Anda di halaman 1dari 5

JURNAL : KEARIFAN LOKAL “SYAWALAN” KALIWUNGU KENDAL

Nama: Durotun Nasihah (1703018027) PAI 2A

Tugas: Ujian Akhir Semester

A. PENDAHULUAN

Para ulama’ Nusantara telah mencoba mengadopsi kebudayaan lokal secara


selektif, sistem sosial kesenian, dan pemerintahan yang sudah pas tidak diubah, termasuk
adat-istiadat, banyak yang dikembangkan dalam perspektif Islam. Hal ini yang
memungkinkan budaya Nusantara tetap beragam, walaupun Islam telah menyatukan
wilayah ini secara agama. Dari segi cara berpakaian, mereka masih memakai pakaian
adat, dan oleh ulama’ setempat dianggap telah cukup memenuhi syarat menutup aurat.
Kalangan ulama’ perempuan dan istri para kiai memakai pakaian adat, sebagaimana
masyarakat setempat yang lain. Strategi ini dijalankan disamping memperakrab Islam
dengan lingkungan setempat, juga memberikan peluang bagi industri pakaian adat untuk
terus berkembang, sehingga secara ekonomi mereka tidak terganggu dengan kehadiran
Islam, kalau bisa justru dikembangkan. Pada periode ini, Islam sangat kental dengan
warna lokal, sehingga setiap daerah Islam bisa menampilkan keislamannya secara khas
berdasarkan adat mereka.

B. MACAM-MACAM KEARIFAN LOKAL JAWA TENGAH

Salah satu aktor intregasi keIslaman dan kebudayan lokal tersebut adalah Sunan
Kalijaga yang menggunakan wayang setelah dirombak seperlunya, baik bentuk fisik
wayang itu maupun lakonnya. Juga gamelan, yang dalam gabungannya dengan unsur-
unsur upacara Islam populer menghasilkan tradisi sekatenan di pusat kekuasaan Islam
seperti di Cirebon, Demak, Yogyakarta, dan Solo. Juga misalnya tradisi peringatan untuk
orang-orang yang baru meninggal (setelah 3, 7, 40, 100, dan 1000 hari), dan disebut
selamatan (acara memohon salamah-satu akar kata dengan Islam dan salam-yakni
kedamaian atau kesejahteraan). Upacara itu juga kemudian disebut “tahlilan” (dari kata
tahlil), yakni membaca lafal ‫(الاله اال هللا‬la ilaha illa Allah) secara bersam-sama, sebagai
suatu cara yang efektif untuk menanamkan jiwa tauhid dalam kesempatan suasana
keharuan yang membuat orang menjdai sentimental (penuh perasaan) dan sugestif
(gampang menerima paham atau pengajaran).1

Sunan Bonang mengubah gamelan jaawa yang saat itu kental dengan estetika
hindu menjadi bernuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan
transendental. Tembang “tombo ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang. Dalam
pentas pewayangan, Sunan Bonang mengubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas

1
Sahal Mahfudh, Fiqih Sosial, (Surabaya: Khalista, 2007), hlm. 351.

1
Islam. Kisah perseturuan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai
peperangan antara nafiy (peniadaan) dan ‘itsbat (peneguhan). Sementara Sunan Kudus
mendekati masyarakat Kudus dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha,
hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran atau
padasan wudhu untuk melambangkan delapan jalan Budha. Ini adalah wujud kompromi
yang dilakukan Sunan Kudus.

C. PENERAPAN KEARIFAN LOKAL PADA DAERAH MASING-MASING

Syawalan adalah tradisi yang masih lestari di kaliwungu, Kabupaten kendal.


Tradisi ini diadakan satu minggu setelah Hari Raya Idul Fitri atau tanggal 7 syawal.
Dimana pada 7 syawal nya di sebut midodaren atau ritual inti adanya penggantian
kelambu dari makam kyai Guru. Kelambu yang sebelumnya diarak oleh para sesepuh
dan masyarakat sekitar dirangkum sebagai upacara adat.

Ceritanya dimulai ketika orang-orang berduyun-duyun ziarah ke Makam Kyai


Guru yang ada di Kecamatan Kaliwungu, tepatnya di maqbaroh “Jabal” atau makam
yang berada di gunung atau bukit. Oleh karenanya banyak pengunjung setahun sekali
berziarah ke Makam para wali yang berada di Jabal Kaliwungu. Maka tradisi itu
dilestarikan dengan sebutan “Syawalan Kaliwungu”. Pada setiap tanggal 5 sampai 9
syawal, kompleks makam dibuka dan dikunjungi oleh para peziarah dari berbagai daerah
di luar Kaliwungu. Puncak dari perayaan syawalan di Kaliwungu terjadi pada hari ke
tujuh bulan syawal sampai 3 hari kedepan. Sehingga pengunjung dari berbagai kota
menjadi satu di pusat wilayah kaliwungu. Yaitu dari lapangan brimop plantaran untuk
sebelah barat, sampai kea rah depan pasar gladag. Dari arah timur sampai kampong
sarimana yang mana penjual berjereran di pinggir jalan raya. Tak jarang disitu
menimbulkan macet panjang. Dari arah selatan sepanjang jalan dari komplek took
pungkuran sampai makam jabal juga dipenuhi pedagang karena itu jalan utama para
pengunjung harus berjalan kaki menuju makam kyai guru. Dan biasanya syawalan
berakhir kalua para pedagang dan aneka permainan anak sudah merasa jenuh dan merasa
sepi pengunjung. Kalua pedagang yang berada di tengah jalan di jalan utama maka
tanggal 10 syawal mereka sudah bergegas pulang.

Jadi, dari jejak sejarahnya di atas, syawalan berasal dari peringatan wafatnya
Ulama’ besar Kaliwungu yang bernama Kiai Asy’ari atau disebut Kiai Guru. Setiap
tahun pada bulan Syawal makam beliau padat oleh peziarah. Sebelumnya kegiatan
mengirim do’a dan berziarah ke makam Kiai Asy’ari sebatas dilakukan oleh keluarga
dan keturunan Kiai Guru. Seiring berjalannya waktu, kegiatan tersebut diikuti oleh
komunitas muslim masyarakat Kaliwungu dan sekitarnya. Akhirnya tradisi yang masih
berlangsung setiap tahun ini menjadi objek lokasi ziarah yang meluas tidak hanya untuk
makam Kiai Guru saja, tetapi juga makam Sunan Katong, Pangeran mandurarejo dan
pangeran Pakuwaja. Para peziarah juga mengunjungi makam ulama’ waliyullah yang
lainnya, seperti Kiai Mustafa, Kiai Musyafa’, dan Kiai Rukyat.

2
Situs yang menjadi pusat syawalan pun akhirnya beragam. Selain makam, juga
ramai tergelar di Masjid Al-Muttaqin Kaliwungu. Masjid Al-Muttaqin kaliwungu terletak
dekat dengan alun-alun dan Pasar Sore Kaliwungu. Bangun yang megah ini dibangun
oleh Kiai Guru, juga menyiratkan simbol kemegahan Islam pada zamannya. Meski
perluasan dan penambahan telah dilakukan, namun keagungan masjid tetap tak
terhapuskan.

Syawalan Kaliwungu pasti mengundang orang untuk datang dari berbagai desa
atau kota di semarang. Bahkan tak tanggung-tanggung peneliti mancanegara juga telah
meneliti tradisi di Kaliwungu. Tentu ini merupakan kesempatan emas bagi pedagang
untuk memungut rezeki dengan keuntungan yang besar, tentu hasil dari barakah para
wali dan kiai di Kaliwungu. Seiring dengan perkembangan zaman dari waktu ke waktu,
sywalam Kaliwungu tidak hanya berisi ziarah makam para wali, namun sekedar untuk
menikmati kerumunan masa yang diselingi berbagai penjual yang berdagang dan
beberapa permainan anak. Berbagai hiburan disediakan untuk meramaikan syawalan.
Bukan hanya permainan anak-anak, tetapi juga tersedia jenis hiburan dewasa atau remaja
seperti tong setansampai panggung hiburan yang biasanya diselenggarakan di lapangan
brimob Kaliwungu kendal.

Menurut Prof. Dr. KH. Muhadjirin Tohir, syawalan Kaliwungu tidak hanya
dalam rangka haul, melainkan juga merupakan tradisi yang berbentuk dan membentuk
santri di daerah pesisir utara, yang ditujukan sebagai bentuk penghargaan atas jasa para
pendahulu kita dalam mengibarkan Islam di bumi nusantara.

Selain syawalan, tradisi yang mungkin jarang dijumpai di daerah lain. Misalnya,
ngopi (minum kopi) di pagi hari sepulang jama’ah di Masjid Agung Al-Mutaaqin
Kaliwungu. R. H. Asep Loeka (H. Muhtasip) memaparkan bahwa tradisi tersebut kini
menjadi kenangan bagi setiap orang yang pernah menginjakkan kakinya di Kaliwungu;
dan juga banyak memberi berkah bagi masyarakat sekitar untuk membuka warung kopi
karena selalu ramai dijumpai. Misalnya, sebut saja warung kopi Pak Aziz atau Warung
Kopi Mbak Titik yang khas dengan gemblong2 keringnya.

Konon, asal mula tradisi ngopi di pagi hari ini lahir dari para santri yang
menunggu ngaji dimulai pada pagi hari. Setelah berjamaah subuh di Masjid Agung,
sembari menunggu pengajian dari ulama’ sekitar. Para santri ngopi dulu untuk
menghilangkan kantuk karena telah belajar atau ngaji sampai larut malam. Ahhasil,
kaliwungu selain menjadi kota santri, juga merupakan Buminya Para Kiai, karena telah
membawa ribuan kenangan bagi setiap orang yang hidup atau pernah menginjakkan
kakinya di Kaliwungu.3

2
Olahan dari beras ketan kukus yang dihaluskan dan digoreng serta diiris membentuk bujur sangkar.
Biasanya didampingi ngopi.
3
Muh. Tommy F, Kaliwungu: Buminya Para Kiai, (Yogyakarta: Ladang Kata, 2015), hlm. 144-146.

3
D. ANALISI PERSPEKTIF PENDIDIKAN BERBASIS REVIEW JURNAL

Dengan adanya suatu syawalan di Kaliwungu menandakan adanya social


empaty yaitu semua orang kaliwungu dan daerah sekitar kaliwungu atau kota sekitar
berkumpul menjadi satu dalam suatu tempat selama sekitar 2 minggu awal di bulan
syawal. Mereka orang-orang yang berduyun-duyun ke Kaliwungu beserta keluarganya
mulai dari anak terkecil sampai lansia pun ikut merasakan kebahagiaan syawalan. Entah
hanya berjalan-jalan saja dan jajan makanan khas syawalan atau menaiki berbagai wahan
permainan membuat suasana hati mereka melupakan beban pikiran yang ada.

Tak jarang para pembeli atau penjual saling bertanya “dari mana asal anda ?”,
karena mereka belum saling mengenal. Jika terjadi dialog perkenalan yang menciptakan
keakraban satu sama lain, menciptakan kesatuan antar umat Islam. Atau warga sekitar
yang mana halaman rumahnya dipakai berjualan para pedagang pendatang yang
kebanyakan dari jawa barat ini juga bias akrab. Mereka ramah karena harus seperti itu
mereka bersikap. Untuk menjaga kerelahaan hati, kepercayaan antar sesama dan juga
adanya daya tarik ekonomi. Bahkan para pedagang ini mereka dari muda atau 10 tahun
yang lalu sudah menggelar dagangannya di Kaliwung.

Adanya magnet ekonomi masyarakat Kaliwungu sendiri juga merupakan


barakah dari para pendahulun atau para ulama’ Kaliwungu diantaranya Kyai Guru.
Mereka menggelar dagangannya atau membuka lahan area parkir agar berjalan dengan
tertib. Biasanya per sepeda motor di tariff dengan harga RP. 3000. Sehingga membuka
kesibukan para pemuda setempat untuk bertanggung jawab atas hal itu. Biasanya dan
yang terkumpul milik desa atau kampong setempat atau ada juga milik pribadi. Maka
social solidarity para remaja atau anak-anak menjaga ketertiban lalu lintas bersama.
Biasanya mereka bergerak pada acara puncak dari pagi sampai malam, sedangkan di hari
lain antara habis asyar sampai tengah malam.

Spiritualitas terlihat pada acara mendekati puncak acara yaitu pembacaan al-
Qur;an 30 juz oleh Hufadz laki-laki setempat yang diadakan di masjid agung Kaliwungu
selama 24 jam dari Habis Subuh sampai berjumpa dengan subuh lagi. Sehingga mereka
para pengunjung dari brbagai daerah yang melakukan syawalan berjalan-jalan
mengelilingi pedangan bisa sambal mendengarkan ayat suci al-Qur’an yang begitu keras
terdengar. Juga biasanya para pengunjung dari luar kota sebelu berkeliling daari
pedangan satu ke pedagang yang lainnya maka ia para peziarah menuju makam kyai
Guru dan makam di sekitarnya. Baru setelah itu mereka belanja sepuasnya.

Para santri di wilayah kaliwungu juga tak sedikit yang bersyawalan. Sebagian
mereka ada yang pulang kampong karena acara syawalan jatuh pada hari libur lebaran.
Ada juga santri yang tidak pulang kampong mereka menikmati perayaan kota kaliwungu
yang sudah membudaya ini. Mereka berjalan mengenakan sarung, krudung, peci dengan
busa khas santri. Bersama temannya mereka membeli jajan atau barang yang lain dan tak
ketinggalan juga mereka menikmati wahana permainan. Karena syawalan jatuh setahun

4
sekali secara tertib, mereka sangat bangga dan bisa menikmati barakah para kyai
Kaliwungu.

Tak pernah bosan tiap tahun syawalan masih lestari dan berjalan dengan lancar.
Para pemuda menggelar parkiran sesaat melupakan kegiatan negative nya. Para
pedagangpun sama tiap tahunnya. Mereka semangat sekali karena merasa kelarisan tiap
tahun, yang mana ini semua adalah rezeki melimpah bagi mereka. Apa saja yang mereka
jual? Ada mainan anak-anak, jajan sosis-telor gulung, kerak telor, aneka aksesoris,
bakso, molen, aneka martabak, aneka sprei, boneka, berbagai wahana permainan anak
dan dewasa seperi kolam balon, sepur-sepuran, kincir angin, ombak perahu, balon
seluncur.

E. KESIMPULAN

Walisongo mampu menciptakan kreasi yang luar biasa, diteruskan generasi


sesudahnya, lalu apa yang sudah kita sumbangkan untuk penyebaran dan internalisasi
nilai Islam di era modern sekarang ini? Atau kita hanya bisa membanggakan generasi
masa lampau, tanpa mau menciptakan tradisi baru yang spektakuler dan eksponsioanl
yang bisa kita jadikan “peninggalan berharga” untuk generasi yag akan datang. Semoga
kita senantiasa mampu melestarikan tradisi lama yang positif dan juga mampu membuat
tradisi baru yang lebih inovvatif-progresif, sesuai sloga “al- mahfudhatu ala al qodimi
al-sholih wa al-akhdzu bi la- jaded al-aslah”.

F. REFERENSI

Fadlu Rohman, Muh. Tommy, Kaliwungu: Buminya Para Kiai, Yogyakarta: Ladang Kata,
2015

Mahfudh, Sahal, Fiqih Sosial, Surabaya: Khalista, 2007

Anda mungkin juga menyukai