Anda di halaman 1dari 3

ISLAM DAN BUDAYA KERATON SURAKARTA

Livna Anggi Viranski


G000170143
Sejarah Pendidikan Islam Indonesia

Sejak dahulu kala Indonesia hidup dalam berkeragaman. Jajaran pulau membentang
menghimpun seni dan adat istiadat setempat. Indonesia tumbuh kental dengan budaya dan
tradisi sehingga masyarakat dalam berkehidupan tak lepas dari nuansa tradisi. Kerajaan
Hindu-Budha sangat mewarnai corak kebudayaan Indonesia dalam berbagai bidang dan
mewarisi tradisi keagamaannya. Kemudian, Islam menjamah melalui budaya dan melebur
mengikuti tradisi masyarakat tanpa mengurangi nilai yang terkandung dalam kebudayaan
tersebut. Kerajaan lekat hubungannya dengan keraton karena merupakan sentral kehidupan
masyarakat zaman dahulu, sehingga Islam perlahan merambat melalui tradisi yang ada di
keraton tanpa menggeser nilai tradisi keraton.

Dalam kehidupan manusia tidaklah lepas dari kebudayaan. Terlebih bagi masyarakat
Indonesia dan Jawa khususnya, nilai tradisi merupakan bagian terpenting dalam kehidupan
masyarakat yang sudah mendarah daging. Oleh karena itu, dalam menjalani kehidupan
sehari-hari masyarakat tidak dapat dipisahkan dari tradisi budaya. Sebelum Islam dan seluruh
tata nilai yang telah mengkristal ini, tentulah Islam masuk ke Indonesia melalui proses yang
panjang dan bukanlah sebuah perjalanan yang mulus-mulus saja tanpa hambatan. Islam
sebelum dipeluk menjadi agama mayoritas masyarakat Indonesia, telah didahului oleh
benturan-benturan kultural. Sehingga mengkristalnya Islam saat ini merupakan bukti
kelihaian para penyebar Islam untuk mengkristalisasikan nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai
tradisi yang sudah berkembang terlebih dahulu dikalangan masyarakat.

Dalam peradaban dunia, Kesenian merupakan hal yang sangat penting. Karena merupakan
hasil kreasi masyarakat yang mencerminkan karakter suatu bangsa itu. Namun, seiring
berkembangnya zaman kebudayaan tersebut mau tidak mau harus mengikuti dan
menyesuaikan perkembangan zaman tersebut. Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri
dari berbagai suku bangsa sehingga dengan begitu Indonesia kaya akan ragam budaya
komplit dengan nuansa etniknya. Menurut perkembangan sejarah, Indonesia tidak akan lepas
dari peranan kerajaan atau keraton. Karena keraton merupakan sentra perkembangan seni
pada masa lalu. Jika diamati peninggalan dan corak budaya yang ada pada masa keraton
tersebut adalah agama Hindu.

Sejalan dengan perjalanan selanjutnya, Islam perlahan-lahan mulai masuk dan turut
mewarnai melalu jalur perdagangan pada abad 7 dan 8. Namun, pada abad ke 15 lah baru
mucul pusat kerajaan Islam dimana perkembangannya masih didominasi pada kalangan
istana. Pada masa ini Islam mulai menjamah dalam kehidupan masyarakat dengan landasan
tasawuf. Pengikut aliran tasawuf tersebut merupakan kelompok sufi yang berintegrasi sebagai
pedagang, pelaut dan gilda. Corak tasawuf sangat lah berpengaruh kala itu, ia mewarnai
karya karya masyarakat seperti, seni pahat, seni ukir, seni bangunan, seni musik, dan seni
sastra. Hal ini seperti misalnya, masjid Demak, masjid Banten dan lain sebagainya. Meskipun
mereka menganut disiplin Hindu namun corak bangunan dan arsitekturnya menggunakan
pola Islam.[ CITATION Fan89 \l 1057 ]

Lahirnya Islam dan perkembangan tiap-tiap wilayah mempunyai potensi dan ciri khas yang
berbeda-beda. Dalam penyebaran Islam tidaklah lepas dari perjalanan yang panjang, sehingga
menjadi Agama yang benar dan dipeluk oleh masyrakatnya. Tiap belahan dunia selalu
memiliki sentuhan budayanya masing-masing. Oleh karena itu, Islam yang dipeluk di
Indonesia berbeda budayanya dengan Islam dibagian Timur Tengah sana. Islam masuk ke
tanah Jawa melalui socio culture sehingga penyampaiannya menyesuaikan dengan budaya
yang ada agar syariat Islam bisa diterima dengan baik.

Surakarta merupakan daerah di Indonesia yang memiliki corak kebudayaan


bernafaskan Islam. Sejarah kerajaan Mataram sebagai salah satu kerajaaan Islam, melahirkan
keraton Surakarta sebagai bagian dalam sejarahnya. Datangnya Islam di Surakarta yang
kental akan kebudayaan menjadikan Islam mampu mejelaskan bahwa Islam sebagai
subculture yang tidak bertentangan dengan culture Jawa sebagai kebudayaan induk. Dengan
demikian Islam dapat diterima dikalangan masyarakat Surakarta sebagai agama yang benar.

Melalui perjanjian Giyanti (1755) Kerajaan Mataram dipecah menjadi dua bagian karena ada
konflik internal yang turut dicampuri oleh tangan Belanda menjadi Kasunanan Surakarta dan
Kesultanan Yogyakarta. Sebelum kerajaan Mataram bertahta, konon kerajaan Pajang lah
yang menguasi tanah Jawa hingga kemudian pamornya merosot dan berdirilah kerajaan Islam
Mataram yang didirikan oleh Sultan Ageng Hanyokrokusumo. Bermula dari sini, lahir
keraton Solo yang didirikan oleh Pakubuwono II tahun 1744. Sebagai turunan kerajaan
Mataram Islam, Islam menjadi agama yang resmi dipeluk dilingkungan keraton. Dalam
sistem kepemerintahannya Raja tidak hanya menjadi pemimpin pemerintahan namun juga
menjadi pemimpin agama layaknya Nabi Muhammad ketika hijrah ke Madinah. Meskipun
Islam telah menjadi agama yang resmi kala itu, dalam pengamalannya masyarakat tidak
melupakan tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Nah, harmonisasi
antara tradisi nenek moyang dan ajaran agama ini sering disebut dengan “Islam Kejawen”.
Perlu kita ingat kembali jauh sebelum Islam merambah, Hindu-Budha telah datang lebih
dahulu dan mendominasi kehidupan masyrakat. Sehingga, terjadilah proses akulturasi antara
kehidupan istana yang masih bercorak Hindu-Budha dengan kebudayaan pesantren yang
bersifat Islam-Jawa. Kala itu, masyarakat terpecah menjadi dua bagian.

Pertama, adalah mereka yang telah memeluk Islam dan telah menjalankan syariat dan yang
kedua, adalah mereka yang telah memeluk Islam sebagai agama resmi namun belum
menjalankan syariat Islam. Keadaan seperti ini menjadikan Kasunanan Surakarta
menekankan dua aspek, yaitu syariat dan budaya. Hal ini bisa kita lihat pada keadaan sekitar
kita seperti Kasunanan Surakarta yang masih menghidupkan upacara-upacara budaya yang
bernafaskan Islam, dimana kebudayaan itu telah dirintis sejak kerajaan Demak dan Mataram
Islam. Seperti sekaten, kenduri, ruwatan, kirab pusaka, labuhan dan lain-lain.

Corak kerajaan Mataram Islam, termasuk Kasunanan Surakarta memiliki ciri khas Islam yang
sangat kental. Dengan demikian, bisa kita saksikan betapa kuat keterkaitan antara tradisi
budaya yang ada dikalangan masyarakat sebagai institusi keagamaan dengan tradisi keraton
yang kala itu memegang kekuasaan secara penuh. Sehingga dengan begitu mucullah proses
dialetika yang terus menerus antara tradisi dengan Islam, yang salah satunya bisa kita temui
dengan adanya penggunaan simbol-simbol Islam hingga berbagai ritual dalam Islam, lalu
dalam pelaksanaan upacara maulud tidak lepas dari unsur Islam, yaitu dengan adanya
marhabanan dan sholawatan. Karena itu, tidak dapat dipungkiri jika perjumpaan Islam
dengan budaya dan komunitas masyarakat yang ada di Surakarta telah melahirkan suatu
aspek religiusitas yang khas, yakni terciptanya harmonisasi kehidupan yang berasal dari
Islam dan tradisi yang ada. [ CITATION Ahm11 \l 1057 ]
Upacara maulud biasanya terbungkus menjadi satu dengan acara sekaten, sekaten merupakan
suatu upacara keagamaan yang diadakan selama tujuh hari memperingati kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Sekaten dimulai dengan dikeluarkannya gamelan-gamelan sesepuh zaman
dulu dan ditempatkan didepan Masjid Agung Surakarta, dibunyikannya gamelan ini bertujuan
agar orang yang hendak masuk masjid mengucapkan dua kalimat syahadat. Gamelan
merupakan suatu alat yang digunakan Sunan Kalijaga untuk menyebarkan Islam, dimana
pada zaman dahulu masyarakat gemar sekali bermain gamelan, lalu Sunan Kalijaga
memanfaatkannya untuk kepentingan da’wah dan menyeru Islam yang secara spesifik
digunakan pada hari hari besar Islam, kemudian acara ini ditutup dengan Gunungan Mulud.

Bagi keraton, sekaten memiliki nilai religiusitas yang berkaitan dengan kewajiban seorang
Sultan dalam menyiarkan agama Islam, sesuain gelarnya sebagai Sayyidin Panatagama yang
berati pemimipin tertinggi terutama dalam agama Islam.

Di Kasunanan Surakarta tidaklah asing dengan perayaan Grebeg, diadakan tiga kali dalam
satu tahun. Rangkaian acara yang tersusun dalam upacara ini bertujuan untuk memanjatkan
rasa syukur terhadap nikmat yang telah Allah berikan terhadap keraton, kemudian Sri Sultan
mengeluarkan sedekahnya berupa gunungan, yang terdiri dari gunungan kakung dan
gunungan estri (lelaki dan perempuan).

Grebeg dilakukakan pada 1 Muharam yang disebut Grebeg Sura, lalu ada Grebeg Sawal yang
diadakan guna memperigati hari raya Idul Fitri, dan yang terakhir Grebek Besar diadakan
ketika hari raya Idhul Adha 10 Dzulhijjah atau 10 Besar dalam penanggalan Jawa.

Budaya keraton lain adalah Kirab Mubeng Beteng atau Malam Satu Sura, upacara ini
dilakukan menghitari Beteng lintasannya berbalik arah dengan berputarnya jarum jam lalu
pusaka keraton diletakkan dibagian paling depan dan setelahnya diikuti para pembesar
keraton, pegawai, hingga masyarakat. Titik unik pada upacara ini adalah diletakkannya
kerbau albino sebagai keturunan pusaka kesayangan Pakubuwono II, Kiyai Slamet, yang
selalu mejadi sorotan masyarakat. [ CITATION Muh13 \l 1057 ]

Pada malam tahun baru Islam, kirab kebo bule merupakan acara yang paling dinanti-nanti
masyarakat Surakarta, dimana kirab tersebut dilakukan pada malam hari. Kebo bule
merupakan kebo milik Kiyai Slamet yang digadang-gadang memiliki nilai spiritual tersendiri.
Konon, buku Babad Solo karya Raden Mas Said beerkata bahwa kebo bule ini merupakan
hewan kesayangan Pakubuwono II. Ketika kirab berlangsung banyak warga yang saling
berebut untuk dapat menyentuh tubuh kebo bule bahkan untuk mendapatkan kotorannya.
Nah, warga mempercayai jika kotoran kebo tersebut bisa dijadikan pupuk dan mengandung
keberkahan tersendiri bagi hasil tanam.

Tiap upacara yang dilakukan, dan setiap budaya yang ada mayoritas selalu terdapat nilai
Islam dalam pelaksanaannya. Kebudayaan Jawa terus berkembang dan tidak melalaikan nilai
para leluhur, keadaan tersebut membuat Islam terus melebur menjadi satu dalam budaya
Jawa.

Budaya yang ada adalah bukti bahwa Islam dan tradisi lokal mampu membentuk harmonisai
yang indah. Terjadinya interaksi Islam dengan kepercayaan dan kebudayaan yang ada, hingga
akhirnya terjadi akulturasi secara perlahan dengan kebudayaan animisme, dinamise, Hindu-
Budha. Sehingga Islam mampu masuk kedalam tradisi atau tradisi yang bisa membaurkan
diri dengan ajaran Islam.

Anda mungkin juga menyukai