A. PENDAHULUAN
Salah satu aktor intregasi keIslaman dan kebudayan lokal tersebut adalah Sunan
Kalijaga yang menggunakan wayang setelah dirombak seperlunya, baik bentuk fisik
wayang itu maupun lakonnya. Juga gamelan, yang dalam gabungannya dengan unsur-
unsur upacara Islam populer menghasilkan tradisi sekatenan di pusat kekuasaan Islam
seperti di Cirebon, Demak, Yogyakarta, dan Solo. Juga misalnya tradisi peringatan untuk
orang-orang yang baru meninggal (setelah 3, 7, 40, 100, dan 1000 hari), dan disebut
selamatan (acara memohon salamah-satu akar kata dengan Islam dan salam-yakni
kedamaian atau kesejahteraan). Upacara itu juga kemudian disebut “tahlilan” (dari kata
tahlil), yakni membaca lafal (الاله اال هللاla ilaha illa Allah) secara bersam-sama, sebagai
suatu cara yang efektif untuk menanamkan jiwa tauhid dalam kesempatan suasana
keharuan yang membuat orang menjdai sentimental (penuh perasaan) dan sugestif
(gampang menerima paham atau pengajaran).1
Sunan Bonang mengubah gamelan jaawa yang saat itu kental dengan estetika
hindu menjadi bernuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan
transendental. Tembang “tombo ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang. Dalam
pentas pewayangan, Sunan Bonang mengubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas
1
Sahal Mahfudh, Fiqih Sosial, (Surabaya: Khalista, 2007), hlm. 351.
1
Islam. Kisah perseturuan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai
peperangan antara nafiy (peniadaan) dan ‘itsbat (peneguhan). Sementara Sunan Kudus
mendekati masyarakat Kudus dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha,
hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran atau
padasan wudhu untuk melambangkan delapan jalan Budha. Ini adalah wujud kompromi
yang dilakukan Sunan Kudus.
Jadi, dari jejak sejarahnya di atas, syawalan berasal dari peringatan wafatnya
Ulama’ besar Kaliwungu yang bernama Kiai Asy’ari atau disebut Kiai Guru. Setiap
tahun pada bulan Syawal makam beliau padat oleh peziarah. Sebelumnya kegiatan
mengirim do’a dan berziarah ke makam Kiai Asy’ari sebatas dilakukan oleh keluarga
dan keturunan Kiai Guru. Seiring berjalannya waktu, kegiatan tersebut diikuti oleh
komunitas muslim masyarakat Kaliwungu dan sekitarnya. Akhirnya tradisi yang masih
berlangsung setiap tahun ini menjadi objek lokasi ziarah yang meluas tidak hanya untuk
makam Kiai Guru saja, tetapi juga makam Sunan Katong, Pangeran mandurarejo dan
pangeran Pakuwaja. Para peziarah juga mengunjungi makam ulama’ waliyullah yang
lainnya, seperti Kiai Mustafa, Kiai Musyafa’, dan Kiai Rukyat.
2
Situs yang menjadi pusat syawalan pun akhirnya beragam. Selain makam, juga
ramai tergelar di Masjid Al-Muttaqin Kaliwungu. Masjid Al-Muttaqin kaliwungu terletak
dekat dengan alun-alun dan Pasar Sore Kaliwungu. Bangun yang megah ini dibangun
oleh Kiai Guru, juga menyiratkan simbol kemegahan Islam pada zamannya. Meski
perluasan dan penambahan telah dilakukan, namun keagungan masjid tetap tak
terhapuskan.
Syawalan Kaliwungu pasti mengundang orang untuk datang dari berbagai desa
atau kota di semarang. Bahkan tak tanggung-tanggung peneliti mancanegara juga telah
meneliti tradisi di Kaliwungu. Tentu ini merupakan kesempatan emas bagi pedagang
untuk memungut rezeki dengan keuntungan yang besar, tentu hasil dari barakah para
wali dan kiai di Kaliwungu. Seiring dengan perkembangan zaman dari waktu ke waktu,
sywalam Kaliwungu tidak hanya berisi ziarah makam para wali, namun sekedar untuk
menikmati kerumunan masa yang diselingi berbagai penjual yang berdagang dan
beberapa permainan anak. Berbagai hiburan disediakan untuk meramaikan syawalan.
Bukan hanya permainan anak-anak, tetapi juga tersedia jenis hiburan dewasa atau remaja
seperti tong setansampai panggung hiburan yang biasanya diselenggarakan di lapangan
brimob Kaliwungu kendal.
Menurut Prof. Dr. KH. Muhadjirin Tohir, syawalan Kaliwungu tidak hanya
dalam rangka haul, melainkan juga merupakan tradisi yang berbentuk dan membentuk
santri di daerah pesisir utara, yang ditujukan sebagai bentuk penghargaan atas jasa para
pendahulu kita dalam mengibarkan Islam di bumi nusantara.
Selain syawalan, tradisi yang mungkin jarang dijumpai di daerah lain. Misalnya,
ngopi (minum kopi) di pagi hari sepulang jama’ah di Masjid Agung Al-Mutaaqin
Kaliwungu. R. H. Asep Loeka (H. Muhtasip) memaparkan bahwa tradisi tersebut kini
menjadi kenangan bagi setiap orang yang pernah menginjakkan kakinya di Kaliwungu;
dan juga banyak memberi berkah bagi masyarakat sekitar untuk membuka warung kopi
karena selalu ramai dijumpai. Misalnya, sebut saja warung kopi Pak Aziz atau Warung
Kopi Mbak Titik yang khas dengan gemblong2 keringnya.
Konon, asal mula tradisi ngopi di pagi hari ini lahir dari para santri yang
menunggu ngaji dimulai pada pagi hari. Setelah berjamaah subuh di Masjid Agung,
sembari menunggu pengajian dari ulama’ sekitar. Para santri ngopi dulu untuk
menghilangkan kantuk karena telah belajar atau ngaji sampai larut malam. Ahhasil,
kaliwungu selain menjadi kota santri, juga merupakan Buminya Para Kiai, karena telah
membawa ribuan kenangan bagi setiap orang yang hidup atau pernah menginjakkan
kakinya di Kaliwungu.3
2
Olahan dari beras ketan kukus yang dihaluskan dan digoreng serta diiris membentuk bujur sangkar.
Biasanya didampingi ngopi.
3
Muh. Tommy F, Kaliwungu: Buminya Para Kiai, (Yogyakarta: Ladang Kata, 2015), hlm. 144-146.
3
D. ANALISI PERSPEKTIF PENDIDIKAN BERBASIS REVIEW JURNAL
Tak jarang para pembeli atau penjual saling bertanya “dari mana asal anda ?”,
karena mereka belum saling mengenal. Jika terjadi dialog perkenalan yang menciptakan
keakraban satu sama lain, menciptakan kesatuan antar umat Islam. Atau warga sekitar
yang mana halaman rumahnya dipakai berjualan para pedagang pendatang yang
kebanyakan dari jawa barat ini juga bias akrab. Mereka ramah karena harus seperti itu
mereka bersikap. Untuk menjaga kerelahaan hati, kepercayaan antar sesama dan juga
adanya daya tarik ekonomi. Bahkan para pedagang ini mereka dari muda atau 10 tahun
yang lalu sudah menggelar dagangannya di Kaliwung.
Spiritualitas terlihat pada acara mendekati puncak acara yaitu pembacaan al-
Qur;an 30 juz oleh Hufadz laki-laki setempat yang diadakan di masjid agung Kaliwungu
selama 24 jam dari Habis Subuh sampai berjumpa dengan subuh lagi. Sehingga mereka
para pengunjung dari brbagai daerah yang melakukan syawalan berjalan-jalan
mengelilingi pedangan bisa sambal mendengarkan ayat suci al-Qur’an yang begitu keras
terdengar. Juga biasanya para pengunjung dari luar kota sebelu berkeliling daari
pedangan satu ke pedagang yang lainnya maka ia para peziarah menuju makam kyai
Guru dan makam di sekitarnya. Baru setelah itu mereka belanja sepuasnya.
Para santri di wilayah kaliwungu juga tak sedikit yang bersyawalan. Sebagian
mereka ada yang pulang kampong karena acara syawalan jatuh pada hari libur lebaran.
Ada juga santri yang tidak pulang kampong mereka menikmati perayaan kota kaliwungu
yang sudah membudaya ini. Mereka berjalan mengenakan sarung, krudung, peci dengan
busa khas santri. Bersama temannya mereka membeli jajan atau barang yang lain dan tak
ketinggalan juga mereka menikmati wahana permainan. Karena syawalan jatuh setahun
4
sekali secara tertib, mereka sangat bangga dan bisa menikmati barakah para kyai
Kaliwungu.
Tak pernah bosan tiap tahun syawalan masih lestari dan berjalan dengan lancar.
Para pemuda menggelar parkiran sesaat melupakan kegiatan negative nya. Para
pedagangpun sama tiap tahunnya. Mereka semangat sekali karena merasa kelarisan tiap
tahun, yang mana ini semua adalah rezeki melimpah bagi mereka. Apa saja yang mereka
jual? Ada mainan anak-anak, jajan sosis-telor gulung, kerak telor, aneka aksesoris,
bakso, molen, aneka martabak, aneka sprei, boneka, berbagai wahana permainan anak
dan dewasa seperi kolam balon, sepur-sepuran, kincir angin, ombak perahu, balon
seluncur.
E. KESIMPULAN
F. REFERENSI
Fadlu Rohman, Muh. Tommy, Kaliwungu: Buminya Para Kiai, Yogyakarta: Ladang Kata,
2015