Anda di halaman 1dari 8

ARTIKEL BUDAYA SULAWESI

Kebudayaan Bugis Makassar


Dalam sistem kehidupan masyarakat budaya Bugis-Makassar di Sulawesi
Selatan, siri’adalah salah-satu bentuk pranata susila sosial yang dianggap cukup tabu
oleh masyarakat di daerah ini. Begitu tabunya masalah siri’ ini dalam sistem kehidupan
kemasyarakatan semesta termasuk di antaranya adalah siri’ sebagai upaya privensi
terjadinya delik dalam kehidupan bermasyakat dan berbudaya, bahkan sampai kepada
bernegara sekalipun. Karena siri’ dianggap suatu sebagai pandangan hidup, dan seolah
olah masalah itu ditaati sebagai suatu undang-undang yang tertulis.

Dalam penerapan nilai-nilai budaya siri’ ke dalam sistem kehidupan sehari-hari,


bagi suku Bugis-Makasar bukanlah sekedar simbol. Tetapi lebih dari itu sangat penting
artinya terutama sekali dalam kehidupan kemasyarakatan, tata pemerintahan, dan
bahkan tata hukum sebagai hukum tak tertulis (dalam hal ini, khususnya hukum adat
pidana). Orang yang tidak memiliki nilai siri’ dalam dirinya, maka orang tersebut
dianggap tidak bernilai atau tidak beradab dan tidak berharkat-martabat (demikian
tulisan Kamri, dalam laporan hasil penelitiannya yang berjudul -Budaya Siri’ Sebagai
Pola Tatanan Kehidupan Masyarakat Bugis- Makassar: Suatu Tinjauan Pelestarian
Nilai-nilai Budaya Berdasarkan Pasal 14 UULH, 1995 hal. v-vi).

Terdapat empat macam prototipe manusia menurut konsep siri’. Pertama,


Tomasiria = Toengka siri’ne. Orang yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia dan kemanusiaan. Orang seperti ini paling dibutuhkan dalam
KEPEMIMPINAN. Kedua, tositengnga-tengnga sivi’na. Orang yang memiliki rasa siri’
hanya setengah-setengah. Pada umumnya orang seperti ini tidak memiliki pendirian
yang tetap. Ketiga, Tbmakurang siri” dan kempat, Todegaga siri’na = orang yang tidak
memikirkan rasa siri’.

Pada umumnya orang seperti ini cenderung melakukan tindak pidana tanpa
tujuan kecuali kejatan. Bertautan dengan hal tersebut di atas sehingga penulis
berpandangan bahwa siri’ merupakan salah satu bentuk pranata susila sosial yang
dapat dijadikain instrumen pranata hukum pidana yang bersifat priventif. Hanya raja
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, lalu kondisi
kehidupan sosial masyarakat adat Bugis-Makassar turut terpengaruh. Salah-satu
pengaruhnya adalah pemahaman terhadap makna hakikat siri’ ternyata berkembang.
Yaitu ada siri’ dalam arti positif dan ada dalam arti negatif. Siri’ dalam arti positif inilah
yang dimaksudkan oleh penulis dalam artikel ini. Sebab pada dasarnya memang
hakikat makna itu terletak pada siri’ dalam anti positif dan bukan dalam arti yang
negatif.

Ciri Khas Bugis Makassar


Secara garis besar penduduk provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari empat suku
bangsa yaitu, Makassar, Toraja, Bugis dan Mandar :Bukan hanya Inggris, Norwegia
serta negara-negara kerajaan lain yang memiliki gelar kehormatan, Indonesia juga
memilikinya. Jangan lupakan gelar-gelar kehormatan dari keraton-keraton serta
kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia. Jika berbicara mengenai panjang gelar, gelar
dari Indonesia juga tidak kalah panjang. Kadang menyulitkan bagi mereka yang tidak
tahu asal-usulnya. Tetapi, ada gelar milik Indonesia yang cukup singkat. Gelar tersebut
adalah Andi.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah benar Andi adalah nama
gelar? Lalu, kenapa namanya terkesan seperti nama seseorang? Sulit memang
membedakan nama Andi sebagai gelar dan mana Andi sebagai nama. Untuk
mengetahuinya, Anda bisa melihat asal-usul dari orang tersebut. Jika berasal dari
Bugis, kemungkinan Andi yang dimiliki adalah gelar. Gelar Andi memiliki cerita sejarah
yang cukup panjang. Semua terangkum dalam kebudayaan masyarakat Bugis. Untuk
itu, ketika membicarakan gelar yang satu ini, kebudayaan masyarakat Suku Bugis
secara tidak langsung juga akan ikut dibicarakan. Simak pembahasan mengenai Suku
Bugis berikut ini!
Suku Bugis
Suku Bugis berada di Sulawesi Selatan. Anggota masyarakat suku ini
merupakan hasil akulturasi dari berbagai etnis. Masyarakat Melayu dan Minangkabau
yang datang ke daerah ini, tepatnya Kerajaan Gowa, sekitar abad 15 juga dapat
dikelompokkan sebagai masyarakat Bugis. Masyarakat Suku Bugis menyebar ke
berbagai penjuru Indonesia, bahkan hingga luar negeri. Jika membicarakan asal-usul
keberadaan suku ini, jangan ragukan soal panjangnya cerita yang akan Anda dapat.
Semua bermula dari kebiasaan masyarakat La Sattumpugi, masyarakat yang saat ini
mendiami Kabupaten Wajo, yang menyebut dirinya dengan nama to ugi. To ugi sendiri
adalah sebutan bagi pengikut La Sattumpugi. Ceritanya berlanjut hingga kemudian La
Sattumpugi memiliki anak bernama We Cudai dan Batara Lattu. Batara Lattu kemudian
memiliki anak bernama Sawerigading. Sawerigading sendiri menikah dengan We Cudai
dan memiliki anak bernama La Galigo. La Galigo merupakan seorang sastrawan besar
yang melahirkan karya sebanyak ribuan folio. Masyarakat Bugis pun membentuk
beberapa kelompok kerajaan. Kerajaan Bugis yang tergolong memiliki usia tua adalah
Kerajaan Bone, Kerajaan Luwu, Kerajaan Soppeng, Kerajaan Sawitto, Kerajaan Sidrap,
Kerajaan Rappang dan Kerajaan Sidenreng. Pernikahan yang terjadi antara
masyarakat Makassar dan Mandar membuat percampuran darah antara dua budaya
tidak bisa lagi dielakkan.
 Suku Bugis juga menjadi identitas atau akar silsilah dari beberapa tokoh yang
ada di Indonesia. Sebut saja Jusuf Kalla. Kemudian ada B.J Habiebie,
Sophan Sophiaan, serta Andi Mallarangeng. Nama Andi pada Andi
Mallarangeng kemungkinan adalah gelar Andi yang dimaksud. Ragam
Pendapat Tentang Andi Gelar Andi selaku gelar kehormatan yang dimiliki
masyarakat Bugis disematkan pada bangsawan-bangsawan Bugis. Ada
beragam pendapat yang menceritakan asal-usul dari pemberian gelar Andi
ini. Namun, temuan berupa sumber asli belum ada. Menurut beberapa
pendapat, Andi merupakan gelar kebangsawanan yang diturunakan
berdasarkan garis keturunan. Setelah Bugis mendapatkan kemerdekaannya
dari masyarakat Gowa, mereka yang merupakan keturunan dari campuran
dari beberapa garis keturunan mendapatkan gelar ini. Mereka adalah
keturunan dari percampuran berikut. Percampuran pernikahan antara
keturunan Lapatau dengan putri dari Raja Bone Sejati;

 Percampuran pernikahan antara keturunan Lapatau dengan putri dari Raja


Wulu yang bekerjasama dengan Kerajaan Gowa;
 Percampuran pernikahan antara keturunan Lapatau dengan putri dari Raja
Wajo;
 Percampuran pernikahan antara keturunan Lapatau dengan putri dari Sultan
Hasanuddi;
 Percampuran dari pernikahan antara anak serta cucu Lapatau dengan putri
dari Raja Suppa dan Tiroang; Dan,
 Percampuran pernikahan antara anak cucu Lapatau dengan putri-putri raja
dari kerajaan-kerajaan kecil yang berdaulat di Sulawesi.

Pemberian gelar tersebut konon merupakan upaya dari Belanda, dalam hal ini
VOC, untuk membangun serta mengendalikan, dalam hal ini lebih tepatnya mengubah
kehidupan sosial yang ada di Sulawesi. Itu lah mengapa ada seorang jenderal bernama
Muhammad Yusuf yang menolak penggunaan nama Andi. Padahal secara garis
keturunan, beliau adalah memiliki garis keturunan dari Sawerigading. Pemberian Nama
Andi di Era La Pawawoi Pendapat beberapa ahli lainnya adalah berhubungan dengan
kehidupan masyarakat Bugis pada zaman pemerintahan La Pawawoi Karaeng Sigeri.
Menurut cerita, pada masa pemerintahan itu, hubungan Kerajaan Bone dan pihak VOC
dalam keadaan memanas. Kerajaan Bone kemudian membentuk sekelompok pasukan
untuk menghadapi pasukan dari Belanda tersebut. Pasukan itu diberi nama Anre Guru
Ana’ Karung. Pemimpin dari pasukan bentukan Kerajaan Bone tersebut adalah Petta
Ponggawae. Anggota dari pasukan bentukan Kerajaan Bone bukan hanya anak-anak
bangsawan, tetapi juga anak dari orang-orang berkedudukan di daerahnya masing-
masing. Pemuda-pemuda itu lah yang kemudian konon dianugerahi gelar Andi. Gelar
itu diberikan karena mereka sudah dianggap sebagai keluarga muda Raja Bone yang
rela mati demi menegakkan kehormatan yang dimiliki rajanya, atau patetong’ngi
alebbirenna Puanna. Pemberian Nama Andi versi Raja Bone, Versi lain mengenai
pemberian gelar Andi berhubungan dengan Raja Bone ke 30 dan 32 bernama La
Mappanyukki. Beliau merupakan putra dari Raja Gowa dan putri Raja Bone. La
Mappanyukki mendapatkan gelar Andi di depan namanya atas pengaruh dari pihak
Belanda. Peristiwa itu terjadi pada 1930-an. Mengapa dalam pemberian nama Andi ini
pihak Belanda memiliki pengaruh? Ini adalah siasat Belanda untuk membedakan
bangsawan mana yang berpihak padanya. Para bangsawan yang menggunakan gelar
Andi di depan namanya, adalah mereka yang berpihak kepada pihak Belanda. Melihat
kemudahan yang diterima para bangsawan pemihak Belanda, satu tahun kemudian,
raja-raja yang berkuasa di Sulawesi sepakat untuk menggunakan nama Andi di depan
namanya. Dalam buku milik Susan Millar juga disebutkan bahwa penggunaan nama
Andi di depan awalnya adalah bertujuan untuk membedakan mana golongan
bangsawan dan mana yang bukan. Karena saat itu, terjadi perdamaian antara pihak
kerajaan dengan VOC. VOC kemudian berjanji untuk melepaskan budak yang masih
merupakan keturunan bangsawan. Penggunaan nama Andi kemudian merujuk pada
peristiwa tersebut.
Pengelompokkan mana bangsawan dan mana yang bukan menemukan kendala.
Banyaknya budak yang dimiliki Belanda pada saat itu berimbas pada bercampurnya
seluruh lapisan masyarakat. Akhirnya, diputuskan bahwa mereka yang lolos mengikuti
berbagai test, yang pastinya hanya dikuasai oleh para bangsawanlah yang akan
mendapatkan sertifikat. Test tersebut salah satunya adalah test sebagai montir mobil.

Dari peristiwa tersebut, gelar Andi seolah menjamur. Semua keturunan


bangsawan menggunakan nama tersebut di depan nama aslinya. Penggunaan nama
Andi pada saat itu juga cukup beragam di setiap kerajaan yang ada di Sulawesi.
Misalnya seperti yang terjadi di Kerajaan Soppeng. Kerajaan ini hanya membolehkan
gelar Andi digunakan oleh keturunan ketiga. Pemaknaan Gelar Andi Ketika seseorang
memang sudah ditakdirkan menjadi bangsawan, siapa yang akan memungkirinya?
Gelar-gelar kebangsawanan yang ada di Indonesia ini harus diakui cukup membuat
garis strata sosial semakin jelas terlihat. Tidak heran jika pada akhirnya, ada beberapa
bangsawan, yang ditandai dengan gelar di depan namanya, bangga terhadap gelar
yang dimilikinya. Sehingga, gelar tersebut terus dibawa-bawa kemana pun ia pergi.
Seperti gelar Andi ini sendiri. Dan hal tersebut membuat jurang pemisah antara
golongan bangsawan dan golongan masyarakat biasa.

Di golongan masyarakat Bugis sendiri, khususnya mereka para orang tua, ada
sebuah anggapan bahwa siapa pun yang sering mengaku-aku dirinya sebagai
bangsawan dan membawa gelarnya kemana pun serta seolah menonjolkanya kepada
masyarakat luas, adalah bukan keturunan murni bangsawan. Kebanggaan mereka
terhadap gelar dengan menonjolkan nama gelar yang dimiliki seolah sebagai bentuk
ketakutan apabila gelar bangsawan yang dimilikinya tidak diakui. Padahal, jika memang
ia adalah bangsawan murni, tanpa menggunakan embel-embel Andi di depan
namanya, masyarakat akan tetap tahu bahwa ia adalah bangsawan. Pemaknaan gelar
kebangsawanan di masyarakat Indonesia, seperti Andi memang menimbulkan
perbedaan pendapat. Sejatinya, menurut salah seorang keturunan bangsawan, gelar
bangsawan tidak berbeda jauh dengan kadar karat yang dimiliki sebongkah emas. Ada
yang kadar karatnya tinggi dan ada yang rendah. Kadar karat ini diasosiasikan sebagai
tingkah laku atau kepribadian bangsawan tersebut di tengah-tengah masyarakat. Gelar
Andi sendiri seolah menjadi suatu hal yang bisa menaikkan gengsi seseorang di
lingkungan masyarakat. Pada akhirnya, pemakaian gelar Andi ini banyak yang
dipaksakan. Aturan berdasarkan kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan, gelar Andi
hanya boleh diturunkan dari garis ayah. Jika ayahnya tidak “Andi”, ia tidak boleh
menempatkan gelar tersebut di depan namanya. Sayang, aturan tersebut banyak
diterabas.

Beberapa kerajaan di Sulawesi :

1. Kerajaan Bugis Makassar


Bugis Makassar memliki lima Kerajaan diantaranya adalah Kerajaan Bone, Kerajaan
Makassar, Kerajaan Wajo, Kerajaan Soppeng Kerajaan Luwu:

2. Kerajaan Bone
Di daerah Bone terjadi kekacauan selama tujuh generasi, yang kemudian muncul
seorang To Manurung yang dikenal Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja-raja kecil
melantik Manurungnge ri Matajang sebagai raja mereka dengan nama Arumpone dan
mereka menjadi dewan legislatif yang dikenal dengan istilah ade pitue. Manurungnge ri
Matajang dikenal juga dengan nama Mata Silompoe. Adapun ade’ pitue terdiri dari
matoa ta, matoa tibojong, matoa tanete riattang, matoa tanete riawang, matoa macege,
matoa ponceng. istilah matoa kemudian menjadi arung. setelah Manurungnge ri
Matajang, kerajaan Bone dipimpin oleh putranya yaitu La Ummasa’ Petta Panre Bessie.
Kemudian kemanakan La Ummasa’ anak dari adiknya yang menikah raja Palakka
lahirlah La Saliyu Kerrempelua. pada masa Arumpone (gelar raja bone) ketiga ini,
secara massif Bone semakin memperluas wilayahnya ke utara, selatan dan barat.

3. Kerajaan Makassar
Sejarah Kerajaan Makassar sebenarnya terdiri atas 2 kerajaan yakni kerajaan Gowa
dan Tallo. Kemudian, kerajaan itu bersatu dibawah pimpinan raja Gowa yaitu Daeng
Manrabba. Setelah menganut agama Islam, Ia bergelar Sultan Alauddin. Raja Tallo,
yaitu Karaeng Mattoaya yang bergelar Sultan Abdullah, menjadi mangku bumi.
Bersatunya kedua kerajaan tersebut bersamaan dengan tersebarnya agama Islam ke
Sulawesi Selatan. Pusat pemerintahan dari Kerajaan Makassar terletak di Sombaopu.
Letak kerajaan Makassar sangat strategis karena berada di jalur lalu lintas pelayaran
antara Malak dan Maluku. Letaknya yang sangat strategis itu menarik minat para
pedagang untuk singgah di pelabuhan Sombaopu. Dalam waktu singkat, Makassar
berkembang menjadi salah satu Bandar penting di wilayah timur Indonesia.

4. Kerajaan Wajo
Kerajaan Wajo terbentuk dari komune-komune atau komunitas yang terdiri dari
berbagai arah yang berada di sekitar Tappareng Karaja. Terbetuknya kerajaan wajo
berawal dari danau Lampulungeng yang dipimpin seorang yang memiliki kemampuan
supranatural yang disebut puangnge ri lampulungeng. setelah puangnge ri
lampulungeng, komune lampulungeng berpindah ke Boli yang kemudian dipimpin oleh
seseorang yang juga memiliki kemampuan supranatural. kedatangan Lapaukke
seorang pangeran dari kerajaan Cina (Pammana) adalah pendiri (Founding Father)
kerajaan Cinnongtabi ,Kerajaan ini terbentuk dari banyaknya komunitas di sekitar
tappareng karaja. Selama lima generasi kerajaan Cinnongtabi Berdaulat,yang
kemudian kerajaan ini bubar dan terbentuk Kerajaan Wajo.

5. Kerajaan Soppeng
Pada suatu masa ketika terjadi kekacauan di Soppeng, muncul dua orang To
Manurung. Yang pertama adalah seorang wanita yang dikenal dengan nama
Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja. Yang kedua adalah
seorang laki-laki yang bernama La Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili yang
kemudian memerintah Soppeng ri Lau. Pada akhirnya kedua kerajaan kembar tersebut
menyatu menjadi Kerajaaan Soppeng.

6. Kerajaan Luwu
Di abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Luwu, Soppeng, Bone, dan Wajo, yang
diawali dengan krisis sosial dimana orang saling memangsa laksana ikan. Kerajaan
Luwu kemudian mendirikan kerajaan pendamping, yaitu kerajaan Tallo. Tapi dalam
perkembangannya kerajaan kembar ini (Gowa dan Tallo) akhirnya kembali menyatu
menjadi satu kerajaan yaitu Luwu.

KESIMPULAN
Kebudayaan Bugis Makassar adalah kebudayaan dari suku bangsa Bugis
Makassar yang mendiami bagian terbesar dari Jazirah selatan dari Pulau Sulawesi.
Seacara garis besar penduduk provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari empat suku
bangsa yaitu suku bugis, suku Makssar, Suku, Toraja Dan suku Mandar.Kebudayaan
Bugis Makassar dari segi Kependudukan mendiami Kabupaten-Kabupaten diataranya
adalah Sinjai, Bone,soppeng,Wajo,Sidenreng-Rappang,Pinrang,Polewali-
Mamasa,Enrekang, Luwu,Pare-Pare, Pangkajenne Kepulauan dan Maros.
Kebudayaan Bugis Makssar juga memliki beberapa kerajaan diantaranya yaitu
kerajaan Bone, kerajaan Makassar, kerajaan Soppeng, kerajaan Luwu dan kerajaan
Wajo. Adapun bahasa orang Bugis adalah Bahasa Ugi,sedangkan orang Mkassar
adalah MANGKASA,Huruf yang dipakai adalah naskah-naskah Bugis Makassar kuno
adalah AKSARA LONTARA.

Anda mungkin juga menyukai