Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sesuatu yang hanya dikatakan dan tidak ditulis akan menguap seiring bergulirnya
waktu. Baik yang hanya diucapkan maupun yang ditulis, kesemuanya akan menjadi
sejarah. Satu di antaranya akan menjadi menjadi rujukan atau barangkali wisdom dan
yang lain (mungkin saja) akan terlupakan.
Demikian halnya sejarah Melayu Jambi. Walaupun beberapa sumber menyebutkan
telah ada Kerajaan Melayu Jambi sekitar abad 7 hingga 14 M, keberadaannya masih
menyisakan banyak pertanyaan. Semacam misteri yang belum terpecahkan.
Budaya Melayu Jambi lebih dekat kepada budaya bertutur. Budaya lisan. Ini
diperkuat dengan sangat sedikit sekali peninggalan, tradisi serta dokumen masa lalu yang
berwujud dalam bentuk arsip tertulis. Menariknya, naskah tertua justeru adalah naskah
Melayu yang ditemukan di Tanjung Tanah, sebagai potongan sejarah Melayu Jambi.
Banyak sekali kearifan lokal yang terkandung dalam kebudayaan Melayu Jambi di
masa lalu. Kearifan dan budaya tersebut bisa lestari dan diwariskan jika kemudian
dienventarisasi dan ditulis.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana sejarah seberang kota Jambi?
1.2.2 Bagaimana kebudayaan melayu di Seberang Kota Jambi?
1.2.3 Bagaimana kebudayaan melayu kuno Jambi?
1.2.4 Bagaimana seloko melayu Jambi?

1
1.3 Tujuan

1.3.1 Mengetahui sejarah seberang kota Jambi

1.3.2 Mengetahui kebudayaan melayu di Seberang Kota Jambi

1.3.3 Mengetahui kebudayaan melayu kuno Jambi

1.3.4 Mengetahui seloko melayu Jambi

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Seberang Kota Jambi

Jambi Kota Seberang merupakan salah satu kampung tertua di Jambi yang
terletak di Kecamatan Pelayangan, dan Kecamatan Danau Teluk. Lokasinya tak jauh dari
Kota Jambi, hanya dibatasi oleh sungai terpanjang di Sumatera, sungai Batanghari.
Meski dikenal juga sebagai kampung santri, Jambi Kota Seberang merupakan gambaran
perpaduan tiga budaya, yakni Tionghoa, Arab dan Melayu. Perpaduan ini adalah cikal
bakal berkembangnya budaya Arab Melayu yang menunjukkan kearifan lokal.

Seberang Kota Jambi atau Sekoja adalah bagian utara Kota jambi yang
dipisahkan oleh sungai Batanghari. Walaupun hanya berjarak beberapa ratus meter dari
pusat Kota, namun Sekoja jauh tertinggal dibandingkan dengan bagian Kota Jambi yang
lain. Tidak ada gedung tinggi, apalagi mall, yang ada hanyalah rumah-rumah panggung
khas Jambi.

Seberang Kota Jambi adalah wajah Kota Jambi sebenarnya, tempat warga asli
melayu jambi tinggal beserta adat istiadatnya, serta tempat peninggalan benda bersejarah
yang masih bertahan dan terjaga baik dari gerusan zaman. Sekoja bersebelahan dengan
pusat kota Jambi, namun untuk menuju kesana harus melintasi sungai Batanghari dahulu.
Anda dapat menggunakan Getek (atau Ketek) ataupun perahu wisata tradisional Jambi
yaitu “Kajang Lako”.

Perjalanan dengan perahu dari Pusat Kota menuju Sekoja hanya membutuhkan
waktu 10-15 menit, dengan biaya 2000-5000 saja. Selain dapat ditempuh dengan jalur
air, bisa juga ditempuh dengan menggunakan jalur darat namun memakan waktu yang
lebih lama yaitu sekitar 20-40 menit. Kita harus berkendara ke Barat dahulu untuk
melintasi Jembatan Aurduri (Batanghari I), baru kemudian memutar balik ke arah
Sekoja. Kita juga bisa melalui Jembatan batanghari II di sebelah timur, namun memakan
waktu yang cukup lama.

Begitu sampai di Sekoja, anda tidak akan merasa di dalam kota, namun terasa
berada di tengah perkampungan tradisional. Sekoja memang seperti kampung di tengah

3
Kota. Jika anda ingin melihat masyarakat Melayu Jambi disinilah tempatnya, disini
mereka masih menjaga tradisi secara turun temurun. Mulai dari rumah yang mereka
tempati yang sebagian besar masih berupa rumah panggung khas Jambi. Arsitektur
rumah tradisional di Sekoja adalah perpaduan antara budaya Melayu, Tionghoa, dan
Arab, karena ketiga budaya inilah yang memang sejak awal membentuk kawasan Sekoja
menjadi seperti adanya sekarang.

Banyak orang bilang, Rumah Batu dulunya adalah istana. Dari bangunan ini
sangat nampak sekali perpaduan dari Melayu, Cina dan Arab. Namun sayangnya kondisi
Rumah Batu ini sudah sangat memprihatinkan. Dinding-dindingnya sudah ditumbuhi
lumut, tumbuh-tumbuan pakis, dan rerumputan. Papan pintu pun sudah terlihat lapuk dan
berlubang. Sementara, daun-daun kering berserakan di halaman. Rumah yang sebenarnya
megah dan cantik ini malah terkesan angker dan menyeramkan. Sebagian besar yang
datang kemari hanya untuk ber foto Pre-wedding saja.

Pada masa penjajahan, rumah itu bisa dibilang yang termegah. Pemiliknya
mengundang seniman China untuk membentuk sejumlah ornamen naga dan ukiran
barongsai di dinding rumahnya. Si seniman juga membaurkan gaya China dengan
Melayu.

Menyusuri kawasan Sekoja akan mudah didapati warga keturunan China dan
Arab. Namun, sehari-harinya mereka telah berdialek Melayu. Menurut Sekretaris Badan
Musyawarah Melayu Kota Seberang Jambi Edi Sunarto, budaya China diwarisi
masyarakat setempat lewat tradisi bertani. Pada masa lalu, banyak petani China datang
untuk mengolah tanah milik orang Melayu. Perempuan petani menggunakan tengkuluk
yang diyakini sebagai warisan petani dataran China.

Sementara pengaruh Arab yang kuat menjadikan kawasan itu tumbuh sebagai
kota santri. Selama masa itu, anak-anak keturunan Arab dididik agama secara kuat.
Mereka berbaur dengan masyarakat Melayu dan pendatang asal China. Penyebaran
agama dipermudah dengan perkawinan dan adopsi anak. ”Pasangan Melayu yang belum
dikaruniai anak kerap mengadopsi anak-anak keturunan Tionghoa,” ucapnya.

4
Kampung Arab Melayu bisa dibilang sebagai pusat perbauran pendatang Arab
dengan Melayu. Sementara Kampung Tengah merupakan komunitas Arab yang kawin
dengan keturunan China. Komune ini terus berkembang hingga terbentuk kampung-
kampung lain di sekitarnya sebagai hasil akulturasi damai.

2.2 Kebudayaan Melayu Seberang Kota Jambi

1. Keutamasn ltari Jumat

Menurut pandangan masyarakat Jambi Seberang tempo dulu, hari jumat


adalah penghulu dari sekalian hari dan hari raya bagi kaum mu s limin. Oleh sebab
itu, semua pekerj aan yang baik seb aiknya dilaksanakanpada hari Jumat seperti:
memotong kuku, mencukur rambut, memakai pakaian baru, bersedekah. Mendapatkan
angkaangka ganjil dianggap anggap kebaikan. Hal ini tergambar dari seorang ibu
bernama Asiah; ia memberi nasi gemuk dan daging ayam kepada santri madrasah
Sa'adatuddaraini bernama Muhammad Jais dan teman-teman pada hari Jumat (12
Agustus 2002). Saat ini, tradisi tersebut sudah berangsur-angsur menghilang
dipraktekkan terutama di kalangan generasi muda. Bagi masyarakat dan generasi
muda saat ini, memotong kuku, bersedekah, memotong rambut, danmemakai
pakaianbaru tidakmesti harus dilakukanhanya pada hari Jumat. Bagi mereka, kebaikan
apapun bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja.

2. Ziurah Kubur

Seperti telah dijelaskan pada bagian terdahulu, bahwa masyarakat Jambi


Seberang melaksanakan ziarah kubur pada Jumat pagi menjelang puasa Ramadhan
dan hari kedua Idul Fitri, dengan membaca surah Yasin, Tahlil dan Do'a. Akan tetapi,
saat ini tradisi ini tidak lagi dilakukan dalam dua waktu tersebut. Ziarahpada era
sekarang dilakukan pada hari raya kedua, itupun tidak diikuti oleh b anyak orang seb
agaiman a p ada zaman d ahulu. Ziar ah ters ebut s aat ini hanya hanya dilakukan oleh
segelintir orang saja. Ini disebabkan adanya perubahan paham yang terjadi di tengah
masyarakat dan generasi muda dimana menurut seorang responden bernama A. Roni
Ismail dan teman-temannya, bahwa membaca Yasin, Tahlil dan do'a untuk arwah

5
orang yang telah meninggal itu tidak harus dilakukan di kuburan, tetapi bisa saja
dilakukan di rumah danziarahkubur itu dapat dilakukan kapan saja, tidak harus pada
bulan Ramadhan dan Idul Fitri.

3. Peringatun Nisfu Sya'ban

Dewasa ini, perayaan Nisfu Sya'ban sudah tidak semeriah dahulu lagi dan
hanya dilaksanakan oleh para orang tua dan para santri saja. Masyarakat pada
umumnya jarang yang mengikuti acara tersebut. M. Syaf i mengatakan bahwa
sekarang masyarakat sudah mulai rasional melihat tradisi-tradisi yang mereka
laksanakan termasuk juga dalam memperingati Nisfu Sya'ban. Masyarakat
menganggap umur manusia sudah ditetapkan Tuhan dan datangnya rezeki tergantung
pada usaha yang dilakukan manusia.

4. Upacara Nuak

Dahulu, hampir seluruh keluarga di Jambi Seberang melaksanakan upacara


Nuak (acara tujuh bulan kehamilan). Akan tetapi, saat ini, upacara ini sudah betul-
betul hilang. Menurut seorang ibu muda, pada saat ini, masyarakat Jambi Seberang
beranggapan bahwa tidak perlu memberitahukan tentang kehamilan seorang ibu
kepada masyarakat luas melalui upacara Nuak, sebab masyarakat akhirnya juga akan
tahu dengan sendirinya kehamilan wanita tersebut.

5. Upacara Nyukur Bayi

Upacaru nyukur bayi biasanya dilaksanakan pada saat bayi berusia 7 hari.
Sekarang, umur 7 (tujuh) hari tersebut tidak lagi menjadi patokan karena terkait
dengan persoalan kesiapan finansial. Acara yang dilakukan dalam kegiatan nyukur
tersebut juga tidak sama dengan zaman dahulu. Pembacaan berzanjr tidak lagi dibaca
secara utuh (tamat), akan tetapi diringkas. Menurut masyarakat Jambi Seberang
pembacaan berzanji adalah sunat hukumnya. Yang pentin, menurut mereka, barzanjr
tersebut dibaca meskipun tidak seluruhnya.

6. Bardah

Membaca burdah dilakukan apabila masyarakat mengalami


persoalan/musibah, bencana alam, dan jika ada hal-hal aneh yang menimpa penduduk.
Sejalan dengan perkembangan pendidikan yang diperoleh oleh masyarakat Jambi

6
Seberang, saat ini, mereka telah lebih rasional dalam memandang dan memecahkan
sebuah persoalan yang terjadi. Dahulu, datangnya kemarau atau banjir dianggap
sebagai kemarahan Tirhan atas perbuatan manusia, tetapi sekarang ini, mereka telah
memahami bahwa adanya peristiwa asap dan banjir lebih disebabkan oleh
pembabatan dan pembakaran hutan yang semena-mena dilakukan manusia sehingga
terjadilah musibah tersebut. Jika ingin musibah seperti itu tidak terjadi maka kegiatan
pembabatan dan pembakaran hutan yang harus dihindarkan.

7. Upacara Syuro

Dahulu dalam menyambut tahun baru hijriyah, masyarakat Jambi Seberang


melaksanakan ibadah puasa sunat dan membuat bubur ayam yang kemudian bubur
tersebut diberikan kepada fakir miskin dan anak yatim. Akan tetapi pada saat ini,
perayaan Syuro ini agak bergeser maknanya walaupun tetap dilaksanakan. Muatan
pesan yang dibawanya mengalami perubahan dimana pemberian sedekah bubur ayam
kepada anak yatim dan fakir miskin sudah jarang ditemukan I agi. S eb aliknya, p er
ay aan dan p enyambut an tahun baru hijriyah ini isi dengan kegiatan ceramah agama
dan juga pawai keliling kota yang dilakukan pada malam hari, tidak ada lagi tradisi
pemberian bubur ayam sebagimana yang terjadi sebelumnya.

2.3 Tradisi Lisan Melayu Kuno

Jambi sebagai salah satu kelompok subetnis Melayu di Nusantara, memiliki


khazanah sastra yang cukup banyak, yang disebut dengan sastra Melayu Jambi. Maizar
karim mengatakan Pada umumnya sastra Melayu Jambi yang sampai kepada kita berasal
dari periode datangnya Islam, yaitu akhir abad ke-13—16. Walaupun demikian, tidak
jarang sastra itu mencerminkan juga bentuk-bentuk folklore Melayu Jambi dan nilai-nilai
seni dari zaman Hindu-Budha, yaitu abad-abad pertama sampai dengan pertengahan abad
ke-14 M. Teks-teks sastra tersebut merupakan sumber yang dapat menambah wawasan
dan pemahaman atas sebagian warisan budaya nenek moyang. Ia memiliki nilai yang
sangat tinggi, yang di dalamnya terkandung alam pikiran, perasaan, adat-istiadat,
kepercayaan, dan sistem nilai masyarakat Melayu Jambi masa lampau.

Dari beberapa pemahaman tersebut, dapat kita pahami bahwa jambi sangat kaya
dengan budaya yang berbentuk tradisi lisan yang berkembng di tengah masyarkat hingga

7
saat sekarang. dan sastra yag berbentuk tradisi lisan ini memiliki khas dan keagungan
tersendiri bagi msyarakat jambi itu sendiri.karya cipta masyarakat ini tidak hanya
menggambarkan permukaan. tapi, juga menggambarkan perasaan di dalam jiwa
masyarakat.yang memiliki nilai hubungan antara manusia dengan sang pencipta, manusia
dengan alam, manusia dengan manusia,dan manusia dengan dirinya sendiri.

Sehingga dengan adanya upaya penjagaan,regenerasi, penurunan, dan upaya


melestarikan tradisi lisan ini akan menambah kekayaan budaya bangsa serta menjadi
khasanah nusantara khususnya jambi itu sendiri. karna Jambi akan di kenal oleh
masyarakat luar melalui budaya yang unik dan di jaga serta menjadi bagian bagi
masyarakat jambi.

Azhar.MJ salah satu budayawan jambi dalam tulisannya mengatakan bahwa


Jambi memiliki empat belas macam atau bentuk tradisi lisan sebagai sumber inspirasi
perkembangan teater pada zaman sekarang, empat belas macam bentuk tutur tersebut
adalah :

1. Kunun.

Kesenian ini dilakukan oleh orang tua-tua pada zaman dulu adalah sebagai
pengantar sebelum tidur dengan cara berdongeng dengan menyajikan cerita - cerita
rakyat atau legenda. Kunun artinya konon dilakukan oleh satu orang penutur sambil
ber baring-bering atau duduk pada saat sebelum tidur, kesenian ini disukai oleh anak-
anak.

2. Keba

Keba artinya berkabar atau menyampaikan berita cara orang tua-tua kita
dahulu menyampaikan berita dengan cara bertutur yang disebut keba. kesenian ini
dilakukan siang atau malam hari pada waktu acara-acara tertentu seperti acata pesta
pengantin, cukuran dan pesta lainnya, atau ditempat-tempat lain yang tengah
melaksanakan keramaian. kesenian ini dilakukan oleh satu orang penutur
menyampaikan cerita sambil bernyanyi sedangkan alat pengiring keba tersebut
menggunakan kaleng kosong yang juga berfungsi sebagai ruang resonansi suara atau
vokal penutur.

3. Jugi

8
Jugi adalah kesenian tutur yang menyajikan cerita-cerita tentang pertempuran
atau peperangan tempo dulu yang menampilkan tokoh-tokoh seperti Jugi, Bujang
Bulan Singarincing, Malin Kusimbo dan lain-lain, peperangan yang dilakukan
biasanya merebut kekuasaan. Kesenian ini dilakukan oleh satu orang pelaku juga
memiliki irama lagu yang dilantunkan oleh penutur tersebut.

4. Injik Skiling

Injik Skiling seni tutur yang menampilkan cerita tentang legenda kerajaan,
kesenian ini dilakukan oleh satu orang penutur dengan melapis kostum sebanyak
kostum tokoh yang akan di tampilkan dalam cerita tersebut. peran tersebut dilakukan
sendiri oleh penutur sambil bernyanyi.

5. Rendi.

Rendi artinya bersedih hati, ungkapan ini dilakukan dengan cara bernyanyi
yang mana nyanyian tersebut menyampaikan cerita tentang kesedihan nasib, putus
cinta, ditinggal pergi oleh seseorang, kekasih diambil orang, dan kesensaraan dalam
menjalani kehidupan.

6. Tale

Tale jiga termasuk kesenian tutur kesenian ini dilakukan oleh banyak orang
baik tale yang di sawah maupun tale pelepasan Haji. tale dilakukan dengan nyanyian
dengan syair atau pantun.

7. Iwa

Iwa juga salah satu cara orang tua-tua dahulu, menyampaikan berita, atau
berkabar tetapi tidak sama dengan keba. kesenian ini juga dilakukan oleh satu orang
penutur yang menggunakan kenong (canang) sebagai alat musik pengiring tetapi tidak
bernyanyi melainkan mengucapkan petatah-petitih pembuka maupun penutup
sedangkan isi cerita adalah hasil keputusan musyawarah Depati Ninik Mamak Cerdik
Pandai Alim Ulama dalam negri. acara Iwa dilakukan pada malam hari sambil jalan
kaki keliling kampung.

8. Pantau (mantau)

9
Kesenian ini juga seperti Keba tetapi memiliki pola irama lagu yang berbeda,
sedangkan cerita yang disampaikan hampir memiliki kesamaan yakni menyampaikan
berita, kesenian ini dilakukan oleh satu orang penutur tetapi diperlukan pemusik
sebagai pengiring, seperti gendang, kelintang, gong dan piul.

9. Krinok

Krinok artinya Cengkok lagu dinyanyikan mengutamakan cengkok-cengkok


sebagai pakem lagu tersebut. kesenian ini dilakukan oleh satu orang penutur dan
diiringi oleh musik pengiring sama seperti Pantau (mantau) sedangkan yang
membedakan adalah cerita yang disampaikan pada krinok adalah mengungkapkan
isihati diri sendiri. sedangkan pantau menceritakan kejadian orang lain.

10. Doak

Pola doak sama dengan pantau dan krinok tetapi berbeda pada nyanyian atau
iramanya, krinok ada pada minor sedangkan doak ada pada nada mayor. musik
pengiringnya adalah sama-sama menggunakan alat musik tradisional melayu jambi
tersebut, penutur satu orang sedangkan cerita yang disampaikan adalah nasehat-
nasehat.

11. Dideng

Dideng adalah sebuah seni tutur yang menyampaikan cerita legenda pada
sebuah kerajaan, dengan kisah cinta antara Dideng dengan Dayang Ayu yang tidak
direstui. kesenian ini dilakukan sambil bernyanyi tanpa iringan musik.

12. Dadung

Dadung juga seni tutur tetapi kesenian ini lebih erat dengan agama islam,
petatah petitih atau pantun yang dinyanyikan adalah ajaran islam. instrumen pengiring
adalah gendang Melayu, gambus, piul, dan gong.

13. Senjang
kesenian tutur ini dilakukan oleh dua orang penutur sambil berbalas pantun
menyajikan pantun-pantun jenaka sehingga terkesan lucu, lagu yang ditampilkan
diiringi oleh piul tetapi pada saat lagu berhenti gendang, kromong, gong dan peralatan
lain bermain sebagai interlude.

10
14. Senandung Jolo

senandung jolo hampir sama dengan pola senjang tetapi berbeda lagu dan cara
iringannya, senandung jolo juga dinyanyikan oleh dua orang penutur, sedangkan
musik pengiring lebih mengutamakan kelintang kayu , gendang dan gong.

2.4 Seloko Melayu Jambi

Suku bangsa Melayu atau masyarakat Melayu Jambi dalam kehidupannya


memiliki tradisi berseloko. Berseloko dilaksanakan pada pertemuan-pertemuan adat,
pelaksanaan upacara daur hidup ( seperti upacara perkawinan) dan sebagainya.

Kata seloko (dalam dialek Jambi) identik dengan kata seloka dalam bahasa
Indonesia. Menurut Djamil Bakar (1981), dalam teori sastra seloko dikenal sebagai salah
satu bentuk sastra lisan, yaitu suatu bentuk kebudayaan daerah yang diwariskan secara
turun temurun. Bentuk satra lisan tersebut berkaitan erat dengan tradisi suatu masyarakat.
Salah satu hubungannya adalah berupa ditampilkannya sastra lisan itu dalam upacara
atau acara-acara tradisional masyarakat yang bersangkutan. Hubungan lain ialah bahwa
sastra lisan itu juga bersumber dan sekaligus mengandung adat dan kebiasaan, tingkah
laku dan kepercayaan masyarakat pemakainya. Lebih lanjut Tabran Kahar (1986)
mengemukakan, melalui ungkapan tradisional atau seloko dapat diketahui latar belakang
kehidupan sosial budaya masyarakatnya, karena ungkapan tradisional itu juga
menggambarkan segala aspek kehidupan masyarakat. Junaidi T. Noor (2013) lebih
spesifik mengemukakan, seloko bagi orang Melayu (termasuk Jambi) memiliki makna
yang dalam, makna yang jauh lebih penting dari hanya sebagai sebuah “keistimewaan”
semata. Seloko :

a. mengandung pesan atau nasihat yang bernilai etik dan moral


b. sebagai alat kontrol sosial-kemasyarakatan, bahkan politik serta penjaga
keserasian dengan alam
c. sebagai pandangan hidup (weltanschauung, way of life)
d. dan sebagai tuntunan hidup.

Dalam pembacaan seloko, penyeloko biasanya menggunakan pantun atau


sejenisnya yang diiringi dengan rima dan metrum yang mantap sehingga tidak jarang

11
menarik perhatian bagi sebagian orang yang mendengarkan. Namun demikian, tidak
semua orang bisa memahami maksud seloko tersebut karena dalam pemilihan diksi
cendrung manggunakan majas perbandingan atau perumpamaan (Mislan, 2012). Hal
senada juga dikemukakan oleh H. Junaidi T. Noor (2013), seloko bagi masyarakat Ras
Melayu sudah tidak asing lagi. Seloko merupakan tradisi lisan yang terwariskan dari
kakek ke bapak, dari bapak ke bisa ke aku atau yang lain atau bisa terhenti atau tersamar
karena jarang didengar, jarang diungkapkan diruang publik atau antar lingkungan
keluarga. Masyarakat awam hanya dapat mendengar seloko dalam upacara adat terutama
dalam prosesi adat perkawinan. Dalam acara itu mulai dari runutan prosesi perkawinan
sampai pengantaran ke pelaminan ada dilantunkan seloko itu. Itu pun berlaku dan
didengar pada upacara adat penuh.

Sejatinya memang agak susah menangkap makna yang terkadung dalam seloko
sebagaimana telah disebutkan di atas, tetapi kata orang tua-tua untuk dapat memahami
makna yang terkandung dalam seloko dapat dilakukan dengan cara :

a. Mempelajari kebudayaan Melayu yaitu tempat dimana seloko itu tumbuh dan
berkembang, terutama bahasa dan lambang-lambangnya.
b. Belajar dan bergaul dengan guru atau orang tua yang arif serta berpengetahuan luas
dibidang agama maupun adat istiadat Melayu.
c. Sering mengikuti momen-momen dimana seloko tersebut disampaikan. Umpamanya
pada pelaksanaan upacara-upacara adat, upacara perkawinan, pertemuan-pertemuan
tokoh adat dan sebagainya.

Jadi dengan demikian, untuk menjaga agar seloko tidak salah dalam menafsirkan
dan mengetahui makna yang terkandung dalam seloko tersebut, dianjurkan agar selalu
mendengar petuah-petuah yang berkaitan dengan seloko tersebut.

Perhatikan seloko berikut ini,

1. “ Lembai Sekepeh Entak Sedegam” ( Lembai sekipas hentak sebunyi)


Arti dari seloka ini adalah seia sekata dalam mengerjakan suatu pekerjaan.
Orang yang berjalan bersama akan kelihatan indah apabila ayunan tangan sama dan
bunyi hentakan kakinya seirama. Disamping itu, jarak yang jauh tidak akan terasa
karena dilalui bersama-sama. Seloko ini menggambarkan bahwa manusia dalam
kehidupan sehari-hari selalu kompak dan bersatu.

12
Setiap manusia atau warga masyarakat dalam kesehariannya memiliki masalah
dan kepentingan yang berbeda. Namun untuk suatu pekerjaan yang menyangkut
kepentingan orang banyak, hendaklah bersatu/ dimusyawarahkan. Sekecil apapun
permasalahan, apabila diselesaikan dengan cara musyawarah akan memberi dampak
positif terhadap semua pihak.
Suatu pekerjaan apabila dikerjakan secara bersama-sama dan seia sekata akan
berhasil dengan baik. Keberhasilan tersebut diperoleh tentunya karena suatu pekerjaan
dari awal sudah direncanakan dengan tepat, kemudian proses pelaksanaannnya
didiskusikan atau dimusyawarahkan secara bersama serta adanya pembagian tugas
yang jelas. Sehingga masing-masing individu menjalankan tugasnya dengan penuh
rasa tanggungjawab. Satu sama lainnya saling membantu dan saling menghargai serta
seia sekata. Apabila ada masalah, dibicarakan dan diselesaikan secara bersama,
sehingga beban yang berat menjadi ringan dan masalah yang rumit menjadi mudah.
Dengan demikian, akan tercipta suasana kerja yang tenang dan damai yang pada
gilirannya akan menghasilkan masyarakat yang bersatu, seia sekata dan hidup yang
rukun.
2. “ Mudik Setanjung Ilir Serantau” ( Mudik setanjung hilir serantau)
Arti dari seloka ini adalah sesuatu pekerjaan hendaklah diselesaikan secara
bertahap.
Seseorang ataupun sekelompok orang (masyarakat) apabila melaksanakan
suatu pekerjaan, haruslah punya perencanaan yang matang baik dari segi pendanaan
maupun mekanisme pelaksanaannya. Untuk mendapatkan hasil yang baik,
perencanaan harus dibuat dengan sebaik-baiknya, kemudian pelaksanaannya
dilaksanakan sesuai dengan tahapannya. Pekerjaan yang dilakukan secara bertahap
sebagaimana diisyarakatkan dalam seloka di atas dapat kita lihat dalam kehidupan
sehari-hari orang tua-tua kita di pedesaan. Diantaranya waktu turun ke ladang. Setelah
ada perencanaan dan kesepakatan untuk turun ke ladang (menetapkan hari baik bulan
baik), tahapan yang mereka lakukan adalah menebas dan menebang kayu dan
berikutnya membakar dan membersihkan areal yang akan ditanam, terus menanam,
menyiangi dan terakhir menuai. Hal senada juga tampak dalam pelaksaan upacara
tradisional. Terlihat adanya tahapan-tahapan, seperti tahapan persiapan, tahap
pelaksanaan dan tahap sesudah pelaksanaan. Semua itu menunjukkan bahwa manusia
dalam hidup itu hendaklah teratur dan tertib.
3. “ Ambil Benih Campaklah Sarap” ( Ambil benih buanglah sampah)

13
Arti dari seloko ini adalah ambillah sesuatu yang baik dan bermanfaat
kemudian buanglah sesuatu yang tidak baik.

Pada seloko ini, benih melambangkan sesuatu yang baik dan bermanfaat
dalam kehidupan masyarakat, sedangkan sampah melambangkan sesuatu yang tidak
baik. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, mereka sering dihadapkan pada
pilihan baik dan buruk. Untuk itu, masyarakat dituntut untuk dapat membedakan
mana yang baik dan mana yang tidak baik (buruk). Apabila pekerjaan itu atau sesuatu
itu baik maka ambil dan perbuatlah sesuai dengan yang sepatutnya, tetapi apabila
perbuatan itu atau sesuatu itu tidak baik maka tinggalkanlah atau buanglah. Apakah
pekerjaan atau sesuatu itu menyangkut diri sendiri ataupun berhubungan dengan
masyarakat luas.

Pada umumnya masyarakat Melayu beragama Islam, maka ukuran baik dan
buruk (tidak baik) nya segala sesuatu haruslah mengacu kepada ajaran Islam dan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Seseorang tidak bisa mengatakan
sesuatu itu baik atau buruk hanya berdasarkan pendapatnya saja atau hanya dilandasi
oleh kepentingan pribadi. Oleh karena itu, untuk bertindak seseorang haruslah
memikirkannya dengan sebaik-baiknya apakah yang dilakukannya baik atau tidak.

4. “ Dikit menjadi pembasuh banyak menjadi musuh” ( sedikit menjadi pembasuh


banyak menjadi musuh).
Arti dari seloko ini adalah segala sesuatu tidak boleh berlebihan.
“Dikit menjadi pembasuh” melambangkan bahwa segala sesuatu apabila
dipergunakan sewajarnya atau sesuai dengan kebutuhan akan memberikan manfaat
kepada semua orang (air sedikit dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan
manusia), “banyak menjadi musuh” melambangkan bahwa segala sesuatu dikerjakan
atau dipergunakan secara berlebihan akan merugikan diri sendiri dan orang lain (air
yang banyak /banjir dapat menjadi musuh manuasia karena tidak bisa dikendalikan).
Melalui seloko ini dapat dipetik pengajaran bahwa dalam hidup, manusia
harus berbuat secara wajar dan tidak berlebihan/ sederhana. Sedehana dalam bergaul,
sederhana dalam berpakaian, sederhana dalam mencari rezeki dan sebagainya. Hal ini
bukannya berarti seseorang tidak boleh giat berusaha untuk mendapatkan hasil yang
banyak, tetapi dalam pemanfaatan apa yang sudah diperoleh haruslah sesuai dengan
kebutuhan dan selalu berhati-hati dalam bertindak ( tidak tergesa-gesa dan tidak

14
berlebih-lebihan). Kekayaan yang banyak dapat membahagiakan seseorang/
pemiliknya dan tidak tertutup kemungkinana juga bahwa kekayaan tersebut akan
mengganggu ketengan hidup pemiliknya karena dia tidak merasa puas terhadap apa
yang sudah dimilikinya.

Memperhatikan beberapa seloko di atas, penyeloko melambangkan prilaku


seseorang dengan lambang-lambang yang ada dalam kehidupan masyarakat seperti
prilaku manusia sesama manusia, prilaku manusia terhadap alam dan prilaku manusia
terhadap sang pencipta-Nya ( hablumminannas wa hablumminallah). Dengan kata
lain, dalam seloko tergambar interaksi masyarakat dalam kehidupan baik hubungan
masyarakat secara horizontal maupun secara vertical.

Dalam seloko tersebut, terdapat tuntunan yang harus menjadi panutan dan
dilestarikan oleh masyarakat dalam kehidupanya sehari-hari. Kekompakan dan
persatuan terlihat dalam kehidupan masyarakat yang cinta damai. Hidup teratur
tergambar pada cara kerja yang sesuai dengan tahapan-tahapan yang harus
dilaksanakan. Sederhana atau tidak berlebih-lebihan dalam bertindak dan memiliki
sesuatu. Kemudian yang tidak kalah penting adalah manusia harus dapat membedakan
mana yang baik dan mana yag tidak baik dalam hidup karena dalam hidup manusia
selalu dihadapkan pada pilihan. Semua tindakan ini merujuk kepada seloko adat yang
berbunyi “ Adat besendi syarak , syarak bersendikan kitabullah”.

Seloko ini masih relevan untuk diimplementasikan dalam kehidupan masa kini.
Kalau pada masa lalu orang tua-tua atau penyeloko mengambil perlambang kepada
keadaan social kemasyarakatan yang hidup agraris, maka pada masa sekarang
masyarakat yang hidup pada era kemajun teknologi dan informasi namun makna yang
terkandung dalam seloko tersebut masih tetap terpakai.

Kemajuan teknologi dan informasi yang telah dinikmati oleh masyarakat sampai
ke pelosok desa dan kampung, tidak semuanya baik dan tidak semuanya juga tidak baik (
buruk). Tergantung kepada manusia (masyarakat) yang memanfaatkannya. Apakah
dimanfaatkan untuk kebaikan atau tidak, sebagaimana terdapat dalam seloko di atas “
ambil benih, tampaklah sarap”. Umpamanya saja media internet. Internet dalam
kehidupan masyarakat pada masa kini (terutama generasi muda), sangat penting dan bisa
berdampak positif dan negatif. Apabila dipergunakan untuk hal-hal yang baik, maka
akan memberikan manfaat umpamanya menambah ilmu pengetahuan disegala bidang,

15
alat pemersatu untuk bersosialisasi dengan sesama dan sebagainya. Sedangkan
sebaliknya bisa berdampak negatif, merusak moral, kerukunan, melahirkan masyarakat
yang konsumtif (berlebih-lebihanan) dalam segala bidang yang pada akhirnya akan
menggoyahkan jati diri dan kepribadian masyarakat.

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sesuatu yang hanya dikatakan dan tidak ditulis akan menguap seiring bergulirnya
waktu. Baik yang hanya diucapkan maupun yang ditulis, kesemuanya akan menjadi
sejarah. Satu di antaranya akan menjadi menjadi rujukan—atau barangkali wisdom—dan
yang lain (mungkin saja) akan terlupakan.

Demikian halnya sejarah Melayu Jambi. Walaupun beberapa sumber


menyebutkan telah ada Kerajaan Melayu Jambi sekitar abad 7 hingga 14 M,
keberadaannya masih menyisakan banyak pertanyaan. Semacam misteri yang belum
terpecahkan.

Budaya Melayu Jambi lebih dekat kepada budaya bertutur. Budaya lisan. Ini
diperkuat dengan sangat sedikit sekali peninggalan, tradisi serta dokumen masa lalu yang
berwujud dalam bentuk arsip tertulis. Menariknya, naskah tertua justeru adalah naskah
Melayu yang ditemukan di Tanjung Tanah, sebagai potongan sejarah Melayu Jambi.

Banyak sekali kearifan lokal yang terkandung dalam kebudayaan Melayu Jambi
di masa lalu. Kearifan dan budaya tersebut bisa lestari dan diwariskan jika kemudian
dienventarisasi dan ditulis.

3.2 Saran

Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan untuk itu saya dari penyusun berharap
agar pembaca dapat memanfaatkan makalah ini dengan baik. Segala kritikan maupun
saran dari pembaca akan saya terima dengan lapang dada untuk menambah wawasan
serta perbaikan penyusunan yang lebih baik lagi.

Untuk kebaikan bersama saya selaku penyusun menginginkan agar pembaca


dapat memahami isi dari makalah ini agar dapat dipahami dan diamalkan kapan dan
dimanapun. Serta dapat bermanfaat bagi masyarakat yang membutuhkan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Artikel Ilmiah KEARIFAN LOKAL BUDAYA ARAB MELAYU MASYARAKAT

JAMBI KOTA SEBERANG SEBAGAI SUMBER BELAJAR

SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM

https://www.academia.edu/12327994/Budaya_Lokal_Jambi

http://kajanglako.com/id-41-post-melayu-jambi-siapakah-kau-sesungguhnya.html

http://kajanglako.com/id-3179-post-jejak-pecinan-di-seberang-kota-jambi.html

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/menelisik-sejarah-jambi-kota-seberang/

http://andragbfm.blogspot.com/2013/08/tradisi-lisan-kuno-melayu-jambi.html

https://media.neliti.com/media/publications/37109-ID-pergbseran-peran-sosial-tuan-guru-
dalam-masyarakat-jambi-seberang.pdf

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/seloko-sebagai-tuntunan-hidup-masyarakat-
melayu-jambi/

18

Anda mungkin juga menyukai