Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Sebagai negara yang memiliki dua pertiga luas wilayahnya berupa lautan,
sudah selayaknya Indonesia menyandang julukan sebagai Negara Archipelago.
Negara Archipelago bukan hanya berarti Negara kepulauan, melainkan lebih dari
itu karena archipelago bermakna negara laut utama, dimana archi dalam bahasa
Yunani berarti ‘utama’, sedangkan pelages bermakna ‘laut. Hal ini berarti konsep
kewilayahan yang tepat untuk Indonesia adalah Negara kelautan atau negara
maritim (Lapian 2011: 2).
Sebagai Negara Maritim, sudah tentu banyak sekali aspek kehidupan
masyarakat Indonesia yang sangat terkait dengan laut. Kata maritim dalam kamus
Besar bahasa Indonesia1 memiliki arti berkenaan dengan laut/pelayaran. Oleh
karenanya itu, konsep kemaritiman dapat dipahami sebagai suatu kebudayan yang
melahirkan peradaban di laut. Fernand Braudel2 (1981:34) sejarahwan maritim
mengatakan bahwa laut mengandung dinamika yang menciptakan kesatuan,
hubungan antar manusia dan antar bangsa melalui transportasi laut, perdagangan
dan pertemuan budaya. Selain itu, laut juga merupakan jembatan penghubung
yang penting dan strategis bagi bangsa Indonesia yang ingin menjadi bangsa yang
maju dan diperhitungkan oleh dunia internasional, terlebih letak posisi kepulauan
Indonesia yang sangat strategis karena diapit oleh dua benua (Asia dan Australia)
dan menghubungkan dua samudera Indonesia dan Pasifik.
Dunia kemaritiman bangsa Indonesia sesungguhnya telah melahirkan
berbagai perdaban yang besar dan menarik, salah satunya cerita kehidupan orang-
orang bajo yang di ungkap oleh antropolog Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam
Nasarudin Suyuti3 dalam bukunya orang Bajo di tengah perubahan sosial memberi
argumentasi jelas bahwa orang Bajo di Sulawesi Tenggara merupakan satu-
satunya etnis di Indonesia yang tidak memiliki kawasan di darat yang dikenal
sebagai “Tanah Bajo” namun mereka memiliki kawasan yang sangat luas yang

1
Umi Chulsum & Windi Novia dalam kamus besar Bahasa Indonesia hal, 49
2
Fernnad Braundel, 1981, hal 34
3
Sayuti Nasarudin, 2011, hal xi

1
ditutupi air yang mereka kenal sebagai “Tanah Air” persepektif ini memunculkan
argumentasi arti tanah bagi mereka adalah perairan. Karena itu rumah utama
mereka adalah perahu dan halaman mereka adalah laut. Konfigurasi kebudayaan
yang dipaparakan antropolog Ahimsa-Putra menggambarkan kehidupan Orang
Bajo yang tentu juga mengingatkan betapa pentingnya laut bagi masyarakat
Indonesia.
Dalam konsep ketatanegaraan telah menjelaskan suatu pengakuan negara
terhadap kedaulatan yang mencakup aspek tanah dan air. Kedua kata ini
merepresentasikan batas-batas teritorial negara yang menjadi suatu simbol
kedaulatan. Tanah dan air adalah simbol suatu fakta hidup pada wilayah daratan
sedangkan air mengisyaratkan fakta kehidupan pada laut yang luas. Kedua
gagasan ini menjadi penting dan tidak dapat lepas pisahkan satu terhadap yang
lain karena menyangkut eksistensi ke-Indonesiaan, namun dalam faktanya selama
ini konsep pembangunan hingga berbagai kajian ilmiah cenderung mengabaikan
aspek kemaritiman. Pada sisi yang lain ternyata dunia kemaritiman menyimpan
berbagai peristiwa-peristiwa penting dan membentuk suatu peradaban manusia
kepulauan. Bahkan dengan tegas Wallcot menyebut the sea is History jadi artinya
laut adalah sejarah dan sejarah itu adalah kehidupan maka laut itu adalah
kehidupan. Konsep pemikiran menerangakan dari laut juga kita dapat merekam
dinamika suatu masyarakat atau bangsa dalam mewujudkan kehidupan sesuai
nilai-nilai yang dianutnya. Torehan sejarah Indonesia juga direkam dari laut
artinya mereka penjajah yang ingin menguasai aktifitas perdagangan di Indonesia
mengawalinya dari sebuah ekspedisi pelayaran.
Maluku dengan sejumlah keunggulan sumber daya alamnya telah
menempatkan posisi Maluku sebagai wilayah paling popoler di dunia pada abad
ke XI, dimana para pencari rempah-rempah ingin menguasai jalur perdagangan di
Maluku. Sejarah pencaharian kepualaun rempah-rempah yang dimotori Spanyol,
Portugsi dan Belanda kini hanya bertaburan benteng-benteng di wilayah Maluku
sebagai potret arkeologis yang menjawab kejayaan daerah Maluku pada masa lalu.
Masyarakat Maluku memandang laut sebagai sumber kehidupan karena itu
munculnya sejumlah budaya maritim yang berkaitan dengan teknologi tradisional
arombai, kole-kole dan rurehe.

2
Prespektif kemaritiman orang Saparua, sesungguhnya telah dimulai sejak
awal perjalanan leluhur mencari tempat hunian yang baru. Dalam penuturan
sejarah masyarakat pada setiap negeri adat dapat dijumpai berbagai kisah
peradaban yang menghubungkan leluhur dimasa lalu dengan dunia kemaritiman.
Cerita tentang proses diaspora leluhur dari pulau Seram yang datang secara
bergelombang dengan menggunakan gosepa (rakit yang terbuat dari bambu).
Selain itu cerita mengenai asal-usul setiap marga yang berkaitan dengan jenis-
jenis binatang yang ada dilaut serta menjadi simbol dari marga tersebut.
Kebenaran akan cerita-cerita tersebut dalam masyarakat adat di Saparua sering
dibuktikan dengan berbagai kisah kecelakaan di laut dan mendapat pertolongan
bagi setiap generasi marga (klean) tersebut ketika mengalami masalah (kesusahan)
di laut. Selain itu berbagai kisah perjumpaan leluhur yang mengalami kesusahan
dan mendapat pertolongan oleh jenis-jenis ikan tertentu memberikan hubungan
yang kuat tentang aspek kemaritiman dalam asal-usul leluhur di pulau Saparua.
Dalam babakan sejarah negeri-negeri di Pulau Saparua tentu, tidak dapat
dilepas pisahakan dengan sejarah diaspora penduduk dari pulau Seram yang
dilatarbelakangi oleh perang besar di pulau Seram (Nunusaku). Kedatangan
leluhur dari pulau Seram dalam cerita rakyat setiap negeri-negeri adat
mengisahkan suatu perjalanan yang bergelombang berdasarkan marga (klen).
Dalam berbagai cerita kedatangan leluhur tersebut dijumpai beberapa alat
transportasi laut yang digunakan seperti gosepa dan kora-kora. Cerita kedatangan
leluhur negeri Nolloth dari pulau Seram dengan menggunakan gosepa dan
kemudian bersandar di pantai Tinaul (suatu pantai di petuanan hutan negeri
Nolloth) dan kemudian menuju ke gunung Nolo (negeri lama) 4. Hal yang lain
dapat dijumpai dalam penuturan tua adat negeri Ulath 5 yang menjelaskan
kedatangan tiga moyang adi kaka dari pulau Seram dengan kora-kora yang
menghubungkan tiga negeri di Pulau Saparua yakni Iha, Tuhaha dan Ulath. Dalam
penuturan dikisahkan ketiga moyang tersebut keluar dari Seram dengan
menggunakan kora-kora dan singgah di pantai Hatuan (petuanan negeri Nolloth)
dan terjadi perpisahan antara tiga bersaudara tersbut, dimana kakak yang tertu dan
yang kedua turun dan mencari tempat kediaman di puncak gunung Ama Ihal
4
Wawancara dengan bapak M. Huliselan (tua adat negeri Nolloth), 25 Ferbuari 2020
5
Wawancara dengan bapak Hardi Manuputy Saniri negeri Ulath tanggal 22 Ferbuari 2020

3
(negeri Iha) dan yang satunya berdiam di Huhule (negeri Tuhaha), sedangkan
adik yang bungsu melenjutkan perjalan dengan menggunakan kora-kora hingga
tiba di suatu tempat yang bernama nual, namun kerena tidak kuat mengangkat sau
(jangkar) maka dipotonglah tali jangkar sehinga sau tersebut berubah menjadi
batu sau dan sejak itu tempat tersebut dinamakan hatuan (batu sau). Hingga saat
ini tradisi kora-kora raja masih dilaksanakan oleh negeri Ulath sebagai peringatan
kedatangan leluhur dari pulau Seram.
Dalam penelusuaran sejarah asal-muasal kedatangan leluhur ke pulau
Saparua, tentu tidak dapat dilepas pisahakan dengan kehadiran penduduk dari
kepulauan lain di luar Maluku, hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa
penuturan tradisi lisan beberapa Marga yang ada di Saparua misalnya sejarah tiga
adi kaka yang datang berlayar dari Malaka, yang kemudian berpisah di tanjung
sole kakak yang tertua singgah dan menetap di Buano, yang kedua singgah dan
menetap di Negeri Oma dan yang bungsu marga Siwabessy singgah dan menetap
di negeri Ulath. Cerita yang sama juga dikisahkan dalam perjalan tiga orang
bersaudara yang datang dari tanah Papua, dimana yang satunya singgah san
menetap di Tamilouw, yang kedua singgah di Sirisori dan yang bungsu singgah di
Hutumuri. Penuturan yang lain dapat dijumpai juga pada marga Polatu di negeri
Tuhaha yang datang berlayar dengan kapal sebagai Saudagar dari tanah Arab dan
berdiam di negeri Tuhaha, begitupun dengan marga cerita kedatangan moyang
Sasabone yang berasal dari Bone dengan kapal dan menetap di negeri Tuhaha
hingga sekarang ini.
Oleh karenaya itu dapat dipastikan bahwa sesungguhnya penduduk pulau
Saparua sesungguhnya bukanlah semata-mata berasal dari Pulau Seram,
melainkan dari berbagai tempat yang ada diluar sebagaimana yang dikisahkan
dalam berbagai cerita rakyat kehadiran leluhur setiap marga. Namun hal yang
paling mendasar dari berbagai kisah perjalanan leluhur ke Pulau Saparua
sesungguhnya telah memberikan suatu penggambaran yang sangat jelas mengenai
suatu peradaban kemaritiman.
Aspek kemaritiman yang menonjol ialah bagaimana leluhur mampu
beradaptasi dengan alam dengan menciptakan gosepa, kora-kora hingga kapal
sebagai media yang dapat digunakan pada masa itu untuk mencari tempat hunian-

4
hunian baru. Kemampuan memahami alam melalui pengetahuan perbintangan
serta tanda-tanda alam lain menjadi penanda penting dalam menunjang pelayaran
hingga tiba di Saparua. Kemampuan memahami tanda-tanda alam menjadi suatu
fakta masa lalu yang terus diwariskan hingga sekarang ini bagi anak cucu.
Dimensi lain yang tidak dapat dilepas pisahkan dengan dunia maritim
orang Saparua, yakni menyangkut toponimi atau penamaan pulau ini dalam cerita
rakyat negeri Saparua yang dikenal dengan istilah Saparoea atau Sampanoroea
yang artinya dua buah sampan, hal ini senada dengan penuturan masyarakat
negeri haria6 yang menjelaskan bahwa istilah Saparua sesungguhnya merujuk
pada bentuk pulau ini jika dilihat dari jauh menyerupai dua buah sampan (perahu)
yang sedang terapung diatas laut. Dengan demikian, dari aspek penaman pulau
Saparua telah tergambar dengan jelas suatu peradaban kemaritiman yang sangat
kuat sebagai simbol kedekatan orang Saparua dengan laut. Dalam kaitan dengan
peradaban kemaritiman, konstruksi sosial budaya Orang Saparua telah
membentuk berbagai pranata-pranata adatis yang berhubungan dengan laut sejak
dulu kala, yakni praktek sasi sebagai suatu bentuk pengelolalan lingkungan alam
termasuk potensi kelautan serta, pembentukan keawang sebagai penjaga dan
pelindung lingkungan alam. Hal lain yang dijumpai dalam kehidupan orang
Saparua dimasa lalu ialah berbagai teknologi pembuatan perahu, teknik
penagkapan ikan serta berbagai pengetahuan lain menyangkut laut (nanaku,
tanuar) serta ilmu astronomi tradisional masih dapat dijumpai dalam kehidupan
orang Saparua hingga sekarang ini.
Dalam catatan sejarah, aspek kemaritiman yang tidak dapat diabaikan ialah
eksistensi kora-kora sebagai suatu model transportasi pada masa kolonial, yang
menghubungkan masyarakat di Kepulauan lease dan sebagian Pulau Seram.
Eksistensi kora-kora tidak terbatas sebagai suatu simbol transportasi penghubung
melainkan suatu simbol penderitaan rakyat Lease (Saparua) dalam melaksanakan
pelayaran Hongi pada masa itu. Kora-kora dijadikan sebagai suatu armada perang
VOC dalam melaksanakan sistem mnopoli perdagangan cengkih dengan cara
menebang pohon-pohon cengkih rakyat yang tidak bersedia menjual cengkih
kepada Belanda. Setiap kora-kora dipersenjatai dengan meriam, dan digerakan

6
Wawancara dengan bapak Frans Souisa, tua adat negeri Haria, tanggal 23 Februari 2020

5
dengan menggunakan tanaga manusia dengan cara mendayung dengan teriakan-
teriakan yang keras sebagai penyemangat.
Hal mendasar yang lebih spesifik pemilihan judul dunia maritim orang
Saparua sesungguhnya dilatar belakangi sejarah Masa lalu yang menerangkan
bahwa Saparua merupakan pusat pemerintahan yang membawahi wilayah
Saparua, Haruku dan Nusalaut yang lebih dikenal dengan sebutan Lease. Senada
dengan itu S.H. Maelissa dan F. Sahusilawane7 menjelaskan bahwa dalam arsip
Hidia Belanda abad XIX, Saparua disebut sebagai suatu onder afdeling yang
dikepalai oleh seorang asisten Residen atau Kontuler. Kepala pemerintahan ini
berkedudukan di Kota Saparua, tepatnya persis berhadapan dengan benteng
Duurstede. Saparua sebagai pusat pemerintahan selalu berhubungan dengan pulau
Haruku dan Nusalaut serta beberapa pulau kecil disekitarnya yang disebut Uliase.
Dalam surat-surat penduduk setempat dan arsip-arsip sering disebut Ambon
Uliase, yang menggambarkan Saparua, Haruku, Nusalaut dan Ambon merupakan
suatu kesatuan. Oleh karena itu sebagian dari kisah peradaban kemaritiman
kepulauan Lease pada masa kolonial selalu menjadikan Saparua sebagai pusat
aktifitas dan kegiatan yang berkaitan dengan penerapan sistem monopoli
perdagangan rempah. Mulai dari pelayaran hongi, pemberlakuan pasar pulu
hingga berbagai pelayaran-pelayaran lokal. Pasar pulu merupakan suatu bentuk
peradaban kebaharian orang Lease yang memposisikan Saparua sebagai pusat
aktifitas masyarakat dengan menjadikan transportasi laut sebagai media
penghubung.
Fakta sejarah dan budaya masa lalu telah menjelaskan kedekatan orang
Maluku dengan laut, dimana laut telah membentuk peradaban yang berorentasi
kelaut untuk memecahkan berbagai dimensi kehidupan manusia. Dalam kaitan
dengan itu, kajian menyangkut dunia maritim orang Saparua sesungguhnya
merupakan suatu uapaya untuk merekonstruksi suatu dinamika orang Saparua
yang berhubungan dengan laut. Berbagai kajian mengenai dunia kemaritiman
masyarakat nusantara telah banyak mengungkap berbagai dinamika manusia yang
berkaitan dengan laut dengan tema-tema yang lebih spesifik, mulai dari
transportasi sebagai sarana penghubung antar pulau, teknologi tradisional yang

7
S.H.Maelissa & F.Sahusilawane 2007, hal 19

6
berkaitan dengan laut, ritual-ritual adatis yang berhubungan dengan lau, teknik
penangkapan ikan serta berbagai dinamika masyarakat lainnya. Oleh karenanya
itu kajian dunia maritim orang Saparua lebih berorentasi untuk mengungkap
berbagai dinamika sosial orang saparua yang berkaitan dengan laut.

2. PERMASALAHAN
Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana sejarah kedatangan leluhur ke Negeri-negeri di Pulau Saparua?
2. Bagaimana sejarah pelayaran lokal dari dan ke Saparua pada masa kolonial?
3. Bagaimana konsep budaya maaritim orang Saparua?
4. Bagaimana bentuk dan konstruksi budaya maritim orang Saparua?
5. Bagimana budaya maritim orang Saparua dalam konteks kekinian?

3. TUJUAN
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui sejarah kedatangan leluhur ke Negeri-negeri di Pulau Saparua
2. Mengetahui sejarah pelayaran lokal dari dan ke Saparua pada masa kolonial
3. Mengetahui konsep budaya maaritim orang Saparua
4. Mengetahui bentuk dan konstruksi budaya maritim orang Saparua.
5. Mengetahui budaya maritim orang Saparua dalam konteks kekinian

4. MANFAAT
Penelitian ini memiliki dua manfaat, yakni manfaat akademis dan manfaat
praktis. Dimana manfaat akademis memberikan tambahan literatur menyangkut
aspek kesejarahan dan kebudayan yang berkaitan dengan aspek kemaritiman
orang Saparua.
Manfaat praktis yang diharapakan ialah kiranya penelitain ini dapat
memberikan rekomendasi pemikiran bagi pemerintah daerah dalam merumuskan
kebijakan pagi pengembangan pembangunan khususnya menyangkut
pengembangan sektor perikanan dan kelautan serta wilayah pesisir.

5. METODE PENELITIAN

7
Adapun jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan
pendekatan deskriptif. Untuk memperoleh data yang akurat peneliti menggunakan
teknik pengumpulan data :

a. Wawancara dengan informan yang dianggap memiliki kompetensi dan


pemahaman yang baik tentang dunia maritim orang Saparua meliputi: para
leyanan, tokoh masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang laut serta
generasi muda.
b. Observasi; peneliti melakukan pengamatan secara langsung dan mencatat
seluruh hasil pengamatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang
diteliti.
c. Studi kepustakaan; yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti
dengan mengumpulkan dokumen-dokumen dan referensi yang berkaitan
dengan dunia kemaritiman sebagai pendukung dalam penulisan ini.

6. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN


Penelitian ini mengambil lokasi di Pulau Saparua dengan sampel
keterwakilan negeri pada setiap jasirah dimana pada jasirah tenggara diwakili oleh
negeri Ulath, negeri Saparua mewakili empat negeri di kota Saparua, negeria
Haria mewakili jasirah Porto - Haria, dan negeri Nolloth mewakili jasirah
Hatawano, dengan lamanya waktu penelitian empat hari pada bulan Ferbuari,
yang diawali dengan penelitian lapangan selama 14 (empat belas) hari dan
selanjutnya dilakukan penulisan hingga seminar hasil dan pelaporan.

7. TINJAUAN PUSTAKA
Harus diakui sebagai bangsa yang di anugerahi kelimpahan pulau sebagai
harta paling berharga, tentu menentukan citra diri sebagai wilayah kepulauan
adalah pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Menyadari akan realitas ini
aspek sejarah akan mengurai berbagai konsep pemikiran perjuangan bangsa
Indonesia dalam menentukan status pengakuan secara nasional maupun
Internasional. Rekam perjuangan ini tentu telah menempatkan Indonesia dalam
ranah internasional sebagai wilayah kepulauan dengan bentang maritim yang di

8
ukur dari luasnya lautan Indonesia yang menghubungkan pulau-pulau tersebut.
Laut tidak lagi dilihat sebagai faktor penghalang namun sebaliknya dapat dilihat
sebagai bagian dari integrasi unsur kebangsaan Indonesia. Dari aspek yuridis,
pengakuan dunia terhadap status wilayah Indonesia adalah final terhadap
pengelolaan pulau-pulau yang ada di wilayah Indonesia. Orientasi pikir tentu akan
mengarah pada kemungkinan terjadinya sengketa wilayah dengan negara tetangga
dalam hal penetapan batas wilayah perbatasan laut, tetapi lebih dari pada itu juga
adalah sebuah penegasan filosofis keberadaan laut dan pulau adalah satu tidak
dapat di pisahkan dengan lainya. Sehingga dari perspektif ini, laut kita akan
dipandang sebagai media pemersatu bangsa bukan sebaliknya.
Gagasan untuk memandang laut sebagai media yang mengintegrasikan
merupakan suatu cara pandang baru yang menempatkan laut sebagai sesuatu yang
penting. Gagasan pembangunan yang selama ini membelakangi (mengabaikan)
laut merupakan suatu pengingkaran terhadap suatu realitas geografis serta
pengakuan kedaulatan Negara Kesatuan Indonesia yang terdiri dari tanah dan air.
Kata tanah dan air yang dimaksudkan merujuk pada representasi daratan dan
lautan sebagai batas-batas teritorial. Sejalan dengan itu menurut Aholiab Watloly 8
menyebutkan bagi masyarakat kepulauan, khususnya sebagian besar masyarakat
kepualauan maluku yang adalah sebuah jalan (masayarakat pulau Damer
menyebutnya dengan nlalan), yang menhubungkan dan mempersatukan
kehidupan mereka. Laut kepulauan sebagai jalan tengah menganyam atau
mentalitemalikan mereka, dari latar belakang pulau yang berbeda, dalam sebuah
ruang sosial yang luas. Sehingga mereka, bukan hanya saling berjumpa dan saling
bertukar, tetapi saling lebih daripada itu, saling terintegrasi dari suatu ruang sosial
dengan berbagai modus jaringan sosial budaya yang khas. Mereka yang
menempati pulau-pulau kecil, karena itu banyak memiliki tradisi transportasi
kelautan, dengan sarana transportasi laut dan ketrampilan melaut, menyelam dan
berenang sebagai sebuah ketrampilan alami.
Pada sisi yang lain, Mezak Wakim9 menjelaskan konteks kepedulian pulau-
pulau kecil di Indonesia dalam menghubungkan konsep laut (maritim) yang luas

8
Aholiab Watloly dalam Cermin Eksistensi Masyarakat Kepulauan Dalam Pembangunan Bangsa,
hal 86
9
Mezak Wakim 2019, hal 3

9
dengan taburan pulau-pulau yang begitu banyak seperti pola menghubungkannya
adalah melalui laut. Tentu mendasar bila rujukannya di mulai dari konsep laut
sebagai konsep integrasi bangsa karena itu taburan pulau yang banyak pada lautan
yang luas kini menjadi fakta penting dalam pengelolaan Indonesia membutuhkan
menejemen tertentu. Karena bias dari pendekatan laut sebagai media penghubung
akan memberikan sebuah prepektif terhadap pembangunan sarana dan infrastrutur
penghubung tersebut. Sehingga kepedulian akan menunjuk pada pengembangan
aspek kelautan yang berhubungan dengan integrasi nasional yang menyatukan
pulau-pulau tersebut.
Memandang kebudayaan Maluku dari kacamata bahari pada prinsipnya
mengemukakan kosmologi laut-darat, pantai-gunung sebagai dominasi budaya
masyarakat Maluku. Artinya pandangan awal tentang dunia orang Maluku di
perspektifkan sebagai simbol orang dari laut dan darat atau orang pantai dan orang
gunung. Ini menjadi konsep penting dalam memahami tradisi orang Maluku yang
tentunya berperan mentransfer budaya darat ke laut. Menurut Wahidi dalam
(Bambang Budi Utamo 2007:10) bahwa Setiap zaman dalam sejarah Indoensia
memiliki hubungan yang erat dengan unsur-unsur budaya maritim. Dari hasil
peneltianya ia dapat menunjukan bahwa sarana angkutan air yang paling awal
pada masyarakat penutur Austronesia adalah rakit bambu yang kemudian sedikit
bserkembang dengan menggunakan balok-balok kayu yang di gabungkan. Selain
itu juga di jelaskan Didik Prajoko dkk (2011:41) dalam Atlas Pelabuhan-
Pelabuhan Nusantara menyebutkan konsep perahu Nusantara mengacu pada
perahu China kuno yang ditemukan dalam sumber china pada abad ke 3 dan 8
yang berukuran 50 meter dan dapat menampung penumpang sekitar 500 orang.
Sementara menurut A.B Lapian bahwa pada tahun 1544 Galvao menemukan cara
pembuatan perahu menurut orang Maluku Utara yakni berbentuk telur dengan
lunasnya bahankan linggih depan dan belakang di pasang untuk menentukan arah
depan dan belakang (Lapian 2008 : 22).
Dalam dimensi sejarah, laut telah menjadi panggung sejarah yang
mengisahkan berbagai peristiwa masa lalu yang patut dikenang sepanjang masa.
Peristiwa-peristiawa tersebut menjadi suatu ingatan kolektif menyangkut dunia
kemaritiman kita. Keberadaan Belang dalam tradisi bahari orang Ambon-Lease

10
menjadi suatu latar sejarah; dimana perahu belang menjadi fakta keberadaan VOC
di Kepualan Lease sebagai bentuk pendekatan awal munculnya tradisi belang.
Sejalan dengan itu Aholiab Watloly10 menyebutkan bahwa, Laut kepualauan
adalah sebuah ruang dan pentas histroris bagi generasi masyarakat kepulauan.
Masyarakat kepulauan maluku yang sebagian besarnya adalah msyarakat adat,
selalu memiliki paham (falsafah) sejarah yang bersifat holistik (utuh dan
menyeluruh). Karena itu, masyarakat kepulauan selalu melihat laut kepulauannya
sebagai hal yang mendasar yang menyingkapkan dimensi-dimensi fundamental
dalam eksistsnsinya secara menyeluruh sebagai masyarakat kepualauan, baik
sejarah masa lalu, masa kini maupun sejarah masa depannya. Pada suatu sisi,
masyarakat kepulauan memahami laut kepulauannya sebagai pentas sosial budaya
yang telah menciptakan berbagai ruang sejarah, jejaring sosial, yang nampak dari
berbagai kearifan lokal, legenda, mitos, ritus, serta aneka tradisi yang menyatu
dalam penghayatan batin atau nalar batin maupun nalar sosial dan nalar adat yang
sakral serta diwarisi dari generasi-ke generasi. Sehingga banyak yang memahami
dan meyakini keberadaan diri dan kelompoknya yang sekarang sebagai
sembungan dari peristiwa-peristiwa historis yang dialami oleh tete nene moyang
atau leluhurnya di laut.
Dalam kaitan dengan dunia kemaritiam Orang Saparua hal yang mendasar
untuk dipahami ialah mengetahui asal-usul penduduk pulau Saparua, yang dalam
penuturanya berkaitan dengan mitos rakyat Maluku lahir dari perjumpaan Upu
Lainite (dewa langit) dengan Upu Ina atau Upu Ulate (dewa bumi) di Nunu
Waisane. Manusi pertama disebut Alifuru (alif-uru) berada di puncak Nunusaku.
Disana terdapat satu pohon beringin besar yang mengalirkan tiga batang air Tala,
Eti dan Sapalewa11. Diyakini dari tiga batang air ini manusia Maluku keluar
perbanjaran ke wilayah-wilayah sekitar termasuk Saparua. Karena keyakinan ini
maka oleh penduduk Pulau Ambon dan Kepualauan Lease sering menyebut pulau
Seram dengan sebutan Nusa Ina (Pulau Seram). Walaupun demikian, fakta lain
yang tidak dapat dipungkiri ialah tidak semua penduduk Saparua berasal dari
pulau Seram, melainkan juga ada yang berasal dari wilayah-wilayah lain diluar

10
Aholiab Watloly, 2013, hal 88
11
S.H. Maelissa & F. Sahusilawane, 2007 hal, 19-20

11
kepulauan Maluku. Hal senada diungkap oleh Johan Pattiasina12 yang menjelaskan
terlepas dari berbagai mitos yang berkembang dalam kehidupan masyarakat dan
dihubungkan dengan realitas yang ada ternyata dari penelusuran-penelusuran
terhada asal-usul penduduk membuktikan, tidak semua penduduk berasal dari
Pulau Seram, hal ini dapat diketahui dari berbagai kisah dalam cerita tradisi
Marga-marga (fam), yang terdapat pada negeri-negeri di Saparua.penduduk
Saparua dapat menceritakan asal-usulnya bahwa mereka berasl dari tempat-tempat
seperti, Onin Papua, Pulau Ambon, Buano, Bone, Manipa, Kei, Cina Maupun
Malaka. Sejalan dengan itu sumeber lain 13 menyatakan Orang Maluku Tengah
berdasarkan gambaran tradisional yang bersumber pada cerita-cerita orang-orang
tua, dongeng, legenda dan lain-lainber keyakinan bahwa sebelum nenek moyang
mereka datang dari Seram, Maluku Uatara, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan
tenggara, atau Irian Barat( melalui Seram Timur), maka Kepulauan Ambon Lease
kosong sama sekali.
Dari aspek penamaan (toponimi), nama pulau Saparua sesungguhnya
memiliki arti yang berkaitan dengan dunia kemaritiman, yang mana memiliki arti
menyerupai alat tranportasi yaitu sampan, sebagaimana yang diungkapkan S.M.
Maelissa dan F. Sahusilawane14 yang menjelaskan bahwa, menurut tradisi sejarah
lisan Saparua berasal dari sebutan Sampan Rua artinya dua buah sampan atau dua
buah perahu, (sampan = perahu dan rua = dua). Disebut demikian karena saat
penduduk Saparua yang pertama menyebrang dari Pulau Seram ke pulau Saparua,
dari laut pulau tersebut kelhatan sebagai dua buah sampan atau perahu yang
sedang terapung. Namun dalam catatan Rumphius15 seorang sejarawan
berkebangsaan Jerman menyatakan bahwa Honimoa adalah nama lain untuk
Saparua pada waktu itu. Penamaan ini berkaitan dengan pembangunan benteng
Holandia oleh Belanda di nagian Selatan pulau Saparua, daerah ini sekarang
masuk dalam wilayah negeri Sirisori Amalatu (Sirisori Kristen). Catatan sejarah
menjelaskan pulau Saparua mengalami perubahan nama mulai dari Nusa Iha,

12
Johan Pattiasina, 2011, Taong Vlaming, Perubahan Formasi Etnis dan Keagamaan di Saparua
Tahun 1647-2656 ,hal 44-46
13
Frank Cooley, Persentuhan Kebudayaan di Maluku Tengah 1475-1675 dalam bunga rampai
Sejarah Daerah Maluku (1) Jakarta: Lembaga penelitian Sejarah Maluku 1973, hal, 118
14
S. H. Maelissa & F. Sahusilawane, 2007, hal, 17
15
Rumphius, 1983, Ambonshe Landbeschryving 1679, Edited Z..J. Manusama, Jakarta, ANRI

12
Uliasar, Honimua kemudian Saparua. Penamaan pulau Saparua tentu tidak dapat
dilepas pisahkan dengan pemindahan pusat pemerintahan dari Honimu (petuanan
negeri Sirisori Kristen) ke negeri Saparua yang ditandai dengan pembangunan
benteng durstede.
Aspek kemaritiman yang tidak dapat dilepaspisahkan dengan keberadaan
kolonial Belanda ialah peristiwa pelayaran hongi, yaitu suatu bentuk pelayaran
dengan menggunakan kora-kora dan berisikan persenjataan lengkap serta
digerakan oleh tenaga manusia dengan cara didayung. Tenaga pendayung
biasanya diambil dari penduduk yang ada di negeri-negeri adat di kepulauan
Ambon Lease (Saparua, Haruku dan Nusalaut). Hongi dalam bahasa Ternate
berarti “Armada” atau “angkatan kapal laut”. Lihat, Sartono Kartodirdjo,
Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium ke Imperium
(Jakarta: Gramedia, 1988), hlm 179. Hongi merupakan alat politik yang utama
dari kerajaan-kerajaan di Maluku (terutama Ternate dan Tidore), yang
memungkinkan terjadinya ekspansi ke pulau-pulau yang letaknya jauh di luar
wilayah kerajaan. Dahulu raja Maluku menggunakan hongi untuk memungut
pajak, menjatuhkan hukuman, menghancurkan dan merusak. Lihat: R.Z Leirissa,
Lembaga Budaya Pela dan Gandong di Maluku: Latar Sejarah Peran dan
Fungsinya (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal
Kebudayaan, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, 2000), hlm24. Pada
zaman Portugis hongi sudah ada, dan pada masa selanjutnya hongi dimanfaatkan
oleh VOC untuk melakukan penyerangan terhadap daerah-daerah yang
membangkan terhadap perintah VOC. Hongi terdiri atas Armada kora-kora dalam
jumlah besar, dimana kora-kora dan tenaga pendayungnya di sediakan oleh setiap
negeri. Hongi pada masa VOC pertama kali dilakukan oleh Herman Speult pada
tahun 1625, ketika menyerang dan memusnahkan cengkeh di Luhu16.
Sejarah kemaritiman dimasa lalu telah menjelaskan pentingnya laut bagi
orang Maluku. Dalam konteks kekinian dengan luas laut yang begitu besar
memberikan topangan ekonomi yang begitu baik bagi penguatan ekonomi
kerakyatan. Kondisi geografis kepulauan yang terhubung dengan laut,
memberikan inpirasi bagi manusia kepulaun menciptakan beragam model

16
Lihat Johan Pattiasina, 2011, hal, 3

13
transportasi guna menghubungkan pulau-pulau. Dalam konteks masyarakat
kepulauan kebutuhan trasnportasi tentu tidak hanya untuk menjawab kebutuhan
perpindahan orang atau kelompok dari satu pulau ke pulau yang lain, melainkan
menjadi suatu upaya untuk mendistribusikan ketersedian pangan maupun berbagai
kebutuahan lain. Jasa transportasi memberikan ruang penghidupan serta membuka
lapangan pekerjaan serta memberikan harapan hidup yang lebih baik.
Dalam aspek kepariwisataan potensi sumber daya alam laut kepulauan
Maluku memberikan daya dukung yang sangat potensial. Pesona alam yang indah
dengan garis pantai ditaburi pasir putih yang serta air laut biru kehijau-hijauan
memberikan kesan yang nyaman bagi setiap mata yang menikmatinya. Selain itu
potensi alam bawa laut dengan terumbuh karang dengan berbagi spesies menjadi
pesona yang memikat setiap wisatawan untuk menikmati indahnya alam Maluku
persolan terbesar yang masih menjadi kendala ialah bagaimana mengelola dan
menyiapkan sarana prasarana pendukung guna menunjang pengembangan
pariwisata di Maluku. Senada dengan itu, Nurhidayat 17 menyatakan bahwa,
merupakan kegiatan wisata yang memanfaatkan potensi alam bahari sebagai daya
tarik wisata maupun wadah kegiatan wisata baik yang dilakukan di atas atau di
bawah permukaan laut dan tidak dapat dipisahkan dari keberadaan ekosistemnya
yang kaya akan keanekaragaman jenis biota laut. Wisata bahari mempunyai kesan
bukan semata-mata untuk memperoleh hiburan dari berbagai suguhan atraksi
maupun suguhan alami lingkungan pesisir dan lautan, tetapi wisatawan juga
diharapkan dapat berpartisipasi langsung mengembangkan konservasi lingkungan
dan pemahaman tentang ekosistem pesisir sehingga membentuk kesadaran dan
sikap untuk melestarikan wilayah pesisir saat ini dan saat yang akan datang.

8. KERANGKA PIKIR
Penelitian dunia maritim orang Saparua merupakan penelitian menggunakan
pendekatan ilmu-ilmu sosial dan budaya. Berdasarkan konsep dan tinjauan
pustaka yang ada maka rancangan kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat
dijelaskan pada gambar sebagai berikut:
17
Nurhidayat dalam Ambon Menengkok Ke Barat Untuk Menjadi Pintu Timur, hal 92-95.

14
Konsep
Budaya

Wujud Gagasan
Budaya Simbol dan

Bagan
Kerangka pemikiran Penelitian

9. TEKNIK ANALISA DATA


Analisa data dilakukan secara terus menerus dari awal hingga akhir kegiatan
penelitian. Data yang disusun dan digolongkan kedalam kategori-kategori tertentu
dengan mengacu pada pokok-pokok bahasan yang telah ditetapkan. Selanjutnya
setelah diadakan interpetasi-interpetasi dan penjelasan-penjelasan yang kemudian
disajikan dalam bentuk uraian deskriptif. Deskriptif tersebut diperhadapkan akan
dapat memberikan penjelasan atau pemahaman tentang kompleksitas gejala-gejala
yang tercakup dalam focus penelitian.

10. VALIDITAS DATA


Validitas data sebagai acuan kebenaran temuan penelitian dan pijakan
analisis diperoleh dengan menggunakan pendekatan triangulasi data (Phaton,
1980; Sutopo, 1991), dengan mana data dikumpulkan dari varian atau sumber
yang berbeda, termasuk dari informan kunci yang berbeda. Sebab variasi data
dapat membantu proses pengujian kebenaran yang karena itu perlu pula diuji
dengan pendekatan komparasi. Proses triangulasi oleh Moleong (2000:178) juga
dimaksudkan sebagai usaha memeriksa kebenaran informasi yang ditemui dari
penelitian atau melalui wawancara. Mengingat ada beberapa wilayah budaya yang
dijadikan lokasi penelitian, maka analisis komponensial dan kategorisasi
(Spradley, 1997) juga dijadikan ukuran validasi data. Dengan demikian agar data-

15
data yang bervariasi itu tidak dipahami secara simplifikasi dan juga menghindari
generalisasi yang tidak berdasar.

16

Anda mungkin juga menyukai