Anda di halaman 1dari 8

KARYA SASTRA MELAYU YANG DIPENGARUHI CERITA JAWA (CERITA PANJI)

Guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Sastra Lama Dosen pengampu: Sumartini, S.S. M.A

Disusun Oleh: Uci Rachmawati Eko Wahyudi Adi Yudo Hantoro 2101408092 2101408111 2101408121

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2012

A. Cerita Panji
Tokoh Panji Asmarabangun dan putri Galuh Candrakirana dalam sastra atau sejarah Indonesia periode Kediri (1080-1222) adalah tokoh utama dalam ceritera Panji. Kedua pasangan ini biasanya diidentikkan dengan raja Kameswara I dan permaisurinya Galuh Candrakirana yang dianggap sebagai reingkarnasi dewa cinta kasih : Kama-Ratih seperti dikisahkan dalam kakawin Smaradahana. Cerita panji dalam bentuk sastra semula berkembang dari lingkungan kebudayaan Jawa, khususnya berinduk dari kisah cinta tokoh kerajaan Janggala : Raden Panji Inukartapati atau Panji Asmarabangun dari Kerajaan Mamenang atau Daha atau Kediri. Dalam perkembangannya ceritera panji menyebar luas tidak hanya di Nusantara, bahkan sampai ke Malaysia, Thailand dan Kamboja. Cerita panji yang berbentuk naskah kemudian mengalami penggubahan dalam bahasa yang dikuasai oleh masyarakat setempat, bahkan ada juga yang tersebar melalui tradisi lisan. Cerita panji yang digubah itu kemudian melahirkan genre baru sastra Indonesia (Melayu) yang disebut sastra Panji. Cerita panji yang digubah dalam bentuk karya sastra atau sastra Panji. Telah banyak penelitian tentang sastra Panji dengan pendekatan yang sesuai dengan bidang keahliannya masing masing. Hasil penelitian itu dimuat dalam berbagai publikasi sebagai karya ilmiah, baik berupa buku atau artikel. Sarjana yang mengawali pembahasan tentang cerita Panji adalah Cohen Stuart. Sastra panji yang ditelaahnya berjudul Jayalengkara termuat dalam Bijdragen tot de Taal-, Land, en Volkenkund (BKI) tahun 1854. Teks yang dibicarakan Cohen Stuart kemudian diterbitkan oleh Roorda tahun 1869, disertai dengan dua cerita wayangpurwa. De Wayang Verhalen van Palasara, Pandoe en Raden Panji , Penerbitan Martinus Nijhoff, Den Haag. Rintisan kajian Cohen Stuart ternyata membangkitkan minat pakar lainnya sehingga penelitian terhadap sastra Panji semakin marak dan menghasilkan karya sastra ilmiah yang sangat menggembirakan. Pada tahun 1928 C.C. Berg melakukan penelitian tentang waktu tejadinya cerita Panji dan hasilnya ditulis dalam buku Inleiding tot de Stude van hed oud Javanese. Berg berpendapat bahwa tahun penyebaran cerita Panji di Nusantara terjadi pada zaman Pamalayu 1275 M dan berlanjut sekitar tahun 1400 M. Ini berarti masa penciptaan sastra Panji tentulah lebih tua lagi. Menurut Berg, cerita Panji pada awalnya ditulis dalam bentuk bahasa Jawa kuna, kemudian diterjemahkan atau disadur ke dalam bahasa Melayu. Dalam karya lainnya Berg berpendapat bahwa cerita Panji yang bertema kepahlawanan berasal dari Jawa dan sudah populer di lingkungan keraton Raja Raja Jawa Timur. Sastra Panji ini kemudian terdesak oleh kesusastraan Jawa kuno yang bersumber dari kesusastraan sansekrta dari India, namun sastra Panji terus berkembang secara bebas di daerah Bali. Teori Berg itu mendapat tanggapan dari R.Ng. Poerbatjaraka yang menyatakan bahwa cerita Panji mengalami penyebaran pada masa Pamalayu. Keberatannya adalah bahwa pada Pamalayu ingatan orang tentang Singasari masih segar, dan bila pada waktu itu orang menulis tentang Singasari yang diceritakan dengan Kediri atau Daha, meskipun karyanya dalam bentuk sastra roman tentu akan

dikecam para pembacanya. Menurut Poerbatjaraka cerita Panji ditulis ketika ingatan orang tentang Singasari sudah agak memudar dan samar-samar, sehingga apabila dalam cerita Panji kerajaan Singasari disebutkan sezaman dengan dengan Kediri atau Daha, maka hal itu bisa dimungkinkan, karena peristiwanya sudah lewat beberapa abad. Berdasarkan pertimbangan itu Poerbatjaraka berpendapat bahwa penulisan cerita Panji paling awal adalah pada zaman kejayaan kerajaan Majapahit dan terus berlanjut sampai pada masa sesudahnya. Cerita Panji kemudian mengalami penyebaran ke pulau-pulau lain di Nusantara. Jadi pendapat Berg bahwa cerita Panji ditulis sejak zaman Jawa Kuno, menurut Poerbatjaraka tidak bisa diterima. Pada zaman Majapahit kesusastraan Jawa Kuno mengalami kemunduran karena masyarakatnya sudah merasa bosan dengan karya sastra Jawa kuno yang meniru corak kesastraan India kakawin (ka-kawya-an). Bahasa Sansekrta tidak begitu dipahami oleh masyarakat dan sebagai penyaluran seni sastranya berkembanglah karya sastra baru dalam bahasa Jawa yang kemudian dikenal dengan bahasa Jawa pertengahan, bentuk metrumnya pun diperbarui disesuaikan dengan bahasa. Karya sastranya dengan kidung. Sastra kidung ini merupakan peralihan kebudayaan Jawa asli (sebelum kena pengaruh Hindu), tetapi pudar selama beberapa abad, terdesak oleh sasttra kakawin dari India. Pada zaman Majapahit sastra merum kidung itu muncul lagi. Jadi menurut Poerbatjaraka, cerita Panji sebagai karya sastra ditulis pada zaman Majapahit dengan menggunakan bahasa Jawa tengahan dalam bentuk kidung atau macapat, bukan dalam bahasa Jawa kuna dari periode Singasari. Sampai sekarangpun tidak pernah dijumpai cerita Panji dalam bentuk bahasa Jawa kuna. Faktor lain yang memperkuat kesimpulan Poerbatjaraka bahwa cerita Panji berkembang pada zaman Majapahit adalah, bahwa namanama tokoh dalam ceritera Panji banyak yang memakai julukan lembu, mahisa, kebo, jaran, undakan dan lainlain. Hal ini sesuai dengan nama-nama tokoh yang terdapat dalam karya sastra zaman Majapahit lainnya, antara lain: Nagarakrtagama dan Pararaton. Selanjutnya Poerbatjaraka juga mengutarakan penilaiannya terhadap cerita Panji sebagai suatu revolusi kesusastraan yang cepat sekali terkenal dan menyebar luas, telah memudarkan kesusastraan kakawin Jawa Kuna. Menurut Poerbatjaraka, latar belakang cerita Panji adalah sejarah kerajaan Kediri. Penelitian Poerbatjaraka didasarkan pada delapan ceritera Panji, baik berasal dari Jawa maupun dari luar Jawa. Ceritera-ceritera tersebut, setelah diperbandingkan, selain memiliki banyak persamaan, tetapi juga ada perbedaannya. Berdasarkan strukturnya, cerita Panji selalu menampilkan empat orang raja bersaudara, saudara tertua menjadi seorang pendeta, bernama Kili Suci. Pada cerita Panji dari Jawa empat kerajaan yang disebutkan adalah Jenggala atau Kuripan, Daha atau Kedhiri atau Memenang, Gagelang atau Urawan, dan Singasari. Adapun isi ceritera Panji adalah kisah tentang petualangan Inu Kertapatisebagai tokoh utama dengan Candrakirana. Sebelum diperjodohkan dengan Candrakirana, Panji telah menjalin cinta dengan Angreni, putri patih Kudanawarsa dari kerajaan Jenggala. Agreni kemudian mati bunuh diri sebelum dibunuh oleh

utusan dari Raja karena dianggap menjadi perintang bagi perencanaan perkawinan antara Inu Kartapati dan Candrakirana. Panji yang dirundung kesedihan karena kehilangan kekasihnya itu lalu pergi berkelana dalam petualangan. Selama bertualang Panji melakukan penyamaran diri, antara lain dengan nama Klana Jayengsari. Selama penyamaran itu ia sering terlibat dengan peperangan dengan kerajaan lain, tetapi ia selalu unggul. Selama Panji dalam pengembaraan, Candrakirana merasa sangat kehilangan lalu ia pergi meninggalkan kerajaan dengan menyamar sebagai seorang pria dan terus berupaya agar dapat bertemu dengan Panji Inu Kartapati. Petualangan Candrakirana ini menjadi daya Tarik tersendiri bagi para pembaca cerita Panji. Akhirnya Candrakirana dan Inu Kartapati dapat bertemu dan keduanya menjalin perkawinan. Di luar Jawa Cerita Panji juga melahirkan karya sastra baru, antara lain dalam bahasa Bali, Sunda, Melayu, dengan penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan corak kebudayaan setempat. Dalam dunia pewayangan, cerita Panji juga menjadi acuan untuk membangun lakon wayang sesuai dengan citarasa para penggemar wayang. Di Malaysia terdapat wayang Kelantan yang bertemakan cerita Panji. Demikian pula wayang bertemakan ceritera Panji juga terdapat di Malaka, Palembang, Banjarmasin Bali, Lombok bahkan sampai ke Kamboja dan Thailand. Cerita Panji yang asalnya dari Jawa itu menjadi populer dan digemari masyarakat di seluruh wilayah Nusantara dan di negeri-negeri Asia Tenggara lainnya. Penelitian Panji yang dilakukan oleh Robson menghasilkan kesimpulan menarik. Kajiannya berdasarkan karya sastra Jawa pertengahan berjudul Wang bang Wideha dan karya sastra Melayu yang berjudul Hikayat Andaken Panurat. Menurut Robson, yang disebut cerita Panji adalah cerita yang memanfaatkan tema Panji. Setiap ceritera meskipun memliki tema bersama, namun merupakan cerita yang berdiri sendiri sehingga tidak tepat jika digunakan istilah siklus untuk cerita Panji. Istilah Jawa pertengahan menurut Robson, mengandung pengertian periode kesastraan Jawa diantara Jawa kuna dan Jawa baru. Sastra Jawa pertengahan merupakan kalanjutan dari sastra Jawa kuna berbentuk kidung atau macapat. Sastra ini, ditulis di Bali setelah kerajaan Majapahit runtuh, akan tetapi kebudayaannya berlanjut di Bali, terutama di daerah Gelgel. Sastra kidung yang lahir pada zaman itu, antara lain adalah Wangbang Wideha yang digubah sekitar tahun 1600 M. Rassers juga membahas ceritera Panji dengan pendekatan antropologis. Menurut Rassers, cerita Panji berasal dari mitos asal-usul suku Jawa, berkaitan dengan upacara inisiasi sebelum pasangan mudamudi menginjak jenjang perkawinan. Ceritera Panji dan ceritera Jawa lainnya disusun berdasarkan pola cerita tertentu yang sangat tua usianya. Sebagai perbandingan Mahabharata dan Ramayana dari kebudayaan India setelah sampai dan menyebar di Jawa juga mengalami adaptasi disesuaikan dengan pola cerita asli Jawa. Itulah sebabnya cerita wayang Jawa sering kelihatan menyimpang dari sumber aslinya di India karena kuatnya pengaruh pola ceritera asli Jawa itu. Pengkajian ceritera Jawa dengan pendekatan filologis juga pernah dilakukan oleh J.J. Ras pada tahun 1973, dengan tujuan untuk memahami hakekat cerita panji yang sebenarnya. Hasil kajiannya menyimpulkan bahwa cerita Panji digubah dalam kaitannya dengan peristiwa perkawinan kerajaan di zaman pra-Islam. Identifikasi

perkawinan Panji-Galuh Candrakirana dengan dewa Wisnudewi Sri menunjukkan unsur kiasan yang khas untuk menggambarkan peristiwa perkawinan kerajaan. Hal ini terbukti dari besarnya jumlah naskah Panji yang ada sampai sekarang sebagai pengungkapan fungsi sosial dan konvensional tanpa memperhatikan latar belakang mitos dan ritualnya. Tokohtokoh lakon wayang dengan ceritera Panji sering diidentifikasikan dengan tokoh Wisnu dan, analogi dengan Ramayana dan Mahabarata di India sebagai sumber ceritera wayang. Pada ceritera Panji yang tidak bersumber pada karya sastra India, jika tokoh utamanya kemudian diidentifikasi dengan Wisnu dan Sri, maka hal itu tentulah melalui cerita wayang yang telah lama dikenal di kalangan masyarakat sejak zaman Jawa kuna. Selanjutnya, Ras berkesimpulan bahwa di dalam ceritera Panji terkandung mitos perkawinan para penguasa Jawa purba sebagai awal terbentuknya (cikal-bakal) masyarakat Jawa.

B. Karya Sastra Melayu Yang Dipengaruhi Oleh Cerita Jawa (Panji)


Sastra lama yang berbentuk syair ialah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Syair Ken Tambunan Lelakon Mesa Kumitar Urdakan Agung Udaya Carita Wayang Kinudang Surat Gambuh Syair Panji Sumirang

Adapun prosanya antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. Hikayat Panji Kuda Semirang Cekel Weneng Pati Jaran Kinanti Asmaradana Hikayat Nayakusuma Di bali terkenal dengan Ceritera Malat

I. Hikayat Panji Semirang Tentang isinya dapat kiranya dibaca pada buku-buku sebagai tercantum dalam daftar literatur. Sedangkan garis besar ceritanya adalah sebagai berikut: 1. Raja Kauripan berputera Inu Kertapati dan raja Daha berputeri Candra Kirana. 2. Ibu Candra Kirana (permaisuri raja) mati diracun oleh paduka Liku (istri ke-III). 3. Raja Kauripan meminang Candra Kirana untuk Iu Kertapati. Beliau membawa 2 buah boneka, sebuah perak dalam bungkus sutera, dan boneka emas dalam bungkus kain. Puteri Paduka Liku yaitu Galo Ajeng memilih yang berbungkus

sutera. Setelah melihat Candra Kirana yang memperoleh boneka emas, maka ia oleh Galo Ajeng diajak bertukar boneka. Candra Kirana menolak ajakan itu. Ayahanda raja yang membela Galo Ajeng menjadi marah kepadanya, maka diusirlah Candra Kirana. 4. Candra Kirana meninggalkan istana dengan mengambil rupa sebagai laki-laki. Dan bergelar Panji Semirang. Ia membuat benteng dekat Daha dan merampas harta benda yang ada. Juga kiriman untuk Inu Kertapati, sehingga terjadilah peperangan antara keduanya. Tetapi Inu Kertapati akhirnya jatuh cinta kepada kesatria itu. 5. Inu kembali ke Daha sebagai ksatria yang tak dikenal. Ia akan dinikahkan dengan Galo Ajeng, tetapi ia merasa tidak dengan sepenuh hati. 6. Terjadilah kemudian pelbagai macam peristiwa perang dan akhirnya Candra Kirana dengan Inu Kertapati dapat bertemu sehingga mereka berdua kembali ke Kauripan. Di sinilah perkawinan mereka diresmikan. Mengenai umur/usia ceritera tersebut Prof. R M. Ng. Poerbatjaroko dalam Panji Verhalen Onderling Vergeleken menyatakan bahwa sesudah akhir zaman majapahit orang sudah bosan dengan sastra Hindu, sehingga dicarinya sastra lain: Panji. Meskipun demikian orang Jawa tak mau meninggalkan sama sekali ceritera-ceritera Hindu, maka karenanya dikatakan bahwa panji itu penjelmaan Arjuna, karena kelakuan dan rupanya sama. Bahasa yang dipakai bukanlah bahasa Kawi melainkan bahasa Jawa Tengahan. Mengenai nama-nama tokoh ceritera Panji umumnya mengalami perubahan. Ingat saja akan ceritera-ceritera Panji yang tersebar ke Kamboja. Perubahan nama pada tokoh-tokoh itu terjadi karena ceritera itu ditulis dengan huruf Arab yang tersiar keluar Jawa, seperti misalnya: bisa dibaca Ainau / Inau bisa dibaca Kertapati / Karatpati Sarjana lain yang juga membicarakan dengan luas ceritera Panji ini adalah Prof. Dr. Rassers (anthropolog). Dalam desertasinya yang berjudul De Panji Roman. Adapun tujuan penyelidikan desertasi itu adalah mencoba mencari sistim yang merupakan backgrond dari dongeng-dongeng Panji yang terkenal pada berbagai suku bangsa di Indonesia dan juga di luar Indonesia seperti Kamboja dan Thailand. Pada pandangan pertama akan berbagai macam dongeng Panji itu memang tampak pada mata si penyelidik persamaan-persamaan dalam thema-thema pokok dan garis besar susunan dongeng itu, seolah-olah semuanya telah dipengaruhi oleh suatu sistim cara berpikir yang sama. Adapun thema pokok ceritera tersebut ialah: Percintaan Inu Kertapati (putera raja Kauripan) dengan Candra Kirana (puteri raja Daha). Memakai pelbagai nama dalam pelbagai cerita.

Inti ceritera yang menjadi ciri yang menonjol ialah: a. Rasa putus asa Inu Kertapati karena terpisah dari kekasihnya. b. Petualangan yang lama dan sia-sia untuk mendapatkannya, tetapi akhirnya mereka dapat bertemu. c. Saling mencintai, tetapi saling menghindari seolah-olah saling membenci. Juga terkesan Panji sebagai pahlawan perebut cinta (Amalat Kung). Ciri-ciri syair-syairnya ialah: Dalam syair-syair panji ada perbedaan dan persamaan yang masih menyarankan pengulangan thema yang sama.

Ii. Hikayat Cekel Waneng Pati Ceritera Cekel Waneng Pati ini agak lain dengan ceritera Panji Semirang dan dapat dikatakan bahwa ceritera Panji Semirang lebih sederhana dari pada Cekel Waneng Pati, terutama disebabkan karena Cekel Waneng Pati ini ceriteranya dimulai dengan mythe atau cerita tentang dewa-dewa yaitu sebagai berikut: Batara Nara Kusuma mempunyai 2 orang putera yaitu Kamajaya dan Nila Kencana (di Jawa terkenal sebagai Dewi Ratih). Kedua saudara itu ditakdirkan cinta-mencintai sehingga kemudian Batara Kala mencarikan modus untuk memisahkan kedua saudara itu yaitu: 1) Keduanya dijadikan bunga teratai yang disajikan pada raja pada raja Kauripan dan Daha. Raja Kauripan berputera Inu Kertapati dan raja Daha beputeri Candra Kirana. 2) Tindakan kedua daripada Batara Kala: Ia melemparkan cincinnya ke dunia, lalu menjadi rusa emas. Candra Kirana menangis-nangis minta ayahanda untuk menangkapkan. Baginda kemudian membuat sayembara. Cekel Waneng Pati-lah yang dapat menangkap rusa itu, namun belum lagi ia diberi Candra Kirana, datanglah modus yang ke: 3) Yaitu: pada waktu itu ada seorang Brahmana yang dating ke Daha dengan memberikan 2 buah teka-teki, dengan tujuan akan meminta Candra Kirana sebagai petaruh, bila raja Daha tak dapat menerkanya. Karena raja tak dapat menerka maka teka-teki Brahmana itu lalu disayembarakan dan Cekel Waneng Pati-lah yang dapat menerkanya, sehingga Candra Kirana diberikan kepadanya. Belum sampai kedua kekasih itu bertemu, Daha diserang saudara Cekel sendiri, yang sedang mencari waneng Pati. Waktu itu Cekel ditugaskan untuk menandingi musuh itu. Tetapi karena sama-sama terkejut bertemu, keduanya jatuh pingsan. Waktu itu Cekel berganti nama Tambak Java. Setelah sama-sama sadar, ternyata Candra Kirana telah dilarikan Batara Kala ke hutan. Candra Kirana di tempat tersebut

sakit dan segera sembuh oleh kedatangan Cekel Waneng Pati. Akhirnya terjadilah perkawinan antara kedua putra raja itu. Mengenai Cekel Waneng Pati itu Van der Tuuk menyatakan sebagai berikut: Ceritera Cekel Waneng Pati merupakan ceritera yang baik komposisinya dalam sastra Melayu, dan besar pengaruhnya terhadap ceritera-ceritera lain. Dalam ceriteta Cekel Waneng Pati dapat dilihat: I. Bekas-bekas pengaruh Mahabbharata, yaitu: a. Pangeran Tamil yang menyerang Jawa dianggap sebagai keturunan Pandu, ini membayangkan kita pada Pandawa. b. Hal Panji kehilangan milik dan pengikutnya dapat dihubungkan dengan Yudistira kehilangan milik dan kerajaan-kerajaannya karena berjudi. c. Cekel pernah disebut Pamade dan ini mengingatkan kita dengan nama Permadi (Arjuna). Pengaruh Ramayana: a. Bila Rama dianggap inkarnasi Wishnu begitu pula Panji. b. Rawana mengirimkan Marica untuk mengambil Sita sebagai kijang emas, maka dalam ceritera Cekel Waneng Pati, Batara Kala melemparkan cincin ke dunia lalu menjadi kijang emas dan Candra Kirana tertarik. c. Dalam ceritera Cekel Waneng Pati, saudara Cekel Waneng Pati bertindak sebagai Jatayu untuk membebaskan Candra Kirana. Ini sejajar dengan Jatayu yang mencoba menolong Sita dari Rawana. d. Anak Panji disebut Kelana Wira Nonoman. Nama ini mengingatkan kita pada nama Hanoman dalam Ramayana.

II.

DAFTAR PUSTAKA Rahayu, Sri. 1972. Kesusastraan Lama Indonesia. Surakarta : Widya Duta Usman, Zuber. 1954. Kesusasteraan Lama Indonesia. Jakarta : Gunung Agung Simorangkir dan Simanjuntak. 1958. Kesusasteraan Indonesia. Jakarta : PT Pembangunan

Anda mungkin juga menyukai