Anda di halaman 1dari 7

Makalah Kebudayaan Indonesia

‘Mengenal Bugis’

Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebudayaan Indonesia

Dosen Pengampu:

Dr. Drs. Agusmanon Yuniadi, M.Hum

Disusun Oleh:

Farhanna Nurul Azzahra

180310180012

Ilmu Sejarah

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Padjadjaran

2019
Mengenal Bugis

Oleh :

Farhanna Nurul Azzahra

(180310180012)

Keberagaman etnis, suku bangsa, budaya, dan bahasa nampaknya bukan


menjadi suatu hal yang asing lagi di Indonesia. Nama Indonesia telah erat
kaitannya dengan unsur-unsur tersebut, menjadi sebuah kesatuan dalam negara
Indonesia yang tidak dapat dipisahkan. Keberagaman suku yang tersebar di
seluruh penjuru Indonesia ini yang menjadi alat perekat bangsa, sekaligus yang
membedekan Indonesia dengan negara-negara lainnya di muka bumi ini.

Salah satu suku yang menjadi perekat bangsa Indonesia adalah suku
Bugis, sebuah suku yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan yang terkenal
dengan adat istiadatnya. Pada pembahasan ini, penulis akan mencoba untuk
mengungkapkan beberapa hal terkait suku Bugis yaitu:

1. Asal-Usul Suku Bugis


2. Mata Pencaharian dan Kehidupan Suku Bugis
3. Ciri Khas dan Kebudayaan Suku Bugis

Asal-Usul Suku Bugis

Menjadi salah satu suku yang terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan, Bugis
merupakan sebuah suku yang tergolong kedalam golongan suku-suku Melayu
Deutero dan mendominasi jumlah penduduk di kota Makassar. Orang-orang Bugis
hidup terbagi dalam beberapa kerajaan sebelum masa kolonial, pada masa
kolonial, dan setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Kerajaan-kerajaan
tersebut antara lain adalah kerajaan Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto,
Sidenreng dan Rappang. Kini nama-nama kerajaan itu beralih menjadi nama
kabupaten yang ada di Sulawesi, sekaligus menjadi daerah peralihan menuju kota
Makassar.

Pada masa revolusi atau sekitar tahun 1950-1960, suku Bugis yang
menempati wilayah Sulawesi Selatan ini mendapat perintah dari Soekarno untuk
ikut menyatukan diri dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal
ini menyebabkan beberapa pertentangan yang berujung kepada pemberontakan,
yang membuat sebagian dari orang Bugis meninggalkan Sulawesi Selatan untuk
menghindari huru-hara yang terjadi.

Migrasi orang-orang Bugis ini menyebabkan keberadaan suku Bugis


tersebar hingga ke pulau Jawa, bahkan tidak sedikit dari mereka yang memilih
untuk menetap dan tidak kembali lagi ke Sulawesi.

Mata Pencaharian dan Kehidupan Suku Bugis

Sebelum era modern seperti saat ini, kebanyakan orang-orang suku Bugis
berprofesi sebagai nelayan, petani, dan pedagang. Hal ini dipicu oleh fakta bahwa
suku Bugis terletak di dataran yang rendah dan dekat pesisir di Sulawesi, sehingga
ketiga profesi itu yang paling banyak diminati. Seiring dengan perkebangan
zaman, orang-orang Bugis juga banyak yang berpartisipasi dalam kursi
pemerintahan dan berperan dalam pekembangan pendidikan di Indonesia. Salah
satu tokoh terkenal yang ternyata merupakan bagian dari suku Bugis adalah B.J
Habibie, presiden ketiga Republik Indonesia.

Karena telah dikenal sebagai suku yang memiliki keahlian dalam


mengarungi samudera dan pandai berlayar, banyak orang-oragng dari suku Bugis
yang pergi untuk merantau ke pulau-pulau lain di Indonesia. Terlebih lagi pada
sepanjang abad ke-16 hingga ke-19 dimana perpecahan antar kerajaan di Bugis
terjadi sehingga banyak warga yang mengungsikan diri. Faktor lainnya yang
menyebabkan orang-orang Bugis bermigrasi juga dipicu oleh kehadiran orang-
orang Belanda.

Daerah perantauan Bugis tidak hanya terbatas di Indonesia saja, tetapi


menyebar luas hingga ke negara lainnya di dunia seperti Malaysia, Singapura,
Brunei Darussalam, Thailand, Filipina, Madagaskar, Australia, hingga Afrika
Selatan.

Ciri Khas dan Kebudayaan Suku Bugis

Seperti suku bangsa lainnya di Indonesia, suku Bugis juga memiliki etos
hidup atau nilai budaya luhur yang diwariskan secara turun temurun dan
memengaruhi pola pikir masyarakat Bugis. Istilah ini dikenal dengan nama si’ri
dan pesse’, dimana si’ri memiliki arti kulturalnya adalah malu sementara pesse’
memiliki arti belas kasihan, kepedihan, turut merasakan sesuatu dan ada keinginan
untuk membantu. Jika disimpulkan maka si’ri dan pesse’ dapat diartikan sebagai
suatu rasa rendah diri yang turut merasakan empati kepada orang lain sehingga
menghasilkan suatu adat untuk bergotong royong.

Etos kehidupan ini begitu penting dipegang oleh orang-orang Bugis.


Mereka yang tidak memilikinya atau menerapkan si’ri dan pesse’ dalam
kehidupan sehari-hari dianggap sejajar kedudukannya dengan hewan yang tidak
memiliki empati sama sekali terhadap makhluk hidup.

Selain dikenal sebagai sebuah suku yang memiliki tenggang rasa yang
tinggi, suku Bugis juga memiliki kebudayaan yang unik dan beragam. Salah satu
yang paling menonjol ada pada adat-istiadat perkawinan yang dijunjung tinggi
oleh orang-orang Bugis. Perkawinan memang merupakan hal yang sakral bagi
siapapun di muka bumi ini, maka tak heran jika orang-orang Bugis memiliki
hingga tiga kriteria pembagian perkawinan yang idela menurut mereka.

Ketiga kriteria tersebut adalah assialang marola sebagai bentuk


perkawinan ideal yang utama, assialana memang yang melibatkan saudara sepupu
namun pada sederajat kedua baik dari pihak ayah maupun ibu, dan rippanddepe’
mabelae yang memiliki makna untuk mengakrabkan kembali kerabat yang jauh.

Disamping tiga kriteria perkawinan yang baik terdapat pula tiga kegiatan
sebelum perkawinan yang wajib dilaksanakan oleh orang-orang Bugis yang
hendak menikah. Tiga kegiatan ini adalah mappuce-puce, dimana keluarga
mempelai laki-laki mengunjungi rumah keluarga mempelai perempuan untuk
mengenal keluarga masing-masing lebih jauh lagi. Kemudian dilanjutkan dengan
massuro, dimana keluarga mempelai laki-laki datag ke rumah keluarga mempelai
perempuan untuk membicarakan waktu pernikahan serta pemberian uang panaik.

Uang panaik sendiri berbeda dengan mahar. Jumlah uang panaik yang
harus diberikan pun tergantung tingkat pendidikan mempelai perempuan dan
status derajatnya dalam kehidupan sosial.

Kegiatan yang terakhir adalah maduppa, yaitu kegiatan menyebarkan


undangan pernikahan kepada kerabat, tetangga, dan warga sekitar. Dalam
kegiatan maduppa ini kepala adat setempat menjadi tamu kehormatan dalam pesta
pernikahan nanti.

Selain itu, suku Bugis juga memiliki sebuah kitab tersendiri yang
menjelaskan tata cara berhubungan seks sesuai dengan kaidah dan aturan
kebudayaan mereka. Kitab yang mirip dengan Kama Sutra dari India ini bernama
Assikalaibineng, yaitu kitab persetubuhan orang-orang Bugis. Kehadiran
Assikalaibineng ini menjadi tuntutan bagi sebuah keluarga Bugis dalam
melakukan hubungan suami-istri yang dikendalikan oleh nilai-nilai budaya Bugis,
yang juga sejalan dengan semangat nilai-nilai Islam (Hadrawi, 2010:7).

Sekalipun memiliki tempat sebagai sebuah kebudayaan yang bersifat


positif, pengetahuan Assikalaibineng pada masyarakat Bugis modern sudah lebih
sulit untuk dijangkau. Hal ini disebabkan karena kitab-kitab asli Assikalaibineng
tidak diketahui keberadaannya, dan kalaupun ada, tidak semua orang Bugis bisa
membaca aksara lontara1 dengan baik.
1
Aksara lontara adalah aksara asli dari Bugis.
Beralih kepada bidang kesenian yang dimiliki oleh suku Bugis yang terdiri
dari beberapa kesenian yang beragam. Kesenian-kesenian ini berupa tarian, alat
musik, rumah adat, hingga pakaian adat.

Tarian-tarian adat khas Bugis diantaranya adalah Paduppa Bosara,


Pakarena, Ma’badong, Pa’gellu, Mabissu, dan tari Kipas. Tarian-tarian ini
memiliki makna dan hanya dilakukan pada saat-saat tertentu saja.

Alat musik khas Bugis diantaranya adalah Gandrang Bulo yang berarti
gendang yang terbuat dari bambu, kecapi, gendang dan suling.

Rumah adat Bugis dibangun tanpa penggunakan paku sama sekali, tetapi
diganti oleh kayu atau besi. Rumah adatnya pun terbagi menjadi dua berdasarkan
status sosial si pemiliknya, dimana rumah saoroja digunakan untuk orang-orang
dengan status sosial yang lebih tinggi sedangkan rumah bola digunakan untuk
orang-orang biasa. Perbedaannya pun hanya terletak pada luas rumahnya saja.

Daftar Sumber

Buku
Abidin, Z. (1983). Persepsi orang Bugis, Makasar tentang hukum, negara dan
dunia luar. Bandung: Alumni.
Hadrawi, M. (2010). Assikalaibineng: Kitab Persetubuhan Bugis. Makassar:
Ininnawa.
Sutton, A. (2013). Pakkuru Sumange’ Musik, Tari, dan Politik Kebudayaan
Sulawesi Selatan. Makassar: Ininnawa.

Jurnal
Journal.unj.ac.id. (2019). View of SEJARAH PERKEMBANGAN DESA BUGIS
MAKASSAR SULAWESI SELATAN. [online] Available at:
http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/lontar/article/view/2513/1933
[Accessed 16 Nov. 2019].

Website
RomaDecade. (2019). Suku Bugis. [online] Available at:
https://www.romadecade.org/suku-bugis/#! [Accessed 16 Nov. 2019].

Anda mungkin juga menyukai