BAB I
8. Alim Ulama
9. Pemerintahan
10. Kesimpulan
PRA-SEJARAH
1. Pendahuluan
5. Zaman Perunggu
8. Kepercayaan Nenek-Moyang
a. Gunung-gunung
Tambo menyebutkan, bahwa nenek-moyang orang Minangkabau
berasal dari gunung Merapi, seperti bunyi pantun:
” Dari mano asal terbit palito
Dari tanglung nan berapi
Dari mano asal nenek moyang kito
Dari lereng gunung Merapi”
Dikaki Gunung Merapi sebelah Selatan terdapat nagari kembar
Pariangan-Padang Panjang, daerah asal nenek moyang orang
Minangkabau menurut tambo lama. Gunung Merapi sebagai daerah
asal orang Minangkabau, menjadi ”gunung bertuah”, keramat.
Pemujaan gunung adalah unsur dari kebudayaan magalithikum
b. Makam-makam
Peninggalan kebudayaan megalithikum yang berhubungan erat
dengan pemujaan arwah nenek moyang ialah makam, tempat nenek-
moyang dikebumikan dan diziarahi pada waktu-waktu tertentu oleh
anak cucu dan kaum kerabat.
Dengan masuk dan berkembang pengaruh kebudayaan dari India,
ziarah kemakam semakin ramai dilakukan,sesudah meluas ajaran
Islam di Minangkabau, ziarah ke makam masih lazim diadakan,
walaupun dilarang agama. Kebiasaan turun temurun lebih kuat
daripada ancaman hukuman agama, yang menganggap kebiasaan-
kebiasaan dari zaman jahiliyah sebagai dosa.
Disamping arwah nenek moyang dan makam, dianggap ”bertuah” pula
kerbau. Kerbau di Minangkabau adalah binatang terhormat dan
dijadikan lambang Minangkabau. Kerbau telah dijinakan sejak zaman
neolithikum dan berhubungan erat dengan kebudayaan pra-sejarah.
Upacara adat menegakkan penghulu disertai menyembelih kerbau.
Kerbau mempunyai fungsi sosial untuk mengerjakan sawah dan
fungsi religius, hewan yang disembelih pada upacara-upacara
tertentu. Tanduk kerbau mempunyai unsur-unsur magis dan hampir
ditiap-tiap rumah Minangkabau ditemui tanduk kerbau sebagai hiasan.
9. Kesimpulan
1. Pendahuluan
b. Perkembangan Rantau
Kesimpulan
KERAJAAN PAGARUYUNG/MINANGKABAU
1347 – 1809
2. Adityawarman
e. Prasasti Suroaso II
Dalam prasasti ini Putra Mahkota, disebutkan ”Yawaraja” bernama
Ananggawarman.
Hubungan dengan negeri Cina terjadi dalam tahun 1357, 1357 dan
1377. Menurut berita Ming-dinasti, raja ”Seng-Kia-Tie-Ya-Lam” mengirimkan
utusan pada tahun-tahun tersebut. Ir. Moens menafsirkan nama itu sebagai
sang Adityawarman. Menurut Krom nama itu memang mirip sekali dengan
nama Duta Jawa dari Majapahit pada tahun 1325 dan 1332 yaitu: ”Si-La-
Seng-Kit-Li-Ye”, yang oleh Moens dibaca sebagai Adityawarman pula.
Adityawarman meninggal dunia pada tahun 1375. tidak diberitakan
kepada siapa diserahkan kerajaanya yang luas itu dan berwibawa
memegang pemerintahan pusat yang kuat pula. Mungkin kepada
Ananggawarman, yang namanya terdapat dalam prasasti Suroaso II?
Kepastian belum ada hingga kini.
Baru dua abad kemudian diketahui nama seorang raja
Pagaruyung/Minangkabau, yang tidak lagi menganut agama Hindu/Budha
akan tetapi beragama Islam, yaitu Sultan Alif.
4. Sultan Alif
a. Yang Dipertuan Raja Alam, dibantu oleh dua orang Raja, yaitu Raja
Adat dan Raja Ibadat
Dua Kota didatangi oleh baginda tiga kali dalam setahun untuk
menerma upeti emas. Yang mewakili Raja didaerah-daerah itu ialah ”Datuk
Nan Berempat”, yakni:
Didalam:
1. Datuk Rajo Magek
2. Datuk Indo Mangkuto
3. Datuk Bando Panjang
4. Datuk Bandaharo Besar
Pemerintahan di Rao tidak memakai Basa Ampek Balai, tetapi
memakai basa Lima Belas. Disamping itu terdapat istilah Penghulu Suku,
Datuk, Rido dan Tungkat.
Kerajaan Pagaruyung diperintah berdasarkan adat dan Syarak seperti
dirumuskan dalam pepatah ”Adat bersendi Syarak, Syarak bersendi
Kitabullah”, sampai pada suatu saat datang agama yang menimbulkan
kekacauan politik dan pembaharuan agama di Minangkabau, akibat ajaran
tiga orang haji yang pulang kembali dari Tanah Suci, Haji Miskin, Haji
Piobang dan Haji Sumanik.
Kesimpulan
I. ACEH
1. Pendahuluan
a. Hubungan politik-ekonomi
Ekspansi teritorial Aceh kedaerah pesisir Timur dan pesisir Barat
Sumatera mulai sejak pemerintahan Aultan Alauddin Riayasyah al Qahhar
(1539 – 1571) dan mencapai puncaknya dizaman Sultan Iskandar Muda
(1607 – 1636).
Pesisir Barat Sumatera dari Barus disebelah Utara hingga Teluk
Ketahun disebelah Selatan ”nominal” takluk di bawah perintah Yang
Dipertuan di Minangkabau. Dalam kenyatannya daerah yang terbentamh
luas sepanjang Samudera Indonesia itu terbagi atas kerajaan-kerajaan kecil
dan nagari-nagari, ”republik-republik otonom”, dengan ikatan politik yang
longgar sekali dengan sesamanya, maupun dengan Yang Dipertuan di
Minangkabau. Tidak jarang pula ”republik-republik otonom” itu bersaingan
sengit dan berperang dengan sesama mereka, ataupun didalam ”republik-
republik” itu sendiri terjadi perang saudara kecil-kecilan, yang cukup sengit
dan memelaratkan penduduknya. Politis jarang sekali tercapai persetujuan,
keluar antara sesama daerah-daerah otonom itu, kedalam antara golonngan-
golongan yang saling berebut pengaruh dan kekuasaan.
Itulah salah satu sebab utama, maka Aceh dalam jangka waktu yang
relatif pendek dan dengan daya tempur yang relatif kecil berhasil
memaksakan dominasi politik-ekonominya didaerah ”Pesisir”, penghasil dan
penyalur terpenting dari emas, lada, kamfer, benzoin (kemenjan), cengkeh,
buah dan kulit pala, kulit manis dan hasil bumi lainnya. Lebih dari satu abad
lamanya Aceh dapat mempertahankan kedudukan nereka sebagai ”single-
buyer” hasil-hasil bumi Pesisir dan ”single-seller” kebutuhannya, seperti
tekstil dan barang-barang mewah.
Barus ”daerah takluk Minangkabau” paling Utara di Pesisir, terdiri atas
dua kerajaan kecil, Barus Hilir dan Barus Hulu. Rajanya berasal dari satu
keturunan, tetapi persamaan keturunan itu tidak menjadi penghalang bagi
kedua ”kerajaan liliput” itu untuk hidup berdampingan tanpa ketegangan-
ketegangan politik. Karena yang untuk hidup berdampingan tanpa
ketegangan-ketegangan politik. Karena yang satu ingin menguasai
perniagaan hasil bumi yang lain, perang saudara tidak jarang terjadi antara
pengikut kedua raja yang masih bersaudara itu antara sesama mereka.
Sejak dari sebelum tarikh Masehi Barus sudah terkenal dikenal di
India sebagai penghasil kapur (barus) dan kemenyan (benzoin) yang sangat
digemari, karena mutunya yang tinggi. Sengketa dan perang saudara yang
selalu timbul dan berkobar didaerah ”parfums” itu membuka jalan bagi Aceh
untuk menguasai wilayah yang ekonomis penting itu. nominal daerah Barus
tetap takluk dibawah ”jurisdictie” Yang Dipertuan di Minangkabau, tetapi
Acehlah yang memegang kedaulatan pebuh sejak pemerintahan Sultan
Alauddin Riayatsyah al Qahhar (1539 – 1571).
Daerah Natal dan Pasaman, ”rantau” Minangkabau, dalam sejarah
terkenal penghasil emas, disamping hasil-hasil bumi penting lainnya. Gunung
Ophir, puncak Pasaman yang sepanjang zaman berfungsi sebagai ”mercu
suar” bagi pelaut-pelaut di Samudera Indonesia, mungkin sekali gunung
mitologis didalam Kitab Wasiat Lama disebut-sebut sebagai tempat, dari
mana Nabi sulaiman memperoleh emas yang tidak terkirakan banyaknya,
hingga menyilaukan mata Ratu Sceba. ”Daerah emas” itupun jatuh dibawah
pengawasan politik-ekonomis Aceh sejak pertengahan abad ke-16.
Bandar Tiku dan Pariaman, penyalur penting dari lada dan emas
terutama dihasilkan oleh Alam Minangkabau. Jalan yang melintasi Bukit
Barisan menghubungi kedua bandar itu dengan daerah pedalaman. Hingga
menjelang akhir abad ke-17, ketika (kompeni) Belanda menjadikan kota
Padang pos-dagangnya yang terpenting didaerah pesisir Barat Sumatera.
Pariaman adalah bandar terbesar diwilayah itu. Aceh menempatkan
gubernur-militer/syahbandar dibandar disebelah Utara Pariaman. Sebutan
bagi pejabat tinggi Aceh itu (teuku) kenudian digunakan sebagai nama
tempat kedudukannya. Tiku/Bandar khalifah
Sebagai bandar lama yang besar dan makmur, Pariaman mempunyai
kegiatan dagang yang besar pula. Penduduknya banyak, diantaranya
sesudah pertengahan abad ke-16, saudagar-saudagar, penguasa dan
ulama-ulama guru agama dari Aceh. ”Faktor-Aceh” ini besar artinya bagi
perkembangan sejarah Tiku dan Pariaman dalam abad-abad berikutnya.
Padang-kota dan sebagian besar dari daerah Padang-luar kota
sekarang, dalam abad ke-16 terdiri atas nagari Kota Tengah di sebelah
Utara, nagari Pauh disebelah Timur dan sebagian dari wilayah Bandar-X
disebelah Selatan.
Nagari Kota Tengah disebelah Utara berbatasan dengan nagari
Ulakan, tetangga bandar Pariaman disebelah Selatannya. Batang Anai
memisah nagari Koto Tengah dengan nagari Ulakan dan Batang Kalawi
merupakan berbatasannya disebelah Selatan. Kedua sungai itu dapat
dilayari hingg jauh kehulu. Perniagaan Negeri Koto Tengah ramai, karena
selain menghasilkan lada, kayu manis, cengkeh, buah pala dan sebagainya,
juga merupakan daerah penyalur emas dari Alam Minangkabau. ”Koto”nya
berpenduduk ramai, dapat ditempuh dengan kapal (layar), karena berada
ditepi sungai yang membagi dua Koto itu. daerah kuasanya antara lain
meliputi Tabing dan Lubuk Buaya sekarang.
Bandar Padang disebelah Selatan nagari Koto Tengah, berbatasan
disebelah Selatan dengan Batang Arau. Daerah berbukit-bukit disebelah
Selatan, yaitu Teluk Bayur, Teluk Bungus, Bunga Pasang, Sibalantai, yang
penduduknya jarang sekali, termasuk daerah peralihan antara Bandar
Padang dan Tarusan, Bayang (Bandar-X).
Nagari Pauh, sekarang dengan istilah setempat lazim disebut ”mudik”,
disebelah Barat berbatasan dengan Nagari Koto Tengah dan Bandar
padang. Wilayahnya luas, tanahnya subur, penduduknya ramai. Andalas,
Anduring, Alai, Lubuk Lintah, Pasar Baru, Bandar Buat, Lubuk Begalung dan
sebagainya masuk daerah Pauh. Berbatasan disebelah Timur dengan lereng
Bukit Barisan. Pauh tidak saja menghasilkan lada dan emas dari daerah-
daerah dibalik Bukit Barisan. Karena letaknya yang strategis, penduduknya
yang relatif padat dan menghasilkan bahan-bahan yang penting bagi
perniagaan. Pauh mempunyai arti ekonomis yang besar bagi Bandar
Padang.
Penduduk Bandar Padang sebagian besar terdiri dari orang dan
saudagar-pengusaha dari Koto Tengah dan Pauh. Dewan pemerintahan,
Kerapatan Adat, terdiri dari penghulu-penghulu dari Koto Tengah dan Pauh.
Karena antara nagari Koto Tengah dan Pauh selalu ada persaingan untuk
merajai Bandar Padang. Dewan Kerapatan Adat itu sering merupakan arena
pertempuran sengit antara penghulu-penghulu dari Koto Tengah dan Pauh.
Dengan dikuasai bandar Padang oleh Aceh (pertengahan abad ke-16),
bertambah pula unsur politik, yang seringkali menggawatkan hubungan baik
antara nagari Koto Tengah dan Pauh.
Daerah antara Teluk Bungus, Tarusan dan Teluk Ketaun, terdiri atas
”federasi nagari-nagari otonom” Bandar-X (Bayang), kerajaan Indrapura dan
kerajaan Manjuta. Indrapura dan Manjuta terutama ialah produsen lada
terbesar di Pesisir Selatan. Aceh menundudukkan seorang raja-syahbandar
di indrapura, karena dianggapnya penting sebagai penghasil dan penyalur
lada, hasil-hasil bumi berharga lainnya dan emas. Seorang raja-syahbandar
Aceh di Indrapura kenudian sebagai Sultan Alauddin Riayatsayah menduduki
takhta kerajaan Aceh Dar-es Salam.
Daerah penghasil lada disebelah Selatan Teluk Ketaun (Manjuta)
ialah daerah takluk kerajaan Banten sejak akhir abad ke-16 dan terkenal
sebagai Silebar.
Sultan Alauddin Riayatsayah al Qahhar mendudukkan salah seorang
puteranya sebagai panglima-syahbandar di Pariaman. Ia giat sekali
mengembangkan agama Islam (Syi’ah), dengan membuka pesantren di
Ulakan, dan kemudian terkenal sebagai Syeh Burhanuddin (I). Tuanku
Ulakan. Beliau hidup terus dan dihormati di Minangkabau sebagai tokoh
pengembanag agama Islam, yang meng-Islamkan Yang Dipertuan di
Minangkabau. Sultan Muhammad Alif (1581). Sebagai tokoh yang
menghapus zaman ”jahiliyah” di Minangkabau dan ulama Islam (syi’ah)
tertua dan terbesar, makam beliau hingga dewasa ini, terutama dalam bulan
Syafar, ramai diziarahi oleh penduduk (”basapa”, mengadakan upacara
bulan Syafar).
Kekayaan bumi Minangkabau, istimewa daerah Pesisir, jatuh dibawah
dominasi politik-ekonomi Aceh sejak pertengahan abad ke-16, dalam rangka
pengerahan segala potensi ekonominya guna menghalau Portugis-Katolik
dari bandar-benteng mereka, Malaka. Akibat dominasi politik-ekonomi itu
agama Islam mulai berkembang luas di Pesisir. Berkat usaha Syeh
Burhanuddin (I) Tuanku Ulakan, agama Islam (Syi’ah) lambat laun
merembes dan tersebar luas di Minangkabau, setelah Yang Dipertuan di
Minangkabau masuk Islam (Sultan Mohammad Alif) menjelang akhir abad
ke-16.
b. Ikatan sosial-religius.
Akibat terpenting dan langgeng, karena itu tidak ternilai harganya, dari
dominasi politik-ekonomis Aceh di Pesisir sejak pertengahan abad ke-16,
ialah hapus ”zaman jahiliyah” di Minangkabau. Sebagai wilayah Indonesia
yang pertama sekali menganut agama Islam, saudagar-saudagar mubaligh
Aceh giat sekali melakukan dakwah Islam didaerah-daerah takluk Aceh.
Dapat disimpulkan, bahwa peng-Islaman Minangkabau secara besar-
besaran (”frontal”) baru terjadi, setelah pesisir jatuh dibawah dominasi politik-
ekonomi Aceh. Hal itu bukan berarti, bahwa orang Minangkabau secara
individual baru ketika itu pula mulai berkenalan dengan agama Islam atau
menjadi orang Islam. Daerah ”Rantau” Minangkabau Timur, produsen dan
penyalur lada dan emas terbesar sejak abad ke-6 Masehi, pada pertengahan
abad ke-7 sudah berkenalan dengan agama Islam dan sejak permulaan
abad ke-8 telah ada raja di Minangkabau Timur yang manganut agama
Islam. Tetapi perluasan ajaran Islam ke Alam Minangkabau baru
diintensifkan sejak pertengahan abad ke-16, tidak dari Minangkabau Timur,
tetapi dari Pesisir. Berita Portugis dari permulaan abad ke-16 menyatakan,
bahwa utusan Yang Dipertuan di Minangkabau yang berkunjung kebandar-
benteng Malaka, masih ”pagan”, artinya masih ”jahil”, karena belum memeluk
agama (Kristen maupun Islam).
Sepanjang zaman orang Minangkabau terkenal sebagai pedagang
dan suku merantau. Ada yang merantau untuk memperdagangkan hasil
buminya atau menuntut ilmu sampai ke Aceh. Diantara mereka tentunya ada
yang telah berkenalan dengan agama Islam, masuk Islam dan mungkin
sekali memperdalam pengetahuan mereka tentang agama Islam selama
berada di Aceh. Sekembali mereka ”kekampung” masing-masing, mustahil
tidak ada yang menyebarkan agama Islam dikalangan keluarga dan
penduduk kampung mereka. Tetapi secara ”frontal”, gigih, berencana dan
tekun peng-Islaman Minangkabau baru di-entamir pada ”zaman Aceh”
Aceh dan orang Aceh mempunyai arti dan tempat istimewa didalam
pandangan dan hati orang. Minangkabau pada umumnya Mubaligh-
Mubaligh/ulama Minangkabau yang pertama adalah hasil pendidikan
pesantren di Ulakan. Orang Minangkabau yang hendak menunaikan rukun
haji, bermukim beberapa lama di Bandar Aceh Dar-es Salam atau bandar-
bandar Aceh lainnya sebelum melanjutkan pelajaran ke Tanah Suci.
Sekembalinya dari Mekah, di Aceh pula mereka tinggal beberpa lama
sebelum meneruskan perjalanan pulang ke nagari masing-masing. Daerah
Aceh adalah ”serambi Mekah” bagi Minangkabau.
Hubungan batin, diandasi oleh agama Islam, merupakan ikatan yang
erat sekali dengan Aceh dengan Minangkabau. Itulah yang menjadi salah
satu penghalang besar bagi Belanda dalam abad ke-17 untuk segera dapat
menanamkan pengaruh politik-ekonominya di Pesisir.
Selama Gerakan Padri, yang disusul dengan Perang Padri (± 1800 - ±
1840) membakar Minangkabau. Aceh memberikan bantuan moril dan materil
yang besar artinya bagi Perang Padri ketika Belanda berusaha keras untuk
menaklukan seluruh Minangkabau.
Ketika Perang Kemerdekaan Aceh (1871 – 1904) berkobar.
Minangkabau memberikan sokongan moril dan pemuda-pemudanya ikut
berjuang dipihak Aceh.
Waktu Padang Panjang, menjadi pusat pendidikan Islam (permulaan
abad ke-20), banyak pemuda-pemuda dari Aceh yang menuntut ilmu agama
kesana. Diantara mereka kemudian ada yang memainkan permainkan
peranan penting sebagai pimpinan pemerintahan sipil dan militer di aceh,
setelah Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaannya (1945).
Dizaman Revolusi fisik (1945 – 1950), pemuda pejuang Revolusi dari Aceh
banyak yang bertempur dan jatuh sebagai pahlawan difront Sumatera Barat.
Sepanjang masa sejak pertengahan abad ke-16 terutama, ada
kerjasama timbal balik antara Minangkabau dan Aceh. Landasan idil dari
kerjasama itu ialah agama Islam dan pernah jalan seiring Minangkabau
dengan Aceh didalam sejarah.
c. Dominasi politik-ekonomis
Tujuan ekspansi teritorial Aceh ke Pesisir ialah menguasai
perdagangan rempah-rempah, terutama lada dan emas daerah itu. dominasi
politik-ekonomi itu dimaksud untuk memperoleh biaya, guna mengusir
Portugis dari bandar-benteng mereka Malaka. Tugas utama dari panglima-
panglima syahbandar Aceh di Pesisir ialah memonopoli pembelian lada dan
emas terutama dan penjualan tekstil serta kebutuhan-kebutuhan lainnya
daerah Pesisir. Saudagar-saudagar pelaut asing dari India, Persia, Arab dan
Cina, dari Inggris, negeri Belanda, Perancis dan sebagainya. Hanya dapat
membeli lada dan emas dan menjual barang-barang yang mereka bawa di
Bandar Aceh Dar-es Salam. Politik dagang ”single-buyer” dan ”single-seller”
itu dipegang teguh oleh Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636), guna
memupuk dana bagi peperangan-peperangannya dengan Portugis, yang
tidak kunjung habis.
Bagi Pesisir khususnya dan Minangkabau umumnya politik dagang
Aceh itu berarti, harus menjual hasil-hasil buminya dengan harga rendah dan
membeli barang-barang kebutuhannya dengan harga tinggi, sesuai dengan
jumlah yang ditetapkan secara sepihak oleh Aceh. Rasa tidak puas dan ingin
membebaskan diri dan kungkungan dominasi politik-ekonomi Aceh itu mulai
bertunas dan berkembang luas di Pesisir, terutama ketika wibawa politik
Aceh mulai menurun (pertengahan abad ke-17). Rasa tidak puas dan ingin
bebas dari dominasi Aceh itu dihembus-hembus dan diapikan supaya tetap
membara. (Kompeni) Belanda dan Inggris didaerah-daerah takluk Aceh,
yang karena letak geografisnya jauh dari Bandar Aceh Dar-es Salam,
merupakan anak rantai yang lemah dalam sistim monopoli Aceh. Di Pesisir
daerah itu ialah Bayang/Bandar-X, diantara bandar Padang dan kerajaan
Indrapura. Disanalah (Kompeni) Belanda mula-mula memperoleh
”bridgehead”, landasan guna mengmbangkan pengaruh plitik-ekonominya di
Pesisir (sejak pertengahan abad ke-17).
d. Ikatan budaya
Selama lebih kurang seabad dominasi politik-ekonomi Aceh di Pesisir,
istimewa dibandar-bandar pusat kegiatan niaga dan agama, seperti Tiku,
Pariaman, Ulakan, Kota Tengah, Padang dan Indrapura, terjalinlah ikatan-
ikatan kekeluargaan antara penguasa-saudagar-ulama Aceh dengan
penduduk setempat. Hal itu merupakan hambatan bagi (kompeni) Belanda
guna menanamkan pengaruh politik-ekonominya di Pesisir sejak
pertengahan abad ke-17.
Kebudayaan Minangkabau diperkaya oleh ikatan politik dan
ekonominya dengan Aceh. Bahasa dan tulisan Arab, media utama bagi
perkembangan agama dan hukum Islam, tersebar luas di Minangkabau.
Aksara Arab yang telah disederhanakan ”tulisan Melayu”, menjadi alat guna
penulisan sastra lama. Sebagai ahli waris kebudayaan Samudera Pase dan
kerajaan Malaka. Aceh menyebarluaskan hasil-hasil karya sastra kuno
disamping karya-karya cipta aceh sendiri. Ufuk idil Minangkabau bertambah
luas. Pakaian pembesar-pembesar Aceh ditiru dan menjadi pakaian adat
Minangkabau, istimewa di daerah Pesisir. Celana ”gelembong” atau celana
”Aceh” dan daster Aceh menjadi pakaian penghulu di Pesisir. Seni bangun
Aceh mempengaruhi bentuk ”rumah gadang’ di Pesisir. Kata-kata Aceh
memperkaya perbendaharaan bahasa Minangkabau. Persenjataan dan taktik
bela diri ”silat Aceh” berkembang dan tersebar luas. Kemahiran
menggunakan senjata guna pertahanan nagari dipelajari dan diwarisi dari
Aceh.
Disamping segi-segi positif itu tentunya ada pula segi-segi negatifnya.
Adanya keturunan Aceh dan berkembang luas pengaruh plitik-ekonomi Aceh
di Pesisir, menambah satu unsur perpecahan didaerah itu. Dengan mulai
menurun kekuasaan politik dan wibawa kerajaan Aceh dan mulai tertanam
serta berkembang pengaruh ekonomi-politik (Kompeni) Belanda di Pesisir
sejak pertengahan abad ke-17. penduduk didaerah-daerah takluk Aceh itu
terbagi atas golongan yang pro-Aceh-anti-Belanda, pro-Belanda-anti Aceh
dan anti-Belanda. Kekacauan politik dan ekonomi sebagai akibatnya
merupakan pola Sejarah Minangkabau, istimewa Pesisir sejak pertengahan
abad ke-17.
Masuk dan berkembang pengaruh politik-ekonomi Aceh di Pesisir
sejak pertengahan abad ke-16, menambahkan satu lagi unsur perpecahan di
Pesisir. Ketegangan-ketegangan politik yang diakibatkannya, seringkali
menimbulkan pertikain senjata antara sesama nagari dan perang saudara di
nagari-nagari itu sendiri.
II. Belanda
1. ”Saudagar-raja”
2. ”Perdamaian Abadi”
Hubungan dagang Pesisir dengan Belanda sudah mulai sejak akhir
tahun 1600. dua buah kapal dagang Belanda dari Banten dalam pelayaran
pulang kenegerinya, berlabuh berturut-turut di Bandar Pariaman, Tiku
(Bandar Khalifah) dan Air Bangis (Pasaman), membeli lada. Kericuhan
segera timbul, ketika dua kapal itu singgah untuk membeli lada pula di
Bandar Aceh Dar-es Salam. Hubungan Belanda dan Aceh dalam abad ke-17
dan abad-abad berikutnya ditandai oleh ketegangan-ketegangan politik, yang
seringkali meletus menjadi perang terbuka. Pasang naik dan pasang surut
hubungan politik ekonomi Aceh-Belanda itu sangat mempengaruhi hubungan
dagang Pesisir dengan Kompeni.
Perniagaan yang dilakukan oleh Kompeni dengan penduduk setempat
ialah ”sistim uang panjar”. Dengan raja, panglima-panglima ataupun
penghulu-penghulu sebagai penguasa setempat, dibuat perjanjian mengenai
jenis, jumlah dan harga hasil-hasil bumi seperti lada, cengkeh, buah pala,
kulit manis, kemenyan, kamfer dan sebagainya dan emas yang dapat dibeli
oleh Kompeni. Begitu pula mengenai jenis barang-barang kebutuhan yang
dijual oleh Belanda daidaerah tersebut, seperti tekstil, garam, barang-barang
dari besi, barang-barang mewah dan sebagainya. Dari hasil bumi yang dijual
oleh penduduk dan barang-barang yang diimpor oleh Kompeni, penguasa
setempat memungut sejumlah presentase sebagai bea. Bertambah besar
volume dagang Kompeni disesuatu daerah, bertambah besar pula
penghasilan –penguasa-penguasa setempat. Karena itu nagari atau bandar
sering berlomba-lomba dan bersaing dengan sesamanya menawarkan
Kompeni fasilitas-fasilitas perdagangan, yang seringkali tidak mampu mereka
untuk memenuhinya.
Kompeni memberikan uang panjar berupa uang kontan (ringgit perak)
ataupun bahan-bahan dagangan (tekstil, garam dan sebagainya) kepada
penghulu-penghulu yang menyanggupi levering lada atau emas, menurut
jumlah dan harga yang telah disepakati bersama. ”Ready-stock” tidak ada,
kapal Kompeni datang hanya lebih kurang sekali sebulan membawa barang-
barang dagangan dan megambil hasil-hasil bumi maupun emas yang telah
terkumpul. Kompeni memerlukan gudang tempat menyimpan barang-barang
dagangannya, hasil-hasil bumi dan emas yang telah dibeli, yang berfungsi
sekaligus sebagai tempat kediaman ”coopman” dan pegawai-pegawai
Kompeni lainnya. Gudang atau ”loji”, (”factori”) sering memuat bahan-bahan
dagangan yang adakalanya berjumlah puluhan ribu gulden dan karenanya
juga merupakan ”benteng”.
Sebagai daerah takluk Aceh, nagari-nagari dan bandar-bandar di
Pesisir mempunyai ikatan politik-ekonomis dengan kerajaan itu. tergantung
pada kondisi dan situasi politik Aceh, ada saat-saat ketika ikatan politik itu
ketat dan erat sekali dan ada pula saat ketika hubungan itu longar benar.
Pada saat hubungan Aceh dengan Pesisir erat dan timbul ketegangan politik
antara Aceh-Belanda, dibarengi maupun tidak oleh perang terbuka, loji
Kompeni di Pesisir seringkali dijadikan ”sasaran”. Isinya dirampas,
penghuninya ditawan dan sebagainya. Apabila keadaan berubah baik
kembali, penghulu-penghulu yang telah menerima uang panjar dari Kompeni,
seringkali tidak muncul-muncul lagi. Kalaupun muncul, mereka
mengemukakan berbagai alasan, yang seringkali memang ada benarnya,
apa sebab mereka tidak dapat memenuhi janji mereka. Pendeknya uang
panjar Kompeni ”hangus” dan untuk berdagang selanjutnya Belanda harus
membuat perjanjian baru lagi, memberikan uang panjar lagi hingga keadaan
politik memburuk lagi dan cerita diulang kembali dari semula.
Guna mengatasi pengalaman-pengalaman pahit itu Kompeni sejak
pertengahan abad ke-17 berikhtiar keras mendirikan ”loji” (benteng) dibandar
strategis, militer dan ekonomi penting bagi perkembangan pengaruh
niaganya, bebas dari resiko-resiko seperti yang dideritanya selama ini.
Usaha itu tidak akan berhasil baik, apabila situasi militer dengan Aceh tidak
dapat diselesaikan dengan cara damai.
Hubungan politik-ekonomi Aceh-Belanda, yang sejak pemerintahan
Iskandar Muda (1607 – 1636) dan Iskandar Thani (1636 – 1641) lebih
banyak buruk daripada baik, dizaman Ratu Nurul Alam Syafiat-ud Din (1641
– 1673), berangsur-angsur pulih baik.
Pada pertengahan tahun 1659 datang ke batavia utusan raja Aceh
dengan surat baginda, yang antara lain berisi, bahwa ”adalah kehendak hati
Paduka Sri Sultan, agar seluruh umat manusia hidup berbahagia didunia”,
sesuai dengan ”sabda Tuhan S.W.T, bahwa tidak ada yang lebih utama
daripada dua perkara, pertama selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan kedua, berbuat baik atas sesama manusia didunia”.
Baginda yakin, bahwa ”Paduka Tuanku Gubernur Jenderalpun
berpegang teguh pada dua perkara itu”, dan karenanya baginda sangat
menyayangkan, bahwa ”orang Aceh dan orang Belanda yang dalam masa
yang lampau hidup berdampingan sengan sesamanya dalam keadaan
damai, sekarang memerangi sesamanya”. Baginda menyatakan sebagai
keyakinan baginada, bahwa ”dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa,
dibarengi dengan niat baik dari Paduka Tuan Gubernur Jenderal, pertikaian
senjata dapat dihentikan dan orang Aceh dapat hidup berdampingan kembali
dengan orang Belanda dalam susana damai”. Guna mencapai tujuan itu
baginda mengajak Kompeni untuk ”mengutus orang yang arif bijaksana, lagi
cerdik cendekia, yang tidak takut menginjakkan kakinya dibumi Aceh dan
berhadapan muka dengan Paduka Sri Sultan” untuk merundingkan
perdamaian ”bagi kesejahteraan seluruh ummat manusia didunia”.
Tercapailah ”perdamaian abadi” antara Aceh dengan Belanda (1660), yang
antara lain mengizinkan Kompeni membeli lada dan emas di Pesisir,
mendirikan loji di Padang, membantu Kompeni menagih Piutangnya di Tiku,
Pariaman, Padang dan sebagainya, dan melarang Pesisir mengadakan
hubungan dagang dengan Inggris.
Sebagai pelaksanaan persetujuan ”damai abadi” itu di Pesisir,
Kompeni menunjuk Jan van Groenewegen sebagai ”coopman-resident” dan
”commandeur ter Westcuste van Sumatera”. Ia ikur dalam rombongan
Kompeni ke Bandar Aceh Dar-es Salam dan oleh Sri Ratu dianugerahi gelar
”Orangkaya Hulubalang Raja” lengkap dengan pakaian adat dan rencong,
lambang kebesaran seorang ”teuku”.
Pelaksanaan tugas menagih piutang Kompeni di Bandar-bandar
Pesisir dan mendirikan loji di Padang ridaklah semudah seperti yang
digambarkan oleh Jan van Groenewegen maupun oleh pimpinan Kompeni di
Batavia. Perang yang berlarut-larut antara Aceh dengan Belanda (1647 –
1660), telah banyak menghancurkan perkebunan lada di Tiku dan Pariaman.
Pedagang-pedagang emas dari Alam Minangkbanau tidak menurun lagi ke
Pesisir. Penduduk Pesisir jatuh miskin dan untuk menghidupkan perniagaan
kembali, Kompeni harus bersedia memberi ”voorschoot” lagi, diikat dengan
perjanjian-perjanjian baru. Panglima Padang menghalang-halangi Jan van
Groenewegen mendirikan loji di Padang, meskipun alat-alat bangunan telah
didatangkan dari Batavia.
Kecewa perjanjian abadi tidak dapat dilaksanakan dibagian Utara dari
Pesisir, Jan van Groenewegen mengarhakan pandangannya ke Pesisir
Selatan, kedaerah-daerah Bandar-X dan kerajaan Indrapura, anak rantai
yang lemah dalam sistim pertahanan Aceh di pesisir Barat Sumatera.
Sebagai penghasil dan penyalur emas dan lada terpenting, didaerah itu telah
lama membara rasa tidak puas terhadap dominasi politik-ekonomi Aceh,
karena dianggap mencekik leher dan melumpuhkan segala kegiatan dagang
penduduk.
Jan van Groenewegen memutuskan menjadikan Salido pusat
kegiatan niaga Kompeni di Pesisir. Pilihan itu memperhebat persaingan dan
menggawatkan hubungan antara bandar-bandar daerah Pesisir Utara dan
Pesisir Selatan. Suasana politik dikedua daerah itu meruncing dan
mengakibatkan dua peristiwa penting yang menentukan perjalanan sejarah
Minangkabau untuk abad-abad berikutnya. Belanda mengkonsolidasikan
kedudukannya di Pesisir dengan ”Perjanjian Painan” (1636). Aceh yang
membantu daerah Pesisir Utara mengobarkan ”Perang Saudara” di Pesisir
(1663 – 1682).
1
Raja nan Empat itu mempunyai ikatan kekluargaan dengan sesame mereka, maupun dengan
punghulu- penghulu yang mewakili mereka masing-masing di Salido. Mereka anggota keluarga
“Raja Sungai Pagau”, yang juga menurunkan raja-raja daerah Muara Labuh dan sekitarnya.
Dipulau yang tidak berpenghuni itu tercapailah kata sepakat, Kompeni
bebas berdagang diseluruh daerah Bandar-X, penduduk tidak dibenarkan
berniaga dengan bangsa-bangsa lain dan apabila orang Aceh, dengan
kemauan sendiri ataupun dengan paksaan (senjata) ingin meninggalkan
daerah ”Sungai Pagu”, mereka diizinkan menggunakan kapal sendiri maupun
kapal Kompeni (1662)
Hasil permusyawaratan itu akan diteruskan ke Batavia guna
mendapat persetujuan pimpinan Kompeni dan selama menunggu
pengesahannya, rahasia harustetap dipegang teguh. Tetapi sepandai-pandai
orang Minangkabau menyimpan rahasia, namun bocor juga. Ketika Jan van
Groenewegen beberapa minggu kemudian berkunjung ke Tiku, bandar
Pesisir (Utara) terbesar dan terpenting yang dikuasai oleh Aceh, ia dihubungi
oleh penghulu Orangkaya Suri Raja dengan pernyataan. Tikupun bertekad
bulat untuk tidak mengakui Aceh lagi sebagai yang dipertuan dan ingin
dibawa oleh Kompeni dengan Bandar-X. Orangkaya Suri Raja, sebagai
penghulu yang sangat berpengaruh di Tiku, mewakili XII kota, yang
penghulu-penghulunya telah mencapai kata sepakat untuk ”de kroon Achin
af te vallen en ons onder de bescherming der Nederlanders te begeven”
(melepaskan diri dari kekuasaan Aceh dan minta perlindungan kepada
Belanda). Kalau ada keinginan Belanda untuk membantu ”wij syn gesolveert
een eeuwig contract met de Compe aen tegaan” (kami telah memutuskan
untuk membuat perjanjian abadi dengan Kompeni)
Sekembali dari Tiku dan sampai di Padang, yang takluk dibawah
perintah Suri Raja, Jan van Groenewegen didekati oleh beberapa orang
penghulu yang berpengaruh dengan pernyataan, bahwa bukanlah atas
kehendak dan dengan persetujuan mereka, Kompeni tidak diizinkan
membangun loji di Padang. Orangkaya Kecil, yang bertindak sebagai
penghubung antara Jan van Groenewegen dan Sri Raja di Tiku dan
penghulu-penghulu Padang, menyediakan rumahnya sebagai tempat
penginapan bagi Jan van Groenewegen dan tempat berunding. Penghulu-
penghulu di Padang telah siap untuk mengusir Panglima dan orang-orang
Aceh dari bandar mereka, asal Kompeni bersedia memberikan bantuannya.
Setiba di Salido telah menunggu di loji Kompeni raja Indrapura, Raja
Mudhafarsyah, yang diusir fari takhtanya akibat perang saudara. Atas
persetujuan dalam musyawarah dengan ke-20 orang penghulu di Indrapura,
anaknya Sultan Muhamadsyah telah sepakat untuk mendudukan
menantunya Raja Sulaiman, sebagai Raja di Manjuta, produsen lada
terbesar di Pesisir Selatan. Raja Njuda (”nan Kado”?) suami puteri sulung
Sultan Mudhafarsyah, tidak puas dengan keputusan mertuanya itu dan
berhasil mengajak rakyat Manjuta untuk tidak menerima Raja Sulaiman
sebagai raja mereka. Perang saudara meletus sebagai akibatnya di
Indrapura dan Sultan Mudhafarsyah, anaknya Sultan Muhamadsyah dan
menantunya Raja Sulaiman melarikan diri ke Salido meminta pertolongan
Kompeni.
Jan van Groenewegen menginsyafi keuntungan-keuntungan besar
yang akan jatuh ketangan Kompeni, apabila perdagangan lada di Indrapura
dapat dimonopoli oleh Kompeni dan ia menjadikan bantuan Kompeni untuk
mendudukkan Mudhafarsyah diatas takhtanya kembali. Di Indrapura pun
rasa tidak puas terhadap dominasi Aceh sudah lama membara.
Pada bulan April 1663 berundinglah di ”Casteel van Batavia” utusan-
utusan dari Raja nan Empat (Raja Panjang anak ”Raja Carbou” dan Raja
Lelo), Raja Indrapura (Sultan Mansyursyah, putera Sultan Muhamadsyah),
dari Tiku Bandar Khalifah (Orangkaya Kecil) dan Padang (juga Orangkaya
Kecil), masing-masing dengan membawa surat kepercayaan (”credentials”)
bagi Joan Maetsuycker, Gubernur Jenderal dan Anggota-anggota Dewan
Hindia”.
Tercapailah kata sepakat, yang kemudian terkenal sebagai ”Perjanjian
Painan” (het Painans Tractaat), 1663, didasarkan atas persetujuan rahasia,
yang dirumuskan disebuah pulau tidak berpenduduk didekat Batang Kapas
(1662).
Utusan-utusan raja ”Sungai Pagu” dan pembesar-pembesar dari
Indrapura, Tiku dan Padang di Sumatera Barat dengan........”coopman” Jan
van Groenewegen.......telah mencapai kata sepakat untuk tidak mengakui
lagi mahkota Aceh dan meminta perlindungan kepada Kompeni, sesuai
dengan ketentuan-ketentuan dan pasal-pasal seperti tertera didalam
perjanjian tersebut.
Antara lain dituliskan, bahwa kepada Kompeni diberikan hak monopoli
untuk berdagang didaerah Indrapura dan tempat-tempat lain yang takluk
dibawah perintahnya, tanpa membayar bea, kecuali persembahan-
persembahan kepada penguasa setempat yang lazim dilakukan sebelumnya.
Kompeni berhak untuk menguji kadar emas yang dijual oleh penduduk
kepadanya sebelum harga pembelian ditentukan. Indrapura dan daerah-
daerah takluknya akan mengusir panglima-panglima dan pejabat-pejabat
Aceh lainnya dari daerah mereka dan Kompeni akan melindungi mereka dari
musuh yang menyerang dari jurusan laut, sepanjang kemampuannya
mengizinkan. Pasal itu yang mungkin datang dari daerah Minangkabau
sendiri. Pasal ini mempunyai konsekuensi penting. Dalam perang saudara
yang kemudian berlarut-larut antara Indrapura dan Manjuta. Kompeni tidak
membantu Indrapura, karena serangan tidak dilakukan dari jurusan laut.
Selanjutnya perjanjian itu memuat ketentuan, bahwa hukum Indrapura
tidak berlaku bagi orang dan pegawai. Kompeni yang melakukan sesuatu
kejahatan di Indrapura, maupun di Pesisir. Dengan ”Perjanjian Painan” itu
secara tertulis Kompeni mempunyai hak monopoli di Pesisir (Selatan
terutama), tetapi pelaksanaan hak itu tidaklah selancar seperti yang
dibayangkan oleh Kompeni.
4. ”Perang Saudara”
III. INGGRIS
2
Desakan ke Selatan.
a. Penduduknya
Loji atau ”factory” Kompeni terbesar dan terpenting di Pesisir ialah
”benteng Muara”, ditepi sebelah Utara Batang Arau, kompleks perkantoran
Gubernur Sumatera Barat sekarang. Benteng itu bertembok tinggi dan tebal,
dikelilingi oleh parit-parit dalam dan menghadap ke Batang Arau (Jurusan
Selatan). Dibalik tembok didalam benteng itu bertempat kediaman ”het
opperhoofd van Padang” dengan pangkat ”coopman”, lazim disebut
”commandeur”, tuanku kemendur menurut logat Minangkabau. Wakil tuan
kemendur, ”onder-coopman”, komandan pasukannya bertempat kediaman
didalam benteng itu pula. Selanjutnya ditemukan disana gudang-gudang
tempat menyimpan rempah-rempah, barang dagangan Kompeni dan gudang
senjata )”kruytmagazyn”).
”Het opperhoofd van Padang” mengatur strategi dagang dan
pengamanan pos-pos niaga di Air Haji, batang Kapas, P. Cingku di Pesisir
Selatan, Ulakan, Pariaman, Tiku, Air Bangis, Singkil dan Barus di Pesisir
Utara, sesuai dengan petunjuk-petunjuk dan instruksi dari Batavia. Sejak
tahun 1785 hanya pos Air haji dan pulau Cingku saja lagi di Pesisir Selatan
yang dipertahankan, sedangkan pos Pariaman dan Tiku ”mati segan, hidup
tidak mau”. Sejak pertengahan abad ke-18 lada dan rempah-rempah lain
tidak memainkan peranan sepentinf dahulu lagi, ditinggalkan oleh kopi, yang
mulai banyak ditanam di jawa (Barat). Pos-pos lain di Pesisir Barat Sumatera
sudah dihapus, karena tidak menguntungkan lagi.
Pada tahun 1781 pegawai sipil, tentara, berbagai jenis tukang san
anak kapal kompeni diseluruh Pesisir hanya berjumlah 176 orang, 22 orang
diantaranya bertugas di Pulau Cingku dan Air haji. Yang selebihnya, terdiri
dari 19 orang pegawai sipil, termasuk ”opperhoofd” dan wakilnya, 87 orang
prajuit Belanda dan 48 orang ”inlandse militairen”, serdadu bumiputera,
kebanyakan orang ”bougys” dan ”Mooren”, orang ”keling” dari India
(Selatan).
Pertahanan ”pos Padang” dipusatkan di ”Muara”, tepi sebelah Utara
Batang Arau dikaki Gunung Padang, terdiri atas beberapa meriam tua yang
sudah karatan, karena tidak terpelihara baik (”tidak ada uang untuk itu”).
Orang Belanda dan keturunan mereka, bukan pegawai maupun anggota
tentara Kompeni, bertempat kediaman diluar benteng. Mereka disebut
”Mardijkers”, orang ”merdeka”, umumnya bekas pegawai dan serdadu
pensiunan Kompeni. Mereka hidup sebagai petani dan saudagar kecil,
dibantu oleh budak-budak belian mereka, kebanyakan berasal dari ”Pulau”
(Mentawai dan Nias). Perkawinan sering terjadi antara kaum mardijkers dan
wanita-wanita dari ”Pulau” itu. umumnya mereka beragama Kristen
(Protestan) dan menyandarkan kehidupan dan keamanan mereka kepada
”benteng”. Menurut catatan dari tahun 1790 keluarga merdijkers di Padang
berjumlah lebih kurang 10 ”familie”, terdiri atas 33 orang pria, 44 orang
wanita dan 107 orang anak-anak. Pendidikan anak-anak Mardijkers itu
dilakukan oleh gereja, yang dominenya digaji oleh Kompeni.
Jumlah orang Cina di Bandar Padang ketika itu sudah cukup besar
dan Kompeni mengganggap perlu mengangkat seorang ”Luitenant der
Chineezen” sebagai pemimpin mereka. Berperanan sebagai saudagar
menengah antara Kompeni dengan penduduk setempat, orang-orang Cina
itu merasa ikatan mereka lebih erat dengan Kompeni dan kaum Mardijkers
daripada dengan ”orang Padang”. Umumnya mereka juga beragama Kristen
(Protestan) dan pendidikan anak-anak mereka dilakukan oleh gereja. Kaum
Mardijkers dan orang Cina hidup dalam daerah atau ”wijk” tersendiri, terpisah
dengan sesamanya dari tempat-tempat kediaman penduduk setempat.
Penduduk Bandar padang bangsa Indonesia umumnya berasal dari
nagari-nagari Kota Tengah (Tabing), Pauh (”Mudik”) dan XIII Koto (Lubuk
Begalung). Sebagai ”panglima” atau ”regen Padang”, biasanya ditunjuk
seorang penghulu yang mendapat dukungan penuh dari ketiga nagari itu.
Karena dukungan penuh itu tidak pernah tercapai, pemilihan panglima
Padang (oleh ketiga nagari itu) dan pengaangkatannya (oleh Kompeni),
selalu dibarengi dengan ketegangan-ketegangan politik yang sering diikuti
dengan pertempuran bersenjata antara ketiga nagari itu.
Tuanku Regen Padang didampingi oleh Kerapatan Adat,
beranggotakan 12 orang penghulu, yang mewakili ketiga nagari tersebut.
Antara sesama anggota Kerapatan Adat itu jarang pula terdapat kata
sepakat. Sungguhpun jumlah mereka besar, tetapi karena selalu
bersengketa antara sesama mereka ”penduduk Padang” tidak pernah
merupakan ancaman politik yang serius bagi benteng Belanda maupun bagi
kaum Mardijkers dan Cina di Padang.
Jalan dagang penting dari ”Dare” ke Padang melalui XIII Koto dan
Pauh. Saudagar-saudagar dari Dare membawa emas urai, lada dan
sebagainya dan pulang nantinya mambawa uang perak (ringit), tekstil, garam
dan sebagainya. Saudagar-saudagar dari Dare itu umumnya berasal dari
Luhak Tanah Datar (Rao, XX-Kota, Gurun, Sumanik dan sebagainya) dan IX-
Koto (Solok). Mereka hidup ”berkampung” menurut nagari atau ”kampung”
asal masing-masing. Hubungan antara ”orang Dare” dan ”Orang Padang”
pada umunya tidak selalu ditandai oleh suasana damai dan ramah tamah
dan ”tuan kemendur” seringkali bertindak sebagai pendamai. Apabila terjadi
percekcokan antara ”orang Padang” dengan ”orang Dare”, XIII Koto menutup
jalan dagang yang melalui daerah itu. orang Dare seringkali mendapat
berbagai jenis rintangan fisik. Mereka tidak ”menurun” lagi, emas dan hasil-
hasil bumi dari Dare tidak mengalir lagi ke Padang, tekstil, garam dan
barang-barang dagangan Kompeni lainnya tertumpuk di ”benteng”. Usaha
Kompeni menjaga hubungan baik selalu dengan XIII Koto, antara lain
mendahulukan calon nagari itu untuk diangkat sebagai ”Regen padang”,
seringkali menimbulkan tantangan dan perlawanan Kota Tengah dan Pauh,
dengan akibat tidak selalu menambah lancar hubungan Kompeni dengan
nagari-nagari itu dan antara nagari-nagari itu dengan XIII Koto. Menginsyafi
sepenuhnya posisi politik-ekonomi dengan XIII Koto, Panglima Padang yang
berasal dari nagari itu tidak selalu patuh kepada perintah ”tuan kemendur”.
Tetapi kedudukannya ekonomis-politik lemah, akibat perpecahan yang selalu
menandai hubungan ”orang Padang” dengan sesama mereka. Tidak pernah
penghulu Padang mampu menduduki dan menguasai benteng Padang,
sungguhpun menjelang abad ke-18 berkali-kali benteng itu menghadapi
suasana yang cukup gawat. Kepemimpinan Panglima Padang dan
Penghulu-penghulu bandar itu tidak pernah melampaui batas-batas suku dan
nagari mereka, sungguhpun diantaranya banyak yang gagah berani dan
mempunyai kecakapan besar sebagai pemimpin rakyat.
Penduduk bandar Padang merupakan ”pulau”, diisolir oleh laut
perpecahan yang tidak terseberangi. Karena itu apabila datang kekuasaan
dari luar, asal cukup kompak dan tidak perlu besar jumlahnya, Padang dan
bentengnya dapat mereka kuasai, tanpa kesulitan besar.
4. Kesimpulan
I. GERAKAN PADRI
Ada beberapa pendapat mengenai asal usul istilah ”padri”. Ada yang
mengatakan padri berasal dari kata Portugis ”padra” yang berarti ”bapak”,
gelar yang biasa diberkan kepada pendeta. Ada pula yang berpendapat
asalnya dari kata ”Pedir”, bandar di pesisir Utara Aceh, tempat calon-calon
haji dari Indonesia berangkat ke Tanah Suci. Di Minangkabau sendiri pada
awal abad ke-19 kata Padri tidak dikenal, yang ada hanya istilah ”golongan
hitam” dan ”golongan putih”. Golongan putih inilah yang oleh penulis-penulis
sejarah disebut ”kaum Padri”. Penamaan golongan hitam dan golongan putih
didasarkan atas pakaian yang dikenakan oleh masing-masing golongan
dalam zaman dinamakan ”masa berhitam dan berputih”. Guna memudahkan
dan untuk menyesuaikan dengan konsensus umum, dalam buku ini kita
pakai istilah ”Padri” bagi golongan putih.
Pertentangan yang terjadi antara golongan hitam dan golongan putih
di Minangkabau pada awal abad ke-19, bukanlah ”konfrontasi vis a vis” adat
kontra agama. Golongan adat juga orang beragama dan golongan putih
orang yang tetap hidup dalam lingkungan adat. Perselisihan itu pada
mulanya bersumber pada praktek-praktek kehidupan keagamaan yang lali
meruncingkan menjadi pertentangan politik. Pertikaian itu berasal dari
perbedaan pendapat antara golongan penganut aliran Syi’ah yang sudah
lebih dahulu berkembang di Minangkabau dengan pemeluk mazhab Hambali
yang sedang giat meluaskan pengaruhnya. Golongan ”Hambali” memperoleh
kesempatan baik, karena rasa tidak puas terhadap kesewenang-wenangan
sebagian besar dari ulama Syi’ah, sedang membara di Minangkabau. Ulama-
ulama muda yang tidak berhasil menentang arus kesewenang-wenangan itu,
menaruh simpati besar pada gagasan-gagasan pembaharuan yang
diprakarsai oleh penganut-penganut mazhab Hambali. Gerakan Wahabi,
berhasil menumbangkan kekuasaan Turki-Osman di Arabia (akhir abad ke-
18). Pembersihan agama Islam dari pengaruh yang dianggap bidaah,
dilakukan radikal sekali dengan menggunakan kekerasan.
Di Minangkabau ketidakserasian dibidang pelaksanaan syariat
berkembang menjadi pertikaian faham yang sengit dibidang pemerintahan,
sebab menyangkut kekuasaan dan prestise kaum penghulu, sebagai
golongan yang memonopoli kekuasaan dalam nagari dengan Dewan
Negerinya. Sekalipun dalam nagari ulama juga memegang jabatan, fungsi
mereka terbatas pada bidang pendidikan pemuda di ”surau” dan kekuasaan
mereka terbatas pada melontarkan ancaman-ancaman hukuman dari tuhan
dalam khutbah-khutbah hari Jum’at. Rakyat biasanya lebih patuh pada
perintah penghulu dari pada nasehat seorang ulama. Disemangati oleh
gerakan Wahabi, para ulama menghendaki, agar suara mereka didengar
pula oleh rakyat. Timbullah perebutan kekuasan dibidang pemerintahan
praktis antara kaum ulama dan kaum penghulu. Muncullah pergolongan-
pergolongan kekuasaan yang mengakibatkan bentrokan-bentrokan fisik
didalam nagari dan antara sesama nagari. ”Social-disorder”, perbenturan
masyarakat, mengacaubalaukan ketentraman yang dulu merupakan ciri dari
masyarakat itu.
Ruang waktu yang dilingkupi oleh social-disorder, kemudian lazim
disebut ”Gerakan Padri”, berlangsung lebih kurang antara tahun 1803 –
1820. Tiap-tiap gerakan baru dalam masyarakat biasanya mempunyai energi
dan semangat juang besar, tidak terkecuali Gerakan Padri. Didorong oleh
semangat heroisme yang hebat dalam masa ini, kaum Padri berhasil
menanamkan supremasi politiknya di Alam Minangkabau. Dalam waktu itu
pula (1819) Pesisir dikuasai kembali oleh Belanda. Perjuangan fisik yang
dihadapi oleh kaum Padri sejak tahun 1821 berlainan sifat dan tujuannya
dengan yang dilakukan sebelumnya. Mereka menghadapi kekuasaan asing
dan karenaitu pula perjuangan tidak lagi bersifat ”lokal” tetapi menentang
kolonialisme. Unsur-unsur nasionalisme, walaupun dalam pengertian sempit,
turut memainkan peranan penting disamping unsur-unsur agama.
1. Latar Belakang
3. Operasi-operasi Militer
Kesimpulan.
1. Pendahuluan
6. Pelopor Modernisasi
Kaum intelektuil Barat sebagai golongan ketiga antara kaum adat dan
kaum agama dibangun dan dibina oleh Belanda di Minangkabau sejak tahun
1873 terutama. Pada tahun itu dibuka di Bukittinggi ”Sekolah Raja”, yang
murid-muridnya dikerahkan dari golongan adat maupun dari golongan agama
(ulama Syafe’i).
Dengan bertambah luas daerah kuasa Belanda di Sumatera
khususnya dan Indonesia umumnya sejak tahun 1870, guna menetapkan
dominasi politik-ekonominya, tenaga unsur-unsur pengembang kekuasaan
Belanda dan kebudayaan Barat mulai diprodusir secara berencana. Anggota-
anggota dan alat-alat Pemerintahan yang pandai tulis baca, berpengetahuan
umum dan sekedar dapat mengerti bahasa Belanda, kian lama kian
dirasakan keperluannya dan peranannya bagi pemantapan pengaruh
Belanda. Yang telah menamatkan pelajarannya pada ”Sekolah Raja”, yang
siswa-siswanya kemudian juga didatangkan dari daerah-daerah jauh diluar
Minangkabau, tidak saja dipekerjakan sebagai guru-pengembang
pengetahuan dan kebudayaan Barat, tetapi juga sebagai anggota
pemerintahan sipil (demang) dan pengadilan (jaksa), yang bertugas di
Sumatera dan Kalimantan. Karena sebagai ”ambtenaar Pemerintahan Hindia
Belanda” berpenghasilan jauh daripada cukup, mereka kemudian mampu
menyekolahkan anak-anak mereka ke Jawa (untuk jadi dokter), bahkan juga
ke negeri Belanda (guna melanjutkan pelajaran untuk jadi ahli hukum, ahli
ekonomi dan sebagainya). Pendidikan menghasilkan kaum terpelajar, yang
mata dan hatinya terbuka bagi banyak kepincangan masyarakat, yang tidak
terlihat maupun dihiraukan sebelumnya. Daya kritik timbul, dipupuk oleh ilmu
pengetahuan, tidak saja ditujukan pada masyarakat sendiri, tetapi juga pada
kekuasaan asing sebagai penjajah.
Adat dan kaum adat mendapat sorotan tajam dalam buku-buku yang
dikarang oleh guru-guru lulusan Sekolah Raja dan dibaca dikalangan luas
berkat kegiatan ”Commissie voor de Volkslectuur Balai Pustaka” di Jakarta.
Kaum terpelajar yang pulang dari Jawa maupun dari Negeri Belanda,
tidak puas lagi dengan susunan masyarakat di Minangkabau dan kekuasaan
Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia, disamping perlakuan-perlakuan
kurang wajar yang mereka alami dari pihak penguasa Belanda setempat,
mengadakan kelompok-kelompok kegiatan politik menurut contoh di Jawa.
Sangat terbatas jumlah kaum intelek yang berpendidikan tinggi, jauh jarak
alam pikiran antara mereka dengan rakyat biasa, yang masih dikungkung
oleh ikatan adat dan pengaruh agama dan mutlak kekuasaan alat-alat
Pemerintah di Minangkabau, mengakibatkan tenaga-tenaga muda yang
penuh cita-cita merasa tidak betah lagi ”dikampung” dan yang ada di rantau
segan pulang.
Kebanyakan mereka bergerak dan berusaha diluar Minangkabau
terutama di Jawa (Jakarta), guna mencapai cita-cita perbaikan nasib rakyat
banyak disamping nasib sendiri. Sebagai ”the marginal man” mereka merasa
tidak mempunyai tempat lagi dalam masyarakat Minangkabau
Dikerahkan dan dididik dengan maksud untuk digunakan sebagai alat
bagi pemantapan dominasi politik ekonomi Belanda berlandaskan
kebudayaan Barat, tenaga-tenaga yang dihasilkan kemudian berkembang
sebagai ”ujung tombak”, yang disamping tenaga-tenaga masyarakat lain
tidak sedikit jasanya dalam proses persiapan kemerdekaan Indonesia.
Perombakan struktur masyarakat Minangkabau, dimulai dengan
Gerakan Padri ( 1800, pada dasarnya belum lagi mencapai kemantapan
hingga dewasa ini. Itulah penyebab utama dari kegelisahan masyarakat
Minangkabau yang dialaminya sekarang. Susunan dan ikatan lama tidak lagi
memuaskan, sedangkan susunan baru (masih) belum terciptakan.
Kesimpulan
1. Pendahuluan
2. ”Ethische politiek”
c. Sarekat Islam
d. Muhammadiah
e. Gerakan Pemuda
a. Reaksi
Diombang-ambingkan selalu antara pilihan mendahulukan
kepentingan rakyat jajahan atau kepentingan kaum modal, pola politik
kolonial Belanda ialah ”sistim tanpa sistim” (”een systeemloze systeem”).
Mendahulukan kepentingan rakyat jajahan, berarti meninggalkan taraf
hidup dan ilmu pengetahuan mereka, memperbanyak jumlah, jenis dan
tingkatan lembaga pendidikan bagi anak-anak mereka, mempertinggi gaji
dan upah pegawai dan pekerja, dan sebagainya. Hal itu berarti bertambah
besar pengeluaran bagi koloni, yang ditentang dengan sekuat tenaga oleh
kaum modal, karena akan memperkecil marge keuntungan mereka. Dividend
pemegang saham di Negeri Belanda, yang wakilnya duduk dalam Parlemen
(Tweede Kamer) sebagai pembela kaum modal, akan turun. Mereka akan
melancarkan kritik-kritik pedas terhadap ”beleid der Indische Regering”,
kebijaksanaan Pemerintah Hindia.
Selalu membela kepentingan kaum modal, berarti mengorbankan
tuntutan rakyat jajahan. Rasa tidak puas akan bertambah besar dan meluas,
perlawanan dalam bentuk kecaman-kecaman pedas dalam koran-koran dan
rapat-rapat, aksi-aksi mogok dan perlawanan bersenjata akan sering terjadi.
Jurang perpisahan yang dalam dan lebar akan memisahkan rakyat dari
Pemerintahan Jajahan.
Kedua kepentingan yang saling berlawanan itu, tidak mungkin
dipertemukan, tanpa mengorbankan yang satu.
Mengenai pelaksanaan ”Ethische politiek”, di Hindia Belanda maupun
di Negeri Belanda ada dua golongan kontroversial. Golongan ”the
enlightened” ingin mempertinggi taraf hidup dan pengetahuan rakyat jajahan,
agar mereka dapat dijadikan partner bagi kemantapan dan kelanjutan
dominasi politik-ekonomi Belanda didaerah jajahan. Golongan ”progresip” itu
memimpinkan ”Politik asosiasi”, didukung bersama oleh pihak Belanda dan
pihak Indonesia, yang berpendidikan Barat.
Golongan ”the die-hards”, kepala batu dan konservatif tetap
berpegang pada ”uitbuitingspolitiek”, politik pemerasan, dimana perlu dengan
menggunakan kekerasan, keunggulan persenjataan dan perlengkapan
tentara Hidia Belanda. Pola politik jajahan hingga tahun 1942 dan ”public
upinion” di Negeri Belanda antara tahun 1945 – 1950 dipengaruhi oleh
pertentangan kedua golongan itu.
Pemberontakan komunis tahun 1926/1927 di Minangkabau (dan
Banten) dijadikan bukti oleh golongan konservatip tentang kebenaran
pendapat mereka. Merekalah yang selanjutnya akan memegang peranan
penting dalam gelombang reaksi, yang melanda Indonesia, khususnya
Minangkabau sejak tahun 1927. Pemerintah Hindia Belanda mengejar,
menangkap, menahan, megadili, menghukum dan membuang tiap-tiap orang
yang dituduh maupun disangka bersimpati dengan gerakan komunis di
Indonesia. Gerakan kebangsaan mendapat pukulan hebat, menjadi lemah
dan lesu. Impasse politik itu segera pula diikuti oleh depresi ekonomi yang
meliputi seluruh dunia sejak tahun 1929. Banyak orang Indonesia kehilangan
mata pencaharian. Pengangguran merajalela. Uang sulit. Hasil-hasil bumi
tidak ada pembelinya. Kemelaratan dan penderitaan rakyat, terutama
didaerah pedalaman, meluas dan merata.
Reaksi yang dijalankan secara ketat, bersifat preventif dan depresif.
Preventif dengan mengeluarkan atau mengaktifkan penggunaan undang-
undang, dan peraturan-peraturan pemerintah, yang maksudnya
mempersempit ruang gerak dan kemerdekaan pemimpin-pemimpin
pergerakan kebangsaan untuk mengeluarkan pendapat mereka secara lisan
maupun tulisan. Sensor keras diadakan. Tiap-tiap penerbitan, sebelum
diedarkan, tiap-tiap pidato sebelum diucapkan, harus mendapat persetujuan
PID (Politieke Inlichtingen Dienst), polisi rahasia, terlebih dahulu, PID sangat
berkuasa. Tangannya panjang, matanya banyak, wibawanya besar. Hindia
Belanda jadi ”negara polisi”.
Pengawasan sekolah-sekolah agama diperketat dengan mengaktifkan
”Guru ordonnantie”. Di Minangkabau pelaksanaan peraturan pemerintah itu
mendapat reaksi hebat.
Karena jumlah sekolah yang memberikan pendidikan barat sangat
terbatas, sedangkan hasrat rakyat untuk memperoleh pendidikan itu bagi
anak-anak mereka kian lama kian besar, Pemerintah Hindia Belanda
membuka jenis sekolah baru, ”Schakel-School” (5 tahun). Murid-murid
”Volkschool”, Sekolah Desa (3 tahun), yang berbakat dan rajin, tetapi orang
tua mereka tidak mampu, dapat melanjutkan pelajaran di ”Schakel School”,
yang jumlahnya sangat terbatas.
Sekolah-sekolah swasta, didirikan oleh perkumpulan maupun oleh
orang perorangan, bermunculan dimana-mana. Guna mengawasi
perkembangan dan pendidikan pada sekolah-sekolah swastaitu, yang secara
resmi disebut ”wilden scholen”, sekolah-sekolah liar, Pemerintah
menerbitkan undang-undang sekolah liar (”Wildt scholen ordonnantie,
1937”), Wildt scholen ordonnantie itu mendapat reaksi yang hebat pula di
Minangkabau.
b. Depresi
Selesai Perang Dunia I (1914 – 1918), Amerika Serikat sebagai
bangkir dunia, memberikan pinjaman modal yang tidak sedikit jumlahnya
kepada negara-negara Eropa. Dalam tahun 1929 negara-negara kreditur itu
tidak berkesanggupan lagi membayar bunga dan mengangsur hutang-hutang
mereka. Bank-Bank di New York menutup pintunya, menghentikan segala
pembayaran. Perdagangan dunia lumpuh.
Hindia Belanda sebagai negara agraris, hidup terutama dari ekspor
hasil-hasil buminya. Berbeda dengan negara-negara merdeka, yang
pemerintahnya melindungi kepentingan-kepentingan rakyatnya dengan
segera mendevaluasikan nilai mata uangnya agar hasil-hasil industri mereka
dapat dijual dengan harga yang lebih rendah. Hindia Belanda sebagai
jajahan mengutamakan kepentingan kaum modal. Gulden tidak didevaluir.
Harga bahan-bahan ekspor Hindia Belanda tetap tinggi dan karena itu tidak
ada pembelinya. Pemerintah Hindia Belanda dan perusahaan-perusahaan
dagang maupun industri Belanda melakukan tindakan-tindakan yang sangat
drastis. Banyak pegawai yang diperhentikan, atau diberi sekedar ”uang
tunggu”. Gaji dan upah diturunkan. Desa yang sudah miskin, tertutup mata
pencahariannya dan harus pula menampung pegawai-pegawai dan pekerja-
pekerja dari kota, yang kehilangan pekerjaan.
Bagi pergerakan kebangsaan depresi itu mempunyai akibat yang
parah sekali. Jumlah anggotanya mundur. Uang iuran tidak masuk.
Semangat juangnya luntur.
Minangkabau yang baru saja mengalami pemberontakan komunis,
menderita lebih parah lagi. Bukan saja Minangkabau kehilangan banyak
tenaga-tenaga muda yang berbakat dan sangat aktif, yang masih ada
memusatkan segala usaha dan tenaga untuk dapat hidup. Hasil-hasil bumi
dan hutan tidak ada pembelinya. Kalaupun ada harga yang dibayar lebih
kecil dari ongkos mencari, mengumpulkan dan mentranspornya.
Perdagangan lesu. Rakyat kehilangan mata pencaharian. Kemiskinan dan
penderitaan merajalela.
Antara tahun 1927 – 1930, akibat tekanan reaksi dan depresi, di
Minangkabau tidak ada kegiatan-kegiatan politik yang berarti. Kenyataan itu
tidak mengandung makna, bahwa semangat juang rakyat Minangkabau
terpatahkan sudah. Hanya keadaan ekonomi yang sangat suram dan reaksi
yang sangat ketat membuat keadaan di Minangkabau seperti ”api dalam
sekam”. Diluar kelihatannya tenang dan tentram, tetapi di dalam api tetap
membakar.
c. Kontra-aksi
1. ”Guru-ordonnantie”
2. Permi
5. Minangkabau-raad
Dalam rangka pelaksanaan politik desentralisasi dan lebih
mengairahkan rakyat daerah untuk mempererat kerjasama dengan
pemerintahan jajahan, Pemerintah Hindia Belanda membentuk ”otonom
raden”, dewan-dewan otonom didaerah-daerah yang dianggapnya sudah
”matang” untuk itu.
Minangkabau-raad, dewan Minangkabau, dibuka di Sumatera Barat
(1938) yang disamping dewan penasehat, rakyat setempat dapat pula
digunakan sebagai lembaga penyaluran aspirasi-aspirasi politik rakyat
Minangkabau, yang dikontrol oleh pemerintah setempat. Sebagai anggota
ditunjuk ulama-ulama (modern dan kolot), yang mendapat kepercayaan
pemerintah daerah, wakil-wakil dari dunia perusahaan Indonesia, Cina dan
Belanda.
Pada tahun 1939 terjadi lowongan di Volksraad bagi wakil dari
Minangkabau. Pemerintah daerah Sumatera Barat ingin, agar Minangkabau-
raad mencalonkan seorang pensiunan demang, keadaan Minangkabau,
politis maupun ekonomis, tidak akan mengalami perubahan apapun juga.
Moh. Yamin, tokoh ”Gerindo” (Gerakan Rakyat Indonesia) di Batavia,
didekati oleh utusan Minangkabau-raad. Yamin bersedia mengorbankan
kedudukannya sebagai salah seorang pimpinan Gerindo, yang sebagai
lanjutan dari PNI dan Partindo menganut sikap ”non-kooperasi”, tidak mau
bekerjasama dengan Pemerintah Hindia Belanda.
Yamin terpilih sebagai anggota Volksraad wakil Minangkabau.
Pemerintah daerah Sumatera Barat geger. Rakyat Minangkabau gembira
dan Gerindo memecat Yamin. Dalam suasan politik dalam negeri ketika itu
dan politik internasional yang kian mengawat, tidak banyak yang dapat
dilakukan oleh Yamin bagi Minangkabau, kecuali usaha memperkokoh
landasan ekonomi bagi perjuangan rakyat Minangkabau dengan membantu
golongan saudagar menengah mendirikan bank (Bank Nasional di Bukittinggi
dan Bank Saudagar di Padang).
8. INS Kayutanam
Bab ini rasanya tidak sempurna, kalau para penyusun ini tidak
memberikan sekedar catatan mengenai ”Indonesische Nationale School”
(INS) di Kayutanam, yang dipelopori, dibina dan diasuh oleh M, Syafe’i
Dipengaruhi oleh sistim ”Arbeit-schule”, sekolah-kerja Kerchensteiner
di Jerman setelah Perang Dunia I, sekembali di tanah air M. Syafe’i berusaha
menerapkan sistim itu di Minangkabau. Pegawai-pegawai Jawatan Kereta
Api Sumatera Barat di Kayutanam, yang anak-anaknya tidak dapat diterima
di Schakel-school di Padang Panjang dan masyarakat Kayutanam
memberikan sebidang tanah di Pelabihan, antara Kayutanam dan Padang
Panjang, yang dapat dijadikan model oleh M. Syafe’i guna melaksanakan
cita-citanya. Berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan Pemerintah,
yang menyamaratakan bakat dan siswa yang ditampungnya dan menyiapkan
mereka untuk jadi pegawai maupun pekerja pada kantor-kantor Pemerintah
dan swasta, M. Syafe’i mendidik pemuda-pemuda Indonesia dengan
mengembangkan bakat dan kemampuan masing-masing. Mereka dibekali
dengan keterampilan, ilmu pengetahuan modern. Bakat mereka dipupuk dan
dikembangkan, agar dapat berdiri sendiri dalam masyarakat sebagai
pengusaha kecil, ahli bangunan, seniman sastrawan, pelukis dan
sebagainya.
Dalam proses perubahan sosial-politik Minangkabau lulusan INS ikut
menyumbangkan tenaga dan fikiran mereka, sebagai orang yang didik dapat
berdiri diatas kaki sendiri dan tidak menggantungkan nasib dan
penghidupannya sebagai pemakan gaji dikantor-kantor Pemerintah Hindia
Belanda maupun kantor-kantor dagang Belanda.
Kesimpulan
1. Arus modernisasi yang melanda Minangkabau sejak permulaan abad
ke-20, diintensifkan oleh ”Ethische Politiek”, menimbulkan ”peasant-
uprisings”, yang mencapai klimaksnya dengan ”Perang Silungkang”
(1926/1927)
2. Arus modernisasi itu mengalir ke Minangkabau melalui dua sumber,
dari Mesir dan Mekah dan Negeri Belanda, dengan ”surau” dan
sekolah-sekolah sebagai perantara.
3. Arus dari Mesir menimbulkan ”Kaum Muda” dan yang dari Tanah Arab
(Mekah) ”Kaum Tua”, yang bersatu kembali akibat tindakan reaksioner
dari Pemerintah Hindia Belanda.
4. Raksi Pemerintah Hindia Belanda sesuadah ”Perang Silungkang” dan
tekanan depresi dunia, yang pada mulanya melumpuhkan segala
ativitas politik di Minangkabau, mengakibatkan timbul dan
berkembang ”Permi”, gerakan nasional berdasarkan agama Islam.
5. Sifat Muhammadiah di Minangkabau lain dengan di Jawa, karena iklim
dan suasana politik di Sumatera Barat membuat Muhammadiah di
Minangkabau menjadi gerakan pendidikan-sosial, yang tidak bebas
dari pengaruh politik, terutama sejak tahun 1934.
6. Gerakan pemuda asal Minangkabau di Batavia, yang anggota-
anggotanya kemudian menjadi anggota dan pimpinan ”Perhimpunan
Indonesia” di Nederland, ikut memainkan peranan penting dalam
pencetusan Sumpah Pemuda dan menjadi pemimpin-pemimpin
Indonesia dalam masa Persiapan Kemerdekaan dan Zaman Revolusi
Fisik.
7. Orang Indonesia asal Minangkabau banyak yang menjadi besar dan
ikut memainkan peranan penting dalam pergerakan Kebangsaan dan
sesudahnya, diluar daerah Minangkabau.
8. sebagai literator orang Indonesia asal Minangkabau telah
memperkaya perpustakaan Indonesia dengan masalah perbenturan
adat dan modernisasi disamping ikut mempersiapkan bahasa
Indonesia sebagai bahasa Persatuan Indonesia.
9. Pada dasarnya perbenturan modernisme dan masyarakat bukanlah
masalah yang spesifik Minangkabau, tetapi merupakan masalah yang
dialami oleh dunia dewasa ini sebagai akibat dari kemajuan teknologi.
10. Lembaga pendidikan INS di Kayutanam, disemangati oleh ide ” Arbeit-
schule Kerchensteiner”, telah berhasil mendidik pemuda-pemuda
Indonesia yang berani dan mampu berdiri diatas kaki sendiri dan
banyak sedikit ikut memberikan sumbangan bagi perubahan sosial-
politik di Minangkabau.
BAB IX.
1. Pendahuluan
2. Periode offensif
Di Birma Barat dan Utara tank-tank dan semangat baja Jepang tidak
mampu mengatasi rintangan alam dan menerobos pertahanan gabungan
tentara Birma-merdeka, Cina-Chiang Kai-check dan Amerika Serikat. Perang
kilat yang dimulai dengan tanggal 8 Desember 1941 terhenti dan berubah
menjadi ”perang konvensional”, yang menggerogoti peralatan perang dan
melumpuhkan daya tempur tentara Jepang di Birma.
Sumatera dijadikan benteng pertahanan dan pangkalan oleh Jepang
untuk mengawasi lalulintas kapal-kapal Sekutu di sebelah Barat Samudera
Indonesia. Disamping itu Sumatera berperanan pula sebagai ”supplier”
bahan-bahan makanan dan tenaga manusia bagi medan-medan
pertempuran di Birma dan Malaya. Dalam arti inilah letak arti militer-strategis
utama Sumatera bagi Perang Asia Timur-raya.
Militer Sumatera tunduk dibawah dan disatukan dengan komandan
Malaya, yang berpusat di ”Sho-nan-to”, Singapura. Bukittinggi dijadikan
pusat Pemerintahan Militer Sumatera, ”Sumatora Gunsei Kanbu”, dengan
”Gun-sei Tjo-kan”, Gubernur-militer sebagai pemegang pimpinan.
Pembagian administratif Sumatera tetap menurut pola pembagian dizaman
Hindia Belanda, hanya nama-nama keresidenan di-Jepangkan. Keresidenan
Sumatera Barat menjadi ”Sumatora Nishi Kaigan Shu”, dengan ”Shu-tjokan”,
residen-militer segala kepala.
”Onderafdelling” (kabupaten) disebut ”Son”, dipimpin oleh seorang
”Son-tjo”. Kotapraja Padang menjadi ”Padang-si”, dikepalai oleh seorang ”Si-
tjo”.
Pada mulanya pegawai-pegawai sipil Belanda seperti assisten-residen
dan kontroleur, kepala-kepala kantor dan sebagainya, masih dipekerjakan
oleh pimpinan Tentara Pendudukan Jepang di Sumatera Barat. Mereka
kemudian di-internir, dimasukan kedalam kamp-kamp tawanan perang dan
digantikan oleh pejabat-pejabat Indonesia.
Setelah pegawai-pegawai sipil dan perusahaan-perusahaan raksasa
Jepang seperti Mitsubishi, Mitsui dan Sumitomo yang dikirimkan dari Tokyo
sampai di Sumatera Barat, pejabat-pejabat Indonesia itu dicopot dari
kedudukan penting dan bertanggungjawab. Karena pejabat-pejabat Jepang
itu tidak mengetahui seluk beluk administratif pemerintahan dan perusahaan-
perusahaan dagang Belanda, tidak pula paham bahasa Belanda maupun
bahasa Indonesia, pada dasarnya pejabat-pejabat Indonesia yang menjadi
wakil-wakil pegawai Jepang itu tetap menjalankan tugas pimpinan di kantor-
kantor pemerintahan dan perusahaan-perusahaan dagang Belanda. Dengan
tidak disengaja, Jepang telah mendidik dan memberikan kesempatan luas
kepada pejabat-pejabat Indonesia di Minangkabau untuk memperoleh
pengalaman dalam jabatan-jabatan pimpinan. Kesempatan itu tidak pernah
mereka peroleh ”dizaman Belanda” dan kegunaanya kelak besar sekali,
setelah Indonesia memproklamirkan Kemerdekaannya.
Pejabat-pejabat Indonesia itu selalu bekerja dalam suasana penuh
kegelisahan dan kekhawatiran. Mereka tidak pernah diberikan kepercayaan
penuh oleh pihak Jepang atasan mereka. Sedikit kesalahan ataupun
kelalaian dapat diartikan sebagai tindakan sabotase. Akibatnya ialah
berkenalan dengan tangan besi kem-pei-tai. Polisi tentara Jepang, yang
keganasannya telah menjadi pengetahuan umum. Jarang sekali orang
Indonesia yang pernah berkenalan dengan kem-pei-tai, ditangkap karena
dicurigai sebagai mata-mata musuh atau kakitangan Belanda, pulang
kembali kedalam lingkungan keluarga dan kampung mereka. Kalaupun
dibiarkan pulang umumnya sudah menjadi ”bangkai bernyawa”, psychis dan
pisik rusak binasa.
Disamping itu kem-pei-tai menyebarkan mata-mata dan
kakitangannya ditiap-tiap kantor pemerintah dan perusahaan, ditiap-tiap
sekolah dan ditempat-tempat yang banyak orang biasa berkumpul. Karena
itu rasa curiga mencurigai antara sesama pegawai sering meracuni
hubungan orang Indonesia pejabat penting dengan sesama mereka.
Keadaan dan suasana itu sengaja dipupuk oleh Jepang, untuk
menghindarkan adanya persatuan antara pejabat-pejabat dan orang-orang
Indonesia dengan sesama mereka. Taktik ”adu-domba” untuk kepentingan
diri, golongan maupun lingkungan sendiri bukanlah ciptaan Belanda sebagai
kaum penjajah di Indonesia semata-mata.
Pahit hidup sebagai anak jajahan Hindia Belanda tetap lebih pahit lagi
dibawah tekanan materil dan moril tentara Jepang, yang datang dengan
semboyan ”saudara tua” dan ”Jepang-Indonesia sama-sama”. Sama-sama
dalam hal ini berarti, bahwa seorang ”hei-tai” prajurit Jepang yang paling
rendah pangkatnya, masih mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan
kekuasaan yang lebih besar daripada seorang pejabat Indonesia,
bagaimanapun tinggi kedudukannya.
Kalau Belanda sebagai orang yang beragama (Kristen) masih
mendasarkan perbuatan dan tindakan-tindakan mereka atas pertimbangan
peri kemanusiaan sesuai dengan norma-norma agama (mereka), orang
Jepang yang tidak menganut paham Tuhan Yang Maha Esa, mempunyai
ukuran lain bagi penderitaan sesama manusia. Mereka bertuhan kepada
orang hidup, kaisar mereka sendiri sebagai ”putera matahari” yang
diturunkan oleh mahadei Amaterasu (Omi Kami Amaterasu). Kepercayaan
yang bersumber pada materi (orang hidup), tidak dapat memahami dan yakin
pada agama, yang mencari kekuatan batin pada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Karena tidak percaya kepada Allah s.w.t, dan ada ”kehidupan dibalik kubur”,
orang Jepang bersifat lebih ganas menghadapi lawannya daripada orang
beragama.
Karena itu banyak tekanan jiwa dan penderitaan phisik yang dialami
oleh tokoh-tokoh pimpinan dan rakyat Minangkabau selama ”setahun jagung
pendudukan Jepang” itu.
Demikian Tentara Kerajaan Jepang ”membebaskan” rakyat
Minangkabau dari belenggu penjajahan Belanda, begitu pula mereka
menghambur-hamburkan ”uang kertas Jepang”. Uang (kertas dan logam)
Belanda segera hilang dari peredaran, rajin dikumpulkan dan disimpan oleh
tiap-tiap orang yang berfikir panjang bahwa apabila perang berakhir dengan
kemenangan dipihak Sekutu, nilai uang Belanda itu akan tetap tinggi.
Nilai uang Jepang merosot segera uang itu beredar. Harga sandang
dan pangan, yang sebelum Jepang berkuasa di Minangkabau dihitung
dengan ”sen-senan”, segera melonjak menjadi ”rupiah-rupiahan”, artinya naik
berlipat ganda ratusan kali. Yang semula terpukul hebat oleh terus merosot
nilai uang Jepang itu ialah ”kaum pemakan gaji”, yang harus hidup dari bulan
ke bulan dengan jumlah uang tertentu. Mulai dari ”Zaman Jepang”
penderitaan materi, karena gaji tidak pernah cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup sebulan dan penderitaan moril sebagai akibatnya menjadi
teman setia golongan pemakan gaji di Indonesia.
Sebelum menguasai daerah Sumatera Barat, propaganda Jepang
mendegung-degungkan melalui siaran-siaran radionya, barang-barang akan
murah apabila Jepang telah membebaskan Asia Tenggara dari belenggu
jajahan Barat. Kapal-kapal Jepang akan memasuki Pelabuhan Teluk Bayur,
diisi penuh dengan muatan. Berita-berita itu tidak seluruhya bohong. Kapal-
kapal Jepang yang kemudian berlabuh di Teluk Bayur memang padat
muatannya dengan tentara dan alat-alat perang Jepang. Berangkat
meninggalkan Teluk Bayur, kapal-kapal itu penuh pula muatannya, diisi
dengan bahan-bahan makanan dan barang-barang dagangan dari gudang-
gudang perusahaan-perusahaan niaga Belanda di tepi air Muara! Rakyat
Minangkabau tidak banyak yang mengetahui. Jepang menjalankan siasat
dagang ”dumping”. Hasil-hail industri Jepang di Jepang sendiri dijual lebih
mahal daripada didaerah-daerah diluar Jepang. Dengan demikianlah Jepang
berikhtiar merampas pasaran di Asia dan Asia Tanggara. Kerugian yang
diderita dari perdagangan luar negeri ditutup dengan keuntungan yang
diperoleh didalam negeri. Rakyat Jepang sendiripun mengeluh dalam hati
mereka dan hidup menderita pula.
Harta rampasan perang yang mula-mula diangkut oleh Jepang dari
Minangkabau, kecuali beras dan hasil-hasil hutan, ialah isi gudang
perusahaan-perusahaan dagang Belanda di Muara. Padang kosong barang-
barang dagangan, tepi air sepi. Teluk Bayur seperti dialahi garuda.
Berbarengan dengan terus merosotnya nilai uang Jepang dan sangat sulit
diperoleh barang-barang kebutuhan sehari-hari, harganya membubung
tinggi. Perdagangan lumpuh, saudagar-saudagar lama dan bonafide
kehilangan mata pencaharian. Perdagangan berantai dengan tukang-tukang
catut sebagai perantara, berkembang biak.
Pengangkutan didarat tinggal kereta api saja lagi, yang tiap hari penuh
sesak dengan manusia dan berbagai jenis barang dagangan seperti beras,
dan bahan-bahan pangan lainnya. Mobil dan bis banyak yang telah ”rekwirir”,
diminta dengan surat perintah oleh penguasa-penguasa Belanda, ketika
perang Pasifik mulai pecah. Kemdaraan yang tinggal ialah yang rusak-rusak
dan sudah tua. Disamping itu minyak bensin sulit pula diperoleh. Akibatnya
perdagangan antar daerah lumpuh dan terhenti sama sekali. Hasil-hasil
hutan tidak ada lagi yang membeli. Garam, sabun, bahan-bahan sandang
tidak terbeli lagi oleh rakyat. Mereka berkudisan, dihinggapi oleh berbagai
macam jenis penyakit kulit. Rakyat biasa menutupi tubuh mereka dengan
kulit kayu, lazim disebut ”kain tarok”. Orang mati dikafani dengan tikar. Tikar
pula dijadikan sarung bantal dan alas kasur tempat tidur.
Disamping saudagar, kaum tani sebagai rakyat kecil terpukul hebat
pula oleh ekonomi-perang Jepang di Minangkabau. Hidup ”dizaman
Belanda” sudah pada batas-batas yang jauh daripada layak, ”dizaman
Jepang” penderitaan mereka lebih hebat lagi. Padi, hasil jerih payah mereka,
disita untuk kepentingan ”Dai Toa Senso”. Petani penanam padi, sama
halnya dengan pegawai-pegawai pemakan gaji, tidak mampu membeli beras,
mengisi perut mereka dengan jagung, ubi kayu dan ubi jalar, sagu enau dan
sagu rumbia dan berbagai jenis keladi. Sebelum perang semuanya
digunakan sebagai makanan tambahan atau untuk kue-kue, tetapi dizaman
Jepang dijadikan makanan pokok!
Didepan mata rakyat yang hidup kelaparan dan serba kurang itu,
tentara Jepang menghambur-hamburkan beras dan nasi. Rasa jengkel dan
dendam meluas dan merata dikalangan penduduk Minangkabau.
Disamping itu tenaga rakyat dikerahkan pula untuk menjadi ”tentara
pembangunan sukarela”, romusa, dipaksa membuat pertahanan-pertahanan
militer, lapangan-lapangan udara, jalan ”kereta-api maut” dari Muara ke
Logas melalui rawa-rawa penuh dengan nyamuk malaria. Ada bahkan yang
dikirim ke Malaya dan Birma untuk membangun jalan kereta api Malaya-
Birma. Mereka ”rusak binasa”, tanpa diberikan makanan, tempat penginapan
dan pengobatan yang layak. Yang sempat pulang, tidak tewas dalam
pekerjaan perbudakan, tinggal ”daki pembalut tulang”, bangkai hidup sarang
penyakit.
Belum pernah rakyat Minangkabau mengalami penderitaan dan
penghinaan lahir maupun batin sehebat seperti dizaman ”Lingkungan
Kemakmuran Bersama Asia Timur-raya”
Pegawai-pegawai negeri, anak-anak sekolah, kaum saudagar dan
penduduk kampung-kampung pada waktu tertentu dikerahkan untuk
melakukan ”Kin-ro Hoshi”, kerja bakti mengumpulkan batu-batu kali, pasir
dan tembok oleh Jepang, diberi kawat berduri dan besi, diambil dari
pekarangan-pekarangan rumah penduduk, guna mencegah kemungkinan
pendaratan tentara sekutu.
Dibawah pimpinan guru-gurunya masing-masing, anak-anak sekolah
diwajibkan pula menanam pohon jarak, yang buahnya digunakan sebagai
sumber minyak buat pesawat-pesawat udara. Dan dimana Dai Nippon
mengorbankan putera-puteranya bagi kebahagian rakyat Asia dalam Perang
Asia Timur-raya, pada tempatnyalah pula, kalau ibu-ibu Minangkabau
menyerahkan perhiasan emas, harta pusaka peninggalan nenek moyang
mereka.!
Sejak ”membebaskan” rakyat Minangkabau dari penindasan
kolonialisme Barat, Pemerintahan Militer Jepang berusaha keras men-
Jepang-kan orang Minangkabau. Harus dirombak cara mereka berpikir,
harus dikikis habis segala pengaruh kebudayaan Barat! Sebagai ”antarashii
Nippon-djin”, orang Jepang-Baru (yang dalam lafaz Minangkabau segera
berubah menjadi ”terasi Nippon anjing”), mereka harus pandai berbahasa
Jepang. Kursus-kursus bahasa Jepang dibuka dimana-mana, harus
dikunjungi oleh pegawai-pegawai negeri dan guru-guru terutama. Mereka
diharuskan mengajarkan bahasa ”saudara tua” itu kepada pegawai-pegawai
lainnya dikantir dan kepada murid-murid disekolah.
Penanggalan dirubah dari tahun Masehi menjadi tahun Sumera, yang
selisihnya 660 tahun (1942 M = 2602 S). Jam disesuaikan dengan Tokyo,
yang berselisih 2,5 jam dengan waktu setempat.
Pada waktu-waktu tertentu pegawai-pegawai, ulama dan pemuka-
pemuka rakyat lainnya dikumpulkan ditanah lapang atau didepan tempat
kediaman Shu Tjo-kan. Mereka harus mendengarkan pidato-pidato
pembesar Jepang (melalui penterjemah), setelah melakukan ”sei-kei-rei”,
rukuk menghadap istana kaisar di Tokyo dan ”mukto”, memperingati arwah-
arwah pahlawan ”Dai Toa Senso”.
Yang paling melukai hati orang Minangkabau, kecuali merubah ”kiblat”
arah ke Tokyo (yang berarti membelakangi Mekah), ialah harus ”kei-rei”,
memberi hormat dengan berdiri bersikap, tiap-tiap kali melalui pegawal
Jepang atau berpapasan dengan oto pembesar Jepang. Kalau naik sepeda,
harus turun dan memberi hormat menurut cara Jepang sambil memegang
kendaraan itu.
Radio disegel. Yang boleh didengarkan hanya siaran pemancar radio
setempat, yang keadaannya dengan ”Padang Nippo” koran jawatan
propaganda Jepang di Padang, hanya menyiarkan kemenangan-
kemenangan Jepang, memeberikab penerangan tentang ”Nippon Sei-zin”,
semangat Jepang, pidato-pidato pembesar-pembesar setempat dan
sebagainya.
Untuk beberapa lama setelah Tentara Kerajaan Jepang masuk ke
Minangkabau, bendera Merah-Putih berkibar disamping ”Hinomaru”, bendera
Jepang. Lagu kebangsaan Indonesia-Raya dinyayikan setelah ”Kimigayo”.
Segera keluar perintah larangan mengibarkan sang Merah-Putih dan
menyayikan lagu Indonesia Raya. Jepang mulai memperlihatkan giginya!
Yang pernah bekerja sebagai mata-mata Jepang dizaman Hindia Belanda,
ditangkap dan tidak pernah terdengar lagi berita tentang mereka.
Menggunakan bahasa Belanda dilarang. Menyimpan buku-buku dan
majalah berbahasa Belanda dapat dituduh mata-mata Belanda dan
berkenalan dengan tangan besi ”kem-pei-tai”
Sempat dunia ketika itu bagi orang Minangkabau. Terbatas sangat
ruang gerak dan berat sekali tekanan jiwa. Ngobrol berkelakar diwarung-
warung kopi, kesenangan orang Minangkabau sepanjang masa, banyak
onak dan durinya, besar bahaya dan resikonya. Gedung-gedung bioskop
ditutup. Kalaupun ada film diputar, yang diperlihatkan hanya kemengan-
kemenangan Jepang, didahului oleh suara yang mengucapkan: Syukur
Alhamdulillah, Asia telah pulang ke Asia”, disusul oleh lagu ”Kimigayo”, yang
harus didengarkan oleh seluruh pengunjung dengan berdiri tertib!
Tangan kem-pei-tai panjang, kupingnya banyak. Sungguhpun bahaya
kem-pei-tai ada dimana-mana dan telah menjadi pengetahuan umum
keganasan-keganasan yang dilakukannya terhadap tiap-tiap orang yang
jatuh ketangannya, gerakan dibawah tanah, bagaimanapun kecilnya, ada di
Minangkabau. Mereka melakukan kampanye ”bisik”. Mendengarkan tetap
siaran-siaran radio luar negeri dan berusaha terus menegakkan semangat
juang Minangkabau. Si ”Amir” menjadi kode buat Amerika Serikat dan
inggris, si ”musa” adalah Mussolini, si ”husin” buat Hitler, si ”Ali” bagi Stalin
dan sebagainya. Dengan demikian rakyat Minangkabau mengetahui tentang
”kemenangan si Amir dimedan judi Timur”. Si Husin telah berangkat dari
Gurun (nama sebuah daerah di Batusangkar, maksudnya medan perang
Afrika Utara) dan sebagainya.
Disamping segi-segi negatif ”zaman Jepang”, ada pula segi positifnya.
Bahasa Indonesia mendapat kesempatan luas untuk berkembang menjadi
bahasa resmi dikantor-kantor Pemerintah, menggantikan bahasa Belanda
sebagai bahasa umum dalam rapat-rapat dan menjadi bahasa pergaulan dan
bahasa umum dalam rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan. Dalam masa
revolusi fisik besar sekali nilainya sebagai bahasa perjuangan yang
mempersatukan suku-suku bangsa Indonesia.
Untuk pertama kali dalam sejarah pemuda-pemuda Minangkabau
mendapat latihan militer, belajar disiplin dan menggunakan senjata modern.
Mereka memegang peranan yang menentukan bagi suksesnya Revolusi
Fisik di Minangkabau.
Semangat baru menjiwai generasi muda Minangkabau, semangat
juang dan balas dendam, dipupuk dan dibina oleh penderitaan dan
penghinaan lahir batin, yang dilimpahkan oleh pihak Tentara Pendudukan
Jepang pada orang tua, ninik mamak, lorong kampung, adat dan agama.
Angkatan muda itu bebas dan ikatan-ikatan pribadi dan pengalaman dengan
orang Belanda, bekas penguasa Hindia Belanda.
Berbeda dengan generasi sebelum mereka, yang banyak sedikitnya
masih dihinggapi oleh rasa sentimental dan haru melihat bekas-bekas
pejabat Belanda berdiri dibalik kawat lapis berduri, kurus kering, kulit merah
hangus dibakar terik matahari, dengan celana pendek kumal compang
camping. Atau melihat mereka digiring dibawah ancaman sangkur panjang
berkilat, disuruh membersihkan jalan atau membabat rumput ditanah lapang.
Angkatan muda Minangkabau luput dari pengaruh perasaan itu.
karenanya dapat bersikap lebih objektif dan zakelijk
Disamping itu, didorong oleh pengalaman dan penderitaan yang
sama, rasa kecewa dan cemas selalu, lembah pemisah yang ditimbulkan
oleh Belanda antara golongan agama, adat dan cerdik pandai berpendidikan
Barat sengan sesama mereka, makin tertimbun lenyap. Mereka berjabatan
tangan dan bekerjasama dalam usaha menolak bencana, melindungi rakyat
banyak, adat dan agama dari kehancuran keganasan kem-pei-tai dan
propaganda Jepang.
Cinta tanah air dan bangsa yang tidak didorong oleh rasa sentimentil
semata-mata, kian berkembang dan meluas akibat penindasan lahir batin
Jepang. Kenyataan itu akan besar sekali artinya waktu menghadapi agresi
Belanda dizaman ”Revolusi Fisik”.
4. Menjelang ”Hiroshima”
Kesimpulan
1. Proklamasi Kemerdekaan
4. Bentrokan-bentrokan Sekutu/NICA
5. Konsolidasi kedalam
7. Peristiwa 3 Maret
Dalam suasana yang serba gawat dan eksplosif itu dan ketika
Pemerintah bersama-sama dengan Angkatan Perang Republik Indonesia,
mengerahkan segala tenaga dan usaha terhadap Belanda di Padang,
peristiwa yang terjadi dengan Volksfront pada pertengahan tahun 1946,
terjadi lagi pada permulaan tahun 1947. Ada golongan yang merasa tidak
puas dengan jalan perjuangan kemerdekaan di Sumatera Barat, karena
berlangsung lamban sekali menurut penilaian mereka. Rasa tidak puas itu
mereka salurkan dalam bentuk organisasi perjuangan, yang dinamakan
”Pemberantasan Anti Kemerdekaan Indonesia” disingkat PAKI, yang
melancarkan aksi-aksi rahasia guna mengdiskreditakan Pemerintah
Sumatera Barat dan pimpinan militer dimata rakyat. Agitasi-agitasi
dilemparkan kedalam masyarakat, bahwa pimpinan Pemerintahan dan Militer
dengan sengaja memperlambat proses revolusi guna menarik keuntungan
pribadi sebesar mungkin dari situasi politik yang mereka ciptakan itu. Tidak
segan-segan pemimpin-pemimpin PAKI itu melontarkan ucapan ”anjing
NICA” kepada pimpinan sipil dan militer yang jujur, tekun dan bekerja keras
melaksanakan kewajiban mereka dalam suasana serba kurang dan gawat
itu. Uang yang diterbitkan oleh Pemerintah Sumatera ”ORIPS” mengalami
inflasi yang hebat, segera sesuadah diedarkan dan sangat mempersulit
kehidupan rakyat, istimewa kaum pengungsi yang besar jumlahnya dan telah
kehilangan segala sesuatunya. Keadaan ekonomi yang memburuk itu, juga
sebagai akibat blokade yang dilakukan oleh Belanda dilautan, dijadikan alat
agitasi yang ampuh sekali oleh PAKI, yang berhasil merangkul sebagian dari
anggota laskar ”Hizbullah” dan ”Sabilillah” ke pihak mereka. Simpatisan-
simpatisan PAKI yang bekerja pada Komandemen Sumatera di Bukittinggi
menggunakan surat-surat yang telah dicap dengan stempel Komandemen,
guna dipakai sebagai surat perintah untk menangkap Residen Sumatera
Barat dan Komandan Divisi III Banteng serta tokoh-tokoh pimpinan sipil dan
militer lainnya.
Sebagian dari tokoh-tokoh pimpinan Sumatera Barat kebetulan
sedang menghadiri rapat pleno KNIP di Malang dan karena itu pimpinan
PAKI menganggap iklim politik menguntungkan mereka untuk melakukan
”kup” yang telah mereka rencanakan. Pada tanggal 3 Maret 1947 ”kup” itu
mulai dilancarkan dengan menangkap beberapa orang tokoh terkemuka
yang ada di Bukittinggi, dinatranya A. Gaffar Djambek dan Anwar St Saidi,
bekas direktur Bank Nasional dikota itu. Residen Sumatera Barat dan
Komandan Divisi III Banteng tidak berhasil mereka sergap, berkat
kewaspadaan dan kegigihan barisan pengawal ditempat kediaman mereka
maing-masing. Kup itu gagal dan Pemerintah Sumatera Barat, didampingi
oleh Komandan Divisi III Banteng, bertindak segera dan tegas. Pimpinan
”Peristiwa 3 Maret” itu dapat ditangkap semuanya, diantaranya Dt Rajo
Mangkuto dan Saalah Jusuf St Mangkuto, bekas bupati Solok dari golongan
ulama. Pemerintah segera menguasai keadaan dan kepada rakyat Sumatera
Barat diserukan, agar tetap waspada menghadapi musuh-musuh Republik,
dilarang melakukan tindakan-tindakan sendiri dan agar tetap membantu
Pemerintah.
Peristiwa 3 Maret itu membawa ekor yang panjang. Pada tanggal 23
Maret datang utusan istimewa dari Yogyakarta dibawah pimpinan menteri
Penerangan M. Natsir, yang memerintahkkan pengusutan peristiwa itu
secara seksama.
Laskar-laskar rakyat dibubarkan, termasuk ”Hizbullah” dan ”Sabilillah”
dan harus mengintegrasikan diri dibawah pimpinan TRI. Perintah itu hampir
mengakibatkan pertempuran bersenjata antara kesatuan-kesatuan laskar
rakyat itu dengan TRI yang ada di front Padang.
Tindakan-tindakan cepat dan tegas yang dilakukan Pemerintah di
Sumatera Brat sebagai ”response” atas ”Challenge” yang dilontarkan oleh
PAKI, memperkokoh wibawa Pemerintah, memperketat organisasi
ketentaraan di Sumatera Barat dan memperbesar kepercayaan atas diri
sendiri untuk dapat mengatasi segala cobaan, bagaimanapun coraknya dan
darimanapun datangnya. Yang disebut belakangan ini penting sekali, karena
bahaya yang mengancam sudah ada diambang pintu. Belanda telah
merobek-robek perjanjian Linggarjati dan telah siap sedia melancarkan
serangan besar-besaran untuk melenyapkan Republik Indonesia. Serangan
itu mereka sebut ”Aksi Polisionil”, untuk menimbulkan kesan diluar negeri,
bahwa tindakan militer yang mereka lancarkan itu adalah soal ”intern”
semata-mata.
8. Perang Kemerdekaan I
15 ”Negara Minangkabau”
Kesimpulan