Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

DIASPORA MASYARAKAT DEUTRO MELAYU

Disusun Oleh :

Faiza Azzahra 2102111830

Rizka Adillah 2102111768

Afna Inayah 2102111111

Dosen Pembimbing :

Rahmat Junaidi,S.E.,M.M

Mata Kuliah :

Budaya Melayu

JURUSAN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS RIAU

2022
Masyarakat Kerajaan

1. Masyarakat Kerajaan Melayu Masa Kuno

Menurut sejarahnya, nenek moyang orang Melayu berasal dari berbagai suku. Ada
yang menyebutkan dari Suku Dravida di India, dan Mongolia atau campuran Dravida dengan
Arya yang kemudian kawin dengan ras Mongolia. Kedatangan mereka ke Nusantara terjadi
dalam dua gelombang. Gelombang pertama diperkirakan antara 3000 sampai 2500 tahun
sebelum masehi, gelombang ini disebut Proto Melayu atau Melayu Tua. Orang yang
tergolong Melayu Tua khususnya di Riau antara lain, Suku Talang Mamak, Suku Sakai, Suku
Laut, Suku Petalangan, Suku Hutan, dan lain-lain. Gelombang kedua terjadi sekitar 300
sampai 250 tahun sebelum masehi, yang disebut Deutro Melayu atau Melayu Muda.

Pada prinsipnya kedua Melayu (Melayu Tua dan Melayu Muda) memiliki persamaan
budaya yakni menunjukkan budaya perairan (maritim), oleh karena itu mereka adalah
‘manusia perairan’ bukan manusia pegunungan. Sebab, mereka menyukai air, laut, selat, dan
suka mendiami daerah-daerah aliran sungai. Sehingga budaya mereka selalu berkaitan
dengan air dan laut, seperti sampan, rakit, perahu, jalur, titian, berenang dan bermacam
perkakas penangkap ikan seperti jaring, jala dan kail.

Namun di bidang kemasyarakatan keturunan Melayu Tua terkesan sangat tradisional,


karena mereka sangat memegang adat dan tradisinya. Pemegang kendali adat seperti Patih,
Batin dan Datuk Kaya, mereka sangat besar sekali peranannya dalam mengatur lalu lintas
kehidupan. Alam pikiran dan kehidupan mereka masih sederhana, karena ditentukan oleh
faktor alam, kondisi ini menyebabkan munculnya tokoh tradisi seperti dukun, bomoh,
pawang dan kemantan.

Seiring dengan perkembangan waktu, Melayu Muda lebih berkembang dibandingkan


dengan Melayu Tua. Mereka datang sekitar 300-250 tahun sebelum masehi, Melayu Muda
inilah yang berkembang saat ini, yang kemudian mendirikan kerajaan Melayu, mulai dari
kerajaan Melayu yang masih menganut agama Hindu-Budha seperti Sriwijaya (abad ke 7-11)
diikuti oleh kerajaan Melayu Islam seperti Melaka, Johor-Pahang, RiauLingga, Siak Sri
Indrapura, Pelalawan dan sebagainya.
2. Masyarakat Kerajaan Melayu Masa Islam

Islam muncul di Nusantara disebabkan kehadiran pedagang-pedagang Muslim dari


negeri Arab dan Persia sejak abad ke-7 sampai abad ke-9 M. Dengan ramainya kegiatan
pelayaran dan perdagangan yang dilakukan kaum Muslimin pada abad-abad berikutnya,
terutama dari abad ke-11 hingga abad ke-17 M, perkembangan agama Islam ikut marak pula.
Muhammad Naguib al-Attas di dalam bukunya “Islam dan Sejarah Kebudayaan Melayu”
juga menjelaskan bahwa Islam mempunyai pengaruh yang amat besar, mendalam dan meluas
di alam Melayu sehingga berjaya mencabut akar umbi pengaruh Hindu dan Buddha.
Kedatangan Islam menandakan bermulanya satu zaman baru dan

berakhirnya satu zaman lama di rantau ini. Ini berarti bahawa perubahan yang dibawa oleh
Islam terhadap tamadun alam Melayu bukan sahaja dari segi rupa malah meresap masuk ke
jiwa.

Berikut ini di antara perkembangan peradaban Melayu yang dipengaruhi oleh Islam;

a) Bidang Akidah, Undang-Undang dan Pemerintahan

Sebelum masuknya ajaran Islam, masyarakat Melayu memiliki beragam Agama dan
kepercayaan seperti Hindu-Buddha dan kepercayaan warisan tradisi Animisme. Kepercayaan
Animisme dimaksud adalah satu kepercayaan bahwa setiap benda mempunyai jiwa atau roh
yang memiliki kepribadian sendiri. Agama Hindu-Buddha masuk ke alam Melayu melalui
para pedagang India. kaum Melayu adalah penganut animisme dan dinamisme yang
menjelaskan tentang luasnya praktek-praktek kepercayaan kuno berbasis Melayu. Diantara
praktek-praktek tersebut seperti; sihir, tahayul, tabu, perdukunan dalam hubungannya dengan
makhluk ghaib seperti; tuyul, setan, jin hantu, dan lain-lain.

Kedatangan Islam di alam Melayu melahirkan beberapa kerajaan Melayu Islam yang
kuat seperti Kerajaan Pasai, Acheh, Patani, Demak dan Melaka hingga Negara negara ini
menjadi pusat pengembangan dan keilmuan. Dengan masuknya Islam undang-undang
Melayu pun terpengaruh seperti Undang-undang Melaka dan Undang-undang Laut Melaka
dengan menerapkan hukuman Huddud (Hukuman Islam). Undang-undang Islam yang
berlandaskan alQur’an dan Assunnah di prakatekan oleh kerajaan kesultanan Melayu artinya
kedatangan Islam yang memberikan pengaruh besar baik dari segi akidah, Undang-Undang
dan Pemerintahan Melayu.
(b) Bidang Ekonomi

Perdagangan merupakan aktivitas utama masyarakat Melayu tradisional. Majunya


perdagangan di alam Melayu dapat dilihat dengan banyaknya pelabuhan pelabuhan. Sebagian
besar pelabuhan yang berjaya berkembang menjadi kerajaan pelabuhan dapat membentuk
negara baru “negara kota”, pelabuhan juga sampai dapat membentuk negara maritim bahkan
sebuah kerajaan maritim yang besar dan memperluas kekuasaan dengan menguasai
pelabuhan lain. Kemunculan pedagang Melayu sendiri yang aktif melakukan perdagangan
sampai ke India dan China. Dengan masuknya Islam di wilayah Melayu, cara berdagangnya
penduduk Melayu lebih menerapkan syariat Islam.

(c) Bidang Bahasa dan Sastra

Datangnya Islam di kalangan orang Melayu, dengan bertukarnya agama Hindu


Buddha-Animisme kerajaan-kerajaan Melayu kepada Islam, maka Abjad Arab dan Tulisan
Arab telah diterima dan dijadikan sebagai kepunyaan. Bahasa Melayu yang tadinya
merupakan bahasa pasaran terbatas itu telah mengalami sutu perubahan besar, suatu revolusi.
Selain diperkaya perbendaharaaan-katanya dengan istilah-istilah dan perkataan Arab dan
Parsi, Bahasa Melayu juga dijadikan bahasa pengantar utama Islam di seluruh Kepulauan
Melayu termasuk kepulauan Melayu-Indonesia.

Bukti adanya pengaruh Islam pada Budaya Melayu seperti terlihat dipergunakannya
aksara Arab-Melayu, Arab Gundul, Huruf Jawi, pada karya tulis Melayu. Karya tulis berupa
naskah Melayu yang ribuan banyaknya (6000-10.000) sudah tersebar ke seluruh penjuru
dunia. Naskah Melayu itu menyangkut kerajaan kerajaan seperti kerajaan Samudera Pasai,
Malaka, Banten, Demak, Mataram, RiauJohor-Pahang dan Lingga. Di antara beberapa naskah
Melayu itu ada Hikayat Pasai, Hikayat Petani, Hikayat Johor, Hikayat Siak, dan sebagainya.

(d) Bidang Seni dan Arsitektur

Kesenian Melayu menurut Ku Zam-zam (1989), dapat dilihat melalui budaya


bendanya seperti alat-alat kerja, senjata, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan
perumahan, alat pengangkutan, makanan dan minuman, musik serta tarian. Dari segi sejarah
dan ketamadunan, kesenian Melayu ini amat berkaitan erat dengan sejarah perkembangan
budaya Melayu keseluruhannya. Artifak seni seperti seni arca, seni tembikar, anyaman dan
lain-lain merupakan simbol atau tanda yang jelas dan bukti yang nyata tentang wujudnya
sebuah peradaban manusia Melayu.
3. Masyarakat Kerajaan Melayu Masa Modern

Fenomena globalisasi tersebut juga dialami Melayu. Globalisasi Melayu secara garis
besar ada dua macam, yaitu: pertama, orang-orang Melayu menyebar keberbagai penjuru
dunia. Ketika orang-orang Melayu menyebar ke berbagai penjuru dunia (tentunya dengan
motif dan tujuan yang berbeda), disadari atau tidak mereka akan membawa serta nilai-nilai
kemelayuan mereka. Nilai-nilai kemelayuan yang mereka bawa akan berdialektika dengan
kondisi lingkungan dimana mereka menetap. Hasilnya adalah sebuah pola Melayu yang
heterogen, seperti Melayu Deli, Melayu Jambi, Melayu Riau, Melayu Sambas, Melayu
Menado, Melayu Singapore, Melayu Minang, Melayu Phillipines, Melayu Cocos Island-
Australia, Melayu Cape Town, dan lain sebagainya. Kedua, kawasan Melayu menjadi daerah
tujuan orang-orang dari luar wilayah Melayu

Melayu juga menjadi wilayah pertarungan informasi. Berkat kemajuan teknologi,


masyarakat Melayu mempunyai akses yang lebih luas terhadap sumber-sumber informasi.
Dampak dari lalu lintas orang dan informasi tersebut adalah berubahnya pola pikir dan cara
pandang Melayu terhadap dunianya.

Masyarakat Adat

1. Mayarakat adat di rantau Kuantan

Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) adalah salah satu kabupaten di Povinsi Riau,
Indonesia Kabupaten Kuansing disebut pula dengan rantau Kuantan atau sebagai daerah
perantauan orang-orang Minangkabau (Rantau nan Tigo Jurai). Dalam kehidupan sehari-hari,
masyarakat Kuansing menggunakan adat istiadat serta bahasa Minangkabau. Kabupaten
Kuantan Singingi pada awalnya merupakan bagian dari Kabupaten Indragiri Hulu, namun
setelah dikeluarkannya Undang-undang Nomor 53 tahun 1999, Kabupaten Indragiri Hulu
dimekarkan menjadi 2 ( dua ) kabupaten yaitu Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten
Kuantan Singingi dengan Ibu Kotanya berkedudukan di Teluk Kuantan.

Setelah dilakukan Pemekaran Wilayah, Kuantan sekarang berada di Kabupaten


Kuantan Singingi (Kuansing), yang ber-Ibu Kota Taluk Kuantan.Daerah ini lebih dikenal
dengan sebutan ‘Rantau Kuantan’ yang terdiri dari 4 empat kecamatan, yaitu Kecamatan
Kuantan Mudik, Kuantan Tengah, Kuantan Hilir dan Kecamatan Cerenti (Sekarang
dimekarkan menjadi 13 Kecamatan). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ruswan et.al,
ada empat kemungkinan tentang penamaan ‘Kuantan’ ini.
- Pertama, sejarah Asal Mula Kuantan berasal dari kata ‘Aku + Antan’. Aku berarti pancang
batas daerah ini dengan alu (antan).
-Kedua, Asal Mula nama Kuantan bermula dari ‘Kuak + Tuk Atan’. Kuak berarti rintisan,
Tuk Atan adalah nama orang. Jadi Kuantan berarti daerah rintisan yang dilakukan oleh Tuk
Atan. 
-Ketiga, sejarah nama itu berawal dari ‘Akuan + Sultan’ yang lama-lama menjadi Kuantan.
-Keempat, asal Mulanya ialah, Kuantan berasal dari Bahasa Parsi yang berarti ‘Banyak Air-
air.
Dari keempat kemungkinan itu lah yang sampai saat ini diyakini sebagai Asal Mula
nama "Kuantan". Orang Kuantan menggunakan ‘Bahasa Melayu Dialek Kuantan’ sebagai
bahasa perhubungan. Mereka sangat fanatik dalam mempergunakan bahasa daerahnya. Orang
Kuantan yang berada di luar daerahnya jika bertemu dengan sesama, akan mempergunakan
Bahasa Melayu Dialek Kuantan itu, yang masih erat hubungannya dengan Bahasa-bahasa
Melayu di wilayah Provinsi Riau lainnya.Agama yang dianut orang Kuantan adalah Agama
Islam.
Sebelum acara puncak "Pacu Jalur' ini dimulai, biasanya di adakan acara-acara
hiburan rakyat berupa tarian dan nyanyian untuk menghibur seluruh peserta dan masyarakat
sekitar, terutama yang berada di Teluk Kuantan. Pada acara Festival Pacu Jalur tahun 2009
yang lalu, mulai di perkenalkan oleh Pemerintah Daerah setempat istilah "Jalur" Expo 2009,
yaitu sebuah acara Pekan Raya berkaitan dengan Festival Pacu Jalur tersebut.Tradisi pacu
jalur yang diadakan sekali setahun pada peringatan perayaan hari kemerdekaan Indonesia
menjadikan kota Taluk Kuantan sebagai tujuan wisata nasional. Perlombaan perahu panjang
yang berisi lebih kurang 60 orang di sungai Kuantan ini biasanya diikuti masyarakat
setempat, kabupaten tetangga, bahkan juga ikut pula peserta-peserta dari negara-negara
tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Thailand.

Dapat dilihat bajwa di masa kuno daerah Kuantan dan Singingi terlah terbentuk penga
turan masyarakat menurut adat yang bermula dari janji Sang Sapurba yang merupakan cikal b
akal dari keturunan raja-raja melayu di kawasan negeri sekitar Selat Malaka. Adanya pengaru
h hindu dan budha yang diterima kawasan ini pada masa kuno masih tergambar pada adat yan
g mereka anut yakni adat beraja-raja dan adat berdasarkan musyawarah mufakat.
Selanjutnya pada abad ke 14-16 M wilayah Kuantan Singingi mendapat pengaruh aga
ma islam yang saat ini berkembang pesat di kawasan kerajaan-kerajaan di Selat Malaka. Saat
itu Malaka menjadi pusat peradaban Melayu. Pada tahun 1511 M, Malaka diduduki oleh Port
ugis, hal ini membuat pusat kerajaan melayu pindah ke Riau (Bintan-Kampar) dan selanjutny
a pusat kerajaan berpindah lagi ke Johor yang dikenal dengan Riau-Johor. Wilayah Riau-Joho
r meliputi, Pantai Timur Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu, termasuk Siak, Rokan, P
elalawan dan Indragiri. Perkembangan pengaruh peradaban Melayu Islam di Kerajaan Riau J
ohor ini pada tahap tertentu berpengaruh pada adat dan budaya masyarakat di daerah Sumater
a, termasuk negeri-negeri di wilayah Kuantan Singingi.
Sementara itu, sebelum abad ke 14 di wilayah perbatasan Jambi-Sumbar-Riau berdiri
kerajaan Melayu Damashraya yang dipimpin oleh Adityawarman yakni salah seorang keturu
nan Majapahit-Melayu. Selanjtnya pada tahun 1437 M, Adityawarman memindahkan pusat k
erajaan ke Pagaruyung, negeri Minangkabau. Kemudian Adityawarman bermaksud menguasa
i Kuantan dan Kampar sebagai penghasil rempah-rempah dan ingin menjadikan daerah itu se
bagai wilayah Pagaruyung.
Menurut sumber Belanda, dalam rangka mencapai tujuannya menguasai Kuantan, Adi
tyawarman mengirim 5 datuk ke Kuantan, yaitu datuk Paduko Rajo di Lubuk Ambacang, dat
uk Habib di Lubuk Jambi, Datuk Bisai di Teluk Kuantan, Datuk Dano Sikaro di Inuman, Dat
uk Dan Puto di Cerenti untuk dijadikan pimpinah di wilayah Kuantan. Campur tangan Aditya
warman itu mendapat protes dari penghulu-penghulu di Kuantan seperti terungkap kata-kata :
bilangan sudah cukup, langgaian sudah datar. Artinya para penghulu sudah cocok dengan ada
t dan sistem pemerintahannya, dan bantuan Adityawarman tidaj diperlukan.
Namun datuk-datuk dari Pagaruyung itu berdiplomasi dengan meyakinkan para pengh
ulu bahwa datuk-datuk yang diutus tidak akan mengubah adat, dan mereka adalah duta Minan
gkabau di Kuantan. Selanjutnya Datuk Berlima dari Pagaruyung itu meyakinkan juga bahwa
mereka hanya akan turun tangan bila ada silang sengketa antar penghulu-penghulu yang bere
mpat pada masing-masing koto saja. Artinya pada tahap-tahap tertentu, para datuk dari Pagar
uyung itu mengakui Kuantan sebagai negeri otonom dan bisa menyelesaikan permasalahan se
ndiri melalui mufakat di negeri, seperti terungkap dalam pepatah, yaitu : Kuantan beraja ke M
ufakat.
2. Masyarakat adat di Rantau Kampar

Sistem pemerintahan adat mencakup semua pranata yang berhubungan dengan


susunan organisasi, tata kerja, formasi aparatur, tugas/kewajiban, wewenang dan tanggung
jawab, serta hubungan kerja dari badan-badan yang ada.
Kedudukan tertinggi dalam pemerintahan adat adalah sultan. Sebagai raja, ia adalah
penguasa tertinggi di bidang politik, adat, agama, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya.
Kedudukan raja didapatkan karena keturunan. Akan tetapi tidak berarti bahwa semua ke-
turunan raja dapat menjadi raja/sultan. Kedudukan raja baru sah bila sudah mendapat
pengesahan (legitimasi) yang sesuai dengan suatu prosedur yang telah ditetapkan oleh adat,
antara lain melalui upacara penobatan. Seseorang yang telah dinobatkan menjadi raja berarti
telah memenuhi syarat-syarat kepemimpinan menurut adat, seperti telah dewasa, berakal
budi, adil dan bijaksana, berilmu (tahu akan undang-undang, hukum adat dan pusaka, serta
paham akan agama), berwibawa, terampil dalam ilmu bela diri dan ilmu kebatinan, dan ahli
perang. Sebenarnya syarat kepemimpinan itu hampir semuanya merupakan syarat bagi pe-
mimpin adat lainnya. Perbedaannya, kalau raja diresmikan dengan upacara penobatan,
sedangkan pemimpin-pemimpin adat lainnya dengan upacara pengangkatan dan peresmian.
Sesudah dinobatkan, raja mempunyai wewenang untuk memimpin secara resmi. Nam
un wewenang raja, di Kerajaan Kampar Kiri, tidak penuh (otokrasi). Dalam mengambil keput
usan maupun melaksanakannya, ia harus mendapat persetujuan dewan tertinggi bernama Ker
apatan Khalifah.
Dalam melaksanakan pemerintahan, sultan/raja dibantu oleh seorang khadi untuk bida
ng agama. Di Kampar Kiri, raja dibantu oleh seorang saudagar yang mengurus bidang perdag
angan atau ekonomi. Khalifah di Kerajaan Kampar Kiri, seperti camat atau bupati sekarang. S
eperti halnya raja, Urang Godang dan Khalifah tidak berhak mencampuri urusan dalam nagar
i ataupun koto yang berada di bawah pengawasannya secara langsung tanpa persetujuan Dew
an Menteri. Raja dan Urang GodangKhalifah tidak lain hanya sebagai badan pengawas, peng
atur, atau koordinator terhadap daerah yang ada di bawah kekuasaannya.
Selain itu, Khalifah Kampar Kiri juga bertugas membantu raja dalam menyelesaikan
masalah-masalah tertentu. Sebagai contoh, Khalifah Kuntu yang bergelar Datuk Bandaro me
mpunyai tugas dan kewajiban menyelesaikan perkara adat. Apabila Khalifah Kuntu ditugaska
n menyelesaikan masalah adat dalam musyawarah Majelis Dewan Menteri Kerajaan Kampar
Kiri, maka bendera (tonggou) yang berdiri adalah bendera Khalifah Kuntu. Begitu pula denga
n tugas datuk-datuk lainnya. Datuk Godang Khalifah Batu Sanggan berkewajiban menyelesai
kan perkara pidana, Datuk Marajo Basa Khalifah Ludai menyelesaikan masalah keamanan, d
an Datuk Bendahara Khalifah Ujung Bukit menangani urusan syarak (agama). Sebenarnya sis
tem pemerintahan itu berpedoman pada sistem pemerintahan adat di Minangkabau yang dike
nal dengan Basa Ampek Balai (Tengku Ibrahim, 1939).
Landasan aturan bagi wewenang pejabat-pejabat adat diungkapkan dalam ungkapan
adat “Rantau dituruik dengan undang, nagori batunggui jo pusako, kampung dilimbak jo
limbago”, yang berarti “Rantau diperintah raja, luhak diperintah orang besar, nagori di-
perintah penghulu, kampung diperintah orang tua”. Selain itu terdapat kalimat-kalimat
sumpahan nenek moyang yang dipatuhi oleh setiap generasi, yang berbunyi “Undang-undang
basimpuah janji, cupak baparbuatan, sumpah manua parbakala. Kalau rajo manguih
dimakan biso kawi, kalau khalifah manguih dimakan sumpah. Manokalo penghulu manguih
dimakan perbuatan. Kalau urang banyak manguih dimakan kutuak kalamullah saribu
malam”. Kalimat-kalimat tersebut berarti “Kalau melanggar sumpah akan terkena bisa kawi,
khalifah akan dimakan sumpah. Apabila penghulu melanggar sumpah akan dimakan
perbuatan. Kalau orang banyak melanggar sumpah akan dikutuk Tuhan sepanjang hidup”.
Dari urutan struktur organisasi pemerintahan adat di atas, maka yang benar-benar
mempunyai hak otonomi adalah nagari-nagari atau kotokoto. Nagari berhak penuh mengatur
ke dalam maupun ke luar. Raja dan Urang Godang/Khalifah tidak mempunyai wewenang
secara langsung untuk mencampuri urusan dalam setiap nagari. Hal ini menunjukkan bahwa
sistem pemerintahan di kedua kerajaan itu mengandung ciri-ciri demokrasi. Raja duduk di
atas tahta kerajaan atas persetujuan penghulu-penghulu (datuk-datuk) yang merupakan wakil
dari seluruh penduduk nagari. Hal ini didasari oleh perjanjian dan sumpah sakti pada waktu u
pacara penobatan yang disaksikan oleh roh-roh nenek moyang mereka. Oleh sebab itu, munc
ul pepatah yang berbunyi “Rajo adil rajo disambah, rajo zalim rajo disanggah”.
Penghulu kepala atau penghulu pucuk adalah penghulu segala penghulu yang ada dala
m setiap nagari. Dalam setiap nagari paling tidak terdapat empat suku. Masing-masing suku
klan) ini dipimpin oleh seorang penghulu suku yang bergelar datuk. Perkembangan jumlah pe
nduduk dan daerah pemukiman menyebabkan jumlah suku dalam satu nagari lebih dari empa
t suku nagari, misalnya saja di Lipat Kain (Kampar Kiri) terdapat sembilan suku dan di Gunu
ng Sahilan terdapat delapan suku. Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, setiap peng
hulu suku dibantu oleh tiga orang pejabat adat. Penghulu suku di Rantau Kuantan dibantu
oleh monti, hulubalang, dan malin. Adapun penghulu suku di Kampar Kiri dibantu oleh
pucuak kampuang, hulubalang, dan malin/pandito.
Seperti halnya dengan urang godang/khalifah, maka penghulu kepala (penghulu
pucuak) dan penghulu suku beserta tiga orang pembantunya duduk di jabatan adat tersebut
setelah diangkat atas dasar garis keturunan (matrilineal) dari suku tertentu pada satu rumah
soko (perut) atau menurut garis keturunan ibu. Jabatan penghulu kepala/pucuak nagari
(penghulu pucuak) dan penghulu suku disahkan dengan upacara adat memotong kerbau.
Orang yang dipilih dari keturunan satu perut (asal satu soko) adalah orang-orang yang me-
menuhi syarat kepemimpinan adat (Rahim A. dkk., 1983/1984).
Pengangkatan tiga pejabat adat pembantu penghulu suku tidak memerlukan upacara
seperti di atas. Tugas monti (pucuak kampuang) adalah sebagai pejabat eksekutif, hulubalang
bertugas di bagian keamanan, dan malin bertugas dalam urusan agama, sedangkan penghulu
suku bersama-sama dengan penghulu-penghulu suku dalam negeri lainnya serta penghulu
pucuk merupakan lembaga legislatif. Lembaga legislatif mengadakan kerapatan adat di balai
adat nagari (soko). Penghulu kepala/penghulu pucuak tidak boleh menjalankan apa saja tanpa
melalui musyawarah semua penghulu suku terlebih dahulu. Begitu juga suara yang dibawa
oleh penghulu suku dalam kerapatan nagari adalah suara keputusan musyawarah dalam suku-
nya.
Hak seorang penghulu suku antara lain adalah memungut manah (memungut pajak) y
ang berjumlah “sapuluh satu”, artinya 10%. Ungkapan seperti “Ka rimbo babungo kayu, ka t
ambang babungo ameh, ka ladang ampiang” menunjukkan bahwa penghulu suku berhak m
emungut pajak atas beberapa hasil. Hak lain adalah uang ganti rugi retribusi yang dikenakan
bagi orang luar yang membuka hutan untuk berladang di tanah ulayatnya.
Selain itu, dalam mengerjakan sawah ladangnya, penghulu berhak dibantu oleh pendu
duk, terutama keponakannya secara sukarela. Tanah, pekarangan, istana raja, dan istana
khalifah digarap tiga kali setahun. Pendapatan raja lainnya berasal dari monopoli penjualan
gading gajah. Gading gajah dibeli oleh raja dengan harga setengah dari harga pasaran. Di
Kampar Kiri, raja memonopoli penjualan emas. Pendapatan raja yang besar adalah dari hasil
sawah ladang dan ternaknya sendiri. Sesudah Belanda masuk, hak raja untuk monopoli dan h
ak pancung alas (pajak hutan/kayu) dihapuskan.
Syarat berdirinya sebuah nagari yaitu terdapat masjid, balai adat, lapangan, dan pasar
labuah nan ramai). Antara bidang eksekutif (rumah gadang), legislatif (balai adat), ekonomi
(pasar/labuah), serta agama (masjid) saling terkait. Empat sarana tersebut menjadi syarat uta
ma bagi terbentuknya sebuah pemerintahan adat.
Sebuah nagari terdiri dari koto, kampuang, dusun, dan teratak. Sebuah nagari dapat
terdiri dari beberapa koto karena perkembangannya. Koto biasanya sebagai pusat pemukiman
dan di situ terdapat balai adat, masjid, lapangan, dan jalan yang agak ramai. Koto adalah temp
at berdirinya masjid nagari, balai adat, dan rumah gadang (soko) setiap suku. Dulu mungkin
ada tanah ulayat suku, tetapi sekarang yang tinggal hanyalah ulayat kuburan suku. Oleh kare
na nagari-nagari di kedua daerah ini terletak di pinggir sungai, biasanya lokasi koto itu terlet
ak di daerah yang lebih tinggi dari lainnya. Barangkali hal ini ada hubungannya dengan pand
angan tradisional yang beranggapan bahwa tempat yang tinggi dipandang lebih suci. Alasan l
ain adalah untuk menghindari bahaya banjir.
Koto dibagi lagi dalam beberapa kampung. Penduduk dalam satu kampung merupaka
n satu kesatuan suku. Pola perkampungan mengelompok menurut suku (klan), kemudian kare
na perkembangan dan mobilitas penduduk, pola perkampungan yang mengelompok ini berub
ah. Pengelompokan ini ada hubungannya dengan sejarah terjadinya sebuah nagari yang dimu
lai dengan pembukaan hutan oleh beberapa keluarga. Proses pertama membangun teratak, ke
mudian berubah menjadi dusun dan kampung serta seterusnya menjadi koto. Akhirnya, koto d
apat berkembang menjadi nagari.
Ladang dan sawah terletak di luar koto. Perladangan dibangun dengan jalan menebang
hutan secara bersama-sama oleh kelompok banjar. Pola seperti ini ada di kedua daerah
tersebut (Rahim A. dkk., 1984/1985). Pada zaman dulu, setiap koto diberi parit atau pagar
yang terbuat dari kayu, bambu, dinding batu, atau tanah liat untuk menjaga keamanan.
Daerah sekitar koto, termasuk dusun, teratak, tanah perladangan/sawah, hutan serta sungai-
sungai yang ada dalam lingkungan nagari adalah tanah ulayat nagari. Semua warga
masyarakat nagari berhak menikmati hasil serta apa saja yang hidup dan ada di atasnya. Bagi
orang luar yang memungut hasil atau mengolah tanah wajib membayar retribusi kepada peng-
hulu. Tanah milik pribadi tidak dikenal, kecuali hak milik terbatas, sedangkan tanah pusaka
merupakan tanah komunal yang hak pakainya turun-temurun. Dalam perkembangannya, ke-
mudian ada tanah yang dibeli, disewakan, atau dipinjamkan. Setelah berlakunya UUPA 1960,
tanah jenis ini dikenal sebagai tanah hak milik bebas.
Pemimpin di bidang agama dalam sebuah kerajaan adalah khadi yang berkedudukan
di ibu kota kerajaan. Ia bertugas dan berwenang melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan
masalah agama, misalnya mengawinkan orang, membacakan doa pada upacara penobatan
raja, serta upacara-upacara kerajaan lainnya seperti pernikahan raja, pernikahan anggota
keluarganya, dan pernikahan pembesar-pembesar istana lainnya. Tugas khadi juga
mengumpulkan semua zakat fitrah masyarakat, termasuk dari anggota keluarga raja. Sebagian
dari dana yang terkumpul digunakan untuk kepentingan agama, seperti membangun masjid di
ibukota kerajaan atau disumbangkan kepada pembangunan masjid-masjid lainnya.
Masyarakat Adat di 3 Lorong

Sistem sapaan di wilayah masyarakat adat Tiga Lorong memiliki kekhasan.


Namun memiliki beberapa varian dan versi dengan wilayah kenegerian Baturijal dan
Permatang Selunak dan Peranap. Berikut ini adalah sistem sapaan Baturijal.

Bentuk sapaan Bahasa Melayu Riau dialek Baturijal dipengaruhi oleh


beberapa faktor, yaitu: adat, agama, jabatan, jenis kelamin, umur, dan faktor status
social. Sapaan yang dipakai oelah masyarakat Baturijal berkembang, bentuk sapaan
itu ada yang berubah. Perubahan itu disebabkan oleh bahasanya, perkembangan
jumlah penduduk serta pembauran antara penduduk asli dengan pendatang. Sapaan
yang digunakan masyarakat Baturijal beragam, hal ini karena pengaruh orang yang
datang dari luar daerah membawa masuk bahasa dan sapaan yang mereka pakai ke
Baturijal.

Kawasan masyarakat adat Tiga Lorong memiliki hukum dan aturan adat
berdiri sendiri. Hukum diatur dan ditetapkan sepanjang adat Hukum Adat ditegakkan
dari dulu hingga sekarang, sebagai contoh: salah berhutang, gawal manyembah,
dibayarsepanjang adat. Dapat dilihat dari hukum dan aturanberikut ini, yakni a) adat
silang sangketo baumah tanggo; b) adat waghefc c) adat nikah kawin; d) adat
mangangkat anak e) adat babuat seghong: f) adat silang sargketorg) hukum sewo-
manyewo dan bapaduo; h) adat sewo adat sewo sampan paghawuj) ddat silih-
manyileh duit; k) adat bapaduo getah dan nio: 1) adat mambagi ghetto dan ceghalmi
adot menegakken umah; n) adat mangodong daghian dan lain sebagainya
DAFTAR PUSTAKA

https://lamriau.id/budaya-melayu-riau-bab-5/

file:///C:/Users/user/Downloads/4751-10316-1-PB.pdf

file:///C:/Users/user/Downloads/266-879-1-PB.pdf

Http://progresivitas-islam.blogspot.com/2011/03/islam-dan-kebudayaan-melayu.htm

https://media.neliti.com/media/publications/98688-ID-budaya-melayu-riau-pada-era-
globalisasi.pdf

https://repository.unimal.ac.id/1476/1/Makalah%20Revitalisasi%20%20Melayu%20PDF.pdf

http://tigalorong.id/

Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (Jakarta: Mizan,

1990), h. 43.

http://ctu551.blogspot.com/2008/04/pengaruh-islam-dalam-kebudayaan-melayu.html

Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, h. 3.

Ismail Hamid, Masyarakat dan Budaya Melayu (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,

1988), h. 59.

Mohd. Koharuddin dan Mohd.Balwi, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, h. 102

Ibid., h. 59 Ibid., h. 176. Ibid., h. 62.

Muhammmad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan kebudayaan Melayu, h. 61.

Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya
Hamzah Fansur (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 68.

Anda mungkin juga menyukai