Anda di halaman 1dari 11

ISLAM DAN BUDAYA BUGIS

Disusun guna untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Studi Islam
Indonesia

Dosen Pengampu : Dr. Muhamad Hanif, M.Hum.

Disusun oleh :

Rama Aldi Pramudian 53030200005

Risma Ully Tristiyani 53030200008

Arif Hidayat Nurulloh 53030200021

Siti Nur Hidayah 53030200041

PROGRAM STUDI ILMU HADIS (S1)

FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SALATIGA

2023
ISLAM DAN BUDAYA BUGIS DI INDONESIA

PENDAHULUAN

Keuniversalan Islam berarti kehadirannya tidak hanya diperuntukkan pada satu etnis,
golongan dan ras tertentu, tetapi diperuntukkan untuk semua manusia, dengan demikian, lslam
memiliki daya jangkau dan daya jelajah melampaui batas ruang dan waktu tertentu. Sebagai
konsekuensi dari karakteristiknya yang universal tersebut, Islam meniscayakan sebuah
kemampuan akulturatif terhadap lokalitas masyarakat di mana ia diterirna. Amat sulit
dibayangkan ketika lslam hadir pada suatu komunitas lokal tertentu, kemudian merombak semua
tatanan nilai, kebiasaan, budaya, dan tradisi yang mereka anut. Harus ditegaskan bahwa arti
akulturasi di sini tidaklah berarti Islam dan budaya lokal dipandang sebagai dua variable yang
benar-benar sejajar, tetapi harus dipandang sebagai hubungan yang dinamis, dalam arti di
dalamnya sangat memungkinkan terjadi pengkoreksian. Hal itu dapat terjadi jika bentuk-bentuk
kearifan lokal tersebut benar-benar bertentangan dengan nilai-nilai lslam yang paling asasi.
Namun demikian, tidak dapat diasumsikan sebaliknya. dalam arti bahwa budaya atau kearifan
lokal mengoreksi nilai-nilai Islam.
Islam sebagai agama dan sistem nilai yang bersifat transenden, sepanjang sejarahnya,
telah membantu para penganutnya untuk memahami realitas yang pada gilirannya mewujudkan
pola pandangan hidup tertentu, terutama dalam pranata-pranata sosial dan kebudayaan
turutdipengaruhi oleh pandangan hidup tersebut. Dalam konteks ini, Islam berperan sebagai
subyek yang turut menentukan perjalanan sejarah, yang menimbulkan perubahan dan akomodasi
terus menerus terhadap pandangan dan pola hidup yang bersumber dari Islam. Dalam proses
perubahan dan akomodasi tersebut, antara pandangan hidup para penganut Islam yang bersumber
dari wahyu dangan fenomena sosial yang menghasilkan budaya selalu terdapat keterkaitan yang
saling mempengaruhi satu sama lain. Sebagai sebuah kenyataan sejarah, agama (Islam) dan
kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol.Agama
adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Allah swt.Kebudayaan juga
mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya.Tetapi keduanya perlu
dibedakan.Agama (Islam) adalah sesuatu yang final, universal, abadi dan tidak mengenal
perubahan. Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer.1
Baik agama maupun kebudayaan, sama-sama memberikan wawasan dan cara pandang
dalam menyikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Allah swt. Oleh karena itu, biasanya
terjadi dialektika antara agama dan kebudayaan tersebut. Agama memberikan warna dan spirit
pada kebudayaan. Sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama. Dapatlah
dikatakan bahwa telah terjadi akulturasi dan akomodasi ajaran Islam dengan kebudayaan,
khususnya budaya lokal.

PEMBAHASAN

A. Kondisi Masyarakat Bugis Secara Umum

Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk
ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata
"Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja
pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La
Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja
mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La
Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu,
ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan
beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah
kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah
kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah
Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa
tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.2

Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa


kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara,
dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo,
1
Muhammad Qarib, Solusi Islam, Mencari Alternatif , jawaban terhadap problem Kontemporer, (Cet.I;
Jakarta:2010), h. 135.
2
Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus
Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. 2011. ISBN 9789790644175.
Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis,
tetapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar.
Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo,
Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah
Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar
adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua
bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng)
dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan)

Masa kerajaan, Kedatuan Luwu adalah kerajaan tertua di Sulawesi Selatan dan
merupakan asal muasal lahirnya kerajaan - kerajaan lain seperti kerajaan Bone, kerajaan Gowa,
kerajaan Soppeng, kerajaan Wajo, kerajaan Sidenreng Rappang dan Mandar. Di dalam epik La
Galigo, terdapat versi menggambarkan sebuah wilayah pesisir dan sungai yang didefinisikan
secara samar-samar yang ekonominya berbasis pada perdagangan. Pusat-pusat penting di
wilayah ini adalah Luwu dan kerajaan Cina (diucapkan Cheena tapi identik dalam pengucapan
bahasa Indonesia ke China), yang terletak di lembah Cenrana bagian barat, dengan pusat
istananya di dekat dusun Sarapao di distrik Pamanna. Ketidakcocokan La Galigo dan ekonomi
politik dengan realitas kerajaan agraris Luwu menyebabkan sejarawan Bugis mengajukan
periode intervensi kekacauan untuk memisahkan keduanya secara kronologis.3

Penelitian arkeologi dan tekstual yang dilakukan sejak tahun 1980-an telah meruntuhkan
kronologi ini. Survei dan penggalian yang ekstensif di Luwu telah mengungkapkan bahwa Luwu
tidak lebih tua dari kerajaan agraris yang berdiri paling awal di semenanjung barat daya.
Pemahaman yang baru adalah bahwa orang Bugis yang berbicara dengan pemukim dari
lembah Cénrana barat mulai menetap di sepanjang batas pantai sekitar tahun 1300. Teluk
Bone bukanlah daerah yang berbahasa Bugis saja: ini adalah daerah dengan keragaman etnis
yang sangat beragam. Orang Pamona, Padoe, Toala, Wotu dan Lemolang tinggal di dataran
rendah pesisir dan kaki bukit, sedangkan lembah dataran tinggi merupakan rumah bagi kelompok
yang berbicara dalam berbagai bahasa Sulawesi Tengah dan Selatan lainnya. Orang-orang Bugis
ditemukan hampir di sepanjang pantai, yang terbukti bahwa mereka bermigrasi untuk berdagang
dengan masyarakat adat Luwu. Sudah jelas bahwa dari sumber arkeologi dan tekstual bahwa

3
Pelras, C. 1996. The Bugis. Oxford: Blackwell.
Luwu adalah koalisi Bugis dari berbagai kelompok etnis, yang dipersatukan oleh hubungan
perdagangan.

Ekonomi politik Luwu didasarkan pada peleburan bijih besi yang dibawa turun, melalui
pemerintahan Lémolang di Baebunta, ke Malangke di dataran pantai tengah. Di sini besi yang
akan dilelehkan itu diolah menjadi senjata dan alat pertanian dan diekspor ke dataran rendah
selatan yang memproduksi beras. Hal ini membawa kekayaan yang besar, dan pada abad ke-
14 Luwu telah menjadi entitas yang ditakuti di bagian selatan semenanjung barat daya dan
tenggara. Penguasa pertama yang diketahui secara nyata adalah Dewaraja (memerintah 1495-
1520). Cerita saat ini di Sulawesi Selatan menceritakan serangan agresifnya terhadap kerajaan
tetangga, Wajo dan Sidenreng. Kekuasaan Luwu mulai memudar pada abad ke-16 oleh
meningkatnya kekuatan kerajaan agraris dari selatan, dan kekalahan militernya ditetapkan
dalam Tawarik Bone.

Pada tanggal 4 atau 5 Februari 1605, Datu Luwu, La Patiwareq, Daeng Pareqbung,
menjadi penguasa yang pertama dari wilayah Sulawesi bagian selatan yang memeluk Islam,
menggunakan gelar Sultan Muhammad Wali Mu'z'hir (atau Muzahir) al-din. Dia dimakamkan di
Malangke dan disebut dalam kronik sebagai Matinroe ri Wareq, ("Dia yang tidur di Wareq"),
bekas pusat istana Luwu. Guru agamanya, Dato Sulaiman, dikuburkan di dekatnya. Sekitar tahun
1620, Malangke ditinggalkan dan sebuah ibu kota baru didirikan di sebelah barat, Palopo. Tidak
diketahui mengapa wilayah Malangke, yang populasinya mungkin mencapai 15.000 pada abad
ke-16, tiba-tiba ditinggalkan: kemungkinan besar termasuk penurunan harga barang besi dan
potensi ekonomi perdagangan dengan suku-suku dari dataran tinggi Toraja.4

B. Hubungan Islam dengan Budaya

Dalam Islam terdapat ajaran tauhid, suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Allah
swt.adalah pusat dari segala sesuatu dan manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya
kepadaNya, sebagaimana dalam QS.Al-lkhlash [112]: 1 -2.Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang
Maha Esa Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.5

4
Bulbeck, D. and I. Caldwell. 2000. Land of iron; The historical archaeology of Luwu and the Cenrana
valley. Hull: Centre for South East Asian Studies, University of Hull.
5
Departemen Agama R1, Al-Qur'an dan Terjemahannya, ( Surabaya; CV Jayasakti, 1997), h.1118.
Menurut Kuntowijoyo bahwa konsep mengenai kehidupan dalam ajaran Islam adalah konsep
teosentris, yaitu bahwa seluruh kehidupan berpusat pada Tuhan (Allah swt). Doktrin tauhid
mempunyai arus balik kepada manusia. Dalam ayat Al-Qur’an dapat ditemukan bahwa iman,
yaitu keyakinan religius yang berakar padapandangan teosentris, selalu dikaitkan dengan
amal, yaitu perbuatan atau tindakan manusia.6
Dapat dipahami bahwa iman dan amal saleh, tidak dapat dipisahkan.Ini berarti bahwa
iman (tauhid) harus diaktualisasikan menjadi aksi kemanusiaan, termasuk dalam hal ini
adalah budaya. Atas dasar itulah konsep teosentrisme dalam ajaran Islam ternyata bersifat
humanistik. Artinya, lslam mengajarkan bahwa manusia harus memusatkan diri kepada Allah
swt. Tetapi tujuannya untuk kepentingan manusia itu sendiri. Atang Abdul Hakim
mengemukakan pandangan Nurcholish Madjid tentang hubungan agama (lslam) dengan
budaya. Menurutnya, agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak
dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak.tidak berubah disebabkan perubahan waktu dan
tempat Sedangkan budaya dapat berubah sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi
masyarakat. Olehnya itu.agama adalah primer dan budaya adalah sckunder. 7 Dalam
pandangan Harun Nasution, ajaran Islam pada hakikatnya mengandung dua kelompok ajaran.
Kelompok pertama, ajaran dasar yang diwahyukan Allah swt.melalui rasulNya kepada
manusia. Ajaran dasar ini terdapat dalam Al-Qur‟an dan Hadis Rasulullah saw. Ajaran yang
terdapat dalam Kitab dan Sunnah Rasul-Nya memerlukan penjelasan, baik mengenai arti
maupun cara pelaksanaanya.8
Perpaduan dua budaya sehingga menghasilkan budaya khas dan bercitra lokal sangat
memungkinkan untuk terwujud. Sebab dalam setiap pertemuan antara dua budaya, manusia
membentuk, memanfaatkan, dan mengubah hal-hal yang paling sesuai dengan kebutuhan.
Dengan titik tolok inilah dalam kerangka kebudayaan khususnya dalam proses akulturasi
lahir apa yang dikenal dengan istilah kearifan local (local genius), yaitu kemampuan
menyerap sambil seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan yang
datang,sehingga dapat dicapai ciptaan baru yang unik yang terdapat dalam wilayah bangsa
yang membawa kebudayaan tersebut. I Ketut Gobyah dalam “Berpijak pada Kearifan Lokal”
mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau
6
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, I994).
7
Atang Abd. Hakim, Op Cit.,h.34.
8
Harun Nasution, lslam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,(Jilid II;Jakarta: l986), h.7
ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman
Tuhan dan berbagai nilai yang ada.Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya
masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas.Kearifan local merupakan
produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup.
Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.9

C. Akulturasi Agama dan Budaya dalam Masyarakat Bugis


Kehadiran Islam dalam masyarakat Bugis merupakan bentuk penerimaan nilai yang sama
sekali baru ke dalam budaya yang sudah wujud secara mapan. Namun, kehadiran budaya
baru ke dalam budaya yang sudah ada ini tidak meruntuhkan nilai dan tanpa menghilangkan
jati diri asal. Dalam pertemuan dua budaya baru, memungkinkan terjadinya ketegangan.
Sebagaimana respon kalangan tradisional dalam budaya Minang terhadap gerakan
pembaharuan yang mengalami pergolakan. Bahkan sampai terjadi peperangan. Sementara
dalam akulturasi yang berproses di generasi kedua keturunan India Amerika terjadi konflik di
antara keluarga. Tetapi dalam kasus pertemuan agama Islam dan budaya Bugis justru yang
terjadi adalah perpaduan yang saling menguntungkan. Islam dijadikan sebagai bagian dari
identitas sosial untuk memperkuat identitas yang sudah ada sebelumnya. Kesatuan Islam dan
adat Bugis pada proses berikutnya melahirkan makna khusus yang berasal dari masa lalu
dengan menyesuaikan kepada prinsip yang diterima keduanya. Pertemuan arus kebudayaan
melahirkan model adaptasi yang berbeda, atau bahkan sama sekali baru dengan yang
sudah ada sebelumnya.10
Masuknya Islam dengan membawa ajaran “baru” bagi kebudayaan Bugis kemudian
mempengaruhi tradisi yang sudah ada. Namun berubahnya budaya yang sudah ada merupakan
penyesuaian atas pandangan atas pengakuan kebenaran agama yang diterima. Maka, budaya
Bugis kemudian hadir dalam bentuk nilai dan standar yang baru pula sesuai dengan hasil
pertemuan dua budaya. Keselarasan dan sinkronisasi yang terjadi karena antara agama Islam dan
budaya Bugis dapat digandengkan dengan terbukanya pertimbangan para pelakunya. Walaupun
wujud diferensiasi, tetapi ada identitas kolektif yang bermakna kemudian digunakan untuk
9
Sartini, Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati, jurnal.filsafat.ugm.ac.id/
index.php/jf/article/viewFile/45/41 ( diaksesa, tanggal, 19 -11- 2011).
10
Sheet R. Shah. The Impact of Acculturation and Region on IntergenerationalFamilyConflictfor
SecondGenerationAsianIndianAmericans, Tesis (Carbondale: Southern IIIinois University, 1994).
memaknai tradisi masa lalu dengan kehadiran Islam sebagai agama yang baru diterima. Temuan
Irfan Ahmad menunjukkan adanya kritik yang tidak menempatkan tradisi sebagai bagian
beragama. Padahal dalam pembentukan nilai selalu saja masa lalu masih memiliki posisi yang
khas dalam setiap kebaruan yang muncul. Secara fungsional, tradisi bisa saja menolak perubahan
dan penggantian dengan agama yang datang. Pada sisi lain, justru legitimasi untuk kemudian
mengikat budaya yang ada dengan legitimasi pandangan hidup, keyakinan, pranata dan aturan
dengan kerangka Islam terbentuk menjadi sebuah kesatuan yang baru.11
Dua pola yang muncul dalam akulturasi budaya dengan agama adalah bentuk dialogis
dan integratif. Jika dalam budaya Jawa, Islam dan budaya mengambil pola dialogis, maka
sebaliknya dalam tradisi Melayu mengambil bentuk integratif. Pada budaya Jawa Islam
berhadapan dengan budaya kejawen bahkan muncul dalam bentuk ketegangan ketika Islam
mulai menyebar di masa kolonial. Ada pula resistensi dari budaya lokal dan tradisi yang sudah
mengakar. Sehingga muncul perbedaan pandangan antara penafsiran legal dengan penafsiran
mistis. Respon terhadap keyakinan dalam budaya senantiasa menunjukkan toleransi yang
memadai, kalau tidak dikatakan sebagai penerimaan. Sementara pola integrasi, Islam
berkembang dan masuk menjadi penyanggah terpenting dalam struktur masyarakat, termasuk
dalam urusan politik. Gambaran bentuk integratif ini seperti dalam budaya Melayu dan Islam.
Islam terbentuk menjadi karakter bagi kelangsungan budaya di lapisan masyarakat. Ini semakin
dipermudah dengan tersedianya struktur kerajaan dan kesultanan yang masih tetap berdiri
berdampingan dengan nilai demokrasi. Secara kultur kemudian terjadi model yang berjalan
sebagaimana struktur masyarakat yang ada.
Sebagaimana diajukan pertama kali Durkheim dengan melihat posisi agama dan
masyarakat. Dalam perkembangan masyarakat Australia, situasi ini berada dalam kondisi dimana
arus modernisme berlangsung. Agama tetap menjadi salah satu tumpuan, termasuk dalam
kondisi ketika tidak menerima salah satu agama apapun.12
Adapun dalam budaya Bugis, Islam melembaga menjadi kekuatan sosial. Penghargaan
terhadap seorang manusia Bugis ditentukan pada kemauan dan kemampuan menjaga siriq
(malu). Pelembagaan siriq ke dalam kehidupan sosio kultural dan kemudian mengamalkan secara
11
Irfan Ahmad, “Immanent Critique and Islam: Anthropological Reflections”, Anthropological Theory,
Vol. 11, No. 1 (2011), h. 107 – 132.

12
W. Watts Miller, “Durkheim’s Re-imagination of Australia: A Case Study of The Relation Between
Theory and Facts”, Annee Sociologique, Vol. 62, No. 2 (2012), h. 329 – 349.
intens melahirkan harmoni kehidupan Interaksi dengan laut, sompeq (merantau) melahirkan
identitas kultural yang khas. Gambaran ini menegaskan citra orang Bugis sebagai penganut
agama yang fanatik sekaligus memegang teguh adat yang diwariskan leluhur secara turun
temurun. Mulder memandang bahwa ini dapat saja terjadi karena adanya keserasian dalam tradisi
keagamaan sehingga terserap dalam tradisi yang sudah mapan. Sekaligus menolak adanya
sinkretisasi dalam ajaran agama. Melainkan ajaran agama yang datang dalam status asing
menemukan lahannya dalam budaya lokal.13
Islam sebagai agama dakwah, pasti akan mengalami pergulatan dengan berbagai corak
kebudayaan masyarakat setempat, termasuk di dalamnya budaya lokal, namun yang patut
dicermati bahwa dalam budaya lokal masih terdapat unsur-unsur sebagai berikut; pertama: sisa-
sisa mitologi animismdinamisme yang banyak ragamnya sesuai dengan luasnya wilayah; kedua,
aktiuvisme berdasar ritual mitologi animism-dinamisme atau singkritisme yang masih sangat
nampak; dan ketiga, produk budaya simbol-simbol religi juga masih banyak tersisa.
Jadi akulturasi Islam dengan budaya lokal adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri atau
dihindari. Hal ini akan lebih menjadikan Islam sebagai rahmatan lil alamin dan “ Salih likulli
zamanin wa makanin “ Ajaran Islam diibaratkan seperti filter yang akan menyaring adat atau
budaya masyarakat. Selama tidak bertentangan dengan ajaran agama,terutama nilai-nilai
ketauhidan yang bebas dari kemusyrikan, maka hal itu dapat ditolirir, bahkan dapat
dikembangkan sebagai hasanah budaya Islam dalam kehidupan masyarakat.14

PENUTUP
Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk
ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kehadiran
Islam dalam masyarakat Bugis merupakan bentuk penerimaan nilai yang sama sekali baru ke
13
Niels Mulder, Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1999), h. 3 – 18.

14
Pimpinan pusat Muhammadiyah, Da’wah cultural Muhammadiah, ( Cet. II, Yogyakarta : Suara
Muhammadiyah, 2005 ). h. 36.
dalam budaya yang sudah wujud secara mapan. Namun, kehadiran budaya baru ke dalam budaya
yang sudah ada ini tidak meruntuhkan nilai dan tanpa menghilangkan jati diri asal.
Islam sebagai agama dakwah, pasti akan mengalami pergulatan dengan berbagai corak
kebudayaan masyarakat setempat, termasuk di dalamnya budaya lokal, namun yang patut
dicermati bahwa dalam budaya lokal masih terdapat unsur-unsur sebagai berikut; pertama: sisa-
sisa mitologi animismdinamisme yang banyak ragamnya sesuai dengan luasnya wilayah; kedua,
aktiuvisme berdasar ritual mitologi animism-dinamisme atau singkritisme yang masih sangat
nampak; dan ketiga, produk budaya simbol-simbol religi juga masih banyak tersisa.
Jadi akulturasi Islam dengan budaya lokal adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri atau
dihindari. Hal ini akan lebih menjadikan Islam sebagai rahmatan lil alamin dan “ Salih likulli
zamanin wa makanin “ Ajaran Islam diibaratkan seperti filter yang akan menyaring adat atau
budaya masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Qarib, Solusi Islam, Mencari Alternatif , jawaban terhadap problem
Kontemporer, (Cet.I; Jakarta:2010), h. 135.
Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia
Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. 2011. ISBN 9789790644175.
Pelras, C. 1996. The Bugis. Oxford: Blackwell.
Bulbeck, D. and I. Caldwell. 2000. Land of iron; The historical archaeology of Luwu and
the Cenrana valley. Hull: Centre for South East Asian Studies, University of Hull.
Departemen Agama R1, Al-Qur'an dan Terjemahannya, ( Surabaya; CV Jayasakti, 1997),
h.1118.
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, I994).
Atang Abd. Hakim, Op Cit.,h.34.
Harun Nasution, lslam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,(Jilid II;Jakarta: l986), h.7
Sartini, Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati,
jurnal.filsafat.ugm.ac.id/ index.php/jf/article/viewFile/45/41 ( diaksesa, tanggal,
19 -11- 2011).

Sheet R. Shah. The Impact of Acculturation and Region on


IntergenerationalFamilyConflictfor SecondGenerationAsianIndianAmericans,
Tesis (Carbondale: Southern IIIinois University, 1994).

Irfan Ahmad, “Immanent Critique and Islam: Anthropological Reflections”,


Anthropological Theory, Vol. 11, No. 1 (2011), h. 107 – 132.

W. Watts Miller, “Durkheim’s Re-imagination of Australia: A Case Study of The


Relation Between Theory and Facts”, Annee Sociologique, Vol. 62, No. 2 (2012),
h. 329 – 349.

Niels Mulder, Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1999), h. 3 – 18.

Pimpinan pusat Muhammadiyah, Da’wah cultural Muhammadiah, ( Cet. II, Yogyakarta :


Suara Muhammadiyah, 2005 ). h. 36.

Anda mungkin juga menyukai