Anda di halaman 1dari 10

Bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi dan

interaksi antaranggota masyarakat dari suku-suku atau kelompok-kelompok etnis di


daerah-daerah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, bahasa
daerah merupakan salah satu sarana pembentuk kekayaan budaya bangsa yang plural
(majemuk) di samping kekayaan keragaman cara berpikir, keragaman adat, dan
keragaman sistem hukum adat (Asshiddiqie, 2007). Keragaman budaya bangsa tersebut
sebagai embrio terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga identitas
kebangsaan (Indonesia) adalah keragaman itu sendiri yang salah satu pondasinya adalah
bahasa daerah. Eksistensi bahasa daerah berkedudukan sebagai bahasa daerah sehingga
memiliki tiga fungsi utama yaitu sebagai

1. lambang kebanggaan daerah,


2. lambang identitas daerah
3. alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah (Halim, 1980).
Terkait dengan hal itu dalam rumusan kebijakan bahasa nasional, di samping tiga
fungsi utama, ada dua fungsi tambahan yaitu
1. sebagai sarana pendukung budaya daerah dan
2. bahasa Indonesia dan bahasa daerah sebagai pendukung sastra daerah dan sastra
Indoneia (Alwi dan Dendy Sugono, 2000).
Bahasa daerah memiliki hak hidup yang sama dengan bahasa Indonesia. Hal ini
sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan bahasa
daerah akan dihormati, dipelihara dan dikembangkan oleh negara termasuk pemerintah
pusat atau pun pemerintah daerah (Hasan Alwi dalam Riyadi, 1996; Mahsun, 2000;
Asshiddiqie, 2007).

Suku Tolaki adalah etnis terbesar yang berada di provinsi Sulawesi Tenggara.
Suku Tolaki merupakan etnis yang berdiam di jazirah tenggara pulau Sulawesi. Suku
Tolaki merupakan suku asli daerah Kabupaten Kendari dan Kolaka. Suku Tolaki tersebar
di 7 kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Tenggara yang meliputi Kota
Kendari, Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, Kolaka, Kolaka
Utara dan Kolaka Timur.
Orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Tolahiangga (orang dari langit
atau turun dari langit, To artinya orang dan hiangga artinya langit atau khayangan).
Menurut Tarimana (1989 : 51-52) mungkin yang dimaksud dengan istilah “langit” adalah
kerajaan langit yakni China yang dihubungkannya dengan kata hiu yang dalam bahasa
China artinya langit dengan kata heo yang dalam bahasa Tolaki artinya ikut pergi ke
langit. Sebagaimana dikenal dalam budaya Cina (Granat, dalam Needhan 1973 yang
dikutip Tarimana). Dalam dugaannya, ada keterkaitan antara kata “hiu” yang dalam
bahasa Cina berarti “langit” dengan kata “heo” (Tolaki) yang berarti “ikut pergi ke
langit”. Asal kata TOLAKI, TO=orang atau manusia, LAKI= Jenis dalam Needhan 1973
yang dikutip Tarimana). Dalam dugaannya, ada keterkaitan antara kata “hiu” yang dalam
bahasa Cina berarti “langit” dengan kata “heo” (Tolaki) yang berarti “ikut pergi ke
langit”. Asal kata TOLAKI, TO=orang atau manusia, LAKI= Jenis kelamin laki-laki,
manusia yang memiliki kejantanan yang tinggi, berani dan menjunjung tinggi
kehormatan diri / harga diri. Dalam perkembangannya, suku Tolaki kemudian terbagi
atas dua bagian yang tersebar di dua wilayah pemukiman. Sebagian orang-orang Tolaki
yang berdiam di daratan atau lembah Konawe berdialek Konawe yang terdiri dari
Kabupaten Konawe, Kabupaten Konawe Selatan, Kababupaten Konawe Utara, dan Kota
Kendari, berdasarkan dialek ini, Tolaki Konawe biasa pula disebut To Konawe.
Sedangkan sebagian orang-orang Tolaki yang berdialek Mekongga mendiami wilayah
Kabupaten Kolaka, Kabupaten Kolaka Timur, dan Kabupaten Kolaka Utara, dan biasa
disebut To Mekongga.

Masyarakat Tolaki sejak zaman prasejarah telah memiliki jejak peradaban, hal ini
dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan arkeologi di beberapa gua atau kumapo di
Konawe bagian utara maupun beberapa gua yang ada di daerah ini. Lokasi situs gua-gua
di daerah ini umumnya terletak di Konawe bagian Utara seperti Asera, Lasolo, Wiwirano,
Langgikima, Lamonae, diantaranya gua Tanggalasi, gua Tengkorak I, gua Tengkorak II,
gua Anawai Ngguluri, gua Wawosabano, gua Tenggere dan gua Kelelawar serta masih
banyak situs gua prasejarah yang belum teridentifikasi.

Dari hasil penelitian tim Balai Arkeologi Makassar dari tinggalan materi uji
artefak di Wiwirano berupa sampel dengan menggunakan metode uji karbon 14 di
laboratorium Arkeologi Miami University Amerika Serikat, menyimpulkan bahwa dari
pada artefak di Wiwirano Konawe Utara berumur sekitar 7000 tahun yang lalu atau
dengan evidensi ini maka peradaban Tolaki di Konawe telah berlangsung sejak 5000
tahun Sebelum Masehi. Di dalam gua-gua tersebut menyimpan banyak artefak baik
tengkorak manusia, alat kerja seperti alat-alat berburu, benda pemujaan, guci, tempayan,
gerabah, porselin baik itu buatan Cina, Thailand, VOC, Hindia Belanda, batu pemujaan,
terdapat beberapa gambar atau adegan misalnya binatang, tapak tangan, gambar berburu,
gambar sampan atau perahu, gambar manusia, gambar perahu atau sampan, patung,
terakota, dan sebagainya. Secara linguistik bahasa Tolaki merupakan atau masuk kedalam
rumpun bahasa Austronesia, secara Antropologi manusia Tolaki merupakan Ras
Mongoloid, yang datang ditempat ini melalui jalur migrasi dari Asia Timur, masuk
daerah Sulawesi, hingga masuk daratan Sulawesi Tenggara.

Sebelum kerajaan Konawe muncul, telah ada beberapa kerajaan kecil yaitu:
Padangguni berkedudukan di Abuki pada saat itu yang menjadi rajanya adalah mokole
Bunduwula. Kerajaan Besulutu di Besulutu dengan rajanya bernama Mombeeti, dan
kerajaan Wawolesea di Toreo dengan rajanya Wasangga. Berdasarkan oral tradition atau
tradisi lisan masyarakat Tolaki jauh sebelum kerajaan Konawe terbentuk. Di daerah ini
telah berdiri beberapa kerajaan kecil. Kemudian berintegrasi menjadi satu konfederasi
yaitu kerajaan Konawe. Gejala terintegrasinya kerajaan kecil membentuk satu
konfederasi kerajaan terjadi juga di beberapa kerajaan di daerah ini seperti halnya
kerajaan Wolio terbentuk merupakan gabungan dari beberapa kerajaan kecil seperti
Kamaru, Tobe-Tobe, dan beberapa kerajaan kecil lainnya. Adapun beberapa kerajaan
kecil tersebut adalah sebagai berikut:

1) Kerajaan Padangguni

Kerajaan Padangguni ini mulai berkembang dan memperluas wilayahnya dan


kerajaan ini eksis dan berkuasa selama 12 generasi. Adapun pimpinan atau Raja pertama
Padangguni bernama Tolahianga dengan gelar Bundu Wula atau Tanggolowuta juga biasa
digelar Sangia Ndudu Ipadangguni.

2) Kerajaan Wawolesea

Kerajaan Wawolesea terletak dipinggir atau pesisir pantai timur jazirah Tenggara
pulau Sulawesi di daerah Lasolo. Menurut Burhanudin bahwa kerajaan Wawolesea
merupakan keturunan dari raja Kediri di Jawa. Kerajaan ini tidak berkembang dan maju
disebabkan terjadinya peperangan antara Kerajaan Banggai di Sulawesi Tengah. Penyebab
lainnya menurut kepercayaan adalah terkena kutukan (molowu), akibat Raja Wawolesea
menikahi putrinya sendiri. Begitu terkena musibah tersebut maka penduduk kerajaan
Wawolesea ada yang mengadakan pelayaran menuju ke daerah lain dan mereka terdampar
disemenanjung utara pulau Buton dan pulau Wawonii. Kerajaan Wawolesea ini dipimpin
oleh seorang raja yang bernama Rundu Langi, dan tidak mempunyai pewaris kerajaan
sehingga kerajaan Wawolesea berintegrasi dengan kerajaan Konawe.

3) Kerajaan Besulutu.

Kerajaan Besulutu ini berlangsung singkat hal ini disebabkan oleh karena Raja
Besulutu yang bernama Mokole Mombeeno mempunyai suatu kegemaran berperang
(momuho) dengan beberapa kerajaan disekitarnya. Sehingga rakyatnya banyak berkurang,
bahkan Rajanya terbunuh dalam peperangan. Sehingga tidak ada penerus kerajaan
tersebut.

4) Kerajaan Watu Mendonga

Kerajaan Watumendonga terletak di hulu sungai Konawe Eha yang terletak di


Tonga Una dan kerajaan ini pada saat itu masih dibawah kerajaan Konawe. Pada periode
selanjutnya kerajaan Watumendonga ini bergabung dengan kerajaan Mekongga. Pada saat
itu daerah Konawe bagian Utara seperti Kondeeha, Tawanga, Sanggona diberikan kepada
kerajaan Mekongga sebagai warisan kepada Wunggabae anak Buburanda Sabandara
Latoma bernama Buburanda atas pernikahannya dengan Bokeo Teporambe anak dari
Bokeo Lombo-Lombo. Sebagai pimpinan terakhir bernama Mokole Lapanggili.

Menurut para penutur silsilah (kukua) raja-raja, hingga kini masih terdapat sisa-
sisa peninggalan dari kerajaan-kerajaan kecil tersebut, baik peninggalan berbentuk
arkeologi maupun etnografi, misalnya reruntuhan istana Raja Wawolesea di Toreo.

Menurut sumber sejarah kerajaan-kerajaan ini runtuh disebabkan terjadinya perang


saudara antara satu sama lainnya misalnya peperangan antara Padangguni dengan
Besulutu, atau adanya ekspansi dari kerajaan lain di luar wilayah Konawe seperti Bungku
dan Ternate, yang menyebabkan munculnya power baru di daerah ini yaitu kerajaan
Konawe yang merupakan hasil konfederasi ketiga kerajaan tersebut, serta perang antara
kerajaan Wawolesea dan dengan kerajaan Banggai. Pada zaman Hindia Belanda di Kolaka
terdapat distrik Watumendonga yang berkedudukan di Tongauna.

Kemudian dari keturunan Mokole Padangguni inilah muncul seorang pemimpin


yang berusaha untuk mengintegrasikankan seluruh kelompok-kelompok masyarakat
Tolaki yang sudah menetap dan berkembang, penduduknya serta menyebar di seluruh
wilayah kerajaan Padangguni. Adapun nama Mokole Padangguni tersebut adalah
Toramandalangi yang bergelar Totongano Wonua. Selanjutnya Totongano Wonua
memindahkan pusat kerajaannya dari Padangguni ke Unaaha, disebabkan sewaktu
Totongano Wonua mengadakan perjalanan dalam rangka menyatukan negeri-negeri di
sekitarnya. Ia mendapatkan daerah Unaaha telah bermukim orang-orang yang datang dari
Tulambantu. Mereka meninggalkan wilayah karena wabah penyakit yang epidemis hampir
memusnahkan mereka. Dan pemimpin mereka bernama Puteo. Totongano Wonua ini
menemukan seorang wanita yang berada di Lalobalongga yang bernama Nanggalamaha.
Selang berapa saat setelah Toramandalangi memindahkan pusat pemerintahannya di
Inolobu Nggadue Unaaha. Tiba-tiba munculah seorang putri di Unaaha dengan 40 orang
pengawalnya lengkap dengan persenjataannya dan berbaju sirat.

Menurut dua orang bersaudara Albert Cristian Kruyt, dan J. Kruyt, serta F.
Treferrs bahwa hal yang sama terjadi di Kerajaan Mekongga Kolaka dimana Wekoila dan
Larumbalangi, yang diceritakan tentang dua orang bersaudara kandung wanita-pria. Jadi
sebagai kakak adalah Wekoila sedangkan Larumbalangi merupakan adik. Mereka inilah
yang menurunkan raja-raja Konawe, dan Mekongga di Kolaka.

Melihat kedatangan putri tersebut segeralah tersiar kabar di kalangan orang-orang


Unaaha. Mereka segera menyambut putri tersebut dan oleh orang-orang Unaaha menyebut
putri tersebut dengan nama Sangia Ndudu artinya Dewa yang turun, karena masyarakat
Tolaki tidak mengenalnya atau mengetahuinya siapa ayah dan ibu putri tersebut.
Kemudian mereka menemui mokole Toramalangi, mendengar laporan masyarakat tersebut
maka mokole Toramalangi datang menemui Putri itu. Putri itu ditumbuhi penyakit kulit
berupa panu Opano yang putih sehingga oleh Totongano Wonua memberikan nama
Wekoila.
Wekoila ini adalah saudara dengan Larumbalangi dengan gelar Sangia Aha.
Wekoila ini dinamakan Wetendriabeng, atau dalam bahasa Tolaki dikenal dengan nama
Walandiate atau Watandiabe, karena lidah orang Tolaki dan orang Bugis tidak sama
pengucapan, kalau orang Tolaki sangat susah untuk menyebut Wetendriabe sehingga
berubah Watandiyate.

Kata Wekoila memiliki makna gadis cantik, terdiri dari dua kata We adalah nama
depan bangsawan perempuan, koila artinya mengkilat. Kemudian Wekoila atau
Watandiyate dikawinkan dengan putra Toramalangi Ndotonganowonua yang bernama
Ramandalangi yang bergelar Langgai Moriana. Toramalangi ini di dalam kitab sastra
Lagaligo disebut Remangrilangi. Setelah mereka kawin kemudian Wekoila dilantik
(Pinorehu) oleh orang-orang Tolaki menjadi raja mereka. Dan kemudian Wekoila setelah
menjadi raja maka kerajaan Padangguni diganti menjadi kerajaan Konawe. Dan
berakhirlah kerajaan Padangguni dan muncullah kerajaan Konawe, kejadian ini
berlangsung pada awal abad ke-10 Masehi. Pusat kerajaan Konawe pada awalnya
berlokasi di napo Olo-Oloho di pinggir sungai Konaweeha, kemudian pindah ke daerah
Unaaha di Inolobu Nggadue.

Suku Tolaki mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya bangsa
Indonesia. Masyarakat suku Tolaki, hingga saat ini masih tetap mempertahankan
sebagian adat istiadat baik upacara-upacara yang sakral misalnya upacara perkawinan
yang berlandaskan dengan unsur-unsur adat maupun kehidupan sehari-hari. Dengan
mengikuti aturan-aturan adat yang telah diberlakukakan sejak turun temurun berarti
masyarakatnya telah dapat menjaga budaya-budaya lokal tersebut agar tetap lestari.
Adat dapat di pahami sebagai tradisi local yang mengatur intraksi masyarakat .
dalam ensiklopedia di sebutkan bawa adat adalah “kebiasaan atau “tradisi” masyarakat
yang telah di lakukan berulang kali secara turun temurun . Kata “adat” disini lazim pakai
tanpa membedakan mana yang mempunyai saksi seperti “ hukum adat “ dan mana yang
tidak mempunyai saksi seperti di sebut adat saja. Adat yang di terapkan oleh masyakat
suku tolaki hingga saat ini masih menjadi suatu kepercayaan dalam kehidupan masing-
masing
Adapun adat atau kebiasaan yang masih di terapkan atau di lakukan oleh
masyarakat tolaki yaitu :
1. bahwa untuk seorang pria maupun wanita yang belum menikah dilarang
memakan bagian buntut ayam, karena akan lama mendapatkan jodoh. Jika di
kaitkan dalam budaya,hingga saat ini kepercayaan tersebut masih dipercaya,
terlihat dari beberapa orang tua untuk melarang setiap terutama anak
perempuan untuk memakan bagian buntut ayam. Di kaitkan dalam segi
kesehatan buntut ayam mengandung kelenjar penghasil minyak ini memiliki
kandungan lemak yang cukup tinggi pula. Buntut ayam juga mengandung
hormon, dan juga merupakan tempat berkumpulnya kelenjar getah bening.
Makrofag dalam kelenjar getah bening bisa menyimpan bakteri dan virus,
bahkan karsinogen (zat penyebab kanker), namun sayangnya tidak bisa
mengurainya sehingga racun-racun tersebut akan mengendap di dalam buntut
ayam. buntut ayam mengandung kelenjar penghasil minyak ini memiliki
kandungan lemak yang cukup tinggi pula. sehingga racun-racun tersebut akan
mengendap di dalam buntut ayam. Tak hanya itu, selama proses pertumbuhan,
ayam sayur juga perlu disuntik antibiotik; sementara itu ada beberapa jenis
antibiotik yang larut dalam lemak, sehingga jika waktu penyuntikan dan
panen terlalu dekat, maka jenis antibiotik yang larut dalam lemak masih
tertinggal, dan dapat menyebabkan kanker pencernaan atau hati jika rutin kita
makan
2. Ibu hamil di larang memotong rambut. Larangan memotong rambut saat
sedang hamil tidak diperbolehkan karena akan berpengaruh pada bayi akan
mengalami patah tulang atau ada bagian yang putus dari bayi tersebut saat
akan di lahirkan. Jika di kaitkan dengan kesehatan tidak ada pengaruhnya
wanita hamil yang ingin melakukan potong rambut. Selama ibu hamil mampu
memperhatikan rambu-rambu potong rambut dan gaya rambut, maka kegiatan
ini boleh dilakukan apalagi dibutuhkan untuk kenyamanan ibu hamil. Dan di
kaitkan di dalam agama tidak ada surat atau pun hadis yang mengatakan
bahwa wanita hamil di larang memotong rambut
3. Tidak di perbolehkan keramas saat menstruasi. Jika di kaji dari segi budaya
orang-orang jaman dulu rata-rata mandi dan keramas di tempat umum, seperti
kali atau sungai. Air yang ada di tempat umum seperti itu jelas tidak terlalu
bersih. Hal tersebut menyebabkan orang yang mandi terkadang terkena
penyakit lalu orang mulai melarang untuk mandi dan keramas saat haid. Di
liat dari kesehatan larangan ketika sedang mengalami mestruasi hanyalah
mitos. Dan menurut agama sebenarrnya tidak ada dalil atau larangan yang
jelas menyebutkan larangan keramas saat mentruasi.
4. Memasukkan emas ke dalam kobokkan saat mengobati seorang anak yang
terkena cacar ( monduha wula ).
5. Ibu hamil dilarang makan terong, karena terong dapat membuat tubuh si ibu
dan bayi menjadi gatal. Dikaji dari segi kesehatan Terong merupakan salah
satu jenis sayuran yang banyak mengandung Vitamin A dan C. Terutama pada
jenis terong ungu dan palola. Terong jenis ini mempunyai banyak manfaat
dan khasiat, diantaranya mengandung antosianin, termasuk kedalam golongan
flavonoid yang merupakan salah satu jenis antioksidan. Antioksidan ini dapat
membantu daya tahan tubuh menjadi lebih baik. Terong juga kaya akan
vitamin A dan C untuk meningkatkan daya tahan tubuh selain itu, bagi
pertumbuhan tubuh terong sangat bagus karena mengandung fosfor dan
magnesimu yang akan membantu pertumbuhan tulang. Oleh karena itu, tidak
benar bila terong dapat menyebabkan gatal-gatal pada Ibu dan Bayi. Dan di
kaji menurut agama Kristen Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala
tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan
yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu””(Kejadian 1:29).
6. Salah satunya kebisaan yang sering dilakukan oleh masyarakat setempat yaitu
MEWUNDO di mana setiap ibu yang usai melahirkan di bungkus dengan
tikar dimana didalam tikar tersebut telah tersedia air panas,di mana ibu
tersebut mengaduk aduk air panas tersebut sehingga uap dari air panas
tersebut keluar sehingga darah kotor yang tidak keluar selama kehamilan
dapat terangsang cepat keluar dan memperlancar aliran darah. Dari segi
kesehatan pun memang benar bahwa mandi dengan air panas dapat
memperlancar aliran darah
7. Larangan Duduk Di Bantal, Nanti Bisul. Larangan duduk di bantal,
merupakan bentuk implementasi dari kesadaran, pemahaman dan keyakinan
akan sesuatu. Jadi mitos tersebut sesungguhnya adalah pengetahuan lokal
yang mengandung unsur kebenaran sehingga terus diimplementasikan secara
turun temurun atau berkelanjutan. Istilah bisul hanya simbol atau bahasa
sederhana agar anak-anak mudah memahami atau sanksi atau larangan yang
dimaksud. Jika di kaitkan dengan kesehatan bantal dirumah adalah tempat
yang paling ideal bagi berkembangnya kuman, bakteri, kutu debu, dan kotoran
lainnya. Bantal bisa menjadi sarang kutu, kulit mati manusia, dan banyak
lainnya. Karena itu permukaan bantal bisa menjadi tempat yang sangat kotor.
Sementara itu efek yang dapat timbul dari kotonya bantal yaitu bisa
menyebabkan jerawat, gangguan pernafasan, bersin-bersin, alergi atau gatal-
gatal pada kulit kepala yang disebabkan oleh mikoorganisme pada bantal
tersebut.
8. Makan ikan bou setelah melahirkan sesar Masyarakat suku tolaki percaya
bahwa setelah melahirkan melalui proses sesar di wajibkan bagi si ibu untuk
mengonsumsi ikan bou ( ikan gabus ) agar mempercepat proses penyembuhan
luka pasca operasi. Jika di kaitkan dalam kesehatan ikan gabus dikenal memiliki
jenis kandungan gizi yang lebih tinggi. Kandungan protein ikan gabus sebesar
25,5%dan ikan-ikan yang lain. ikan gabus ini sangat kaya akan albumin, salah satu
jenis protein penting bagi tubuh manusia. Albumin diperlukan tubuh manusia,
terutama dalam proses penyembuhan luka-luka.
9. Larangan pindah-pindah tempat pada saat makan nanti akan memperbanyak
suami/istri di kemudian hari. Masyarakat suku tolaki masih mempercayai
kebiasaan tersebut dan masih di terapkan di kehidupan masing-masing. Jika di
liat dari segi kesehatan jika seseorang yang sedang makan lalu berpindah-
pindah posisi dari satu tempat ke tempat yang lain, maka sistem percernaan
makanan akan menjadi tidak baik. Makanan yang seharusnya tercerna baik-
baik sebaliknya akan susah di cerna akibat banyaknya gerakkan pada saat
makan. Sehingga hal tersebut akan menganggu sistem pencernaan mencerna
makanan.
10. Mosehe pada suku tolaki sering di sebut sebagai upacar pensucian, secara
harfiah mosehe merupakan penggabungan dari dua dari dua kata yaitu ‘mo’
dan ‘sehe’. Mo berarti melakukan sesuatu , sedsngkan sehe adalah suci atau
menyehatkan. Upacara mosehe adalah upaya pensycian diri dari segala
perbuatan yang salah. Mosehe yang terjadi hingga saat ini di dasari oleh
pemebtudaria (sumpah) yang di ucapkan oleh nenek moyang orang tolaki di
mas lalu. Upacar tersebut bertujuan untuk menawarkan sumpah yang telah di
langgar agar jika tidak di tawarkan akan terjadi hal-hal yang buruk at
kesehatan org tersebut terganggu bahkan dapat mendatangkan kematian.

Anda mungkin juga menyukai