Anda di halaman 1dari 22

MENGENAL BUDAYA SUKU BUGIS

(Pendekatan Misi Terhadap Suku Bugis)

Shintia Maria Kapojos dan Hengki Wijaya


Penulis Korespondensi: hengkilily1988@gmail.com

Abstrak

Tulisan ini menyoroti antropologi Suku Bugis dengan mengenal


budaya suku Bugis. Aspek identitas suku bugis, kekerabatan,
perkawinan, stratifikasi sosial, watak dan mental suku Bugis dibahas
dalam tulisan ini. Kebudayaan Bugis terbentuk dari berbagai unsur
yang pada hakikat unsur-unsur tersebut menjadikan patokan
masyarakat untuk bertindak. Unsur-unsur kebudayaan Bugis banyak
bersumber dari lontara. Tingkah laku pun dijelaskan di dalam lontara.
Pendekatan misi dapat dilakukan melalui budaya Bugis tanpa harus
bertentangan di dalamnya karena budaya itu sendiri adalah bagian
yang disediakan Allah untuk mendekati manusia ciptaan-Nya.

Kata-kata kunci: budaya, Bugis, misi, Allah, perkawinan, Siri’, sosial

This paper highlights the anthropology of the Bugis people by


recognizing Bugis ethnic culture. Aspects of Bugis ethnic identity,
kinship, marriage, social stratification, character and mentality of the
Bugis are discussed in this paper. Bugis culture is formed from
various elements which in essence make these elements make
society’s benchmark for action. Many aspects of Bugis culture are
sourced from lontara. Behavior is also explained in Lontara. The
mission approach can be carried out through Bugis culture without
having to contradict it because itself is a part provided by God to
approach His creation man.

Keywords: culture, Bugis, mission, God, marriage, Siri’, social

PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara kepulauan terkenal akan
keanekaragaman suku, bahasa, agama, dan budaya. Kebudayaan setiap
daerah-daerah terhitung menjadi kesatuan kebudayaan nasional yang
tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 32. Kebudayaan
daerah menjadi salah satu unsur yang penting dalam membangun
kehidupan bangsa Indonesia, yang mana kebudayaan tersebut
Jurnal Lembaga STAKN Kupang | MATHETEUO Vol. 6, No. 2, November 2018
153
merupakan jati diri bangsa. Kebudayaan ialah keseluruhan dari
kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata-kelakuan
yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun
dalam kehidupan bermasyarakat.1
Sulawesi Selatan adalah salah satu dari 34 propinsi dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di provinsi ini terdapat empat
suku bangsa utama yaitu, Toraja, Makassar, Bugis dan Mandar.2 Suku
Bugis adalah salah satu suku yang terbesar yang mendiami daerah
Sulawesi Selatan. “Suku bangsa Bugis terutama mendiami kabupaten-
kabupaten Bone, Wajo, Soppeng, Sinjai, Bulukumba, Barru, Pare-
Pare, Sidrap, Pinrang dan Luwu. Sebahagian penduduk Pangkajene
dan Maros, sebagai daerah perbatasan antara negeri-negeri orang
Bugis – Makassar, adalah orang Bugis atau orang Makassar.”3 ”Bugis
adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero.
Kata “Bugis” berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis”.4
Menarik untuk dipelajari etnografi kebudayaan suku bugis
karena memiliki ciri yang khas. “Mereka adalah contoh yang jarang
terdapat di wilayah Nusantara. Mereka mampu mendirikan kerajaan-
kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India, dan
tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka.5 Perpindahan
besar-besaran orang “Bugis” ke luar kampungnya di Sulawesi Selatan
di mulai pada paruh baya ke-17 dan ke-18.6 Hari ini orang Bugis telah
tersebar di segala kawasan. Di seluruh wilayah Nusantara dari
Semenanjung Melayu dan Singapura hingga pesisir barat Papua, dari
Filipina Selatan daan Kalimantan Utara hingga Nusa Tenggara dapat
dijumpai orang Bugis yang sibuk dengan aktivitas pelayaran,
perdagangan, pertanian, pembukaan lahan perkebunan di hutan, atau
pekerjaan apa saja yang sesuai.7 Meskipun telah tersebar di mana saja,
identitas suku ini tetap terlihat di mana pun mereka tinggal. Orang
Bugis ternyata tetap mampu mempertahankan identitas “kebugisan”
mereka.8

1
A. Moein MG, Menggali Nilai Sejarah Kebudayaan Sulselra Siri’ &
Pacce (Ujung Pandang: SKU Makassar Press, 1977), 12.
2
Ibid., 11.
3
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Geografi Budaya
Daerah Sulawesi Selatan (Jakarta: Balai Pustaka, 1977), 34.
4
“Suku Bugis,” https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis diakses 25
April 2015.
5
Christian Pelras, Manusia Bugis (Jakarta: Nalar, 2006), 4.
6
Andi Faisal Bakti, Diaspora Bugis (Makassar: Ininnawa, 2010), 17.
7
Ibid, 5.
8
Ibid.
Jurnal Lembaga STAKN Kupang | MATHETEUO Vol. 6, No. 2, November 2018
154
PEMBAHASAN
Sumber Identitas Suku Bugis
“Orang Bugis sendiri mengenal masa lampau mereka melalui
dua macam manuskrip anonim yakni mitos/epos dan teks
sejarah/kronik. Jenis pertama berwujud sebuah karya sastra besar
berisi cerita bersyair, yang dinamakan Sure’ Galigo oleh orang Bugis.
Jenis kedua, adalah sejumlah besar kronik orang Bugis, Makassar dan
Mandar.”9 Sure’ Galigo merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
identitas kebudayaan Bugis. Naskah La Galigo bercerita tentang
ratusan keturunan dewa yang hidup pada masa selama enam generasi
turun-temurun pada berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan.10 A.
Rahman Rahim menuliskan,
“Sure’ Galigo menceritakan tentang awal mula dihuninya
negeri Bugis, ketika Batara Guru dari Botinglangi’ (dunia atas)
bertemu di Tana Luwu dengan We’Nyelli timo dari Buri’liung
(dunia bawah). Simpuru’siang di Luwu, Sengingridi di Bone,
Petta Sekkanyili di Soppeng, puteri Temmalate di Gowa,
semuanya adalah Tomanurung yang membentuk masyarakat
Bugis-Makassar.”11
Naskah yang bersyair tersebut ditulis dalam bahasa Bugis kuno
dengan bahasa sastra tinggi dan oleh masyarakat Bugis dipercayai
sebagai kitab sakral.”12 Selain epos/mitos, kronik/teks sejarah
kebudayaan bugis dapat ditemukan dalam sejumlah lontara.
“Lontara adalah sesuai dengan kata lontar (Jawa/Melayu),
yang merupakan transposisi kata rontal, yang merupakan kombinasi
kata ron, daun, dan tal. Tal adalah pohon Borassus flabelliformis yang
daunnya dapat dipakai untuk menulis. Lontara pertama-tama berarti
daun lontar, dan dalam arti luas berarti setiap karya tulis.”13 Dalam
lontara memuat begitu macam informasi yang penting.” Lontara
berisi catatan rinci mengenai silsilah keluarga bangsawan, wilayah
kerajaan, catatan harian, serta berbagai macam informasi lain seperti,
daftar kerajaan-kerajaan, naskah perjanjian dengan kerajaan lain atau
persetujuan yang telah diadakan intra-kerajaan sendiri antara penguasa
dan rakyat.”14

9
Ibid, 33.
10
Ibid, 35.
11
A. Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis (Ujung
Pandang: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanudin, 1985), 51.
12
Christian Pelras, Manusia Bugis (Jakarta: Nalar, 2006), 35.
13
Andi Zainal Abidin, Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan
(Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1999), 1.
14
Christian Pelras, Manusia Bugis (Jakarta: Nalar, 2006), 34.
Jurnal Lembaga STAKN Kupang | MATHETEUO Vol. 6, No. 2, November 2018
155
Sistem Kekerabatan
“Dalam kehidupan masyarakat yang masih sederhana atau
paling tidak kelompok yang memiliki jumlah anggota terbatas,
biasanya hubungan antara masing anggotanya saling mengenal secara
mendalam. Yang menjadi dasar kekuatan ikatan kelompok semacam
ini adalah sistem kekerabatan.”15 Lestari (2009) dalam Ardhani
menjelaskan sistem kekerabatan masyarakat Bugis disebut dengan
assiajingeng yang tergolong parental, yaitu sistem kekerabatan yang
mengikuti pergaulan hidup dari ayah maupun dari pihak ibu atau garis
keturunan berdasarkan kedua orang tua.16 Sistem kekerabatan
merupakan aspek yang sangat penting dalam masyarakat.
Pengetahuan mendalam tentang prinsip-prinsip kekerabatan
sangat diperlukan guna memahami apa yang mendasari berbagai
aspek kehidupan masyarakat yang dianggap paling penting oleh orang
Bugis dan saling berkaitan dalam membentuk tatanan sosial mereka.17
Pada dasarnya, sistem kekerabatan itu, berkembang dari suatu
kelompok keluarga batih (Bugis: sianangmaranak). Sebagai keluarga
batih, mereka terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak dari ayah ibu
tersebut yang hidup dalam sebuah rumah tangga.18 “Sebagaimana
umumnya masyarakat Austronesia, khususnya orang-orang Nusantara
seperti Melayu, Jawa, Kalimantan, Filipina, dan orang Bugis pun
menganut sistem kekerabatan bilateral. Kelompok kekerabatan
bilateral seseorang ditelusuri melalui garis keturunan dari pihak ayah
maupun ibu.”19 Namun demikian dalam keluarga Bugis, dalam sebuah
rumah tangga tidak hanya terdiri dari anak dari ayah dan ibu, tetapi
juga terdapat anggota keluarga yang lainnya, seperti sepupu,
keponakan dari suami atau istri, nenek dan kakek.
“Terminologi kekerabatan masyarakat Bugis cukup sederhana
dan tergolong sistem kekerabatan “angkatan”. Seluruh kerabat yang
berasal dari garis generasi yang sama, baik laki-laki maupun
perempuan, saudara laki-laki maupun perempuan, atau sepupu,
dimasukkan ke dalam kategori “saudara” (sumpung lolo, disebut juga

15
Abdulsyani, Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan (Jakarta: Bumi
Aksara, 2002), 105.
16
Fitriah Ardhani, “Perbedaan Kepuasan Perkawinan Pada Wanita Suku
Bugis, Jawa, Dan Banjar Di Kecamatan Balikpapan Selatan Kota Balikpapan,”
eJournal Psikologi 3, Nomor 1 (2015): 361; Puji Lestari, Antropologi 2: Untuk SMA
dan MA Kelas XII (Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional, 2009).
17
Christian Pelras, Manusia Bugis (Jakarta: Nalar, 2006), 175.
18
Muhammad Zainuddin Badollahi, “Struktur Kekerabatan dan Stratifikasi
Sosial ‘Bugis’,”
https://www.kompasiana.com/muhammadzainuddinbadollahi/54f9479ca33311d33b
8b5087/struktur-kekerabatan-dan-stratifikasi-sosial-bugis diakses 25 April 2018.
19
Christian Pelras, Manusia Bugis (Jakarta: Nalar, 2006), 176.
Jurnal Lembaga STAKN Kupang | MATHETEUO Vol. 6, No. 2, November 2018
156
seajing ‘satu asal’).”20 “Sumpung berarti sambung (an), sedang lolo
berarti usus atau hati. Kelompok kerabat dekat disebut seajing
mareppe atau macawe’ dan kelompok kerabat jauh disebut seajing
mabela.”21
Christian Pelras menuliskan sapaan yang berlaku dalam
masyarakat Bugis sebagai berikut. “Yang paling penting adalah
apakah ia lebih tua (kaka’) atau lebih muda (anri’). Begitu pula
generasi di bawahnya, panggilan untuk mereka sama, yakni ana’
(anak), termasuk untuk anak kandung, kemenakan laki-laki dan
perempuan, anak dari sepupu kaki dan perempuan. Selanjutnya, baik
keturunan ana’ maupun keturunan anaure’ akan disapa sebagai eppo
(cucu). Sementara itu, semua kerabat yang seangkatan dengan ayah
dan ibunya, akan disapa paman (ama-ure’ atau amure’) atau bibi (ina
ure’). Sedangkan orang tua dari bapak, ibu, paman dan bibi akan
disapa nene’ (yang berarti kakek atau pun nenek).
Sementara itu, biasanya akan sulit menentukan apakah orang
yang disapa dengan sapaan-sapaan tersebut di atas benar-benar
memiliki hubungan kekerabatan dengan mereka. Hal itu disebabkan
adanya kecenderungan untuk secara otomatis menyapa orang-orang
dekat, meskipun tidak memiliki hubungan kekerabatan, dengan sapaan
sesuai dengan generasi mereka masing-masing. Misalnya seorang
bapak akan otomatis menyapa putra sahabatnya dengan sapaan ana’
bukan karena adanya hubungan darah dengannya, akan tetapi karena
dia berasal dari generasi satu tingkat dibawahnya (satu generasi
dengan ana’-nya). Tentu saja ada sapaan untuk menentukan secara
pasti hubungan kekerabatan satu sama lain, yakni dengan menambah
istilah khusus. Misalnya: silessureng ri aleku ‘saudaranya sendiri’
atau anri’ ipa’ku ‘adik ipar saya’, atau, dalam sastra kuno ina teng-
ncajiangnga-a’, ‘ibu yang tidak melahirkan saya’ sebagai pengganti
inaure’ yaitu ‘bibi’.”22
Dalam masyarakat Bugis marga bukanlah yang terpenting
seperti yang berlaku bagi orang Batak dan Manado. Akan tetapi yang
dikenal adalah “percabangan” dari kedua sisi ayah dan ibu. Hal
tersebut dijelaskan dalam buku yang berjudul Manusia Bugis.
“Dengan kata lain, setiap orang memiliki dua garis nenek moyang,
yakni garis nenek moyang dari bapak dan ibu. Dari kedua garis
keturunan tersebut akan terbentuk jaringan sepupu dari kedua belah

20
Ibid.
21
Muhammad Zainuddin Badollahi, “Struktur Kekerabatan dan Stratifikasi
Sosial ‘Bugis’,”
https://www.kompasiana.com/muhammadzainuddinbadollahi/54f9479ca33311d33b
8b5087/struktur-kekerabatan-dan-stratifikasi-sosial-bugis diakses 25 April 2018,
22
Christian Pelras, Manusia Bugis (Jakarta: Nalar, 2006), 176.
Jurnal Lembaga STAKN Kupang | MATHETEUO Vol. 6, No. 2, November 2018
157
pihak yang memiliki dua pasang kakek-nenek, yakni orang tua bapak
dan orang tua ibu mereka yang disebut nene’ wakkang ‘kakek nenek
pangkuan’. Kemudian dua pasang kakek-nenek itu memiliki pula
orang tua yang berjumlah empat pasang. Seterusnya delapan pasang
orang tua dari orang tua kakek-nenek itu juga memiliki orang tua yang
jumlahnya enam belas pasang. Dua pasang kakek-nenek menurunkan
sepupu pertama. Empat pasang orang tua dari kakek-nenek
menurunkan sepupu kedua. Delapan pasang orang tua dari orang tua
kakek-nenek menurunkan sepupu ketiga. Dan, akhirnya enam belas
pasang orang tua dari orang tuanya orang tua kakek nenek
menurunkan sepupu empat kali.
Secara berturut-turut, sepupu pertama, kedua, ketiga, dan
keempat, dalam bahasa Bugis sappo siseng, sappo wekka dua, sappo
wekka tellu, dan sapo wekka eppa’. Setiap orang dikelilingi oleh
kerabat yang berasal dari dua cabang, garis bapak, dan ibu, mulai dari
yang paling dekat, misalnya dari cabang kedua orang tua (saudara,
kemenakan, cucu kemenakan), hingga kerabat jauh yang berasal dari
lima lapis nenek moyang yang menurunkan berbagai lapis sepupu
mereka. Jauh dekatnya hubungan kekerabatan ditentukan oleh lapisan
leluhur keberapa yang menghubungkan mereka. Hubungan
berdasarkan nenek moyang tersebut, baik dari pihak bapak maupun
ibu, menyatukan mereka dalam suatu sistem kekerabatan dan
memisahkan mereka dengan “orang lain”. Masyarakat Bugis tidak
memiliki suatu kelompok kekerabatan bilateral yang mengutamakan
salah satu pasangan nenek moyang saja, sebagaimana dengan orang
Toraja tetangga mereka yang hanya memusatkan inti kelompok
keluarga masing-masing pada sebuah rumah tongkonan. Yang
terpenting bagi masyarakat Bugis adalah dicapainya derajat yang
tinggi dalam sistem stratifikasi sosial.”23
Hubungan kekerabatan dalam suku Bugis semakin terpelihara
dengan erat ketika mereka bersama-sama hadir dalam upacara-upacara
seperti sunatan, aqikah, dan pernikahan. Meskipun kekerabatan
masyarakat bugis adalah bilateral, namun dalam hak dan kewajiban
mereka lebih mengikuti prinsip bilineal, yang mana memperhitungkan
kekerabatan melalui pihak pria. Namun, kekerabatan suku bugis tidak
lagi dibatasi hanya dengan suku bugis saja namun terjadi integrasi
budaya dengan suku lainnya terutama suku Makassar. Dalam tulisan
“Integrasi Orang Bugis di Kabupaten Gowa (Studi Sosiologi terhadap
Orang Bugis Bone di Bollangi),” diungkapkan bahwa “hubungan
kekerabatan yang terjadi akibat adanya perkawinan diantara
masyarakat asli dan pendatang yang berbeda suku bangsa,

23
Ibid, 177.
Jurnal Lembaga STAKN Kupang | MATHETEUO Vol. 6, No. 2, November 2018
158
menyebabkan terjadinya proses interaksi yang semakin meluas di
antara kedua pasangan dan pihak-pihak keluarganya.”24 Selain itu
dalam bingkai keberagaman suku maka masalah budaya terkait
perasaan sebangsa dan setanah air yang sangat kental dalam
kehidupan bermasyarakat, masalah kekerabatan terkait hubungan
kekerabatan yang ada diantara mereka, kepatuhan masyarakat pada
pejabat pemerintahan menjadi pengikat kesatuan dalam kekerabatan.25

Perkawinan
Tujuan perkawinan pada masyarakat Bugis sama dengan
masyarakat Makassar. Kalau orang Makassar mengatakan terhadap
orang yang mau dikawinkan lanipattukmi ulanna salangganna, maka
orang Bugis mengatakan elokni ri pakkalepu maksudnya akan
diutuhkan, jadi orang yang belum kawin dianggap belum utuh.26
“Bagi masyarakat Bugis, perkawinan berarti siala ‘saling mengambil
satu sama lain’. Jadi, perkawinan adalah ikatan timbal-balik.
Walaupun mereka berasal dari status sosial berbeda, setelah menjadi
suami istri mereka merupakan mitra.”27 Dalam perkawinan
masyarakat Bugis, laki-laki dan perempuan bukan hanya merupakan
suatu kesatuan, namun mereka juga terikat menjadi satu kesatuan
dengan keluarga masing-masing, baik dari pihak laki-laki maupun
perempuan.
Pernikahan menjadi sarana menyatukan antara dua keluarga
bagi masyarakat Bugis. “Upacara penyatuan dan persekutuan dua
keluarga dalam pernikahan biasanya telah memiliki hubungan
sebelumnya dengan maksud kian mempereratnya. Di kalangan
masyarakat biasa, perkawinan umumnya berlangsung antarakeluarga
dekat atau antarakelompok patronasi yang sama.”28 Perkawinan ideal
pada masyarakat Bugis sama dengan masyarakat Makassar. Bahwa
seorang laki-laki maupun wanita diharapkan untuk mendapatkan
jodohnya dengan lingkungan keluarganya baik dari pihak ibu maupun

24
Muh. Rasyid Ridha,“Integrasi Orang Bugis Di Kabupaten Gowa (Studi
Sosiologi terhadap Orang Bugis Bone di Bollangi),”Seminar Nasional “Pendidikan
Ilmu-Ilmu Sosial Membentuk Karakter Bangsa Dalam Rangka Daya Saing Global”
(Grand Clarion Hotel, Makassar: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar
dan Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia, 29 Oktober 2016),
217.
25
Ridha, 220.
26
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Adat dan
Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan (Jakarta: Balai Pustaka, 1977), 59.
27
Christian Pelras, Manusia Bugis, (Jakarta: Nalar, 2006), 178.
28
Ibid.
Jurnal Lembaga STAKN Kupang | MATHETEUO Vol. 6, No. 2, November 2018
159
dari pihak ayah.29 Berikut ini pernikahan yang ideal menurut
masyarakat Bugis:
“Pertama, siala massapposiseng ialah kawin antara sepupu
sekali, hubungan perkawinan semacam ini yang paling ideal
dahulu di kalangan bangsawan tinggi (raja-raja) untuk menjaga
derajat kemurnian darah. Perjodohan tersebut disebut juga
Assialang Marola (perjodohan yang sesuai). Kedua, siang
massappokadua ialah kawin antara sepupu dua kali biasa pula
disebut asialanna memeng maksudnya perjodohan yang baik
sangat serasi. Ketiga, siala massappo katellu ialah kawin
antara sepupu tiga kali, disebut ripasilorongngengi maksudnya
mendekatkan kembali kekerabatan yang agak jauh. Biasa juga
dalam bahasa Bugis disebut ripadeppe mabelae. Hubungan
perkawinan yang ideal selain dalam lingkungan kerabat ialah
hubungan yang berdasarkan karena kedudukan assikapukeng
maksudnya mempunyai hubungan sejajar karena kedudukan
sosial yang setaraf yang tujuannya antara lain untuk
memperkokohkan kedudukan dengan mempererat hubungan
kekerabatan.”30
Namun ada silang pendapat di kalangan masyarakat Bugis
tentang lapisan sepupu keberapa yang boleh, dan yang tidak boleh
dikawini.31 Christian Pelras menjelaskan tentang pernikahan yang
biasa dilakukan, dan yang tidak dilakukan dalam masyarakat Bugis
sebagai berikut:
“Banyak yang menganggap bahwa perkawinan dengan sepupu
satu kali (perkawinan semacam ini disebut siala marola)
“terlalu panas”, sehingga hubungan seperti ini jarang terjadi,
kecuali di kalangan bangsawan tertinggi. “Darah putih” yang
mengalir dalam tubuh mereka dan harus dipelihara membuat
mereka melakukan hal itu, sebagaimana halnya tokoh-tokoh
dalam cerita LaGaligo. Sementara masyarakat biasa lebih
menyukai perkawinan dengan sepupu kedua (siala memeng),
lalu sepupu ketiga, dan keempat. “32
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan, jika seorang Bugis
akan melaksanakan pernikahan, baik dari kalangan rakyat biasa
maupun keturunan bangsawan seperti, hal penting lainnya adalah,
pasangan yang hendak menikah tidak boleh berasal dari generasi atau

29
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Adat dan
Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan (Jakarta: Balai Pustaka, 1977), 59.
30
Ibid.
31
Christian Pelras, Manusia Bugis (Jakarta: Nalar, 2006), 178.
32
Ibid.
Jurnal Lembaga STAKN Kupang | MATHETEUO Vol. 6, No. 2, November 2018
160
angkatan yang berbeda. Pasangan yang hendak menikah berasal dari
generasi atau “angkatan” yang sama. Perkawinan antara paman dan
kemenakan perempuan, atau bibi dan kemanakan laki-laki dilarang
dan hubungan badan di antara mereka dianggap sebagai hubungan
sumbang. Sementara itu, pernikahan dengan anak dari sepupu
keberapa pun sebaiknya dihindari.
Mengingat seringnya para bangsawan, begitu pula anak-anak
mereka, kawin dengan perempuan yang berusia jauh lebih muda dari
mereka, menyebabkan bangsa putra bangsawan yang sebaya usianya
dengan kemenakan mereka. Namun, tidak ada paman/bibi yang kawin
dengan kemenakan mereka walaupun usia mereka sebaya. Bagi kaum
bangsawan, faktor lain yang harus diperhatikan yang paling penting
adalah kesesuaian derajat antara pihak laki-laki dan perempuan.
Berbeda dengan bangsawan laki-laki yang diperbolehkan kawin
dengan pasangan berstatus lebih rendah, bangsawan perempuan sama
sekali tidak diperbolehkan menikah dengan orang yang lebih rendah
derajatnya. Semakin tinggi status kebangsawan seseorang, semakin
ketat pula aturan yang diberlakukan. Hal ini masih tetap berlaku
hingga kini. Namun, di kalangan bangsawan rendah, kompromi kian
hari kian cenderung terjadi. Istri utama pria bangsawan tinggi
biasanya memiliki derajat kebangsawan yang sama dengan suaminya.
Sementara istri-istri lainnya bisa berasal dari kalangan lebih rendah,
atau bahkan orang biasa.
Dalam proses perkawinan, pihak laki-laki harus memberikan
mas kawin kepada perempuan. Mas kawin terdiri atas dua bagian.
Pertama, sompa (secara harafiah berarti “persembahan” dan
sebetulnya berbeda dengan mahar dalam Islam) yang sekarang
disimbolkan dengan sejumlah uang rella’ (yakni rial, mata uang
Portugis yang sebelumnya berlaku antara lain di Malaka). Rella’
ditetapkan sesuai status perempuan untuk digunakan melaksanakan
pesta perkawinan. Besarnya dui’ menre’ ditentukan oleh keluarga
perempuan. Kedua, ditambahkan pula lise’ kawing (hadiah
perkawinan), dalam Islam disebut mahr atau hadiah kepada mempelai
perempuan: biasanya dalam bentuk uang. Akhir-akhir ini mahar
kadang-kadang diganti dengan mushaf Alquran. Sebelum masa
penjajahan Belanda, laki-laki dari luar wilayah tempat tinggal
perempuan harus membayar pajak pa’lawa tana (secara harafiah
‘penghalang tanah’) kepada penguasa setempat yang besarnya sesuai
sompa.”33
Dalam konteks kekinian dan milenial proses perjodohan dan
pernikanan telah mengalami transformasi, namun tidak menghapuskan

33
Pelras, 178-180.
Jurnal Lembaga STAKN Kupang | MATHETEUO Vol. 6, No. 2, November 2018
161
budaya pernikahan dalam suku Bugis itu sendiri. H. M. Dahlan
menyimpulkan bahwa “pandangan pernikahan yang ideal ini, pada
saatnya nanti, akan terpangkas oleh batas-batas yang ditetapkan, baik
oleh keluarga dan masyarakat maupun oleh ajaran agama dan hukum
negara, sehingga niat tulus menjalin ikatan hati dan membangun
kedirian masing-masing dalam ruang bersama menjadi sesuatu yang
tidak bisa dihindari, atau seringkali terkalahkan.”34

Dunia Lelaki dan Perempuan Bugis


“Dalam masyarakat Bugis, sebagaimana lazimnya masyarakat
lain di dunia, lelaki dan perempuan memiliki wilayah aktivitas
masing-masing. Namun, pada hakekatnya orang Bugis tidak
menganggap laki-laki maupun perempuan lebih dominan satu sama
lain. Kriteria pembedaan peran gender lebih berdasarkan
kecenderungan sosial dalam perilaku individu.”35 Laki-laki dan
perempuan dalam pandangan masyarakat Bugis memiliki kedudukan
yang setara dalam keluarga. Orang Bugis menerapkan prinsip
kesetaraan gender dalam sistem kekerabatan bilateral mereka, di mana
pihak ibu dan bapak memiliki peran setara guna menentukan garis
kekerabatan, sehingga mereka menganggap laki-laki dan perempuan
mempunyai peran sejajar (walaupun berbeda) dalam kehidupan
sosial.36
Masuknya agama di dalam sebuah masyarakat seringkali
membawa suatu pengaruh yang signifikan. Namun tidak demikian
dengan masyarakat Bugis. Meskipun masuknya Islam telah
memperkenalkan dan mendorong perilaku yang seolah-olah
menempatkan laki-laki lebih menonjol daripada perempuan, tetapi
tingkah laku tersebut tidak menggambarkan dominasi kaum pria atau
marjinalisasi kaum perempuan.37 Baik orang Bugis maupun orang
Makassar setelah menikah cenderung menganut pola bilokal, dimana
individu mempunyai kebebasan memilih tempat tinggal. Namun ada
kecenderungan yang nampak, jika perkawinan telah dilangsungkan,
maka suami akan menetap sementara waktu di rumah mertua atau
ayah ibu sang isteri.38 Hal ini cenderung membatasi suami untuk

34
H. M. Dahlan, “Prosesi Pemilihan Jodoh dalam Perkawinan: Perspektif
Ajaran Islam dan Budaya Lokal di Kabupaten Sinjai,” SOSIOHUMANIKA: Jurnal
Pendidikan Sains Sosial dan Kemanusiaan 9, no. 1 (Mei 2016): 134.
35
Pelras, 185.
36
Ibid.
37
Ibid.
38
Muhammad Zainuddin Badollahi, “Struktur Kekerabatan dan Stratifikasi
Sosial ‘Bugis’,”
https://www.kompasiana.com/muhammadzainuddinbadollahi/54f9479ca33311d33b
8b5087/struktur-kekerabatan-dan-stratifikasi-sosial-bugis diakses 25 April 2018,
Jurnal Lembaga STAKN Kupang | MATHETEUO Vol. 6, No. 2, November 2018
162
mendominasi istrinya lebih banyak. Selanjutnya, dalam ruang gerak
dalam rumah, masyarakat Bugis membaginya wilayah rumah
berdasarkan gender. Penjelasan ini dituliskan dalam buku yang
berjudul “Orang Bugis” sebagai berikut:
“Bagian depan menjadi wilayah kaum pria, sedang ruang
belakang milik kaum perempuan. Setiap bagian ada pintu
depan, maka laki-laki sangat jarang masuk rumah lewat pintu
belakang, apalagi pria asing. Perempuan pun sering
menghabiskan waktu di bagian depan rumah, kecuali jika ada
tamu laki-laki bukan kerabat. Sebaliknya, meskipun dapur di
bagian belakang adalah wilayah perempuan, tetapi lelaki pun
kadang kala masuk, khususnya waktu makan bila tidak ada
tamu lelaki selain keluarga atau teman dekat. Daerah
kekuasaan kaum perempuan yang lain adalah loteng, tempat
penyimpanan padi, yang pada zaman dahulu digunakan
sebagai ruang tidur anak gadis yang belum menikah, terutama
jika ada tamu pria yang bermalam. Pembagian ruang
berdasarkan gender paling tampak jika ada jamuan makan
resmi atau saat laki-laki yang bukan kerabat datang
berkunjung. Biasanya jamuan yang hanya diikuti laki-laki
dilangsungkan di bagian depan, dan perempuan hanya muncul
membawa makanan atau panganan. Pemisahan ini tidak
bersifat ketat dan permanen, tetapi pengaturannya agak
fleksibel. Tujuannya menjaga perempuan dari gangguan pria
asing. Secara umum boleh dikatakan bahwa rumah sebenarnya
adalah bagian perempuan, bukan bagian laki-laki, dan
biasanya diwariskan kepada anak perempuan bungsu.
Menurut pepatah Bugis, wilayah perempuan adalah sekitar
rumah, sedangkan ruang gerak kaum pria “menjulang hingga
ke langit”.39
Dalam kehidupan rumah tangga, suami dan istri memegang
peranannya masing-masing agar kehidupan keluarga dapat berjalan
dengan baik. Seperti dalam kehidupan keluarga pada umumnya,
seorang suami dari suku Bugis merupakan tulang punggung keluarga
untuk menafkahi seluruh anggota keluargamya. Sedangkan wanita
sebagai seorang istri dan sekaligus sebagai ibu berperan sebagai
seorang ibu rumah tangga. “Kewajibannya menjaga anak, menumbuk
padi, memasak, mencuci, menyediahkan lauk pauk dan berbelanja
keperluan keluarga. Pekerjaan utamanya dalam rumah dan sekitarnya
serta mengatur dan membelanjakan pendapatan suami selaku

39
Christian Pelras, Manusia Bugis (Jakarta: Nalar, 2006), 186.
Jurnal Lembaga STAKN Kupang | MATHETEUO Vol. 6, No. 2, November 2018
163
“pengurus yang bijaksana”.”40 Namun seringkali tak bisa dipungkiri
ada juga wanita-wanita yang harus ikut mencari nafkah bagi
kehidupan keluarganya. Hal ini terjadi karena seringkali sang suami
harus melaut berbulan-bulan dan meninggalkan keluarganya.41 Oleh
karena itu, selama suami tidak ada berada bersama-sama, maka istri
mengambil tanggung jawab yang seharusnya dilakukan oleh suami
terhadap keluarganya. Nanti barulah setelah pulang dari melaut,
mereka membawa hasil untuk keluarganya. Biasanya tidak dalam
bentuk uang tunai, lebih sering dalam bentuk pakaian, perhiasan,
perabot rumah tangga, atau barang-barang mewah.42
Keadaan wilayah yang subur membawa masyarakat Bugis
kepada kehidupan pertanian. Bukan hanya laki-laki yang saja yang
berperan dalam bidang kehidupan ini. Perempuan juga ikut terlibat di
dalamnya. Mereka ikut berperan ketika pekerjaan di ladang
membutuhkan pekerja yang lebih banyak. Jika perempuan menyiangi,
para lelaki harus mengolah lahan untuk menabur benih. Laki-laki dan
perempuan saling membantu agar pekerjaan yang mereka laksanakan
dapat berhasil. Namun tak bisa dipungkiri ada pekerjaan yang hanya
bisa dilakukan laki atau sebaliknya, seperti membangun rumah,
mengolah besi, emas dan perak, membuat perahu, berburu, dan
mengolah lahan. Tugas yang dibebankan kepada perempuan antara
lain menumbuk padi, menenun dan sejenisnya serta membuat
tembikar.43 Perbedaan tugas laki-laki dan perempuan pada akhirnya
saling melengkapi satu dengan lainnya.
Perbedaan gender memang berlaku pula dalam hal cara
berpakaian, sikap dan gerak-gerik fisik, serta tingkah laku, walau
batasannya kerap tumpah tindih dan sangat fleksibel. Jika di wilayah
bagian lain dari kawasan Nusantara ini, penggunaan sarung lebih
cenderung identik untuk digunakan bagi para pria, ternyata tidak
demikian dengan orang Bugis. Pakaian sehari-harinya orang Bugis,
laki-laki maupun perempuan, adalah sarung; yang berbeda hanya cara
ikatnya.44 Cara penggunaan sarung dalam masyarakat Bugis diuraikan
sebagai berikut ini:
”Dalam acara resmi, perempuan Bugis berpakaian adat tidak
mengikat sarung mereka, tetapi menyelempangkannya
sebagian di atas lengan mereka, sehingga tampak elegan tetapi
tidak begitu praktis untuk bergerak. Umumnya, kaum lelaki
mengikatkan sarungnya di pinggang meski tidak memakai

40
Ibid., 186.
41
Ibid, 187.
42
Ibid.
43
Ibid.
44
Ibid, 188.
Jurnal Lembaga STAKN Kupang | MATHETEUO Vol. 6, No. 2, November 2018
164
baju. Sedangkan, sejak masuknya Islam, perempuan biasanya
mengikat sarung mereka di ketiak atau kadang-kadang pada
salah satu bahu (meskipun hingga tahun 1960-an beberapa
perempuan di kampong, tua maupun muda, masih bertelanjang
dada jika berada di rumah) apabila mereka tidak berbaju.
Mereka juga kadang-kadang memakai sarung kedua sebagai
penutup kepala jika keluar rumah. Kebiasaan ini terlihat di
daerah-daerah pengaruh Islam cukup kuat, tetapi tampaknya
hal itu bukan hanya karena pengaruh Islam cukup kuat, karena
kebiasaan seperti itu sudah disebut-sebut dalam La Galigo.”45
Dalam posisi duduk antara perempuan dan laki-laki juga
memiliki perbedaan. Hal ini terlihat dari gerak-gerik mereka ketika
duduk dan mengangkat beban. “Di atas lantai atau tikar, laki-laki
duduk bersila sementara perempuan biasanya duduk dengan kedua
kaki ditekuk ke dalam dan satunya dengan lutut berdiri. Laki-laki
umumnya mengangkat beban dengan cara memikul di bahu,
sementara perempuan menjunjungnya di atas kepalanya.”46 Laki-laki
Bugis terkenal sebagai seorang yang berperilaku agresif ketika mereka
merasa tidak senang dengan sikap seseorang terhadap dirinya, tak
jarang mereka menyelesaikan dengan cara yang kasar. Sebagian besar
laki-laki menyelipkan badik, yang disebut kawali, di balik pakaian,
sehingga pertengkaran mulut kerap berakhir dengan pertumpahan
darah. Perempuan juga sering membawa kawali dalam perjalanan
tetapi hanya untuk menjaga diri.47
Peranan perempuan bukan hanya ditemukan dalam ruang
lingkup di dalam rumah saja. Dalam sejarah Indonesia, banyak
perempuan telah menjadi tokoh penjuang bagi bangsa ini. Perempuan
Bugis adalah satu dari sekian banyak perempuan yang
memperjuangkan kemerdekaan bangsa untuk melawan penjajahan.
Mereka juga menjadi penguasa kerajaan seperti yang dikutip Christian
dalam bukunya Crawfurd yang berjudul History, sebagai berikut:
“Perempuan… dimintai pendapat oleh kaum lelaki dalam
semua urusan pemerintahan, dan kerap kali diangkat menjadi
raja, padahal pengangkatan raja dilakukan lewat proses
pemilihan… Pada acara-acara kerajaan, perempuan juga hadir
di tengah kaum pria; duduk dalam siding yang membahas
masalah-masalah kenegaraan, bahkan berhak memberi
pertimbangan. Saat ini, Kerajaan Luwu’ di Sulawesi Selatan
dipimpin istri raja Soppeng, tetapi raja Soppeng tidak berhak

45
Ibid.
46
Ibid.
47
Ibid.
Jurnal Lembaga STAKN Kupang | MATHETEUO Vol. 6, No. 2, November 2018
165
mencampuri dalam negeri kerajaan Luwu’, yang diperintah
oleh istrinya, ratu Soppeng.”48

Stratifikasi Sosial
Dalam masyarakat Bugis, stratifikasi sosial ditentukan oleh
garis keturunan. Adapun prinsip-prinsip hirarki berdasarkan keturunan
yang digunakan dijelaskan oleh Christian Pelras dalam bukunya
Manusia Bugis, berikut:
“Prinsip hirarkis tradisional Bugis cukup sederhana.
Berdasarkan La Galigo dan mitos tentang nenek moyang
mereka, awalnya hanya dua jenis manusia: mereka yang
“berdarah putih” yang keturunan dewata, serta mereka yang
“berdarah merah’ yang tergolong orang biasa, rakyat jelata,
atau budak. Dalam naskah tersebut, pembagian kedua kategori
bersifat mutlak dan tidak boleh saling dicampurkan. Dalam
praktiknya sepanjang sejarah, perkawinan di antara kedua
lapisan ini tidak hanya diperbolehkan akan tetapi juga sering
terjadi, sehingga mengangkat status kalangan lapisan
menengah yang berada di antara bangsawan tertinggi dengan
budak terendah. Menurut naskah La Galigo, dewata leluhur
kaum bangsawan turun ke bumi menjelma menjadi manusia
semata karena “tidak ada Tuhan jika tidak ada manusia untuk
menyembahnya.” Batara Guru harus menjalani sejumlah ritual
desakralisasi, termasuk upacara mandi guna mengubah aroma
dewata menjadi tubuh manusia. Namun dalam tubuhnya dan
tubuh to-manurung berikutnya, begitu pula turunan mereka
berdarah murni tetap saja mengalir “darah putih”. Sebelum
perkawinan antarkeluarga bangsawan La Galigo
dilangsungkan, salah satu jari mempelai ditusuk untuk
membuktikan bahwa darah yang menetes benar-benar putih.
Dewasa ini, bahkan bangsawan yang masih mempercayai
dirinya sebagai keturunan dewa akan mengakui bahwa
perkawinan antaragolongan telah menyebabkan darah putih
dalam tubuh bangsawan tertinggi sekalipun tidak murni lagi.”49
Mempertahankan darah kebangsawan tertinggi dalam suku
Bugis merupakan sesuatu yang penting, karena hal tersebut
menentukan status mereka dalam masyarakat luas. Namun lama
kelamaan semakin banyak orang berkebangsawan tertingi yang
kawin-mawin dengan rakyat jelata.

48
Ibid, 189.
49
Ibid., 192-193.
Jurnal Lembaga STAKN Kupang | MATHETEUO Vol. 6, No. 2, November 2018
166
Status dalam Masyarakat Bugis50
Sejak dahulu kala, satu-satunya aturan paling ketat dalam soal
perkawinan adalah laki-laki bisa kawin dengan perempuan mana pun
yang memiliki status setara ataupun lebih rendah dari dirinya, namun
tidak boleh menikah dengan perempuan berstatus tinggi. Dalam
sistem kekerabatan bilateral, pertanyaan kemudian timbul: jika lelaki
“berdarah putih” kawin dengan perempuan “berdarah merah”, lalu
bagaimana status keturunan mereka kelak? Adat istiadat Bugis
menjawabnya dengan membangun sistem status berdasarkan
pencampuran darah, yang dianalogikan seperti pencampuran logam
mulia dengan konsep logam biasa. Apa yang akan dipaparkan berikut
ini merupakan suatu hal yang sudah umum disepakati oleh para ahli
silsilah. Status tertinggi disebut ana’ ma’tola, yakni anak (ana’) yang
berhak mewarisi (ma’tola) tahta orang tua sebagai penguasa tertinggi
kerajaan. Tingkatan itu terbagi lagi menjadi dua sub-bagian, yakni
ana’ sengngeng dan ana’ rajeng.
Lapisan kedua terpecah pula menjadi dua gelar. Status derajat
seseorang anak, hasil perkawinan lelaki berderajat tinggi seperti di
atas dengan perempuan biasa, anaknya akan menjadi ana’cera siseng
(anak berdarah lapisan pertama). Pernikahan cera’siseng dengan
perempuan biasa melahirkan cera’ dua (berdarah lapisan kedua);
percampuran keturunan mereka dengan perempuan biasa menjadi
menjadi cera’ tellu (cera’ lapisan ketiga). Ketiga lapisan ana’ cera
mengisi bangsawan menengah. Selanjutnya perkawinan dari
keturunan bangsawan lapisan ketiga ini dengan perempuan biasa akan
membuahkan bangsawan terendah: ampo cinaga, anakarung ma’dara,
dan anang. Di bawah mereka terdapat orang biasa (tau sama’) atau
orang bebas (tau maradeka)-bahkan di kalangan mereka sekalipun
pun masih dibedakan antara leluhurnya masih terhitung bangsawan,
betapa rendahpun lapisan dan betapa jauh pun pertautan dan yang
benar-benar turunan orang biasa.
Pola piramid dalam sistem seperti itu mengingatkan kepada pola
piramid dalam sistem kekerabatan; tingkatan sepupu diperhitungkan
berdasarkan dekat tidaknya pertautan mereka dengan seorang nenek
moyang yang sama dan kepada pola relasi antara kerajaan atasan dan
bawahan. Jelas pula bahwa sistem hubungan kekerabatan dua sisi
tersebut ikut menentukan status hirarki kebangsawanan seseorang.
Bangsawan yang beristri beberapa perempuan berstatus yang berbeda-
beda akan memperoleh anak-anak yang berbeda-beda pula statusnya.
Sementara itu, selain memiliki istri dari bangsawan sederajat, yang

50
Bagian ini sepenuhnya diambil dari Christian Pelras, Manusia Bugis
(Jakarta: Nalar, 2006), 193-194.
Jurnal Lembaga STAKN Kupang | MATHETEUO Vol. 6, No. 2, November 2018
167
keturunan kelak dapat menggantikan posisinya para penguasa Bugis
pun sering mengawini lebih rendah. Keturunan yang lebih rendah
kelak menduduki jabatan senior kerajaan meskipun tidak akan sampai
menjadi ahli waris tahta. Bangsawan kelas atas, yang paling
mengagungkan status, hanya mementingkan cera’ tellu ke atas.
Di sisi lain, bangsawan rendah dan anggota masyarakat
kebanyakan menggunakan sistem klasifikasi berdasarkan gelar yang
jauh lebih sederhana. Di tingkat kampung, semua orang berpengaruh,
baik bangsawan rendah, orang biasa punya sedikit pertalian darah
bangsawan, maupun orang biasa yang memiliki kekayaan, pengaruh,
atau pengetahuan, disebut tau deceng (orang baik-baik). Sejak 1920
digunakan gelar baru di kalangan bangsawan Bugis atau Makassar
untuk lapisan di atas cera’ tellu, yakni gelar Andi’ dan Andi’ Bau’
(hanya bangsawan berderajat tinggi yang digelari Andi’ Bau’ bahkan
sebagian dari mereka “harus puas” dengan gelar Andi’ saja). Adapun
lapisan di bawahnya menggunakan “nama bangsawan” mereka dengan
di dahului sebutan Daeng (apa yang disebut sebagai “nama
bangsawan” mereka adalah sebuah nama tambahan yang diberikan
kepada seorang bangsawan waktu dia kawin pertama kali atau waku ia
memperoleh anak yang pertama. Biasanya arti nama tersebut berkaitan
dengan arti nama pertama).
Singkatnya, stratifikasi masyarakat Bugis tidak menganut sistem
yang kaku. Emigrasi juga bisa menjadi jalan meningkatkan status.
Bangsawan rendah, yang memimpin sekelompok kecil pengikutnya
pindah ke wilayah lain-di mana tidak akan terjadi pemeriksaan silang
leluhur, kadang-kadang cenderung mengaku memiliki silsilah lebih
tinggi dari sebenarnya. Keberhasilan di bidang ekonomi, juga bisa
mendongkrak derajat seseorang. Pentingnya hirarki dalam masyarakat
tradisional Bugis terlihat jelas dengan adanya sejumlah tanda-tanda
dan simbol-simbol tertentu yang menunjukkan status mereka. Tanda
ini mencakup pernak-pernik pakaian dan arsitektur rumah mereka.

Sistem Religi
Agama adalah bagian yang penting dalam sebuah masyarakat.
Agama memainkan peranan dalam membentuk kehidupan masyarakat
ke arah yang lebih baik. Di masyarakat Bugis mayoritas memeluk
agama Islam. Hal ini terlihat dari begitu banyak mesjid-mesjid yang di
bangun di wilayah orang Bugis. Orang Bugis-bersama orang Aceh,
Melayu, Banjar, Sunda, Madura, dan tentu saja orang Makassar-
dianggap termasuk di antara orang Indonesia yang paling kuat dan
teguh memeluk ajaran Islam.51 Namun ketika dilihat secara dekat

51
Ibid, 209.
Jurnal Lembaga STAKN Kupang | MATHETEUO Vol. 6, No. 2, November 2018
168
masih banyak orang Bugis baik di kota maupun di desa masih saja
mempertahankan kehidupan sebelum islam masuk sebagai agama
kepercayaan mereka. “Misalnya, ritual-ritual masyarakat, kepercayaan
mereka terhadap mitos pra-islam, persembahan kepada benda-benda
pusaka dan tempat-tempat keramat, serta kehadiran sejumlah pendeta
bissu yang masih tetap berperan aktif. Padahal, semua unsur tersebut
sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang mereka anut.”52
Sinkretisme dalam masyarakat Bugis tradisonal masih tetap
melekat, meskipun ajaran agama Islam telah begitu lama masuk dalam
masyarakat Bugis. Sebagian muslim Bugis yang rajin datang ke
mesjid sekalipun, ada yang tanpa ragu-ragu dan terang-terangan
melakukan praktik sinkretisme.53 Mereka seringkali mengabungkan
unsur-unsur yang ada di dalam kepercayaan tradisional dengan unsur
yang ada dalam Islam. Tindakan ini seringkali ditentang oleh kaum
muslim ortodoks, yang menekankan ajaran-ajaran islam yang murni.
Namun meskipun demikian ritual kepercayaan tradisional seringkali
tumpang tindih dengan ajaran Islam. Sebagai contoh, meskipun
digunakan untuk ritus non-Islam, pengorbanan hewan selalu dilakukan
sesuai ajaran Islam dengan menyembelih lewat leher didahului ucapan
bismillah.54

Mental dan Watak Suku Bugis


Watak orang Bugis dan sifat kebudayaannya dapat ditelusuri
dalam sejumlah lontara mereka.55 Lontara tersebut diwariskan dari
generasi ke generasi. Dalam lontara watak dan falsafah hidup orang
Bugis-Makassar itu tergambar sebagai berikut: 1) Jangan permalukan
dia. Sebab dia akan pilih lebih baik mati daripada dipermalukan (aja
mupakasiriwi matei tu); 2) Jangan kecewakan dia, sebab apabila
dikecewakan pasti meninggalkan anda.56 Watak dan mental orang
Bugis bukan hanya dikenal di kawasan Nusantara saja, bangsa asing
pun mengenal mereka seperti yang diungkapkan oleh Raffles, seorang
tokoh Inggris. Di dalam benak Raffles, orang Bugis memang
pemberani, paling petualang, punya semangat usaha yang tinggi di
antara bangsa di timur, dan terutama sekali amat gemar akan

52
Ibid, 210.
53
Ibid, 219.
54
Ibid, 223.
55
A. Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, (Ujung
Pandang: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanudin, 1985), 51.
56
A. Moein MG, Menggali Nilai Sejarah Kebudayaan Sulselra Siri’ &
Pacce (Ujung Pandang: SKU Makassar Press, 1977), 12.
Jurnal Lembaga STAKN Kupang | MATHETEUO Vol. 6, No. 2, November 2018
169
kehidupan militer.57 “Pada hakikatnya, sikap mental atau pandangan
hidup orang-orang Bugis pada umumnya, sama dan serasih atau
sejalan dengan tali-temali dengan sikap mental orang-orang Makassar,
karena berdasarkan kisah awal mula kedua suku ini yang berasal dari
satu sumber rumpun yang sama.”58 Selanjutnya, A. Moeing
menjelaskan bahwa mental suku Bugis-Makassar, tabah menghadapi
tantangan-tantangan hidup, mengutamakan harga diri sebagai sesuatu
yang sangat bernilai baginya, setia kawan yang sukar dikhianati,
berwatak keras dan manakalah pernah ditolong oleh seseorang, maka
menjadi kewajibannya untuk membalasnya.59
Pandangan orang luar terhadap mentalitas orang Bugis pastinya
berbeda-beda dengan orang Bugis sendiri memandang dirinya. Dalam
membangun mentalitas kebungisan, orang Bugis mendasarkan kepada
dua aspek. Kedua aspek ini dijelaskan dalam buku “Orang Bugis”
sebagai berikut:
“Pertama, petuah-petuah leluhur. Karya-karya sastra dalam
berbagai macam bentuk banyak mengandung petuah-petuah
tentang perilaku yang baik. Beberapa dari karya-karya tulis
Bugis dapat digolongkan sebagai karya didaktis. Misalnya La
Toa (“Nenek Moyang”), berisi petunjuk bagi raja-raja
mengenai tata cara berperilaku baik, yang banyaknya
salinannya menunjukkan pengaruh besar karya tersebut bagi
kehidupan Bugis hingga abad ke-19, dan sampai sekarang
masih dihargai oleh para cendekiawan. Kedua, nilai siri’ dan
pesse’. Siri’ yaitu rasa bangga dan malu seharusnya-dan
biasanya, memang-seiring sejalan dengan pesse. Pesse atau
lengkapnya pesse babua yang berarti ‘ikut merasakan
penderitaan orang lain dalam perut sendiri’, mengindikasikan
perasaan haru (empati) yang mendalam terhadap tetangga,
kerabat, atau sesama anggota kelompok sosial. Rasa saling
pesse antara anggota sebuah kelompok adalah kekuatan
pemersatu yang penting. Konsep siri dan pesse dapat
digunakan sebagai kunci utama untuk memahami berbagai
aspek perilaku sosial orang Bugis, khususnya dua perilaku

57
Syed Hussein Alatas dalam A. Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama
Kebudayaan Bugis (Ujung Pandang: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanudin,
1985), 5.
58
A. Moein MG, Menggali Nilai Sejarah Kebudayaan Sulselra Siri’ &
Pacce (Ujung Pandang: SKU Makassar Press, 1977), 19.
59
Disarikan oleh penulis dari A. Moein MG, Menggali Nilai Sejarah
Kebudayaan Sulselra Siri’ & Pacce, (Ujung Pandang: SKU Makassar Press, 1977),
20.
Jurnal Lembaga STAKN Kupang | MATHETEUO Vol. 6, No. 2, November 2018
170
yang tampak saling berlawanan: persaingan dan
kesetiakawanan.”60

Pendekatan Terhadap Suku Bugis


Menurut Niebuhr nisbah antara (Injil) Kristus dan kebudayaan
merupakan masalah yang tidak habis-habisnya.61 Namun demikian
Injil adalah kekuatan Allah yang harus disampaikan kepada mereka
yang belum percaya di setiap budaya termasuk di dalamnya kepada
suku Bugis. Semua perilaku manusia terjadi dalam kebudayaan-
kebudayaan tertentu, dalam konteks-konteks yang ditentukan secara
sosial.62 Oleh karena itu, pastinya kebudayaan di setiap suku memiliki
perbedaan dengan suku lainnya. Oleh karena itu, adalah penting untuk
memiliki pandangan alkitabiah bukan hanya tentang Kristus tetapi
juga tentang kultur.63 Adapun pendekatan-pendekatan yang dapat
dilakukan terhadap kutur suku Bugis sebagai berikut.
Pertama, menjadi contoh dalam bertingkah laku yang baik.
Dari sejumlah lontara dan semua petuah-petuah sebenarnya menuntun
orang Bugis untuk bertingkah laku yang baik kepada sesamanya.
Beberapa hal yang baik yang diajarkan dalam petuah-petuah seperti,
“Empat kebaikan yang paling baik: mengasihi orang yang tidak
pernah mengasihinya, tidak diminta dia memberi tanpa menanti
balasan, menolong kesulitan orang dengan pertolongan sebesar-
besarnya (serta menasehati sampai di lubuk hatinya)”.64 Dari petuah-
petuah ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai kebaikan merupakan
hal yang penting dalam kebudayaan suku bugis. Oleh karena itu,
ketika mendekati orang Bugis seharusnya menunjukkan kepribadian
(tingkah laku) yang sesuai dengan nilai yang mereka miliki, dalam hal
ini mengenai nilai kebaikan. Tingkah laku pekabar injil harus
menunjukkan nilai-nilai kebaikan sehingga menjadi cerminan bagi
orang yang akan diinjili.
Kedua, menghargai siri’ orang Bugis. Bagi orang Bugis siri’
sangat penting dalam kehidupan mereka. “Melalui pola tingkah laku
siri’ mereka menjelmakan dirinya sebagai seorang manusia. Tanpa

60
Dirangkum dari Christian Pelras, Manusia Bugis (Jakarta: Nalar, 2006),
247-353.
61
Niebuhr dalam Th. Kobong, Iman dan Kebudayaan (Jakarta: Gunung
Mulia, 1997), vi.
62
Sherwood G. Lingenfelter dan Marvin K. Mayers, Menggeluti Misi
Lintas Budaya (Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2008), 15.
63
David J. Hesselgrave, Communicating Christ Cross-Culturally (Malang:
Literatur SAAT, 2013), 111.
64
Christian Pelras, Manusia Bugis (Jakarta: Nalar, 2006), 251.
Jurnal Lembaga STAKN Kupang | MATHETEUO Vol. 6, No. 2, November 2018
171
siri’ tidak ada artinya sebagai manusia.”65 Dengan kata lain, seorang
Bugis akan merasa dirinya sebagai manusia, apabila nilai siri’
(martabat/harga diri) itu dihargai. Ada begitu banyak yang dilakukan
orang Bugis untuk tetap menegakkan siri’, baik dengan cara yang
positif bahkan dengan negatif. Penegakkan siri’ secara positif dapat
dilihat dengan upaya orang Bugis untuk mendapatkan keberhasilan
hidup dengan usaha merantau di negeri orang sedangkan secara
negatif nampak dari tindakan kekerasan terhadap orang yang telah
mempermalukan dirinya.
Ketiga, menunjukkan rasa saling pesse. Rasa saling pesse
merupakan pengikat bagi kehidupan orang Bugis. Hal ini
melambangkan solidaritas, tak hanya kepada seseorang yang telah
dipermalukan, namun juga bagi siapa saja dalam kelompok sosial
yang sedang dalam keadaan serba kekurangan, berduka, mengalami
musibah, atau menderita sakit keras.66 Perassan pesse yang
ditunjukkan dalam keadaan yang sulit akan menjadi kekuatan yang
mempersatukan.

PENUTUP
Kebudayaan Bugis terbentuk dari berbagai unsur yang pada
hakikat unsur-unsur tersebut menjadikan patokan masyarakat untuk
bertindak. Unsur-unsur kebudayaan Bugis banyak bersumber dari
lontara. Tingkah laku pun dijelaskan di dalam lontara. Oleh karena
itu, memang perlu untuk memahami lontara-lontara yang kini telah
diterjemahkan oleh beberapa ahli.
Salah satu hal yang banyak dijelaskan di dalam lontara adalah
mengenai siri’ dan pesse yang merupakan hal yang penting bagi
masyarakat Bugis sendiri. Kedua hal tersebut tidak dapat terpisahkan
dari tingkah laku orang Bugis. Menjunjung nilai siri’ dan pesse
merupakan pendekatan yang efektif bagi orang Bugis, karena melalui
kedua hal tersebut niai mereka sebagai manusia benar-benar dihargai.

65
H. M. Laica Maruki, Siri’: Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-
Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum) (Ujung Pandang: Hasanuddin University
Press, 1995), 48.
66
Christian Pelras, Manusia Bugis (Jakarta: Nalar, 2006), 252.
Jurnal Lembaga STAKN Kupang | MATHETEUO Vol. 6, No. 2, November 2018
172
Daftar Pustaka

Abdulsyani. Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan. Jakarta: Bumi


Aksara, 2002.
Abidin, Andi Zainal. Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan.
Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1999.
Ardhani, Fitriah. “Perbedaan Kepuasan Perkawinan Pada Wanita
Suku Bugis, Jawa, Dan Banjar Di Kecamatan Balikpapan
Selatan Kota Balikpapan.” eJournal Psikologi 3, Nomor 1
(2015): 358-368.
Badollahi, Muhammad Zainuddin “Struktur Kekerabatan dan
Stratifikasi Sosial ‘Bugis’.” Diakses 25 April 2018.
https://www.kompasiana.com/muhammadzainuddinbadollahi/5
4f9479ca33311d33b8b5087/struktur-kekerabatan-dan-
stratifikasi-sosial-bugis
Bakti, Andi Faisal Bakti. Diaspora Bugis. Makassar: Ininnawa,
2010.
Dahlan, H. M. “Prosesi Pemilihan Jodoh dalam Perkawinan:
Perspektif Ajaran Islam dan Budaya Lokal di Kabupaten
Sinjai.” SOSIOHUMANIKA: Jurnal Pendidikan Sains Sosial
dan Kemanusiaan 9, no. 1 (Mei 2016): 131-142.
Hesselgrave, David J. Communicating Christ Cross-Culturally.
Malang: Literatur SAAT, 2013.
Kobong, Th. Iman dan Kebudayaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1977.
Lestari, Puji. Antropologi 2: Untuk SMA dan MA Kelas XII. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional, 2009.
Lingenfelter, Sherwood G. dan Marvin K. Mayers. Menggeluti Misi
Lintas Budaya.
Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2008.
Maruki, H. M. Laica. Siri’: Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-
Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum). Ujung Pandang:
Hasanuddin University Press, 1995.
Moein MG, A. Menggali Nilai Sejarah Kebudayaan Sulselra Siri’ &
Pacce. Ujung Pandang: SKU Makassar Press, 1977.
Pelras, Christian. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar, 2006.
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Geografi
Budaya Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Balai Pustaka,
1977.
___________. Adat dan UpacaraPerkawinan Daerah Sulawesi
Selatan. Jakarta: Balai Pustaka, 1977.
Rahim, A. Rahman. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung
Pandang: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanudin, 1985.
Jurnal Lembaga STAKN Kupang | MATHETEUO Vol. 6, No. 2, November 2018
173
Ridha, Muh. Rasyid. “Integrasi Orang Bugis Di Kabupaten Gowa
(Studi Sosiologi terhadap Orang Bugis Bone di Bollangi).”
Seminar Nasional “Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Membentuk
Karakter Bangsa Dalam Rangka Daya Saing Global.” Grand
Clarion Hotel, Makassar: Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Makassar dan Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu
Sosial Indonesia, 29 Oktober 2016.

Jurnal Lembaga STAKN Kupang | MATHETEUO Vol. 6, No. 2, November 2018


174

Anda mungkin juga menyukai