PERSPEKTIF EKOLINGUISTIK1
Abstrak
Kondisi kritis bahasa-bahasa kecil dikarenakan oleh daya dukung penutur yang semakin
sedikit ditambah pula dengan memudarnya rasa memiliki dan rasa tanggung jawab para ahli
waris menyebabkan perlu mendapat perhatian khusus, perlu dikaji dalam rangka pelestarian
bahasa-bahasa kecil. bahasa-bahasa kecil identik dengan bahasa-bahasa lokal, atau bahasa-
bahasa daerah yang merupakan nlai-nilai warisan leluhur. Ada gejala serius yang melanda
(sebagian besar) generasi muda bangsa yakni “ketercerabutaan” (rootlessness) dari akar
lokal. Perubahan lingkungan kebahasaan dan kebudayaan, termasuk arah politik kebahasaan
secara nasional yang kurang jelas dan tidak tegas menjamin keberadaan bahasa-bahasa lokal
dalam implementasinya, merupakan sejumlah faktor yang mengancam masa depan bahasa-
bahasa lokal dengan kandungan nilai-nilai budayanya. pembelajaran multilingual berbasis
lingkungan alam dan budaya, merupakan model pewarisan bahasa-bahasa lokal yang dapat
ditawarkan, bersanding dengan bahasa nasional (kendati secara politis menempati posisi
tertinggi), dan bersama pula dengan bahasa-bahasa asing.
Abstract
The critical condition of languages with a dwindling number of native speakers which is
aggravated by the fading away of the sense of ownership and responsibility on the part of the
heirs cause them to need a special attention, they need to be studied in an effort to preserve
languages with a small number of native speakers. These languages are identical with local
languages, or regional languages that form legacy values from the ancestors. There is a serious
phenomenon that inflicts (a large number) of the nation’s young generation, namely, a
rootlessness from the local roots. Changes in the language environment and culture, including
the vague national language politics that does not firmly guarantee the local languages in its
implementation are some of the factors that threaten the future of local languages with their
cultural values, a natural environment and culture based multilingual instruction is a model
for inheriting local languages that can be offered, hand in hand with the national language
(although politically having the highest status), and together with foreign languages.
Pendahuluan
Daya hidup yang kuat, karena setia digunakan oleh para penuturnya dalam
kehidupan sosial-budaya, menandai keberadaan, kebertahanan, dan kelestarian setiap
bahasa, khususnya bahasa-bahasa kecil. Sebaliknya, bahasa-bahasa yang sudah kurang
atau tidak digunakan lagi oleh penutur-penutur mudanya, dan hanya digunakan oleh
segelintir penutur tua, niscaya kepunahannya hanyalah soal waktu. Realitas hidup bahasa-
bahasa kecil di negeri ini yang umumnya memiliki daya dukung penutur yang semakin
sedikit dan tanpa tradisi tulis, merupakan ancaman dan persoalan yang sangat serius.
Kondisi kritis ini dipertegas pula dengan memudarnya rasa memiliki dan rasa tanggung
1 Artikel ini sudah disajikan pada Seminar Nasional Sehari Pemetaan Bahasa, Manokwari 2015.
181
Vol.1, No.2 Agustus 2015 JURNAL TUTUR ISSN 2442-3475
lokal (local wisdom) yang terekam dalam khazanah leksikon dan teks-teks bahasa
lokal itu. Padahal, bahasa-bahasa lokal dengan muatan makna dan nilainya itu menjadi
pilar-pilar kebhinekaan bangsa.Apakah kebhinekaan masih tetap menjadi kekuatan
filosofi, landasan, dan kebanggaan bangsa Indonesia? Dapat dibayangkan bahwa jikalau
kondisi keterancaman hidup bahasa-bahasa lokal itu tidak diatasi, 25 tahun yang akan
datang, bahasa-bahasa dan unsur-unsur budaya lokal akan hilang dari bumi Indonesia.
Keberagaman bahasa dan budaya Nusantara umumnya, dan keberagaman bahasa,
budaya, dan etnik di beberapa wilayah Indonesia khususnya yang mulai pudar, suatu saat
nanti hanya meninggalkan kenangan. Tampaknya tidak disadari bahwa membangun jati
diri, membangun kekuatan diri, dan mengembangkan kebudayaan yang berkepribadian,
sesungguhnya hanyalah melalui bahasa nasional bahasa Indonesia dan hanyalah dengan
dan dalam bahasa-bahasa dan budaya-budaya lokalnya sebagai pilar primordial, dan
bukan pula dengan dan dalam bahasa-bahasa asing manapun. Untuk itu pemetaan kembali
kondisi nyata kehidupan dan pengidentifikasian masalah-masalah kebahasaan yang
dirioritaskan untuk dikaji dan diberdayakan, merupakan langkah-langkah yang sangat
mendesak, penting, dan strategis.Pendekatan terpadu yang bersifat multidisipliner dalam
koridor kelinguistikan berskala mikro dan makro menjadi pilihan yang penting, selain
bersinergi dengan bidang-bidang keilmuan lainnya.
verbal, lisan, dan tulisan. Akan tetapi, yang perlu disadari ialah bahwa lingkungan
social kebahasaan tidaklah homogen, dalam arti ekabahasa (monolingual), melainkan
dinamis dan semakin multibahasa. Dalam kenyataannya, bahasa juga tidaklah seragam
melainkan variatif sebagai satu bahasa dan variasi itu berkaitan pula dengan lingkungan
hidup bahasa (-bahasa) itu. Bahasa-bahasa kecil dan bahasa besar, bahasa kuat dan
bahasa lemah, bahasa–bahasa terancam dan bahasa-bahasa yang terjamin kelestariannya,
secara metaforik menggambarkan lingkungan bahasa yang multilingual (lihat Haugen,
1992, 2001).Di dalam lingkungan kebahasaan yang multilingual itulah (dalil lingkungan
hidup), dominasi dan hegemoni terjadi. Bahasa yang besar dan kuat, baik secara politik,
ekonomi, maupun budayalah yang dapat bersaing dan bertahan hidup, dan dalam
masyarakat bahkan individu yang sama, bahasa-bahasa yang kuat juga meminggirkan
dan mengerdilkan bahasa-bahasa yang kecil dan lemah. Tanpa “perlindungan dan
keadilan” politik, utamanya kebijakan kebahasaan yang menjamin hak-hak hidup semua
bahasa, secara khusus bahasa-bahasa yang masih dipedulikan dan dipelihara oleh para
ahli warisnya, kondisi keterancaman dan keterpinggiran, ajal kepunahannya, hanyalah
soal waktu. Jadi, sebelum bahasa-bahasa tertentu yang kecil dan lemah daya hidupnya itu
menemukan ajalnya, seharusnyalah bahasa-bahasa itu segera didokumentasikan secara
lengkap, baik dimensi mikrolinguistiknya maupun dimensi makrolinguistiknya, di sisi
upaya-upaya strategis untuk mempertahankannya.
Simpulan
Keanekaragaman bahasa, budaya, dan etnik adalah hakikat kehidupan manusia
khususnya dalam naungan hidup lingkungan alam dan ekosistem yang beranekaragam.
Sebagai bangsa yang majemuk dengan filosofi dan kearifan hidup Bhineka Tunggal Ika,
keberagaman bangsa tercermin secara unik pada bahasa-bahasa lokal. Bahasa nasional
memang perekat bangsa, pembentuk jiwa keindonesiaan, dan sarana pengembangan
kebudayaan Indonesia. Demikian pula bahasa-bahasa asing adalah jembatan penghubung
antarbangsa.Akan tetapi, bahasa-bahasa lokal adalah pilar-pilar negara-bangsa Indonesia.
Dengan demikian, pelestarian bahasa-bahasa lokal merupakan bagian penting dari upaya
untuk mempertahankan dan melestarikan kebersamaan dalam keberbedaaan bahasa-
bahasa sebagai wadah kebudayaan lokal dan identitas keetnikan.
Saling melestarikan adalah frasa kunci jikalau pendekatan terpadu dapat dijadikan
salah satu model. Perangkat leksikon dan ungkapan metaforik berkaitan dengan entitas-
entitas yang bermanfaat bagi manusia khususnya, kendati bersifat antroposentrisme
(sepanjang terkendali) yang direkam dalam pelbagai bahasa lokal, selanjutnya dipadukan
juga dengan upaya pelestarian dan pembudidayaan entitas-entitas berbasis teknologi
tradisi dan budaya asli, merupakan upaya pelestarian budaya lokal pula.Entitas-entitas
di lingkungan yang dikodekan secara leksikon adalah keanekaragaman yang ada di
lingkungan, yang demi kebutuhan, keharmonisan, dan keseimbangan hidup, harus
tetap hidup berdampingan dengan budaya dan perangkat kebahasaan bahasa-bahasa
lokal. Dengan demikian, dimensi biologikalnya dijamin (dengan dimensi biosentrisme),
disangga dengan adicita biosentrisme dan kosmosentrisme, paham yang menjadikan hidup
dan kehidupan di tengah alam sebagai pusat, niscaya mikrokosmos manusia pun akan
tetap terjaga. Ini berarti, keberagaman bahasa (bahasa-bahasa lokal, bahasa nasional, dan
bahasa internasional juga dapat saling menghidupkan). Di sisi lain, keberagaman budaya,
dan keanekaragaman lingkungan dapat dipertahankan keberadaan secara berimbang,
serasi, dan berkelanjutan demi kelestarian bumi dengan segala isinya, dan tentunya bagi
anak cucu bangsa ini.
Sebagai catatan penutup, pembelajaran multilingual berbasis lingkungan alam
dan budaya, merupakan model pewarisan bahasa-bahasa lokal yang dapat ditawarkan,
bersanding dengan bahasa nasional (kendati secara politis menempati posisi tertinggi), dan
bersama pula dengan bahasa-bahasa asing. Kehidupan lokal berbasis etnik dan lingkungan
budaya serta alamnya yang unik, demikian juga kekayaan budaya nasional yang diwadahi
dengan bahasa Indonesia, merupakan kekuatan perekat dan pengembang sumber daya
bangsa, dengan memanfaatkan pula bahasa-bahasa asing dalam pergaulan dan kehidupan
global. Berbasiskan bahasa-bahasa lokal dengan kandungan makna dan nilai kearifan
lokalnya, kekuatan nasional dapat diramu dan disangga menjadi lebih kokoh.
Daftar Pustaka
Downes, William, 1984. ‘Knowledge of Words and Knowledge of World’ dalam William Downess 1984.
Language and Society.London: Fontana paperback.
Fill, Alwin and Peter Muhlhausler, 2001 (Eds). The Ecolinguistic Reader: Language, Ecology, and
Environment. London and New York: Continuum.
Graddol, David 2011 (Ed.) Applied Linguistics for the 21st Century. AILA Review 14.E-book.Copies from
http://www.english.co.uk.
Halliday, M.A.K 1978 ‘Language and Social Man, Language and Environment’ dalam Halliday, M.A.K
Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning. London:
Edward Arnold.
Halliday, M.A. K 2001 ‘Ecocritisism of the Language System’ dalam Fill and Peter Muhlhausler (eds)
2001. The Ecolinguistics Reader.Language, Ecology, and Environment.London and New York:
Continuum.
Keraf, A. Sony 2014. Filsafat Lingkungan: ALam sebagai Sebuah SIstem Kehidupan. Bersama Fritjof
Capra. Yogyakarta: Kanisius.
Lindo, Anna Vibeke & Jeppe Bundsgaard (eds), 2000. Dialectical Ecolinguistics. Three Essays for The
Symposium 30 Years of Language and Eolology in Graz December 2000. Odense: University of
Odense. Research Group for Ecology, Language & Ideology Nurdin Institut.
Mbete, Aron Meko 2008. ‘Ekolinguistik: Perspektif Kelinguistikan yang Prospektif’. Bahan Matrikulasi
Program Magister dan Doktor Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana 2008.
Mbete, Aron Meko, 2013. Penuntun Singkat Penulisan Proposal Penelitian Ekolinguistik. Denpasar:
Vidia.
Phillipson, Robert & Tove Skutnabb-Kangas 2001.“A Human Rights Perspective on Language Ecology”
dalam Angela Creese, Peter Martin & Nancy Homberger (Eds.) in volume 9 Ecology of
Language.
Preziosi, Donald 1984. ‘Relations between Environmental and Linguistic Structure’ dalam Fawcett et. al
(Eds) 1984. The Semiotics of Culture and Language.London: Frances Pinter
Swadesh, Morris dalam Sherzer, Joel (ed). 1972. The Origin and Diversification of Language. London:
Routledge & Kegan Paul.
Volosinov, V. N 1973.Marxism and The Philosophy of Language. New York: Seminar Press.