Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KARYA DAN EKSPRESI BUDAYA MELAYU RIAU


DOSEN PENGAMPU
SRI WAHYUNI WILDAH S.,IP.,MBA

Disusun Oleh :
RIO KURNIA
LILIS SANDRIATI
ADE FITRIA
INDAH TRI CAHYANI EFENDI
RESI TIARA SIHOMBING
NATAL MANIHURUK

UNIVERSITAS RIAU
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ KARYA
DAN EKSPRESI BUDAYA MELAYU RIAU” ini tepat pada waktunya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Pekanbaru, 8 September 2021

Penulis

DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi yang penting dan sudah melekat pada
setiap diri manusia. Manusia menggunakan bahasa untuk berinteraksi sesamanya,
dan juga untuk menyampaikan pendapat serta perasaannya melalui bahasa. Jadi,
selama manusia hidup tidak akan lepas dari bahasa. Keraf (1993) mengemukakan
pendapatnya tentang fungsi-fungsi bahasa sebagai berikut:
1. untuk menyatakan ekspresi diri.
2. sebagai alat komunikasi.
3. sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial dan
4. alat untuk mengadakan kontrol sosial.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa tidak
akan pernah lepas dari kehidupan manusia selama manusia hidup di dunia ini,
bahasa akan terus melekat karena bahasa merupakan identitas diri. Bahasa
memiliki keunikan dan kreatifitas tersendiri di setiap daerah, sehingga
terbentuknya inovasi. Dengan adanya perbedaan atau variasi dan juga kekreatifan
bahasa dalam setiap daerah, maka terciptalah inovasi. Menurut Kridalaksana
(1993) inovasi merupakan perubahan bunyi, bentuk, atau makna yang
mengakibatkan terciptanya bahasa baru. Pei (1996) juga berpendapat bahwa
Inovasi adalah perubahan bunyi, bentuk kata, atau arti yang bermula dari lokasi
geografis tertentu dan menyebar ke wilayah sekitarnya. Sedangkan Leksikal
merupakan pembendaharaan kata yang dimiliki oleh bahasa.
Di Indonesia terdapat berbagai macam suku bangsa dan daerah, hamper
disetiap daerah memiliki beragam bahasa. Keragaman atau variasi bahasa ini tentu
saja terjadi karena ada penyebabnya dan berkaitan dengan perubahan bahasa.
Perubahan bahasa ini dapat dilihat pada unsur tertentu yang terdapat pada variasi
sosial dan variasi geografis. Di samping itu, ragam dialek yang terjadi antardaerah
juga berpengaruh terhadap ragam bahasa.

B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Bahasa dan Dialek


Bahasa merupakan alat komunikasi yang penting dan sudah melekat pada
setiap diri manusia. Manusia menggunakan bahasa untuk berinteraksi sesamanya,
dan juga untuk menyampaikan pendapat serta perasaannya melalui bahasa. Jadi,
selama manusia hidup tidak akan lepas dari bahasa. Keraf (1993) mengemukakan
pendapatnya tentang fungsi-fungsi bahasa sebagai berikut:
1. untuk menyatakan ekspresi diri.
2. sebagai alat komunikasi.
3. sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial dan
4. alat untuk mengadakan kontrol sosial.
Dalam buku Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya (2007) karya Tedi
Sutardi, secara etimologi, istilah dialek berasal dari kata dialektis dalam bahasa
Yunani. Dalam bahasa Indonesia adalah logat. Kata serapan logat pun bersumber
dari bahasa Arab, yaitu lughah yang artinya denotasi bahasa. Dialek adalah logat
bahasa, perlambangan dan pengkhususan dari bahasa induk. Selain itu, dialek
merupakan sistem kebahasaan yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk
membedakan dari masyarakat lain.
Sejak jaman Kerajaan Sriwijaya, Bahasa Melayu sudah menjadi bahasa
internasional Lingua franca di kepulauan Nusantara. Awalnya, pusat kebudayaan
melayu berada di Malaka. Kemudian pindah ke Johor, dan akhirnya pindah ke
Riau. Sejak itulah Riau menjadi pusat kebudayaan Melayu. Bahasa melayu jaman
Malaka dikenal dengan Melayu Malaka, pada jaman Johor dikenal dengan bahasa
melayu Johor. Sedangkan bahasa melayu jaman Riau dikenal dengan bahasa
melayu Riau. Puncak kejayaan perkembangan bahasa dan sastra melayu ada pada
masa pemerintahan Raja Ali Haji yang berasal dari kerajaan Riau-Lingga di Pulau
Penyengat. Bahasa melayu Riau sendiri memiliki beraneka ragam dialek,
tergantung pada daerah masing-masing.
1. Riau Pesisir
Riau pesisir atau Riau bagian hilir memiliki dialek yang hampir sama dengan
bahasa melayu Riau Kepulauan dan semenanjung melayu (Malaysia dan
Singapura). Dengan logat dan dialek kata-katanya yang berakhiran ‘a’ berubah
menjadi ‘e’ lemah. Contoh: “Mau pergi kemana” menjadi “Nak pegi kemane”.
Penggunaan dialek ini bisa kita temui di daerah Bengkalis dan Kepulauan
Meranti. Namun di beberapa wilayah di Bengkalis, terutama daerah pasar,
terdapat perbedaan dialek melayu Bengkalis. Jika sebelumnya kata-katanya yang
berakhiran ‘a’ berubah menjadi ‘e’ lemah, sekarang ‘e’ lemah tadi berubah
menjadi ‘o’. Contoh: Saya – disebut saye disebut juga sayo
Apa disebut Ape disebut juga apo
Berapa disebut Berape disebut juga berapo
Bunga – Bunge disebut juga bungo
2. Rokan Hilir
Rokan Hilir bahasa melayunya hampir sama dengan Bengkalis, selain
menggunakan akhiran ‘e’ lemah, juga menggunakan akhiran ‘o’.
Contoh:
Orang – Uyang
Tidak hendak – Tak ondak
Berlayar – Belaya
Beli – Boli
Jemur – Jemor
Rumah – Umah
Cukup – Cukuik
Lihat – Tengok
Esok – Isok
Bahasa melayu Rokan Hilir dipengaruhi oleh bahasa melayu Riau pedalaman
dan juga dipengaruhi sedikit oleh bahasa melayu Deli, batak dan pesisir timur.
3. Siak
Bahasa melayu di Siak juga mirip dengan bahasa melayu Bengkalis. Dialeknya
juga berakhiran ‘e’ lemah dan berakhiran ‘o’. Salah satu yang membedakan dari
bahasa melayu lainnya, di Siak kita bisa menyebut kamu dengan “miko”.
Contoh: “Kamu mau pergi kemana” menjadi “miko nak pegi kemano”.
4. Dumai
Bahasa melayu di Dumai sendiri mirip dengan bahasa melayu kepulauan. Sama
seperti bahasa melayu Siak, terdapat perbedaan dalam menyebut kamu. Di Dumai
kamu disebut “mike”.
Contoh: “Kamu mau pergi kemana” menjadi “mike nak pegi kemane”.
5. Pelalawan
Bahasa melayu yang ada di Pelalawan ini lebih mirip dengan bahasa melayu
Kampar (Ocu). Selain itu tradisi di Pelalawan juga turut dipengaruhi oleh tradisi
dan budaya dari Kampar. Bahasa melayu Pelalawan menggunakan akhiran ‘o’.
6. Indragiri Hulu
Logat dan dialek bahasa melayu yang digunakan mirip dengan Semenanjung
Melayu, adapun contoh penggunaan bahasa melayu disini sebagai berikut:
Saya – saye – awak
kecil – kecik – kocik
kedai – kedai – kodai
Indragiri Hilir
Bahasa melayu di Indragiri Hilir merupakan percampuran dari komunitas
banjar dengan melayu pesisir dan kepulauan, terutama di Tembilahan. Sedangkan
jika kita pergi ke daerah pesisir, bahasa melayu yang dipakai adalah standar
bahasa melayu Riau.

7. Pekanbaru
Bahasa asli Pekanbaru merupakan bahasa melayu Siak, karena Pekanbaru
dulunya sempat dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Siak. Selain bahasa
melayu Pekanbaru, juga terdapat bahasa melayu Kampar (Ocu).
Perkembangannya saat ini, bahasa Pekanbaru banyak dipengaruhi para pendatang.
Contoh bahasa melayu Pekanbaru:
“Kamu mau pergi kemana” menjadi “Awak tuh nak pegi kemane?” atau “Awak
nak pegi kemano?”
Saat ini sudah jarang mendengar bahasa melayu di Pekanbaru, kecuali di
kantor pemerintahan ataupun di tepian Sungai Siak.

8. Riau Pedalaman

Bahasa melayu Riau pedalaman ini merupakan bahasa asli melayu Sumatera
yang mirip dengan dialek minangkabau. Bahasa melayu Riau pedalaman ini dapat
kita jumpai di Kampar, Rokan Hulu dan Kuantan Singingi.Kedekatan wilayah
menjadikan dengan minangkabau turut serta mempengaruhi kebudayaan di tiga
daerah ini. Namun sesungguhnya, bahasa melayu di Riau pedalaman ini sangat
berbeda dengan minangkabau.

9. Kampar

Bahasa melayu Kampar lebih dikenal dengan bahasa Ocu. Kebudayaan suku Ocu
lebih kepada budaya hindu bukan minangkabau, terutama di daerah Muara Takus.
Di daerah inilah awal mula Kerajaan Sriwijaya. Bahasa Ocu dalam kosa katanya
memiliki banyak kemiripan dengan bahasa minangkabau, namun dalam vokal dan
dialeknya sangat kental dengan melayu. Hal ini lah yang menjadikan bahasa Ocu
sangat khas. Contoh :

 saya – awak – deyen


 anda – kau
 pergi – poyi
 pekan – pokan
 kecil – kocik
 kedai – kodai
 abang – Ochu
 air – ayu
 helikopter – helikopitiu
10. Kuantan
Bahasa melayu di Kuantan lebih dikenal dengan bahasa Kuantan. Dialek dan
logatnya sedikit mirip dengan bahasa Ocu. Namun juga mirip dengan bahasa
minangkabau. Di beberapa daerah Kuantan yang berbatasan dengan daerah
Indragiri juga ada percampuran bahasa Kuantan dan bahasa melayu Indragiri.

Melayu Ocu Kuantan Minangkabau

Parit Bondau Bondar Banda

11. Rokan Hulu

Bahasa melayu Rokan Hulu itu merupakan percampuran dari 3 bahasa, antara
Mandailing, Melayu, dan Minangkabau. Contoh: “Kamu mau pergi kemana”
menjadi “Awak Nak Poii Ka Mano?” atau “Kau Nak Poii Ka Mano”.

B. Adab Berbahasa
Dalam bertutur dan berkata,banyak dijumpai nasehat dan petuah karena
kata-kata sangat berpengaruh dalam keselarasan pergaulan. Dalam budaya
melayu, kesantunan berkait-kelidan dengan persoalan aib/malu,adab dan
adat.Ketidaksantunan sama dengan membuka aib,tidak beradab dan melanggar
adat.Oleh karena itu,kesantunan dianggap sebagai salah satu pertaruhan hidup
orang melayu sejati.
Menurut Raja Ali Haji,agar dapat mencapai tingkat berbahasa yang
beradab dan sopan itu, orang memerlukan ilmu wa al-kalam(pengetahuan dan
Bahasa/percakapan) yang diperoleh melalui kehendak yang kuat dan kegiatan-
kegiatan mengulang-ulang,menghafal,berbincang untuk mengingat-ingat dan
menelaah/meneliti kembali.
Bahasa yang beradab,sopan dan santun itu dengan demikian adalah
kegiatan yang mengurus dari akal budi(pikiran dan hati) ke lidah. Dengan
demikian,bahasa dalam adat dan budaya melayu memiliki fungsi yang utuh,yaitu
sebagai:
 Alat komunikasi: menyampaikan/menerima pesan/pernyataan pikiran dan
perasaan.
 Penanda jati diri: menunjukkan siapa dan dari mana orang tersebut
 Cermin budi: memantulkan gambaran pribadi seseorang sebagai makhluk
sosial
Fungsi penanda jati diri dan cermin budi menegaskan kaitan erat antara
bahasa dengan etika dan etiket dalam adat dan budaya melayu,dari bagaimana
berbahsanya orang dapat menentuka dimana posisi penutur bahasa tersebut dalam
ranah etika dan adab.
Tindakan berbahasa yang santun itu sekurang-kurangnya mencakup
kemampuan memilih kata(ketepatan bahasa dengan pikiran dan perasaan yang
hendak dikemukakan) dan kearifan merangkai kata.

Adat dan adab melayu membedakan pemakaian bahasa dalam empat


kelompok, yaitu :
1) Bahasa mendaki, dalam bahasa melayu dikenal ada kata mendaki yang
merupakan adat dan tradisi yang turun-temurun di bumi melayu. Kata
mendaki ini merupakan cara berbahasa yang digunakan oleh orang muda
terhadap orang yang lebih tua atau orang yang lebih rendah kedudukannya
terhadap orang yang lebih tinggi kedudukannya. Dalam kehidupan sehari-hari
kata mendaki ini digunakan untuk anak kepada orang tua,kemenakan kepada
paman,yang muda kepada yang tua,serta kepada orang-orang yang dihormati.
2) Bahasa mendatar, ini merupakan cara berbahasa yang digunakan antar sesama
sebaya atau yang berkedudukan setara.Dalam hal ini kitab oleh memakai
dengan bebas penggunaan kata-kata,gaya,kiasan,sindiran atau kritikan yang
sesuai dengan ruang,waktu dan medan komunikasi.
3) Bahasa menurun, ini merupakan cara berbahasa yang digunakan orang yang
lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya terhadap yang lebih muda atau lebih
rendah kedudukannya.seperti terhadap adik,anak serta orang yang
berkedudukan sosial lebih rendah dari kita.Kata-kata yang dipakai memberi
petunjuk,ajaran,pedoman dan berbagai pesan mengenai kehidupan yang mulia
atau bermatabat.Terhadap yang lebih rendah kedudukan sosialnya barangkali
diberi gugahan,agar menjunjung tinggi kejujuran,kerja keras serta memegang
amanah dengan teguh,shingga dia dapat meningkatkan taraf dan kualitas
hidupnya.
4) Bahasa melereng, kata melereng dalam bahasa melayu riau digunakan saat
berbicara dengan orang semenda(pertalian keluarga karena
perkawinan),caranya tidak boleh begitu saja. Terhadap orang semenda dalam
masyarakat adat,disamping dipanggil dengan gelar juga dipakai bahasa
berkias atau kata perlambangan,gunanya untuk menjaga perasan dalam
rangka menghormati orang semenda tersebut.
Keempat kelompok pemakaian bahasa tersebut sejajar dengan sikap afektif
melayu terhadap sesamanya.Tindakan kebahasaan yang santun dan bermarwah
ialah berbahasa yang mengedepankan adab,sesuai dengan nilai-nilai asas adat
budaya melayu serta norma-norma sosial.

Anda mungkin juga menyukai