Anda di halaman 1dari 12

ETIKA PROFESI DAN ILMU PERILAKU

“ADAT DAN KEBIASAAN SUKU MORONENE”

OLEH :

AGUS INDRA JAYA

P00341017003

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI
PRODI D-III ANALIS KESEHATAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Etika Profesi Dan Ilmu Perilaku Adat dan kebiasaan Suku Moronene”. Penyusunan
makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Etika Profesi Dan Ilmu
Perilaku. Kami selaku penyusun berharap dapat menambah wawasan dan
pengetahuan khususnya dalam bidang sosial. Serta pembaca dapat mengetahui
tentang adat dan kebiasaan suku moronene.

Kami menyadari banyaknya kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh


karena itu, kami sangat mengharapkan kritikan dan saran dari para pembaca untuk
melengkapi segala kekurangan dan kesalahan dari makalah ini.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah


membantu selama proses penyusunan makalah ini.

Kendari, july 2020

Penyusun

ii
iii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER…………………………………………………………………i
KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................2
C. Tujuan..........................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................3
A. Pengertian Adat Meoli.................................................................................................3
B. Kebiasaan Mengenai Adat Meoli.................................................................................4
C. Perilaku Mengenai Adat Meoli....................................................................................5
D. Karakter Mengenai Adat Meoli....................................................................................5
E. Hubungan Masalah Kesehatan Dengan Adat Meoli.....................................................5
F. Pemeriksaan TLM.....................................................................................................5
BAB III PENUTUP.....................................................................................................6
A. Kesimpulan..................................................................................................................6
B. Saran............................................................................................................................6
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kabaena adalah satu pulau yang terletak dibagian selatan dari jazirah Sulawesi
Tenggara dengan luas lebih kurang 990 Km2. Pulau kabaena tersebut terbagi menjadi
6 (enam) Kecamatan yakni, Kecamatan Kabaena, Kabaena Timur, Kabaena Barat,
Kabaena Utara, Kabaena Tengah dan Kabaena Selatan. Pulau kabaena termasuk
wilayah kabupaten bombana provinsi Sulawesi Tenggara. Menurut legenda suku
bangsa (sub-etnis) Moronene, penduduk asli pulau tersebut, nama asli pulau kabaena
adalah Pu’uvonua artinya pusat awal permukiman suku moronene.
Suku Moronene adalah salah satu dari empat suku besar (suku Tolaki, Buton,
Muna) di Sulawesi Tenggara.
Menurut antropolog Universitas Haluoleo, Kendari, Sarlan Adi Jaya, Moronene
adalah suku asli pertama yang mendiami wilayah itu. Namun, pamornya kalah
dibanding suku Tolaki karena pada abad ke-18 kerajaan suku Moronene-luas
wilayahnya hampir 3.400 kilometer persegi-kalah dari kerajaan suku Tolaki.
Kata "moro" dalam bahasa setempat berarti serupa, sedangkan "nene" artinya
pohon resam, sejenis paku yang biasanya hidup mengelompok. Kulit batangnya bisa
dijadikan tali, sedangkan daunnya adalah pembungkus kue lemper. Resam hidup
subur di daerah lembah atau pinggiran sungai yang mengandung banyak air. Sebagai
petani, peramu, dan pemburu, suku Moronene memang hidup di kawasan sumber air.
Mereka tergolong suku bangsa dari rumpun Melayu Tua yang datang dari Hindia
Belakang pada zaman prasejarah atau zaman batu muda, kira-kira 2.000 tahun
sebelum Masehi. sejarah tua moronene kemudian terbentuk pemerintah Bombana
yang kemudian memecah menjadi tiga protektorat pemerintah; Kabaena, Poleang,

1
Rumbia. Tidak diketahui kapan tepatnya suku Moronene mulai menghuni kawasan
Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.
Seperti kebanyakan masyarakat adat lainnya, orang Moronene juga melakukan
perladangan berpindah dengan sistem rotasi. Tapi sistem itu sudah lama ditinggalkan
dan mereka memilih menetap. Suku Moronene juga dikenal pandai memelihara
ekosistem mereka. Jonga atau sejenis rusa, misalnya, masih sering ditemui di sekitar
permukiman mereka di Hukaea, termasuk burung kakatua jambul kuning, satwa
endemik Sulawesi yang dilindungi. Namun, sifat asli suku ini, yang memegang adat
mosombu lebih merasa tenang menyendiri. Namun kehidupan tenang itu perlahan-
lahan terusik ketika pemerintah pada tahun 1990 menetapkan kawasan itu sebagai
taman nasional. Dengan alasan itulah aparat Pemda Sulawesi Tenggara mengerahkan
polisi dan tentara menggelar Operasi Sapu Jagat untuk mengusir keluar orang-orang
Moronene. Alasannya, biar hutan tak rusak sehingga bisa dijual sebagai objek
ekoturisme dan sumber pendapatan da-erah lainnya. Padahal, hak masyarakat adat
atas tanah ulayat mereka diakui oleh Undang-Undang Kehutanan tahun 1999.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :


1. Apa itu adat Meoli ?
2. Kapan kebiasaan adat Meoli ?
3. Bagaimana perilaku mengenai adat Meoli ?
4. Bagaimana karakter mengenai adat Meoli ?
5. Apa hubungan adat Meoli dengan masalah kesehatan ?
6. Apa pemeriksaan TLM yang dilakukan ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu adat Meoli


2. Untuk mengetahui kapan kebiasaan adat Meoli

2
3. Untuk mengetahui perilaku mengenai adat Meoli
4. Untuk Mengetahui karakter mengenai adat Meoli
5. Untuk mengetahui hubungan adat Meoli dengan kesehatan
6. Untuk mengetahui pemeriksaan TLM yang dilakukan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Adat Meoli

Meoli adalah suatu hajat yang dilakukan atau disampaikan kepada roh untuk
melindungi, menjaga, dan atau menyukseskan apa yang menjadi keinginan dari
masyarakat di tempat itu. Secara denotatif, meoli, mo’oli, atau mo’ooli merujuk pada
makna yang sama, yaitu “membeli”. Limba (2015) menjelaskan bahwa mo’ooli
berasal dari kata olio, artinya beli/tebus. Secara kontekstual ritual perladangan,
mo’ooli artinya membeli atau menebus tanah yang akan dijadikan lokasi perladangan
kepada pemiliknya „nteiwonua’. Meoli adalah ritual adat Moronene yang digelar
dengan tujuan meminta restu atas akan dilaksanakan sebuah hajat seperti membuka
ladang, baik yang bersifat individu maupun komunal. Di dalam pelaksanaannya,
ritual meoli tidak dapat dilepaskan dari penuturan mantra. Mantra dituturkan sebagai
penyampaian pesan secara langsung dari penggelar ritual kepada sangia ntiwonua
yang diyakini memiliki kekuasaan atas alam semesta (Hastuti, 2015).

Meoli adalah upacara adat yang dilakukan sebelum buka lahan/hutan agar tidak
ada gangguan dari roh halus berkekuatan gaib, dengan memberikan syarat/wejangan
untuk makhluk halus yang diyakini sebagai penjaga/penguasa hutan (Ntiwonua).
Syarat prosesi meoli yaitu sarung dua pasang (sarung laki-laki dan perempuan),
pakaian dua pasang (laki-laki dan perempuan) dan daun sirih (bite), buah pinang
(wua), kapur sirih (Ngapi), tembakau (Ahu), kulit jagung (kulimpuhu) secukupnya.
Pertanda yang dijadikan sebagai wadah komunikasi dengan makhluk halus melalui
tanda-tanda langit dan pertanda-tanda baik yaitu kupu-kupu (tolewa), belalang
(kotumba), dan bereng-bereng (tasia). semua serangga tersebut terbang di sekeliling

3
tempat prosesi. Adapun tanda buruk yaitu tawon besar (roani), berwarna merah
(towua metaha) dan tawon kecil berwarna kuning (kokoti).

Upacara Meoli terbagi menjadi 2, yaitu apabila tidak diizinkan meski sudah
dilaksanakan meoli maka dilakukan kembali dengan persyaratan sepasang ayam
putih, nasi ketan hitam dan telur ayam masak (tergantung permintaan makhlus halus).
ritual ini sebagai permohonan kepada kekuatan ghaib, dengan harapan apabila
makhluk halus ingin dipindahkan atau tetap ditempat tersebut hanya saja tidak
mengganggu masyarakat yang membuka lahan di wilayah tersebut. kedua, apabila
sudah dilaksanakan upacara kedua kalinya tetapi pertanda dari makhluk halus tidak
memberikan izin maka orang moronene tidak diperkenankan membuka lahan tersebut
dan terpaksa pindah di lahan lain yang tanpa ada gangguannya.

Mantra meoli hadir satu paket dalam kemasan pentas ritual yang bagi suku
Moronene sebagai pemiliknya bersifat fungsional baik secara normatif maupun
pragmatis. Corak tradisional yang masih demikian dekat dengan alam membuat orang
Moronene masih berpegang pada warisan leluhur mereka. Jalinan yang telah berjalan
sekian lama harus diupayakan tetap terpelihara harmonis. Orang-orang tua mereka
menyediakan perangkat dalam upaya ini, termasuk pembiasaan melaksanakan ritual
meoli. Ritual meoli dilakukan sebagai permohonan izin atau permintaan maaf atas
pembukaan lahan hutan untuk bercocok tanam.

Pelafalan mantra dalam pelaksanaan sebuah ritual disesuaikan dengan semangat


ritual itu sendiri. Ada yang diucapkan dengan suara lirih, lembut, dan nada menghiba,
ada juga yang diucapkan dengan suara lantang, tegas, tetapi tetap santun dan beradab.
Dalam ritual meoli, mantra diucapkan dengan suara lantang membahana dan
menggema di segenap penjuru wilayah hutan. Mantra meoli sudah seperti itu
diucapkan, tanpa diketahui kapan dan siapa yang memunculkan ritual ini pertama
kali. Generasi demi generasi melaksanakan ritual meoli dengan model pelafalan
mantra yang sama, sampai saat ini. Kesetiaan generasi muda melaksanakan ritual
meoli menjadi dukungan bagi upaya pelestarian kekayaan sastra lisan Moronene
sebagai bagian dari kekayaan budaya nusantara.

Mantra meoli tersusun atas bait-bait dengan rima akhir yang mengentalkan
nuansa puitis. Rima dan bait-bait yang hadir dengan kaidah puisi ini diperkuat dengan

4
teknik pelantunan yang membahana di tepi hutan dan intonasi yang berirama.
Suasana tepi hutan yang sunyi dengan desau angin dan suara serangga yang khas
memunculkan efek syahdu dan takzim. Manusia seolah melekat dengan alam. Pe’oli
atau syarat ritual sudah disiapkan sebelumnya dan ditempatkan di atas sebuah rangka
meja setinggi kurang lebih 120cm yang terbuat dari kayu kecil sederhana. Warga
yang hadir mengikuti jalannya ritual duduk diam mengkhidmati lantunan mantra.

B. Kebiasaan Mengenai Adat Meoli

Kebiasaan adat meoli ini dilakukan sebelum buka lahan/hutan agar tidak ada
gangguan dari halus berkekuatan gaib dengan memberikan syarat/wejangan kepada
makhluk halus.

Ritual diawali dengan mempersiapakan tempat, biasanya di pinggiran hutan


tidak jauh dari mulut gua tempat makam leluhur sebagai wilayah yang dikeramatkan.
setelah tempat siap, dilakukanlah ritual meoli dipimpin oleh seorang pembawa adat
yang disebut tumpuroo atau pembua’e.

Sebelum membacakan mantra, pembua’e mempersiapkan dirinya sebaik


mungkin karena pada hakikatnya apa yang akan dilakukan adalah sebuah komunikasi
dengan makhluk gaib yang dihormati. lalu, dalam posisi berlutut dan kepala
menunduk pembua’e mengangkat beu berisi pe’oli (wejangan). dengan kepala masih
menunduk, pembua’e berdiri dan meletakkan be’u di atas rangka kayu yang telah di
buat sebelumnya. lalu mulailah dia melafalkan mantra meoli dalam posisi berdiri dan
kedua tangan dilipat di depan dada.
C. Perilaku Mengenai Adat Meoli

Dalam pelaksanaan kegiatan adat meoli ini memunculkan perilaku pembacaan


mantra-mantra dan menyiapkan sesajian untuk makhluk gaib yang dihormati. Selain
itu, dalam ritual meoli ini diperhatikan jenis serangga yang berdatangan dan hinggap
di sekitar tempat ritual. Perilaku semacam ini seharusnya tidak perlu lagi
dilaksanakan di era saat ini dikarenakan ritual seperti ini bertentangan dengan agama.

5
D. Karakter Mengenai Adat Meoli

Dalam pelaksanaan adat ini dapat memunculkan karakter penyantun dan


saling menghormati. Nilai kesantunan dalam mantra meoli mewujud dalam berbagai
aspeknya. sikap tubuh dan intonasi saat pengucapan mantra menunjukkan sikap
merendah. penyediaan pe’oli menjadi pertanda penghormatan dari generasi sekarang
terhadap apa yang telah diwariskan oleh pendahulunya.

E. Hubungan Masalah Kesehatan Dengan Adat Meoli

Pada upacara ritual meoli ini di lakukan di hutan sehingga ada kemungkinan
digigit oleh nyamuk yang dapat menyebabkan penyakit Malaria, Demam Berdarah,
Demam Kuning, Filariasis Chikunguya dan Zika karena dilakukan disekitaran gua.
F. Pemeriksaan TLM

Pemeriksaan yang dapat dilakukan ialah Apusan Darah Tepi untuk melihat
adanya parasit dalam sel-sel darah.
A.

6
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan makalah yang telah dibuat maka dapat disimpulkan bahwa :


1. Meoli adalah suatu hajat yang dilakukan atau disampaikan kepada roh untuk
melindungi, menjaga, dan atau menyukseskan apa yang menjadi keinginan
dari masyarakat di tempat itu. Secara denotatif, meoli, mo’oli, atau mo’ooli
merujuk pada makna yang sama, yaitu “membeli”
2. Kebiasaan adat meoli ini dilakukan sebelum buka lahan/hutan agar tidak ada
gangguan dari halus berkekuatan gaib dengan memberikan syarat/wejangan
kepada makhluk halus.
3. Pada upacara ritual meoli ini di lakukan di hutan sehingga ada kemungkinan
digigit oleh nyamuk yang dapat menyebabkan penyakit Malaria, Demam
Berdarah, Demam Kuning, Filariasis Chikunguya dan Zika karena dilakukan
disekitaran gua.

B. Saran
Penulis sangat membutuhkan kritik dan saran melihat makalah di atas masih
banyak kekurangan guna untuk memperbaiki untuk makalah tersebut.

7
DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shidiq, Hasbi. 1971. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam.


Jakarta: Bulan Bintang.

Dinas Kebudayaan, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kabupaten Bombana. Risalah


Adat Perkawinan Suku Moronene Tokotua

Hadikusuma, Hilman.1990. Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan,


Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju.

Rambe. 1996. Adat Perkawinan Moronene dalam Upaya Melestarikan Kebudayaan


Suku Mo ronene.Kendari.

Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan


Kompilasi Hukum Islam,cet. Ke-1, Grahamedia Press 2014.

Wignjodipoero, Soerojo. 1984. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta:


Gunung Agung, cet Ke-VII

Anda mungkin juga menyukai