Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KERAJAAN WUJO
D
I
S
U
S
U
N
OLEH

- A. SITI ATQIA TENRIAWARU


- DHARLYA
- PRACILIA DINDA SAFIRA LIMPO
- HAERUNNISA IBRAHIM
Kerajaan Wajo adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun 1399,
di wilayah yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan.
Penguasanya disebut "Raja Wajo". Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan
sebelumnya yaitu Cinnotabi.

Latar belakang sebelum masuknya islam ke


kerajaan

Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang umumnya


memulai kerajaannya dengan kedatangan To Manurung. Sejarah awal
Wajo menurut Lontara Sukkuna Wajodimulai dengan pembentukan
komunitas dipinggir Danau Lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang
dari berbagai daerah, utara, selatan, timur dan barat, berkumpul dipinggir
Danau Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui
namanya yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puang ri
Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda
alam dan tatacara bertani yang baik. Adapun penamaan danau Lampulung
dari kata sipulung yang berarti berkumpul.

Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas wilayahnya


hingga ke Saebawi. Setelah Puang ri Lampulung meninggal, komunitas ini
cair. Hingga tiba seseorang yang memiliki kemampuan sama dengannya,
yaitu Puang ri Timpengeng di Boli. Komunitas ini kemudian hijrah dan
berkumpul di Boli. Komunitas Boli terus berkembang hingga meninggalnya
Puang ri Timpengeng.

Setelah itu, putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu, yaitu La
Paukke datang dan mendirikan kerajaan Cinnotabi. Adapun urutan Arung
Cinnotabi yaitu, La Paukke Arung Cinnotabi I yang diganti oleh anaknya
We Panangngareng Arung Cinnotabi II. We Tenrisui, putrinya menjadi
Arung Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La Patiroi sebagai Arung
Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat Cinnotabi mengangkat La
Tenribali dan La Tenritippe sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V. Setelah
itu, Akkarungeng (kerajaan) Cinnotabi bubar. Warga dan adatnya
berkumpul di Boli dan membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu
Tellu KajuruE.

La Tenritau menguasai wilayah majauleng, La Tenripekka menguasai


wilayah sabbamparu dan La Matareng menguasai wilayah takkalalla.
Ketiganya adalah sepupu satu kali La Tenribali. La Tenribali sendiri setelah
kekosongan Cinnotabi membentuk kerajaan baru disebut Akkarungeng ri
Penrang dan menjadi Arung Penrang pertama. Ketiga sepupunya
kemudian meminta La Tenribali agar bersedia menjadi raja mereka. Melalui
perjanjian Assijancingeng ri Majauleng maka dibentuklah kerajaan Wajo.
La Tenribali diangkat sebagai raja pertama bergelar Batara Wajo. Ketiga
sepupunya bergelar Paddanreng yang menguasai wilayah distrik yang
disebut Limpo. La Tenritau menjadi Paddanreng ri Majauleng, yang
kemudian berubah menjadi Paddanreng Bettempola pertama. La
Tenripekka menjadi Paddanreng Sabbamparu yang kemudian menjadi
Paddanreng Talotenreng. Terakhir La Matareng menjadi Paddanreng ri
Takkallala menjadi Paddanreng Tuwa.

Sejarah Masuknya Islam di Wajo


MESKI sejarah masuknya Islam di Wajo dikaitkan dengan kedatangan tiga
ulama dari Minangkabau pada abad ke-16, yakni melalui Datuk Ri
Bandang, Datuk Ditiro dan Datuk Patimang, akan tetapi beberapa bukti-
bukti sejarah menggambarkan bahwa Islam sudah tersiar di Wajo sejak
abad ke-13.

Hal ini dapat ditelusuri dari jejak sejarah kedatangan Sayyid Jamaluddin Al-
Akbar Al-Husaini, yang masih merupakan kakek kandung dari empat ulama
penyebar Islam di Jawa yang dikenal sebagai Wali Songo, yakni Sayyid
Maulana Malik Ibrahim, Sayyid Ainul Yaqin atau Sunan Giri, Sayyid Raden
Rahmatullah atau Sunan Ampel serta Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati.

“Kalau dilihat dari kedatangan Sayyid Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini yang


masih merupakan cucu turunan dari Nabi di Wajo pada tahun 1320, maka
dipastikan Islam di Wajo sudah lebih dulu daripada pelantikan Arung
Matowa Wajo pertama, yakni Latenri Bali yang baru dilantik menjadi arung
matowa pada tahun 1399,” kata budayawan Wajo, Sudirman Sabang,
belum lama ini.

Terungkapnya sejarah Sayyid Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini, kata dia,


mencuat pada seminar pengajuan Syech Yusuf sebagai pahlawan
nasional, beberapa waktu lalu. Jamaluddin Assagaf Puang Rahmat yang
menjadi pemateri kala itu, menyebut keberadaan Sayyid Jamaluddin Al-
Akbar Al-Husaini di Wajo yang kemudian lebih dikenal dengan gelar
Syechta Tosora, yang berarti Syech kita di Tosora.

“Jamaluddin Assaggaf mengutip buku salah satu guru besar universitas


kebangsaan Malaysia Abdul Rahman Al Ahmadi Malaysia. Dalam buku
tersebut dijelaskan Sayyid Jamaluddin al-Akbar Al-Husaini berasal dari
Dinasti Fatimiah yang juga merupakan leluhur sejumlah Wali di tanah
Jawa,” imbuh Sudirman.

Hanya saja, kata Sudirman, saat itu penyebaran Islam yang dilakukan oleh
Syechta Tosora masih bersifat individual. Barulah pada abad ke-16 melalui
penyebaran agama Islam oleh Datuk Ri Bandang, Datuk Ditiro dan Datuk
Patimang, Islam diterima sebagai agama kerajaan di Wajo.

Selain itu, salah satu bukti Islam sudah ada di Wajo sebelum ketiga datuk
asal Minangkabau tersebut, adalah kehadiran penyiar agama Islam yang
bernama Nakhoda Bonang pada tahun 1567, pada masa pemerintahan
Lamungkace Toaddamang. Namun, pada masa itu kehadiran Islam belum
terlalu diterima dengan baik oleh masyarakat Wajo.

“Sehingga, setelah mempelajari karakter orang Bugis yang berdiam di


Johor, maka diutuslah tiga datuk asal Minangkabau tersebut untuk
menyebarkan agama Islam di wilayah Sulawesi pada abad ke-16,
termasuk di Wajo,” imbuh Sudirman.

Bukti keberadaan Sayyid Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini di Wajo, yakni


dengan adanya makam Syechta Tosora ini di Desa Tosora, Kecamatan
Majauleng, yang berdekatan dengan makam tokoh-tokoh penting kerajaan
Wajo. Salah satunya, arung Betteng Pola.

Selain sejumlah tokoh kerajaan, juga terdapat sejumlah makam yang


diyakini sebagai pengikut Sayyid Jamaluddin al-Akbar Al-Husaini. Yang
menarik salah satu makam yang diberi nama Syech Abd Rahman
Sarape’e, yang kemungkinan masih merupakan keturunan Sayyid
Jamaluddin al-Akbar Al-Husaini atau pengikutnya yang beristrikan salah
satu bangsawan bugis.

Selain sejumlah makam tua, di lokasi tersebut juga terdapat mesjid tua
yang kini tinggal puing yang diperkirakan dibangun pada tahun 1621.
KEHIDUPAN POLITIK
Terbentuk berdasar kontrak sosial Perjanjian Majauleng “Assijancingeng ri
Majauleng” dibawah bayang-bayang pohon Bajo. Wajo merupakan
kelanjutan dari kerajaan Cinnotabi. Wajo berdiri didaerah migran Cinnotabi
yaitu Boli yang disebut Lipu Tellu Kajurue atau Tellu Turungeng
Lakka, Mengangkat La Tenribali sebagai Batara Wajo I, ketiga sepupunya
sebagai Paddanreng yaitu La Tenritau Paddanreng Bettempola I
mengepalai Limpo/Distrik Majauleng, La Tenripekka Paddanreng
Talotenreng I mengepalai Limpo/Distrik Sabbamparu dan La Matareng
sebagai Paddanreng Tuwa I mengepalai Limpo/Distrik Takkalalla. Sistem
bersifat monarki absolut, kekuasaan tertinggi ditangan Batara
Wajo. Masing-masing distrik membawahi empat sub distrik (ana limpo).
Tiap ana limpo diangkat Pabbate Caddi (komandan pasukan).
Setelah La Pateddungi To Samallangi Batara Wajo III, terjadi
kekosongan kekuasaan (Vacuum of Power) dan terjadi kontrak sosial yang
disebut “AllamumpatuE ri Lapaddeppa”. Dilakukan dibawah pohon asam
Lapadeppa berisi pengakuan hak-hak dasar rakyat Wajo.

KEHIDUPAN EKONOMI
Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang
berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Posisi Batara
Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang
bersifat monarki konstitusional. Masa keemasan Wajo adalah pada
pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi anggota
persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone
sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu. Wajo
memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada pemerintahan La
Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi
Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan
dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas
Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal
di sana. Wajo terlibat Perang Makassar (1660-1669) disebabkan karena
persoalan geopolitik di dataran tengah Sulawesi yang tidak stabil dan
posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai menantu Sultan
Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk
menandatangani perjanjian Bungaya, sehingga Wajo diserang oleh
pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke
Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan banyak
masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas
sosial ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah
satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai
dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda.

KEHIDUPAN SOSIAL DAN BUDAYA


kentalnya pengaruh adat dalam kehidupan sehari-hari rakyat Wajo, dimana
hanya adatlah yang mereka jadikan pedoman. Masuknya pengaruh islam
di tahun 1610 juga tidak mempengaruhinya, bahkan terjadi hubungan
kolaboratif-komulatif antara nilai-nilai adat dan agama, yang berguna bagi
mereka sebagai benteng yang tangguh terhadap pengaruh modernisasi
dan sekulerisme dari bangsa Barat.

KERUNTUHAN
Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan Wajo dengan Bone
membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa'na Bone.
Saat itu Belanda melancarkan politik pasifikasi untuk memaksa semua
kerajaan di Sulawesi Selatan tunduk secara totalitas. Kekalahan Bone
melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh Wajo sehingga Wajo harus
membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte
Veklaring sebagai pembaruan dari Large Veklaring. Wajo dibawah
Republik Indonesia Serikat, atau tepatnya Negara Indonesia Timur,
berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konferensi Meja
Bundar, Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada
tahun 1957. Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara
maksimal disebabkan gejolak pemberontahan DI/TII. Setelah 1957,
pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan,
kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja, dan akhirnya
menjadi kabupaten.
Peninggalan Sejarah di Wajo

1. Messid Tello,e dan Makam Assyiekh Al-Habib Jamaluddin Al-


Akbar Al-Husein

Mesjid kuno tosora merupakan mesjid yang dibangun sekitar tahun 1621
oleh Syeckh Jamaluddin Akbar Husain yang diduga oleh penduduk
setempat punya hubungan darah dengan Nabi Muhammad S.A.W

2.    Sumur Jodoh

Sumur jodoh adalah sumur yang dipercaya apabila kita mandi atau
membasuh muka dengan air dari sumur itu maka cepat atau lambat akan
mendapatkan jodoh. Namun, menurut salah satu warga disana
mengatakan bahwa sebagian warga di tosora tidak atau kurang
mempercayai sumur jodoh ini, hanya orang yang dari luar pulau terutama
orang dari pulau Jawa saja yang banyak datang ke sumur jodoh ini dan
meminta untuk mendapatkan jodoh.

3.    Geddong’e

Geddongnge (Gedug Mesiu). Timbul beberapa pendapat tentang nama


Geddongnge. Ada yang mengatakan bahwa Geddongnge adalah sebuah
bangunan tempat menyimpan barang-barang seperti alat-alat perang dan
hasil bumi penduduk. Sebagian lagi mengatakan bahwa bangunan tersbut
adalah bank(tempat menyimpang uang).Geddongnge dibangun pada
saman pemerintahan Lasalewangeng To Tenriruwa sekitar tahun 1718 M.
Pada saat itu perekonomian lancar dan awal dicetuskannya pasukan
bersenjata. Bahan baku bangunannya masih berasal dari batu gunung,
pasir, dan telur.
4.    Benteng

Benteng pertahanan yang dibuat pada masa pemeeintahan, Awal


pelaksanaanya setelah diadakan musyawarahantara arung matoalatentilai’
dengan penduduk negeri mengenai rencena penyerangan belanda
terhadap tosora. Pada abad ke-16 dan 17 terjadi persaingan antara
Kerajaan Makassar (Gowa Tallo) dengan Kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan
Soppeng) yang membentuk aliansi tellumpoccoeuntuk membendung
ekspansi Gowa. Aliansi ini kemudian pecah saat Wajo berpihak ke Gowa
dengan alasan Bone dan Soppeng berpihak ke Belanda. Saat Gowa
dikalahkan oleh armada gabungan Bone, Soppeng, VOC dan Buton, Arung
Matowa Wajo pada saat itu, La Tenri Lai To Sengngeng tidak ingin
menandatanganiPerjanjian Bungayya. Akibatnya pertempuran dilanjutkan
dengan drama pengepungan Wajo, tepatnya Benteng Tosora selama 3
bulan oleh armada gabungan Bone, dibawah pimpinanArung Palakka

5.    Mushola Tua Menge

Mushola Tua Menge dibangun sekitar tahun 1621 M. Setelah selesai


mesjid Tua Tosora dibangun. Perjalanan sejarah Islam sejak masuknya
hingga sekarang cukup banyak mencatat kenangan yang tak mudah
dilupakan. Dalam sejarah masuknya Islam di Wajo sekitar tahin1610 M.
Agama islam berkembang terus sampai sekarang. Mushola Tua yang
dibangun pada tahun yang sama masa pembangunan mesjidnya Tua
Tosora tercatat ada tujuh buah dengan bahan baku yang sama yaitu batu
gunung, pasir, dan telur.

6.    Makam Lasalewangeng Tenriruwa

Makam Lasalewangeng Tenriruwa beliau merupakan arung matoa Wajo ke


30. Beliau pernah menjadi raja di Limpo atau Negeri Kampiri (arung
Kampiri). Lasalewangeng memperkuat persenjataan Wajo dan
memprsiapkan peperangan terhadap Bone dan Belanda kira-kira tahun
1715 sampai 1736.

7.    Makam Lataddampare’ Puangrimaggalatung

Makam Lataddampare’ Puangrimaggalatung. Disebut dalam lontara bahwa


Lataddampare’ Puangrimaggalatung adalah seorang ahli pikir dijamannya,
dia juga seorang Negarawan, ahli strategi perang, ahli dibidang pertanian
dan ahli hukum.kejujurannya mejalankan pemerintahan terkenal baik di
dalam maupun di luar negeri. Beliau adalah arung matoa wajo ke 4 yang
berhasil menjadikan wajo sebagai sebuah kerajaan yang besar dan
makmur kira-kira tahun 1498 sampai 1528.

8. Makam    La Tenrilai’ Tosengngeng

La Tenrilai’ Tosengngeng adalah Arung Matowa Wajo ke-23. Ia diangkat


menjadi Arung Matowa setelah menggantikan Arung Matowa La Paremma
Torewa Matinroe ri Passiringna kira-kira tahun 1651-1658.

9.    Makam Besse Idalatikka

Ramah dan sopan. Konon dia merupakan gadis tercantik di Kerajaan Wajo
pada zamannya. Menurut cerita makam besse idalatikka dibuat dengan
memakai kayu di impor dari Malaysia dan diukir di Kalimantan. Selain itu
Makam Besse Idalatikka memang sudah di pesan sebelum 2 bulan
kematiannya.

10.         Saoraja Mallangga

WAJO merupakan salah satu daerah yang pernah dipimpinan oleh


kerajaan. Berbagai tradisi kerajaan pun masih dipertahankan hingga kini,
salah satunya adalah pencucian benda pusakapeninggalan kerajaan. 
Benda pusaka peninggalan kerajaan tersebut disimpan di Saoraja atau
rumah raja (istana). Salah satu Saoraja yang dijadikan museum d
kabupaten berjuluk Bumi Lamaddukelleng ini, yakni Saoraja Mallangga
museum simettengpola. 

11.     Makam La Maddukkelleng

 La Maddukkelleng adalah putera dari arung peneki La Mataesso To’


Ma’dettia dan We Tenriangka Arung Singkang, saudara Arung Matowa La
salewengeng To Tenrirua.Komplek makam Pahlawan Nasional
Lamaddukelleng yang terletak sekitar 200-an meter arah selatan Lapangan
Merdeka di Kota Sengkang, ibukota Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan,
sekaligus merupakan lokasi pusara Raja Kutai Kertanegara Ing
Martadipura Ke-14, Sultan Adji Muhammad Idris.Di dalam komplek makam
yang baru saja mengalami pemugaran atas bantuan Pemerintah
Kabupaten Kutai Kertanegara (Kukar), Provinsi Kalimantan Timur tersebut,
keseluruhan terdapat lima makam selain makam Arung Siengkang
Lamaddukkelleng yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui
Keppres No.109/TK/1998 tanggal 6 Nopember 1998.

12.     Goa Nippon


Keberadaan Goa Nippon merupakan bukti sejarah peninggalan tentara
Jepang pada perang dunia II, ada goa yang berbentuk huruf “L, I, U” dan
lainnya. Bagi pengunjung yang ingin berimajinasi dan bernostalgia untuk
mengenang masa lampau. Di lokasi terdapat berbagai benda khas
peninggalan zaman Jepang. Dipandu oleh petugas yang akan menjelaskan
goa sejarah ini sehingga pengunjung memiliki pengalaman dan
pengetahuan baru tentang zaman pendudukan Jepang di Kabupaten Wajo

Anda mungkin juga menyukai