Anda di halaman 1dari 29

Nama : Zaza Yulianti Amelia (06041281823025)

: Muhammad Fachriansyah (06041381823037)


: Andromeda Aderoben (06041281823028)
Mata Kuliah : Sejarah Maritim
Dosen Pengampu : Dr. Farida R. Wargadalem

SEJARAH PERKEMBANGAN PERAHU – PERAHU


NUSANTARA
A. Pengertian Transportasi

Pengertian Transportasi Menurut Rustian (1987) transportasi adalah sebagai usaha


mengangkut atau memindahkan barang atau penumpang dari suatu tempat ketempat lainnya.
Sedangkan menurut Miro (2005) transportasi diartikan sebagai usaha memindahkan,
menggerakkan, mengangkut atau mengalihkan obyek dari satu tempat ke tempat lain, sehingga
obyek tersebut menjadi lebih bermanfaat atau berguna untuk tujuan tertentu. Alat pendukung yang
dipakai untuk melakukan kegiatan tersebut bervariasi tergantung dari bentuk obyek yang akan
dipindahkan, jarak antara suatu tempat dengan tempat lain, dan maksud obyek yang akan
dipindahkan tersebut. Usaha transportasi bukan hanya berupa gerakan barang dan orang dari suatu
tempat lain dengan cara dan kondisi yang statis akan tetapi, transportasi itu selalu diusakan
diperbaiki sesuai dengan perkembangan teknologi. Upaya perbaikan ini bertujuan untuk
tercapainya nilai efisiensi dan efektifitas dari sistem transportasi itu sendiri. Hubungan antara
sistem transportasi dengan penggunanya sangat kuat sekali dan saling ketergantungan satu sama
lainnya. Transportasi sangat berpengaruh terhadap program pembangunan di semua sektor
sehingga keamanan, kenyamanan dan keandalan sistem transportasi harus diutamakan. (Sastika,
2017: 8)

B. Klasifikasi Transportasi
Transportasi dapat diklasifikasikan berdasarkan macam atau jenisnya yang lebih lanjut dapat
ditinjau dari segi barang yang diangkut, daerah geografis transportasi itu berlangsung dan dari
sudut teknis serta alat angkutnya.

1. Dari segi barang yang diangkut dapat diklasifikasikan atas:


 Angkutan penumpang;
 Angkutan barang; dan
 Angkutan pos.
2. Ditinjau dari sudut geografis dapat dibagi menjadi:
 Angkutan antar benua;
 Angkutan antar Negara;
 Angkutan antar pulau;
 Angkutan antar daerah;
 Angkutan antar kota; dan
 Angkutan di dalam kota.
3. Ditinjau dari sudut teknis dan alat angkutannya maka, transportasi dapat dibagi
menjadi:
 Angkutan jalan raya seperti pengangkutan dengan menggunakan truk, bus,
taksi;
 Pengangkutan rel yaitu angkutan kereta api;
 Pengangkutan melalui air seperti sungai, danau;
 Pengangkutan pipa seperti transportasi untuk mengangkut atau mengalirkan
minyak, gas dan air;
 Pengangkutan laut atau samudera yaitu angkutan dengan menggunakan kapal
laut; dan
 Pengangkutan udara yaitu angkutan dengan menggunakan kapal terbang
(Sastika, 2017: 9).

C. Angkutan Sungai
Angkutan sungai merupakan angkutan yang tumbuh dan berkembang secara alami di
Indonesia akibat kondisi geografis alam yang memiliki banyak sungai. Jalan bagi transportasi air
ini selain bersifat alami (laut, sungai, danau), ada pula yang bersifat buatan manusia (kanal, anjir,
danau buatan). Transportasi ini biasa disebut juga dengan “inland water transportation”
(Chandrawidjaja, 1998 dalam Sastika, 2017: 12)

Berbagai kapal baik kapal barang maupun kapal penumpang lalu lalang di Sungai Musi
dimana, Sungai Musi menjadi urat nadi bagi kapal barang dan penumpang baik yang berasal dari
luar daerah maupun yang menuju ke daerah lain. Berikut adalah data jumlah kapal/angkutan sungai
yang ada di kota Palembang. (Sastika, 2017: 50)
D. Pengertian Perahu
Perahu merupakan salah satu hasil budaya bahari yang sejak masa prasejarah telah
memegang peranan penting dalam kehidupan manusia di dunia termasuk Nusantara. Perahu selain
memiliki fungsi sosial ekonomi sebagai alat transportasi air, untuk berkomunikasi antar
masyarakat, perdagangan, dan sarana mencari ikan, perahu juga berkaitan erat dengan religi
masyarakat pendukungnya yang mendiami pulau-pulau di Nusantara. (Oktaviana, 2009: 17)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian perahu adalah kendaraan air (biasanya
tidak bergeladak) yang lancip pada kedua ujungnya dan lebar di tengahnya. Moda transportasi air
merupakan bentuk teknologi yang diciptakan oleh manusia sebagai usaha adaptasi untuk
menghadapi tantangan alam berupa berbagai bentuk perairan. Ini menyangkut segala sesuatu yang
dibuat sehingga mampu mengapung, mengangkut manusia dan bawaannya, serta dapat
dikendalikan ke tempat yang dituju (Utomo (ed.), 2007: 21 dalam Jastro, 2010: 38)
Berdasarkan pengertian itu dikenal adanya rakit, perahu rakit, keranjang apung, perahu
lesung, perahu papan dan sebagainya. Pada kondisi perairan dengan arus yang tidak terlalu deras
diperkirakan sebuah perahu mulai dikenal ketika seseorang menggunakan batang kayu yang
hanyut, atau seikat bambu untuk membantunya terapung di atas air. Rakit ini terdiri dari beberapa
lapis horizontal kayu atau bambu dengan menggabungkan batangan kayu atau bambu yang diikat
dengan tali. Hal ini bertujuan untuk menambah daya apung dan daya muat rakit tersebut (Casson,
1959: 103 dalam Jastro, 2010: 61)

E. Perahu Tradisional Nusantara


Perahu merupakan sarana untuk memudahkan bergerak dalam mencari kebutuhan akan
makanan (mencari ikan di rawa, laut, dan sungai), sarana transportasi dan rekreasi. Bahkan perahu
tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tetapi juga untuk keperluan magis religius
(Sukendar, 2002: 1). Berdasarkan pengertian itu dikenal adanya rakit, perahu rakit, keranjang
apung, perahu lesung, perahu papan dan sebagainya.
Pada kondisi perairan dengan arus yang tidak terlalu deras diperkirakan sebuah perahu
mulai dikenal ketika seseorang menggunakan batang kayu yang hanyut, atau seikat bambu untuk
membantunya terapung di atas air. Rakit ini terdiri dari beberapa lapis horizontal kayu atau bambu
dengan menggabungkan batangan kayu atau bambu yang diikat dengan tali. Hal ini bertujuan
untuk menambah daya apung dan daya muat rakit tersebut (Casson, 1959: 103).
Perahu tradisional Nusantara terdapat di berbagai wilayah di Indonesia. Perahu tradisional
adalah perahu yang cara-cara pembuatannya dikerjakan melalui pengalaman-pengalaman “getok
tular” (dari mulut ke mulut) yang diwariskan oleh leluhurnya dan dibuat dengan bahan baku kayu
yang dapat diperoleh secara mudah di berbagai tempat di Indonesia. Sedangkan sebutan “perahu
Nusantara” mengacu pada keberadaan (eksistensi) perahu tersebut yang dapat ditemukan secara
tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Setiap pulau atau etnis tertentu yang hidup di dekat pantai,
danau, dan sungai tentu memiliki perahu tradisional (Sukendar, 2002: 7). Jadi, yang dimaksud
dengan perahu tradisional Nusantara adalah alat transportasi air yang dibuat berdasarkan
pengetahuan lokal yang diperoleh turun temurun dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia.
Perahu tradisional Nusantara yang menurut para ahli (Murdock, 1968 (Liebner dalam
Sedyawati, 2005: 62); Reid, 2004: 55; Nooteboom, 1932 (Lapiandalam Abdullah, 1997: 30))
berasal dari perahu-perahu bangsa Austronesia dalam bentuk perahu-perahu cadik, terus
berkembang secara perlahan-lahan sesuai dengan alam lingkungan. Ciri khas dari kebanyakan
perahu Austronesia adalah terbuat dari satu batang kayu saja, dalam bahasa Inggris disebut dugout
yang mengacu pada cara pembuatannya, batang kayu yang dikeruk bagian dalamnya, dan di
beberapa tempat dikenal pula sebagai perahu lesung. Jenis perahu ini tersebar di seluruh kepulauan
Indonesia, dan biasanya perahu berukuran besar pun mulai dibentuk dengan dasar perahu lesung
yang kemudian dibesarkan dengan meninggikan dindingnya dengan papan.
Akan tetapi, dunia perkapalan Asia Tenggara mengenal pula perahu yang dibangun dari
sejumlah papan, plank-boat, baik yang menggunakan teknik menjahit bilah-bilah papan dengan
tali, maupun yang menggunakan sistem tambuko (A.B. Lapian dalam Abdullah, 1997). Perahu
jenis ini merupakan jenis perahu yang menggunakan teknologi pengembangan dari perahu lesung.
Secara garis besar, jenis-jenis perahu tradisional Nusantara dapat dilihat dari 3 cirinya yaitu: (1)
jenis layar, (2) bentuk lambung, dan (3) cara dan tujuan pemakaian perahu (Liebner, 2005: 80).
Penamaan ini memang agak susah bagi orang awam sedangkan bagi para pelaut dan pengrajin
perahu sangat dikenali karena sudah menjadi kebiasaan, hanya salah satu dari istilah ini yang
digunakan untuk menandai sebuah tipe tertentu, dan tiada kepastian apakah istilah yang menandai
jenis layar, tipe lambung atau tujuan penggunaannya menjadi ‘nama’ sejenis perahu.
Istilah-istilah itu dapat juga berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain, terutama
dalam bidang pelayaran tradisional. Terdapat ratusan jenis perahu lokal yang masing-masing
‘punya nama’ tersendiri. Misalnya: di Sulawesi perahu jenis layar schooner-ketch dinamakan
perahu phinisi, perahu jenis layar titled rectangular rig dinamakan perahu patorani, perahu jenis
layar lateen dinamakan lete atau baqgoq; perahu yang bentuk lambung ramping dan panjang
dinamakan perahu sande; di Kalimantan perahu yang dipakai di daerah sungai dan untuk
berdagang dinamakan perahu jukung.

F. Sejarah Awal Perahu di Nusantara


Penelitian F.L. Dunn dan D.F. Dunn (1977: 22) mengemukakan bahwa antara 20.000
sampai 18.000 tahun lalu teknologi pelayaran di wilayah Asia Tenggara masih sangat terbatas.
Aktivitas pelayaran di laut terbuka belum berjalan, kemungkinan baru tahap penggunaan rakit
dengan eksploitasi jenis kerang-kerangan di wilayah perairan dangkal seperti rawa-rawa dan hutan
bakau yang dipengaruhi pasang surut air laut. Kemudian sekitar 9000 tahun lalu mulai dikenal
adanya perahu yang penggunaannya bersama rakit dengan wilayah eksploitasinya berupa rawa-
rawa dan pelayaran terbatas di perairan terbuka. Eksploitasi wilayah baru dilakukan dengan
bertambahnya pengetahuan keahlian berperahu. Selanjutnya sekitar 5000 tahun yang lalu
diperkirakan telah ada eksploitasi wilayah Laut Tiongkok Selatan dengan penguasaan navigasi
laut dan teknologi perahu yang semakin berkembang. Penggunaan cadik maupun layar sederhana
berupa anyaman dari dedaunan meningkatkan luas wilayah eksploitasi dengan daya jelajah yang
cukup jauh dari pantai (Dunn dan Dunn, 1977: 22-24 dalam Oktaviana, 2009: 17)
Selain itu diperkirakan pelayaran dianggap lebih berkembang sejak awal Holosen,
penggunaan kayu gelondongan, ikatan kulit kayu atau buluh, kayu yang dilubangi berupa kano
dan jenis rakit dari bakau atau bambu merupakan alat-alat pelayaran pada kala itu. Perkembangan
teknologi pelayaran disebabkan karena faktor kondisi permukaan air laut yang meninggi mencapai
130 meter pada kurun 15.000 hingga 8.000 tahun yang lalu. Terbentuknya pulau-pulau di
Nusantara yang menciptakan garis pantai yang lebih panjang dan sumber daya alam yang
melimpah serta iklim yang lebih stabil meningkatkan pertambahan populasi yang berdampak pada
kemajuan budaya termasuk eksploitasi sumber daya laut. Isolasi geografi pulau-pulau di Nusantara
oleh alam ditanggapi oleh manusia dengan mengembangkan teknologi pelayaran untuk melakukan
kontak atau migrasi antar pulau-pulau (Simanjuntak 2001: 667).
Horridge (2006: 143) menduga penggunaan rakit dari bambu telah ada sejak 50.000 tahun
lalu yang digunakan oleh manusia untuk bermigrasi dari Dataran Sunda ke Dataran Sahul, ketika
muka laut lebih rendah daripada sekarang dan jarak antar daratan lebih pendek pada masa glasial.
Selain itu rakit bambu mudah dibuat dan dapat dikerjakan dengan alat batu yang sederhana.
Sebaran rakit bambu sampai sekarang masih terdapat di Indonesia, Melanesia, hingga ke Fiji.
Kemungkinan manusia pertama kali menggunakan rakit bambu menuju Australia dan selanjutnya
menggunakan perahu lesung. Penggunaan kayu dan bambu sebagai rakit telah digunakan sebelum
datangnya teknologi perahu petutur Austronesia.
Terdapat hubungan antara perahu Austronesia dan perahu yang berkembang di Lautan
Hindia sekitar 5000 tahun lalu yang bercirikan teknologi berbentuk perahu lesung dengan
penambahan komponen berupa papan di atas dinding lambung perahu lesung dan perahu papan
yang digabungkan menggunakan tali (sewn-plank) yang tersebar di Nusantara. Ciri ini juga terlihat
pada perahu-perahu di Mesir, Lembah Sungai Indus dan Mesopotamia. Selain itu bentuk tiang,
teknik pasak, bentuk ujung kemudi pipih segiempat, dan bentuk layar trapesium berkembang
sekitar 2000 tahun lalu pada jaringan perdagangan di selat Malaka.
Namun pengaruh dari teknologi yang berkembang di lautan Hindia pada teknologi perahu
Austronesia ini oleh Horridge (2006:145-147) dianggap kurang tepat karena kelompok-kelompok
petutur Austronesia meninggalkan wilayah Asia Daratan jauh sebelum mendapat pengaruh dari
teknologi perahu yang berkembang di Lautan Hindia atau bahkan dari Mesir. Ia menunjukkan
bahwa perahu-perahu Ausronesia telah berkembang dengan menggunakan bentuk layar segitiga
sejak sekitar 200 tahun sebelum Masehi, teknologi layar segitiga ini baru berkembang di Lautan
Hindia pada sekitar 200 tahun Setelah Masehi hingga seribu tahun kemudian diadopsi oleh para
pelaut Portugis.
Rute perdagangan dari Vietnam menuju kawasan timur Nusantara sekitar 200 SM yang
ditunjukkan oleh persebaran nekara perunggu yang merupakan salah satu artefak dari budaya
Dongson yang mengikuti pergerakan musim angin monsoons di laut Cina Selatan dan laut Jawa.
Diperkirakan cengkih dan kayu manis merupakan komoditas perdagangan yang dibawa oleh para
pelaut petutur Austronesia menuju India dan Srilangka, dan mungkin menuju pantai timur Afrika
dengan menggunakan perahu bercadik. Mereka meninggalkan jejak dengan pengaruh berupa
desain perahu, teknik pembuatan perahu, cadik, teknik menangkap ikan, dan sebagainya pada bukti
literatur di Yunani (Christie, 1957 dalam Horridge 2006: 146). Hal ini didukung oleh Hornel
(1928: 1-4) bahwa bentuk perahu di Victoria Nyanza, Uganda pada Suku Bantu di Afrika Timur
mirip dengan bentuk perahu yang berada di Indonesia, dengan contoh perahu yang berasal dari
Madura yaitu bercirikan adanya tambahan papan pada dinding lambung dengan teknik ikat dan
terdapat dekorasi pada ujung haluan perahu.
Selain itu juga didukung oleh data lingusitik mengenai istilah-istilah perahu (Adelaar 2005)
berdasarkan hasil penelitian tahun 1951 pada kelompok petutur Austronesia dari Nusantara di
Madagaskar. Perahu Austronesia awal tidak memakai cadik, perahu ini digunakan sebagai perahu
penangkap ikan yang ulung, dan terutama sebagai perahu perang dengan konstruksi satu lambung.
Bentuk perahu ini masih terdapat pada perahu naga di Asia, bentuk kano pada suku Asmat, dan
tergambarkan pada motif perahu pada nekara perunggu (Horridge 2006: 147). Perahu Austronesia
pada perkembangannya memiliki ciri yang unik yaitu bentuk layar segitiga dan bercadik tunggal.
Bentuk cadik berupa batang bambu yang dihubungkan dengan penghubung yang melintang di atas
lambung perahu, sedangkan bentuk layar segitiga dikembangkan dengan batangan bambu yang
ditopang oleh tiang layar yang miring (Horridge 2006:149).

Bentuk Perahu Austronesia dengan Cadil Tunggal dan Layar Segitiga dari
Satawal, Kepulauan Caroline (Sumber: Horridge, 2006:149)

Pada komunitas petutur Austronesia, sarana transportasi mereka memiliki ciri khas yaitu
pada desain bentuk perahu masing-masing komunitas yang diturunkan berdasarkan tradisi dari
nenek moyang mereka. Penerus mereka belajar untuk melanjutkan tradisi pembuatan perahu tanpa
kecacatan karena mereka yakin jika kesalahan tersebut terjadi akan berakibat fatal dan berbahaya
pada saat digunakan mengarungi lautan. Konstruksi perahu yang cenderung konservatif dan
berakibat pada teknik pembuatan perahu bertahan hingga seribu tahun yang diturunkan pada
generasi-generasi di bawahnya (Horridge 2006: 150).
Keberadaan perahu merupakan bagian dari transportasi air yang digunakan untuk migrasi
penduduk yang bertambah populasinya dan penyebaran bahasa di Nusantara hingga ke Pasifik.
Migrasi penutur bahasa Austronesia selama kurang dari 3.500 tahun merupakan proses yang sangat
cepat yang tentunya didukung oleh penguasaan teknologi pelayaran (Koestoro, 1999).
Berdasarkan hasil penelitian W. Mahdi (1999: 145-148) sarana transportasi air paling awal pada
masyarakat penutur Austronesia di Nusantara adalah rakit-rakit bambu yang selanjutnya
berkembang dari gabungan balok-balok kayu yang diikat. Balok-balok kayu kadang diceruk
bagian dalamnya sehingga mirip kano. Rakit dari balok kayu lalu berkembang menjadi perahu
berlunas ganda (double canoe) atau katamaran. Selanjutnya dari perahu berlunas ganda
berkembangmenjadi perahu bercadik tunggal dan hingga pada akhirnya perahu bercadik ganda.
Mahdi (1999) mengemukakan bahwa hubungan pelayaran jarak jauh perahu-perahu
Austronesia dengan perahu dari bangsa Semit di lautan Hindia diperkirakan telah terjadi antara
1000 dan 600 SM. Hal ini berdasarkan data tertulis Kitab Suci mengenai perjalanan pelaut dari
bangsa Phoenic untuk membantu ekspedisi pelayaran Raja Sulaiman ke tanah Ophir (Kings 9: 26-
28; Chron 8: 17-18 dalam Mahdi 1999: 153) dan terekam juga dalam Ioudaikes Archaiologias
yang merupakan tulisan orang Yahudi yaitu Flavius Joshephus tahun 93 Masehi yang
menyebutkan tujuan perjalanan ekspedisi tersebut ke tanah Sopheir (Thackeray dan Marcus 1966:
658-660 dalam Mahdi 1999: 153).
Terdapat asumsi dari literatur yang lebih kemudian bahwa tujuan ekspedisi ke arah timur itu
adalah wilayah Semenanjung Malaya atau wilayah daratan Sumatera yang dianggap sebagai
Suvarnabhumi (tanah emas). Sedangkan pada literatur yang lebih tua bahwa pelayaran hanya
sampai pada daerah Sopara tidak jauh dari Baroch (Baygaza) (Mahdi 1999: 153-155).
Pengaruh yang saling menguntungkan pada bentuk tiang dan layar perahu pada perahu
Austronesia dan perahu bangsa Semit (Sumber: Mahdi, 1999: 158)

Dari gambar diatas adanya hubungan yang saling menguntungkan antara dua teknologi yang
berkembang pada komunitas petutur Austronesia di Nusantara dan para pelaut Semit di wilayah
perairan Selat Malaka, Laut Merah, dan Teluk Persia, yaitu bentuk layar dan sistem tali temali.
Bentuk layar pada perahu bangsa Semit, seperti yang terekam dalam sejarah Mesir Kuna dan Laut
Tengah, adalah segiempat yang dipasang di tengah tiang perahu secara simetris dan tidak memakai
kayu atau bambu pengikat layar. Sedangkan bentuk layar perahu Ausronesia umumnya bervariasi,
namun ciri khasnya berbentuk segitiga dengan pengikat kayu atau bambu pada ujung-ujung
layarnya dan layar dipasang tidak simetris pada tiang perahu. Pengaruh dari kedua teknologi
perahu tersebut pada perahu bangsa Latin yaitu bentuk layar perahu segitiga yang dipasang lebih
dekat ke tengah tiang layar yang merupakan pengaruh dari bentuk layar Austronesia, namun
bentuk layar pada perahu ini tidak memiliki batas bawah pada layarnya yang merupakan
perkembangan dari bentuk layar bangsa Semit.
Sedangkan bentuk layar pada perahu bangsa Melayu awal yaitu berbentuk layar segiempat
dengan digantung miring pada tiang layar namun tidak simetris di tengah tiang layar. Bentuk layar
segiempat mendapat pengaruh dari bangsa Semit dengan tetap mempertahankan batangan kayu
atau bambu sebagai batas bawah layar yang merupakan perkembangan dari perahu Austronesia
awal (Mahdi, 1999:157-159). Selain itu bentuk pelayaran jarak jauh perahu-perahu Austronesia
menggunakan cadik atau tanpa cadik. Bentuk perahu tanpa cadik yang berukuran lebih besar
terbuat dari konstruksi lambung papan sedangkan perahu bercadik umumnya berkonstruksi perahu
lesung, tetapi bentuk konstruksi papan juga digunakan. Persebaran perahu bercadik ganda maupun
bercadik tunggal sangat luas di Nusantara hingga sekarang.

G. Temuan Arkeologis Tinggalan Perahu Tradisional di Indonesia


Temuan arkeologis mengenai jejak perahu lesung tertua, yaitu sekitar 8000 BP ditemukan
di Kuahuqiao, wilayah Sungai Yangzse, China. Temuan ini berasosiasi dengan sisa rotan atau
bambu yang diperkirakan bagian dari layar atau bagian atap sebuah kano (Jiang dan Liu 2005
dalam Lape et al. 2007: 239).
Sedangkan temuan tinggalan perahu tertua di Eropa ditemukan di Pesse, Belanda yang
diperkirakan sekitar ± 6.315 SM berdasarkan pertanggalan radio karbon. Bukti tertua tinggalan
arkeologis di Asia Tenggara mengenai sisa perahu ditemukan di wilayah Kuala Pontian, pantai
timur Pahang, Malaysia berupa tiga keping papan, sebuah sisa lunas, dan beberapa gading-gading
yang berasosiasi dengan sisa guci yang mirip dengan temuan di Oc-eo, Vietnam Selatan (Utomo,
2007: 24). Berdasarkan pertanggalan radio karbon diperkirakan berasal dari sekitar abad 3-5
Masehi (Booth 1984: 189-204 dalam Utomo, 2007: 24).
Berdasarkan penelitian arkeologis tinggalan perahu lesung dengan pertanggalan yang
paling tua belum ditemukan di Indonesia. Temuan perahu lesung berasal dari abad ke 15-16
Masehi ditemukan di tepi Sungai Tarasi, Desa Kaludan Besar, Amuntai Tengah, Kalimantan
Selatan berupa Jukung Sudur yang sekarang berada di Museum Lambung Mangkurat, Kalimantan
Selatan (Utomo, 2007: 55-56). Perahu yang ditemukan berukuran panjangnya dengan lebar 115
cm dan kedalamannya 32 cm, yang diperkirakan dapat memuat 30 orang (Utomo, 2007: 51).
Berdasarkan jejak pada badan perahu, alat yang digunakan yaitu belayung atau belincung. Pada
bagian badan perahu terdapat delapan buah tonjolan berbentuk persegi panjang yang dipahatkan
langsung pada batang perahu lagi. Masing-masing keping papan panjang maksimumnya 250 cm
dengan lebar antara 20 hingga 30 cm dan ketebalannya 5 cm. Terdapat tambuko dan lubang-lubang
untuk memasukkan tali dan pasak untuk menyatukan papan-papan pembentuk badan perahu
dengan gading-gading (Utomo, 2007: 70).
Temuan jenis perahu papan lainnya terdapat di situs-situs Paya Pasir, Sumatera Utara;
Bukit Jakas, Riau; Ujung Plancu, Jambi; Karanganyar, Sambirejo, Tulung Selapan, Tanjung
Jambu, Sumatera Selatan; Tanjung Pandan, Bangka Belitung; dan Pasucinan, Jawa Timur (Utomo,
2007:64-74)

H. Perahu sebagai Peti Mati di Indonesia


Perahu mempunyai makna religius bagi sebagian masyarakat di Asia Tenggara, termasuk
Indonesia (Ballard et all, 2003: 392-393; Utomo, 2007: 27-28; Szabo et all, 2008: 163-165).
Berkaitan dengan penguburan, perahu digunakan sebagai wadah kubur pada beberapa suku di
Indonesia. Misalnya suku Dayak Ngaju yang menempatkan si mati pada perahu peti mati, yang
bermakna bahwa orang yang telah mati akan berpindah menuju alam arwah dengan
menggunakan perahu sebagai wahananya. Suku Dayak Ngaju mempunyai dua istilah bagi perahu
peti mati tersebut, yaitu banawa tingang (perahu bangau) dan banawa bulan (perahu ular air)
(Utomo 2007: 28).

Replika perahu suku Ngaju Dayak terbuat dari lateks berukuran 240 x 465 mm (Foto diambil
dari buku Art of Southeast Asia, 2004: 50)

Perahu yang digunakan oleh orang Dayak Ngaju tidak hanya sebagai peti mati saja, namun
perahu juga digunakan sebagai alat transportasi sehari-hari (Perry, 1915: 142).
Pada situs-situs gua prasejarah di Asia Tenggara sering ditemukan bentuk-bentuk peti mati
berupa perahu. Tinggalan bentuk perahu peti mati tersebut masih dapat ditemukan di Gua Liang
Kain Hitam, Niah, Sarawak, Malaysia (Harrison, 1958 dalam Szabo et al., 2008). Selain itu
ditemukan juga di Kepulauan Kei (Sukendar 2002: 182).

Bentuk peti mati berupa perahu di Gua Liang Kain Hitam, Niah, Sarawak, Malaysia
(Sumber: Szabo, 2008: 151)

Bentuk peti mati berupa perahu di Kepulauan Kei (Sumber: Sukendar, 2002: 182)
Contoh lain dari penggunaan peti mati berbentuk perahu yaitu yang digunakan oleh orang
Galera, Halmahera. Tradisi mereka menyatakan bahwanenek moyangnya berasal dari arah barat
laut seberang lautan. Ketika tanah orang meninggal dipisahkan oleh perairan, maka perahu
digunakan untuk perjalanan tersebut, dan perahu telah lama bertahan sebagai alat transportasi
perairan sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas menganggap asal nenek moyang
mereka dari seberang lautan, sehingga ketika anggota masyarakatnya meninggal perahu digunakan
sebagai simbol kendaraan arwah yang meninggal menuju dunia arwah (Perry, 1915: 143).
Pada komunitas Austronesia, perahu memiliki bentuk yang bervariasi yang digunakan
dalam konteks kematian. Peti mati berbentuk perahu ada yang dipahat dari kayu atau bongkahan
batuan, dan bentuk motif perahu juga digambarkan pada kain dari kulit kayu, dan kayu yang
disimpan pada situs penguburan. Praktek penguburan pada perahu sebagai peti mati juga
ditemukan di Semenanjung Malaysia di sebelah barat, Filipina di sebelah utara, dan kepulauan
Solomon di sebelah timur (Ballard et al, 2003: 393).

I. Jenis-Jenis Perahu Tradisional Nusantara


Secara dasar, jenis-jenis perahu tradisional Nusantara dapat digolongkan dengan tiga cara:
ada istilah yang menandai jenis layarnya, ada yang menggambarkan bentuk lambung, dan ada
nama yang berasal dari cara dan tujuan pemakaian perahu (Liebner, 2005: 80). Dengan cara
penamaan ini memang agak susah buat orang awam untuk mengerti perbedaan-perbedaan yang
jelas sekali bagi para pelaut dan pengrajin perahu apalagi karena ‘secara kebiasaan’ hanya salah
satu dari istilah ini digunakan untuk menandai sebuah tipe tertentu, dan tiada kepastian apakah
istilah yang menandai jenis layar, tipe lambung atau tujuan penggunaannya menjadi ‘nama’ sejenis
perahu.
Istilah-istilah itu dapat juga berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain, terutama
dalam bidang perikanan tradisional. Terdapat ratusan jenis perahu lokal yang masing-masing
‘punya nama’ tersendiri. Beberapa contoh dari Sulawesi Selatan: nama perahu baqgoq asal daerah
Mandar dan Barru bereferensi pada tipe lambung perahu, bila ia memakai layar jenis sloop
(‘nade’); jika ia dilengkapi dengan jenis layar lateen (‘lete’), maka pelaut-pelaut akan
menamakannya baqgoq maupun lete; perahu-perahu yang menggunakan layar jenis schooner-
ketch (‘pinisiq’) dinamakan pinisiq, biar lambung perahu berbentuk padewakang, palari atau
lambo; perahu tipe patorani (‘pencari ikan terbang (torani)’) asal Galesong, Sulawesi Selatan,
terdiri dari lambung pajala besar atau padewakang kecil dan memakai layar jenis titled rectangular
rig (‘tanjaq’).

Tipe-tipe layar dan kemudi. 1: lateen dengan kemudi tengah yang digantung di buritan; 2. tilted
rectangular dengan kemudi samping; 3. Batten-lug dengan kemudi tengah tipe Cina (Sumber:
Liebner, 2005)

Bentuk perahu dan bagian-bagian perahu ini berbeda antara satu jenis perahu dan jenis
lainnya. Demikian juga untuk perahu yang sama antara daerah yang satu dengan daerah yang lain
dapat berbeda namanya. Sebagai contoh, dek perahu pada perahu compreng dan sope (di Cirebon
dan Indramayu) disebut tataban, sedangkan pada perahu jegong disebut baya-baya, dan pada
perahu konting (Jawa Timur) disebut jabakan. Perahu kolek di Cirebon disebut perahu mayang di
Pamanukan, perahu compreng di Cirebon disebut perahu tembon di Indramayu, dan sebagainya.
Meski begitu, ternyata sejak dahulu sampai sekarang terdapat suatu ‘standar’ penamaan tipe-tipe
perahu yang berlaku bagi para pelaut Nusantara, baik asal dalam maupun luar negeri. Unsur-unsur
utama perahu tradisional antara lain mencakup lunas atau dasar, lambung, linggi, dayung, kemudi,
tiang, dan layar perahu.
Bagian perahu yang disebut lunas adalah batangan kayu utama pada bagian bawah dari
kerangka dasar perahu papan, sedangkan dasar adalah bagian bawah dari perahu lesung. Lambung
adalah bentuk dinding perahu. Linggi adalah bentuk tambahan perahu pada bagian haluan atau
buritan yang menonjol ke atas. Sedangkan dayung merupakan alat kayuh perahu terbuat dari
batang kayu yang memanjang dengan bentuk pipih di ujungnya. Kemudi adalah alat yang
berfungsi sebagai pengarah perahu. Pada masa kini, kemudi menggunakan kemudi putar yang
yang menyerupai stir mobil. Sebelum digunakannya kemudi putar, kemudi perahu menggunakan
kemudi dayung yang biasanya diletakkan di bagian buritan perahu.

Bagian-bagian perahu (Sumber: Adriati, 2004: 62)

Di kawasan Samudera Hindia jenis-jenis perahu lebih bervariasi antara satu daerah dengan
daerah lain, bahkan di antara kelompok pelaut dalam satu daerah juga sering kali terdapat berbagai
tipe perahu, bahkan ada perahu yang hanya cocok untuk jenis perairan tertentu. Oleh karena itu
terdapat berbagai tipe perahu tradisional di kawasan Nusantara. Secara garis besar di Indonesia
dijumpai 4 kelompok jenis perahu berdasarkan daerah asal, yaitu:

1. Perahu Sumatera

Jenis perahu Sumatera yaitu perahu Lancang Kuning, Riau (Sumber:Jastro, 2009)
Dijumpai di kawasan pulau Sumatera dan pantai barat Semenanjung Malaya, ciri-
cirinya adalah sebagai berikut:
a. badan perahu panjang dan rendah
b. haluan tinggi
c. tinggi tiang sepanjang badan perahu (Sulistiyono, 2004: 75)

Ciri ini sesuai dengan perairan Malaka yang tenang. Perahu yang termasuk ke dalam tipe
ini adalah banting, cunia, jalur, jung, gobang, kalamba, kenabat bagolu, kolek, lancing, lelayang,
meudagara, parahu sasak, pencalang, rakit, sampan, sampan gadang, sampan kaur, sampan payang
(pamayang), tambangan, dan tunda (Asnan, 2007: 261).
Perahu Ketek

Sejarahnya, perahu Ketek digunakan sebagai sarana transportasi tradisional dan juga sebagai
tempat tinggal oleh masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Musi pada masa lampau. Perahu
ini awalnya bernama perahu Kajang. Perahu Kajang ini dibuat dengan menggunakan kayu rengas,
dan menggunakan atap dari nipah. Panjang dari perahu ini sekitar delapan meter dengan lebar dua
meter (Morgesiwe, 2016). Seiring berkembangnya jaman, perahu Kajang yang awalnya
menggunakan dayung kini menggunakan mesin untuk dijalankan. Saat ini Perahu Kajang disebut
Perahu Ketek dan digunakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar bantaran sungai Musi sebagai
sarana wisata air guna memenuhi kebutuhan hidup. Nama perahu Ketek sendiri awalnya adalah
Perahu Getek, namun orang-orang Palembang sendiri lebih mudah menyebut Ketek, sehingga
sampai sekarang nama Perahu Ketek ini digunakan. Perahu yang aktif sebagai sarana wisata air
saat ini berjumlah 322 unit. (Dananta, 2019: 2)
2. Perahu Jawa

Jenis perahu Jawa yaitu perahu Golekan Lete, Madura (Sumber: Elymart, 2009)
Perahu Jawa mempunyai ciri-ciri:
a. antara haluan dan buritan sejajar
b.badan perahu vertikal
c. layar empat persegi panjang, kadang trapesium dan segitiga
d.pada saat ini bentuknya kecil-kecil dan masih terdapat di Madura (Sulistiyono,
2004: 75-76).
Perahu Jawa meliputi perahu yang dipakai di pantai utara pulau Jawa, Madura dan di pantai
selatan pulau Jawa. Perahu yang termasuk ke dalam tipe ini adalah perahu lesung, sampan, sope,
jegong, tembon (compreng), bondet, mayang, kolek (mayang), konting (dogol), jukung katir,
perahu prawean, golean lete, janggolan, pencalang, lambo, dan lain-lain (Wangania, 1981: 26).
3. Perahu Sulawesi
Perahu Sulawesi dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. terdapat di Sulawesi Selatan dan Tenggara
b. badan kapal melebar
c. ada tiga tiang layar
d. layar empat persegi (Sulistiyono, 2004: 76)
Perahu yang termasuk ke dalam tipe ini adalah padewakang, phinisi, sande, salompong,
patorani, lepa-lepa, soppe, dan lain-lain (Sukendar, 2002: 124).

4. Perahu Indonesia Timur

Jenis Perahu Indonesia timur yaitu perahu Kora-Kora, Maluku

Perahu Indonesia timur dengan ciri-ciri sebagai berikut:


a. terdapat di Maluku dan kawasan di sebelah timurnya
b. badan perahu lebar dan pendek
c. lambung rendah, ujung-ujungnya tinggi dan dihiasi
d. satu tiang dan satu layar. Sulistiyono, 2004: 76).
Perahu yang termasuk ke dalam tipe ini adalah kora-kora, dan cadik karere. Gambaran
perahu yang dipahatkan di Borobudur mempunyai kesamaan dengan perahu jenis kora-kora
sebagaimana yang digambarkan oleh orang-orang Eropa pada saat pertama kali datang di
Nusantara. Lambung perahu Borobudur memiliki sepasang penggandung/cadik (outrigger) yang
terapung yang berfungsi sebagai penyeimbang dan tempat para pendayung. Perahu Borobudur
memiliki dua tiang layar berkaki tiga untuk mengibarkan layar empat persegi panjang dan
memiliki haluan tempat digantungkan layar persegi yang pada kapal-kapal Yunani kuno disebut
sebagai artemon dan seperti Jung Jawa pada abad XVII M (Sulistiyono, 2004: 77).

J. Relief Perahu

contoh relief perahu di Cadni Borobudur


Berdasarkan laporan-laporan perjalanan bangsa-bangsa Eropa yang datang pada abad XVI
M diceritakan bahwa kapal-kapal dagang dengan menggunakan penggandung/cadik dengan
lambung kapal yang terbuat dari papan-papan kayu memang umum dibuat di Nusantara dan
Filipina dan sebagian jenis ini kemungkinan perkembangan lebih lanjut dari kapal Borobudur
(Horridge, 1981: 1). Menurut Horridge, perahu yang dipahat di candi Borobudur lebih menyerupai
perahu jenis kora-kora yang merupakan jenis kapal perang yang diawaki oleh para prajurit
angkatan laut untuk melakukan pertempuran laut melawan bajak laut atau armada musuh.

K. Perahu – Perahu Tradisional di Museum Bahari Indonesia Gedung C

Pada gambar di bawah ini merupakan koleksi perahu-perahu tradisional yang terdapat di Museum
Bahari Indonesia Gedung C:
1. Perahu Compreng, Cirebon (No. Inv. 001/PA/MB/2003)

Jenis: Perahu papan


Deskripsi: Perahu ini memiliki panjang 9,6 m dari ujung linggi depan hingga ujung linggi
belakang, lebar badan perahu 2,27 m dari ujung golak kanan hingga ujung golak kiri, tinggi perahu
2,38 m pada bagian haluan dan 1,52 m pada bagian buritan, serta ketebalan papan 9 cm. Perahu
Compreng memiliki bagian linggi depan yang tingginya 1,23 m dan lebarnya 83 cm serta linggi
belakang setinggi 80 cm dan lebar 60 cm. Perahu ini tidak memiliki cadik dan menggunakan layar
sebagai tenaga penggerak kapal. Hal ini dapat dibuktikan melalui lubang yang terdapat di bagian
tengah dan bagian belakang perahu yang digunakan tempat memasang tiang layar. Badan perahu
atau sering disebut dengan golak tidak dibentuk dari satu batang pohon yang utuh tetapi dibentuk
dari 6 bilah papan yang memanjang dan disusun berjejer. Untuk bahan kayu yang digunakan ialah
kayu jati. Perahu Compreng ini menggunakan teknik pemasangan kayu dengan cara teknik pasak.
Terdapat pula cangga layar dan sumbi-sumbi yang terletak di belakang di atas dapur.Untuk hiasan
perahu menggunakan warna yang beraneka ragam seperti merah, putih, biru, kuning, hujau dan
coklat. Bagian perahu yang dihias adalah bagian haluan, buritan, linggi, dinding luar (golak kanan
dan golak kiri), sumbi, cangga layar, tiang layar. Hiasan terdapat di bagian lambung perahu yaitu
di bagian haluan, buritan, linggi, dan dinding bagain luar. Ada juga di bagian dek perahu yaitu
sumbi yang diukir, dan cangga layar. Motif hiasan berupa motif garis dan pembagian bidang.
Garis-garis yang digunakan merupakn garis melengkung maupun garis tekuk. Bila melihat motif
hiasan tersebut dari kejauhan seakan-akan menyerupai gelombang laut. Garis melengkung yang
merupakan pilin diletakkan pada bagian linggi menguatkan kesan gerak gelombang.

2. Perahu Alutpasa, Samarinda (No. Inv. 003/PA/MB/2003)


Jenis: Perahu lesung
Deskripsi: Perahu ini memiliki panjang 8,6 m dari ujung haluan hingga ujung buritan dan lebar 62
cm. Perahu ini terbuat dari 1 batang pohon yang dikeruk dan badan perahu ditambah 2 bilah papan
panjang untuk meninggikan badan perahu. Terdapat 8 buah papan di dalam perahu untuk
mempertahankan kelengkungan badan perahu. Bagian dek perahu ini hanya sedalam 25 cm dan
tidak memiliki ruang-ruang khusus. Perahu Alutpasa merupakan perahu yang sederhana karena
tidak menggunakan layar, linggi, dan cadik tetapi hanya mengandalkan dayung sebagai tenaga
penggeraknya. Di bagian haluan terdapat berupa hiasan yang terbuat dari kayu yang berbentuk
sulur-suluran. Motif hiasan pada bagian lambung kapal dilukis berupa pilinan garis yang berulang-
ulang. Warna yang digunakan untuk menghias perahu yaitu warna coklat gelap dan coklat lebih
terang.

3. Perahu Prawean, Madura (No. Inv. 005/PA/MB/2003)

Jenis: Perahu papan


Deskripsi: Perahu ini memiliki panjang 7,1 m, lebar 1,68 m, dan tinggi 1 m pada bagian buritan,
68 cm pada bagian badan, dan 1,2 m pada bagian haluan serta ketebalan 5 cm. Terbuat dari 5 buah
papan yang disusun berjejer dan dibentuk menggunakan rangka. Perahu ini tidak bercadik,
menggunakan layar, terdapat linggi depan dan belakang, pada bagian belakang terdapat dapur
sebagai tempat memasang tiang layar. Pada bagian bawah perahu terdapat lunas. Hiasan pada
perahu prawean berupa motif garis melengkung yang berulang-ulang sehingga terlihat seperti
liukan ombak. Warna yang digunakan adalah merah, kuning, hijau, dan putih.

4. Perahu Jegongan, Indramayu (No. Inv. 006/PA/MB/2003)

Jenis: Perahu papan


Deskripsi: Perahu jegongan memiliki panjang 6,7 m dari unjung linggi depan hingga ujung linggi
belakang, lebar badan perahu 1,96 m dan ruangan dek memiliki kedalaman 70 cm. Pada bagian
dalam perahu terlihat unsur kerangka perahu yang juga digunakan tempat meletakkan susunan
kayu sebagai lantai. Perahu ini memiliki linggi depan dengan tinggi 44 cm dan linggi belakang
setinggi 37 cm, bagian serang depan dan belakang setinggi 1 m. Perahu Jegongan bukan jenis
perahu bercadik dan menggunakan layar sebagai alat penggerak kapal. Rangka perahu berjumlah
12 buah yang membentuk badan perahu. Badan perahu terbuat dari 5 buah papan setebal 4 cm
yang berjejer dari ujung haluan ke ujung buritan. Terdapat dapur di bagian belakang kapal tempat
didirikannya tiang layar. Di bagian tengah dan depan juga terdapat lubang tempat meletakkan tiang
layar. Tidak ada ruang khusus di dalam perahu ini.
Untuk motif hiasan hanya ada tulisan “GARUDAMAS” di permukaan golak kanan dan kiri yang
ditulis dengan warna merah di atas warna putih. Selain itu penggunaan motif garis memanjang
ditemukan di luar permukaan badan kapal yang menggunakan warna merah, biru dan kuning.

5. Perahu Cadik Bali, Bali (No. Inv. 007/PA/MB/2003)


Jenis: Perahu lesung

Deskripsi: Perahu cadik Bali memiliki panjang 6 m, lebar 60 cm, dan tinggi 2 m pada bagian
haluan, 70 cm pada bagian badan, dan 1 m pada bagian buritan, serta 10 cm untuk ketebalan
perahu. Perahu cadik Bali dibuat dari 1 buah batang pohon yang dikeruk dan ditambah 1 buah
papan untuk mempertinggi badan perahu. Badan perahu tidak selebar perahu-perahu lainnya.
Merupakan perahu yang menggunakan layar, cadik, linggi depan dan belakang, tidak memiliki
lunas, serta memiliki dapur tempat meletakkan bajing-bajing. Baruyungan berbentuk lekukan
yang simetris dan diujungnya diikat katir yang terbuat dari bambu. Panjang baruyungan depan 2,2
m dan belakang 1,7 m. Untuk katir memiliki panjang 8,9 m. Perahu ini juga menggunakan layar
yang tiangnya memiliki panjag 9,2 m. Hiasan perahu menggunakan motif garis melengkung dan
motif garis lurus. Warna yang digunakan adalah hijau, kuning, merah, putih. Pada bagian buritan
terdapat bajing-bajing yang bermotif ukiran ayam.

6. Perahu Golekan Lete, Madura (No. Inv. 008/PA/MB/2003)


Jenis: Perahu papan

Deskripsi: Perahu ini memiliki ukuran panjang 4,5 m, lebar 1,6 cm dan tinggi 2,1 m pada bagian
haluan, 60 cm pada bagian buritan. Perahu Golekan Lete dibentuk dari susunan 5 buah papan yang
berjejer. Pada bagian depan terdapat linggi yang berbentuk runcing dan linggi bagian belakang
sudah tidak ada lagi. Perahu Golekan Lete bukan jenis perahu bercadik tetapi menggunakan layar
serta memiliki lunas pada bagian perahu. Di bagian buritan terdapat sumbi dan tiang layar yang
diletakkan di atas dapur. Di bagian dalam perahu terdapat rangka yang mempertahankan bentuk
perahu dan dan bagian dasarnya dilapisi susunan papan sebagai lantai perahu.
Di seluruh permukaan golak bagian luar dipenuhi dengan hiasan dengan motif flora dan
menggunkan motif garis melengkung. Terdapat pula motif ukiran pada sumbi. Hiasan tersebut
menggunakan warna yang kuning, hijau, merah, dan biru.

7. Perahu Cadik Nusantara, Banten (No. Inv. 010/PA/MB/2003)

Jenis: Perahu papan


Deskripsi: Dibuat di Muara Dadap, Tangerang, Banten dalam rangka Misi Persahabatan antar
Bangsa Melayu. Perahu ini sumbangan dari Effendi Sulaiman. Perahu ini terbuat dari bahan marine
plywood. Bagian luar perahu dilapisi dengan serta fiber. Ukuran panjang 7,22 m, lebar 3,6 m,
tinggi tiang 7 m, layar 2 buah. Merupakan perahu bercadik tunggal yang terletak di sisi kiri perahu.
Katir dan baruyungan diikat dengan sisten ikat. Katir yang digunakan menyerupai bentuk perahu
yang bertutup. Bagian dalam perahu ditutupi dan ditambah dengan ruangan agar dapat melihat ke
luar dari dalam perahu. Pintu masuk ke dalam perahu ada dua buah yaitu di bagian depan dan
belakang. Tiang perahu memiliki tinggi 6,4 m yang diletakkan di tengah perahu. Memiliki kemudi
di bagian buritan yang berfungsi sebagai pengatur arah perahu. Hiasan yang digambarkan di
perahu ini berupa figur manusia di bagian haluannya dan menggunakan cat berwarna coklat dan
putih dengan berbahan cat minya.

8. Perahu Sande Bahari, Mandar (No. Inv. 011/PA/MB/2003)

Jenis: Perahu lesung


Deskripsi: Daerah asal Pare-pare Sulawesi Selatan. Terbuat dari kayu damar dengan ukuran
panjang 11,4 m dan lebar 90 cm. Merupakan perahu bercadik ganda dan menggunakan layar.
Tetapi pada perahu ini hanya tersisa bagian baruyungan-nya saja sedangkan bagian katir sudah
tidak ada. Panjang rentang baruyungan 8,4 m yang merentang dari sisi kanan hingga sisi kiri
perahu. Bagian dalam perahu (dek) merupakan ruangan tertutup dengan 3 buah pintu masuk di
bagian belakang, tengah, dan depan. Ketiga pintu masuk berbentuk persegi empat dengan ukuran
yang berbeda-beda. Pintu bagian depan berukuruan 60 cm x 64 cm, pintu bagian tengah berukuran
78 cm x 76 cm, dan pintu bagian belakang berukuran 70 cm x 64 cm. Antara pintu masuk bagian
depan dengan bagian tengah terdapat 2 lubang tempat diletakkannya tiang layar. Di bagian
buruitan kapal terdapat dapur. Ukuran linggi depan setinggi 78 cm dan linggi belakang 38 cm.
Motif hiasan hanya berupa penggunaan garis yang memanjang mengelilingi badan kapal bagian
luar dan linggi. Di sisi kanan belakang terdapat tulisan ‘ARANYACALA’. Perahu dilapisi cat
berwarna putih merata dan motif garis menggunakan warna biru.

9. Perahu Cadik Karere, Irian Jaya (No. Inv. 013/PA/MB/2003)

Jenis: Perahu lesung


Deskripsi: Perahu Cadik Karere memiliki panjang 14,3 m, lebar 80 cm, dan tinggi 90 cm. Perahu
ini terbuat dari 1 batang pohon Seiba yang dikeruk. Merupakan perahu bercadik tunggal di sebelah
kanan dan tidak memakai layar. Selain itu, perahu Cadik Karere ini tidak memiliki linggi dan
lunas. Teknik pembuatan menggunakan teknik ikat, penggunaan rotan dominan dipakai selain
penggunaan ijuk.
Baruyungan terbuat dari bambu dan katirnya terbuat dari kayu sukun. Panjang baruyungan
mencapai 8,23 m dan panjang katir mencapai 9,1 m. Pemasangan katir pada baruyungan
menggunakan teknik pasak dan ikat. Hiasan motif perahu terdiri dari biota laut, burung camar,
anjing, dan kodok. Hiasan-hiasan ini ada yang dibuat dengan diukir, dipahat dan dilukis. Pada
bagian haluan terdapat ukiran kepala burung. Penggunaan warna dominan menggunakan warna
gelap seperti hitam, coklat, krem dan merah. Pada bagian golak kanan terdapat tulisan ‘IRIAN
JAYA 02’.
10. Perahu Jukung Barito, Kalimantan (No. Inv. 017/PA/MB/2003)

Jenis: Perahu lesung


Deskripsi: Perahu yang memiliki panjang 6 m, lebar 57 cm dan tinggi 50 cm.
Perahu Jukung Barito tidak memiliki cadik, layar, linggi dan lunas. Terbuat dari 1 buah batang
pohon dan pada bagian golak ditambah 2 buah papan untuk mempertinggi badan perahu. Terdapat
rangka kapal yang bagian dasarnya dilapisi bilah bambu yang berjejer untuk lantai perahu. Tidak
memiliki hiasan maupun motif. Warna yang digunakan hanya warna coklat.
Daftar Pustaka
Skripsi
Jastro, Elymart. 2010. Kajian Perahu Tradisional Nusantara di Museum Bahari, Jakarta Utara
(Proses Produksi Pesan Tentang Teknologi Perahu. Depok: Universitas Indonesia
Oktaviana, Agus Adhi. 2009. Penggambaran Motif Perahu Pada Seni Cadas di Indonesia. Depok:
Universitas Indonesia
Tesis
Sastika, Anta. 2017. Analisis Tingkat Pelayanan Perahu Ketek Sebagai Angkutan Wisata Di
Sungai Musi Kota Palembang. Bandar Lampung: Universitas Lampung
Dananta, Yohanes Patrio. 2019. Perancangan Brand Identity Untuk Membangun Citra Perahu
Ketek Sebagai Wisata Air Sungai Musi. Semarang: Unika Soegijapranata

Anda mungkin juga menyukai