Anda di halaman 1dari 6

26 februari 2011 02:41

Peradaban Laut Bangsa Melayu

Oleh Hudjolly., M Phil.

Pendahuluan
Sebutan Bangsa Melayu tidak menunjuk pada suatu suku bangsa yang mendiami satu pulau,
semenanjung Melaka atau daerah ujung utara Sumatra. Dalam perjalanan panjang terbentuknya
masyarakat di Asia Tenggara, bangsa Melayu merupakan kaum yang menyebar beriap-riap ke seluruh
pulau-pulau. Migrasi dan diaspora orang-orang Melayu itu membutuhkan suatu alat transportasi yang
dapat digunakan melintasi lautan dalam perjalanan berminggu-minggu. Alat transportasi laut itu pun
harus dapat membawa sejumlah manusia dalam rombongan yang cukup besar agar dapat membentuk
suatu komunitas mandiri di tanah tujuan.

Alat transportasi laut itu mestilah memiliki kapasitas muatan yang cukup besar untuk membawa
perbekalan selama perjalanan dan bekal untuk memulai sesuatu di tanah tujuan. Perjalanan tunggal
atau perjalanan dalam kelompok-kelompok kecil dapat dilakukan hanya ke daerah yang masih satu
pulau. Meskipun tidak menutup kemungkinan adanya perjalanan dalam kelompok kecil yang melintasi
lautan. Komunitas dalam jumlah kecil membutuhkan waktu yang relatif lama bagi terbentuknya
masyarakat yang memiliki peradaban unggul. Penyebaran orang-orang Melayu ke pulau-pulau yang
jauh hanya mungkin dilakukan dengan menggunakan transportasi laut yang memadai. Jika dikatakan
rumpun Melayu berhasil menyebar ke sejumlah pulau, berarti menandakan penguasaan teknik
pelayaran yang baik. 

Pengayaan Kebudayaan
Jenis-jenis perjalanan yang dilakukan masyarakat Melayu sejak zaman Melayu Tua dan Melayu Muda
menuntut studi tersendiri yang mendalam. Studi semacam itu akan membuka khazanah permulaan
kebudayaan Melayu, pengembangan alat-alat yang dapat menunjang kelangsungan hidup serta
menggambarkan pola interaksi Melayu dengan kebudayaan lain. Definisi kebudayaan  tidak hanya
terbatas pada sejenis kemampuan seni-art, kebudayaan berarti kemampuan mengembangkan metode
untuk menopang kebutuhan masyarakatnya. Kebudayaan adalah keseluruhan pemikiran dan benda
yang dibuat atau diciptakan oleh manusia dalam perkembangan sejarahnya. Ruth Benedict
sebagaimana dikutip Sajidiman (dalam Sarjono Agus R, 1999) melihat bahwa kebudayaan merupakan
pola pikir perbuatan yang terlihat dalam kehidupan sekelompok manusia yang membedakannya
dengan kelompok lain. Kebudayaan juga melibatkan proses pembelajaran (learning behavior) dan
penyesuaian diri manusia.

Apabila lalu lintas laut antar pulau dan antar kerajaan telah terbentuk, rute  perjalanan laut tersebut
berubah menjadi jalur-jalur utama yang mengangkut sejumlah barang untuk diperdagangkan ke
daerah tujuan. Perkembangan kebudayaan laut yang meliputi kemajuan penguasaan teknik
pembuatan alat transportasi menyebabkan rumpun Melayu semakin mahir dalam mengembangkan
berbagai macam jenis perahu besar yang memiliki kegunaan khusus. Jenis perahu pengangkut barang
dagangan (rempah-rempah, kain, keramik) antara
lain belungkang (Sumatra), cunia (Madura), tambangan  (Banjar). Jenis perahu pencari ikan antara
lain pencalang (Jawa Tengah),  belang dan orembai (Maluku), sandeq dan tadi-
tadi (Mandar),  londei  (Sulawesi Utara), perahu roh talor (Nusa Tenggara) (Andrian B
Lapian,2008:40).

Kisah laksamana penakluk samudra, Hang Tuah atau cerita Sawerigading dalam epos Bugis kuno  La
Galigomenyebut sejumlah pelayaran yang menggunakan perahu besar dan mengunjungi sejumlah
daerah yang jauh menunjukkan teknik pelayaran yang cukup mumpuni di masa itu. Pada akhirnya,
rumpun Melayu yang tersebar di setiap pulau mengembangkan suatu kebudayaan laut yang sesuai
dengan kebutuhan masing-masing.

Kebudayaan laut yang berkaitan dengan pelayaran tidak semata berfokus pada teknik pertukangan
tetapi berkembang pula kebudayaan yang berhubungan dengan penguasaan tanda-tanda alam seperti
penguasaan mata angin dan sifat-sifatnya untuk dijadikan penopang utama pelayaran. Penguasaan
kebudayaan laut itu dapat dilihat dalam kitab Melayu Tuhfat al Nafis yang mengisahkan Raja Haji
Fisabilillah memenangkan peperangan laut terhadap armada laut Eropa di abad 18.

Transportasi laut yang tidak mengenal batas wilayah memungkinkan masyarakat besar Melayu
berinteraksi dengan “negeri atas angin” seperti raja-raja di Cina, Campa, dan Ayuthia. Interaksi
melalui jalur laut itu dilakukan oleh Fa Hsien pada tahun 414 M menelan waktu 50 hari perjalanan dari
Canton ke Melaka. Demikian pula pelayaran yang dilakukan oleh Chia Tan pada abad VIII M dengan
rute yang sama hanya menelan waktu 19 hari perjalanan (OW Wolters, 1967:188-189). Hal tersebut
merupakan kemajuan teknik pelayaran yang meskipun tidak ditunjukkan secara langsung oleh orang
Melayu namun perjalanan serupa juga dapat dilakukan oleh rumpun Melayu sebagaimana pedagang-
pedagang dari Kerajaan Sriwijaya yang berlayar hingga India dan Persia.    

Pemanfaatan dan Pengaruh Kebudayaan Laut


Mobilitas orang Melayu yang dilakukan melalui jalur laut didasarkan pada pemanfaatan musim dan
angin pada bulan-bulan tertentu. Pemahaman secara detail sifat dan karakter angin yang dikuasai
orang-orang rumpun Melayu di masa lalu dapat dirasakan hingga kini terutama dalam kosa kata
nama-nama angin antara lain angin yang berpusar dinamakan angin angkisan, angin puting beliung
atau angin puyuh, apabila angin bertiup tidak tentu arah dinamakan angin gila, angin yang bertiup
keras disebut angin gunung-gunung, angin taufan atau angin ribut.

Pada beberapa tradisi ada istilah tertentu untuk menyebut nama-nama angin yang sangat beragam
dan bersifat detail didasarkan sifat angin itu sendiri, misalnya, angin sendalu (angin berkekuatan
sedang) angin salah (angin yang tidak semestinya bertiup), angin pengarak pagi (angin yang bertiup
dini hari), angin buritan (angin yang datang dari arah buritan perahu), angin sorong (angin yang
mendorong laju/searah dengan laju perahu), angin sakal (angin yang datang dari arah depan haluan
kapal dan menghalangi laju kapal), angin paksa (angin yang memaksa pelaut untuk melempar
sauh/jangkar) angin ekor duyung(angin yang datang dari berbagai jurusan),  angin tambang
ruang (angin yang bertiup keras dari arah lambung perahu), angin pasat (angin yang bertiup di
sepanjang daerah katulistiwa), angin pasat tenggara dan sebagainya (Andrian B Lapian,2008:2).

Keadaan iklim dan karakter geografis kepulauan yang dihuni puak-puak Melayu juga memberikan
keuntungan bagi sistem navigasi. Gugusan gunung dan pulau-pulau dijadikan baringan bagi pelaut
ketika berlayar menyusuri lautan dangkal tak jauh dari pantai. Sedangkan pelayaran yang jauh dari
pantai meminjam rasi bintang sebagai penunjuk arah.

Gugusan bintang di sepanjang peradaban rumpun Melayu memiliki nama-nama yang khas dengan
mengkedepankan sifat kemaritiman seperti nama “mayang” dan “biduk”. Pengetahuan perbintangan
masyarakat Biak misalnya, mengenal angin yang dipengaruhi oleh dua rasi bintang: Sawakai  (rasi
Orion) dan romangwandi (rasi Scorpio). Apabila gugusan ekor rasi bintang romangwandi (naga) masih
nampak, menandakan angin ribut di laut sudah berlalu. Apabila rasi romangwandi masih berada di
bawah garis cakrawala berarti musim angin barat yang menyebabkan gulungan ombak besar di laut
akan mengganggu pelayaran (Andrian Lapian,2008:13-14).

Pemanfaatan angin yang bertiup pada waktu tertentu juga memungkinkan dilangsungkan perjalanan
dari satu pulau ke pulau lain dengan mudah. Dalam laporan yang dibuat oleh Adrian B Lapian
menyebut beberapa jenis angin yang dipakai sebagai navigasi laut masyarakat Melayu yang tersebar
di pulau-pulau Nusantara. Pada bulan Desember sampai Februari merupakan angin barat, bulan
September sampai Desember merupakan musim timur. Pada musim timur kapal-kapal dari Maluku
dapat berlayar melintasi laut menuju Makassar, Jawa, Banten, Malaka, Indragiri, Singapura dan
daerah-daerah di sebelah barat.

Pada bulan Juni sampai Agustus angin di Laut Cina Selatan bertiup ke arah utara menjadikan
perjalanan menuju Campa, Ayuthia, Cina dapat dilakukan dari pulau-pulau orang Melayu. Perjalanan
dari daerah Asia kembali ke pulau-pulau di sepanjang Melayu dapat dilakukan pada bulan September
hingga Desember setiap tahun. Inilah anugerah keistemewaan alam berupa perputaran musim angin
di sepanjang daerah Melayu terutama di Nusantara bagian barat (Sumatra, Aceh, Banten, Melaka,
Indragiri) yang menjadikan daerah ini berkembang sebagai pusat pertemuan kapal-kapal dan transit
perdagangan dunia.

Tidak mengherankan jika di daerah tersebut tumbuh subur dermaga-dermaga besar sebagai pusat
perdagangan semenjak masa Sriwijaya, Melaka, Banten, sampai masa kejayaan Riau-Indragiri.
Dermaga tersebut berfungsi sebagai sarana pertukaran barang dan jasa yang menyebabkan
perjumpaan kebudayaan (difusi, asimilasi dan akulturasi) antara puak Melayu dengan bangsa Persia,
Arab, India (kurmandel). Sesudah pelayaran bangsa-bangsa Eropa, pertukaran kebudayaan itu pun
tetap berlanjut. Menurut catatan van Linschoten sebagaimana dikutip Lapian, menyebutkan bahwa
pada akhir abad ke XVI sejumlah pelaut Portugis menawarkan keahlian mereka kepada penguasa-
penguasa lokal di sekitar selat Melaka. Bangsa portugis ini mengajarkan kebudayaan pembuatan
perahu-perahu besar bangsa Eropa, pembuatan benteng dan lainnya. Dari pertukaran ini, sejumlah
istilah yang terdapat dalam kebudayaan pembuatan perahu terserap dari bahasa Eropa ke dalam
bahasa setempat, misalnya istilah galai atau gale.Meskipun kapal buatan orang-orang Melaka lebih
kecil namun tetap saja pengetahuan navigasi masyarakat Nusantara justru menyebabkan suatu
pengaruh tersendiri terhadap sistem pengetahuan navigasi umum bangsa Eropa, terutama dalam hal
pemanfaatan arah angin, jalur pelayaran, dan penyempurnaan peta.

Pengetahuan mualim di Nusantara yang dipakai oleh para pelaut Eropa ketika memasuki daerah
gugusan pulau-pulau Melayu membawa percepatan gerakan kapal-kapal Eropa menjelajahi pulau-
pulau di Nusantara. Sebagian kemampuan nautika bangsa Portugis disadap dari kemampuan pelaut
Melayu. Penyusunan petunjuk-petunjuk untuk berlayar (roteiros) yang dikerjakan oleh Rodriguez—
seorang perwira laut bangsa Portugis—banyak menggunakan toponim Melayu untuk menunjukkan
tempat-tempat di jalur pelayaran Vietnam dan Campa.

“Peta Jawa yang hilang[1]” yang dibawa Albuquerque menunjukkan adanya pelayaran  orang
kepulauan Nusantara menyeberangi Samudra Atlantik. Di dalam peta tersebut tergambar Pantai
Brazil. Dengan mempertimbangkan hypotesa yang diajukan oleh Meilink Roelofsz (1962:354) bahwa
“Peta Jawa yang hilang” telah dibuat jauh sebelum masa datangnya Portugis, maka teori Roelofsz ini
dapat dijadikan sebagai acuan untuk menunjang pendapat yang menyatakan bahwa puak Melayu
menyebar dari gugusan di Nusantara sampai ke Madagaskar (daerah di sekitar Tanjung
Harapan/Afrika) berlangsung cukup lama, tidak sebatas pada masa Syekh Yusuf. Sebab persebaran
puak Melayu ke Madagaskar yang terentang jarak samudra sangat jauh membutuhkan kemampuan
navigasi dan nautika laut yang memadai, dan “peta Jawa yang hilang” itu menandakan kemampuan
tersebut. Diperkirakan pengetahuan kartografis (pembuatan peta) bangsa Portugis tentang Asia
Tenggara juga dipengaruhi oleh “Peta Jawa yang hilang”.

Kebudayaan pembuatan perahu berkembang pesat karena memadukan teknik-teknik yang datang
dari kebudayaan laut bangsa Persia, Arab, dan Cina. Bangsa Asia ini telah menjalin pelayaran ke
Melayu semenjak abad ke V. Perkembangan teknik juga mendapat pengaruh dari Portugis dan Eropa
semenjak abad XV. Namun demikian, sejumlah kebudayaan lokal Melayu juga tetap dpertahankan
antara lain ritual pemilihan kayu sebelum memulai pembuatan kapal-kapal besar, bentuk kapal, type
perahu, serta jenis ukiran-ornamen yang dikembangkan untuk mempercantik perahu dibuat secara
khas dan berbeda-beda di setiap pulau.

Tidak hanya kebudayaan pembuatan kapal yang berkembang, suatu hal yang mengejutkan adalah
adanya perdagangan kapal antar pulau seperti Melaka yang sering memesan kapal dari daerah
Rembang (Jawa) dan Pulau Kei. Kapal tidak hanya menjadi sarana transportasi tetapi menjadi
komoditas perdagangan.

Perahu sebagai komoditas tidak hanya diperjualbelikan di Nusantara, puak Melayu Tua di Burma
Selatan juga tumbuh menjadi pusat-pusat peradaban kapal di Asia Tenggara terutama di daerah
Pegu. Setiap bulan Februari sekitar 15-16 kapal besar bertiang tiga atau empat, ditambah sekitar 20-
30 kapal berlunas panjang dengan kemampuan muatan yang lebih sedikit dilayarkan dari Pegu ke
Melaka. Kapal-kapal tersebut tiba di Melaka sekitar bulan Maret dan April (Meilink Roelofsz,1962:67-
69).

Perubahan Sistem Kebudayaan  


Perkembangan jenis perdagangan litas pulau itu berimplikasi pada sistem perdagangan dan sistem
kebudayaan secara umum. Jumlah komoditas dagangan semakin besar, dilakukan secara lebih luas
dengan skala yang besar pula berarti menyebabkan percepatan asilimasi-difusi kebudayaan. Asimilasi-
difusi kebudayaan sebagai akibat dari datangnya jenis-jenis bahan-bahan perdagangan baru tersebut
membawa perubahan pada kebudayaan lama. Barang-barang hasil produksi kebudayan seperti kain
kurmandel (dari india) dan barang keramik dari Cina mendorong perubahan pola berpakaian,
konsumsi dan peralatan rumah tangga di sejumlah komunitas Melayu.

Perdagangan juga menyebabkan masyarakat Melayu mulai meninggalkan sistem perdagangan lama.
Misalnya dalam penjualan cengkeh dan pala, masyarakat di Maluku menjual cengkeh beserta tangkai
dan batang pohonnya. Ketika berdagang dengan bangsa Portugis mereka harus mulai memisahkan
bunga cengkeh dan menyatukanya dalam satuan wadah tertentu (karung) (Loenard Andaya,
1999:30). Sistem penyatuan dalam wadah ini merupakan perkembangan kebudayaan kodifikasi di
Maluku sebagaimana dikenal hingga masa kini. Sebelumnya masyarakat Maluku tidak menggunakan
penjualan buah, rempah-rempah berdasarkan unit berat tertentu yang disatukan secara terpisah-
pisah (per kilo).

Barang-barang komoditas yang didatangkan dari luar Melayu ke dalam masyarakat Melayu
meniscayakan pedagang lokal dapat menjual barang tersebut dengan harga yang semakin tinggi pula.
Konsumen barang import tersebut tidak berasal dari kelompok ekonomi rendah. Hanya masyarakat
berkemampuan ekonomi cukup baik yang dapat membeli barang-barang import. Kepemilikan barang-
barang import merupakan tanda kemewahan dan dijadikan identitas sosial elit masyarakat.
Bagaimanapun juga konsumsi tidak semata-mata berkaitan dengan kebutuhan suatu barang,
konsumsi adalah pembentukan identitas seseorang dalam suatu komunitas. Orang-orang yang
berhasil memiliki barang import akan merasa memiliki keunggulan (ekonomi) dibandingkan orang lain
dalam komunitasnya. Hal inilah yang menyebabkan konsumen utama dari barang import  itu adalah
para pembesar di daerah atau raja-raja kecil dan para rangkayo (orang kaya).

Di sisi lain perdagangan yang dilakukan secara besar-besaran lintas pulau membutuhkan suatu
kemampuan pembayaran yang prima. Hanya para saudagar besar yang memiliki uang dalam jumlah
cukup banyak yang dapat menunjang kelancaran transaksi perdagangan lintas pulau. Tidak jarang
para petinggi kerajaan, bahkan para raja juga juga turut serta menjadi bandar atau pemodal utama
dari perdagangan tersebut.  Raja-raja di Pahang, Kampar, Indragiri ikut aktif sebagai pedagang
bahkan mereka juga memiliki markas-markas perdagangan di Melaka. Apabila sultan atau raja ikut
andil dalam perdagangan, mereka hanya memberikan sejumlah uang pada saudagar untuk berbelanja
dan mengurus dagangannya. Setiap jung (kapal) yang berangkat dari Melaka membawa sebagian
dagangan dari para raja (Meilink Roelofsz,1962:51). Raja-raja Melayu yang ikut berdagang antara lain
Sultan Muzaffar Syah (1446-1459), Sultan Alauddin syah dan Sultan Masyur syah. Ketika Sultan
Agung menggelar penaklukan dalam rangka membangun imperium Mataram, Sultan Agung
‘mengampuni’ Sultan Banten karena ia seorang raja  yang mendapatkan kekayaan dari berdagang
(Andrian B Lapian, 2003:103).

Kondisi tersebut mendorong perkembangan pola struktur sosial yang baru, misalnya struktur sosial
berdasar kepemilikan kekuasan dan kekayaan. Sistem kerjasama dan penentuan jabatan dalam
kegiatan perdagangan juga berbasis pada  pola baru tersebut. Pembentukan tingkatan kelompok
sosial (status) juga terjadi di atas kapal yang terdiri dari para pendayung, pekerja, pedagang dan
nahkoda atau para mualim. Setiap pekerjaan menunjukkan kelas sosial, perubahan tugas dan
pekerjaan berarti perubahan status sosial yang diikuti dengan perubahan atribut pakaian, kebiasaan
dan sebagainya. 

Pembagian kapling di dalam kapal pun harus memperhatikan stratifikasi sosial pemilik barang karena
melibatkan jumlah dagangan yang banyak dan tidak hanya dimiliki satu saudagar. Para raja dan
bangsawan tentu saja lebih diutamakan daripada rangkayo yang stratifikasi sosial kekuasaannya lebih
rendah.

Dalam berbagai hal terdapat perbedaan antara orang Melayu yang hidup dari sistem perdagangan
dengan masyarakat Melayu yang mengandalkan hidup dari penjualan jasa (pembuatan kapal,
kerajinan) atau dengan masyarakat petani. Kaum tani Melayu di daerah pedalaman dan kaum
pedagang-pekerja di daerah pesisir memiliki habitus kebudayaan yang berbeda pula. Secara umum
pembentukan karakter kebudayaan Melayu yang semakin kompleks tidak dapat dihindari.

Penutup
Setiap hasil interaksi kebudayaan akan menghasilkan kebudayaan yang baru pula. Demikian pula
pembentukan kebudayaan Melayu yang terus-menerus menerima kunjungan dari berbagai bangsa.
Semenjak zaman Sriwijaya telah terjalin interaksi dengan Burma, Ayuthia, Campa, Cina, Persia, Arab
ditambah Portugis, Inggris dan Belanda, termasuk interaksi kebudayaan post kolonial. Rangkaian
interaksi itu menjadikan budaya Melayu yang terlihat saat ini.  

Ada kebudayaan yang terserap dari kebudayaan asing, ada pula kebudayaan Melayu yang terserap
oleh kebudayaan asing. Semakin tinggi produk-produk kebudayaan, identitas kebudayaan secara
perlahan pun mengalami peluruhan dan proses yang tidak lagi dapat dikatakan asli atau original. Pada
masyarakat yang cenderung tertutup pun, penyerapan kebudayaan tidak dapat dihindari. Semenjak
dahulu orang Melayu menyadari hidup dalam Desa Buana yang saling berinteraksi, sehingga identitas
diri itulah yang menjadi nilai penting. Identitas sebagai distinction dalam habitus yang sama.

Sangat penting kiranya generasi Melayu menyadari identitas kulturalnya untuk menentukan mana
kebudayaan yang dapat dipertahankan dan mana yang dapat dikembangkan guna menciptakan
produk kebudayaan tinggi. Sepanjang abad pertengahan, merkantilisme telah mempengaruhi
peradaban Melayu, kini, globalitas perdagangan dan kebudayaan pun sedang mengintai seluruh sendi
peradaban Melayu. Rumusan kebudayaan Melayu meski terus dipertegas dalam lingkup yang tidak
terbatas pada pernik art  ke-Melayu-an. Kebudayaan Melayu meliputi pula kebudayaan laut:
kematangan pelayaran, penguasaan komoditas dan jalur perdagangan berikut sistem sosial yang
tetap mengutamakan penghargaan jatidiri manusia dan bukan semata mengejar keuntungan.
“Menjaga tuah menegakkan marwah”.

__________

Hudjolly., M Phil.,  Peminat Kajian Tradisi

Email: tembuslangit@yahoo.co.id

Kontak Personal: 081911523956

Sumber Foto: http://ilmuteknikperkapalan.blogspot.com

Referensi
Andrian B Lapian, 2008, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke 16 dan ke 17. Jakarta:
Komunitas Bambu.

______________2003, “Kenangan Berbeda Mengenai Masa Lampau yang Sama: VOC (Kompeni) di
Kepulauan Nusantara” dalam R Hutagalung, Forum Dialog Indonesia –Belanda. Jakarta: Yayasan
Pancur Siwah.

Loenard Andaya, 1999, “The Lure of Spices”, dalam   Early Modern History, Indonesian Heritage,
Series No 3. Singapore: Archipelago Press.

Meilink Roelofsz, 1962, Asian Trade and European Influence in Indonesia Archipelago Between 1500
and About 1630. Den Haag: Martinus Nijhoff.

Sajidiman, 1999 dalam Agus R Sarjono, Ed Pembebasan Budaya-Budaya Kita.   Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

Wolters OW, 1967, Early Indonesians Commerce: A Study of The Origin of Sriwijaya. New York:
Ithaca.

[1] Sebuah dokumen berupa peta yang semula akan dibawa ke hadapan penguasa Portugis, namun
kapal pembawa peta tersebut karam, sehingga bentuk fisik peta tersebut tidak pernah diketemukan.
Namun, Albuquerque masih dapat melaporkan sebagian isi peta yang menunjukkan cakupan
pelayaran yang dilakukan bangsa Melayu Nusantara (Meilink Roelofsz, 1962).

Anda mungkin juga menyukai