Kabupaten Wajo di Sulawesi Selatan merupakan daerah yang selama ini diketahui memiliki
temuan-temuan masa Islam, sehingga cenderung dikategorikan sebagai daerah yang memulai
peradabannya sekitar abad ke-17 Masehi. Penelitian di Wajo dimaksudkan untuk
memperoleh gambaran mengenai distribusi dan masa perkembangan megalitik, dan juga
dapat menandai awal peradabannya. Dalam pencapaiannya, digunakan metode survei untuk
mengetahui distribusi megalitik secara sinkronis dan dilakukan ekskavasi di situs Cilellang
untuk mengetahui variabilitas temuan dalam lapisan budaya dan masa perkembangan
megalitik secara diakronis. Dari penelitian diperoleh gambaran bahwa situs Cilellang,
Tobattang dan Allangkanange merupakan situs megalitik yang berkembang sejak abad ke-13
hingga abad ke-15 M di wilayah sebelah tenggara Danau Tempe. Aktivitas pertanian
merupakan mata pencaharian pokok ditandai dengan temuan 36 lumpang batu pada ketiga
situs tersebut. Ketiga situs juga dapat memberi gambaran secara hirarki, yaitu situs
Allangkanange mungkin mempunyai strata sosial permukiman yang lebih tinggi
dibandingkan situs Cilellang dan Tobattang, karena memiliki luas situs paling besar,
tinggalan arkeologi yang lebih bervariatif dan lokasi yang lebih tinggi. Mungkin saja situs
Allangkanange adalah pusat pemerintahan dari situs Cilellang dan Tobattang.
BAB I
PENDAHULUAN
Obyek sejarah lokal di Indonesia khususnya di Sulawesi Selatan begitu banyak bukan
hanya mengungkapkan persoalan kemanusiaan secara khusus, tetapi juga menyimpan pola
pola kemampuan tertentu yang merupakan bahan perbandingan dengan daerah lain.
Mengingat masih banyaknya tokoh, kejadian dan keunikan daerah yang belum terungkap
dalam sejarah nasional kita, maka salah satu upaya yang dilakukan adalah melakukan
penelitian, pengkajian dan penulisan sejarah lokal.
Tujuan penelitian ini berdasarkan pada berbagai permasalahan yang telah dikemukakan pada
bagian sebelumnya, maka ada beberapa hal yang menjadi tujuan yang ingin dicapai adalah :
1.3.2 Manfaat
1. Secara keilmuan, data disajikan secara empirik tentang kemuculan serta peranan yang
dilakukan kerajaan Wajo.
2. Secara guna laksana pengambilan keputusan dalam menata social, dan budaya yang
mentalitas dan kepribadian masyarakat Indonesia khususnya Sulawesi Selatan sudah mulai
merosot.
3. Hilangnya nilai dan etos kerja karena terkait perubahan social budaya maka perlu
Penglajian secara lokal.
BAB II
PEMBAHASAN
Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah terbentuknya
[[Wajo]]. yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit kulit kemudian
diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya dia bertemu dengan putra Arumpone
Bone yang sedang berburu. Akhirnya mereka menikah dan membentuk dinasti
di Wajo. Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah La Banra, seorang
pangeran Soppeng yang merantau ke Sajoanging dan membuka tanah di Cinnotabi.
Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang umumnya memulai
kerajaannya dengan kedatangan To Manurung. Sejarah awal Wajo menurut Lontara
Sukkuna Wajo dimulai dengan pembentukan komunitas dipinggir Danau Lampulung.
Disebutkan bahwa orang-orang dari berbagai daerah, utara, selatan, timur dan barat,
berkumpul dipinggir Danau Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak
diketahui namanya yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puang ri
Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan
tatacara bertani yang baik. Adapun penamaan danau Lampulung dari
kata sipulung yang berarti berkumpul.
Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada pemerintahan La
Sangkuru Patau Mulajaji Sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi
pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang
telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah
selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal di sana. Wajo terlibat Perang
Makassar (1660-1669) disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah
Sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng
sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La
Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bungaya, sehingga Wajo diserang oleh
pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke Sultan
Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan banyak masyarakatnya
pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial ekonomi di daerah
rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang
tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal
sebagai Samarinda.
[[Wajo]] dibawah Republik Indonesia Serikat, atau tepatnya Negara Indonesia Timur,
berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konferensi Meja Bundar, Wajo
bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1957. Antara tahun
1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak
pemberontakan DI/TII.
Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan,
kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja, dan akhirnya menjadi
kabupaten.
Indonesia. Ibu kota kabupatenini terletak di Sengkang. Kabupaten ini memiliki luas
wilayah 2.056,19 km² dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 400.000 jiwa.
Sejarah
Ada versi lain tentang terbentuknya Wajo, yaitu kisah We Tadampali, seorang putri
dari Kerajaan Luwu yang diasingkan karena menderita penyakitkusta. Dia
dihanyutkan hingga masuk daerah Tosora. Kawasan itu kemudian disebut
Majauleng, berasal dari kata maja (jelek/sakit) oli’ (kulit). Konon kabarnya dia
dijilati kerbau belang di tempat yang kemudian dikenal sebagai Sakkoli
(sakke’=pulih; oli=kulit) sehingga dia sembuh.
Saat dia sembuh, beserta pengikutnya yang setia ia membangun masyarakat baru,
hingga suatu saat datang seorang pangeran dari Bone (ada juga yang mengatakan
Soppeng) yang beristirahat di dekat perkampungan We Tadampali. Singkat kata
mereka kemudian menikah dan menurunkan raja-raja Wajo. Wajo adalah sebuah
kerajaan yang tidak mengenal sistem to manurungsebagaimana kerajaan-kerajaan
di Sulawesi Selatan pada umumnya. Tipe Kerajaan Wajo bukanlah feodal murni,
tetapi kerajaan elektif atau demokrasi terbatas.
Pada abad ke-16 dan 17 terjadi persaingan antara Kerajaan Makassar(Gowa Tallo)
dengan Kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan Soppeng) yang membentuk aliansi
Tellumpoccoe untuk membendung ekspansi Gowa. Aliansi ini kemudian pecah saat
Wajo berpihak ke Gowa dengan alasan Bone dan Soppeng berpihak ke Belanda.
Saat Gowa dikalahkan oleh armada gabungan Bone, Soppeng, VOC dan Buton,
Arung Matowa Wajo pada saat itu, La Tenri Lai To Sengngeng tidak ingin
menandatangani Perjanjian Bungaya.
Setelah Wajo ditaklukkan, tibalah Wajo pada titik nadirnya. Banyak orang Wajo
yang merantau meninggalkan tanah kelahirannya karena tidak sudi dijajah.
Kerajaan Wajo adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun 1399, di
wilayah yang menjadi Kabupaten Wajosaat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya
disebut “Raja Wajo”. Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu
Cinnotabi.
Kerajaan Wajo1399–1957
Bendera
PendahuluPenggantiCinnotabiKabupaten Wajo
Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah terbentuknya
[[Wajo]]. yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit kulit
kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya dia bertemu dengan
putra Arumpone Bone yang sedang berburu. Akhirnya mereka menikah dan
membentuk dinasti diWajo. Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah La Banra,
seorang pangeranSoppeng yang merantau ke Sajoangingdan membuka tanah di
Cinnotabi.
Sejarah AwalSunting
Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang umumnya memulai
kerajaannya dengan kedatangan To Manurung. Sejarah awal Wajo menurutLontara
Sukkuna Wajo dimulai dengan pembentukan komunitas dipinggir Danau
Lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang dari berbagai daerah, utara, selatan,
timur dan barat, berkumpul dipinggir Danau Lampulung. Mereka dipimpin oleh
seseorang yang tidak diketahui namanya yang digelari dengan Puangnge Ri
Lampulung. Puang ri Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui
tanda-tanda alam dan tatacara bertani yang baik. Adapun penamaan danau
Lampulung dari kata sipulung yang berarti berkumpul.
Setelah itu, putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu, yaitu La Paukke
datang dan mendirikan kerajaan Cinnotabi. Adapun urutan Arung Cinnotabi yaitu,
La Paukke Arung Cinnotabi I yang diganti oleh anaknya We Panangngareng Arung
Cinnotabi II. We Tenrisui, putrinya menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh
putranya La Patiroi sebagai Arung Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat
Cinnotabi mengangkat La Tenribali dan La Tenritippe sekaligus sebagai Arung
Cinnotabi V. Setelah itu, Akkarungeng (kerajaan) Cinnotabi bubar. Warga dan
adatnya berkumpul di Boli dan membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu
Tellu KajuruE.
Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada pemerintahan La
Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi
pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang
telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman.
Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal di sana. Wajo terlibat
Perang Makassar (1660-1669) disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran
tengah Sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To
Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak
menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatanganiperjanjian Bungaya, sehingga
Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga
berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan
banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial
ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima
perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan
yang kini dikenal sebagai Samarinda.
– Arung Mabbicara –> Pejabat pemerintah kerajaan/hakim (12 orang). Terdiri dari
4 orang Arung Mabbicara untuk masing-masing dari 3 Limpo (distrik). Mengepalai
Ana Limpo
– Pabbate Caddi –> Pemegang Panji kerajaan (12 orang), satu orang untuk tiap ana
limpo (sub distrik)
– Pabbate Lompo –> Panglima perang, terdiri dari Pilla, Patola dan Cakkuridi (3
orang). Satu orang tiap limpo (distrik). Pabbate Lompo Pilla mendampingi
Paddanreng Bettempola, Pabbate Lompo Patola mendampingi Paddanreng
Talotenreng, Pabbate Lompo Cakkuridi mendampingi Paddanreng Tuwa.
– Suro –> Utusan (3 orang). Masing-masing 1 orang Suro tiap Limpo (distrik)
Kelima jabatan diatas disebut sebagai Arung PatappuloE, penguasa 40.
– Punggawa –> Panglima perang wilayah, bertugas mengantar Arung lili ke pejabat
Arung PatappuloE. Terdiri dari 3 orang, satu orang tiap limpo. Meski tidak masuk
Arung PatappuloE, tetapi punya wewenang memveto keputusan kerajaan tentang
perang.
NoPenguasaMulai
MenjabatAkhir
Jabatan Batara Wajo
KontroversiSunting
Salah satu upaya yang dilakukan kata dia, adalah dengan tetap
mengedepankan prinsip-prinsip yang mendorong tercapainya
keserasian, sinergitas, efektifitas dan efisiensi sumber pendanaan untuk
pembangunan daerah. Berbagai program dan kegiatan pembangunan
daerah diintegrasikan dengan program dan kegiatan yang menjadi
kewenangan pemerintah propinsi dan pemerintah pusat.
"Pemerintah Kabupaten Wajo dalam kurun waktu empat tahun
terakhir, telah banyak mengalami perkembangan yang cukup pesat,
baik dari pertumbuhan ekonomi maupun tingkat kesejahteraan
masyarakat sendiri. Kondisi ini sudah sangat membuktikan bahwa
pemerintahan saat ini, telah mampu membawa Kabupaten Wajo ke
arah kemajuan,
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran