Anda di halaman 1dari 22

Abstrak

Kabupaten Wajo di Sulawesi Selatan merupakan daerah yang selama ini diketahui memiliki
temuan-temuan masa Islam, sehingga cenderung dikategorikan sebagai daerah yang memulai
peradabannya sekitar abad ke-17 Masehi. Penelitian di Wajo dimaksudkan untuk
memperoleh gambaran mengenai distribusi dan masa perkembangan megalitik, dan juga
dapat menandai awal peradabannya. Dalam pencapaiannya, digunakan metode survei untuk
mengetahui distribusi megalitik secara sinkronis dan dilakukan ekskavasi di situs Cilellang
untuk mengetahui variabilitas temuan dalam lapisan budaya dan masa perkembangan
megalitik secara diakronis. Dari penelitian diperoleh gambaran bahwa situs Cilellang,
Tobattang dan Allangkanange merupakan situs megalitik yang berkembang sejak abad ke-13
hingga abad ke-15 M di wilayah sebelah tenggara Danau Tempe. Aktivitas pertanian
merupakan mata pencaharian pokok ditandai dengan temuan 36 lumpang batu pada ketiga
situs tersebut. Ketiga situs juga dapat memberi gambaran secara hirarki, yaitu situs
Allangkanange mungkin mempunyai strata sosial permukiman yang lebih tinggi
dibandingkan situs Cilellang dan Tobattang, karena memiliki luas situs paling besar,
tinggalan arkeologi yang lebih bervariatif dan lokasi yang lebih tinggi. Mungkin saja situs
Allangkanange adalah pusat pemerintahan dari situs Cilellang dan Tobattang.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obyek sejarah lokal di Indonesia khususnya di Sulawesi Selatan begitu banyak bukan
hanya mengungkapkan persoalan kemanusiaan secara khusus, tetapi juga menyimpan pola
pola kemampuan tertentu yang merupakan bahan perbandingan dengan daerah lain.
Mengingat masih banyaknya tokoh, kejadian dan keunikan daerah yang belum terungkap
dalam sejarah nasional kita, maka salah satu upaya yang dilakukan adalah melakukan
penelitian, pengkajian dan penulisan sejarah lokal.

Untuk melakukan penelitian, pengkajian dan penulisan sejarah, khususnya sejarah


lokal sangat mengalami kesulitan karena sumber sejarah itu sangat kurang. Apalagi sejarah
dianggap sebagai mitos belaka dan dianggap sebagai bahan panjangan di kantor-kantor,
rumah dan di sekolah-sekolah. Sumber-sumber sejarah tidak terpelihara dengan baik, dan
sumber-sumber ejarah tersebut hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu dan dijadikan sebuah
benda yang sacral. Akibat kurangnya perhatian terhadap sumber sejarah sehingga generasi
muda khusunya di

Sulawesi Selatan kurang memahami nilai-nilai sejarah. Kurangnya pemahaman tentang


sumber sejarah dan sumber itu hanya dimiliki oleh orang tertentu dan tidak disimpan di
perpustakaan sebagai bahan pelajaran ataukah sebagai aset sejarah bangsa khususnya sejarah
lokal.

Dalam sejarah Indonesia, khusus Sulawesi Selatan kerajaan-kerajaan yang sering


ditulis hanyalah kerajaan Gowa dan Bone. Diandaikan kedua kerajaan ini yang memiliki
Sulawesi penting dikalangan masyarakat bugis begitu pula kerajaan Gowa yang pernah
menguasai secara politik seluruh kerajaan yang ada di wilayah Makassar. Kejayaan berkisar
akhir abad XVI-XVII.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana asal-usul kerajaan Wajo?
2. Bagaimana masa kerajaan Wajo mengalami kemakmuran?
3. Apa yang membuat kerajaan Wajo mengalami kemunduran?
4. Bagaimana kondisi politik, ekonomi, dan sosial budaya kerajaan wajo?

1.3 Tujuan Dan Manfaat


1.3.1 Tujuan

Tujuan penelitian ini berdasarkan pada berbagai permasalahan yang telah dikemukakan pada
bagian sebelumnya, maka ada beberapa hal yang menjadi tujuan yang ingin dicapai adalah :

1. Untuk mengetahui apakah latar belakang kemunculan Kerajaan Wajo

2. Untuk mengetahui peran Kerajaan Wajo

1.3.2 Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Secara keilmuan, data disajikan secara empirik tentang kemuculan serta peranan yang
dilakukan kerajaan Wajo.

2. Secara guna laksana pengambilan keputusan dalam menata social, dan budaya yang
mentalitas dan kepribadian masyarakat Indonesia khususnya Sulawesi Selatan sudah mulai
merosot.

3. Hilangnya nilai dan etos kerja karena terkait perubahan social budaya maka perlu
Penglajian secara lokal.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kerajaan wajo


Kerajaan Wajo adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun 1399, di wilayah
yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya disebut
"Raja Wajo". Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi.

Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah terbentuknya
[[Wajo]]. yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit kulit kemudian
diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya dia bertemu dengan putra Arumpone
Bone yang sedang berburu. Akhirnya mereka menikah dan membentuk dinasti
di Wajo. Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah La Banra, seorang
pangeran Soppeng yang merantau ke Sajoanging dan membuka tanah di Cinnotabi.

Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang umumnya memulai
kerajaannya dengan kedatangan To Manurung. Sejarah awal Wajo menurut Lontara
Sukkuna Wajo dimulai dengan pembentukan komunitas dipinggir Danau Lampulung.
Disebutkan bahwa orang-orang dari berbagai daerah, utara, selatan, timur dan barat,
berkumpul dipinggir Danau Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak
diketahui namanya yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puang ri
Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan
tatacara bertani yang baik. Adapun penamaan danau Lampulung dari
kata sipulung yang berarti berkumpul.

Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas wilayahnya hingga ke


Saebawi. Setelah Puang ri Lampulung meninggal, komunitas ini cair. Hingga tiba
seseorang yang memiliki kemampuan sama dengannya, yaitu Puang ri Timpengeng di
Boli. Komunitas ini kemudian hijrah dan berkumpul di Boli. Komunitas Boli terus
berkembang hingga meninggalnya Puang ri Timpengeng.
Setelah itu, putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu, yaitu La Paukke
datang dan mendirikan kerajaan Cinnotabi. Adapun urutan Arung Cinnotabi yaitu, La
Paukke Arung Cinnotabi I yang diganti oleh anaknya We Panangngareng Arung
Cinnotabi II. We Tenrisui, putrinya menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh
putranya La Patiroi sebagai Arung Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat
Cinnotabi mengangkat La Tenribali dan La Tenritippe sekaligus sebagai Arung
Cinnotabi V. Setelah itu, Akkarungeng (kerajaan) Cinnotabi bubar. Warga dan
adatnya berkumpul di Boli dan membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu
Tellu KajuruE

La Tenritau menguasai wilayah majauleng, La Tenripekka menguasai wilayah


sabbamparu dan La Matareng menguasai wilayah takkalalla. Ketiganya adalah sepupu
satu kali La Tenribali. La Tenribali sendiri setelah kekosongan Cinnotabi membentuk
kerajaan baru disebut Akkarungeng ri Penrang dan menjadi Arung Penrang pertama.
Ketiga sepupunya kemudian meminta La Tenribali agar bersedia menjadi raja mereka.
Melalui perjanjian Assijancingeng ri Majauleng maka dibentuklah kerajaan Wajo. La
Tenribali diangkat sebagai raja pertama bergelar Batara Wajo. Ketiga sepupunya
bergelar Paddanreng yang menguasai wilayah distrik yang disebut Limpo. La
Tenritau menjadi Paddanreng ri Majauleng, yang kemudian berubah menjadi
Paddanreng Bettempola pertama. La Tenripekka menjadi Paddanreng Sabbamparu
yang kemudian menjadi Paddanreng Talotenreng. Terakhir La Matareng menjadi
Paddanreng ri Takkallala menjadi Paddanreng Tuwa

Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang berisi


tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Posisi Batara Wajo yang
bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki
konstitusional. Masa keemasan Wajo adalah pada pemerintahan La Tadampare
Puangrimaggalatung. Wajo menjadi anggota persekutuan Tellumpoccoe sebagai
saudara tengah bersama Bone sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara
bungsu.

Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada pemerintahan La
Sangkuru Patau Mulajaji Sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi
pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang
telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah
selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal di sana. Wajo terlibat Perang
Makassar (1660-1669) disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah
Sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng
sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La
Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bungaya, sehingga Wajo diserang oleh
pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke Sultan
Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan banyak masyarakatnya
pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial ekonomi di daerah
rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang
tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal
sebagai Samarinda.

Pada pemerintahan La Salewangeng to Tenrirua Arung Matowa ke 30, ia membangun


Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk koperasi dan melakukan
pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng
kemenakan La Salewangeng menjadi Arung Matowa 31 dilantik di saat perang. Pada
zamannya ia memajukan posisi wajo secara sosial politik di antara kerajaan-kerajaan
di sulsel. La Koro Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan
membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral), Koronele (Kolonel), Manynyoro
(Mayor), dan Kapiteng (Kapten). Dia juga menandatangani Large Veklaring sebagai
pembaruan dari perjanjian Bungaya

Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan [[Wajo]] dengan [[Bone]] membuat


keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa'na Bone. Saat itu Belanda
melancarkan [[politik pasifikasi]] untuk memaksa semua kerajaan di [[Sulawesi
Selatan]] tunduk secara totalitas. Kekalahan Bone melawan Kompeni juga harus
ditanggung oleh [[Wajo]] sehingga [[Wajo]] harus membayar denda perang pada
Kompeni dan menandatangani Korte Veklaring sebagai pembaruan dari Large
Veklaring.

[[Wajo]] dibawah Republik Indonesia Serikat, atau tepatnya Negara Indonesia Timur,
berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konferensi Meja Bundar, Wajo
bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1957. Antara tahun
1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak
pemberontakan DI/TII.
Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan,
kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja, dan akhirnya menjadi
kabupaten.

2.2 Masa kejayaan dan kemunduran kerajaan Wajo.

Kabupaten Wajo adalah salah satuDaerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan,

Indonesia. Ibu kota kabupatenini terletak di Sengkang. Kabupaten ini memiliki luas
wilayah 2.056,19 km² dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 400.000 jiwa.

Sejarah

Pembentukan Kerajaan Wajo

Wajo berarti bayangan atau bayang-bayang (wajo-wajo). Kata Wajo dipergunakan


sebagai identitas masyarakat sekitar 605 tahun yang lalu yang menunjukkan
kawasan merdeka dan berdaulat dari kerajaan-kerajaan besar pada saat itu.

Di bawah bayang-bayang (wajo-wajo, bahasa Bugis, artinya pohon bajo) diadakan


kontrak sosial antara rakyat dan pemimpin adat dan bersepakat membentuk
Kerajaan Wajo. Perjanjian itu diadakan di sebuah tempat yang bernama Tosora
yang kemudian menjadi ibu kota kerajaan Wajo.

Ada versi lain tentang terbentuknya Wajo, yaitu kisah We Tadampali, seorang putri
dari Kerajaan Luwu yang diasingkan karena menderita penyakitkusta. Dia
dihanyutkan hingga masuk daerah Tosora. Kawasan itu kemudian disebut
Majauleng, berasal dari kata maja (jelek/sakit) oli’ (kulit). Konon kabarnya dia
dijilati kerbau belang di tempat yang kemudian dikenal sebagai Sakkoli
(sakke’=pulih; oli=kulit) sehingga dia sembuh.

Saat dia sembuh, beserta pengikutnya yang setia ia membangun masyarakat baru,
hingga suatu saat datang seorang pangeran dari Bone (ada juga yang mengatakan
Soppeng) yang beristirahat di dekat perkampungan We Tadampali. Singkat kata
mereka kemudian menikah dan menurunkan raja-raja Wajo. Wajo adalah sebuah
kerajaan yang tidak mengenal sistem to manurungsebagaimana kerajaan-kerajaan
di Sulawesi Selatan pada umumnya. Tipe Kerajaan Wajo bukanlah feodal murni,
tetapi kerajaan elektif atau demokrasi terbatas.

Perkembangan Kerajaan Wajo

Dalam sejarah perkembangan Kerajaan Wajo, kawasan ini mengalami masa


keemasan pada zaman La Tadampare Puang Ri Maggalatung Arung Matowa, yaitu
raja Wajo ke-6 pada abad ke-15.Islam diterima sebagai agama resmi pada tahun
1610 saat Arung Matowa Lasangkuru Patau Mula Jaji Sultan Abdurrahman
memerintah. Hal itu terjadi setelah Gowa, Luwu dan Soppeng terlebih dahulu
memeluk agama Islam.

Pada abad ke-16 dan 17 terjadi persaingan antara Kerajaan Makassar(Gowa Tallo)
dengan Kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan Soppeng) yang membentuk aliansi
Tellumpoccoe untuk membendung ekspansi Gowa. Aliansi ini kemudian pecah saat
Wajo berpihak ke Gowa dengan alasan Bone dan Soppeng berpihak ke Belanda.
Saat Gowa dikalahkan oleh armada gabungan Bone, Soppeng, VOC dan Buton,
Arung Matowa Wajo pada saat itu, La Tenri Lai To Sengngeng tidak ingin
menandatangani Perjanjian Bungaya.

Akibatnya pertempuran dilanjutkan dengan drama pengepungan Wajo, tepatnya


Benteng Tosora selama 3 bulan oleh armada gabungan Bone, di bawah pimpinan
Arung Palakka.

Setelah Wajo ditaklukkan, tibalah Wajo pada titik nadirnya. Banyak orang Wajo
yang merantau meninggalkan tanah kelahirannya karena tidak sudi dijajah.

Hingga saat datangnya La Maddukkelleng Arung Matowa Wajo,Arung Peneki,


Arung Sengkang, Sultan Pasir, dialah yang memerdekakan Wajo sehingga
mendapat gelar Petta Pamaradekangngi Wajo (Tuan yang memerdekakan Wajo).

Kerajaan Wajo adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun 1399, di
wilayah yang menjadi Kabupaten Wajosaat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya
disebut “Raja Wajo”. Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu
Cinnotabi.

Kerajaan Wajo1399–1957
Bendera

Ibu kotaWajoBahasaBugisAgamaIslamBentuk PemerintahanKerajaanSejarah –


Didirikan1399 – Dibubarkan1957

PendahuluPenggantiCinnotabiKabupaten Wajo

Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah terbentuknya
[[Wajo]]. yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit kulit
kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya dia bertemu dengan
putra Arumpone Bone yang sedang berburu. Akhirnya mereka menikah dan
membentuk dinasti diWajo. Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah La Banra,
seorang pangeranSoppeng yang merantau ke Sajoangingdan membuka tanah di
Cinnotabi.

Sejarah AwalSunting

Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang umumnya memulai
kerajaannya dengan kedatangan To Manurung. Sejarah awal Wajo menurutLontara
Sukkuna Wajo dimulai dengan pembentukan komunitas dipinggir Danau
Lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang dari berbagai daerah, utara, selatan,
timur dan barat, berkumpul dipinggir Danau Lampulung. Mereka dipimpin oleh
seseorang yang tidak diketahui namanya yang digelari dengan Puangnge Ri
Lampulung. Puang ri Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui
tanda-tanda alam dan tatacara bertani yang baik. Adapun penamaan danau
Lampulung dari kata sipulung yang berarti berkumpul.

Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas wilayahnya hingga ke


Saebawi. Setelah Puang ri Lampulung meninggal, komunitas ini cair. Hingga tiba
seseorang yang memiliki kemampuan sama dengannya, yaitu Puang ri Timpengeng
di Boli. Komunitas ini kemudian hijrah dan berkumpul di Boli. Komunitas Boli
terus berkembang hingga meninggalnya Puang ri Timpengeng.

Setelah itu, putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu, yaitu La Paukke
datang dan mendirikan kerajaan Cinnotabi. Adapun urutan Arung Cinnotabi yaitu,
La Paukke Arung Cinnotabi I yang diganti oleh anaknya We Panangngareng Arung
Cinnotabi II. We Tenrisui, putrinya menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh
putranya La Patiroi sebagai Arung Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat
Cinnotabi mengangkat La Tenribali dan La Tenritippe sekaligus sebagai Arung
Cinnotabi V. Setelah itu, Akkarungeng (kerajaan) Cinnotabi bubar. Warga dan
adatnya berkumpul di Boli dan membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu
Tellu KajuruE.

La Tenritau menguasai wilayah majauleng, La Tenripekka menguasai wilayah


sabbamparu dan La Matareng menguasai wilayah takkalalla. Ketiganya adalah
sepupu satu kali La Tenribali. La Tenribali sendiri setelah kekosongan Cinnotabi
membentuk kerajaan baru disebut Akkarungeng ri Penrang dan menjadi Arung
Penrang pertama. Ketiga sepupunya kemudian meminta La Tenribali agar bersedia
menjadi raja mereka. Melalui perjanjian Assijancingeng ri Majauleng maka
dibentuklah kerajaan Wajo. La Tenribali diangkat sebagai raja pertama bergelar
Batara Wajo. Ketiga sepupunya bergelar Paddanreng yang menguasai wilayah
distrik yang disebut Limpo. La Tenritau menjadi Paddanreng ri Majauleng, yang
kemudian berubah menjadi Paddanreng Bettempola pertama. La Tenripekka
menjadi Paddanreng Sabbamparu yang kemudian menjadi Paddanreng Talotenreng.
Terakhir La Matareng menjadi Paddanreng ri Takkallala menjadi Paddanreng
Tuwa.

Wajo sebagai KerajaanSunting

Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang berisi


tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Posisi Batara Wajo yang
bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki
konstitusional. Masa keemasan Wajo adalah pada pemerintahan La Tadampare
Puangrimaggalatunghttp://makassar.tribunnews.com/2013/04/17/revitalisasi-
warisan-sejarah-membangun-optimisme. Wajo menjadi anggota persekutuan
Tellumpoccoesebagai saudara tengah bersama Bonesebagai saudara tua dan
Soppengsebagai saudara bungsu.

Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada pemerintahan La
Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi
pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang
telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman.
Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal di sana. Wajo terlibat
Perang Makassar (1660-1669) disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran
tengah Sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To
Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak
menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatanganiperjanjian Bungaya, sehingga
Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga
berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan
banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial
ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima
perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan
yang kini dikenal sebagai Samarinda.

Pada pemerintahan La Salewangeng to Tenrirua Arung Matowa ke 30, ia


membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk koperasi
dan melakukan pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata.
La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi Arung Matowa 31
dilantik di saat perang. Pada zamannya ia memajukan posisi wajo secara sosial
politik di antara kerajaan-kerajaan di sulsel. La Koro Arung Padali, memodernisasi
struktur kerajaan Wajo dengan membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral),
Koronele (Kolonel), Manynyoro (Mayor), dan Kapiteng (Kapten). Dia juga
menandatanganiLarge Veklaring sebagai pembaruan dari perjanjian Bungaya.

Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan [[Wajo]] dengan [[Bone]] membuat


keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa’na Bone. Saat itu Belanda
melancarkan [[politik pasifikasi]] untuk memaksa semua kerajaan di [[Sulawesi
Selatan]] tunduk secara totalitas. Kekalahan Bone melawan Kompeni juga harus
ditanggung oleh [[Wajo]] sehingga [[Wajo]] harus membayar denda perang pada
Kompeni dan menandatanganiKorte Veklaring sebagai pembaruan dari Large
Veklaring.

[[Wajo]] dibawah Republik Indonesia Serikat, atau tepatnya Negara Indonesia


Timur, berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konferensi Meja
Bundar, Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1957.
Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan
gejolak pemberontahan DI/TII. Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah seorang
Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling,
selanjutnya Swapraja, dan akhirnya menjadi kabupaten.

Struktur Kerajaan WajoSunting

Masa Batara Wajo

– Batara Wajo –> Penguasa tertinggi (1 orang)

– Paddanreng –> Penguasa wilayah (3 orang), terdiri dari Paddanreng Bettempola


untuk Limpo (distrik) Majauleng, Paddanreng Talotenreng untuk Limpo (distrik)
Sabbamparu dan Paddanreng Tuwa untuk Limpo (distrik) Takkalalla

– Arung Mabbicara –> Pejabat pemerintah kerajaan/hakim (12 orang). Terdiri dari
4 orang Arung Mabbicara untuk masing-masing dari 3 Limpo (distrik). Mengepalai
Ana Limpo

– Pabbate Caddi –> Pemegang Panji kerajaan (12 orang), satu orang untuk tiap ana
limpo (sub distrik)

Masa Arung Matoa

– Arung Matoa –> Penguasa tertinggi (1 orang)

– Paddanreng –> Penguasa wilayah (3 orang). Masing-masing mengepalai Limpo


(distrik)

– Pabbate Lompo –> Panglima perang, terdiri dari Pilla, Patola dan Cakkuridi (3
orang). Satu orang tiap limpo (distrik). Pabbate Lompo Pilla mendampingi
Paddanreng Bettempola, Pabbate Lompo Patola mendampingi Paddanreng
Talotenreng, Pabbate Lompo Cakkuridi mendampingi Paddanreng Tuwa.

– Arung Mabbicara –> Aparat pemerintah/Hakim (30 orang). Masing-masing 10


orang tiap Limpo (distrik). Terdiri dari 4 orang Arung Mabbicara yang mengepalai
ana limpo, dan 6 Arung Mabbicara yang tidak menguasai wilayah ana limpo (arung
paddoki roki)

– Suro –> Utusan (3 orang). Masing-masing 1 orang Suro tiap Limpo (distrik)
Kelima jabatan diatas disebut sebagai Arung PatappuloE, penguasa 40.

Jabatan lain yang tidak masuk Arung PatappuloE

– Arung Bettempola –> Setelah La Tiringeng to Taba, dirangkap oleh Paddanreng


Bettempola. Bertugas sebagai ibu orang Wajo. Mengangkat dan menurunkan
Arung Matoa berdasar kesepakatan orang Wajo. Jabatan ini dimulai dari We
Tadampali Arung Saotanre, istri Paddanreng Bettempola II. Setelahnya, dijabat
oleh La Tiringeng To Taba. Dalam perkembangan, jabatan Arung Saotanre berubah
menjadi Arung Simentempola. Setelah To Angkone, salah seorang Paddanreng
Bettempola dipecat. Maka jabatan Paddanreng Bettempola dirangkap oleh Arung
Simentempola yang berubah menjadi Arung Simentempola. Arung Bettempola
pulalah yang memastikan kemerdekaan orang Wajo.

– Punggawa –> Panglima perang wilayah, bertugas mengantar Arung lili ke pejabat
Arung PatappuloE. Terdiri dari 3 orang, satu orang tiap limpo. Meski tidak masuk
Arung PatappuloE, tetapi punya wewenang memveto keputusan kerajaan tentang
perang.

– Petta MancijiE –> Staf keprotokuleran istana

Penguasa Kerajaan WajoSunting

Batara Wajo bersifat monarki absolut. Diangkat berdasar keturunanArung Matoa


Wajo bersifat monarki konstitusional. Dipilih oleh Arung PatappuloEArung Matoa
yang resmi tercatat adalah nomor 1-45Untuk nomor 46-47 tertulis di satu sumber
yaitu Lontara Akkarungeng ri WajoUntuk nomor 48, 49 dan 50 adalah Pemerintah
Swapraja yang jabatannya adalah Kepala Pemerintah Negeri (KPN) yang
merupakan peralihan sebelum masuk masa Bupati.

NoPenguasaMulai
MenjabatAkhir
Jabatan Batara Wajo

1La Tenribali2La Mataesso3La Pateddungi to samallangiArung Matowa1La


Palewo to Palippu147414812La Obbi Settiriware148114863La Tenriumpu to
Langi148614914La Tadampare Puangrimaggalatung 149115215La Tenri Pakado
To Nampe152415356La Temmassonge153515387La Warani To
Temmagiang153815478La Malagenni154715479La Mappapuli To
Appamadeng1547156410La Pakoko To Pa’bele’1564156711La Mungkace To
Uddamang1567160712La Sangkuru Patau Mulajaji Arung Peneki Sultan
Abdurahman1607161013La Mappepulu To Appamole1610161614La Samalewa
To Appakiung1616162115La Pakallongi To Alinrungi1621162616To
Mappassaungnge1627162817La Pakallongi To Alinrungi1628163618La Tenrilai
To Uddamang1636163919La Isigajang To Bunne1639164320La Makkaraka To
Patemmui1643164821La Temmasonge1648165122La Paramma To
Rewo1651165823La Tenri Lai To Sengngeng1658167024La Palili To
Malu’1670167925La Pariusi Daeng Manyampa1679169926La Tenri Sessu To
Timo E1699170227La Mattone’1702170328La Galigo To Sunnia1703171229La
Tenri Werung Arung Peneki1712171530La Salewangeng To Tenriruwa Arung
Sengkang1715173631La Maddukkelleng Daeng Simpuang Arung Peneki Arung
Sengkang1736175432La Mad’danaca1754175533La Passaung1758176134La
Mappajung Puanna Salowo Ranreng Tuwa1761176735La
Malliungeng1767177036La Mallalengeng1795181737La Manang1821182538La
Pa’dengngeng1839184539La Pawellangi Pajumpero’e1854185940La Cincing Akil
Ali Datu Pammana Pilla Wajo1859188541La Koro Arung Padali1885189142La
Passamula Datu Lompulle Ranreng Talotenreng1892189743Ishak Manggabarani
Krg Mangeppe1900191644Andi Oddangpero Datu Larompong Arung
Peneki1926193345Andi Mangkona Datu Mario1933194946Andi Sumangerukka
Datu Pattojo Patola Wajo1949194947Andi Ninnong Datu Tempe Ranreng Tuwa
Wajo1949195048Andi Pallawarukka Datu Pammana Eks Pilla
Wajo1950195249Andi Macca Amirullah Eks Sullewatang Ugi1952195450Andi
Pallawarukka Datu Pammana Eks Pilla Wajo

Masa Hindia Belanda

Politik pasifikasi, yang dilancarkan Belanda. memaksa semua kerajaan di Sulawesi


Selatan untuk tunduk. Dua sasaran utama Belanda, yaitu Kerajaan Gowa dan
Kerajaan Bone bersekutu dengan Kerajaan Bone. Wajo mengirim pasukan yang
dipimpin oleh Jenerala Cakunu dan La Mappa Daeng Jeppu untuk membantu
Kerajaan Bone. Pasukan gabungan berbagai kerajaan sekutu Bone dan Bone
akhirnya kalah. Belanda kemudian berperang melawan Ranreng Tuwa. Arung
Matowa saat itu, Ishak Manggabarani dipaksa oleh Belanda untuk membayar
Sebbu Kati yaitu denda perang dan menandatangani perjanjian pendek. Isi dari
Perjanjian pendek tersebut (korte veklaring) adalah tunduknya kerajaan lokal
(Kerajaan Wajo) pada pemerintah Belanda.

Belanda kemudian menjadikan Wajo sebagai onderafdeling dengan ibukota


Sengkang. Saat itu, terjadi pemindahan ibukota dari Tosora ke
Sengkang.onderafdeling Wajo (ibukota Sengkang) bersama onderafdeling Bone
(ibukota Watampone) dan onderafdeling Soppeng (ibukota Watangsoppeng)
dibawahi oleh afdeling Bone (ibukota Pompanua). Sedang afdeling Bone
merupakan salah satu dari beberapaafdeling (Makassar, Gowa, Bonthain, Pare-pare,
Palopo) yang dibawahi oleh Provinsi Groote Oost. Sedang Provinsi Groote Oost
dibawahi oleh pemerintah Hindia Belanda. Adapun onderafdelingWajo,
membawahi 4 distrik yaitu, Distrik Majauleng, Distrik Sabbamparu, Distrik
Takkalalla, dan Distrik Pitumpanua. Tiap Distrik membawahi Wanua.

KontroversiSunting

Arung Matowa Wajo masih kontroversi, yaitu:

Versi pertama, pemegang jabatan Arung Matowa adalah Andi Mangkona


Datu Soppeng sebagai Arung Matowa Wajo ke-45, setelah dia terjadi
kekosongan pemegang jabatan hingga Wajo melebur ke Republik
Indonesia.Versi kedua hampir sama dengan yang pertama, tetapi Ranreng
Bettempola sebagai legislatif mengambil alih jabatan Arung Matowa
(jabatan eksekutif) hingga melebur ke Republik Indonesia.Versi ketiga,
setelah lowongnya jabatan Arung Matowa maka Ranreng Tuwa (H.A.
Ninnong) sempat dilantik menjadi pejabat Arung Matowa dan memerintah
selama 40 hari sebelum kedaulatan Wajo diserahkan kepada Gubernur
Sulawesi saat itu, yaitu BapakRatulangi.
2.3 Kehidupan Kerajaan wajo

Menurut buku “politik lokal di Indonesia” Oleh Gerry Van Klinken,


Henk Schulte Nordholt, Ireen Hoogenboom , dan artikel tentang
“perilaku orang bugis dalam dinamika politik lokal” oleh Andi
Ahmad Yani Perkembangan politik di wajo di mulai pada peradaban
Bugis-Makassar. Konsep ini dapat dilihat dari fakta sejarah bahwa
hampir semua kerajaan atau sistem pemerintahan di Bugis dan
Makassar terbangun dari adanya perjanjian politik antara kelompok
(Anang) dalam wilayah pemukiman masing-masing (Wanua) untuk
mengangkat To Manurung sebagai pemimpin atau raja mereka. Seperti
di Kerajaan Luwu, Kerajaan Gowa, Kerajaan Bone, Kerajaan
Pammana kemudian bubar menjadi kerajaan wajo, Kerajaan Soppeng,
Kerajaan Sinjai, dan Kerajaan Toraja yang meyakini bahwa founding
fathers kerajaannya adalah To Manurung. (Mattulada,1975 dan 1998,
Laica Marzuki,2005, Pelras, 2006)

Kerajaan Wajo yang merupakan salah satu kerajaan besar


Bugis, namun tidak memiliki konsepsi kepemimpinan To Manurung.
Yang menarik adalah mereka bersama-sama memilih pemimpinnya
(matoa) yang memenuhi syarat-syarat kepemimpinan yang telah
ditentukan sebelumnya. Kandidat matoa bisa berasal dari tiga
kelompok masyarakat yang merupakan awal Kerajaan Wajo, yaitu
Betteng Pola, Talo Ténreng dan Tua’. Dan bisa juga berasal dari luar
kalangan mereka, tentunya jika memenuhi syarat kepemimpinan tadi.

Dalam kerajaan wajo Pemimpin tertinggi di sebut Arung Matoa


Wajo. Arung Matoa Wajo dalam menjalankan pemerintahannya
dibantu oleh tiga orang yaitu Paddanréng atau Ranré ng (sekutu) yaitu
Paddanréng Betteng Pola, Paddanréng Tola Ténreng, dan Paddanréng
Tua’. Terdapat juga tiga pejabat tinggi Tana Wajo lain yaitu Pabbaté
Lompo atau Baté Lompo (panji-panji kaum) yang juga mewakili tiga
daerah sekutu. Tugas Baté Lompo ini pada awalnya adalah untuk
keamanan dalam wilayahnya masing-masing. Seiring pertumbuhan
pemerintahan mereka pun berfungsi sebagai menteri-menteri pembantu
Arung Matoa Wajo.

Pucuk pimpinan pemerintahan tertinggi Tana Wajo di sebut


Petta Wajo (Pertuanan Tana Wajo) yaitu sistem presidium yang terdiri
atas Arung Matoa ditambah dengan Arung Ennenngé atau Petta
Ennenngé (enam petinggi) yang anggotanya adalah tiga orang
Padanréng dan tiga orang Baté Lompo. Lembaga pimpinan tertinggi
kerajaan Wajo ini di bantu oleh Arung Mabbicara sebagai lembaga
pembuat undang-undang. Disamping itu juga terdapat lembaga yang
disebut Suro ri Bateng yang beranggotakan tiga orang yang berasal
dari 3 wanua asal yang 3 tugas yaitu untuk menyampaikan hasil
permufakatan dan perinah dari Padanreng kepada rakyat,
menyampaikan perintah-perintah Bate-Lompo kepada rakyat, dan
menyampaikan hasil permufakatan dan perintah dari Petta Wajo

Jadi terdapat 40 orang dalam lembaga pemerintahan Tana


Wajo, yang terdiri atas 1 orang Arung Matoa, 6 orang Arung
Ennengnge, 30 orang Arung Mabbicara, dan 3 orang Suro ri Bateng.
Ke 40 orang atau jabatan ini disebut Arung Patappuloe (pertuanan
yang empat puluh) atau Puang ri Wajo (penguasa Tana Wajo).yang
selanjutnya memangku kedaulatan Tana Wajo yang disebut
Paoppang,Palengenngi Tana Wajo ( Yang dapat menelungkupkan dan
menengadahkan Tana Wajo). Di bawah setiap Paddanreng (Kepala
Negeri), terdapat Punggawa atau Matoa yang menjadi pemimpin
disetiap wanua asal, yaitu Majauleng, Sabbang Paru dan Takkalalla’.
matoa-matoa atau punggawa-punggawa ini sering disebut inanna tau
megae (induk dari semua orang).

Para Matoa atau Punggawa menjalankan pemerintahan secara


otonom dan juga menjadi perpanjangan tangan antara Petta Wajo
dengan para Arung Lili’ (Raja-raja bawahan) di seluruh Tana Wajo.

Sistem sosial politik seperti ini akan berimplikasi pada lahirnya


stratifikasi sosial di masyarakat. Terdapat suatu kelompok sosial
tertentu yang memiliki status sosial dan budaya tersendiri karena
memiliki penguasaan resources yang tentu berbanding lurus dengan
tingkat kekuasaan yang dimilikinya. Pengakuan terhadap status sosial
mereka memperkuat stratifikasi sosial dalam masyarakat.

Konsep stratifikasi sosial ini diuraikan di La Galigo dalam


mitos tentang nenek moyang orang bugis yang pada akhirnya
membedakan dua jenis manusia. Pertama, mereka yang “berdarah
putih” yang keturunan déwata dan kedua adalah jenis manusia yang
”berdarah merah” yaitu rakyat biasa, rakyat jelata, atau budak.
Ditekankan kemudian bahwa stratifikasi sosial ini mutlak dan tidak
boleh tercampur. Meskipun aturan ini semakin longgar seiring waktu
bergulir. (Pelras,196;2006) Untuk menegaskan hirarki dalam
masyarakat tradisional bugis maka terbentuklah simbol-simbol tertentu
yang menunjukkan status sosial mereka. Dengan simbol ini maka
masyarakat kemudian mengetahui dengan siapa mereka berinteraksi.
Hal ini berkaitan dengan tata cara berperilaku yang seharusnya
menurut nilai-nilai sosial yang telah ditetapkan.

Berkaitan dengan pembagian dua jenis strata sosial orang Bugis


yaitu hierarki status seseorang berdasarkan “warna darah” atau
keturunan dan kedua adalah hierarki sistem pemerintahan yang terdiri
atas teritorial tertentu dengan hukum dan pemimpinnya masing-
masing. Secara alamiah akan terjadi persaingan atau perselisihan antar
mereka yang sederajat dan kadang kala terbangun assosiasi antar strata
sosial, baik yang sederajat ataupun yang tidak sederajat. Hingga pada
titik tertentu akan terjadi afiliasi-afiliasi antar kelompok atau antar
individu untuk merealisasikan atau mempertahankan suatu kepentingan
politik atau ekonomi tertentu. Pada fase inilah secara sadar atau tidak
sadar terbangun suatu relasi yang biasa disebut patron-klien. Dan di era
sekarang ini Kabupaten Wajo yang merupakan salah satu daerah
terkenal di Provinsi Sulawesi selatan karena kaya akan budaya dan
memiliki tiga dimensi wilayah yang sangat subur, potensi sumber daya
alam yang memadai dengan luas wilayah 2.506,19 Kilometer persegi
atau sekitar 4,01 persen dari luas wilayah Sulsel

Untuk mewujudkan pembangunan yang lebih baik di Wajo,


H.Andi Burhanuddin Unru sebagai Bupati Wajo menargetkan
optimalisasi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui ekonomi
kerakyatan dan penurunan angka kemiskinan. Dan menururut Mantan
Sekda Wajo mengukapkan bahwa "Dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya, Wajo sudah berkembang sangat pesat, dimana skala
prioritas yang menjadi perharian kita seperti pengembangan ekonomi
kerakyatan dan investasi, pemberdayaan masyarakat dan perluasan
kesempatan kerja, peningkatan pelayanan hak dasar masyarakat,
peningkatan infrastruktur dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi,
peningkatan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup,
pemanfaaatan dan penataan ruang yang berkualitas dan lainnya,"

Pertumbuhan ekonomi yang cepat ini sejalan dengan visi-misi


yang diusung H.Andi Burhanuddin Unru yakni menjadikan Kabupaten
Wajo sebagai kabupaten terbaik dalam pelayanan hak dasar dan tata
pemerintahan yang profesional. Disamping itu, dalam rangka
peningkatan program dan kegiatan prioritas pada setiap tahunnya.
Pemkab Wajo terus berupaya menciptakan keselarasan program-
program pembangunan daerah yang akan di danai dari berbagai
sumber pendanaan. "Program prioritas sudah berjalan dan ini terus
diupayakan untuk melanjutkan pembangunan yang yang berpihak pada
masyarakat. Dan semoga di masa kepemimpinan saya saat ini,
masyarakat terus meminta untuk melanjutkan pembangunan ini untuk
kepemimpinan Kabupaten Wajo mendatang," tandasnya.

Salah satu upaya yang dilakukan kata dia, adalah dengan tetap
mengedepankan prinsip-prinsip yang mendorong tercapainya
keserasian, sinergitas, efektifitas dan efisiensi sumber pendanaan untuk
pembangunan daerah. Berbagai program dan kegiatan pembangunan
daerah diintegrasikan dengan program dan kegiatan yang menjadi
kewenangan pemerintah propinsi dan pemerintah pusat.
"Pemerintah Kabupaten Wajo dalam kurun waktu empat tahun
terakhir, telah banyak mengalami perkembangan yang cukup pesat,
baik dari pertumbuhan ekonomi maupun tingkat kesejahteraan
masyarakat sendiri. Kondisi ini sudah sangat membuktikan bahwa
pemerintahan saat ini, telah mampu membawa Kabupaten Wajo ke
arah kemajuan,

Dan kesimpulannya perkembangan politik dikabupaten wajo diawali


pada masa kerajaan wajo hingga saat ini terus berkembang menjadi dareah
otonom hingga masa sekarang dengan mengadopsi perilaku luhur orang dulu
sehingga kabupaten wajo dapat berkembang pesat karena dipengaruhi perilaku
masyarakatnya, sumber daya alam yang ada dan system politik local yang
menjadi landasan masyarakat wajo untuk menempuh jalan kesejahteraan dimasa
yang akan datang.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Situs-situs megalitik di Wajo terletak di sebelah tenggara Danau Tempe. Ketiga


situs yang telah diteliti memiliki variabilitas temuan berupa peninggalan
megalitik, fragmen tembikar dan porselin. Dari aspek temuan megalitik, situs
Allakanange, Cilellang, dan Tobattang memiliki variabilitas temuan yang sama,
dalam pengertian bahwa ketiga-tiganya memiliki temuan megalitik yang
berasosiasi dengan tembikar dan porselin. Namun dari segi jenis temuan
megalitik, situs Allangkanange memiliki jenis temuan yang lebih bervariasi.
Pada situs Allakanange ditemukan menhir, susunan batu temu gelang dan
lumpang batu. Pada situs Cilellang dan Tobattang hanya ditemukan peninggalan
megalitik berupa lumpang batu. Berdasarkan jenis temuan megalitik dan luas
masing-masing situs tersebut, disimpulkan bahwa situs Allangkanange mungkin
mempunyai strata sosial permukiman yang tinggi dibandingkan kedua situs
lainnya, karena memiliki luas situs paling besar dengan tingkat variabilitas
temuan yang tinggi. Dari kondisi topografi juga menunjukkan bahwa situs
Allakanange memiliki areal yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedua situs
yang lainnya. Sesuai pertanggalan yang dihasilkan di situs Cilellang
menunjukkan masa okupasi situs-situs megalitik di Wajo berlangsung antara
abad ke-13-15 Masehi. Hasil ini membuktikan bahwa di wilayah ini peradaban
manusia dimulai lebih awal dibandingkan dengan masa yang diungkapkan dalam
naskah lontara yang hanya merujuk pada abad ke-15 Masehi. Ketika itu
permukiman manusia terletak di atas puncak bukit yang mungkin dimaksudkan
untuk keamanan dan menghindar dari banjir yang sewaktu-waktu dapat terjadi.
Ketiga situs terletak di sekitar aliran Sungai Walennae yang berpotensi untuk
banjir ketika air sungai meluap. Hal itu terlihat dari kandungan tanah jenis pasir
halus dan lanau. Data geologi juga menunjukkan bahwa kawasan ketiga situs
tersebut merupakan Formasi Walannae yang terdiri dari batu pasir, batu lanau,
tufa, napal, batu lempung, konglomerat dan batu gamping. Hal ini menunjukkan
bahwa situs Allangkanange, Cilellang, dan Tobattang masih merupakan endapan
Sungai Walannae.

3.2 Saran

Saran untuk selanjutnya, Penelitian untuk kerajaan wajo harap di tingkatkan


kembali, karena masih banyak remaja yang tidak mengetahui kerajaan wajo.

Anda mungkin juga menyukai