabinet (atas usul dan persetujuan
Perdana Menteri), membubarkan parlemen (atas usul dan persetujuan
Kabinet), menanam wakilnya sebagai gubernur jenderal di negara-negara
anggota ”Commonwealth of Nations” (atas usul dan persetujuan negara
anggota tersebut) dan sebagainya.
Satupun dari hak-hak prerogatif raja Inggris itu tidak (pernah) dipunyai
oleh raja Minangkabau. Ia hanya seorang tokoh ”sakral”, orang ”bertuah”,
yang hidup dari ”bunga tanah”, upeti dari daerah Alam Minangkabau, Rantau
maupun Pesisir, yang pada hakekatnya lebih banyak merupakan lambang
daripada bukti pernyataan takluk dalam pengertian politis.
”Atomisasi” kekuasaan dalam tangan penghulu pada garis besarnya
menunjukkan persamaan dengan perpecahan kekuasaan di Yunani kuno.
Disanapun ”polis” sebagai ”republik-nagari” atau ”republik-bandar”
merupakan kesatuan-kesatuan politik otonom, yang seiring bersaing dan
bertempur dengan sesamanya. Kalau politis Yunani sebelum Iskandar Agung
berhasil membentuk dua kelompok kekuasaan dalam bentuk ”federasi
Athena” dan ”federasi Sparta”. Minangkabau belum sampai kepada taraf
perkembangan politik seperti itu dalam sejarahnya.
Sama pula keadaannya dengan ”polis-polis” Yunani kuno, yang
mengikat ”republik-republik nagari” dengan sesamanya, adalah persamaan
kebudayaan, persamaan bahasa, adat istiadat dan kepercayaan. Kalau Zeus
sebagai mahadewa pantheon Yunani lama berkedudukan di puncak G.
Olympos, raja Minangkabau dengan pimpinan dewan-dewan adat hukum
dan agamanya bersemayam di ”Olympos” Pagaruyung. Hanya orang Yunani
kuno sekali dalam empat tahun mengadakan pertandingan ketangkasan dan
kemampuan fisik, sebagai salah satu upacara keagamaan menghormati
Zeus dan mengadakan pertemuan perdamaian antara polis dengan
sesamanya. ”Pertandingan olimpiade” tidak pernah diadakan oleh penduduk
”republik-republik nagari” Minangkabau dengan sesama mereka
Persamaan yang dapat kita lihat pula antara masyarakat Yunani-lama
dan masyarakat Minangkabau kuno, ialah pidato sebagai seni-sastra yang
harus dikuasai oleh tiap-tiap penghulu sebagai wakil sesuatu keluarga
ataupun suku. Pidato menjadi salah satu keahlian bagi hampir tiap-tiap orang
Minangkabau, sehingga seorang ahli pidato, yang dapat membubuhi ucapan-
ucapannya dengan rangkaian papatah-petitih yang mempersonakan
pendengarnya, dianggap ahli pula dalam bidang pemerintahan.
Pesisir, Dare dan Rantau sebagai semacam ”republik federasi” yang
longgar sekali ikatan dan hubungan dengan sesamanya, mempunyai sistim
dan susunan pemerintah yang saling berbeda. Demikian pula keadaannya
dengan bandar dan nagari sebagai anggota dari ”republik-republik federasi”
itu.
Sistim dan susunan pemerintahan di Minangkabau, istimewa pada
zaman sebelum Perang Padri, bukanlah sesuatu bangunan ”piramidal” yang
puncaknya raja Minangkabau dengan dewan-dewan hukum, adat dan
agamanya. Bangunan pemerintahan itu lebih menyerupai ”kue lapis” dengan
ikatan dan hubungan yang longgar sekali antara ”lapis” yang satu dengan
yang lain. Yang mengikat lapisan itu dengan sesamanya ialah kebudayaan,
yamng sungguhpun memperlihatkan perbedaan-perbedaan sebagai akibat
pertumbuhan dan perkembangan setempat, tidak dapat disangkal
menunjukkkan persamaan yang besar pula. Satu bahasa yang digunakan
sebagai media komunikasi antara sesama suku-bangsa dalam wadah satu
wilayah, belum harus merupakan jaminan adanmya satu pemerintah yang
berwibawa dan ditaati oleh masyarakat, apabila pemerintah itu tidak
dilengkapi dan disokong oleh kekuatan fisik berupa tentara Minangkabau
sesudah abad ke-15 tidak (pernah) mempunyai tentara ”nasional” sebagai
kekuasaan fisik yang mendampingi raja Minangkabau. Akibatnya
Minangkabau dalam sejarahnya adalah satu kerajaan yang tidak mempunyai
pemerintahan raja atau seorang raja sebagai kepala pemerintahan.
Kenyataan ini parah sekali bagi perkembangan sejarah Minangkabau.
Surat yang dikirimkan oleh raja Indrapura kepada pimpinan
”Persatuan Dagang Timur Jauh” Belanda (VOC) di Jakarta (Batavia),
melukiskan dengan jelas bagaimana terpecanya pemerintahan didaerah
Pesisir (Selatan). Surat itu dikirimkan ketika kekuasaan ekonomi-politik Aceh
dibawah pimpinan Ratu Tadjul Alam Syafiat-ud Din (1641-1676) mulai
menurun didaerah Pesisir dan kekuasaan ekonomi-politis Badan Dagang
Belanda yang dibimbing Joan Maetsuycker sebagai Gubernur Jenderal
(1653-1678) mulai berkembang dan meluas diwilayah Indonesia umumnya
dan di Pesisir khususnya. Kerajaan ”Indrapoure” diperintah oleh Raja
Musaffar Syah (”Malaforcha”), yang didampingi oleh anaknya. Sultan
Muhammad Sjah (”Mahometcha”) dan menantunya, raja Sulaiman
(”Selenan”). Antara bapak dan anak-anak dan menantu, tidak ada kecocokan
faham mengenai pemabagian kekuasaan. Mereka bertiga didampingi oleh
”dewan” yang beranggotakan 20 orang penghulu, masing-masing mewakili
bandar nagari ataupun sukunya. Bahwasanya diantara ke-20 orang penghulu
itu selalu tercapai kata sepakat, ”yang seciok bak ayam”, dan sebagainya,
dengan sesama mereka, kiranya jauh dari kenyataan yang sebenarnya.
Selanjutnya surat itu menuliskan, bahwa ”Padangh” diketuai oleh seorang
penghulu raja Orangkaya Kecil (”Pangelou Raja Orangcay Quitchil”),
didampingi oleh 8 orang penghulu, ”Cottatenge” yang meliputi daerah Tabing
sekarang, dipimpin oleh 10 orang penghulu dan Bandar-X mempunyai 4 raja,
”Raja nan Ampek” didampingi oleh 4 orang penghulu, ”raja Painan”
(”Peynan”), seorang yang disebut ”Raja Carbou” dan penghulu Banga
Pasang (”Bongay Passan”)
Demikianlah pembukaan surat yang ditulus bersama oleh daerah-
daerah tersebut, kepada pimpinan pusat VOC dan dmuat dalam ”Dagh-
register” tahun 1666-1667. Tentunya bentuk pemerintahan yangwet dan
kompleks serupa itu tidak hanya didapati di daerah-daerah tersebut saja dan
merupakan pola umum sistim dan organisasi pemerintahan Pesisir, Alam
Minangkabau dan Rantau. ”Rimbaraja” susunan pemerintahan yang pecah
belah itulah dalam teori mengakui Yang Dipertuan di Pagaruyung sebagai
tokoh ”sakral”, orang bertuah”, yang tidak mempunyai ”bajangan” kekuasaan
praktis apapun didaerah kerajaan Minangkabau.
Dengan runtuk dan digantikan pengaruh politik-ekonomiAceh oleh
Belanda di Pesisir sejak pertengahan abad ke-17, kompeni mengakui
kedaulatan ”Kaisar” Minangkabau didaerah tersebut. Pengakuan itu
dibarengi dengan syarat ditunjuk Kompeni sebagai wakil (”stadthhouder”)
raja Minangkabau sejak dari Barus di sebelah Utara dan Teluk Ketaun
disebelah Selatan. Taktik Belanda itu dimaksudkan guna melegalisir
politiknya secara ekonomis menguasai Pesisir, yang telah di- ”bebaskan’ dari
penguasaan yang tidak ”legal” oleh Aceh, bersama-sama dengan penduduk.
Belanda sendiri tidak mempunyai pandangan yang tinggi pada raja
Minangkabau ”yang istananya di Pagaruyung” tidak dapat dibedakan dari
gubuk-gubuk rakyat yang sangat miskin. Tuan ”raja Miskin” itu diperlukan
oleh Belanda guna wibawa politik dan ekonominya ditempat yang
dipaksanya untuk mengakui monopoli pembelian lada dan emas dan
pemasukan tekstil dan garam didaerah itu.
Berkali-kali orang yang menyebut dirinya ”putera raja Minangkabau”
dan ”yang Dipertuan” sejak akhir abad ke-17 dan permulaan abad ke-18,
mempersulit kedudukan Belanda di Pariaman, Ulakan, Kota Tengah dan
Padang, sejak tahun 1680 dijadikan pusat kegiatan ekonomi dan politik
Belanda di Pesisir.
Tindakan pemimpin-pemimpin laum Padri yang mati kemuarga raja
Minangkabau di Kota Tengah (1809), bukanlah perbuatan yang didorong
terutama oleh perhitungan politik, tetapi adalah sesuatu tindakan psikologis
yang efek politisnya telah diperhitungkan secara mendalam. Tujuan utama
adalah menghapus sekaligus dengan tindakan yang radikal, mitos raja
Pagaruyung/Minangkabau sebagai tokoh ”religio-magis”, karena masih
”keturunan” Iskandar Zulkarnain. Nilai politik dari tindakan radikal psikologis
itu dibuktikan dengan dukungan luas dari sebagian besar daerah
Miangkabau kepada Gerakan dan Perang Padri. Kenyataan itu antara lain
membuktikan, bahwa pimpinan-pimpinan kaum Padri bukanlah tanpa
mempunyai pengetahuan psikologis yang tepat mengenai penduduk
Minangkabau yang pimpinan politiknya hendak mereka rebut.
Setelah Belanda berkuas di Minangkabau, mereka menerapkan sistim
pemerintahan menurut pola yang dijalankan di Jawa. Beberapa nagari
sebagai republik otonom-geologis dijadikan kesatuan administratif-territorial
dibawah pimpinan seorang penghulu yang diberi gelar ”tuanku laras”
Jabatan laras kemudian dihapus, digantikan dengan istilah ”kepala
nagari”, ”asisten-demang” maupun ”demang”, menurut besar kecil daerah
administratif yang dipimpinnya sebagai seorang ”penghulu-kepala daerah”
(nagari, onderdistrict atau kecamatan dan district atau onderafdeling). Kepala
daerah tunduk dibawah perintah asisten resident atau ”tuan luhak”, yang
memimpin ”afdeling”.
Dengan sedikit perubahan pada dasarnya sistim pemerintahan itu
dilanjutkan oleh Pemerinatah Republik Indonesia. Pemimpin sebuah nagari,
yang fungsinya dapat disamakan dengan lurah di Jawa, disebut ”wali nagari”,
asisten demang menjadi ”camat” dan afdeling menjadi ”kabupaten’, dibawah
pimpinan seorang ”bupati-kepala daerah”

10. Kesimpulan

Stelsel serba-ibu (matriarchaat-stelsel) sebagai landasan susunan


Masyarakat Minangkabau dari segala zaman, adalah sumber kekuatan dan
kelemahan sekaligus bagi Minangkabau.
Segi positif sebagai sumber kekuatan itu antara lain:
1. Demokrasi Minangkabau, yang dalam musyawarah selalu
berusaha mencapai kata sepakat dan bulat tanpa pungutan suara.
Kaum wanita sebagai pemilik tanah, bahan produksi (pangan) dan
rumah, dus ekonomis menduduki posisi kuat, memainkan peranan
yang menentukan (dibelakang layar) tiap-tiap musyawarah.
Sebagai ibu mereka selalu berusaha menghindarkan ”kelas-fisik”
antara kaum dalam nagari, karena dapat mengancam dan
membahayakan keselamatan jiwa ”anak” (rakyat), alat dan bahan
produksi.
2. Pidato berkembang menjadi seni-sastra yang bermutu tinggi
sebagai alat dalam musyawarah untuk meyakinkan pihak lawan
dan mencapai kata sepakat dan bulat, guna mempertahankan
perdamaian dan kerukunan hidup antara-kaumdalam nagari.
3. Dapat selalu tercapai kata sepakat dan bulat akibat peranan kaum
wanita (dibelakang layar), tidak dirasa perlu adanya pemerintah
pusat yang berwibawa, didampingi oleh kekuatan fisik (tetara)
yang kuat, maupun pemimpin yang menonjol dalam masyarakat:
musyawarah adalah ”raja”.
4. Pandangan hidup ”berguru pada alam terbuka”, menimbulkan sifat
pada orang Minangkabau sifat retionil, kritis dan selalu
berpedoman pada perhitungan laba-rugi dalam menghadapi
persoalan hidup.
Orang Minangkabau menjadi saudagar ulung, pengusaha berani
dan diplomat cekatan.
5. Sistim kolektivisme, yang dalam buku ini dirumuskan sebagai
sistim komunalisme berdasarkan ikatan daerah menurut garis ibu
(matri-lineal), menjadikan keluarga pengertian Minangkabau
sebagai ”pelabuhan aman di tengah-tengah gelora lautan besar”
Pepatah: ”Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, kegunung
sama mendaki dan kelurah sama menurun”, mengakibatkan tidak
ada orang Minangkabau yang hidup terlantar dan mencegahnya
melakukan perbuatan-perbuatan pidana yang dapat mencemarkan
keluarganya.

Segi negatif sebagai sumber kelemahan diantaranya ialah:


1. Kaum wanita yang memiliki segala sesuatunya, sedangkan kaum pria
tidak dapat menyebut sesuatupun sebagai kepunyaannya, juga tidak
anak yang dilahirkan oleh isterinya, -ia ”tidur disurau dan makan
dilapau”-, menimbulkan rasa tidak puas pada golongan pria. Yang
berani, mempunyai inisiatif dan berbakat, meninggalkan keluarga dan
nagarinya untuk hidup menetap di rantau. Dari zaman kezaman
Minangkabau mengalami ”drainage” tenaga-tenaga pembangunan
yang baik
2. Dipaksa tenaga-tenaga pembangunan sekembalinya dilingkungan
keluarga dan nadari untuk berpikir menurut pola adat, membuat
kebanyakan dari tenaga-tenaga yang pergi merantau enggan
”pulang”, sungguhpun dirantau selalu merindukan ”kampung”.
3. Karena merasa tidak perlu ada pemerintahan pusat yang berwibawa,
didampingi oleh kekuatan fisik yang kuat. Minangkabau mudah saja
didominir oleh kekuasaan ekonomi-politik dari luar, berbeda dengan
Aceh, Banten, Makasar, dan sebagainya, yang sejak agama Islam
masuk dan berkembang di daerah-daerah tersebut mampu
membentuk pemerintahan pusat berwibawa, didampingi oleh ”tentara
nasional”, guna menghambat dominasi-politik dari luar.
4. Usaha Adityawarman (1347-1375) menegakan pemerintahan pusat
yang berwibawa dengan angkatan perang yang kuat menurut pola
pemerintahan Majapahit, gagal setelah ia meninggal dunia dan tentara
Minangkabau mengalami kemenangan tipis di Padang Sibusuk
melawan tentara dari Majapahit (1409): stelsel serba-ibu ternyata lebih
kuat dengan atomisasi kekuasaan ditangan penghulu dalam republik-
republik nagari
5. Sifat rationil, kritis dan serba-benda (materialistis) sebagai ciri khas
dari orang Minangkabau, yang dalam pola susunan masyarakat
serba-ibu tidak mendapat saluran yang wajar, menjelma dalam
pergaulan hidup sehari-hari sebagai cemooh, kritik yang lebih banyak
bersifat meruntuh daripada membangun

Kelemahan-kelemahan demokrasi Minangkabau dengan stelsel


serba-ibu sebagai sumber utama, mengakibatkan Minangkabau didominir
oleh kekuasaan ekonomis-politik selama beberapa abad karena
menghalangi terbentuk pemerintahan pusat yang berwibawa didampingi oleh
angkatan bersenjata yang kuat.
Apabila Minangkabau tidak hendak ditingalkan tercecer dibelakang
dalam perlombaan mencapai kemajuan dibidang kulturil-ekonomi dan politik
dam lingkungan Negara Republik Indonesia, generadi-generasi
Minangkabau yang akan datang harus berani meniadakan segi-segi negatif
dari stelsel serba-inu ini, hingga menjadi tenaga pendorong dan bukan daya
penghambat masyarakat Minangkabau.
BAB II

PRA-SEJARAH

1. Pendahuluan

Pra-sejarah ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia serta


peradabannya sejak zaman permulaan adanya manusia sapai kepada
zaman sejarah. Sejarah mulai dengan adanya keterangan-keterangan tertulis
Sampai sekarang peninggalan-peninggalan pra-sejarah di
Minangkabau sangat sedikit. Mudah-mudahan pada waktu yang akan datang
penyelidikan dan penelitian pra sejarah dan kebudayaan Minangkabau kuno
dapat diungkapkan.

2. Zaman Paleo-lithicum (= batu tua)

Di Sumatera Tengah umumnya dan Minangkabau khususnya


penemuan alat-alat paleolithikum belum ada. Mengingat letak geograis
daerah Minangkabau, kemungkinan peningglan-peninggalan paleoilithikum
tentu juga ada di Minangkabau. Penemuan-penemuan belum dilakukan dan
apbila dalam waktu mendatang, penyelidikan dan penggalian alat-alat
paleolithikum lebih digiatkan, hasilnya tentu akan membuka tabir pra sejarah
Minangkabau.

3. Zaman Neo-lithikum (=batu baru)

Hasil kebudayaan microlithikum, batu-kecil-kecil, didapat dalam


beberapa dua di Jambi Hulu dan disekitar danau Kerinci. Barang-barang itu
dibuat dari batu kaca gunung berapi (obisidian atau kecubung) dan
digunakan sebagai ujung panah, pisau dan alat-alat lain. Barang-barang
untuk membuat alat-alat itu didatangkan dari daerah Merangin, Jambi Hulu
ke Kerinci.
Disamping peninggalan-peninggalan itu didaerah disekitar danau
Kerinci juga ditemukan pecahan-pecahan periuk dari tembikar.

4. Manusia Pertama di Minangkabau

Alat-alat neolithikum sebagai artefak-artefak, yang ditemukan


didaerah Kerinci dan Jambi Hulu, tidak dibarengi dengan tulang belulang
(fosil) manusia.
Karena kebudayaan adalah hasil ciptaan manusia, pendukung hasil-
hasil kebudayaan neo-lithikum didaerah-daerah tersebut pasti manusia yang
jenisnya belum dapat dipastikan hingga sekarang. Kemungkinan besar
pendukung kebudayaan neo-lithikum di Minangkabau adalah Austronesia
(Melayu-Polinesia) atau Melayu-Tua, penduduk asli Minangkabau. Mereka
datang ke Minangkabau dalam ikatan keluarga secara bergelombang dan
dalam jangka waktu yang sangat lama, dengan mempergunakan perahu
bercadik hasil kebudayaan khas bangsa Austronesia (±2000 tahun sebelum
Masehi). Merekalah pendukung kebudayaan neolithikum, yang ciri utamanya
ialah pertanian dan peternakan yang sederhana. Pekerjaan kebanyakan
dikerjakan oleh kaum wanita. Wanita ialah lambang kesuburan dan produksi
dan adalah unsur masyarakat yang tetap tingal dirumah (kampung). Karena
itu kaum wanita memegang peranan penting dalam ikatan kekeluargaan dari
kampung.
Mungkin sebabnya hanya di Minangkabau adat matrilineal tetap
bertahan sampai sekarang, sedangkan nenek moyang bangsa Indonesia
sama-sama bangsa Austronesia? Mungkin sekali adat matrilineal lebih dalam
tertanam dan karena itu lebih kuat dapat bertahan di Minangkabau daripada
daerah-daerah Indonesia lainnya.

5. Zaman Perunggu

Peninggalan pra-sejarah dari zaman perunggu didapat didaerah


danau Kerinci dan Bangkinang.
Ditepi danau Kerinci ditemukan bejana perunggu yang bentuknya
seperti periuk besar. Bejana serupa itu dijumpai pula didaerah Asia
Tenggara. Didaerah danau Kerinci juga ditemukan bagian dari selubung
lengan perunggu yang tidak digunakan sebagai perisai dalam perang.
Bejana perunggu yang didapatkan didaerah Kerinci itu mempunyai motif
hiasan spiral, yang umum dijumpai di Asia Tenggara pada waktu itu.
Kenyataan ini membuktikan adanya hubungan kebudayaan antara daratan
Asia Tenggara dengan Kerinci khususnya, dengan Sumatera dan Indonesia
umumnya. Hasil kebudayaan perunggu yang terdapat didaerah danau
Kerinci itu berasal ± 300 tahun s.M.
Didaerah Bangkinang juga ditemukan peninggalan kebudayaan
perunggu berupa arca-arca kecil dan beberapa jenis barang-barang lain,
yang kegunaanya hingga dewasa ini belum dapat diketahui.

6. Pendukung Kebudayaan Perunggu

Pembawa kebudayaan neolithikum ke Indonesia ialah bangsa


Austronesia-tua (Melayu-Polinesia) atau Melayu Tua. Rumpun bangsa
Austronesia pendukung kebudayaan perunggu ialah bangsa Austronesia-
baru (atau Melayu Muda). Mereka datang juga dengan cara bergelombang,
dalam jangka waktu yang lama, dengan membawa keluarga dan
kebudayaan mereka. Percampuran bangsa Melayu Tua dengan Melayu
Muda itu menurunkan nenek moyang orang Minangkabau.
Sungguhpun peninggalan-peninggalan pra-sejarah di Minangkabau
dari zaman perunggu baru didapatkan didaerah sekitar danau Kerinci dan
Bangkinang, hal itu bukanlah berarti, bahwa kebudayaan perunggu di
Minangkabau hanya terbatas didaerah yang dua itu saja. Berdasarkan
hipotesis, Minangkabau telah didiami oleh manusia pada zaman neolithikum
(± 2000 tahun s.M), tidaklah gegabah kiranya kesimpulan, bahwa pada tahun
300 s.M, daerah Minangkabau didiani oleh kebudayaan perunggu. Hal itu
dibuktikan oleh penemuan-penemuan didaerah Bangkinang dan danau
Kerinci, yang berasal dari ± 300 tahun s.M.
7. Kebudayaan Megalithikum (=batu besar)

Kebudayaan megalithikum menghasilkan bangunan dari batu-batu


besar, yang tidak dikerjakan secara halus, tetapi hanya diratakan sekedar
untuk mendapatkan bentuk yang diinginkan. Kebudayaan ini berakar pada
zaman neolithikum, tetapi baru berkembang pada zaman logam.
Kebudayaan megalithikum di Indonesia samapai sekarang masih
terdapat di pulau Nias, Sumba dan Flores.
Peninggalan hasil kebudayaan megalithikum di Minangkabau berupa
batu bergambar dan batu bersurat terutama didapati didaerah Batusangkar,
seperti Kubu Rajo, Limo Kaum, Suroaso dan Kumani. Karena daerah ini
pernah menjadi pusat kerajaan Minangkabau, diperkuat pula oleh
pernyataan Jawatan Purbakala Sumatera Barat, orang banyak beranggapan
bahwa batu-batu itu adalah peninggalan Adityawarman, raja Pagaruyung.
Pada tempatnyalah kalau kekeliruan yang telah berurat berakar selama
beberap puluh tahun itu, dibetulkan dengan ini. Peninggalan kebudayaan
Megalithikum didaerah Batusangkar itu jauh lebih tua umurnya daripada
kerajaan Minangkabau, yang baru menjelang abad ke-16 menjadi
Pagaruyung tempat kediaman raja. Karena Adityawarman memerintah pada
pertengahan abad ke-14, tidak pernah menjadikan Pagaruyung ataupun
tempat lain didaerah Batusangkar sebagai pusat kerajaan yang dipimpinnya
tidaklah mungkin kiranya megalit-megalith disekitar Batusangkar itu
peninggalan Adityawarman, ”raja Pagaruyung”.
Peninggalan-peninggalan kebudayaan megalithikum selanjutnya
dijumpai di Pariangan-Padang Panjang, nagari kembar dilereng G. Merapi,
disekitar Danau Singkarak dan di Muara Takus, sebagai bangunan yang
dianggap keramat, dengan masuk dan berkembang agama serta
kebudayaan Budha didaerah Pesisir Timur Sumatera, dijadikan stupa,
lambang agama Budha.

8. Kepercayaan Nenek-Moyang

Kepercayaan bersumber pada pemujaan arwah nenek moyang yang


bertempat kediaman ditempat-tempat yang dianggap keramat seperti:

a. Gunung-gunung
Tambo menyebutkan, bahwa nenek-moyang orang Minangkabau
berasal dari gunung Merapi, seperti bunyi pantun:
” Dari mano asal terbit palito
Dari tanglung nan berapi
Dari mano asal nenek moyang kito
Dari lereng gunung Merapi”
Dikaki Gunung Merapi sebelah Selatan terdapat nagari kembar
Pariangan-Padang Panjang, daerah asal nenek moyang orang
Minangkabau menurut tambo lama. Gunung Merapi sebagai daerah
asal orang Minangkabau, menjadi ”gunung bertuah”, keramat.
Pemujaan gunung adalah unsur dari kebudayaan magalithikum
b. Makam-makam
Peninggalan kebudayaan megalithikum yang berhubungan erat
dengan pemujaan arwah nenek moyang ialah makam, tempat nenek-
moyang dikebumikan dan diziarahi pada waktu-waktu tertentu oleh
anak cucu dan kaum kerabat.
Dengan masuk dan berkembang pengaruh kebudayaan dari India,
ziarah kemakam semakin ramai dilakukan,sesudah meluas ajaran
Islam di Minangkabau, ziarah ke makam masih lazim diadakan,
walaupun dilarang agama. Kebiasaan turun temurun lebih kuat
daripada ancaman hukuman agama, yang menganggap kebiasaan-
kebiasaan dari zaman jahiliyah sebagai dosa.
Disamping arwah nenek moyang dan makam, dianggap ”bertuah” pula
kerbau. Kerbau di Minangkabau adalah binatang terhormat dan
dijadikan lambang Minangkabau. Kerbau telah dijinakan sejak zaman
neolithikum dan berhubungan erat dengan kebudayaan pra-sejarah.
Upacara adat menegakkan penghulu disertai menyembelih kerbau.
Kerbau mempunyai fungsi sosial untuk mengerjakan sawah dan
fungsi religius, hewan yang disembelih pada upacara-upacara
tertentu. Tanduk kerbau mempunyai unsur-unsur magis dan hampir
ditiap-tiap rumah Minangkabau ditemui tanduk kerbau sebagai hiasan.

9. Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai


berikut:
a. Sumber-sumber pra sejarah Minangkabau masih sangat sedikit dan
terbatas tempat diketemukannya. (Sekitar Danau Kerinci, Danau
Singkarak, daerah Bangkinang dan Batusangkar).
b. Minangkabau telah didiami oleh manusia pada zaman neolithikum (±
2000 s.M), yang serumpun dengan bangsa Austronesia (Melayu Tua)
dan menganut adat matrilineal
c. Pada zaman perunggu (± 300 s.M) datang bangsa baru ke
Minangkabau, yang serumpun dengan bangsa Austronesia yaitu
bangsa Melayu Muda.
d. Percampuran-percampuran bangsa Melayu Tua dan Melayu Muda
menurunkan nenek moyang orang Minangkabau, pendukung
kebudayaan perunggu dan megalithikum
e. Kebudayaan Megalithikum meninggalkan bekas-bekas di
Minangkabau yang hingga dewasa ini masih jelas dapat dilihat pada
unsur-unsur kepercayaan rakyat (Pemujaan gunung, menziarahi
makam, percaya kepada ”tuah” barang-barang pusaka batu-batu
besar dan orang-orang besar dan hean tertentu.
BAB III

MULA SEJARAH MINANGKABAUDAN PERIODE MINANGKABAU TIMUR


(Abad pertama masehi - ± 1350)

1. Pendahuluan

Sejak permulaan tarikh Masehi hubungan lalu lintas antara daerah-


daerah disebelah Barat Laut dan Timur Laut dari Indonesia dengan
Nusantara mulai berkembang. Berita-beriata mengenai kepulauan kita dan
hasil-hasil buminya mulai disebut dalam sumber-sumber sejarah lama Cina,
India dan Mesir-Yunani. Catatan-catatan ini masih sangat samar dan baru
pada abad ke-5 ada berita-berita yang tegas mengenai Tanah Air kita.
Zaman antara abad pertama masehi hingga abad ke-5 itu disebut ”Zaman
Proto Sejarah” atau ”Zaman Mula Sejarah Indonesia”.
Khusus mengenai Minangkabau berita-berita tertulis tertua baru ada
sejak abad ke-7 dan karena itu periode antara abad pertama masehi hingga
abad ke-7 kita namakan ”Zaman Mula Sejarah Minangkabau”.
Abad ini mencoba membahas perkembangan Sejarah Minangkabau
sejak dari abad pertama Masehi hingga pertengahan abad ke-14, yang
meliputi:
a. Zaman Mula Sejarah Minangkabau dan
b. Periode Minangkabau Timur

2. Zaman Mula Sejarah Minangkabau (abad pertama – abad ke-7)

a. ”2% fakta sejarah” dan 98% mythology”.

Sumber-sumber tertulis ”Zaman Mula Sejarah Minangkabau sangat


sedikit, bahakan tidak ada sama sekali. Buku-buku tambo seperti Tambo
Alam Minangkabau” dan ”kaba-kaba”, yang besar jumlahnya dan tersebar
luas di Minangkabau, secara semu ada menyinggung-nyinggung perihal
penghidupan orang Minangkabau, yang dapat dijadikan sumber bagi zaman
ini. Hanya hingga dewasa ini (masih) belum ada usaha untuk dengan cara
teratur dan tekun menyelidiki dan menyaring fakta-fakta Sejarah
Minangkabau dari tambo-tambo dan kaba-kaba itu. Cerita-cerita rakyat yang
dipusakai (sebagian besar secara lisan) turun temurun dan baru sebagian
kecil dibukukan, setidak-tidaknya berisi ”2% fakta sejarah, yang tenggelam
dalam ”98% mythology”. Masalahnya ialah mengali dan meyisihkan 2% fakta
sejarah dari 98% (lumpur) mythology itu. Pada umumnya tambo-tambo dan
kaba-kaba itu baru diusahakan (sebagian kecil) penulisannya, ketika
Minangkabau telah mengenal tulisan. Tulisan itu abjad Arab, lazim disebut
”huruf Melayu”. Kenyataan ini mengandung makna, bahwa orang
Minangkabau baru pandai baca tulis, setelah mereka beragama Islam.
Agama Islam bukan saja agama besar yang diwahyukan oleh Tuhan
s.w.t, kepada Nabi Muhammad s.a.w, dengan perantara Malaikat Jibril, yang
kemudian dibukukan dalam Kitab Suci ”al Qur’an”, tetapi juga sesuatu ”way
of life”, pandangan hidup yang menjiwai dan meresapi segala amal-
perbuatan para penganutnya. Karena itu bukan saja penduduk sesuatu
daerah, tempat agama Islam masuk dan berkembang yang di-Islam-kan,
tetapi juga seluruh lembaga masyarakat dan hasil-hasil kebudayaannya,
termasuk tambo-tambo dan cerita-cerita lamanya, peninggalan dari ”zaman
jahiliyah”.
Tambo-tambo dan kaba-kaba bukanlah harta milik pribadi orang yang
menceritakan atau membukukannya, tetapi pusaka dan harta kekayaan
bersama. ”Auteursrecht”, hak cipta, ciptaan hukum Barat, tidak dikenal dan
karena itu tidak berlaku di Indonesia umumnya dan di Minangkabau
khususnya (hingga dewasa ini). Tiap-tiap orang yang membukukan,
menyalin ataupun membawakan tambo-tambo dan cerita-cerita lama itu
didepan umum, ”bakaba”, bebas menyisipkan pandangan-pandangan dan
pendapat-pendapat pribadinya, maupun pendapat-pendapat umum yang
sedang berpengaruh pada suatu ketika didalam sesuatu masyarakat. Tiap-
tiap penyusun atau ”tukang kaba” tambo-tambo dan kaba-kaba pada
hakekatnya juga seorang ”mede-auteur” dan karenaitu timbul bermacam-
macam versi dari tambo atau kaba yang asalnya sama. Kenyataan ini tidak
mempergampang usaha penyelidikan tambo atau kaba sebagai sumber
sejarah umumnya, sumber sejarah Minangkabau khusunya. Kesulitan itu
ditambah lagi dengan kenyataan, bahwa tidak sebuah tambo atau kaba yang
memuat angka-angka tahun. Faktor waktu tidak pernah memainkan peranan
penting dalam masyarakat lama kita (dan dalam banyak hal juga tidak dalam
masyrakat modern Indonesia sekarang). Semua faktor inilah antara lain yang
menyulitkan penggalian dan penyisihan ”2% fakta sejarah” dari ”98%
mythologty” yang melingkupnya dalam tambo-tambo dan kaba itu, yang telah
dibukukan maupun yang belum. Penyelidikan tambo-tambo dan kaba-kaba
itu tidak saja menghendaki dedikasi yang besar disamping keahlian yang
besar pula, tetapi juga meminta waktu yang lama dan ketekunan kerja yang
tidak sedikit.
Para penyusun buku Sejarah Minangkabau ini tidak mempunyai
pretensi, apalagi kompetensi, memenuhi syarat-syarat tersebut untuk
menyelidiki, ”menyiang-menyigi” tambo-tambo dan kaba-kaba Minangkabau
lama guna menyaring 2% fakta sejarah dari 98% mitologi yang membungkus
cerita-cerita rakyat lama itu. Kami hanya ingin membangkitkan hasrat
golongan yang berminat dan berkompetensi besar secara tekun dan sabar
menyelidiki ”pusaka usang” warisan nenek moyang dari zaman kezaman itu,
hingga dapat memberikan keterangan-keterangan yan secara ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan mengenai pertumbuhan dan perkembangan
lembaga-lembaga Minangkabau, seperti adat istiadatnya, susunan
masyarakat, sistim dan struktur pemerintahannya, sejarah Minangkabau
sejak zaman Mula Sejarahnya, sebagai lanjutan dari Zaman Pra-Sejarahnya,
dan sebagainya.

b. Perkembangan Rantau

Perkembangan sistim pemerintahan yang bertali temali erat dengan


pertumbuhan lembaga-lembaga adat dan penyebaran penduduk
Minangkabau rupanya telah sejak dari Zaman Mula Sejarah, yang
merupakan kontinuitas dari perkembangan Zaman Pra-Sejarah sebelumnya.
Sebagai penduduk yang menggantungkan hidupnya terutama pada
pertanian dengan ”berkembang biaknya anak kemenakan” keharusan untuk
mencari dan ”menaruko” daerah-daerah baru yang subur kian terasa dan
mendesak. Daerah-daerah baru dibuka dan ditemapati. Sungai-sungai yang
banyak dialiri, Lembah-lembah subur didaerah-daerah alirannya dengan
dikerjakan dan diduduki. Timbul ”luhak-luhak” sebagai ikatan ”politik-
ekonomi-budaya” yang longgar dari nagari-nagari didalam tiap-tiap luhak.
Terjadilah ”rantau”, daerah ”kolonisasi” pada lembah-lembah sungai, yang
tetap memelihar ikatan ”politik-ekonomi-budaya” dengan luhak-luhak di Alam
Minangkabau. Penghulu di nagari asal adalah ”raja” di Rantau. Adat
matrilineal yang dipegang kokoh di Alam Minangkabau, kian lama kian
longgar ”didaerah-daerah kolonisasi”. Peranan bapak lebih terasa dan
menonjol di ”Rantau” daripada peranan ninik-mamak dinagari asal. Dengan
gelar yang diturunkan oleh bapak kepada anak, hartapun dipusakai kepada
anak, tidak lagi oleh kemenakan. Rantau mengalami perkembangan ekonomi
dan budaya sendiri-sendiri. Letak geografisnya ditepi sungai-sungai besar,
dekat muara dan laut (selat Sumatera), ekonomis jauh lebih menguntungkan
daripada Alam Minangkabau didataran tinggi Bukit Barisan. Rantau lebih
terbuka bagi lalu lintas air dan sendirinya bagi hbungan dagang dengan
daerah-daerah jauh di luar Alam Minangkabau.
Lada kian lama kian memainkan peranan penting dalam hubungan
niaga dengan daerah-daerah itu. Rantau memusatkan tenaga dan usaha
memproduksi hasil bumi yang penting bagi perniagaan itu (sejak ± tahun 500
Masehi). Saudagar-saudagar asing berdatangan, dirayu oleh keuntungan
besar dari perdagangan lada itu. Pusat-pusat perniagaan lada timbul dan
berkembang sebagai pusat politik-ekonomi-budaya. Yang baru dan asing
tetap menarik dan mempesonakan. Hubungan dagang yang sering kali diikuti
oleh ikatan pribadi, menimbulkan ikatan-ikatan kebudayaan. Agama dan
kebudayaan asing mulai masuk dan berkembang didaerah Rantau akibat
hubungan dagang itu.
Daerah-daerah Rantau, penghasil lada utama sejak ± tahun 500, ialah
lembah aliran Kampar-kanan/Kampar-kiri dan lembah aliran
Batanghari/Sungaidareh, lazim disebut ”Minangkabau Timur”, kerajaan-
kerajaan lama, pusat perdagangan lada, pusat-pusat ekonomi-politik-budaya
yang pertama timbul dan berkembang didaerah inilah. Hingga pertengahan
abad ke-14 Minangkabau Timur memegang peranan penting dalam sejarah
Minangkabau.

3. Periode Minangkabau Timur (abad ke-7 - ± 1350)

a. Tiga fase dari badan yang satu


Perkembangan ekonomi sesuatu daerah hanya mungkin, kalau ada
hasil buminya yang penting sebagai sarana. Bagaimana sulit, besar
hambatan dan bahaya untuk memperoleh dan menguasai perniagaan hasil
bumi itu, keuntungan besar yang dibayangkan dari perdagangan produk itu
tetap merupakan dorongan besar untuk membuka hubungan dagang dengan
daerah-daerah penghasil produk itu. Hubungan dagang meniadakan isolasi
alam. Perkembangan ekonomi sebagai akibat hapusnya isolasi alam itu,
diikuti oleh perkembangan politik. Perkembangan politik dimantapkan
dengan pengaruh kebudayaan. Faset yang tiga dari badan yang satu, yaitu
kekuasaan, buat pertama kali dialami aolh Minangkabau dalam sejarahnya di
Minangkabau Timur, produsen dan penyalur lada terbesar di Pesisir Barat
Selat Sumatera sejak abad ke-6. empat fase, yang satu berbeda dengan
yang lain, merupakan pola Sejarah Minangkabau Timur antara ± tahun 500
hingga pertengahan abad ke-14. Fase-fase itu ialah zaman perkembangan
dan pengaruh:
1. Agama Budha (Hinayana) : abad ke-6 – abad ke-7
2. Agama Islam (Sunnah) : ± 670 - ± 730
3. Agama Budha (Mahayana) : ± 680 - ± 1000
4. Agama Islam (Syi’ah) : ± 1100 - ± 1350

b. Zaman Perkembangan dan Pengaruh Agama Budha (Hinayana) (abad


ke-6 – abad ke-7)

Ekonomi modern dewasa ini bertujuan menimbulkan kebutuhan-


kebutuhan baru disamping menjaga kontinuitas kebutuhan-kebutuhan lama.
Persediaan guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, yang baru maupun
yang lama, dimungkinkan oleh teknik dan industri modern. Produksi
dilakukan secara besar-besaran guna memenuhi kebutuhan masa. Proses
produksi pada masa itu tidak boleh berhenti, karena itu kontinuitas arus
bahan-bahan baku harus terjamin. Alat-alat distribusi yang berkapasitas
besar dan bergerak cepat merupakan ”conditio sine qua non” guna
menghubungi produsen dengan masa konsumen. Faktor waktu merupakan
unsur penting bagi ekonomi modern. Tidaklah demikian halnya dengan
ekonomi kuno. Produksi ditentukan oleh alam, demikan pula distribusinya.
Faktor waktu tidak merupakan unsur penting.
Apabila ekonomi modern ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dan
mencapai orang banyak, ekonomi lama hanya mengikutsertakan lapisan
kecil dari masyarakat. Yang diperdagangkan barang-barang mewah,
volumenya kecil, karena ruang muat dan daya angkut kapal-kapal layar
terbatas sekali. Ancaman bahaya selalu besar selama dalam perjalanan.
Tetapi karena keuntungan yang diperoleh besar, perdagangan cukup
menarik bagi yang melakukannya. Dalam banyak hal, ekonomi lama ialah
”ekonomi-ningrat”. Yang melakukannya seringkali kaum ningrat, yang dicapai
terbatas pada golongan itu pula. Tidaklah heran kita, kalau pengusaha-
ningrat, nakhoda-saudagar sering diterima sebagai tamu terhormat oleh raja
dan kalangan istana. Saudagar-ningrat itu seringkali tidak berperanan
sebagai pengusaha saja, tetapi juga sebagai media agama dan kebudayaan
bangsa dari negeri yang mereka wakili. Kaum saudagar jadinya juga
berfungsi sebagai pembawa dan pengembang kebudayaan bangsa dan
daerahnya. Hal itu hanya berlaku bagi saudagar-nakhoda yang datang dari
”daerah diatas angin”, seperti India, Persia dan sebagainya, tidak bagi
pedagang-pedagang pelaut Cina, sebagai ”putera Langit”, mereka
memandang rendah sekalian bangsa yang bukan orang Cina. Mereka batasi
segala hubungan dan pergaulan pada perdagangan dengan bangsa-bangsa
yang mereka anggap ”barbar”, biadab itu. Itulah antara lain yang
menyebabkan, maka kontak Indonesia dalam sejarah dengan daerah-daerah
disebalah Barat-lautnya lebih banyak meninggalkan bekas daripada
hubungannaya dengan negeri dan orang Cina.
Lalu lintas laut sangat tergantung pada iklim (angin musim). Pelajaran
pulang pergi dari ”negeri-negeri diatas angin” (India, Persia dan Cina)
kewilayah Indonesia memerlukan waktu satu tahun. Panen lada hanya sekali
setahun, ”ready stock” digudang-gudang tidak ada. Karena itu saudagar-
nakhoda yang datang ke Minangkabau Timur untuk menjadikan barang-
barang mewah yang mereka bawa dan membeli lada dari untuk diangkut
pulang mempunyai banyak waktu terluang.
Hubungan dagang ketika itu lebih bersifat pribadi daripada sekarang.
Kontak antara pedagang pendatang dengan penguasa setempat, seringkali
sudah turun temurun, adakalanya erat sekali. Tanpa disadari kontak pribadi
yang lama dan erat itu, membawa akibat kedua belah pihak saling ambil
mengambil unsur-unsur kebudayaan masing-masing. Karena nakhoda-
pedagang dari India terutama, beragama Budha (Hinayana), maka agama
itulah yang mula-mula berkembang di Minangkabau Timur, mula-mula
dikalangan atas kemudian dicontoh oleh kalangan yang luas.
Kerajaan-kerajaan Budha (Hinayana) yang kemudian timbul dan
berkembang di Minangkabau Timur, ialah pusat-pusat perniagaan lada.
Melayu (Tua) dengan Muara Tembesi sebagai bandar utamanya disebelah
Utara dan Sriwijaya (Tua) dengan Muara Sabak (Jambi) sebagai bandar
utamanya sisebelah Selatan. Kerajaan-kerajaan Budha (Hinayana) inilah
yang dikunjungi oleh I-tsing, pendeta Budha dari Cina, dalam perjalanannya
ke India (671) dan pulang kembali ke negerinya (685). Yang sangat menarik
perhatian pendeta Budha itu, ialah tepat pada tengah hari orang diibukota
”Mo-lo-yue” menginjak kepala bayangannya sendiri. Hal itu berarti, bahwa
ibukota itu ada didekat khatulistiwa atau tepat dibawahnya. Candi Budha di
Muara Takus, yang letaknya tidak jauh dari khatulistiwa, kiranya dapat
dijadikan petunjuk mengenai lokalisasi tempat yang diceritakan oleh I-tsing
dalam buku yang melaporkan perjalanannya.
Berita-berita lama Cina selanjutnya menyebut ”San-fo-tsi” sebagai
bandar yang seringkali dikunjungi oleh saudagar-saudagarnya untuk
membeli lada. Phonetis lada ”san-fo-tsi” dekat sekali dengan bunyi kata
”tembesi”. Bandar Sriwijaya Tua/Jambi yang utama adalah Muara Sabak,
yang dalam pemberitaan Arab disebut ”Zabag” orang Arab mentranskribir
”Sriwijaya” sebagai ”sribuzza” dan berita Cina menuliskannya ”Che-li-foche”.
Berita-berita berasal dari abad ke-7 dan mengandung arti, bahwa dalam
abad ke-7 saudagar-nakhoda dan saudagar-nakhoda Arab telah sampai ke
Minangkabau Timur. Mengingat, bahwa saudagar-saudagar nakhoda Arab
itu kebanyakan datang dari teluk Persia yang dalam abad ke-7 telah menjadi
daerah takluk Islam, sekurang-kurangnya pemeluknya, telah sampai di
Minangkabau Timur, yang ketika itu menganut agama Budha (Hinayana).
Tidaklah gegabah kiranya konklusi, bahwa saudagar-saudagar nakhoda
Arab itu disamping berdagang, juga melakukan peranan sebagai mubaligh-
mubaligh Islam yang giat melakukan da’wah-da’wah Islam, hingga dalam
abad ke-7 itu agama Islam telah masuk ke Minangkabau Timur.

c. Zaman Pengaruh Perkembangan Agama Islam (Sunnah): ± 670 - 730

Hingga lebih kurang pertengahan abad ke-7 negeri Cina memainkan


peranan sebagai ”supplier” terbesar dari rempah-rempah termasuk lada, bagi
daerah Timur Tengah. Lada itu terutama diangkut dari Muara Tembesi
(kerajaan Melayu Tua) dan Muara Sabak (kerajaan Sriwijaya/Jambi) dengan
jung-jung Cina ke Kanton. Dengan kabilah onta lada itu bersama-sama
dengan hasil-hasil kerajinan Cina seperti kain Sutra, lak dan sebagainya,
menempuh jalan yang lama dan berbahaya hingga sampai ke Damsik, kota
dagang terbesar di Timur Tengah. Perniagaan melalui ”jalan sutra” itu sangat
menguntungkan negeri Cina.
Sejak pertengahan abad ke-7 terjadi perubahan-perubahan yang
besar fi Timur Tengah, maupun di Cina. Cina telah bangkit sebagai kekuatan
besar di Asia (Timur) dibawah dinasti T’ang (607-908). Daerah taklukannya
meliputi sebagian besar dari daratan Asia Tengah. Keamanan lalulintas
barang dan manusia terjamin baik dan perniagaan antara Cina dengan Timur
Tengah berkembang pesat.
Agama resmi Cina T’ang ialah agama Budha (Mahayana). Daerah
kekuasaan khalifah ummayyah (661-750) meliputi sebagian besar dari Asia
Tengah, Timur Tengah hingga semenanjung Iberia (732). Ibukotanya
Damsyik ialah pusat perniagaan, kegiatan politik dan kebudayaan terbesar di
Timur Tengah.
Kedua kerajaan besar itu, Cina T’ang di Timur dan Khilafah
Ummayyah di Barat, tidak selalu hidup berdampingan dalam suasana damai.
Ketegangan-ketegangan ada pertempuran-pertempuran bersenjata sering
kali terjadi di daerah Sinkiang, yang penduduknya beragama Islam, tetapi
takluk dibawah kekuasaan Cina. Pertikaian politik antara kedua kerajaan
”dunia” itu menjalar sampai ke Minangkabau Timur, pusat penghasilan dan
perniagaan lada. Masing-masing hendak memonopoli perniagaan lada,
dengan menanamkan pengaruh ekonomi dan meyebarluaskan agama
masing-masing didaerah lada itu. Khilafah Ummayyah maupun Cina T’ang
ketika itu adalah kekuatan maritim dan dagang.
Muawyyah (661-680), khilafah Ummayyah pertama, berusaha keras
menguasai perdagangan lada, supaya ”supply” bahan dagang penting itu
tidak terlampau tergantung pada Cina T’ang. Bandar-bandar khilafah
Ummayyah di Teluk Persia telah mengadakan hubungan dagang dengan
Minangkabau Timur. Dengan perantaraan saudagar-saudagar nakhoda dari
Teluk Persia itu Muawyyah mengirimkan surat kepada raja Sriwijaya/Jambi
(Muara Sabak). Sri Maharaja Lokitawarman, megajaknya masuk Islam dan
mengadakan hubungan dagang langsung dengan Damsyik. Politik
Muawyyah itu dilanjutkan oleh cucunya, Sulaiman Abdul Madjid (715-717). Ia
memerintahkan angkatan lautnya di Teluk Persia, terdiri atas 35 buah kapal,
untuk menduduki Muara Sabak guna memonopoli perniagaan lada.
Pengganti Sri Maharaja Lokitawarman, Sri Maharaja Srindrawarman, masuk
Islam (718). Korespondensi antara raja Sriwijaya/Jambi itu dengan khilafah
Umar Abdul Aziz (717-720), hingga dewasa ini masih tersimpan dan
dipelihara dalam Museum Spanyol di Madrid. Setelah kekuasaan khilafah
Ummayyah runtuh di Damsyik (750) ”en Andulusj” (Andalusia atau Spanyol
sekarang), menjadi pusat kekuasaan dinasti Ummayyah.
Surat-surat itu membuktikan, bahwa agama Islam (Sunnah), yang
pelindung dan penyebarnya ialah dinasti Ummayyah, telah masuk dan
berkembang di Minangkabau (Timur), adalah akibat ”counter-action” yang
dilakukan oleh Cina T’ang, yang merasa kepentingan ekonominya di
Minangkabau Timur diancam oleh khilafah Ummayyah.

d. Zaman Pengaruh Perkembangan Agama Budha (Mahayana): ± 680 -


1000

Adanya vakum selama lebih kurang empat abad dalam


perkembangan agama Islam di Indonesia umumnya dan di Minangkabau
(Timur) khusunya, adalah akibat tindakan Cina T’ang yang ”briliant”
Jalan dagang laut, yang ”langsung” menghubungkan daerah produsen
lada, Minangkabau Timur, dengan daerah konsumen lada, Timur Tengah
(Damsyik) akan sangat merugikan Cina T’ang sebagai ”supplier”. Pengaruh
ekonomi-politik khilafah Ummayyah di Minangkabau Timur, dibarengi dengan
pengaruh ideologinya (Islam Sunnah), akan meruntuh wibawa politik dan
kepentingan ekonomi Cina T’ang sebagai ”pemimpin Asia”.
Cina T’ang melakukan ”move” pilitik, bersumber pada ideologi (agama
Budha Mahayana) dan bersandar pada kekuatan militer. Cina T’ang
mengutus dua orang sarjana-ulama Budha Mahayana yang terkenal ke ”San-
so-tsi”, yaitu Wadjarabodhi dan Amoghabadjra untuk mengembangkan
agama Budha Mahayana di Minangkabau Timur (680), mengantikan agama
Budha Hinayana dan agama Islam (Sunnah), yang baru saja dikenal (670).
Daerah sebelah Selatan Jambi mulai penting sebagai produsen lada
dan dengan bantuan armada Cina T’ang ”San-fo-tsi” mendirikan pangkalan
disana (683), ”Che-li-foche”, Sriwijaya/Jambi, Muara Sabak, diapit oleh
Melayu Tua/Muara Tembesi di Utara dan Palembang disebelah Selatan.
Dalam hubungan ini penting berita I-tsing, bahwa ”Mo-lu-jue” telah menjadi
”Sriwijaya” (685). Berita I-tsing itu mendapat ketegasan dalam batu bertulis
Kedukan Bukit, yang bertanggal 605 Saka atau 683 M. Antara lain
diberitahukan, bahwa ”dapunta hyang” telah ”nayik disambau” dengan ”Kotji”,
yang membawa ”bala dua laksya banyaknya” guna ”menyalap siddhayatra”
dan ”marbuwat nabuwa syrivijaya jaya”. Sebagai tempat bertolak disebut
”minanga tamwan”, yang berdasarkan penyelidikan bahasa oleh
Purbocaroko sisimpulkan sebagai ”minangkabwa”, asal kata dari
”minangkabau”.
Prasasti Kedukan Bukit dalam bahasa sehari-hari menuliskan tentang
ekspedisi dibawah pimpinan ”dapunta hyang” dengan tentara sebanyak
20.000 orang dan berhasil mencapai kemenangan. Lalu didirikan kota yang
disebut ”Sriwijaya Jaya”, didekat kota Palembang sekarang, di muara sungai
Musi. Purbotjaroko menunjukkan pengaruh Minangkabau pada pemberitaan
batu bertulis Kedukan bukit itu.
Harus diingat dalam hubungan ekspedisi dari jurusan Minangkabau
Timur ke Sumatera Selatan ini, bahwa garis pantai dalam abad ke-7 jauh
berbeda dari pada keadaannya sekarang. Pesisir Minangkabau Timur ke
Sumatera Selatan ini, bahwa garis pantai dalam sungai-sungai besar, akibat
endapan lumpur yang dibawa sepanjang tahun oleh sungai-sungai itu.
Batu bertulis kedua didaerah yang sama, prasasti Talang Tuwo,
berasal dari tahun yang sama pula, memberitahukan tentang didirikan
”Ksetra” guna kesejahteraan segala macluk. Upacara pendirian taman itu
sesuai dengan upacara agama Budha Mahayana.
”Revolusi istana” yang didalangi oleh angkatan laut Cina
mengakibatkan mati terbunuh Sri Maharaja Indra-warman, raja
Sriwijaya/Jambi, Muara Sabak (730). Suasana politik yang membara dan
gawat di Syria dan pada tahun 750 berhasil menumpas kekuasaan khilafah
Ummayyah di Damsyik, meghalang-halangi khilafah Ummayyah untuk
memberikan bantuan militer seperlunya kepada ”Zabag”.
Dengan demikian terhentilah dakwah Islam di Minangkabau Timur
selama lebih kurang 400 tahun. Agama Budha Hinayana digantikan oleh
agama Budha Mahayana. Pusat kekuasaan politik dan ekonomi berkisar
kejurusan Selatan Sriwijaya Baru (Palembang) memainkan peranan penting
ekonomis-politis dan kulturil selama beberapa abad di Asia Tenggara.
Sangat menarik dalam hubungan ini memperbandingkan peranan
Cina di Minangkabau Timur dalam abad ke-7 dengan yang dilakukannya
pada pertengahan abad ke-20 (1950-1965) di Indonesia, karena parelelli
yang diperlihatkannya. Untuk mengembangkan dan memantapkan pengaruh
ekonomi politiknya di Minangkabau Timur, ideologi dipertentangkan dengan
ideologi komunis-Marxis-Leninis-Maois lawan Panca Sila. Apabila dalam
abad ke-7 Cina T’ang berhasil mencapai tujuannya dan mensponsori
berdirinya kerajaan Sriwijaya/Palembang, dalam abad ke-20 Tuhan Yang
maha Pengasih telah melindungi bumi dan rakyat Indonesia dari bencana
besar menjadi satelit RRT.

e. Zaman Perkembangan Pengaruh Agama Islam (Syi’ah): (± 1000-1350)

Sriwijaya/Palembang berkembang menjadi kekuasan maritim, pusat


kegiatan politik-ekonomi dan agama Budha Mahayana terbesar di Asia
Tenggara. Daerah takluknya kemudian meliputi Jawa (Barat dan Tengah)
(732), Kalimantan (Barat dan Timur), Semenanjung Malaka (778) dan
sebagian dari daratan Asia Tenggara. Selama kekuasaan kerajaan Budha
Mahayana itu masih kuat dilautan, Islam tidak mampu memulai dakwahnya
kembali sesudah Radjendra Tjola dari India Selatan berhasil melumpuhkan
kekuatan maritim Sriwijaya/Palembang (permulaan abad ke-11)
Kuntu/Kampar di Minangkabau Timur bangkit kembali sebagai kekuasaan
Islam (Syi’ah)
Dibawah pimpinan dinasti Fatimyyah (976-1168), pelindung Islam
Syi’ah, Mesir menjadi pusat perniagaan rempah-rempah. Kesultanan
Daya/Pase dibawah pimpinan dinasti ”al Kamil” (1104-1285), mempunyai
hubungan ekonomi-politik yang erat dengan Mesir/Fatimmyyah. Didaerah
kuasanya berkembang Islam/Syi’ah. Kerajaan Kuntu/Kampar disponsori
berdirinya oleh Daya/Pase dan karenanya menganut agama Islam/Syi’ah
pula. Untuk kedua kalinya Minangkabau Timur berkenalan dengan agama
Islam. Diantara lebih kurang 90 buah kuburan-kuburan lama yang didapati
sekarang didaerah Kuntu/Kamapar dan oleh penduduk setempat disebut
”Kuburan Keling”, masih jelas dapat dibaca nama empat orang raja, yang
selama ± 80 tahun memerintah didaerah itu. Mereka ialah:
1. Sultan Said Amarullah Perkasa Alam
2. Sultan Rasyid Karim Perkasa Alam
3. Sultan Ibrahim Saleh Perkasa Alam
4. Sultan Djohan Perkasa Alam
yang mungkin sekali berasal dari satu dinasti.
Dengan diruntuhkan kekuasaan dinasti ”al-Kamil” di Daya/Pase
(1285), oleh Mera Silu, yang kemudian terkenal sebagai Malik as Salaeh
(meninggal dunia 1295), mulailah kerajaan Islam ”Nasional” pertama di
Indonesia, yang menganut mazhab Syafi’i. Kerajaan Kuntu/Kampar yang
menganut faham Syi’ah kehilangan ”backing” politiknya dan segera hapus
pula (1285). Pengaruh Islam Syafi’i dari Samudra/Pasai mulai masuk dan
menggantikan faham Syi’ah di Minangkabau Timur.
Penduduk Kuntu/Kampar, penghasil lada, memandang raja-raja
Perkasa Alam dan pembantunya sebagai penguasa asing. Agama penguasa
asing itu tidak sampai merembes kelapisan bawah, rakyat biasa. Berbeda
dengan syahbandar-syahbandar yang ditempatkan oleh Samudra/Pase
kemudian didaerah itu, yang bukan ”orang Keling”, mazhab Syafi’i yang
berkembang di Samudra/Pase menjadi agama rakyat di Minankabau Timur.
Sejarah Minangkabau memasuki ”era” baru sekarang.

Kesimpulan

a. Sumber-sumber Mula-Sejarah Minangkabau (abad pertama – abad


ke-7 M) sebagian besar masih terpendam dalam tambo-tambo dan
kaba-kaba lama, yang di Islamkan setelah agama Islam masuk dan
berkembang di Minangkabau.
b. Sebagian penghasil dan pusat perniagaan lada terpenting antara abad
ke-7 – 14, Minangkabau Timur yang mula-mula memegang peranan
penting dalam Sejarah Minangkabau
c. Dengan datang dan bermukim saudagar-saudagar asing untuk
berdagang lada, timbul dan berkembanglah pusat-pusat kegiatan
politik-ekonomi dan agama di Minangkabau Timur, yaitu:
1. kerajaan Melayu Tua di Muara Tembesi dan Sriwijaya Tua di
Muara Sabak, yang menganut agama Budha Hinayana (abad
ke-6 – abad ke-7)
2. kerajaan Sriwijaya Tua di Muara Sabak, yang menganut agama
Islam (Sunnah) (pertengahan abad ke-7 – permulaan abadke-
8)
3. kerajaan Sriwijaya/Palembang, yang menguasai Minangkabau
Timur dan menganut agama Budha Mahayana (akhir abad ke-7
– permulaan abad ke-11).
4. kerajaan Kuntu/Kampar, yang menganut agama Islam (Syi’ah)
(abad ke-13).
d. Antara permulaan abad ke-8 dan permulaan abad ke-12 terdapat
masa ”vakum” dakwah Islam di Minangkabau (Timur) sebagai akibat
perebutan monopoli perniagaan lada antara khilafah Ummayyah (661
– 750) – Cina T’ang dinasti (607 – 908), sponsor agama Budha
Mahayana dan kerajaan Sriwijaya/Palembang
e. Agama Islam mazhab Syafi’i baru mulai berkembang di Minangkabau
Timur, setelah daerah itu takluk dibawah kekuasaan Samudra-Pasai
(1285 – 1522).
BAB IV

KERAJAAN PAGARUYUNG/MINANGKABAU
1347 – 1809

1. Ekspedisi Pamalayu (1275)

Sebelum mengupas Sejarah Kerajaan Pagaruyung/Minangkabau,


akan diuraikan lebih dahulu tentang ”Pamalayu Expedition”, untuk
menerangkan mengapa didalam Kerajaan Pagaruyung/Minangkabau
terdapat Raja yang mempunyai hubungan darah dengan raja-raja Mojopahit
di Jawa. Timbul Kerajaan Pagaruyung/Minangkabau diawali dengan
datangnya tentara Kerajaan Singosari (yang waktu itu diperintah oleh raja
Kartanegara) ke Malayu (Jambi), dalam ekspedisi terkenal dengan nama
”Pamalayu” (1275). Operasi militer itu diadakan sesuai dengan politik Raja
Kartanegara untuk:
1. mengkonsolidasi politik dalam negeri (wilayah Kerajaan di Jawa)
2. membentuk suatu front dengan daerah-daerah diluar Jawa, terutama
dengan Sumatera, Campa (Viet-Nam Selatan sekarang), baik dengan
cara diplomasi maupun dengan mengunakan senjata, baik dengan
cara diplomasi maupun dengan mengunakan senjata, buat mencapai
hegemoni politik di Asia Tenggara.
3. menguasai lautan dan dengan demikian menguasai monopoli
perdagangan di Asia Tenggara dan
4. menyebarluaskan ajaran Agama Budha Tantrayana.

Maksud yang hendak dicapai dengan ekspedisi Pamalayu adalah:


1. memperoleh titik tumpuan yang teguh bagi kekuasaan Jawa di
Sumatera menghadapi saingan kerajaan Sri Wijaya, yang ketika itu
sebenarnya sudah merosot kekuasaannya.
2. merebut monopoli dagang lada didaerah produsen ladaterpenting
waktu itu, yakni daerah-daerah disekitar Sungai Batanghari dan
Kampar Kiri/Kanan. Daerah Rantau/Minangkabau Timur.
3. mengembangkan Agama Budha Tantrayana di Sumatera menginggat,
ketikaitu raja-raja Islam di pesisir Timur dan Utara Sumatera sudah
kurang lebih satu setengah abad lamanya menguasai monopoli
dagang lada didaerah-daerah sekitar Sungai Kampar Kiri/Kanan.

Ekspedisi itu dapat dimenangkan oleh Singosari dan lembah


Batanghari dikuasai sampai ke Sungaidareh (1275). Pada tahun 1286
ditaklukan pula lembah sungai Kampar Kiri/Kanan.
Stutterheim berpendapat, ”Pamalyu” tidak mengandung arti
penaklukan Kerajaan Darmasraya/Jambi pada tahun 1275, melainkan
persekutuan antara dua kerajaan, dipererat dengan pertalian darah melalui
perkawinan.
Pendapat Stutterheim itu dapat dibenarkan, megingat pengaruh Islam
sudah sangat kuat dilembah Sungai Pasai dan Sungai Kampar kiri/Kanan,
yang berarti menguasai monopoli dagang lada lewat Selat Sumatera
(Malaka).
Pada tahun 1286 Kerajaan Singosari mengirimkan arca besar
kenegara sahabatnya. Kerajaan Darmasraya/Jambi, untuk didirikan disitu.
Arca itu patung Amoghapasja dengan para dengan para pengiringnya, tiruan
(duplikat) dair arca di Candi Jago, Jawa Timur.
Krom menafsirkan pengiriman arca itu sebagai tindakan dan bukti
bahwa raja Kartanegara telah menguasai Melayu. Stutterheim mengartikan
sebaliknya, pengiriman arca itu sebagai tamda persekutuan antara dua
kerajaan.
Selanjutanya Stutterheim beranggapan, arca tersebut tidak diangkut
ke Suwarnabhumi (di Sumatera Tengah) atas titah raja Kartanegara, akan
tetapi ialah hadiah keagamaan dari Sri Wijaya Rupa Kumara, anggota
keluarga dari Wisnuwardana ayah Kartanegara. Adanya hubungan keluarga
itu sangat mungkin bila diketahui, bahwa tulisan pada arca Manyusri di Candi
Jago (1343). Adityawarman meyebut dirinya sebagai anggota keluarga
Rajapatni (1131-1150), nenek raja Hayam Wuruk (1350 – 1387).
Adityawarman sejak tahun 1347 menjadi raja Melayu.
Tidak dapat disangkal sejak tahun 1275, terutama sejak tahun 1286,
daerah Darmasraya/Jambi telah jatuh kedalam kekuasaan Singosari,
sekurang-kurangnya telah dipengaruhi oleh tentara Singosari yang dikirim
oleh raja Kartanegara pada tahun 1275. walaupun demikian halnya,
kenyataan itu tidak berarti, bahwa Melayu mempunyai kebebasan untuk
mengadakan hubungan dengan luar negeri. Buktinya berita Tionghoa
tentang kedatangan utusan kerajaan Melayu ke Timur pada tahun 1281,
enam tahun setelah ekspedisi Pamalayu.
Ketika itu di Cina memerintaj Kaisar Kubulai Khan dari Mongol dinasti,
yang pada tahun 1292 mengirimkan armada ”Selatan” untuk menghancurkan
Singosari.
Tentara kerajaan Singosari memasuki daerah Darmasraya melalui
Batang Hari. Dari kemyataan itu dapat diambil kesimpulan bahwa Singosari
daru dapat menaklukan Darmasraya sesudah menguasai Malayu, dengan
tujuan mengawasi pelajaran di Selat Sumatera.
Waktu itu lalulintas di Selat Sumatera masih menyusuri pantai Timur
Sumatera. Produksi lada dari daerah Darmasraya diangkut diamgkut Batang
Hari ke pelabuhan Malayu di Jambi.
Sekurang-kurangnya sejak tahun 1128 telah ada usaha dari pihak
pedagang-pedagang asing yang beragama Islam dari Perlak dan Pasai
untuk menguasai daerah produsen lada di sekitar Sungai Kampar Kiri/Kanan.
Pedagang-pedagang asing itu pada mulanya disponsori oleh Dinasti
Fathimiyah di Mesir, yang memeluk Agama Islam aliran Syi’ah
Pada tahun 1168 Sulatan Salahudin yang beragama Islam Mazhab
Syafi’i, berhasil merebut kekuasaan dari Dinasti Fathimiyyah tetapi pengaruh
Dinasti Fathimiyyah di Sumatera Utara tidak segera lenyap.
Di Minangkabau Timur masih berniaga pedagang-pedagang asing,
yang bermukim disana ketika Dinasti Fathimiyyah masih jaya di Mesir. Sudah
berpuluh tahun lamanya mereka menguasai monopoli dagang lada di
Lembah Sungai Kampar Kiri/Kanan dan Selat Sumatera. Jauh didaerah
pedalaman saudagar-saudagar asing yang beragama Islam itu mendirikan
benteng pertahanan si sebuah kampung kecil, bernama ”Minangkabau”
sidekat Sungayang, Batusangkar sekarang (Luhak Tanah Datar)
Pada tahun 1911 benteng Islam di kampung Minangkabau itu
dimusnahkan oleh Darmasraya/Jambi, yang beragama Budha Tantrayana.
Akibatnya daerah penghasil lada di Sumatera Tengah terbagi dua, yaitu:
1. Lembah sungai Kampar Kiri/Kanan yang tetap didominasi oleh
kekuasan Islam dari Lembah Sungai Pasai di pantai Timus
Aceh
2. Lembah Batang Hari, terutama disekitar Sungaidareh dan
Rambahan, jatuh ketangan pedagang-pedagang dari
Darmasraya/Jambi, yang beragama Budha Tantrayana.
Sejak Ekspedisi Pamalayu Singosari menguasai monopoli dagang
lada di lembah Batang hari dan sejak tahun 1286 berhasil pula memonopoli
perniagaan lada di lembah Sungai Kampar Kiri/Kanan. Agama Budha
Tantrayana dikembangkan didaerah-daerah penghasil lada itu.
Saudagar-saudagar Islam daru lembah Sungai Pasai di pantai Timur
Aceh terlempar keluar dari perdagangan lada yang sangat menguntungkan
itu. mereka tidak tinggal diam menerima nasib malang itu dan yang
mempunyai hubungan dagang dengan Cina meminta bantuan kepada Kaisar
Kubilai Khan untuk menghancurkan Singosari. Perebutan daerah penghasil
lada itu berlangsung terus antara pihak yang beragama Budha Tantrayana
dari Jawa Timur, dilanjutkan di zaman Gajah Mada (1331 – 1365 dan Hayam
Wuruk (1350 – 1387).
Pada tahun 1299 kesultanan Aru Barumun dengan Labuhan Bilik
sekarang sebagai ibukotanya, didirikan oleh Sultan Malik al Mansur., putra
kedua Sultan Malik al Salrh, Sultan Samudra Pasai yang pertama.
Kesultanan Aru Barumun itu beragama Islam Syi’ah dan lepas dari
Kesultanan Sumudera Pasai yang sudah menganut Mazhab Syafi’i.
Pada tahun 1301 Kesultanan Aur Barumun berhasil merebut kembali
daerah penghasil lada di lembah Sungai Kampar Kiri/Kanan dan mendirikan
Kesultanan Kuntu Kampar. Rakyat Singosari dari Jawa Timur, yang sejak
tahun 1286 telah menetap di lembah Sungai Kampar Kiri/Kanan dan
berkebun lada disana, melarikan diri ke lereng gunung kembar
Merapi/Singgalang. Sisana mereka membuka kebun lada dan mendirikan
kampung baru, yang mereka neri nama ”Singosari” dan berkembang menjadi
pusat perdagangan lada yang baru pula.
Akibatnya besar bagi perkembangan Sejarah Minangkabau
selanjutnya. Lada tidak hanya diangkut ke pantai Timur Sumatera saja lagi,
akan tetapi juga ke Pesisir, pantai Barat Sumatera. Timbul dan
berkembanglah bandar lada baru, yang segera ramai dikunjungi oleh
pedagang-pedagang langsung dari Gujarat/India, yakni Pariaman.
Sejak tahun 1292 Hindu Jawa terpaksa membiarkan golongan Islam
memperkuat kedudukan mereka di daerah-daerah penghasil lada di
Sumatera. Pada tahun 1292 Jayakatwang dari Kediri berhasil merebut dan
menghancurkan Singosari dan mendarat pula tentara Cina di Jawa Timur
atas perintah Kaisar Kubilai Khan untuk menghancurkan Singosari yang
sudah tidak ada lagi.
Kekacauan yang merajalela di Jawa Timur akibat kehancuran
Singosari dan mendarat tentara Cina, ditepatgunakan oleh Pangeran Wijaya
untuk mendirikan kerajaan baru, yakni Majapahit (1292), pelanjut dan
pewaris Singosari disegala bidang, termasuk bidang imperialisme kedaerah-
daerah di seberang lautan.
Buku sejarah raja-raja, Pararaton, dan Kidung Panjiwijaya
menyebutkan, bahwa pada tahun 1294 tentara Singosari yang dikirimkan ke
Malayu, kembali ke Jawa di bawah pimpinan Mahisa Anabrang dan Malayu
takluk di bawah kerajaan Majapahit yang baru saja dua tahun usianya.
Seperti sudah disinggung diatas, pada tahun 1301 kesultanan Aru
Barumun mengusir orang dari Singosari yang masih tinggal dan bertanam
lada di lembah Sungai Kampar Kiri/Kanan. Kesultanan Kuntu-Kampar timbul
di daerah itu.
Pihak Hindu Jawa tidak tinggal diam dan bersiap-siap untuk kedua
kalinya merebut monopoli perdagangan lada di Sumatera Tengah dari
tangan pihak Islam.
Pada tahun 1347 Adityawarman yang dibesarkan di keraton
Majapahit, memegang kekuasaan didaerah penghasil lada di daerah Batang
Hari. Ia menyatakan dirinya sebagai raja dari kerajaan Suwarnabhumi
(Sumatera), yang semula berpusat di daerah Sungai Langsat – Sungai
Dareh – Rambahan. Padang-roco, semuanya di Minangkabau Timur, dekat
Batang Hari.
Pada tahun 1349 raja Adityawarman menaklukan kesultanan Kuntu
Kampar yang berdiri hanya lebih kurang setengah abad (1301 – 1349).
Dengan demikian raja Adityawarman menguasai kedua daerah penghasil
lada terpenting di seluruh dunia ketika itu yakni Lembah Batang Hari dan
Lembah Sungai Kampar Kiri/Kanan. Tidak mengherankan kalau kerajaan
yang didirikan oleh Adityawarman di daerah pedalaman Sumatera Tengah itu
lekas menjadi kaya dan berkuasa.
Kembali Adityawarman ke Sumatera pada tahun 1347 mengandung
dua kemungkinan, yaitu:
1. Adityawarman yang dibesarkan di kraton Majapahit, pulang ke daerah
asalnya, Malayu, atas anjuran Gajah Mada dalam rangka
pelaksanaan program politiknya ”Sumpah Palapa”, yang bertujuan
menguasai seluruh Nusantara di bawah naungan Majapahit, yang
daerah taklukannya lebih luas dari pada Singosari. Adityawarman
dijadikan raja Malayu, akan tetapi takluk di bawah raja Majapahit.
2. Sebagai raja Malayu Adityawarman ditugaskan untuk merebut kembali
daerah penghasil lada di lembah Sungai Kampar Kiri/Kanan, yang
sudah takluk kesultanan Aru Barumun.

2. Adityawarman

Sudah diterangkan di atas, bahwa pada tahun 1347 Adityawarman


menjadi raja di Malayu. Daerah kuasanya kemudian meluas hingga meliputi
seluruh Alam Minangkabau, bahkan sampai pula ke Riau Daratan. Pusat
kerajaanpun diindahkan lebih jauh ke daerah Alam Minangkabau, tidak lagi
di Ranatau/Minangkabau Timur. Akhirnya Luhak Tanah Datar menjadi
tempat kediaman raja. Dengan demikian kerajaan Suwarnabhumi yang
didirikan oleh Adityawarman di daerah Malayu/Jambi lambat laun berubah
menjadi kerajaan Pagaruyung/Minangkabau. Malahan tidak salah dikatakan,
berubah menjadi ”Kerajaan Minangkabau”.
Untuk mengetahui siapa sebenarnya Adityawarman, raja
Minangkabau yang pertama, perlu kita meninjau kembali ekspedisi
Pamalayu, operasi militer yang dilakukan oleh Singosari (1275). Menurut
Pararaton, Kartanegara menyuruh tentara Singosari menyerang Malayu,
”andon maring Malayu”. Kata kerja ”andon” juga berarti ”tujuan” atau
”maksud”, sehingga dalam pengertian ini mungkin sekali bertujuan
mengadakan hubungan persahabatan. Disebutkan pula dalam Pararaton,
bahwa dua orang puteri Malayu, Dara Petak dan Dara Jingga. Petak berasal
dari bahasa Minangkabau ”pitok” yang berarti ”sipit”. Jingga atau ”jinggo”
ialah ”kemerah-merahan”. Dara petak menjadi isteri Kertarajasa, raja
Majapahit yang pertama (1292 – 1309) dan ibu dari Jayanegara raja
Majapahit yang kedua (1309 – 1328). Dara Jingga dikawinkan dengan
”dewa”, seorang ksatria tinggi dan menjadi ibu dari Adityawarman.
Selanjutnya Pararaton menuliskan, bahwa Adityawarman menjadi raja
Malayu.
Moh. Yamin menerangkan, bahwa tentara Pamalayu yang dikirimkan
oleh Prabu Kartanegara ke Sumatera, kembali dengan dua orang putri dari
Sumatera ke Jawa. Ketika kedua putri itu sampai di Jawa Timur, kerajaan
Singosari sudah runtuh, hingga dapat dipahami, bahwa mereka tidak pergi
ke Tumpel (Singosari), melainkan yang bernama Ddara Petak tinggal di
Majapahit yang pertama.
Dalam Kidung Ranggalawe disebutkan bahwa bersama-sama dengan
tentara Pamalayu yang dikirimkan oleh Prabu Kertanegara dari Singosari,
datang dua orang putri, masing-masing bernama Dara Petak dan Dara
Jingga. Dari perkawinan Dara Petak dengan Prabu Kertanegara lahir
Kalagemet, yang kemudian dengan gelar ”Jayanegara” menjadi raja
Majapahit yang kedua (1309 – 1328). Putri yang seorang lagi pulang ke
Pamalayu dan menurunkan raja-raja yang turun temurun memerintah disana.
Adityawarman adalah putra dari Dara Jinggo yang dibesarkan dan dididik di
kraton Majapahit. Ia pernah diutus sebagai duta kerajaan Majapahit ke negeri
Cina (1325 dan 1331). Pada tahun 1343 empat tahun sebelum ia menjadi
raja Malayu, Adityawarman menjabat Mantri Prandhatara, yang sama
dengan pangkat Werdhamantri. Jabatan yang begitu tinggi diberikan
kepadanya membuktikan bahwa Adityawarman adalah seorang anggota
keluarga raja Majapahit yang dekat.
Pada tahun 1343 Adityawarman mendirikan arca Manjusjri yang indah
dan ditempatkan di Candi Jago, Jawa Timur. Pada bagian depannnya
terdapat tulisan yang menerangkan maksud didirikan patung bodisatwa
Manjusjri oleh Aryawangsyadhiraja pada tahun 1265 saka, di Jinataya guna
menambah ”dharma”.
Pada bagian belakang arca itu dituliskan antara lain, bahwa dalam
kerajaan yang dikuasai oleh Rajapatni, Adityawarman lahir dari keluarganya.
Mantri Prandhatara di Yawabhumi, mendirikan kuil di Djinalayapura, agar
membawa Ayah, Ibu, dan Nenek Moyang, kebahagiaan yang sempurna.
Pada tahun 1347 Adityawarman telah manjadi raja di Malayu. Besar
dugaan kita ia kawin dengan saudara sepupunya, sehingga dengan mudah
singgasana didudukinya. Angka tahun 1347 ini diperoleh berdasarkan tulisan
pada bagian belakang dari arca Amonghapasya yang pada tahun 1286
dikirimkan oleh Kartanegara ke Malayu. Pada arca itu terdapat dua tulisan,
yang satu pada lapiknya, dipahatkan pada tahun 1208 saka|1286 M dan
yang lain ada di bagian belakangnya, oleh Adityawarman pada tahun 1269
Saka|1347 M. Dalam tulisannya itu Adityawarman disebut ”Udayatyawarman
Prataparakramarajindra Mauliwarmadewa”. Dibagian lain pada prasasti itu
raja dinamakan ”Adityawarman”.
Mauliwarmadewa juga nama raja Malayu pada tahun 1286. kemudian
pada tahun 1349 pusat kerajaan dipindahkan jauh kepedalaman di Alam
Minangkabau. Disitulah selanjutnya terdapat maklumat-maklumat
Adityawarman, tidak lagi di daerah Sungai Langsat/Jambi. Sejak itulah mulai
kerajaan Pagaruyung/Minangkabau yang beragama Budha. Adityawarman
memindahkan pusat kerajaan dari Darmasraya/Jambi begitu jauh ke daerah
pedalaman di Alam Minangkabau, mungkin didorong oleh keinginan
mendirikan kerajaan di Sumatera Tengah yang lepas sama sekali dari
Majapahit di Jawa. Disamping itu keinginannya untuk menguasai daerah-
daerah produsen lada, yang hasilnya lebih mudah dapat dikuasai
seluruhnya, sejak dari Lembah Sungai Kampar Kiri/Kanan hingga ke Alam
Minangkabau umumnya, khususnya dari daerah sebelah Timur gunung
kembar Merapi-Singgalang.

3. Kerajaan Pagaruyung/Minangkabau Budha

Jelas dibuktikan oleh sumber-sumber lama, bahwa Adityawarman


ialah raja pertama dari kerajaan Pagaruyung/Minangkabau, walaupun nama
kerajaan yang digunakan didalam prasasti-prasastinya tidak pernah disebut
demikian. Baginda raja Minangkabau yang sangat banyak meninggalkan
bulti-bukti tertulis berupa prasasti-prasasti dan batu granit.
Akan tetapi didalam cerita-cerita rakyat, tambo dan kaba, legenda dan
mitos Minangnkabau yang puluhan, mungkin ratusan jumlahnya, raja
Adityawarman tidak disebut sama sekali. Mungkin sengaja dilupakan di
”black-out” oleh orang Minangkabau turun temurun, sebab Adityawarman
orang pendatang dan lagi ”kafir” tidak beragama Islam, yang seumur
hidupnya berada diluar hukum adat matrilineal Minangkabau.
Banyak jumlah kaba dan tabo Minangkabau yang menceritakan
permulaan kerajaan Pagaruyung/Minangkabau. Ada yang dapat dipercaya
dan ada pula tidak berujung pangkal. Sebuah diantaranya, Tambo Alam
Minangkabau, menceritakan antara lain, bahwa dengan takdir Allah SWT,
maka datanglah sebuah perahu yang membawa kerbau panjang tanduk,
menepat/mendarat di Bukit Gombak. Nakhoda dari kapal tu berkata kepada
kepala masyarakat pada waktu itu. pertandingan itu disetujui oleh Datuk
Ketemanggungan dan Datuk Perpatih nan Sebatang.
Setelah kedua orang datuk itu berunding, terdapatlah.....dengan cara
bagaimana mengalahkan kerbau Nakhoda itu. dicari seekor anak kerbau
yang kuat menyusu. Sehari sebelum anak kerbau itu dihadapkan ke
gelanggang, ia tidak diberi susu setetespun juga, keesokan harinya waktu
gelanggang akan dibuka, pada tanduk anak kerbau itu dipasang ”Minang”
yang terbuat dari besi. Begitu kedua kerbau itu saling berhadapan anak
kerbau itu langsung menyeruduk kebawah perut kerbau Nakhoda dan
mencoba menyusu. Akibatnya putus-putuslah perut kerbau besar Nakhoda
itu. Tempat mengadu kerbau itu sebuah kampung yang kemudian bernama
”Minang”. Setelah perut kerbau besar itu putus-putus ia lari mengerang-
mengerang kesakitan. Pada suatu tempat, perutnya keluar, tempat itu
kemudian diberi nama kampung ”Sinurut”. Kemudian kerbau itu berusaha
untuk lari terus, tetapi ia sudah tidak berdaya lagi dan matilah ia. Tempat
mati kerbau itu dinamakan kampung ”Sijangat”, disebut demikian karena
ditempat itulah kerbau besar itu dikuliti (”dijangati”) oleh penduduk setempat.
(jangat=kulit).
Kemudian diketahui, bahwa isi kapal nakhoda itu tentara Majapahit
yang besar sekali jumlahnya. Demikian besar kekuasaan tentara itu, hingga
seluruh Tanah Hindia takluk di bawah kekuasaannya, kecuali Minangkabau.
Raja Majapahit sangat marah mendengar kekalahan itu dan kemudian
mengirimkan Wityawarman (maksudnya Adityawarman), untuk sekali lagi
mencoba mengalahkan Minangkabau.
Sejak kerbau Datuk Ketemanggungan dan Datuk Perpatih Nan
Sebatang menang, daerah kuasa kedua penghulu itu dinamakan ”Alam
Minangkabau”. Melihat jumlah tentara yang demikian banyak dibawa oleh
Adityawarman, Datuk Ketemanggungan dan Datuk Perapatih Nan Sebatang
menyerah kalah, mengaku tunduk kepada Adityawarman. Sejak saat itu
Adityawarman menjadi Yang Dipertuan di Alam Minangkabau dan
berkedudukan di Pagaruyung.
Diceritakan selanjutnya, bahwa Adityawarman kawin dengan anak
Datuk Ketemanggungan. Seluruh Sumatera tunduk dibawah perintahnya,
karena beliau raja yang arif dan bijaksana
Kebenaran tambo itu mungkin, tenatara Singosari yang pada tahun
1289 memasuki Alam Minangkabau, dapat diperdayagunakan oleh pihak
Minagkabau dengan akal bulus. Akan tetapi kemudian pada tahun ± 1349,
tentara Majapahit memasuki Alam Minangkabau lewat Kiliran Jao dan
berhasil menundukkan Alam Minangkabau. Hal ini mempunyai dua segi:
1. Adityawarman sebagai raja Malayu mempunyai hubungan darah
dengan raja-raja Majapahit. Ia diperintahkan untuk melebarkan
kekuasaanya ke daerah pedalaman Sumatera., terutama ke daerah
penghasil lada, berbarengan pula dengan tugas untuk
mengenbangkan Agama Budha Tantrayana guna membendung
perkembangan agama Islam yang lebih dahulu memasuki daerah-
daerah itu.
2. Adityawarman, merasa dirinya kuat, ingin menaklukan Alam
Minangkabau, daerah yang letaknya jauh dri pantai Timur Sumatera
dan jauh pula dari hubungan laut dengan Majapahit. Adityawarman
bermaksud untuk memutuskan segala hubungan dengan Majapahit,
agar dapat membentuk kerajaan yang bebas dan merdeka, lepas
sama sekali dari segala ikatan dengan kerajaan Majapahit. Hal itu
terbukti dari prasasti yang ditinggalkannya, prasati Kuburajo (1349).
Dalam prasasti itu Adityawaraman disebut sebagai
”Kanakamedinindra”, raja negeri Emas (=Suwarnadwipa = Sumatera).
Keluarganya disebut Kulisjadarawamsja keluarga Indra dan ayahnya
bernama Adwayawarman. Jadi pada tahun 1349 Adityawarman sudah
menjadi raja di Minangkabau.

Tindakan Adityawarman melepaskan dari dari kerajaan Majapahit


sudah tentu tidak dapat disetujui oleh Majapahit. Pada tahun 1409 Majapahit
mengirimkan tentara untuk menundukkan raja Minangkabau, keturunan
Adityawarman. Akan tetapi tentara Majapahit itu dikalahkan oleh tentara
kerajaan Minangkabau dalam pertempuran Padang Sibusuk. Itulah tentara
Hindu-Jawa terakhir yang memasuki daerah Alam Minangkabau (1409).
Tidak mengherankan, bahwa pada tahun 1409 itu Minangkabau
sudah dapat mengalahkan Majapahit didalam pertempuran bersenjata. Sejak
tahun 1349 kerajaan yang didirikan oleh Adityawarman itu sudah kuat.
Sebagian besar dari pulau Sumatera dan Semenanjung Malaka berada
dibawah kekuasaannya. Bentuk pemerintahan sentralistis dengan kekuasaan
pemerintahan kerajaan Minangkabau didalam peride 1349 hingga 1409
dibuktikan oleh prasasti-prasasti dari zaman itu, diantaranya:

a. Prasasti Kubu Rajo (1349)


Menurut pendapat umum istilah Kuburajo (Kuburrajo) berarti kuburan
raja, ada pendapat yang mengatkan, bahwa kata ”kubu” berarti
benteng dan kubu Rajo artinya Benteng Raja, yaitu benteng
Adityawarman.

b. Prasasti Pagaruyung (1357)


Dalam prasasti ini Adityawarman disebut sebagai Maharajadiraja,
seolah-olah Adityawarman melanjutkan pemerintahan raja-raja
Sriwijaya/Jambi dan Raja-Raja Sriwijaya/Palembang, yang tujuh abad
sebelumnya sudah memakai gelar demikian.

c. Prasasti Suroaso I (1357)


Mulanya tidak terbaca, akan tetapi kemudian Ir. Moens menafsirkan isi
prasasti itu yang melukiskan pentahbisan Adityawarman sebagai
Bhairawa, mahadewa Budha Trantayana, yang patungnya ada
dimuseum Jakarta Sekarang.

d. Prasasti Bandar Bapahat


Keanehan prasasti ini ialah terdapat banyak macam tulisan, antara
lain tulisan dalam bahasa Sangsekerta dengan aksara Jawa-Kuno.
Ada pula tulisan beraksara granta, yang lazim digunakan oleh orang
Tamil di India Selatan. Krom mengemukakan sebagai pendapatnya,
bahwa diantara rakyat dalam kerajaan Adityawarman banyak terdapat
orang pendatang dari India Selatan. Mungkin sekali para pendatang
dari India Selatan itu menetap di daerah takluk kerajaan
Adityawarman jauh dipedalaman Sumatera, karena tertarik oleh
perdagangan lada.
Di Baruspun terdapat prasasti-prasasti bertuliskan aksara Granta.

e. Prasasti Suroaso II
Dalam prasasti ini Putra Mahkota, disebutkan ”Yawaraja” bernama
Ananggawarman.

Hubungan dengan negeri Cina terjadi dalam tahun 1357, 1357 dan
1377. Menurut berita Ming-dinasti, raja ”Seng-Kia-Tie-Ya-Lam” mengirimkan
utusan pada tahun-tahun tersebut. Ir. Moens menafsirkan nama itu sebagai
sang Adityawarman. Menurut Krom nama itu memang mirip sekali dengan
nama Duta Jawa dari Majapahit pada tahun 1325 dan 1332 yaitu: ”Si-La-
Seng-Kit-Li-Ye”, yang oleh Moens dibaca sebagai Adityawarman pula.
Adityawarman meninggal dunia pada tahun 1375. tidak diberitakan
kepada siapa diserahkan kerajaanya yang luas itu dan berwibawa
memegang pemerintahan pusat yang kuat pula. Mungkin kepada
Ananggawarman, yang namanya terdapat dalam prasasti Suroaso II?
Kepastian belum ada hingga kini.
Baru dua abad kemudian diketahui nama seorang raja
Pagaruyung/Minangkabau, yang tidak lagi menganut agama Hindu/Budha
akan tetapi beragama Islam, yaitu Sultan Alif.

4. Sultan Alif

Dengan Sultan Alif mulailah zaman kerajaan Minangkabau yang tidak


lagi beragama Budha, tetapi sudah beragama Islam. Karena belum diketahui
dengan pasti masa pemerintahan Sultan Alif, untuk sementara waktu
dituliskan pertengahan abad ke-16 (± 1560).
Walaupun kerajaan Pagaruyung/Minangkabau masih memeluk agama
Budha/Bhairawa, sejak abad ke-15 sebagian dari daerah Mnangkabau sedah
memeluk agama Islam. Baru dengan Sultan Alif keluarga raja dan seluruh
Alam Minangkabau beragama Islam (pertengahan abad ke-16). Wibawa
politik raja-raja Pagaruyung/Minangkabau yang mengakui dominasi politik
ekonomi Aceh. Perdagangan di Pesisir sudah dikuasai oleh Aceh, terkenal
pepatah dari zaman itu: ”Tipu Aceh, Guirndam Baru”.
Kerajaaan Pagaruyung/Minangkabau islam tidak mempunyai
angkatan perang, seperti Aceh, Banten, Demak, dll yang setelah masuk
Islam segera membentuk angkatan perang yang kuat. Nagari diatur dan
diperintah oled penghulu-penghulu, yang juga mengatur hubungan dengan
sesama nagari. Hukum tertulis tidak terdapat yang ada hanya hukum tidak
tertulis, yang diwariskan turun temurun secara lisan berupa ”papatah-petitih”.
Rakyat patuh pada perintah penghulu yang teguh memegang adat.
Setelah Sultan Alif wafat (± 1580) tidak diketahui siapa pengantinya.
Sejarah Minangkabau diliputi kembali oleh kabut tebal yang belum
terungkapkan hingga seabad kemudian dengan munculnya nama Sultan
Ahmad Syah (± 1650 – 1680)
Pemerintahan bercorak desentralistis, berdasarkan hukum Islam dan
hukum adat, lazim disebut ”Tungku nan Tigo sejarangan” atau ”Tali sepilin
Tiga”. Bertiga raja berkuasa, raja di Buo, raja di Sumpurkudus dan raja di
Pagaruyung. Sistim pemerintahan ketika itu sebagai berikut:

a. Yang Dipertuan Raja Alam, dibantu oleh dua orang Raja, yaitu Raja
Adat dan Raja Ibadat

1. Raja Adat di Buo, pemegang Adat dan Lembaga, ”memegang


tungkal yang kuat, teradju yang tidak kanan”. Keturunannya sampai
sekarang masih tersebut ”Orang Istana”, keturunan raja-raja di
Pagaruyung.
2. Raja Ibadat di Sumpur Kudus, pemegang Hukum Titah Allah,
penegak Iman di Alam ini, yang menjunjung tinggi titah Allah dan
mengerjakan suruhan Nabi. Adatnya keras, amalnya taat dan adil
bukan kepalang.
3. Yang Dipertuan Raja Alam di Pagaruyung, koordinator adat dan
ibadat.
Ketiga Raja itu disebut juga ”Rajo Nan Tigo Selo” dan dibawah mereka
terdapat ”Basa Ampek Balai”, semacam ”Dewan Ampat Menteri”.

b. Basa Ampek Balai, berkedudukan di empat nagari, yaitu:


1. Datuk Bandaharo di Sungaitarab,
2. Tuan Kadhi di Padang Ganting
3. Tuan Indomo di Suroaso
4. Tuan Machudum di Sumanik

Datuk Bandaharo mengetuai Basa Ampek Balai, yang bertugas


menjalankan pemerintahan seperti yang digariskan oleh Rajo Nan Tigo Selo.
Dibawah Basa Ampek Balai terdapat Mantri, yang kebesarannya sama
dengan Penghulu di Minangkabau. Mantri atau Penghulu banyak jumlahnya.
Umpamanya ada Penghulu yang menjadi juru bicara (= yang mengerti) ”Adat
Bodi-Caniago”, dan ”Adat koto-Piliang”.
Dibawah Mantri/Penghulu terdapat ”dubalang” (hulubalang) yang
junlahnya lebih besar daripada penghulu. Penghulu dan dubalanglah yang
berhubungan langsung dengan rakyat. Dubalang bertugas memanggil orang
(dalam kampung) yang bersalah, untuk dihadapkan kepada penghulu.
Sebagai ”pagar-kampung” ia menjaga ketertiban dan keamanan dalam
nagari. Contoh caranya memerintah sebagai berikut: Jika seorang penduduk
ternyata bersalah karena telah melanggar hukum (Islam) maupun adat
dubalang memanggilnya untuk dihadapkan pada penghulu yang mengerti
hukum syara’ dan hukum adat. Tetapi jika perkara tidak selesai pada taraf
penghulu saja, penghulu membawa orang itu kepada Tuan Kadhi selaku
anggota Basa Ampek Balai di Padang Ganting. Seandainya masih belum
juga terdapat kata putus, penghulu, dubalang dan Tuan Kadhi membawa
orang itu menghadap Raja Ibadat di Sumpurkudus. Disini, perkaranya
diperiksa lagi. Seandainy perkaranyapun masih belum juga putus, orang itu
dibawa kepada Yang Dipertuan Raja Alam Minangkabau di Pagaruyung.
Beliaulah yang pada taraf terakhir dan tertinggi menjatuhkan hukuman
kepada sipelanggar hukum tadi.
Walupun sejak Sultan Alif memerintah sudah ada daerah takluk
Minangkabau yang melepaskan diri (seperti Indrapura) ataupun yang
diduduki oleh Aceh (seperti Pariaman, Tiku, dll) wibawa (”tuah”) yang
Dipertuan di Pagaruyung/Minangkabau masih besar. Kekuasan Yang
Dipertuan meliputi daerah-daerah:

1. Kuantan, Ceranti, Baserah, Kudaman, Panjian


2. Lima Kota: Seberahan, Semendalak, banai, kapak, Teluk kari
3. Lima Kota Hilir: Kerasik Tawar, Gunung Ringin, Lubuk Jambi,
Sungai pinang.
4. Dua Kota: Lubuk Ambacang dan Sungai Manan

Dua Kota didatangi oleh baginda tiga kali dalam setahun untuk
menerma upeti emas. Yang mewakili Raja didaerah-daerah itu ialah ”Datuk
Nan Berempat”, yakni:

1. Datuk Mudo Misai


2. Datuk Gadang Jo Lelo
3. Datuk Sinaro Putih, dan
4. Datuk Simarajo

Daerah lain yang tunduk dibawah kekuasaan Minangkabau ialah Siak,


Indragiri, Jambi, Batang Hari, Sungai Pagu, Pasaman Dan Rao.
Di Indragiri dalam abad ke-14 Raja diwakili oleh Datuk Temenggung
dan Datuk Putih, tokoh pimpinan setempat yang hampir segelar dengan
Datuk-Datuk yang mendirikan Adat di Minangkabau: Datuk Ketemanggungan
dan Perpatih Nan Sebatang. Pada pertengahan abad ke-15 Indragiri dikuasai
oleh Sultan Muhammad Syah dari Malaka, yang kawin dengan putri Raja
Minangkabau.
Batang Hari diperintah oleh wakil raja Minangkabau, Trang Panjang.
Daerah itu sekali dalam tiga tahun didatangi oleh Yang Dipertuan Raja Alam
Minangkabau. Setelah Trang Panjang meninggal dunia, Yang Dipertuan
Pagaruyung mengangkat Tigo Selo, di Pulau Punjung, Siguntur dan Padang
Lawas.
Di Pasaman peraturan nagari memakai ”Hukum Nan Selapan 4 di luar
dan 4 di dalam”. Diluar:
1. Datuk Jando Lelo
2. Datuk Majo Besar
3. Datuk Sinaro Panjang
4. Datuk Batuah

Didalam:
1. Datuk Rajo Magek
2. Datuk Indo Mangkuto
3. Datuk Bando Panjang
4. Datuk Bandaharo Besar
Pemerintahan di Rao tidak memakai Basa Ampek Balai, tetapi
memakai basa Lima Belas. Disamping itu terdapat istilah Penghulu Suku,
Datuk, Rido dan Tungkat.
Kerajaan Pagaruyung diperintah berdasarkan adat dan Syarak seperti
dirumuskan dalam pepatah ”Adat bersendi Syarak, Syarak bersendi
Kitabullah”, sampai pada suatu saat datang agama yang menimbulkan
kekacauan politik dan pembaharuan agama di Minangkabau, akibat ajaran
tiga orang haji yang pulang kembali dari Tanah Suci, Haji Miskin, Haji
Piobang dan Haji Sumanik.

5. Runtuhya Kerajaan Pagaruyung

Setelah tiga orang haji tersebut kembali ke Minangkabau (1803)


dimulailah usaha pembaharuan ajaran agama yang menimbulkan ”Gerakan
Padri”. Yang Dipertuan Raja Alam Minangkabau terakhir, bertempat tinggal
di Gudam (sebuah corong di Pagaruyung, bernama Arifin Muning Alam
Syah. Ketika kekuasaan ”Harimau Nan Selapan” meluas sampai ke Tanah
Datar. Kaum Padri mendapatkan perlawanan yang sengit, sebab kekuasaan
Adat di Luhak Tanah Datar besar senagai pusat pemerintahan dan
kedudukan raja Minangkabau. Keluarga Raja dan para Penghulu masih
mempunyai wibawa besar pada rakyat. Peristiwa yang sangat mengejutkan
Minangkabau, ialah pembunuhan besar-besaran di Koto Tengah, dilakukan
oleh kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Lelo, bawahan Tuanku Rao
(1809)
Golongan Adat dan seluruh amggota Keluarga Raja di Pagaruyung
punah. Hanya Raja Arifin <uning Alam Syah dan seorang cucunya dapat
melarikan diri dari kepungan dan pembunuhan kaum Padri. Sejak Arifin
Muning Alam Syah kerajaan Pagaruyung yang dahulu mempunyai nama
harum dan indah, hanya tingal puing saja lagi, bekas dari kerajaan besar.
Tetapi, kerajaan itu tetap hisup dalam dada tiap-tiap orang Minangkabau dan
tetap menyentuh hati sanubarinya.

6. Minangkabau dan Negeri Sembilan

Hubungan sejarah, ikatan darah dan tali temali kebudayaan antara


Negeri Sembilan dengan Minangkabau umumnya, kerajaan
Pagaruyung/Minangkabau khusunya, erat sekali sepanjang masa. Kerajaan
Negeri Sembilan seakan-akan ”Minangkabau” dalam Negara Persekutuan
Kerajaan Malaysia dewasa ini.
Tali temali sejarah-kebudayaan-darah itu sudah mulai dengan timbul
dan berkembang kerajaan Sriwijaya di sumatera Tengan (abad ke-6|7
Masehi), dilanjutkan dan dipererat oleh kerajaan Pagaruyung/Minangkabau
(sejak abad ke-14). Yang Dipertuan (Jam Tuan) Negeri Sembilan mengaji
asal usul beliau dari raja Sriwijaya (Seri Maharaja) dan raja-raja
Pagaruyung/Minangkabau (Yang Dipertuan Raja Alam)
Sejarah Negeri Sembilan sejak abad ke-16 tidak luput dari
pergolakan-pergolakan politik yang dialami oleh Semananjung Malaka sejak
dari abad itu.
Jatuh bandar Malaka ke tangan Portugis (1511), bangkit dan
berkembang kerajaan Aceh dipesisir Utara Sumatera dan kerajaan Johor di
Semenanjung Malaka, menjadikan jazirah Melayu itu seringkali medan
pertempuran sengit antara Aceh dengan Portugis, Aceh dengan Johor dan
Johor dengan Portugis (abad ke-16 dan 17)
Dengan berhasil Belanda mengambil alih kedudukan Portugis di
bandar Malaka (1641), diwarisinya pula keruwetan-keruwetan politik di
Semenanjung itu. Nasib Negeri Sembilan terombang-ambing antara
kekuasaan yang berusaha keras memaksakan dominasi politik-ekonomi
mereka didaerah itu.
Jatuh kota Makasar ke tangan Belanda (1667) membuat orang ”Bugis”
dari Sulawesi Selatan lebih suka memilih laut bebas dan menjadi ”bajak laut”
daripada hidup di tanah tumpah sendiri sebagai ”budak” Belanda. Mereka
dirikan ”kerajaan-kerajaan bajak laut”, yang tersebar sejak dari pesisir Timur
Kalimantan hingga ke Kepulauan Riau. Mereka aktif ikut dalam percaturan
politik di pesisir Timus Sumatera hingga ke Aceh dan di Semenanjung
Malaka (abad ke-17 dan 18)
Dalam usaha melepaskan diri dari dominasi politik-ekonomi Belanda,
Johor mengundang Daeng Kamboja, ”raja bajak laut” diperairan antara
Paesisr Timur Sumatera dan Pesisir Barat Kalimantan, untuk membantunya.
Orang Bugis datang, berhasil mengusir Belanda tetapi tidak mau
meninggalkan Johor lagi. Silih berganti orang bugis didudukan di Negeri
sembilan sebagai ”Wali Nagara”. Yang terakhir Raja Kecil, seorang
keturunan Bugis dari Siak.
Rakyat Negeri Sembilan, muak dijadikan bulan-bulanan politik selalu,
mengambil nasib ditangan mereka sendiri. Mereka bunuh raja Kecil dan
mengirimkan utusan ke negeri asal mereka. Minangkabau, menemui Basa
Nan Ampat Balai di Pagaruyung (menjelang akhir abad ke-18)
Dalam konstelasi politik dikerajaan Pagaruyung/Minangkabau ketika
itu, Basa Nan Ampat Balai memegang peranan sebagai ”keurvorsten” (raja-
raja pemilih kaisar) Jerman sejak abad ke-13 atau sebagai panglima-
panglima sagi dekerajaan Aceh setelah Iskandar Muda. Merekalah yang
berhak menentukan siapa yang akan menjadi raja. Basa nan Ampat Balai
menunjuk Raja Malewar (1773-1795) sebagai Yang Dipertuan di Negeri
Sembilan mewakili Raja Alam di Pagaruyung/Minangkabau terakhir di Negeri
Sembilan ialah Raja Ali (1803), tepat dengan mulai berkembang Gerakan
Padri di Alam Minangkabau, yang dalam tahun 1809 mementaskan duka-
cerita di Kota Tengah.
Dengan punahnya anggota keluarga Yang Dipertuan Alam di
Minangkabau dan Basa Nan Ampat Balai, ”Wali Nagari” kerajaan
Pagaruyung di Negeri Sembilan menjadi Jam Tuan yang sebagai raja
berkedudukan turun temurun hingga dewasa ini. Berbeda dengan daerah
Minangkabau, di Negeri Sembilan sebagai ”Rantau” gelar, kedudukan dan
harta pusaka diwarisi oleh anak tidak boleh kemenakan.
Dengan berangsur-angsur terutama tokoh dominasi politik-ekonomi
Inggris di ”Strait-Settlements”, sejalan pula dengan makin menegang
hubungan politik Inggris-Belanda di Asia Tenggara umumnya dan Sumatera
khususnya (menjelang akhir abad ke-19), hubungan dan ikatan politik
Minangkabau sebagai jajahan Belanda si Sumatera dengan Negeri
Sembilan, daerah takluk Inggris di Semenanjung, menjadi renggang dan
akhirnya terputus sama sekali. Perubahan suasana plitik itu tidak
mengakibatkan terputus pula ikatan darah dan tali temali kebudayaan antara
Minangkabau dengan Negeri Sembilan. Pakaian adat, upacara-upacara
adat, gelar keturunan menurut adat dan sebagainya di Negeri Sembilan
hingga dewasa ini banyak menunjukkan persamaan dengan Minangkabau.
Sama halnya putera-putera Minangkabau, istilah ’kerajaan
Pagaruyung/Minangkabau” masih menyentuh lubuk hati penduduk asli di
Kerajaan Negeri Sembilan, akibat katan kulturil dan hubungan darah dalam
sejarah pada zaman yang sudah silam.

Kesimpulan

1. Daerah Minangkabau yang mula-mula memainkan peranan dalam


sejarah ialah Minangkabau Timur, lembah Sungai Kampar kiri/Kanan
dan Lembah Sungai Batang Hari, penghasil lada terpenting diseluruh
dunia dalam periode antara ± tahun 500 – 1400
- Kerajaan-kerajaan bandar yang berkembang didaerah-daerah ini
dan yang diperintah secara otokratis, berhubungan dagang dengan
”dunia”, menganut paham Hindu – Budha dan dipengaruhi oleh
unsur-unsur kebudayaan Hindu - Budha
2. Kerajaan Pagaruyung/Minangkabau (± 1350 - ± 1800), didirikan oleh
Adityawarman (± 1345 – 1375), berhasil mengabungkan kerajaan-
kerajaan bandar di Minangkabau Timur dibawah kekuasaannya, yang
pada mulanya berpusat di hulu sungai Batang Hari (disekitar Sungai
Dareh, Sungai Langsat, Padang Rojo dan Rambahan)
3. Adityawarman (dan pengantinya) berhasil memaksakan sistim
pemerintahan yang berpusat ditangan raja, tetapi setelah tentara
kerajaan Pagaruyung/Minangkabau menjadi lemah aikbat
pertempuran hebat si Padang Sibusuk (1409), nagari-nagari sebagai
republik otonom kembali berkuasa penuh didaerah masing-masing.
4. Kerajaan Pagaruyung/Minangkabau sesudah tahun 1409 merupakan
”kenfederasi” luhak-luhak, masing-masing terdiri dari ”federasi”
republik-republik nagari otonom pula:
- Raja NanTiga Selo menjadi tokhoh-tokoh religio-magis tanpa
kekuasaan politik.
- Basa Nan Ampek Balai sebagai ”Dewan Menteri”, memegang
kekuasaan politik-religius-yuridis tertinggi di ”pusat”
5. Kerajaan Pagaruyung/Minangkabau pada mulanya (± 1350 - ± 1580)
menganut paham Hindu – Budha dan baru sejak Sultan Alif (±1580)
beragama Islam.
6. Berita-berita mengenai kerajaan Pagaruyung/Minangkabau (Islam)
sejak abad ke-17 terutama berasal dari pemberitaan asing (istimewa
Belanda), sedangkan tambo-tambo dan kaba-kaba Minangkabau
mencampur adukkan fakta-fakta sejarah dan mitios mengenai
kerajaan itu.
- Dalam Periode inilah timbul ”mitos” Bundo Kanduang dan ”mitos”
Cindua Mato
7. Berita Belanda dari abad ke-17 (1682) samar-samar menyebutkan
tentang terjadi perang saudara dalam kerajaan
Pagaruyung/Minangkabau (± 1678 – 1682), yang pecah menjadi
kerajaan Sungai Tarab dan Kerajaan Suroaso.
8. Punah anggota keluarga raja Pagaruyung/Minangkabau (kecuali
Sultan Muningsyah Alam), ialah akibat tindakan drastis dari Tuanku
Lelo, panglima bawahan dari Tuanku Lintau asal Tapanuli (Selatan)
(peristiwa berdarah di Koto Tengah 1809).
9. Hunungan darah, kebudayaan dan politik Minangkabau dengan
Semenanjung Malaya sudah mulai terjalin sejak periode Minangkabau
Timur, diperbaharui kembali dengan mendudukan (atas penunjukkan
Basa Nan Ampek Balai), Raja Malewar, seorang anggota keluarga
raja Pagaruyung/Minangkabau sebagai ”wali-negara” di Negeri
Sembilan (1773 – 1795).
10. Yang Dipertuan Raja Ali, ”wali-negara” kerajaan
Pagaruyung/Minangkabau terakhir di Negeri Sembilan adalah putera
Raja Naro yang dipecat oleh Basa Nan Ampek Balai dari
kedudukannya sebagai Yang Dipertuan Raja Alam Minangkabau
- Raja Ali meninggalkan Minangkabau bertepatan dengan tahun
kembalinya tiga orang tokoh Wahhabi dari Mekah (1803),
ulama pencetus Gerakan Padri di Minangkabau
- Luput dari ”massacre Koto Tengah” beliaulah yang menjadi
cikal bakal Yang dipertuan Besar Negeri Sembilan sekarang.
BAB V

HUBUNGAN MINANGKABAU DENGAN ACEH


BELANDA DAN INGGRIS
(± 1600 – 1800)

I. ACEH

1. Pendahuluan

a. Rayuan rempah-rempah dan emas


Daya penarik sepanjang masa dari bumi Indonesia, ialah hasil bumi
dan kekayaan alam Nusantara, yang digemari oleh seluruh dunia. Segi
positif, hasil bumi dan kekayaan alam itu sepanjang perjalanan Sejarah
Indonesia seringkali menimbulkan segi negatif, penderitaan sebagai akibat
dari usaha kekuasan asing untuk menguasai produksi dan penjualan hasil
bumi dan kekayaan alam itu.
Sejak dari permulaan tarikh Masehi Sumatera dengan berbagai nama
sudah mulai dikenal sebagai penghasil emas, lada dan kamper ”which make
the gods come down”, karena mutunya yang tinggi.
Silih berganti sepanjang masa saudagar-saudagar pelaut asing
menjejakan kaki mereka di bumi Indonesia, sebagai akibat dari rayuan
rempah-rempah dan emas. Nusantara menjadi medan pertemuan bangsa-
bangsa dan kebudayaan dunia, disamping menjadi arena pertempuran
sengit kepentingan-kepentingan ekonomi-politik diantara saudagar-saudagar
pendatang dengan sesama mereka, maupun antara mereka dengan raja dan
penguasa diberbagai wilayah Indonesia.
Bangkit dan berkembang kerajaan Turki Osmaniah di Timur Tengah,
yang pada tahun 1453 berhasil menaklukan kota Konstantinopel, pusat
kegiatan agama Yunani-Orthodoks, pusat aktivitas kebudayaan dan ekonomi
”dunia-lama”, dianggap bencana besar oleh Kristen-Eropa. Portugal dan
Spanyol, pahlawan Eropa-Katolik dalam abad ke-15 dan 16, berusaha keras
mencari dan membuka jalan laut, yang politik-ekonomis menghubungi
mereka dengan bagian-bagian Asia bukan Islam. Dengan demikian mereka
akan tidak saja dapat ”mengurung” Turki dari jurusan lautan, tetapi akan
dapat pula membuka ”front-kedua” anti-Islam dan memberikan pukulan
ekonomis yang besar kepada negara-negara Islam. Pemegang monopoli
perniagaan rempah-rempah sejak beberapa abad. Pukulan ekonomis itu
tidak boleh tidak akan memperkecil ”bahaya Turki” bagi Eropa.
Pertimbangan-pertimbangan politik-ekonomis, politik-religius dan
politik-militer itulah yang membuat Spanyol bersedia untuk membiayai
palajaran Columbus ke ”India”. Columbus salah membuat perhitungan dan
”seat” digugusan kepulauan (1492), yang kemudian ternyata adalah bagian
dari benua Amerika sekarang. Pertimbangan-pertimbangan demikian pulalah
yang antara lain membangkitkan kesediaan raja Portugal mengongkosi
pelayaran Vasco da Gama, yang berhasil mengelilingi Tanjung Harapan
(Cabo de Buena Experanza) dan mendarat di Kalikut, India Barat (1498)
Setelah berhasil memberikan pukulan hebat kepada gabungan
angkatan laut negara-negara Islam di Laut Arab (1510), Portugal merajai
pelayaran dibagian Barat dan utara Samudra Indonesia untuk lebih kurang
seabad lamanya. Pada tahun berikutnya bandar Malaka, pusat perniagaan
dan dakwah Islam tersebar dan terpenting di Asia Tenggara, jatuh ketangan
orang Portugis (1511). Katolik-Eropa memperoleh ”ujung tombak” didaratan
Asia Tenggara dan ”kepala Jembatan” sebagai landasan untuk
mengembangkan pengaruh politik-ekonomi-religiusnya kewilayah Indonesia
”Perang Salib” meluas dari pesisir Samudra Atlantik hingga ke pantai Lautan
Pasifik.

b. Aceh menjadi kekuasaan maritim.


Jatuh bandar Malaka ketangan Portugis, menimbulkan reaksi hebat
dari kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia ketika itu. adalah suatu ironi
sejarah, usaha Portugis untuk membasmi agama Islam di Asia Tenggara dan
menggantikannya dengan agama Katolik, justru menimbulkan akibat
sebaliknya. Belun pernah agama Islam berkembang diwilayah Indonesia
secapat setelah bandar Malaka jatuh ketangan Portugis.
Guna pelaksanaan tujuan politik-ekonomi-religius, Selat Sumatera
sebagai urat nadi lalulintas laut antara India dan Cina harus dikuasai oleh
Portugis. Kesempatan untuk merealisasikan tujuan itu terbuka luas, ketika
kerajaan Samudera Pase dipintu masuk Selat Sumatera sebelah Utara,
dirongrong perang saudara yang timbul sebagai akibatnya, seringkali
menimbulkan intervansi kekuasaan asing, yang terus bercokol didaerah
tersebut ketika perang perebutan mahkota telah selesai.
Zainal Abidin, calon raja Samudera Pase, terpaksa melarikan diri
kekota benteng Portugis, Malaka, guna meminta bantuan kekuasaan
asingitu. Zainal Abidin berhasil menduduki takhta nenek moyangnya berkat
bantuan Malaka. Aceh Dar-es Salam, daerha takluk Samudera Pase diujung
Utara Sumatera bangkit melawan Portugis di Samudera Pase. Yang
Dipertuan Ali Mughayatsyah (1516 – 1530) berhasil menghalau Portugis dari
bumi Sumatera (1522).
Kemenangan Ali Mughayatsyah itu mempunyai arti historis yang besar
bagi perkembangan sejarah Indonesia umumnya dan sejarah Sumatera
khususnya, apabila Portugis dapat bertahan di Samudera Pase, mungkin
sekali perjalanan sejarah Indonesia akan berbeda jauh daripada sekarang,
karena mungkin sekali bukan agama Islam agama yang dominan di
Sumatera, seperti keadaannya sekarang.
Kemenangan Ali Mughayatsyah membuat Adeh Dar-es Salam
menjadi pewaris politik dan kebudayaan kerajaan Samudera Pase dan
kerajaan Malaka. Gagal Portugis menjadikan Selat Sumatera ”laut Portugal:
di Asia Tenggara akan melibatkan Aceh dalam perang turun temurun selama
lebih kurang 120 tahun berturut-turut dengan Malaka-Portugis. Aceh selalu
harus meluaskan daerah taklukannya di Sumatera dan Semenanjung
Malaka, guna menguasai sumber-sumber ekonomi daerah-daerah itu bagi
membiayai perang yang tidak kunjung-kunjung selesai.sebagian besar dari
daerah pesisir Timur dan Barat Sumatera, termasuk Minangkabau, jatuh
dibawah dominasi politik ekonomi Aceh (pertengahan abad ke-16)
2. ”Pesisir” dibawah kekuasaan Aceh

a. Hubungan politik-ekonomi
Ekspansi teritorial Aceh kedaerah pesisir Timur dan pesisir Barat
Sumatera mulai sejak pemerintahan Aultan Alauddin Riayasyah al Qahhar
(1539 – 1571) dan mencapai puncaknya dizaman Sultan Iskandar Muda
(1607 – 1636).
Pesisir Barat Sumatera dari Barus disebelah Utara hingga Teluk
Ketahun disebelah Selatan ”nominal” takluk di bawah perintah Yang
Dipertuan di Minangkabau. Dalam kenyatannya daerah yang terbentamh
luas sepanjang Samudera Indonesia itu terbagi atas kerajaan-kerajaan kecil
dan nagari-nagari, ”republik-republik otonom”, dengan ikatan politik yang
longgar sekali dengan sesamanya, maupun dengan Yang Dipertuan di
Minangkabau. Tidak jarang pula ”republik-republik otonom” itu bersaingan
sengit dan berperang dengan sesama mereka, ataupun didalam ”republik-
republik” itu sendiri terjadi perang saudara kecil-kecilan, yang cukup sengit
dan memelaratkan penduduknya. Politis jarang sekali tercapai persetujuan,
keluar antara sesama daerah-daerah otonom itu, kedalam antara golonngan-
golongan yang saling berebut pengaruh dan kekuasaan.
Itulah salah satu sebab utama, maka Aceh dalam jangka waktu yang
relatif pendek dan dengan daya tempur yang relatif kecil berhasil
memaksakan dominasi politik-ekonominya didaerah ”Pesisir”, penghasil dan
penyalur terpenting dari emas, lada, kamfer, benzoin (kemenjan), cengkeh,
buah dan kulit pala, kulit manis dan hasil bumi lainnya. Lebih dari satu abad
lamanya Aceh dapat mempertahankan kedudukan nereka sebagai ”single-
buyer” hasil-hasil bumi Pesisir dan ”single-seller” kebutuhannya, seperti
tekstil dan barang-barang mewah.
Barus ”daerah takluk Minangkabau” paling Utara di Pesisir, terdiri atas
dua kerajaan kecil, Barus Hilir dan Barus Hulu. Rajanya berasal dari satu
keturunan, tetapi persamaan keturunan itu tidak menjadi penghalang bagi
kedua ”kerajaan liliput” itu untuk hidup berdampingan tanpa ketegangan-
ketegangan politik. Karena yang untuk hidup berdampingan tanpa
ketegangan-ketegangan politik. Karena yang satu ingin menguasai
perniagaan hasil bumi yang lain, perang saudara tidak jarang terjadi antara
pengikut kedua raja yang masih bersaudara itu antara sesama mereka.
Sejak dari sebelum tarikh Masehi Barus sudah terkenal dikenal di
India sebagai penghasil kapur (barus) dan kemenyan (benzoin) yang sangat
digemari, karena mutunya yang tinggi. Sengketa dan perang saudara yang
selalu timbul dan berkobar didaerah ”parfums” itu membuka jalan bagi Aceh
untuk menguasai wilayah yang ekonomis penting itu. nominal daerah Barus
tetap takluk dibawah ”jurisdictie” Yang Dipertuan di Minangkabau, tetapi
Acehlah yang memegang kedaulatan pebuh sejak pemerintahan Sultan
Alauddin Riayatsyah al Qahhar (1539 – 1571).
Daerah Natal dan Pasaman, ”rantau” Minangkabau, dalam sejarah
terkenal penghasil emas, disamping hasil-hasil bumi penting lainnya. Gunung
Ophir, puncak Pasaman yang sepanjang zaman berfungsi sebagai ”mercu
suar” bagi pelaut-pelaut di Samudera Indonesia, mungkin sekali gunung
mitologis didalam Kitab Wasiat Lama disebut-sebut sebagai tempat, dari
mana Nabi sulaiman memperoleh emas yang tidak terkirakan banyaknya,
hingga menyilaukan mata Ratu Sceba. ”Daerah emas” itupun jatuh dibawah
pengawasan politik-ekonomis Aceh sejak pertengahan abad ke-16.
Bandar Tiku dan Pariaman, penyalur penting dari lada dan emas
terutama dihasilkan oleh Alam Minangkabau. Jalan yang melintasi Bukit
Barisan menghubungi kedua bandar itu dengan daerah pedalaman. Hingga
menjelang akhir abad ke-17, ketika (kompeni) Belanda menjadikan kota
Padang pos-dagangnya yang terpenting didaerah pesisir Barat Sumatera.
Pariaman adalah bandar terbesar diwilayah itu. Aceh menempatkan
gubernur-militer/syahbandar dibandar disebelah Utara Pariaman. Sebutan
bagi pejabat tinggi Aceh itu (teuku) kenudian digunakan sebagai nama
tempat kedudukannya. Tiku/Bandar khalifah
Sebagai bandar lama yang besar dan makmur, Pariaman mempunyai
kegiatan dagang yang besar pula. Penduduknya banyak, diantaranya
sesudah pertengahan abad ke-16, saudagar-saudagar, penguasa dan
ulama-ulama guru agama dari Aceh. ”Faktor-Aceh” ini besar artinya bagi
perkembangan sejarah Tiku dan Pariaman dalam abad-abad berikutnya.
Padang-kota dan sebagian besar dari daerah Padang-luar kota
sekarang, dalam abad ke-16 terdiri atas nagari Kota Tengah di sebelah
Utara, nagari Pauh disebelah Timur dan sebagian dari wilayah Bandar-X
disebelah Selatan.
Nagari Kota Tengah disebelah Utara berbatasan dengan nagari
Ulakan, tetangga bandar Pariaman disebelah Selatannya. Batang Anai
memisah nagari Koto Tengah dengan nagari Ulakan dan Batang Kalawi
merupakan berbatasannya disebelah Selatan. Kedua sungai itu dapat
dilayari hingg jauh kehulu. Perniagaan Negeri Koto Tengah ramai, karena
selain menghasilkan lada, kayu manis, cengkeh, buah pala dan sebagainya,
juga merupakan daerah penyalur emas dari Alam Minangkabau. ”Koto”nya
berpenduduk ramai, dapat ditempuh dengan kapal (layar), karena berada
ditepi sungai yang membagi dua Koto itu. daerah kuasanya antara lain
meliputi Tabing dan Lubuk Buaya sekarang.
Bandar Padang disebelah Selatan nagari Koto Tengah, berbatasan
disebelah Selatan dengan Batang Arau. Daerah berbukit-bukit disebelah
Selatan, yaitu Teluk Bayur, Teluk Bungus, Bunga Pasang, Sibalantai, yang
penduduknya jarang sekali, termasuk daerah peralihan antara Bandar
Padang dan Tarusan, Bayang (Bandar-X).
Nagari Pauh, sekarang dengan istilah setempat lazim disebut ”mudik”,
disebelah Barat berbatasan dengan Nagari Koto Tengah dan Bandar
padang. Wilayahnya luas, tanahnya subur, penduduknya ramai. Andalas,
Anduring, Alai, Lubuk Lintah, Pasar Baru, Bandar Buat, Lubuk Begalung dan
sebagainya masuk daerah Pauh. Berbatasan disebelah Timur dengan lereng
Bukit Barisan. Pauh tidak saja menghasilkan lada dan emas dari daerah-
daerah dibalik Bukit Barisan. Karena letaknya yang strategis, penduduknya
yang relatif padat dan menghasilkan bahan-bahan yang penting bagi
perniagaan. Pauh mempunyai arti ekonomis yang besar bagi Bandar
Padang.
Penduduk Bandar Padang sebagian besar terdiri dari orang dan
saudagar-pengusaha dari Koto Tengah dan Pauh. Dewan pemerintahan,
Kerapatan Adat, terdiri dari penghulu-penghulu dari Koto Tengah dan Pauh.
Karena antara nagari Koto Tengah dan Pauh selalu ada persaingan untuk
merajai Bandar Padang. Dewan Kerapatan Adat itu sering merupakan arena
pertempuran sengit antara penghulu-penghulu dari Koto Tengah dan Pauh.
Dengan dikuasai bandar Padang oleh Aceh (pertengahan abad ke-16),
bertambah pula unsur politik, yang seringkali menggawatkan hubungan baik
antara nagari Koto Tengah dan Pauh.
Daerah antara Teluk Bungus, Tarusan dan Teluk Ketaun, terdiri atas
”federasi nagari-nagari otonom” Bandar-X (Bayang), kerajaan Indrapura dan
kerajaan Manjuta. Indrapura dan Manjuta terutama ialah produsen lada
terbesar di Pesisir Selatan. Aceh menundudukkan seorang raja-syahbandar
di indrapura, karena dianggapnya penting sebagai penghasil dan penyalur
lada, hasil-hasil bumi berharga lainnya dan emas. Seorang raja-syahbandar
Aceh di Indrapura kenudian sebagai Sultan Alauddin Riayatsayah menduduki
takhta kerajaan Aceh Dar-es Salam.
Daerah penghasil lada disebelah Selatan Teluk Ketaun (Manjuta)
ialah daerah takluk kerajaan Banten sejak akhir abad ke-16 dan terkenal
sebagai Silebar.
Sultan Alauddin Riayatsayah al Qahhar mendudukkan salah seorang
puteranya sebagai panglima-syahbandar di Pariaman. Ia giat sekali
mengembangkan agama Islam (Syi’ah), dengan membuka pesantren di
Ulakan, dan kemudian terkenal sebagai Syeh Burhanuddin (I). Tuanku
Ulakan. Beliau hidup terus dan dihormati di Minangkabau sebagai tokoh
pengembanag agama Islam, yang meng-Islamkan Yang Dipertuan di
Minangkabau. Sultan Muhammad Alif (1581). Sebagai tokoh yang
menghapus zaman ”jahiliyah” di Minangkabau dan ulama Islam (syi’ah)
tertua dan terbesar, makam beliau hingga dewasa ini, terutama dalam bulan
Syafar, ramai diziarahi oleh penduduk (”basapa”, mengadakan upacara
bulan Syafar).
Kekayaan bumi Minangkabau, istimewa daerah Pesisir, jatuh dibawah
dominasi politik-ekonomi Aceh sejak pertengahan abad ke-16, dalam rangka
pengerahan segala potensi ekonominya guna menghalau Portugis-Katolik
dari bandar-benteng mereka, Malaka. Akibat dominasi politik-ekonomi itu
agama Islam mulai berkembang luas di Pesisir. Berkat usaha Syeh
Burhanuddin (I) Tuanku Ulakan, agama Islam (Syi’ah) lambat laun
merembes dan tersebar luas di Minangkabau, setelah Yang Dipertuan di
Minangkabau masuk Islam (Sultan Mohammad Alif) menjelang akhir abad
ke-16.

b. Ikatan sosial-religius.
Akibat terpenting dan langgeng, karena itu tidak ternilai harganya, dari
dominasi politik-ekonomis Aceh di Pesisir sejak pertengahan abad ke-16,
ialah hapus ”zaman jahiliyah” di Minangkabau. Sebagai wilayah Indonesia
yang pertama sekali menganut agama Islam, saudagar-saudagar mubaligh
Aceh giat sekali melakukan dakwah Islam didaerah-daerah takluk Aceh.
Dapat disimpulkan, bahwa peng-Islaman Minangkabau secara besar-
besaran (”frontal”) baru terjadi, setelah pesisir jatuh dibawah dominasi politik-
ekonomi Aceh. Hal itu bukan berarti, bahwa orang Minangkabau secara
individual baru ketika itu pula mulai berkenalan dengan agama Islam atau
menjadi orang Islam. Daerah ”Rantau” Minangkabau Timur, produsen dan
penyalur lada dan emas terbesar sejak abad ke-6 Masehi, pada pertengahan
abad ke-7 sudah berkenalan dengan agama Islam dan sejak permulaan
abad ke-8 telah ada raja di Minangkabau Timur yang manganut agama
Islam. Tetapi perluasan ajaran Islam ke Alam Minangkabau baru
diintensifkan sejak pertengahan abad ke-16, tidak dari Minangkabau Timur,
tetapi dari Pesisir. Berita Portugis dari permulaan abad ke-16 menyatakan,
bahwa utusan Yang Dipertuan di Minangkabau yang berkunjung kebandar-
benteng Malaka, masih ”pagan”, artinya masih ”jahil”, karena belum memeluk
agama (Kristen maupun Islam).
Sepanjang zaman orang Minangkabau terkenal sebagai pedagang
dan suku merantau. Ada yang merantau untuk memperdagangkan hasil
buminya atau menuntut ilmu sampai ke Aceh. Diantara mereka tentunya ada
yang telah berkenalan dengan agama Islam, masuk Islam dan mungkin
sekali memperdalam pengetahuan mereka tentang agama Islam selama
berada di Aceh. Sekembali mereka ”kekampung” masing-masing, mustahil
tidak ada yang menyebarkan agama Islam dikalangan keluarga dan
penduduk kampung mereka. Tetapi secara ”frontal”, gigih, berencana dan
tekun peng-Islaman Minangkabau baru di-entamir pada ”zaman Aceh”
Aceh dan orang Aceh mempunyai arti dan tempat istimewa didalam
pandangan dan hati orang. Minangkabau pada umumnya Mubaligh-
Mubaligh/ulama Minangkabau yang pertama adalah hasil pendidikan
pesantren di Ulakan. Orang Minangkabau yang hendak menunaikan rukun
haji, bermukim beberapa lama di Bandar Aceh Dar-es Salam atau bandar-
bandar Aceh lainnya sebelum melanjutkan pelajaran ke Tanah Suci.
Sekembalinya dari Mekah, di Aceh pula mereka tinggal beberpa lama
sebelum meneruskan perjalanan pulang ke nagari masing-masing. Daerah
Aceh adalah ”serambi Mekah” bagi Minangkabau.
Hubungan batin, diandasi oleh agama Islam, merupakan ikatan yang
erat sekali dengan Aceh dengan Minangkabau. Itulah yang menjadi salah
satu penghalang besar bagi Belanda dalam abad ke-17 untuk segera dapat
menanamkan pengaruh politik-ekonominya di Pesisir.
Selama Gerakan Padri, yang disusul dengan Perang Padri (± 1800 - ±
1840) membakar Minangkabau. Aceh memberikan bantuan moril dan materil
yang besar artinya bagi Perang Padri ketika Belanda berusaha keras untuk
menaklukan seluruh Minangkabau.
Ketika Perang Kemerdekaan Aceh (1871 – 1904) berkobar.
Minangkabau memberikan sokongan moril dan pemuda-pemudanya ikut
berjuang dipihak Aceh.
Waktu Padang Panjang, menjadi pusat pendidikan Islam (permulaan
abad ke-20), banyak pemuda-pemuda dari Aceh yang menuntut ilmu agama
kesana. Diantara mereka kemudian ada yang memainkan permainkan
peranan penting sebagai pimpinan pemerintahan sipil dan militer di aceh,
setelah Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaannya (1945).
Dizaman Revolusi fisik (1945 – 1950), pemuda pejuang Revolusi dari Aceh
banyak yang bertempur dan jatuh sebagai pahlawan difront Sumatera Barat.
Sepanjang masa sejak pertengahan abad ke-16 terutama, ada
kerjasama timbal balik antara Minangkabau dan Aceh. Landasan idil dari
kerjasama itu ialah agama Islam dan pernah jalan seiring Minangkabau
dengan Aceh didalam sejarah.

c. Dominasi politik-ekonomis
Tujuan ekspansi teritorial Aceh ke Pesisir ialah menguasai
perdagangan rempah-rempah, terutama lada dan emas daerah itu. dominasi
politik-ekonomi itu dimaksud untuk memperoleh biaya, guna mengusir
Portugis dari bandar-benteng mereka Malaka. Tugas utama dari panglima-
panglima syahbandar Aceh di Pesisir ialah memonopoli pembelian lada dan
emas terutama dan penjualan tekstil serta kebutuhan-kebutuhan lainnya
daerah Pesisir. Saudagar-saudagar pelaut asing dari India, Persia, Arab dan
Cina, dari Inggris, negeri Belanda, Perancis dan sebagainya. Hanya dapat
membeli lada dan emas dan menjual barang-barang yang mereka bawa di
Bandar Aceh Dar-es Salam. Politik dagang ”single-buyer” dan ”single-seller”
itu dipegang teguh oleh Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636), guna
memupuk dana bagi peperangan-peperangannya dengan Portugis, yang
tidak kunjung habis.
Bagi Pesisir khususnya dan Minangkabau umumnya politik dagang
Aceh itu berarti, harus menjual hasil-hasil buminya dengan harga rendah dan
membeli barang-barang kebutuhannya dengan harga tinggi, sesuai dengan
jumlah yang ditetapkan secara sepihak oleh Aceh. Rasa tidak puas dan ingin
membebaskan diri dan kungkungan dominasi politik-ekonomi Aceh itu mulai
bertunas dan berkembang luas di Pesisir, terutama ketika wibawa politik
Aceh mulai menurun (pertengahan abad ke-17). Rasa tidak puas dan ingin
bebas dari dominasi Aceh itu dihembus-hembus dan diapikan supaya tetap
membara. (Kompeni) Belanda dan Inggris didaerah-daerah takluk Aceh,
yang karena letak geografisnya jauh dari Bandar Aceh Dar-es Salam,
merupakan anak rantai yang lemah dalam sistim monopoli Aceh. Di Pesisir
daerah itu ialah Bayang/Bandar-X, diantara bandar Padang dan kerajaan
Indrapura. Disanalah (Kompeni) Belanda mula-mula memperoleh
”bridgehead”, landasan guna mengmbangkan pengaruh plitik-ekonominya di
Pesisir (sejak pertengahan abad ke-17).

d. Ikatan budaya
Selama lebih kurang seabad dominasi politik-ekonomi Aceh di Pesisir,
istimewa dibandar-bandar pusat kegiatan niaga dan agama, seperti Tiku,
Pariaman, Ulakan, Kota Tengah, Padang dan Indrapura, terjalinlah ikatan-
ikatan kekeluargaan antara penguasa-saudagar-ulama Aceh dengan
penduduk setempat. Hal itu merupakan hambatan bagi (kompeni) Belanda
guna menanamkan pengaruh politik-ekonominya di Pesisir sejak
pertengahan abad ke-17.
Kebudayaan Minangkabau diperkaya oleh ikatan politik dan
ekonominya dengan Aceh. Bahasa dan tulisan Arab, media utama bagi
perkembangan agama dan hukum Islam, tersebar luas di Minangkabau.
Aksara Arab yang telah disederhanakan ”tulisan Melayu”, menjadi alat guna
penulisan sastra lama. Sebagai ahli waris kebudayaan Samudera Pase dan
kerajaan Malaka. Aceh menyebarluaskan hasil-hasil karya sastra kuno
disamping karya-karya cipta aceh sendiri. Ufuk idil Minangkabau bertambah
luas. Pakaian pembesar-pembesar Aceh ditiru dan menjadi pakaian adat
Minangkabau, istimewa di daerah Pesisir. Celana ”gelembong” atau celana
”Aceh” dan daster Aceh menjadi pakaian penghulu di Pesisir. Seni bangun
Aceh mempengaruhi bentuk ”rumah gadang’ di Pesisir. Kata-kata Aceh
memperkaya perbendaharaan bahasa Minangkabau. Persenjataan dan taktik
bela diri ”silat Aceh” berkembang dan tersebar luas. Kemahiran
menggunakan senjata guna pertahanan nagari dipelajari dan diwarisi dari
Aceh.
Disamping segi-segi positif itu tentunya ada pula segi-segi negatifnya.
Adanya keturunan Aceh dan berkembang luas pengaruh plitik-ekonomi Aceh
di Pesisir, menambah satu unsur perpecahan didaerah itu. Dengan mulai
menurun kekuasaan politik dan wibawa kerajaan Aceh dan mulai tertanam
serta berkembang pengaruh ekonomi-politik (Kompeni) Belanda di Pesisir
sejak pertengahan abad ke-17. penduduk didaerah-daerah takluk Aceh itu
terbagi atas golongan yang pro-Aceh-anti-Belanda, pro-Belanda-anti Aceh
dan anti-Belanda. Kekacauan politik dan ekonomi sebagai akibatnya
merupakan pola Sejarah Minangkabau, istimewa Pesisir sejak pertengahan
abad ke-17.
Masuk dan berkembang pengaruh politik-ekonomi Aceh di Pesisir
sejak pertengahan abad ke-16, menambahkan satu lagi unsur perpecahan di
Pesisir. Ketegangan-ketegangan politik yang diakibatkannya, seringkali
menimbulkan pertikain senjata antara sesama nagari dan perang saudara di
nagari-nagari itu sendiri.

3. Puncak Kejayaan yang Mengawali Keruntuhan.

Aceh mencapai masa jayanya dizaman pemerintahan Iskandar Muda


(1607 – 1635). Sebagian besar dari Sumatera dan Semenanjung takluk
dibawah dominasi politik ekonomi Aceh. Kerajaan Aceh menjadi pendukung
dan pengembang kebudayaan Melayu dan pusat dakwah Islam. Segala daya
dan dana digunakan untuk menguasai Selat Sumatera (Malaka) dan
mengusir Portugis dari kota benteng mereka diujung sebelah Selatan Selat
itu. Perlawanan yang dilakukan oleh daerah-daerah takluk, memaksa Aceh
untuk memelihara angkatan laut yang besar. Biaya untuk memelihara
angkatan laut yang besar itu dikerahkan dari daerah-daerah takluk yang
perniagaanya dimonopoli oleh Aceh. Monopoli menimbulkan perang dan
perang mengakibatkan monopoli.
Kemunduran wibawa politik dan kekuasaan ekonomi Aceh bersumber
pada zaman kejayaan pemerintahan Iskandar Muda.
Pertikaian agama yang terus menerus merupakan salah satu unsur
kelemahan pula yang diwariskan oleh Iskandar Muda. Pengaruh Hamzah
Fansuri dizaman Iskandar Muda, mendapat reaksi hebat dibawah
Pemerintahan Iskandar Thani (1637 – 1641), manantu Iskandar Muda.
Kekacauan politik sebagai akibat dari pertikaian-pertikaian agama itu baru
reda dizaman Tadj-ul Alam Syafiatuddin (1641 – 1673), puteri Iskandar
Muda, janda Iskandar Thani. Ketenangan suasana agama itu tercapai berkat
wibawa Syeh Abdul Rauf as Singkili, Tuanku Thjik di Kuala (1670).
Setelah Kota Malaka jatuh ketangan (kompeni) Belanda (1641), jalan
dagang antara Aceh-India-Persia, dibelokkan oleh Belanda menyusur Pesisir
Barat Sumatera dan Selat Sunda, ekonomis Aceh jadi terpencil dengan
akibat bertambah mundur wibawa poitiknya didaerah-daerah takluknya,
istimewa di Pesisir. Ketika itulah wibawa politik (Kompeni) Belanda mulai
naik, setelah berhasil menjadikan ”Batavia” pusat kekuasaan politik-ekonomi-
maritimnya di Asia Tenggara (1619) dan berkat pimpinan gubernur-gubernur
jenderal Anthonio van Diemen (1636 – 1645) dan Joan Maetsyucker (1653 –
1678).
Setapak demi setapak dengan kegigihan dan keuletan yang luar
biasa. Belanda berhasil menggantikan pernan poltik-ekonomi Aceh di Pesisir.

II. Belanda

1. ”Saudagar-raja”

Pada mulanya saudagar-saudagar pelaut Belanda datang di Tanah


Air kita sebagai saudagar. Perkembangan sejarah kemudian membuat
mereka berperanan sebagai ”raja”.
Sejak abad ke-16 pengangkutan rempah-rempah dari Indonesia ke
Eropah dimonopoli oleh Portugal. Menjelang akhir abad itu Portugal
ditaklukan oleh Spanyol. Hubungan dagang saudagar-saudagar belanda
dengan Portugal terputus. Negeri Belanda (Utara) yang penduduknya
sebagian besar beragama Protestan, sedang terlibat dalam perang mati-
matian dengan Spanyol Katolik. Raja Spanyol bernafsu besar menumpas
kemerdekaan dan menghapus agama orang Belanda (Utara).
Apabila Belanda (Utara) berhasil merampas monopoli pembelian
rempah-rempah di Asia Tenggara dan penyalurannya ke Eropa. Spanyol
tidak saja akan menderita pukulan ekonomis yang besar, tetapi daya pukul
militernya dinegeri Belanda akan berkurang pula. Berhasil baik Belanda
melaksanakan tujuan politik-ekonomis itu dan menjadi ”raja” saudagar-
saudagar Belanda diwilayah Indonesia, nukan karena keunggulan
persenjataan mereka, bukan pula karena keberanian mereka yang luar
biasa, tetapi terutama karena sistim dan organisasi perdagangan mereka.
Politik, taktik dan strategi dagang dan perang, yang sering harus mereka
lakukan di Nusantara menghadapi saingan yang banyak corak dan
ragamnya dan raja-raja/penguasa Indonesia setempat, yang tidak begitu saja
mau mengakui dominasi politik-ekonomi Belanda didaerah mereka masing-
masing, direncanakan dan ditetapkan oleh pimpinan badan dagang Belanda,
lazim disebut ”Kompeni”. Di Indonesia Kompeni itu dipimpin oleh seorang
Gubernur Jenderal, didampingi oleh ”de Heeren Raaden van India” (Dewan
Hindia), berkedudukan di ”Batavia”, Jakarta sekarang.
Saudagar pelaksana dipusat-pusat produksi dan penyalur rempah-
rempah emas dan sebagainya, bernama ”coopman” atau ”oppercoopman”,
tergantung pada besar kecil omset perdagangan Kompeni didaerah-daerah
tersebut. Ditempat itu didirikan ”loji” atau ”factorij”, gudang guna menyimpan
barang dagangan Kompeni, hasil-hasil bumi dan logam-logam berharga yang
telah dibelinya. Disana pula ”coopman” atau ”oppercoopman” dengan
pembantu-pembantunya tinggal. Loji atau factori seringkali berfungsi sebagai
benteng sekaligus dan pangkalan dari mana Kompeni berangsur-angsur
meluaskan dominasi politik-ekonominya.
Keahlian berdagang, ketekunan bekerja, pengabdian yang besar,
dibarengi dengan kecakapan, semuanya dimatangkan oleh pengalaman
yang lama, dijadikan ukuran dan pertimbangan untuk dapat menduduki anak
tangga tertinggi dalam hirarki organisasi Kompeni. Biarpum jumlah mereka
kecil, kekompakan yang besar diantara sesama petugas Kompeni pada abad
pertama sejak Kompeni didirikan, membuat perusahaan dagang Belanda itu
mampu menyingkarkan saingan yang banyak corak dan ragamnya dan
mampu pula menghadapi bangsa Indonesia yang banyak jumlahnya, karena
raja-raja dan pengusaha-pengusaha mereka tidak (pernah) seia sekata
dengan mereka, memberikan peluang kepada saudagar-saudagar pelaut
Belanda yang tergabung dalam suatu organisasi piramidal untuk
menanamkan, mengembangkan dan memantapkan dominasi politik-ekonomi
mereka di buni Indonesia sejak akhir abad ke-17
Untung besar tidak didapat oleh Kompeni dari perniagaan rempah-
rempah langsung antara Indonesia dengan Eropa, tetapi terutama dari
perdagangan inter-Asiam setelah berhasil menyingkirkan pedagang-
pedagang perantara Asia dari perairan Indonesia dan mendirikan loji-loji
didaratan dan kepulauan Asia, sejak dari Teluk Persia di Barat-Laut
(”Wester-comptoir”) hingga ke Jepang (Decima) di Timur Laut (”Oosters-
comptoir”) dengan bandar-benteng ”Batavia” sebagai pusatnya. Hanya sekali
setahun ”konvoi Oost-injevaarders” dengan muatan sarat meninggalkan
Batavia menuju Amsterdam, yan menjadi pusat perniagaan dan penyaluran
rempah-rempah di Eropa sejak pertengahan abad ke-17.
Dalam jaringan-jaringan perniagaan Kompeni antara ”Batavia” dan
”Westers-comptoir” itulah letak arti militer-strategis dan politik-ekonomis
daerah Pesisir (Barat Sumatera) bagi Belanda. Minangkabau menghasilkan
lada dan emas, disamping merupakan pasaran yang baik bagi tekstil dari
India (Selatan), Bandar Padang berada kira-kira pada pertengahan
pelayaran antara Batavia dan Ceylon, yang jatuh ketangan Belanda pada
tahun 1640. colombo menampung segala kegiatan perniagaan dipesisir
Barat dan Timur India Selatan, Laut Arab dan Teluk Persia.
Sejak Belanda menajadikan Kaapstad di Tanjung Harapan tempat
”rendez vouz” (pertemuan) bagi kapal-kapal dari Amsterdam (”heenvloot”)
dan dari Batavia (”thuisvloot”) (1652) dan Colombo menjadi pangkalan
dagangnya diujung Selatan India, jalan dagang melalui Selat Sumatera kian
sepi. Belanda membelokkan jalan niga melalui Selat Senda dengan
mengambil rute arah ke Selatan dan Timur dari Tanjung Harapan untuk pada
suatu ketika membelok ke arah Timur-Laut dan masuk ke Selat Sunda.
Adakalanya ”bocht”, belokan itu diambil terlampau cepat dan kapal Kompeni
semapai di Pesisir (Barat Sumatera). Adakalanya terlampau lambat dan
kapal Kompeni terdampar di pesisir Barat Australia (”Nieuw Holland”). Kian
ramai hubungan dagang Batavia dengan Westers-comptoir dan Kaapstad,
kian penting arti Pesisir bagi Belanda. Karena itu sejak pertengahan abad ke-
17 Kompeni berusaha keras membuka loji di Bandar Padang, yang letaknya
sangat ”bequaem”, baik sekali bagi kepentingan dagangnya.
Apabila saudagar-saudagar pelaut Belanda kemudian menjadi ”raja”
dibumi Indonesia, hal itu tidak terutama disebabkan karena keahlian mereka
berdagang atau keunggulan persenjataan mereka tetapi karena perpecahan
dan saling sengketa antara raja-raja dan penguasa-penguasa Indonesia
dengan sesama mereka. Pola sejarah Minangkabau sejak pertengahan abad
ke-17 tidak jauh menyimpang dari pola umum ini.

2. ”Perdamaian Abadi”
Hubungan dagang Pesisir dengan Belanda sudah mulai sejak akhir
tahun 1600. dua buah kapal dagang Belanda dari Banten dalam pelayaran
pulang kenegerinya, berlabuh berturut-turut di Bandar Pariaman, Tiku
(Bandar Khalifah) dan Air Bangis (Pasaman), membeli lada. Kericuhan
segera timbul, ketika dua kapal itu singgah untuk membeli lada pula di
Bandar Aceh Dar-es Salam. Hubungan Belanda dan Aceh dalam abad ke-17
dan abad-abad berikutnya ditandai oleh ketegangan-ketegangan politik, yang
seringkali meletus menjadi perang terbuka. Pasang naik dan pasang surut
hubungan politik ekonomi Aceh-Belanda itu sangat mempengaruhi hubungan
dagang Pesisir dengan Kompeni.
Perniagaan yang dilakukan oleh Kompeni dengan penduduk setempat
ialah ”sistim uang panjar”. Dengan raja, panglima-panglima ataupun
penghulu-penghulu sebagai penguasa setempat, dibuat perjanjian mengenai
jenis, jumlah dan harga hasil-hasil bumi seperti lada, cengkeh, buah pala,
kulit manis, kemenyan, kamfer dan sebagainya dan emas yang dapat dibeli
oleh Kompeni. Begitu pula mengenai jenis barang-barang kebutuhan yang
dijual oleh Belanda daidaerah tersebut, seperti tekstil, garam, barang-barang
dari besi, barang-barang mewah dan sebagainya. Dari hasil bumi yang dijual
oleh penduduk dan barang-barang yang diimpor oleh Kompeni, penguasa
setempat memungut sejumlah presentase sebagai bea. Bertambah besar
volume dagang Kompeni disesuatu daerah, bertambah besar pula
penghasilan –penguasa-penguasa setempat. Karena itu nagari atau bandar
sering berlomba-lomba dan bersaing dengan sesamanya menawarkan
Kompeni fasilitas-fasilitas perdagangan, yang seringkali tidak mampu mereka
untuk memenuhinya.
Kompeni memberikan uang panjar berupa uang kontan (ringgit perak)
ataupun bahan-bahan dagangan (tekstil, garam dan sebagainya) kepada
penghulu-penghulu yang menyanggupi levering lada atau emas, menurut
jumlah dan harga yang telah disepakati bersama. ”Ready-stock” tidak ada,
kapal Kompeni datang hanya lebih kurang sekali sebulan membawa barang-
barang dagangan dan megambil hasil-hasil bumi maupun emas yang telah
terkumpul. Kompeni memerlukan gudang tempat menyimpan barang-barang
dagangannya, hasil-hasil bumi dan emas yang telah dibeli, yang berfungsi
sekaligus sebagai tempat kediaman ”coopman” dan pegawai-pegawai
Kompeni lainnya. Gudang atau ”loji”, (”factori”) sering memuat bahan-bahan
dagangan yang adakalanya berjumlah puluhan ribu gulden dan karenanya
juga merupakan ”benteng”.
Sebagai daerah takluk Aceh, nagari-nagari dan bandar-bandar di
Pesisir mempunyai ikatan politik-ekonomis dengan kerajaan itu. tergantung
pada kondisi dan situasi politik Aceh, ada saat-saat ketika ikatan politik itu
ketat dan erat sekali dan ada pula saat ketika hubungan itu longar benar.
Pada saat hubungan Aceh dengan Pesisir erat dan timbul ketegangan politik
antara Aceh-Belanda, dibarengi maupun tidak oleh perang terbuka, loji
Kompeni di Pesisir seringkali dijadikan ”sasaran”. Isinya dirampas,
penghuninya ditawan dan sebagainya. Apabila keadaan berubah baik
kembali, penghulu-penghulu yang telah menerima uang panjar dari Kompeni,
seringkali tidak muncul-muncul lagi. Kalaupun muncul, mereka
mengemukakan berbagai alasan, yang seringkali memang ada benarnya,
apa sebab mereka tidak dapat memenuhi janji mereka. Pendeknya uang
panjar Kompeni ”hangus” dan untuk berdagang selanjutnya Belanda harus
membuat perjanjian baru lagi, memberikan uang panjar lagi hingga keadaan
politik memburuk lagi dan cerita diulang kembali dari semula.
Guna mengatasi pengalaman-pengalaman pahit itu Kompeni sejak
pertengahan abad ke-17 berikhtiar keras mendirikan ”loji” (benteng) dibandar
strategis, militer dan ekonomi penting bagi perkembangan pengaruh
niaganya, bebas dari resiko-resiko seperti yang dideritanya selama ini.
Usaha itu tidak akan berhasil baik, apabila situasi militer dengan Aceh tidak
dapat diselesaikan dengan cara damai.
Hubungan politik-ekonomi Aceh-Belanda, yang sejak pemerintahan
Iskandar Muda (1607 – 1636) dan Iskandar Thani (1636 – 1641) lebih
banyak buruk daripada baik, dizaman Ratu Nurul Alam Syafiat-ud Din (1641
– 1673), berangsur-angsur pulih baik.
Pada pertengahan tahun 1659 datang ke batavia utusan raja Aceh
dengan surat baginda, yang antara lain berisi, bahwa ”adalah kehendak hati
Paduka Sri Sultan, agar seluruh umat manusia hidup berbahagia didunia”,
sesuai dengan ”sabda Tuhan S.W.T, bahwa tidak ada yang lebih utama
daripada dua perkara, pertama selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan kedua, berbuat baik atas sesama manusia didunia”.
Baginda yakin, bahwa ”Paduka Tuanku Gubernur Jenderalpun
berpegang teguh pada dua perkara itu”, dan karenanya baginda sangat
menyayangkan, bahwa ”orang Aceh dan orang Belanda yang dalam masa
yang lampau hidup berdampingan sengan sesamanya dalam keadaan
damai, sekarang memerangi sesamanya”. Baginda menyatakan sebagai
keyakinan baginada, bahwa ”dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa,
dibarengi dengan niat baik dari Paduka Tuan Gubernur Jenderal, pertikaian
senjata dapat dihentikan dan orang Aceh dapat hidup berdampingan kembali
dengan orang Belanda dalam susana damai”. Guna mencapai tujuan itu
baginda mengajak Kompeni untuk ”mengutus orang yang arif bijaksana, lagi
cerdik cendekia, yang tidak takut menginjakkan kakinya dibumi Aceh dan
berhadapan muka dengan Paduka Sri Sultan” untuk merundingkan
perdamaian ”bagi kesejahteraan seluruh ummat manusia didunia”.
Tercapailah ”perdamaian abadi” antara Aceh dengan Belanda (1660), yang
antara lain mengizinkan Kompeni membeli lada dan emas di Pesisir,
mendirikan loji di Padang, membantu Kompeni menagih Piutangnya di Tiku,
Pariaman, Padang dan sebagainya, dan melarang Pesisir mengadakan
hubungan dagang dengan Inggris.
Sebagai pelaksanaan persetujuan ”damai abadi” itu di Pesisir,
Kompeni menunjuk Jan van Groenewegen sebagai ”coopman-resident” dan
”commandeur ter Westcuste van Sumatera”. Ia ikur dalam rombongan
Kompeni ke Bandar Aceh Dar-es Salam dan oleh Sri Ratu dianugerahi gelar
”Orangkaya Hulubalang Raja” lengkap dengan pakaian adat dan rencong,
lambang kebesaran seorang ”teuku”.
Pelaksanaan tugas menagih piutang Kompeni di Bandar-bandar
Pesisir dan mendirikan loji di Padang ridaklah semudah seperti yang
digambarkan oleh Jan van Groenewegen maupun oleh pimpinan Kompeni di
Batavia. Perang yang berlarut-larut antara Aceh dengan Belanda (1647 –
1660), telah banyak menghancurkan perkebunan lada di Tiku dan Pariaman.
Pedagang-pedagang emas dari Alam Minangkbanau tidak menurun lagi ke
Pesisir. Penduduk Pesisir jatuh miskin dan untuk menghidupkan perniagaan
kembali, Kompeni harus bersedia memberi ”voorschoot” lagi, diikat dengan
perjanjian-perjanjian baru. Panglima Padang menghalang-halangi Jan van
Groenewegen mendirikan loji di Padang, meskipun alat-alat bangunan telah
didatangkan dari Batavia.
Kecewa perjanjian abadi tidak dapat dilaksanakan dibagian Utara dari
Pesisir, Jan van Groenewegen mengarhakan pandangannya ke Pesisir
Selatan, kedaerah-daerah Bandar-X dan kerajaan Indrapura, anak rantai
yang lemah dalam sistim pertahanan Aceh di pesisir Barat Sumatera.
Sebagai penghasil dan penyalur emas dan lada terpenting, didaerah itu telah
lama membara rasa tidak puas terhadap dominasi politik-ekonomi Aceh,
karena dianggap mencekik leher dan melumpuhkan segala kegiatan dagang
penduduk.
Jan van Groenewegen memutuskan menjadikan Salido pusat
kegiatan niaga Kompeni di Pesisir. Pilihan itu memperhebat persaingan dan
menggawatkan hubungan antara bandar-bandar daerah Pesisir Utara dan
Pesisir Selatan. Suasana politik dikedua daerah itu meruncing dan
mengakibatkan dua peristiwa penting yang menentukan perjalanan sejarah
Minangkabau untuk abad-abad berikutnya. Belanda mengkonsolidasikan
kedudukannya di Pesisir dengan ”Perjanjian Painan” (1636). Aceh yang
membantu daerah Pesisir Utara mengobarkan ”Perang Saudara” di Pesisir
(1663 – 1682).

3. ”Perjanjian Painan” (1663)


Sebutan ”Perjanjian Painan” sebagai terjemahan dari ”het Painans
Traktaat” sebenarnya kurang tepat. Perjanjian itu diawali dengan pertemuan
dan perundingan rahasia disebuah pulau kecil, di Teluk Batang Kapas,
dirumuskan dan ditandatangani kemudian di ”het Casteel van Batavia” dan
tidak sepatah katapun menyebut ”painan”. Yang memainkan peranan penting
ialah Indrapura sebagai kerajaan terpenting dan produsen lada terbesar di
Pesisir Selatan.
Salido, istilah Portugis yang berarti ”pintu” (gerbang), ialah bandar
terpenting dan terbesar ”Bandar-X”, atau Bayang. Federasi sepuluh ”kota” itu
berbatasan disebelah Selatan dengan kerajaan Indrapura, disebelah Timur
(laut dan Tenggara) dengan Bukit Barisan dan disebelah Utara dengan Pauh
(dan Padang). Batasan-batasan itu tidak jelas dan seringkali ”bergerak”,
sesuai dengan besar kecil wibawa anggota-anggota federasi Bandar-X pada
suatu ketika.
Bayang produsen emas yang bermutu tinggi (tambang emas yang
diusahakan oleh Belanda di Salido dengan mendatangkan pekerja dari p.
Nias dan Mdagaskar, terpaksa ditutup (1682), karena tidak mengdatangkan
hasil sebesar yang diharapkan), lada (± 1000 bahar atau 2000 ton setahun)
dan hasil-hasil bumi lain seperti cengkeh, kulit manis, buah pala dan
sebagainya yang disalurkan terutama melalui bandar Salido disamping
bandar-bandar lain seperti Batang Kapas, Air Haji dan sebagainya.
Penduduknya yang banyak membuat Bandar-X daerah pasaran penting bagi
tekstil dan barang mewah yang diimpor oleh Kompeni.
Pimpinan dipegang oleh ”Raja nan Empat:, yaitu Raja Pelangkai, Raja
Kambang, Raja Bunga Pasang-Lakitan dan Raja Air Haji, yang masing-
masing mempunyai wakil di Salido. Raja Pelangkai di Salido diwakili oleh
Sutan Sampurno, yang oleh Kompeni diberi gelar ”Raja Kerabau”, karena
keberanian dan kesetiaannya membantu Belanda.1)
Jan van Groenewegen sebagai ”coopman-resident” dan
”commandeur” Kompeni ”ter Sumatra’s Westkust”, memperbaiki loji di Salido,
karena panglima Padang menghalang-halangi maksudnya memperkokoh
gudang papan yang ada di Padang
Rasa tidak puas dan ingin membebaskan diri dari dominasi politik dan
ekonomi Aceh telah lama membara di Pesisir umumnya di Pesisir Selatan
khususnya. Tekanan berbagai jenis pajak dan perlakuan-perlakuan tidak
wajar dari pihak penguasa-penguasa Aceh, telah membulatkan tekad Raja
nan Empat serta penghulu-penghulunya untuk membebaskan diri dari ”het
jok der Achinders”, beban yang dipikulkan oleh Aceh. Wibawa Aceh telah
mulai menurun, istimewa setelah tercapai ”perjanjian abadi” dengan Belanda
(1660). Raja nan Empat mengutus Raja Panjang, putera Raja Sampurna
alias ”Raja Kerbau” ke Batavia, meminta bantuan Kompeni membebaskan
daerah Bandar-X dari kekuasaan Aceh (1661) dengan fasilitas-fasilitas
perdagangan sebagai imbalannya. Kompeni menugaskan Jan van
Groenewegen untuk menyelidiki kemungkinan mengadakan perjanjian
dagang dengan Bandar-X, yang tidak boleh tidak akan mengeruhkan kembali
suasana politik dengan Aceh.
Sesampai di Salido Jan van Groenewegen dikunjungi oleh Raja
Kerbau, sebagai penghulu Pelangkai di Salido yang mempunyai hubungan
erat dengan Belanda. Tercapailah kata sepakat untuk mengadakan
pertemuan rahasia dengan wakil-wakil Raja nan Empat dan Bandar-X
disebuah pulau yang tidak berpenduduk, ± 1,5 mil dari Batang Kapas.
Tindakan itu dilakukan mengingat ”penduduk banyak yang berhubungan”
sumando (vermaeghschapt-bertalian darah) dengan orang Aceh dan orang-
orang Aceh sangat curiga kepada penguasa-penguasa Bandar-X.

1
Raja nan Empat itu mempunyai ikatan kekluargaan dengan sesame mereka, maupun dengan
punghulu- penghulu yang mewakili mereka masing-masing di Salido. Mereka anggota keluarga
“Raja Sungai Pagau”, yang juga menurunkan raja-raja daerah Muara Labuh dan sekitarnya.
Dipulau yang tidak berpenghuni itu tercapailah kata sepakat, Kompeni
bebas berdagang diseluruh daerah Bandar-X, penduduk tidak dibenarkan
berniaga dengan bangsa-bangsa lain dan apabila orang Aceh, dengan
kemauan sendiri ataupun dengan paksaan (senjata) ingin meninggalkan
daerah ”Sungai Pagu”, mereka diizinkan menggunakan kapal sendiri maupun
kapal Kompeni (1662)
Hasil permusyawaratan itu akan diteruskan ke Batavia guna
mendapat persetujuan pimpinan Kompeni dan selama menunggu
pengesahannya, rahasia harustetap dipegang teguh. Tetapi sepandai-pandai
orang Minangkabau menyimpan rahasia, namun bocor juga. Ketika Jan van
Groenewegen beberapa minggu kemudian berkunjung ke Tiku, bandar
Pesisir (Utara) terbesar dan terpenting yang dikuasai oleh Aceh, ia dihubungi
oleh penghulu Orangkaya Suri Raja dengan pernyataan. Tikupun bertekad
bulat untuk tidak mengakui Aceh lagi sebagai yang dipertuan dan ingin
dibawa oleh Kompeni dengan Bandar-X. Orangkaya Suri Raja, sebagai
penghulu yang sangat berpengaruh di Tiku, mewakili XII kota, yang
penghulu-penghulunya telah mencapai kata sepakat untuk ”de kroon Achin
af te vallen en ons onder de bescherming der Nederlanders te begeven”
(melepaskan diri dari kekuasaan Aceh dan minta perlindungan kepada
Belanda). Kalau ada keinginan Belanda untuk membantu ”wij syn gesolveert
een eeuwig contract met de Compe aen tegaan” (kami telah memutuskan
untuk membuat perjanjian abadi dengan Kompeni)
Sekembali dari Tiku dan sampai di Padang, yang takluk dibawah
perintah Suri Raja, Jan van Groenewegen didekati oleh beberapa orang
penghulu yang berpengaruh dengan pernyataan, bahwa bukanlah atas
kehendak dan dengan persetujuan mereka, Kompeni tidak diizinkan
membangun loji di Padang. Orangkaya Kecil, yang bertindak sebagai
penghubung antara Jan van Groenewegen dan Sri Raja di Tiku dan
penghulu-penghulu Padang, menyediakan rumahnya sebagai tempat
penginapan bagi Jan van Groenewegen dan tempat berunding. Penghulu-
penghulu di Padang telah siap untuk mengusir Panglima dan orang-orang
Aceh dari bandar mereka, asal Kompeni bersedia memberikan bantuannya.
Setiba di Salido telah menunggu di loji Kompeni raja Indrapura, Raja
Mudhafarsyah, yang diusir fari takhtanya akibat perang saudara. Atas
persetujuan dalam musyawarah dengan ke-20 orang penghulu di Indrapura,
anaknya Sultan Muhamadsyah telah sepakat untuk mendudukan
menantunya Raja Sulaiman, sebagai Raja di Manjuta, produsen lada
terbesar di Pesisir Selatan. Raja Njuda (”nan Kado”?) suami puteri sulung
Sultan Mudhafarsyah, tidak puas dengan keputusan mertuanya itu dan
berhasil mengajak rakyat Manjuta untuk tidak menerima Raja Sulaiman
sebagai raja mereka. Perang saudara meletus sebagai akibatnya di
Indrapura dan Sultan Mudhafarsyah, anaknya Sultan Muhamadsyah dan
menantunya Raja Sulaiman melarikan diri ke Salido meminta pertolongan
Kompeni.
Jan van Groenewegen menginsyafi keuntungan-keuntungan besar
yang akan jatuh ketangan Kompeni, apabila perdagangan lada di Indrapura
dapat dimonopoli oleh Kompeni dan ia menjadikan bantuan Kompeni untuk
mendudukkan Mudhafarsyah diatas takhtanya kembali. Di Indrapura pun
rasa tidak puas terhadap dominasi Aceh sudah lama membara.
Pada bulan April 1663 berundinglah di ”Casteel van Batavia” utusan-
utusan dari Raja nan Empat (Raja Panjang anak ”Raja Carbou” dan Raja
Lelo), Raja Indrapura (Sultan Mansyursyah, putera Sultan Muhamadsyah),
dari Tiku Bandar Khalifah (Orangkaya Kecil) dan Padang (juga Orangkaya
Kecil), masing-masing dengan membawa surat kepercayaan (”credentials”)
bagi Joan Maetsuycker, Gubernur Jenderal dan Anggota-anggota Dewan
Hindia”.
Tercapailah kata sepakat, yang kemudian terkenal sebagai ”Perjanjian
Painan” (het Painans Tractaat), 1663, didasarkan atas persetujuan rahasia,
yang dirumuskan disebuah pulau tidak berpenduduk didekat Batang Kapas
(1662).
Utusan-utusan raja ”Sungai Pagu” dan pembesar-pembesar dari
Indrapura, Tiku dan Padang di Sumatera Barat dengan........”coopman” Jan
van Groenewegen.......telah mencapai kata sepakat untuk tidak mengakui
lagi mahkota Aceh dan meminta perlindungan kepada Kompeni, sesuai
dengan ketentuan-ketentuan dan pasal-pasal seperti tertera didalam
perjanjian tersebut.
Antara lain dituliskan, bahwa kepada Kompeni diberikan hak monopoli
untuk berdagang didaerah Indrapura dan tempat-tempat lain yang takluk
dibawah perintahnya, tanpa membayar bea, kecuali persembahan-
persembahan kepada penguasa setempat yang lazim dilakukan sebelumnya.
Kompeni berhak untuk menguji kadar emas yang dijual oleh penduduk
kepadanya sebelum harga pembelian ditentukan. Indrapura dan daerah-
daerah takluknya akan mengusir panglima-panglima dan pejabat-pejabat
Aceh lainnya dari daerah mereka dan Kompeni akan melindungi mereka dari
musuh yang menyerang dari jurusan laut, sepanjang kemampuannya
mengizinkan. Pasal itu yang mungkin datang dari daerah Minangkabau
sendiri. Pasal ini mempunyai konsekuensi penting. Dalam perang saudara
yang kemudian berlarut-larut antara Indrapura dan Manjuta. Kompeni tidak
membantu Indrapura, karena serangan tidak dilakukan dari jurusan laut.
Selanjutnya perjanjian itu memuat ketentuan, bahwa hukum Indrapura
tidak berlaku bagi orang dan pegawai. Kompeni yang melakukan sesuatu
kejahatan di Indrapura, maupun di Pesisir. Dengan ”Perjanjian Painan” itu
secara tertulis Kompeni mempunyai hak monopoli di Pesisir (Selatan
terutama), tetapi pelaksanaan hak itu tidaklah selancar seperti yang
dibayangkan oleh Kompeni.

4. ”Perang Saudara”

Ketika utusan-utusan dari Pesisir dan Jan van Groenewegen kembali


dari Batavia keadaan politik sudah berubah sama sekali (1663). Perang
saudara dan kekacauan merajalela dimana-mana.
Pariaman sebagai tempat kedudukan ”gubernur-militer” Aceh untuk
daerah Pesisir dan membawahi panglima-panglima (Aceh) untuk Pasaman,
Tiku, Padang dan Salido (Bayang/Bandar-X) tidak ikut dalam komplotan
yang menandatangani ”perjanjian Painan”.
Kegiatan-kegiatan politik daerah Bandar-X, yang dalam tahun 1661
mengutus Raja Panajang, putera Sutan Sampurno di Salido ke Batavia dan
dua tahun kemudian disusul oleh rombongan terdiri dari wakil-wakil penghulu
Tiku (Orangkaya Suri di Raja), Padang, Bandar-X (”Raja nan Empat”) dab
raja Indrapura (Mudhafarsyah), menimbulkan kecurigaan besar dipihak Aceh.
Ratu Aceh menunjuk Orangkaya Maharaja Indra sebagai panglima
Pariaman, yang segera memanggil panglima-panglima Pasaman, Tiku,
Padang dan Salido untuk berunding. Kepada panglima-panglima itu
diinstruksiakn, untuk sekembali mereka di daerah masing-masing,
mengiatkan perlawanan rakyat terhadap makin meluas pengaruh politik-
ekonomi Kompeni di daerah masing-masing. Mereka harus mnyebarluaskan
berita, guna menghukum nagari-nagari yang telah murtad. Pertentangan-
pertentangan harus ditimbulkan antara penduduk dalam satu nagari dan
antara nagari dengan sesamanya yang telah memperlihatkan kecendrungan
untuk bekerjasama dengan Kompeni dengan yang tetap setia kepada Aceh.
Disamping itu ratu Aceh telah mengutus pula Orangkaya Raja
Pahlawan, yang melalui Jambi, Saningbakar (Danau Singkarak) tiba di Pauh.
Ditiap-tiap nagari yang dilaluinya dan dengan bekerjasama dengan kaum
alim ulama disiarkan berita, bahwa Kompeni di Pesisir telah memaksa
penduduk untuk menukar agamanya dan penghulu-penghulunya telah
dibawa Belanda ke Batavia. Tetapi ratu Aceh akan mengirimkan angkatan
perang yang besar, guna membela Pesisir dari gangguan-gangguan
Belanda. Berita-berita itu mengemparkan penduduk dan menimbulkan
kecemasan dikalangan luas didaerah Pesisir, istimewa di Bayang/Bandar-X.
Dalam suasana yang serba hangat dan gawat itu terjadilah peristiwa
kecil yang besar akibatnya.
Nagari-nagari Kinari, Muara Panas dan Koto Anau di XII-Koto (Solok),
mengaku takluk pada Bayang/Bandar-X sebagai wakil ”Raja-raja Sungai
Pagu” di Muara Panas dan Koto Anau, ditunjuk beberapa orang penghulu
Kinari, yang lebih mengutamakan kepentingan mereka pribadi daripada
kesejahteraan nagari-nagari yang mereka pimpin. Muara Panas dan Koto
Anau mengangkat senjata melawan Kinari, yang menyerbu ke Bayang dan
mengancam bandar Salido. Kegemparan besar timbul di Bayang dan
masing-masing bandar/nagari berusaha menyelamatkan dan membela dari
terlebih dahulu sebagai produsen lada.
Padang yang cemburu pada kemakmuran Bayang dan tidak pernah
melampaui kesempatan untuk memukul lawannya itu, menyerbu ke bayang
dengan alasan membantu Muara Panas dan Koto Anau. Koto Tengah,
saingan Padang disebelah Utaranya, teman Bayang menyerang Padang.
Perang hebat terjadi antara Koto Tengah dan Padang.
Orangkaya Sri di Raja di Tiku mempunyai ikatan kekeluargaan yang
erat dengan Padang. Usahanya untuk membantu Padang, didahului oleh
Pariaman, yang menghancurkan Manggopoh disebelah Selatan Tiku. Pauh
tidak tinggal diam dan menyerang Padang pula.
Aksi berantai yang ditimbulkan akibat pertikaian Kinari dengan Muara
Panas dan Koto anau, meluas jadi perang saudara yang meliputi seluruh
Pesisir dan menghentikan segala kegiatan perdagangan daerah itu.
keuntungan ekonomi-politik yang diharapkan oleh Kompeni segera tercapai
dengan ”Perjanjian Painan”, sirna sebagai kabut pagi timpa cahaya matahari.
Keadaan di Indrapura sebagai produsen lada terebar disamping
Manjuta, juga tidak seperti yang diharapkan oleh Belanda. Sungguhpun raja
muhamadsyah, putera raja Mudhafarsyah telah menduduki takhta nenek
moyangnya kembali, Manjuta dibawah Raja Adil, kemenakan Mudhafarsyah,
tetap tidak mau mengakuinya sebagai raja. Perang saudara berkobar antara
Indrapura dan Manjuta.
Ancaman yang berkali-kali dihadapi olej loji Kompeni di Selatan akibat
kegonjangan-kegonjangan politik itu mendorong Groenewegen untuk
meninggalkan Salido. Loji P. Cingku di Teluk Painan, sudah selesai
dibangundan dengan persetujuan raja Painan dijadikan pusat kegiatan niaga
Kompeni di Pesisir (1664). Pulau itu tidak mudah diserang dari darat,
iklimnya lebih sehat dari Salido. Tindakan Groenewegen tidak saja
menimbulkan kemarahan Salido, tetapi Tiku, Pariaman dan Kota Tengah
yang giat berusaha manarik Kompeni kedaerahnya masing-masing, berkecil
hati.
Karena perang berlarut-larut dan penghulu-penghulu daerah yang
telah menandatangani ”Perjanjian Painan” tidak ada yang giat rupanya
menyelesaikan perang saudara yang merugikan kepada kedua belah pihak
itu, sedangkan angkatan laut Aceh terdiri dari 28 buah kapal perang kecil dan
5 buah ”galyun”, kapal perang besar yang didayung oleh ratusan orang
pendayung, sudah sampai diperairan Tiku dan Pariaman, pimpinan Kompeni
di Batavia mengirimkan pula angkatan lautnya.
Keadaan politik selanjtnya di Pesisir ruwet sekali ”Ups and Downs”
pertempuran, diseling oleh masa-masa damai dengan perkembangan
perniagaan dan masa-masa perang yang menghentikan segala kegiatan
niaga bagi kedua belah pihak, keadaan seraba genting dan gawat itu
berlangsung hingga tahun 1682.
Pimpinan Kompeni di Batavia maupun di P. Cingku saling berganti.
Sejak tahun 1664 Orangkaya Kecil, yang mendapat kepercayaan penuh dari
Groenewegen, diangkat sebagai Panglima Padang dengan gelar ”regent”.
Daerahnya meliputi Kota Tengah dan Pauh. Kedua nagari itu seringkali
menimbulkan kericuhan, karena tidak hendak diperintah dan takluk dibawah
Padang.
Setelah selesai Perang Hasanuddin Makasar (1665 – 1667) dan
Perang Tarunojoyo (1676 – 1680), Kompeni mengerahkan segala ”funds and
forces”nya guna mencapai penyelesaian politis di Pesisir. Didatangkan ”den
Connick van Ambon, capteyn Joncker” dan ”den Bougysen Coninck, Raja
Palacca” yang memimpin ”duysende van soldaten” guna ”te straffen al de
ongehoorsame off quade plaetsen ende te beschermen op de West syde”
(Raja Ambon, Kapten Joncker dan Raja Budis Aru Palaka, yang memimpin
ribuan tentara guna menghukum tempat-tempat yang tidak patuh dan guna
melindungi Pesisir Barat), demikian antara lain bunyi surat yang dikirimkan
oleh Raja Indrapura Sultan Muhamadsyah kepada Gubernur Jenderal Joan
Matsuycker (1667), diantara ”tempat-tempat” yang tidak patuh itu” ialah Pauh
(yang habis dibakar). Kota Tengah, yang penduduk jahatnya (”quaetwillige
mensen”) dibunuh habis, ”uytgeroeyt”. Tiku, Pariaman dan Ulakan hancur.
Aru Palaka kemudian diangkat sebagai ”Raja Ulakan” dan Kapten Joncker
mendapat gelar ”Panglima van Pariaman”.
Tiga tokoh pejuang gigih muncul dari zaman ini, yaitu Sutan Ibrahim
putra Panglima Pariaman, Raja Putih, penghulu Kota Tengah dan Raja Adil,
Raja Manjuta.
Raja (Sutan) Ibrahim melanjutkan perlawanan hingga tahun 1701 dan
membunuh sekalian orang Belanda yang dijumpainya di Indrapura. Raja
Puitih dari KotaTengah berkali-kali mengempur dan berdamai dengan
Kompeni, menentang kesewenang-wenangan pegawai Kompeni ketika
membeli lada dan emas dari penduduk (timbangan yang seringkali
dipermainkan). Seringkali pauh bersekutu dengan Kota Tengah menumpas
kejahilan-kejahilan pedagang/petugas Kompeni, yang berakibat tiap kali pula
Pauh dihancurkan dan penduduknya dipaksa mengembara dihutan-hutan.
Raja Adil yang tidak jemu-jemunya memimpin perlawanan Manjuta
terhadap Indrapura dan Kompeni, sejak tahun 1685 menukar taktiknya, dari
musuh yang gigih ia menjadi teman Kompeni yang setia. Pada tahun itu
Sultan Muhamadsyah dari Indrapura menyerang Manjuta untuk kesekian
kalinya. Ia ditawan oleh Inggris, ketika sedang ditengah lautan antara
Indrapura dan Manjuta. Sejak tahun 1684 Inggris terusir dari Bandar Banten,
yang jatuh ketangan Belanda. Inggris mendirikan loji di Silebar (Bengkulen),
yang berbatasan disebelah Utara dengan Manjuta. Apabila Indrapura
menjadi daerah kuasa Inggris pula, Inggris memaksa Muhamadsyah untuk
menandatangani perjanjian ”persahabatan” dengannya. Manjuta akan diapit
oleh kekuasaan Inggris Utara dan Selatan. Untuk menghindari itu
diperapatnya hubungan dengan Kompeni, yang sejak tahun 1682 telah
memindahkan kegiatan niaganya dari p. Cingku ke Padang.
Pada tahun 1682 tercapai persetujuan (”contract”) antara Sultan
Indrapura, Panglima Raja (”regent”) Padang dan Kompeni di satu pihak
dengan penghulu-penghulu Pariaman, Ulakan, VII dan VIII Kota, IX dan V
Kota dan daerah sekitarnya, yang antara lain berbunyi, bahwa daerah-
daerah tersebut berjanji setia kepada Kompeni hingga akhir zaman,
memutuskan segala hubungan dengan Aceh, akan menangkap dan
meyerahkan kepada Kompeni Raja Ibrahim dan kawan-kawannya, berjanji
akan membangun nagari masing-masing kembali dan apabila dianggap
perlu, dapat meminta bantuan Kompeni untuk mencapai tujuan tersebut.
Belum lagi kering tinta yang digunakan untuk menandatangani
persetujuan ”hingga akhir zaman” itu, pergolakan-pergolakan bersenjata
timbul lagi di Bandar-X (1683), di Indrapura (1685), di Ulakan, Pariaman dan
Kota Tengah (1685) dan seterusnya. Hingga akhir abad ke-18 dengan susah
payah Kompeni dapat bertahan di Padang, P. Cingku, Air Haji dan Pariaman.

5. Hubungan Pesisir dengan Yang Dipertuan Minangkabau.

Disamping lada Alam Minangkabau banyak menghasilkan emas.


Emas itu terutama disalurkan ke Pesisir, istimewa ke Padang. Dari Gurun, V
Kaum dan sebagainya saudagar-saudagar dari Tanah Datar pergi ke
Saningbakar, di pantai Barat Danau Singkarak dan melalui Gantung Ciri
kemudian sampai di Pauh. Kembali mereka membawa tekstil, garam dan
barang-barang mewah.
Perang saudara yang berkobar di Pesisir membuat saudagar-
saudagard dari ”Dare” tidak menurun lagi, hal yang sangat merugikan
Padang dan Kompeni. Karena itu Groenewegen dari Salido berusaha keras
mendamaikan nagari Kota Tengah dengan Padang, Padang dengan Pauh,
Padang dengan Bayang/Bandar-X. Perang itu telah membuat Padang jatuh
miskin. Penghulu-penghulunya terpaksa menjual perhiasan anak istri
mereka, guna membayar ”uang damai”. Untuk mengiatkan perdagangan
kembali, terutama perdagangan emas yang akan merangsang pula
perniagaan tekstil tentunya. Kompeni mengizinkan Panglima Padang
mengurangi timbangan emas dari 106 menjadi 104 ”condryn” per tahil (=16
mas @ 2,5 gr). Penghulu-penghulu di Padang karenanya akan memperoleh
keuntungan F 0,25 per tahil dan Kompeni mendapat 0,25%. Disamping itu itu
Padang mengirim utusan kepada Yang Dipertuan di Minangkabau dengan
bingkisan dan permohonan, kiranya saudagar-saudagar dari ”Dare” datang
lagi berdagang ke Padang (1664).
Yang Dipertuan di Minangkabau gembira sekali, bahwa Pesisir telah
melepaskan ”het jock der Atchinders” dan baginda diakui kembali sebagai
Yang Dipertuan. Baginda berjanji akan menganjurkan rakyatnya untuk
berdagang lagi dengan Pesisir (1665). Utusan-utusan istimewa baginda kirin
kemudian, kecuali ke Padang, juga ke Kota Tengah, Salido dan Indrapura.
Ikatan dagang dengan Kompeni dipererat dan dalam tahun 1667 Yang
Dipertuan di Minangkabau, Sri Sutan Akhmad Syah, megutus wakil istimewa
ke Batavia untuk mengadakan perundingan dengan pimpinan kompeni. Ikut
dalam rombongan wakil Yang Dipertuan itu utusan-utusan dari Padang,
Salido dan Bayang. Surat kepercayaan (”credentials”) yang dibawa oleh
kedua orang utusan pribadi Yang Dipertuan di Minangkabau antara lain
memuat, menyetujui sekalian keputusan yang dibuat mereka dengan
pimpinan Kompeni di Batavia dan rakyat baginda yang mengingkari
persetujuan itu akan ditindak seperlunya, segala sesuatunya dengan
bantuan Kompeni. Sebagai penutup surat itu dicantumkan, sekiranya
Kompeni bersedia melindungi ”putera” dan putera dari putera baginda, yaitu
Sultan Muhamadsyah, Raja Mansyursyah dan Raja Sulaiamn di Indrapura
dari mereka, yang ingin menimbulkan kesedihan bagi penghulu-penghulu
Indrapura itu.
Yang dimaksud dengan ”mereka” dalam hubungan ini ialah Aceh,
yang membantu Raja Adil di Manjuta melanjutkan perang saudara dengan
kerajaan Indrapura.
Pada tahun itu juga terjadi penyerahan nagari Salido, P. Cingku dan
daerah serta tempat-tempat disekitarnya kepada Kompeni oleh Raja
Achmadsyah dari Bayang, sultan Muhamadsyah dari Indrapura, Raja
Terusan serta Penghulu-penghulu dari Bayang, Imdrapura dan Terusan
dengan disaksikan oleh wakil Paduka Sri Sultan Alam, Yang Dipertuan di
Minangkabau.
Kecuali nagari Salido dibuat pula perjanjian tentang penyerahan ”’t
landt van Peynan” oleh Sutan Sampurna alias ”Raja Kerbau” yang dipertuan
di Painan. Perjanjian-perjanjian itu diperbaharui kembali pada tahun 1680,
dilakukan oleh yang dipertuan di Indrapura, Sultan Muhamadsyah, Wakil
baginda di Manjuta. Raja Adil, Panglina Raja di Padang gubernur Sri Nara
dari Bayang, disertai dengan anggota dewan-dewan penghulu masing-
masing.
Dalam tahun 1682 tercapai persetujuan antara Pariaman dan Ulakan
dengan Kompeni yang diwakili oleh Sultan Indrapura. Pamglima Raja
Padang dan ”Commandeur en Opperhooft” Kompeni ”ter Sumatra’s
Westcust”, yang kecuali berjanji akan memutuskan segala hubungan
(dagang) dengan Aceh, juga untuk menangkap Raja Ibrahim, yang selalu
mengganggu keamanan daerah tersebut. Kompeni bersedia mambantu
pembangunan daerah-daerah itu kembali, apabila pertolongannya
diperlukan.
Dengan ditandatangani perjanjian-perjanjian itu maka ”de jure” daerah
Kompeni meliputi Pesisir dari Manjuta disebelah Selatan dan Pasaman air
Bangis disebelah Utara. Sebagai ”stadthouder van Sumatra” (daerah Pesisir
Sumatera Barat) Kompeni kemudian membuat perjanjian dengan penghulu-
penghulu Barus dan Singkil (1681).
Biarpun sejak tahun 1682 sebagai ”stacthouder” Yang Dipertuan di
Minangkabau daerah takluk Kompeni secara ”de jure” meliputi ”de
strandtlanden tot de Westcust van Sumatra” dari Barus hingga Teluk Ketaun,
secara ”de facto” kekuasaan Kompeni didaerah-daerah itu hanya terbatas
pada pos-pos dagangnya saja. Itupun tidak selalu bebas dari tantangan dan
perlawanan penduduk setempat, dibantu maupun tidak oleh Aceh atau
Inggris, yang sejak akhir abad ke-17 mulai menyaingi Belanda di Pesisir.
Kecuali di Bangkahulu (Silebar) mereka telah berhasil membuka pos-pos
diaga di natal dan Tapian nan Uli (Sibolga). Akibatnya Belanda tiap kali
membuat perjanjian ”eeiwige vrundschap”, persahabatan abadi, yang segera
dilanggar dan digantikan dengan yang baru.
Hingga menjelang akhir abad ke-18 hanya Padang dan P. Cingku
merupakan pos dagang Kompeni terpenting dan terkuat di Pesisi. Itupun
tidak selalu bebas dari gangguan pihak penduduk setempat, maupun dari
pihak Inggris.
Pada tahun 1679 datang utusan dari yang menamakan dirinya ”Sultan
Khalifatullah”, Yang Dipertuan di Minangkabau ke Batavia melalui Jambi,
yang meminta kepada Kompeni, agar tetap membayar uang upeti menurut
jumlah seperti yang ditetapkan untuk daerah Pesisir dari Barus hingga Teluk
Ketaun.
Surat yang kira-kira sama bunyinya diterima pula oleh wakil Kompeni
di Padang, yang selain menuntut pemabyaran upeti, agar Kompeni
membuka kantor-kantor dagang sejak dari Barus hingga Manjuta. Surat itu
berasal dari Yang Dipertuan di Minangkabau, berkedudukan di ”Serrewasa”,
Suroaso.
Kedua surat itu, masing-masing berasal dari orang yang menamakan
dirinya ”Yang Dipertuan diMinangkabau”, yang satu datang ke Batavia
melalui Jambi dan yang lain dari ”Sintoe” dan ”Loeboealangh” (Lubuk Alung)
ke Padang, menggambarkan kekacauan yang sedang merajalela di kerajaan
Minangkabau sejak lebih kurang tahun 1678. sepeninggal Sultan Ahmadsyah
rupanya timbul perang perebutan takhta antara kemenakan dan anak
(angkat) Ahmadsyah. Akibatnya kerajaan Minangkabau terpecah dua. Yang
”sebelah dalam” (Suroaso) jatuh ketangan kemenakan dan yang ”sebelah
luar” (berbatasan dengan Jambi) dikuasai oleh anak (angkat) Sultan
Ahmadsyah. Kedua-duanya menggunakan gelar ”Yang Dipertuan di
Minangkabau”. Rupanya baru sejak tahun 1680 mulai periode kerajaan
Minangkabau Suroaso/Pagaruyung.

III. INGGRIS

1. ”Die Drang nach dem Siiden”2.

Sesudah orang Portugis, orang Inggrislah sebagai bangsa Eropa-


Barat yang mula-mula sampai diperairan Indonesia. Dalam usaha
melumpuhkan sumber keuangan Spanyol, yang sedang berperang dengan
Inggris, (Sir) Francis Frake menjelajahi koloni-koloni Spanyol di Amerika
Selatan, membajak ”Armada Perak” Spanyol dari daerah itu, diseberanginya
lautan Teduh dan melalui ”laut Kidul” (pesisir Selatan Jawa) sampai kembali
dinegerinya (1580).
Persaingan sengit terjadi di Eropa dan Kepulauan Indonesia antara
Inggris dan Belanda sejak permulaan abad ke-17. Dalam ”ronde” pertamma
Belanda berhasil mengusir Inggris dari Jayakarta (1629), Makasar (1667)
dan Banten (1684), tetapi Inggris bertahan di Silebar, untuk tetap dapat
menguasai sebagian dari perniagaan lada Sumatera. Menjelang
pertengahan abad ke-18 Inggris dapat mengkonsolidir dominasi politik-
ekonominya di India. Perancis dan Belanda terusir dari jazirah Asia Selatan
itu dan Inggris mulai mendesak kejurusan Selatan. Dalam ”ronde” kedua ini
dan seterusnya Inggris ”leading” dalam percaturan politik-ekonomi di Asia
Tenggara. Pulau Pinang di pintu masuk Selat Sumatera sebelah Utara jatuh
ketangan Inggris (1786). ”Revolusi Industri” yang sedang dialami oleh Inggris
membuat negara itu unggul dibidang produksi tekstil, yang melalui ”Penang”
mulai membanjiri Alam Minangkabau. Perdagangan emas dan tekstil
Kompeni di Padang merosot. Keuntungan Kompeni dari niaga sandang turun
dari pukul rata 75% jadi tidak lebih dari 40%. Keadaan itu mempertajam
hubungan Belanda-Inggris di Sumatera.
Pertikaian-pertikaian politik dan perang di Eropa mempengaruhi
daerah-daerah takluk negara-negara Eropa yang sedang berperang itu di
Asia dan Asia Tenggara. Hingga lebih kurang tahun 1770 Belanda selalu
berada dipihak Inggris, kalau pecah perang antara inggris dengan
saingannya Perancis. Dalam Perang Kemerdekaan Amerka Serikat (1776 –
1783) Belanda berada dipihak koloni Inggris itu yang dibantu oleh Perancis.
Inggris mengumumkan perang dengan Belanda (1780 – 1784) dengan akibat
yang parah bagi daerah-daerah takluk Belanda di Pesisir Barat Sumatera
terutama.

2. Padang menjelang akhir abad ke-18.

2
Desakan ke Selatan.
a. Penduduknya
Loji atau ”factory” Kompeni terbesar dan terpenting di Pesisir ialah
”benteng Muara”, ditepi sebelah Utara Batang Arau, kompleks perkantoran
Gubernur Sumatera Barat sekarang. Benteng itu bertembok tinggi dan tebal,
dikelilingi oleh parit-parit dalam dan menghadap ke Batang Arau (Jurusan
Selatan). Dibalik tembok didalam benteng itu bertempat kediaman ”het
opperhoofd van Padang” dengan pangkat ”coopman”, lazim disebut
”commandeur”, tuanku kemendur menurut logat Minangkabau. Wakil tuan
kemendur, ”onder-coopman”, komandan pasukannya bertempat kediaman
didalam benteng itu pula. Selanjutnya ditemukan disana gudang-gudang
tempat menyimpan rempah-rempah, barang dagangan Kompeni dan gudang
senjata )”kruytmagazyn”).
”Het opperhoofd van Padang” mengatur strategi dagang dan
pengamanan pos-pos niaga di Air Haji, batang Kapas, P. Cingku di Pesisir
Selatan, Ulakan, Pariaman, Tiku, Air Bangis, Singkil dan Barus di Pesisir
Utara, sesuai dengan petunjuk-petunjuk dan instruksi dari Batavia. Sejak
tahun 1785 hanya pos Air haji dan pulau Cingku saja lagi di Pesisir Selatan
yang dipertahankan, sedangkan pos Pariaman dan Tiku ”mati segan, hidup
tidak mau”. Sejak pertengahan abad ke-18 lada dan rempah-rempah lain
tidak memainkan peranan sepentinf dahulu lagi, ditinggalkan oleh kopi, yang
mulai banyak ditanam di jawa (Barat). Pos-pos lain di Pesisir Barat Sumatera
sudah dihapus, karena tidak menguntungkan lagi.
Pada tahun 1781 pegawai sipil, tentara, berbagai jenis tukang san
anak kapal kompeni diseluruh Pesisir hanya berjumlah 176 orang, 22 orang
diantaranya bertugas di Pulau Cingku dan Air haji. Yang selebihnya, terdiri
dari 19 orang pegawai sipil, termasuk ”opperhoofd” dan wakilnya, 87 orang
prajuit Belanda dan 48 orang ”inlandse militairen”, serdadu bumiputera,
kebanyakan orang ”bougys” dan ”Mooren”, orang ”keling” dari India
(Selatan).
Pertahanan ”pos Padang” dipusatkan di ”Muara”, tepi sebelah Utara
Batang Arau dikaki Gunung Padang, terdiri atas beberapa meriam tua yang
sudah karatan, karena tidak terpelihara baik (”tidak ada uang untuk itu”).
Orang Belanda dan keturunan mereka, bukan pegawai maupun anggota
tentara Kompeni, bertempat kediaman diluar benteng. Mereka disebut
”Mardijkers”, orang ”merdeka”, umumnya bekas pegawai dan serdadu
pensiunan Kompeni. Mereka hidup sebagai petani dan saudagar kecil,
dibantu oleh budak-budak belian mereka, kebanyakan berasal dari ”Pulau”
(Mentawai dan Nias). Perkawinan sering terjadi antara kaum mardijkers dan
wanita-wanita dari ”Pulau” itu. umumnya mereka beragama Kristen
(Protestan) dan menyandarkan kehidupan dan keamanan mereka kepada
”benteng”. Menurut catatan dari tahun 1790 keluarga merdijkers di Padang
berjumlah lebih kurang 10 ”familie”, terdiri atas 33 orang pria, 44 orang
wanita dan 107 orang anak-anak. Pendidikan anak-anak Mardijkers itu
dilakukan oleh gereja, yang dominenya digaji oleh Kompeni.
Jumlah orang Cina di Bandar Padang ketika itu sudah cukup besar
dan Kompeni mengganggap perlu mengangkat seorang ”Luitenant der
Chineezen” sebagai pemimpin mereka. Berperanan sebagai saudagar
menengah antara Kompeni dengan penduduk setempat, orang-orang Cina
itu merasa ikatan mereka lebih erat dengan Kompeni dan kaum Mardijkers
daripada dengan ”orang Padang”. Umumnya mereka juga beragama Kristen
(Protestan) dan pendidikan anak-anak mereka dilakukan oleh gereja. Kaum
Mardijkers dan orang Cina hidup dalam daerah atau ”wijk” tersendiri, terpisah
dengan sesamanya dari tempat-tempat kediaman penduduk setempat.
Penduduk Bandar padang bangsa Indonesia umumnya berasal dari
nagari-nagari Kota Tengah (Tabing), Pauh (”Mudik”) dan XIII Koto (Lubuk
Begalung). Sebagai ”panglima” atau ”regen Padang”, biasanya ditunjuk
seorang penghulu yang mendapat dukungan penuh dari ketiga nagari itu.
Karena dukungan penuh itu tidak pernah tercapai, pemilihan panglima
Padang (oleh ketiga nagari itu) dan pengaangkatannya (oleh Kompeni),
selalu dibarengi dengan ketegangan-ketegangan politik yang sering diikuti
dengan pertempuran bersenjata antara ketiga nagari itu.
Tuanku Regen Padang didampingi oleh Kerapatan Adat,
beranggotakan 12 orang penghulu, yang mewakili ketiga nagari tersebut.
Antara sesama anggota Kerapatan Adat itu jarang pula terdapat kata
sepakat. Sungguhpun jumlah mereka besar, tetapi karena selalu
bersengketa antara sesama mereka ”penduduk Padang” tidak pernah
merupakan ancaman politik yang serius bagi benteng Belanda maupun bagi
kaum Mardijkers dan Cina di Padang.
Jalan dagang penting dari ”Dare” ke Padang melalui XIII Koto dan
Pauh. Saudagar-saudagar dari Dare membawa emas urai, lada dan
sebagainya dan pulang nantinya mambawa uang perak (ringit), tekstil, garam
dan sebagainya. Saudagar-saudagar dari Dare itu umumnya berasal dari
Luhak Tanah Datar (Rao, XX-Kota, Gurun, Sumanik dan sebagainya) dan IX-
Koto (Solok). Mereka hidup ”berkampung” menurut nagari atau ”kampung”
asal masing-masing. Hubungan antara ”orang Dare” dan ”Orang Padang”
pada umunya tidak selalu ditandai oleh suasana damai dan ramah tamah
dan ”tuan kemendur” seringkali bertindak sebagai pendamai. Apabila terjadi
percekcokan antara ”orang Padang” dengan ”orang Dare”, XIII Koto menutup
jalan dagang yang melalui daerah itu. orang Dare seringkali mendapat
berbagai jenis rintangan fisik. Mereka tidak ”menurun” lagi, emas dan hasil-
hasil bumi dari Dare tidak mengalir lagi ke Padang, tekstil, garam dan
barang-barang dagangan Kompeni lainnya tertumpuk di ”benteng”. Usaha
Kompeni menjaga hubungan baik selalu dengan XIII Koto, antara lain
mendahulukan calon nagari itu untuk diangkat sebagai ”Regen padang”,
seringkali menimbulkan tantangan dan perlawanan Kota Tengah dan Pauh,
dengan akibat tidak selalu menambah lancar hubungan Kompeni dengan
nagari-nagari itu dan antara nagari-nagari itu dengan XIII Koto. Menginsyafi
sepenuhnya posisi politik-ekonomi dengan XIII Koto, Panglima Padang yang
berasal dari nagari itu tidak selalu patuh kepada perintah ”tuan kemendur”.
Tetapi kedudukannya ekonomis-politik lemah, akibat perpecahan yang selalu
menandai hubungan ”orang Padang” dengan sesama mereka. Tidak pernah
penghulu Padang mampu menduduki dan menguasai benteng Padang,
sungguhpun menjelang abad ke-18 berkali-kali benteng itu menghadapi
suasana yang cukup gawat. Kepemimpinan Panglima Padang dan
Penghulu-penghulu bandar itu tidak pernah melampaui batas-batas suku dan
nagari mereka, sungguhpun diantaranya banyak yang gagah berani dan
mempunyai kecakapan besar sebagai pemimpin rakyat.
Penduduk bandar Padang merupakan ”pulau”, diisolir oleh laut
perpecahan yang tidak terseberangi. Karena itu apabila datang kekuasaan
dari luar, asal cukup kompak dan tidak perlu besar jumlahnya, Padang dan
bentengnya dapat mereka kuasai, tanpa kesulitan besar.

b. Perang Kemerdekaan USA (1776 – 1783)

Pada tahun 1776 kaum kolonis Inggris di Amerika Serikat sekarang


mengangkat senjata melawan pemerintahannya di London. Perancis
menaruh simpati besar kepada kaum kolonis itu, Belanda membantu mereka
dengan ”supply” senjata, Inggris mengumumkan perang kepada Belanda
(1780). Bangkahulu lebih dahulu menerima berita perang itu memalui
Calcuta daripada Padang dengan perantaranya Batavia. Sebelum Padang
sempat membuat persiapan, Inggris dari Bangkahulu telah mendarat di Air
Manis (16 Agustus 1781). Meriam-meriam tua di kaki gunung Padang tidak
dapat digunakan, demikian pula yang ada ditepi Selatan Batang Arau. Pada
malamnya benteng Padang menyerah tanpa syarat. Sekalian harta kekayaan
Kompeni yang ada didalamnya jatuh ketangan Inggris. Kekalahan Kompeni
secepat itu tidak ada yang menyangka. Wibawa orang Belanda jatuh dimata
penduduk bandar Pandang. Panglima Padang segera menjanjikan
bantuannya kepada Inggris. Benteng Pulau Cingku dan Padang dibongkar,
pusat kegiatan ekonomi dipindahkan ke Bangkahulu.
Inggris mengakui kemerdekaan USA (Perjanjian Paris, 1783), tetapi
Belanda yang ada dipihak yang menang, harus membuat perjanjian
tersendiri dengan Inggrsi, demikan pula Bandar Batavia. Hari depan
Kompeni di Nusantara karena itu gelap sekali, berbarengan pula dengan
kekacauan ekonomi dan politik di Negeri Belanda sesudah ”Perang Inggris”
itu selesai
Inggris mengembalikan pos Padang kepada Belanda (1785) dalam
keadaan politis-ekonomis kacau balau. Keras hasrat Batavia ketika itu untuk
menutup pos-Padang, karena dianggap sebagai ”verliespost”, merugikan
Niat Batavia itu mendapat sanggahan hebat dari kaum Mardijkers Padang,
dibantu oleh ”opperhoofd” Padang. Sejak Pulau Pinang dikuasai oleh Inggris
(1786), tekstil Inggris mulai membanjiri Alam Minangkabau dan perdagangan
Dare lebih banyak ditujukan ke pulau itu daripada ke Padang. Tetapi kalau
pos Padang ditutup oleh Kompeni seluruh perniagaan Minangkabau dan
Sumatera akan jatuh ketangan Inggris. Batavia mentelantarkan Padang,
diombang-ambing antara ditutup dan tidak ditutup. Pegawai Kompeni di
Padang mentepat gunakan status Padang yang tidak menentu itu untuk
memperkaya diri mereka sendiri (1785 – 1790).

c. Keuntungan yang cukup ”sedap”


Dalam periode yang serba tidak menentu itu (1785 – 1790)
perniagaan Kompeni di Pesisir sebetulnya tidaklah segelap yang
digambarkan leh Baavia, hanya saja keuntungan yang diperoleh tidak lagi
sebesar zaman sebelumnya. Laba yang ditarik oleh Kompeni dari periode itu
masih cukup ”manis dan sedap baunya”. Dalam peride itu Kompeni
mengimpor tekstil sebanyak 1124 bal dan dengan bahan-bahan pakaian
lainnya berjumlah F. 381.866. Disamping itu dimasukkan pula uang perang
(ringit) dan tembaga (diut, kepeng), yang dipertukarkan dengan emas. Emas
yang diterima kompeni dalam periode itu sebanyak 7000 ”teyl” (tahil), lebih
kurang 280 kg, dengan pembelian F 49,50/tahil 21,5 karat. Uang yang
dikeluarkan untuk pembeli logam murni berjumlah seluruhnya F 350.000,-.
Banyak lada yang dibeli 4570 pikul @ 67,5 kg, dengan harga yang berkisar
antara F 15,- - 16,50/pikul.
Uang kontan yang diterima dari penjualan tekstil, garam dan
sebagainya berjumlah 152.712 ringgit, sedangkan seluruh pengeluran
berupa gaji, tunjangan ”lilin” dan ”pangan” bagi pegawai, tentara dan anak
kapal Kompeni hanya sebanyak 125.914 ringgit. Hal ini berarti bahwa
penerimaan dan penjualan tekstil, garam dan lain-lain sudah jauh melebihi
”pengeluaran rutin”. Emas yang dikumpulkan dan lada yang dibeli sudah
merupakan ”zuivere winst”, keuntungan bersih.
Gaji yang dibayarkan oleh Kompeni kepada pegawai-pegawainya
rendah sekali. ”Het opperhoofd van Padang” umpamanya menerima F 60,-
/bulan ditambah dengan tunjangan ”pangan” dan ”lilin” sebanyak F
380,40/tahun, atau kurang dari F 100,-/bulan. Apabila dinilai dengang mas
ketika itu lebih kurang 2 tahil dan dengan harga emas sekarang lebih kurang
Rp 50.000,-. Sungguhpun demikian yang menjabat ”opperhoofd” Padang
antara tahun 1785 – 1790 dapat mengumpulkan harta kekayaan yang
demikian besarnya, hingga menimbulkan kecurigaan pejabat-pejabat tinggi
Kompeni di Batavia. Baru ia diizinkan naik kapal untuk pulang kenegerinya,
setelah membayar denda sebesar 10.000 ringgit. Yang masih dapat
”diselamatkan”-nya cukup untuk biaya hidup dinegeri Belanda dan sisanya
masih ada guna diwariskan kepada janda dan anak-anaknya.
Politik Kompeni menekan gaji pegawai serendah mungkin dengan
memberikan kelonggaran kepada mereka untuk berdagang atas risiko
sendiri, akhirnya memperkaya pegawai-pegawai itu dan mempercepat runtuh
wibawa dan kelanjutan hidup Kompeni di Nusantara umumnya.
Persenjataan benteng Padang diabaikan dan ”mitos” kejayaan emas
Alam Minangkabau yang disalurkan melalui bandar Padang, mengundang
seorang petualang bajak laut Perancis untuk mengadu untungmya dibandar
itu.

d. Revolusi Perancis dan Perang Napoleon


Romantika dan heroisme petualangan dilaut bebas, yang dalam istilah
kita disebut “perampok lanun”, “bajak laut” dan sebagainya, sebagai kegiatan
yang menghendaki “kejantanan”, menyentuh hati dan merangsang jiwa
berbagai zaman diseluruh dunia. Inggris, Perancis, Belanda umpamanya
menjadikan tokoh-tokoh bajak laut dari abad ke-16 dan 17 ”pahlawan
bangsa”. Indonesiapun mempunyai tokoh-tokoh bajak laut dari abad ke-17
dan 18 terutama, yang nama dan kegiatan-kegiatannya hingga kini masih
tertimbun dalam arsip berbagai negara Barat, tetapi tetap hidup dalam cerita-
cerita rakyat berbagai daerah kita. Bajak laut berkembang subur dalam
suasan politik dan ekonomi yang serba kacau dan tidak menentu.
Kalau Revolusi Perancis meletus (1789), ”captain le Meme (baca le
me-em) dari ”Ile de France” (pulau Mauritius) disebelah Timur Afrika Selatan,
meninggalakan pekerjaannya sebagai ”buaya darat” dan menjadi bajak laut
(1793). Daerah operasinya terbentang luas antara Tanjung Harapan dan
Selat Sunda, lautan terbuka yang pada waktu-waktu tertentu dilayari oleh
konvoi Belanda dan Inggris, penuh dengan berbagai harta kekayaan dari
Asia dan Asia Tenggara.
Sebuah peristiwa kecil membuatnya singgah di Padang dan
menjadikan pos-pos dagang Belanda di Pesisir sebagai ”jajahan Perancis”.
Seorang pelaut Belanda, anak kapal Kompeni di Padang, kedapatan
membuat kecurangan. Untuk menyelamatkan jiwanya ia melarikan diri
dengan sebuah perahu layar ke Natal, pos Inggris di Pesisir Barat sebelah
Utara Padang. Ia jatuh ketangan kapten le Meme. Guna memperpanjang
hidupnya dibentangkannyalah cerita (yang sangat berlebih-lebihan) tentang
kekayaan bendar Padang dan Alam Minagkabau. Emas yang berlimpah-
limpah dan Padang tidak mempunyai pertahanan yang berarti. Tertarik oleh
dongeng itu le Meme mendarat di Air Manis (akhir Desember 1793) dan
menyerah tanpa mengadakan perlawanan. Lima hari lima malam lamanya le
Meme dan anak-anak kapalnya merajai kota Padang, tetapi emas yang
mereka cari tidak didapati barang sebutir jugapun. Penduduk Padang dan
Cina melarikan diri kedaerah pegunungan. Orang Belanda pegawai Kompeni
dan kaum Mardijkers tidak dapat berbuat demikian dan merekalah yang
dijadikan sasaran rasa kecewa dan amarah le Meme dan anak-anak
kapalnya. Kota Padang ”disikat bersih”, seluruh persediaan makanan dan
mesiu dipindahkan ke kapalnya.
”Opperhoofd” Padang harus menandatangani suat keterangan
penyerahan pos-Kompeni sejak dari Air Bangis sampai ke Air Haji dan ia
ditunjuk sebagai ”wakil Pemerintahan Republik Rakyat Perancis”.
Bandar Padang ditinggalkan oleh le Meme dalam keadaan serba
kosong, kosong harta, kosong manusia, kecuali pegawai-pegawai dan
tentara Kompeni yang tidak ”menyeberang” kepihak le Meme dan kaum
Mardijkers. ”Opperhoofd” Padang mengeluarkan peraturan melarang kapal
meninggalkan Pesisir, untuk menghindarkan beras dan bahan-bahan
makanan lain dibawa keluar. Akibatnya putuslah segala hubungan dengan
Batavia, yang menyangka Padang berbuat demikian, karena telah menjadi
”koloni Perancis”
Inggris di Bangkahulupun berpendapat demikian dan karena Inggris di
Eropa sedang berperang dengan Perancis, tiap-tiap kapal dari Padang
menuju ke Batavia disergap dan ditahan oleh Bangkahulu.
Kembali status bandar Padang terombang ambing (1793 – 1795).
Orang Belanda dan kaum Mardijkers di Padang tiap-tiap hari hisup dalam
suasana cemas penuh khawatir diserbu oleh ”orang Padang”. Tentara
Kompeni dihinggapi oleh penyakit demoralisasi dan menghabiskan hari
mereka dengan minum-minum tuak hingga mabuk. Senjata tidak banyak,
yang ada tidak dapat dipakai, karena kekurangan mesiu.
Tidak digunakan kesempatan baik itu oleh Penghulu Padang dan
nagari-nagari disekitar bandar itu, ialah sengketa yang tidak habis-habisnya
antra regent Padang dengan Kerapatan Adatnya, antara Nagari Kota
Tengah, Pauh dan XIII Koto dengan sesama mereka. Waktu habis dari rapat
yang satu ke musyawarah yang lain, tetapi sesuatu tindakanpun tidak ada
yang dilakukan, hingga tiba-tiba Inggris mendapat dan menguasai kembali
kota Padang dan daerah sekitarnya (1795).

3. ”Interregnum ” Inggris (1795 – 1819)

Pada permulaan bulan Nopember 1795 datang kapal Inggris dari


Bangkahulu yang membawa surat bagi ”opperhofd” Padang. Surat itu antara
lain berisi ajakan untuk ”bekerjasama” dengan Bangkahulu, mengingat surat
Direktur Jenderal Kompeni yang juga menjadi kepala Pemerintahan
”Republiek der Zeven Vereenigde Provincien” (Republik Serikat Propinsi
Tujuh) yang sempat melarikan diri ke Inggris sebelum ”Republiek” itu dihapus
oleh ”tentara Rakyat Perancis” (1793). Kalau Padang tidak bersedia
menerima uluran tangan ”Bangkahulu” itu, tiga buah kapal perang lengkap
dengan senjata dan 200 orang tentara sudah siap siaga untuk menyerbu
kota Padang. Legalah hati orang Belanda dan kaum Mardijkers menerima
uluran tangan itu, karena mereka tidak akan diserbu oleh ”orang Padang”.
Pos Padang dan pos-pos Kompeni lainnya di Pesisir secara resmi dalam
upacara singkat diserahkan kepada Inggris (5 Nopember 1795).
Padang tunduk dibawah Bangkahulu, yang sejak tahun 1818 menjadi
tempat kediaman Thomas Stamford Raffles, bekas letnan Gubernur Jenderal
Inggris di Jawa (1811 – 1816).
Sebagai seorang politikus yang menganut paham ”liberalisme’ dalam
pengertian Inggris, bebas menggunakan sumber-sumber alam dunia bagi
kepentingan industri dan penanaman modalnya, Raffles mempunyai
pandangan dan konsepsi politik yang jauh kedepan. Ia menginsyafi peranan
geo-politis Sumatera yang penting bagi dominasi politik ekonomi Inggris di
Asia Tenggara khususnya dan Timur Jauh umumnya. Letak Bangkahulu
terlalu jauh dan terpencil dari hubungan lalu lintas perdagangan dunia.
Sumatera Tengah lebih menguntungkan dan apabila Inggris dapat
menanamkan pengaruhnya di Minangkabau, batu pertama untuk menguasai
Sumatera sudah mulai diletakkan. Ia pernah mendengar tentang kerajaan
Pagaruyung/Minangkabau dan kalau kerajaan itu dapat dihidupkan kembali
dibawah naungan Inggris, inggris telah mempunyai tempat bertumpu yang
kokoh di Sumatera Tengah. Untuk menyelidiki kemungkinan bagi
pelaksanaan rencananya yang sangat ambisius itu, Raffles mengadakan
”perjalanan ilmiah” ke Alam Minangkabau. Diiringi oleh isterinya, lima orang
sarjana ilnu alam dan ilmu tumbuh-tumbuhan dan dikawal oleh sepasukan
(kecil) tentara ”Sipahi” (Sepoys dari India), Raffles menempuh ”jalan kuda”
melalui Pauh, XIII Koto, Guguk, Gantung Ciri hingga ke pesisir Timur Danau
Singkarak. Itulah kunjungan pertama rombongan Orang Eropa ke daerah
pedalaman Minangkabau dan berkat hadiah yang royal disebarkan oleh
Raffles di nagari-nagari yang dilaluinya, ia selalu mendapat pertolongan dari
penghlu-penghulu dan penduduk setempat.
Raffles juga telah mendengar berita mengenai Gerakan Padri,
gerakan pemurnian ajaran Islam, yang sedang berkembang pesat di Alam
Minangkabau. Ingin ia mengadakan kontak kontak dengan pemuka-pemuka
gerakan itu guna memperlengkapi gambaran politiknya mengenai
Minangkabau
Benteng lama Simawang, ditepi sungai Ombilin tidak jauh dari Danau
Singkarak, diperbaiki dan diperkokohnya. Tuan Gadis, janda Yang Dipertuan
Pagaruyung yang terakhir, diundangnya untuk pindah dan tinggal di benteng
Simawang, yang dipenuhi oleh Tuan Gadis.
Usaha untuk mengadakan kontak dengan pimpinan kaum Padri tidak
berhasil. Surat yang dikirim oleh Raffles dibalas pada ujung tombak, yang
ditanamkan dekat benteng Simawang. Kaum Padri tidak ingin bertemu dan
bertukar fikiran dengan orang ”kafir”.
Pimpinan Kompeni Inggris (East Indian Company, EIC) tidak
menyetujui rencana Raffles, yang dapat mengeruhkan suasana politik
Inggris-Belanda di Eropa dan memerintahkan kepadanya untuk
menyerahkan kembali pos-Belanda di Pesisir, yang diduduki oleh Inggris
sejak tahun 1795. Pada akte penyerahan kembali pos-pos itu tercantum
antara lain uang F 10.000 yaitu biaya perjalanan Raffles dengan rombongan
ke Alam Minangkabau sebagai hutang ”pembinaan dan pemeliharaan pos-
pos Belanda” di Pesisir selama interregnum Inggris. Lebih kurang 130 tahun
kemudian Pemerintah Belanda melakukan taktik yang sama terhadap
Republik Indonesia, memikulkan biaya ”Aksi Polisionil” I dan II kepada
Republik Indonesia, yang justru hendak ditumpas dengan aksi-aksi militer itu.
Hasil positif berkenaan dengan kunjungan Raffles dan rombongan
ahli-ahlinya ke pedalaman Minangkabau, ialah bertambah banyak
pengetahuan Inggris tentang bumi, alam, tumbuh-tumbuhan, keadaan politik
dan ekonomi, hubungan sosial dan kedudukan Minangkabau, bahan-bahan
penting yang digunakannya kelak bagi ”politik Sumatera”-nya.

4. Kesimpulan

Pada umumnya hubungan dagang dan politik Belanda selama lebih


kurang 2 abad dengan daerah pesisir, tidak banyak mempengaruhi
kebudayaan Minangkabau, berbeda halnya dengan Aceh.
Jumlah orang Belanda yang datang dan berdagang maupun menetap
di Pesisir, dapat diabaikan karena kecilnya. Mereka datang terutama untuk
berdagang, mencari untung dan pada umumnya bukanlah kaum terpelajar,
pendukung kebudayaan, seperti umpamanya nakhoda-nakhoda mubaligh
dari Aceh. Karena itu sedikit sekali kata-kata Belanda yang meresap dan
menjadi perbendaharaan bahasa Minangkabau. Dalam hubungan sehari-hari
maupun dalam tulisan-tulisan resmi umumnya digunakan bahasa Melayu
dengan menggunakan ataupun tanpa pertolongan juru bahasa.
Orang Minangkabau yang beragama Islam pada umumnya
memandang rendah kepada orang Belanda yang ”kafir” dan ”suka Mabuk”,
faktor-faktor, bagaimanapun kecilnya, yang tidak ikut memperdekat
hubungan pribadi antara orang Belanda dan Minangkabau. Sebaliknya orang
Belanda memandang rendah orang Minangkabau, penganut dari ”de Moorse
religie”.
Kalaupun ada pengaruh Belanda yang berbekas di Pesisir umumnya
dan di Padang khususnya, ialah bentuk bangunan rumah adat dan bentuk
pakaian pengantin laki-laki. Rumah adat di Padang berbeda bentuknya
dengan yang di Dare. Atapnya tidak bergonjong, berandanya luas dan
berterali kayu, demikian pula tangganya. Bagian atas dari pintu dan jendela
dihiasi dengan ukiran-ukiran kayu berbentuk kembang yang sedang mekar.
Letak kamar tidur sejajar, menghadapi ruang tengah yang lapang dan luas.
Korsi dan meja dengan lampu minyak tanah bertutup porselen putih,
digantungkan di beranda luar dan dalam. Tempat tidur dari kayu berukir,
lazim disebut ”koi” dari bahasa Belanda ”kooi” (yang artinya tempat tidur)
mengisi tiap-tiap kamar tidur rumah ”gadang” atau ”gaduang” (gedong).
Pakaian mempelai daerah Pesisir berbeda pula dengan yang di Dare.
Jas beludru merah yang dalamnya sampai kelutut, ditaburi dengan manik-
manik dari emas. Leher dan lengan dari renda putih, mentupi ”bef” beludru
hijau berhiasan ukiran-ukiran benang emas, mirip sekali dengan ”geekleede
jas”, baju angkatan pegawai Kompeni dalam abad ke-17. begitu pula celana
dari beludru hijau atau biru yang sampai kelutut, mirip sekali dengan ”knie-
broek” orang Eropa Barat dari abad ke-17 dan 18. Kaki diselubungi dengan
kaos (putih) hingga keatas lutut dan ditutup dengan sepatu hitam, yang
dahulu tentunya ada gespernya (gesp) untuk melekatkannya. Pada sabuk
dipinggang digantungkan semacam ”snuif-doos”, kotak-kotak bulat dari perak
berukir, yang dahulu tentunya berisi tembakau dan merica yang telah
ditumbuk halus. Adalah kebiasaan kalangan tinggi dalam masyarakat Eropa
pada abad ke-18 untuk secara luwes pada waktu-waktu tertentu mengambil
sedikit ”snuif” dari kotak itu antara ujung telunjuk dan ujung jempol dan
menggosokkan campuran tembakau dan lada yang telah dihaluskan itu
dibawah lobang hidung dan lalu bersin dengan cara hormat. Fungsinya kira-
kira sama dengan merokok sekarang didepan umum. Kebanyakan orang
Minangkabau dari Pesisir sekarang tidak mengetahui lagi kegunaan kotak
perak kecil yang digantungkan pada sabuk ”marapulai” (mempelai pria).
Pakaian kebesaran pejabat-pejabat Kompeni dari abad ke-17 dan 18
dengan sedikit perubahan, sekarang menjadi ”pakaian adat” mempelai
Pesisir, terutama di Padang. Inilah pengaruh kebudayaan Belanda yang
langgeng di Pesisir hingga dewasa ini.
Orang inggris dan Perancis terlampau singkat ada di Padang untuk
meninggalkan pengaruh yang dapat tahan lama dibidang kebudayaan.
Kalaupun ada ialah kata-kata Inggris dibidang olahraga (sport), seperti
umpanya istilah ”lego”, berasal dari kata Inggris ”let go”, yang berarti
”lepaskan”, atau ”biarkan”. Kata itu diteriakkan, kalau dalam pertandingan
sepakbola dua orang dari kesatuan yang sama, sama-sama mengejar bola,
agar yang seorang ”melepaskan” bola itu kepada yang lain. Kata ”tjepiau”
yang berarti ”topi pet” dan ”sabun” berasal dari istilah Perancis, ”chapeau”
dan ”savon”, yang sekarang sudah menjadi perbendaharaan bahasa
Minangkabau.
Sebaliknya tentu ada pula istilah-istilah Minangkabau yang
menyelinap kedalam bahasa Belanda, Inggris maupun Perancis dan ikut
memperkaya perbendaharaan bahasa-bahasa itu.
Hubungan politik-ekonomi yang berjalan cukup lama antara dua
bangsa, biarpun berlainan agama dan kebudayaan, tidak boleh
mengakibatkan saling ambil mengambil unsur-unsur kebudayaan masing-
masing, seringkali tanpa disadari atau direncanakan oleh kedua belah pihak.
BAB VI.

GERAKAN DAN PERANG PADRI

I. GERAKAN PADRI

1. Pengertian dan ruang lingkup

Ada beberapa pendapat mengenai asal usul istilah ”padri”. Ada yang
mengatakan padri berasal dari kata Portugis ”padra” yang berarti ”bapak”,
gelar yang biasa diberkan kepada pendeta. Ada pula yang berpendapat
asalnya dari kata ”Pedir”, bandar di pesisir Utara Aceh, tempat calon-calon
haji dari Indonesia berangkat ke Tanah Suci. Di Minangkabau sendiri pada
awal abad ke-19 kata Padri tidak dikenal, yang ada hanya istilah ”golongan
hitam” dan ”golongan putih”. Golongan putih inilah yang oleh penulis-penulis
sejarah disebut ”kaum Padri”. Penamaan golongan hitam dan golongan putih
didasarkan atas pakaian yang dikenakan oleh masing-masing golongan
dalam zaman dinamakan ”masa berhitam dan berputih”. Guna memudahkan
dan untuk menyesuaikan dengan konsensus umum, dalam buku ini kita
pakai istilah ”Padri” bagi golongan putih.
Pertentangan yang terjadi antara golongan hitam dan golongan putih
di Minangkabau pada awal abad ke-19, bukanlah ”konfrontasi vis a vis” adat
kontra agama. Golongan adat juga orang beragama dan golongan putih
orang yang tetap hidup dalam lingkungan adat. Perselisihan itu pada
mulanya bersumber pada praktek-praktek kehidupan keagamaan yang lali
meruncingkan menjadi pertentangan politik. Pertikaian itu berasal dari
perbedaan pendapat antara golongan penganut aliran Syi’ah yang sudah
lebih dahulu berkembang di Minangkabau dengan pemeluk mazhab Hambali
yang sedang giat meluaskan pengaruhnya. Golongan ”Hambali” memperoleh
kesempatan baik, karena rasa tidak puas terhadap kesewenang-wenangan
sebagian besar dari ulama Syi’ah, sedang membara di Minangkabau. Ulama-
ulama muda yang tidak berhasil menentang arus kesewenang-wenangan itu,
menaruh simpati besar pada gagasan-gagasan pembaharuan yang
diprakarsai oleh penganut-penganut mazhab Hambali. Gerakan Wahabi,
berhasil menumbangkan kekuasaan Turki-Osman di Arabia (akhir abad ke-
18). Pembersihan agama Islam dari pengaruh yang dianggap bidaah,
dilakukan radikal sekali dengan menggunakan kekerasan.
Di Minangkabau ketidakserasian dibidang pelaksanaan syariat
berkembang menjadi pertikaian faham yang sengit dibidang pemerintahan,
sebab menyangkut kekuasaan dan prestise kaum penghulu, sebagai
golongan yang memonopoli kekuasaan dalam nagari dengan Dewan
Negerinya. Sekalipun dalam nagari ulama juga memegang jabatan, fungsi
mereka terbatas pada bidang pendidikan pemuda di ”surau” dan kekuasaan
mereka terbatas pada melontarkan ancaman-ancaman hukuman dari tuhan
dalam khutbah-khutbah hari Jum’at. Rakyat biasanya lebih patuh pada
perintah penghulu dari pada nasehat seorang ulama. Disemangati oleh
gerakan Wahabi, para ulama menghendaki, agar suara mereka didengar
pula oleh rakyat. Timbullah perebutan kekuasan dibidang pemerintahan
praktis antara kaum ulama dan kaum penghulu. Muncullah pergolongan-
pergolongan kekuasaan yang mengakibatkan bentrokan-bentrokan fisik
didalam nagari dan antara sesama nagari. ”Social-disorder”, perbenturan
masyarakat, mengacaubalaukan ketentraman yang dulu merupakan ciri dari
masyarakat itu.
Ruang waktu yang dilingkupi oleh social-disorder, kemudian lazim
disebut ”Gerakan Padri”, berlangsung lebih kurang antara tahun 1803 –
1820. Tiap-tiap gerakan baru dalam masyarakat biasanya mempunyai energi
dan semangat juang besar, tidak terkecuali Gerakan Padri. Didorong oleh
semangat heroisme yang hebat dalam masa ini, kaum Padri berhasil
menanamkan supremasi politiknya di Alam Minangkabau. Dalam waktu itu
pula (1819) Pesisir dikuasai kembali oleh Belanda. Perjuangan fisik yang
dihadapi oleh kaum Padri sejak tahun 1821 berlainan sifat dan tujuannya
dengan yang dilakukan sebelumnya. Mereka menghadapi kekuasaan asing
dan karenaitu pula perjuangan tidak lagi bersifat ”lokal” tetapi menentang
kolonialisme. Unsur-unsur nasionalisme, walaupun dalam pengertian sempit,
turut memainkan peranan penting disamping unsur-unsur agama.

2. Paham Wahabi masuk ke Minangkabau

Sesudah nabi Muhammad s.a.w. kekuasaan Islam pecah menjadi 3


aliran politik berlandaskan agama Islam, yaitu Syi’ah, Sunnah wal Jamiah
dan Chawaridj. Aliran Chawaridj, disebabkan oleh fanatisme yang
menimbulkan perpecahan hebat dikalangan sendiri, tidak sempat
memainkan peranan besar, berbeda dengan aliran Syi’ah dan Sunnah yang
berhasil membentuk pemerintahan-pemerintahan berwibawa. Kedua aliran
itu memperlihatkan perbedaan-perbedaan prisipil dibidang politik dan
pertikaian-pertikaian yang diakibatkannya merupakan pola sejarah Islam
sepanjang masa. Aliran Sunnah terbagi dalam 4 mazhab, saru diantaranya
mazhab Hambali, terkenal karena sifat puriten (murni) dan fanatik dari
penganut-penganutnya.
Kerajaan Turki-Osman menganut Islam Sunnah mazhab Hanafi,
menaklukan kerajaan fatimiah (Mesir), penganut faham Syi’ah (permulaan
abad ke-16). Turki kemudian menguasai Arabia, termasuk kota-kota suci
Mekah dan Medinah. Suku Badui, penganut mazhab Hambali, sangat benci
pada kekuasaanTurki-Osman. Pada pertengahan abad ke-18 Muhammad
ibnu Wahab, seorang pemimpin Badui, menghidupkan kembali mazhab
Hambali ditengah-tengah suku bangsanya. Pengikut-pengikutnya disebut
”Kaum Wahabi” dan mazhab Hambali yang diberi semangat dan tenaga baru
itu disebut ”Paham Wahabi”. Kaum Wahabi melancarkan ”revolusi” agama
Islam di tanah Arab dengan tujuan membersihkan praktek-praktek agama
dari pengaruh bidaah dan dikembalikan kepada kemurnian ajaran Islam
sesuai dengan mazhab Hambali. Mereka berhasil menumbangkan
kekuasaan Turki-Osman di Tanah Arab dan membebaskan kota suci Mekah.
Tiga orang Minangkabau sedang berada di tanah Arab ketika ”revolusi
Wahabi” berkobar, yaitu Haji Sumanik dari luhak Tanah Datar. Haji Piobang
dari luhak 50-Kota dan Haji Miskin dari luhak Agam. Pada tahun 1803
mereka pulang ke-luhak masing-masing, disemangati faham Wahabi.
Mereka merasa berkewajiban melanjutkan tradisi permusuhan dengan aliran
Syi’ah, yang dominan di Minangkabau sejak pertengahan abad ke-16.
Iklim pilitik di Alam Minangkabau ketika itu membantu mereka
melaksanakan yang mereka anggap sebagai kewajiban mereka. Praktek-
praktek yang melanggar hukum agama seperti berjudi, meyabung ayam,
minum tuak sampai mabuk dan kebathilan-kebhatilan lain merajalela. Ulama-
ulama Syi’ah tidak mampu melarang praktek-praktek itu, karena tedak
berwibawa dalam masyarakat. Sebagai ulama-pemimpin rohaniah-ahli waris
Nabi Muhammad s.a.w., rasa tidak puas makin merangsang ”the angry
ulama’s”. Mereka menunggu pimpinan yang akan mencetuskan api
memimpin perlawanan yang sedang membara Alam Minangkabau.
Pimpinan itu diberikan oleh ketiga orang haji penganut ajaran Hambali
di Luhak nan Tigo sekaligus. Ulama-ulama muda yang bercita-cita luhur
untuk memperbaiki syariat Islam di Minangkabau, terpesona oleh ajaran-
ajaran Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin. Penghulu-penghulu muda
ada pula yang terpikat hati mereka oleh faham baru itu, diantaranya Si Kuncir
Datuk Batuah dari nagari Pandai Sikat di Luhak Agam.
Penganut-penganut faham Wahabi merasa diri mereka sudah cukup
kuat untuk bertindak. Pembersihan dilancarkan terhadap praktek-praktek
agama yang dianggap bidaah. Pertikaian fisik mulai meletus antara
pendukung mazhab Hambali dengan aliran Syi’ah di Minangkabau.
Pertikaian fisik bersumber agama sebagai ideologi dan kekuasaan (politik)
sebagai tujuan, akan membakar Alam Minangkabau selama lebih kurang
seperempat abad dan berakhir dengan kemenangan pihak ketiga yang
diundang sebagai penengah, yaitu Belanda. Dalam sejarah Minangkabau
selanjutnya ”konfrontasi fisik” ketiga golongan itu terkenal sebagai ”Perang
Padri” (1821 – 1837).

3. Gerakan Padri di Luhak Agam

Dinagari Kota Tuo (Cangking dan Ampek Angkek) pada permulaan


pergolakan ideologi agama dan politik itu hidup seorang guru agama yang
berwibawa besar, Tuanku Koto Tuo namanya. Sebagai ulama yang
mengetahui seluk beluk adat Minangkabau, arif lagi bijaksana, beliau
menentang segala bentuk kekerasan. Dengan fatwa-fatwa, dibarengi dengan
contoh-contoh perbuatan yang sangat mengesankan orang banyak, beliau
ajak dan bimbing mereka kembali kepada ajaran-ajaran agama yang benar
dan menjauhkan segala bidaah.
Di Kota Lawas Tanah Datar ada tokoh agama, Tuanku Mansiangan,
yang wibawanya tidak sebesar Tuanku Koto Tuo. Beliau eksponen golongan
yang menyokong penggunaan kekerasan guna membersihkan praktek-
praktek agama Islam di Minangkabau dari segala ”kotoran dan najis” bidaah.
Salah seorang murid Tuanku Koto Tuo yang ”genial” dan dekat sekali
dengan Tuanku Mansiangan, ialah Tuanku Nan Renceh dari Kamang, Luhak
Agam. Berbadan kecil, garang seperti harimau, tokoh ulama muda yang tidak
kenal kompromi itu, selesai menuntut ilmu di Koto Tuo dan pulang ke
Kamang, giat sekali mengajarkan agama menurut faham Wahabi. Kegiatan
beliau dan semangat juang agama yang beliau sebarluaskan, membuat
aliran Wahabi bergerak keluar Surau dan menuju lapangan juang terbuka.
Diantara tiga orang tokoh yang mula-mulanya mengembangkan
faham Wahabi, peranan Haji Miskinlah yang paling menonjol. Dinagarinya,
Pandai Sikat, khotah-khotbahnya yang bersemangat dan membakar selalu,
mengharamkan kebiasaan menyabung ayam, berjudi dan maksiat-maksiat
lain. Khotbah-khotbahnya itu segera diikuti dengan tindakan-tindakan keras.
Gelanggang tempat menyabung dan berjudi dibakar. Di Kota Lawas Haji
Miskin berhasil mempengaruhi Tuanku Mansiangan. Perkelahian-perkelahian
antara sesama penduduk mulai terjadi. Di Kamang, daerah Tuanku Nan
Renceh, pertempuran-pertempuran antara sesama penduduk sering pula
meletus.
Kegiatan-kegiatan Haji Miskin dan Tuanku Nan Renceh di Kamang
kemudian melahirkan ”Dewan Revolusi”, terkenal dengan nama ”Harimau
Nan Salapan”, yang berusaha menarik Tuanku Koto Tuo kepihak mereka.
Beliau tetap pada pendirian menolak kekerasan guna menjalankan
pemurnian ajaran agama. Kepada ”Harimau Nan Salapan” beliau
memperingatkan, bencana yang akan pasti menimpa seluruh rakyat, bila
cara kekerasan yang mereka lakukan itu diteruskan. Tuanku Mansiangan
memberikan dukungan penuh pada praktek kekerasan yang dilakukan
Dewan ”Harimau nan Salapan”. Beliau diangkat sebagai organisator dan
Ketua Dewan itu.
Tindakan-tindakan radikal itu mulai menggantikan sikap lunak selama
ini. Kata-kata dan rundingan dibungkamkan oleh gemerincing senjata.
Medan pertempuran menggantikan surau dan mesjid. Tuanku nan Renceh
berkeliling, mulai di nagari Kamang sendiri yang subur dan daerah
persawahan yang luas. Dalam khotbah yang berapi-api, dilontarkannya
ancaman-ancaman berat terhadap mereka yang melanggar hukum agama
dan melakukan perbuatan-perbuatan maksiat. Berkobarlah perang tanding
sesama umat Islam di Kamang, yang dalam waktu singkat tunduk dibawah
kekuasaan dan menjadi markas besar Tuanku Nan Renceh. Dengan
Kamang sebagai pangkalan , Tuanku Nan Renceh meluaskan kuasanya ke
Luhak Agam. Dinagari-nagari yang sudah dikuasai, dibentuk pemerintahan
agama dengan Tuanku Iman dan Tuanku Kadi, ulama-pemimpin Gerakan
padri setempat, sebagai pimpinan. Mereka bertugas memberikan
penerangan dan bimbingan tentang pembaharuan agama yang sedang
dilancarkan. Peraturan-peraturan bari diadakan, antara lain menggenakan
baju putih dan keharusan memelihara jenggot dan menggundulkan kepala,
lambang-lambang bagi pengikut aliran pembahruan yang membedakan
mereka dengan yang belum menganut faham Wahabi. Hukuman berat
kepada mereka yang ingkar.
Dalam jangka waktu yang kurang dari setahun seluruh Luhak Agam
tunduk dibawah perintah Taunku Nan Renceh. Gerakan pembaharuan dan
pemurnian agama Islam menurut faham Wahabi muncul sebagai kekuasaan
politik baru di Indonesia.
Reaksi hebat timbul dari yang mendominir politik dan memegang
kekuasaan tunggal selama ini bebas-merdeka bertindak menurut kata hati
masing-masing, tidak dapat menerima kungkungan ketat yang dipaksakan
oleh kaum Padri kepada mereka dan ”lari” kepada penghulu-penghulu,
pelindung tradisionil hukum adat. Menginsyafi kekuasaan mereka mulai
goncang, penghulu-penghulu itu mencari kekuatan bersandarkan bantuan
rakyat. Terbentuklah dua front dengan garis pemisah yang sangat semu
antara golongan pendukung Gerakan Padri dengan yang menentangnya
sekuat tenaga. Alam Minangkabau, dengan Luhak Agam sebagai titik tolak,
siap untuk menghadapi perang saudara ganas, yang didasari oleh agama.

4. Gerakan Padri di Luhak Tanah Datar

Di Luhak L-Kota Gerakan Padri tidak menjumpai perlawanan berat


dan segera tunduk dibawah kekuasaan kaum Padri.
Lain halnya dengan Luhaj Tanah Datar sebagai pusat kekuasan
Kerajaan Minangkabau/Pagaruyung. Kaum adat (penghulu) mengadakan
perlawanan gigih dan hebat. Kalau di Luhak Agam dan L-Kota Gerakan Padri
segera dapat tertanam kokoh berkat pengaruh dan wibawa kaum ulama, di
Tanah Datar kaum Padri langsung harus memasuki tahap perebutan
kekuasaan. Peristiwa di Luhak Agam dan L-Kota membangkitkan kesadaran
penghulu Tanah Datar, bahwa tujuan utama dari Gerakan Padri ialah
merebut kekuasaan politik dengan menumbangkan dominasi yang mereka
pegang selama ini. Sebelum bencana besar ini mengunjungi mereka,
mereka telah mengadakan persiapan-persiapan seperlunya. Pengaruh dan
wibawa penghulu di Luhak Tanah Datar jauh lebih besar daripada pemuka-
pemuka adat di Luhak Agam dan L-Kota.
Tokoh Padri terkemuka di Luhak Tanah Datar, Saidi ....Tuanku Lintau,
yang mula-mula menciptakan lambang pakaian serba putih, kepala botak
dan jenggot panjang bagi penganut faham Wahabi di Minangkabau. Nagari
Lintau, bagian Timur Luhak Tanah Datar yang berbatasan dengan bagian
Selatan dari Luhak L-Kota, segera berkembang sebagai pusat kegiatan dan
markas kaum Padri Luhak Tanah Datar. Tuamku Lintau berhasil meluaskan
pengaruhnya ke nagari-nagari Luhak Tanah Datar, sungguhpun menemui
perlawanan sengit dan gigih dari kaum adat. Di Tanjung Barulak pengikut
Tuanku Lintau terlibat dalam perang hebat. Tiga kali nagari itu berpindah
tangan sebelum dapat dikuasai oleh Tuanku Lintau.
Gerakan Padri di Luhak Tanah Datar melakukan suatu ”blunder”,
salah perhitungan politik, yang besar akibatnya dalam sejarah Minangkabau.
Perlawanan-perlawanan hebat yang dihadapi Tuanku Lintau di Tanjung
Barulak dan magari-nagari lainnya, sangat menjengkelkan pengikut-
pengikutnya. Tuanku Lintau menempuh siasat perundingan. Ia mengundang
Yang Dipertuan Minangkabau untuk datang berunding ke Kota Tengah, Yang
Dipertuan, disertai oleh anggota-anggota keluarganya dan Basa Empat
Balai, datang memenuhi undangan itu tanpa curiga.
Perundingan yang diprakarsai oleh Tuanku Lintau dengan itikad baik
itu, diakcaukan oleh seorang tokoh Wahabi dari Tapanuli Selatan, yang
masih digelorai semangat muda, dan kemudian terkenal sebagai Tuanku
Lelo. Berbeda dengan tokoh-tokoh Padri Luhak Tanah Datar yang biasa
hidup sederhana. Tuanku Lelo seorang yang sangat ambisius dan gemar
kesenangan duniawi. Ia membuat rencana untuk membunuh seluruh
keluarga raja Minangkabau, agar dapat merampas harta kekayaan mereka.
Rencana itu dilaksanakan dengan segala keganasan yang dapat dipikirakan
oleh Tuanku Lelo. Seluruh anggota keluarga raja, termasuk Basa Empat
Balai, terbunuh mati di Kota Tengah. Hanya Yang Dipertuan luput dari
peristiwa berdarah itu dan lari ke Kuantan (1809).
Peristiwa ”Kota Tengah” itu menggemparkan seluruh Luhak Tanah
Datar dan dinggap sebagai khianat besar kaum Padri. Nagari-nagari yang
diliputi rasa takut, menyerah kepada Tuanku Lintau, kecuali nagari Batipuh
yang mengadakan perlawanan sengit. Disana berkumpul penghulu-penghulu
dari nagari-nagari yang telah ditaklukan oleh Tuanku Lintau. Walaupun
sebelumnya nagaru Batipuh dapat dikuasai, perlawanan hebat yang
dilakukan dengan penuh semangat berkorban, memaksa Tuanku Lintau
meninggalkan Batipuh. Kaum Padri mengalami kekalahan untuk pertama kali
di Minangkabau.
Pembunuhan di Kota Tengah dianggap sebagai peristiwa yang
menumbangkan kerajaan Minangkabau dan kerajaan yang sudah lama tidak
mempunyai wibawa politik itu tidak pernah bangun lagi.

5. Gerakan Padri di Lembah Alahan Panjang (Luhak Sikaping)

Dibagian utara Minangkabau, terutama di Lembah Alahan panjang


(Lubuk Sikaping), perkembangan Gerkan Padri berbeda dengan di Luhak
Agam dan Luhak Tanah Datar.
Pada taraf pertama kaum Padri didaerah ini mengambil sikap defensif,
yang kemudian berubah menjadi offensif. Bentrokan-bentrokan dengan kaum
penghulu tidak sehebat seperti di daerah-daerah Minangkabau lain. Geakan
Padri didaerah ini juga aktif mengIslamkan Tapanuli Selatan. Daya tahan
Kaum Padri dan semangat juang mereka jauh lebih besar daripada daerah-
daerah lain.
Faham Wahabi dikembangkan ke Lembah Alahan Panjang oleh
seorang penghulu. Datuk Bendahara, murid Tuanku Nan Renceh, Datuk
Sati, penghulu terkemuka di Lemabah Alahan Panjang, tidak menyetujui
faham yang diajarkan oelh Datuk Bendahara dan bentrokan-bentrokan
segera terjadi. Karena berada dipihak yang lemah, Datuk Bendahara
meninggalkan nagarinya, menyingkir ke Bonjol. Penduduknya sudah
menganut faham Wahabi, dikembangkan oleh Peto (pendita) Syarif Tuanku
Muda, (kemudian terkenal sebagai Tuanku Imam Bonjol) yang mendapat
didikan agama di Luhak Agam. Berbulan-bulan lamanya Datuk Sati
mengepung Bonjol, tetapi tidak dapat dilakukannya, karena Tuanku Muda
dibantu oleh Tuanku Nan Renceh.
Dalam sistim kerajaan Minangkabau daerah Alahan Panjang termasuk
Rantau dan karena itu pengaruh penghulu tidak sebesar di Luhak.
Penyelewengan-penyelewengan agama tidak pula sebesar di Luhak nan
Tigo. Perubahan dari faham Syi’ah ke faham Wahabi terjadi tanpa banyak
menimbulkan kegoncangan. Pertukaran kekuasaan dari tangan penghulu ke
tangan kaum Padri berlangsung dengan damai, akibat kebijaksanaan
Tuanku Muda yang selalu menempuh jalan musyawarah untuk mencapai
kata sepakat. Penyebaran faham Wahabi secara damai diterima oleh
penduduk dengan sukarela, merupakan faktor penting, yang meyebabkan
kaum Padri dapat bertahan dilembah Alahan Panjang.
Pemerintahan dilakukan oleh yang ”berempat selo”, berkedudukan di
Bonjol. Setelah Datuk Bendahara meninggal dunia, pimpinan jatuh ke tangan
Tuanku Muda yang memakai gelar Tuanku Imam Bonjol, dibantu oleh
Tuanku Hitam, Tuanku Nan Gapuk dan Tuanku Kaluat.
Sesudah kaum Padri merasa dirinya kuat di Lembah Alahan Panjang,
mereka mulai bersikap offensif. Daerah kuasa mereka diluaskan hingga
meliputi daerah-daerah sekelilingnya, tanpa banyak menimbulkan bentrokan
fisik. Tindakan-tindakan keras dilakukan, ketika kaum Padri melebarkan
daerah kuasa mereka ke Tapanuli Selatan dan mengIslamkan daerah itu
(1816 – 1833).
Selain Bonjol, Rao dan Dalu-Dalu merupakan pusat kekuasaan kaum
Padri disebelah Utara Minangkabau. Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai di
Dalu-Dalu berasal dari Tapanuli. Tuanku Rao gugur dalam pertempuran
ketika kapal-kapal perang Belanda menggempur Air Bangis (1821). Sesudah
Bonjol jatuh dan Tuanku Imam ditawan oleh Belanda. Tuanku Tambusai
melanjutkan perjuangan kaum Padri dari benteng Dalu-Dalu. Ketika benteng
itu tidak dapat dipertahankan lagi, beliau meneruskan perang melawan
Belanda didaerah Padang Lawas sampai tahun 1863. beliaulah cikal bakal
kesultanan Barumun dengan Kota Pinang sebagai ibu kota.

6. Keuntungan bagi pihak ketiga.

Konflik agama di Alam Minangkabau antara aliran Syi’ah dan mazhab


Hambali berakhir dengan kemenangan golongan ketiga, yaitu mazhab
Syafe’i. Konflik politik antara kaum Padri dengan kaum penghulu, berakhir
dengan kemenangan pihak ketiga pula, yaitu Belanda.
Pada dekade kedua dari abad ke-19 Tanah Arab mengalami
perubahan-perubahan politik besar. Kekuasaan kaum Wahabi telah
dipatahakan oleh Turki-Osman, mazhab Syafe’i berkembang sebagai
mazhab yang paling berpengaruh di Mekah. Dibandingkan dengan mazhab
Hambali, mazhab Syafe’i bersifat lebih toleran dan dibandingkan dengan
aliran Syi’ah yang penuh mistik, mazhab Syafe’i lebih bersifat intelek.
Di Minangkabau-pun terjadi perubahan politik sejak tahun 1819.
Inggris mengembalikan kota Padang kepada Belanda. ”Pax Neerlandica”
ditanamkan setapak demi setapak di Minangkabau. Pada tahun 1824 Luhak
Agam, L-Kota dan Tanah Datar sudah dikuasai oleh Belanda. Orang
Minangkabau yang naik haji sesudah tahun 1824, kembali kenagari masing-
masing sebagai pembawa dan penyebar mazhab Syafe’i. Belanda
membantu perkembangan mazhab itu, karena sifatnya lebih toleran dan
untuk melemahkan pengaruh Wahabi di Minangkabau.
Terdesak oleh kekuatan militer Belanda dan perkembangan mazhab
Syafe’i di Luhak Yang Tiga, kaum Wahabi di Minangkabau memperkuat
kedudukan mereka di Lembah Alahan Panjang, dengan Bonjol sebagai
benteng pusatnya. Sesudah Bonjol jatuh ketangan Belanda, berakhir pulalah
pengaruh politik kaum Padri. Perlawanan rakyat Minangkabau terhadap
kekuasaan Belanda kemudian, antara lain juga disemangati oleh faham
Wahabi, tetapi penganut-penganut faham itu tidak mampu lagi membangun
kekuasaan politik yang berarti.
Perebutan kekuasaan antara kaum Padri dan kaum penghulu di
Minangkabau menyebabkan timbul rasa dendam pihak penghulu kepada
kaum Padri. Mereka selalu dirangsang oleh keinginan untuk menuntut balas.
Ketika Belanda menguasai daerah Padang kembali (1819), sentimen kaum
penghulu itu digunakan oleh Belanda untuk kepentingan mereka. Kekuasaan
kaum Wahabi dapat dilumpuhkan, tetapi kekuasaan penghulu tidak
dipulihkan. Belanda yang selanjutnya berkuasa di Minangkabau.

II. PERANG PADRI

1. Latar Belakang

Perang yang berkobar di Minangkabau pada permulaan abad ke-19


bertali-temali dengan persaingan-ekonomis antara dua kekuatan kolonial di
Asia Tenggara ketika itu, Inggris dan Belanda. Masing-masing pihak
berusaha keras menguasai Selat Sumatera, urat nadi lalulintas laut antara
India dan Cina. Sumatera memegang ”key-position” untuk menguasai jalan
dagang penting sepanjang zaman itu. Itulah sebabnya Belanda berusaha
keras menanamkan pengaruh politiknya di Sumatera sejak permulaan abad
ke-19 dan melancarkan ”Perang Sumatera” (1821 – 1908). Menjelang akhir
abad ke-18 Inggris telah berhasil mengkonsolidasikan pengaruh politik-
ekonominya di India. Sejak itu sacara sistimatis Inggris berusaha mendesak
Belanda dari daerah-daerah yang dikuasainya di Indonesia, yang
menyebabkan pertentangan kepentingan antara dua kolonial itu, terutama
didaerah Selat Sumatera. Penang, pintu ke Selat Sumatera disebelah Utara,
diduduki oleh Inggris. Dalam masa Perang Napoleon (1793 – 1815) daerah
kuasa Belanda di Indonesia satu demi satu jatuh ketangan Inggris. Bandar
Padang, digabungkan dengan Natal disebelah Utara dan Bangkahulu
disebelah Selatan (1795 – 1819).
Sesudah Napoleon kalah (1815), peta Eropa diperbaharui dan
daerah-daerah takluk Belanda dan Inggris di Asia Tenggara mengalami
perubahan-perubahan penting. Perjanjian Wina (1814 – 1815) dalam banyak
hal disabet oleh Inggris. Pada tahun 1814 tercapai persetujuan antara
Belanda dan Inggris, ”Perjanjian London I”. Inggris mengembalikan daerah-
daerah takluk Belanda yang didudukinya selam Perang Napoleon.
Pelaksanaan persetujuan itu selalu diundur-undur waktunya oleh Inggris.
Di Pesisir Inggris diwakili oleh Raffles, seorang tokoh kolonial yang
mempunyai pandangan politik tajam dan jauh kedepan. Ia berusaha
meyakinkan pemerintahannya, agar kota padang tidak dikembalikan kepada
Belanda. Cita-citanya mengisolir Belanda di Padang dengan mendirikan pos-
pos Inggris di Minangkabau. Dalam tahun 1818 ia mengadakan ”perjanjian
ilmiah” ke Alam Minangkabau. Tentara inggris ditempatkan di pos Simawang,
dipesisir Timur Danau Singkarak. Pulau Nias-pun dikunjungi pula dengan
alasan yang sama, ”bagi kepentingan ilmu pengetahuan”. Natal disebelah
Utara dan Bangkahulu disebelah Selatan ialah pos-pos Inggris dipesisir
Barat Sumatera, yang setiap saat dapat mengancam kedudukan Belanda di
Padang. Raffles melihat kemungkinan-kemungkinan besar bagi kepentingan
poltik dan ekonomi Inggris di Minangkabau. Ia berusaha membangun
kembali kerajaan Minangkabau dibawah pengawasan Inggris, karena ingin
menjadikan Alam Minangkabau batu loncatan untuk menguasai seluruh
Sumatera. Sungai-sungai besar seperti Batang Hari dan Siak yang berasal
dari Minangkabau, dapat digunakan sebagai jalan dagang, yang
menghubungkan daerah pedalaman Sumatera dengan Selat Sumatera.
Raffles juga merencanakan pembangunan jalan raya yang mempertalikan
ujung Utara Sumatera (Aceh) dengan Selatannya (Lampung). Rencana-
rencana yang sangat ambisius itu tidak dapat disetujui pemerintahannya,
East India Company (EIC).
Gagal di Pesisir, Raffles mengalihkan perhatiannya kedaerah Selat
Sumatera. Dalam tahun 1819 dibelinya pulau Tumasik dari kerajaan Johor
dan dibangunnya disana bandar Singapura. Dengan dikuasainya Penang
disebelah Utara dan di Singapura disebelah Selatan Semenanjung Malaya,
terancamlah kedudukan Belanda di bandar Malaka yang dikuasainya sejak
tahun 1641. Singapura cepat berkembang menjadi pusat niaga penting di
Asia Tenggara dan melemahkan posisi Belanda bukan hanya disekitar
perairan Selat Sumatera, tetapi juga di Jawa (Batavia). Inggris mulai pula
meluaskan perniagaannya ke Aceh, Riau dan Siak dan berusaha keras
mengikat daerah-daerah itu dengan perjanjian dagang. Diplomasi Inggris
lebih luwes daripada Belanda dan membuka kemungkinan akan berhasil baik
rencana Raffles yang diambil alih oleh Pemerintah Inggris. Daerah Pesisir
Timur Sumatera memperoleh barang-barang keperluannya dari Belanda
lewat Padang melalui Alam Minangkabau. Kegiatan ekonomi Inggris
didaerah itu, terutama setelah bandar Singapura dibangun sangat
melemahkan posisi ekonomi Belanda di Padang. Menghadapi Inggris
dengan kekuatan militer tidak mungkin, karena mereka jauh lebih kuat
daripada Belanda. Tidak pula mungkin memerangi daerah Pesisir Timur,
sebab berarti menghalau daerah itu kedalam pelukan politik-ekonomi Inggris.
Satu-satunya jalan yang terbuka bagi Belanda, ialah menguasai
daerah ”supplier” bahan-bahan yang diperjualbelikan di Pesisir Timur.
Daerah itu ialah Alam Minangkabau. Dengan dikuasai Alam Minangkabau,
arus dagang kepesisir Timur dapat dihambat dan disalurkan ke Pesisir
dengan Padang sebagai pusatnya. Terhenti arus dagang ke Pesisir Timur
berarti pukulan ekonomis bagi Inggris.
Di Alam Minangkabau sendiri telah timbul dan berkembang satu
kekuatan politik, yang dapat merupakan ancaman bagi Belanda di Pesisir,
yaitu Gerakan Padri. Di Pesisir kaum Padri berhubungan dagang dengan
Inggris melalui Tiku, Ketiagan (Air Bangis) dan Pariaman, kegiatan-kegiatan
yang dianggap oleh Belanda mengancam kepentingannya, dan
menambahkan unsur ketegangan politik antara Belanda dengan Inggris di
Asia Tenggara.
Usaha Belanda meluaskan pengaruhnya politiknya ke Alam
Minangkabau mempunyai dua tujuan, yang hendak dicapainya sekaligus.
Melemahkan posisi ekonomi Inggris di Pesisir Timur dan mencegah
penyusupan pengaruh politik mereka kedaerah pedalaman Sumatera serta
mencegah perembesan pengaruh ideologi politik kaum Padri ke Pesisir.
Dalam konteks inilah perang kolonial dilancarkan oleh Belanda di
Minangkabau (1821 – 1845) harus kita tinjau dan dalam hubungan ini pulalah
perlawanan-perlawanan sengit yang dilakukan rakyat Minangkabau harus
kita nilai.

2. Perjanjian Tahun 1821

Pola politik kolonial Belanda di Indonesia ialah mendekati golongan


yang lemah dan terjepit, apabila sesuatu daerah pada satu ketika sedang
mengalami pertentangan-pertentangan politik hebat. Bantuan militer yang
diberikan kepada golongan yang sedang terjepit itu akan meratakan jalan
bagi Belanda untuk memperoleh konsesi-konsesi politik-ekonomi yang
menguntungkan. Taktik ampuh itu diterapkan pula oleh Belanda di
Minangkabau.
Dalam tahun 1819 kota Padang diterima kembali oleh Belanda dari
Inggris. Pada waktu yang bersamaan supremasi kaum Padri sudah tertanam
di Alam Minangkabau. Perlawanan-perlawanan sengit kaum adat telah dapat
dipatahkan. Pembunuhan keluarga Yang Dipertuan Minangkabau di Kota
Tengah oleh Tuanku Lelo, panglima bawahan Tuanku Rao (1809) dan
menyingkirkan Yang Dipertuan kedaerah Kuantan, dianggap oleh Kaum
Padri sebagai tumbangnya kekuasaan kerajaan Minangkabau/Pagaruyung.
Sekalipun kaum Padri telah membuktikan supremasi mereka di bidang
militer, namun mereka tidak berhasil menciptakan suatu kekuasaan riil
dengan pemerintahan yang terpusat. Masing-masing nagari berdiri sendiri,
sedikit sekali berhubungan dengan sesamanya dan ikatan yang ada hanya
ikatan ideologi. Kaum adat terpaksa menerima kenyataan, bahwa kaum
Padri-lah yang berkuasa di nagari sekarang, sebab mereka tidak cukup kuat
untuk melawan kaum Padri. ”status quo” itu tidak berlangsung lama. Dengan
kembali belanda menduduki Padang, kaum adat melihat prospek-prospek
baru yang dapat ”membangkitkan kembali batang terendam”, artinya
memulihkan mereka kepada kedudukan semula. Sebagian penghulu Alam
Minangkabau ada yang melarikan diri ke Padang dan berusaha mencari
bantuan di kota itu. pertolongan pernah diminta kepada Inggris, tetapi ditolak,
karena mereka tidak mau mengambil resiko berperang dengan kaum Padri
sebagai ”supplier” senjata dari Penang dan Singpura.
Dengan Belanda lain situasinya. Perkembangan politik di Alam
Minangkabau memberikan peluang yang diharapkan oleh Belanda untuk
meluaskan pengaruh politik ekonominya dalam rangka konfrontasi dengan
Inggris, disamping melakukan tindakan preventif terhadap kemungkinan
serangan kaum Padri ke Pesisir. Peluang guna mencapai dua tujuan itu
sekaligus ialah kesempatan yang diadakan oleh ”penghulu-penghhulu larian”
di Padang yang berambisi besar untuk merebut kembali kekuasaan dinagari
masing-masing. Belanda ingin memperluas daerah jajahan. Musuh yang
dihadapi sama, yaitu kaum Padri. Penghulu mengharapkan namtuan yang
tidak mengikat, tetapi lupa, bahwa sekutu yang memberikan bantuan itu tidak
memberikannya tanpa perhitungan laba rugi. Kelihatan diplomasi
berdasarkan pengalaman yang lama sebagai pemerintah kolonial, digunakan
oleh Belanda waktu menghadapi ”penghulu-penghulu pelarian” guna
merealisasi ”kerjasama” menurut pengertian mereka sendiri. Syarat-syarat
kerjasama yang mereka tekankan kepada penghulu-penghulu pelarian itu
sebagai golongan yang plitis sedang terjepit, berat sekali.
Seluruh Minangkabau, tidak lebih dan tidak kurang, harus diserahakan
oleh penghulu-penghulu pelarian itu kepada Belanda sebagai imbalan dari
bantuan yang akan mereka berikan. Penghulu-penghulu itu tidak pula kalah
lihai dari pada Belanda, karena biasa sudah ”bersilat lidah” dan ”mengadu
ujung jarum ”. Mereka tahu, bahwa tidak ada wewenang, palagi kekuasaan
untuk mencerahkan, jangankan nagari mereka sendiri, apalagi ”seluruh
Minangkabau” kepada Belanda. Mereka bukan wakil yang ditunjuk oleh
kerapatan penghulu negara mereka sendiri apalagi dari seluruh
Minangkabau seperti yang mungkin diartikan oleh Belanda. Mereka
menghadapi perundingan dengan penghulu-penghulu pelarian itu
berdasarkan kaidah-kaidah hukum barat dan tidak mengetahui seluk beluk
hukum adat. Sebagai penguasa adat, penghulu-penghulu yang insyaf, bahw
perjanjian penyerahan Minangkabau seperti yang ditekankan oleh Belanda
kepada mereka, tidak mempunyai hukum adat apapun juga. Dibuatkan oleh
nafsu masing-masing untuk berkuasa, kedua belah pihak berhasil
membodohkan sesamanya. Tetapi karena Belandalah yang kemudian
berkuasa akibat keunggulan persenjataan mereka, mereka memaksakan
nilai-nilai hukum barat kepada Orang Minangkabau, guna memberikan
legalitas pada tindakan politik mereka, menguasai seluruh Minangkabau. Isi
pokok perjanjian tahun 1821 ialah, penyerahan ”kerajaan Minangkabau”
kepada Belanda, yang berjanji membantu kaum penghulu untuk
mematahkan kekuasaan kaum Padri. Penghulu-penghulu larian itu seia
sekata pula akan tunduk dan setia kepada Belanda. Janji itu tidak hanya
mengikat mereka, tetapi juga anak-anak cucu mereka dikelak kemudian hari.
Sebagai langkah pertama pengrealisasian perjanjian 1821, Belanda
menempatkan 100 orang tentara dan dua pucuk meriam di Simawang.
Perjanjian itu mempunyai akibat yang sangat serius. Dengan sangat
mudah, walaupun di atas kertas, Belanda dapat mengembangkan kekuasaan
politik-ekonominya didaerah yang potensial penting sebagai ”key-position”
pada waktu itu, dengan hanya menempatkan 100 orang tentara dan dua
pucuk meriam di Simawang. Dengan menduduki tempat yang strategis-
militer penting itu Belanda dapat mengawasi arus lalu lintas barang dan
manusia kejuruan Timur (Luhak Tanah Datar) dan ke Hilir (Lembah hulu
Batang Hari), ke Selatan (Sulit Air, Solok, Muara Labuh), ke Barat (melalui
Singkarak ke Padang) dan ke Utara (Batipuh-Padang Panjang). Penghulu
pemimpin rakyat bukan lagi ”pembantu”mereka, tetapi berada dalam posisi
”diperintah” oleh Belanda. Mereka dipaksa mengerahkan ”anak-kemenakan”,
rakyat mereka, untuk ikut memerangi kaum Padri, bangsa dan adakalanya
anggota suku dan keluarga sendiri. Disamping itu penghuliu-penghulu
diharuskan pula men ”supply logistik” penting untuk perang, sperti makanan,
bahan-bahan bangunan untuk benteng Belanda dan sebagainya.
Segala umpat dan caci maki dari rakyat mereka sendiri dan rasa
permusuhan yang kian mencurang dengan pihak Padri, adalah akibat
permainan catur politik dengan Belanda di Padang itu. Dengan perjanjian
1821 sebagai ”visum”, Belanda memasuki medan perang di Alam
Minangkabau, tampa menyangkan perang akan berlarut-larut, meminta
banyak korban jiwa dan harta dari kedua belah pihak. Terhadap konflik
ideologi yang sedang memecah belah masyarakat Minangkabau, Belanda
menambahkan satu faktor baru, perang kolonial dengan segala akibatnya.
Tahun 1821 tidak saja merupakan titik tolak dan pangkal penanaman
kekuasaan Belanda di Minangkabau, tetapi juga sebagai permulaan ” Perang
Sumatera” guna menguasai seluruh Sumatera (1821 – 1908). Untuk
Minangkabau penanaman kekuasaan itu selesai dalam tahun 1845 dan bagi
Sumatera dengan ditaklukannya Aceh (1904) dan Tanah Batak Utara (1908).
Operasi-operasi militer yang bertujuan politik ekonomis menguasai
Minangkabau dapat kita bagi dalam periode-periode berikut:
1. 1821 – 1832 seluruh Minangkabau, kecuali Kubung XIII (daerah
Solok) jatuh ke tangan Belanda.
2. (Permulaan tahun) 1833 – (permulaan tahun) 1834, kaum adat dan
Padri bersatu menghadapi Belanda, Lembah Alahan Panjang
dibebaskan dari dominasi militer Belanda.
3. 1834 – 1837: Perang Bonjol, yang dapat dibagi menjadi:
a. Juni 1834 – Juni 1835, masa mendekati benteng Bonjol.
b. Juni 1835 – Agustus 1837, masa pengepungan dan
penaklukan benteng Bonjol.
4. 1837 – 1845, pembulatan kekuasaan Belanda di Minangkabau
dengan penaklukan Kubung XIII (daerah Solok) dan Muara Labuh,
diseling oleh perlawanan Regen Batipuh, Padang Panjang (1824)

3. Operasi-operasi Militer

a. Periode 1821 - 1832


Benteng Simawang merupakan pusat kegiatan militer dan politik
Belanda yang pertama di Alam Minangkabau. Sikap permusuhan ”tidak mau
kerjasama”, yang segera diperlihatkan oleh nagari-nagari disekitar benteng
itu, mendorong Belanda untuk mendemonstrasikan kemampuan militernya.
Sulit Air diserang (25 April 1821) dan mulailah konflik senjata yang pertama
di Alam Minangkabau dengan Belanda.
Serangan Belanda itu gagal, demikian pula serangan berikutnya dua
hari kemudian. ”Demonstrasi Militer” di Gunung dan simabur, Luhak Tanah
Datar, mengalami nasib yang sama (Agustus 1821).
Menjelang akhir tahun 1821 Letnan Kolonel Raff sampai di Padang
dengan membawa serdadu dan senjata lengkap dari Batavia, sebagai
”Komandan Teritorial di Suamatera Barat”. Mula-mula Raff bermaksud
menyerang Luhak Agam, tetapi setelah mempelajari situasi politik Alam
Minangkabau lebih teliti, Luhak Tanah Datar dijadikan objek pertama.
Keputusan itu didasarkan atas pertimbangan, bahwa jika Luhak Tanah Datar
sudah ditaklukan dan kekuasaan Tuanku Lintau dapat dipatahkan, kaum
Padri dari daerah lain akan tunduk dengan sendirinya.
Dengan Simawang Sebagai pangkalan, Pagaruyung diserang (4
Maret 1822). Kaum padri meninggalkan beka ibu kota kerajaan Minangkabau
itu setelah memberikan perlawanan yang gigih. Di sebuah bukit dekat
Pagaruyung Belanda mendirikan benteng ”Fort van der Capellen”, menurut
nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda ketika itu. itulah Batusangkar
sekarang.
Raaff merencanakan untuk langsung menyerang Lintau (17 Maret
1822). Dengan kekuatan militer yang besar Belanda berangkat ke Suroaso,
Tanjung Barulak dan Air Batumbuk, arah Timur laut dari Batusangkar. Nagari
Air Batumbuk dipisahkan oleh sebuah bukit dan daratan rendah dari nagari
Lintau. Antara bukit dan dataran rendah itu terdapat sebuah jalan kecil, diapit
oleh batu karang terjal. Kaum Padri memusatkan pertahanan mereka di jalan
kecil yang strategis itu. berkali-kali Belanda berusaha menerobos pertahanan
padri itu, tetapi selalu dipukul mundur dengan korban besar. Khawatir
dikepung oleh pasukan-pasukan Padri yang menyerang dari jurusan lain,
Raaff mengundurkan diri ke Suroaso.
Kemenangan Padri di Lintau menghentikan kegiatan-kegiatan militer
Belanda untuk sementara waktu. Antara bulan Maret dan Juni 1822 Belanda
memperkuat pertahanannya di Batusangkar. Disebelah Utara Pagaruyung
Belanda menemukan anak rantai yang lemah dari pertahanan kaum Padri
dan diserangnya (Juni 1822). Taktik Belanda ialah memecah kekuatan Padri
di Luhak Tanah Datar dengan membuat ”barrier”, hambatan antara bagian
Barat dengan bagian Timur, Lintau akan terisolir dan penyusupan kaum
Padri dari Luhak Agam dapat dicegah. ”Barrier” itu perlu pula untuk
membantu gerakan militer ke Luhak Lima Puluh Kota nanti. Titik terakhir dari
garis pertahanan kaum Padri ialah nagari Tanjung Alam antara Luhak Agam
dan Luhak 50-Kota. Tanjung Alam terpaksa dikosongkan oleh kaum Padri
dan garis pertahanan Belanda terbentang dari Simawang disebelah
Tenggara memanjang ke Timur Laut hingga Pagaruyung dan ke Utara
sampai ke Tanjung Alam. Serangan kaum Padri untuk merebut Tanjung
Alam kembali tidak berhasil (7 Juli 1822)
Sekalipun sudah berhasil membuat baji yang memisah daerah kuasa
kaum Padri dengan sesamanya, dalam waktu yang lama Belanda tidak
bernafsu untuk menyerang Lintau lagi. Segala usaha dipusatkan ke Luhak
Agam dengan menyerang dan menduduki Kota Lawas, Pandai Sikat dan
Gunung (Juli 1822). Tuanku Mansiangan, tokoh pimpinan Padri diLuhak
Agam, ditawan oleh Belanda.
Nagari Kapau dan Tilatang disebelah Utara Agam diserang oleh
Belanda (15 Agustus 1822). Kaum Padri memberikan perlawanan gigih
dengan ”sistim-kubu” yang kuat dan berhasil menggagalkan tiap-tiap
serangan Belanda, yang lalu mengundurkan diri dengan menderita banyak
korban.
Dalam bulan September 1822 kaum Padri melancarkan serangan
balasan cara serentak dan berhasil mengusir Belanda dari sungai Puar dan
Guguk Sigandang. Luhak Agam di lereng Gunung Merapi disebelah Barat,
Tunaku Mansiangan aktif kembali sebagai pemimpin kaum Padri Luhak
Agam. Dalam bulan Februari 1823 Belanda mendatangkan bantuan dari
Jawa dan bulan april berikutnya mereka mendatangkan serangan-serangan
kembali. Bukit Marapalam, antara Luhak Tanah Datar dan Luhak Lima Puluh
Kota diserang. Pertempuran hebat berlangsung selama tiga hari tiga malam
dan Belanda terpukul mundur (17 April 1823)
Dalam bulan Mei pasukan Tuanku Mansiangan bergerak kedaerah
Pesisir dengan maksud merebut Pariaman. Pada waktu yang sama Belanda
kembali menyerang Pandai Sikat. Serangan ke Pesisir dibatalkan dan
pasukan Padri kembali untuk mempertahankan Pandai Sikat. Setelah
melakukan pembunuhan massal di Biaro dan merebut nagari-nagari
disekeliling Gunung Merapi-Singgalang. Belanda berusaha merebut Pandai
Sikat, tetapi tidak berhasil.
Dalam bulan Januari 1824 tercapai kata sepakat antara pihak Belanda
dengan kaum Padri Alahan Panjang disebut ”Perjanjian Masang”. Sebulan
kemudian Belanda menyerang nagari Koto lawas di Luhak Batipuh (Padang
Panjang). Nagari Pandai Sikat terancam dan ditinggalkan oleh kaum Padri (1
Maret 1824)
Perjanjian Masang digunakan oleh Belanda sebagai ”tabir asap” guna
mengalihkan perhatian kaum Padri dari tujuan Belanda yang sebenarnya,
menghubungkan Luhak Tanah Datar dengan Batipuh dan Luhak Agam.
Antara tahun 1825 – 1830 tidak banyak terjadi peristiwa-peristiwa penting.
Belanda hanya bertahan di benteng-benteng mereka, karena segala daya
dan usaha dipusatkan ke Jawa yang sedang bergolak sebagai akibat perang
Diponegoro. Kaum Padri lalai menepat-gunakan kesempatan baik untuk
merebut kembali daerah-daerah Alam Minangkabau yang telah dikuasai oleh
Belanda. Dengan selesai Perang Diponegoro Belanda menumpahkan
kembali segala usaha dan daya militer mereka ke Minangkabau (1831).
Belanda merubah taktiknya dan berusaha menaklukan kaum Padri dan Alam
Minangkabau dengan jalan perundingan. Jalan kekerasan baru ditempuh,
apabila jalan diplomasi gagal. Ternyata kekerasanlah yang dilaksanakan,
karena diplomasi gagal. Perkembangan politik dan militer di Alam
Minangkabau hingga akhir tahun 1832 membawa akibat-akibat yang bagi
daerah itu. Pertahanan Padri satu demi satu jatuh. Bukit Marapalam jatuh
ketangan Belanda (Agustus 1831), Ketiangan, bandar ”supply” senjata Padri
didaerah Pasaman, dikuasai pula oleh musuh. Hilang Katiangan berarti
tertutup pintu bagi kaum Padri di Pesisir untuk memperoleh senjata dari
Singapura (Desember 1831). Nagari Kapau, lumbung padi dan benteng
Padri terkuat di Luhak Agam, jatuh dalam bulan April dan benteng Lintau
menyerah dalam bulan Agustus 1832. Ketika itu Tuanku Lintau sudah
meninggal dunia.
Mengikut nagari Kamang dan benteng Bansa, bukit pertahanan
Tuanku nan Renceh.
Kekalahan-kekalahan yang diderita kaum Padri di Luhak Tanah Datar
dan Luhak Agam mempunyai effek psikologis yang serius bagi moril kaum
Padri di Lembah Alahan Panjang. Disana terletak benteng Bonjol, pusat
pertahanan kaum Padri terpenting antara Luhak Agam, 50-Koto dan daerah
Pasaman (Lubuk Sikaping). Pada permulaan bulan September 1832
pertempuran-pertmpuran sengit berkobar di Luhak Agam antara Matur
danSungai Puar. Tentara Belanda bergerak dari ”Fort de Kock” benteng
Belanda terpenting di Luhak Agam, Bukittinggi sekarang. Pasukan lain
datang dari Pesisir dan dan kedus kesatuan itu bergabung di Simawang
Gadang. Belanda mengirimkan ultimatum kepada Bonjol untuk menyerah,
yang menimbulkan perpecahan dikalangan kaum Padri. Golongan yang
sudah jemu berperang ingin berdamai. Belanda memperoleh kemenangan
moril besar dengan iltiamtum mereka, yang segera disusul oleh kemenangan
fisik. Nagari benteng Bonjol menyerah tanpa perlawanan (21 September
1832). Dengan Bonjol sebagai markas, Belanda menaklukan Rao dan
Sundatar di daerah Pasaman (Oktober), Luhak L-Kota segera pula menyerah
(Desember 1832).
Dengan dikuasai Luhak Agam (April 1832), nagari benteng Bonjol
(September 1832) dan Luhak L-Kota (Oktober 1832), sebagian besar daerah
Minangkabau kecuali Kubung-XIII (Solok), telah dikuasai oleh Belanda.
Tahap pertama dari ”Perang Padri” sebagai permulaan dari ”Perang
Sumatera”, selesai sudah.

b. Permulaan tahun 1833 – permulaan tahun 1834.

Dengan kekalahan kaum Padri pada akhir tahun 1832, penaklukan


sebagian besar dari wilayah Minangkabau secara militer sudah selesai.
”Follow-up” dari penaklukan dengan kekerasan senjata ternyata jauh lebih
sulit, sebab menyangkut soal-soal-psikologis manusia dan wataknya.
Pendudukan nagari benteng Bonjol diiringi dengan perubahan sistim
pemerintahan. Administrasi pemerintahan padri dihapus. Di Bonjol diangkat
seorang ”regen” yang diserahi pimpinan pemerintahan seluruh Lembah
Alahan Panjang. Dalam perjanjian yang dibuat dengan pihak Padri waktu
Belanda akan memasuki nagari Bonjol, tercapai kata sepakat, tentara
Belanda akan ditempatkan pada daerah tertentu, yaitu di Medan Saba.
Belanda berjanji akan menghormati agama dan adat penduduk. Ternyata
kemudian Belanda sebagai pihak yang menang perang, melanggar segala
janji itu. Tentara Belanda menempati mesjid-mesjid, langgar dan rumah-
rumah penduduk, yang penghuninya diusir keluar. Mengasramakan tentara
”kafir” dalam mesjid dan langgar sebagai tempat ibadah penduduk yang
umumnya beragama Islam, sangat melukai rasa keagamaan mereka.
Disamping itu penduduk dipaksa pula melakukan pekerjaan-pekerjaan yang
dianggap sebagai penghinaan harkat mereka seperti manusai merdeka yang
tahu harga diri. Mereka dipaksa membersihkan tempat-tempat kediaman
tentara-tentara kafir itu. tindakan tentara Belanda itu memberikan kesadaran
kepada rakyat, bagaimana pahitnya nasib mereka yang kalah perang. Kedua
golongan yang berbeda faham waktu menerima ultimatum Belanda,
dipertemukan oleh penderitaan yang sama. Didaerah-daerah lainpun rasa
tidak puas, dipupuk oleh sikap dan tindakan-tindakan Belanda, meluas dan
berkembang biak. Didaerah-daerah dimana golongan adat merupakan
Mayoritas, rasa tidak puas berkembang luas sebagai akibat dari peraturan-
peratuan pajak, yang dianggap sangat mengikat dan berat. Mereka dipaksa
pula melakukan kerja rodi, dilarang menyabung ayam dan sebagainya.
Peraturan cukai pasar dan menyabung ayam, diterbitkan oleh Belanda dalam
tahun 1825, dan dipagangkan kepada orang Cina, sangat melukai hati
penduduk. Pada umumnya orang Cina itu bersikap sombong dan keras,
karena itu sering diburu oleh penduduk untuk membalas dendam. Disamping
itu rasa tidak puas meluas pula dikalangan penghulu-penghulu yang dulu
banyak membantu Belanda, tetapi kini merasa dilupakan
Di seluruh Minangkabau ketika itu merata rasa tidak puas, walaupun
motifnya berbeda-beda. Maka saling mendekatilah kaum Padri dengan
golongan penghulu, golongan agama dan adat yang bertentangan selama
ini. Dikubur-dilupakan pangkal perselisihan pada masa yang lalu. Kedua
golongan mengadakan pertemuan rahasia dilereng gunung Tandikat,
Padang Panjang. Tercapai kata bulat untuk bersama-sama mengusir
Belanda dari Minangkabau. Aksi bersama itu akan dilancarkan serentak
pada tanggal 11 Januari 1833, hingga Belanda akan kewalahan
menghadapinya.
Penulis Belanda tidak pernah menyinggung pertemuan itu menurut
proporsi yang sebenarnya. Mereka mengganggap kebulatan tekad
pemimpin-pemimpin Minangkabau itu sekedar usaha untuk melawan
kekuasaan yang sah, yaitu pemerintahan Hindia Belanda. Inti sebenarnya
dari ”persetujuan Tandikat”, reaksi segenap penduduk Minangkabau untuk
mempertahankan harkat hisup sebagai manusia merdeka, tidak pernah
terlintas dalam pikiran pemulis-penulis Belanda itu. reaksi itu dilahirkan oleh
kecerobohan-kecerobohan Belanda sendiri.
Sesuai dengan rencana bersama, pada tanggal 11 Januari 1833
tengah malam serangan-serangan serentak dilancarkan pada seluru pos
Belanda di Minangkabau. Dua puluh orang hulubalang dibawah pimpinan
Raja Layang dan Tuanku nan Garang memasuki mesjid Bonjol dan
membunuh tentara Belanda yang diasramakan ditempat ibadah itu. Di
Simawang Gadang 9 orang termasuk komandan pasukannya tewas.
Secara kebetulan Komandan tentara Belanda untuk Alam
Minangkabau, Letnan Kolonel Vermeulen-Krieger, sedang berada di
Sipisang dekat Bonjol. Ia bertahan disana sampai datang bantuan yang
dimintanya dari Batusangkar dan Padang. Utusan yang dikirimnya tidak
mampu menerobos cegatan rakyat dan kembali ke Sipisang. Karena tidak
mungkin bertahan lebih lama, Krieger memutuskan untuk mengundurkan diri
ke Bukittinggi. Dengan melalui VII-Lurah yang berhutan lebat, tidak pula
bebas dari serangan-serangan penduduk nagari-nagari yang dilaluinya,
akhirnya Krieger sampai juga di benteng Bukit Kuririk dekat Bukittinggi,
dengan mengorbankan sebanyak 71 orang tentara Belanda.
Perlawanan penduduk berkobar pula dinagari-nagari Tarantang
Tunggang, Lubuk Ambalau dan Rao. Di seluruh Lembah Alahan Panjang
142 orang tentara Belanda menemui ajal mereka.
Ditinjau secara keseluruhan, pertemuan Tandikat tidak dapat
direalisasikan sepenuhnya. Di Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam
perlawanan serentak tidak dapat dicetuskan, karena rencana itu bocor dan
diketahui oleh Belanda sebelumnya. Surat Tuanku Alam di Koto Tuo Luhak
Agam ditujukan kepada pemimpin-pemimpin lain, jatuh ketangan Belanda.
Mereka mengadakan penangkapan-penangkapan secara membabi buta.
Tuanku Nan Cerdik dan Sentot Ali Basya, panglima perang Diponegoro yang
brilian dan dikirim dengan barisannya ke Minangkabau untuk memerangi
kaum Padri (1831), di ”salurkan” ke Batavia. Tuanku Alam mengalami nasib
malang, ia dibunuh di Biaro.
Sungguhpun demikian halnya, belanda tidak mampu memadamkan
api perlawanan sama sekali. Dalam bulan Juni 1833 penduduk Buo
menyerang Belanda, di Tambangan dan Guguk Sigandang dihancurkan oleh
rakyat. Dalam bulan Juli berikutnya perlawanan bersenjata berkobar di
Kamang dan sekitar Bukittinggi. Sebagai balas dendam atas kekalahan di
Guguk Sigandang. Belanda mengantung mati 15 orang penghulu dan
pemimpin-pemimpin yang mereka curigai, diantaranya Tuanku Mansiangan
(29 Juli 1833)
Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam dikuasai oleh Belanda dan kaum
Padri di Lembah Alahan Panjang dengan Bonjol sebagai pusatnya terisolir
(Juli 1833). Belanda menjadikan kedua Luhak tersenut sebagai daerah
”supply” dan basisi untuk menyerang Bonjol kembali. Peristiwa 11 Januari
1833 mempunyai arti yang penting dalam sejarah Minangkabau dalam
rangka menentang penjajahan Belanda. Pukulan yang fatal justru diterima
oleh Belanda didaerah, dimana mereka menanamkan kekuasaan tanpa
pertumpahan darah setetes juga pun. Kekalahan Vermeulen-Krieger di
Sipasang berarti, kembali ketangan rakyat daerah-daerah strategis antara
Sipasang dengan Bukittinggi. Didaerah ini terletak nagari-nagari Pantar dan
Matur, yang dalam perjuangan selanjutnya akan memainkan peranan
penting. Belanda menyadari, bahwa pusat perlawanan rakyat sesungguhnya
ialah Bonjol, tetapi mereka tidak berani langsung menyerang nagari-benteng
itu. mulai dari kekalahan di Sipasang sampai bulan September 1833 Belanda
mengadakan persiapan-persiapan perang besar-besaran. Mereka
memperkuat kedudukan mereka didaerah-daerah dimana perlawanan rakyat
tidak sempat meletus, berusaha kembali mendekati golongan adat,
mengisolir Bonjol, ekonomis maupun teritorial dan mendatangkan bantuan
militer dan senjata baru dari Jawa.
Proses persiapan itu berlangsung lama dan untuk mengadakan
koordinasi yang sebaik mungkin, Pemerintah Hindia Belanda mengutus
Komisaris Jenderal van den Bosch ke Minangkabau Pengiriman seorang
pejabat tinggi seperti van den Bosch didasarkan atas pertimbangan politik-
ekonomi, bahwa situasi Minangkabau pada saat itu sangat gawat bagi
Belanda. Van den Bosch sampai di Padang pada tanggal 23 Agustus 1833
dengan keyakinan, ia akan dapat mematahkan perlawanan rakyat
Minangkabau dengan mudah dan dalam waktu yang singkat.
Tuanku Imam Bonjol tidak pula tinggal diam dan meningkatkan
kegiatan-kegiatan perang. Pada tiap-tiap pintu masuk ke Lembah Alahan
Panjang ditempatkan pasukan pengawal yang kuat. Sipasang dikawal oleh
barisan Datuk Bagindo Kali, Datuk Bandaharo dan Datuk Bandaharo Langit
menjaga jalan ke Suliki (50-Koto).
Pasukan Datuk Sati ditempatkan di Kampung Gadang pada jalan ke
Rao. Selain dari itu pertahanan di benteng alam bukit Tajadi disempurnakan.
Van den Bosch memutuskan untuk menyerang Bonjol pada tanggal
10 September 1833 dan sudah harus diduduki pada tanggal 16 bulan itu
juga. Pasukan Belanda dibagi menjadi tiga kesatuan komando, yaitu:
a. Yang digerakkan dari jurusan Bukittinggi, dipimpin oleh van den Bosch
sendiri dengan tugas merebut nagari-nagari Pantar dan Matur guna
membuka jalan ke Bonjol.
b. Yang mendaki dari Pariaman ke Menggopoh di bawah pimpinan Elout
dan
c. Yang didatangkan dari Tapanuli Selatan dan Rao dibawah komandan
Mayor Eilers.
Bonjol akan diserang dan dikepung dari tiga jurusan sekaligus.
Pasukan yang dipimpin oleh van den Bosch diperintahkan untuk merebut
pertahanan diseberang Lurah Pantar dan berhasil menduduki beberapa buah
kubu kecil, tetapi kemajuannya terhalang. Mereka kemudian menyeret
beberapa buah meriam kedalam lurah, tetapi dihujani oleh penduduk dengan
tembakan-tembakan gencar dari segala penjuru. Melihat pasukannya
terkepung, van den Bosch memerintahkan Elout menyerang Matur. Ia tidak
dapat melaksanakan perintah itu, karena harus melindungi pasukan-pasukan
yang bergerak dari jurusan Utara. Pasukan Elout sendiri mengalami nasib
sial, karena dikepung oleh rakyat. Hanya dengan susah payah ia berhasil
menyelamatkan diri ke Tiku dengan meninggalkan koraban banyak
disepanjang jalan. Peristiwa-peristiwa tersebut sangat mengecewakan van
den Bosch. Ia mengundurkan diri ke Bukittinggi dengan mengorbankan 60
orang tentara (2 Oktober 1833).
Pasukan Mayor Eilers, diperkuat dengan kesatuan-kesatuan dari
Natal dan Rao, berhasil mencapai Lubuk Sikaping dan esok harinya
mendekati Bonjol (18 September 1833). Sungguhpun sudah jauh terlambat
dari tanggal yang ditentukan, (16 September). Eilers tidak menerima berita
dari pasukan-pasukan lain. Ia mulai menderita kekurangan makanan dan
amunisi. Penderitaan ditambah lagi dengan serangan rakyat yang terus
menerus. Tidak ada jalan selain mengundurkan diri. Sebelum itu
dilaksanakan pada sore hari tanggal 19 September rakyat serentak
menyerang pasukan Eilers. Lebih dari 20 orang tentara Belanda tewas.
Lapar dan putus asa, akhirnya pasukan itu sampai kembali di Rao (23
September 1833).
Rencana untuk menduduki Bonjol menjadi berantakan. Van den
Bosch berangkat ke Padang (3 Oktober) dan sebelum melanjutkan
perjalanan ke Jakarta, ia mengadakan perundingan dengan pejabat-pejabat
tinggi Belanda di Sumatera Barat. Diangkatnya 2 orang komisaris buat
Minangkabau, yang bertugas mengalihkan operasi militer kebidang
diplomasi. Pada tangal 25 Oktober 1833 diumumkanlah yang disebut oleh
masyarakat Minangkabau ”Plakat Panjang”.

c. Periode 1834 – 1837 (Perang Bonjol)


Periode Perang Bonjol dimulai dengan serangan ke Pantar dan Matur
(Juni 1834) dan berakhir dengan jatuh benteng Bonjol (17 Agustus 1837).
Periode ini dapat kita nagi atas:
1. masa mendekati Bonjol (Juni 1834 – Juni 1835) dan
2. masa pengepungan dan penaklukan Bonjol (Juni 1835 – Agustus
1837).
1. Masa mendekati Bonjol (Juni 1834 – Juni 1835)

Karena menemui kegagalan dibidang militer, Belanda mengalihkan


aktivitas mereka dibidang diplomasi. Taktik itu mereka tempuh untuk
memperoleh ”adem pauze”, tarik nafas yang cukup lama guna menyusun
kembali kekuatan militer.
”Plakat Panjang” yang diumumkan pada tanggal 25 Oktober 1833
ialah hasil dari usaha kejurusan itu. serta merta dengan diumumkan Plakat
Panjang, kaum Padri menghentikan segala kegiatan perang mereka. Kubu-
kubu pertahanan banyak yang ditinggalkan, dibeberapa tempat bahkan ada
yang dirusak. Belanda hanya menghentikan serangan-serangan mereka,
tetapi persiapan untuk suatu ketika melanjutkan perang diteruskan. Dengan
Plakat Panjang Belanda berhasil mencapai tujuannya, kaum padri menyia-
yiakan waktu dan menutup pintu bagi kemenangan.
Selama tujuh bulan Belanda mengadakan persiapan-persiapan
perang, selama itu pula kaum Padri mengendorkan kewaspadaan dan
mengabaikan pertahanan mereka. Pada tengah malam buta antara tanggal 3
dan 4 Juni 1834 Pantar dan Matur tiba-tiba diserang dan diduduki. Serangan
yang sekonyong-konyong dalam masa damai itu merupakan pukulan
psikologis yang hebat bagi kaum padri. Mereka kalang kabut, kubu-kubu
pertahanan banyak yang sudah tidak dapat dipakai lagi. Tetapi semangat
tempur mereka berkobar kembali, sekalipun tidak sehebat seperti dalam
bulan September 1833.
Jatuh kedua tempat yang militer-strategis penting itu berarti kemajuan
besar bagi operasi militer Belanda. Hubungan Maninjau – Agam terputus.
Andalas, benteng padri yang kuat, jatuh pula ketangan musuh dan pada
tanggal 4 Juni 1834, Nagari Sungai Puar di Luhak Agam menyerah. Bamban
dikuasai, setelah pertempuran sengit dan dijadikan pusat pembengkalan dan
gudang senjata.
Dengan Bamban ditangan Belanda, situasi medan perang berubah.
Jarak pos militer Belanda dengan pertahanan Padri terdepan di Sipisang
hanya 9 km. Belanda melakukan tekanan –tekanan militer yang lebih berat
pada pos-pos pertahanan Padri, yang lapangan geraknya bertambah sempit.
Putus hubungan dengan Maninjau melenyapkan kemungkinan bagi kaum
Padri untuk mengadakan koordinasi dan melakukan operasi bersama. Kaum
Padri memperkuat pertahanan benteng Bonjol sambil berusaha keras
menghalang-halangi gerakan militer Belanda dari Bamban keseberang
batang Masang. Kaum Padri dri Pantar dan Matur mengkonsentarasikan
daya tempur mereka diseberang B. Masang dan mengancam komunikasi
Belanda. Pertahanan kubu Sipasang diperkokoh oleh kaum Padri dengan
membangun kubu-kubu antara Tarantang Tunggang dengan B. Masang.
Tentara Belanda tertahan di Bamban selama 10 bulan.
Menyangka pertahanan kaum Padri diseberang B. Masang sangat
kuat, Belanda khawatir melancarkan serangan. Selama 10 bulan tertahan di
Bamban mereka bersikap defensif, mendatangkan bantuan dari Luhak Agam
(Fort de Kock – Bukittinggi) dan L-Kota, merebut nagari-nagari disekitar
Lubuk Basung dan Maninjau untuk menghindarkan serangan-serangan dari
belakang.
Pasukan ”Matur dan Bamban” mengadakan ”doorbraak”, gempuran ke
Sipasang. Setelah berhasil menyeberangi B. Masang, ”Kesatuan Matur”
mengambil jalan hutan untuk menghindarkan serangan kaum Padri dari VII
Lurah. Pada tanggal 23 April 1835 Batu Sari dikuasai dan jalan ke Sipasang
terbuka bagi Belanda. Di Sipasang mereka menemui perlawanan sengit dan
setelah bertempur selama 3 hari, kubu Siapasang jatuh ketangan Belanda.
Kaum Padri mengundurkan diri ke hutan-hutan dan melancarkan perang
gerilya. Pasukan Artileri Belanda dirempatkan di Sipasang dan kubu-kubu
pertahanan baru dibangun.
Dari Sipasang Belanda melakukan ”gerakan kakak tua”. Satu
kesatuan menuju ke Padang Sarai dan kesatun lain kejurusan Simawang
Gadang. Jalan ke Padang Sarai dipukul cerai-berai di tepi sungai Kumpulan
dan yang menuju ke Simawang Gadang datang membantu untuk
menghindarkan kesatuan yang pertama dari kehancuran total.
Kubu kaum Padri diseberang Air Taras menjadi medan tempur sengit
pula. Korban berjatuhan pada kedua belah pihak (3 Mei 1835),
Pasukan ”Luhak L-kota” bergerak ke Suliki (21 April). Dengan
melewati nagari Koto Tinggi, yang selama zaman ”Revolusi Fisik”
memainkan peranan penting sebagai tempat kedudukan ”Pemerintah
Darurat Republik Indonesia” (PDRI) antara 21 Desember 1949 – 14 Juli
1950, pasukan itu sampai di kampung Lalang. Maksudnya untuk menerobos
ke nagari Bonjol dan bergabung dengan ”Kesatuan Matur”. Baru saja
meninggalakan Lalang, pasukan ”Luhak L-kota” dikepung dan dihujani
tembakanoleh kaum Padri dari segala jurusan. Pasukan itu tidak berhasil
menerobos kepungan kaum Padri dan dengan susah payah mundur kembali
ke Suliki memalui Puar Datar.
Pasukan ”Tapanuli” hanya berhasil mencapai Rao, tetapi dipukul
mundur dan terpaksa kembali.
Lembah dari tepi sebelah kiri Alahan Panjang hingga ke Musuh yang
letaknya kira-kira 1 km disebelah Selatan nagari Bonjol, merupakan
pertahanan kaum Padri yang penting. Pusatnya, Padang Lawas, didekati
oleh Belanda dari dua jurusan (8 Juni 1835). Sebagian secara diam-diam
berhasil menyusup kebelakang koto Padang lawas. Kaum Padri,
menghadapi serangan dari dua jurusan sekaligus, menghindarkan diri dari
”jepitan kakak tua” dengan memberikan perlawanan yang gigih. Lembah
Padang Lawas ditinggalkan.
Dengan dikuasai lembah penting itu oleh Belanda, pintu gerbang
Bonjol disebelah Selatan berada ditangan musuh. Ruang gerak kaum Padri
di Bonjol makin dipersempit dan diperketat oleh Belanda (Juni 1835).

2. Dikepung dan ditaklukan (1835 – 1837)


Bertambah dekat kebenteng Bonjol, bertambah lamban kemajuan
Belanda dan lebih banyak korban jatuh pada kedua belah pihak. Belanda
memagari Bonjol dengan kubu-kubu dan perang menjadi ”perang kubu”,
”stelling-oorlog”. Perang yang lamban itu sangat harus siap siaga setiap saat.
Hampir putus asa, mereka berusaha menempuh jalan perundingan dengan
Tuanku Imam. Usaha itu tiadak pernah beliau hiraukan.
Bagi kaum Padri sendiri periode antara tahun 1835 – 1837 itu ialah
yang paling ketat. Mereka semakin terisolir dan melawan Belanda mati-
matian untuk dapat terus hidup. Dalam masa serba genting yang
menentukan nasib kaum Padri di Minangkabau itu. tuanku Imam Bonjol
memainkan peranan sangat penting. Beliau menjadi gunung harapan dan
lambang perjuangan kaum Padri.
Sejak lambah Padang Lawas dikuasai oleh Belanda, mereka
berangsur maju setapak demi setapak. Pada tanggal 14 Juni 1835 mereka
berhasil menyeberangi B. Alahan Panjang pada tempat yang dangkal, tetapi
tidak melancarkan serangan. Tembakan-tembakan dari kubu kaum Padri
tidak mereka balas. Dengan menyusuri sungai mereka bergerak kearah
Utara dan menduduki sebuah kampung yang kebetulan kosong. Kontak
senjata yang kemudian terjadi, mengakibatkan serangan Belanda secara
besar-besaran dan beberapa buah kubu jatuh ketangan mereka. Mereka
membangun sebuah kubu yang berdekatan dengan benteng Bonjol.
Pertempuran berlangsung selama lima hari dan meminta korban lebih kurang
100 orang Belanda. Sungguhpun demikian Belanda berhasil memajukan
posisi mereka dengan menggunakan artileri berat hingga kira-kira 100 m dari
benteng Bonjol. Mereka bertahan dalam kubu yang sempat dibangun. Usaha
Kaum Padri menghalau mereka dari kubu itu tidak berhasil.
Disebelah Barat-Laut Bonjol di tepi Sungai Alahan Panjang letak
berdekatan koto (benteng) Koto dan koto Jambak. Untuk menyempurnakan
kepungan Bonjol dari arah Utara (Lubuk Sikaping), Belanda menyerang dan
berhasil menduduki kedua koto itu. Kontra offensif dilakukan cara gigih dan
terus menerus oleh kaum Padri, mendesak Belanda dari kubu itu dengan
meninggalkan korban banyak.
Kemenangan di Jambak dan Koto itu membangkitkan rasa optimisme
besar dikalangan Padri, tersiar luas didaerah-daerah lain yang sarta-merta
mengirimkan bala bantuan ke Bonjol. Mereka yang dulu memihak kepada
Belanda, ada yang menyatakan kesediaan untuk membantu Tuanku Imam.
Kekalahan di Jambak dan Koto menimbulkan kelesuan dipihak
Belanda, karena banyak menelan korban. Selama tiga minggu Belanda
bertahan dalam kubu mereka, menantikan bala bantuan dari Air Bangis.
Mereka menyerang dan menduduki Alahan Mati untuk memutuskan
hubungan Bonjol dengan Pesisir (12 Juli 1835). Operasi selanjutnya
diarahkan ke Lubuk Ambacang dengan maksud menghubungkan Alahan
Mati dengan markas di Lembah Alahan Panjang. Lubuk Ambacang mereka
kuasai setelah tiga hari bertemput dan meminta korban tidak sedikit.
Setelah Lubuk Ambacang, Bonjol Hitam disebelah Utara diserang dan
diduduki, yang sangat merugikan kaum Padri. Bonjol Hitam daerah
persawahan dan gudang makanan bagi kaum Padri.
Dalam bulan Agustus 1835 makin banyak tentara Belanda mengalir ke
Bonjol, yang sudah berjumlah tidak kurang dari 14 ribu orang. Berbeda
dengan Belanda, kaum Padri tidak dapat mengharpakan bantuan tenaga
manusia dalam jumlah yang besar.
Disebelah Selatan Bonjol ada sebuah bukit tinggi dan terjal, terpisah
dari bukit Tajadi oleh sebuah lembah. Dibukit itu kaun Padri mendirikan kubu
pertahanan. Untuk merebut Bukit Tajadi, Belanda harus menguasai
pertahanan padri itu terlebih dahulu. Setelah selama 10 hari kedua belah
pihak terlibat dalam pertempuran sengit memperebutkan kubu bukit itu, baru
Belanda dapat mendudukinya. Benteng Bukit Tajadi terancam. Belanda
membuka jalan kearah Timur (L-Kota) untuk bergabung dengan pasukan
yang datang dari luhak itu, tetapi tidak dapat menerobos pertahanan kaum
Padri, pasukan bantuan dari Luhak L-Kota dipukul dikota Talang dan mundur
kembali ke puar Datar.
Disebelah Tenggara nagari Bonjol terletak kota Padang Bubus, pada
”jalan kuda” ke Lalang, Puar Datar dan Payakumbuh. Padang Bubus
diserang oleh Belanda dengan tujuan menjepit Bonjol dari arah Tanggara (4
September 1835). Serangan dilancarkan dari dua jurusan sekaligus tetapi
dapat dilumpuhkan oleh kaum Padri.
Akibat kekalahan yang sering diderita, semangat tempur tentara
Belanda mulai luntur. Sementara menunggu bala bantuan baru mereka
memperkuat kubu-kubu.
Pimpinan tentara Belanda silih berganti, tetapi perlawanan kaum Padri
di Bonjol tetap tidak terpatahkan. Akibatnya moril dan daya tempur tentara
Belanda semakin merosot.
Mengetahui kelemahan-kelemahan lawannya, kaum Padri mengambil
inisiatif dengan meningkatkan offensif mereka. Hubungan Bonjol dengan
daerah sebelah Selatannya tidak pernah sepi dari serangan-serangan kaum
Padri.
Hingga bulan Januari 1836, setelah sepuluh bulan mengepung
benteng dan nagri Bonjol, Belanda baru dapat mengusai bagian Selatan,
Barat-Laut Bonjol dan beberapa kubu disekitar benten Bonjol. Benteng dan
Nagari Bonjol sendiri belum terdekati oleh tentara Belanda. Mereka berhasil
memperketat jepitannya, hingga hubungan Bonjol dengan dunia luar
berangsur-angsur terputus. Pada awal tahun 1836 garis pertahanan Belanda
sepanjang 5 km dan jumlah tentaranya lebih kurang 1.3000 orang, tidak
terhitung orang Indonesia dan pasukan-pasukan bantuan bukan orang
Belanda.
Satu-satunya hubungan Bonjol dengan dunia luar ialah ”jalan kuda” ke
Luhak L-Kota, yang tetap tidak dapt ditutup oleh Belanda, walaupun telah
dua kali diforsirnya. Hubungan Belanda dengan Pesisir (Padang) melalui laut
ke Natal dan dari sana ke Rao. Jalan itu sangat panjang dan tidak pula
aman, karena penduduk Rao dan Lubuk Sikaping menunjukkan sikap
bermusuhan dengan Belanda.
Simpati rakyat Alam Minangkabau kian lama kian besar pada
perjuangan heroik kaum Padri di Bonjol. Mereka tidak mau lagi dipaksa
membantu Belanda. Sikap permusuhan itu dikobarkan oleh kaum ulama,
diantaranya Haji Ismail di Lintau.
Residen Belanda di Padang mengirim surat kepada Tuanku Imam
Bonjol, mengajak beliau berunding.
Tuanku Imam Bonjol bersedia memenuhi undangan itu syarat, jalan
dari Bukittinggi ke Rao tidak boleh melalui Bonjol, rakyat Bonjol dibebaskan
dari kerja rodi membuat jalan dan nagari-nagari disekitar tetap bebas dari
segala campur tangan Belanda.
Akhirnya tercapai kata sepakat untuk mengadakan gencatan senjata
buat sementara waktu.
Tentara Belanda didekat Bonjol berada dalam posisi yang sangat sulit,
karena maju tidak dapat dan mundurpun tidak mungkin. Untuk memperbaiki
posisi tentaranya,k panglima teritorial Sumatera Barat dan Tapanuli tiba-tiba
memerintahkan menyerang Bonjol kembali (akhir Nopember 1836). Meriam-
meriam Belanda memuntahkan pelurunya kebenteng Bonjol dan Bukit
Tajadi. Mesjid buatan Belanda diluar benteng Bonjol terbakar. Kebakaran
berkobar pula didalam benteng Bonjol.
Dinihari jam 3 malam sepasukan militer musuh berhasil menyusup
kedalam benteng Bonjol melalui lobang akibat tembakan-tembakan meriam
Belanda dan langsung menuju kerumah Isteri Tuanku Imam (3 Desember
1836). Kaum wanita dirumah itu diseret semuanya keluar. Satu-satunya pria,
Mahmud, putera bungsu Tuanku Imam, gugur. Tuanku Imam yang malam itu
tidur dirumah lain, datang dan segera terlibat dalam perkelahian sengit.
Tentara Belanda melarikan diri keluar benteng, dikejar oleh Tuanku Imam
dengan pedang berkilat ditangan. Nyaris beliau tewas, sekiranya tidak cepat
menangkis tusukan bayonet seorang tentara Belanda. Waktu itu Tuanku
Imam sudah berumur 63 tahun.
Kecewa menghadapi kegagalan untuk membunuh Tuanku Imam.
Belanda menyerang lagi dengan kekuatan yang besar melalui lobang dinding
benteng yang belum sempat ditutup oleh kaum Padri. Ketika tiba-tiba
menghadapi kaum Padri yang berpakaian serba putih dalam jumlah yang
besar, pasukan Belanda yang berada di depan, tertegun. Yang ada
dibelakang serta merta melepaskan tembakan-tembakan gencar, segera
dibalas oleh kaum Padri dengan tindakan yang sama. Tentara yang didepan
menjadi umpan peluru kedua belah pihak. Kacau balau timbul dan tentara
Belanda mundur dengan banyak meninggalkan korban.
Kekalahan Belanda yang bertubi-tubi itu mempunyai akibat luas.
Perdebatan sengit terjadi dikalangan pimpinan tinggi di Batavia. Ada yang
menyangsikan kesanggupan tentaranya di Minangkabau untuk
menyelesaikan Perang Padri dengan cara terhormat.
Menteri Jajahan menyatakan sebagai kekuatirannya, akibat kekalahan
tentara Belanda di Bonjol itu, penduduk daerah Sumatera Barat akan
bertukar haluan dan mungkin mengangkat senjata melawan Belanda. Perang
Bonjol harus segera dihentikan, karena menyangkut prestise Pemerintah di
Hindia Belanda maupun diseluruh dunia. Perlawanan gagah berani dari
Tuanku Imam dan kaum Padrinya mempunyai segi politik internasional yang
tidak menguntungkan bagi Pemerintah Belanda ketika itu.
Panglima tentara Hindia Belanda sendiri memerlukan datang ke
Padang dan Bonjol guna mengadakan pengamatan ”on the spot” (9 Maret –
12 April 1837).
Disamping menyempurnakan pertahanan, persenjataan, perbekalan
dan perhubungan, pasukan-pasukan di Bonjol dengan daerah-daerah lain,
kembali ia mengajak Tuanku Imam untuk berunding. Sungguhpun keadaan
kaum Padri ketika itu tidak menggembirakan, ajakan itu oleh Tuanku imam
ditolak.
Pada tanggal 28 Juni 1837 Padang Bubus dan kemudian Tanjung
Bunga jatuh ketangan Belanda. Pada tanggal 3 Juli berikutnya pertempuran
sengit terjadi disebuah bukit disebelah selatan Bonjol. Dari bukit itu meriam-
meriam Belanda tidak henti-hentinya mengempur Bukit Tajadi.
Tentara Belanda menggali parit-parit tempat berlindung sebelum
serangan dilancarkan. Kaum Padri memindahkan aliran sungai dan
menggenangi parit-parit itu.
Dari hari kehari pengepungan benteng Bonjol semakin ketat. Dibawah
lindungan tembakan-tembakan meriamnya, Belanda berhasil membuat kubu
yang hanya 25 meter jauhnya dari dinding benteng Bonjol (31 Juli 1837).
Seminggu lamanya tidak henti-hentinya meriam-meriam Belanda menghujani
benteng Bonjol.
Hubungan kaum padri dalam benteng dengan dunia luar hampir
terputus sama sekali. Satu-satunya jalan yang terbuka ialah kejurusan Utara
ke Koto Marapak. Belanda telah menduduki bukit di sebelah Timur Bukit
Tajadi dan segala kegiatan kaum Padri dapat diawasi dari bukit itu. bantuan
dari luar, senjata maupun makanan, praktis tidak dapat diharapkan lagi oleh
Tuanku Imam. Kaum wanita dan anak-anak mulai diungsikan keluar benteng,
dibawa ke koto Marapak.
Bukit Tajadi disebelah Timur terpisah dari benteng Bonjol oleh sebuah
anak sungai yang dangkal. Dinding bukit itu sangat curam dan tingginya kira-
kira 20 meter. Diatas bukit itulah kaum Padri mendirikan kubu-kubu
pertahanan, diperkuat dengan meriam-meriam besar. Pada beberapa tempat
ada lobang pengintaian. Dari lobang-lobang itu benteng Bonjol dan dataran
dibawahnya dapat dilihat dengan mudah. Dari ujung sebelah Tenggara
membentang sebuah lembah dalam sampai ke Sipasang.
Akibat muntahan peluru meriam-meriam Belanda selama minggu
pertama bulan Agustus 1837, benteng Bonjol rusak hebat.
Belanda memusatkan segala serangan untuk merebut bukit Tajadi
guna membungkamkan meriam-meriam Padri yang sangat mengganggu
kemajuan pasukan infanteri mereka. Sebagai pancingan Belanda melakukan
gerakan-gerakan tentara yang hebat disebelah Barat dan Selatan Bonjol.
Perhatian kaum Pardri dicurahkan sepenuhnya pada gerakan-gerakan itu.
Sebagian pasukan Padri dipindahkan dari Bukit Tajadi kedalam benteng
Bonjol guna menghadapi serbuan Belanda.
Pasukan Belanda yang ada di Sikaping diperintahkan untuk bergerak
melalui lembah yang bersanbungan dengan Bukit Tajadi. Tembakan-
tembakan gencar dari sebelah Selatan dan Barat Bonjol terus dilakukan,
guna menambatkan perhatian kaum Padri dibenteng Bonjol maupun di bukit
Tajadi.
Pada tanggal 15 Agustus 1837 meriam Padri masih menembak dari
Bukit Tajadi. Itulah tembakan terakhir. Pada malam harinya pasukan Belanda
dari Sipasang sudah sampai kedalam benteng dan tiba-tiba menyergap
kaum Padri dari belakang. Serbuan yang tidak diduga-duga itu mengagetkan
dan melumpuhkan seketika semangat juang kaum Padri. Memberikan
perlawanan terus sia-sia. Bukit Tajadi ditinggalkan melalui jalan Utara.
Dengan jatuh Bukit Tajadi benteng Bonjol jadi lumpuh. Pagi-pagi
tanggal 16 Agustus 1837 pasukan Belanda dari bukit Tajadi bergerak dengan
sangat hati-hati mendekati benteng Bonjol. Kesangsian masih meliputi hati
mereka, khawatir menghadapi perlawanan mati-matian kaum Padri. Gerakan
tentara Belanda itu memang dihalang-halangi oleh tembakan-tembakan
kaum Padri dari Pincuran Tujuh, tetapi sudah tidak mampu merintangi
kemajuan lawan. Tentara Belanda memasuki benteng Bonjol dari Pintu
gerbang Timur bergabung didalam benteng dengan pasukan-pasukan yang
masuk dari jurusan Barat dan Selatan. Benteng kaum padri terakhir di Bonjol
jatuh ketangan Belanda (16 Agustus 1837)
Secara resmi perang fisik di Minangkabau sudah berhenti dengan
kemenangan Belanda.

4. Periode 1837 - 1845

Beberapa lama sesudah benteng Bonjol jatuh, Tuanku Imam masih


memimpin perang gerilya. Dalam keadaan demikian beliau menerima surat
dar Residen Sumatera Barat di Padang, yang mengajak beliau datang ke
Palupuh untuk berunding. Dengan ditemani oleh seorang anak beliau dan
tiga orang pengawal. Tuanku Imam datang ketempat yang ditentukan (28
Oktober 1837). Serta merta beliau ditangkap, dibawa ke batavia untuk
selanjutnya diasingkan di Cianjur. Kemudian dipindahkan ke Ambon, dan
akhirnya ke Manado, tempat kemudian beliau meninggal dunia (6 Nopember
1864) dan dikebumikan (dikampung Lutak).
Dengan Bonjol sebagai pangkalan, Belanda melanjutkan operasi
militernya guna ”mengamankan” nagari-nagari disekitarnya. Dibagian Utara
Minangkabau masih ada pertahanan kaum Padri yang kuat, benteng Dalu-
Dalu, 14 bulan lamanya Belanda berusaha menaklukan benteng itu dan pada
tanggal 28 Desember 1838 benteng kaum Padri terakhir di Minangkabau
jatuh ketangan Belanda. Tuanku Tambusai menyingkir ke Padang Lawas
dan selanjutnya perlawanan disana sampai beliau meninggal dunia (1863).
Tuanku Tambusai menjadi cikal bakal kesultanan Barumun dengan kota
Pinang sebagai ibukotanya.
Guna membulatkan daerah kuasanya di Minangkabau, dari Bonjol dan
Dalu-Dalu Belanda memusatkan usahanya ke Kubung-XIII disebelah
Tenggara. Daerah itu banyak menghasilkan barang dagangan, penduduknya
memusuhi Belanda dan bersama-sama dengan penduduk Pauh dan Bayang
sering mengganggu kota Padang.
Belanda menyerang Kubung-XIII dari dua jurusan, dari Alam
Minangkabau melalui Padang Ribu-Ribu dan dari Pesisir melalui pauh.
Sebelum serangan dimulai, diplomasi Belanda berhasil menarik dua orang
penghulu terkemuka kepihak mereka, Datuk Bendahara dari Solok dan
Datuk Sutan dari selayo. Pada tanggal 10 Januari 1838 dibuat perjanjian,
selambat-lambatnya pada tanggal 26 Januari itu seluruh penduduk Kubung-
XIII sudah mengakui dominasi plitik Belanda. Karena jalan diplomasi gagal,
Belanda mulai melancarkan aksi militernya. Pada tanggal 9 Pebruari 1838
mereka berangkat dari Sulit Air dan esok harinya Solok sudah mereka
kuasai. Dari Solok operasi dilanjutkan di Kota Anau dan Nagari-nagari
disekitar Solok ditaklukan.
Pasukan Belanda dari Pesisir dengan melewati Pauh sampai di Koto
Hilalang disebelah Tenggara Solok. Mereka menemui perlawanan sengit dari
penduduk Sirukam dan Supayang, yang dapt dipatahkan oleh Belanda.
Nagari Muara Panas ditaklukan dan didirikan benteng disana. Dalam bulan
April 1838 seluruh Kubung-XIII sudah dikuasai oleh Belanda.
Pada tahun 1841 terjadi perlawanan rakyat Batipuh (Padang
Panjang), yang memberikan keinsyafan kepada Belanda, bahwa ketenangan
di Alam Minangkabau seperti api dalam sekam. Regen Batipuh yang telah
banyak membantu Belanda, tampil kemuka sebagai pemimpin perlawanan
rakyatnya, dijiwai oleh rasa dihina. Mereka dipaksa melakukan rodi kopi dan
secara sistimatis Belanda membatasi wewenang Regen Batipuh.
Api pemberontakan mulai dicetuskan pada tangga 27 Pebruari 1841,
ketika komandan pasukan Belanda untuk Sumatera Barat sedang di
Tapanuli, Pasukan Regen Batipuh segera menutup jalan-jalan yang menuju
kedaerahnya dan kota Padang Panjang diserang. Belanda dibunuh. Benteng
di Guguk Malintang dikepung dan diledakkan oleh Belanda sendiri ketika
diserbu oleh rakyat.
Api perlawanan yang disulut oleh Regen Batipuh itu menjalar ke
Pesisir dan Luhak Agam. Di Bukittinggi rumah-rumah Belanda termasuk
rumah assisten-resident, dirusak dan benteng Belanda diserbu. Padang
Ribu-Ribu diserang. Belanda terpaksa mengosongkan bentengnya di
Batusangkar. Orang Belanda di Solok lari ke benteng Muara Panas. Rakyat
Tanjung alam dan Batu Hampar memutuskan hubungan Luhak Agam
dengan L-Kota. Seluruh Alam Minangkabau bergolak kembali.
Pasukan Belanda dari Padang sampai di Padang Panjang, setelah
berhasil mengatasi segala rintangan dilembah Anai (2 Maret 1841). Yang
dari benteng Muara panas, dengan melewati Sumanik, Saning Bakar dan
nagari-nagri lainnya, bergabung dengan pasukan dari Padang Panjang di
Batipuh Atas (4 Maret 1841).
Regen Batipuh menyingkir ke Gunung Merapi dan melanjutkan
perlawanan disana. Belanda menjepitnya dari segala jurusan dan ia ditawan
(9 Maret 1841), meninggal di Cianjur dan meninggal dunia dikota itu (12
Oktober 1842).
Pada akhir tahun 1844 penduduk Pauh dekat Padang bangkit
mengangkat senjata melawan Belanda, dipimpin oleh kaum ulama, yang
merencanakan membangkitkan perlawanan rakyat dari Pesisir sampai ke
Alam Minangkabau. Rencana itu disokong oleh Baginda Sutan, saudagar di
Padang dan kakaknya Sidi Alam (Tuanku Nanggalo), guru agama di
Nanggalo.
Rakyat pauh telah siap siaga untuk menyerbu Padang. Belanda
mmemaklumkan keadaan bahaya dan mengeluarkan ancaman-ancaman
keras terhadap mereka yang memihak kepada pemberontak. Pada tanggal
12 dan 22 Desember tentara Belanda mengadakan pembersihan disekitar
pauh. Baginda Sutan dan Tuanku Nanggalo tertangkap. Perlawanan rakyat
Pauh kehilangan pimpinan dan perlawanan rakyat kendor dengan sendirinya.
Pada waktu yang sama daerah Sijunjung, terutama bukit Sebelas,
berontak pula, dipimpin oleh raja buo, kemenakan Yang Dipertuan di
Minangkabau yang melarikan diri ke Kuantan. Raja buo menyingkir ke rantau
Batang Hari (18..). selain dari raja Buo Indah Bedantan dari Buo dan Raja
Hitam dari Tanah Datar ikut pula memimpin pemberontakan rakyat daerah
Sijunjung itu.
Perlawanan serentak dimulai pada tanggal 15 Desember 1844. tujuan
pertama merebut Koto Tujuh, tetapi sebelum operasi dimulai, pasukan
Belanda telah sampai di Air Hangat, Timbulun dan Tanjung Gadang di Hulu
Batang Hari. Bukit Sebelas diserang dari dua jurusan dan jatuh ketangan
Belanda, mereka menyebar dan menguasai Solok Hambar (30 Desember
1844).
Pasukan Belanda yang menuju ke Sungai Pagu dan Sungai Abu
menghadapi perlawanan sengit dibawah pimpinan Pakih Medina dan
saudaranya Tauanku Imam Nuh. Mereka berhasil menduduki Alahan
Panjang dan bermaksud menyerang Supayang di Kubung-XIII. Pertempuran
dengan Belanda terjadi di Kota Anau (5 Maret 1845). Pasukan rakyat
terpukul mundur dan kembali ke Alahan Panjang, yang diduduki oleh
Belanda. Jalan ke Sungai pagu terbuka dan nagari itu jatuh ketangan
Belanda. Pakih Mediana melanjutkan perlawanan secara bergerilya.
Sesudah Sungai pagu dikuasai oleh Belanda, lambat laun surut
perlawanan rakyat. Dalam bulan Juni 1845 seluruh Minangkabau takluk
dibawah perintah Belanda. Taraf pertama dari perang untuk menguasai
seluruh Sumatera selesai sudah.

Kesimpulan.

1. Gelombang pembahruan dan pemurnian ajaran Islam di Minangkabau


pada permulaan abad ke-19 menimbulkan perang saudara, yang
berakhir dengan dirintis jalan bagi perkembangan mazhab Syafe’i dan
tertanam dominasi poltik-ekonomi Belanda didaerah Minangkabau.
2. Pembunuhan besar-besaran atas keluarga Yang Dipertuan
Minangkabau/Pagaruyung di Kota Tengah (1809) dianggap sebagai
berakhir zaman Kerajaan Minangkabau/Pagaruyung dan mulai zaman
”Dar-ul Islam Minangkabau” (hingga ± tahun 1821) dibawah pimpinan
kaum Wahabi/Padri.
3. Dengan memperalat penghulu-penghulu pelarian di Padang
(perjanjian 1821), Belanda mulai melancarkan ”Perang Kolonial” di
Minangkabau, permulaan dari ”Perang Sumatera”, yang berakhir
dengan ditaklukkan daerah Aceh (1904) dan Tapanuli Utara (1908).
4. Kaum Wahabi/Padri memproklamirkan perang kolonial itu sebagai
”Perang Sabil” dan bersatulah kembali kaum adat dan kaum agama
untuk bersama-sama mengahadapi agresi Belanda itu. Hingga tahun
1825 semangat bertahan rakyat Minangkabau berhasil membatasi
ekspansi politik Belanda pada beberapa tempat di Luhak Nan Tiga
(Perjanjian Musang 1824).
5. Genjatan senjata antara tahun 1825 – 1830, berhubung dengan pecah
Perang Diponegoro di Jawa, tidak ditepatgunakanoleh rakyat
Minangkabau. Selesai perang itu Belanda memusatkan kembali
segala daya dan usahanya ke Minangkabau, hingga berhasil
ditaklukannya (1832).
6. Pelanggaran-pelanggaran dan kesewenang-wenangan yang
dilakukan oleh pihak Belanda, mengakibatkan terjadi ”Pertemuan
Tandikat (1832). Bulat tekad kaum adat dan agama untuk bersama-
sama serentak mengusir Belanda dan ”Perang Minangkabau”
berkobar kembali dengan hebatnya.
7. Gagal dibidang militer (Pertempuran sengit di Pantar dan Matur 1833)
Belanda menempuh jalan diplomasi dengan mengumumkan ”Plakat
Panjang” (Oktober 1833), yang berhasil memecah belah persatuan
rakyat Minangkabau dan memberikan ”adempauze”, peluang waktu
untuk menarik nafas, yang digunakan oleh Belanda guna
menyempurnakan persiapan-persiapan militer mereka.
8. Setelah merasa dirinya kuat kembali, Belanda melanggar persetujuan
”Plakat Panjang”. Segala usaha dipusatkan untuk menaklukan Bonjol
(1834 – 1837), pusat pertahanan rakyat Minangkabau terkuat
disebelah Utara dibawah pimpinan Tuanku Imam.
9. Dengan ditawannya Tuanku Imam (1837), dipatahkan perlawanan
Tuanku Regen Batipuh (1841) dan hancur pertahanan rakyat Kubung-
XIII (akhir tahun 1845), selesai ”Perang Minangkabau” sebagai
tahapan pertama dari ”Perang Sumatera”.
BAB VII.

PERKEMBANGAN NASIONALISME LOKAL

1. Pendahuluan

Dengan dikuasai nagari dan benteng Bonjol (1837), ditawan dan


dibuang Tuanku Imam, dilumpuhkan perlawanan rakyat didaerah-daerah
yang telah ditaklukan (Batipuh 1842) maupun yang belum (Muara Labuh,
Kubung-XIII dan Sijunjung 1845), dominasi poitik Belanda tertanam kokoh di
Minangkabau sejak pertengahan abad ke-19. Dominasi politik itu dijadikan
landasan bagi perkembangan ekonomi Belanda dan penetrasi kebudayaan
Barat, yang di Indinesia diwakili oleh Belanda.
Kaum Penghulu, penguasa tradisional menurut adat, dijadikan
sokoguru bagi penanaman, pengembangan dan pembinaan kekuasaan
Belana di Minangkabau. Mereka di anak emaskan dan dipertentangkan
dagang golongan ulama, yang terpecah belah dengan sesama mereka saling
berebutan pengaruh.
Golongan Ketiga bangkit dan berkembang pula, karena jumlahnya
yang masih kecil, dalam abad ke-19 belum lagi merupakan ”the third power”
dalam masyarkat Minangkabau. Mereka ialah kaum intelek Barat, yang
digunakan sebagai ”bumper”, penampung segala pukulan dalam
pertentangan yang sengaja diperuncing antara golongan adat dan kaum
ulama. Kaum intelek barat itu tidak lagi hidup dari tanah sebagai satu-
satunya sumber produksi dalam masyarakat agraris. ”Geldwirtschaft”, sistim
ekonomi berdasarkan uang, membebasakan manusia dari ikatan tanah.
Masyarakat ”Naturalwirtschaft”, sistim ekonomi bersandarkan hasil-hasil
bumi, mengikat manusia pada tanah tempat ia hidup dan berusaha turun
temurun. Uang membuat manusia merdeka, merdeka untuk bergerak dan
merdeka dari ”ikatan” tanah. Uang mempermudah dan memperpendek
proses memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ikatan adat menjadi longgar
dan ninik mamak mulai kehilangan wibawa.
Sebagai intelek Barat yang mempunyai penghasilan sendiri yang
bebas dari tanah, tidak saja ia memandang rendah adat dan kaum penghulu
sebagai pendukung dan pembina adat, tetapi juga agama dan kaum ulama
(Islam).
Pendidikan Barat, produk dari kebudayaan Barat, bersumber pada
”Germaanse stamcultuur” (kebudayaan kesukuan German). ”Greco-
Romanse individualisme” (indivudualisme Yunani-Romawi) dan ”Judaeish-
Cristelijke religie” (agama Yahudi Kristen). Filsafah pendidikan Barat,
terutama sejak pertengahan abad ke-19, didasarkan pada rationil-
liberalisme, yang memuja akal dan memandang rendah segala sesuatu yang
”a-religius” itu tidak mungkin memandang tinggi agama dan kaum ulama.
Kaum intelek Minangkabau, hasil pendidikan Barat, menjauhkan diri dari
agama (Islam) dan tidak menghargai kaum ulamanya. Dibesarkan
dilingkungan adat dan agama (Islam), dididik sebagai orang yang ”a-religius”
pada lembaga-lembaga pendidikan Pemerintah Hindia Belanda (yang
bersikap ”netral” terhadap agama), kaum intelek Barat itu menjadi golongan
yang disebut ”the marginal man”, belut bukan ikanpun tidak, didalam
masyarakatnya sendiri. Sebagai ”kolonial produk” dalam masyarakat Barat
(Belanda) di tanah air mereka tidak diterima, karena warna kulit mereka.
Dalam lingkungan masyarakat sendiri mereka tidak kerasan lagi, karena
pendidikan dan pandangan hidup mereka. Keatas mereka ”tidak berpucuk,
kebawah tidak berurat”, Belanda tidak, Minangkabaupun bukan. Tidak puas,
karena kecakapan, pengetahuan dan keahlian mereka dirasa tidak dihargai
sebagaimana mestinya oleh golongan (Belanda) yang sedang berkuasa, ”the
marginal man” inilah yang kelak menjumpai wadahnya dalam ”Pergerakan
Kebangsaan”.

2. Kopi ”menaklukan” Pesisir Timur.

Dalam abad ke-19 peranan lada dan rempah-rempah makin


dikalahkan oleh kopi. Penanaman kopi besar-besaran dan hasil yang baik,
mula-mula dilancarkan kompeni didaerah Priangan di Jawa Barat
(pertengahan abad ke-18) lazim disebut ”Prenger-stelsel”. Bupati-bupati
Priangan diharuskan melever kwantum kopi tertentu dengan harga yang
ditetapkan oleh Kompeni secara sepihak. Harga itu cukup memberikan
”ruang gerak” bagi bupati sampai kepada pak lurah, hingga mereka dan
istimewa ”Kompeni” , merasa sangat beruntung dengan berjalan baik ”sistim
Priangan” itu. Rakyat petani, sungguhpun ”tulang punggung masyarakat”,
kapanpun dan dimanapun tidak pernah memainkan peranan penting dalam
masyarakat, kecuali kalau pada suatu ketika beban yang dipikulkan kepada
mereka tidak terpikul lagi. Maka bangkitlah mereka, bersama-sama
memusnahkan tanaman-tanaman yang hasilnya tidak pernah mereka nikmati
atau mengangkat senjata membunuh golongan (kecil) yang memeras darah
dan keringat mereka. Karena kedua tindakan nekat itu seringkali sama
artinya dengan bunuh diri, ”ngamuk” itu tidak acap kali dilakukan. Akhirnya
yang menang dan dapat memaksakan kemauan mereka adalah golongan
(kecil) yang dilawan itu juga.
Sukses ”Preanger Stelsel” diangap demikian besarnya, hingga
sesudah perang Diponegoro (1830), ditambah dengan tanaman-tanaman
lain, dipaksakan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk dijalankan diseluruh
Jawa dan bagian-bagian Indonesia yang politis telah dikuasai sepenuhnya.
Itulah yang dinamakan ”Cultuur-Stelsel”, ”Sistim Tanam Paksa” (1830-
1870/1915), yang di Tapanuli Selatan, Minangkabau dan Bangkahulu
dijalankan hingga meletus Perang Dunia I (1915).
Di Minangkabau sistim itu mulai dilaksanakan tidak lama setelah
Bonjol ditaklukan dan Tuanku Imam dibuang (1837). ”Rodi Kopi”, bekerja
tanpa bayaran dengan biaya makan ditanggung sendiri oleh yang
dipekerjakan, adalah salah satu sebab meletus dan meluas ”Pemberontakan
Batipuh” (1842). Tekanan diperingan, tetapi sistim ”rodi kopi” tidak dihapus,
bahkan diperluas kedaerah-daerah Minangkabau yang baru ditaklukan,
antara lain Kubung-XIII dan Muara Labuh. Sistim ini berjalan baik, dimana
perlu dengan ancaman senjata dan hukuman berat bagi yang inkar, didera
dengan rotan, digantung dengan kepala dibawah dan sebagainya, berkat
kerjasama dan kepentingan yang sejalan antara kaum penghulu dan
Pemerintah Hindia Belanda. Badan dagang Belanda, pengganti Kompeni
dan pemegang hak tunggal untuk membeli dan mengangkut kopi serta
mengisi kebutuhan (tekstil terutama) dari rakyat, ialah ”Nederlandsche
Handel Maatschappij”, lazim disebut ”De Factorij”, dibangun oleh raja
Belanda Willem I (1824) guna pemabangunan ekonomi Negeri Belanda
setelah Perang Napoleon selesai (1793 – 1815). Sebagai pemegang saham
terbesar dan ”pemilik” jajahan yang tidak dapat diganggu gugat oleh
siapapum juga, Pemerintahan Hindia Belanda berperanan sebagai agen
tunggal, ”sole agency” dari ”de factorij”
Dari zaman rodi kopi inilah lahir istilah ”Melayu Kopi Daun”, sebagai
penghasil kopi rakyat biasa tidak diizinkan menikamti sebuah kopipun,
karena sudah diborong semuanya oleh ”de factorij”, atau ”Kompeni” menurut
ucapan masyarakat. Mereka hanya boleh minum ”air kahwa”, dibuat dari
daun kopi yang telah dikeringkan.
Betapapun ketat penjagaan ”Kompeni”, sebagian besar kopi di
Minangkabau lolos juga ke Singapura melalui sungai-sungai besar dan Selat
Sumatera. Hal yang tidak wajar itu tentu saja menimbulkan kemarahan
”Kompeni” yang memblokir muara-muara besar di pesisir Timur dan Selat
Sumatera. Karena terbukti biaya blokade itu sangat besar, sedangkan kopi
dapat juga lolos dari jaringan-jaringan penjagaan itu, Pemerintah Hindia
Belanda menempuh jalan lain. Berangsur-angsur daerah Pesisir Timur
dikuasai dari Sumatera Barat, dengan jalan kekerasan menggunakan senjata
maupun dengan jalan diplomasi membuat perjanjian dengan ”raja”, penghulu
daerah pesisir Timur itu. Dengan Inggris tercapai perjanjian pada tahun 1856
(Traktat Siak) dan 1870 (Traktat Sumatera).
Aceh yang menganggap dirinya tetap sebagai ”Yang Dipertuan”
daerah Pesisir Timur hingga ke Siak, merasa kepentingan dan wibawanya
dikesampingkan begitu saja dengan perjanjian-perjanjian itu. Perang Aceh
meletus (1871 – 1904), sebagai lanjutan dari ”Perang Sumatera”, dimulai
sejak tahun 1821 di Minangkabau dengan nama ”Perang Padri” (1821 –
1837) dan ”Perang Palembang” (1822 – 1828), dan lanjutan-lanjutannya
yang disebut ”Pemberontakan Batipuh” (1842), ”Perang Kubung-XIII” (1845)
dan ”Perang Tuanku Tambusai” di Kota Pinang (1837 – 1863).
Salah satu sebab meletusnya perang Aceh ialah nafsu Belanda untuk
menguasai seluruh Pesisir Timur guna menghentikan ”penyelundupan” kopi
dari Minangkabau ke Singapura. Akibat perang itu seluruh Sumatera
dikuasai oleh Belanda, kecuali Tapanuli Utara yang ditaklukan dalam tahun
1908.

3. Kemenangan bagi pihak ke-tiga

Agama Islam masuk dan berkembang di Minangkabau sejak


pertengahan abad ke-16, berkat da’wah ”frontal”, dilakukan secara aktif
sekali oleh saudagar-saudagar, mubaligh-mubaligh dan pejabat-pejabat dari
Aceh. Pusat pendidikan dan perkembangan agma Islam pertama dan
terbesar di Minangkabau, Ulakan, dibangun dan dibina oleh Syeh
Burhanuddin ”Tuanku Ulakan”, pemuka aliran Syi’ah. Islam Syi’ah, aliran
Islam yang timbul dan di Persia Utara (Syiria sekarang), banyak
mengandung unsur-unsur mistik Persia-kuno dan tidak asing seluruhnya bagi
alam pikiran dan pandangan hidup orang Minangkabau. Pelaksanaan
hukum-hukum Islam dan perayaan hari-hari besar Islam disesuaikan dan
diselaraskan dengan hukum adat dan upacara-upacara adat. Bulan puasa
dimulai dan ditutup dengan kebiasaan-kebiasaan, yang tidak diharuskan oleh
kaum syara’, akan tetapi dianggap sebagai ”tidak tahu adat”, - konotasi yang
sangat menyinggung perasaan orang Minangkabau-, apabila tidak dilakukan.
Mengantarkan limau menjelang hari puasa dan lebaran, mengantarkan
”pabukoan” dalam puasa oleh orang tua pihak perempuan kepada besan
pihak laki-laki, dapat mengakibatkan konsekuensi berat bagi pihak
perempuan, kalau tidak dilakukan.
Dalam masa lebih kurang 2,5 abad (± 1550 – 1800) agama Islam
Syi’ah berkembang di Minangkabau, terjadilah ikatan ”adat dan agama”,
maksudnya pelaksanaan hukum adat dan hukum agama, yang mesra sekali.
Lahirlah ungkapan-ungkapan dalam bahasa Minangkabau seperti ”adat
basandi syara’, syara’basandi Kitabullah”, ”syara’ mangato, adat memakai”
”syara’ jo adat ba’ aur jo tabing” (artinya saling mengokohkan), dan
sebagainya. Harta pusaka turun kepada kemenakan, anak mendapat gelar
pusaka dari mamak, saudara ibu yang laki-laki dan sebagainya, yang
semuanya dianggap tidak berlawanan dengan hukum syara’, biarpun hukum
faraidh telah menetapkan anak sebagai ahli waris bapaknya.
Hukum syara’ dimodulir, disesuaikan pelaksanaannya dengan rasa-
hukum dan rasa-keadilan orang Minangkabau. Antara (hukum) adat dan
(hukum) agama tidak ada pertentangan, seorang ulama dapat memakai
gelar adat.
Keadaan yang telah berlangsung selama lebih kurang 250 tahun itu
dengan serta merta hendak dirubah dan dirombak sampai keakar-akarnya
oleh aliran pembaharuan yang bertujuan memurnikan ajaran Islam dari
segala pengaruh yang dianggap bida’ah, termasuk hukum adat. Gelombang
pembaharuan itu dipelopori oleh tiga orang haji yang mengalami secara
dekat dan secara aktif ikut serta dalam ”aksi” pemurnian agama yang
dilakukan oleh Ibn Saud di Tanah Arab (akhir abad ke-18 awal abad ke-19).
Pembaharuan yang dipelopori dan disemangati oleh ketiga orang pemimpin
agama itu mendapat sambutan hangat, terutama dari kalangan ulama-ulama
muda di Minangkabau. ”The angry generation” ulama-ulama muda itu sudah
lama merasa tidak puas, karena sebagai kaum pendidik dan pembina
agama, mereka tidak mendapat kedudukan yang wajar dalam struktur politik
nagari ketika itu.
Tiap-tiap gerakan baru dalam masyarakat ditandai oleh aktivitas yang
luar biasa, semangat yang menyengat dan intoleransi yang besar, tidak
terkecuali gelombang pembaharuan agama di Minangkabau yang kemudian
disebut ”Gerakan Padri” ( 1800 – 1820) yang mencetuskan perang saudara,
lazim dinamakan ”Perang padri” (1821 – 1837). Perang saudara itu
mengundang masuk militer Belanda yang berhasil memaksakan (dengan
korban jiwa dan materi yang tidak sedikt) dominasi politik-ekonomi mereka di
Alam Minangkabau.
Struktur politik di nagari-nagari Minangkabau memang mengalami
perubahan setelah perang Padri selesai, tapi tidak seperti yang dicita-citakan
oleh ”Gerakan padri”. Perang saudara dan perang kolonial di Minangkabau
itu tidak saja mengakibatkan kaum Padri kehilangan tokoh-tokoh pimpinan
yang brilian, kaum Sti’ahpun tidak luput dari nasib yang malang itu. Dalam
situasi ”vacum” kepemimpinan agama itu, penguasa Belanda menonjolkan
dan membantu perkembangan peranan mazhab Syafe’i di Minangkabau
yang telah lama mereka kenal (di Jawa dan bagian-bagian Indonesia lain
yang beragama Islam). Intoleransi mazhab itu terhadap penguasa-penguasa
bukan Islam tidak sebesar mazhab Hambali yang dianut oleh Kaum Padri.
Belanda memberikan fasilitas-fasilitas besar kepada ulama mazhab
Syafe’i yang naik haji ke Mekah, sejak mereka berkuasa kembali di Pesisir
umumnya dan di Padang khususnya (1819). Keringanan-keringanan itu
antara lain berupa biaya kapal pergi ke Jedah dan pulang ke tempat asal
yang rendah. Putra-putra penghulu dan ulama yang membantu pembinaan
kekuasaan Belanda di Minangkabau lebih didahulukan diterima sebagai
murid lembaga-lembaga pendidikan yang dibuka kemudian oleh Belanda di
Minangkabau, maupun di Jawa. Akibatnya anak-anak mereka pulalah yang
kemudian menjabat kedudukan penting dalam struktur pemerintahan
Belanda, seperti demang (kepala daerah), anggota panitera pengadilan
(jaksa), penasehat pada lembaga-lembaga hukum dan adat pemerintah, dan
sebagainya. Pemerintah Hindia Belanda memantapkan dominasi politiknya di
Minangkabau dengan menggunakan hukum adat dan ulama yang berpihak
kepada mereka dan memberikan berbagai macam fasilitas kepada mereka.
Kedudukan ulama Syi’ah makin terdesak, pengaruh dan wibawanya
makin surut. Ulama Padri dan keturunan mereka masih tetap memegang
peranan sebagai pendidik dan pembina agama dinagari masing-masing,
tetapi ruang gerak mereka sudah sangat dibatasi oleh Pemerintah Hindia
Belanda dan alat-alatnya, pegawai-pegawai Bangsa Indonesia. Jumlah
mereka kian lama kian susut, akibat politik Belanda menganak emaskan
ulama-ulama mazhab Syafe’i dan putera-putera mereka. Jurang pemisah
antara ulama-ulama ”resmi” (mazhab Syafe’i) dan ulama-ulama ”rakyat”
(aliran Syi’ah dan kaum Padri) kian meluas dan melebar.
Ulama-ulama ”rakyat” itu sendiri masih terlibat dengan sesamanya
dalam pertikaian agama yang tidak kunjung-kunjung reda. Yang keluar
sebagai pemegang dari pertikaian faham agama itu, ialah ulama Syafe’i
(sejak pertengahan abad ke-19).

4. Keretakan sebagai pola sejarah

Keretakan masyarakat Minangkabau sebagai akibat pertikaian agama


yang tidak kunjung padam dan mulai tampil kemuka peranan kaum intelek
Barat di Suamtera Barat, merupakan pola sejarah Minangkabau menjelang
akhir aband ke-19 dan permulaan abad ke-20.
Aliran Syi’ah yang dikembangkan dari Ulakan sejak pertengahan abad
ke-16, Tarikat Syattariah, ”Ilmu Martabat Nan Tujuh”, lazim disebut ”tarikat
(h) Ulakan”, Ilmu Martabat nan Tujuh bersumber pada ajaran al Halladj, Ibn
Arabi dan Ibn Faridh, menafsirkan segala sesuatu dalam alam ini (’A’yan
charidjijah) sebagai ”Mah-har” (manifestasi) Allah s.w.t. Alam fikiran yang
dikembangkan dalam ”Wihdat-ul wujud” itu dipengaruhi sangat oleh faham
Pantheisme, pandangan hidup berasal dari filsafah Persia dan Yunani Kuno.
Kurang-kurang ahli memahaminya, penganut itu mudah tergelincir dan
menjadi penyembah dan pemuja orang dan barang-barang yang dianggap
keramat. Praktek-praktek sihir guna mencapai sesuatu tujuan atau keadaan,
ratib bersama hingga lupa diri (mencapai keadaan ”trance”) dan melakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak dikendalikan lagi oleh akal sehat dan
sebagainya, sangat dicela dan ditentang oleh mazhab Syafe’i sebagai aliran
Sunnah. Praktek-praktek sihir itu sifatnya menduakan Tuhan, hukumnya
”syirik”, karena menyesatkan dan berdosa besarlah orang Islam yang
berbuat demikian.
Mazhab Syafe’i tarikat Naqsyabandiah sejak pertengahan abad ke-19
berpengaruh besar di Mekah. Akibat hubungan yang dari tahun ke tahun kian
erat dan rapat dengan Mekah, tarikat itu berkembang dan berpengaruh pula
di Minangkabau dengan Cangking di Luhak Agam sebagai pusatnya. Tarikat
”Cangking” itu menentang faham Wihdatul Wujud dan mengembangkan
faham ”Wihdatul Syuhud”. Segala yang ada dalam luas (”A’yan Charidjijah”)
bukanlah perwujudan dari ”Ain Allah” bukan pula ”Mahhar” (manifestasi)
Allah s.w.t. Pertentangan intepretasi tentang ”wujud” dan ”Syuhud” Allah
s.w.t, inil menjalari Sejarah Minangkabau sebagai benang merah sejak
pertengahan abad ke-19 dan mencapai puncaknya pada permulaan abad ke-
20. Pertengkaran itu kemudian tidak meliputi soal-soal agama saja lagi,
tetapi juga sampai kepada pelaksanaan hukum syara’ dibidang warisan.
”Geldwirtschaft” yang menggantikan ”Naturalwirtschaft” membuat
uang memainkan peranan penting dalam masyarakat hingga ke pelosok-
pelosok Minangkabau. Produksi pertanian disalurkan ke pasar-pasar untuk
memperoleh uang guna memenuhi keperluan sehari-hari yang prosedurnya
manjadi jauh lebih pendek dan mudah apabila ada uang kontan ditangan.
Timbul golongan intelek Barat dan pekerja sebagai golongan baru dalam
masyarakat yang hidup bebas dari ikatan tanah, dibarengi dengan
bertambah mundurnya wibawa ninik mamak sebagai penegak adat dan
hukum adat, membuat persoalan harta warisan lebih hangat daripada
masalah yang menyangkut agama semata-mata, bairpun problem itu tidak
bebas dari agama seluruhnya. Bangkitlah dua golongan yang menamakan
diri ”Kaum Tua” dan ”Kaum Muda”, dengan ulama-juru-bicara masing-
masing. Golongan ulama muda mengharamkan harta pusaka yang
diturunkan kepada kemenakan, karena adalah hak anak, sesuai dengan
yang ditetapkan dalam al Qur’an, pegangan satu-satunya bagi orang yang
beragama Islam. Kaum ulama tua penyokong hukum adat menangkis,
sekiranya haram hukum harta pusaka diturunkan kepada kemenakan, haram
pulalah hukumnya mengunakan ”waqaf” untuk pembangunan Mesjid, surau-
surau dan sebagainya, karena berasal dari harta pusaka.
Pers setempat yang telah mulai berkembang, ikut mengambil bagian
aktif dalam polemik-polemik sengit tentang soal harta pusaka itu.
Minangkabau bergolak kembali. Ulama berlawanan dengan ulama dan
meratakan jalan bagi tambah kokoh tertanam dominasi politik-ekonomi
Belanda, dibarengi dengan perkembangan pengaruh kenudayaannya.

5. Pembahruan Gelombang Kedua.


Apabila Gerakan dan Perang Padri kita anggap sebagai gelombang
pertama usaha pembaharuan agama Islam di Minangkabau, periode antara
akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 dapat kita sebut gelombang
kedua. Yang dimaksud dengan ”pembaharuan agama Islam” dalam konteks
ini ialah perombakan sistim pendidikan dan pemurnian pelaksanaan hukum
Islam (fiqih).
”Vacum” kepemimpinan agama Islam di Minangkabau akibat Perang
Padri, mulai dapat diatasi dengan kebangkitan ulama-ulama muda, yang
sejak pertengahan dan menjelang akhir abad ke-19 mendapat didikan
langsung maupun tidak langsung di Mekah.
Seorang pemuda Minangkabau yang brilian, Achmad Chatib datang
belajar dan menetap dikota Suci Mekah (pertengahan abad ke-19). Dididik
dalam alam fikiran tarikat Naqsyabandiah didaerah asalnya, setelah
memperdalam ilmu pengetahuan tentang seluk beluk agama dan hukum
Islam, ia menjadi pengecam dan penentang sengit dari tarikat itu. Sebagai
seorang ahli fiqih yang fasih berbahasa Arab dan tajam kupasan-
kupasannya, pengaruh Syeh Achmad Chatib besar sekali diseluruh dunia
Islam. Beliau mendapat kehormatan mengajarkan fiqih pada salah satu
serambi di Mesjid il Haraam di sekitar Kaabah, disamping menjadi ”tepatan”
bagi pemuda-pemuda Minangkabau terutama yang bermukim di Mekah dan
jemaah-jemaah yang tiap tahun datang dari Tanah Air untuk naik haji.
Kepada pemuda-pemuda calon ulama itu ditekankan oleh Syeh
Achmad Chatib tanggung jawab mereka sebagai ahli waris Nabi Muhammad
s.a.w, untuk menegakkan fiqih sebagaimana yang diwahyukan oleh Tuhan
s.w.t didalam al Qur’an dan ditafsirkan oleh kaum ”fuqaha”, ahli-ahli hukum
agama Islam. Mengenai Minangkabau istimewa beliau tidak dapat menerima
pelaksanaan hukum warisan menurut adat, yang terang-terang menyimpang
dari hukum faraidh. Dosa hukumnya bagi orang Islam menjalankan syariat
bertengan dengan yang diwahyukan didalam Kitab Suci Qur’an-ul Karim.
Pengaruh Syeh Achmad Chatib pada pemuda-pemuda calon ulama
asal Minangkabau itu besar sekali. Seorang diantaranya, Muhammad Yahya,
sebagai ”Tuanku Simabur” (Luhak Tanah Datar) mengumumkan perang
dalam khutbah-khutbah, tulisan-tulisan dan pengajian-pengajiannya kepada
kaum adat dan kaum ulama yang ikut membantu menegakkan hukum adat
mengenai warisan. Tidak sah perkawinan didepan kadi penegak hukum adat,
dilarang dikuburkan secara Islam bagi orang yang tidak patuh pada fiqih,
haram hukumnya bekerjasama dengan orang kafir yang ikut menegakkan
hukum adat dan menyalahi fiqih.
Karena murid-murid Tuanku Simabur berasal dari hampir seluruh
Minangkabau, faham yang beliau sebar luaskan kepelosok-pelosok
Sumatera Barat dan menimbulkan gelombang kegoncangan dalam
masyarakat yang kian lama kian menghebat. Kaum adat menangkis
serangan-serangan Tuanku Simabur dalam koran mereka yang diterbitkan di
Padang (1896). Kampanye ”anti Arab” dilakukan dikalangan rakyat ramai
dengan seruan-seruan seperti: ”Waspadalah, jangan zaman Padri berulang
kembali”.
Pertikaian sengit antara kaum adat dan agama tidak terbatas pada
perang pena dan perang pidato saja. Perkumpulan-perkumpulan rahasia
yang sifatnya sangat ”chauvenistisch” dan menamakan dirinya ”Kongsi Adat”
bermunculan dimana-mana dan clash sering terjadi dengan yang mereka
sebut ”Kongsi Padri”. Dari pihak kaum ulamapun Tuanku Simabur tidak
kurang mendapat kecaman dan sindiran-sindiran pedas, diantaranya dari
Syeh Mungkar di Payakumbuh (L-Koto).
Pemerintahan Hindia Belanda turun tangan. Dengan alasan
membahayakan ketenangan dan ketertiban umum. Tuanku Simabur
diasingkan ke Cianjur (1904)
Faham yang beliau sebarkan dan pembaharuan agama yang beliau
pelopori tidak hilang lenyap dengan dibuang beliau keluar Minangkabau.

6. Pelopor Modernisasi

Bibit yang disemaikan oleh Tuanku Simabur bertunas dan


berkembang terus. Diantara murid-murid beliau yang sebagai ulama
mempelopori modernisasi Islam dan banyak sedikit ikut menentukan
perjalanan Sejarah Minangkabau dalam abad ke-20, ialah Syeh Muhammad
Djamil Djambek (”Inyik Djambek”), Syeh Abdul Karim Amarullah (”Inyik
Rasul”), Syeh Abdullah Ahmad, Syeh Chatib Ali dan sebagainya.
”Surau Inyik Djambek di Tengah Sawah”, Bukittinggi hanyalah sebuah
dari sekian banyak pesantren yang tersebar luas di Luhak Agam, Luhak L-
Kota, Luhak Batipuh-Tanah Datar yang mengajarkan faham modernisasi
Islam dengan memberikan pendidikan yang telah meninggalkan ”sistim
surau”. Bersama-sama dengan Inyik Rasul di Maninjau, salah seorang tokoh
pimpinan ”Sumatera Twalib” di Padang Panjang yang kemudian – pengaruh
ajaran yang disemaikan oleh kedua orang ulama besar itu tidak terbatas
hinggan di Minangkabau saja. Murid-murid beliau berasal dari seluruh
Sumatera, Kalimantan (Barat), Sulawesi (Selatan) dan Semenanjung Malaka
yang sekembalinya kedaerah asal masing-masing berperan sebagai
pembaharu sistim pendidikan dan penyuluh dakwah Islam yang modern pula.
Berbeda dengan ”Inyik Djambek” dan ”Inyik Rasul”, yang mengadakan
pembaharuan pendidikan agama dengan tidak merombak pola tradisionil, -
agama Islam tetap menjadi pokok pelajaran dengan bahasa Arab sebagai
bahasa pengantar-, Syeh Abdullah Ahmad mendirikan ”HIS met de Qur’an”
(”Adabiah-school”) di Padang, yang memberikan pendidikan menurut sistim
Barat berdasarkan al Qur’an. Dengan demikian beliau menciptakan kaum
intelektuil Barat di Minangkabau yang berpengetahuan agama Islam, HIS
(SD) yang didirikan oleh Syeh Abdullah Ahmad itu mendapat sokongan
penuh dari kaum saudagar Padang, yang anank-anaknya ditolak dari ”HIS
Gupernemen”, kemudian diakui dan mendapat subsidi dari Pemerintah
Hindia Belanda. Pandangan jauh kedepan dari ulama modern itu,
menyiapkan tenaga-tenaga pembangunan berpengetahuan Barat dengan
tidak mengabaikan pendidikan agama Islam, mendapat kecaman hebat dari
ulama-ulama Minangkabau lain, seperti teman karib beliau Syeh Abdul Karim
Amarullah yang menganggap beliau sebagai ulama yang ”sudah
menyeberang”.
Benih yang ditebarkan oleh terutama ketiga orang tokoh ulama besar-
pendidik itu berkembang biak jauh melampaui batas-batas Minangkabau dan
zaman. Mereka tidak saja telah mempersiapkan tenaga-tenaga pimpinan
agama, politik, pendidikan dan kebudayaan pada masa persiapan
Kemerdekaan Indonesia, tetapi juga tokoh-tokoh pimpinan pemerintahan
sipil, militer dan politik yang memainkan peranan penting dalam zaman
Revolusi Fisik di Minangkabau khususnya dan di Indonesia umumnya.
Syeh Abdul Karim Amarullah, yang ketika berkunjung bersama-sama
dengan Syeh Abdullah Ahmad ke Mesir dianugerahi gelar ”Doktor” oleh
Universitas Al Azhar di Kairo, juga seorang wartawan-pengarang berbakat
yang berpena tajam, tidak biasa menyelimuti ketajaman-ketajaman pedasnya
dengan kata-kata diplomatis terhadap tindakan-tindakan dan peraturan-
peraturan pemerintah yang dianggapnya merugikan agama dan orang Islam
di Minangkabau khususnya. Beliau mengalami nasib yang sama dengan
guru beliau, dibuang ke Cianjur ketika umur sudah lanjut, karena dianggap
berbahaya bagi ketentraman umum di Minangkabau.
Adalah antara lain jasa dari Syeh Chatib Ali di Muara Labuh, dapat
menenangkan pertentangan-pertentangan yang sudah meluas dan
meruncing di Minangkabau sejak akhir abad ke-19, mengenai pelaksanaan
hukum waris menurut hukum adat dan menurut hukum agama Islam (hukum
faraidh). Beliau mengeluarkan fatwa yang disokong oleh sebagian besar
ulama-ulama muda dan modern di Minangkabau, bahwa ”harta pencaharian”
diwariskan kepada anak (1917). Karena tidak dapat selalu menarik garis
yang jelas antara ”harta pusaka (tinggi)” dan ”harta pencaharian”, kata
terakhir mengenai hak waris dan harta warisan hingga dewasa ini masih
belum tercapai di Minangkabau.

7. Kaum Intelektuil Barat

Kaum intelektuil Barat sebagai golongan ketiga antara kaum adat dan
kaum agama dibangun dan dibina oleh Belanda di Minangkabau sejak tahun
1873 terutama. Pada tahun itu dibuka di Bukittinggi ”Sekolah Raja”, yang
murid-muridnya dikerahkan dari golongan adat maupun dari golongan agama
(ulama Syafe’i).
Dengan bertambah luas daerah kuasa Belanda di Sumatera
khususnya dan Indonesia umumnya sejak tahun 1870, guna menetapkan
dominasi politik-ekonominya, tenaga unsur-unsur pengembang kekuasaan
Belanda dan kebudayaan Barat mulai diprodusir secara berencana. Anggota-
anggota dan alat-alat Pemerintahan yang pandai tulis baca, berpengetahuan
umum dan sekedar dapat mengerti bahasa Belanda, kian lama kian
dirasakan keperluannya dan peranannya bagi pemantapan pengaruh
Belanda. Yang telah menamatkan pelajarannya pada ”Sekolah Raja”, yang
siswa-siswanya kemudian juga didatangkan dari daerah-daerah jauh diluar
Minangkabau, tidak saja dipekerjakan sebagai guru-pengembang
pengetahuan dan kebudayaan Barat, tetapi juga sebagai anggota
pemerintahan sipil (demang) dan pengadilan (jaksa), yang bertugas di
Sumatera dan Kalimantan. Karena sebagai ”ambtenaar Pemerintahan Hindia
Belanda” berpenghasilan jauh daripada cukup, mereka kemudian mampu
menyekolahkan anak-anak mereka ke Jawa (untuk jadi dokter), bahkan juga
ke negeri Belanda (guna melanjutkan pelajaran untuk jadi ahli hukum, ahli
ekonomi dan sebagainya). Pendidikan menghasilkan kaum terpelajar, yang
mata dan hatinya terbuka bagi banyak kepincangan masyarakat, yang tidak
terlihat maupun dihiraukan sebelumnya. Daya kritik timbul, dipupuk oleh ilmu
pengetahuan, tidak saja ditujukan pada masyarakat sendiri, tetapi juga pada
kekuasaan asing sebagai penjajah.
Adat dan kaum adat mendapat sorotan tajam dalam buku-buku yang
dikarang oleh guru-guru lulusan Sekolah Raja dan dibaca dikalangan luas
berkat kegiatan ”Commissie voor de Volkslectuur Balai Pustaka” di Jakarta.
Kaum terpelajar yang pulang dari Jawa maupun dari Negeri Belanda,
tidak puas lagi dengan susunan masyarakat di Minangkabau dan kekuasaan
Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia, disamping perlakuan-perlakuan
kurang wajar yang mereka alami dari pihak penguasa Belanda setempat,
mengadakan kelompok-kelompok kegiatan politik menurut contoh di Jawa.
Sangat terbatas jumlah kaum intelek yang berpendidikan tinggi, jauh jarak
alam pikiran antara mereka dengan rakyat biasa, yang masih dikungkung
oleh ikatan adat dan pengaruh agama dan mutlak kekuasaan alat-alat
Pemerintah di Minangkabau, mengakibatkan tenaga-tenaga muda yang
penuh cita-cita merasa tidak betah lagi ”dikampung” dan yang ada di rantau
segan pulang.
Kebanyakan mereka bergerak dan berusaha diluar Minangkabau
terutama di Jawa (Jakarta), guna mencapai cita-cita perbaikan nasib rakyat
banyak disamping nasib sendiri. Sebagai ”the marginal man” mereka merasa
tidak mempunyai tempat lagi dalam masyarakat Minangkabau
Dikerahkan dan dididik dengan maksud untuk digunakan sebagai alat
bagi pemantapan dominasi politik ekonomi Belanda berlandaskan
kebudayaan Barat, tenaga-tenaga yang dihasilkan kemudian berkembang
sebagai ”ujung tombak”, yang disamping tenaga-tenaga masyarakat lain
tidak sedikit jasanya dalam proses persiapan kemerdekaan Indonesia.
Perombakan struktur masyarakat Minangkabau, dimulai dengan
Gerakan Padri ( 1800, pada dasarnya belum lagi mencapai kemantapan
hingga dewasa ini. Itulah penyebab utama dari kegelisahan masyarakat
Minangkabau yang dialaminya sekarang. Susunan dan ikatan lama tidak lagi
memuaskan, sedangkan susunan baru (masih) belum terciptakan.

Kesimpulan

1. Berakhir Perang Padri dan tertanam dominasi politik Belanda di


Minangkabau, tidak mengakibatkan berakhir pula pertikaian-pertikaian
agama didaerah itu.
2. Guna memperkokoh dominasi politik-ekonominya, Belanda
mensponsori perkembangan mazhab Syafe’i di Minangkabau dengan
memberikan fasilitas-fasilitas tertentu kepada ulama-ulama mazhab
itu.
3. Monopoli pembelian dan penyaluran hasil tanaman paksa kopi dari
daerah Minangkabau mengakibatkan meluas dominasi politik-ekonomi
Belanda ke Pesisir Timur dan menjadi salah satu sebab pecah perang
Aceh, lanjutan dari ”Perang Sumatera” (1821 – 1908).
4. Gelombang ke-2 pembaharuan pendidikan Islam di Minangkabau,
selain menimbulkan ketegangan-ketegangan baru antara kaum adat
dan kaum agama, menonjolkan tokoh-tokoh ulama-pendidik modern
Minangkabau, yang pengaruhnya masih terasa hingga dewasa ini.
5. Perubahan sistim ekonomi ” ”Naturalwirtschaft” menjadi
”Geldwirtschaft” menimbulkan golongan baru dalam masyarakat yang
bebas dari ikatan adat maupun agama dan menambahkan satu unsur
lagi bagi kegelisahan masyarakat Minangkabau
6. Kaum intelektuil Barat, diciptakan oleh Belanda bagi pemantapan
dominasi politik-ekonominya, berkembang sebagai ”ujung tombak”
yang dengan tenaga-tenaga masyarakat lain kemudian berhasil
menumbangkan kekuasaan Belanda di Minangkabau khususnya dan
Indonesia umumnya.
7. Kegelisahan masyarakat Minangkabau, diawali dengan Gerakan
Padri, hingga sekarang belum mengendap, karena ikatan-ikatan dan
susunan lama tidak lagi memuaskan, sedangkan yang baru sebagai
penggantinya masih belum terwujud.
BAB VIII.

PERUBAHAN SOSIAL-POLITIK MINANGKABAU

1. Pendahuluan

Proses sejarah yang dialami oleh Minangkabau sejak permulaan abad


ke-20 hingga ”Zaman Pendudukan Jepang”,-dalam buku ini dirumuskan
sebagai ”Perubahan Sosial-Politik Minangkabau”-, berhubungan erat dan
bertali temali dengan kompleks sebab musabab dalam masyarakat
Minangkabau sendiri dan jalin menjalin dengan peristiwa-peristiwa sejarah
diluar daerah Minangkabau, Jawa khususnya dan dunia umumnya.
Kemajuan teknik sejak akhir abad ke-19 merubah bentuk dunia,
merombak cara manusia berpikir, mempengaruhi tata cara dan pandangan
hidupnya. Dunia menjadi ”kecil”, hubungan lalu lintas manusia, barang dan
ideologi bertambah cepat dan erat. Daerah-daerah yang geografis maupun
mental hidup terisolir, jadi terbuka. Uang memainkan peranan penting, nilai-
nilai lama berubah, ikatan-ikatan tradisional longgar, manusia dan
masyarakat hidup dalam suasana penuh kegelisahan.
Masyarakat yang tadinya hidup dalam suasana ”splendid isolation”
dan ”zelvodaan” (terkurung dan puas), mengalami gempuran modernisasi
terus menerus dalam hampir segala bidang hidup dan penghidupan. Arus
pembahruan itu tidak berlangsung serentak dan dengan intensitas yang
sama dimana-mana, dan tidak tanpa mengakibatkan bentrokan-bentrokan
mental maupun fisik.
Petani-petani yang menghasilkan ”cash crops” untuk pasaran bebas,
guna memperoleh uang kontan buat memenuhi kepentingan hidup sehari-
hari, mengakibatkan timbul golongan saudagar-saudagar kecil dan
menengah. Mereka berperanan sebagai penghubung dan distributor antara
produsen dan konsumen. Kota-kota kecil timbul sebagai pusat perniagaan,
kerajinan dan pendidikan Barat. Golongan buruh, hidup dari menjual jasa
dan tenaganya, lepas dari ikatan tanah, berkembang biak dikota-kota. Unsur-
unsur kebudayaan Barat mulai menyusupi nilai-nilai hidup di kota-kota dan
merembes ke nagari-nagari. Nagari yang hidup dalam suasana berimbang
dan karenanya statis, dirangsang oleh arus baru itu dan merusak
keseimbangan lama. Dinamika dan kegelisahan suasana hidup di kota-kota
mulai menyusupi nagari-nagari.
Dekade-dekade dari abad ke-20 di Minangkabau ditandai oleh
”peasant uprisings”, pemberontakan petani, yang mencapai puncaknya
dengan ”Perang Silungkang” (1926/1927), yang secara tegas mengakhiri
periode ”proto-nationalist phase”, fase mula-kebangsaan dari Sejarah
Indonesia umumnya dan Sejarah Minangkabau khususnya. Berakhir pula
dengan peristiwa itu babakan sejarah kolonial di Indonesia, diawali pada
tahun 1901.
Zaman berikutnya, ditandai dengan reaksi Pemerintah Hindia
Belanda, berakhir dengan masuk tentara Jepang (1927 – 1942). Sikap reaksi
itu dibarengi dengan depresi dunia (sejak tahun 1929), di Minangkabau
menimbulkan gerakan nasionalis dengan Indonesia merdeka sebagai tujuan
(Permi). Dengan menangkapi dan menginternir pemimpin-pemimpin gerakan
itu (1934) hingga Jepang ”masuk” (1942) dapat dikatakan, pergerakan politik
lumpuh di Minangkabau. Dibawah suasana lahir yang tenang itu, semangat
perlawanan rakyat Minangkabau membara terus, seperti api dalam sekam.
Sikap reaksioner Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1934, dijiwai
oleh rasa takut dan khawatir. Di Timur Jauh Jepang berkembang sebagai
potensi ekonomi-industri besar, sejak tahun 1937 sebagai negara fasis-
militer membentuk front anti-demokrasi bersama-sama dengan Hitler-Jerman
dan Mussolini-Italia menuntut pembagian daerah jajahan yang ”lebih adil”.
Jepang menonjolkan diri sebagai pahlawan anti-kolonial (Barat) dan
meng”claim” kepemimpinan ”Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur
Raya”, yang tidak tanpa daya penarik bagi beberapa golongan di Indonesia
ketika itu.
Kecewa dan luka hati, uluran tangan untuk bekerjasama
mempertahankan wilayah Indonesia setelah negeri Belanda diduduki oleh
Nazi-Jerman (1940) tidak digubris oleh pemerintah Belanda, tidaklah
mengherankan kalau sebagian besar dari kaum intelektuil Indonesia, yang
melakukan perjuangan atas dasar nasionalisme, maupun atas dasar agama
(Islam), menyambut tentara ”Dai Nippon”, Jepang-raja, dengan hati lea dan
rasa gembira (1942). Biarpun ternyata kemudian, bahwa kelegaan dan
kegembiraan itu terlampau pagi dan tanpa alasan.

2. ”Ethische politiek”

Pidato kenegaraan, diucapkan oleh ratu Belanda Wilhelmina


menjelang akhir tahun 1901, antara lain membuat pokok-pokok pikiran
mengenai ”de nieuwe koers”, arah baru yang akan ditempuh oleh ”de
koloniale politiek”, politik jajahan. Didorong oleh rasa berhutang budi kepada
rakyat Hindia Belanda, penduduk Jawa terutama, yang hidup dalam lembah
kemiskinan akibat ”Tanam Paksa”, Pemerintah dan rakyat Belanda
mempunyai tanggung jawab moril mempertinggi taraf hidup dan
meningkatkan kesejahteraan kaulanya di Hindia. Arah baru dalam poitik
jajahan itu kemudian terkenal sebagai ”Ethische politiek”, politik susila.
Pada dasarnya arah baru dalam politik jajahan itu merupakan
kemenangan kaum liberal (kaum modal) Belanda, yang berhasrat besar
menginvestasikan modal mereka didaerah koloni. Apabila taraf hidup rakyat
jajahan meningkat karena penghasilan percapita bertambah, mereka akan
mampu membeli hasil industri Belanda, terutama tekstil dari Twente. Hindia
Belanda akan merupakan pasaran baik bagi industri Belanda.
Guna meningkatkan taraf hidup rakyat jajahan, eksploitasi kekayaan
bumi Indonesia seharusnya tidak dimonopoli oleh Pemerintah, modal swasta
harus diikutsertakan. Pemerintah berkewajiban menyediakan tenaga-tenaga
pekerja, yang mempunyai sekedar pengetahuan umum dan keterampilan.
Untuk itu harus dibuka atau memperbanyak jumlah dan jenis sekolah.
Kaum Liberal Belanda mencapai kemenangan itu berkat sokongan
Leiden, kota universitas Belanda penghasil kaum cerdik pandai, yang
memegang monopoli jabatan-jabatan Pemerintahan di Hindi Belanda
disamping ahli-ahli hukum dan ahli-ahli pikir politik jajahan.
Bagi Minangkabau pelaksanaan ”Ethische politiek” berarti dibuka
daerah itu untuk investasi modal Belanda, bertambah meluas pengaruh
”Geldwirtschaft”, meningkat jumlah kaum intelektuil dan setengah intelektuil
Barat, yang hidup dari menyewakan jasa dan tenaganya, dengan segala
akibatnya yang negatif bagi ikatan adat dan keluarga. ”Impact” Barat makin
menyelecuti pola hidup dan penghidupan rakyat sehari-hari. Pertenunan
rakyat, tidak mampu menghadapi saingan Twente, menjadi lumpuh. Beban
hidup bertambah berat. Disamping rodi di kebun-kebun kopi Pemerintah dan
untuk nagari, penduduk dikenakan pula pajak, kalau menjual dan membawa
ternak dan hasil buminya di pasar. Jasa dibayar relatif rendah, uang sulit
diperoleh, sedangkan kebutuhan hidup meningkat.
Arus modernisasi Minangkabau yang relatif cepat dalam jangka waktu
yang relatif singkat, menimbulkan desintegrasi diberbagai bidang hidup dan
kehidupan, melahirkan kegelisahan dan ketegangan-ketegangan yang
mencapai klimaksnya dalam ”perang belasting” di Korinci, Pauh, Manggopoh
dan Kamang (1908).
Belasting sebagai iuran paksa dari rakyat, dalam bentuk ”natura” (rodi)
maupun ”cash”, uang kontan, hanyalah satu aspek dari ”peasant uprising”
itu, bukan penyebab utama. ”Belasting” berperanan sebagai alasan langsung
, ”gerede aanleiding”, seperti titik air yang membuat gelas yang sudah penuh,
jadi melimpah.
Perlawanan nagari-nagari tersebut merupakan jawaban Minangkabau
menghadapi tantangan ”impact” Barat. Arus modernisasi telah melemahkan
sendi-sendi nagari dan masyarakat Minangkabau.
Perang Belasting itu pada dasarnya pembenturan dua ideologi, dua
macam pandangan dan sikap hidup yang saling berbeda. Faham
konservatisme, yang ingin mempertahankan segala sesuatu sebagaimana
adanya, mengadakan reaksi menentang aliran modernisasi, yang hendak
merombak, sekurang-kurangnya merubah segala sesuatu yang ada. Untuk
menjaga dan melanjutkan keseimbangan hidup dan penghidupan dalam
nagari, mempertahanakan diri dari usaha yang mengganggu keseimbangan
itu.
Politik ethis hanya ethis dalam perumusannya, pelaksanaanya tidak
ada hubungannya dengan ethika. Kaum Liberal Belanda dengan
bekerjasama dengan Pemerintah Jajahan, bersama-sama mengeksploitir
kekayaan bumi dan tenaga manusia Indonesia dengan topeng ”ethis”.
”Peasant uprisings” yang mencapai puncaknya dengan ”Perang
Silungkang” adalah jawaban yang diberikan oleh Minangkabau terhadap
tantangan politik ethis itu.

3. Modernisasi dan Reformasi

a. Pengertian dan sumber

Modernisasi adalah sikap mental yang mendasari perubahan


pandangan dan nilai-nilai hidup dalam masyarakat. Perubahan pandangan
dan nilai-nilai hidup dalam masyarakat itu mengakibatkan modernisasi
struktur masyarakat, menimbulkan perubahan pandangan politik,
mengintensifkan kegiatan-kegiatan ekonomi, ringkasnya menjadi perangsang
pembaharuan politik, ekonomi dan kebudayaan.
Apabila perombakan itu terjadi sekonyong-konyong, dihayati dan
didukung oleh lapisan rakyat luas, modernisasi itu disebut ”revolusi”. Ia
dinamakan ”evolusi” apabila perubahan-perubahan itu terjadi secara
bertahap dan dalam jangka waktu yang relatif panjang.
Modernisasi dibidang agama, dalam pengertian merombak cara
berpikir keagamaan, merubah cara memberikan tafsiran agama, pendidikan
dan dakwah agama, dinamakan ”reformasi”.
Modernisasi di Indonesia umunya dan Minangkabau khususnya sejak
permulaan abad ke-20 disemangati oleh dan bersumber pada dua alam
pikiran dan pandangan hidup. Berasal dari pokok yang satu, perkembangan
dalam iklim kebudayaan dan geografis yang berbeda, menimbulkan jurang
perpisahan yang dalam dan lebar antara kedua alam pikiran dan pandangan
hidup itu.
Yang pertama mengalir dari sumber alam pikiran dan pandangan
hidup Greco-Romawi, Judaeis-Kristen dan Germaans, lazim disebut ”Barat”.
Melalui lembaga-lembaga pendidikan Belanda, Pemerintah maupun swasta,
diintensifkan oleh hubungan ataupun ikatan-ikatan pribadi, oleh buku, mass-
media seperti koran dan majalah-majalah, menyebar luas kedalam
masyarakat Indonesia umumnya, Minangkabau khususnya sejak permulaan
abad ke-20.
Seorang intelektuil Indonesia disebut ”modern”, kalau memperoleh
pendidikan Barat, hidup meniru cara-cara orang Barat, menguasai,
sekurang-kurangnya mengerti bahasa Belanda, alat komunikasi kebudayaan
Barat yang utama ditanah air kita sebelum ”Zaman Jepang”.
Yang kedua merembes ke daerah Minangkabau khususnya, dengan
Mesir dan Tanah Arab sebagai sumber utama, melalui lembaga-lembaga
pendidikan agama, ”surau” maupun pesantren. Bahasa Arab merupakan alat
komunikasinya terpenting. Faham inilah yang memainkan peranan penting di
Minangkabau, yang pada tahun 20-an ditunggangi oleh sosialisme kiri
(komunisme), pecah dam menjadi lemah karena itu. Sungguhpun menderita
hambatan besar akibat tekanan reaksi dan depresi ekonomi (sejak tahun
1930), faham ini yang dilandasi dengan unsur-unsur kebangsaan, berhasil
menggerakkan orang dan masyarakat Minangkabau kembali (1934).

b. ”Kaum Muda” dan ”Kaum Tua”

Kebangkitan Islam di Timur Tengah khususnya (akhir abad ke-19) dan


”the Awakening of Asia”, kebangkitan Asia umumnya (sejak permulaan abad
ke-20), diakibatkan oleh ”impact” Barat yang lebih besar daripada abad-abad
sebelumnya, lazim disebut ”Imperialisme modern” (1870).
Perintis modernisasi Islam, Syeh Djamaluddin al Afghani, seorang
ulama dari kalangan yang berpengaruh di Afghanistan, atas desakan dan
hasutan Inggris, terpaksa meninggalkan tanah airnya. Setelah babarapa
waktu lamanya mengembara dari Iran, Turki, Mesir hingga ke Rusia, ia
menetap di Perancis (Paris), bersama-sam dengan muridnya yang berbakat,
Muhammad Abduh dari universitas al Azhar, Mesir, Djamaluddin
menerbitkan majalahnya ”al Urwatul Wusja”, yang tersebar luas didunia
Islam abad ke-19. Diberikannya analisa yang tajam mengenai kemunduran
agama dan negara-negara Islam, hingga menjadi mangsa dominasi politik-
ekonomi Barat. Taklid yang mengikat orang Islam melumpuhkan, kalai tidak
mematikan idjtihad (penyelidikan). Eropa, yang tadinya menimba ilmu
pengetahuan dari sumber Islam, karena tidak terikat oleh idjtihad, bebas
memperkembangkan ilmu yang mereka warisi itu, dengan akibat, guru (dunia
Islam) tunduk dan dikuasai oleh bekas murid (Eropa). Kritik-kritik pedas
dilemparkannya kepada golongan agama, kaum ulama yang sekedar
mengunyah-gunyah dan meneruskan ucapan-ucapan ulama dan fukaha
sebelumnya, hingga menghasilkan murid-murid yang cakap membeo saja,
tanpa semangat idjtihad.
Sebagai rektor universitas al Azhar kemudian, dibantu oleh muridnya
Said Muhammad Rasjid Ridha, Abduh menerbitkan majalah ”al Manaar”,
mercu suar, yang menjabarkan dan menyebarluaskan pokok-pokok pikiran
Djamaluddin, hingga ke Minangkabau.
Di Mekah buah pikiran Djamaluddin serta tafsir-tafsir modern yang
dimuat dalam ”al Manaar” mendapat reaksi hebat dari kaum ulama,
menyebut Djamaluddin dan Abduh ”kaum Wahhabi” dan mempengaruhi
orang yang naik haji, juga yang datang dari Minangkabau. ”Mazhab” al Azhar
dan ”Mazhab” Mekah itu masing-masing mempunyai pembela dan
penentangnya di Minangkabau, yang akan mempengaruhi modernisasi dan
reformasi didaerah itu pada zaman berikutnya.
Seorang ulama Melayu, Syeh Ahmad Taher al Azhari, setelah naik
haji, mengunjungi Mesir dan kemudian Eropa. Ia sangat dipengaruhi oleh
modernisasi yang dipelopori oleh Abduh. Sekembalinya di Singapura Syeh
Ahmad Taher menerbitkan majalah ”Al Imam” (1910), yang berbahasa
Melayu dan memuat salinan-salinan dari ”al Manaar”, ”Al Imam” dibaca
dalam kalangan luas di Minangkabau dan mempengaruhi ulama-ulama muda
ketika itu, diantaranya Syeh M. Djamil Djambek, Syeh Abd. Karim
Amarullahdan Syeh Abdullah Ahmad. Atas anjuran Syeh M.D. Djambek dan
Syeh A.K. Amarullah, Syeh A. Ahmad menerbitkan majalah ”al Munir” di
Padang (1911 – 1916), dengan kedua ulama yang disebut terdahulu sebagai
pembantu tetap. ”al Munir”lah yang menyebarkan semangat modernisasi dan
reformasi di Minangkabau, kemudian di Malaya, Jawa, Kalimantan dan
Sulawesi. Salah seorang langganannya yang setia di Yogyakarta ialah K.H
Ahmad Dahlan, bapak Muhammadiah kemudian (1912). Kembali
Minangkabau memegang peranan penting dalam pembaharuan dan
kebangkitan semangat Islam di tanah air.
”Mazhab” Al Azhar yang disebarluaskan oleh ”al Munir” itu mendapat
reaksi hebat dari ”mazhab” Mekah, yang menggunakan majalah ”Suluh
Melayu” di Padang sebagai trompetnya. Masyarakat Minangkabau pecah
dua, menjadi penyokong modernisasi dan reformasi, ”Kaum Muda” dan
penentangnya, ”Kaum Tua” Pemerintah Hindia Belanda menyokong ”Kaum
Tua”, karena ”Kaum Muda” dipimpin oleh yang berpandangan luas,
mempunyai daya kritik yang tajam, cendrung kepada faham ”Pan-
Islamisme”. Faham itu dipelopori oleh Mesir, ketika kekuasaan Turki-Osman
telah sangat menurun dan Sultan Turki sebagai ”Khalifah”, pemimpin
keagamaan umat Islam, menjadi sumber ejekan dan bahan lelucon negara-
negara Barat. Pan-Islamisme bertujuan mempersatukan ummat Islam
dibawah pimpinan Mesir dan dianggap sebagai ancaman politik oleh negara-
negara Barat, termasuk negeri Belanda, yang rakyat jajahannya terutama
terdiri dari penganut-penganut agama Islam.
Perpecahan golongan beragama dengan ketegangan-ketegangan dan
kekisruhan-kekisruhan masyarakat sebagai akibatnya, merupakan salah satu
ciri Sejarah Minangkabau hingga tahun 1928.
Modernisasi dan reforamsi Islam Minangkabau berkembang lebih
cepat dan membawa hasil yang lebih mantap daripada daerah-daerah
Indonesia lain, disebabkan dua hal yang berhubungan erat dengan
sesamanya.
Arus pembaharuan itu dipelopori, dibina dan dipimpin oleh putera-
putera daerah sendiri, yang mendapat pendidikan di Minangkabau maupun
diluar daerah itu (Mesir terutama), diantaranya yang menonjol ialah Syeh M.
Djamil Djambek, Syeh Abd. Karim Amarullahdan Syeh Abdullah Ahmad.
Faham pembaharuan itu disemaikan dan disebarluaskan melalui lembaga-
lembaga pendidikan yang sudah dimodernisasi. Ada kurikulum yang memuat
pengetahuan umum sebagai mata pelajaran. Pendidikan dilakukan secara
klassikaal dengan tingkatan-tingkatan menurut kelas dan jenid lembaga
pendidikan agama (Ibtidiah, Tsawaniah, pendidikan Guru dan sebagainya).
Karena pendidikan agama dibarengi dengan pengetahuan umum dan (dasar-
dasar) bahasa Barat (Belanda), guru-guru agama dan ulama muda yang
dihasilkannya dibekali dengan ilmu dan alat untuk menghadapi masyarakat
yang sedang dilanda oleh arus pembaharuan yang datang dari Barat melalui
lembaga-lembaga pendidikan Pemerintah maupun swasta.
Qur’an diterjemahkan berikut tafsirnya dalam bahasa Indonesia,
khutbah hari Jum’at dilakukan dalam bahasa Indonesia, mendo’a dalam
bahasa Indonesia makin lazim dilakukan, upacara-upacara kematian yang
bersangkutan dengan ”adat jahiliyah”, makin banyak ditinggalkan.
Sekalian pembaharuan itu mendapat tentangan hebat dari ”kaum
Tua”, yang menamakan ”Kaum Muda” kaum ”Wahabi”.
Di Jawa modernisme yang dicetuskan oleh Syeh Djamaluddin al
Afghani dan dilanjutkan oleh muridnya Syeh Muhammad Abduh,
menimbulkan gerakan politik (Sarekat Islam) dan gerakan sosial-pendidikan,
(Muhammadiah) kedua-duanya dengan agama Islam sebagai landasan dan
pangkal tolak.
Sarekat Islam dan Muhammadiah ikut memainkan peranan penting di
Minangkabau dalam bidang perkembangan politik dan pendidikan.

c. Sarekat Islam

Didirikan sebagai ”Sarekat Dagang Islam” (1911) oleh saudagar-


saudagar batik di Solo dan Yogya untuk bersama-sama menghadapi
monopoli perdagangan bahan-bahan baku oleh saudagar-saudagar Cina,
dibawah pimpinan H.O.S Tjokroaminoto, Agoes Salim dan Abdoel Moeis.
”Sarekat Islam” (1912) secepat meteor berkembang menjadi partai politik.
Menjelang akhir tahun 1919 anggotanya yang tercatat sudah berjumlah
mendekati 2 juta orang, terbagi atas  80 cabang, bertebaran di tanah air.
Pertumbuhan secepat kilat itu merupakan sumber kelemahan S.I,
karena tidak dibarengi oleh kecakapan berorganisasi dan keahlian
melakukan administrasi. Disamping itu Pemerintah Hindia Belanda
menghalang-halangi dibentuk Pengurus Pusat dan sejak tahun 1917 S.I,
mulai diinfiltrir oleh alliran sosialisme kiri (komunis). Perpecahan segera
timbul, S.I pecah menjadi S.I ”Putih” dan S.I ”Merah” (1921). S.I Merah,
gerakan komunis berkedok Islam dan berhubungan erat dengan
”Perhimpunan Komunis India” (1920), dengan nama ”Sarekat Rakyat” (SR)
(1923), berkat kegiatan Abdoel Moeis bergerak pula di Minangkabau (1924).
Sarekat Rakyat di Sumatera Barat dapat merangkul kaum ulama
meda, menyusupi lembaga pendidikan ”Soematra Thawalib”, didirikan sejak
tahun 1918 di Padang Panjang, menarik kaum buruh, petani dan kaum
intelek/setengah intelek Barat kepihak mereka. Kaum komunis
mengeksploitir perasaan tidak puas rakyat Minangkabau ketika itu. Ulama-
ulama muda tidak puas, karena merasa kebebasan mereka dihalang-halangi
oleh Belanda. Kaum Ulama Tua tidak puas, karena merasa wibawa mereka
dirongrong oleh ”Kaum Muda”. Kaum petani tidak puas, karena beban hidup
dirasa sangat menekan, sedangkan penghasilan kecil. Kaum buruh di kota-
kota menggerutu, karena perlakuan yang berbeda antara buruh-buruh
Indonesia dan bukan Indonesia. Kaum adat tidak puas karena merasa
wibawa mereka tambah merosot. Kaum intelektuil/setengah intelektuil Barat,
sungguhpun jumlah mereka tidak begitu besar tidak puas, karena harapan-
harapan besar selama belajar, setelah tamat tidak terpenuhi. Untuk sekalian
penyakit itu kaum komunis mempunyai obat pelibur lara, dibarengi dengan
janji-janji, yang toh tidak dilaksanakan kelak, apabila mereka sudah
berkuasa, tetapi mempunyai daya penarik yang besar bagi rakyat yang tidak
kritis. Kaum komunis mengemukakan diri sebagai pahalawan anti kolonial
dan modal (asing) pada golongan nasionalis. Bagi golongan adat, mereka
berpose sebagai pembela adat. Bersama-sama dengan kaum agama
mereka adalah penegak syariat dan hukum agama. Kepada petani dijanjikan
pembagian tanah yang lebih adil dan peningkatan harga hasil bumi dan
ternaknya. Kepada kaum buruh dibayangkan masa depan tanpa klas,
dimana tidak ada majikan dan bawahan. Hasil keringat mereka akan dapat
mereka nikmati sendiri.
Bencana, penderitaan dan kemelaratan sebagai akibat ”Perang
Silungkang” (1926/1927), pemberontakan membabi buta dari penduduk yang
disesatkan oleh propaganda dan janji-janji setinggi gunung oleh komunis,
membukakan mata rakyat Minangkabau tentang kehampaan dan
kebohongan kaum komunis itu. Banyak tenaga-tenaga muda yang telah
disesatkan oleh bujukan komunis itu ditangkap, ditahan dan dibuang ke
Digul.
Syeh M. Djamil Djambek, Syeh Abd. Karim Amarullahdan Syeh
Abdullah Ahmad, ketiga-tiganya tadinya ikut mempelopori dan membina
pembangunan ”Soematra Thawalib”, tepat pada waktunya menarik diri dari
lembaga pendidikan itu. Syeh M.D. Djambek memutuskan segala perhatian
dan tenaganya di”surau’nya di Tengah Sawah (Bukittinggi), Syeh H.A.K.
Amarullah pada ”surau”nya di Sungai Buluh (Maninjau) dan Syeh A. Ahmad
pada sekolah ”Adabiah”nya di Padang. Ketiga ulama-pelopor pembaharuan
Islam di Minangkabau itu tidak terlibat dalam ”pemberontakan komunis” di
Minangkabau, karena itu dapat melanjutkan usahanya masing-masing
mendidik kader-kader pembaharuan dan pejuang-pejuang dizaman yang
akan datang.

d. Muhammadiah

Berbeda dengan Sarekat Islam yang memusatkan segala daya dan


tenaga dibidang politik guna mencapai perbaikan ekonomi dan kematangan
politik bagi rakyat Indonesia yang beragama Islam, Muhammadiah memilih
lapangan pendidikan dan sosial sebagai ruang geraknya. Dengan jalan
memberikan pendidikan Islam yang modern, memupuk dan
mengembangkan rasa sosial dan rasa tolong menolong antara sesama
rakyat Indonesia yang beragama Islam. Muhammadiah bercita-cita mencapai
tujuan politik dan ekonomi yang diperjuangkan oleh S.I, melalui saluran-
saluran dan kegiatan-kegiatan politik terutama. Prinsip pokok digariskan oleh
”bapak” Muhammadiah dalam soal-soal dan pertikaian-pertikaian politik,
sungguhpun secara pribadi anggota Muhammadiah tidak dilarang untuk
berpolitik, telah berhasil menyelamatkan ”kapal” Muhammadiah dari segala
arus-gelombang, cobaan dan ancaman zaman, keadaan dan situasi, sejak
dari tahun didirikannya (1912).
Di Minangkabau, dimana reformasi dan modernisasi agama Islam
tidak dapat membebaskan diri seluruhnya dari pengaruh politik,
perkembangan Muhammadiah berhubungan erat dan jalin menjalin dengan
”ups and downs” partai-partai politik.
Hingga tahun 1927 perkembangan Muhammadiah di Minangkabau
terhalang, jauh tercecer dibelakang pertumbuhan Sarekat Islam, Sarekat
Rakyat (PKI) dan Soematra Thawalib. Sebagai partai dan lembaga
pendidikan Islam yang militan, tegas-tegas anti penjajahan, anti modal
(asing), pejuang kemerdekaan bangsa dan nusa, S.I., S.R dan Soematra
Thawalib jauh lebih menarik dan mempesonakan. Muhammadiah sebagai
badan yang bergerak dibidang pendidikan dan tidak ragu-ragu menerima
bantuan (uang) dari Pemerintah Hindia Belanda, dianggap lembek dan
”banci”.
Kekecewaan besar dikalangan rakyat banyak, yang merasa tertipu
oleh janji-janji gunung emas pihak PKI, setelah ”Perang Silungkang”
mengalami kegagalan total, menjadikan sarekat Islam yang telah bertukar
nama menjadi ”Partai Sarekat Islam Indonesia” (PSII) dan Muhammadiah
sebagai tempat berlindung dan bergerak. Anggota-anggota PKI, dapat
meloloskan diri dari pengawasan, pengejaran dan penahanan polisi rahasi
(PID), menyusupi PSII dan Muhammadiah di Minangkabau. Penyusupan
anggota-anggota baru itu, dicekoki dengan semangat dan propaganda
komunis, berhasil merubah sikap dan sifat Muhammadiah maupun PSII.
Kedua-duanya menjadi sangat militan dan agresif. Hal itu terbukti dengan
nyata pada Kongres Muhammadiah di Bukittinggi (1930), dihadiri oleh ulama-
ulama berpengaruh di Minangkabau dan tokoh-tokoh PSII. Pidato yang
berapi-api dan bersemangat, tidak bebas dari kritik-kritik pedas dan sindiran
yang dialamatkan kepada Pemerintah Hindia Belanda, silih berganti dan
menghangatkan suasana.
Cemas melihat perkembangan cabangnya di Minangkabau, yang
telah jelas menyimpang dari prinsip pokok seperti yang digariskan, Pimpinan
Pusat Muhammadiah mengambil sikap dan tindakan yang tegas.
Muhammadiah di Minangkabau harus memecat anggota-anggotanya yang
bermain api dengan politik dan membahayakan kedudukan pimpinan pusat.
Muhammadiah di Minangkabau mengalami kemunduran sejak tahun
1930. anggota-anggotanya yang bersemangat dan aktif, mendapat
penampungan pada PSII dan Soematra Thawalib (yang sudah direorganisir).
Soematra Thawalib bersama-sama dengan anggota-anggota muda dan
sedang bergelora semangatnya, dipecat dari Muhammadiah, mendirikan
”Persatoean Moeslim Indonesia” (Permi) (1930).
Agitasi politik, segera dilakukan oleh PSII dan Permi, mengakibatkan
turun tangan Pemerintah Hindia Belanda. Pemimpin-pemimpinnya ditangkap,
ditahan dan ada yang diasingkan ke Digul (1934). Kedua partai politik itu
kehilangan pamor dan buyar dengan sendirinya (1937). Tinggal
Muhammadiah satu-satunya lembaga gerakan rakyat yang berdasarkan
Islam sebagai wadah penampungan kegiatan-kegiatan dan semangat juang
angkatan muda Minangkabau. Sejak itu Muhammadiah mengalami
perkembangan dan tumbuh pesat di Minangkabau sebagai lembaga
pendidikan Islam modern, gerakan pemuda (kepanduan Hizbul Wathon),
aktivitas kaum wanita (Aisyiah), yang melancarkan da’wah Islam,
menerbitkan majalah, menyelenggarakan balai-balai pengobatan, rumah
yatim piatu, menerima dan membagi-bagikan zakat dan fithrah, dan
sebagainya.
Membebaskan diri seluruhnya dari aktivitas politik, bagaimanapun
semunya, berhubung dengan iklim kebudayaan dan suasana politik,
Muhammadiah di Minangkabau tidak pula dapat. Sifatnya yang tetap
”ambigious”, banci itu, tidak dapat membebaskan Muhammadiah dari
pengawasan dan rasa curiga Pemerintah Hindia Belanda dan aparaturnya.
Hal itu terbukti dengan nyata, ketika dilakukan penunjukkan anggota
”Minangkabau Raad”, Dewan Minangkabau (1938). Ulama modern (Syeh
M.D. Djambek) dan konservatif (Syeh Abbas ar Rasuli) ditunjuk sebagai
anggota dewan itu disamping wakil-wakil golongan lain, karena mendapatkan
kepercayaan dari Pemerintah Hindia Belanda. Muhammadiah sebagai
lembaga pendidikan, sosial dan gerakkan massa tidak mendapat skorsi
dalam dewan otonomi (yang hanya bertugas sebagai dewan penasehat) itu.
Hingga digantikan kekuasaan Belanda oleh Jepang (Maret 1942),
Muhammadiyah satu-satunya oraganisasi Islam yang ditoleril oleh
Pemerintah Hindia Belanda di Minangkabau.

e. Gerakan Pemuda

Pada tanggal 9 Desember 1917 pemuda-pelajar asal Sumatera,


khususnya Sumatera Barat, sesuai dengan iklim dan suasan plitik ketika itu,
mendirikan ”Jong Sumatranen Bond” di Batavia. Cabang didirikan di
Bukittinggi dan Padang, yang dalam tahun 1919 dijadikan tempat ”Pemuda
Sumatera” mengadakan kongresnya. Di Minangkabau sendiri pengaruh
perkumpulan pemuda-pelajar Sumatera itu tidak besar, sungguhpun ”Jong
Sumatranen Bond” menjadi wadah tempat persemaian bibit pemimpin-
pemimpin Indonesia asal daerah Minangkabau, yang dalam masa
”Perjuangan Persiapan Kemerdekaan” (1928 – 1945) dan ”Zaman
Pendudukan Jepang” (1942 – 1945) dan ”Zaman Revolusi Fisik” (1945 –
1950), sebagai angkatan kedua sesudah H. Agoes Salim dan Abd. Moeis
memainkan peranan yang menentukan.
Adalah satu paradoks dalam sejarah Minangkabau, putera-putera
Minangkabau menjadi besar dan berpengaruh sebagai ahli politik, penguasa,
literatos dan sebagainya, diluar daerah asal mereka dan berusaha
melakukan pembaharuan ”kampung” yang selalu dirindukan, tetapi tidak
ingin didiami, justru dari ”rantau, yang menangis bila ditinggalkan”
Muhammad Hatta, anggota ”Jong Sumatranen Bond” di Padang,
kemudian sebagai anggota ”Indische Vereeniging” di Negeri Belanda
(didirikan pada tahun 1908), yang dalam tahun 1922 merubah namanya
menjadi ”Indonesische Vereeniging” dan dalam tahun 1924 akhirnya
bernama ”Perhimpoenan Indonesia”, bergerak, berjuang, menderita dan
menjadi besar di luar Minangkabau. Demikian pula halnya dengan Dr. Rivai,
H.A Salim dan Abd. Moeis sebelumnya, Moh. Yamin, Djamaloeddin Adi
Negoro, dr Amir dan sebagainya, terlampau banyak untuk disebut
semuanya. Hanya mereka yang berpendidikan agama, bekerja dan berjuang
sebagai penganjur dan pembaharu pendidikan agama yang menjadi besar
dan berpengaruh di Minangkabau. Itupun hanya sampai tahun 1934. Yang
menonjol ditangkap, ditahan dan dibuang keluar daerah Minangkabau,
karena dianggap berbahaya bagi ketenangan dan ketertiban umum
(algemene rust en orde)
Jumlah kaum intelektuil Barat di Minangkabau terlampau kecil untuk
dapat merupakan potensi dalam masyarakat. Yang ada kebanyakan bekerja
sebagai pegawai Pemerintah Hindia Belanda. Ruang dan kebebasan gerak
mereka sangat terbatas.
Gerakan Pemuda Minangkabau diluar daerah asal mereka,
mempersiapkan mereka untuk menjadi pemimpin diberbagai lapangan hidup
bangsa, yang ruang geraknya jauh lebih luas dari daerah Minangkabau.
Mereka menjadi pemimpin Indonesia.

4. Reaksi, depresi dan kontra-aksi

a. Reaksi
Diombang-ambingkan selalu antara pilihan mendahulukan
kepentingan rakyat jajahan atau kepentingan kaum modal, pola politik
kolonial Belanda ialah ”sistim tanpa sistim” (”een systeemloze systeem”).
Mendahulukan kepentingan rakyat jajahan, berarti meninggalkan taraf
hidup dan ilmu pengetahuan mereka, memperbanyak jumlah, jenis dan
tingkatan lembaga pendidikan bagi anak-anak mereka, mempertinggi gaji
dan upah pegawai dan pekerja, dan sebagainya. Hal itu berarti bertambah
besar pengeluaran bagi koloni, yang ditentang dengan sekuat tenaga oleh
kaum modal, karena akan memperkecil marge keuntungan mereka. Dividend
pemegang saham di Negeri Belanda, yang wakilnya duduk dalam Parlemen
(Tweede Kamer) sebagai pembela kaum modal, akan turun. Mereka akan
melancarkan kritik-kritik pedas terhadap ”beleid der Indische Regering”,
kebijaksanaan Pemerintah Hindia.
Selalu membela kepentingan kaum modal, berarti mengorbankan
tuntutan rakyat jajahan. Rasa tidak puas akan bertambah besar dan meluas,
perlawanan dalam bentuk kecaman-kecaman pedas dalam koran-koran dan
rapat-rapat, aksi-aksi mogok dan perlawanan bersenjata akan sering terjadi.
Jurang perpisahan yang dalam dan lebar akan memisahkan rakyat dari
Pemerintahan Jajahan.
Kedua kepentingan yang saling berlawanan itu, tidak mungkin
dipertemukan, tanpa mengorbankan yang satu.
Mengenai pelaksanaan ”Ethische politiek”, di Hindia Belanda maupun
di Negeri Belanda ada dua golongan kontroversial. Golongan ”the
enlightened” ingin mempertinggi taraf hidup dan pengetahuan rakyat jajahan,
agar mereka dapat dijadikan partner bagi kemantapan dan kelanjutan
dominasi politik-ekonomi Belanda didaerah jajahan. Golongan ”progresip” itu
memimpinkan ”Politik asosiasi”, didukung bersama oleh pihak Belanda dan
pihak Indonesia, yang berpendidikan Barat.
Golongan ”the die-hards”, kepala batu dan konservatif tetap
berpegang pada ”uitbuitingspolitiek”, politik pemerasan, dimana perlu dengan
menggunakan kekerasan, keunggulan persenjataan dan perlengkapan
tentara Hidia Belanda. Pola politik jajahan hingga tahun 1942 dan ”public
upinion” di Negeri Belanda antara tahun 1945 – 1950 dipengaruhi oleh
pertentangan kedua golongan itu.
Pemberontakan komunis tahun 1926/1927 di Minangkabau (dan
Banten) dijadikan bukti oleh golongan konservatip tentang kebenaran
pendapat mereka. Merekalah yang selanjutnya akan memegang peranan
penting dalam gelombang reaksi, yang melanda Indonesia, khususnya
Minangkabau sejak tahun 1927. Pemerintah Hindia Belanda mengejar,
menangkap, menahan, megadili, menghukum dan membuang tiap-tiap orang
yang dituduh maupun disangka bersimpati dengan gerakan komunis di
Indonesia. Gerakan kebangsaan mendapat pukulan hebat, menjadi lemah
dan lesu. Impasse politik itu segera pula diikuti oleh depresi ekonomi yang
meliputi seluruh dunia sejak tahun 1929. Banyak orang Indonesia kehilangan
mata pencaharian. Pengangguran merajalela. Uang sulit. Hasil-hasil bumi
tidak ada pembelinya. Kemelaratan dan penderitaan rakyat, terutama
didaerah pedalaman, meluas dan merata.
Reaksi yang dijalankan secara ketat, bersifat preventif dan depresif.
Preventif dengan mengeluarkan atau mengaktifkan penggunaan undang-
undang, dan peraturan-peraturan pemerintah, yang maksudnya
mempersempit ruang gerak dan kemerdekaan pemimpin-pemimpin
pergerakan kebangsaan untuk mengeluarkan pendapat mereka secara lisan
maupun tulisan. Sensor keras diadakan. Tiap-tiap penerbitan, sebelum
diedarkan, tiap-tiap pidato sebelum diucapkan, harus mendapat persetujuan
PID (Politieke Inlichtingen Dienst), polisi rahasia, terlebih dahulu, PID sangat
berkuasa. Tangannya panjang, matanya banyak, wibawanya besar. Hindia
Belanda jadi ”negara polisi”.
Pengawasan sekolah-sekolah agama diperketat dengan mengaktifkan
”Guru ordonnantie”. Di Minangkabau pelaksanaan peraturan pemerintah itu
mendapat reaksi hebat.
Karena jumlah sekolah yang memberikan pendidikan barat sangat
terbatas, sedangkan hasrat rakyat untuk memperoleh pendidikan itu bagi
anak-anak mereka kian lama kian besar, Pemerintah Hindia Belanda
membuka jenis sekolah baru, ”Schakel-School” (5 tahun). Murid-murid
”Volkschool”, Sekolah Desa (3 tahun), yang berbakat dan rajin, tetapi orang
tua mereka tidak mampu, dapat melanjutkan pelajaran di ”Schakel School”,
yang jumlahnya sangat terbatas.
Sekolah-sekolah swasta, didirikan oleh perkumpulan maupun oleh
orang perorangan, bermunculan dimana-mana. Guna mengawasi
perkembangan dan pendidikan pada sekolah-sekolah swastaitu, yang secara
resmi disebut ”wilden scholen”, sekolah-sekolah liar, Pemerintah
menerbitkan undang-undang sekolah liar (”Wildt scholen ordonnantie,
1937”), Wildt scholen ordonnantie itu mendapat reaksi yang hebat pula di
Minangkabau.

b. Depresi
Selesai Perang Dunia I (1914 – 1918), Amerika Serikat sebagai
bangkir dunia, memberikan pinjaman modal yang tidak sedikit jumlahnya
kepada negara-negara Eropa. Dalam tahun 1929 negara-negara kreditur itu
tidak berkesanggupan lagi membayar bunga dan mengangsur hutang-hutang
mereka. Bank-Bank di New York menutup pintunya, menghentikan segala
pembayaran. Perdagangan dunia lumpuh.
Hindia Belanda sebagai negara agraris, hidup terutama dari ekspor
hasil-hasil buminya. Berbeda dengan negara-negara merdeka, yang
pemerintahnya melindungi kepentingan-kepentingan rakyatnya dengan
segera mendevaluasikan nilai mata uangnya agar hasil-hasil industri mereka
dapat dijual dengan harga yang lebih rendah. Hindia Belanda sebagai
jajahan mengutamakan kepentingan kaum modal. Gulden tidak didevaluir.
Harga bahan-bahan ekspor Hindia Belanda tetap tinggi dan karena itu tidak
ada pembelinya. Pemerintah Hindia Belanda dan perusahaan-perusahaan
dagang maupun industri Belanda melakukan tindakan-tindakan yang sangat
drastis. Banyak pegawai yang diperhentikan, atau diberi sekedar ”uang
tunggu”. Gaji dan upah diturunkan. Desa yang sudah miskin, tertutup mata
pencahariannya dan harus pula menampung pegawai-pegawai dan pekerja-
pekerja dari kota, yang kehilangan pekerjaan.
Bagi pergerakan kebangsaan depresi itu mempunyai akibat yang
parah sekali. Jumlah anggotanya mundur. Uang iuran tidak masuk.
Semangat juangnya luntur.
Minangkabau yang baru saja mengalami pemberontakan komunis,
menderita lebih parah lagi. Bukan saja Minangkabau kehilangan banyak
tenaga-tenaga muda yang berbakat dan sangat aktif, yang masih ada
memusatkan segala usaha dan tenaga untuk dapat hidup. Hasil-hasil bumi
dan hutan tidak ada pembelinya. Kalaupun ada harga yang dibayar lebih
kecil dari ongkos mencari, mengumpulkan dan mentranspornya.
Perdagangan lesu. Rakyat kehilangan mata pencaharian. Kemiskinan dan
penderitaan merajalela.
Antara tahun 1927 – 1930, akibat tekanan reaksi dan depresi, di
Minangkabau tidak ada kegiatan-kegiatan politik yang berarti. Kenyataan itu
tidak mengandung makna, bahwa semangat juang rakyat Minangkabau
terpatahkan sudah. Hanya keadaan ekonomi yang sangat suram dan reaksi
yang sangat ketat membuat keadaan di Minangkabau seperti ”api dalam
sekam”. Diluar kelihatannya tenang dan tentram, tetapi di dalam api tetap
membakar.

c. Kontra-aksi

1. ”Guru-ordonnantie”

Guru-ordonnantie ialah peraturan Pemerintah yang menetapkan


wewenang untuk diizinkan mengajar dan hak pemerintah untuk mengawasi
pengajaran pada lembaga-lembaga pendidikan swasta. Dikeluarkan pada
tahun 1905, maka yang dimaksud dengan sekolah-sekolah swasta ialah
lembaga-lembaga pendidikan agama, karena ketika itu sekolah-sekolah
agamalah yang baru banyak ada. Jiwa Guru-ordonnantie ialah mengawasi
kegiatan-kegiatan guru agama terutama. Peraturan itu mulai dijalankan di
Jawa pada tahun 1925, karena banyak menghadapi reaksi. Sedikit
perubahan dilakukan kemudian, bahwa istilah pengawasan harus diartikan
memberitahukan kepada pemerintah setempat tentang adanya lembaga
pendidikan agama serta susunan pengajar dan pengurusnya.
Pada tahun 1928 Pemerintah Hindia Belanda hendak menjalankan
Guru-ordonnantie didaerah Minangkabau dan mendapat reaksi hebat
dikalangan ulama modern (”Kaum Tua”). Peraturan itu dianggap membatasi
ulama dan guru agama untuk melakukan tugasnya sebagai penyuluh agama
melakukan da’wah dan dengan demikian merintangi perkembangan agama
Islam.
Lebih dari 2000 orang guru agama berkumpul di Bukittinggi dan
menentang pelaksanaan Guru-ordonnantie di Minangkabau (1928) Kaum
Muda dan Kaum Tua melupakan sekalian pertentangan mereka dan bersatu
menghadapi yang dianggap sebagai bencana bersama itu.
Menjadi jelaslah bagi Pemerintahan Hindia Belanda, bahwa semangat
perlawanan rakyat Minangkabau belum patah.
Delegasi yang diutus oleh guru-guru agama di Minangkabau untuk
menghadap Gubernur Jenderal di Bogor, berhasil menggerakkan hati
pimpinan tertinggi Pemerintah Hindia Belanda itu untuk menangguhkan
pelaksanaan Guru-ordonnantie di Minangkabau. Utusan itu terdiri atas wakil
golongan ”Kaum Muda” dan ”Kaum Tua”, yang sejak itu menguburkan
pertikaian mereka bersama.

2. Permi

Orang komunis dan yang bersimpati pada gerakan komunis di


Minangkabau, setelah pemberontakan 1926/1927 mengalami kegagalan,
menjadikan PSII dan Muhammadiah sebagai tempat berlindung. Mereka
berhasil meloloskan diri dari pengejaran dan penangkapan PID.
Dengan masuknya anggota-anggota baru dari ”kamp komunis” itu,
PSII maupun Muhammadiah memperlihatkan sifat yang lebih militan dan
agresif. Pengurus besar Muhammadiah turun tangan dan Muhammadiah
Sumatera Barat memecat anggotanya yang bermain api dengan politik.
Mereka menggabungkan diri dengan ”Soematra Thawalib” yang telah
direorganisir dan membentuk ”Persatoean Moeslimin Indonesia” (Permi) di
Bukittinggi (1930). Membatasi kegiatan dan usahanya pada mulanya
dibidang pendidikan dan sosial, pada tahun 1932 Permi mengumumkan
”beginsel-verklaring”, azas-azas pokoknya sebagai sesuatu ”organisasi
politik yang radikal, non-kooperatif, yang bertujuan mencapai kemerdekaan
Indonesia”, Gerakan politik yang mendasarkan perjuangannya atas semata-
mata dasar kebangsaan, kurang mendapat sambutan dari rakyat
Minangkabau dan karena itu gerakan nasionalisme itu diberikan landasan
agama Islam. Melihat perumusan beginsel-verklaring Permi yang mirip sekali
dengan keterangan dasar PNI-Soekarno (1928), hubungan tentunya ada
antara PNI di Jawa dan Permi di Minangkabau. Permi adalah PNI
berdasarkan Islam dan karenanya lebih menarik bagi rakyat Minangkabau.
Permi berkembang pesat dibawah pimpinan H. Moechtar Loethfi, Ilyas
Jacoeb, Djalaloeddin Thaib dan propagandis yang cakap dan bersemangat,
Rasoena Said. Cabang-cabang didirikan di Tapanuli Selatan, Bangkahulu,
Palembang dan Lampung. Sifatnya yang radikal dibuktikannya dengan
serangan-serangan tajam terhadap kaum adat dan kaum agama kolot, yang
dianggap sebagai penghalang besar bagi kemajuan rakyat dan tanah air.
Pemerintah Hindia Belanda pun tidak bebas dari kritikan-kritikan tajam, kaum
agama konservatif, tetapi juga dari Pemerintah Hindia Belanda, yang segera
turun tangan. Rasoena Said dipenjarakan di Semarang, Mochtar Luthfi
dibuang ke Makasar, Ilyas Jacoeb dan Djalaleoddin Thaib ke Digul (1934).
Pemimpin-pemimpin PSII, mengikuti jejak Permi yang kian lama kian
radikal dan berani, mengalami nasib yang sama. Mereka dibuang ke Digul.
Kedua partai politik berlandaskan agama Islam, nasional dan anti-penjajahan
itu kehilangan pamornya di Minangkabau, buyar dan kemudian
membubarkan diri (1937). Larangan rapat, pengawasan yang ketat atas
segala penerbitan dan pidato-pidato, termasuk khutbah hari Jum’at di mesjid-
mesjid sejak tahun 1934 sudah sangat mempersempit ruang gerak dan
lapangan hidup bagi Permi dan PSII di Minangkabau.
Hingga Jepang ”masuk” (1942) segala kegiatan politik di Minangkabau
dibelenggu oleh Pemerintah Hindia Belanda.

5. Minangkabau-raad
Dalam rangka pelaksanaan politik desentralisasi dan lebih
mengairahkan rakyat daerah untuk mempererat kerjasama dengan
pemerintahan jajahan, Pemerintah Hindia Belanda membentuk ”otonom
raden”, dewan-dewan otonom didaerah-daerah yang dianggapnya sudah
”matang” untuk itu.
Minangkabau-raad, dewan Minangkabau, dibuka di Sumatera Barat
(1938) yang disamping dewan penasehat, rakyat setempat dapat pula
digunakan sebagai lembaga penyaluran aspirasi-aspirasi politik rakyat
Minangkabau, yang dikontrol oleh pemerintah setempat. Sebagai anggota
ditunjuk ulama-ulama (modern dan kolot), yang mendapat kepercayaan
pemerintah daerah, wakil-wakil dari dunia perusahaan Indonesia, Cina dan
Belanda.
Pada tahun 1939 terjadi lowongan di Volksraad bagi wakil dari
Minangkabau. Pemerintah daerah Sumatera Barat ingin, agar Minangkabau-
raad mencalonkan seorang pensiunan demang, keadaan Minangkabau,
politis maupun ekonomis, tidak akan mengalami perubahan apapun juga.
Moh. Yamin, tokoh ”Gerindo” (Gerakan Rakyat Indonesia) di Batavia,
didekati oleh utusan Minangkabau-raad. Yamin bersedia mengorbankan
kedudukannya sebagai salah seorang pimpinan Gerindo, yang sebagai
lanjutan dari PNI dan Partindo menganut sikap ”non-kooperasi”, tidak mau
bekerjasama dengan Pemerintah Hindia Belanda.
Yamin terpilih sebagai anggota Volksraad wakil Minangkabau.
Pemerintah daerah Sumatera Barat geger. Rakyat Minangkabau gembira
dan Gerindo memecat Yamin. Dalam suasan politik dalam negeri ketika itu
dan politik internasional yang kian mengawat, tidak banyak yang dapat
dilakukan oleh Yamin bagi Minangkabau, kecuali usaha memperkokoh
landasan ekonomi bagi perjuangan rakyat Minangkabau dengan membantu
golongan saudagar menengah mendirikan bank (Bank Nasional di Bukittinggi
dan Bank Saudagar di Padang).

6. Menjelang Jepang ”masuk”

Sejak tahun 1937 Jepang di Asia Timur, bangkit sebagai negara


militer yang menganut faham fasisme (1934), mendengung-dengungkan
semboyan ”Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur-raya” dan
mengklaim kepemimpinan Asia.
Sebagai negara industri yang haus koloni (”the have-not”) Jepang
bekerjasama dengan Hitler-Jerman dan Mussolini-Italia, merongrong negara-
negara barat yang kaya koloni (”the haves”) untuk mengadakan pembagian
daerah jajahan yang lebih ”adil”.
Dalam bulan September 1939 pecah Perang Dunia II dan dalam
musim bunga tahun 1940, dengan taktik ”Blitzkrieg”, pesisir Barat daratan
Eropa dari Norwegia hingga Perancis jatuh ketangan Jerman.
Negeri Belanda diduduki (Mei 1940). Pemerintah pelarian dibentuk di
London. Amerika Serikat ikut dipihak negara-negara demokrasi dengan
semboyan ”to free world from fear” dan ”to save the world for democracy”
(membebaskan dunia dari rasa takut dan menyelamtkan dunia buat
demokrasi).
Gelombang rasa haru yang melanda Hindia Belanda dan uluran
tangan pemimpin-pemimpin Indonesia untuk bersama-sama menghadapi
bahaya fasisme dengan mengadakan ”inlandse militie”, wajib latih militer bagi
anak negeri dan mengikutsertakan rakyat Indonesia lebih aktif dalam
pemerintahan jajahan dengan membentuk ”Indisch Parlemen”, tidak digubris
oleh Pemerintah Belanda. Hal itu sangat menusuk hati dan melukai perasaan
bangsa Indonesia, yang resmi sekarang disebut ”Indonesisch” (sebagai
pengganti istilah ”inlandsch”). Kata ”Indonesia” bagi wilayah Hindia Belanda
tetap dilarang.
Belanda membentuk ”stad-” dan ”landwacht” barisan pengawal kota
dan daerah, yang anggota-anggotanya terdiri dari pemuda pegawai
Indonesia yang berpendidikan Barat. Hingga saat terakhir Belanda masih
bersikap ”asking too much, giving too little”, meminta terlampau banyak
memberi terlampau sedikit, kepada bangsa Indonesia.
Jepang, yang tentaranya sudah maju (dengan jalan perundingan)
sampai ke Vietnam sekarang dan Muang-thai, ingin Indonesia jatuh
ketangannya dalam keadaan utuh. Tanah air kita penting bagi mereka
sebagai daerah pasaran dan sumber-sumber bahan baku, diantaranya
minyak bumi, guna melanjutkan perang yang sudah berlarut-larut dengan
Cina.
Perundingan Pemerintah (Hindia) Belanda dengan Jepang mengalami
kegagalan (1904). Dengan menggunakan perundingan dengan Amerika
Serikat, yang sedang berlangsung di Washington, DC, sebagai tabir asap,
tiba-tiba pada dini hari tanggal 8 Desember 1941, angkatan udara Jepang
menghancurkan armada Pasifik Amerka Serikat di Pearl Harbor, Hawai.
Perang Pasifik pecah dan Belanda sebagai sekutu A.S melibatkan diri dalam
perang itu.
Angkatan laut Jepang dari Laut Cina Selatan mendesak ke Selatan,
Angkatan daratnya mengadakan doorstoot ke Malaya. Kapal perang ”Prince
of Wales” dan ”Repulse”, dikirimkan oleh Inggris sekedar bantuan untuk
menegakkan moril tentaranya di Asia Tenggara, dihancurkan oleh Jepang.
Singapur, benteng terkuat di Asia Tenggara, jatuh (akhir Pebruari
1942). Sumber-sumber minyak di Palembang dan Jambi segera pula mereka
duduki (permulaan Maret 1942). Pertahanan Belanda di Jawa runtuh.
Belanda menyerah kepada Jepang tanpa syarat.
Tidak ada orang di Indonesia menyangka Belanda akan menyerah
kalah secepat itu. Tentara Jepang masuk ke Minangkabau tanpa mengalami
rintangan. Propaganda Jepang, dilakukan secara intensif melalui siaran
radio, menggembar gemborkan tentara Dai Nippon, Jepang-raya, ”sebagai
pembebas rakyat jajahan dari belenggu kolonialisme Barat”. Mereka di
sambut di Minangkabau dengan kibaran bendera Merah-Putih dan
Hinomaru, bendera Matahari Terbit.
Kegembiraan dan kelegaan yang mulanya meliputi perasaan sebagian
besar rakyat Indonesia dan pemimpin-pemimpinnya, ternyata terlampau
pagi. Bendera Merah-Putih diperintahkan untuk segera diturunkan.
Kegembiraan segera bertukar dengan kekecewaan yang mendalam, karena
”Cigak pai, baru’ datang”, monyet (berbulu merah) pergi, beruk datang
(sebagai penggantinya).

7. Roman sebagai lukisan masyarakat

Buku-buku roman dikarang oleh orang Minangkabau, terutama oleh


yang hidup dan berusaha diluar daerah Sumatera Barat, mengupas
masalah-masalah Minangkabau dalam proses sejarahnya antara  tahun
1900 – 1942. Problematik yang menonjol dan tidak kering-keringnya untuk
dibeberkan, ialah pembenturan nilai-nilai lama dengan sikap dan pandangan
hidup baru, akibat pengaruh didikan Barat. Pengarang-pengarang angkatan
pertama terdiri terutama dari guru-guru lulusan ”Sekolah Raja” di Bukittinggi
sebagai pendukung dan penyebar unsur-unsur kebudayaan Barat yang
mula-mula dan pelakon-pelakonnya ialah guru pula. Masalah yang dikupas
berkisar pada problem ”kawin paksa” itu ialah sistim perkawinan yang lazim
dilakukan, anak diperjodohkan dengan kemenakan dan telah berlangsung
sejak alam Minangkabau terkembang. Dirasa sebagai paksaan oleh yang
bersangkutan, karena sesuai dengan sikap individualisme yang disebarkan
oleh Belanda melalui lembaga-lembaga pendidikan dan buku-buku ceritanya,
sipemuda dan sipemudi tidak bebas memilih jodoh yang berkenan pada hati
masing-masing. Judul buku roman itu seringkali sangat sentimentil, ”Cinta
yang membawa maut”, ” Kasih Tak Sampai” dan sebagainya. Digambarkan
dalam bentuk ”hitam” dan ”putih”, manusia malaikat melawan manusia iblis,
tetapi mengesan sekali pada pembaca-pembacanya, yang umumnya terdiri
atas pemuda-pemudi. Terjalin disini pengaruh timbal balik antara masyarkat
dan pengarang. Keadaan masyarakat mempengaruhi dan mengilhami
pengarang, pengarang mempengaruhi dan mengilhami perubahan-
perubahan masyarakat.
Angkatan pengarang kedua terdiri terutama dari siswa-siswa ”Dokter
Jawa-Scholl” yang kemudian bernama STOVIA (School tot Opleiding van
Inlandsche Artsen). Kupasan-kupasan yang mereka berikan tentang
perbenturan adat dan modernisme di Minangkabau dikupas secara lebih
mendalam. Tokoh-tokoh pelaku tidak ”manusia kertas” lagi dalam ”setting”
hitam dan putih. Pelopor-perintisnya ialah Marah Rusli dengan ”Hikayat Siti
Nurbaya”-nya, yang menjadi klasik sekarang. Aliran modernisme diwakili
oleh Syamsulbahri, anak demang Padang dan pelajar STOVIA. Aliran
konservatisme dalam tokoh Datuk Maringgih, saudagar setengah baya di
Padang mereka saling memperebutkan Siti Nurbaya, anak seorang saudagar
yang memperoleh pendidikan Barat. Jatuh miskin dan tidak sanggup lagi
membayar hutangnya kepada Dt. Maringgih, Siti Nurbaya lah yang diminta
oleh Dt. Maringgih sebagai pelunas hutang itu. Dalam perkembangan
selanjutnya Siti Nurabaya membunuh diri. Pada perang Pauh Letnan Syam
(sulbahri) berhadapan muka dengan pemberontak Dt. Maringgih. Sebelum
Letnan Syam menembak mati lawannya, masih sempat Dt. Maringgih
memukulkan tongkatnya kekepala letnan Syam dan keduanya menjumpai
ajalnya.
Bagi Marah Rusli perbenturan adat dan modernisme di Minangkabau
merugikan adat maupun pendukung-pembawa modernisme itu dengan
penderitaan seluruh rakyat sebagai akibatnya.
Abd. Moeis, bekas pelajar Dokter Jawa-School, mengupas
problematik itu lebih luas lagi dalam bukunya ”Salah Asuhan” dan ”Salah
Pilih”. Tokoh utama dalam ”Salah Asuhan”, Han (afi), meninggalkan isteri
anak mamaknya, mengikuti kata hati mencari Corrie, anak Belanda Indo
bekas controleur BB di Solok, ke Jawa. Didik sejak dari kecil menurut norma-
norma Barat, tidak dapat ia menyesuaikan diri dengan cara hidup Corrie,
yang telah dikawininya, Corrie meninggal dunia (di Semarang), Han pulang
ke kampung, diejek sebagai ”Ulando Gilo”, Belnda gila, putus asa dan
menghabisi hidupnya dengan minum pil sublimat. Sebelum meninggal dunia
masih sempat ia berpesan kepada ibunya, agar mendidik anaknya dari
perkawinan pertama, tidak sebagai dia, yang ”ular bukan, belutpun tidak”.
Dalam ”Salah Pilih” Abd Moeis mengupas problematika kawin
menurut pilihan sendiri antara du pemuda dan pemudi, yang mendapat
didikan Barat. Perkawinan itupun tidak mendapat keserasian seperti yang
diharapkan. Sang isteri menemui ajalnya dalam kecelakaan mobil, sang
suami kembali kepada kebiasaaan dan adat lama. Ia mengawini anak
mamaknya, yang sejak dari kecil memang sudah diperjodohkan dengannya.
Menurut penilaian Abd. Moeis modernisasi dengan meniru Barat
secara membabi buta, tidak menguntungkan Minangkabau. Jalan baru yang
harus ditempuh ialah modernisir adat, dengan mengambil unsur yang baik
dari Barat dan meninggalkan unsur-unsur adat yang menghambat. Cara
mencapai ”syncretisme” itu, tidak dikupas oleh Abd. Moeis. Mungkin
dianggapnya masih terlampau ”pagi” untuk melakukannya.
Djamaluddin Adinegoro, juga dari sekolah dokter (STOVIA) mengupas
perkawinan antar-suku (”Darah Muda”), demikian pula Nur St. Iskandar,
lulusan Sekolah Raja, (Bukittinggi), (”Karena Mertua”), yang menerbitkan
bencana bagi kedua belah pihak. Bertambah jauh dari ”kampung” (sanak
saudara) orang Minangkabau kelihatannya bertambah progresif mengenai
soal perkawinan, tetapi makin dekat ia kekampung. Makin tidak dapat ia
melepasakan diri dari kungkungan adat.
Dalam ”Pertemuan” A. St Pamuncak nan Sati mengupas problematika
yang sama dengan Abd. Moeis. Masri, lulusan Sekolah Guru di Bukittinggi
(sama keadaannya dengan pengarang), mengalami bagaimana pahit-
getirnya kawin dengan anak mama. Diceraikan akan menimbulkan
konsekuensi besar, karena kait berkait dan jalin-menjalin hubungan
kekeluargaan. Hidup terus bersama, merupakan neraka dunia. Tuhan
sungguh pengasih dan penyayang, Masri bebas dari ikatan perkawinan yang
tidak berbahagia itu. Isterinya meninggal dunia. Ia merantau ke Aceh. Jatuh
cinta dengan seorang gadis disana, yang kemudian terbukti anak seorang
janda yang pernah ditolongnya di Bukittinggi dan ia kawin dengan pilihan
hatinya itu.
Pengarang-pengarang Minangkabau dari zaman ini rupanya
beranggapan, bahwa perbenturan adat dengan arus modernisasi yang
melanda Minangkabau terutama sejak tahun 1900, mempunyai akibat yang
negatif bagi adat dan masyarakat Minangkabau. Problematik yang tetap akut
hingga dewasa ini, belum mencapai penyelesaiannya. Seminar ”Adat”,
diadakan di Padang pada tahun 1968, pada dasaranya ditujukan mencari
”way-out” dan perumusan perbenturan Minangkabau dengan arus
mondernisasi dalam iklim dan suasana Indonesia Merdeka. Ditinjau dari
sudut pandangan yang lebih luas, masalah ini bukanlah spesifik
Minangkabau, tetapi masalah Asia dan dunia, diakibatkan ole kemajuan
teknologi, sebagai unsur penting dari kebudayaan abad ke-20.

8. INS Kayutanam

Bab ini rasanya tidak sempurna, kalau para penyusun ini tidak
memberikan sekedar catatan mengenai ”Indonesische Nationale School”
(INS) di Kayutanam, yang dipelopori, dibina dan diasuh oleh M, Syafe’i
Dipengaruhi oleh sistim ”Arbeit-schule”, sekolah-kerja Kerchensteiner
di Jerman setelah Perang Dunia I, sekembali di tanah air M. Syafe’i berusaha
menerapkan sistim itu di Minangkabau. Pegawai-pegawai Jawatan Kereta
Api Sumatera Barat di Kayutanam, yang anak-anaknya tidak dapat diterima
di Schakel-school di Padang Panjang dan masyarakat Kayutanam
memberikan sebidang tanah di Pelabihan, antara Kayutanam dan Padang
Panjang, yang dapat dijadikan model oleh M. Syafe’i guna melaksanakan
cita-citanya. Berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan Pemerintah,
yang menyamaratakan bakat dan siswa yang ditampungnya dan menyiapkan
mereka untuk jadi pegawai maupun pekerja pada kantor-kantor Pemerintah
dan swasta, M. Syafe’i mendidik pemuda-pemuda Indonesia dengan
mengembangkan bakat dan kemampuan masing-masing. Mereka dibekali
dengan keterampilan, ilmu pengetahuan modern. Bakat mereka dipupuk dan
dikembangkan, agar dapat berdiri sendiri dalam masyarakat sebagai
pengusaha kecil, ahli bangunan, seniman sastrawan, pelukis dan
sebagainya.
Dalam proses perubahan sosial-politik Minangkabau lulusan INS ikut
menyumbangkan tenaga dan fikiran mereka, sebagai orang yang didik dapat
berdiri diatas kaki sendiri dan tidak menggantungkan nasib dan
penghidupannya sebagai pemakan gaji dikantor-kantor Pemerintah Hindia
Belanda maupun kantor-kantor dagang Belanda.

Kesimpulan
1. Arus modernisasi yang melanda Minangkabau sejak permulaan abad
ke-20, diintensifkan oleh ”Ethische Politiek”, menimbulkan ”peasant-
uprisings”, yang mencapai klimaksnya dengan ”Perang Silungkang”
(1926/1927)
2. Arus modernisasi itu mengalir ke Minangkabau melalui dua sumber,
dari Mesir dan Mekah dan Negeri Belanda, dengan ”surau” dan
sekolah-sekolah sebagai perantara.
3. Arus dari Mesir menimbulkan ”Kaum Muda” dan yang dari Tanah Arab
(Mekah) ”Kaum Tua”, yang bersatu kembali akibat tindakan reaksioner
dari Pemerintah Hindia Belanda.
4. Raksi Pemerintah Hindia Belanda sesuadah ”Perang Silungkang” dan
tekanan depresi dunia, yang pada mulanya melumpuhkan segala
ativitas politik di Minangkabau, mengakibatkan timbul dan
berkembang ”Permi”, gerakan nasional berdasarkan agama Islam.
5. Sifat Muhammadiah di Minangkabau lain dengan di Jawa, karena iklim
dan suasana politik di Sumatera Barat membuat Muhammadiah di
Minangkabau menjadi gerakan pendidikan-sosial, yang tidak bebas
dari pengaruh politik, terutama sejak tahun 1934.
6. Gerakan pemuda asal Minangkabau di Batavia, yang anggota-
anggotanya kemudian menjadi anggota dan pimpinan ”Perhimpunan
Indonesia” di Nederland, ikut memainkan peranan penting dalam
pencetusan Sumpah Pemuda dan menjadi pemimpin-pemimpin
Indonesia dalam masa Persiapan Kemerdekaan dan Zaman Revolusi
Fisik.
7. Orang Indonesia asal Minangkabau banyak yang menjadi besar dan
ikut memainkan peranan penting dalam pergerakan Kebangsaan dan
sesudahnya, diluar daerah Minangkabau.
8. sebagai literator orang Indonesia asal Minangkabau telah
memperkaya perpustakaan Indonesia dengan masalah perbenturan
adat dan modernisasi disamping ikut mempersiapkan bahasa
Indonesia sebagai bahasa Persatuan Indonesia.
9. Pada dasarnya perbenturan modernisme dan masyarakat bukanlah
masalah yang spesifik Minangkabau, tetapi merupakan masalah yang
dialami oleh dunia dewasa ini sebagai akibat dari kemajuan teknologi.
10. Lembaga pendidikan INS di Kayutanam, disemangati oleh ide ” Arbeit-
schule Kerchensteiner”, telah berhasil mendidik pemuda-pemuda
Indonesia yang berani dan mampu berdiri diatas kaki sendiri dan
banyak sedikit ikut memberikan sumbangan bagi perubahan sosial-
politik di Minangkabau.
BAB IX.

ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG

1. Pendahuluan

Zaman pemerintah Mei-dji Tenno (1868 – 1912) ditandai oleh


perubahan struktur politik-ekonomi yang hebat dalam jangka waktu yang
relatif pendek. Pada zaman ”Glorious Revolution” itu dari negara ”Timur”
yang agraris-feodal Jepang berkembang menjadi negara ”Barat” industri-
kapitalis modern dengan angkatan perang yang kokoh-kuat sebagai tulang
punggung.
Bumi Jepang tidak subur. Daerah pertaniannya sangat terbatas.
Kakayaan alamnya sedikit sekali. Iklimnya ganas. Modal Jepang sepanjang
masa ialah rakyatnya yang rajin, tekun bekerja, tahan dan kuat menderita,
mereka harus dapat mempertahankan hidup dalam alam yang tidak kenal
kasihan.
Sejak zaman Mei-dji Tenno Jepang harus dapat menunjukkan
kegiatan kerja dan kerajinan berusaha yang lebih giat, agar dapat ikut dalam
perlombaan sengit dengan negara-negara Barat yang telah dahulu
berkembang sebagai negara industri modern. Daerah bahan baku dan
pasaran didunia telah mereka bagi dengan sesama dan antar mereka.
Jepang yang lahir terlambat sebagai negara industri-kapitalis tidak kebagian
koloni. Karena itu Jepang harus bekerja lebih giat dan berusaha lebih keras
daripada negara-negara industri-kapitalis Barat.
Disamping mendatangkan ahli-ahli asing guna membangun industri
dan angkatan bersenjata yang modern, Jepang juga mengirimkan pemuda-
pemudanya yang berbakat dan berani menderita keseluruh pelosok dunia.
Mereka harus belajar, mencari pengalaman dan mencontoh segala
sesuatunya yang dapat digunakan bagi pembangunan materil Jepang. Moril
mereka tetap orang Jepang.
Jepang adalah contoh klasik negara Asia, yang berhasil
”mengawinkan” kebudayaan warisan nenek moyang dengan teknologi Barat.
Pada lahirnya mereka mencontoh tatahidup dan tatakerja Barat, pada
batinnya mereka tetap orang Jepang, yang memegang teguh tatakrama dan
adat istiadat lama. Inilah salah satu kunci kemajuan Jepang sebagai
”meteor”, bintang berekor diufuk Timur dalam zaman modern.
Disamping mengembangkan industrinya sebagai syarat mutlak untuk
dapat hidup, Jepang harus mampu pula menghadapi saingan negara-negara
industri Barat. Jepang harus mampu memprodusir barang-barang yang sama
dengan harga yang lebih murah, guna dapat merampas pasaran, membeli
bahan baku bagi industrinya dan memelihara angkatan perangnya.
Secara alamiah perhatian Jepang dipusatkan pada daratan Asia
terdekat, yang merupakan daerah pasaran yang sangat baik, karena
penduduknya padat dan sekaligus berperanan sebagai produsen bahan-
bahan baku yang diperlukan oleh industri Jepang. Daerah itu ialah daratan
Cina yang maha luas dan sejak pertengahan abad ke-19 tidak putus-
putusnya mengalami ”revolusi”. Jazirah Korea, ”pestol yang ditujukan kepada
dada Jepang”, diduduki dengan alasan menentramkam kekacauan politik
yang sedang merajalela didaerah itu (akhir abad ke-19). Cina sebagai ”yang
dipertuan di Korea”, mengumumkan perang kepada Jepang dan menderita
kekalahan hebat. Gengsi Jepang naik dalam politik internasional. Tentaranya
telah membuktikan keunggulannya dimedan perang! Inggris segera
menyodorkan perjanjian kerjasama, untuk bersama-sama menghadapi
bahaya ”beruang merah” (Rusia) di Asia Timur (1902). Kepercayaan pada
kemampuan diri sendiri berkembang dan tiga tahun kemudian Jepang
berhasil mengalahkan angkatan laut Rusia di Selat Shimonoseki dan
angkatan daratnya di Port Arthur (1905). Jepang menjadi ”pahlawan Asia”.
Fajar kemerdekaan telah menyingsing di ufuk Timur bagi negara-negara Asia
yang meringkuk dibawah tekanan penjajahan negara-negara Barat, termasuk
Indonesia.
Ketika Perang Dunia I (1914 – 1918) hampir selesai dan Jepang
sudah yakin kaum sekutu akan menang, perang diumumkannya kepada
Jerman. Pulau-pulau pasifik disebelah Utara garis Khatulistiwa bekas koloni
Jerman, ditunjuk oleh kaum sekutu sebagai ”daerah mandat” Jepang.
Selama perang berkobar, pasaran Cina dan Asia Tenggara jatuh ketangan
Jepang, karena Inggris, Perancis, Jerman dan Amerika Serikat mencurahkan
seluruh usaha dan dananya untuk memenangkan perang. Selesai perang
Dunia I Jepang telah menjadi kekuasaan besar di Pasifik dan suaranya harus
didengar dalam soal-soal mengenai Pasifik dan daerah sekitarnya.
Dalam zaman ”interbellum” (1918 – 1939) saingan antara negara-
negara Barat dengan Inggris dan Amerika Serikat sebagai juara dan Jepang
kian lama kian sengit. Ancaman Perang Pasifik makin memperlihatkan
bentuk yang kian tegas.
Dengan memuncak ketegangan politik di Eropa antara negara-negara
fasis disatu pihak, yang sebagai ”the have not” menuntut pembagian ”koloni”
yang lebih adil dan negara-negara demokrasi dilain pihak sebagai ”the
haves”, Jepang haus Jajahan untuk ”lebenstraum” industrinya, berpihak
kepada negara-negara fasis. Terbentuklah ”sumbu” Tokio-Berlin (Jerman) –
(Rome Itali) (1938). Jepang yang sejak tahun 1937 mulai menyerang Cina
Chiang Kai-Check, mendengung-dengungkan semboyan ”Orde Baru” di Asia
dengan ”Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur-raya”. Sebagai
”Pemimpin Asia” Jepang mempelopori gagasan ”Asia buat Asia”, yang berarti
perang dengan kekuasaan-kekuasaan kolonial di Asia umumnya dan Asia
Tenggara khususnya, di Indonesia ada segolongan kecil pemimpin gerakan
kebangsaan yang terpukul oleh ”dendang ular” Jepang itu.
Ketika Perang Dunia II meletus (September 1939) dan Negeri Belanda
diduduli oleh tentara Nazi-Jerman (10 Mei 1940). Jepang mulai menjalankan
siasat mendekati ”Batavia”. Sama halnya dengan Indo-Cina yang utuh jatuh
ketangan Jepang berkat ”kerjasama” dengan Pemerintah boneka Perancis
Vichy (1940), besar sekali hasrat Jepang ”Nederlands Indie” utuh pula jatuh
kepangkuannya. Kedudukan Indonesia yang geo-politis penting sekali,
dibarengi dengan sumber-sumber minyak buminya yang terbesar diseluruh
Asia Tenggara, bahan-bahan bakunya yang diperlukan sekali bagi industri
Jepang dan penduduknya yang padat besar artinya sebagai konsumen hasil-
hasil industri Jepang. Pemerintah Jepang mengajak Pemerintah Hindia
Belanda untuk ”kerjasama”. Jepang mengirimkan delegasi dagang yang
besar sekali jumlah anggotanya dibawah pimpinan Kobayashi, untuk
membuka ”Perundingan Dagang” dengan Pemerintah Hindia Belanda
(pertengahan tahun 1940).
Kalau wilayah Indonesia utuh jatuh ketangan Jepang, jalan untuk
menguasai dunia licin sudah bagi Jepang, sesuai dengan yang telah
digariskan oleh ”Tanaka-memorandum” (1928). Jepang mempunyai ambisi
besar menggantikan Inggris sebagai ”Pemimpin Dunia” ketika itu.
Hindia Belanda menggantungkan nasib dan hari depan koloninya
pada Singapura, ”benteng yang tidak terkalahkan”. Pemerintah Pelarian
Belanda di London mengaitkan hari depan bangsa dan Negeri Belanda pada
bantuan Sekutu. Amerika Serikat dan Inggris, yang modalnya tertanam pada
perusahaan-perusahaan minyak bumi dan perkebunan-perkebunan
diwilayah Indonesia, menghalangi dengan sekuat tenaga, hasil-hasil
pertambangan dan bumi Indonesia jatuh ketangan Jerman melalui sekutunya
Jepang.
Kobayashi terpaksa pulang dengan tangan hampa. Diplomasi dan
gertak sambalnya dalam ”Komperensi Dagang” di Batavia tidak mendapat
sambutan dan pasaran, sebagai yang diharapkan oleh Pemerintah Jepang.
Dengan marsekal Phibul Songkram, Perdana Menteri Thailand,
Jepang telah mendapat kata sepakat untuk menggunakan wilayah sebagai
pangkalan bagi angkatan perang Jepamg. Phibul Songkram ingin
menghindarkan negaranya agar jangan terjepit sebagai ”kancil” dalam
pertandingan seru ”dua ekor Gajah”
Dalam bulan Agustus 1941 dengan Stalin Jepang berhasil membuat
perjanjian tidak saling menyerang (”Non-agressie Pact”), karena USSR
sedang menghadapi ”Blitzkrieg” Jerman-Hitler. Punggung Jepang ”safe”
sudah dan ia dapat memulai petualangan politiknya di ”Nan-yo”, Kawasan
Selatan.
Sejak pertengahan tahun 1941 Jepang membuka perundingan
dengan Amerika Serikat guna mengusahakan pelunakan pelaksanaan
peraturan ”embargo” yang dikenakan oleh USA kepadanya. Berdasarkan
peraturan itu ekspor minyak bumi dan bahan-bahan penting lainnya dari USA
ke Jepang dilarang. Ekonomi dan industri perang Jepang akan dipuikul hebat
oleh peraturan ”embargo” itu. Sama halnya dengan ”Perundingan Dagang” di
Batavia, jalan pertemuan di Washington itu seret sekali. Sedang wakil-wakil
Jepang masih menghadapi meja perundingan diibukota USA itu, dinihari
tanggal 7 Desember 1941 (di Indonesia tanggal 8 Desember 1941), secara
bergelombang pangkalan armada USA untuk daerah Pasifik di Pearl Harbour
(Hawaii) dihujani bom oleh angkatan udara dan laut Jepang. Armada Pasifik
USA mengalami kehancuran total.
Sungguhpun tidak siap untuk berperang menghadapi angkatan
perang Jepang yang serba modern dan berpengalaman, Pemerintah Hindia
Belanda mengganggap tindakan Jepang di Pearl Harbour itu sebagai
sesuatu ”sikap permusuhan” dan ”menganggap dirinya dalam keadaan
perang dengan Kerajaan Jepang”, Hindia Belanda ikut dipihak Sekutu dalam
Perang Pasifik (1941 – 1945).
Dengan taktik ”Blitzkrieg” yang ”masterly” (unggul) dalam jangka
waktu kurang lebih 100 hari Jepang berhasil menumbangkan kekuasaan
koloni Inggris di Malaya dan Birma, Amerika Serikat di Pilipina dan Belanda
di Indonesia.
Benteng Singapura ”yang tidak terkalahkan” menyerah pada akhir
Pebruari 1942. Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati,
Jawa Barat (9 Maret 1942. Lapangan minyak di Palembang dan Jambi jatuh
tanpa pertempuran ketangan tentara payung Jepang (permulaan Maret
1942). Pada tanggal 17 Maret 1942 angkatan perang ”Dai Nippon”, Jepang-
raya, memasuki kota Padang, disambut dengan kibaran bendera putih oleh
pihak Belanda dan dengan sorakan ”Banzai” serta lambaian Merah Putih dan
Hinomura oleh penduduk Minangkabau.
Berakhirlah sudah ”zaman Belanda”, menyusul ”zaman Jepang
selama setahun jagung” (17 Maret 1942 – 17 Agustus 1945).
Dalam garis besarnya ”Zaman Pendudukan Jepang” dapat kita bagi
atas tiga periode, masing-masing berhubungan erat dengan situasi medan
perang Pasifik. Situasi medan perang Pasifik itu menentukan sangat sikap
dan tindakan-tindakan Pemerintah pendudukan Jepang di Minangkabau.
Periode pertama (Desember 1941 – Desember 1942) ditandai oleh
offensif Jepang diseluruh front. ”Titik-mati”, deadpoint serangan-serangan itu
ialah kehancuran aramada Jepang di Laut Karang (Coral Sea). Di Timur-laut
Australia, dan terhenti kemajuan tentara Jepang di Birma Barat dan Utara.
Periode kedua (permulaan tahun 1943 – akhir tahun 1944) dimulai
dengan serangan-serangan balasan tentara Sekutu difront Pasifik dibawah
pimpinan Jenderal Ac Arthur. Taktik ”leap frogging” lompat kodok dari pulau
ke pulau mengakibatkan pendaratan tentara sekutu di Okinawa, yang
dijadikan pangkalan untuk membom pusat-pusat industri Jepang.
Melihat impian imperialisme yang sangat ambisius dengan semboyan
”Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur-raya” hancur berantakan,
menjelang bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima (8 Desember 1945),
Jepang mengobral janji kemerdekaan kepada Pilipina, Birma dan Indonesia,
dengan tujuan agar ”negara-negara merdeka bikinan Jepang” itu akan
bersedia diperalat untuk menampung serangan-serangan pihak Sekutu.
Tuhan Yang Maha Esa telah melindungi bumi dan bangsa Indonesia
dari kehancuran materil dan moril akibat dijadikan daerahnya medan perang
yang sengit, seperti umpamanya Pilipina dan Birma. Karena bom atom
keburu dijatuhkan dan Jepang menyerah kalah tanpa syarat (15 Agustus
1945), dalam periode ketiga itu perang tidak sampai menyentuh Sumatera
dan Jawa.

2. Periode offensif

Di Birma Barat dan Utara tank-tank dan semangat baja Jepang tidak
mampu mengatasi rintangan alam dan menerobos pertahanan gabungan
tentara Birma-merdeka, Cina-Chiang Kai-check dan Amerika Serikat. Perang
kilat yang dimulai dengan tanggal 8 Desember 1941 terhenti dan berubah
menjadi ”perang konvensional”, yang menggerogoti peralatan perang dan
melumpuhkan daya tempur tentara Jepang di Birma.
Sumatera dijadikan benteng pertahanan dan pangkalan oleh Jepang
untuk mengawasi lalulintas kapal-kapal Sekutu di sebelah Barat Samudera
Indonesia. Disamping itu Sumatera berperanan pula sebagai ”supplier”
bahan-bahan makanan dan tenaga manusia bagi medan-medan
pertempuran di Birma dan Malaya. Dalam arti inilah letak arti militer-strategis
utama Sumatera bagi Perang Asia Timur-raya.
Militer Sumatera tunduk dibawah dan disatukan dengan komandan
Malaya, yang berpusat di ”Sho-nan-to”, Singapura. Bukittinggi dijadikan
pusat Pemerintahan Militer Sumatera, ”Sumatora Gunsei Kanbu”, dengan
”Gun-sei Tjo-kan”, Gubernur-militer sebagai pemegang pimpinan.
Pembagian administratif Sumatera tetap menurut pola pembagian dizaman
Hindia Belanda, hanya nama-nama keresidenan di-Jepangkan. Keresidenan
Sumatera Barat menjadi ”Sumatora Nishi Kaigan Shu”, dengan ”Shu-tjokan”,
residen-militer segala kepala.
”Onderafdelling” (kabupaten) disebut ”Son”, dipimpin oleh seorang
”Son-tjo”. Kotapraja Padang menjadi ”Padang-si”, dikepalai oleh seorang ”Si-
tjo”.
Pada mulanya pegawai-pegawai sipil Belanda seperti assisten-residen
dan kontroleur, kepala-kepala kantor dan sebagainya, masih dipekerjakan
oleh pimpinan Tentara Pendudukan Jepang di Sumatera Barat. Mereka
kemudian di-internir, dimasukan kedalam kamp-kamp tawanan perang dan
digantikan oleh pejabat-pejabat Indonesia.
Setelah pegawai-pegawai sipil dan perusahaan-perusahaan raksasa
Jepang seperti Mitsubishi, Mitsui dan Sumitomo yang dikirimkan dari Tokyo
sampai di Sumatera Barat, pejabat-pejabat Indonesia itu dicopot dari
kedudukan penting dan bertanggungjawab. Karena pejabat-pejabat Jepang
itu tidak mengetahui seluk beluk administratif pemerintahan dan perusahaan-
perusahaan dagang Belanda, tidak pula paham bahasa Belanda maupun
bahasa Indonesia, pada dasarnya pejabat-pejabat Indonesia yang menjadi
wakil-wakil pegawai Jepang itu tetap menjalankan tugas pimpinan di kantor-
kantor pemerintahan dan perusahaan-perusahaan dagang Belanda. Dengan
tidak disengaja, Jepang telah mendidik dan memberikan kesempatan luas
kepada pejabat-pejabat Indonesia di Minangkabau untuk memperoleh
pengalaman dalam jabatan-jabatan pimpinan. Kesempatan itu tidak pernah
mereka peroleh ”dizaman Belanda” dan kegunaanya kelak besar sekali,
setelah Indonesia memproklamirkan Kemerdekaannya.
Pejabat-pejabat Indonesia itu selalu bekerja dalam suasana penuh
kegelisahan dan kekhawatiran. Mereka tidak pernah diberikan kepercayaan
penuh oleh pihak Jepang atasan mereka. Sedikit kesalahan ataupun
kelalaian dapat diartikan sebagai tindakan sabotase. Akibatnya ialah
berkenalan dengan tangan besi kem-pei-tai. Polisi tentara Jepang, yang
keganasannya telah menjadi pengetahuan umum. Jarang sekali orang
Indonesia yang pernah berkenalan dengan kem-pei-tai, ditangkap karena
dicurigai sebagai mata-mata musuh atau kakitangan Belanda, pulang
kembali kedalam lingkungan keluarga dan kampung mereka. Kalaupun
dibiarkan pulang umumnya sudah menjadi ”bangkai bernyawa”, psychis dan
pisik rusak binasa.
Disamping itu kem-pei-tai menyebarkan mata-mata dan
kakitangannya ditiap-tiap kantor pemerintah dan perusahaan, ditiap-tiap
sekolah dan ditempat-tempat yang banyak orang biasa berkumpul. Karena
itu rasa curiga mencurigai antara sesama pegawai sering meracuni
hubungan orang Indonesia pejabat penting dengan sesama mereka.
Keadaan dan suasana itu sengaja dipupuk oleh Jepang, untuk
menghindarkan adanya persatuan antara pejabat-pejabat dan orang-orang
Indonesia dengan sesama mereka. Taktik ”adu-domba” untuk kepentingan
diri, golongan maupun lingkungan sendiri bukanlah ciptaan Belanda sebagai
kaum penjajah di Indonesia semata-mata.
Pahit hidup sebagai anak jajahan Hindia Belanda tetap lebih pahit lagi
dibawah tekanan materil dan moril tentara Jepang, yang datang dengan
semboyan ”saudara tua” dan ”Jepang-Indonesia sama-sama”. Sama-sama
dalam hal ini berarti, bahwa seorang ”hei-tai” prajurit Jepang yang paling
rendah pangkatnya, masih mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan
kekuasaan yang lebih besar daripada seorang pejabat Indonesia,
bagaimanapun tinggi kedudukannya.
Kalau Belanda sebagai orang yang beragama (Kristen) masih
mendasarkan perbuatan dan tindakan-tindakan mereka atas pertimbangan
peri kemanusiaan sesuai dengan norma-norma agama (mereka), orang
Jepang yang tidak menganut paham Tuhan Yang Maha Esa, mempunyai
ukuran lain bagi penderitaan sesama manusia. Mereka bertuhan kepada
orang hidup, kaisar mereka sendiri sebagai ”putera matahari” yang
diturunkan oleh mahadei Amaterasu (Omi Kami Amaterasu). Kepercayaan
yang bersumber pada materi (orang hidup), tidak dapat memahami dan yakin
pada agama, yang mencari kekuatan batin pada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Karena tidak percaya kepada Allah s.w.t, dan ada ”kehidupan dibalik kubur”,
orang Jepang bersifat lebih ganas menghadapi lawannya daripada orang
beragama.
Karena itu banyak tekanan jiwa dan penderitaan phisik yang dialami
oleh tokoh-tokoh pimpinan dan rakyat Minangkabau selama ”setahun jagung
pendudukan Jepang” itu.
Demikian Tentara Kerajaan Jepang ”membebaskan” rakyat
Minangkabau dari belenggu penjajahan Belanda, begitu pula mereka
menghambur-hamburkan ”uang kertas Jepang”. Uang (kertas dan logam)
Belanda segera hilang dari peredaran, rajin dikumpulkan dan disimpan oleh
tiap-tiap orang yang berfikir panjang bahwa apabila perang berakhir dengan
kemenangan dipihak Sekutu, nilai uang Belanda itu akan tetap tinggi.
Nilai uang Jepang merosot segera uang itu beredar. Harga sandang
dan pangan, yang sebelum Jepang berkuasa di Minangkabau dihitung
dengan ”sen-senan”, segera melonjak menjadi ”rupiah-rupiahan”, artinya naik
berlipat ganda ratusan kali. Yang semula terpukul hebat oleh terus merosot
nilai uang Jepang itu ialah ”kaum pemakan gaji”, yang harus hidup dari bulan
ke bulan dengan jumlah uang tertentu. Mulai dari ”Zaman Jepang”
penderitaan materi, karena gaji tidak pernah cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup sebulan dan penderitaan moril sebagai akibatnya menjadi
teman setia golongan pemakan gaji di Indonesia.
Sebelum menguasai daerah Sumatera Barat, propaganda Jepang
mendegung-degungkan melalui siaran-siaran radionya, barang-barang akan
murah apabila Jepang telah membebaskan Asia Tenggara dari belenggu
jajahan Barat. Kapal-kapal Jepang akan memasuki Pelabuhan Teluk Bayur,
diisi penuh dengan muatan. Berita-berita itu tidak seluruhya bohong. Kapal-
kapal Jepang yang kemudian berlabuh di Teluk Bayur memang padat
muatannya dengan tentara dan alat-alat perang Jepang. Berangkat
meninggalkan Teluk Bayur, kapal-kapal itu penuh pula muatannya, diisi
dengan bahan-bahan makanan dan barang-barang dagangan dari gudang-
gudang perusahaan-perusahaan niaga Belanda di tepi air Muara! Rakyat
Minangkabau tidak banyak yang mengetahui. Jepang menjalankan siasat
dagang ”dumping”. Hasil-hail industri Jepang di Jepang sendiri dijual lebih
mahal daripada didaerah-daerah diluar Jepang. Dengan demikianlah Jepang
berikhtiar merampas pasaran di Asia dan Asia Tanggara. Kerugian yang
diderita dari perdagangan luar negeri ditutup dengan keuntungan yang
diperoleh didalam negeri. Rakyat Jepang sendiripun mengeluh dalam hati
mereka dan hidup menderita pula.
Harta rampasan perang yang mula-mula diangkut oleh Jepang dari
Minangkabau, kecuali beras dan hasil-hasil hutan, ialah isi gudang
perusahaan-perusahaan dagang Belanda di Muara. Padang kosong barang-
barang dagangan, tepi air sepi. Teluk Bayur seperti dialahi garuda.
Berbarengan dengan terus merosotnya nilai uang Jepang dan sangat sulit
diperoleh barang-barang kebutuhan sehari-hari, harganya membubung
tinggi. Perdagangan lumpuh, saudagar-saudagar lama dan bonafide
kehilangan mata pencaharian. Perdagangan berantai dengan tukang-tukang
catut sebagai perantara, berkembang biak.
Pengangkutan didarat tinggal kereta api saja lagi, yang tiap hari penuh
sesak dengan manusia dan berbagai jenis barang dagangan seperti beras,
dan bahan-bahan pangan lainnya. Mobil dan bis banyak yang telah ”rekwirir”,
diminta dengan surat perintah oleh penguasa-penguasa Belanda, ketika
perang Pasifik mulai pecah. Kemdaraan yang tinggal ialah yang rusak-rusak
dan sudah tua. Disamping itu minyak bensin sulit pula diperoleh. Akibatnya
perdagangan antar daerah lumpuh dan terhenti sama sekali. Hasil-hasil
hutan tidak ada lagi yang membeli. Garam, sabun, bahan-bahan sandang
tidak terbeli lagi oleh rakyat. Mereka berkudisan, dihinggapi oleh berbagai
macam jenis penyakit kulit. Rakyat biasa menutupi tubuh mereka dengan
kulit kayu, lazim disebut ”kain tarok”. Orang mati dikafani dengan tikar. Tikar
pula dijadikan sarung bantal dan alas kasur tempat tidur.
Disamping saudagar, kaum tani sebagai rakyat kecil terpukul hebat
pula oleh ekonomi-perang Jepang di Minangkabau. Hidup ”dizaman
Belanda” sudah pada batas-batas yang jauh daripada layak, ”dizaman
Jepang” penderitaan mereka lebih hebat lagi. Padi, hasil jerih payah mereka,
disita untuk kepentingan ”Dai Toa Senso”. Petani penanam padi, sama
halnya dengan pegawai-pegawai pemakan gaji, tidak mampu membeli beras,
mengisi perut mereka dengan jagung, ubi kayu dan ubi jalar, sagu enau dan
sagu rumbia dan berbagai jenis keladi. Sebelum perang semuanya
digunakan sebagai makanan tambahan atau untuk kue-kue, tetapi dizaman
Jepang dijadikan makanan pokok!
Didepan mata rakyat yang hidup kelaparan dan serba kurang itu,
tentara Jepang menghambur-hamburkan beras dan nasi. Rasa jengkel dan
dendam meluas dan merata dikalangan penduduk Minangkabau.
Disamping itu tenaga rakyat dikerahkan pula untuk menjadi ”tentara
pembangunan sukarela”, romusa, dipaksa membuat pertahanan-pertahanan
militer, lapangan-lapangan udara, jalan ”kereta-api maut” dari Muara ke
Logas melalui rawa-rawa penuh dengan nyamuk malaria. Ada bahkan yang
dikirim ke Malaya dan Birma untuk membangun jalan kereta api Malaya-
Birma. Mereka ”rusak binasa”, tanpa diberikan makanan, tempat penginapan
dan pengobatan yang layak. Yang sempat pulang, tidak tewas dalam
pekerjaan perbudakan, tinggal ”daki pembalut tulang”, bangkai hidup sarang
penyakit.
Belum pernah rakyat Minangkabau mengalami penderitaan dan
penghinaan lahir maupun batin sehebat seperti dizaman ”Lingkungan
Kemakmuran Bersama Asia Timur-raya”
Pegawai-pegawai negeri, anak-anak sekolah, kaum saudagar dan
penduduk kampung-kampung pada waktu tertentu dikerahkan untuk
melakukan ”Kin-ro Hoshi”, kerja bakti mengumpulkan batu-batu kali, pasir
dan tembok oleh Jepang, diberi kawat berduri dan besi, diambil dari
pekarangan-pekarangan rumah penduduk, guna mencegah kemungkinan
pendaratan tentara sekutu.
Dibawah pimpinan guru-gurunya masing-masing, anak-anak sekolah
diwajibkan pula menanam pohon jarak, yang buahnya digunakan sebagai
sumber minyak buat pesawat-pesawat udara. Dan dimana Dai Nippon
mengorbankan putera-puteranya bagi kebahagian rakyat Asia dalam Perang
Asia Timur-raya, pada tempatnyalah pula, kalau ibu-ibu Minangkabau
menyerahkan perhiasan emas, harta pusaka peninggalan nenek moyang
mereka.!
Sejak ”membebaskan” rakyat Minangkabau dari penindasan
kolonialisme Barat, Pemerintahan Militer Jepang berusaha keras men-
Jepang-kan orang Minangkabau. Harus dirombak cara mereka berpikir,
harus dikikis habis segala pengaruh kebudayaan Barat! Sebagai ”antarashii
Nippon-djin”, orang Jepang-Baru (yang dalam lafaz Minangkabau segera
berubah menjadi ”terasi Nippon anjing”), mereka harus pandai berbahasa
Jepang. Kursus-kursus bahasa Jepang dibuka dimana-mana, harus
dikunjungi oleh pegawai-pegawai negeri dan guru-guru terutama. Mereka
diharuskan mengajarkan bahasa ”saudara tua” itu kepada pegawai-pegawai
lainnya dikantir dan kepada murid-murid disekolah.
Penanggalan dirubah dari tahun Masehi menjadi tahun Sumera, yang
selisihnya 660 tahun (1942 M = 2602 S). Jam disesuaikan dengan Tokyo,
yang berselisih 2,5 jam dengan waktu setempat.
Pada waktu-waktu tertentu pegawai-pegawai, ulama dan pemuka-
pemuka rakyat lainnya dikumpulkan ditanah lapang atau didepan tempat
kediaman Shu Tjo-kan. Mereka harus mendengarkan pidato-pidato
pembesar Jepang (melalui penterjemah), setelah melakukan ”sei-kei-rei”,
rukuk menghadap istana kaisar di Tokyo dan ”mukto”, memperingati arwah-
arwah pahlawan ”Dai Toa Senso”.
Yang paling melukai hati orang Minangkabau, kecuali merubah ”kiblat”
arah ke Tokyo (yang berarti membelakangi Mekah), ialah harus ”kei-rei”,
memberi hormat dengan berdiri bersikap, tiap-tiap kali melalui pegawal
Jepang atau berpapasan dengan oto pembesar Jepang. Kalau naik sepeda,
harus turun dan memberi hormat menurut cara Jepang sambil memegang
kendaraan itu.
Radio disegel. Yang boleh didengarkan hanya siaran pemancar radio
setempat, yang keadaannya dengan ”Padang Nippo” koran jawatan
propaganda Jepang di Padang, hanya menyiarkan kemenangan-
kemenangan Jepang, memeberikab penerangan tentang ”Nippon Sei-zin”,
semangat Jepang, pidato-pidato pembesar-pembesar setempat dan
sebagainya.
Untuk beberapa lama setelah Tentara Kerajaan Jepang masuk ke
Minangkabau, bendera Merah-Putih berkibar disamping ”Hinomaru”, bendera
Jepang. Lagu kebangsaan Indonesia-Raya dinyayikan setelah ”Kimigayo”.
Segera keluar perintah larangan mengibarkan sang Merah-Putih dan
menyayikan lagu Indonesia Raya. Jepang mulai memperlihatkan giginya!
Yang pernah bekerja sebagai mata-mata Jepang dizaman Hindia Belanda,
ditangkap dan tidak pernah terdengar lagi berita tentang mereka.
Menggunakan bahasa Belanda dilarang. Menyimpan buku-buku dan
majalah berbahasa Belanda dapat dituduh mata-mata Belanda dan
berkenalan dengan tangan besi ”kem-pei-tai”
Sempat dunia ketika itu bagi orang Minangkabau. Terbatas sangat
ruang gerak dan berat sekali tekanan jiwa. Ngobrol berkelakar diwarung-
warung kopi, kesenangan orang Minangkabau sepanjang masa, banyak
onak dan durinya, besar bahaya dan resikonya. Gedung-gedung bioskop
ditutup. Kalaupun ada film diputar, yang diperlihatkan hanya kemengan-
kemenangan Jepang, didahului oleh suara yang mengucapkan: Syukur
Alhamdulillah, Asia telah pulang ke Asia”, disusul oleh lagu ”Kimigayo”, yang
harus didengarkan oleh seluruh pengunjung dengan berdiri tertib!
Tangan kem-pei-tai panjang, kupingnya banyak. Sungguhpun bahaya
kem-pei-tai ada dimana-mana dan telah menjadi pengetahuan umum
keganasan-keganasan yang dilakukannya terhadap tiap-tiap orang yang
jatuh ketangannya, gerakan dibawah tanah, bagaimanapun kecilnya, ada di
Minangkabau. Mereka melakukan kampanye ”bisik”. Mendengarkan tetap
siaran-siaran radio luar negeri dan berusaha terus menegakkan semangat
juang Minangkabau. Si ”Amir” menjadi kode buat Amerika Serikat dan
inggris, si ”musa” adalah Mussolini, si ”husin” buat Hitler, si ”Ali” bagi Stalin
dan sebagainya. Dengan demikian rakyat Minangkabau mengetahui tentang
”kemenangan si Amir dimedan judi Timur”. Si Husin telah berangkat dari
Gurun (nama sebuah daerah di Batusangkar, maksudnya medan perang
Afrika Utara) dan sebagainya.
Disamping segi-segi negatif ”zaman Jepang”, ada pula segi positifnya.
Bahasa Indonesia mendapat kesempatan luas untuk berkembang menjadi
bahasa resmi dikantor-kantor Pemerintah, menggantikan bahasa Belanda
sebagai bahasa umum dalam rapat-rapat dan menjadi bahasa pergaulan dan
bahasa umum dalam rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan. Dalam masa
revolusi fisik besar sekali nilainya sebagai bahasa perjuangan yang
mempersatukan suku-suku bangsa Indonesia.
Untuk pertama kali dalam sejarah pemuda-pemuda Minangkabau
mendapat latihan militer, belajar disiplin dan menggunakan senjata modern.
Mereka memegang peranan yang menentukan bagi suksesnya Revolusi
Fisik di Minangkabau.
Semangat baru menjiwai generasi muda Minangkabau, semangat
juang dan balas dendam, dipupuk dan dibina oleh penderitaan dan
penghinaan lahir batin, yang dilimpahkan oleh pihak Tentara Pendudukan
Jepang pada orang tua, ninik mamak, lorong kampung, adat dan agama.
Angkatan muda itu bebas dan ikatan-ikatan pribadi dan pengalaman dengan
orang Belanda, bekas penguasa Hindia Belanda.
Berbeda dengan generasi sebelum mereka, yang banyak sedikitnya
masih dihinggapi oleh rasa sentimental dan haru melihat bekas-bekas
pejabat Belanda berdiri dibalik kawat lapis berduri, kurus kering, kulit merah
hangus dibakar terik matahari, dengan celana pendek kumal compang
camping. Atau melihat mereka digiring dibawah ancaman sangkur panjang
berkilat, disuruh membersihkan jalan atau membabat rumput ditanah lapang.
Angkatan muda Minangkabau luput dari pengaruh perasaan itu.
karenanya dapat bersikap lebih objektif dan zakelijk
Disamping itu, didorong oleh pengalaman dan penderitaan yang
sama, rasa kecewa dan cemas selalu, lembah pemisah yang ditimbulkan
oleh Belanda antara golongan agama, adat dan cerdik pandai berpendidikan
Barat sengan sesama mereka, makin tertimbun lenyap. Mereka berjabatan
tangan dan bekerjasama dalam usaha menolak bencana, melindungi rakyat
banyak, adat dan agama dari kehancuran keganasan kem-pei-tai dan
propaganda Jepang.
Cinta tanah air dan bangsa yang tidak didorong oleh rasa sentimentil
semata-mata, kian berkembang dan meluas akibat penindasan lahir batin
Jepang. Kenyataan itu akan besar sekali artinya waktu menghadapi agresi
Belanda dizaman ”Revolusi Fisik”.

3. Periode ”counter-attack Sekutu”

Kekalahan hebat yang dialami oleh armada Jepang diperairan Timur-


laut Australia pada akhir tahun 1942 merupakan ”turning-point”, titik balik
Perang Pasifik. Jepang kian ”maju” kebelakang, tiap kali ”menduduki garis
pertahanan yang telah dipersiapkan lebih dahulu”, akibat taktik ”lompat
kodok” dari pulau kepulau, yang dilancarkan oleh pihak Sekutu dibawah
pimpinan Mc Arthur. Makin jelas bagi Jepang, ”Orde Baru” yang akan
ditegakkan dengan semboyan ”Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia
Timur-Raya” makin mendekati kehancuran. Tidak diragukan lagi, siapa yang
akan mencapai ”kemenangan terakhir” dalam ”Dai Toa Senso”. Jelas bukan
mereka.
”Move” yang ditempuh oleh Jepang melalui Paus di Roma untuk
berdamai (1944), ditolak oleh pihak Sekutu. Jepang tetap ingin
mempertahankan wilayah Indonesia, sedangkan Sekutu menuntut
”unconditional surrender”, menyerah tanpa syarat. Karena masih jauh jarak
antara kedua tuntutan itu, Perang Pasifik berkobar terus.
Keunggulan Sekutu dibidang pengerahan tenaga manusia,
penyediaan perlengkapan persenjataan dan makanan seakan-akan tidak ada
batasnya. Jepang hanya dapat mengimbangi keunggulan Sekutu itu dengan
semangat juang ”bunuh diri”. Sesuai dengan filsafat hidupnya, malakukan
”harakiri”, menikam perut dan merusak binasakan badan sendiri kalau arang
tercoreng dikening. Jepang menbentuk pasukan udara ”bunuh diri” (torpedo
bernyawa) dan pasukan istimewa angkatan darat, ”bom-manusia”. Masing-
masing mereka diberi tugas-suci oleh Tenno Heika, kaisar Jepang,
menjatuhkan diri dengan pesawat penggempur penuh berisi bom diatas
kapal perang musuh. Menyerbu dengan torpedo dikendalikan manusia
ketengah-tengah konvoi lawan. Menyerang dengan badan penuh
bergantungan granat kekubu-kubu pertahanan Sekutu. Taktik serangan
membabi buta dengan membunuh diri hendak diterapkan pula oleh Jepang
di Minangkabau.
Serangan-serangan udara dan pertempuran satu lawan satu diatas
angkasa (”dogfighting”) makin sering dialami dan disaksikan oleh penduduk
Minangkabau diatas wilayah mereka. Makin banyak dan meluas pula berita
angin dari mulut kemulut tentang muncul dan mendarat ”ikan hiu hitam”,
kapal selam Sekutu didaerah Pesisir Nelayan dilaut bebas mereka tawan
dan bawa lari.
Pada pertengahan tahun 1943 terjadi buat pertama kali kecelakaan
kereta-api hebat di Minangkabau. Gerbong-gerbong penuh sesak dengan
manusia dan barang-barang mengikuti kepala kereta masuk sungai di
Lembah Anai. Lebih kurang lima belas bulan kemudian kereta api yang
bermuatan padat pula keluar dari relnya pada penurunan dekat Pasar
Rabaa, disebelah Utara Padang Panjang.
Kalau kecelakaan yang pertama terjadi ditengah hutan larangan yang
tidak didiami oleh manusia, bencana kedua berlangsung didaerah
persawahan yang rapat penduduknya. Kedua malapetaka itu dikaitkan oleh
Jepang dengan gerakan-gerakan sabotase, yang makin sering terjadi di
Minangkabau setelah banyak tersiar desas desus tentang ”muncul dan
mendaratnya ikan hiu hitam” didaerah pantai.
Pengawasan dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Jepang kian
diperketat dan kian ganas. Nelayan dilarang keluar tengah malam dan hanya
dibolehkan menangkap ikan dalam jarak tertentu dari tepi pantai. Kampung-
kampung dibagi atas kesatuan-kesatuan rumah tangga. ”to-nari gumi”,
dibawah pimpinan ”tonari-gumi-tjo”. Ia bertanggungjawab penuh atas segala
perbuatan anggota-anggota ”kumi”-nya dan atas lalulintas manusia didaerah
masing-masing. Siang malam diadakan ronda dan kawal kampung secara
bergiliran oleh tiap-tiap penduduk pria yang telah meningkat umur dewasa.
Kepala-kepala kampung, lurah atau kepala nagari diberikan latihan-
latihan militer dan dipompakan semangat ”Asia Timur-raya”. Yang sudah tua
atau kurang bersemangat, digantikan oleh yang masih muda.
Pejabat-pejabat Pemerintah, kepala-kepala sekolah dan para penilik
secara bergiliran mendapat latihan militer selama beberapa bulan di
Batusangkar. Yang mencoba mengelakkan perintah itu dianggap sebagai
”mata-mata Sekutu”, musuh ”Dai Toa Senso” dan dapat berkenalan dengan
tangan besi kem-pei-tai.
Kaum wanita dari ”tonari-gumi” hingga ke ”Shu” diikat dalam ”Fu-djin
Kai”, perkumpulan kaum ibu ”Asia Timur-raya”. Mereka harus mengawasi
gerak gerik suami masing-masing, ucapan-ucapannya yang menyimpang
dari tujuan ”Dai Toa Senso”. Bersama-sama dengan jawatan propaganda
Jepang, ”Senden-han” setempat, yang berkunjung hingga kepelosok-pelosok
Minangkabau, mereka harus mengiatkan rakyat memberikan ”support”
tenaga, pikiran dan makanan kepada ”Prajurit Asia Timur-raya”.
”Kei bo dan”, pasukan pembantu polisi yang mendapat didikan militer,
dibentuk dimana-mana dengan tugas mengawasi segala gerak gerik petani
didesa dan penduduk dikampung dan kota kediaman masing-masing.
”Pemuda-pemuda Asia Timur-raya” diikat dalam persatuan ”Seinen-
dan”, yang mendapat latihan-latihan militer pula dengan senapan dari kayu.
Tiap-tiap nagari diwajibkan menyerahkan dengan secara ”sekarela”
jumlah tertentu ”tentara pembangunan Asia Timur-raya”, ”Romusha” dan
Prajurit Asia Timur-raya ”Hei-ho”. Masing-masing mereka dilepas oleh orang
tua, sanak saudara dan masyarakat kampungnya dengan nasi bungkus atau
ketupat dan segenggam tanah dari kuburan pusaka, diiringi dengan do’a
kehadirat Ilahi, Yang akan pulang kelak hanya nama mereka saja.
Kaum ulama dirangkul. Diberikan fasilitas-fasilitas seperti yang tidak
pernah mereka alami ”dijaman Belanda”. Mereka diundang untuk berkumpul
dan disambut oleh ”Shu-tjo-kan” serta pembesar-pembesar militer dan sipil
Jepang setempat di ”Yamato Hoteru”, hotel Belanda ”Oranje Hotel” yang
megah di Padang (dan sekarang dinamakan ”Hotel Muara”). Mereka
diundang untuk bersama-sama dengan utusan ulama se-Sumatera
mengadakan ”Muktamar Islam Asia Timur-raya” di Sho-nan-to. Maksud
Jepang agar dengan perantaraan mereka sebagai pemimpin rohaniah rakyat
yang di Minangkabau ”konsekuen anti penjajahan Belanda” dapat
mengerahkan bantuan materil dan moril segenap lapisan penduduk untuk
berjuang hingga ”tetesan darah terakhir” bagi kemenangan ”Dai Toa Senso”
Kaum ulama dipertentangkan dengan kaum adat dan kaum cerdik
pandai yang mendapat didikan Barat sebagai kaki-tangan Pemerintah
Kolonial Belanda, sungguhpun tenaga mereka tetap dipakai dalam jabatan-
jabatan dan kantor-kantor Pemerintah. Siasat adu-domba antara sesama
penduduk dan pemimpin-pemimpin mereka bukanlah ciptaan Belanda
semata-mata rupanya dan merupakan senjata ampuh untuk segala zaman,
kondisi, situasi dan tempat.
Sumatera dijadikan landak, fysis dan psychis, oleh Jepang, yang bulu
saganya menunjuk runcing-tajam kesegala penjuru. Pantai Barat ditembok-
dipagari kawat berduri, diseling dengan ”bunker-bunker” beton tebal-kuat
ditempat kelindungan yang strategis Benteng alam ”Lembah Anai” dan
”Subangpas”, sejak dari Ladang Padi hingga ke Lubuk Selasih ditengah-
tengah Bukit Barisan ”dibungkus” dengan garis-garis pertahanan dan
benteng-benteng beton, dipersenjatai dengan meriam-meriam raksasa ”jarak
jauh” dan sarang-sarang mitraliur.
Penduduk-petani kelapa dan buruh kecil pemerah susu sapi antara
jembatan Batang Kelawi dan jembatan Batang Kalumbuk diperintahkan
secara kasar untuk ”sukarela” meninggalkan rumah dan tanah pusaka
mereka. Daerah itu akan dijadikan benteng dan lapangan udara terbesar di
Sumatera, lengkap dengan bukit-bukit tempat menyembunyikan pesawat-
pesawat tempur dan bom guna memenangkan Perang Asia Timur-raya.
Jalan raya yang melewati daerah itu dibelokkan jauh arah ke Barat. Kereta
api harus menutup sekalian jendelanya, penduduk dipadatkan kedalam
gerbong apabila melewati daerah militer itu
Ribuan ”romusha”, budak-budak belian abad ke-20, dipekerjakan
siang malam dibawah ancaman sangkur runcing berkilat, hardik dan tendang
”saudara tua’.
Segala usaha ditempuh. Tidak ada kesempatan yang tidak digunakan
oleh Pimpinan Tentara Pendudukan Jepang di Minangkabau mengerahkan
secara sukarela dibawah ancaman kem-pei-tai dan sangkur terhunus untuk
memperoleh ”support” materil dan moril dari segenap lapisan masyarakat
Minangkabau. Sesuatunya mereka tujukan guna memenangkan Perang Asia
Timur-raya, sungguhpun mereka berkeyakinan penuh hingga ”tetesan darah
terakhir” pun tidak akan keluar sebagai pemenang dalam ”Armageddon”
Timur lawan Barat yang mulai mereka lancarkan sejak tanggal 8 Desember
1941 itu. Mereka lakukan segala tindakan-tindakan dan persiapan-persiapan
perang semesta itu dengan perhitungan, kalau Jepang terpaksa menyerah
kalah kepada Sekutu, perlawanan akan dilanjutkan didaerah Minangkabau.
Kalau Jepang tidak mempunyai hari depan lagi sebagai ”Pemimpin Asia”,
biarlah rakyat dan daerah Minangkabau ikut sama-sama tenggelam dengan
”Dai Nippon”. Bukankah ”Nippon Sei-zin” mengajrakan ”gugur satu rontok
semuanya”, sebagaimana dicontohkan oleh bunga ”sakura” lambang negara
Jepang!
Pemerintah Militer Jepang berhasil memaksa ulama-ulama
Minangkabau untuk memfatwakan Perang Asia Timur-raya sebagai ”perang
sabil”. Hanya pengertian tentang isi ”perang sabil” itu berbeda seperti bumi
dengan langit. Bagi ulama-ulama Minangkabau ”Dai Toa Senso” adalah
”perang sabil” dalam makna menghancurkan kekuasaan Jepang diwilayah
Minangkabau. Sebagian kaum ”sjirk”, yang memaksa rakyat Minangkabau
menduakan Tuhan dengan menyembah Tenno Heika dan merubah ”kiblat”
ke Tokyo, hukumnya wajib bagi orang Minangkabau sebagai orang Islam
mengangkat senjata melawan musuh agama itu.
Dalam rangka itulah ulama-ulama Minangkabau, dipelopori oleh
”Inyik” Djambek dan Syeh Daud ar Rasuli merestui pembentukan ”Gyu-gun”,
tentara sukarela pembela tanah air dan agama. Disokong dan
dipropagandakan oleh Chatib Soeleman dan Rangkaya Rasuna Said
sebagai wakil pemuda Islam. Didukung penuh oleh kaum cerdik pandai yang
berpendidikan Barat seperti Angku Mohammad Syafe’i dan Angku Abduillah
Datuk Rumah Panjang. Disambut hangat oleh penghulu-penghulu ninik
mamak dalam MTKAAM. Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau.
Pemimpin-pemimpin rakyat Minangkabau itu tidak dipesonakan lagi
oleh propaganda Jepang ”Asia buat Asia”, tetapi telah memperhitungkan
segala kemungkinan , yang akan dihadapi oleh Minangkabau setelah Jepang
kalah. Tidak ada yang meragukan itu lagi. Kampanye bisik gerakan dibawah
tanah Minangkabau dan berita-berita dalam ”Padang Nippo” maupun yang
tetap disiarkan oleh radio Jepang tentang ”kemenangan-kemenangan
Tentara Kerajaan”, yang ”tiap kali menduduki garis pertahanan baru”
didaerah pasifik hingga sampai ke Okinawa, telah menguatkan keyakinan
tentang kekalahan Jepang. Hanya menunggu waktunya saja lagi dan waktu
itulah yang dipergunakan sebaik-baiknya oleh pemimpin-pemimpin
Minangkabau.
Filsafat yang mendasari pandangan hidup orang Minangkabau ”dunia
terkembang dijadikan guru”, ”kepalang basah biar kuyup”, ”orang
penggamang jatuh dan orang pendingin mati tenggelam”, dijadikan
pegangan dan pedoman oleh pemimpin-pemimpin Minangkabau, ketika
keganasan Pemerintah Pendudukan Jepang sebagai akibat kekalahan-
kekalahan yang diderita terus menerus oleh Tentara Kerajaan dimedan
perang Pasifik, kian memuncak
Salah satu kegemaran orang Minangkabau ialah ”mengadu alang-
alang”, bertanding layang-layang antar kampung dan kampung, antar nagari
dan nagari. Siasat adu layang-layang ialah ”melomba benang waktu angin
kencang, menarik tali waktu angin reda”. Filsafat itu pulalah yang diterapkan
menghadapi Jepang di Minangkabau.
Kata-kata yang diucapkan oleh pemimpin-pemimpin Minangkabau itu
mempunyai dua arti. Pada lahirnya membantu usaha perang Jepang, dalam
batinnya mempersiapkan diri menghadapi Jepang.
Anak-sekolah masih tetap melagukan nyanyian-nyanyian pahlawan
Jepang, tetapi mengandung pengertian lain bagi pemimpin-pemimpin
Minangkabau. Lagu ”Taihai yo” (Lautan Besar Pasifik), yang mulai dengan
”Myo, To no sora akete” (tengok, langit Timur telah cerah), fajar yang
menyingsing di Timur itu ialah harapan yang dikandung bagi masa depan
Minangkabau. Sekalian lembaga pertahanan untuk kepentingan Dai Toa,
dibelokkan artinya bagi kepentingan hari depan Minangkabau, setelah
Jepang menyerah kalah.
Itulah sebabnya maka latihan perwira Gyu-gun angkatan pertama
didikuti oleh putera-putera ulama, penghulu dan kaum cerdik pandai
Minangkabau seperti Mohammad Dahlan Djambek, Datuk Ganto Suaro,
Abdul Halim (Aleng), Ismael Lengah dan banyak lagi lainnya. Mereka kelak
sebagai teras pimpinan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang kemudian
berubah namanya menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) untuk akhirnya
menjelma sebagai Tentara Nasional Indonesia, memimpin perjuangan rakyat
Minangkabau melawan agresi Belanda dan mempertahankan kedaulatan
Republik Indonesia didaerah Minangkabau.
Itulah pula sebabnya maka pimpinan badan-badan perjuangan rakyat
Minangkabau dijaman Jepang dipegang oleh oeang Indonesia.
Tekanan tangan besi Pemerintah Pendudukan Jepang, dibarengi oleh
filsafat hidup ”harakiri”, agar ”rontok satu, gugur semuanya” buat Jepang
kemudian terbukti sebagai ”deus ex machina”. Mereka telah menimbulkan
kekuatan-kekuatan laten dalam masyarakat Minangkabau yang tidak dapat
mereka kuasai lagi. Denan tidak disengaja maupun direncanakan, Jepang
telah mendidik dan mempersiapkan rekyat Minangkabau untuk aktif
membela dan menegakkan kemerdekaan tanah air.
Tidak pernah dalam sejarah keganasan, bersumber pada rasa curiga
dan niat munafik, menghasilkan kerjasama dan ikatan kekeluargaan yang
langgeng! Keganasan melahirkan keganasan, rasa curiga memupuk curiga
pula dan sikap munafik menimbulkan kemunafikan pula.
Siasat ”saudara tua” men-Jepangkan Minangkabau dan
menyiapkannya melakukan harakiri bagi kepentingan Jepang, mengalami
kegagalan, karena dikonfrontir dengan pandangan hidup orang Minangkabau
yang riil, dengan adat dan agama (Islam) sebagai dwi benteng pertahanan
yang maha kokoh.
Jepang sudah ”kalah” di Minangkabau sebelum dipaksa menyerah
oleh kaum sekutu.

4. Menjelang ”Hiroshima”

Setelah Okinawa dikepulauan Ryu-Kyu jatuh ketangan Sekutu


(permulaan tahun 1945), sirnalah harapan Jepang untuk menang dalam
Perang Pasifik. Soalnya sekarang bagi Jepang dengan cara bagaimana
memperoleh syarat-syarat damai yang tidak terlampau memalukan.
Dengan Okinawa sebagai pangkalan angkatan udara Sekutu mulai
menghujani pusat-pusat industri Jepang dengan benteng-benteng
terbangnya. Udara dan lautan dijagoi oleh Sekutu. Sebagai taktik perang
”bunuh dirinya” angkatan laut dan udara Jepang tidak berarti lagi.
Sungguhpun demikian ”si Pisau Cukur” Perdana Menteri Jenderal
Tokyo masih memerlukan datang dan berkunjung ke Manila dan Jakarta
(Maret 1945) untuk memberikan janji ”memberikan kemerdekaan kepada
Pilipina, Indonesia dan Birma”. Di Jawa dibentuk ”Dokuritsu Tyo-sa Kai”,
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan”, yang anggota-
anggotanya terdiri dari pemimpin-pemimpin nasional terkemuka. Sumatera
diwakili oleh Dr. M. Amir dan Mr Teuku Mohd Hassan.
Maksud Jepang mendirikan badan-badan ”Penyelidik Usaha
Kemerdekaan” dan menjanjikan ”kemerdekaan” kepada Pilipina, Indonesia
dan Birma, ialah untuk mendapat sokongan maksimal bagi usaha perang
yang sedang dilancarkan. Sekurang-kurangnya Sekutu akan mendapat
”sambutan hangat” nanti, kalau mendarat didaerah-daerah Asia Tenggara
itu. Kalau Indonesia menjadi medan perang, tekanan Sekutu terhadap
kepulauan Jepang asli akan dapat berkurang.
Sekutu telah mengadakan perubahan rencana perangnya mengenai
wilayah Indonesia. Kalau sebelum tahun 1945 wilayah Indinesia berada
dibawah komando Mc Arthur, sejak tahun 1945, bagian Barat daerah
kepulauan kita berada dibawah pimpinan Laksamana Besar Inggris Lord
Louis Mountbatten, yang membentuk South East Asia Command (SEAC),
bermarkas di Colombo, Ceylan. Mc Arthur membutuhkan segala pikiran dan
tenaganya untuk segera membuat Jepang bertekuk lutut tanpa syarat.
Dengan perubahan rencana pembagian wilayah oleh Sekutu itu
Sumatera tiba-tiba berada difront depan medan perang Samudera Indonesia
bagian Barat. ”Ikan hiu hitam” dikabarkan makin sering muncul didaerah
Pesisir. ”Dog-Fighting” bertambah sering terjadi diudara daerah
Minangkabau. Kem-pei-tai makin sering mengadakan penangkapan-
penangkapan. Makin sering kali pula penduduk kota Padang melihat ”mobil
hitam”, bekas kereta mati dijaman Belanda pada pagi hari pulang kosong
dari daerah Indarung dan Ladang Padi. Berita-berita tersiar dikalangan luas,
disanalah Jepang memancung tawanan-tawanan perangnya, mata-mata
Sekutu dan yang dituduh seperti itu, diangkut dengan ”mobil hitam” dari
markas Kem-pei-tai di Padang.
Rasa takut, gelisah dan tidak aman mencekam tiap-tiap pejabat
penting Indonesia dikantor-kantor Pemerintah. Dalam tas mereka selalu
tersedia satu stel piyama, kain sembahyang, sabun, handuk dan lain-lain,
guna menghadapi kemungkinan dijemput oleh Kem-pei-tai dari tempat
mereka bekerja, tanpa diberikan kesempatan untuk pamitan dengan isteri
dan anak-anak.
Bertambah dekat Jepang pada kehancurannya, bertambah santer
propaganda mengenai ”kemenangan gilang gemilang” mereka dan janji
kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Bertambah meningkat pula
keganasan-keganasan yang mereka lakukan.
Tersiar luas berita mengenai rencana iblis Jepang, kemudian terkenal
sebagai ”daftar hitam”. Dengan maksud mengeliminir sekalian tenaga
menengah yang mendapat mendapat pendidikan Belanda dan telah
berpengalaman dibidang pemerintahan, kepolisian, pendidikan dan
sebagainya. Jepang ingin menciptakan ”vacuum” tenaga-tenaga pelaksana
menengah di Minangkabau. Seandainya Sekutu kemudian mendarat dan
berhasil menguasai Minangkabau atau Indonesia Merdeka menjadi satu
kenyataan, pimpinan Tentara Sekutu maupun Pemerintah Indonesia
Merdeka akan menghadapi kesulitan-kesulitan besar. Jepang memang telah
berhasil melaksanakan rencana iblis itu di Kalimantan (Selatan). Kalangan
cerdik pandai dan pemimpin-pemimpin rakyat didaerah itu dikumpulkan dan
dijadikan makanan peluru mitraliur Jepang!
Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang telah melimpahkan
taufik, rahmat dan hidayah-Nya kepada Minangkabau. Sebelum Jepang
melaksanakan rencana setan mereka itu, Sekutu menjatuhkan bom atom
yang pertama dalam sejarah umat manusia di Hirosyima (8 Agustus 1945),
disusul kemudian dengan pengumuman perang USSR kepada Jepang.
Tentara Merah segera menduduki Mansyukwo dan daerah Korea Utara.
Jepang menjadikan bom atom di Hirosyima sebagai alasan untuk
berdamai. Maksudnya yang sebenarnya ialah menghindarkan industri, yang
mereka bangun sengan susah payah sejak lebih kurang tiga perempat abad
lamanya dari kehancuran total dan untuk membendung bahaya komunisme
di Asia Timur. Jepang menyerah tanpa syarat (15 Agustus 1945) dan
selesailah perang Pasifik.
Rakyat Minangkabau pada umumnya tiadak mengetahui duka cerita
yang mengakhiri ”Dai Toa Senso” dan impian imperialis Jepang yang sangat
ambisius, menegakkan ”Orde Baru” di Asia dengan semboyan ”Lingkungan
Kemakmuran Bersama Asia Timur-raya”. Saat yang sangat dramatis dalam
pementasan dukacerita yang telah mengorbankan jutaan jiwa manusia,
menimbulkan samudera penderitaan dan kemiskinan di Asia Timur umumnya
dan di Indonesia khususnya, ialah waktu Pangeran Konoye, sebagai
Perdana Menteri dan wakil rakyat Jepang menyerah tanpa syarat kepada
pimpinan Tenatara Sekutu di Pasifik. Jenderal mc Arthur diatas kapal induk
USN ”Missouri” di Teluk Tokyo.
Rasa penuh tanda tanya penduduk Minangkabau, melihat Jepang
tiba-tiba melucuti senjata Gyu-gun, meyuruh mereka pulang kedaerah asal
masing-masing dan membebaskan ”romusha” dari ”kamp-kamp kerja”
diseluruh Sumatera Barat, mendapat jawaban dalam berita-berita angin yang
kian lama kian santer, bahwa Jepang telah menyerah kalah.
Ketika itu sedang bulan puasa. Rasa lega, bebas dari ancaman
aniaya kem-pei-tai dan kakitangannya datang sebagai gelombang nikmat
yang tidak terkirakan besarnya. Pada malam hari sesudah berbuka puasa,
penuh sesak mesjid dan langgar dikunjungi orang yang bersembahyang
taraweh dan wirid, diikuti oleh sembahyang ghaib dan doa syukur kehadirat
Ilahi. Belum pernah dalam sejarah orang Minangkabau merayakan hari raya
Ied-ul Fitri semeriah tahun 1945. Bukan saja karena Jepang sudah menyerah
kalah, tetapi karena ”kepanasan oleh cahaya bom atom di Hiroshima” bahan-
bahan pakaian, makanan, tepung terigu dan gula pasir telah keluar dari
tempat persembunyiannya selama ini dan membanjiri pasaran. Yang sempat
mengumpulkan dan menyimpan uang Belanda dapat berbelanja sepuas hati,
seperti ”dijaman normal” kembali.
Jepang yang sudah kehilangan ”cakar dan gigi”, tidak sesombong
dahulu dan kem-pei-tai tidak ditakuti lagi. Pos-pos Tentara Jepang yang
terpencil jauh didaerah pedalaman segera mengalami serangan-serangan
rakyat setempat, dipimpin oleh bekas perwira Gyu-gun, untuk merebut
senjata dan perbekalan mereka.
Zaman baru, penuh dengan perjuangan moril dan fisik, padat dengan
penderitaan materi dan rohaniah, masih akan dihadapi oleh rakyat
Minangkabau. Indonesia yang baru saja diproklamasikan kemerdekaannya,
akan menghadapi tantangan Belanda yang sengit dan kejam, karena tidak
mau mengakui Negara Republik Indonesia Merdeka.
Selama ”setahun jagung dilatih dan dididik untuk menderita” oleh
Tentara Pendudukan Jepang, Minangkabau dan rakyatnya telah siap-sedia
menghadapi tantangan itu.

Kesimpulan

1. Kebangkitan Jepang sebagai negara industri dan militer modern sejak


akhir abad ke-19, menjurus kepada pecah perang Pasifik (8
Desember 1941 – 15 Agustus 1945), yang merombak peta politik
dunia dan Asia Tenggara: Indonesia muncul sebagai Negara Merdeka
yang berdaulat penuh.
2. Pendidikan Tentara Jepang mengakibatkan penderitaan-penderitaan
rohaniah dan jasmaniah bagi bangsa Indonesia, tetapi titik perang
dibalik segala penderitaan itu, bangsa Indonesia dipersiapkan untuk
menjadi bangsa merdeka ditanah air sendiri.
3. Rakyat Minangkabau, dilatih sepanjang masa untuk bersilat lidah oleh
susunan masyarakatnya, teguh memegang adat dan melakukan
perintah agamanya, telah berhasil, melumpuhkan siasat Jepang me-
Nipponkan mereka dan menenggalamkan dari dan wilayah sendiri
dengan cara ”harakiri”
4. Gyu-gun, ”Tentara pembela tanah air” yang dibangun oleh Jepang
guna kepentingan politik-ekonomi-militernya, memberikan
kesempatan dan pengalaman kepada pemuda Minangkabau seperti
yang belum pernah dialami dalam sejarahnya untuk menjadi prajurit
pengawal tanah air dalam arti yang sebenarnya.
5. Bom atom yang dibuat pertama kali dalam sejarah dijatuhkan oleh
Sekutu di Hiroshima, telah menyelamatkan pemimpin-pemimpin
pelaksana golongan menengah Minangkabau dari rencana iblis
Jepang mengeliminir mereka untuk menimbulkan ”vacuum” tenaga
setelah Jepang kalah.
6. Terhindar Minangkabau dari kehancuran materil dan moril sebagai
medan tempur sengit dalam Perang Pasifik disebabkan karena
dirubah rencana Sekutu mengenai ”pembebasan” wilayah komando
mereka mengenai daerah Indonesia. Itu adalah rahmat yang telah
dilimpahkan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang kepada
rakyat dan daerah Minangkabau.
BAB X.

REVOLUSI FISIK DI MINANGKABAU

1. Proklamasi Kemerdekaan

Vacuum kekuasaan terjadi di Indonesia antara tanggal 14-18 Agustus


1945, yaitu antara tanggal menyerahnya Jepang kepada Sekutu dan tanggal
terbentuknya Pemerintah Republik Indonesia. Vacuum kekuasaan itu hanya
diketahui oleh segolongan kecil rakyat Indonesia, yang menggunakan
kekosongan kekuasaan itu untuk merubah peta politik dan menentukan jalan
sejarah selanjutnya di Asia Tenggara. Mereka dengungkan keseluruh
pelosok dunia ”Proklamasi Kemerdekaan Indonesia” pada tanggal 17
Agustus 1945.
Tidak seluruh daerah Indonesia mendengar dan mengetahui peristiwa
penting yang menentukan nasibnya itu, karena saluran-saluran komunikasi
resmi diawasi ketat sekali oleh Jepang. Sungguhpun demikian halnya,
melalui saluran-saluran tidak resmi yang tidak dikuasai oleh Jepang, berita
proklamasi itu dapat juga ditangkap dan diketahui oleh beberapa daerah
pada hari proklamasi itu diucapkan. Beberapa orang pemuda di daerah
Sumatera Barat, yang bekerja pada kantor PTT di Padang dan Bukittinggi
dan pada kantor berita Jepang ”Domei”, telah menangkap berita proklamasi
itu. Mereka telah mengetahui pula tentang menyerahnya Jepang tanpa
syarat kepada Sekutu dan Perang Asia Timur Raya sudah selesai, bairpun
secara resmi Jepang baru mengumumkan berita itu pada tanggal 21
Agustus. Pemuda-pemuda itulah yang menyampaikan berita proklamasi itu
kepada pimpinan-pimpinan Indonesia di Padang dan Bukittinggi.
Sumatera Barat ketika itu sedang diliputi oleh suasan penuh tanda
tanya. Sejak beberapa hari sebelum berita proklamasi, secara rahasia mulai
tersebar dikalangan masyarakat, tentara pendudukan Jepang
memperlihatkan kesibukan yang luar biasa. Pegawai-pegawai sipil dan
perusahaan-perusahaan Jepang dengan cara yang menyolok sekali menjual
barang-barang dan perkakas rumah mereka. Hei-ho, Gyu-gun mulai dilucuti
senjatanya dan anggota-anggotanya disuruh pulang ke kampung masing-
masing. Pekerja-pekerja kasar yang secara paksa dikerahkan oleh petugas-
petugas Jepang, dikeluarkan dari asrama mereka dan disuruh pulang pula.
Sejak tanggal 15 Agustus ”Radio Sumatera” (sumatora Hoso-kyoku) di
Bukittinggi sudah tidak mengudara lagi. Karena pesawat-pesawat radio
penduduk disegel oleh Jepang dan hanya dapat menerima siaran berita-
berita resmi, setelah sumber itu bungkam, pesawat radiopun tidak bersuara
lagi. Bermacam-macam desas-desusu dan spekulasi, yang satu lebih hebat
dan serem dari yang lain, tersebar luas dan menggelisahkan masyarakat,
terutama dikota-kota. Kelesuan pejabat-pejabat Jepang dan ketenangan
yang mengantikan kesibukan-kesibukan militer Jepang selama ini,
merupakan kayu api bagi pertumbuhan desas-desusu dan spekulasi-
spekulasi dalam masyarakat.
Pengumuman resmi lewat radio pada tanggal 21 Agustus mulai
mengungkapkan keadaan yang sebenarnya. Radio Sumatera memberitakan
kawat ”Domei”, bahwa Tenno Heika, kaisar Jepang, telah berkenan
memerintahkan menhentikan Perang Asia Timur-Raya. Pada hari itu pula
tiba dari Jakarta Dr. M. Amir dan Mr. T. M. Hassan, wakil-wakil Sumatera
dalam ”Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia” yang diciptakan oleh
Jepang. Mereka hadir dan ikut serta dalam perundingan dan ketika
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diucapkan di Pegangsaan Timur,
Jakarta. Kedatangan kedua tokoh penting itu telah menghilangkan keragu-
raguan dan memberikan kepastian tentang ”Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia”.
Dua hal positif yang dapat dijadikan pegangan sekarang, yaitu
1. Kekuasaan Jepang telah berakhir di Indonesia dan
2. Kemerdekaan Indonesia telah diproklamirkan.
Sekalipun sudah ada pegangan positif itu, berita tentang
kemerdekaan Indonesia masih terbatas dalam lingkungan kecil.
Penyebarluasan peristiwa penting itu secara terbuka dan leluasa belum
dapat dilakukan, guna menghindarkan bentrokan fisik dengan tentara
Jepang. Mereka masih merupakan kekuatan politik dan militer yang nyata di
Sumatera Barat. Persenjataan mereka masih lengkap dan utuh. Apalagi
ketika itu sedang bulan puasa dan masyarakat luas sedang diliputi oleh
suasana menjelang Lebaran. Karena itu kegiatan-kegiatan menyebarluaskan
berita kemerdekaan itu baru dimulai sejak tanggal 4 September 1945.
Sebelum kegiatan-kegiatan itu dilakukan secara luas, beberapa
peristiwa penting telah terjadi. Badan-badan pendukung kemerdekaan telah
mulai didirikan. Atas inisiatif Ismael Lengah, bekas perwira Gyu-gun
Sumatera Barat, pada tanggal 18 Agustus 1945 telah diadakan rapat rahasia
oleh pemuda-pemuda di Padang. Sesudah Dr. M. Amir dan Mr. T.M. Hassan
datang dan hilang segala keragu-raguan tentang proklamsi kemerdekaan
Indonesia, pada tanggal 25 Agustus 1945 dibentuk ”Balai Penerangan
Pemuda Indonesia” (BPPI). Lembaga Pemuda itu bertugas memberikan
penerangan-penerangan kepada masyarakat Sumatera Barat tentang
kemerdekaan bangsa Indonesia yang telah diproklamirkan dan
mengkoordinir tindakan-tindakan yang akan dilakukan untuk
mempertahankan kemerdekaan itu. BPPI menampung pemuda-pemuda
yang telah mendapat latihan dan pendidikan militer sebagai anggota Hei-ho,
Gyu-gun dan badan-badan semi-militer lainnya dan karenanya merupakan
lembaga rakyat yang pertama di Sumatera Barat bagi pembentukan
angkatan perang Republik Indonesia.
Bukittinggi sebagai kota kedua di Sumatera Barat, menunjukkan
kegiatan-kegiatan yang tidak kurang pentingnya dari Padang. Pada tanggal
21 Agustus diadakan rapat oleh pemuda dibawah pimpinan Nursjirwan dan
Mara Kerma dan pada tanggal 25 Agustus dibentuk ”Pemuda Indonesia”
(PI), yang anggota-anggotanya terdiri dari pemuda-pemuda seperti BPPI di
Padang. PI kemudian merubah namanya menjadi ”Pemuda Republik
Indonesia” (PRI), yang mempunyai cabang dieluruh Sumatera Barat.
Tugasnya ialah menjamin keamanan, mempertahankan kemerdekaan
bangsa dan negara Republik Indonesia, merebut kekuasaan dan
perlengkapan senjata dari tangan Jepang.
Antara tanggal 27-29 Agustus kota Padang dan daerah sekitarnya
diliputi oleh suasana dan gelombang rapat-rapat raksasa. Semangat
kemerdekaan yang telah mulai mencekam hati sanubari pemuda, menentang
ancaman bayonet Jepang. Bendera Jepang dikantor Balai Kota Padang
diturunkan, digantikan dengan sang saka Merah-Putih. Tindakan patriotik
dan herois itu mendapat sambutan hangat diseluruh Sumatera Barat.
Dimana-mana bendera Jepang digantikan dengan bendera Merah Putih,
lambang kemerdekaan bangsa dan tanah air.
Tanggal 31 Agustus 1945 dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI)
untuk Sumatera Barat, diketuai oleh M. Syafei dari Kayutanam. Sebagian
besar dari anggota KNI-Sumatera Barat yang pertama ini terdiri dari bekas
anggota ”Sumatora Kaigansyu Syan-kai”. Badan Perwakilan Sumatera Barat
yang diciptakan oleh Jepang. Berbeda dengan lembaga Jepang, yang tugas
utamanya mempropagandakan ”Perang Asia Timur-Raya” dan ”Lingkungan
Kemakmuran Asia Timur-Raya”, KNI-Sumatera Barat berfungsi sebagai
badan legislatif revolusioner dan mempunyai hubungan erat dengan KNI-
KNI, yang segera didirikan dikewedanan-kewedanan dan nagari-nagari.

2. Perebutan kekuasaan dan senjata.

Ketika Jepang menyerah kalah tanpa syarat, Sekutu menugaskan


kepada bekas musuhnya itu untuk menjamin keamanan didaerah-daerah
yang didudukinya, termasuk Indonesia. Jepang bertanggung jawab penuh
atas ”status quo” didaerah-daerah kedudukannya, sampai tentara Sekutu
datang untuk mengambil alih kekuasaan. Antara saat Jepang mengaku kalah
(14 Agustus 1945) dan mendarat untuk pertama kali tentara Sekutu di Jawa
(2 September 1945) ada jarak waktu yang lebih kurang 3 minggu lamanya.
Waktu itu dipergunakan oleh Indonesia untuk membentuk Pemerintahan
yang representatif guna menerima dan menghadapi Sekutu. Pemerintahan
Republik Indonesia. yang batu dihadapkan pada dua masalah penting dan
pelik, yaitu:
1. Tentara Pendudukan Jepang sudah pasti tidak akan bersedia
menyerahkan seluruh kekuasaan di Indonesia kepada Pemerintah
Republik Indonesia, yang baru itu, karena jelas-jelas menyalahi
perintah yang dibebankan oleh pihka Sekutu kepada mereka,
menjamin ”status quo” dan
2. Apabila Sekutu telah menyelesaikan tugas utama mereka, melucuti
Tentara Jepang dan memulangkan tawanan-tawanan Perang
(”Prisoners of War”=POW”), merekasecara pasti akan menyerahkan
seluruh kekuasaan di Indonesia kepada Belanda sebagai anggota
Sekutu yang mempunyai ”hak-hak historis” atas wilayah ”Nederlands
Indie”.
Untuk mengatasi kedua persoalan yang erat hubungannya dengan
”Proklamasi Kemerdekaan Indonesai” itu, dalam jangka waktu yang terbatas
hingga Sekutu mendaratkan tentaranya dibumi Indonesia, Pemerintah
Republik Indonesia harus mampu:
1. merampas seluruh kekuasaan dari tangan Jepang.
2. melucuti tentara Jepang yang masih utuh perlengkapan
perangnya
3. menjamin keamanan POW dikamp-kamp tawanan mereka
diseluruh Indonesia.
Apabila Pemerintah Republik Indonesia, dengan kemampuan yang
sangat terbatas dan dalam jangka waktu yang sangat pendek, dapat
menyelenggarakan tugas raksasa itu, Sekutu akan menghadapi sesuatu ”fait
d’ accommpi” dan Pemerintah Republik Indonesia akan mempunyai
”bargaining position” yang kuat menghadapi sekutu. Soal waktu merupakan
faktor penting bagi Republik Indonesia yang baru lahir. Bertambah lama
Sekutu mengundurkan waktu pendaratannya di Indonesia, bertambah baik
untuk Pemerintah Republik Indonesia, untuk mengkonsolidasikan
kedudukannya.
Setelah Jepang menghentikan perang, pasukan-pasukan PETA, Hei-
ho, Gyu-gun barisan-barisan semi militer lainnya di Indonesia dibubarkannya.
Di Bukittinggi Gyu-gun dilucuti dan dibubarkan pada tanggal 15 Agustus
1945. Pemerintah Pendudukan Jepang menginsyafi bahaya yang
mengancamnya, apabila ”Pasukan Sukarela” itu masih utuh dan bersenjata
lengkap. Senjata itu pasti akan mereka balikkan terhadap Jepang, begitu
berita tentang kekalahan Jepang mereka ketahui.
Pada hakekatnya proklamasi kemerdekaan adalah perebutan
kekuasaan yang bersifat politis. Perebutan kekuasaan fisik militer ternyata
memakan waktu yang lama dan meminta korban yang banyak. Di Semarang
misalnya terjadi peristiwa berdarah, yang kemudian terkenal sebagai
”Pertempuran Lima Hari di Semarang”.
Perebutan kekuasaan ditujukan terhadap dua sasaran, menduduki
kntor-kantor pemerintahdan merebut senjata Jepang. Cara yang ditempuh
ialah diplomasi dan apabila itu gagal, kekerasan.
Tindakan menguasai kantor-kantor Pemerintah dimulai di Sumatera
Barat dengan peristiwa menaikkan bendera Merah Putih dan menurunkan
bendera Hinomura di kantor Balai Kota Padang. Setelah di Padang terbentuk
BPPI dan di Bukittinggi PRI, pemuda-pemuda yang tergabung dalam kedua
oraganisasi itu giat berusaha memperoleh senjata dari Jepang dengan
menempuh berbagai macam cara dan siasat.
Mereka beli, curi, rampas dan dimana mungkin mereka serbu gudang-
gudang persediaan senjata Jepang. Bentrokan fisik yang terjadi di Sungai
Penuh antara pemuda-pemuda dan Jepang untuk mendpatkan senjata,
meminta banyak koraban dikalangan pemuda. Cara kekerasan untuk
memperoleh senjata pada mulanya akan ditempuh oleh pemuda-pemuda di
Painan, tetapi menjumpai kegagalan, karena tidak terdapat kata sepakat
antara sesama pemimpin pemuda itu. Peristiwa berdarah di Sungai Penuh
membangkitkan semangat juang yang luar biasa dikalangan pemuda-
pemuda Sumatera Barat. Jepang meninggalkan Painan demi keselamatan
jiwa mereka sendiri, karena tidak mampu menghadapi semangat perjuangan
pemuda dikota kecil di Pesisir Selatan itu.
Di Kubu Gadang dekat Payakumbuh ada bengkel senjata yang
terbesar untuk seluruh Sumatera. Melalui perundingan kira-kira 200 orang
pemuda dipekerjakan dibengkel itu dibawah pimpinan Mochtar Kemal. Ketika
Jepang meninggalkan Payakumbuh, bengkel itu dengan segala peralatan
dan persediaannya jatuh ketangan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), wadah
yang menampung BPPI dan PRI. Sungguhpun Sekutu kemudian menuntut
agar bengkel di Kubu Gadang itu dihancurkan, pada hakekatnya senjata
yang berasal dari tempat itu merupakan alat-alat pertama yang digunakan
oleh Tentara Republik Indonesia (TRI) untuk mempertahankan kemerdekaan
Indonesia di Sumatera Barat.
Karena jalan perundingan tidak selalu dapat ditempuh, didorong oleh
semangat memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan yang
menyala-nyala tanpa dibarengi oleh perhitungan yang wajar, maka jalan
kekerasanlah yang seringkali ditempuh dan banyak meminta korban.
Bentrokan fisik sering pula terjadi, sebagai akibat sikap dan tindakan Jepang,
yang tidak dapat atau tidak mau memahami aspirasi angkatan muda
Indonesia ketika itu. Selain dikota Padang bentrokan-bentrokan berdarah
terjadi di Sungai Tanang dekat Bukittinggi, di Batusangkar, Lubuk Sikaping
dan tempat-tempat lain di Sumatera Barat.

3. Pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR)

Dalam bulan-bulan pertama proklamasi Pemerintah Republik


Indonesia, mendasarkan kekuatannya pada bidang diplomasi, tidak pada
bidang fisik militer. Itulah sebabnya maka tidak segera dibentuk tentara
sebagai tulang punggung negara yang baru diproklamsikan kemerdekaanya
itu. Yang disusun hanya ”Badan Keamanan Rakyat” (BKR) sebagai bagian
dari ”Badan Penolong Keluarga Korban Perang” (BPKKP). ”Kebijaksanaan”
yang ditempuh oleh Pemerintah Republik Indonesia yang masih muda itu
dengan demikian melengahkan kesempatan untuk sejak semula membentuk
angkatan perang yang kokoh-kuat, sebagai imbangan kekeuatan fisik bagi
diplomasi. BKR merupakan wadah yang menampung bekas anggota-
anggota PETA, Gyu-gun, Hei-ho dan sebagainya, yang dibubarkan oleh
Jepang pada tanggal 19 Agustus 1945.
Sejalan dengan pembentukan KNI di Sumatera Barat disusun pula
BKR. Pimpinan dipegang oleh Ismael Lengah dan pengawasan dilakukan
oleh KNI. Segera tiap-tiap kewedanan dan nagari membentuk BKR-nya pula.
Atas desakan beberapa golongan dan tokoh-tokoh terkemuka,
diantaranya bekas Mayor Tentara Kerajaan Belanda (KNIL), Oerip
Sumoharjo, pada tanggal 5 Oktober 1945 dengan dekrit Pemerintah Republik
Indonesia, BKR dirubah namanya menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Pada tanggal 10 Oktober 1945 BPPI Padang membubarkan diri. Sebagian
besar dari anggotanya menjadi TKR. Hal yang sama terjadi pula di
Bukittinggi (14 Oktober 1945) dan dengan tempat-tempat lain dimana ada
BKR. TKR inilah sebagai angkatan Perang Republik Indonesia yang
menghadapi tentara Jepang yang digunakan oleh Sekutu, pasukan-pasukan
Sekutu dan kemudian tentara NICA.
Situasi sulit segera timbul dengan datangnya tentara Sekutu dan
NICA, ketika TKR langsung secara fisik berhadapan dengan mereka
disamping usaha yang giat dilakukan untuk merebut senjata Jepang. Itulah
salah satu sebab, maka di Sumatera Barat TKR secara organisator baru
pada tanggal 1 Januari 1946 dapat dibentuk. Rapat pembentukan TKR itu
diadakan di Padang Panjang dan dihadiri oleh pemimpin-pemimpin TKR
seluruh Sumatera Barat. Untuk Sumatera Tengah, yang ketika itu terdiri atas
keresidenan Sumatera Barat, Riau dan Jambi, dibentuklah satu divisi TKR,
yang diberi nama ”Divisi III Banteng”, dengan Kolonel Dahlan Djambek
sebagai ”komandan”. Militer Jambi tidak termasuk kedalam wilayah Divisi III,
tetapi merupakan teritorial dari Divisi IV Sumatera Selatan.
Divisi III Banteng terdiri atas empat resimen, masing-masing dipimpin
oleh seorang Letnan Kolonel. Resimen I berada dibawah pimpinan Letnan
Kolonel Syarief Usman, Resimen II oleh Letnan Kolonel Dahlan Djambek,
Resimen III oleh Letnan Kolonel Ismael Lengah dan Resimen IV (Riau) oleh
Letnan Kolonel Hasan Basri.

4. Bentrokan-bentrokan Sekutu/NICA

Rencana semula tentara Amerika Serikatlah yang akan mendarat di


Indonesia. Tetapi karena Amerika Serikat ingin memusatkan segala tenaga
dan perhatiannya kepada kepulauan Jepang maka diputuskan, tentara
Inggrislah yang akan datang ke Indonesia untuk melucuti tentara Jepang dan
menyelesaikan persoalan-persoalan POW. Tentara inggris itu adalah bagian
dari ”South East Asia Command” (SEAC), dibawah pimpinan Lord Loui
Mountbatten, yang bernarkas di Ceylon. Divisi ke-23 ditentukan buat Jawa
dan Divisi ke-26 untuk Sumatera. Anggota kedua divisi itu kebanyakan terdiri
dari orang India, yang banyak sedikit bersimpati terhadap perjuangan
kemerdekaan rakyat Indonesia.
Bahagian dari divisi ke-26 mendarat di Padang pada tanggal 13
Oktober 1945, disambut dengan semestinya oleh Pemerintah Sumatera
Barat, sesuai dengan kebijaksanaan yang telah digariskan oleh Pemerintah
Republik Indonesia. Sekutu mengumumkan, bahwa mereka datang untuk
melucuti tentara Jepang dan mengurus pemulangan tawanan-tawanan
perang. Mereka tidak akan mencampuri soal politik dan urusan dalam negeri
Republik Indonesai. Pernyataan Pihak Sekutu itu mengandung makna,
mereka secara de facto telah mengakui Negara Republik Indonesia.
Ketika tentara Sekutu mendarat di Teluk Bayur, lebih dari 500 orang
pemuda anggota BPPI menyamar sebagai buruh pelabuhan. Mereka adalah
pemuda-pemuda terpelajar, yang menguasai bahasa-bahasa Inggris dan
Belanda dan bertugas, selain dari untuk membantu pembongkaran kapal-
kapal sekutu, juga memperhatikan kekuatan tentara Sekutu, jumlah dan jenis
persenjataan mereka, serta mengamat-amati orang Belanda yang datang
sebagai tentara Sekutu. Tugas istimewa adalah mengadakan hubungan
dengan beberapa orang Perwira tentara Sekutu itu.
Pendaratan tentara Sekutu di Padang segera menimbulkan suasana
tegang dan panas di kota Padang. Insiden Pertama hampir saja meletus,
ketika Sekutu menurunkan bendera sang saka Merah Putih dari kantor
syahbandar di Teluk Bayur dan menggantikannya dengan bendera Inggris.
Kemarahan pemuda-pemuda dapat diredakan, setelah Pemerintah Daerah
memberikan keterangan, bahwa peristiwa pertukaran bendera itu telah
disetujui terlebih dahulu dan sesuai pula dengan kebiasaan-kebiasaan
internasional. Keterangan Pemerintah untuk menenangkan suasana ketika
itu, tidak mampu menghilangkan rasa tidak puas dikalangan pemuda. Rasa
tidak puas itu akan segera berkembang menjadi sikap permusuhan,
ditambah dengan sikap angkuh tentara Sekutu setibanya mereka di Padang.
Dengan sewenang-wenang mereka menempati bangunan-bangunan dkota,
tanpa menghiraukan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Balai
Kota Padang.
Pemuda-pemuda membentuk barisan pengawal yang menjaga
kamtor-kantor Pemerintah. Padang mulai dibanjiri oleh poster-poster dalam
bahasa Indnesia dan Inggris, yang isinya menentang penjajahan dan
menolak kembalinya kekuasaan Belanda di Indonesia. Tentara-tentara
Inggris yang merasa tersinggung dengan poster-poster itu, mencabik-cabik
poster-poster dan merusakkan tempat-tempat poster-poster itu ditemukan.
Percetakan tempat poster-poster itu dicetak, mereka obrak-abrik.
Penangkapan-penangkapan mulai mereka lakukan. Kantor Pemuda di Pasar
Jawa mereka bakar. Segala tindakan Tentara Inggris yang berlawanan
dengan ucapan kaum Sekutu tidak mencampuri soal-soal dalam negeri
Republik Indonesia, mempergawat suasana dan dapat meletus menjadi
bentrokan-bentrokan bersenjata. Disamping itu semuanya NICA mulai pula
mengadakan infiltrasi. Mereka datangi kantor-kantor Pemerintah dan hubungi
pegawai-pegawai lama. Sebagai alasan dari tindakan-tindakan merekaitu,
mereka kemukakan ”hak-hak historis” mereka atas kantor-kantor tersebut.
Bujukan-bujukan mulai mereka lancarkan, bahwa pegawai-pegawai lama itu,
akan menerima gaji mereka dalam jumlah uang Belanda selama
pendudukan tentara Jepang. Usaha mengadu dombakan pihak Indonesia
dengan Sekutu dan Jepang, giat pula mereka lakukan.
Akibat dari kejadian itu semuanya, bentrokan-bentrokan fisik antara
pemuda dengan tentara Sekutu tidak dapat dicegah lagi. Pada tanggal 25
Nopember 1945 Sekolah Teknik di Simpang Haru disebelah Timur kota
Padang, tiba-tiba diduduki oleh Belanda. Sekutu telah berjanji, tidak akan
menduduki sekolah-sekolah tanpa persetujuan Pemerintah Kota. Waktu
salah seorang guru Sekolah Teknik itu menghalang-halangi Belanda
menempati kompleks sekolah teknik itu ia dianiaya hingga jatuh pingsan.
Pada malam harinya pemuda-pemuda Padang melancarkan serangan
secara besar-besaran untuk merampas kompleks sekolah itu. sejak saat itu
hampir setiap hari terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara pemuda-
pemuda dengan Sekutu, maupun dengan Belanda. Pada tanggal 5
Desember 1946 seorang mayor tentara Inggris berkunjung ke Sungai
Beramas disebelah Selatan Teluk Bayur dengan seorang perawat
bangsanya. Mereka didapati kemudian telah meninggal dunia. Peristiwa
perwira Inggris itu dijadikan alasan oleh pimpinan tentara Sekutu untuk
membakar kampung nelayan ditepi teluk dekat Teluk Bayur itu.
Penangkapan dan pembunuhan secara sewenang-wenang mereka lakukan.
Jam malam mereka adakan, tetapi selalu dilanggar oleh pemuda-pemuda
pejuang kemerdekaan. Hampir tiap malam terjadi pertempuran dan
kebakaran di kota Padang dan daerah sekitarnya.
Tahun 1945 ditutup dengan suasana politik penuh ketegangan dan
keamanan yang memburuk di kota Padang khususnya, di Sumatera barat
umumnya.

5. Konsolidasi kedalam

Menjelang penutupan tahun 1945 balance politik memperlihatkan


keuntungan bagi Pemerintah R. I di Sumatera Barat. Sekalipun keamanan
kota Padang kian hari kian terganggu akibat kehadiran tentara Sekutu dan
NICA, Pemerintah Republik Indonesia di kota itu masih dapat berjalan lancar.
Didaerah-daerah wibawa Pemerintah Daerah makin terasa. Administrasi
pemerintahan kian disempurnakan dan dipelancar.
M. Syafe’i dari INS kayutanam, yang menjadi residen Sumatera Barat,
(31 Oktober – hingga pertengahan Nopember 1945) digantikan oleh Datuk
Perpatih Baringek, seorang yang telah mempunyai pengalaman lama dan
banyak dibidang pemerintahan. Pada permulaan tahun 1946 diadakan
mutasi pegawai-pegawai pamong praja secara besar-besaran. Tindakan itu
dilakukan untuk membungkamkan berita yang sengaja dihembuskan oleh
golongan tertentu, seakan-akan tercapai keserasian dan kerjasama yang
baik antara pegawai-pegawai lama dengan pegawai-pegawai baru, berasal
dari pemimpin-pemimpin rakyat. Dalam bulan ini juga keanggotaan KNI-
Sumatera Barat lebih disempurnakan dengan menambah anggota dari
kalangan partai-partai politik dan golongan-golongan masyarakat. Dengan
demikian KNI lebih mempunyai corak dewan perwakilan rakyat daerah yang
sebenarnya.
Sementara itu pemimpin-pemimpin rakyat Sumatera Barat yang di
Digulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, mulai berpulangan, diantaranya
H. Iljas Yacoub.
Guna menambah pengalaman pemuda-pemuda Sumatera Barat
sering menghadiri kongres-kongres pemuda di Jawa. Di Sumatera Barat
sendiripun setiap kali diadakan rapat-rapat besar oleh organisai-organisasi
pemuda, partai-partai politik dan organisasi-organisasi masa. Semuanya
dengan tujuan membantu dan memperlancar perjuangan kemerdekaan.
Pada bulan Nopember 1945 di Padang Panjang diadakan Kongres
Rakyat Sumatera Barat, diikuti oleh seluruh partai politik dan organisasi-
organisasi masa.
Penertiban-penertiban dilaksanakan pula dibidang keamanan guna
mencegah akses-akses negatif, yang dapat merugikan perjuangan
kemerdekaan.
Dengan berpedoman kepada perkembangan politik dan perjuangan
rakyat di Jawa, di Sumatera Baratpun didirikan ”Volksfront”, Front Rakyat.
Berbeda dengan yang di Jawa, di Sumatera Barat pembentukan Volksfront
tidak disponsori oleh partai-partai politik, tetapi atas inisiatif KNI-Sumatera
Barat. Pada tanggal 14 Maret 1946 Volksfront Sumatera Barat diresmikan
dalam sidang lengkap KNI-Sumatera Barat. Sidang KNI itu menetapkan pula
pembenturan dewan perwakilan rakyat yang terdiri atas tiga tingkatan, yaitu
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Barat. Dewan Perwakilan Kota
dan Dewan Perakilan Nagari. Dalam praktik, karena jumlahnya yang sangat
besar dan tersebar luas diseluruh Sumatera Barat. Dewan Perwakilan Nagari
inilah yang memegang peranan penting dalam pimpinan perjuangan
kemerdekaan.
Volksfront yang dibentuk atas inisiatif KNI-Sumatera Barat, seringkali
melakukan tindakan-tindakan yang sangat radikal dan bertentangan dengan
”policy” yang telah digariskan oleh Pemerintah Daerah. Kegoncangan-
goncangan yang acapkali timbul dalam masyarakat sebagai akibat dari
tindakan-tindakan Volksfront itu mengakibatkan tegangnya hubungan antara
Volksfront dan Pemerintah Daerah. Segala usaha dari pihak Pemerintah
Daerah untuk menghilangkan ketegangan itu, selalu menjumpai kegagalan.
Kaum komunis yang menjadikan Volksfront itu alat untuk mengembangakan
pengaruh dan kekuasaan mereka, selalu menyebut persetujuan-persetujuan
bersama, yang dicapai antara Volksfront dan Pemerintah. Karena lebih
banyak menimbulkan kerugian daripada keuntungan bagi perjuangan
kemerdekaan, pada tanggal 24 April 1946, 40 hari setelah didirikan,
Pemerintah Daerah membubarkan Volksfront. Pemimpin-pemimpinnya
ditangkap, sungguhpun mereka segera dibebaskan kembali.
Bidang ketentraman menuju kearah penyempurnaan organisasinya
pula. Pada tanggal 17 Maret 1946 Kepala Staf Umum TRI Sumatera, Mayor
Jenderal Suhardjo Hardjowardojo, meresmikan dan melantik Opsir Markar
Divisi III Resimen X TRI Sumatera Tengah.
Perubahan penting terjadi pula dibidang pemerintahan sipil. Propinsi
Sumatera dibagi atas tiga sub-propinsi, masing-masing dipimpin oleh
seorang Gubernur-muda. Pada tanggal 2 Juli 1946 Dr. M. Djamil, bekas
residen Sumatera Barat, diangkat menjadi Gubernur-muda Sumatera
Tengah, yang wilayahnya meliputi keresidenan Sumatera Barat, Riau dan
Jambi. Sebagai residen Sumatera Barat diangkat Mr. M. Rasjid (20 Juli
1946).

6. Bertempur dan berunding

Sementara Pemerintah Sumatera Barat memperkokoh kedudukannya


dengan mengadakan konsolidasi kedalam, Sekutu dan NICA tetap berusaha
menimbulkan kekacauan-kekacauan dengan tindakan-tindakan provokatif.
Iklim politik kota Padang tetap panas dan eksplosif, keamanan penduduk
tetap gawat. Pertimbangan-pertimbangan politis dan keamanan itulah
mendorong Pemerintah Sumatera Barat mengambil kebijaksanaan secara
berangsur-angsur memindahkan jawatan-jawatan penting ke Bukittinggi,
yang letaknya lebih aman dan suasana politiknya lebih tenang daripada kota
Padang. Jam malam yang ditetapkan oleh Sekutu sejak dari pukul 6 petang
hingga 6 pagi, mendapat sanggahan keras dari Kepala Polisi Republik
Indonesia. Sumatera Barat, Johny Anwar. Tindakan Sekutu itu mengandung
arti, seakan-akan polisi Republik Indonesia dikota Padang tidak mampu
menjamin keamanan kotadan penduduknya. Menghadapi proses yang keras
dari pihak Pemerintah Republik Indonesia itu, Sekutu segera mencabut jam
malam, yang pada hakekatnya tidak dipatuhi oleh pemuda-pemuda pejuang.
Justru karena adanya peraturan jam malam itu lebih bebas mereka
melakukan penghadangan-penghadangan patroli dan menyerang pos-pos
pengawal Sekutu, tanpa menimbulkan bencana pada rakyat biasa.
Pada awal bulan Agustus 1946 NICA dengan bantuan Sekutu
menduduki beberapa kantor Pemerintah Sumatera Barat di Padang,
menculik dua perawat wanita Palang Merah Indonesia (PMI) dan membakar
mesjid Anduring diperbatasan kota sebelah Timur. Tindakan-tindakan yang
nekat itu mendapat balasan yang setimpal, pertempuran-pertempuran
bersenjata berkobar siang dan malam di sekitar kota, maupun didalam kota
sendiri. Menjelang ulang tahun Republik Indonesai yang pertama Sekutu dan
NICA melancarkan tindakan provokatif dengan tiba-tiba menangkap dan
menahan Residen dan Kepala Polisi Republik Indonesia, untuk Sumatera
Barat, Mr. M. Rasjid dan Johny Anwar. Dr. M. Djamil, Gubernur-muda
Sumatera Tengah, datang sendiri ke Markas Sekutu di Padang. Ia
memajukan protes keras dan menuntut, agar kedua pejabat tinggi
Pemerintah Republik Indonesia, itu segera dibebaskan. Sekutu memenuhi
tuntutan itu.
Suasana politik yang kian panas dan keamanan yang kian gawat di
kota Padang mendorong Pemerintah Sumatera Barat untuk lebih
mencurahkan perhatian terhadap kelanjutan dan keutuhan Pemerintah
Republik Indonesia, dikota Padang dan daerah sekitarnya. Walikota Padang,
Mr. Abu Bakar Djaar, ditunjuk oleh Gubernur Sumatera sebagai Residen
Sumatera Timur dan sebagai gantinya ditetapkan Bagindo Azischan dari
golongan agama. Walikota baru itu memulai tugasnya dalam situasi politik
yang sangat eksplosif. Meskipun pada tanggal 15 Agustus 1946 tercapai
kata sepakat dengan pimpinan tentara Sekutu mengenai jaminan keamanan
kota Padang, karena kedua belah pihak masing-masing melemparkan
tuduhan tidak mematuhi persetujuan itu, pertempuran-pertempuran dikota
dan sekitarnya meletus kembali pada tanggal 25 Agustus 1946. Padang
menjadi lautan api. Kebakaran-kebakaran hebat terjadi di Tabing, perbatasan
kota sebelah Utara, di Kantin, bagian kota disebelah Barat dan di Simpang
Haru, perbatasan kota disebelah Timur. Pertempuran-pertempuran sengit
berkobar di Teluk Bayur dan disepanjang jalan besar yang menghubungi
pelabuhan itu dengan kota Padang. Pengungsian besar-besaran mulai
dilakukan oleh penduduk dari tempat-tempat yang telah berubah menjadi
medan perang itu. Berbondong-bondong mereka menuju kedaerah
pedalaman dan Bukittinggi, yang lebih menjamin keamanan jiwa mereka.
Penduduk yang mengungsi dan kehilangan tempat berteduh serta merta
pencaharian itu, menimbulkan masalah-masalah sosial yang berat bagi
Pemerintah Sumatera Barat, disamping kegawatan politik yang ditimbulkan
oleh Sekutu bersama-sama dengan NICA dikota Padang. Dibentuklah
Koordinasi Pertahanan Propinsi Sumatera dengan Gubernur Mr T.M Hassan
sebagai ketua. Kolonel Dahlan Djambek diangkat sebagai kepala Sub-
Komandemen Seksi II Sumatera dan sebagai penggantinya ditunjuk Kolonel
Ismael Lengah untuk memimpin Divisi III Banteng. Dengan organisasi
pertahanan yang lebih terkoordinir dan kerjasama yang erat antara pimpinan
Pemerintah Sipil dan Militer, dihadapilah segala kemungkinan yang dapat
ditimbulkan oleh Sekutu dan NICA di Sumatera umumnya dab di Sumatera
Barat khususnya.
Karena mengganggap tugasnya melucuti dan memulangkan tentara
Jepang serta mengembalikan tawanan-tawanan perang (POW) sudah
selesai, pada permulaan bulan September 1946 Sekutu mengumumkan,
tentaranya akan ditarik dari Indonesia sejak dari tanggal 30 Nopember 1946.
Sebelum maksud itu dilaksanakan, secara berangsur-angsur tentara Sekutu
(Inggris) akan menyerahkan kekuatan Pemerintahan Sipil Belanda
(”Nederlands Indies Civil Administration” = NICA).
Keputusan Sekutu itu dianggap sebagai penghiantan terhadap
Pemerintah Republik Indonesia dan suasan politik maupun keamanan
menjadi titik-didih, didaerah-daerah dimana ada tentara Inggris. Persatuan
Perjuangan Sumatera Barat menyampaikan protes keras terhadap niat
Sekutu untuk menyerahkan pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia
kepada Belanda, yang akan menyeret mereka kedepan pengadilan militer
Belanda,. Maksud Sekutu itu disampaikan oleh pimpinan tentara Inggris
kepada Walikota Padang dalam sebuah kota. Permintaan Walikota Padang
untuk menyerahkan tawanan-tawanan itu kepada pihak Indonesia, tidak
diacuhkan oleh Inggris. Pihak Indonesia di Padang dan Sumatera Barat
bersiap-siap menghadapi tanggal 30 Nopember 1946, tanggal penyerahan
kekuasaan dan tanggung jawab Sekutu kepada Belanda dan keberangkatan
pasukan-pasukan Inggris dari daerah itu.
Pertemuan-pertemuan Pemerintah Republik Indonesia, dan wakil
Pemerintah Belanda dibawah pengawasan Sekutu di Jawa, menghasilkan
naskah ”Perjanjian Linggarjati”, yang akan diparaf oleh kedua belah pihak
pada tanggal 15 Nopember 1946. Di Jawa terutama partai-partai politik
pecah menjadi dua golongan, yaitu yang menyokong dan yang menentang
naskah persetujuan itu. Pada satu pihak naskah persetujuan itu
menimbulkan rasa lega. ”Adempause” yang tercapai akibat dari persetujuan
itu dapat digunakan sebagai landasan bagi pembangunan Republik
Indonesia, disegala bidang. Rakyat Indonesia telah banyak menderita sejak
dari zaman pendudukan tentara Jepang. Pengakuan ”de facto” dan de jure”
kekuasaan Republik Indonesia. atas pulau Sumatera, bagian-bagian
terpenting dari Indonesia, dapat digunakan sebagai ,odal untuk perjuangan
selanjutnya guna mencapai keutuhan seluruh wilayah Indonesia.
Pihak yang sangat kecewa dengan tercapainya naskah persetujuan
itu, menganggap tindakan kompromi itu sebagai pengkhianatan Proklamasi
17 Agustus 1945. Belanda akan menggunakan ”adempauze” itu untuk
mempersiapkan diri guna menghancurkan Republik Indonesia. Dari
pengalaman-pengalaman di zaman yang lalu sudah seringkali terbukti,
bahwa Belanda tidak pernah memperlihatkan kesungguhan menepati
janjinya kepada bangsa Indonesia.
Guna memberikan penjelasan-penjelasan terhadap naskah perjanjian
yang telah tercapai di Linggarjati itu, Pemerintah Republik Indonesia
mengutus menteri Pertahanan Mr. Amir Syarifuddin, menteri Kemakmuran
Dr. A.K. Gani dan Kepala Staf Umum Angkatan Perang Republik Indonesia,
Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo, ke Sumatera Tengah.
Pemerintah Sumatera Barat mengadakan perundingan-perundingan
dengan wakil-wakil Belanda di Padang untuk membicarakan gencatan
senjata, garis demarkasi, soal orang tawanan dan sebagainya, sebagaimana
tercantum didalam naskah perjanjian Linggarjati (23 Nopember 1946).
Keengganan yang diperlihatkan oleh Pemerintah Belanda untuk
melaksanakan ketentuan naskah persetujuan itu, sangat mengecewakan
pihak Indonesia. Kegagalan sebagai akibat sikap Belanda itu mengobarkan
pertempuran-pertempuran kembali disegala front. Guna menghadapi situasi
yang bertambah gawat setelah Sekutu menyerahkan kekuasaan dan
tanggung jawab kepada Belanda. Sub-Komandemen Seksi II Sumatera
membentuk Barisan Istimewa Polisi Sumatera Barat, yang bertugas sebagai
teras tenaga polisi didaerah-daerah pertempuran. Laskar-laskar rakyat
seperti ”Hizbullah” menyempurnakan organisasinya, latihan-latihan militer
anggota-anggotanya dan pendidikan perwira-perwiranya (awal Desember
1946).
Kembali kota Padang menjadi medan pertempuran. Andalas,
Simapang Haru dan Alai, perbatasan kota sebelah Timur menjadi medan
perang. Hubungan jalan raya Padang-Teluk Bayur pusat supply Belanda dari
daerah-daerah diseberang lautan, tidak aman lagi bagi Belanda. Indarung,
pintu gerbang kota Padang disebelah Tenggara, kunci hubungan lalu lintas
kebenteng alam ”Subang-pas” dan kedaerah persawahan Solok, menjadi
medan pertempuran yang sengit pula.
Pertempuran itu mengakibatkan makin membanjir arus pengungsi
kedaerah-daerah pedalaman, yang dianggap lebih aman. Perjuangan
Kemerdekaan telah sampai ke pondok-pondok bambu dan telah melibatkan
seluruh lapisan rakyat di Padang dan daerah sekitarnya terutama.
Misi Agung Pemerintah Pusat sampai ke Bukittinggi pada tanggal 8
Desember 1946. Keesokan harinya, dengan didampingi oleh pejabat sipil
dan militer Sumatera Tengah dan Sumatera Barat, perundingan diadakan
dengan pihak Belanda di Padang. Seperti yang telah dibentangkan diatas,
hasilnya sangat mengecewakan pihak Indonesia. Selain penetapan garis
demarkasi yang sangat samar, persetujuan gencatan senjata yang tidak
terjamin pelaksanaanya, Walikota Padang dengan didampingi oleh alat-alat
Pemerintahan dan kepolisian Republik Indonesia, ikut serta menjamin
keamanan kota Padang dan daerah sekitarnya. Sikap Belanda yang tidak
ikhlas melaksanakan persetujuan-persetujuan yang telah dicapai itu, telah
mengakibatkan berkobarnya kembali pertempuran disekitar maupun di dalam
kota Padang sendiri.
Dalam pertemuan dengan Belanda pada tanggal 31 Desember 1946,
mereka menyatakan sebagai pendapat, bahwa soal demarkasi dan gencatan
senjata tidak ada hubungannya dengan pembangunan kembali kekuasaan
Pemerintah Republik Indonesia di Padang. Dengan demikian Belanda
mengingkari persetujuan yang telah tercapai dalam perundingan terdahulu
dan menganggap Pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh Walikota
Padang tidak sah.
Tafsiran yang diberikan oleh pihak Belanda mengenai persetujuan
yang dicapai dalam perundingan awal Desember 1946 didasarkan atas
kekuatan militernya, yang kian lama kian dirasanya kuat, di Jawa umumnya
dan di Sumatera Barat khususnya. Tahun 1946 ditutup dan tahun 1947
dinulai dengan bayangan ancaman militer yang gawat bagi Republik
Indonesia. Pada permulaan tahun 1947 mereka melancarkan serangan yang
bertubi-tubi ke Indarung, Anduring dan Lubuk Alung, pusat-pusat kegiatan
”kaum ekstrimis”, yang mengancam kedudukan Belanda di kota Padang.
Pasar Usang yang letaknya didaerah Republik Indonesia dan jauh dari garis
demarkasi yang telah ditetapkan bersama, dihujani dengan bom dari udara.
Dalam keadaan yang serba gawat dan berbahaya itu Pemerintah Republik
Indonesia di Padang tetap dengan gigih melakukan tugasnya dibawah
bimbingan dan pimpinan Bagindo Azischan.
Kegigihan perlawanan yang diperlihatkan oleh pihak Indonesia
akhirnya memaksa Belanda di Padang untuk membuka perundingan kembali
dengan pihak Indonesia. Mereka menyatakan sebagai kesediaan mereka
untuk menyelesaikan soal-soal garis demarkasi, tawanan perang dan
kedudukan Pemerintah Republik Indonesia di Padang. Karena masalah-
masalah yang akan diselesaikan berhubungan erat dengan soal-soal militer,
pihak Republik Indonesia diwakili oleh Kolonel Ismael Lengah. Sungguhpun
perundingan yang berlarut-larut itu memperoleh kata sepakat mengenai
banyak hal, (Mei 1947), kontak-kontak senjata digaris demarkasi
berlangsung terus dan tidak kurang sengitnya. Dalam bulan Juni kembali
Republik Indonesia berunding dengan Belanda. Persetujuan yang dicapai
menetapkan jalur selebar 2 km disepanjang garis demarkasi, yang
merupakan daerah ”tidak bertuan” antara wilayah Republik Indonesia dan
daerah yang diduduki oleh Belanda. Daerah tidak bertuan itulah yang tetap
menjadi medan perang tidak resmi antara kesatuan-kesatuan Republik
Indonesia dan Belanda. Kenyataan itu tidak menjernihkan hubungan politik
dan menghilangkan kecurigaan dari pihak Indonesia terhadap kesungguhan
pihak Belanda untuk menaati persetujuan yang telah dicapai.

7. Peristiwa 3 Maret

Dalam suasana yang serba gawat dan eksplosif itu dan ketika
Pemerintah bersama-sama dengan Angkatan Perang Republik Indonesia,
mengerahkan segala tenaga dan usaha terhadap Belanda di Padang,
peristiwa yang terjadi dengan Volksfront pada pertengahan tahun 1946,
terjadi lagi pada permulaan tahun 1947. Ada golongan yang merasa tidak
puas dengan jalan perjuangan kemerdekaan di Sumatera Barat, karena
berlangsung lamban sekali menurut penilaian mereka. Rasa tidak puas itu
mereka salurkan dalam bentuk organisasi perjuangan, yang dinamakan
”Pemberantasan Anti Kemerdekaan Indonesia” disingkat PAKI, yang
melancarkan aksi-aksi rahasia guna mengdiskreditakan Pemerintah
Sumatera Barat dan pimpinan militer dimata rakyat. Agitasi-agitasi
dilemparkan kedalam masyarakat, bahwa pimpinan Pemerintahan dan Militer
dengan sengaja memperlambat proses revolusi guna menarik keuntungan
pribadi sebesar mungkin dari situasi politik yang mereka ciptakan itu. Tidak
segan-segan pemimpin-pemimpin PAKI itu melontarkan ucapan ”anjing
NICA” kepada pimpinan sipil dan militer yang jujur, tekun dan bekerja keras
melaksanakan kewajiban mereka dalam suasana serba kurang dan gawat
itu. Uang yang diterbitkan oleh Pemerintah Sumatera ”ORIPS” mengalami
inflasi yang hebat, segera sesuadah diedarkan dan sangat mempersulit
kehidupan rakyat, istimewa kaum pengungsi yang besar jumlahnya dan telah
kehilangan segala sesuatunya. Keadaan ekonomi yang memburuk itu, juga
sebagai akibat blokade yang dilakukan oleh Belanda dilautan, dijadikan alat
agitasi yang ampuh sekali oleh PAKI, yang berhasil merangkul sebagian dari
anggota laskar ”Hizbullah” dan ”Sabilillah” ke pihak mereka. Simpatisan-
simpatisan PAKI yang bekerja pada Komandemen Sumatera di Bukittinggi
menggunakan surat-surat yang telah dicap dengan stempel Komandemen,
guna dipakai sebagai surat perintah untk menangkap Residen Sumatera
Barat dan Komandan Divisi III Banteng serta tokoh-tokoh pimpinan sipil dan
militer lainnya.
Sebagian dari tokoh-tokoh pimpinan Sumatera Barat kebetulan
sedang menghadiri rapat pleno KNIP di Malang dan karena itu pimpinan
PAKI menganggap iklim politik menguntungkan mereka untuk melakukan
”kup” yang telah mereka rencanakan. Pada tanggal 3 Maret 1947 ”kup” itu
mulai dilancarkan dengan menangkap beberapa orang tokoh terkemuka
yang ada di Bukittinggi, dinatranya A. Gaffar Djambek dan Anwar St Saidi,
bekas direktur Bank Nasional dikota itu. Residen Sumatera Barat dan
Komandan Divisi III Banteng tidak berhasil mereka sergap, berkat
kewaspadaan dan kegigihan barisan pengawal ditempat kediaman mereka
maing-masing. Kup itu gagal dan Pemerintah Sumatera Barat, didampingi
oleh Komandan Divisi III Banteng, bertindak segera dan tegas. Pimpinan
”Peristiwa 3 Maret” itu dapat ditangkap semuanya, diantaranya Dt Rajo
Mangkuto dan Saalah Jusuf St Mangkuto, bekas bupati Solok dari golongan
ulama. Pemerintah segera menguasai keadaan dan kepada rakyat Sumatera
Barat diserukan, agar tetap waspada menghadapi musuh-musuh Republik,
dilarang melakukan tindakan-tindakan sendiri dan agar tetap membantu
Pemerintah.
Peristiwa 3 Maret itu membawa ekor yang panjang. Pada tanggal 23
Maret datang utusan istimewa dari Yogyakarta dibawah pimpinan menteri
Penerangan M. Natsir, yang memerintahkkan pengusutan peristiwa itu
secara seksama.
Laskar-laskar rakyat dibubarkan, termasuk ”Hizbullah” dan ”Sabilillah”
dan harus mengintegrasikan diri dibawah pimpinan TRI. Perintah itu hampir
mengakibatkan pertempuran bersenjata antara kesatuan-kesatuan laskar
rakyat itu dengan TRI yang ada di front Padang.
Tindakan-tindakan cepat dan tegas yang dilakukan Pemerintah di
Sumatera Brat sebagai ”response” atas ”Challenge” yang dilontarkan oleh
PAKI, memperkokoh wibawa Pemerintah, memperketat organisasi
ketentaraan di Sumatera Barat dan memperbesar kepercayaan atas diri
sendiri untuk dapat mengatasi segala cobaan, bagaimanapun coraknya dan
darimanapun datangnya. Yang disebut belakangan ini penting sekali, karena
bahaya yang mengancam sudah ada diambang pintu. Belanda telah
merobek-robek perjanjian Linggarjati dan telah siap sedia melancarkan
serangan besar-besaran untuk melenyapkan Republik Indonesia. Serangan
itu mereka sebut ”Aksi Polisionil”, untuk menimbulkan kesan diluar negeri,
bahwa tindakan militer yang mereka lancarkan itu adalah soal ”intern”
semata-mata.
8. Perang Kemerdekaan I

Perjanjian Linggarjati ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947.


Ditentang oleh Masyumi dan PNI, tetapi disokong oleh Partai Sosialis
Indonesia (PSI) dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Perpecahan
pendapat itu mempengaruhi suasana politik di Sumatera Barat. Pihak yang
menganggap ”adempauze” sebagai akibat perjanjian itu, yang digunakan
oleh Belanda untuk memperkokoh kedudukan militer mereka di Indonesia,
ternyata terbukti benar. Belanda telah mengerahkan pasukan-pasukannya
yang mendapat latihan di Kanada dan telah berpengalaman dalam medan
Perang Dunia II untuk menumpas Republik Indonesia.
Kemungkinan akan timbul ”Clash” senjata besar-besaran, tidak luput
dari perhitungan Panglima Besar Sudirman, yang berusaha keras
menyatukan segenap potensi militer Indonesia di Jawa maupun di Sumatera
untuk menampung kemungkinan itu. dikeluarkan perintah untuk
membubarkan semua laskar rakyat, yang organisatoris lepas dari
pengawasan dan bimbingan TRI. Laskar-laskar itu digabungkan dengan TRI
yang sekarang bernama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada tanggal 3
Juli 1947 terbentuk Kabinet baru dibawah pimpinan Mr Amir Syarifuddin.
Tidak lama sesudah itu Belanda mengajukan nota, yang antara lain
menuntut pembentukan ”gendarmerie”, yaitu polisi bersama, yang bertugas
menjaga keamanan didaerah-daerah militer-strategis Republik Indonesia di
Jawa dan Sumatera, sesuai persetujuan Linggarjati. Tuntutan pihak Belanda
itu ditolak oleh Badan Pekerja (BP) KNIP, dan Pemerintah Republik
Indonesia (10 Juli 1947)
Suasana politik dan militer kian hari kian memuncak dan gawat.
Bentrokan-bentrokan bersenjata didaerah demarkasi makin banyak terjadi.
Pada tanggal 21 Juli 1947 tiba-tiba pasukan-pasukan bersenjata Belanda
menyeberangi garis demarkasi diseluruh front, di Jawa maupun di Sumatera.
Belanda telah melancarkan ”Aksi Polisionil”nya, yang pada hakekatnya
adalah perang besar-besaran untuk memiliki Negara Republik Indonesia.
Di Padang perang kolonial itu didahului dengan pembunuhan Walikota
Republik Indonesia Bagindo Azischan (19 Juli 1947). Dalam keterangan
resminya Belanda memberitakan bahwa Bagindo Azischan menjumpai
mautnya akibat tembakan ”kaum ekstrimis”, tetapi visum et reportum team
dokter Republik Indonesia di Bukittinggi membuktikan bahwa walikota yang
malang itu meninggal dunia akibat pukulan-pukulan dengan benda berat
dikepala. Beliau adalah korban pertama dari pihak Republik Indonesia, pada
ketika perang kolonial sedang disiapkan untuk dilancarkan.
Setelah bertempur dua hari berturut-turut, Indarung jatuh ketangan
Belanda. TNI menjadikan Ladang Padi dilereng Bukit Barisan disebelah
Timur Indarung kubu pertahanan. Serangan Belanda itu dibarengi dengan
artileri berat dan tank-tank, perlengkapan Sekutu yang pernah digunakan
oleh Sekutu difront Afrika Utara dan serangan-serangan dari udara. Mereka
tertahan di Air Sirah, pintu gerbang ”Subang-pas”, benteng alam dilembah
Bukit Barisan. Rencana Belanda untuk mengadakan ”doorstoot” ke Solok,
daerah persawahan sidebelah Tenggara Sumatera Barat, dapat digagalkan
akibat perlawanan yang gigih dan gagah berani dari TNI. Perang gerilya
yang dilancarkan terus mnerus oleh TNI memaksa Belanda menggundurkan
diri kembali hingga Indarung (23-25 Juli 1947). TNI berhasil menerobos
pertahanan Belanda di Kepala Datar antara Indarung dan Padang dan
tentara Belanda mundur sampai ke Padang. Mereka terpaksa megakui
keunggulan TNI dengan perlengkapan yang jauh lebih sederhana daripada
Belanda. Front Timur tidak terlampaui oleh Belanda dan terbukti bahwa
semangat untuk merdeka lebih unggul daripada persenjataan dan
perlengkapan perang yang serba modern.
Keadaan di front Utara tidak banyak berbeda. Pertahanan TNI di
Tabing dapat diterobos oleh Belanda (22 Juli 1947). Mereka berhasil maju
sampai ke Lubuk Alung. Pertahanan TNI di Duku dan Pasar Usang di
gempur dari udara. Siang hari Belanda memang unggul dengan
perlengkapan dan persenjataan mereka yang serba modern. Rencana
Belanda untuk melakukan ”doorstoot” hingga ke Bukittinggi, ibukota provinsi
Sumatera Tengah, terhenti di Pasar Usang (27 Juli 1947),  40 km dari
Padang.
Apabila matahari sudah terbenam, Belanda mengurung diri di tempat-
tempat yang telah didudukinya. Inisiatif ada ditangan TNI, yang diperkuat
oleh bekas-bekas pasukan Hei-ho dari Halmahera, yang telah mengalami
”vuurdoop” hebat dimedan perang Pasifik melawan Sekutu. Sepanjang jalan
raya antara Padang-Pasar Usang berubah menjadi front, yang dikuasai oleh
TNI. Belanda terpaksa mengosongkan Pasar Usang kembali dan
memusatkan pertahanan mereka di Lubuk Alung  25 km disebelah Utara
Padang. Berbeda dengan front Timur yang berpegunugan, front Utara adalah
tanah persawahan dan perkebunan yang datar. Sungguhpun pada malam
hari merupakan medan perang gerilya yang ideal, siang hari Belanda tetap
unggul dengan pesawat-pesawat udaranya. Hingga ”cease fire” diumumkan
dan ”Perjanjian Renville” ditandatangai (Januari 1948), daerah Lubuk Alung
tetap dikuasai oleh Belanda sebagai ”daerah Renville”.
Difront Selatan, daerah sempit antara lereng-lereng curam Bukit
Barisan disebelah Timur dan Samudera Indonesia disebelah Barat,
kemajuan tentara Belanda dihalang-halangi oleh Batalion Topan, Batlyon
Gunung Raja dan satu seksi dari Markas Resimen III. Setelah diumumkan
gencatan senjata, Belanda masih berusaha untuk mendaratkan pasukannya
di Sungai Pisang dan Sungai Pinang tetapi digagalkan oleh Batlyon Topan
bersama-sama dengan kesatuan ALRI di Ampung Pulai, Tarusan.
Moril perjuangan TNI yang tinggi, dipupuk oleh semangat
kemerdekaan yang besar, telah berhasil menahan kemajuan tentara Belanda
disegala front. Pertempuran-pertempuran sengit selama beberapa hari di
front Timur dan Utara dan perang gerilya yang dilakukan hingga gencatan
senjata tercapai, tidak membawa hasil seperti yang direncanakan oleh
pimpinan tentara Belanda. Itulah akibat perlawanan sengit yang diperlihatkan
oleh Batalyon ”Harimau Kuranji”, yang anggota-anggotanya sebagian besar
terdiri dari pemuda-pemuda dan pelajar kota Padang dan daerah sekitarnya.
Segera setelah Belanda melanggar Perjanjian Linggarjati. Pemerintah
Sumatera Barat menyampaikan seruan kepada seluruh anggota masyarakat,
untuk menggalang persatuan dan memusatkan segala daya dan dana guna
menumpas agresi Belanda. Seruan itu mendapat sambutan hangat dari
pihak kaum alim ulama, yang mengeluarkan fatwa, bahwa perang
mempertahankan kemerdekaan itu adalah ”Perang Sabil” dan yang gugur
dimedan perang ”mati syahid”.
Pada tanggal 30 Juli 1947 dibentuk ”Front Pertahanan Nasional”
dengan Haji Abdul Malik Karim Amarullah (HAMKA), sebagai ketuanya.
Pembentukan FPN itu diprakarsai oleh wakil presiden Drs. M. Hatta, yang
pada tanggal 27 Juli, bersama-sama dengan Gubernur Sumatera Mr. T.M
Hassan meninggalkan Pematang Siantar, dua jam sebelum ibukota Propinsi
Sumatera itu jatuh ketangan Belanda, Bukittinggi dijadikan ibukota
perjuangan dan Negara Republik Indonesia di Sumatera, yang sesak padat
dengan kaum pengungsi dari daerah-daerah Republik Indonesia yang jatuh
ketangan Belanda sejak ”Aksi Polisionil” mereka lancarkan. FPN sebagai
lembaga pertahanan rakyat merupakan wadah yang mempersatukan partai-
partai politik dan organisasi-organisasi masa, yang bekerja erat dengan
”Dewan Pertahanan Daerah” (DPD).
Perang kolonial yang dicetuskan oleh Belanda dengan istilah ”Aksi
Polisionil” untuk menghancurkan Negara Republik Indonesia yang masih
muda dan lemah persenjataannya, menimbulkan reaksi hebat di seluruh
dunia merdeka maupun USSR, yang ingin menjadikan negara muda itu kubu
komunis di Asia Tenggara. Sutan Syahrir dan H.A Salim sebagai utusan
Negara Republik Indonesia berhasil memperjuangkan kepentingan Indonesia
disidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York. Dunia
sudah jemu perang dan tidak ingin membahayakan perdamaian dunia yang
baru saja tercapai, akibat agresi Belanda di Indonesia. PBB segera
memerintahkan Pemerintah Belanda untuk menghentikan agresinya dan
mengadakan ”cease-fire” (2 Agustus 1947). Belanda sangat mengantungkan
pembangunan negaranya dari Anerika Serikat, yang memainkan peranan
menentukan di PBB dan karena itu Belanda tidak dapat memandang enteng
perintah ”cease-fire” PBB itu.
Perintah gencatan senjata yang dikeluarkan oleh Presiden Republik
Indonesia tanggal 4 Agustus 1947, mulai berlaku di Sumatera Barat tanggal
5 berikutnya sesuai dengan instruksi yang diterbitkan oleh Panglima Tentara
dan Teritorium Sumatera (PTTS). Jenderal Mayor Suhardjo Hardjowardojo di
Bukittinggi. Sungguhpun tembak menembak telah dihentikan, pos-pos
pertahanan didaerah-daerah yang diduduki oleh TNI diperintahkan untuk
tetap dipertahankan. Cease-fire yang dipatuhi sepenuhnya oleh TNI
dilanggar oleh Belanda, yang pada tanggal 6 Agustus 1947 masih
melancarkan serangan ke Parit Malintang, disebelah Utara Lubuk Alung.
Bagi penyelesaian ”The Indonesiaan Question” masalah Indonesia,
PBB membentuk ”Komisi Tiga Negara” (KTN) atau ”Komisi Jasa-Jasa Baik”
(KDB), yang anggotanya terdiri dari Australia, pilihan Indonesia, Belgia
pilihan Belanda dan Amerika Serikat, yang dipilih bersama oleh Australia dan
Belgia. Wakil-wakil KTN yang sampai di Sumatera Barat pada permulaan
bulan September 1947, memberikan jasa-jasa baiknya dalam perundingan
Negara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda, penetapan garis-garis
demarkasi dan mengawasi pelaksanaan perintah ”cease-fire” disegala front.
Front ”Padang-area” tetap gawat dan eksplosif, karena Belanda tidak
memperlihatkan kesungguhan hatinya mematuhi perintah “cease-fire” PBB.
Perintah itu dianggapnya menghalang-halangi maksudnya, menghapus
”Republik Yogya” dari muka bumi.
Setelah perintah “cease-fire” dilaksanakan oleh kedua belah pihak,
perundingan diadakan antara Republik Indonesia dan Belanda, dihadiri oleh
KTN, Komisi Tiga Negara untuk Indonesia sebagai wakil dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Perundingan itu diselenggarakan di atas wilayah
”netral”, yaitu digeladak kapal perang Amerika Serikat, U.S.N. ”Renville”,
yang berlabuh di Teluk Jakarta. Persetujuan yang dicapai, ”Perjanjian
Renville”, ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948.

9. Masa ”Interbellum” (17 Januari 1948 – 19 Desember 1948)

Dibandingkan dengan ”Perjanjian Linggarjati” (25 Maret 1947),


”Persetujuan Renville” berarti kemunduran besar bagi Republik Indonesia di
Jawa wilayah Republik Indonesia, susut menjadi sepertiga dan di Sumatera
menjadi empat perlima. Batas antara daerah-daerah Republik Indonesia itu
dengan wilayah Indonesia yang diduduki oleh Belanda, disebut ”garis Van
Mook”, menurut nama Letnan Gubernur Jenderal yang mengetuai delegasi
Belanda. Daerah-daerah kecil yang strategis diseberang ”garis Van Mook”
dan dikuasai oleh TNI, ”kantong-kantong” namanya, harus dikosongkan dan
ditinggalkan oleh Tentara Republik. Divisi Siliwangi berjalan kaki,
meninggalkan Jawa Barat menuju Yogyakarta, prestasi militer Republik
Indonesia yang kemudian terkenal sebagai ”the long March”.
Rasa tidak puas mereka dikalangan luas, di Jawa maupun di
Sumatera, sebagai akibat dari ”Perjanjian Renville”. Golongan yang tidak
puas itu mengemukakan sebagai keyakinan mereka, bahwa sama halnya
dengan ”Persetujuan Linggarjati”. ”Perjanjian Renville” hanya siasat Belanda
belaka. ”Adempauze”, peluang waktu sebagai akibat dari persetujuan itu,
akan digunakan oleh Belanda untuk memperkokoh posisi dan memperkuat
tenaga militer mereka, untuk pada suatu ketika memberikan ”genadeslag”,
pukulan maut kepada Republik Indonesia.
Oposisi besar yang dihadapi oleh Amir Sjarifuddin memaksa ”kabinet”
yang dipimpinnya mengundurkan diri (23 Januari 1948). Partai-paratai politik
pecah menjadi dua front sengit, yang menyokong dan yang menentang
”Perjanjian Renville”. Kaum sosialis dan kaum komunis berjabatan tangan
dan membentuk ”Front Demokrasi Rakyat”, yang dibentuk sesudah Amir
Sjarifuddin mengundurkan diri (29 Januari 1948). Sebagian dari kaum
sosialis dibawah pimpinan bekas perdana menteri ”Bung” Sjahrir, mendirikan
Partai Sosialis Indonesia (PSI), yang membentuk cabang-cabangnya di
Sumatera Bart, ketika ”bung kecil” berkunjung ke Bukittinggi (Pebruari 1948).
Perkembangan-perkembangan politik di Jawa sangat mempengaruhi
suasana di Sumatera Barat, Front Persatuan Nasional (FPN) dilemahkan
karena pertentangan-pertentangan sengit antara partai-partai politik dan
organisasi-organisasi masa yang menjadi anggotanya. Dewan Pertahanan
Daerah (DPD) menyusun ”Markas Pertahanan Rakyat Daerah” (MPRD),
yang mempunyai cabang dan ranting ditiap-tiap kewedanan dan nagari.
Sekretariat MPRD digabungkan dengan ”Badan Pengawal Kota dan Nagari”
(BPKN).
Dibidang ketentramanpun terjadi perubahan-perubahan penting Mayor
Jenderal Suhardjo Hardjowardojo ditarik ke Markas Besar Angkatan Darat
(MBAD) di Yogyakarta dan Kolonel Ismael Lengah diangkat menjadi
instruktur Akademi Militer ditempat yang sama. Sebagai pengganti masing-
masing, Kolonel Hidajat ditunjuk menjadi Panglima Tentara dan Teritorium
Sumatera (PTTS) dan Letnan Kolonel Dahlan Ibrahim menjabat pimpinan
Divisi III Banteng di Sumatera Barat.
Pelaksanaan ”rasionalisme” sebagai salah satu program Kabinet
Hatta, banyak menimbulkan pergeseran-pergeseran psikologis dan
mempengaruhi situasi politik. Instruksi Panglima Besar Jenderal Sudirman
untuk menggabungkan laskar-laskar rakyat sebagai kesatuan-kesatuan,
yang organisator tunduk dibawah pimpinan TNI, dijalankan sejak bulan
Agustus 1947. Dibentuklah ”legiun Syahid” dengan Kolonel Sjarief Usman
sebagai koordinator. Tindakan itu dilakukan sebagai langkah pertama kearah
pengintegrasian laskar-laskar rakyat kedalam TNI, (Pebruari 1948). Sebagai
”Resimen Istimewa” legiun Syahid merupakan eselon dari Divisi III Banteng.
Karena laskar-laskar rakyatlah yang royal sekali dalam pembagian pangkat-
pangkat militer dikalangan mereka, ”rasionalisai” Hatta terutama mengenai
mereka dan di-isu-kan sebagai tindakan-tindakan diskriminasi Pemerintah
terhadap laskar-laskar rakyat. Ketegangan-ketegangan psikologis yang
timbul sebagai akibatnya, ikut mengeruhkan suasana politik yang memang
sudah sangat peka dan karenanya tidak mengentengkan tugas Kabinet Hatta
yang sudah berat itu.
Sebagai telah dapat diduga dari semula, ”Perjanjian Renville” tidak
dapat meredakan pertentangan-pertentangan politik antara Republik
Indonesia dan Belanda di Indonesia. Perbedaan-perbedaan tafsiran dari
pasal-pasal ”Perjanjian Renville” mempertajam dan peruncing hubungan
politik dan militer Republik Indonesia dengan Belanda. Perundingan-
perundingan pelaksanaan perjanjian itu menemui jalan buntu. Belanda lalu
memporsir penyelesaian politik yang tidak kunjung-kunjung selesai itu
dengan kekerasan militer. Tank-tank baja mereka, disertai barisan artileri
yang diperlengkapi dengan senjata-senjata berat dan pasukan-pasukan
infanteri yang bersenjata modern, mendobrak garis demarkasi ”garis Van
Mook” , di Jawa maupun di Sumatera. Babakan kedua dan terakhir dari
Perang Kemerdekaan mulai (19 Desember 1948).

10. Perang Kemerdekaan Republik Indonesia.

Di Sumatera Barat Belanda memulai serangannya dengan membom


Bukittinggi, ibukota Republik Indonesia di Sumatera, dibarengi dengan
serangan besar-besaran difront Utara (Lubuk Alung), front Timur (Air Sirah-
Indarung), dan front Selatan (Teluk Kabung). Pesawat-pesaway pengangkut
”Catalina” menjatuhkan pasukan-pasukan para di Singkarak dan Batu Tebal,
diujung Selatan dan pantai sebelah Timur Danau Singkarak. Hubungan lalu-
lintas Bukittinggi-Solok-Sawahlunto terputus karenanya sama sekali.
Pasukan-pasukan para itu, yang bergerak kejurusan Utara akan
menggabungkan diri dengan ”stoottroepen” yang telah berhasil mendobrak
front Utara di Padang Panjang untuk bersama-sama menuju dan menduduki
Bukittinggi. Yang bergerak kejurusan Selatan akan bertemu di Solok dengan
”pasukan-pasukan teras”, yang telah berhasil menghancurkan perlawanan
TNI difront Timur. Bersama-sama mereka akan menuju Sawah-Lunto dan
melalui Batusangkar, Tabek Patah dan Tanjung Alam, memasuki Bukittinggi
(Agam) dari arah Timur dan Payakumbuh (L-Kota dari jurusan Barat. Taktik
”gerakan kakak-tua” (nijptang beweging), dilakukan dalam operasi perang
kilat (Blitzkrieg) itu akan berhasil menduduki kota-kota penting dan strategis
diseluruh Sumatera Barat, melumpuhkan potensi TNI dan menghancurkan
kekuasaan Pemerintah ”Republik Yogya” di Sumatera. Demikianlah ”plan e
operation” tentara Belanda di Sumatera Barat, yang diperhitungkan secara
rasional, tidak boleh tidak harus berhasil baik bagi Belanda, menginggat
persenjataan mereka yang serba lengkap dan modern. Perhitungan itu tidak
mengikut sertakan faktor ”irrasional” dalam perjuangan Kemerdekaan
Indonesia, yaitu potensi rakyat Indonesia, yang sungguhpun menderita dan
hidup dalam suasana serba-kurang, tetap membantu TNI dan setia kepada
Republik Indonesia.
Pada tanggal tentara Belanda memulai serangan-serangannya, di
Bukittinggi Pemerintah Republik Indonesia mengadakan rapat penting dan
bersejarah. Sebagai ketua bertindak Sjarifuddin Prawiranegara, Menteri
Keuangan dalam Kabinet Hatta yang sedang berkunjung kekota dingin itu.
Hadir antara lain T.M Hassan, Ketua Komisariat Pemerintah Republik
Indonesia untuk Sumatera, Kolonel Hidajat, Panglima Tentara dan Teritorium
Sumatera, M. Nasrun, Gubernur Sumatera Tengah dan pegawai-pegawai
sipil, pejabat-pejabat militer penting lainnya. Diputuskan untuk membekukan
Pemerintah Propinsi Sumatera Tengah (dibentuk pada tanggal 15 Agustus
1948) dan untuk kepentingan perjuangan serta pertahanan rakyat, Dewan
Pertahanan Daerah (DPD) diaktifkan kembali.
Sebagai koordinator DPD keresidenan Sumatera Barat, Riau dan
Jambi ditunjuk M. Nasrun dan residen M. Rasjid bertugas sebagai Ketua
DPD-Sumatera Barat. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan keamanan,
Lubuk Sikaping didaerah Pasaman ditunjuk sebagai tempat kediaman M.
Nasrun dan H. Iljas Jacoub, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera
Tengah. Nagari Koto Tinggi diluhak L-Kota, ditetapkan sebagai markas
Pemerintah Sumatera Barat dan Pemerintah Darurat Republik Indonesia
(PDRI). Rapat penting itu telah mengaktifkan kembali DPD Sumatera Barat,
yang dibentuk pada tanggal 6 Juli 1946 berdasarkan dekrit Presiden
Republik Indonesia tanggal 28 Juni tentang keadaan bahaya. Tiap-tiap
keresidenan dapat membentuk Dewan Pertahanan Daerah, diketuai oleh
residen dengan perwira, yang ditunjuk oleh pimpinan tentara setempat,
sebagai wakil ketuanya. Jumlah anggota DPD maksimal 5 orang, dua orang
diantaranya anggota DPR-D setempat pertama diketuai oleh residen Dr. M.
Djamil dan wakil ketuanya Komandan Divisi III Banteng, Kolonel Dahlan
Djambek. Selama agresi militer Belanda ke-II DPD Sumatera Barat diketuai
oleh residen M. Rasjid, didampingi oleh Letnan Kolonel Dahlan Ibrahim
sebagai wakil ketua.
Berdasarkan intruksi Panglima Tentara Teritorium Sumatera tanggal 2
Januari 1948 dikeresidenan Sumatera Barat dijalankan pemerintahan militer,
bupati mendapat pengkat Mayor tituler dan wali negeri disebut ”Wali-Negeri
Perang”. Setelah front Persatuan Nasional di Sumatera Barat menjadi lemah,
akibat pertentangan-pertentangan sengit wakil-wakil partai politik yang duduk
sebagai anggotanya, DPD Sumatera Barat membentuk Markas Pertahanan
Rakyat Daerah dengan eselon-eselonya MPR kabupaten dan MPR Nagari.
Sebagai Ketua MPRD ditunjuk Chatib Sulaiman. Kecuali MPRN terdapat
pula BPNK, lembaga-lembaga perjuangan negeri, yang menampung
aktivitas-aktivitas pemuda ditiap-tiap nagari dan kota guna menenangkan
perjuangan kemerdekaan. BPNK bertanggungjawab kepada MPRD dan
dalam perjuangan selanjutnya telah membuktikan validitasnya sebagai
kesatuan-kesatuan perjuangan yang tetap memupuk semangat
kemerdekaan dan menjaga keamanan nagari-nagari maupun kota-kota.
Anggota-anggotanya mendapat latihan dasar kemiliteran dan sekedar
pengetahuan politik. Dalam perang rakyat semesta menghadapi agresi
militer Belanda BPNK telah membuktikan keampuhannya dan merupakan
salah satu faktor ”irasionil” yang tidak masuk perhitungan Belanda, ketika ia
memulai serangannya untuk menghancurkan ”Republik Yogya”. Kota-kota
penting dapat mereka duduki, jalan-jalan besar dapat mereka kuasai (pada
siang hari waktu konvoinya dengan dekking berat lewat), tetapi semangat
rakyat untuk merdeka tidak dapat mereka hancurkan dengan senjata dan
alat-alat modern mereka.

11. TNI menghadapi perang Kemerdekaan II

Menjelang Perang Kemerdekaan II kesatuan TNI di Sumatera Barat


dijadikan satu brigade dengan nama ”Brigade Banteng Sub Teritorium
Sumatera Barat TNI Komando Sumatera’. Pimpinannya dipercayakan
kepada Letnan Kolonel Dahlan Ibrahim, (kemudian digantikan oleh Kolonel
Dahlan Djambek) didampingi oleh Mayor A. Halim (”Aleng”) sebagai Kepala
Staf Markasnya di Bukittinggi. Serangan Belanda besar-besaran dan
mendadak pada mulanya menimbulkan kekacauan dan berhasil
melumpuhkan daya tempur TNI di Sumatera Barat.
Dalam keadaan yang serba kacau, serba gawat dan serba genting itu,
markas TNI Sumatera Barat dipindahkan dari Bukittinggi dan ditempatkan di
Koto Tinggi, bersama-sama dengan markas Gubernur Militer Sumatera
Barat. Dari negeri kecil itu, yang letaknya terpencil dan tidak dikenal selama
ini, TNI Sumatera Barat yang sudah terpencar-pencar, disusun dan dipimpin
kembali. Brigade Banteng dibagi menjadi tiga sub-komando, yaitu sub
komando A, B dan C, masing-masing dipimpin oleh Mayor A. Halim yang
berkedudukan di Matur, Mayor A. Husen, yang bermarkas di Selatan, Solok
dan Mayor Alwi didaerah Kerinci. Markas ketiga sub-komando itu berada
didaerah pegunungan Bukit Barisan, yaitu disebelah Utara, ditengah-tengah
dan disebelah Selatan wilayah Sumatera Barat. Masing-masing sub-
komando terdiri atas beberpa sektor dengan frontnya sendiri-sendiri.
Ketika Belanda memulai agresinya ”front Utara” berada dibawah
komando Resimen VI ”Singa Pasar Usang”, yang komandannya, Mayor
Kemal Mustafa dan sebagian besar dari anggotanya terdiri dari pemuda-
pelajar dari kota dan daerah luar kota Padang. Daerah Komando Resimen VI
meliputi front jalan raya dari Padang ke Bukittinggi antara Lubuk Alung –
Padang Panjang dan daerah Pesisir sejak dari Pariaman ke Utara. Pusat
pertahanannya benteng alam lembah Anai, ngarai Gunung Tandikat-
Singgalang.
Tentara Belanda memulai serangannya pukul lima pagi tanggal 19
Desember 1948 diseluruh front Utara. Mereka hanya dapat maju hingga
Sicincin, antara Lubuk Alung dan Lembah Anai, berkat kegigihan perlawanan
yang diberikan oleh putera-putera ”Singa Pasar Usang”, (20 Desember).
Dalam rangka memperlambat kemajuan tentara Belanda, jalan besar diblokir
dengan pohon-pohon besar, jembatan dirusakkan dan ranjau darat
(landmijn) digalikan disepanjang jalan.
Pertempuran hebat terjadi pula pada tanggal 21 Desember. Resimen
VI yang terdiri hanya dari tiga kompi tempur, mengundurkan diri ke Kandang
Empat, sebuah kampung pada pintu masuk ke Lembah Anai disebelah
Selatan. Rencana semula untuk bertahan mati-matian dibneteng alam itu
terpaksa ditiadakan, karena bobol pertahanan TNI Sumatera Barat difront
Timur, setelah mendarat pasukan para Belanda disebelah Selatan dan Timur
Danau Singkarak dan jatuh kota Solok ketangan mereka (20 Desember).
Pasukan teras Belanda dari jurusan Front Timur dan danau Singkarak itu
telah menuju Padang Panjang dan Resimen VI ”Singa Pasar Usang” di
Lembah Anai akan terancam oleh ”jepitan tang” tentara Belanda. Resimen VI
yang kemudian menjadi sub-komando A menjadikan Matur disebelah Barat
Bukittinggi sebagai markasnya. Dibentuklah pasukan-pasukan komando
operasi:
a. ”Hasan Basjri”, yang daerahnya meliputi nagari-nagari Balingka,
Panta, sungai Jaring dan Kota Gadang, yang dipisahkan oleh ”ngarai
Sianok” (karbouwengat) dari Bukittinggi.
b. ”Amarullah”, yang bergerak didaerah Palupuh, Bonjol, dan Lubuk
Sikaping (disebelah Utara Bukittinggi).
c. ”M. Nur”, yang menjadikan daerah Pesisir Pariaman termasuk Naras
ruangan geraknya
d. ”Maujar”, yang bertahan di daerah Padang luar-kota (Mudik) dan
e. ”Djamaluddin”, Wak Ketok, bertugas menimbulkan kekacauan dan
menjalankan perang urat syaraf didalam kota Padang.
Hubungan Markas Sub-komando di Matur dengan daerah pesisir
melalui nagari Malalak, ”Jalan kuda” yang penuhdengan rintangan alam,
seperti jurang-jurang yang dalam, bukit-bukit yang terjal dan hutan-hutan
yang lebat. ”Jalan kuda ” itu tidak pernah dapat dikuasai oleh Belanda.
Dengan Bukittinggi Matur berhubungan melalui nagari Pantar, yang sudah
terkenal sejak dar zaman Perang Padri (1822 – 1837). Disanalah tentara
Belanda mengalami kekalahan hebat, waktu mengadakan ”doorstoot”
kebenteng Bonjol. Semasa Perang Kemerdekaan II daerah bersejarah itu
digunakan pula oleh Belanda, yang dapat menerobos sampai ke Matur dan
Padang Gelanggang, tetapi tidak dapat bertahan disana, karena taktik
perang gerilya yang dilancarkan oleh TNI Sumatera Barat. Jalan lain dari
Matur ke Bukittinggi melalui ngarai Sianok, yang dikawal ketat oleh kompi
”Halilintar ”, tidak dapat ditembus oleh tentara Belanda.
Front ”Kamang” dan front ”Merapi” merupakan medan juang terbuka
dan sengit, karena menghubungi markas Gubernur Militer Sumatera Barat,
teritorium Sumatera dan PDRI, Koto Tinggi.
Operasi militer Belanda kejurusan Utara tidak mampu menembus
pertahanan TNI Sumatera Barat didaerah Palupuh dan oleh karena itu
daerah Pasaman terhindar dari serangan-serangan Belanda. Jalan dari
Bonjol ke Koto Tinggi tetap terbuka dan aman.
Front Timur, daerah sub-komando B dibawah pimpinan Mayor A.
Hussen, dipertahankan oleh pemuda-pemuda pelajar terutama yang berasal
dari kota dan daerah luar kota Padang dan daerah Solok. Garis pertahanan
front Timur bobol di Air Sirah pintu masuk ke ”Subang-pas”, ngarai Gunung
Talang (19 Desember). Kota Solok dimasuki oleh tentara Belanda dari
jurusan Lubuk Silasih disebelah Bart dan dari jurusan danau Singkarak
disebelah Utara (20 Desember). Satu-satunya jalan yang masih terbuka bagi
TNI ialah arah ke Alahan Panjang, daerah pegunungan disebelah Selatan
Solok. Setelah kota Sawahlunto, Sijunjung dan kemudian juga Alahan
Panjang diduduki oleh Belanda (dari jurusan Lubuk Selasih), Mayor A.
Hussen menjadikan Kota Baru dan kemudian Muara Labuh sebagai
markasnya.
Sub-komando B terdiri atas tiga batalyon, Batalyon I yang ”mobil”
didaerah sungai Dareh, Batalyon II di Sirukam (disebelah Selatan Solok) dan
Batalyon III, yang anggota-anggotanya beroperasi didaerah Sawah Lunto,
Padang Sibusuk dan Lintau di L-Kota. Pertahanan dipusatkan di Batu Gajah,
daerah pegunugan yang sangat stratrgis antara Alahan Panjang dan Muara
Labuh.
Dengan diadakan penyusunan baru, daerah operasi sub-komando B
meliputi wilayah Solok – Sawah Lunto dibawah pimpinan Kapten Anwar
Badu, wilayah Padang-luar kota dibawah pimpinan Letnan Almunir dan
wilayah Sijunjung-Batang Hari dibawah pimpinan Kapten Sju’ib.
Mayor Alwi Sutan Marajo adalah komandan sub-komando C, yang
daerahnya meliputi front Selatan dahulu. Tentara Belanda mendarat di
Painan, daerah sub-komando C pada tanggal 6 Januari 1949. Salido kecil
jatuh ketangan mereka. Serangan dilakukan ke Bayang dan ke Tarusan
disebelah Utara, antara Painan dan Padang (Teluk Bayur). Pasukan Belanda
yang beroperasi dari Alahan Panjang dengan melalui ”jalan kuda”
mengadakan ”doorstoot” kenagari bukit Gandam, Muara Air dan
Asamkumbang. Mereka bersatu dengan pasukan yang ”naik” dari Painan,
dinagari Kota Berapak. Seluruh daerah Bayang mereka kuasai dan pusat
pertahanan dibangun di Pasar Baru, pada persimpangan jalan raya ke
Tarusan disebelah Utara. Paianan disebelah Selatan dan Asamkumbang
disebelah Timur.
Tentara Belanda mendarat di Muara Sakai, Indrapura (April 1949),
mendapat sambutan hangat dari kompi ”Guntur” yang dipimpin oleh Letnan
Imran dan pertempuran sengit berkobar di Indrapura. Sepekan kemudian
kota Tapan jatuh ketangan Belanda dan Sungai Penuh, ibukota kabupaten
Pesisir Selatan, terancam. Serangan-serangan yang ditujukan untuk
menguasai kota itu, selama beberapa hari tertahan di Burung Talang, yang
diberi nama julukan ”pertahanan perwira”. Kesatuan TNI dibawah pimpinan
Sersan-Mayor Nawawi bertempur mati-matian mempertahankan daerah
yang militer-strategis sangat penting itu. Setelah pertahanan itu bobol,
Sungai Penuh jatuh ketangan Belanda (25 April 1949). Penduduk bersama-
sama dengan TNI mempertahankan kota mereka itu dalam perkelahian
seorang lawan seorang. Perang terbuka menjadi perang gerilya, yang
beroperasi dari Kerinci Hilir, Tengah dan Hulu. Belanda tidak diberikan
kesempatan menikmati kemenangan mereka dengan berhasil menduduki
Sungai Penuh.
Pada tanggal 14 Juni 1949 Belanda menyerang dan berhasil
menguasai Lumpur, markas sub-komando C. Sejak itu markas komando
sub-komando C selalu berpindah-pindah, mula-mula ke Muara Labuh,
kemudian ke Kambang didaerah Pesisir antara Painan dan Indrapura dan
akhirnya di koto Pulai. Tidak seluruh wilayah sub-komando C dapat diduduki
dan dikuasai oleh Belanda, hanya kota-kotanya saja. Itupun selalu dibawah
ancaman serangan-serangan gerilya TNI, yang tetap menguasai daerah-
daerah diluar pos-pos pertahanan Belanda itu. demikianlah keadaan
diwilayah sub-komando C dan sub-sub komando lainnya, hingga keluar
perintah ”cease-fire”.
Disamping sub-komando yang tiga itu terdapat pula daerah-daerah
operasi yang tidak termasuk kedalam salah satu wilayah sub-komando itu,
seperti Luhak Agam dan Luhak L-Kota, yang pertahanannya langsung
berada dibawah pimpinan Komando Brigade Banteng, Kolonel Dahlan
Djambek.
Perlawanan yang diberikan oleh TNI bersama-sama dengan seluruh
rakyat, pada umumnya bersifat perang gerilya, yaitu kesatuan-kesatuan kecil
yang sangat mobil, ”menyerang” dan ”hilang” dengan tiba-tiba ditempat-
tempat dan saat-saat yang tidak diduga oleh musuh. Belanda hanya
bertahan dikota-kota yang mereka duduki dan pos-pos yang mereka bangun,
yang malam hari berubah menjadi medan tempur sengit, akibat serangan-
serangan kaum gerilya. Hubungan antara sesama kota dan pos dilakukan
dengan konvoi-konvoi yang dikawal berat dan patroli-patroli pada siang hari.
Pada malam hari kaum gerilyalah yang menjadi raja. Pasukan-pasukan
Belanda tersebar luas yang seringkali terpencil di pos-pos dan kota-kota
yang mereka duduki. Jumlah mereka terbatas, pada siang hari mereka
melakukan patroli dan pada malam hari tidak sempat beristirahat, akibat
serangan-serangan kaum gerilya. Moril tentara Belanda kian hari kian
merosot, karena mereka dalam keadaan defensif selalu. Moril tentara kian
hari kian tinggi, karena inisiatif sekarang ada pada mereka. Ofensif ada
ditangan TNI sekarang.
Disamping itu TNI melalukan perang ”bumi hangus” dengan
membakar perkebunan-perkebunan besar Belanda dan dengan demikian
melakukan tekanan ekonomi yang berat bagi pihak Belanda.
Dalam keadaan yang serba sulit dan berbahaya itu Pemerintah Militer
Sumatera Barat dan eselon-eselonnya tetap menjalankan tugas mereka
sebagai pemimpin dan pelindung rakyat.

12. Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) 22 Desember 1948 –


13 Juli 1949
Rapat Kabinet Republik Indonesia tanggal 6 Desember 1948 di
Yogyakarta mengambil keputusan, menyerahkan kekuasaan kepada
menteri-menteri Susanto Tirtoprodjo, Sukiman dan Djuanda, apabila sesuatu
hal Presiden maupun Wakil Presiden Republik Indonesia, berhalangan
melakukan tugasnya sebagai Kepala Negara. Keputusan diambil, karena
Presiden Republik Indonesia, bermaksud akan berkunjung ke India dan
Wakil Presiden Republik Indonesia, berniat akan mengambil cuti karena
kesehatannya terganggu.
Serangan Belanda yang tiba-tiba dan jatuhnya ibukota Republik
Indonesia Yogyakarta ketangan mereka pada tanggal 19 Desember 1948,
mengakibatkan ditangkap dan ditawan Presiden, Wakil Presiden dan
beberapa orang pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia. Mereka
diasingkan mula-mula ke Brastagi di Sumatera Utara dan kemudian ke Pulau
Bangka. Karena sedang berada diluar kota Susanto Tirtoprodjo dan Sukiman
tidak mengalami nasib seperti pucuk pimpinan Pemerintah Republik
Indonesia lainnya, ditawan oleh Belanda.
Sebelum ditangkap Presiden Republik Indonesia, masih sempat
mengawatkan surat kuasa kepada menteri Keuangan Sjarifuddin
Prawiranegara yang ketika itu sedang berada di Sumatera (Bukittinggi),
untuk memebentuk Pemerintah Darurat, melalui keputusan Kabinet tanggal
16 Desember 1948. Sjarifuddian mengadakan rapat kilat bersejarah dengan
pemimpin-pemimpin Pemerintahan sipil dan militer di Bukittinggi, guna
mengambil langkah-langkah seperlunya dan menentukan sikap yang akan
diambil, berhubung dengan perubahan situasi politik dan militer, sebagai
akibat serangan Belanda yang tiba-tiba itu. Sebelum Bukittinggi jatuh
ketangan Belanda, Sjarifuddin disertai oleh pejabat-pejabat tinggi sipil dan
militer Sumatera dan Sumatera Barat, menyingkir ke perkebunan teh
dilereng bukit Barisan. Halaban, didaerah L-Koto. Setelah memperoleh
kepastian, bahwa pimpinan Negara Republik Indonesia, telah ditawan dan
diasingkan oleh Belanda, diproklamasikanlah dari Halaban tentang berdirinya
Pemerintah Darurat Republik Indonesia, yang berkedudukan disuatu tempat
di Sumatera (22 Desember 1948). Pada hari itu Belanda memasuki dan
menduduki kota Payakumbuh,  18 km dari perkebunan teh Halaban. PDRI
menyingkir dari Halaban dan memilih Koto Tinggi sebagai tempat
kedudukan. Nagari kecil itu tiba-tiba menjadi pusat Pemerintahan Republik
Indonesia dalam keadaan darurat perang, pusat pertahanan TNI se-
Sumatera, pusat Pemerintahan Sumatera Barat dan markas besar Divisi
Banteng sekaligus.
”Resminya” PDRI berkedudukan di Koto Tinggi, tetapi selama Perang
Kenerdekaan II berkobar, anggota-anggotanya selalu ”mobil”, adakalanya
”hijrah” dari Sumatera Barat ke Riau dan Jambi, guna memimpin dan tetap
menegakkan api perjuangan melawan agresi Belanda. Ratusan kilometer
ditempuh dengan berjalan kaki melalui lembah-lembah yang dalam, bukit-
bukit yang terjal dan hutan-hutan yang lebat, guna melaksanakan tugas berat
dan berbahaya ”Pemerintah Darurat” dalam Negara yang kota-kota
pentingnya sudah diduduki oleh musuh.
Wibawa dn pimpinan PDRI sebagai penegak dan pelanjut perjuangan
Bangsa kian tumbuh dan berkembang dikalangan rakyat biasa, yang merasa
kehilangan bimbingan, setelah terbetik dan tersiar luas berita, Kepala Negara
Republik Indonesia serta beberapa orang Menteri telah ditawan dan
diasingkan oleh Belanda. Tiap-tiap daerah mendirikan Pemerintahan-
Pemerintahan Darurat pula, yang mengakui pimpinan PDRI.
Pada tanggal 16 Mei 1949 di Jawa dibentuk Komisariat PDRI, yang
anggota-anggotanya terdiri dari Susanto Tirtoprodjo, K.H Masjkur dan
Supeno.
Belandapun mulai merasakan pengaruh PDRI dan dalam siasat politik
dan militernya mulai memperhitungkan faktor PDRI sebagai sesuatu
kekuasaan politik, yang sunguhpun semu, tetapi terasa wibawanya, juga
didaerah-daerah ”pendudukan”. ”Estimate” yang dibuat oleh Belanda akan
dapat melenyapkan ”Republik Yogya” dalam jangka waktu singkat dengan
taktik ”Blitzkrieg” dengan peralatan perang yang serba modern, ternyata
keliru.
Sungguhpun ibukota Republik Indonesia Yogyakarta telah diduduki
dan pemimpin-pemimpin ”Republik Yogya” sudah diasingkan, perlawanan
rakyat Indonesia tidak bertambah kendor, malahan tambah bersemangat.
Negara Republik Indonesia yang hendak mereka hapus itu seakan-akan ular
”hydra” dalam mithologi Yunani-lama. Tiap kali dipengal salah satu
kepalanya yang sepuluh buah banyaknya itu, tumbuh sepuluh buah lagi
sebagai penggantinya. Perang kolonial yang diperhitungkan akan dapat
diselesaikan dalam jangka waktu pendek, mulai berlarut-larut dan menelan
biaya yang tidak sedikit. Perang gerilya yang dilancarkan oleh TNI dengan
bantuan segenap lapisan rakyat Indonesia, kian bertambah intensitasnya.
Belanda tidak merasa aman lagi dalam kota-kota yang telah mereka duduki.
Disamping itu simpati dunia kian berpihak kepada Republik Indonesia
, Heroisme bangsa Indonesia yang mati-matian membela dan
mempertahankan kemerdekaannya terhadap agresi Belanda, telah
menyentuh hati sanubari dan mengetuk rasa perikemanusiaan seluruh duia
yang telah jemu perang. Masih segar dalam ingatan ummat manusia teror
fasisme dan nazisme yang telah membungkamkan demokrasi dengan
melindas kemerdekaan bangsa-bangsa dan negara-negara kecil. Atas
inisiatif Perdana Menteri India Nehru, di New Delhi telah diselenggarakan
kouperensi negara-negara Asia yang menguntuk agresi Belanda di
Indonesia. Dalam sidang-sidang dewan Keamanan PBB, USSR yang
berusaha keras menanam pengaruh komunis di negara-negara Asia yang
sedang memperjuangkan kemerdekaan mereka, menonjolkan dirinya
sebagai pahlawan ”anti kolonialisme” dan ”anti kapitalisme” yang di
Indonesia diwakili oleh ”imperialisme Belanda”. Pemerintah Belanda mulai
kewalahan menghadapi opini dunia, yang mencap ”Aksi Polisionil” yang
sedang dilancarkan itu sebagai ”tindakan fasis”. Pada tanggal 25 Januari
1949 PBB menanggapi pendapat dunia itu dengan mengeluarkan resolusi
berisi tuntutan, agar Pemerintah Belanda:
a. Membebaskan pemimpin-pemimpin Republik Indonesia dan
mengembalikan Pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta.
b. Membantu terbentuknya Republik Indonesia Serikat dan
c. Menyerahkan kedaulatan rakyat RIS sebelum tanggal 1 Januari 1950.
Pemerintahan Belanda tidak ingin mengingatkan resolusi PBB itu,
tetapi tidak pula hendak mematuhinya demikian saja, karena akan
kehilangan muka dimata rakyatnya sendiri. Mereka tempuh jalan tengah
dengan mengadakan perundingan pendahuluan dengan Republik Indonesia,
yang diwakili oleh Muhammad Rum. Pemerintah Belanda menunjuk diplomat
ulungnya, van Rooyen, guna membela kepentingannya.
Disamping kemajuan-kemajuan dibidang politik internasional itu, TNI
dengan bantuan rakyat Indonesia, terus melakukan tekanan-tekanan militer.
Pada tanggal 1 Maret 1949 TNI dibawah pimpinan Letnan Kolonel Suharto,
presiden Republik Indonesia. Sekarang, melancarkan serangan umum dan
berhasil menduduki Yogyakarta selama 6 jam. Serangan umum itu
mempunyai impact politis dan psikologis yang luas sekali, di Indonesia
maupun diluar negeri. Republik Indonesia yang telah ”dihapus” itu masih
mampu memberikan pukulan yang mengesankan kepada tentara Belanda.
Dikalangan mereka timbul kegoncangan besar.
Pada tanggal 7 Mei 1949 tercapai ”Rum-Rooyen statement”, yang
akan digunakan sebagai landasan bagi perundingan Republik Indonesia –
Belanda selanjutnya, yaitu ”Komperensi Meja Bundar” (KMB).
Persetujuan ”Rum-Rooyen” itu tidak mempengaruhi keadaan perang
di Sumatera Barat. Pertempuran-pertempuran sengit berkobar terus dimana-
mana, karena Belanda menduduki tempat-tempat yang militer-strategis
penting letaknya. Niat mereka untuk menyerbu ke Koto Tinggi dengan taktik
”jepit kakak-tua” dari jurusan Bonjol dan Payakumbuh tidak berhasil.
Setelah Pemerintah Republik Indonesia dipulihkan di Yogyakarta,
diutuslah sebuah delegasi terdiri dari M. Natsir, J. Leimena dan A. Halim ke
Sumatera Barat guna mengadakan kontak dengan PDRI. Tercapailah kata
sepakat, anggota-anggota PDRI akan bertolak ke Yogyakarta (10 Juli 1949).
Pada tanggal 13 Juli 1949 Sjarifuddin Prawiranegara mengembalikan
mandatnya dalam sidang-pleno Kabinet Republik Indonesia. Berakhirlah
tugas PDRI sebagai Pemerintah Republik Indonesia dalam keadaan perang,
yang telah berhasil baik menegakkan panji-panji perjuangan bangsa dalam
saat-saat yang sangat kritis dan berbahaya.

13. Duka-Cerita ”Situjuh Batur” (15 Pebruari 1949)

Koto Tinggi sebagai pusat pemerintahan sipil-militer se-Sumatera dan


Sumatera Barat selama Perang Kemerdekaan II berkobar, sangat
dirahasiakan letak dan peranan pentingnya yang dipegangnya. Sungguhpun
berada ”ditengah-tengah medan pertempuran”, Belanda tidak mengetahui,
bahwa dari negeri kecil yang tidak berarti itulah dikendalikan dan diatur
segala kegiatan perjuangan bangsa Indonesia, setelah kota-kota besar dan
kota-kota penting diseluruh daerah Republik Indonesia diduduki oleh
Belanda. Instruksi-instruksi dan petunjuk-petunjuk yang dikeluarkan dari Koto
Tinggi hanya menyebut ”Dikeluarkan disesuatu tempat di Sumatera Barat”.
Sitem intelejen Belanda yang tersusun rapih, berkat kegigihan dan
ketekunan ikhtiarnya, akhirnya dapat juga ”mencium” peranan penting Koto
Tinggi. Sebuah patroli Belanda dari Payakumbuh samapai ke Koto Tinggi,
tanpa mendapat perlawanan sedikitpun juga (10 Januari 1949). Nagari yang
tidak berbeda kelihatannya dari nagari-nagari L-Koto lainnya dan tidak
menimbulkan rintangan kepada patroli Belanda, tidak menimbulkan
kecurigaan apapun juga kepada Belanda dan ditinggalkannya. Sungguhpun
siasat memperdayakan Belanda sekali ini berhasil baik, belum tentu akan
demikian halnya pada waktu-waktu yang akan datang. Pemerintah Militer
Sumatera Barat menginsyafi perlu meningkatkan kewaspadaan dan
memperketat koordinasi dan kerjasama antara badan-badan perjuangan
rakyat dengan sesamanya. Guna mencapai tujuan itu dikandung niat oleh
Pemerintah Militer Sumatera Barat untuk mengadakan rapat besar, yang
akan dihadiri segala utusan oraganisasi perjuangan rakyat seluruh Sumatera
Barat. Sebagai tanggal ditentukan 15 Pebruari 1949 dan nagari Situjuh Batur
diluhak L-Koto ditentukan sebagai tempat musyawarah. Selain wakil-wakil
organisasi perjuangan rakyat, wakil-wakil Pemerintah Daerah dan Brigade
Banteng akan ikut pula serta. Sungguhpun rahasia waktu dan tempat
diadakan pertemuan itu dipegang teguh, namun bocor juga.
Situjuh Batur terletak dilembah sempit dikaki Gunung Sago,
berbatasan dengan padang rumput sepi, Padang Siantah. Pos pertahanan
Belanda terdekat  12 km letaknya dari tempat musyawarah besar itu akan
diadakan. Sejak tanggal 14 Pebruari 1949 malam utusan-utusan telah
berdatangan dan berkumpul di Situjuh Batur. Banyak diantaranya datang
berjalan kaki dari tempat yang ratusan kilo meternya jauhnya. Jadi tidaklah
mengherankan, kalau mereka tiba di Situjuh Batur sangat letih dan ingin
beristirahat. Percaya penuh pada pengawalan dan jaminan keamanan
tempat itu, para utusan tidur tanpa curiga dan was-was.
Seorang mata-mata Belanda telah menyampaikan informasi tentang
pertemuan penting yang akan diadakan di Situjuh Batur dan dibawah
lindungan malam yang gelap, pasukan-pasukan Belanda melakukan
pengepungan yang ketat disegala ”jalan kuda” yang menuju ke Padang
Siantah.
Tanggal 15 Pebruari 1949 pagi-pagi buta, ketika para utusan telah
mulai bangun dan sembahyang subuh, tembakan-tembakan gencar
terdengar dari segala penjuru. Tentara Belanda menghujani tiap-tiap rumah
dengan muntahan peluru dan menembaki tiap-tiap yang bergerak. Sebanyak
67 orang utusan dan pemimpin rakyat menjumpai ajalnya diantaranya Chatib
Sukaiman, ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah, Arisun, bupati L-Koto
yang baru saja beberapa hari memangku jabatannya, kapten Zainuddin
”Tembak” dari Sawah Lunto, Mayor Munif Latif, yang dapat meloloskan diri
dari jebakan maut Belanda itu hanya beberapa orang, diantaranya Letnan
Kolonel Dahlan Ibrahim dan Letnan Kolonel Thalib, yang luka ringan.
Duka-serita Situjuh Batur merupakan pengalaman pahit dan pelajaran
yang sangat mahal bagi Daerah Sumatera Barat, bahwa dalam keadaan
perang, kewaspadaan tidak dapat diabaikan barang sekejap mata jugapun.

14. Pengakuan Kedaulatan (27 Desember 1949)

Segera setelah Pemerintah Republik Indonesia kembali ke


Yogyakarta, perundingan-perundingan mengenai gencatan senjata dimulai.
Di Sumatera Barat tentara Belanda tetap melanjutkan serangan-
serangannya. Kamang mereka duduki (31 Juli 1929), tetapi keesokan
harinya mereka harus meninggalkan kembali daerah yang sangat strategis
itu. Rencana Belanda untuk menguasai Koto Tinggi, didahului oleh perintah
gencatan senjata, yang berlaku untuk seluruh Sumatera mulai tanggal 14
Agustus 1949.
Di Jawa dibentuk ”Central Joint Board” (CJB) dan didaerah-daerah
”Local Joint Board” (LJB), yang segera memulai perundingan-perundingan.
Dalam ”Dewan-Dewan Gabungan” itu duduk wakil-wakil Pemerintah
Republik Indonesia, Pemerintah Belanda dan ”United Nations Commision for
Indonesia” (UNCI). Delegasi Republik Indonesia untuk Sumatera Barat
diketuai olah Gubernur Militer M. Rasjid, yang telah diangkat menjadi
Gubernur Sumatera Tengah, Sidang LJB untuk Sumatera Barat yang
pertama kali diadakan di Bukittinggi (23 Agustus 1949), tetapi tidak
membawa hasil apa-apa, karena baru merupakan ”fact finding meeting”,
guna menyayangi masalah-masalah gencatan senjata.
Gubernur M. Rasjid kemudian ditunjuk menjadi anggota delegasi
Indonesia ke Komferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Negeri Belanda
dan digantikan oleh M. Nasrun sebagai Gubernur Sumatera Tengah dan
Ketua LJB Sumatera Barat. tercapailah persetujuan, bahwa sebelum tentara
Belanda ditarik dari daerah-daerah yang didudukinya, wakil-wakil Pemerintah
Republik Indonesia, telah bertugas di daerah-daeran tersebut, guna
menghindarkan ”vacuum of power” (12 Nopember 1949). Masa peralihan
selama wakil-wakil Pemerintah Republik Indonesia, melakukan tugas-tugas
pemerintahan di daerah-daerah pendudukan Belanda itu disebut periode
”Penghubung Pemerintah Civil” (PPC).
Pada tangal 20 Desember 1949 sudah selesai ditarik angota-anggota
pemerintah sipil dan tentara Belanda dari daerah-daerah Sumatera Barat
yang mereka duduki selama Perang Kemerdekaan II berlangsung. Mereka
mundur ke ”daerah Renville”, daerah Republik Indonesia yang mereka
kuasai sejak ditandatangani ”Perjanjian Renville” (18 Januari 1948).
Perundingan KMB di Den Haag mencapai kata sepakat untuk
melakukan timbang terima kekuasaan antara Pemerintah RIS dan Belanda
pada tanggal 27 Desember 1949. Timbang terima itu dilakukan serentak
pada jam yang sama di Jakarta dan Den Haag. Di Padang serah terima
kekuasaan itu dilakukan antara Gubernur Sumatera Tengah M. Nasrun
dengan Residen Belanda untuk Sumatera Barat.
Pada tanggal 1 Januari 1950 dihapus Pemerintah Militer untuk
Sumatera Barat dan Pemerintah Propinsi Sumatera Tengah mulai berfungsi
kembali. Satu babakan sejarah Sumatera Barat khususnya dan Indonesia
umumnya, yang penuh bahaya dan menentukan bagi kelanjutan Negara
Republik Indonesia, selesai sudah.

15 ”Negara Minangkabau”

Sebagai penutup akan dikupas secara selayang pandang usaha-


usaha golongan tertentu di Sumatera Barat guna membentuk yang
dinamakan ”Negara Minangkabau”.
Selain dengan kekuatan militer Belanda berusaha menanamkan
pengaruhnya kembali di Indonesia dengan jalan politik. Mereka giat
mendirikan negara-negara boneka dengan tujuan memecah belah persatuan
bangsa Indonesia dan melemahkan posisi Republik Inonesia secara politis.
Federasi negara-negara boneka itu, terutama atas aspirasi-aspirasi suku
atau daerah, dimaksudkan untuk mengimbangi Negara Republik Inonesia.
terbentuklah negara-negara boneka seperti Negara Indonesia Timur, Negara
Pasundan, Negara Sumatera Utara dan sebagainya. Pembentukan negara-
negara boneka itu dimulai dalam konferensi di Malino, sebuah tempat
didaerah pegunungan Sulawesi Selatan (1947). Pada pertengahan tahun
1949 ”Negara-Negara Malino” itu bersama-sama dengan negara-negara
yang dibentuk sesudah itumengadakan konferensi di Bandung dan
mengadakan ikatan politik yang longgar sesamanya, disebut ”Bandungs
Federal Overleg” (BFO).
Dengan Belanda sebagai sponsor dalam tahun 1946 di Padang
didirikan ”Persatuan Umum”. Anggota-anggotanya terutama terdiri dari orang
Indonesia dan Cina peranakan Padang, yang tidak lama sesudah tentara
Sekutu mendarat, menyelamatkan diri mereka dalam ”kamp” didalam kota
Padang yang dikelilingi dengan kawat berduri, dikawal oleh tentara Sekutu.
Didalam kamp-kamp itu mereka kemudian membentuk barisan-barisan
keamanan, ”Poh An-tui” namanya. Poh An-tui inilah yang banyak melalukan
teror terhadap penduduk kota Padang, yang dituduh ”Republikein”.
Persatuan Umum menerbitkan surat kabar, ”Suara Umum”, trompet
golongan yang memusuhi Republik Inonesia dan giat memberitakan
keganasan-keganasan Republik Inonesia, disamping mempropagandakan
tujuan-tujuan politik yang hendak mereka capai, mendirikan negara boneka
”Minangkabau”.
Dalam tahun 1949 Persatuan Umum melebur diri kedalam ”Daerah
Istimewa Sumatera Barat”. Dibawah pimpinan Dr Anas dari Payakumbuh,
giat sekali usaha yang dijalankan (dan disokong sepenuhnya oleh
”Voorlichtingsdienst”-dinas penerangan Belanda) untuk mendirikan ”Negara
Minangkabau”, menurut pola ”Negara Sumatera Timur” (NST), ”Negara
Sumatera Selatan” (NSS), dan sebagainya. Disamping ”Poh An-tui”, DISBA
dan sebagainya, didaerah perbatasan (luar kota) terutama berdiri organisasi-
organisasi liar, yang sangat dipengaruhi oleh ideologi komunis dan menteror
penduduk, seperti ”Serikat Kucing Hitam” di Bandar Buat.
Ketika sebagai akibat Perang Kemerdekaan II makin luas daerah
Sumatera Barat yang diduduki oleh Belanda, DISBA meluaskan sayapnya ke
kota-kota yang dikuasai oleh Belanda, terutama Padang Panjang dan
Bukittinggi, yang membentuk ”Balai Permusyawaratan Sementara” (BPS).
Aktivitas separatisme makin diperhebat dan dipusatkan dikota Padang.
Kemudian dilancarkanlah gagasan ”Negara Minangkabau”, yang mendapat
sokongan penuh dari ”Voorlichtingsdienst”. Ditakut-takuti penduduk kota-kota
Sumatera Barat yang diduduki oleh Belanda terutama, bahwa Republik
Inonesia akan melakukan keganasan-keganasan dan membalas dendam
dengan membabi buta, apabila kota-kota itu dikuasai kembali oleh Republik
Inonesia. Satu-satunya jalan keluar ialah pembentukan ”Negara
Minangkabau”, yang mengadakan kerjasama erat dengan Belanda dan yang
akan menjamin keselamatan jiwa dan harta penduduk.
Dengan dikeluarkan ”Rum-Rooyen statement” dan setelah gencatan
senjata tercapai, makin banyak mengalir rakyat kota Padang dan sekitarnya
dari daerah-daerah pengungsian masing-masing, ditambah lagi kenyataan
bahwa dengan sokongan moril dunia internasional melalui PBB, Republik
Inonesia akan menang, kemudian lenyap sama sekali gagasan pembentukan
”Negara Minangkabau” sirna sebagai embun pagi disinari matahari.
Gagal usaha kaum separatis dengan sokongan penuh pihak Belanda
untuk mendirikan negara boneka di Sumatera Barat, disebabkan terutama
oleh tinggi kesadaran rakyat daerah itu untuk tetap hidup dalam lingkungan
Republik Inonesia, yang mereka ikut dirikan dan pertahankan dengan korban
harta dan nyawa yang tidak sedikit. Tidaklah kurang saham penduduk
Minangkabau daripada andil suku-suku bangsa Indonesia lainnya dalam
membela kemerdekaan bangsa dan tanah air. Bukti yang jelas ialah dapat
bertahan PDRI didaerah Minangkabau dalam saat-saat gelap dan
menentukan bagi kelanjutan hidup Negara dan Bangsa Indonesia yang
merdeka dan berdaulat.

Kesimpulan

1. Proklamasi Kemerdekaan disambut oleh pemuda-pemuda Sumatera


Barat dengan membentuk badan perjuangan (B.P.P.I di Padang dan
PRI di Bukittinggi). Tokoh-tokoh bekas Gyu-gun memegang peranan
utama dan selanjutnya menjadi pimpinan TNI Sumatera Barat.
2. Setelah membentuk Komite Nasional Daerah dan diangkat Residen
Sumatera Barat, kekuasaan sipil diambil alih dari Jepang, dibarengi
dengan bentrokan-bentrokan pisik.
3. Pendaratan tentara Sekutu (Inggris) dengan mengikutsertakan
pasukan-pasukan dan pengawal sipil Belanda (NICA) menimbulkan
ketegangan-ketegangan yang segera meningkat menjadi
pertempuran-pertempuran pisik. Kota Padang dan daerah sekitarnya
menjadi medan perang.
4. Selaras dengan perkembangan di Jawa berturut-turut dibentuk Badan
Kaemanan Rakyat (BKR). Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara
Republik Inonesia (TRI), Tentara Nasional Indonesia. Partai-partai
politik menyusun barisan-barisan bersenjata pula.
Pengalaman-pengalaman diperoleh dengan mengirimkan pemuda-
pemuda pejuang ke Jawa dan mendatangkan kader-kader dari Jawa.
5. Volksfront (1946) dan Peristiwa 3 Maret (1947) adalah peristiwa-
peristiwa politik yang didalangi oleh golongan-golongan ultra
revolusioner, diatasi oleh pemerintah daerah dengan tindakan-
tindakan drastis.
6. Kalau sebelum Perang Kemerdekaan I (Aksi Polisionil I) kontak
senjata hanya terjadi di kota Padang dan daerah sekitarnya, sejak
berkobar Perang Kemerdekaan I pertempuran-pertempuran pisik
meluas keseluruh front. Perlawanan yang gigih dari TNI menghalang-
halangi Belanda untuk meluaskan daerah kuasanya lebih dari 30 km
diluar kota Padang.
7. Pertentangan-pertentangan politik di Jawa antara Perang
Kemerdekaan I dan II (21 Juli 1947 – 19 Desember 1948)
mempengaruhi keadaan politik Sumatera Barat, ketika dilaksanakan
kebijaksanaan rasionalisasi dalam tubuh TNI dengan segala akibatnya
dibidang politik dan militer.
8. Setelah ibukota Republik Inonesia Yogyakarta jatuh ketangan Belanda
dan pemimpin-pemimpin Republik Inonesia mereka ditawan (19
Desember 1948). Di Sumatera Barat diproklamirkan Pemerintah
Darurat Republik Inonesia (PDRI), yang melanjutkan perjuangan
kemerdekaan Republik Inonesia.
9. Usaha-usaha Belanda di Sumatera Barat, sejalan dengan politik
pecah belah yang berhasil dijalankannya untuk mendirikan negara
boneka (Negara Minangkabau), mengalami kegagalan berkat
tingginya kesadaran politik dan kuatnya rasa persatuan rakyat
Minangkabau.
PENUTUP

Kami tutup buku ini dengan “Pengakuan Kedaulatan” Republik


Indonesia Serikat (RIS) oleh Belanda (29 Desember 1949), yang pada
tanggal 17 Agustus 1950 menjelma menjadi “Negara Kesatuan Republik
Indonesia). Lembaran baru dari Sejarah Minangkabau Modern, sebagai
bagian dari Sejarah Indonesia Modern, mulai dengan peristiwa penting.
Bahan-bahan Sejarah Minangkabau Modern masih bertebaran.
Jumlahnya banyak, seringkali sangat “controversial”. Pelaku-pelakunya
banyak pula yang masih hidup dan berkuasa. Sejarah Modern itu masih
sangat peka sifatnya. Keahlian yang besar, dibarengi dengan ketekunan
yang luar biasa dan keberanian moril yang tidak pula kurang besarnya,
diperlukan untuk menuliskan babakan sejarah itu.
Berpedoman pada ucapan Nabi s.a.w. “Hentikan makan sebelum
kenyang”, kami khawatir yang kami suguhkan dalam buku ini sudah lebih
dari “mengenyangkan”. Banyak masalah yang kami suguh hanya sepintas
lalu. Banyak problematik yang belum dipecahkan. Tetapi sungguhpun
demikian, kami padailah penulisan “Sejarah Minangkabau” jingga ini.
Mengenai zaman pra-sejarah dan mula-sejarah Minangkabau
umpamnya banyak bahan-bahan cerita rakyat, tambo dan kaba, seperti kami
kemukakan dalam bab III dan IV yang harus diselidiki dan ditafsirkan.
Hasilnya akan sangat berguna untuk dijadikan bahan bagi penulisan Sejarah
Minangkabau.
Bangsa mempunyai sifat-sifat sebagai orang pribadi, anggota dari
bangsa itu. Sebagai pribadi pada umumnya orang tidak suka diingatkan
kembali pada peristiwa-peristiwa tidak enak dalam perjalanan hidupnya. Ia
berusaha keras untuk melupakannya, sekurang-kurangnya menekan
kenangan-kenangan yang tidak menggembirakan itu kedalam alam bawah
sadarnya.
Minangkabau, yang sekarang penduduknya pada umumnya
beragama Islam, tidak sangat gembira untuk diingatkan pada lintasan waktu,
ketika belum menganut agama itu. Zaman ketika (sebagian besar dari)
Minangkabau (Timur) dipengaruhi oleh agama dan kebudayaan Hindu-
Budha, sedikit sekali meninggalkan bahan-bahan tertulis. Bahan-bahan yang
(masih) ada, dalam bentuk tambo maupun kaba, umumnya sudah
diIslamkan. Usaha menyusun kembali Sejarah Minangkabau lama yang
meliputi lintasan waktu dari kurang dari 1000 tahun, hanya dapat dilakukan
dengan mengadakan perbandingan dengan daerah-daerah Indonesia yang
lain yang juga mengalami “zaman hindu-budha” seperti umpamanya Jawa
(Tengah dan Timur) ataupun dengan negara-negara Asia Tenggara lain
seperti umpamanya Siam atau Kamboja (Vietnam Selatan), kalau tidak
mengalinya dari sumber-sumber asing yang telah diterbitkan.
Nama raja Minangkabau yang terbesar dalam sejarahnya,
Adityawarman, berasal dari zaman itu, dihapus atau disemukan dalam
sejarah Minangkabau. Ia bukan orang Islam, terlampau otokratis, karena
berhasil menanamkan wibawa raja sebagai pemegang kekuasaan tunggal
(selama ia hidup). Patung besarnya yang menakutkan dan sekarang
menghiasi ruangan arca Museum Pusat di Jakarta, dilemparkan kedalam
(anak) sungai Batang Hari. Tetapi maha-menteri pembantu-pembantunya,
Daatuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketemanggungan, setelah “di-
Islamkan” dan waktu hidup diundur-undurkan jauh kebelakang, di-
“promeveer” sebagai cikal bakal orang Minangkabau, peletak dasar hukum
(adat) Bodi-Caniago dan Koto-Piliang. Anachcronisme, pertentangan waktu
seperti ini, sering terjadi sebagai akibat dari sejarah yang tidak dituliskan,
ataupun sekalipun sudah dibukukan, acapkali dilakukan tanpa kritik-sejarah
(“Historische kritiek”).
Sumber-sumber Barat terutama Belanda, mulai banyak sejak tahun
1600. Sifatnya sudah tentu berat sebelah, tekanan terutama diletakkan pada
segi ekonomi dan politik, tetapi bukan tanpa arti bagi penulisan Sejarah
Minangkabau sejak permulaan abad ke-17. Hanya bahasa sumber Belanda
itu merupakan hambatan dan penghalang besar bagi generasi muda,
penyelidik sejarah kita sekarang pada umumnya.
Kaum ulama sebagai golongan cerdik pandai, setelah lebih kurang
selama satu generasi berhasil mengeliminir peranan politik kaum adat
disebagian besar daerah Minangkabau, sebagai “kaum Padri” tidak
mempunyai kepentingan memelihara dan meneruskan catataan-catatan
sejarah (kalau ada) dari zaman sebelum mereka berkuasa. Zaman “pre-
Padri” adalah masa “Jahiliyah” bagi kaum Padri. Kalau ulama-ulama Syi’ah
meng-Islamkan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa Minangkabau dari “the
pre-Islam period”, kaum Padri sebanyak mungkin “mem-padrikan” atau
menghapus sama sekali pelaku-pelaku sejarah di Minangkabau dari zaman
“pre-Padri period”.
Pengarang-pengarang Belanda kemudian “in the post Padri period”,
mengambil sikap, yang lebih kurang sama dengan sikap ulama-ulama Syi’ah
dan Padri sebelumnya. Merekapun merasa tidak berkewajiban ataupun
berkepentingan memberikan gambaran Sejarah Minangkabau “in the pre-
Dutch period” yang tidak sesuai dengan pandangan dan penilaian mereka
sendiri. Merekapun pada gilirannya “more or less” membelandakan
sekurang-kurangnya memberikan pandangan Belanda kepada peristiwa-
peristiwa sejarah Minangkabau sebelum mereka berkuasa.
Visi-visi penulis-penulis Belanda, yang tentunya menonjolkan jasa-
jasa pahlawan mereka yang berhasil menegakkan kekuasaan Belanda di
Minangkabau dan mengecilkan tokoh-tokoh maupun peristiwa-peristiwa
sejarah sebelumnya, tersebar luas dan diajarkan sebagai “sejarah resmi”
disekolah-sekolah Pemerintah. Pengaruh pandangan itu masih terasa hingga
sekarang dalam penulisan maupun pengajaran sejarah dilembaga-lembaga
pendidikan kita pada umumnya dan Minangkabau khususnya disesuaikan
dengan hasil-hasil penyelidikan baru dibidang ini, hingga tidak selalu
mengulang-ulang “kebenaran” yang sudah tidak “benar” lagi.
Dengan kemampuan yang ada pada kami, para penyusun buku ini
telah berusaha, dengan menggunakan sumber-sumber yang dapat dicapai
dan dikumpulkan, memberikan fakta-fakta dan gambaran Sejarah
Minangkabau yang bebas dari “wishful thinking, make believe, history
corruptions” dan sebagainya. Sungguhpun demikian visi kami itu tentunya
tidak luput dari pengaruh latar belakang, pengetahuan dan pengalaman
(hidup) kami masing-masing dan oleh sebagian pembaca mungkin sekali
dianggap sebagai “wishful thinking, make believe, history corruptions” dan
sebagainya. Kami masing-masing tentunya tidak dapat membebaskan diri
seluruhnya dari subyektifitas pribidai, subyektifitas lingkungan dan
subyektifitas zaman kita berada sekarang dalam memberikan gambaran dan
interpretasi Sejarah Minangkabau.
Para penyusun buku ini berharap dan menggembirakan hatinya
dengan harapan itu, semoga buku ini berperan sebagai batu (besar) yang
dijatuhkan kedalam kolam (luas), hingga menimbulkan riak dan anak riak
yang kian lama kian meluas dan berkembang. Semoga usaha yang masih
banyak kekurangan ini, dapat merupakan perangsang bagi yang lebih ahli
dan berminat guna men”tackle” masalah-masalah Sejarah Minangkabau,
yang hanya kami singgung sepintas lalu dan tidak dipecahkan sebagaimana
mungkin diharapkan oleh pembaca, dengan cara yang lebih sempurna dan
seksama.
Sebagai gambaran kami ingin mengemukan masalah, betulkah
kiranya dan apa alasan kami untuk menuliskan, bahwa peristiwa
pembunuhan keluarga Yang Dipertuang Minangkabau di Kota Tengah terjadi
pada tahun 1809? Kebanyakan buku sekarang mengemukakan tahun 1821
dan Parlindungan dalam “Tuanku Rao” mencantumkan tahun 1804 agak
terlampau “pagi”. Gerakan Padri baru pada tahun 1802/1803 pulang kembali
keluhak masing-masing. Penanaman ideologi baru, penyebarluasannya,
pengedepanannya hingga dapat melahirkan sokongan dari kalangan rakyat
banyak menhendaki waktu yang lama. Lama pula waktu untuk dapat
menggiatkan rakyat, mengingat ketika itu sesuatu “ide” berkembang secepat
orang berjalan kaki, guna menyusun tenaga buat menumbangkan sesuatu
“orde” yang telah tertanam kokoh selama beberapa abad.
Tahun 1821 agak terlampau “sore”, karena Tuanku Lelo, pencetus
dan pelaksana (terpenting) dari gagasan menghapus keluarga Yang
Dipertuan Minangkabau di Pagaruyung secara radikal itu antara tahun 1816
– 1833 “beroperasi” di Tapanuli Selatan sebagai salah seorang panglima
Tuanku Rao (yang gugur di Air Bangis (1821), karena salah perhitungan dan
taktik menghadapi serangan Belanda dari jurusan laut).
Ketika Raffles berkunjung ke Alam Minangkabau, diundangnya Tuan
Gadis (yang telah menjadi janda) untuk datang dan menetap di benteng
Simawang (1818).
Kami menetapkan tahun 1809 sebagai tahun terjadinya “duka-cerita”
Kota Tengah itu tidak saja berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas,
tetapi juga beralasan pendapat, bahwa Luhak Tanah Datar sebagai “wilayah
kerajaan” dimana lebih kokoh tertanam pengaruh kaum penghulu daripada di
luhak-luhak lain, baru diserang untuk ditaklukan oleh Kaum Padri dibawah
pimpinan Tuanku Lintau, setelah paham Wahabi sudah terpancang kuat di
Luhak Agam dan L-Koto dan “Harimau nan Salapan” sebagai semacam
“dewan eksekutif revolusioner” terbentuk dan berwibawa di Minangkabau.
Pembentukan “dewan” itu terjadi jauh sesudah tahun 1804.
Disamping itu semuanya ada pula buku yang menuliskan tahun 1819
sebagai waktu terjadi pembunuhan besar-besaran di Kota Tengah itu,
bertepatan dengan diserahkan kembali daerah Pesisir (Padang) oleh Inggris
kepada Belanda. Pada tahun itu Tuanku Lelo, seperti dituiskan diatas,
sedang berada di Tapanuli. Kami berpendapat anka tahun itu salah salin,
tepatnya mungkin sekali 1809.
Keputusan kami menetapkan tahun 1809 berdasarkan analisa diatas
tentunya atas tanggung jawab kami bersama, dikemukakan disini ebagai
salah satu cara memecahkan salah satu problematik Sejarah Minangkabau
dari zaman yang belum begitu jauh jaraknya dari kita sekarang.
Mengenai bab VII yang kami sebut “Zaman Nasionalisme Lokal”,
meliputi “post Padri periode” hingga timbul pergerakan Nasional di
Minangkabau-,dalam buku ini kami namakan “Perubahan Sosial-Politik di
Minangkabau” (Bab VIII)-, adalah zaman yang hingga sekarang kurang
sekali disoroti dalam buku-buku sejarah kita. Dalam lintasan waktu itu
diletakkan dasar-dasarbagi modernisme Minangkabau, yang pengaruh dan
akibatnya hingga dewasa ini masih terasa di Sumatera Barat. Tokoh-tokoh
pembahruan Minangkabau yang penting dari zaman itu, sekarang sudah
banyak yang dilupakan. Semoga buku ini dapat memberikan dorongan
kepada sejarawan muda Minangkabau untuk mengerahkan tenaga dan
usaha menuliskan monografi berkenaan dengan masalah dan tokoh-tokoh
Minangkabau ketika itu, seperti telah dilakukan oleh HAMKA umpamanya
tentang bapak beliau, Dr Haji Abdul Karim Amarullah (“Ayahku”). Hasilnya
tidak saja akan memperkaya dan memperdalam pengetahuan kita mengenai
periode itu dari Sejarah Minangkabau, tetapi akan dapat pula dijadikan
landasan bagi pembangunan Minangkabau sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari wilayah Republik Indonesia dan guna mensukseskan
REPELITA.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan taufik dan hidayahNya
kepada pembaca-pemakai buku ini dan mengkurniakan kami, para
penyusun, dengan Rahim dan Kasih-Nya. Amin.
PERIODESASI dan DAFTAR TAHUN-TAHUN PENTING
SEJARAH MINANGKABAU

I. BABAKAN PRA-SEJARAH (hingga abad ke-7)

Anda mungkin juga menyukai