Anda di halaman 1dari 13

UPAYA MEMPERKUAT IDENTITAS NASIONAL MELALUI

ETIKA DAN KEARIFAN LOKAL DALAM SASTRA LISAN

Oleh:
Fitrahayunitisna
Prima Zulvarina
fitra_3006@ub.ac.id
Universitas Brawijaya

Abstract: Research shows that oral literature contains of ethical values and local wisdom.
However, existence of oral literature is getting weaker with the changing of the era.
Therefore, to strengthen national identity, oral literature needs to be revived. The main goal
is to improve the character of the young generation which is the Z generation. Efforts that
need to be done is mediatization of oral literature and integrate oral literature into the
college curriculum. The mediatization of oral literature needs to involve digital media, as
well as in its dissemination it requires social media. Meanwhile, integration into the college
curriculum can be done by insert to the Indonesian language course

Key Word: oral literature, ethic and local wisdom, national identity

Abstrak: Penelitian menunjukkan bahwa sastra lisan mengandung nilai etika dan kearifan
lokal. Akan tetapi, sastra lisan kian meredup dengan bergantinya era. Oleh karena itu, untuk
memperkuat identitas nasional sastra lisan perlu dihidupkan kembali. Sasaran utamanya
adalah untuk meningkatkan karakter generasi muda yakni generasi Z. Upaya yang perlu
dilakukan adalah dengan melakukan mediatisasi sastra lisan dan memasukkan ke dalam
kurikulum perguruan tinggi. Mediatisasi sastra lisan perlu melibatkan media digital, begitu
pula dalam penyebarluasannya memerlukan media sosial. Sementara itu, integrasi ke dalam
kurikulum perguruan tinggi dilakukan dalam matakuliah wajib yaitu matakuliah Bahasa
Indonesia
Kata Kunci: sastra lisan, etika dan kearifan lokal, identitas nasional

Masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah masyarakat dengan budaya lisan. Tradisi
lisan dimiliki oleh masyarakat Indonesia sejak zaman pra aksara hingga kini, meskipun
banyak berubah dengan berganti ke budaya aksara hingga digital. Namun begitu, Indonesia
masih kaya akan tradisi lisan meskipun penutur tradisi lisan sudah berkurang. Kekayaan
tradisi lisan di Indonesia tersebut memiliki banyak nilai yang berharga bagi kehidupan sehari-
hari masyarakat Indonesia. Salah satu tradisi lisan tersebut adalah sastra lisan. Sebagaimana
yang disampaikan oleh Ong (2013: 19) bahwa budaya lisan telah menghasilkan performa
verbal yang kuat dan indah bernilai artistik dan kemanusiaan tinggi.
Nilai-nilai dalam sastra lisan Indonesia masih sangat relevan bila diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat. Hal ini karena nilai-nilai tersebut bersumber dari akar
budaya bangsa. Untuk itu, nilai-nilai dalam sastra lisan dapat digunakan untuk memperkuat
identitas nasional. Hanya saja, semakin berkurangnya penutur sastra lisan dan juga
berubahnya zaman ke era digital membuat sastra lisan semakin tenggelam. Meskipun banyak
penelitian dan pendokumentasian terhadap sastra lisan, namun hanya tersimpan dengan baik
dan belum mampu terdistribusikan untuk dapat dinikmati oleh masyarakat luas terutama
generasi muda. Hanya kalangan akademisi dan kaum intelektual saja yang memerhatikan.
Generasi muda penerus bangsa adalah generasi yang lahir di era digital di mana
internet sudah ada. Mereka dijuluki sebagai generasi Z (McCridle dan Wolfinger, 2011).
Arus informasi mengalir begitu deras hingga seolah tidak ada sekat dalam masyarakat dunia
di berbagai belahan bumi. Hal ini merupakan sebuah kemajuan yang tidak dapat dihindari.
Namun begitu, kemajuan ini tetap diiringi oleh berbagai kelemahan, salah satunya adalah
lemahnya kepekaan generasi muda terhadap sesama dan nilai-nilai luhur bangsa yang
merupakan identitas nasional. Keabaian tersebut tidak dibiarkan supaya generasi muda
penerus bangsa tatap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang mencerminkan identitas
nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan sastra lisan.
Salah satu fungsi dari sastra lisan adalah untuk mendidik masyarakat. Untuk itu, nilai-
nilai yang terkandung di dalam sastra lisan diantaranya adalah etika dan kearifan lokal.
Namun, etika dan kearifan lokal yang terdapat dalam sastra lisan tidak akan sampai pada
anak-anak muda generasi Z bila media sastra lisan masih disampaikan dengan cara tradisional
dan kurang menarik perhatian mereka. Anak-anak muda generasi Z sudah menyatu dengan
teknologi digital, dalam artian mereka tidak dapat melewatkan sehari pun tanpa budaya
digital. Maka dari itu, memperkenalkan sastra lisan yang memuat etika dan kearifan lokal
kepada anak-anak muda generasi Z maupun masyarakat luas perlu melibatkan budaya digital.
Berdasarkan uraian di atas, artikel ini akan membahas beberapa hal berikut: (1)
bagaimana eksistensi sastra lisan saat ini?; (2) bagaimana etika dan kearifan lokal dalam
sastra lisan?; dan (3) bagaimana upaya memperkuat identitas nasional melaui etika dan
kearifan lokal dalam sastra? Adapun ruang lingkup dari upaya memperkuat identitas nasional
ini dibatasi pada generasi Z. Mengingat setiap generasi memiliki karakteristik yang berbeda,
maka tidak setiap generasi dapat diperlakukan sama. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah
mendeskripsikan etika dan kearifan lokal yang ada dalam sastra lisan hingga dapat
digunakaan untuk memperkuat identitas nasional. Selain itu, upaya yang perlu dilakukan
untuk memperkuat identitas melalui etika dan kearifan lokal dalam sastra lisan akan
dideskripsikan secara rinci.

EKSISTENSI SASTRA LISAN SAAT INI


Penelitian terhadap sastra lisan merupakan ladang hijau. Hal ini tidak dapat dipungkiri
mengingat begitu kayanya Indonesia akan sastra lisan. Meskipun sastra lisan sudah diteliti
sejak zaman kolonial oleh G.A.J. Hazue tahun 1897 hingga masa Indonesia modern yang
dipelopori oleh Dananjaya maupun Koentjoroninrat (Dananjaya, 2002:10), namun masih saja
banyak sastra lisan yang belum tersentu. Di samping itu sastra lisan sebagai foklor belum
menjadi program khusus karena masih menempel dalam bidang lain seperti antropologi,
filologi, musikologi, teologi, dan sebagainya. Untuk itu, penggalian terhadap berbagai aspek
dalam sastra lisan perlu dilakukan. Terutama dalam hal aplikasi dan kebermafaat hasil-hasil
penelitian tersebut dalam bidang lain yang lebih konkrit misalnya pendidikan, kesenian,
kebudayaan, dan kebangsaan.
Keberadaan sastra lisan di Indonesia sedang tenggelam dan terancam punah. Hal ini
tidak dapat terhindarkan karena perubahan budaya yang dilewati oleh dunia mulai dari tradisi
lisan ke tradisi aksara (Ong, 2013) hingga kini budaya kita pada tradisi digital. Belum lagi
masalah yang diakibatkan oleh globalisasi yang menuntut homogenitas masyarakat membuat
tradisi lisan yang merupakan akar budaya masyarakat Indonesia semakin banyak
ditinggalkan. Kebiasaaan masyarakat bertutur dalam sastra lisan sebagai sarana hiburan
maupun pendidikan sudah banyak tegantikan oleh teknologi teks maupun digital. Cerita
legenda maupun lagu-lagu nasihat sebagai pengantar tidur anak-anak banyak tergantikan oleh
televisi maupun hiburan pada media sosial. Begitu juga media pendidikan telah tergantikan
oleh buku sebagai bahan ajar pendidikan formal. Padahal tradisi bertutur sastra lisan sebagai
fungsi pendidikan dan hiburan memiliki kebermaknaan personal antara individu penutur
maupun pendengar sebagai akibat dari interaksi sosial dalam penyampaiannya.
Sebagai akibat dari perubahan era membuat penutur sastra lisan semakin berkurang
dan eksistensi sastra lisan semakin terancam. Orang tua tidak lagi memberi nasihat kepada
anak-anak melalui sastra lisan sebagai cerita pengantar tidur. Begitu juga tradisi bersastra
yang sudah tidak lagi memiliki generasi karena dianggap tidak mengikuti perkembangan
zaman. Hal ini yang membuat sastra lisan kurang diminati. Masyarakat lebih tertarik dengan
sesuatu yang menyatu dengan teknologi. Mereka lebih suka menonton film atau hiburan lain
di media sosial seperti Youtube, Instagram, maupun Facebook. Untuk itu, tradisi lisan mulai
banyak dilupakan oleh tiap generasi. Maka dari itu, sastra lisan menjadi terputus dari tradisi
lisan, yakni tradisi dalam menuturkan sastra lisan.
Keterputusan sastra lisan dengan masyarakat ini sebenarnya dapat dibangun kembali.
Mengingat sudah banyak sastra lisan yang diteliti dan terdokumentasikan dengan baik , maka
perlu diperkenalkan kembali untuk melawan lupa terhadap tradisi yang memiliki nilai-nilai
luhur budaya bangsa. Pendokumentasian terhadap sastra lisan tersebut telah mengasilkan
bibliografi yakni buku yang memuat daftar judul-judul karang sastra lisan beserta anotasi atau
ringkasan isi karangan. Namun sangat disayangkan, dokumentasi tersebut hanya tersipan baik
di perpustakaan, lembaga penelitian, maupun balai bahasa. Seperti halnya yang disampaikan
oleh Endraswara (2009: 23) bahwa di Indonesia masih banyak tumpukan penelitian foklor di
rak-rak yang hanya memenuhi target projek, yang paling tidak setelah penelitian
diseminarkan dan dijurnalkan maka selesai pula riwayatnya.
Ada beberapa kumpulan penelitian sastra lisan yang sudah diterbitkan sebagai buku
kumpulan sastra lisan nusantara dan untuk disebarluaskan kepada masyarakat. Namun dari
sekian buku kumpulan sastra lisan, berapa banyakkah yang dibaca oleh masyarakat? Dan
apakah semua kalangan mau membacanya? Mengingat minat baca masyarakat Indonesia
masih sangat rendah. Bisa jadi, masyarakat yang membaca hanya dari kalangan akademisi
untuk kepentingan akademik. Untuk itu, perlu beberapa solusi untuk membangkitkan sastra
lisan kembali supaya dapat dinikmati oleh masyarakat di era digital dalam rangka
memperkuat identitas nasional.

ETIKA DAN KEARIFAN LOKAL DALAM SASTRA LISAN


Fenomena kelisanan masyarakat Indonesia memunculkan bentuk-bentuk sastra lisan
seperti dongeng, legenda, mitos, tuturan adat, doa, mantra, sajak dan puisi rakyat, pantun,
nyanyian rakyat, lagu permainan anak, dan sebaginya. Dari berbagai bentuk tersebut ada
beberapa yang bertahan dan ada yang tidak. Beberapa masih dilestarikan dengan revitalisasi
yang dilakukan oleh seniman seperti nyanyian rakyat dan lagu permainan anak, dongeng dan
legenda mengalami mediatisasi ke dalam teks maupun cerita bergambar untuk buku anak-
anak. Hal ini karena masyarakat mulai menyadari kekayaan budaya yang dimiliki oleh
Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebagai hiburan maupun pendidikan.
Dananjaya (2002:4) menyampaikan bahwa fungsi foklor antara lain adalah sebagai
alat pendidik, pelipur lara, protes sosial dan proyeksi keiinginan terpendam. Fungsi sastra
lisan sebagai alat pendidikan merepresentasikan bahwa sastra lisan memiliki nilai-nilai
penting untuk diajarkan kepada masyarakat. Nilai tersebut dapat berupa etika maupun
kearifan lokal.
Etika merupakan filsafat yang merefleksikan ajaran-ajaran moral, sementara itu ajaran
moral memuat pandangan tentang nilai-nilai dan norma-norma moral yang terdapat dalam
sekelompok masyarakat (Suseno, 1991). Padangan moralitas tersebut yang mengajarkan
tentang kebermaknaan dan aturan tentang bagaimana manusia harus menjalani hidup supaya
menjadi baik sebagai manusia. Nilai moral bisa saja sangat beragam dalam sastra lisan
mengingat keragaman suku, adat, dan budaya yang dimiliki oleh Indonesia. Maka dari itulah
etika yang memutuskan ajaran-ajaran moral yang mana yang harus diikuti ketika dihadapkan
pada sebuah situasi sosial tertentu supaya dapat mengambil sikap tanggung jawab sesuai
dengan etika tertentu.
Amir (2013:40) juga menyampaikan bahwa salah satu fungsi sastra lisan adalah
sebagai sarana pendidikan yakni untuk mensosialisasikan dan menyampaikan nilai-nilai. Dia
menambahkan bahwa dalam pertunjukkan sastra lisan terjadi proses pendidikan seperti yang
tua memberi nasihat pada yang muda, memberi contoh yang baik, memberi pesan kearifan
dan keteladan. Dalam proses pertunjukan sastra lisan inilah terjadi pembelajaran tentang etika
dan kearifan lokal. Pembelajaran tentang etika terjadi ketika penonton yang datang belajar,
mengetahui, dan memahami norma sosial yang berlaku dalam masyarakat tersebut sehingga
dapat berinteraksi sosial satu sama lain sesuai dengan nilai dan norma moral yang disepakati.
Sementara itu, pembelajaran tentang kearifan lokal terjadi ketika penonton dapat memahami,
menghayati, dan dapat mengimplementasikan pesan-pesan kearifan dan keteladanan mulia
dari pertunjukan sastra lisan.
Penelitan yang dilakukan Setiawan (2015) tentang nilai moral dalam sastra lisan di
Kabupaten Ngawi menemukan bahwa legenda-legenda yang ada di Kabupaten Ngami
memiliki nilai-nilai moral yang menujukkan kearifan lokal dan nilai serta norma yang berciri
khas keindonesian. Nilai moral yang menujukkan kearifan lokal tersebut anatara lain adalah
nilai kemengertian, nilai tanggung jawab, nilai jiwa ksatria, nilai budi pekerti, nilai
kesederhanaan dan kerendahan hati, nilai kekeluargaan, dan nilai kegotongroyongan, nilai
tolong-menolong, nilai keiklasan, kepasrahan, dan ketaatan sebagai moral spiritual, dan
lainnya. Nilai-nilai dalam sastra lisan tersebut masih sangat relevan dan berguna untuk
diajarkan kepada masyarakat Indonesia.
Penelitian lain tentang sastra lisan dilakukan oleh Citraningrum (2012) tentang nilai
moral masyarakat Osing dalam cerita rakyat Banyuwangi. Hasil penelitian tersebut tidak jauh
berbeda dengan yang ditemukan oleh Setiawan (2015). Namun dalam penelitian tersebut
menemukan nilai moral lingkungan alam yang meliputi menjaga kelestarian binatang,
menjaga kelestarian sungai, dan mencintai tanaman. Hal ini membuktikan bahwa ekokritik
juga merupakan bagian dari sastra lisan. Fungsi sastra lisan sebagai pendidikan serta kritik
sosial terepresentasi dalam cerita rakyat Banyuwangi. Cerita rakyat Banyuwangi tersebut
mengajarkan tentang etika dalam menjaga kelestarian alam serta kesadaran masyarakat
tentang pentingya ekologi bagi kelangsungan hidup manusia.
Fungsi sastra lisan yang memuat kearifan lokal sebagai sarana pendidikan, kritik,
sistem proyeksi, penanda identitas diri, dan alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga
kebudayaan ditegaskan oleh Maspaitella (2006) dalam penelitiannya terhadap sastra lisan di
Kabupaten Maluku Tenggara Barat yang berbentuk ungkapan tradisional. Dalam
penelitiannya ia menyebutkan bahwa pesan yang terkandung dalam sastra lisan tersebut
diantaranya adalah kritik dan nasihat yang bermanfaat untuk membentuk pola hidup
kebersamaan, saling menghormati, tolong menolong, dan menghargai adat-istiadat.
Sedangkan makna referensialnya disampaikan melalui berbagai etika yang menghubungkan
manusia dengan Tuhan, alam, sesama, hewan, tumbuhan, dan benda.
Hal serupa disampaikan oleh Amir (2013:21) bahwa sastra lisan menyimpan kearifan
lokal (local wisdom), kecendekian tradisional, pesan-pesan moral, dan nilai sosial dan
budaya. Kearifan lokal merupakan nilai-nilai mulia yang dimiliki oleh masyarakat dalam
budaya tertentu. Astra (2004:111) menyampaikan bahwa kearifan lokal hampir dapat
disamakan dengan identitas budaya (culture identity) suatu bangsa. Kearifan lokal yang ada
dalam berbagai sastra lisan di Indonesia perlu digali untuk memperkokoh jati diri bangsa.
Lebih lanjut Astra menyampaikan bahwa kearifan lokal dalam berbagai budaya di Indonesia
masih sangat relevan untuk mengatasai permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh
globalisasi, sehingga perlu adanya revitalisasi terhadap kearifan lokal.

UPAYA MEMPERKUAT IDENTITAS NASIONAL MELALUI SASTRA LISAN


Balam bagian ini akan dibahas upaya memperkuat identitas nasional melalui sastra
lisan. Ada tiga hal yang menjadi perhatian penulis sebagai upaya memperkuat identitas
nasional melalui sastra lisan yang difokuskan pada generasi Z. Upaya tersebut antara lain
adalah (1) mediatisasi, dan (2) integrasi ke dalam kurikulum sekolah tinggi. Berikut adalah
pembahasan dari kedua hal tersebut.
Mediatisasi
Saat ini pengemasan sastra lisan sudah mulai beragam dan menarik, misalnya dalam
bentuk kumpulan cerita bergambar, komik, bahkan pertunjukan modern. Sudah ada upaya
untuk revitalisasi dan mediatisasi untuk menjaga eksistensi sastra lisan. Namun itu saja tidak
cukup menjangkau semua kalangan, misalnya komik dan cerita bergambar dinikmati oleh
anak-anak, pertunjukan sastra lisan yang terevitalisasi ditonton oleh masyarakat dewasa
maupun muda tetapi hanya pada acara tertentu saja. Maka dari itu, diperlukan mediatisasi
yang lebih beragam, unik, dan menarik yang dapat dinikmati dan diakses dengan mudah
dalam kegiatan sehari-hari. Tentu saja, mediatisasi tersebut harus bersentuhan dengan media
digital yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat terutama generasi Z.
Jenis sastra lisan tidak hanya sastra dan seni, tetapi juga pertuturan adat, sajak dan
puisi rakyat, lagu permainan anak-anak bahkan lagu pujian bagi orang yang baru meninggal
ataupun dendang untuk menangkap harimau atau binatang buas atau binatang berbisa lainnya,
selain itu kegiatan yang paling umum adalah percakapan antar anggota masyarakat (Amir,
2013:4). Sastra lisan yang dipahami masyarakat awam atau yang banyak dimediatisasi adalah
sastra lisan dalam bentuk seni dan sastra, seperti cerita rakyat, mitos, pertunjukan seni
berbalas pantun, dan lain sebagainya. Jenis sastra lisan seperti yang disebutkan Amir, tidak
banyak dimediatisasi secara menarik. Hal tersebut berimbas pada kepunahan sastra lisan jenis
tersebut seperti, pertuturan adat, sajak dan puisi rakyat, bahkan lagu permainan anak-anak.
Generasi muda saat ini tidak banyak mengenal tiga jenis sastra lisan seperti pertuturan
adat, sajak dan puisi rakyat, dan lagu permainan anak-anak. Ketiga jenis sastra lisan tersebut
perlu mediatisasi secara unik dan menarik . Mediatisasi dapat berupa film pendek, komik,
aplikasi dalam smart phone, dan meme. Media online yang kian menjamur mampu menjadi
alat penyebaran sastra lisan yang telah dikemas secara menarik. Jika kita lihat, Malaysia
selangkah lebih maju dengan kita. Malaysia mengemas dongeng/cerita rakyat secara unik dan
menarik yang berjudul “Pada Zaman Dahulu”, kartun anak-anak berseri yang memiliki tokoh
hewan-hewan dan manusia. Bahkan film kartun anak-anak berseri tersebut juga disiarkan di
negera kita.
Mediatisasi pertuturan adat, sajak dan puisi rakyat, dan lagu permainan anak-anak
dapat berupa film pendek, atau video pendek dengan konsep musikalisasi pusi. Jika kita lihat
lagi pertuturan adat dapat kita temukan pada upacara-upacara adat. Upacara adat yang
dilakukan tentulah tak terlepas dari pertuturan adat yang diucapkan oleh pemangku adat atau
dukun. Film pendek dapat dikemas secara menarik dengan menggali pertuturan adat yang hal
tersebut terdengar asing bagi generasi muda saat ini. Sementara itu, sajak dan puisi rakyat
dapat dimediatisasi dalam video pendek musikalisasi puisi. Begitu juga dengan lagu
permainan anak-anak, jenis lagu permainan anak-anak bermacam-macam sehingga dapat
dipilih untuk dijadikan tema dalam satu film tersebut.
Selain film dan video pendek, komik juga dapat dijadikan mediatisasi untuk
pengenalan sastra lisan. Menurut KBBI daring edisi kelima, komik adalah cerita bergambar
(majalah, surat kabar, atau berbentuk buku) yang umumnya mudah dicerna dan lucu. Komik
yang selama ini muncul dan beredar adalah komik dari negeri sakura. Tema-tema cerita yang
diangkat biasanya tema percintaan, kesetiakawanan, dan kepahlawanan. Tokoh-tokoh dan
gaya hidup yang ada di dalam komikpun tak terlepas dari kebiasaan orang Jepang. Beberapa
tahun ini, muncul komik karya anak bangsa. Salah satunya karya Aji Prasetyo. Komik karya
Aji Prasetyo bertema isu-isu nasional, kritik sosial, perjuangan dan sejarah, dari zaman
kerajaan Kediri, VOC, Perang Jawa, hingga Perang Kemerdekaan. Jika komik dengan tema
sejarah saja dapat dikemas menjadi media menarik, tentunya akan jauh lebih menarik lagi
jika tema cerita dalam komik diambil dari jenis-jenis sastra lisan.
Smart phone menjadi produk wajib yang saat ini dimiliki oleh anak-anak, dewasa,
hingga orang tua. Di dalam smart phone tentunya terdapat aplikasi-aplikasi penunjang. Sastra
lisan dapat dimediatisasi melalui aplikasi yang terdapat di dalam smart phone. Aplikasi
tersebut dapat berisi cerita pendek yang diambil dari cerita rakyat bahkan lagu permainan
anak-anak pun dapat diaransemen ulang, digunakan sebagai nada panggilan smart phone.
Aplikasi cerita bergambar tersebut dapat dibuat seperti aplikasi webtoon yang sudah ada.
Media online sudah menjamur dan digunakan oleh tiap lapisan masyarakat dan
tingkatan umur. Salah satu media dalam penyebaran wacana adalah meme. Meme sering
muncul pada media online, meme merupakan ide yang menyebar dari satu orang ke orang
lain secara online melalui media gambar. Tujuan penyebaran meme bermacam-macam,
seperti ejekan, kritik, hiburan, nasihat, dan sebagainya. Mediatisasi sastra lisan seperti
pertuturan adat dan lagu permainan anak-anak dapat juga melalui meme. Hal ini karena
meme memiliki kemiripan ciri bila ditinjau dari segi fungsi. Yakni sama-sama bertujuan
untuk menyebarkan wacana yang berupa ejekan, kritik, hiburan, nasihat dan sebagainya.
Mediatisasi meme akan lebih menarik dan mudah dipahami semua kalangan
khususnya oleh generasi Z. Selain itu penyebaran meme pun juga akan lebih cepat dan
mudah melalui media online. Penyebaran sastra lisan telah diuntungkan oleh teknologi
modern. Sebaliknya, sastra lisan yang “asli” telah bersentuhan dan bersenyawa dengan seni
modern, terutama musik. Dengan persentuhan itu sastra itu bertahan hidup; sebaliknya sastra
lisan yang tidak tersentuh oleh seni modern tidak mampu bertahan melawan kekinian
masyarakat (Amir, 2013:185). Sastra lisan tidak akan dikenal dan mengabadi jika tidak terus
dimediatisasi sesuai dengan perkembangan zaman.
Mediatisasi sastra lisan yang bersentuhan dengan teknologi digital dalam hal ini
bertujuan untuk menyebarkan wacana yang berupa etika dan kearifan lokal dalam sastra lisan
pada masyarakat luas khususnya generasi Z. Penyebaran wacana ini dimaksudkan untuk
memberi pengaruh dan mengingatkan kembali karakter bangsa Indonesia yang merupakan
identitas dan jati diri bangsa. Maka dari itu, upaya dalam memperkuat identitas bangsa
melalui sastra lisan ini, memerlukan media yang menarik dan dekat dengan kebiasaan hidup
masyarakat.

Integrasi Dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi


Selama ini sastra lisan dalam pendidikan tinggi hanya dipelajari dalam disiplin ilmu
tertentu saja. Disiplin ilmu tesebut seperti antopologi, filologi, sosiologi, musikologi, dan
juga menempel dalam bidang ilmu lain yang berhubungan dengan humaniora, seni, sosial,
dan budaya. Lantas, bidang ilmu lain yang berhubungan dengan sains tidak begitu
menyentuhnya. Padahal, banyak nilai yang dapat ditanamkan dalam sastra lisan.
Sebagaimana esensi dari pendidikan adalah memanusiakan manusia, yakni
menjadikan manusia menjadi berbudi pekerti dan bermartabat yang mampu menjalani hidup
sebagai manuasia yang baik. Untuk itu, sudah semestinya tujuan pendidikan tidak hanya
sekedar transfer ilmu pengetahuan saja. Meskipun porsi pendidikan karakter dalam
pendidikan tinggi lebih sedikit dibandingkan dengan sekolah dasar dan menengah. Namun
demikian, upaya meningkatkan pendidikan karakter untuk memperkuat identitas generasi
muda sebagai generasi bangsa dapat dilakukan dengan integrasi sastra lisan dalam matakuliah
umum atau matakuliah yang wajib ditempuh oleh mahasiswa di semua jurusan maupun
program studi.
Salah satu matakuliah yang wajib ditempuh dalam pendidikan tinggi adalah
matakuliah Bahasa Indonesia. Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 menyatakan bahwa
pendidikan yang wajib ditempuh dalam perguruan tinggi adalah Bahasa Indonesia, Agama,
Pancasila, dan Kewarganegaraan. Melalui keempat matakuliah wajib tersebut diharapkan
dapat mencapai tujuan dari pendidikan nasional. Integrasi sastra lisan yang dapat dilakukan
dalam hal ini adalah integrasi dengan matakuliah Bahasa Indonesia.
Integrasi sastra lisan dengan mata kuliah wajib yakni Bahasa Indonesia dapat
dilakukan pada keterampilan menulis, berbicara, menyimak dan membaca. Namun dalam
artikel ini akan lebih difokuskan pada keterampilan menulis. Keterampilan menulis di
pendidikan tinggi lebih ditekankan pada keterampilan menulis ilmiah. Sebagaimana tuntutan
akedimis, mahasiswa diharapkan mampu mengekspresikan ide dan gagasan keilmuannya
dalam tulisan ilmiah maupun populer dengan nilai kebahasaan yang tinggi. Maka dari itu,
dosen sebagai pengampu matakuliah diharapkan dapat membuat sekenario pembelajaran
menulis karya ilmiah berbasis etika dan kearifan lokal dalam sastra lisan. Sekenario
pembelajaran menulis karya ilmiah akan ditawarkan secara rinci oleh penulis sebagai berikut.
Skenario pembelajaran tersebut antara lain penugasan penulisan karya ilmiah berbasis
kearifan lokal, perencanaan penulisan, penugasan lapangan (observasi dan wawancara,
presentasi hasil lapangan, dan proses penulisan. Ada dua media yang digunakan dalam
pembelajaran ini yakni media digital.
Skenario pertama, (1) dosen memberikan penugasan menulis menulis karya ilmiah
berbasis etika dan kearifan lokal dalam sastra lisan yang ada di lingkungan sekitar, tugas ini
dapat dilakukan dalam kelompok maupun individu. (2) dosen memberikan pembekalan
pengetahuan tentang sastra lisan, karakteristik, jenis, dan fungsinya dalam masyarakat, (3)
mahasiswa merenungkan dan mengingat kembali sastra lisan yang dimiliki di daerah asal
mereka masing-masing, (4) setelah menemukan sastra lisan yang akan ditulis, mahasiswa
membuat perencanaan menulis karya ilmiah sastra lisan dengan arahan dan bimbingan dosen
seperti menentukan tema, subtema, dan judul (hal apa yang secara spesifik ingin ditulis dalam
sastra lisan, misalnya nilai moral, kearifan lokal, atau etika dari legenda maupun cerita
rakyat). Capaian yang diharapkan dalam sekenario pembelajaran ini adalah (a) mahasiswa
mengetahui sastra lisan yang ada di daerah sekitar, (b) mahasiswa mampu memahami
karakteristik, jenis, dan fungsi sastra lisan, (c) mahasiswa mampu membuat kerangkan karya
ilmiah.
Skenario kedua, yakni penugasan lapangan, (1) mahasiswa ditugaskan datang ke
lokasi untuk melakukan observasi, bergaul, dan wawancara dengan masyarakat setempat di
mana sastra lisan masih ada, (2) mahasiswa ditugaskan untuk mengambil dokumentasi untuk
dipergunakan dalam presentasi hasil observasi dan wawancara. Dalam pembelajaran yang
berbentuk penugasan lapangan ini, capain yang diharapkan antara lain adalah (a) mahasiswa
mampu memelajari etika sosial yang berlaku dalam masyarakat setempat. Proses
pembelajaran tentang etika tersebut terjadi ketika mahasiswa datang ke lokasi untuk obervasi
dan wawancara. Dalam proses itu, mahasiswa perlu berinteraksi sosial secara langsung
dengan masyarakat dalam dunia nyata bukan dunia maya, sehingga mereka akan memelajari
cara untuk aktif berkomunikasi, membuka percakapan, mengenal lawan bicara, dan beretika
yang baik supaya diterima. Capaian berikutnya adalah (b) mahasiswa mampu memahami
nilai kearifan lokal dari sastra lisan yang ada dalam masyarakat ketika mengamati dan
mendapat informasi langsung dari mereka.
Skenario ketiga, yakni presentasi hasil lapangan, (1) mahasiswa ditugaskan untuk
mempresentasikan hasil observasi dan wawancara di depan kelas melalui media digital yakni
video pendek maupun meme. Hasil observasi dan wawancara yang merupakan temuan
tentang kearifan lokal dapat dibuat dalam bentuk meme, sedangakan yang merupakan cerita
rakyat (mitos, legenda, dan dongeng) yang mengandung nilai kearifan lokal dapat
dipresentasikan dalam video pendek. Hal ini menarik dan menantang kreativitas mahasiswa.
(2) setelah presentasi, mahasiswa ditugaskan untuk mengunggah meme atau video pendek ke
media sosial (misalnya Instagram, Facebook, atau Youtube). Nilai terbaik ditentukan oleh
seberapa banyak yang menyukai meme atau video pendek mereka. Hal ini memotivasi
mahasiswa untuk berkompetisi dan membuat ide kreatif dalam mentransformasi sastra lisan
ke media digital sebagus mungkin.Capaian yang diharapkan dalam pembelajaran ini antara
lain adalah (a) mahasiswa senang dan bangga memperkenalkan sastra lisan yang merupakan
warisan budaya bangsa kepada rekan-rekan sejawat maupun masyarakat luas baik dalam
presentasi maupun melalui media sosial, (b) mahasiswa mampu menghayati etika dan
kearifan lokal yang ada dalam sastra lisan, dan (c) mahasiswa dapat menerapkan etika dan
kearifan lokal yang relevan dalam kehidupan sehari-hari untuk memperkuat identitas diri
sebagai identitas bangsa.
Skenario keempat adalah proses penulisan, (1) mahasiswa mengembangkan
perencanaan menulis yang dibuat sebelumnya ke dalam kerangka karangan, (2) mahasiswa
mengembangkan kerangka karangan dengan menganalisis data dari hasil observasi dan
wawancara menjadi karya ilmiah. (3) mahasiswa melakukan penyuntingan hasil tulisannya
dengan memerhatikan ketepatan ejaan, ketepatan kalimat dan paragraf, serta etika dan gaya
penulisan ilmiah yang berkenaan dengan penulisan kutipan dan daftar rujukan. Capaian yang
diharapkan dalam skenario ini adalah (a) mahasiswa mampu membuat kerangka karangan,
(b) mahasiswa mampu mengembangkan kerangka karangan menjadi tulisan ilmiah yang tepat
ejaan, tepat dalam penggunaan kalimat dan paragraf, serta tepat dalam menggunakan sitasi.
Out put dari keempat skenario pembelajaran tersebut adalah (1) mediatisasi sastra
lisan ke dalam bentuk digital oleh mahasiswa, (2) penyebaran etika dan kearifan lokal sastra
lisan yang sudah ditransformasikan ke dalam media digital pada media sosial, (3) karya
ilmiah tentang etika dan kearifan lokal dalam sastra lisan. Dari ketiga out put ini diharapkan
dapat meningkatkan karakter mahasiswa menjadi manusia yang beretika dan memiliki
kearifan lokal sebagai identitas diri generasi bangsa. Selain itu penyebaran sastra lisan yang
sudah termediatisasi dalam media sosial dapat memberi wacana sekaligus pengaruh pada
masyarakat luas untuk memperkuat identitas nasional.

PENUTUP
Upaya dalam memperkuat identitas nasional dapat dilakukan menggunakan sastra
lisan. Dalam beberapa peneliti menunjukkan kaitan erat antara sastra lisan dengan etika dan
kearifan lokal. Sebagaimana salah satu fungsi sastra lisan adalah untuk mendidik masyarakat,
maka di dalamnya menggandung nilai etika dan kearifan lokal. Namun begitu, tidak dapat
dipungkiri bahwa sastra lisan kian meredup dengan bergantinya era.
Maka dari itu, sastra lisan perlu dihidupkan kembali untuk memperkuat identitas
nasional. Sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan karakter generasi muda yakni
generasi Z yang tumbuh di era digital, menjadi karakter yang mencerminkan identitas
nasional. Dalam hal ini upaya yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan mediatisasi
sastra lisan dan memasukkan ke dalam kurikulum sekolah tinggi.
Mediatisasasi sastra lisan perlu menggunakan media digital yang biasa digunakan
oleh masyarakat sehari-hari. Mediatisasi sastra lisan dapat dilakukan dengan
mentransformasikan ke dalam bentuk, film dan video pendek, meme, dan komik yang
kemudian dapat disebarluaskan melalui media sosial maupun aplikasi dalam smart phone.
Sementara itu, integrasi dalam kurikulum perguruan tinggi dapat dilakukan dengan
mengintegrasikan dalam matakuliah Bahasa Indonesia yang merupakan matakuliah wajib
yang harus ditempuh oleh mahasiswa dari berbagai progam studi maupun jurusan.

DAFTAR RUJUKAN

Amir, Adriyetti. (2013). Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset

Astra, I Gde Semadi. (2004). Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Memperkokoh Jatidiri
Bangsa di Era Global. I Wayan Ardika dan Darma Putra (eds). Politik Kebudayaan dan
Identitas Etinik. Bali: Fakultas Sastra Universitas Udayana, Balimangsi Press

Citraningrum, Dina Merdika. 2012. Representasi Nilai Moral Masyarakat Using Dalam
Cerita Rakyat Banyuwangi. Tesis Tidak Diterbitkan. Malang: Universitas Negeri
Malang

Dananjaya, James. 2002. Foklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti

Endraswara, Suwardi.2009. Metode Penelitian Foklor: Konsep, Teori, dan Aplikasi.


Yogyakarta: Med Press
Maspaitella, Martha. 2006. Sastra Lisan Nyanuk Pupule Sebagai ungkapan tradisional pada
Masyarakat Olilit Timur Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Tesis Tidak Diterbitkan.
Malang: Universitas Negeri Malang.

McCrindle, Mark dan Emily Wolfinger. (2011).The ABC of XYZ: Understanding the Global
Generations. Australia: UNSW Press

Ong, Walter J. 2013. Kelisansan dan Keaksaraan (Orality and Literacy). Tejemahan Rika
Iffati. Yogyakarta: Gading Publishing

Setiawan, Dani Sukma Agus. 2015. Nilai-Nilai Moral Dalam Legenda Di Kabupaten Ngawi
(Sebuah Kajian Sosiologi Sastra). Tesis Tidak Diterbitkan. Malang: Universitas negeri
Malang.

Suseno, Franz Magnis. 1991. Etika Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai