Anda di halaman 1dari 4

JUKUNG DALAM TRADISI MARITIM NUSANTARA

Oleh: Alfan Azzury Sutejo (2001551014)

Negara Indonesia membentang cukup luas, dari Samudra Hindia hingga Pasifik, dan dari
utara Australia hingga daratan Asia Tenggara. Negara ini memiliki luas daratan sekitar 1,92 juta
km² dengan wilayah laut pedalaman dan teritorial seluas 3,1 juta km², dan wilayah Zona
Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km². Indonesia tidak terdiri dari sebuah daratan utuh
melainkan terdiri dari ribuan pulau yang tersebar di antara batas-batas wilayah tersebut.
Pulau-pulau tersebut menyebabkan negara ini memiliki garis pantai yang cukup panjang.
Karakter Indonesia yang merupakan negara kepulauan ini juga tidak luput dari aktivitas
pelayaran antar pulaunya. Kondisi geografis Indonesia memungkinkan terjadinya fenomena
diaspora maritim sebagai fenomena yang sejaman dengan keberadaan bangsa Indonesia itu
sendiri. Hal ini juga dikarenakan nenek moyang bangsa Indonesia juga merupakan pendatang
(Sulistyono, 2016:83).
Gelombang diaspora maritim bangsa Indonesia ditandai dengan terjadinya iklim global
yang berubah beberapa kali selama 40.000 tahun terakhir. Perubahan tersebut menyebabkan
kenaikan permukaan air laut pada akhir zaman es terakhir. Jawaban mengenai kapan diaspora
maritim pertama di wilayah negara ini masih belum jelas. Hal ini dikarenakan terdapat penemuan
prasejarah di Australia yang bertarikh antara 45.000 - 50.000 tahun yang lalu sedangkan Paparan
Sahul tidak terhubung dengan Paparan Sunda atau daratan utama lainnya. Kedua daratan tersebut
terpisah oleh lautan dan beberapa pulau seperti kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi, dan
Kepulauan Maluku. Ketiga wilayah kepulauan tersebut juga tidak terhubung dengan wilayah
daratan utama termasuk Paparan Sahul. Namun, di Pulau Flores juga peninggalan Homo
Floresiensis yang berusia sekitar 100.000 tahun yang lalu. Penemuan-penemuan di wilayah yang
tidak memiliki kontak langsung dengan daratan utama pada masanya memunculkan hipotesis
bahwa diaspora maritim telah terjadi setidaknya seratus ribu tahun yang lalu di Nusantara.
Diaspora maritim yang terjadi di kepulauan Indonesia secara tidak langsung juga
menghadirkan kebudayaan maritim di negara ini. Puncak kebudayaan maritim pada masa
prasejarah sendiri terjadi sekitar 3000 tahun yang lalu ketika para penutur bahasa Autronesia
datang ke wilayah kepulauan Indonesia. Pada masa tersebut orang-orang dengan ras Mongoloid
dari selatan Cina bergerak ke arah selatan melalui selat Luzon dalam jumlah besar. Filipina
wilayah pertama di luar Cina yang mereka singgahi sebelum akhirnya memasuki wilayah
perairan Indonesia. Gelombang diaspora Austronesia ini membawa berbagai macam teknologi
dan peralatan baru ke wilayah yang disinggahinya seperti tembikar, busur, anak panah, tradisi
pemelihataan babi, anjing, dan teknologi pertanian baru yakni padi dan gandum. Teknologi
pembuatan perahu dan penggunaan cadik perahu juga dibawa oleh kelompok yang terkenal atas
kemaritimannya ini (Sulistyono, 2016:84-85). Teknik pembuatan perahu yang dibawa para
penutur Austronesia tersebut kemudian berkembang secara signifikan di Nusantara
menyesuaikan kebutuhan, fungsi, dan kondisi alam sekitar tiap daerah di wilayah ini.
Di wilayah Nusantara berkembang berbagai jenis transportasi air. Kapal Jong,
Padewakang, Mayang dan Kora-kora serta perahu tipe lesung seperti Jukung dan Paduwang
adalah beberapa contoh transportasi yang dibuat dan digunakan oleh orang-orang Nusantara
secara masif pada abad 16 hingga 19 Masehi. Kapal dan perahu tersebut memiliki keunikan yang
membedakannya dengan kapal-kapal bangsa lain, seperti pada teknik konstruksi, bentuk
lambung, tipe kemudi dan tipe layar yang digunakan (Al Fiqri, 2019:1). Berbagai jenis perahu
juga telah dikenal pada masa klasik, dibuktikan dengan beberapa sumber prasasti yang
menyebutkannya. Di Bali sendiri setidaknya ditemukan empat prasasti yang menyebutkan
beberapa jenis perahu dan kapal, diantaranya: (1) Prasasti Bebetin AI menyebutkan lancang dan
parahu (perahu); (2) Prasasti Sembiran AI menyebutkan parahu, lancang, jukung, dan talaka; (3)
Prasasti Sembiran AIV menyebutkan jong, bahitra, dan parahu; dan (4) Prasasti Sembiran C
menyebutkan parawu (perahu), jong, dan banawa (Beratha dan Ardika, 2018:270).
Jukung adalah salah satu jenis perahu tradisional yang masih digunakan hingga saat ini.
Jukung merupakan salah satu jenis perahu lesung. Perahu lesung, terutama yang memiliki cadik,
adalah ikon kebudayaan maritim penutur Austronesia karena diperkirakan diaspora maritim
Austronesia menggunakan perahu jenis ini. Fungsi utama jukung ialah sebagai perahu nelayan
meski dapat juga digunakan sebagai pengangkut barang. Penggunaan jukung sebagai perahu
nelayan masih terlihat saat ini di beberapa daerah seperti Madura dan Bali. Proses pembuatan
jukung masih serupa dengan pembuatan perahu lesung Austronesia kuno. Perahu ini tersusun
dari lima bagian yang mana satu bagiannya adalah lambung perahu batangan yang dikeruk, dan
empat papan tambahan yang dipasang di bagian kiri dan kanan serta bagian depan dan belakang
perahu (Horridge, 1987:29). Batang kayu dikeruk menggunakan kapas hingga terbentuk rongga
dan membentuk lambung perahu. Sisi atas papan lambung menjadi tempat di mana papan
tambahan kelak akan dipasang, lalu dibor dan pasak kayu dipasang dilubang bor tersebut.
Setelah itu barulah papan tambahan dipasang. Penggunaan papan tambahan ini ditujukan agar
perahu menjadi lebih tinggi dari permukaan air dan mencegah air masuk ke dalam perahu.
Jukung tidak menggunakan rangka untuk menahan papan tambahan melainkan dengan
pemberian kunci pada pasak. Hal tersebut dilakukan dengan cara melubangu papan dan pasak di
dalamnya kemudian dimasukkan pasak pengunci (Horridge, 1987:94).
DAFTAR PUSTAKA
Al Fiqri, Y. (2019). TEKNOLOGI PERKAPALAN NUSANTARA ABAD KE-16-18 M. Sejarah
dan Budaya: Jurnal Sejarah, Budaya, dan Pengajarannya. 14(1), 1-21.
Beratha, N. L. S., dan Ardika, I. W. (2018). Aktivitas Kemaritiman Pada Masa Bali Kuna.
Prosiding Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III, Denpasar: 25-26 September 2018. Hal
266-273.
Horridge, A.(1987). Outrigger Canoes of Bali and Madura Indonesia. Honolulu:Bishop Museum
Press.
Sulistiyono, S. T. (2016). Paradigma maritim dalam membangun Indonesia: Belajar dari sejarah.
Lembaran Sejarah, 12(2), 81-108.

Anda mungkin juga menyukai