ABSTRAK.
Salah satu warisan budaya yang menjadi ciri khas masyarakat suku bugis adalah Lontara, merupakan
aksara tradisional masyarakat bugis yang awal mulanya dari kegiatan penyair-penyair bugis yang
menuangkan fikiran dan isi hatinya. Berdasarkan kondisi yang ditemukan saat ini, tampak mulai
berkurangnya generasi muda yang fasih berbahasa bugis, mulai hilangnya minat untuk menggali
makna yang terdapat pada Lontara yang memiliki nilai wejangan yang besar maknanya terkait
kehidupan, serta kurangnya kegiatan maupun sarana pembangkit minat masyarakat untuk mempelajari
Lontara, menjadi faktor utama yang menyebabkan hampir punahnya aksara Lontara di berbagai
daerah yang masih merupakan bagian suku bugis. Saat ini pembelajaran Aksara Lontara diajarkan
pada Pendidikan Formal sejak Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas, Namun, kurangnya
minat belajar siswa untuk mempelajari aksara Lontara hingga memahami makna dari tulisan itu
sendiri yang menjadi penghambat terbesar dalam upaya melestarikan budaya daerah. Adapun metode
dan tahapan kegiatan berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh remaja di Kecamatan Mattiro
Bulu yaitu Kajian Ruang Lingkup dan objek kegiatan, analysis lokasi kegiatan, Bentuk dan Tahapan
Kegiatan. Dengan adanya perpustakaan di kampung Lontara diharapkan dapat menumbuhkan minat
generasi muda terhadap aksara lontara dan berbagai muatan kearifan local yang ada di dalamnya.
ABSTRACT
One of the Cultural heritages that characterizes the Bugis community is Lontara, which is a
traditional script of the Bugis community which originated from the activities of Bugis poets who
poured their thoughts and heart's content. Based on the conditions found at this time, it appears that
there is a decrease in the young generation who are fluent in Bugis, starting to lose interest in
exploring the meaning contained in Lontara which has a large educational value related to life, as
well as the lack of activities and means of generating public interest in learning Lontara, became the
main factor that led to the extinction of the Lontara script in various regions which are still part of the
Bugis tribe. Currently learning Lontara script is taught in formal education from elementary school to
high school, however, the lack of student interest from learning Lontara script to understanding the
meaning of writing itself is the biggest obstacle in the efforts to preserve regional culture. The
methods and stages of activities are based on the problems faced by adolescents in Mattiro Bulu
District, namely Activity Environment Scope and Objects Study, Analysis of Activity Locations,
Activity Forms and Stages. With the existence of a library in Lontara village, it is hoped that it can
foster the interest of the younger generation in Lontara script and the various contents of local
wisdom contained in it.
Keywords: Lontara, Mattiro Bulu, Literasi
PENDAHULUAN
Tradisi merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari konteks kebudayaan. Setiap daerah
tentunya memiliki warisan budaya turun temurun dari nenek moyangnya. Budaya lokal itu sendiri
mengandung nilai-nilai sejarah yang terbentuk secara alami melalui proses belajar dari waktu ke
waktu, dan dapat berupa seni, tradisi, pola pikir, dan hukum adat.
Kebudayaan yang sudah melekat dalam masyarakat dan sudah turun temurun sejak dulu, akan
semakin terkonsep dalam kehidupan masyarakat sehingga menjadi sebuah kepercayaan terhadap hal-
hal yang berhubungan dengan sebuah keyakinan sehingga sulit untuk dihilangkan. Kebudayaan
merupakan suatu yang bersifat superorganic, karena kebudayaan bersifat turun temurun dari generasi
ke generasi berikutnya, walaupun manusia yang ada di dalam masyarakat senantiasa silih berganti
disebabkan oleh kelahiran dan kematian.
Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dan memiliki beribuh-ribuh warisan budaya yang
tersebar di seluruh penjuru nusantara. Diantara banyaknya warisan budaya tersebut adalah
karakter atau tulisan asli berbagai daerah yang termasuk di dalam kategori Aksara Nusantara.
Salah satu Aksara Nusantara yaitu Aksara Lontara yang terletak di Provinsi Sulawesi yang digunakan
oleh dua suku yaitu suku Bugis dan suku Makassar.
Salah satu warisan budaya yang menjadi ciri khas masyarakat suku bugis adalah Lontara,
merupakan aksara tradisional masyarakat bugis yang awal mulanya dari kegiatan penyair-penyair
bugis menuangkan fikiran dan isi hatinya di atas daun lontar dan dihiasi dengan huruf-huruf yang
begitu cantik sehingga tersusun kata yang apik diatas daun lontar. Aksara adalah suatu sistem simbol
visual yang tertera pada kertas maupun media lainnya (batu, kayu, kain, dan lain - lain) untuk
mengungkapkan unsur-unsur yang ekspresif dalam suatu bahasa. Istilah lain untuk menyebut aksara
adalah sistem tulisan.Alfabet dan abjad merupakan istilah yang berbeda karena merupakan tipe aksara
berdasarkan klasifikasi fungsional. Unsur-unsur yang lebih kecil yang terkandung dalam suatu aksara
antara lain grafem, huruf, diakritik, tanda baca, dan sebagainya.
Lontara merupakan karya asli masyarakat Bugis. Bagi masyarakat Bugis, lontara dapat
berfungsi sebagai; (1) lambang jati diri, (2) lambing kebanggaan, dan (3) sarana pendukung budaya
daerah. Lontara tersebut dinyatakan sebagai lambang jati diri karena memuat berbagai nilai budaya
yang menjadi ciri khas masyarakat Bugis; Lontara dinyatakan sebagai lambang kebanggaan
karena sikap yang mendorong sekelompok orang menjadikan Lontara sebagai lambang identitasnya,
dan sekaligus dapat membedakannya dengan kelompok orang lain; dan Lontara dinyatakan
sebagai sarana pendukung budaya daerah karena mengandung informasi kultural untuk membangun
tatanan sosial dalam rangka memperkukuh budaya nasional. Karena pentingnya fungsi yang diemban
tersebut, Lontara tetap dipelihara dan dilestarikan oleh masyarakat Bugis.
Naskah Lontara sebagai dokumen tentang peristiwa yang berkaitan dengan orang Bugis pada
masa lalu. Oleh karena itu, naskah Lontara dapatdipandang sebagai sumber informasi mengenai
sejarah, sosial, dan budaya, serta peranserta suku Bugis dalam kehidupan masyarakat di daerah
Sulawesi. Dalam kaitan ini, naskah lontara dapat dipandang sebagai produk budaya suku Bugis. Di
samping itu, Lontara dapat dipandang sebagai realitas penggunaan bahasa yang mencerminkan
perilaku dan pandangan hidup masyarakatnya. Lontara tersebut digunakan untuk mengungkapkan
berbagai macam bentuk ritual, doa, dan ceritra. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa naskah
Lontara dipandang sebagai bahasa dari indeks budaya dan dipersepsikan sebagai pengungkapan cara
berpikir, penataan pengalaman penulisnya, dan simbol budaya yang menunjukkan identitas budaya
etnis
Penggunaan aksara Lontara digunakan oleh suku Bugis yang secara geografis tersebar di hampir
seluruh penjuru Sulawesi Selatan. Dalam masyarakat tradisional di Sulawesi Selatan adat istiadat Suku
Bugis-Makassar sangat mendominasi sehingga Aksara Lontara digunakan dalam penulisan dokumen
aturan pemerintahan, kemasyarakatan, dan hingga beberapa masa kedepan turut menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Penggunaan bahasa BugisMakassar mulai berkurang digunakan
oleh masyarakat Kota Makassar. Aksara Lontara tidak lagi digunakan sehari-hari, dan hanya
digunakan pada beberapa media tertentu seperti penanda jalan, atau di tempat wisata saja.
Lontara merupakan karya asli masyarakat Bugis (Sidin, 2016) Lontara adalah aksara
tradisional masyarakat Bugis-Makassar. Bagi masyarakat Bugis, Lontara dapat berfungsi sebagai
lambang jati diri, lambang kebanggaan, dan sarana pendukung budaya daerah. Lontara dinyatakan
sebagai sarana pendukung budaya daerah karena mengandung informasi kultural untuk membangun
tatanan sosial dalam rangka memperkukuh budaya nasional.
Berdasarkan Kondisi yang ditemukan saat ini, tampak mulai berkurangnya generasi muda yang
fasih berbahasa bugis, mulai hilangnya minat untuk menggali makna yang terdapat pada Lontara yang
memiliki nilai wejangan yang besar maknanya terkait kehidupan, serta kurangnya kegiatan maupun
sarana pembangkit minat masyarakat untuk mempelajari Lontara, menjadi faktor utama yang
menyebabkan hampir punahnya aksara Lontara di berbagai daerah yang masih merupakan bagian
suku bugis.
Saat ini pembelajaran Aksara Lontara diajarkan pada Pendidikan Formal sejak Sekolah Dasar
hingga Sekolah Menengah Atas, Namun, kurangnya minat belajar siswa untuk mempelajari aksara
Lontara hingga memahami makna dari tulisan itu sendiri yang menjadi penghambat terbesar dalam
upaya melestarikan budaya daerah. Bukan hanya mempelajari huruf-hurufnya melainkan mengetahui
maksud, makna dan arti dari tulisan Lontara merupakan bagian yang tidak kalah pentingnya. Apabila
seseorang mampu membacanya namun tidak mengetahui arti dari Lontara tersebut sama halnya jika ia
tidak mempelajarinya, karena sisi yang paling utama dari tulisan Lontara ialah terletak pada
maknanya. Sudah ada keraguan terhadap nilai budaya sendiri, sebagai akibat ketidakmampuan kita
menghormati dan mengembangkan budaya daerah termasuk Lontara La Galigo.
Kebanyakan masyarakat suku Bugis sangat menjunjung tinggi rasa kecintaan dan rasa memiliki
kebudayaan mereka. Banyak masyarakat suku Bugis yang ingin melestarikan budaya mereka yang
salah satunya adalah aksara lontara. Program pemerintah sudah cukup baik, hanya saja masyarakat
banyak yang tidak mengetahui tentang upaya dari pemerintah. (Yusuf, 2012) mengemukakan bahwa
sebagian masyarakat Bugis di Sulawesi saat ini, kurang berminat lagi membaca dan menulis tentang
budaya lokal. Mereka lebih cenderung memiliki kebiasaan menonton dan mendengar media
elektronik. Kemajuan teknologi transformasi dan informatika telah menggiring kecenderungan
manusia ke satu dunia yang cenderung sama, dunia modern yang global (Baso, 2018). Suatu budaya
jika tidak lagi dipraktikkan atau diwacanakan oleh masyarakat pendukungnya, maka sangat
dikhawatirkan lambat laun akan hilang dan punah, dikhawatirkan pula jika suatu saat nanti generasi
penerus tidak lagi mengenal aksara Lontara sebagai mana mestinya (Ahmad, 2014).
Lontara harus dipelihara dan dilestarikan oleh masyarakat Bugis. Upaya pelestarian yang
diminati generasi muda dan bersumber dari masyarakat dapat dijadikan langkah dalam upaya
pelestarian Lontara, sebab generasi muda yang nantinya akan menjadi agen pelestari sehingga perlu
upaya yang dapat menggerakkan generasi muda untuk mendukung eksistensi Lontara.
Maka dari itu penulis yang merupakan kelompok mahasiswa KKN Kecamatan Mattiro Bulu
Kabupaten Pinrang, mengambil langkah mengusung program pembuatan Perpustakaan Lontara di
salah satu Kawasan Kampung literasi Lontara yaitu suatu kawasan yang dirancang dengan konsep
Eduwisata (Edukasi dan Wisata), didalamnya memiliki unsur tradisional sebagai kawasan yang
bernuansa Lontara, memiliki sisi edukasi dengan menghadirkan metode pembelajaran Lontara yang
dipadukan dengan permainan tradisional, terdapat kegiatan reduksi makna Lontara, hingga tersedianya
pustaka Lontara sebagai wadah edukasi.
Perpustakaan merupakan sistem informasi yang di dalamnya terdapat aktivitaspengumpulan,
pengolahan, pengawetan, pelestarian dan penyajian serta penyebaran informasi. Perpustakaan
sebagaimana yang ada dan berkembang sekarang telah dipergunakan sebagai salah satu pusat
informasi, sumber ilmu pengetahuan, penelitian, rekreasi, pelestarian khasanah budaya bangsa, serta
memberikan berbagai layanan jasa lainnya. Selain itu menurut perpustakaan adalah sebuah ruangan,
bagian sebuah gedung, ataupun gedung itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku dan
terbitan lainnya menurut tata susunan tertentu untuk digunakan pembaca, bukan untuk dijual.
Perpustakaan sebagai pusat sumber ilmu, karena di perpustakaan guru dan siswa serta masyarakat
dapat mencari berbagai ilmu dan pengetahuan yang diperlukan, baik untuk kebutuhan kini maupun
untuk yang akan datang. Perpustakaan dimana saja berada dapat turut berperan dalam rangka
meningkatkan minat baca diharapkan masyarakat Indonesia makin cerdas dan terampil dalam
mengantisipasi tantangan jaman.
Sasaran dalam kegiatan tersebut merupakan masyarakat sekitar Kampung literasi Lontara yang
merupakan perkumpulan masyarakat yang memiliki potensi dalam pelestarian budaya suku Bugis dan
hingga saat ini masih berupaya dalam pelestarian Lontara melalui tulisan dan ilmu yang dimilikinya.
Pelestarian terhadap Aksara Lontara terus dilakukan dengan melibatkan budayawan, lembaga
pemerintahan, ahli bahasa daerah, dan masyaraka itu sendiri. Salah satu upaya pelestarian aksara
Lontara adalah pembuatan wadah untuk mempelajari aksara Lontara seperti perpustakaan.
Lokasi Perpustakaan Lontara terletak di Desa Pananrang Kecamatan Mattirobulu Kabupaten
Pinrang, desa yang dihuni 4.000 jiwa, sebuah desa dengan potensi masyarakat yang masih kental akan
budaya, mayoritas masyarakat masih menggunakan bahasa bugis dalam kesehariannya. Melalui
potensi tersebut, penulis berupaya dalam pembangunan perpustakaan yang nantinya akan menjadi
salah satu titik edukasi di desa tersebut.
Apabila melihat perjalanan sejarahnya, sudah sangat banyak aksara tradisional Sulawesi Selatan
yang semakin ditinggalkan, terabaikan, dan tidak dilestarikan lagi saat ini seperti aksara Serang, aksara
Jangang-jangang, dan aksara Bilang-bilang. Sebagai aksara yang menjadi tradisi tulisan dari bahasa
Makassar yang digunakan oleh seluruh penjuru Sulawesi Selatan, aksara Lontara harus dapat
dipertahankan dengan cara mengajarkan, dan meningkatkan peminatannya kepada generasi muda.
Aksara tradisional ini adalah warisan budaya yang menjadi identitas masyarakat Bugis-
Makassar. Meski pada praktiknya budaya baca tulis masyarakat kota Makassar sering menyisihkan
aksara Lontara dengan huruf Latin bukan berarti aksara ini dapat ditinggalkan begitu saja, sehingga
perlu adanya edukasi yang sesuai untuk generasi muda. Berdasarkan pemaparan diatas, maka penulis
akan merancang media pembelajaran kreatif untuk aksara Lontara dengan penerapannya pada media
permainan.
METODE KEGIATAN
Dalam pelaksanaan program kerja ini, kelompok KKN Kecamatan Mattiro Bulu telah
melakukan penyusunan rencana metode yang akan dilakukan selama proses pembuatan perpustakaan
di Pondok Pustaka Lontara. Adapun tahapan kegiatan berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh
remaja di Kecamatan Mattiro Bulu, maka tim KKN merumuskan beberapa tahapan kegiatan sebagai
berikut :
Oleh sebab itu hal yang dirasa perlu adalah adanya sebuah kampanye sosial tentang aksara
suku Bugis. Kampanye sosial adalah suatu kegiatan berkampanye yang mengkomunikasikan
pesan-pesan yang berisi tentang masalah-masalah sosial kemasyarakatan dan juga bersifat
komersil. Kampanye sosial ini bertujuan untuk menyampaikan sebuah pesan dan merubah
perilaku target audience yang dalam hal ini masyarakat suku Bugis dalam jangka waktu tertentu
melalui strategi media yang akan dilakukan seperti dengan pembuatan perpustakaan.
Penyediaan Tahap
bahan baku Pembangunan Finishing
bangunan perpustakaan
Peresmian
Dalam awal pembangunan perpustakaan tahap pertama yang dilakukan adalah membuat
kerangka ruang berupa dinding perpustakaan. Proses pembuatan dinding dilakukan
dengan merangkai balok hingga menjadi kerangka ruang yang menjadi tempat peletakkan
dinding nantinya dengan waktu pembuatan mencapai 3 minggu proses pengerjaan. Dalam
proses pembuatan perpus, mahasiswa KKN dibantu oleh masyarakat sekitar yang berada
di Kecamatan Mattiro Bulu.
Pengecatan dinding perpustakaan ini menggunakan cat jenis pernis kayu yang
dimaksudkan memberi kesan tradisional pada dinding bambu perpustakaan.
c) Tahap finishing
Tahap finishing merupakan tahap dimana proses pembuatan perpus sudah mencapai 95%
dimana semua proses pembuatan sudah hamper selesai, adapun tahapan finishing :
Pengadaan rak buku, meja dan kursi perpustakaan. Pengadaan ini menggunakan
anggaran dari mahasiswa KKN dan pihak Komunitas Kampung Literasi Lontara.
d) Peresmian
Peresmian perpustakaan Lontara ini dilaksanakan tempat perpustakaan itu sendiri yaitu di
Desa Pananrang Kecamatan Mattiro Bulu Kabupaten Pinrang. Peresmian perpustakaan sendiri
dihadiri oleh pihak pemerintah Kecamatan Mattiro Bulu, pemerintah desa, tokoh masyarakat,
masyarakat setempat dan mahasiswa KKN Universitas Negeri Makassar.
Upaya dan usaha untuk mengembalikan kebanggaan masyarakat di tanah air terhadap
khasanah budaya bangsa yang berupa naskahnaskah kuno memang sulit untuk diwujudkan.
Munculnya nilai kebanggaan terhadap berbagai cagar budaya yang telah diakui dunia seperti
Borobudur serta warisan non-bendawi seperti lagu, tari maupun benda seperti batik, wayang,
pakaian adat, serta alat musik pun ternyata masih sedikit. Pengaruh globalisasi telah berdampak
pada masyarakat Indonesia. Bisa dilihat bahwa saat ini masyarakat Indonesia lebih mengagumi
budaya asing yang datang dari luar yang ternyata justru banyak ketidaksesuaian dengan nilai,
norma serta adat ketimuran yang berlaku di Indonesia. Masyarakat sekarang lebih senang dengan
budaya yang bersifat permisif dari barat daripada budaya yang tumbuh dan berkembang di negeri
sendiri. Kecenderungan ini semakin diperparah dengan lunturnya nilai-nilai moral, makin
menipisnya solidaritas sosial, serta menjamurnya praktik politik kotor, dan memburuknya kondisi
perekonomian. Berbagai macam perbuatan serta tindakan-tindakan yang tidak terpuji tersebut
menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia dewasa ini selain kurang dalam memberikan apresiasi
terhadap budaya leluhur juga kurang memiliki etos kebudayaan. Padahal, etos kebudayaan itu
sendiri bersumber dari nilainilai luhur bangsa yang terangkum dalam tradisi masa lampau.
1. Kesimpulan
Salah satu warisan budaya yang menjadi ciri khas masyarakat suku bugis adalah
Lontara, merupakan aksara tradisional masyarakat bugis yang awal mulanya dari kegiatan
penyair-penyair bugis menuangkan fikiran dan isi hatinya di atas daun lontar dan dihiasi
dengan huruf-huruf yang begitu cantik sehingga tersusun kata yang apik diatas daun lontar.
Penggunaan aksara ini digunakan oleh suku Bugis yang secara geografis tersebar di hampir
seluruh penjuru Sulawesi Selatan. Dalam masyarakat tradisional di Sulawesi Selatan adat
istiadat Suku Bugis-Makassar sangat mendominasi sehingga Aksara Lontara digunakan
dalam penulisan dokumen aturan pemerintahan, kemasyarakatan, dan hingga beberapa
masa kedepan turut menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Penggunaan
bahasa BugisMakassar mulai berkurang digunakan oleh masyarakat Kota Makassar.
Aksara Lontara tidak lagi digunakan sehari-hari, dan hanya digunakan pada beberapa
media tertentu seperti penanda jalan, atau di tempat wisata saja. Perpustakaan merupakan
salah satu pusat informasi atau tempat mengumpulkan, menyimpan dan memelihara koleksi
pustaka baik buku-buku atau bacaan lainnya, yang digunakan untuk sumber informasi sekaligus
sebagai sarana belajar yang menyenangkan. Jika dikaitkan dengan proses pelestarian budaya maka
perpustakaan Lontara memberikan sumbangan yang sangat berharga dalam upaya melstarikan
kebudayaan dengan media Pustaka serta meningkatkan kualitas pendidikan dan pengajaran.
Perpustakaan mempunyai beberapa fungsi, yang diantaranya adalah; Fungsi penelitian, Fungsi
pendidikan, Fungsi rekreasi, Fungsi informasi
2. Saran
Lontara harus dipelihara dan dilestarikan oleh masyarakat Bugis. Upaya pelestarian yang
diminati generasi muda dan bersumber dari masyarakat dapat dijadikan langkah dalam
upaya pelestarian Lontara, sebab generasi muda yang nantinya akan menjadi agen pelestari
sehingga perlu upaya yang dapat menggerakkan generasi muda untuk mendukung
eksistensi Lontara.Maka dari itu penulis yang merupakan kelompok mahasiswa KKN
Kecamatan Mattiro Bulu Kabupaten Pinrang, mengambil langkah mengusung program
pembuatan Perpustakaan Lontara di salah satu Kawasan Kampung literasi Lontara yaitu
suatu kawasan yang dirancang dengan konsep Eduwisata (Edukasi dan Wisata),
didalamnya memiliki unsur tradisional sebagai kawasan yang bernuansa Lontara, memiliki
sisi edukasi dengan menghadirkan metode pembelajaran Lontara yang dipadukan dengan
permainan tradisional, terdapat kegiatan reduksi makna Lontara, hingga tersedianya
pustaka Lontara sebagai wadah edukasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, A. A. (2014). Melestarikan Budaya Tulis Nusantara: Kajian tentang Aksara Lontara. Jurnal
Budaya Nusantara, 1 (2), 148-153
Baso, Y. S. (2018). Model Aplikasi Aksara Lontara Berbasis Html Sebagai Salah Satu Solusi
Pemertahanan Bahasa Daerah. Jurnal Kata:Penelitian tentang Ilmu Bahasa dan Sastra, 2(1), 1-
12.
Sidin, U. S. (2016). Media Edukasi Pengenalan Huruf Lontara Makassar Berbasis Html5. semanTIK,
2(2).
Suwarno, W. (2016). Mengembangkan Sdm Perpustakaan Dalam Rangka Menuju World Class
University. Libraria: Jurnal Perpustakaan, 4(1), 105-126
Yusuf, M. (2012). Bahasa Bugis dan Penulisan Tafsir di Sulawesi Selatan. Al-Ulum, 12(1),77-96.