Anda di halaman 1dari 20

Suku Bugis

Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Suku Bugis

To Ugi

ᨈᨚ ᨕᨘᨁᨗ

‫اورڠ بوݢيس‬

Raja Ali Haji.jpg Bacharuddin Jusuf Habibie official portrait.jpg Jusuf Kalla Vice President Portrait
2014.jpg Dato Sri Mohd Najib Tun Razak.JPG

Raja Ali Haji

B.J. Habibie

Jusuf Kalla

Najib Tun Razak

Muhyiddin-yassin 11.jpg Andi Ghalib.jpg Andi Mattalata.jpg Amir Syamsuddin crop.jpg

Muhyiddin Yassin

Andi Muhammad Ghalib

Andi Mattalatta

Amir Syamsuddin

Andi Mallarangeng, 2009.jpg SyahrulYasinLimpo2.jpg Andi Arsyil Rahman.jpg Jenderal TNI M


Jusuf.png

Andi Mallarangeng

Syahrul Yasin Limpo

Andi Arsyil Rahman

M. Jusuf

Jumlah populasi

± 7 juta (2010)
Kawasan dengan konsentrasi signifikan

Indonesia (sensus 2010) 6.359.000 [1]

Sulawesi

Sulawesi Selatan 3.605.639

Sulawesi Tenggara 496.410

Sulawesi Tengah 409.741

Sulawesi Barat 144.533

Kalimantan

Kalimantan Timur 735.819

Kalimantan Barat 137.282

Kalimantan Selatan 101.727

Sumatra

Riau 144.349

Jambi 96.146

Sumatra Selatan 42.977

Bangka Belitung33.582

Kepulauan Riau 37.124

Jawa

Jakarta 68.227

Jawa Barat 34.548

Diaspora Bugis

Malaysia 728.465

Singapura (sensus 1990) 15.374

Bahasa

Asli: Bugis
Juga: Indonesia, Melayu, Inggris, dan lain-lain

Agama

Islam

Kelompok etnik terdekat

Toraja, Mandar, Makassar

Suku Bugis (Lontara: ᨈᨚ ᨕᨘᨁ;ᨗ Jawi: ‫ )اورڠ بوݢيس‬merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal
Sulawesi Selatan. Penciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga pendatang
Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan
pedagang di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi, juga dikategorikan sebagai orang Bugis.[2]
Berdasarkan sensus penduduk Indonesia tahun 2000, populasi orang Bugis sebanyak sekitar enam juta
jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar pula di berbagai provinsi Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Tengah, Papua, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Jambi, Riau, dan Kepulauan
Riau. Disamping itu orang-orang Bugis juga banyak ditemukan di Malaysia dan Singapura yang telah
beranak pinak dan keturunannya telah menjadi bagian dari negara tersebut. Karena jiwa perantau dari
masyarakat Bugis, maka orang-orang Bugis sangat banyak yang pergi merantau ke mancanegara.

Daftar isi

1 Sejarah

1.1 Awal mula

1.2 Perkembangan

1.3 Masa kerajaan

1.3.1 Kerajaan Bone

1.3.2 Kerajaan Makassar

1.3.3 Kerajaan Soppeng

1.3.4 Kerajaan Wajo

1.3.5 Konflik antar kerajaan

1.4 Penyebaran Islam

1.5 Kolonialisme Belanda


1.6 Masa kemerdekaan

2 Mata pencarian

2.1 Perompak

2.2 Serdadu bayaran

3 Bugis perantauan

3.1 Penyebab merantau

3.2 Bugis di Kalimantan Timur

3.3 Bugis di Jambi

3.4 Bugis di Sumatra dan Semenanjung Malaysia

4 Lihat pula

5 Referensi

6 Pranala luar

Sejarah

Awal mula

Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah
gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi,
yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di
Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan
dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-
orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara
dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan
melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan
jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah
kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading
juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi
seperti Buton.

Perkembangan

Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat
ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri.
Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan
Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tetapi proses pernikahan menyebabkan adanya
pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten
yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan
Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan
Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua
bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang
(daerah di Pangkajene Kepulauan)

Masa kerajaan

Kerajaan Bone

Di daerah Bone terjadi kekacauan selama tujuh generasi, yang kemudian muncul seorang To Manurung
yang dikenal Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja-raja kecil melantik Manurungnge ri Matajang sebagai
raja mereka dengan nama Arumpone dan mereka menjadi dewan legislatif yang dikenal dengan istilah
ade pitue. Manurungnge ri Matajang dikenal juga dengan nama Mata Silompoe. Adapun ade' pitue
terdiri dari matoa ta, matoa tibojong, matoa tanete riattang, matoa tanete riawang, matoa macege,
matoa ponceng. istilah matoa kemudian menjadi arung. setelah Manurungnge ri Matajang, kerajaan
Bone dipimpin oleh putranya yaitu La Ummasa' Petta Panre Bessie. Kemudian kemanakan La Ummasa'
anak dari adiknya yang menikah raja Palakka lahirlah La Saliyu Kerrempelua. pada masa Arumpone
(gelar raja bone) ketiga ini, secara massif Bone semakin memperluas wilayahnya ke utara, selatan dan
barat.

Kerajaan Makassar

Pada abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Gowa, Soppeng, Bone, dan Wajo, yang diawali dengan
krisis sosial, dimana orang saling memangsa laksana ikan. Kerajaan Makassar (Gowa) kemudian
mendirikan kerajaan pendamping, yaitu kerajaan Tallo. Tapi dalam perkembangannya kerajaan kembar
ini (Gowa & Tallo) kembali menyatu menjadi kerajaan Makassar (Gowa).

Kerajaan Soppeng

Di saat terjadi kekacauan, di Soppeng muncul dua orang To Manurung. Pertama, seorang wanita yang
dikenal dengan nama Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja. dan kedua,
seorang laki-laki yang bernama La Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili yang memerintah di Soppeng
ri Lau. Akhirnya dua kerajaan kembar ini menjadi Kerajaaan Soppeng.

Kerajaan Wajo
Sementara kerajaan Wajo berasal dari komune-komune dari berbagai arah yang berkumpul di sekitar
danau Lampulungeng yang dipimpin seorang yang memiliki kemampuan supranatural yang disebut
puangnge ri lampulung. Sepeninggal dia, komune tersebut berpindah ke Boli yang dipimpin oleh
seseorang yang juga memiliki kemampuan supranatural. Datangnya Lapaukke seorang pangeran dari
kerajaan Cina (Pammana) beberapa lama setelahnya, kemudian membangun kerajaan Cinnotabbi.
Selama lima generasi, kerajaan ini bubar dan terbentuk Kerajaan Wajo.

Kerajaan pra-wajo yakni Cinnongtabi dipimpin oleh masing-masing: La Paukke Arung Cinnotabi I, We
Panangngareng Arung Cinnotabi II, We Tenrisui Arung Cinnotabi III, La Patiroi Arung Cinnotabi IV.
setelahnya, kedua putranya menjabat sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V yakni La Tenribali dan La
Tenritippe. Setelah mengalami masa krisis, sisa-sisa pejabat kerajaan Cinnotabi dan rakyatnya
bersepakat memilih La Tenribali sebagai raja mereka dan mendirikan kerajaan baru yaitu Wajo. adapun
rajanya bergelar Batara Wajo.

Wajo dipimpin oleh, La Tenribali Batara Wajo I (bekas arung cinnotabi V), kemudian La Mataesso Batara
Wajo II dan La Pateddungi Batara Wajo III. Pada masanya, terjadi lagi krisis bahkan Batara Wajo III
dibunuh. kekosongan kekuasaan menyebabkan lahirnya perjanjian La Paddeppa yang berisi hak-hak
kemerdekaan Wajo. Setelahnya, gelar raja Wajo bukan lagi Batara Wajo akan tetapi Arung Matowa
Wajo hingga adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Konflik antar kerajaan

Pada abad ke-15 ketika kerajaan Gowa dan Bone mulai menguat, dan Soppeng serta Wajo mulai muncul,
maka terjadi konflik perbatasan dalam menguasai dominasi politik dan ekonomi antar kerajaan.
Kerajaan Bone memperluas wilayahnya sehingga bertemu dengan wilayah Gowa di Bulukumba.
Sementara, di utara, Bone bertemu Luwu di Sungai Walennae. Sedang Wajo, perlahan juga melakukan
perluasan wilayah. Sementara Soppeng memperluas ke arah barat sampai di Barru. Perang antara Luwu
dan Bone dimenangkan oleh Bone dan merampas payung kerajaan Luwu kemudian mempersaudarakan
kerajaan mereka. Sungai Walennae adalah jalur ekonomi dari Danau Tempe dan Danau Sidenreng
menuju Teluk Bone. Untuk mempertahankan posisinya, Luwu membangun aliansi dengan Wajo, dengan
menyerang beberapa daerah Bone dan Sidenreng. Berikutnya wilayah Luwu semakin tergeser ke utara
dan dikuasai Wajo melalui penaklukan ataupun penggabungan. Wajo kemudian bergesek dengan Bone.
Invasi Gowa kemudian merebut beberapa daerah Bone serta menaklukkan Wajo dan Soppeng. Untuk
menghadapi hegemoni Gowa, Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng membuat aliansi yang disebut
"Tellumpoccoe".

Penyebaran Islam
Pada awal abad ke-17, datang penyiar agama Islam dari Minangkabau atas perintah Sultan Iskandar
Muda dari Aceh. Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri Bandang) yang mengislamkan Gowa dan Tallo,
Suleiman (Datuk Patimang) menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin Ariyani (Datuk ri Tiro) yang
menyiarkan Islam di Bulukumba.[3]

Kolonialisme Belanda

Pertengahan abad ke-17, terjadi persaingan yang tajam antara Gowa dengan VOC hingga terjadi
beberapa kali pertempuran. Sementara Arumpone ditahan di Gowa dan mengakibatkan terjadinya
perlawanan yang dipimpin La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka. Arung Palakka didukung oleh
Turatea, kerajaaan kecil Makassar yang berhianat pada kerajaan Gowa. Sementara Sultan Hasanuddin
didukung oleh menantunya La Tenri Lai Tosengngeng Arung Matowa Wajo, Maradia Mandar, dan Datu
Luwu. Perang yang dahsyat mengakibatkan banyaknya korban di pihak Gowa & sekutunya. Kekalahan ini
mengakibatkan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya yang merugikan kerajaan Gowa. Pernikahan
Lapatau dengan putri Datu Luwu, Datu Soppeng, dan Somba Gowa adalah sebuah proses rekonsiliasi
atas konflik di jazirah Sulawesi Selatan. Setelah itu tidak adalagi perang yang besar sampai kemudian
pada tahun 1905–1906 setelah perlawanan Sultan Husain Karaeng Lembang Parang dan La Pawawoi
Karaeng Segeri Arumpone dipadamkan, maka masyarakat Makassar dan Bugis baru bisa betul-betul
ditaklukkan Belanda. Kosongnya kepemimpinan lokal mengakibatkan Belanda menerbitkan Korte
Veklaring, yaitu perjanjian pendek tentang pengangkatan raja sebagai pemulihan kondisi kerajaan yang
sempat lowong setelah penaklukan. Kerajaan tidak lagi berdaulat, tetapi hanya sekadar perpanjangan
tangan kekuasaaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, sampai kemudian muncul Jepang menggeser
Belanda hingga berdirinya NKRI.

Masa kemerdekaan

Para raja-raja di Nusantara mendapat desakan oleh pemerintahan Orde Lama (Soekarno) untuk
membubarkan kerajaan mereka dan melebur dalam wadah NKRI. Pada tahun 1950-1960an, Indonesia
khususnya Sulawesi Selatan disibukkan dengan pemberontakan. Pemberontakan ini mengakibatkan
banyak orang Bugis meninggalkan kampung halamannya. Pada zaman Orde Baru, budaya periferi seperti
budaya di Sulawesi benar-benar dipinggirkan sehingga semakin terkikis. Sekarang generasi muda
Makassar & Bugis adalah generasi yang lebih banyak mengonsumsi budaya material sebagai akibat
modernisasi, kehilangan jati diri akibat pendidikan pola Orde Baru yang meminggirkan budaya mereka.
Seiring dengan arus reformasi, munculah wacana pemekaran. Daerah Mandar membentuk provinsi baru
yaitu Sulawesi Barat. Kabupaten Luwu terpecah tiga daerah tingkat dua. Sementara banyak kecamatan
dan desa/kelurahan juga dimekarkan. Namun sayangnya tanah tidak bertambah luas, malah semakin
sempit akibat bertambahnya populasi dan transmigrasi.
Mata pencarian

Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari
masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis
adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang
pendidikan.

Perompak

Sejak Perjanjian Bongaya yang menyebabkan jatuhnya Makassar ke tangan kolonial Belanda, orang-
orang Bugis dianggap sebagai sekutu bebas pemerintahan Belanda yang berpusat di Batavia. Jasa yang
diberikan oleh Arung Palakka, seorang Bugis asal Bone kepada pemerintah Belanda, menyebabkan
diperolehnya kebebasan bergerak lebih besar kepada masyarakat Bugis. Namun kebebasan ini
disalahagunakan Bugis untuk menjadi perompak yang mengganggu jalur niaga Nusantara bagian timur.

Armada perompak Bugis merambah seluruh Kepulauan Indonesia. Mereka bercokol di dekat Samarinda
dan menolong sultan-sultan Kalimantan di pantai barat dalam perang-perang internal mereka.
Perompak-perompak ini menyusup ke Kesultanan Johor dan mengancam Belanda di benteng Malaka.[4]

Serdadu bayaran

Selain sebagai perompak, karena jiwa merantau dan loyalitasnya terhadap persahabatan orang-orang
Bugis terkenal sebagai serdadu bayaran. Orang-orang Bugis sebelum konflik terbuka dengan Belanda
mereka salah satu serdadu Belanda yang setia. Mereka banyak membantu Belanda, yakni saat
pengejaran Trunojoyo di Jawa Timur, penaklukan pedalaman Minangkabau melawan pasukan Paderi,
serta membantu orang-orang Eropa ketika melawan Ayuthaya di Thailand.[5] Orang-orang Bugis juga
terlibat dalam perebutan kekuasaan dan menjadi serdadu bayaran Kesultanan Johor, ketika terjadi
perebutan kekuasaan melawan para pengelana Minangkabau pimpinan Raja Kecil.

Bugis perantauan

Museum Bugis di Johor, Malaysia.

Kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka
pun hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Bahkan, di
pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah suburb yang bernama Maccassar, sebagai
tanda penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka[butuh rujukan].
Oleh karena itulah, pada daerah-daerah yang ditempati suku Bugis ini, dapat dijumpai mushaf Quran
kuno. Biasanya di daerah pesisir, serupa Bima, Sumbawa, dan Bali. Bahkan Quran dari suku Bugis pun
pernah dijumpai di Riau.[6]

Penyebab merantau

Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad ke-16, 17, 18
dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang
Bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir. Selain itu budaya merantau juga didorong oleh keinginan
akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan.

Bugis di Kalimantan Timur

Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi
perjanjian Bongaja, mereka tetap meneruskan perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan
Belanda dan ada pula yang hijrah ke pulau-pulau lainnya di antaranya ada yang hijrah ke daerah
Kesultanan Kutai, yaitu rombongan yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado
yang pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh
Sultan Kutai.

Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung
melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha Pertanian, Perikanan dan Perdagangan.
Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja
Kutai, terutama di dalam menghadapi musuh.

Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili seberang)
tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan di dalam pelayaran karena daerah yang berarus putar (berulak)
dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).

Bugis di Jambi

Penduduk Bugis mulai merantau ke Sumatra termasuk ke Jambi pada saat daerahnya dijajah oleh
pasukan Belanda. Penduduk Bugis berangsur-angsur meninggalkan daerahnya pada sekitar tahun 1950-
an dan mencari daerah yang situasi nya lebih aman. Penduduk Bugis di Provinsi Jambi kebanyakan
bermukim di wilayah pesisir timur Provinsi Jambi tepatnya di Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Kuala
Tungkal, Pangkal Duri) maupun di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Mendahara, Kampung Laut,
Tanjung Solok, Muara Sabak, Alang Alang, Simbur Naik, Lambur, Pemusiran, Nipah Panjang) serta
bermukim di daratan seperti di Kota Jambi dan kebanyakan di Desa Tangkit Baru Kabupaten Muaro
Jambi. Selain di Provinsi Jambi, penduduk Bugis juga menyebar di daerah tetangga yaitu di Kabupaten
Indragiri Hilir, Provinsi Riau (Pulau Kijang, Sungai Terab, Keritang, Kotabaru Reteh, Sanglar, Pebenaan,
Benteng, Kuala Enok, Tanah Merah, Tembilahan, Sungai Guntung, Pulau Burung).

Bugis di Sumatra dan Semenanjung Malaysia

Setelah dikuasainya kerajaan Gowa oleh VOC pada pertengahan abad ke-17, banyak perantau Melayu
dan Minangkabau yang menduduki jabatan di kerajaan Gowa bersama orang Bugis lainnya, ikut serta
meninggalkan Sulawesi menuju kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Di sini mereka turut terlibat dalam
perebutan politik kerajaan-kerajaan Melayu. Hingga saat ini banyak raja-raja di Johor & selangor yang
merupakan keturunan Luwu.
Suku Bugis memiliki kebudayaan yang unik yang tetap eksis di masa kini. Pasalnya, suku yang satu ini
memiliki keragaman budaya yang tidak kalah menarik dengan suku lainnya di Sulawesi Selatan.

Meskipun jaman semakin modern, kebudayaan Suku ini tetap menjadi sorotan yang menarik untuk
ditelisik lebih jauh keunikan-keunikannya. Adapun keragaman kebudayaan yang dimiliki Suku ini
diantaranya :

1. Adat Perkawinan Dalam Suku Bugis

Suku Bugis

Perkawinan merupakan hal yang sakral dimana laki-laki dan perempuan saling terikat oleh satu janji
dalam membangun rumah tangga. Masyarakat Suku Bugis memandang perkawinan sebagai hal yang
sangat penting hingga membuat sebuah kriteria yang dianggap sebagai perkawinan ideal.

Pembagian Perkawinan Suku Bugis

Sama halnya dengan masyarakat Suku Jawa yang memandang bobot, bibit, bebet sebelum
melangsungkan perkawinan. Tak ayal jika masyarakat Suku ini juga memiliki kriteria tertentu dalam
perkawinan diantara mereka. Berikut pembagian perkawinan ideal menurut masyarakat Suku Bugis :

a. Assialang Marola

Dalam bahasa Makassar, istilah ini disebut Passialeng baji’na. Bentuk perkawinan ini dikatakan sebagai
bentuk ideal yang utama. Hal ini karena perkawinan oleh masyarakat Suku Bugis yang dilaksanakan
antara saudara sepupu sederajat ke satu baik dari pihak ayah atau ibu.

b. Assialana Memang

Passialleana, begitulah masyarakat Suku Bugis menyebutnya. Seperti Assialang marola, Perkawinan ini
juga melibatkan saudara sepupu namun pada sederajat kedua baik dari pihak ayah atau ibu.

c. Ripanddepe’ Mabelae
Perkawinan ideal yang satu ini biasanya antara saudara sepupu sederajat ketiga baik dari pihak ayah
atau ibu. Oleh masyarakat Bugis, biasanya dinamakan nipakambani bellaya. Sebagai bentuk ideal yang
terakhir, ternyata perkawinan ini memiliki makna untuk merekatkan kembali kekerabatan yang agak
jauh.

Suku Sunda

Perlu diketahui meskipun masyarakat Suku Bugis sedemikian rupa menciptakan konsep perkawinan
ideal, hal ini bukanlah suatu kewajiban untuk diikuti. Sehingga banyak pula yang melaksanakan
perkawinan tanpa mengacu konsep diatas.

Kegiatan Sebelum Perkawinan

Seperti kebanyakan masyarakat pada umumnya, masyarakat Suku Bugis juga memiliki kegiatan sebelum
melangsungkan perkawinan. Hal ini disetiap kegiatannya tentu memiliki makna dan tujuan masing-
masing. Berikut kegiatan masyarakat Suku ini sebelum perkawinan :

a. Mappuce-puce

Kegiatan ini biasanya dinamakan peminangan. Seperti kebiasaan pada umumnya, dimana keluarga dari
pihak laki-laki mengadakan kunjungan ke rumah pihak perempuan. Hal ini untuk mengenal lebih jauh
mempelai perempuan dan keluarganya.

b. Massuro

Dimana pihak laki-laki yang datang ke rumah pihak perempuan membicarakan lebih lanjut tentang
waktu pernikahan kedua mempelai dan pemberian uang panaik.

Perempuan dengan pendidikan tinggi tentunya jumlah uang panaiknya akan berbeda dengan
perempuan yang pendidikannya lebih rendah. Begitu juga dengan gelar bangsawan yang dimiliki si
mempelai perempuan. Uang panaik ini berbeda dengan mahar.
c. Maduppa

Disebut juga menyebar undangan pernikahan pada tamu yang akan diundang. Hal mana menunjukkan
orang yang hadir dipernikahan mereka. Disini kepala adat juga mendapat kedudukan yang istimewa
sebagai tamu undangan.

Baca Juga: Suku Baduy

2. Kesenian Yang Dimiliki Suku Bugis

Suku Bugis

Kesenian yang dimiliki setiap daerah tentunya saling berbeda dengan yang lain. Begitu pun masyarakat
Suku Bugis yang memiliki kesenian yang tidak kalah menarik dengan suku lainnya. Kesenian dari suku ini
ada Seni Tari dan seni musik terlihat dari beberapa alat musik yang dimiliki. Ulasan lengkapnya bisa
disimak dibawah ini:

Seni Tari Suku Bugis

Suku Bugis memiliki kesenian yang menarik berupa tari-tarian. Tarian yang dibawakan suku ini sangatlah
indah dan mempesona serta memiliki beberapa nama. Nama tarian dari suku bugis diantaranya :

a. Tari Paduppa Bosara

Tarian ini bermakna penyambutan tamu yang datang berkunjung. Hal ini sebagai bentuk penghargaan
dan rasa terima kasih kepada para tamu atas kedatangannya.

Suku Anak Dalam

b. Tari Pakarena

Pakarena dalam bahasa setempat diartikan sebagai main. Awalnya hanya digunakan untuk pertunjukan
di istana kerajaan. Dalam perkembangannya tarian ini semakin dikenal. Tarian ini mencerminkan sifat
lemah lembut dan sopan santun seorang wanita.
c. Tari Ma’badong

Oleh masyarakat Suku Bugis digunakan pada saat upacara kematian. Para penari memakai pakaian serba
hitam atau terkadang bebas. Para penari saling mengaitkan jari kelingking dengan membentuk
lingkaran. Tarian ma’badong dilakukan dengan gerakan langkah silih berganti yang diiringi lagu yang
menggambarkan kehidupan manusia dari lahir hingga mati.

d. Tarian Pa’gellu

Tarian ini digunakan untuk menyambut seseorang yang pulang dari berperang. Dibalik tarian heroik yang
satu ini, tersimpan peribahasa “jangan sampai kacang lupa kulitnya”. Intinya, sudah seharusnya selalu
mengingat jasa-jasa pahlawan kita.

e. Tarian Mabissu

Tarian ini mempertontonkan kesaktian para bissu di Sigeri Sulawesi Selatan. Jenis tarian ini
menunjukkan bagaimana kebalnya mereka terhadap senjata debusnya. Sehingga tarian ini terkesan
mistis namun estetis.

f. Tari Kipas

Sesuai namanya, para penari menari dengan menggunakan kipas dan diiringi lagu. Keunikannya,
meskipun gerakannya lemah lembut tapi dibalik itu irama yang dimainkan bertempo cepat. sehingga
para penari dibalik itu dengan iramanya yang cepat harus tetap mempertahankan gerakannya lemah
lembut.

Alat Musik Suku Bugis

Tak lengkap jika suatu masyarakat memiliki tarian tanpa alat musik. Begitu pun dengan masyarakat Suku
Bugis yang memiliki alat musik yang membantu melengkapi indahnya tarian mereka. Adapun alat musik
Suku Bugis diantaranya :

Gandrang Bulo. Alat musik yang diambil dari nama gandrang dan bulo yang disatukan artinya menjadi
gendang dari bambu.
Kecapi. Alat musik yang satu ini dimainkan dengan cara dipetik yang digunakan pada saat acara hajatan,
perkawinan, dll. Fungsinya untuk memperkaya gabungan suara alat musik lain.

Gendang. Alat musik ini mirip rebana yang bentuknya bulat panjang dan bundar. Seperti gendang
lainnya, gendang milik masyarakat Suku Bugis ini juga menghasilkan suara yang khas dan memberikan
irama yang bagus.

Suling. Suling terdiri atas 3 jenis, yaitu suling panjang (suling lampe), suling calabai (suling ponco), dan
suling dupa samping. Biasanya alat musik ini digunakan untuk menyambut kedatangan para tamu.

Suku Dayak

3. Rumah Adat Suku Bugis

Suku Bugis

Rumah Adat Suku Bugis dibangun tanpa menggunakan satupun paku dan digantikan dengan kayu atau
besi. Jenis dari rumah ini memiliki 2 jenis untuk status sosial yang berbeda. Rumah saoraja digunakan
untuk kaum bangsawan, sedangkan bola digunakan untuk rakyat biasa. Perbedaannya hanya pada luas
kedua rumah dan besaran tiang penyangganya.

Rumah ini juga terdiri atas 3 bagian. Awa bola adalah kolong (bagian bawah) untuk menyimpan alat
pertanian, alat berburu, dll. Badan rumah terdiri ruang tamu, ruang tidur, tempat menyimpan benih, dll.
Untuk bagian belakang difungsikan sebagai dapur atau tempat tidur lansia dan anak gadis.

Arsitektur rumah ini mendapat pengaruh dari Islam karena rumah disana berorientasi menghadap kiblat
dan banyak lukisan-lukisan bernuansa islami.

4. Pakaian Adat Suku Bugis

Suku Bugis

Masyarakat Suku Bugis memiliki baju adat yang dinamakan baju bodo (pendek). Awalnya baju ini dibuat
dengan lengan pendek tanpa memakai dalaman. Seiring perkembangan jaman baju ini dibuat menutupi
aurat karena pengaruh Islam.
Baju bodo ini dipadukan dengan dalaman yang warnanya sama namun lebih terang. Selain itu, untuk
bawahan berupa sarung sutera berwarna senada.

Baca Juga: Suku Jawa

5. Adat Istiadat Suku Bugis

Suku Bugis

Adat istiadat yang sering dilakukan adalah menggelar upacara adat mappadendang (pesta panen bagi
adat Suku Bugis). Upacara ini selain sebagai bentuk syukur atas keberhasilan dalam menanam padi juga
memiliki nila magis.

Upacara ini juga disebut pensucian gabah. Maksudnya membersihkan dan mensucikan dari batang dan
daunnya yang kemudian langsung dijemur dibawah matahari. Upacara dilakukan dengan menumbukkan
alu ke lesung silih berganti yang dilakukan 6 perempuan dan 3 laki-laki dengan memakai baju bodo.

Para perempuan yang beraksi dalam bilik baruga dinamakan pakkindona, sedangkan para pria
dinamakan pakkambona. Para pria menari dan menabur bagian ujung lesung. Bilik baruga yang
digunakan berasal dari bambu, sedangkan pagar dibuat dari anyaman bambu disebut walasoji.

Itulah kebudayaan yang dimiliki Suku Bugis hingga sekarang yang tidak hanya dilakukan turun temurun.
Lebih dari itu memiliki nilai magis dan memperkaya khasanah budaya dengan nilai-nilai didalamnya
untuk tetap menjaga kesatuan.
1. Life

2. Relationship
3. 12 November 2018

Fakta Dibalik Tradisi Uang Panai Suku Bugis


Makassar 
Uang simbol status menghargai wanita atau usaha pria?

inst
agram.com/depreview_makassar

 Community Writer
Anami
 Share to Facebook  Share to Twitter
Uang panai, atau yang biasa disebut juga panaik, adalah salah satu dari sekian banyak tradisi suku
Bugis Makassar ketika hendak melangsungkan proses pernikahan. Uang panai sendiri diartikan
sebagai pemberian harta benda oleh calon pengantin pria kepada calon pengantin wanita. 

Bagi mereka yang bukan berasal dari suku ini, memiliki berbagai pendapat berbeda mengenai
tradisi tersebut. Dalam pandangan masyarakat luas, tradisi uang panai ini justru membebankan
calon pengantin pria. Mereka berpendapat seperti ini bukan tanpa alasan. Berikut sedikit fakta
dibalik tradisi uang panai milik suku Bugis Makassar ini.

1. Besarnya uang panai ditentukan oleh status


pendidikan dan keturunan sang gadis

instagram.com/indarwati21
Fakta ini yang paling banyak beredar di masyarakat. Mendengar besarnya uang panai yang harus
disiapkan untuk pengantik wanita dengan status pendidikan yang belum begitu tinggi saja, semakin
menambah persepsi buruk tentang tradisi ini. 

Misalnya saja, calon pengantin wanita mengenyam pendidikan hanya sampai pada tingkat SMA,
uang panai yang harus disiapkan berkisar pada angka 50 juta. Sedangkan untuk mereka yang
berhasil menyelesaikan pendidikan sampai tingkat S1, uang panainya bisa sampai 150 juta. Apalagi
jika status pendidikan sudah sampai pada tingkat S2. Jumlah tersebut belum melihat status
keturunan calon pengantin wanitanya belum lagi jika ditambah dengan jenis pekerjaan wanita
tersebut.

Pada beberapa kasus, jika calon pengantin wanita memiliki keturunan darah biru atau biasa dikenal
dengan keturunan bangsawan, uang panai yang harus disiapkan oleh calon pengantin pria bisa
mencapai angka satu miliar rupiah.

2. Tradisi ini menyiratkan bahwa tingginya uang


panai bermakna tingginya penghargaan terhadap
wanita
Instagram.com/isabellaishak

Terlepas dari besarnya jumlah uang panai, tradisi ini sebenarnya ingin menyampaikan bahwa wanita
adalah sosok yang memang layak untuk dihargai lebih. Bukan ingin menjual anak gadis seperti
kebanyakan pikiran masyarakat, hanya saja tradisi uang panai suku Bugis Makassar ini
mengisyaratkan bahwa memang seperti itulah perjuangan untuk mendapatkan wanita pujaan hati.

Baca Juga: Menikahi Gadis Bugis Makassar Itu Gak Gampang Bro! Kamu Wajib Lalui 3
Tahapan Ini

LANJUTKAN MEMBACA ARTIKEL DI BAWAH

Editor’s Picks

 OOTD Couple Ala Marsha Timothy & Vino G. Bastian Di Acara Formal

 Istilah Gelar Akademis Dalam Dunia Kuliah, Gak Hanya Cum Laude Lho!

 5 Alasan Sesekali Perlu Mendengar Omongan Orang Lain, Jangan Diabaikan

3. Diyakini sebagai bentuk dorongan kepada pria


agar mau bekerja keras
Instagram.com/adhypredotz.dh_id
Orang-orang suku Bugis Makassar dikenal lekat dengan kata pekerja keras. Bahkan banyak di
antara mereka mengadu nasib di negeri seberang untuk membuat kehidupan yang lebih baik jika
kembali ke kampung halaman. Salah satu asalan kuat yang mendorong mereka untuk semangat
bekerja yaitu agar bisa memenuhi persyaratan untuk mendapatkan wanita yang mereka idamkan.

4. Faktanya, tercatat cukup banyak hubungan yang


kandas akibat ketidakmampuan memenuhi syarat
dalam tradisi ini
instagram.com/de_preview_makassar

Bekerja keras belum bisa menjadi jaminan terpenuhinya syarat dalam tradisi uang panaik suku
Bugis Makassar ini. Sudah banyak pria yang meninggalkan kekasihnya untuk kemudian menikah
dengan wanita lain yang tidak terlalu tinggi uang panaiknya. 

5. Besarnya jumlah uang panaik sebenarnya bisa


dibicarakan dengan pihak calon pengantin wanita
instagram.com/agus.dialogue

Cara ini belum bisa dipastikan keberhasilannya, hanya tergantung bagaimana keputusan keluarga
wanita yang akan dinikahi. 

Setiap suku tentu memiliki tradisi pernikahan tersendiri, masih banyak lagi sebenarnya tradisi yang
serupa dengan tradisi uang panaik suku Bugis Makassar. Menyikapi sebuah tradisi kembali lagi
pada diri masing-masing, setiap tradisi tentu memiliki sisi baik dan buruknya.

Anda mungkin juga menyukai