Anda di halaman 1dari 6

NAMA : FIDYA PRATIWI JUNAIDI

NIM : 552422022
KELAS :B
PRODI : PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
DOSEN : DR. IR. BEBY SINTIA DEWI BANTENG, S.T., MSP
MATA KULIAH : LINGKUNGAN SOSIAL BUDAYA MARITIM
(KEMARITIMAN)
TUGAS 1: RINGKASAN SEJARAH KEMARITIMAN INDONESIA

Sejak abad ke-9 Masehi, bangsa Indonesia telah berlayar mengarungi


lautan ke barat Samudera Hindia hingga Madagaskar dan ke timur
hingga Pulau Paskah.Ini menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia
memiliki peradaban dan budaya maritim yang maju sejak dulu kala.
Seiring semakin ramainya aktivitas melalui laut, lahirlah kerajaan-
kerajaan bercorak maritim dan memiliki armada laut besar.
Perkembangan budaya maritim pun membentuk peradaban bangsa
yang maju di zamannya. Pada era Kerajaan Sriwijaya, Majapahit
hingga Demak, nusantara tampil sebagai kekuatan besar yang
disegani negara di kawasan Asia dan dunia. Sebagai kerajaan maritim
yang kuat di Asia Tenggara, Sriwijaya (683-1030 M) telah
mendasarkan politik kerajaannya pada penguasaan alur pelayaran dan
jalur perdagangan serta menguasai wilayah-wilayah strategis yang
digunakan sebagai pangkalan kekuatan laut. Angkatan laut Kerajaan
Sriwijaya ditempatkan di berbagai pangkalan strategis dan mendapat
tugas mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang yang berlabuh,
memungut biaya cukai, serta mencegah terjadinya pelanggaran laut di
wilayah kedaulatan dan kekuasaannya.
Ketangguhan maritim juga ditunjukkan era Kerajaan Singosari di
bawah pemerintahan Kertanegara pada abad ke-13. Kekuatan armada
laut yang tidak ada tandingan, pada 1275 Kertanegara mengirimkan
ekspedisi bahari ke Kerajaan Melayu dan Campa untuk menjalin
persahabatan agar bersama-sama dapat menghambat gerak maju
Kerajaan Mongol ke Asia Tenggara. Pada 1284, mereka menaklukkan
Bali dalam ekspedisi laut ke timur. Puncak kejayaan maritim
nusantara terjadi pada masa Kerajaan Majapahit (1293-1478).
Dibawah Raden Wijaya, Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada,
Majapahit berhasil menguasai dan mempersatukan nusantara.
Pengaruhnya bahkan sampai ke negara-negara asing, seperti Siam,
Ayuthia, Lagor, Campa (Kamboja), Anam, India, Filipina, China.
Kejatuhan Majapahit diikuti munculnya Kerajaan Demak. Kebesaran
Kerajaan Demak jarang diberitakan, tetapi bukti kekuatan maritim
Kerajaan Demak mampu mengirim armada laut yang dipimpin Pati
Unus yang bergelar Pangeran Sabrang Lor membawa 100 buah kapal
dengan 10.000 prajurit menyerang Portugis di Malaka. Kilasan
sejarah itu memberi gambaran, betapa kerajaan-kerajaan di nusantara
dulu mampu menyatukan wilayah nusantara dan disegani bangsa lain
karena kehebatan armada niaga, keandalan manajemen transportasi
laut, dan armada militer yang mumpuni. Sejarah telah mencatat
dengan tinta emas, bahwa Sriwijaya dan Majapahit pernah menjadi
center of excellence di bidang maritim, kebudayaan, dan agama di
seluruh wilayah Asia Tenggara. Kejayaan para pendahulu negeri ini
terbangun karena kemampuan mereka membaca potensi yang dimiliki
hingga membentuk budaya negara maju. Ketajaman visi dan
kesadaran terhadap posisi strategis nusantara telah membawa bangsa
ini besar dan disegani negara lain.
Sayang, masa keemasan itu tinggal sejarah. Negeri ini tidak belajar
dari apa yang dilakukan para leluhur. Kejayaan bangsa tertutup potret
kemiskinan yang melanda rakyat negeri ini. Kecintaan kepada laut
juga semakin dangkal. Rasa keberpihakan negara terhadap dunia
maritim pun lemah. Padahal, budaya maritim adalah roh dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan jutaan penduduk
tersebar di ribuan pulau.
Meski kini sudah hadir Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),
namun orientasi pembangunan negara masih terfokus di sektor darat.
Bahkan, sejumlah kalangan masih menganggap sektor kelautan
merupakan sebuah beban dibandingkan aset berharga. Masalah
utamanya adalah paradigma. Darat atau agraris masih melekat pada
kebanyakan masyarakat Indonesia, terutama pemerintahnya. Bangsa
Indonesia masih mengidap kerancuan identitas. Di satu pihak
mempunyai persepsi kewilayahan tanah air, tetapi memposisikan diri
secara kultural sebagai bangsa agraris dengan puluhan juta petani
miskin yang tidak sanggup disejahterakan. Sementara kegiatan
industri modern sulit berkompetisi dengan bangsa lain, antara lain
karena budaya kerja yang berkultur agraris konservatif, disamping
berbagai inefisiensi birokrasi dan korupsi. Industri yang dibangun
juga tidak berdasar pada keunggulan kompetitif, namun komparatif
tanpa kedalaman struktur serta keilmuan dan teknologi yang kuat.
Akibat hal tersebut pembangunan perekonomian maritim dan
pembangunan sumber daya manusia Indonesia tidak pernah dijadikan
arus utama pembangunan nasional, yang didominasi persepsi dan
kepentingan daratan semata.
 Bukti Budaya Maritim
Dalam perjalanan budaya bangsa Indonesia, para pakar sejarah
maritim menduga perahu telah lama memainkan peranan penting di
wilayah nusantara, jauh sebelum bukti tertulis menyebutkannya
(prasasti dan naskah-naskah kuno).Dugaan ini didasarkan atas sebaran
artefak perunggu, seperti nekara, kapak, dan bejana perunggu di
berbagai tempat di Sumatera, Sulawesi Utara, Papua hingga
Rote.Berdasarkan bukti-bukti tersebut, pada masa akhir prasejarah
telah dikenal adanya jaringan perdagangan antara Nusantara dan Asia
daratan. Pada sekitar awal abad pertama Masehi diduga telah ada
jaringan peradaban antara nusantara dan India. Bukti-bukti tersebut
berupa barang-barang tembikar dari India (Arikamedu, Karaikadu dan
Anuradha-pura) yang ditemukan di Jawa Barat (Patenggeng) dan Bali
(Sembiran).Keberadaan barang-barang tersebut diangkut
menggunakan perahu atau kapal yang mampu mengarungi samudera.
Bukti tertulis paling tua mengenai pemakaian perahu sebagai sarana
transportasi laut tercetak dalam Prasasti Kedukan Bukit (16 Juni 682
Masehi).Pada prasasti tersebut diberitakan; ”Dapunta Hiya? bertolak
dari Minana sambil membawa pasukan sebanyak dua laksa dengan
perbekalan sebanyak 200 peti naik perahu.
Pada masa yang sama, dalam relief Candi Borobudur (abad ke-7-8
Masehi) dipahatkan beberapa macam bentuk kapal dan perahu. Dari
relief ini dapat direkonstruksi dugaan bentuk-bentuk perahu atau
kapal yang sisanya banyak ditemukan di beberapa tempat nusantara,
misalnya Sumatera.
Selain itu, bukti-bukti arkeologis transportasi laut banyak ditemukan
di berbagai wilayah Indonesia, seperti papan-papan kayu yang
merupakan bagian dari sebuah perahu dan daun kemudi, yang
ukurannya cukup besar. Pertama, Situs Samirejo secara administratif
terletak di Desa Samirejo, Kecamatan Mariana, Kabupaten Musi
Banyuasin (Sumatra Selatan).Situs ini berada di suatu tempat lahan
gambut. Sebagian besar arealnya merupakan rawa-rawa. Beberapa
batang sungai yang berasal dari daerah rawa bermuara di Sungai
Musi.
Dari lahan rawa basah ini pada Agustus 1987 ditemukan sisa-sisa
perahu kayu. Sisa perahu yang ditemukan terdiri dari sembilan bilah
papan dan sebuah kemudi. Dari sembilan bilah papan tersebut, dua
bilah di antaranya berasal dari sebuah perahu, dan tujuh bilah lainnya
berasal dari perahu lain.
Sisa perahu yang ditemukan tersebut dibangun secara tradisional di
daerah AsiaTenggara dengan teknik yang disebut “papan ikat dan
kupingan pengikat” (sewn-plank and lashed-lug technique), dan
diperkuat dengan pasak kayu atau bambu. Papan kayu yang
terpanjang berukuran panjang 9,95 meter dan terpendek 4,02 meter;
lebar 0,23 meter; dan tebal sekitar 3,5 cm.Pada jarak-jarak tertentu
(sekitar 0,5 meter), di bilah-bilah papan kayu terdapat bagian yang
menonjol berdenah empat persegi panjang, disebut tambuko. Di
bagian itu terdapat lubang yang bergaris tengah sekitar 1 cm. Lubang-
lubang itu tembus ke bagian sisi papan. Tambuko disediakan untuk
memasukkan tali pengikat ke gading-gading. Papan kayu setebal 3,5
cm kemudian dihubungkan bagian lunas perahu dengan cara
mengikatnya satu sama lain.

 Bukti Kebesaran Maritim Indonesia


Arkeologi maritim menemukan banyak bangkai kapal di bawah laut
negeri ini, dengan tahun pembuatan mulai dari abad 7 SM, memiliki
teknologi pembuatan yang belum ada duanya di dunia. Catatan-
catatan dari para penjelajah, geographer, atau sejarawan berbagai
belahan dunia (Mesir, Yunani, China), menggambarkan tentang
penjelajahan pelaut-pelaut Nusantara, dengan kapal, hasil bumi, dan
hasil budaya tinggi, ke berbagai sudut dunia. Penemuan artefak-
artefak di berbagai belahan dunia, termasuk beberapa tempat di negeri
ini (misalnya di gua Pasemah, Sumatera Selatan, gua Made di
Jombang, Jawa Timur, lembah Mada di Sulawesi Selatan, Batu jaya
di Bekasi, atau banyak lokasi lain seperti Timor, Kutai, Maluku,
Halmahera) mengindikasikan bukan hanya terjadi perlintasan antar
bangsa, tapi juga kebudayaan advance yang telah dicapai. Penyebaran
bahasa yang mencakup setengah dunia, dan mengikutsertakan lebih
dari 400 juta penutur membuktikan keberadaan bangsa-bangsa di
Nusantara di atas bumi ini. Persenjataan, alat musik, hingga ilmu
perbintangan dari berbagai kawasan, sejak dari Afrika, Timur Tengah,
India, hingga Polynesia, memperlihatkan bagaimana pengaruh
kultural sudah jauh lebih dulu sebelum bangsa asing datang ke negeri
ini. (Suroyo & dkk, Sejarah Maritim Indonesia 1, 2007)
DAFTAR PUSTAKA

Suroyo, A. D., & dkk. (2007). Sejarah Maritim Indonesia 1. Kemaritiman, 206.

Anda mungkin juga menyukai