Anda di halaman 1dari 25

TRADISI DAN BUDAYA LOKAL DI JAWA

(by: Wira firmansyah)

Tahlilan

Tahlilan adalah ritual/upacara selamatan yang dilakukan sebagian umat Islam, kebanyakan di
Indonesia dan kemungkinan di Malaysia, untuk memperingati dan mendoakan orang yang telah
meninggal yang biasanya dilakukan pada hari pertama kematian hingga hari ketujuh, dan
selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, kesatu tahun pertama, kedua, ketiga dan
seterusnya. Ada pula yang melakukan tahlilan pada hari ke-1000.

Kata "Tahlil" sendiri secara harfiah berarti berizikir dengan mengucap kalimat tauhid "Laa ilaaha
illallah" (tiada yang patut disembah kecuali Allah).

Upacara tahlilan ditengarai merupakan praktik pada abad-abad transisi yang dilakukan oleh
masyarakat yang baru memeluk Islam, tetapi tidak dapat meninggalkan kebiasaan mereka yang
lama. Berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit bukan hanya terjadi pada masyarakat pra Islam di
Indonesia saja, tetapi di berbagai belahan dunia, termasuk di jazirah Arab. Oleh para da'i(yang
dikenal wali songo) pada waktu itu, ritual yang lama diubah menjadi ritual yang bernafaskan
Islam. Di Indonesia, tahlilan masih membudaya, sehingga istilah "Tahlilan" dikonotasikan
memperingati dan mendo'akan orang yang sudah meninggal. tahlilan dilakukan bukan sekadar
kumpul-kumpul karena kebiasaan zaman dulu. Generasi sekarang tidak lagi merasa perlu dan
sempat untuk melakukan kegiatan sekadar kumpul-kumpul seperti itu. jika pun tahlilan masih
diselenggarakan sampai sekarang, itu karena setiap anak pasti menginginkan orangtuanya yang
meninggal masuk sorga. sebagaimana diketahui oleh semua kaum muslim, bahwa anak saleh
yang berdoa untuk orangtuanya adalah impian semua orang, oleh karena itu setiap orangtua
menginginkan anaknya menjadi orang yang saleh dan mendoakan mereka. dari sinilah, keluarga
mendoakan mayit, dan beberapa keluarga merasa lebih senang jika mendoakan orangtua mereka
yang meninggal dilakukan oleh lebih banyak orang(berjama'ah). maka diundanglah orang-orang
untuk itu, dan menyuguhkan(sedekah) sekadar suguhan kecil(buat yang kaya)bukanlah hal yang
aneh, apalagi tabu, apalagi haram. suguhan(sedekah) itu hanya berhak untuk orang miskin,yatim
piatu,orang cacat,orang yang kesulitan .berkaitan dengan menghargai tamu yang mereka undang
sendiri dan orang yang berhak mendapat sedekah yaitu :fakir miskin,orang cacat,anak
yatim,orang lanjut usia. maka, jika ada anak yang tidak ingin atau tidak senang mendoakan
orangtuanya, maka dia (atau keluarganya) tidak akan melakukannya, dan itu tidak berakibat

Tradisi Sekaten

Tradisi Sekaten adalah tradisi dari dua Keraton dari Kerajaan Mataram, Ngayogyakarto
Hadiningrat (Yogyakarta) dan Surakarta Hadiningrat (Solo).Upacara tradisional ini diadakan
dalam rangka peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW (Maulud Nabi). Budaya yang tetap
lestari sejak abad ke-16 ini biasa dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal tahun Hijriyah atau
bertepatan bulan Mulud (Bulan Jawa).

Asal Usul Istilah Sekaten

Terdapat beragam pendapat yang berkaitan dengan penamaan Tradisi Sekaten. Pendapat yang
populer adalah Sekaten berasal dari istilah bahasa arab “Syahadataini“. Istilah tersebut mewakili
Dua Kalimat Syahadat dalam Islam.Dua kalimat yang dimaksud adalah syarat wajib bagi
seseorang yang hendak memeluk Agama Islam. Kalimat ini memiliki pengertian “aku bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah“.Selain itu ada juga
pendapat yang mengatakan asal-usul istilah Sekaten berasal dari istilah-istilah lain, sebagai
berikut:

 Sahutain dengan pengertian menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan
menyeleweng.
 Sakhatain yang berarti menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan, karena
watak tersebut sumber kerusakan;
 Sakhotain bermakna menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur
dan selalu menghambakan diri pada Tuhan;
 Sekati berarti setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan
buruk;
 Sekat berarti batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-
batas kebaikan dan kejahatan.(K.R.T. Haji Handipaningrat : 3).
GEREBEG MAULUD

Setiap kali Grebeg Maulud digelar, ribuan orang tumpah-ruah di halaman Masjid Besar
Yogyakarta. Mereka rela berdesakan-desakan di bawah terik sinar matahari yang sedang
panas-panasnya hanya untuk memperebutkan Gunungan yang bakal dibagi-bagikan. Sebagian
masyarakat Muslim di Jawa memang percaya bahwa grebeg bisa menjadi sarana ngalap
berkah.

Setidaknya ada enam Gunungan dari hasil bumi yang dihadirkan dalam perayaan Grebeg
Maulud. Empat di antaranya diarak dari Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ke
Masjid Besar Kauman, sedangkan dua Gunungan lainnya masing-masing dibawa ke dua lokasi
lain, yakni Kepatihan (Kantor Gubernur DIY) dan Istana Pakualaman.

Grebeg Maulud digelar untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. atau Maulid
Nabi. Tradisi ini bahkan telah terbukti menjadi salah satu cara jitu Wali Sanga dalam rangka
syiar Islam di tanah Jawa sejak abad ke-15 Masehi, berkat gagasan Sunan Kalijaga.

Makna Grebeg dan Sekaten


Istilah grebeg atau garebeg berasal dari kata gumrebeg, artinya “riuh” atau “ramai”, yang
kemudian maknanya diperluas menjadi “keramaian” atau “perayaan”. Maka, setiap pelaksanaan
tradisi grebeg disertai dengan arak-arakan oleh barisan prajurit kraton yang diiringi dengan
bunyi-bunyian gamelan.

Grebeg Maulud terangkai dengan Sekaten. Wahyana Giri dalam buku Sajen dan Ritual Orang
Jawa menuliskan, pemimpin Kesultanan Mataram Islam paling masyhur Sultan Agung (1613-
1645) mengundang rakyat untuk berkumpul di alun-alun kraton. Sekaten masih lestari sampai
saat ini sebagai wahana hiburan rakyat.
Pemaknaan Sekaten sendiri ada beberapa pendapat. Dijelaskan dalam buku Upacara
Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta (1991) yang ditulis oleh Supanto, misalnya,
Sekaten berasal dari istilah Sakati, yakni nama dua perangkat gamelan kraton
TAKBIRAN

Setelah menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh, umat Islam akan
mendapatkan hari kemenangan, yakni Idul Fitri. Dipenghujung puasa, tepatnya malam
hari, banyak kita jumpai orang-orang membaca takbir, baik itu berkeliling maupun di
tempat ibadah. Kegiatan semacam ini biasa kita kenal dengan sebutan “takbiran”.Di
berbagai daerah di Indonesia banyak kita jumpai orang-orang yang bertakbir keliling,
ada juga yang menetap di masjid atau mushola hingga menjelang subuh. Bahkan,
disejumlah daerah terdapat agenda tahunan dalam menyambut takbiran. Ada yang
membuat acara karnaval dengan berbagai seni. Misal, becak dimodifikasi menjadi
mobil, truk dimodifikasi menjadi bus, dan sebagainya. Dan tak lupa pula mereka juga
mengumandangkan takbir secara bersama sebagai ungkapan hari kemenangan telah
tiba.

Terlebih lagi kegiatan ini tidak hanya diramaikan oleh pemuda pemudi saja melainkan
semua kalangan baik anak-anak hingga orang dewasa pun turut memeriahkannya.
Bahkan kita juga menjumpai kembang api sebagai wujud rasa senang karena sudah
berhasil menjalankan ibadah puasa.Dengan melihat fenomena di atas, bisa kita tarik
kesimpulan bahwa takbir keliling sudah menjadi tradisi di masyarakat kita. Dari tahun
ke tahun tradisi semacam itu akan terus kita jumpai. Bahkan bisa jadi akan ada variasi-
variasi baru dalam mengumandangkan takbir tersebut. Lantas apakah memang tradisi
semacam ini dianjurkan dalam Islam, dengan kata lain tradisi semacam itu memang
ritus dalam Islam atau hanya sekedar tradisi yang dikonstruk sendiri oleh umat Islam?.

Secara hukum agama, menjalankan takbiran pada malam Idul Fitri dan Idul Adha
adalah sunnah. Hal ini didasarkan pada dalil Q.S Al-Baqarah: 185 yang artinya
“hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (puasa) dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu”. Sebagai
penguat dari ayat tersebut, kita perlu mencari bukti bagaimana takbiran disaat Nabi
masih hidup.Dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW berangkat pada
hari raya beserta al-Fadll bin Abbas, Abdullah, Abbas, Ali, Ja’far, Hasan, Husain,
Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, Ayman Ibn Ummu Aiman, mereka meninggikan

Kalender Jawa

Kalender Jawa atau Penanggalan Jawa adalah sistem penanggalan yang digunakan
oleh Kesultanan Mataram dan berbagai kerajaan pecahannya serta yang mendapat pengaruhnya.
Penanggalan ini memiliki keistimewaan karena memadukan sistem penanggalan Islam,
sistem Penanggalan Hindu, dan sedikit penanggalan Julian yang merupakan bagian budaya Barat.
Sistem kalender Jawa memakai dua siklus hari: siklus mingguan yang terdiri dari tujuh hari (Ahad
sampai Sabtu) dan siklus pekan pancawara yang terdiri dari lima hari pasaran. Pada
tahun 1625 Masehi (1547 Saka), Sultan Agung dari Mataram berusaha keras menanamkan agama
Islam di Jawa. Salah satu upayanya adalah mengeluarkan dekret yang mengganti penanggalan
Saka yang berbasis perputaran matahari dengan sistem kalender kamariah atau lunar (berbasis
perputaran bulan). Uniknya, angka tahun Saka tetap dipakai dan diteruskan, tidak menggunakan
perhitungan dari tahun Hijriyah (saat itu 1035 H). Hal ini dilakukan demi asas kesinambungan,
sehingga tahun saat itu yang adalah tahun 1547 Saka diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa.
Dekrit Sultan Agung berlaku di seluruh wilayah Kesultanan Mataram: seluruh pulau
Jawa dan Madura kecuali Banten, Batavia dan Banyuwangi (=Balambangan). Ketiga daerah terakhir
ini tidak termasuk wilayah kekuasaan Sultan Agung. Pulau Bali dan Palembang yang mendapatkan
pengaruh budaya Jawa, juga tidak ikut mengambil alih kalender karangan Sultan Agung ini.

Daftar bulan Jawa Islam


Di bawah ini disajikan nama-nama bulan Jawa Islam. Sebagian nama bulan diambil dari Kalender
Hijriyah dengan nama-nama Arab, tetapi beberapa di antaranya menggunakan nama dalam bahasa
Sanskerta seperti Pasa, Séla, dan kemungkinan juga Sura, sedangkan nama Apit dan Besar berasal
dari bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Nama-nama ini adalah nama bulan kamariah atau candra
(lunar). Penamaan bulan sebagian berkaitan dengan hari-hari besar yang ada dalam bulan Hijriah,
seperti Pasa yang berkaitan dengan puasa Ramadhan, Mulud yang berkaitan dengan Maulid Nabi
pada bulan Rabiulawal, dan Ruwah yang berkaitan dengan Nisfu Sya'ban saat amalan dari ruh
selama setahun dianggap dicatat.
No Penanggalan Jawa Lama Hari

1 Sura 30

2 Sapar 29

3 Mulud atau Rabingulawal [1] 30

4 Bakda Mulud atau Rabingulakir 29

5 Jumadilawal 30

6 Jumadilakir 29

7 Rejeb 30

8 Ruwah (Arwah, Saban) 29

9 Pasa (Puwasa, Siyam, Ramelan) 30

10 Sawal 29

11 Séla (Dulkangidah, Apit) * 30

12 Besar (Dulkahijjah) 29/30

Total 354/355

Nama-nama bulan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Warana • Sura, artinya rijal


2. Wadana • Sapar, artinya wiwit
3. Wijangga • Mulud, artinya kanda
4. Wiyana • Bakda Mulud, artinya ambuka
5. Widada • Jumadilawal, artinya wiwara
6. Widarpa • Jumadilakir, artinya rahsa
7. Wilapa • Rejeb, artiya purwa
8. Wahana • Ruwah, artinya dumadi
9. Wanana • Pasa, artinya madya
10. Wurana • Sawal, artinya wujud
11. Wujana • Séla, artinya wusana
12. Wujala • Besar, artinya kosong
.

Daftar bulan Jawa matahari


Pada tahun 1856 Masehi, karena penanggalan kamariah dianggap tidak memadai sebagai patokan
para petani yang bercocok tanam, maka bulan-bulan musim atau bulan-bulan surya yang disebut
sebagai pranata mangsa, diresmikan oleh Sunan Pakubuwana VII.[2] Sebenarnya,
pranata mangsa ini adalah pembagian bulan yang sudah digunakan pada zaman pra-Islam, hanya
saja disesuaikan dengan penanggalan tarikh kalender Gregorian yang juga merupakan kalender
surya dan meninggalkan tarikh Hindu; akibatnya, umur setiap mangsa berbeda-beda.

No Penanggalan Jawa Awal Akhir

1 Kasa 23 Juni 2 Agustus

2 Karo 3 Agustus 25 Agustus

3 Katiga (Katelu) 26 Agustus 18 September

4 Kapat 19 September 13 Oktober

5 Kalima 14 Oktober 9 November

6 Kanem 10 November 22 Desember

7 Kapitu 23 Desember 3 Februari


No Penanggalan Jawa Awal Akhir

8 Kawolu 4 Februari 1 Maret

9 Kasanga 2 Maret 26 Maret

10 Kadasa 27 Maret 19 April

11 Dhesta* 20 April 12 Mei

12 Sadha* 13 Mei 22 Juni

Keterangan
 Dalam bahasa Jawa Kuno, mangsa kesebelas disebut Apit Lemah, sedangkan mangsa
keduabelas disebut sebagai Apit Kayu. Nama Dhesta diambil dari nama bulan kesebelas
penanggalan Hindu dari bahasa Sanskerta, yaitu Jyeṣṭha. Nama Sadha diambil dari
kata Āṣāḍha yang merupakan bulan kedua belas.

Siklus windu
Oleh orang Jawa, tahun-tahun digabung menjadi satu yang terdiri dari delapan tahun Jawa. Setiap
satuan ini terdiri atas 8 tahun Jawa dan disebut windu. Windu sendiri bergulir selama empat putaran
(32 tahun Jawa): Adi, Kuntara, Sangara, dan Sancaya. Di bawah, disajikan nama-nama tahun dalam
satu windu:[3]

# Nama Nama Sura Hari

1 Alip Selasa Pon 354

2 Ehé Sabtu Pahing 355

3 Jimawal Kamis Pahing 354

4 Jé Senin Legi 354


# Nama Nama Sura Hari

5 Dal Jumat Kliwon 355

6 Bé Rabu Kliwon 354

7 Wawu Ahad Wage 354

8 Jimakir Kamis Pon 355

Total 2835

Jumlah hari adalah 2835, genap dibagi 35 hari pasaran.


Nama-nama tahun tersebut adalah sebagai berikut:

1. Purwana • Alip, artinya ada-ada (mulai berniat)


2. Karyana • Ehé, artinya tumandang (melakukan)
3. Anama • Jemawal, artinya gawé (pekerjaan)
4. Lalana • Jé, artinya lelakon (proses, nasib)
5. Ngawana • Dal, artinya urip (hidup)
6. Pawaka • Bé, artinya bola-bali (selalu kembali)
7. Wasana • Wawu, artinya marang (arah)
8. Swasana • Jimakir, artinya suwung (kosong)

Memperingati Lailatul Qadar dengan Malem Selikuran

58 ,
Tiap bulan Pasa atau Ramadhan, Keraton Yogyakarta selalu mengadakan acara Malem
Selikur. Malem Selikur diadakan untuk menyambut malam Lailatul Qadar. Acara ini
merupakan bagian dari kegiatan Kesultanan Yogyakarta sebagai kerajaan Islam untuk
senantiasa menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat Jawa.

Agama Islam mengajarkan bahwa akan tiba suatu malam yang istimewa pada sepertiga akhir
bulan Ramadhan. Malam yang disebut malam Lailatul Qadar ini dipercayai lebih mulia dibanding
malam-malam lainnya sehingga digambarkan memiliki nilai yang lebih baik dari seribu bulan. Pada
malam ini pula, Nabi Muhammad dahulu menerima Al Quran yang diturunkan oleh Allah. Untuk
menyambut malam ini, umat Islam memperbanyak amal dan ibadah karena diyakini pula pahala yang
didapat seribu kali lebih banyak dari hari-hari biasa.

Malem Selikur, atau kadang dikenal juga dengan Selikuran, diyakini telah ada sejak awal penyebaran
agama Islam di tanah Jawa. Tradisi ini diperkenalkan oleh Wali Sanga sebagai metode dakwah Islam
yang disesuaikan dengan budaya Jawa. Ada yang mengartikan selikur sebagai sing linuwih ing
tafakur. Tafakur berarti usaha untuk mendekatkan diri pada Allah, sehingga sing linuwih ing
tafakur dapat diartikan sebagai ajakan untuk lebih giat mendekatkan diri pada Allah. Karena itu
tradisi Malem Selikur diharapkan menjadi sarana pengingat untuk memperbanyak sedekah,
merenung dan instropeksi diri, juga menggiatkan ibadah-ibadah lain dalam sepuluh hari terakhir
Ramadhan.

Lebaran Ketupat dan Tradisi Masyarakat Jawa

Idul Fitri merupakan momentum suci nan agung. Umat Islam di seluruh penjuru Tanah Air
tentunya memiliki cara tersendiri untuk menyambut datangnya hari kemenangan tersebut,
begitupun masyarakat Jawa yang terbiasa melaksanakan Lebaran ketupat, yang kerap
dianggap sebagai pelengkap hari kemenangan. Masyarakat Jawa umumnya mengenal dua kali
pelaksanaan Lebaran, yaitu Idul Fitri dan Lebaran ketupat. Idul Fitri dilaksanakan tepat pada
tanggal 1 Syawal, sedangkan Lebaran ketupat adalah satu minggu setelahnya (8 Syawal).
Tradisi Lebaran ketupat diselenggarakan pada hari ke delapan bulan Syawal setelah
menyelesaikan puasa Syawal selama 6 hari. Hal ini berdasarkan sunnah Nabi Muhammad
SAW yang menganjurkan umat Islam untuk berpuasa sunnah 6 Hari di bulan Syawal. Dalam
sejarahnya, Lebaran ketupat pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga, saat itu, beliau
memperkenalkan dua istilah Bakda kepada masyarakat Jawa, Bakda Lebaran dan Bakda
Kupat. Bakda Lebaran dipahami dengan prosesi pelaksanaan shalat Ied satu Syawal hingga
tradisi saling kunjung dan memaafkan sesama muslim, sedangkan Bakda Kupat dimulai
seminggu sesudah Lebaran. Pada hari itu, masyarakat muslim Jawa umumnya membuat
ketupat, yaitu jenis makanan yang dibuat dari beras yang dimasukkan ke dalam anyaman daun
kelapa (janur) yang dibuat berbentuk kantong, kemudian dimasak.. Setelah masak, ketupat
tersebut diantarkan ke kerabat terdekat dan kepada mereka yang lebih tua, sebagai simbol
kebersamaan dan lambang kasih sayang.

Sejarah Tradisi Nyadran

Tradisi Nyadran telah dimulai sejak zaman Hindu-Budha dimana Agama Islam belumlah masuk
ke Indonesia. Terdapat tradisi serupa dengan Nyadran yakni Tradisi Craddha pada zaman
Kerajaan Majapahit.

Adapun kesamaan dari tradisi tersebut pada kegiatan manusia dengan leluhur yang sudah
meninggal. Adanya sesaji dan ritual sesembahan untuk penghormatan terhadap leluhur yang
telah meninggal.

Sedangkan Tradisi nyadran merupakan sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada arwah
nenek moyang dan memanjatkan doa selamatan.

Agama Islam Masuk ke Indonesia pada abad ke-13 melalui Walisongo. Sekiranya dakwah
dengan pendekatan-pendekatan budaya merupakan jalan terbaik dalam penyebaran Agama
yang masih baru tersebut.

Banyaknya ritual-ritual yang bertentangan dengan Agama Islam tidak menjadikan para wali
semerta-merta menghapus tradisi-tradisi yang telah melembaga dalam Masyarakat Jawa.
Mereka mengambil jalan kebijaksanaan yakni menyebarkan agama Islam dengan
mengakulturasikan budaya masyarakat Jawa dengan nilai-nilai Islam supaya mudah diterima
oleh masyarakat dan masuk Islam.

Perayaan Satu Suro

Masyarakat Jawa khususnya di Yogyakarta dan Solo (Surakarta) masih memegang teguh ajaran
yang diwarisi oleh para leluhurnya. Salah satu ajaran yang masih dilakukan adalah menjalankan
tradisi malam satu Suro, malam tahun baru dalam kalender Jawa yang dianggap sakral bagi
masyakarat Jawa.
Tradisi malam satu Suro bermula saat zaman Sultan Agung sekitar tahun 1613-1645. Saat itu,
masyarakat banyak mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu.
Hal ini sangat bertentangan dengan masa Sultan Agung yang menggunakan sistem kalender
Hijriah yang diajarkan dalam Islam.
Sultan Agung kemudian berinisiatif untuk memperluas ajaran Islam di tanah Jawa dengan
menggunakan metode perpaduan antara tradisi Jawa dan Islam.
Sebagai dampak perpaduan tradisi Jawa dan Islam, dipilihlah tanggal 1 Muharam yang kemudian
ditetapkan sebagai tahun baru Jawa. Hingga saat ini, setiap tahunnya tradisi malam satu Suro
selalu diadakan oleh masyarakat Jawa.
Malam satu Suro sangat lekat dengan budaya Jawa. Iring-iringan rombongan masyarakat atau
yang biasa kita sebut kirab menjadi salah satu hal yang bisa kita lihat dalam ritual tradisi ini.
sebagai usaha untuk melestarikan dan menjadikan Yogyakarta sebagai tujuan wisata yang aman
dan berkesan.

Megengan
Megengan adalah tradisi masyarakat Jawa dalam menyambut bulan Ramadhan,
megengan diambil dari bahasa Jawa yang artinya menahan. Ini merupakan suatu
peringatan bahwa sebentar lagi akan memasuki bulan Ramadhan, bulan dimana umat
Islam diwajibkan berpuasa, yaitu menahan untuk tidak melakukan perbuatan-
perbuatan yang dapat menggugurkan ibadah puasa tersebut.

Adapun kegiatannya sangat bermacam-macam sesuai dengan adat daerah setempat,


tapi umumnya masyarakat Jawa biasanya berbondong-bondong untuk berziarah
kubur, membersihkannya serta menaburi bunga diatasnya dan tidak
lupa mendoa'akannya serta ada juga yang membacakan yasin dan tahlil, kemudian
Masak besar untuk dibagikan kepada sanak famili dan pada malam harinya
mengadakan selamatan atau kenduri dengan mengundang para tetangga untuk
mendoakan keluarga yang sudah meninggal, ada juga yang selamatan atau kendurinya
diadakan bersama-sama oleh seluruh warga setempat dilanggar/mushola.

TRADISI DAN BUDAYA ISLAM DI SUNDA

(by: ali akbar)


Upacara Tingkeban

Upacara Tingkeban adalah salah satu tradisi selametan dalam masyarakat Jawa, disebut
juga mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh. Seperti
namanya, tingkeban/mitoni dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh bulan. Tingkeban
hanya dilakukan bila anak yang dikandung adalah anak pertama bagi si ibu (kehamilan
pertama kali), si ayah, atau keduanya.[1]
Upacara tingkeban bermakna bahwa pendidikan bukan saja setelah dewasa akan tetapi
semenjak benih tertanam di dalam rahim ibu. Dalam upacara ini sang ibu yang sedang
hamil dimandikan dengan air kembang setaman disertai doa. Tujuannya untuk memohon
kepada Tuhan YME agar selalu diberikan rahmat dan berkah sehingga bayi yang akan
dilahirkan selamat dan sehat.
Tradisi Mitoni atau Tingkeban yang sering dijumpai di tengah-tengah masyarakat adalah
tradisi yang berasal dari agama Hindu, yaitu dalam Kitab Hindu Upadesa. Di dalam
kitab,disebutkan bahwa Telonan, Mitoni, dan Tingkeban dilakukan untuk memohon
keselamatan anak yang ada di dalam rahim (kandungan). Acara ini sering juga dikenal
dengan Garba Wedana (garba berarti perut, wedana berarti sedang mengandung).
Maksud dan Tujuan
Telonan disebut juga pengambean, yaitu upacara pemanggilan atman (urip) atau ruh
kehidupan. Mitoni untuk melakukan ritual sambutan, yaitu penyambutan atau peneguhan
letak atman (urip) atau ruh kehidupan si bayi. Dan yang terbesar tingkeban berupa
janganan,yaitu upacara suguhan terhadap “Empat Saudara”yang menyertai kelahiran sang
bayi, yaitu: darah, air, barah, dan ari-ari yang oleh orang Jawa disebut kakang kawah adi
ariari.
Tingkeban dilakukan guna memanggil semua kekuatan alam yang tidak kelihatan tapi
mempunyai hubungan langsung pada kehidupan sang bayi dan juga pada panggilan
kepada Empat Saudarayang keluar bersama saat bayi dilahirkan. Bayi dan kakang kawah
ari-ari bersama-sama diupacarakan, diberi pensucian dan suguhan agar sang bayi
mendapat keselamatan dan selalu dijaga oleh unsur kekuatan alam. Ari-ari yang keluar
Reuneuh Mundingeun

Reuneuh Mundingeun. Upacara ini sebenarnya sudah hampir tidak dilaksanakan lagi di sebagian
wilayah khususnya perkotaan. Kita tetap harus bahas sebagai wawasan warisan budaya, karena
terkadang disebagian tempat upacara ini masih dilaksanakan. Upacara Reneuh Mendingeun
dilaksanakan apabila perempuan yang mengandung lebih dari sembilan bulan, bahkan ada yang
sampai 12 bulan tetapi belum melahirkan juga. Perempuan yang hamil itu disebut Reneuh
Mendingeun, seperti munding atau kerbau yang bunting.

Upacara ini diselenggarakan agar perempuan yang hamil tua itu segera melahirkan jangan seperti
kerbau, dan agar tidak terjadi sesutu yang tidak diinginkan. Karena katanya kalau terjadi postterm
resiko bagi keselamatan bayi dan si ibu sangat riskan. Pada pelaksanaannya leher perempuan itu
dikalungi kolotok dan dituntun oleh indung beurang sambil membaca doa dibawa ke kandang
kerbau. Kalau tidak ada kandang kerbau, cukup dengan mengelilingi rumah sebanyak tujuh kali.

Perempuan yang hamil itu harus berbuat seperti kerbau dan menirukan bunyi kerbau sambil
dituntun dan diiringkan oleh anak-anak yang memegang cambuk. Setelah mengelilingi kandang
kerbau atau rumah, kemudian oleh indung beruang dimandikan dan disuruh masuk ke dalam
rumah. Itulah sekilas info mengenai adat tradisional yang berkaitan dengan kehamilah di tatar
sunda.

Tembuni
i

Tembuni adalah upacara adat Sunda untuk memelihara placenta bayi atau ari – ari
dimana placenta sang bayi harus dirawat dengan sebaik – baiknya. Tujuan dari
upacara Tembuni ini merupakan agar si anak kedepannya bisa tumbuh
dan berkembang menjadi anak yang bahagia tanpa ada sebuah
kemalangan apapun dalam kehidupannya kelak. Ketika mengadakan upacara
adat tembuni biasanya diperlukan perlengkapan seperti upiah pinang, kapit,
sembilu, sarung kain batik, tepung tawar, madu, kukuih, seliter beras.

Prosesi Upacara Tembuni


Bayi yang baru lahir pusarnya akan dipotong menggunakan sembilu yang tajam.
Tembuni yang telah dipotong akan dibungkus menggunakan upiah pinang dan diberi
sedikit garam kemudian dimasukkan kedalam kapit. Kapit ditutup menggunakan
daun pisang yang telah diasapi. Kapit tersebut selanjutnya akan ditanam di tanah
atau dihanyutkan di sungai.

Dalam masyarakat Banjar terdapat kepercayaan bahwa tembuni yang ditanam di


bawah pohon besar, kelak bayi yang bersangkutan akan menjadi orang besar, jika
ditanam di bawah tanaman bunga-bungaan diharapkan namanya akan harum seperti
bunga tersebut. Tembuni yang dihanyutkan di sungai, diharapkan kelak anak tersebut
akan menjadi seorang pelaut. Tembuni yang diikatkan pada sebatang pohon
mempunyai maksud agar setelah dewasa bayi tersebut tidak akan merantau ke luar
daerah melaikan akan tetap berada di kampung halamannya.

Penanaman tembuni bergantung dari harapan orangtua terhadap anaknya di


kemudian hari. Tidak ada aturan yang mengharuskan tembuni ditanamkan atau

G USARAN
Gusaran adalah ritual “potong gigi” khusus bagi anak perempuan sebagai pertanda bahwa anak
tersebut telah menginjak aqil-balig. Upacara ini dilakukan oleh seorang paraji gusar melalui
beberapa tahapan, antara lain:
Pertama, anak perempuan tersebut didandani oleh seorang paraji (dukun) dengan memakai kain
atau samping dan kebaya, rambutnya disanggul serta wajahnya dirias cantik layaknya seorang
pengantin. Kedua, anak tersebut ditidurkan telentang di atas tempat tidur dan paraji mulai
membacakan mantera-mantera lalu mulut anak tersebut disuruh dibuka, dan saat itu serut atau
benda yang berbentuk bulat mulai digosok-gosokkannya ke permukaan gigi beberapa kali.
Demikian inti upacara gusaran di daerah Sindangheula, Kabupaten Brebes.
Berbeda dengan wilayah Kecamatan Ciwaru, Kabupaten Kuningan, atau di wilayah lainnya. Anak
yang digusar duduk di kursi, kemudian paraji gusar mengutarakan maksud dan tujuan upacara.
Sebelum ia memulai menggusar, ia terlebih dahulu membacakan syahadat, lalu anak tersebut
disuruh menggigit uang logam kuna zaman Belanda dan saat itu pula paraji gusar menggosok-
gosokkan batu beberapa kali ke gigi anak tersebut. Sementara itu, keluarga dan para tamu yang
hadir membacakan salawat yang dipimpin oleh seorang amil. Selesai menggosokkan batu,
upacara ditutup dengan doa.
Ciri sabumi cara sadesa. Lain lubuk lain pakannya. Setiap daerah mempunyai cara
dan tradisinya sendiri. Demikianlah pelaksanaan upacara adat Gusaran, masing-masing tempat
mempunyai tatacara pelaksanaan yang berbeda-beda. Sayang, ritual tersebut kini perlahan-
lahan mulai ditinggalkan. Kini, pada umumnya anak perempuan tak lagi mengenal gusaran.
Kalaupun demikian, sesekali kita masih bisa menyaksikan upacara adat tersebut di beberapa
daerah tertentu..
Seperti juga ritual khitanan dan nikahan, dalam ritual gusaran juga seringkali diadakan tanggapan
kesenian, seperti wayang, kliningan, fdangdut, atau kesenian lainnya.
Khitanan

Masih dengan tradisi adat khitanan, kali ini batavusqu akan


mengetengahkan tradisi khitan bagi masyarakat etnis dari Provinsi
Jawa Barat. Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia.
Mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam. Tradisi dan budaya
Islam masih terus dilakukan sampai sekarang dan sebagian
diantaranya ada yang bercampur dengan tradisi asli orang Sunda.

Salah satu tradisi yang merupakan percampuran antara budaya Islam


dan Sunda adalah tradisi khitanan atau sunatan. Dalam agama Islam
hukum khitan bagi laki-laki adalah wajib karena memiliki makna
pensucian diri dan kepatuhan kepada ajaran agama. Hukum khitan
atau sunat dalam masyarakat Sunda telah bercampur dengan budaya
lokal yang kemudian melahirkan tradisi khitanan atau sunatan.

Masyarakat Sunda melakukan khitan atau sunat pada anak laki-laki


ketika masih berusia dini, yaitu 5 sampai 12 tahun. Dulu untuk
Cucurak

Biasanya, masyarakat Sunda rutin melakukan kegiatan makan bersama dan saling bertukar
makanan atau yang sering disebut dengan Cucurak. Cucurak berasal dari kata curak-curak yang
diartikan dengan kesenangan atau suka-suka. Sebenarnya cucurak tidak selalu dilakukan saat
menjelang Ramadhan, cucurak juga bisa dilakukan ketika kita mendapatkan berkah seperti lulus
sekolah, naik pangkat, dll. Namun dalam adat Sunda, cucurak lebih sering dilakukan untuk
menyambut datangnya Ramadhan.

Acara cucurak biasanya dilakukan oleh kaum ibu yang memasak makanan yang berbeda-beda.
Setelah itu, makanan dikumpulkan di masjid terdekat untuk dibagikan dan dimakan bersamasama.
Tetapi, cucurak tidak selalu dilakukan dengan cara seperti itu. Orang-orang yang makan bersama
dengan niat menyambut datangnya bulan Ramadhan juga sudah dapat dikatakan sebagai cucurak.
Niat menyambut Ramadhan juga harus selalu diingat dalam cucurak, sebab jika hal itu dilupakan,
biasanya kita akan makan sebanyak-banyaknya dan lupa dengan niat kita.

TRADISI ISLAM DI BUGIS


(by: Rasya novian d.s)

AMMATEANG
Ammateang atau Upacara Adat Kematian yang dalam adat Bugis merupakan upacara yang

dilaksanakan masyarakat Bugis saat seseorang dalam suatu kampung meninggal dunia.Keluarga,

kerabat dekat maupun kerabat jauh, juga masyarakat sekitar lingkungan rumah orang yang

meninggal itu berbondong-bondong menjenguknya. Pelayat yang hadir biasanya

membawa sidekka (sumbangan kepada keluarga yang ditinggalkan) berupa barang seperti sarung

atau kebutuhan untuk mengurus mayat, selain itu ada juga yang membawa passolo (amplop berisi

uang sebagai tanda turut berduka cita). Mayat belum mulai diurus seperti dimandikan dan

seterusnya sebelum semua anggota terdekatnya hadir. Barulah setelah semua keluarga terdekatnya

hadir, mayat mulai dimandikan, yang umumnya dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memang

biasa memandikan mayat atau oleh anggota keluarganya sendiri.Hal ini masih sesuai ajaran islam

dalam tata cara mengurus jenazah dalam hal memandikanya sampai mengshalatkanya.

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan ketika memandikan mayat,

yaitu mabbolo (menyiramkan air ke tubuh mayat diiringi pembacaan do’a dan

tahlil), maggoso’ (menggosok bagian-bagian tubuh mayat), mangojo (membersihkan anus dan

kemaluan mayat yang biasa dilakukan oleh salah seorang anggota keluarga seperti anak,adik atau

oleh orang tuanya) dan mappajjenne’ (menyiramkan air mandi terakhir sekaligus mewudhukan

mayat). Orang -orang yang bertugas tersebut diberikan pappasidekka (sedekah) berupa pakaian si

mayat ketika hidupnya lengkap dengan sarung, baju, celana, dan lain sebagainya. Ini menjadi hal

unik di mana orang yang memandi mayat akan mendapat imbalan dari kelurga duka berupa barang

orang yang meniggal.

Barzanji
Bulan Rabiul Awal kalender Hijriyah, selalu diperingati sebagai hari kelahiran nabi
Besar Muhammad SAW. Muhammad SAW dilahirkan pada hari Senin, tanggal 12
Rabiul Awal, tahunnya, Tahun Gajah (‘Aamil Fiil), tepatnya 53 tahun sebelum
penanggalan Hijriyah dimulai atau bertepatan dengan tahun 570 Masehi.

Tahun kelahiran Nabi disebut tahun Gajah karena bertepatan dengan peristiwa
penyerangan Makkah oleh Gubernur dari kekaisaran Bizantium di Syiria bernama
Abrahah yang mengendarai gajah. Peristiwa tersebut diabadikan oleh Al-quran dalam
surat Al-fiil (gajah), yang intinya mengisahkan kegagalan penyerangan tersebut.
Pasukan Raja Abrahah luluh-lantak oleh serangan burung ababil yang menghujani
mereka dengan batu.

Meski tidak disyariatkan secara khusus oleh Nabi, Maulid Nabi untuk mengenang hari
kelahiran Muhammad SAW adalah bagian yang tidak terpisahkan dari budaya Islam
di seluruh dunia.

Sebagai seorang yang pernah tumbuh dalam lingkungan Islam tradisional pantai utara
Jawa, Mulid Nabi selalu memberikan kesan tersendiri pada masa kanak-kanak saya.
Di kampung, kami merayakan hari tersebut dengan sangat meriah, mulai pagi hari
para ibu kami membuat masakan-masakan istimewa untuk dibawa ke langgar
(masjid). Sorenya, kami berkumpul membuat upacara Maulid dengan melantunkan
shalawat dan puji-pujian kepada Nabi. Tak jarang kami juga menyelenggarakan
pengajian akbar dengan mengundang dai kondang di kota kami. Sebelum pengajian
akbar, kami membuat pawai besar-besaran yang diikuti para pelajar madrasah dan
orang tuanya. Kisah-kisah perjalanan Nabi menjadi inti utama ceramah para dai yang
hadir pengajian akbar kami. Puncak acara perayaan adalah pembacaan kita Al-
Di bawah ini adalah sebagian kecil kutipan syair dalam Al-Barzanji. Kutipan syair ini
dibaca sambil beranjak berdiri seperti seakan-akan kita menyambut kedatangan
seorang tamu. Ya, tamu itu adalah Sang Rasul Muhammad SAW. Momen inilah yang
biasanya menjadikan kami seakan trance dan merasakan bertemu langsung dengan
Sang Rasul. Lanjutan penggalan syair ini sebenarnya masih panjang:

Ya Nabi salâm ‘alaika (Wahai Sang Nabi, salam untukmu)


Ya Rasûl salâm ‘alaika (Wahai Sang Rasul, salam untukmu)
Ya Habîb salâm ‘alaika (Wahai Sang Kekasih, salam untukmu)
ShalawatulLâh ‘alaika (Shalawat Allah selalu teruntuk padamu)

Maulid Al-Barzanji, Kitab Perlawanan Muslim

Tak banyak yang menelisik bahwa sesunggunya pringatan Maulid Nabi diciptakan
sebagai bagian dari cara membangkitkan semangat kaum Muslim untuk melawan
terhadap penyerangan besar-besaran yang dilakukan oleh tentara the Crusader dari
daratan Eropa, waktu itu. Tahun 1099 M, ekspansi besar-besaran tentara the Crusader
telah berhasil berhasil menguasai Yerusalem (Palestina) dan hal tersebut menjadikan
umat Islam kehilangan semangat perjuangan. Secara politis umat Islam terpecah-belah
dalam banyak kerajaan atapun kesultanan, dan mereka tak punya lagi semangat
persaudaraan.

Muncullah Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (memerintah dari tahun 1174-1193 M


dengan pusat pemerintahan di Kairo, Mesir) tampil mempimpin perlawanan.
Meskipun bukan keturunan Arab melainkan dari suku Kurdi, Sultan Salahuddin
berhasil membangkitkan semangat juang umat Islam dengan cara
membangun kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad SAW. Caranya, Sultan
Salahuddin menginstruksikan agar setiap tahun umat Islam di seluruh dunia
merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW secara massal. Itulah awal mula
tradisi peringatan Maulid Nabi. Musim haji tahun 579 H (1183 M) – waktu Makkah
belum dikuasai oleh Dinasti Ibnu Saud seperti sekarang ini – Sultan Salahuddin
menginstruksikan agar sekembalinya dari Makkah, para jamaah haji
mensosialisasikan hari peringatan Maulid Nabi di daerahnya asalnya masing-masing
melalui berbagai kegiatan yang meriah. Tujuannya jelas membangkitkan solidaritas
dan semangat perlawanan (non-senjata) umat Islam.

TRADISI ISLAM DI MINANG

(by: Raffi abdul jabbar)


Sholawat Dulang

Salawat dulang atau salawat talam adalah salah satu sastra lisan Minangkabau yang
bertema Islam berupa pertunjukkan dua orang membacakan hafalan teks diiringi tabuhan
dulang, nampan kuningan berdiameter 65 cm.

Penamaan
Salawat Talam adalah sebutan lain dari Salawat Dulang. Perbedaan penamaan itu hanya
disebabkan oleh perbedaan dialek; bahwa dalam dialek Payakumbuh dan Pariaman,
kata dulang disebut dengan talam. Di Payakumbuh ini, khususnya di daerah Koto Panjang,
ada tukang salawat yang terdiri dari tiga orang tiap satu klub. Di Pariaman, Klub Salawat
Talam dapat dijumpai di Toboh dan Kampung Dalam

Sejarah
Berdasarkan informasi dari mulut ke mulut, sejarah salawat dulang ini berawal dari
banyaknya ahli agama Islam Minang yang belajar agama ke Aceh, di antaranya Syekh
Burhanuddin. Ia kemudian kembali ke Minang dan menetap di Pariaman. Dari daerah itu,
ajaran Islam menyebar ke seluruh wilayah MInangkabau. Saat berdakwah itu, Syekh
Burhanuddin teringat pada kesenian Aceh yang fungsinya menghibur sekaligus
menyampaikan dakwah, yaitu rebana. Syekh Burhanuddin pun kemudian mengambil talam
atau dulang yang biasa digunakan untuk makan dan menabuhnya sambil mendendangkan
syair-syair dakwah

Makan Bajamba
Makan bajamba adalah tradisi turun temurun dari nenek moyang orang Minangkabau
yang masih dibudayakan sampai sekarang. Biasanya tradisi ini dilakukan pada setiap
acara adat maupun agama. Sekali makan biasanya bisa hingga ratusan orang yang
terbagi dalam grup-grup kecil yang disebut dengan sajamba (satu jamba).

Sejarah Makan Bajamba


Sekilas terlihat bahwa tradisi makan bajamba sangat mirip dengan budaya orang arab
makan nasi kebuli. Kedua tradisi ini sama-sama menggunakan satu nampan nasi
lengkap dengan lauk pauk dan dimakan secara bersama-sama 4 hingga 7 orang.

Makan bajamba sendiri diperkirakan sudah ada sejak abad ke-7. Hal ini menjadi
jawaban dan pembuktian atas teori makkah yang menyebutkan bahwa Islam sudah
masuk ke Indonesia sekitar abad ke-7 melalui perantara pedangang-pedagang arab
yang berniaga disemenanjung Sumatera.

Daerah yang dipercaya memulai dan mempopulerkan tradisi makan bajamba ini
adalah daerah Koto Gadang, di luhak nan tangah (sekarang dikenal dengan sebutan
kabupaten agam).

Balimau
Balimau adalah satu kata yang mengandung satu kegiatan tradisi yang bernuansa
religious di Minangkabu pada masa dahulu hingga sekarang. Biasanya tradisi ini
dilakukan selang satu hari menjelang datangnya bulan Ramadhan. BALIMAU dalam
terminologi orang minang adalah mandi menyucikan diri (mandi wajib, mandi junub)
dengan limau (jeruk nipis), ditambah ramuan alami beraroma wangi dari daun
pandan wangi, bunga kenanga, dan akar tanaman gambelu, yang semuanya
direndam dalam air suam-suam kuku. Lalu, dibarutkan (dioleskan) ke kepala.
"Ramuan tradisional untuk balimau tersebut adalah warisan turun-temurun sejak
dulunya, sejak puluhan tahun lalu bahkan konon sejak ratusan tahun lalu.
Sungguhpun tradisi ini telah mulai hilang atau sengaja dihilangkan, karena ada
kalangan alim ulama diranah minang sendiri , menganggap tradisi “ balimau “

Anda mungkin juga menyukai