Anda di halaman 1dari 7

1.

Halalbihalal, Tradisi Islam Nusantara yang masih ada

Usai melaksanakan puasa Ramadhan, umat muslim di Indonesia mempunyai tradisi


unik yang tidak dimiliki negara-negara lain. Ya, tradisi itu bernama halalbihalal. Dalam
pelaksanaannya, halalbihalal biasanya diisi dengan kegiatan yang positif seperti berkunjung
ke rumah kerabat, silaturrahmi, ajang maaf-maafan hingga makan bersama. Secara umum,
halalbihalal dimaksudkan sebagai acara silaturrahmi yang dilaksanakan setelah menunaikan
ibadah puasa Ramadhan dengan kegiatan inti saling bermaaf-maafan satu sama lain.

Meski mempunyai nama khas Arab, namun halabihalal merupakan tradisi otentik
nusantara dan tidak diturunkan oleh negara di belahan bumi lain. Kehadiran halalbihalal juga
tak disebutkan secara eksplisit oleh Alquran maupun hadis. Namun, bukan berarti
halalbihalal termasuk ajaran Islam yang ilegal. Dalam penamaan istilah halalbihalal memang
tidak ada dasar yang jelas, akan tetapi nilai-nilai ajaran dan praktik dalam halalbihalal
memiliki dasar hukum yang kuat dalam al-Quran dan hadis.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Rasulullah bersabda:


“Barangsiapa melakukan kezhaliman kepada suadaranya, hendaklah meminta dihalalkan
(dimaafkan) darinya; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham,
sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi,
maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan padanya,” (HR. Al-Bukhari).

Belum ada riwayat yang secara sahih menceritakan, siapa pencetus tradisi halalbihalal
ini. Ada yang mengatakan halalbihalal dirintis oleh Pangeran Sambernyawa. Dikisahkan,
untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan
pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana.
Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan
permaisuri.Sebagian versi menyebutkan, halalbihalal merupakan tradisi yang dibuat oleh Kiai
Wahab Hasbullah dengan Bung Karno. Ketika Indonesia mengalami masa disintegrasi pada
1984 dimana, terjadi pemberontakan oleh kelompok DI/TII hingga PKI yang melibatkan
berbagai tokoh politik.

Khawatir akan terjadinya perpecahan bangsa, Bung Karno mengundang Kiai Wahab
Hasbullah untuk menyelesaikan ketegangan ini. Lalu, Kiai Wahab mengusulkan agar
diadakan silaturrahmi dan maaf-maafan. Usulan itu pun diterima Bung Karno namun, harus
ada perubahan nama. Akhirnya, tercetuslah nama halalbihalal.
Menjaga tradisi

Sejarah syariat islam menyuguhkan fakta bahwa islam menerima terhadap budaya
baru yang telah berkembang sebelumnya. Karena tak lahir di ruang hampa, maka syariat
islam menerima unsur-unsur kebudayaan dan tradisi yang sudah hidup sebelumnya.
Kemunculan tradisi halalbihalal sebenarnya sudah ada sejak dahulu, lantas ditiru oleh
masyarakat. Namun, ruang lingkup yang digunakan masyarakat tidak lagi terjebak dalam
batasan wilayah istana seperti yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa maupun Bung
Karno. Mereka (baca: masyarakat) membuat tradisi ini lebih membaur dan diterima di
masyarakat muslim Indonesia. Hari ini, kegiatan halalbihalal tidak hanya berupa bermaaf-
maafan saja. Akan tetapi, masyarakat mampu membuatnya lebih nyaman dan humanis.
Halalbihalal pun seringkali diiringi dengan nasihat keagamaan dan dilanjutkan dengan makan
bersama.

2. Budaya sungkeman

Dalam kebudayaan Jawa, istilah sungkeman digunakan sebagai bentuk rasa hormat
kepada orang tua dan simbol permintaan maaf. Hal serupa juga terjadi ketika halalbihalal.
Masyarakat biasanya akan melakukan sungkem kepada orang tua sebagai tanda permintaan
maaf mereka. Bahkan, tak sedikit orang yang meneteskan air mata ketika melakukan
sungkeman.

Tradisi sungkeman dalam edisi lebaran ini sebenarnya sudah dilakukan pada masa
Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaraan. Saat itu, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati
Arya (KGPAA) Mangkunegara I beserta seluruh abdi dalem berkumpul dan saling bermaafan
setelah melakukan salat Ied. Pada tahap pertama yang melakukan sungkem para istri dan
putra dalem. Pada tahap kedua baru para sentana dan abdi dalem. Bentuk dan pelaksanaannya
pun relatif baku. Waktu itu, semua yang terlibat mengenakan pakaian Jawa resmi dan antre
secara tertib. Lalu, Raja duduk di singgasana, dan yang melakukan sungkem duduk
bersimpuh, melakukan sembah dan mengucapkan kalimat-kalimat tertentu yang sudah baku.

Hingga saat ini pun, budaya sungkeman masih menjadi tradisi halalbihalal yang tidak boleh
ditinggalkan.
3. Mengenal Tradisi Tabot atau Tabuik

Tradisi Tabot merupakan acara mengenang gugurnya Imam Husein Bin Ali Abi
Thalib ketika ditawan oleh tentara Yazid Bin Muawiyah di Padang Karbala, Irak. Menyambut
Tahun Baru Islam 1440H, Masyarakat Bengkulu memiliki tradisi yang dikenal dengan nama
Tabot. Tahun ini perayaan Tabot Bengkulu akan dilaksanakan mulai dari Senin, 10
September- Kamis, 20 September 2018. Endang Rochmiatun dalam tulisannya berjudul
Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma Dekonstruksi mengatakan
beberapa literatur menuliskan bahwa upacara Tabot merupakan acara mengenang gugurnya
Imam Husein Bin Ali Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW ketika ditawan oleh tentara
Yazid Bin Muawiyah di Padang Karbala, Irak.

Secara historis, tradisi Tabot erat kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan
agama Islam, khususnya Islam Syi'ah di Bengkulu. Tradisi Tabot dibawa oleh para pekerja
Islam Syi’ah dari Madras dan Bengali, India bagian selatan, yang dibawa oleh tentara Inggris
untuk membangun Benteng Marlborough (1713—1719). Tradisi Tabot ini terdiri dari
sembilan rangkaian acara. Pertama mulai dari menggambik tanah (mengambil tanah) tanah
yang diambil harus mengandung unsur-unsur magis oleh karena itu harus diambil dari tempat
keramat.

Kedua, Duduk Penja (mencuci jari-jari) Penja adalah benda yang terbuat dari
kuningan, perak atau tembaga yang berbentuk telapak tangan manusia lengkap dengan jari-
jarinya. Karenanya penja ini disebut juga dengan jari-jari.

Ketiga, Meradai (mengumpulkan dana) yang dilakukan oleh Jola (orang yang
bertugas mengambil dana untuk kegiatan kemasyarakatan, biasanya terdiri dari anak-anak
berusia 10—12 tahun). Acara Meradai diadakan pada tanggal 6 Muharam. Keempat,
Menjara (mengandun) artinya berkunjung atau mendatangi kelompok lain untuk
beruji/bertanding dol, sejenis beduk yang terbuat dari kayu yang dilubangi tengahnya serta
ditutupi dengan kulit lembu. Tahap kelima adalah Arak Penja, yang mana penja diletakkan di
dalam Tabot dan diarak di jalan-jalan utama Kota Bengkulu. Tahap keenam merupakan
acara mengarak penja yang ditambah dengan serban (sorban) putih dan diletakkan pada
Tabot kecil. Tahap ketujuh adalah Gam (tenang/berkabung), merupakan tahapan dalam
upacara Tabot yang wajib ditaati. Tahap Gam merupakan saat di mana tidak diperbolehkan
mengadakan kegiatan apapun. Tahap kedelapan dilakukan pada tanggal 9 Muharam juga
yang disebut dengan Arak Gendang. Tahap ini dimulai dengan pelepasan Tabot Besanding di
gerga masing-masing.

Tahap terakhir dari keseluruhan rangkaian upacara Tabot disebut dengan Tabot
Tebuang yang diadakan pada tanggal 10 Muharam. Tabot berasal dari kata Arab, Tabut yang
secara harfiah berarti kotak kayu atau peti. Tabot dikenal sebagai peti yang berisikan kitab
Taurat Bani Israil, yang dipercaya jika muncul akan mendapatkan kebaikan, namun jika
hilang akan mendapatkan malapetaka.

Saat ini, Tabot yang digunakan dalam upacara Tabot di Bengkulu berupa suatu
bangunan bertingkat-tingkat seperti menara masjid, dengan ukuran yang beragam dan
berhiaskan lapisan kertas warna warni.

4. Mengenal Perayaan Sekaten

Sekaten adalah rangkaian kegiatan tahunan yang umunya diadakan umat Islam
sebagai peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sekaten diadakan oleh Keraton
Surakarta dan Yogyakarta. Tradisi Sekaten telah berlangsung sejak masa pemerintahan
Kerajaan Demak. Sekaten terus menerus dilestarikan oleh Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
Tengah, di anataranya Kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram hingga Kasunanan Surakarta,
dan Kesultanan Ngayogyakarta.

Sekaten juga dikaitkan dengan gamelan yang diberi nama Kyai Sekati. Pada masa
Kerajaan Demak, para Wali menggunkan momentum kelahiran Nabi Muhammad yang jatuh
pada Bulan Mulud (Tahun Jawa) untuk berdakwah. Para Wali akan membunyikan Gamelan
Sekati untuk menarik perhatian masyarakat.
5. Grebeg Maulud dan Cara Syiar Islam Para Wali

Abdi dalem membawa gunungan saat Grebeg Maulud di halaman Masjid Gede
Kauman, DI Yogyakarta, Senin (12/12). Keraton Yogyakarta membuat tujuh gunungan yang
diperebutkan di Masjid Gede Kauman, Komplek Kepatihan dan Pakulaman dalam rangka
memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW. Tradisi Grebeg Maulud digelar untuk
memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad.

Setiap kali Grebeg Maulud digelar, ribuan orang tumpah-ruah di halaman Masjid
Besar Yogyakarta. Mereka rela berdesakan-desakan di bawah terik sinar matahari yang
sedang panas-panasnya hanya untuk memperebutkan Gunungan yang bakal dibagi-bagikan.
Sebagian masyarakat Muslim di Jawa memang percaya bahwa grebeg bisa menjadi sarana
ngalap berkah. Setidaknya ada enam Gunungan dari hasil bumi yang dihadirkan dalam
perayaan Grebeg Maulud. Empat di antaranya diarak dari Kraton Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat ke Masjid Besar Kauman, sedangkan dua Gunungan lainnya masing-masing
dibawa ke dua lokasi lain, yakni Kepatihan (Kantor Gubernur DIY) dan Istana Pakualaman.

Grebeg Maulud digelar untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W.
atau Maulid Nabi. Tradisi ini bahkan telah terbukti menjadi salah satu cara jitu Wali Sanga
dalam rangka syiar Islam di tanah Jawa sejak abad ke-15 Masehi, berkat gagasan Sunan
Kalijaga.

Makna Grebeg dan Sekaten

Istilah grebeg atau garebeg berasal dari kata gumrebeg, artinya “riuh” atau “ramai”,
yang kemudian maknanya diperluas menjadi “keramaian” atau “perayaan”. Maka, setiap
pelaksanaan tradisi grebeg disertai dengan arak-arakan oleh barisan prajurit kraton yang
diiringi dengan bunyi-bunyian gamelan.

Grebeg Maulud terangkai dengan Sekaten. Wahyana Giri dalam buku Sajen dan
Ritual Orang Jawa menuliskan, pemimpin Kesultanan Mataram Islam paling masyhur Sultan
Agung (1613-1645) mengundang rakyat untuk berkumpul di alun-alun kraton (hlm. 73).
Sekaten masih lestari sampai saat ini sebagai wahana hiburan rakyat.

Pemaknaan Sekaten sendiri ada beberapa pendapat. Dijelaskan dalam buku Upacara
Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta (1991) yang ditulis oleh Supanto,
misalnya, Sekaten berasal dari istilah Sakati, yakni nama dua perangkat gamelan kraton (hlm.
37).

Dalam konteks dakwah Islam, sebut Jawahir Thontowi melalui buku Apa
Istimewanya Yogya? (2007), Sekaten berasal dari kata syahadatain yang dipraktikkan Wali
Sanga sebagai asal-usul proses pengislaman di tanah Jawa (hlm. 19). Wali Sanga adalah
majelis keagamaan di Kesultanan Demak, Kerajaan Islam pertama di Jawa yang muncul
menjelang keruntuhan Kerajaan Majapahit dan eksis pada perjalanan abad ke-15 (1475-1554

7. Grebeg Maulud dan Cara Syiar Islam Para Wali

Perkembangan Tradisi Grebeg

Selama proses dalam rentang waktu yang cukup panjang itu, perayaan grebeg, termasuk
Grebeg Maulud, mengalami berbagai perkembangan seturut perjalanan zaman dan kebiasaan
serta adat-istiadat Jawa di lingkungan kraton dengan segenap filosofi yang dikandungnya.

Kendati mayoritas memeluk agama Islam, namun masih banyak orang Jawa yang masih
meyakini pengaruh kraton bagi kehidupan mereka. Sepeninggal Wali Sanga, sultan atau raja
mengemban peran penting dalam segala urusan, tidak hanya soal pemerintahan, namun juga
sebagai pemimpin agama.Mark R. Woodward dalam Islam Jawa: Kesalehan Normatif
Versus Kebatinan (2004), menuliskan, sultan diyakini mencapai kesatuan dengan Tuhan, juga
dengan rakyat (hlm. 311). Maka, pada setiap perayaan grebeg sejak era Mataram Islam, hadir
tradisi Sekaten dan Gunungan yang menjadi ajang mediasi antara sultan sebagai pemimpin
negara sekaligus wali Tuhan dengan rakyatnya.

Tradisi semacam ini beberapa kali menuai ketidaksetujuan. Tulisan Herman Beck
bertajuk “Islamic Purity at Odds with Javanese Identity” yang terhimpun dalam buku
Pluralism and Identity: Studies in Ritual Behaviour (1995) suntingan Jan. G. Platvoet dan
Karel van der Toorn mencatat, Muhammadiyah pernah memprotes perayaan grebeg secara
resmi (hlm. 262).
4. Rebo Wekasan dan Tradisi Penolak Bala di Indonesia

Muhammadiyah sendiri justru lahir di lingkungan sekitar Kraton Yogyakarta pada 1912
atas gagasan K.H. Ahmad Dahlan. Pada periode awal itu, menurut hasil riset Ahmad
Najib Burhani yang dikutip Ariel Subhan dalam buku Lembaga Pendidikan di
Indonesia (2012), Muhammadiyah pada periode awal tidak bersikap frontal terhadap
beberapa elemen budaya Jawa, termasuk upacara grebeg dan Sekaten (hlm. 143).
Grebeg Maulud, muncul dimaksudkan sebagai bagian dari syiar Islam.

Puncak peringatan Maulid (Hari Kelahiran) Nabi Muhammad SAW 1424 H


berlangsung tadi pagi di Masjid Jami' Hasanuddin Tenggarong ditandai dengan pelaksanaan
acara Kerobok Maulid yang digelar Panitia Hari Besar Islam Tenggarong bekerjasama
dengan Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Acara Kerobok Maulid yang baru diselenggarakan ini berlangsung sederhana, diawali
dengan prosesi kirab prajurit dan abdi keraton Kutai Kartanegara yang membawa usung-
usungan berupa kue-kue dan makanan kecil lainnya dari Kedaton mengelilingi kawasan
istana menuju Masjid Jami' Hasanuddin.
Setiba di Masjid Jami' Hasanuddin, makanan yang diusung dibawa kedalam Masjid
disambut pembacaan Shalawat dan Barjanji.  Tampak hadir dalam acara tersebut Bupati
Kukar Drs H Syaukani HR MM, Sultan Kutai Kartanegara H Adji Mohd Salehoeddin II,
unsur Muspikab Kukar, para kepala dinas/instansi di lingkungan Pemkab Kukar, pelajar dan
masyarakat kota Tenggarong.
Bupati Kukar Drs H Syaukani HR MM dalam sambutannya mengatakan perayaan
Maulid Nabi Muhammad SAW saat ini haruslah memicu kita untuk kembali kepada ajara
agama dan akan lebih bermakna jika kembali menyegarkan ingatan pengetahuan kita
kepada sejarah kejayaan Islam. "Kejayaan Islam pada zaman Rasulullah diawali dengan
keteladanan moralitas dan lebih banyak dan dititikberatkan pada pembentukan ahlakul
karimah yang berlaku secara personal dan sosial. Hal ini merupakan modal dasar bagi umat
Islam untuk melakukan pembangunan dan perubahan," kata Syaukani.

Anda mungkin juga menyukai