Abstrak
Kelangsungan tradisi bahari orang Buton hingga kini merupakan kekuatan budaya yang penting dikaji, tidak hanya
karena latar historisnya, tetapi juga dapat menjadi sumber nilai kehidupan bagi mereka dalam menata masa
depannya. Tradisi ini telah melampaui berbagai zaman dan generasi, dengan segala tantangannya, telah
mengukuhkan orang Buton sebagai suku bangsa bahari Indonesia, bersama dengan suku bangsa lainnya yakni Bajo,
Bugis-Makassar, Mandar, dan Madura. Artikel ini membahas sistem dan dinamika pelayaran tradisional, jaringan
pelayaran, perniagaan antarpulau yang dilakukan pelayar Buton yang masih bertahan hingga sekarang. Tulisan ini
menarasikan kebudayaan pelayar pulau terdepan di Buton (Pulau Batuatas) dalam mempertahankan hidup dan
tradisi yang sudah berlangsung ratusan tahun. Selain itu, harapan atas kebijakan Poros Maritim Indonesia yang
digaungkan oleh Pemerintahan Jokowi-JK juga dielaborasi.
Kata kunci: pelayaran, tradisional, Poros Maritim Indonesia
Abstract
Maritime tradition of Buton people is a cultural strength, both for its historical background and live values for
Buton people to manage their future. This tradition has existed for ages placing Buton people as an Indonesian
maritime ethnic group, along with other ethnic groups, including Bajo, Bugis-Makassar, Mandar and Madura. This
paper describes the system and the dynamic of traditional sailing, sailing network and interisland trade conducted
by Buton sailors occurring until the recent days. It narrates the culture of the sailor in the forefront island of Buton
(Batuatas island) in maintaining their lives and traditions that has existed for hundreds years. Moreover, it
elaborates a hope of the maritime route policy currently promoted by Jokowi-JK government.
Keywords: traditional, sailing, Indonesia Maritime Route
Dalam masa kemerdekaan, melalui penduduk setempat yang berasal dari etnis-etnis
pengalamannya yang panjang, para pelaut berbeda-beda.
Batuatas mengetahui bahwa daerah-daerah
perairan dan pulau-pulau yang dilayari dan Tekad pelayar yang bulat yang ditunjang
disinggahi itu telah terintegrasi dalam satu tanah dengan pengalaman dan pengetahuan pelayar
air yang kita kenal dengan Negara Kesatuan yang sangat luas tentang ruang laut dan
Republik Indonesia (NKRI). Wawasan yang pengalaman melakukan pelayaran domestik
berkelanjutan bahwa hamparan perairan (lokal). Baginya, pengalaman teman atau warga
Nusantara yang luas dan kota-kota pantai dari lainnya merupakan motivasi tersendiri yang
pulau-pulau yang banyak terbentang dari Sabang ditunjang dengan pengalaman pribadi. Oleh
sampai Merauke tetap menjadi ruang pelayaran karena itu, pengetahuan dan wawasan akan
dan arena transaksi ekonomi serta pergaulan kesatuan wilayah perairan dan kepulauan
antara pelaut, termasuk pelayar Batuatas dengan Indonesia lebih banyak tumbuh dari pengalaman
nyata daripada yang diperoleh melalui pendidikan
formal, informasi dan perbincangan dengan orang Pola pemukiman pelayar umumnya tidak
lain. jauh dari pelabuhan, dan hidup berdampingan
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 3
dengan pemukiman orang Bugis Makassar. adalah kayu/bambu yang dipasang melintang pada
Mereka bermukim dengan sistem koloni yaitu bagian 2/3 tiang layar utama, yang disebut gapu.
pola pemukiman berkelompok sesuai dengan Beban pengendalian layar, demikian pula saat
etnisnya, tidak berbaur secara bebas dengan dinaikkan dan diturunkan, sangat sulit dan
penduduk etnik lainnya. Tetapi mereka dapat berisiko. Butuh beberapa orang untuk melakukan
hidup berdampingan dengan koloni (perkampungan) tugas ini. Karena itu jumlah awaknya antara lima
orang Bugis Makassar. Ini dapat diterima karena sampai sepuluh orang. Pada saat angin sangat
kedua etnik ini memiliki persamaan latar belakang kencang, layar diturunkan salah satunya, bahkan
sosial ekonomi yaitu sistem mata pencaharian jika tidak dapat dikendalikan, semua layar
yang berorientasi maritim yakni nelayan dan diturunkan.
pelayar atau pedagang antar pulau.
Selain dua layar utama, terdapat pula satu
Perkembangan Perahu layar bantu di bagian depan (rope) perahu yang
Pada pelayaran tradisional, layar memegang disebut jip/jipu. Fungsi layar ini sebagai
peran sangat penting dalam pelayaran. Tenaga pengendali gerak haluan perahu. Panjang/lebar
penggerak perahu sepenuhnya bergantung pada layar melebihi bagian depan perahu. Untuk
kekuatan angin. Cepat dan lambat masa pelayaran menyokong layar, di bagian bawah ujung layar
ditentukan oleh kondisi angin ketika berlayar. terdapat sebuah kayu, yang disebut gustali. Pada
Demikian pula daerah tujuan sangat dipengaruhi saat angin kencang, layar ini biasanya tetap
oleh arah angin yang berhembus pada musim dipertahankan, meski tanpa dua layar utama.
tertentu. Berdasarkan pemikiran ini, deskripsi Layar jipu biasanya terakhir diturunkan ketika
mengenai pembuatan perahu akan merujuk pada kondisi angin sangat kuat dan perahu sulit
aspek ini, sebagai faktor dominan yang dikendalikan. Pada konsisi ini, perahu dibiarkan
mempengaruhi teknik pelayaran, dari tradisional terapung ke mana pun. Usaha pengemudi
ke modern dan dari musiman ke tanpa musim. memainkan kemudi agar menjaga haluan perahu
sangat dipengaruhi kondisi gelombang dan arus
Bangka Kabangu laut.
Perahu yang digunakan masyarakat Pulau Kemudi (uli) berada di bawah bagian
Batuatas untuk berlayar dan berdagang disebut belakang (wana) perahu. Pada bagian atas
bangka/bhangka atau wangka. Ada juga yang kemudi, tepatnya di atas dek, terdapat tempat
menyebutnya dengan kata boti (serapan dari kata duduk bagi pengemudi. Pada bagian depan, dekat
boat). Adrian Horridge (1981) sendiri tiang layar utama terdapat dapur (tempat
menggunakan istilah lambo. Istilah terakhir, memasak). Posisi ini cukup sulit dan berisiko bagi
selama penelitian ini, hampir tidak dikenal oleh koki saat memasak. Baru pada tahun 1990-an,
pelayar Buton. posisi dapur dipindahkan ke belakang. Tonase
bangka kabangu berkisar 10 sampai 40 ton.
Jenis perahu ini ditandai bentuk layarnya,
berdiri atau kabangu. Dalam model ini, ada dua Para pelayar mengakui bahwa berlayar
tiang layar utama (kokombu) yang dipasang pada dengan kabangu lebih sulit dibandingkan layar
bagian tengah-depan dan tengah-belakang perahu. nade. Kesulitan ini, tidak hanya karena kondisi
Posisinya berada di depan dan belakang atap layar yang sulit dikendalikan, tetapi bahan-bahan
perahu yang bentuknya persegitiga seperti layar dan tali-temali yang digunakan sangat
piramida. Lebar layar pertama bagian tengah- sederhana. Layar (pongawa) dianyam dari kulit
depan sampai pada tiang layar kedua bagian kayu. Sementara tali-temali layar terbuat dari
belakang. Lebar layar belakang sampai ujung rotan. Khusus tali jangkar dianyam dari sejenis
(wana) perahu. Penanda utama layar jenis ini tumbuhan akar panjang. Menjelang berlayar, para
awak perahu ke hutan mencari bahan ini. Dalam
prakteknya, dibutuhkan kerja sama untuk
menggunakan tali ini. Jika sebagian tidak
memegang tali dengan kuat, maka yang lain
menjadi korban akibat gesekan tali yang keras, Memperhatikan kondisi di atas, maka
sehingga telapak tangan terkelupas/luka. kesatuan kata dan perbuatan antara awak perahu
adalah kunci kerjasama. Kondisi bahan layar dan
4 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016
tali-temali mengharuskan awak perahu selalu menyediakan bahan-bahan tersebut di perahu,
karena daya tahannya tidak terlalu lama. Itulah
sebabnya perahu kerap menyinggahi pulau-pulau
yang dilewati ketika berlayar untuk mencari
kebutuhan tersebut, juga mengambil air bersih.
Gapu
Kokombu
Dapur
Kal
a Kanso
Wana r Rope
Tambera
Ul
Perahu Layar Kabangu
i Gambar dari Adrian Horridge (1981:66).
Bomu
Perahu Layar Motor proyek ini, pelayar Tira dan Pasarwajo menjadi
Pada tahun 1960-an, perahu layar telah prioritas. Penggunaan mesin baru berkembang
dilengkapi dengan mesin/motor. Pada konteks ini. tahun 1980-an, ketika pelayar dan pemilik perahu
layar bukan lagi sumber satu-satunya tenaga menyadari bahwa teknologi baru tidak merusak
pelayaran karena sudah dibantu dengan tenaga konstruksi perahu dan membuat pelayaran lebih
mesin. Kedua sumber tenaga, layar dan mesin, mudah dikendalikan ketika angin tidak
digunakan secara bersama. Karena itu perahu ini berhembus.
biasa disebut Perahu Layar Motor (PLM). Pada Pada tahap awal penggunaan mesin,
awalnya, perahu-perahu yang menggunakan mesin desain belakang perahu (wana bangka) tidak
adalah milik non pribumi, khususnya orang Cina. berubah. Mesin dipasang pada bagian samping
Pada tahun 1970-an, atas gagasan La Ode belakang, dengan melobangi satu papan perahu
Manarfa (anggota DPRI RI asal daerah pemilihan untuk menempatkan besi (as) baling-baling. Pada
Sulawesi Tenggara), motorisasi diterapkan pada perkembangan berikutnya, bentuk belakang
perahu pribumi. Lebih lanjut, La Ode Manarfa perahu sedikit dinaikkan, dari bentuk semula
mengorganisir perahu-perahu pribumi dalam satu panta kadera (bentuk kursi), menjadi panta bebe
wadah yang dipimpinnya, Pelayaran Rakyat (pantat bebek). Perubahan ini tidak berjalan linear
(Pelra). Untuk mendukung usaha ini, pemerintah (serentak) pada semua perahu. Sebagian pemilik
meluncurkan pilot project berupa pemberian perahu memutuskan tidak melakukan perubahan
kredit ringan (selama 5 tahun) kepada pemilik desain perahu ketika menggunakan mesin.
perahu yang ingin menggunakan mesin. Dalam
Perahu Layar Motor (bentuk atap segitiga-piramida)
Desain atap perahu pada masa ini ada tiga. bagian kanan atap, demikian sebaliknya. Pada
Pertama, atap segitiga-piramida, yang merupakan tiang utama (kokombu) terdapat anak tangga, yang
desain lama. Bagian dalam atap menjadi tempat terbuat dari tali dan potongan kayu (anak tangga)
muatan dan kadang awak/penumpang jika muatan yang di tempat miring pada bagian samping kiri
tidak penuh. Pada model ini, awak perahu duduk dan kanan depan perahu. Tangga ini berfungsi
dan tidur di samping atap sesuai posisi layar dan sebagai anjungan yang digunakan awak perahu
haluan perahu. Jika angin berhembus dari arah untuk melihat arah haluan, keberadaan pulau, dan
kiri, maka awak dan penumpang berada pada sebaran karang di laut.
Desain ketiga adalah atap penuh dari tiang Pertama, pelayaran menuju barat dari Pulau
layar utama (kokombu) sampai paling belakang Batuatas kemudian menyusuri Selat Selayar
perahu. Pada bentuk ini, tidak ada ruang kosong di menuju Selat Madura hingga tiba di pelabuhan
bagian belakang, seperti jenis pertama dan kedua. Gresik atau Probolinggo, dan selanjutnya ada
Bagian atap paling belakang dibuat lebih tinggi yang terus menuju Singapura, Johor, Pulau Pinang
(semacam bertingkat) dari bagian tengah/depan. di Malaysia Barat. Dalam pelayaran keluar negeri
Pada bentuk ini, awak dan penumpang dapat mereka menggunakan perahu soppe. Memasuki
menempati bagian dalam atap atau pun di atas negara asing itu umumnya dilakukan dengan cara-
sesuai kondisi/kebutuhan. Demikian pula dapur cara yang ilegal. Mereka menggunakan perahu
berada di dalam dan tertutup, kecuali jamban yang layar tanpa mesin, melalui rute dari Batuatas-
terbuka bagian atasnya. Posisi kemudi tetap di Buton-Selat Selayar-Selat Karimata-Laut Cina
bagian belakang, seperti pada jenis pertama dan Selatan dengan menyusuri Pesisir Timur
kedua. Semenanjung Malaysia-Pesisir Timur Thailand,
menyeberangi Teluk Siam, ke Pesisir Selatan
Jaringan Pelayaran Kamboja, menyusuri pesisir Timur Vietnam-
Melakoni pekerjaan sebagai pelayar, Hongkong sampai ke Daratan Cina (Kanton,
tentulah mereka memliki pola jaringan antar pulau Shanghai dan menyusuri sungai sampai di
yang sangat ditentukan oleh arah angin dan Peking). Di Negeri Cina mereka tinggal selama
musim. Peta jalur pelayaran Pelaut Batuatas pada empat hingga enam bulan bekerja di perkebunan
khususnya dapat digolongkan pada empat arah kapas sambil menunggu angin utara untuk
angin, yaitu barat, timur, utara, dan selatan. kembali ke Pulau Batuatas melalui Selat Buton
dengan rute seperti tersebut atau melalui rute Laut Sulawesi - Kepulauan Maluku/Pesisir Timur
Cina-Kepulauan Jepang - Kepulauan Philipina - Sulawesi - hingga kembali di Pulau Batuatas.
Kedua, pelayaran menuju timur ke Maluku, Irian pemukiman orang Buton termasuk didalamnya
Jaya, dan Kepulauan Pasifik seperti ke Negara Pulau Batuatas. Mereka bekerja dalam berbagai
Palau. Pelayaran menuju kawasan ini dimulai dari sektor kehidupan bahkan diantara mereka telah
Pulau Batuatas melalui Selat Buton, Kepulauan ada yang menjadi Warga Negara Malaysia.
Maluku, Irian Jaya, Papua Nugini, dan beberapa Sebagian lagi menuju ke Philipina Selatan melalui
negara di Kawasan Pasifik Selatan seperti Kepulauan Sulawesi Utara dan Maluku. Keempat,
Kepulauan Palau, Samoa, dan Kaledonia Baru. pelayaran menuju bagian selatan melalui rute
Ketiga, pelayaran menuju utara ke Sulawesi Pulau Batuatas, Flores, Solor, Sumbawa, Kupang,
Tengah (Banggai dan Tolitoli), Sulawesi Utara Dili (Timor Leste), dan bahkan sebagian besar
(Gorontalo, Bitung, dan Manado), sebagian melakukan pelayaran sampai ke pada wilayah
diantara mereka langsung ke Malaysia Timur Perairan Benua Australia atau di Pantai Utara
melalui Tarakan, Nunukan (Kalimantan Timur), Benua Australia. Dan tidak jarang kita banyak
ke Kalimantan Utara melalui Sabah (Tawau, menemukan di beberapa pulau yang melakoni
Lahaddatuk, dan Sandakan), sampai ke Brunai tradisi pelayaran hingga di wilayah Benua
Darussalam. Di beberapa wilayah ditemukan Australia, dan acap kali orang Buton menjadi
tahanan Pemerintah Australia akibat pelanggaran
penangkapan biota laut yang melawati batas
perairan Indonesia.
Pelayar Buton dari Pulau Batuatas dibawa ke Palu, dan seiring kebijakan pemerintah
memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang yang membuka pelabuhan besar di Manado
jalur pelayaran Jawa--Irian Jaya. Tetapi sekarang (Bitung), menyebabkan mereka tidak lagi ke
perahu layar mereka tidak pernah lagi ke Jawa, wilayah Pulau Jawa.
karena jalur yang ke Ternate sudah dibuka tempat
penampung hasil. Hal ini juga pada jalur Bitung, Pelayaran ke Surabaya (Pangkalan
dan sekarang hanya perairan sekitar Maluku dan Gresik) ditempuh dengan waktu paling cepat
Sulawesi Tengah. Untuk hasil Maluku yang selama duapuluh hari dan paling lama empatpuluh
hari. Hal tergantung dari pengeluaran uang,
contohnya seperti ekspedisi kalau barang cepat masuk berarti untuk pencairan uang juga cepat.
Sementara waktu perjalanan kurang lebih pelayaran dengan posisi menyilang dan
memakan waktu satu bulan lebih baru sampai di membentuk sudut antara 90-180 derajat. Berlayar
Pulau Batuatas. Pola pelayaran yang dilakukan "opal" adalah teknik berlayar bersiku-siku sampai
harus zigzag atau opal (istilah bagi pelayar Pulau di tempat tujuan. Dalam teknik "O’opal" ini
Batuatas) yang berarti pelayaran menghadapi diperlukan keahlian dalam mengarahkan haluan
angin siang malam, dan ABK tidak pernah sebab arah angin datang hampir dari muka
istrahat. (membentuk sudut antara 0-90 derajat). Demikian
Waktu pelayaran menuju wilayah Maluku pula penggunaan pompa untuk mengeluarkan air
kurang lebih sekitar sepuluh hari. Bagi pelayar ini dari dalam perahu yang sebelumnya digunakan
merupakan pelayaran dengan jarak tempuh yang "timba" ("kasiwu" Bahasa Ciacia) atau tempurung
dekat dan posisi angin sebelah timur laut dan kelapa sebagai wadah penyimpanan air, peralatan
utara dari Pulau Flores. Oleh karena itu, pelayaran tali temali yang semula dari sabut kelapa berubah
dilakukan dengan memotong jalur lewat pada menjadi tali plastik dan kawat. Perubahan bahan
bagian atas Pulau Binongko di Wakatobi. Di layar yang sebelumnya terbuat dari "agel" yang
antara Pulau Binongko (Wakatobi) dan Pulau disebut "karoro" berubah menjadi bahan dari kain
Buru berarti Pulau Ambon merupakan jalur dan nilon. Jangkar kayu/batu berubah menjadi
tembus dan cepat. Hal ini menjelaskan bahwa jangkar besi.
umumnya pelayar Pulau Batuatas telah kaya
dengan pengalaman dan pengetahuan wilayah Pelayaran dan Perniagaan
perairan dan pulau-pulau di Indonesia baik bagian Dalam melakukan pelayaran, para pelayar
barat maupun bagian timur Indonesia. Pulau Batuatas melakukan kegiatan niaga
Para pelayar Batuatas sebelum menggunakan (perdagangan). Barang komoditi ekspor yang
teknologi navigasi, mereka menggunakan tanda- dibawa oleh para pelayar niaga Pulau Batuatas
tanda alam dan feeling (perasaan) sebagai dan pelayar Buton dan Buton Selatan pada
pengetahuan navigasi. Tanda-tanda alam tersebut umumnya adalah rotan, damar, agel, kopra,
antara lain adalah bentuk awan, keadaan langit, cengkeh, pala, teripang, dan berbagai hasil laut
warna dan jenis air laut, pantulan sinar matahari lainnya. Komoditas rotan, damar, kopra, cengkeh,
atau cahaya bulan, letak bintang di langit, pala, kulit binatang, dan teripang diekspor ke
hembusan angin, letak pulau, gunung, tanjung, Singapura dan Malaysia, sedangkan ke Cina
teluk, dan selat. Dengan intuisi tersebut, pelayar diekspor agel dan teripang. Sejak tahun 1926
dapat mengetahui apabila ada bahaya yang dimulai perdagangan kopra, cengkeh, dan pala
mengancam kapal. Inilah yang dijadikan sebagai dari Kepulauan Maluku yang dibawa ke kawasan
pengganti kompas dalam pelayaran mereka. barat Nusantara sampai ke wilayah mancanegara
Pelayar Pulau Batuatas (Ciacia Buton) mengenal yakni Singapura dan Malaysia. Pada mulanya
istilah "pilotase" yaitu seorang navigator dapat perdagangan tersebut mendapat rintangan dari
memperhitungkan posisinya cukup dengan pemerintah Belanda, karena keuntungannya
melihat berbagai tanda alam yang tampak di darat, berlipat ganda sehingga para pelayar harus
"rewu’i tayi" yaitu kotoran di laut, dan kabut di melakukan pelayaran secara ilegal khususnya ke
udara. Seorang navigator dapat melakukan Singapura dan Malaysia. Fenomena tersebut
perhitungan deduksi dengan melihat kedudukan berlanjut sampai akhir abad ke-20 ini, di mana
matahari, bulan, dan bintang. Perkembangan para pelayar niaga orang Batuatas di Buton
pelayaran niaga orang Pulau Batuatas sejalan Selatan pada umumnya tetap melakukan
dengan ditemukannya teknik berlayar "O’opal" pelayaran niaga ke Singapura, Malaysia,
(Bahasa Ciacia) yang sebelumnya hanya dikenal Philipina, dan Australia serta wilayah Pasifik
teknik berlayar "ngoi’i belaka" (Bahasa Ciacia) lainnya.
dan teknik "nopusilangi" (Bahasa Ciacia). " ngoi’i Pada awal abad ke-20 barang komoditi
belaka" adalah teknik berlayar lurus yaitu arah impor dari mancanegara masih terbatas pada
angin datang dari belakang. "Nopusilangi" keramik dan tekstil. Kemudian pada pertengahan
abad ke-20 meningkat baik volume maupun jenis
barang dan lebih khusus pada barang elektronik.
Keramik (guci, mangkuk, dan piring) mereka datangkan dari Cina dan Thailand yang ditukar
atau dibeli dengan agel dan kopra. Hal ini Batuatas selalu berhubungan dengan hal yang
berlangsung sampai pertengahan abad ke-20. berkaitan dengan simbol budaya kesukubangsaan
Elektronik, tekstil yang lebih dikenal dengan (ethnicity) dan kebangsaan (nationality) yang
akronim RB (rombengan) atau pakaian bekas harus diadaptasi dalam rangka kelancaran
yang didatangkan dari Singapura dan Malaysia transaksi dagang dan pergaulan dengan orang-
(Johor, Pulau Penang, dan Tawau di Sabah) secara orang warga negara Indonesia yang berbeda-beda
ilegal. Barang-barang komoditi impor dijual di suku bangsa. Simbol-simbol tersebut mulai dari
wilayah Buton (Pulau Batuatas) dan di luar seperti bahasa daerah, seni, kepercayaan, bentuk rumah,
Kendari, Muna, Sulawesi Tengah, Maluku, Irian perahu, jenis makanan, pakaian yang berbeda-
Jaya, Nusa Tenggara Timur, dan Timor-Timur. beda hingga simbol-simbol kebangsaan yang
Melampaui wawasan jagat perairan dan seragam seperti Bahasa Indonesia, bendera merah
kepulauan serta pemukiman kota-kota pelabuhan, putih, birokrasi dan prosedur pelayanan
dalam aktivitas pelayaran dan dagang, para pelaut administratif, kepemilikan Kartu Tanda Penduduk
(KTP), dan berbagai kebijakan pemerintah.
Kebutuhan Masyarakat Pulau yang petani, peternak, para pedagang, dan para
Didatangkan dari Pulau Lain perantau Pulau Batuatas lainnya yang hidup di
Dalam rangka transaksi dagang dan pulau (darat). Diakuinya bahwa kelancaran
pergaulan dengan orang-orang dari berbagai suku transaksi dagang yang mereka kelola banyak
bangsa lain yang dijumpainya, pelayar Pulau ditentukan oleh kemampuan berkomunikasi dalam
Batuatas sejak awal berusaha keras menggunakan bahasa Indonesia dengan mitra dagang dan
Bahasa Indonesia dengan baik. Dalam percakapan konsumen, buruh-buruh pelabuhan, aparat
ternyata mereka lebih mampu berbahasa Indonesia pemerintah, dan sebagainya.
daripada orang-orang dari komunitas-komunitas
Diasumsikan, bahwa segenap pengalaman suku bangsa, keterlibatan dalam dan mematuhi
pelayaran, pengalaman berinteraksi dan saling segala peraturan dengan memahami keberagaman
kenal dengan orang-orang Indonesia yang berbeda atau keseragaman simbol-simbol budaya,
menyebabkan tumbuhnya wawasan kebhinekaan, Pelayaran dan Ekonomi Masyarakat
kesatuan tanah air, kesatuan bahasa, dan kesatuan
bangsa Indonesia. Bagi pelayar Pulau Batuatas, Akibat pelayaran niaga, hasil keuntungan
pengalaman pengembaraan yang panjang yang diperoleh dari usaha pelayaran ini cukup
diakuinya telah memperkaya pengetahuan dan memuaskan, sehingga mengakibatkan meningkatnya
wawasan ruang samudera dan dunia internasional taraf hidup masyarakat pelayar di Pulau Batuatas
serta sikap keterbukaan. Kabupaten Buton Selatan (sebelumnya Kabupaten
Buton). Hal ini ditandai dengan banyaknya putra-
Para pelayar niaga Pulau Batuatas lebih putri mereka yang merantau untuk sekolah baik di
dominan memperdagangkan kopra dan cengkeh Kendari, Ujung Pandang (sekarang Makassar) dan
pada wilayah Jawa. Sedangkan untuk wilayah berbagai kota-kota di Pulau Jawa, bahkan sampai
Jakarta adalah hasil laut, yakni teripang laut. di wilayah luar negeri, seperti Singapura dan
Sementara hasil yang dibawa pulang dari hasil Malaysia. Dewasa ini, diantara generasi muda
perdagangan kopra, cengkeh dan teripang adalah (putra-putri) pelayar ini telah banyak yang
barang kebutuhan pokok seperti pakaian, semen, memegang posisi penting dalam pemerintahan
gula dan beras. Hal ini menunjukkan bahwa para dan dunia usaha. Data Statitik Kabupaten Buton
pelayar Pulau Batuatas dalam berusaha mencari (2015) menunjukkan bahwa sub-sektor transportasi
nafkah, khususnya di bidang pelayaran niaga atau laut memberikan sumbangan terhadap PDRB
perdagangan antar pulau dengan menggunakan Kabupaten Buton (sekarang Buton Selatan) rata-
perahu atau kapal. rata 1,37%, suatu angka yang tidak kecil jika
dibanding dengan berbagai sub-sektor usaha
lainnya. Indikator tersebut membuktikan bahwa
perkembangan pelayaran niaga orang Batuatas
berpengaruh terhadap kehidupan sosialnya yang
diperkuat dengan data statistik tentang
peningkatan jenis alat transportasi laut ke arah
yang lebih modern dan kapasitas muatan yang
semakin meningkat. Demikian pula arus bongkar
muat barang dari berbagai pelabuhan satker yang
mengalami peningkatan.
Pesona Pulau Batuatas di Kabupaten Buton dengan istilah "te atoro nulangkea" (aturan
Selatan pelayaran). Ada kecenderungan perahu layar
Selain perubahan sosial dalam masyarakat orang Batuatas tidak dicat sebagaimana halnya
dan kebutuhan rumah tangga masyarakat pelayar perahu layar suku bangsa lainnya. Fenomena ini
Batuatas dari hasil berlayar dan perniagaan, merupakan ciri khas perahu layar orang Batuatas
dikenal pula aturan pelayaran niaga yang dikenal yang dapat dikenali dari jauh. Akan tetapi sampai
penelitian ini berakhir belum ditemukan alasan
secara pasti motif yang menyebabkan mereka tidak memberi cat pada perahunya, kecuali pada
akhir abad ke-20 khususnya pada tahun 1980-an sumbangan sub-sektor transportasi laut dalam
mereka mulai memberikan cat perahunya dalam PDRB Kabupaten Buton sebesar 1,37% dan
berbagai motif warna. peningkatan jumlah dan volume perahu/kapal
Menyangkut aturan pelayaran niaga yang yang menjadi milik orang Batuatas.
dipahami pelayar Pulau Batuatas pada khususnya
dan masyarakat Buton pada umumnya (te atoro Harapan Komunitas Pelayar Tradisional
nulangkea). Meskipun secara formal tidak ada Sejak terpilihnya Jokowi-JK sebagai
organisasi atau lembaga kemasyarakatan yang Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2014 –
mengatur tradisi dan adat istiadat dalam berlayar 2019, wacana tentang komitmen mengembalikan
yang dilakukan oleh masyarakat pelayar Batuatas, kejayaan laut sebagai potensi utama Bangsa
namun secara tradisional tradisi dan adat istiadat Indonesia. Komitmen ini tidak bisa dipungkiri
sudah dijalankan dan telah terpatri dalam setiap karena bangsa Indonesia merupakan benua
keyakinan para pelayar Batuatas, dimana mereka maritim terbesar di dunia yang memiliki hamparan
(pelayar) menggantungkan aturan dan tradisi pada laut dan yang ditumbuhi pulau-pulau yang
satu orang, yakni juragan kapal (pemilik kapal). membentang dari Aceh hingga Papua yang
Kepercayaan dan kepatuhan terhadap adat dirangkai oleh sebuah kebudayaan masyarakat
yang sampai saat ini masih dijalankan oleh pulau-pulau sebagai pewaris kebudayaan maritim
masyarakat (pelayar) Batuatas (Ciacia Buton) (tradisi pelayaran). Salah satu kebijakan yang
hingga saat ini masih mengandalkan pada tradisi populer di bidang kemaritiman adalah kebijakan
atau keyakinan sang pemilik kapal (juragan Poros Maritim Indonesia yang mengembangkan
kapal), yang saat ini mereka kenal dengan istilah konsep pembenahan infrastuktur yang menunjang
“kapten” (kapten kapal). Pelayaran niaga orang aktifitas kemaritiman dengan mengembangkan
Batuatas didorong oleh letak geografis yang moda distribusi barang/jasa antar pulau berjalan
strategis pada jalur pelayaran dan perdagangan lancar yang membawa kesejahteraan bagi
nusantara dan internasional, keadaan alam yang masyarakat Indonesia di mana pun mereka
berbukit dan berbatu sehingga kurang mendukung bermukim dalam wilayah Indonesia.
untuk pertanian, dan falsafah hidup mereka yang Konsepsi reorientasi pembangunan bangsa
menjunjung tinggi semangat kebaharian. Peta jalur dari land-centered ke marine centered develompment.
pelayaran meliputi segenap pelabuhan di Dalam pemahaman ini, poros maritim berisi visi
Nusantara dan manca negara seperti Singapura, misi dan langkah strategis untuk menciptakan
Malaysia, Thailand, Cina (Kanton, Shanghai, dan kedaulatan (ideologi, politik, sosial, ekonomi,
Peking), dan Philipina Selatan. Pelayaran untuk termasuk pangan dan energi dan hankam) dengan
penangkapan hasil laut mencapai perairan menjadikan laut sebagai pusat orientasi ideologis
Australia dan Negara-Negara Oceania. Persebaran (wawasan dan mentalis) dan sumber material
orang Batuatas dan orang Buton Selatan pembangunan.
(sebelumnya Buton) pada umumnya ditemukan
hampir di setiap pelabuhan tersebut. Barang Dalam konteks ini, poros maritim lebih
komoditi ekspor pada mulanya terbatas pada agel, berorientasi pada pengoptimalan pengelolaan
damar, rotan, kopra, dan teripang; kemudian sumberdaya laut – kombinasi antara penguasaan,
berkembang juga pada komoditas jambu mete, pemanfaatan, pemeliharaan, konservasi, dan
kayu, dan berbagai hasil laut. Sedangkan barang restorasi – jika dibutuhkan–untuk kepentingan kita
komoditi impor adalah keramik dan tekstil, sendiri. Perlu dicatat, dengan ini tidak berarti juga
kemudian berkembang pada berbagai jenis barang pembangunan di darat diabaikan. Poros maritim
elektronik termasuk mesin kapal dan sepeda justru akan berfungsi mengoptimalkan hasil-hasil
motor. Perkembangan kehidupan sosial ekonomi pembangunan yang selama ini terhambat karena
masyarakat Batuatas dan orang Buton Selatan tidak memadai. Contoh konkrit tentu masalah
(sebelumnya Buton) pada umumnya sebagai transportasi yang menghambat distribusi produk-
akibat kegiatan pelayaran niaga terlihat dari produk industri yang berbasis di darat.
Realisasi dari kebijakan poros maritim
Indonesia Presiden Jokowi-JK tertuang dalam visi
kemaritiman yang salah satunya tentang tol laut yang akan direalisasikan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) dengan Oleh sebab itu, harapan para pelayar
merancang konsep tol laut tersebut. Rencananya tradisional di pulau-pulau semoga pembangunan
akan dibangun 24 pelabuhan strategis, short sea infrastruktur (pelabuhan serta penunjang lainnya)
shipping, fasilitas kargo dan boat, serta sebagai bagian dari kebijakan Poros Maritim
pengembangan pelabuhan komersial sebanyak Indonesia tidak hanya pada wilayah kota-kota
1.481 pelabuhan, dalam konsep tol laut. Tak besar tetapi juga pada wilayah pulau-pulau
ketinggalan pula, pembangunan transportasi terdepan sehingga menunjang aktifitas pelayaran
multimoda serta infrastruktur penunjang tol laut. yang telah mereka lakoni selama ini. Terlebih lagi,
Secara makro, kebijakan ini sangat positif. apabila negara hadir sebagai implementasi
Namun satu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa kebijakan Poros Maritim Indonesia dalam
akses terhadap infrastruktur tersebut hanya dilihat menyelesaikan sejumlah masalah-masalah yang
dalam perspektif “ekonomi-teknokrat” yang dihadapi dan menguatkan kelembagaan lokal yang
“mungkin” mengabaikan kehidupan masyarakat sudah menopang aktifitas pelayaran tradisional
yang sudah berlangsung lama yang menjadi laut selama ini.
sebagai bagian dari kehidupan sosial-ekonominya
(pelayar tradisional). Pelayar di Pulau Batuatas, Penutup
tidak begitu paham mengenai kebijakan “poros Mengapa mereka mau hidup di pulau
maritim” namun berharap kebijakan tersebut yang jauh terisolasi? Bagaimana mereka
berdampak pada peningkatan ekonominya. bertahan sebagai palayar ditengah gempuran
Sebenarnya, secara tradisional pelayar modernisasi? Dan apa harapan terhadap
Pulau Batuatas di Buton Selatan sudah sejak lama kebijakan Poros Maritim Indonesia bagi masyarakat
melakukan peran-peran sebagai moda transportasi Pulau Batuatas di Buton? Tampaknya, kondisi
antar pulau. Pergerakan mereka dengan menggunakan alam tidak mematikan kreasi kebudayaan. Justru,
perahu sebagai aktifitas perekonomian adalah dengan potensi pikir yang dimiliki, mereka
operasional kebijakan Poros Maritim Indonesia membaca dan mengelolah alam bagi
secara tradisional. Kondisi pulau sebagai pemukiman kepentingannya. Dalam konteks ini, alam dan
mereka yang jauh dari aktifitas di wilayah lain manusia memiliki kaitan fungsional, sehingga
khususnya di perkotaaan. Oleh sebab itu, pilihan menjadi pelayar adalah sebuah tradisi guna
berlayar sebagai strategi dalam memenuhi terciptanya harmoni antara keduanya.
kebutuhan mereka menjadi pilihan utama atau Bagi masyarakat Pulau Batuatas di Buton
kebudayaannya. Selatan, alam memiliki sistem teratur yang sudah
Selama ini negara mengabaikan peran- ada sejak lama. Karena itu manusia harus
peran pelayar tradisional dan belum mengapresiasi memahami kondisi ini, bila ingin tetap bertahan,
aktifitas tersebut. Mulai dari pemodalan (perahu), agar hidup bersama alam. Keterbatasan sumberdaya
jalur pelayaran (konektivitas jaringan nusantara), darat, karenanya mereka mengembangkan
masalah lintas negara, dan saat ini kelangkaan adaptasi dengan beorientasi ke laut. Dengan itu,
mendapatkan sumberdaya (bahan baku seperti kebudayaan mereka juga disesuaikan/didasari oleh
kayu dan sebagainya) untuk pengadaan atau kebutuhan adaptasi itu. Salah satu kebutuhan itu
pembuatan perahu/kapal baru. Tambahan pula, adalah penguasaan pengetahuan, skill dan
infrastruktur di pulau-pulau yang disinggahi untuk teknologi terkait dengan maritim, dalam hal ini
aktiftas perdagangan hampir seluruhnya masih aktifitas pelayaran guna melanjutkan sebuah
sangat terbatas karena belum mendapat perhatian tradisi yang sudah berlangsung lama.
penuh dari pemerintah. Namun bagi pelayar, ini Aktivitas pelayaran dengan jalur pelayaran
sudah hal yang biasa meskipun dalam aktifitas (jaringan pelayaran antar pulau) masyarakat Buton
produksi secara ekonomi membutuhkan waktu yang ditopang oleh nilai budaya maritim yang
dan tenaga yang cukup ekstra. sudah ratusan tahun berlangsung sebagai sebuah
kebudayaan masyarakat Buton. Nilai ini tersimpul
dalam satu ikatan kata dan tindakan dari semua
unsur/pihak yang terlibat dalam suatu usaha yang
berkelanjutan. Dalam hal ini, hasil tidak hanya pada keuntungan, tetapi juga kerugian yang timbul
dari usaha itu. Dengan berlandaskan nilai ini, Historical and Anthropological Perspectives.
masyarakat Buton di pulau-pulau kecil dapat Canberra: ANU Press
mempertahankan tradisi pelayarannya sejak ribuan
tahun silam, demikian pula masa depannya. Hamid, Abd Rahman. (2011). Orang Buton: Suku
bangsa bahari Indonesia. Yogyakarta:
Semoga kebijakan Poros Maritim Indonesia yang
Ombak.
dicanangkan oleh pemerintah sekarang semakin
menguatkan tradisi pelayaran menjadi tatanan Horridge, Adrian. (1986). Sailing Craft of Indonesia.
hidup dan menciptakan keteraturan hidup bagi Singapore: Oxford University Press.
masyarakat Buton sebagai pewaris kebudayaan La Malihu. (1998). “Buton dan Tradisi Maritim:
maritim di Indonesia. Kajian Sejarah tentang Pelayaran
Dengan memberi ruang kebudayaan para Tradisional di Buton Timur (1957-1995)”.
pelayar tradisional di pulau-pulau terdepan, maka Tesis Magister belum diterbitkan. Jakarta:
inilah hakikat pembangunan poros maritim Universitas Indonesia.
Indonesia. Karena orientasi pembangunan yang Lapian, AB. (2009). Orang Laut – Bajak Laut –
dilakukan adalah dengan mengoptimalkan posisi Raja Laut: Sejarah kawasan Laut Sulawesi
strategis geo-ekonomi dan politik Indonesia untuk Abad XIX. Jakarta: Komunitas Bambu.
menjadi salah satu sentral dari dinamika Poelinggomang, Edward. (2002). Makassar Abad
kehidupan global. Isinya tentu visi-misi dan XIX. Studi Tentang Kebijakan Maritim.
langkah-langkah strategis untuk: Pertama, Jakarta: Kepustakaan Indonesia Popular.
menciptakan Indonesia sebagai negara dan
wilayah yang konduktif untuk menjadi poros Southon, Michael. (1995). The Navel of the
relasi dunia, dan kedua, memfasilitasi sekaligus Perahu: Meaning and Value in the
memanfaatkan terwujudnya satu center ‘international Maritime Trading Economic of A Butonese
Village. Canberra: Australian National
connections’ yang berporos di Indonesia.
University.
Daftar Pustaka Tahara, Tasrifin. (2014). Melawan Stereotip:
Etnografi, Reproduksi Identitas,
Abu Hamid. (1994). Pasompe. Ujung Pandang: Dinamika Masyarakat Katobengke Buton
Lephas Universitas Hasanuddin yang Terabaikan. Jakarta: Kepustakaan
Adhuri, Dedi Supriadi. (2015). (Re)Vitalitasasi Populer Gramedia.
Budaya Bahari Sebagai Fondasi Tahara, Tasrifin, dkk. (2015). Sabangka Asarope;
Pengembangan Poros Maritim. Materi Tradisi Pelayaran di Wakatobi, Direktorat
Kuliah Umum Program Pascasarjana Sejarah dan Nilai Budaya, Kemedikbud
Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan RI.
Ilmu Politik Universitas Hasanuddin,
Aula Prof Syukur Abdullah FISIP Unhas Winn, Phillip. (2008) Butonese in the Banda
tanggal 27 oktober 2015. Islands: Departure, Mobility, and
Identification, in Horizon of Home:
Ammarell, Gene. (2008). Navigasi Bugis. Nation, Gender, and Migrancy in island
Makassar: Hasanuddin University Press Southeast Asia, Edited by Penelope
Chauvel, RH. (1990). Nationalists, Soldiers and Graham, Monash Asia Institute, Clayton.
Separatists: The Ambonese Islands from Zuhdi, Susanto. (1999). Labu Rope Labu Wana:
Colonialism to Revolt, 1880-1950. Sejarah Butun Abad XVII-XVIII. Disertasi
Verhandelingen van het Koninklijk Program Doktor Ilmu Sejarah Pascasarjana
Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde; FIB Universitas Indonesia, Depok.
143. Leiden: KITLV Press.
Zuhdi, Susanto. (2002). ”Jejak Orang Butun dalam
Fox, J James. (2000). Maritime Communities in Sejarah Maritim Indonesia”. Makalah
the Timor and Arafuru Region: Some Seminar Eksplorasi Sumberdaya Budaya
Maritim Indonesia, Kampus UI Depok-
Jakarta, 6 Juni 2002.