Abstrak
Tulisan ini ditujukan untuk memberikan konsep pembelajaran bahasa berbasis lingkungan dalam per-
spektif Ekolinguistik. Perubahan lingkungan kebahasaan, tentu juga lingkungan sosial, kemanusiaan,
dan kebudayaan, patut dikaji secara kritis. Demikian pula perkembangan budaya media khususnya,
dan perubahan tata nilai kehidupan yang “sangat mendunia” ini perlu dicermati, disikapi, dan dieval-
uasi kembali secara lebih dalam. Kehidupan ini memang selalu berubah dan berkembang ke tingkat
peradaban dan kebudayaan yang lebih tinggi. Akan tetapi, ke arah manakah hidup ini bergerak dan
berubah, (secara khusus perubahan peran dan fungsi bahasa serta sikap para pemakainya), itulah
sesungguhnya yang perlu direnungkan dan dievaluasi. Pembelajaran bahasa berbasis lingkungan
diupayakan agar keanekabahasaan dan juga keberagaman bahasa yang merepresentasikan keane-
karagaman hayati di lingkungan tertentu, dapat menjadi sumber penulisan dan upaya pelestarian ba-
hasa-bahasa lokal, bahasa Indonesia, dan penguasaan bahasa asing. Melalui pembelajaran bahasa-
bahasa yang berbasis lingkungan itu, peserta didik memulihkan kembali interaksi, interelasi, dan in-
terdependensi dengan lingkungan hidup mereka, sekaligus mencegah gejala ketidakberakaran hidup
mereka.
Abstract
This paper is intended to give the concept of language-based learning environment in perspective
Ekolinguistik. Linguistic environment changes, of course also the social environment, humanity, and
culture, should be examined critically. Similarly, the development of media culture in particular, and
changes in the value of life "very global" This needs to be examined, addressed, and be re-evaluated
in more depth. This life is always changing and evolving to the level of civilization and culture is
higher. However, this life which direction to move and change, (in particular changes in the role and
functions of the language and attitude of the wearer), that actually need to be contemplated and eval-
uated. Based language learning environment aligned to keanekabahasaan and also the diversity of
languages that represent the biodiversity in a particular environment, can be a source of the writing
and the conservation of local languages, Indonesian, and mastery of foreign languages. Through
learning languages based on the environment, learners restore interaction, interrelation, and inter-
dependence with their environment, as well as preventing the symptoms ketidakberakaran their lives.
Copyright © 2015, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 1, No.2 Oktober 2015, 353
Copyright © 2015, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 1, No.2 Oktober 2015, 354
kontra) Kurikulum 2013. Kondisi nyata jelas berkaitan dengan “kegagalan” pem-
bahasa-bahasa daerah sebagai warisan nilai belajaran dan pendidikan bahasa. Etika ber-
-budaya leluhur, yang menjadi pilar budaya bahasa adalah bangunan relasi dan harmoni
lokal, perlu dikaji secara mendalam dan sosial. Pemelajaran dan pendidikan bahasa
disikapi secara lebih kritis dan konstruktif. sesungguhnya sarat dengan penanaman
Pembiaran, dengan demikian, menjadi nilai-nilai kehidupan.
kesalahan sosial. Dalam prinsip keseimbangan ekologi
Adalah kenyataan yang memilukan kebahasaan, adalah kenyataan bahwa pem-
bahwa telah terjadi orientasi yang keliru belajaran bahasa di Indonesia sangat tidak
dan “menyesatkan” pada sebagian (besar) berimbang. Minat dan pilihan untuk belajar
generasi muda bangsa dalam pilihan- bahasa-bahasa asing (Inggris, Mandarin,
pilahan pembelajaran bahasa dan itu telah Jepang, Korea, dan sejumlah bahasa asing
menggejala kuat. “Kesesatan” orientasi lainnya), sangat tinggi. Di sisi lain, minat
yang dimaksudkan itu adalah “Belajar han- mempelajarai bahasa Indonesia, apalagi
ya demi (target) lulus Ujian Nasional”. Pa- bahasa-bahasa daerah semakin sepi. Imper-
dahal, Ujian Nasional yang hanya berlang- alisme bahasa asing telah menggejala kuat.
sung beberapa hari itu sarat dengan Ini adalah soal nasionalisme kebahasaan
Kecurangan. Kecurangan adalah musuh yang dihadang oleh kekeliruan orientasi
kejujuran. Kejujuran yang seharusnya men- pembelajaran bahasa. Selain rendahnya
jadi salah satu karakter manusia dan bangsa minat generasi muda mempelajari bahasa
Indonesia telah sirna. Kepura-puraan dan daerah sebagai bahasa ibu, pudarnya infra-
kebohongan menjadi kekuatan penghancur struktur interaksi dan komunikasi verbal
mental generasi baru. Ujian nasional me- dalam ranah-ranah sosial (band. Haberman,
mang penting, namun dampak negatif yang 2002) kian memicu tergusurnya bahasa-
dihasilkannya selama bertahun-tahun telah bahasa daerah di Indonesia. Pembelajaran
menjadi wabah perusak jiwa bangsa. Di- bahasa daerah dianggap tidak bergengsi
mensi kognitif telah menjadi tujuan yang dan tidak memberikan keuntungan
utama, sedangkan afeksi dan ketrampilan ekonomi. Pragmatisme anak bangsa se-
berbahasa yang berpadanan dengan ket- makin menjadi-jadi. Ketrampilan berbaha-
rampilan bernalar generasi muda, juga sa asing memang tetap sangat perlu pada
keadaban berbangsa kurang diberi ruang era global ini namun ketrampilan berbahasa
dan peluang untuk berkembang. Lebih da- daerah dan ketrampilan berbahasa Indone-
ripada itu, etika dan kesantunan berbahasa sia adalah dimensi dan segi penting ke-
kurang ditanamkan pada peserta didik kita. hidupan berbangsa dan berkebudayaan In-
Keluhan generasi tua bahwa anak-anak donesia yang tidak dapat disepelekan,
bangsa kurang santun dan kurang beretika jikalau taruhannya adalah jati diri bangsa
Copyright © 2015, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 1, No.2 Oktober 2015, 355
Copyright © 2015, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 1, No.2 Oktober 2015, 356
kiri bahwa bahasa Melayu sebagai lingua perekat suku-suku bangsa, pembentuk dan
franca, terlebih-lebih setelah menjadi baha- penguat semangat keindonesiaan, dan men-
sa nasional, bahasa Indonesia telah di- jadi sarana utama pengembangan perada-
perkaya selain memperkaya bahasa-bahasa ban dan kebudayaan Indonesia berbasis
lokal di negeri ini. Akan tetapi, jati diri dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkem-
karakter keetnikan dalam konteks negara- bangan itu seiring pula dengan peranan ba-
bangsa yang majemuk, negara-bangsa yang hasa Inggris khususnya dan bahasa-bahasa
disangga oleh ‘suku-suku bangsa’ sebagai asing lainnya yang menguasai dunia, tidak
komunitas historis, kurang lebih lengkap hanya sebagai sarana komunikasi terutama
secara institusional, justru telah lama sebagai sarana pengembangan ilmu penge-
menempati wilayah atau tanah tertentu, dan tahuan dan teknologi. Akan tetapi, peran
mempunyai bahasa dan kebudayaan bahasa Inggris khususnya perlu digugat
tersendiri (Kymlicka, 2003: 14). Ini berarti karena upaya pemeliharaan keane-
hak hidup bahasa-bahasa daerah tetap pan- karagaman bahasa justru dihadang domi-
tas diwujudnyatakan, tidak hanya dil- nasi bahasa Inggris yang kian meningkat
akukan oleh komunitas etnik sebagai ahli dan menjadi ‘pembunuh’ bahasa-bahasa
warisnya, melainkan oleh negara sesuai lainnya (Tove Skutnabb-Kangas, dalam
amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan Kompas Rabu 27 Juni 2012). Patut disa-
Undang-Undang Republik Indonesia No- dari pula bahwa tidaklah hanya bahasa
mor 24 Tahun 2009. Inggris yang ‘membunuh’ bahasa-bahasa
Kenyataan hidup kebahasaan pada era daerah melainkan juga bahasa Indonesia.
global ini memang perlu dikaji dan disikapi Jikalau pembelajaran dan pendidikan
secara kritis. Memang, pada era global ini, bahasa dikelola secara benar, dan dengan
keberagaman budaya dan keanekaan baha- memperhatikan dan mendayagunakan
sa menjadi kenyataan dan keniscayaan. sungguh-sungguh talenta dan kemampuan
Yang perlu disadari kembali adalah bahwa (sebagian) anak didik untuk menguasai
kendati keberagaman itu telah menjadi jati lebih daripada satu bahasa, niscaya pem-
diri masyarakat nusantara sejak dahulu ka- belajaran dan pendidikan aneka bahasa
la. Masyarakat Indonesia di daerah pada (multilingual education) turut melestarikan
masa lalu yang umumnya ekabahasa, kehidupan bahasa-bahasa lokal, mengem-
kecuali di kawasan-kawasan perbatasan bangkan bahasa Indonesia, dan tetap mem-
antaretnik, telah berkembang menjadi beri ruang pula bagi bahasa-bahasa asing.
masyarakat anekabahasa. Kondisi keaneka- Juga, apabila kehidupan sosial-tradisional
bahasaan yang demikian itu semakin keetnikan tetap diberi ruang dan peluang
meluas sejak perkembangan bahasa nasion- untuk hidup dan berperan, niscaya bahasa-
al bahasa Indonesia yang berperan sebagai bahasa daerah tidak mesti terancam punah.
Copyright © 2015, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 1, No.2 Oktober 2015, 357
Kepunahan bahasa-bahasa di dunia dalam lihat Mbete 2010). Dan, lingkungan bahasa
perjalanan waktu dikarenakan oleh banyak yang sesungguhnya adalah lingkungan so-
faktor, namun, faktor disfungsi yakni me- sial tempat bahasa dan setiap penutur baha-
nyusutnya fungsi-fungsi sosial budaya se- sa hidup dan berinteraksi, berinterelasi, dan
hingga terasing di tanah sendiri, dan berinterdependensi dengan sesama penutur
pudarnya penggunaan bahasa di kalangan dan tentunya dengan alam di lingkungan
ahli waris muda dalam sejumlah ranah pa- itu (Haugen, 1972:325-326). Ini berarti,
kai, merupakan faktor-faktor penentu ke- lingkungan hidup bahasa tertentu, terwujud
punahan bahasa. Oleh karena itu, upaya- nyata dalam lingkungan sosial mini yang
upaya untuk lebih menggairahkan kembali bermula dari keluarga, di lingkungan ke-
fungsi dan penggunaan bahasa-bahasa dae- tetanggaan, lingkungan kampung dan desa,
rah yang didampingi secara berimbang sedangkan lingkungan hidup yang nyaris
dengan penggunaan bahasa Indonesia dan tanpa batas adalah lingkungan hidup men-
bahasa-bahasa asing, menjadi upaya yang tal yang lebih luas. Lingkungan hidup na-
sangat adil dan strategis. sional atau lingkungan hidup keindonesi-
Selanjutnya, baik dalam konteks aan (antara lain lewat fungsi bahasa Indo-
pembelajaran jalur formal di sekolah mau- nesia) sebagai adicita yang
pun jalur informal di lingkungan keluarga “terbayangkan” (lihat Anderson, 2004),
sebagai lingkungan perdana dan utama da- adalah kesadaran mental bercakupan luas.
lam membangun dunia primordial, juga Sebaliknya, lingkungan hidup kebahasaan
lingkungan masyarakat sekitarnya, pem- daerah boleh dikatakan relatif lebih ter-
belajaran dan pendidikan bahasa-bahasa jangkau di sekitar ruang hidup guyub tutur
berbasis lingkungan layak ditawarkan. (speech community).
Lingkungan sosial (mikrokosmos) keba- Di lingkungan tertentu itu, selain
hasaan adalah masyarakat dengan ruang keberagaman watak insani setiap individu
dan dengan batas-batasnya yang walau tid- dalam konteks hidup keluarga (antara
ak tegas benar namun dapat diancang- bapak, ibu, dan anak-anak) dan watak
ancangkan, dan lingkungan alam masyarakat lokal berbasis keetnikan, perbe-
(makrokosmos) (lihat Haugen, 1972), daan antara individu dalam lingkungan so-
semuanya dapat disimak dan diacu dalam sial yang lebih luas semakin menampakkan
pendidikan dan pembelajaran bahasa. keberbedaan atau keberagaman. Semuanya
Lingkungan (environment) tertentu, layak menjadi perhatian dalam kehidupan
interaksi, interelasi, interdependensi, dan dan dalam upaya pendidikan nilai-nilai ke-
keberagaman (diversity) sebagai parameter hidupan. Dalam konsep lingkungan itu, di-
ekologi dipakai dalam pengembangan mensi sosiologis dengan prinsip keserasian
ekolinguistik (Fill dan Muhlhausler, 2001, (harmony) dalam jejaring interaksi, in-
Copyright © 2015, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 1, No.2 Oktober 2015, 358
terelasi, dan interdependensi untuk me- tahuan tentang “isi” lingkungan dengan
rawat kebersamaan berlandaskan kasih keanekaragaman sumber daya lokal,
(Bundsgaard & Steffenson, 2000) dalam dengan dan dalam kemasan bahasa-bahasa
menciptakan harmoni menjadi sangat pent- daerah itu semestinya menjadi pijakan
ing. Dalam kaitan dengan dimensi sosial ini hidup dan sumber daya cipta, bahkan juga
kondisi “tidak atau kurang saling kenal menjadi sumber inspirasi pengembangan
secara mendalam antaranggota keluarga” ekonomi kreatif. Pengetahuan tentang
karena disingkirkan oleh media mutakhir keaneragaman hayati di lingkungan terten-
(tv, PS, HP, BB, dan sebagainya), media tu, misalnya bambu, sagu, atau aren dengan
yang menciptakan setiap individu sibuk karakteristiknya, juga bebatuan dan pasir
dengan diri sendiri, adalah persoalan ling- (yang diwahanai oleh bahasa daerah), serta
kungan yang tidak kondusif. Adalah ken- dengan teknologi tardisional yang ramah
yataan kekinian bahwa interaksi verbal an- lingkungan warisan leluhur mereka (Mbete,
taranggota keluarga saja kini kian redup 2010), sangat penting bagi generasi muda
karena gesekan budaya media mutakhir. bangsa ini. Sangat disayangkan jikalau
Secara khusus parameter-parameter warisan pengetahuan akan sumber daya
ekolinguistik, konsep “ekologi bahasa dan lokal, juga kearifan lokal itu justru
bahasa ekologis” diusulkan untuk diterap- ditelantarkan dan digusur pula oleh para
kan dalam membangun model pembelaja- ahli warisnya pula.
ran bahasa-bahasa. Dalam hal ini pembela- Parameter keberagaman (diversity)
jaran bahasa-bahasa berbasis lingkungan. dalam ekolinguistik juga menjadi sumber
Pengalaman lapangan beberapa tahun silam kekayaan bahasa, baik pada tataran
mendorong penulis untuk mengajukan kon- leksikon maupun tataran gramatikal, secara
sep tersebut. Pertama, banyak anak bangsa, khusus gramatika-metafora. Satuan-satuan
khususnya di lingkungan perkotaan yang leksikal dengan kekayaan medan makna
setiap hari menikmati aneka pangan asli referensial ekstralingual (lihat Verhaar,
dari lingkungan (beras, umbi-umbian, biji- 2006) memperkaya kategori nomina dalam
bijian, sayur-sayuran, dan sebagainya), tid- bahasa itu. Setiap bahasa pada dasarnya
ak mengenal lagi tetumbuhan (flora) dan menyediakan kode-kode lingual yang
hewan (fauna) yang ada di lingkungan secara indeksikal merepresentasikan khaza-
hidup mereka dalam wujud kode-kode lin- nah pengetahuan guyub tutur tentang
gual bahasa daerahnya, seiring dengan keanekaragaman hayati di lingkungan
kemiskinan pengetahuan lokal (local hidup mereka (band. Haugen, 1972, 2001).
knowledge) mereka yang seharusnya ber- Tidak hanya kelompok nomina dengan
sumberkan bahasa dan budaya lokal subklasifikasinya itu yang memperkaya
(Kutnabb-Kangas, 2002). Padahal, penge- bahasa tertentu. Kategori verba proses
Copyright © 2015, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 1, No.2 Oktober 2015, 359
ataupun tindakan khusus manusia terhadap daerah atau bahasa ibu mereka, mengenal
sumber daya lingkungan yang di antaranya dan memahami kekayaan pengetahuan ten-
menggambarkan daya “eksploitasi”, daya tang sumber daya lingkungan, baik yang
adaptasi, dan menghasilkan “teknologi berkategori biotik (tumbuhan, hewan, dan
tradisi yang ramah lingkungan”, merupa- manusia di lingkungannya), maupun yang
kan kekayaan budaya setempat. Lebih da- berkategori abiotik (air, udara, cakrawala,
ripada kelompok nomina dan verba itu, pa- bebatuan, tanah, dan pasir). Pengetahuan
da tataran lebih tinggi, guyub tutur telah tentang isi lingkungan sebagai isi (content)
menciptakan dan mewariskan bahasa ling- bahasa yang direkam dalam bahasa daerah
kungan (green speak) berupa ungkapan- dan dijadikan bahan pembelajaran itu
ungkapan metaforik yang berfungsi me- membelajarkan dan terutama mendidik
lestarikan lingkungan hidup mereka, baik generasi muda untuk mengenali, menghor-
lingkungan natural maupun kultural. Baha- mati, mencintai, merawat, termasuk
sa lingkungan yang metaforik (Inggris) ‘memanfaatkan’ sumber daya lingkungan
semisal “uang itu air” yang mengandung secara terkendali, dan tentu pula demi tum-
makna bahwa uang memang lincah dan buhnya kesadaran untuk melestarikannya.
mengalir ke mana-mana termasuk ke kan- Para kaum bijak-bestari di setiap guyub
tong Koruptor, atau ke swalayan, dalam etnik masih memiliki ungkapan-ungkapan
konteks ini, air adalah contoh komponen tentang cara-cara memanfaatkan dan men-
lingkungan yang menjadi sumber pencip- golah sumber daya alam, merawat, dan me-
taan bahasa secara gramatikal-metaforik. lestarikannya demi anak cucu, serta demi
Di sisi lain, metafora mutakhir, “air adalah keberlanjutan sumber daya di lingkungan
uang” menyiratkan betapa sumber daya mereka. Termasuk di dalamnya adalah
alam yang dieksploitasi berlebihan dan ungkapan-ungkapan yang merawat kehar-
yang dimanfaatkan sebesar-besarnya hanya monisan atau keserasian relasi sosial.
demi memperkaya orang atau kelompok Melalui pembelajaran bahasa berbasis
kapitalis tertentu, sekaligus merusak ling- lingkungan itu, niscaya adicita (ideology)
kungan, adalah contoh bahasa lingkungan, antroposentrisme lama yang tamak ter-
semula tergolong metafora green speak hadap sumber daya alam, sekaligus
yang telah berubah dan kemudian dikate- merusak relasi dengan sesama manusia,
gorikan sebagai brown/black speak. perlu diganti dengan adicita biosentrisme,
Bahasa lingkungan seperti yang diu- dan ekosentrisme. Biosentrisme menghar-
raikan secara singkat di atas perlu dijadikan gai dan menghormati hak hadir dan hak
bahan pembelajaran bagi para peserta hidup semua organisme yang ada di ling-
didik. Pembelajaran yang demikian itu ber- kungan. Boleh memanfaatkannya secara
tujuan agar generasi muda, melalui bahasa terbatas dan terkendali demi kebutuhan
Copyright © 2015, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 1, No.2 Oktober 2015, 360
Copyright © 2015, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 1, No.2 Oktober 2015, 361
hayati dan keberagaman budaya yang ada abahasa (multilingual) dan anekabudaya
di lingkungan, dan (3) kerjasama para lin- (multikultural). Seperangkat leksikon khu-
guis dan para pengelola pembelajaran ba- sus yang berkaitan dengan keane-
hasa (Indonesia, daerah, dan asing). karagaman hayati dan keberagaman sosial-
Di setiap wilayah administrasi negara budaya di lingkungan tertentu dalam baha-
di Indonesia ini, umumnya hidup lebih dari sa-bahasa itu, perlu diberi ruang untuk dit-
dua bahasa, bahasa (-bahasa) daerah dan ampilkan. Dengan demikian, selain inti
bahasa Indonesia. Ada wilayah kabupaten bersama kebahasaan dan kebudayaan, vari-
dan atau juga provinsi yang hanya ada satu asi-variasi lokal dalam setiap bahasa perlu
bahasa daerah (seperti Bali dengan bahasa disajikan dalam buku bacaan yang aneka-
Bali), Banten, atau beberapa daerah lain, di bahasa (multilingual) itu.
samping bahasa Indonesia. Akan tetapi, Pembelajaran anekabahasa, karena
sangat banyak wilayah Indonesia, baik ditulis dalam semua bahasa yang ada, baik
tingkat kabupaten maupun provinsi yang bahasa-bahasa daerah, bahasa Indonesia,
anekabahasa (multilingualism). Yang pent- maupun (intisari atau ringkasannya) dalam
ing ialah bahwa setiap bahasa daerah (yang bahasa Inggris atau bahasa asing lain,
semestinya masih dipelihara oleh para ahli merupakan pilihan yang sangat penting ka-
warisnya) diberi kesempatan dan dijamin rena semua bahasa dijamin hak hidup yang
hak hidup yang sama, hak dipelihara yang setara. Sesuai pula dengan perkembangan
sama, dan tentunya hak untuk dipelajari bahasa anak dan remaja, penyajian pun
secara bersistem oleh para ahli warisnya. sepatutnya menggunakan “ragam bahasa
Selain itu variasi-variasi dialektal dan so- anak dan remaja” dengan ciri-ciri bangunan
sial perlu diperhatikan. kalimat sederhana dan pilihan kata yang
Bertolak dari prinsip kesetaraan dan sederhana pula. Kata dan kalimat yang
keseimbangan itu, maka semua bahasa dae- agak kompleks disesuaikan dengan
rah mempunyai hak yang sama untuk di- perkembangan usia pula.
tulis dalam teks cerita rakyat misalnya. Un- Kemasan isi (content) bahan pem-
tuk itu, hasil kajian dan kodifikasi setiap belajaran yang beraneka ragam, dis-
bahasa yang hidup di wilayah itu, perlu dil- esuaikan dengan kekayaan alam dan bu-
akukan terlebih dahulu. Tidak hanya inti daya di lingkungan itu. Sejarah singkat
tata bahasa yang secara gramatikal dijadi- masyarakatnya, struktur sosial yang ada,
kan pilihan dan tumpuan, namun unsur- seni-budaya, dan rumah-rumah adat (lopo,
unsur dialektal, baik leksikon, fonetis, mbaru niang, sa’oria), permainan rakyat
maupun unsur gramatikal, perlu ditampil- yang nyaris tenggelam, jenis-jenis makanan
kan dalam bahan-bahan bacaan yang tradisi yang mulai tergeser oleh jenis-jenis
disusun. Jadi, ada bahan bacaan yang anek- makanan instan yang diimpor, semuanya
Copyright © 2015, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 1, No.2 Oktober 2015, 362
Copyright © 2015, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 1, No.2 Oktober 2015, 363
Copyright © 2015, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 1, No.2 Oktober 2015, 364
Copyright © 2015, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668