B. Klasifikasi Transportasi
Transportasi dapat diklasifikasikan berdasarkan macam atau jenisnya yang lebih lanjut dapat
ditinjau dari segi barang yang diangkut, daerah geografis transportasi itu berlangsung dan dari
sudut teknis serta alat angkutnya.
C. Angkutan Sungai
Angkutan sungai merupakan angkutan yang tumbuh dan berkembang secara alami di
Indonesia akibat kondisi geografis alam yang memiliki banyak sungai. Jalan bagi transportasi air
ini selain bersifat alami (laut, sungai, danau), ada pula yang bersifat buatan manusia (kanal, anjir,
danau buatan). Transportasi ini biasa disebut juga dengan “inland water transportation”
(Chandrawidjaja, 1998 dalam Sastika, 2017: 12)
Berbagai kapal baik kapal barang maupun kapal penumpang lalu lalang di Sungai Musi
dimana, Sungai Musi menjadi urat nadi bagi kapal barang dan penumpang baik yang berasal dari
luar daerah maupun yang menuju ke daerah lain. Berikut adalah data jumlah kapal/angkutan sungai
yang ada di kota Palembang. (Sastika, 2017: 50)
D. Pengertian Perahu
Perahu merupakan salah satu hasil budaya bahari yang sejak masa prasejarah telah
memegang peranan penting dalam kehidupan manusia di dunia termasuk Nusantara. Perahu selain
memiliki fungsi sosial ekonomi sebagai alat transportasi air, untuk berkomunikasi antar
masyarakat, perdagangan, dan sarana mencari ikan, perahu juga berkaitan erat dengan religi
masyarakat pendukungnya yang mendiami pulau-pulau di Nusantara. (Oktaviana, 2009: 17)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian perahu adalah kendaraan air (biasanya
tidak bergeladak) yang lancip pada kedua ujungnya dan lebar di tengahnya. Moda transportasi air
merupakan bentuk teknologi yang diciptakan oleh manusia sebagai usaha adaptasi untuk
menghadapi tantangan alam berupa berbagai bentuk perairan. Ini menyangkut segala sesuatu yang
dibuat sehingga mampu mengapung, mengangkut manusia dan bawaannya, serta dapat
dikendalikan ke tempat yang dituju (Utomo (ed.), 2007: 21 dalam Jastro, 2010: 38)
Berdasarkan pengertian itu dikenal adanya rakit, perahu rakit, keranjang apung, perahu
lesung, perahu papan dan sebagainya. Pada kondisi perairan dengan arus yang tidak terlalu deras
diperkirakan sebuah perahu mulai dikenal ketika seseorang menggunakan batang kayu yang
hanyut, atau seikat bambu untuk membantunya terapung di atas air. Rakit ini terdiri dari beberapa
lapis horizontal kayu atau bambu dengan menggabungkan batangan kayu atau bambu yang diikat
dengan tali. Hal ini bertujuan untuk menambah daya apung dan daya muat rakit tersebut (Casson,
1959: 103 dalam Jastro, 2010: 61)
Bentuk Perahu Austronesia dengan Cadil Tunggal dan Layar Segitiga dari
Satawal, Kepulauan Caroline (Sumber: Horridge, 2006:149)
Pada komunitas petutur Austronesia, sarana transportasi mereka memiliki ciri khas yaitu
pada desain bentuk perahu masing-masing komunitas yang diturunkan berdasarkan tradisi dari
nenek moyang mereka. Penerus mereka belajar untuk melanjutkan tradisi pembuatan perahu tanpa
kecacatan karena mereka yakin jika kesalahan tersebut terjadi akan berakibat fatal dan berbahaya
pada saat digunakan mengarungi lautan. Konstruksi perahu yang cenderung konservatif dan
berakibat pada teknik pembuatan perahu bertahan hingga seribu tahun yang diturunkan pada
generasi-generasi di bawahnya (Horridge 2006: 150).
Keberadaan perahu merupakan bagian dari transportasi air yang digunakan untuk migrasi
penduduk yang bertambah populasinya dan penyebaran bahasa di Nusantara hingga ke Pasifik.
Migrasi penutur bahasa Austronesia selama kurang dari 3.500 tahun merupakan proses yang sangat
cepat yang tentunya didukung oleh penguasaan teknologi pelayaran (Koestoro, 1999).
Berdasarkan hasil penelitian W. Mahdi (1999: 145-148) sarana transportasi air paling awal pada
masyarakat penutur Austronesia di Nusantara adalah rakit-rakit bambu yang selanjutnya
berkembang dari gabungan balok-balok kayu yang diikat. Balok-balok kayu kadang diceruk
bagian dalamnya sehingga mirip kano. Rakit dari balok kayu lalu berkembang menjadi perahu
berlunas ganda (double canoe) atau katamaran. Selanjutnya dari perahu berlunas ganda
berkembangmenjadi perahu bercadik tunggal dan hingga pada akhirnya perahu bercadik ganda.
Mahdi (1999) mengemukakan bahwa hubungan pelayaran jarak jauh perahu-perahu
Austronesia dengan perahu dari bangsa Semit di lautan Hindia diperkirakan telah terjadi antara
1000 dan 600 SM. Hal ini berdasarkan data tertulis Kitab Suci mengenai perjalanan pelaut dari
bangsa Phoenic untuk membantu ekspedisi pelayaran Raja Sulaiman ke tanah Ophir (Kings 9: 26-
28; Chron 8: 17-18 dalam Mahdi 1999: 153) dan terekam juga dalam Ioudaikes Archaiologias
yang merupakan tulisan orang Yahudi yaitu Flavius Joshephus tahun 93 Masehi yang
menyebutkan tujuan perjalanan ekspedisi tersebut ke tanah Sopheir (Thackeray dan Marcus 1966:
658-660 dalam Mahdi 1999: 153).
Terdapat asumsi dari literatur yang lebih kemudian bahwa tujuan ekspedisi ke arah timur itu
adalah wilayah Semenanjung Malaya atau wilayah daratan Sumatera yang dianggap sebagai
Suvarnabhumi (tanah emas). Sedangkan pada literatur yang lebih tua bahwa pelayaran hanya
sampai pada daerah Sopara tidak jauh dari Baroch (Baygaza) (Mahdi 1999: 153-155).
Pengaruh yang saling menguntungkan pada bentuk tiang dan layar perahu pada perahu
Austronesia dan perahu bangsa Semit (Sumber: Mahdi, 1999: 158)
Dari gambar diatas adanya hubungan yang saling menguntungkan antara dua teknologi yang
berkembang pada komunitas petutur Austronesia di Nusantara dan para pelaut Semit di wilayah
perairan Selat Malaka, Laut Merah, dan Teluk Persia, yaitu bentuk layar dan sistem tali temali.
Bentuk layar pada perahu bangsa Semit, seperti yang terekam dalam sejarah Mesir Kuna dan Laut
Tengah, adalah segiempat yang dipasang di tengah tiang perahu secara simetris dan tidak memakai
kayu atau bambu pengikat layar. Sedangkan bentuk layar perahu Ausronesia umumnya bervariasi,
namun ciri khasnya berbentuk segitiga dengan pengikat kayu atau bambu pada ujung-ujung
layarnya dan layar dipasang tidak simetris pada tiang perahu. Pengaruh dari kedua teknologi
perahu tersebut pada perahu bangsa Latin yaitu bentuk layar perahu segitiga yang dipasang lebih
dekat ke tengah tiang layar yang merupakan pengaruh dari bentuk layar Austronesia, namun
bentuk layar pada perahu ini tidak memiliki batas bawah pada layarnya yang merupakan
perkembangan dari bentuk layar bangsa Semit.
Sedangkan bentuk layar pada perahu bangsa Melayu awal yaitu berbentuk layar segiempat
dengan digantung miring pada tiang layar namun tidak simetris di tengah tiang layar. Bentuk layar
segiempat mendapat pengaruh dari bangsa Semit dengan tetap mempertahankan batangan kayu
atau bambu sebagai batas bawah layar yang merupakan perkembangan dari perahu Austronesia
awal (Mahdi, 1999:157-159). Selain itu bentuk pelayaran jarak jauh perahu-perahu Austronesia
menggunakan cadik atau tanpa cadik. Bentuk perahu tanpa cadik yang berukuran lebih besar
terbuat dari konstruksi lambung papan sedangkan perahu bercadik umumnya berkonstruksi perahu
lesung, tetapi bentuk konstruksi papan juga digunakan. Persebaran perahu bercadik ganda maupun
bercadik tunggal sangat luas di Nusantara hingga sekarang.
Replika perahu suku Ngaju Dayak terbuat dari lateks berukuran 240 x 465 mm (Foto diambil
dari buku Art of Southeast Asia, 2004: 50)
Perahu yang digunakan oleh orang Dayak Ngaju tidak hanya sebagai peti mati saja, namun
perahu juga digunakan sebagai alat transportasi sehari-hari (Perry, 1915: 142).
Pada situs-situs gua prasejarah di Asia Tenggara sering ditemukan bentuk-bentuk peti mati
berupa perahu. Tinggalan bentuk perahu peti mati tersebut masih dapat ditemukan di Gua Liang
Kain Hitam, Niah, Sarawak, Malaysia (Harrison, 1958 dalam Szabo et al., 2008). Selain itu
ditemukan juga di Kepulauan Kei (Sukendar 2002: 182).
Bentuk peti mati berupa perahu di Gua Liang Kain Hitam, Niah, Sarawak, Malaysia
(Sumber: Szabo, 2008: 151)
Bentuk peti mati berupa perahu di Kepulauan Kei (Sumber: Sukendar, 2002: 182)
Contoh lain dari penggunaan peti mati berbentuk perahu yaitu yang digunakan oleh orang
Galera, Halmahera. Tradisi mereka menyatakan bahwanenek moyangnya berasal dari arah barat
laut seberang lautan. Ketika tanah orang meninggal dipisahkan oleh perairan, maka perahu
digunakan untuk perjalanan tersebut, dan perahu telah lama bertahan sebagai alat transportasi
perairan sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas menganggap asal nenek moyang
mereka dari seberang lautan, sehingga ketika anggota masyarakatnya meninggal perahu digunakan
sebagai simbol kendaraan arwah yang meninggal menuju dunia arwah (Perry, 1915: 143).
Pada komunitas Austronesia, perahu memiliki bentuk yang bervariasi yang digunakan
dalam konteks kematian. Peti mati berbentuk perahu ada yang dipahat dari kayu atau bongkahan
batuan, dan bentuk motif perahu juga digambarkan pada kain dari kulit kayu, dan kayu yang
disimpan pada situs penguburan. Praktek penguburan pada perahu sebagai peti mati juga
ditemukan di Semenanjung Malaysia di sebelah barat, Filipina di sebelah utara, dan kepulauan
Solomon di sebelah timur (Ballard et al, 2003: 393).
Tipe-tipe layar dan kemudi. 1: lateen dengan kemudi tengah yang digantung di buritan; 2. tilted
rectangular dengan kemudi samping; 3. Batten-lug dengan kemudi tengah tipe Cina (Sumber:
Liebner, 2005)
Bentuk perahu dan bagian-bagian perahu ini berbeda antara satu jenis perahu dan jenis
lainnya. Demikian juga untuk perahu yang sama antara daerah yang satu dengan daerah yang lain
dapat berbeda namanya. Sebagai contoh, dek perahu pada perahu compreng dan sope (di Cirebon
dan Indramayu) disebut tataban, sedangkan pada perahu jegong disebut baya-baya, dan pada
perahu konting (Jawa Timur) disebut jabakan. Perahu kolek di Cirebon disebut perahu mayang di
Pamanukan, perahu compreng di Cirebon disebut perahu tembon di Indramayu, dan sebagainya.
Meski begitu, ternyata sejak dahulu sampai sekarang terdapat suatu ‘standar’ penamaan tipe-tipe
perahu yang berlaku bagi para pelaut Nusantara, baik asal dalam maupun luar negeri. Unsur-unsur
utama perahu tradisional antara lain mencakup lunas atau dasar, lambung, linggi, dayung, kemudi,
tiang, dan layar perahu.
Bagian perahu yang disebut lunas adalah batangan kayu utama pada bagian bawah dari
kerangka dasar perahu papan, sedangkan dasar adalah bagian bawah dari perahu lesung. Lambung
adalah bentuk dinding perahu. Linggi adalah bentuk tambahan perahu pada bagian haluan atau
buritan yang menonjol ke atas. Sedangkan dayung merupakan alat kayuh perahu terbuat dari
batang kayu yang memanjang dengan bentuk pipih di ujungnya. Kemudi adalah alat yang
berfungsi sebagai pengarah perahu. Pada masa kini, kemudi menggunakan kemudi putar yang
yang menyerupai stir mobil. Sebelum digunakannya kemudi putar, kemudi perahu menggunakan
kemudi dayung yang biasanya diletakkan di bagian buritan perahu.
Di kawasan Samudera Hindia jenis-jenis perahu lebih bervariasi antara satu daerah dengan
daerah lain, bahkan di antara kelompok pelaut dalam satu daerah juga sering kali terdapat berbagai
tipe perahu, bahkan ada perahu yang hanya cocok untuk jenis perairan tertentu. Oleh karena itu
terdapat berbagai tipe perahu tradisional di kawasan Nusantara. Secara garis besar di Indonesia
dijumpai 4 kelompok jenis perahu berdasarkan daerah asal, yaitu:
1. Perahu Sumatera
Jenis perahu Sumatera yaitu perahu Lancang Kuning, Riau (Sumber:Jastro, 2009)
Dijumpai di kawasan pulau Sumatera dan pantai barat Semenanjung Malaya, ciri-
cirinya adalah sebagai berikut:
a. badan perahu panjang dan rendah
b. haluan tinggi
c. tinggi tiang sepanjang badan perahu (Sulistiyono, 2004: 75)
Ciri ini sesuai dengan perairan Malaka yang tenang. Perahu yang termasuk ke dalam tipe
ini adalah banting, cunia, jalur, jung, gobang, kalamba, kenabat bagolu, kolek, lancing, lelayang,
meudagara, parahu sasak, pencalang, rakit, sampan, sampan gadang, sampan kaur, sampan payang
(pamayang), tambangan, dan tunda (Asnan, 2007: 261).
Perahu Ketek
Sejarahnya, perahu Ketek digunakan sebagai sarana transportasi tradisional dan juga sebagai
tempat tinggal oleh masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Musi pada masa lampau. Perahu
ini awalnya bernama perahu Kajang. Perahu Kajang ini dibuat dengan menggunakan kayu rengas,
dan menggunakan atap dari nipah. Panjang dari perahu ini sekitar delapan meter dengan lebar dua
meter (Morgesiwe, 2016). Seiring berkembangnya jaman, perahu Kajang yang awalnya
menggunakan dayung kini menggunakan mesin untuk dijalankan. Saat ini Perahu Kajang disebut
Perahu Ketek dan digunakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar bantaran sungai Musi sebagai
sarana wisata air guna memenuhi kebutuhan hidup. Nama perahu Ketek sendiri awalnya adalah
Perahu Getek, namun orang-orang Palembang sendiri lebih mudah menyebut Ketek, sehingga
sampai sekarang nama Perahu Ketek ini digunakan. Perahu yang aktif sebagai sarana wisata air
saat ini berjumlah 322 unit. (Dananta, 2019: 2)
2. Perahu Jawa
Jenis perahu Jawa yaitu perahu Golekan Lete, Madura (Sumber: Elymart, 2009)
Perahu Jawa mempunyai ciri-ciri:
a. antara haluan dan buritan sejajar
b.badan perahu vertikal
c. layar empat persegi panjang, kadang trapesium dan segitiga
d.pada saat ini bentuknya kecil-kecil dan masih terdapat di Madura (Sulistiyono,
2004: 75-76).
Perahu Jawa meliputi perahu yang dipakai di pantai utara pulau Jawa, Madura dan di pantai
selatan pulau Jawa. Perahu yang termasuk ke dalam tipe ini adalah perahu lesung, sampan, sope,
jegong, tembon (compreng), bondet, mayang, kolek (mayang), konting (dogol), jukung katir,
perahu prawean, golean lete, janggolan, pencalang, lambo, dan lain-lain (Wangania, 1981: 26).
3. Perahu Sulawesi
Perahu Sulawesi dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. terdapat di Sulawesi Selatan dan Tenggara
b. badan kapal melebar
c. ada tiga tiang layar
d. layar empat persegi (Sulistiyono, 2004: 76)
Perahu yang termasuk ke dalam tipe ini adalah padewakang, phinisi, sande, salompong,
patorani, lepa-lepa, soppe, dan lain-lain (Sukendar, 2002: 124).
J. Relief Perahu
Pada gambar di bawah ini merupakan koleksi perahu-perahu tradisional yang terdapat di Museum
Bahari Indonesia Gedung C:
1. Perahu Compreng, Cirebon (No. Inv. 001/PA/MB/2003)
Deskripsi: Perahu cadik Bali memiliki panjang 6 m, lebar 60 cm, dan tinggi 2 m pada bagian
haluan, 70 cm pada bagian badan, dan 1 m pada bagian buritan, serta 10 cm untuk ketebalan
perahu. Perahu cadik Bali dibuat dari 1 buah batang pohon yang dikeruk dan ditambah 1 buah
papan untuk mempertinggi badan perahu. Badan perahu tidak selebar perahu-perahu lainnya.
Merupakan perahu yang menggunakan layar, cadik, linggi depan dan belakang, tidak memiliki
lunas, serta memiliki dapur tempat meletakkan bajing-bajing. Baruyungan berbentuk lekukan
yang simetris dan diujungnya diikat katir yang terbuat dari bambu. Panjang baruyungan depan 2,2
m dan belakang 1,7 m. Untuk katir memiliki panjang 8,9 m. Perahu ini juga menggunakan layar
yang tiangnya memiliki panjag 9,2 m. Hiasan perahu menggunakan motif garis melengkung dan
motif garis lurus. Warna yang digunakan adalah hijau, kuning, merah, putih. Pada bagian buritan
terdapat bajing-bajing yang bermotif ukiran ayam.
Deskripsi: Perahu ini memiliki ukuran panjang 4,5 m, lebar 1,6 cm dan tinggi 2,1 m pada bagian
haluan, 60 cm pada bagian buritan. Perahu Golekan Lete dibentuk dari susunan 5 buah papan yang
berjejer. Pada bagian depan terdapat linggi yang berbentuk runcing dan linggi bagian belakang
sudah tidak ada lagi. Perahu Golekan Lete bukan jenis perahu bercadik tetapi menggunakan layar
serta memiliki lunas pada bagian perahu. Di bagian buritan terdapat sumbi dan tiang layar yang
diletakkan di atas dapur. Di bagian dalam perahu terdapat rangka yang mempertahankan bentuk
perahu dan dan bagian dasarnya dilapisi susunan papan sebagai lantai perahu.
Di seluruh permukaan golak bagian luar dipenuhi dengan hiasan dengan motif flora dan
menggunkan motif garis melengkung. Terdapat pula motif ukiran pada sumbi. Hiasan tersebut
menggunakan warna yang kuning, hijau, merah, dan biru.