Anda di halaman 1dari 8

MASALAH KEBAHASAAN DALAM KERANGKA PELESTARIANNYA:

PERSPEKTIF EKOLINGUISTIK1

Aron Meko Mbete


Universitas Udayana
aronmbete@yahoo.com

Abstrak
Kondisi kritis bahasa-bahasa kecil dikarenakan oleh daya dukung penutur yang semakin
sedikit ditambah pula dengan memudarnya rasa memiliki dan rasa tanggung jawab para ahli
waris menyebabkan perlu mendapat perhatian khusus, perlu dikaji dalam rangka pelestarian
bahasa-bahasa kecil. bahasa-bahasa kecil identik dengan bahasa-bahasa lokal, atau bahasa-
bahasa daerah yang merupakan nlai-nilai warisan leluhur. Ada gejala serius yang melanda
(sebagian besar) generasi muda bangsa yakni “ketercerabutaan” (rootlessness) dari akar
lokal. Perubahan lingkungan kebahasaan dan kebudayaan, termasuk arah politik kebahasaan
secara nasional yang kurang jelas dan tidak tegas menjamin keberadaan bahasa-bahasa lokal
dalam implementasinya, merupakan sejumlah faktor yang mengancam masa depan bahasa-
bahasa lokal dengan kandungan nilai-nilai budayanya. pembelajaran multilingual berbasis
lingkungan alam dan budaya, merupakan model pewarisan bahasa-bahasa lokal yang dapat
ditawarkan, bersanding dengan bahasa nasional (kendati secara politis menempati posisi
tertinggi), dan bersama pula dengan bahasa-bahasa asing.

Kata kunci: bahasa lokal, lingkungan, Fenomena

Abstract
The critical condition of languages with a dwindling number of native speakers which is
aggravated by the fading away of the sense of ownership and responsibility on the part of the
heirs cause them to need a special attention, they need to be studied in an effort to preserve
languages with a small number of native speakers. These languages are identical with local
languages, or regional languages that form legacy values from the ancestors. There is a serious
phenomenon that inflicts (a large number) of the nation’s young generation, namely, a
rootlessness from the local roots. Changes in the language environment and culture, including
the vague national language politics that does not firmly guarantee the local languages in its
implementation are some of the factors that threaten the future of local languages with their
cultural values, a natural environment and culture based multilingual instruction is a model
for inheriting local languages that can be offered, hand in hand with the national language
(although politically having the highest status), and together with foreign languages.

Keywords: Local languages, environment, phenomenon.

Pendahuluan
Daya hidup yang kuat, karena setia digunakan oleh para penuturnya dalam
kehidupan sosial-budaya, menandai keberadaan, kebertahanan, dan kelestarian setiap
bahasa, khususnya bahasa-bahasa kecil. Sebaliknya, bahasa-bahasa yang sudah kurang
atau tidak digunakan lagi oleh penutur-penutur mudanya, dan hanya digunakan oleh
segelintir penutur tua, niscaya kepunahannya hanyalah soal waktu. Realitas hidup bahasa-
bahasa kecil di negeri ini yang umumnya memiliki daya dukung penutur yang semakin
sedikit dan tanpa tradisi tulis, merupakan ancaman dan persoalan yang sangat serius.
Kondisi kritis ini dipertegas pula dengan memudarnya rasa memiliki dan rasa tanggung

1 Artikel ini sudah disajikan pada Seminar Nasional Sehari Pemetaan Bahasa, Manokwari 2015.
181
Vol.1, No.2 Agustus 2015 JURNAL TUTUR ISSN 2442-3475

jawab para ahli warisnya.


Ada gejala serius pula bahwasanya generasi muda dan remaja bangsa khususnya
semakin pragmatis, lebih berorientasi dan memilih untuk mempelajari dan menguasai
bahasa asing, dan mengabaikan bahasa daerah atau bahasa lokal. Bahasa Inggris bahkan
mulai dibelajarkan sajak usia dini di Taman Kanak-kanak atau Sekolah Dasar. Kondisi
yang demikian jelas mengancam kehidupan bahasa-bahasa kecil, khususnya bahasa-
bahasa lokal di Indonesia.Indonesia adalah negara-bangsa yang mengakui jati diri dan
filosofi hidupnya sebagai negeri dan bangsa yang bhineka tunggal ika, bangsa yang
majemuk.
Pengakuan, penegakan, dan perwujudan nyata hak-hak hidup komunitas etnik
dengan bahasa dan budaya lokalnya, perlu disadari sebagai dasar dan pilar kehidupan
kebangsaan (lihat Kymlicka, 2007).Kandungan makna di dalam semboyan itu patut
direfleksikan, dikritisi, dan dikonstruksi kembali secara kreatif.
Keanekaan bahasa, yang tidak terlepas dari keanekaan budaya, tradisi, dan etnik
di negeri ini, adalah pilar(-pilar) kemajemukan yang sejatinya menjadi kekuatan dan
karakter bangsa Indonesia. Situasi kritis kehidupan nasional berbasis keanekaan bahasa
(yang identik dengan keanekaaan tradisi, keberagaman budaya, dan tentu pula berbasis
keberagaman etnik) yang demikian ini, jika dibiarkan, niscaya pilar kebangsaan pada
abad berikutnya dapat diprediksikan. Bahwasanya jikalau pada masa-masa datang,
“hanyalah” bahasa Indonesia dan beberapa bahasa lokal yang tergolong bahasa besar
saja yang hidup, ditambah lagi pembiaran dominasi, hegemoni, dan imperialisme bahasa-
bahasa asing tanpa kendali, niscaya wajah kehidupan bangsa ini kehilangan jati dirinya
sebagai negara-bangsa. Dalam konteks tulisan singkat ini, bahasa-bahasa kecil identik
dengan bahasa-bahasa lokal, atau bahasa-bahasa daerah yang merupakan nlai-nilai
warisan leluhur. Pada hakikatnya, warisan leluhur adalah nilai-nilai kehidupan masa
lalu yang diperuntukan bagi generasi masa kini dan masa datang.Masa lalu mengemban
nilai-nilai sejarah yang menjadi pijakan dan pilar jati diri sebagai komunitas-komunitas
etnik tersendiri.Komunitas-komunitas etnik dengan tradisi, budaya, dan bahasanya itulah
yang memilari negara-bangsa Indonesia yang majemuk ini.Tanpa niatan untuk mengusik
keutuhan negeri, kesadaran kritis dan kekuatan bangsa pada jenjang bawah yang berbasis
etnik, budaya, dan bahasa lokal seharusnya menjadi keniscayaan.

Persoalan Kebahasaan Lokal secara Nasional


Kenyataan menunjukkan bahwa bahasa-bahasa lokal sebagai warisan luluhur
dan kekayaan budaya bangsa semakin ditinggalkan oleh para ahli warisnya. Proses
pengalihan antargenerasi (transmisi) melalui pembelajaran informal, apalagi pada jalur
formal semakin tidak mendukung daya hidup bahasa-bahasa lokal. Akibatnya, dislokasi
dan disorientasi generasi muda bangsa kian menggejala kuat (Azra, 2007).Ada gejala
serius yang melanda (sebagian besar) generasi muda bangsa yakni “ketercerabutaan”
(rootlessness) dari akar lokal. Perubahan lingkungan kebahasaan dan kebudayaan,
termasuk arah politik kebahasaan secara nasional yang kurang jelas dan tidak tegas
menjamin keberadaan bahasa-bahasa lokal dalam implementasinya, merupakan sejumlah
faktor yang mengancam masa depan bahasa-bahasa lokal dengan kandungan nilai-nilai
budayanya. Padahal, sebagian besar di antara bahasa-bahasa lokal itu, merupakan bahasa
ibu (mother tangue) yang sarat makna dan nilai kehidupan insani, sosial, dan kultural.

182 Masalah Kebahasaan Dalam Kerangka Pelestariannya: Perspektif Ekolinguistik


Aron Meko Mbete
Vol.1, No.2 Agustus 2015 JURNAL TUTUR ISSN 2442-3475

Secara konstitusional sesungguhnya sudah tersurat sangat jelas jaminan hidup


bahasa-bahasa lokal di Indonesia. Secara de yure memang telah dirumuskan di atas
kertas (dalam UUD 1945), namun secara de facto masih menggalaukan. Itulah kondisi
hidup bahasa-bahasa lokal. Disadari bahwa sebagai suprasistem kebahasaan dan politik
kebahasaan secara nasional, bahasa Indonesia memang memiliki posisi tertinggi,
“mengatasi” posisi dan melebihi fungsi semua bahasa yang ada di negeri ini (baik bahasa-
bahasa lokal maupun bahasa-bahasa asing manapun). Kedudukan dan perannya dalam
menumbuhkan “roh” kebangsaan Indonesia, merawat kesatuan, memelihara keutuhan,
kekuatan, dan jati diri bangsa Indonesia, bahasa Indonesia memang tak tergantikan.
Demikian juga demi kemajuan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta seni
sastra Indonesia khususnya, peran bahasa Indonesia sangat strategis dan harus terus
ditingkatkan. Dalam perkembangannya yang melintasi kehidupan secara internasional,
daya sebar bahasa Indonesia pun memperlihatkan kekuatan budaya dan politik luar
negerinya yang patut dibanggakan. Bahasa Indonesia dipelajari oleh banyak bangsa di
dunia, menjelang era perdagangan bebas. Tertera dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2009 (tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang, serta Lagu Kebangsaan), keberadaan bahasa
Indonesia secara fungsional menguatkan daya saing lingual-kultural bangsa Indonesia
dengan bahasa-bahasa dunia atau bahasa-bahasa asing lainnya. Rumusan undang-
undang itu menegaskan kemauan politik bangsa dalam membangun kekuatan politik luar
negeri. Secara nasional dan internasional, bahasa Indonesia merepresentasikan kekuatan
bangsa Indonesia dalam pergaulan dan persaingan bahasa dan budaya antarbangsa dan
antarnegara.
Kehidupan global dan semakin “menyatunya” bangsa-bangsa di dunia berkat
prestasi teknologi mutakhir dengan infrastruktur komunikasi dan kecepatan daya sebar
informasi melalui media-media social, meluas pula bahasa-bahasa asing, utamanya
bahasa Inggris, di sisi bahasa Mandarin, Jepang, dan beberapa bahasa asing lainnya.
Semuanya itu menjadi pemenuh kebutuhan hidup masyarakat global yang mendominasi
dan menghegemoni kekuatan dan daya hidup bahasa-bahasa lokal, bahkan juga bahasa
nasional.Sebagian besar generasi muda bangsa lebih bangga berbahasa Inggris, bukan
berbahasa lokal yang berfungsi memberi ciri kelokalan.Kebutuhan akan bahasa-bahasa
asing memang telah menjadi sebuah keniscayaan hidup sebagian warga bangsa yang makin
lama makin pragmatis ini. Terasa dilupakan bahwa jika dikaitkan dengan jati diri dan
kepribadian sebagai manusia Indonesia, dimensi kelokalan dengan ruang primordialnya
berbasis etnik, budaya, tradisi, dan tentunya diwadahi bahasa lokal (lihat Masinambow,
1999) dan dimensi kenasionalan di bidang kebahasaan dan kebudayaan Indonesia, sudah
seharusnyalah diperkuat. Ini adalah tuntutan jati diri, harga diri, dan kebanggaan diri
sebagai negara-bangsa yang majemuk.
Disimak sepintas dengan kacamata pragmatisme, penguasaan dan penggunaan
bahasa-bahasa asing terasa lebih terjamin dan lebih menjanjikan daripada bahasa-bahasa
lokal.Bahasa-bahasa lokal dianggap tidak penting bagi kehidupan bangsa, bangsa yang
mengandung filosofi kebhinekaan, termasuk kebhinekaan bahasa.Kecuali beberapa bahasa
lokal yang tergolong bahasa besar dan kuat (Jawa, Sunda, dan Bali), banyak bahasa lokal
di negeri ini semakin terancam keberadaannya.Sebagian besar bahasa lokal di negeri ini
terancam punah.Ancaman itu jelas memudarkan ciri jati diri komunitas etnik. Seiring
dengan itu sirna pula nilai-nilai warisan leluhur, adicita (ideology), dan aneka kearifan

Masalah Kebahasaan Dalam Kerangka Pelestariannya: Perspektif Ekolinguistik 183


Aron Meko Mbete
Vol.1, No.2 Agustus 2015 JURNAL TUTUR ISSN 2442-3475

lokal (local wisdom) yang terekam dalam khazanah leksikon dan teks-teks bahasa
lokal itu. Padahal, bahasa-bahasa lokal dengan muatan makna dan nilainya itu menjadi
pilar-pilar kebhinekaan bangsa.Apakah kebhinekaan masih tetap menjadi kekuatan
filosofi, landasan, dan kebanggaan bangsa Indonesia? Dapat dibayangkan bahwa jikalau
kondisi keterancaman hidup bahasa-bahasa lokal itu tidak diatasi, 25 tahun yang akan
datang, bahasa-bahasa dan unsur-unsur budaya lokal akan hilang dari bumi Indonesia.
Keberagaman bahasa dan budaya Nusantara umumnya, dan keberagaman bahasa,
budaya, dan etnik di beberapa wilayah Indonesia khususnya yang mulai pudar, suatu saat
nanti hanya meninggalkan kenangan. Tampaknya tidak disadari bahwa membangun jati
diri, membangun kekuatan diri, dan mengembangkan kebudayaan yang berkepribadian,
sesungguhnya hanyalah melalui bahasa nasional bahasa Indonesia dan hanyalah dengan
dan dalam bahasa-bahasa dan budaya-budaya lokalnya sebagai pilar primordial, dan
bukan pula dengan dan dalam bahasa-bahasa asing manapun. Untuk itu pemetaan kembali
kondisi nyata kehidupan dan pengidentifikasian masalah-masalah kebahasaan yang
dirioritaskan untuk dikaji dan diberdayakan, merupakan langkah-langkah yang sangat
mendesak, penting, dan strategis.Pendekatan terpadu yang bersifat multidisipliner dalam
koridor kelinguistikan berskala mikro dan makro menjadi pilihan yang penting, selain
bersinergi dengan bidang-bidang keilmuan lainnya.

Ekolinguistik dan Telaah Kritis


Dalam perspektif ekolinguistik, bahasa adalah gambaran tentang realitas,
gambaran tentang pengetahuan dan pengalaman manusia. Dalam hal ini komunitas
tuturnya tentang dunia nyata, di sisi dunia imajinasi, yang ada di lingkungannya. Bahasa
lingkungan, secara khusus bahasa hijau (green grammar), atau analog dengan itu, bahasa
biru (laut dan kebaharian), adalah representasi alam sekitarnya (makrokosmos atau buana
agung). Di dalam alam raya itulah, reprersentasi atau gambaran tentang realitas manusia,
masyarakat, dan budaya dalam ruang mikrokosmos atau buana alit.
Khazanah leksikon yang lengkap dan renik bertautan sebagai kode lingual dengan
rujukan makna referensial (band. Verhaar, 2009; Fill, 2001) menggambarkan hubungan
atau interrelasi adalah kekayaan pengalaman dan pengetahuan tentang realitas ragawi
yang ada di kitaran tertentu dengan karakteristikya. Di samping itu, pola penghidupan
bahkan profesi dan kreasi guyub tuturnya, dan di sisi lain gambaran tentang gagasan dan
khazanah ide mereka (Sapir, 2001). Dunia atau lingkungan kesaguan tergambar dalam
perangkat leksikon dan istilah, dan dalam bahasa dan budaya sagu di Papua Barat (Quin,
2013).Demikian pula bahasa dan budaya padi etnik Kodi, Sumba Barat, adalah representasi
komunitas dengan sumber daya alam mereka. Dengan demikian, bahasa lingkungan (yang
hijau dan bahasa biru laut misalnya, adalah akumulasi (representasi) pengetahuan dan
pengalaman komunitas tutur, hasil interaksi, interelesi, dan interdependensi guyub tutur
dengan keanekaragaman apapun (yang bernyawa dan tak bernyawa, biotik dan abiotik) di
lingkungan tertentu yang dikodekan secara verbal dalam wadah kata (words, lexicon) dan
aneka teks, semenjak (terutama) manusia mulai hidup menetap (lihat Halliday, 2001).
Bahasa manapun memang hidup dan menempati lingkungan (ruang) sosial
dan (dalam guyub tutur itu pula) ruang atau lingkungan ragawi yang ditempati oleh
manusia.Lingkungan bahasa menurut Haugen (1992, 2001) ada dalam otak dan hidup
nyata melalui penggunaannya dalam kehidupan social, hidup nyata dalam interaksi

184 Masalah Kebahasaan Dalam Kerangka Pelestariannya: Perspektif Ekolinguistik


Aron Meko Mbete
Vol.1, No.2 Agustus 2015 JURNAL TUTUR ISSN 2442-3475

verbal, lisan, dan tulisan. Akan tetapi, yang perlu disadari ialah bahwa lingkungan
social kebahasaan tidaklah homogen, dalam arti ekabahasa (monolingual), melainkan
dinamis dan semakin multibahasa. Dalam kenyataannya, bahasa juga tidaklah seragam
melainkan variatif sebagai satu bahasa dan variasi itu berkaitan pula dengan lingkungan
hidup bahasa (-bahasa) itu. Bahasa-bahasa kecil dan bahasa besar, bahasa kuat dan
bahasa lemah, bahasa–bahasa terancam dan bahasa-bahasa yang terjamin kelestariannya,
secara metaforik menggambarkan lingkungan bahasa yang multilingual (lihat Haugen,
1992, 2001).Di dalam lingkungan kebahasaan yang multilingual itulah (dalil lingkungan
hidup), dominasi dan hegemoni terjadi. Bahasa yang besar dan kuat, baik secara politik,
ekonomi, maupun budayalah yang dapat bersaing dan bertahan hidup, dan dalam
masyarakat bahkan individu yang sama, bahasa-bahasa yang kuat juga meminggirkan
dan mengerdilkan bahasa-bahasa yang kecil dan lemah. Tanpa “perlindungan dan
keadilan” politik, utamanya kebijakan kebahasaan yang menjamin hak-hak hidup semua
bahasa, secara khusus bahasa-bahasa yang masih dipedulikan dan dipelihara oleh para
ahli warisnya, kondisi keterancaman dan keterpinggiran, ajal kepunahannya, hanyalah
soal waktu. Jadi, sebelum bahasa-bahasa tertentu yang kecil dan lemah daya hidupnya itu
menemukan ajalnya, seharusnyalah bahasa-bahasa itu segera didokumentasikan secara
lengkap, baik dimensi mikrolinguistiknya maupun dimensi makrolinguistiknya, di sisi
upaya-upaya strategis untuk mempertahankannya.

Prioritas Kajian dalam Perspektif Ekolinguistik


Kebertahaman untuk tetap hidup, terutama dalam mewujudkan kebhinekaan
bangsa Indonesia dalam segi-segi kebahasaan, seharusnya ditopang dengan strategi
pengembangan penelitian dan pemberdayaan bahasa-bahasa lokal khususnya. Bahwa
dalam perjalanan waktu ada sejumlah bahasa kecil dan lemah akan hilang, memang
tak terhindarkan. Akan tetapi, strategi mempertahankan bahasa-bahasa lokal agar tetap
hidup, berfungsi, dan berkelanjutan, hasil-hasil penelitian yang aplikatif sangatah
penting. Seperti disinggung di atas, bahasa menggambarkan realitas lingkungan ragawi
(fisik) yang ada di sekitarnya, baik realitas alam maupun realitas manusia, masyarakat
dan kebudayaannya. Dengan demikian, dinamika dan perubahan bahasa mencerminkan
dinamika dan perubahan lingkungan alam (natural) maupun lingkungan manusia dengan
masyarakat dan kebudayaannya.
Penelitian segi-segi mikrolinguistik dan makrolinguistik secara berimbang sangat
diperlukan. Pendokumentasian secara lengkap berdasarkan hasil pemerian (deskripsi)
yang mendalam tataran-tataran kebahasaan (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantic)
suatu bahasa merupakan masalah yang perlu dilakukan lebih awal.Demikian pula pemerian
yang lengkap dan tuntas segi-segi kebahasaan secara makrolinguistik (sosiolinguistik,
antropolinguistik, linguistik kultural, etnolinguistik, ekolinguistik, bahkan sosio-
demografi linguistik), sangatlah penting.
Dalam perspektif ekolinguistik, tema utama dan topik-topik penting perlu
dirumuskan lebih awal sebagai payung, sekaligus menjadi arah serta sasaran pengkajian
bahasa. Tema utama “Perubahan Bahasa Merepresentasikan Perubahan Lingkungan”
(alam dan manusia) dapat memayungi sejumlah topik penting kajian ekolinguistik berikut
ini.
1) Penggalian pengalaman, pengetahuan, dan pengkodeannya secara verbal dalam

Masalah Kebahasaan Dalam Kerangka Pelestariannya: Perspektif Ekolinguistik 185


Aron Meko Mbete
Vol.1, No.2 Agustus 2015 JURNAL TUTUR ISSN 2442-3475

bahasa-bahasa lokal, baik pada tataran leksikon, ungkapan-ungkapan tradisional


(dalam kaitan dengan tradisi lisan), maupun teks-teks mutakhir, sangatlah penting.
Khazanah kebahasaan tersebut, mungkin saja hanya dimiliki sebagai pengetahuan
lokal (local knowledge dengan kandungan local wisdomnya). Dari teks ke konteks
kekinian, untuk membedah daya-daya (energy) makna dan nilai penggunaannya,
juga kesenjangan lingual-kultural antargenerasi penutur bahasa lokal, merupakan
arah pengembangan penelitian yang sangat penting, terutama fungsi bahasa demi
merawat lingkungan alam dan lingkungan manusia.
2) Penggalian dan pemetaan daya hidup bahasa-bahasa lokal. Ragam-ragam dan
register-register utama mana saja yang memiliki daya hidup perlu dipetakan
secara cermat. Dalam kaitan ini, fungsi representasional, ideasional, dan
referensial ekstrernal segi-segi kebahasaan (khazanah leksikon, tuturan-tuturan,
ungkapan-ungkapan, dan wacana-wacana ekologis, baik yang bersifat konstruktif-
konservatif, maupun yang desktruktif-ekploitatif, dalam rangka membongkar dan
menemukan fakta hubungan yang korelatif antara kebertahanan dan perubahan
bahasa dan sebaliknya, bahkan ketercemaran, kedisharmonisan, dan kerusakan
lingkungan yang ragawi-alami dan insani (sosial-budaya), sangatlah strategis dan
mendesak.
3) Aneka ungkapan yang metaforik, baik yang memiliki daya rawat maupun daya
cemar atau daya rusak atas keharmonisan relasi timbal-balik antara manusia
dengan lingkungan, merupakan topik-topik kajian yang layak dilakukan.

Simpulan
Keanekaragaman bahasa, budaya, dan etnik adalah hakikat kehidupan manusia
khususnya dalam naungan hidup lingkungan alam dan ekosistem yang beranekaragam.
Sebagai bangsa yang majemuk dengan filosofi dan kearifan hidup Bhineka Tunggal Ika,
keberagaman bangsa tercermin secara unik pada bahasa-bahasa lokal. Bahasa nasional
memang perekat bangsa, pembentuk jiwa keindonesiaan, dan sarana pengembangan
kebudayaan Indonesia. Demikian pula bahasa-bahasa asing adalah jembatan penghubung
antarbangsa.Akan tetapi, bahasa-bahasa lokal adalah pilar-pilar negara-bangsa Indonesia.
Dengan demikian, pelestarian bahasa-bahasa lokal merupakan bagian penting dari upaya
untuk mempertahankan dan melestarikan kebersamaan dalam keberbedaaan bahasa-
bahasa sebagai wadah kebudayaan lokal dan identitas keetnikan.
Saling melestarikan adalah frasa kunci jikalau pendekatan terpadu dapat dijadikan
salah satu model. Perangkat leksikon dan ungkapan metaforik berkaitan dengan entitas-
entitas yang bermanfaat bagi manusia khususnya, kendati bersifat antroposentrisme
(sepanjang terkendali) yang direkam dalam pelbagai bahasa lokal, selanjutnya dipadukan
juga dengan upaya pelestarian dan pembudidayaan entitas-entitas berbasis teknologi
tradisi dan budaya asli, merupakan upaya pelestarian budaya lokal pula.Entitas-entitas
di lingkungan yang dikodekan secara leksikon adalah keanekaragaman yang ada di
lingkungan, yang demi kebutuhan, keharmonisan, dan keseimbangan hidup, harus
tetap hidup berdampingan dengan budaya dan perangkat kebahasaan bahasa-bahasa
lokal. Dengan demikian, dimensi biologikalnya dijamin (dengan dimensi biosentrisme),
disangga dengan adicita biosentrisme dan kosmosentrisme, paham yang menjadikan hidup
dan kehidupan di tengah alam sebagai pusat, niscaya mikrokosmos manusia pun akan

186 Masalah Kebahasaan Dalam Kerangka Pelestariannya: Perspektif Ekolinguistik


Aron Meko Mbete
Vol.1, No.2 Agustus 2015 JURNAL TUTUR ISSN 2442-3475

tetap terjaga. Ini berarti, keberagaman bahasa (bahasa-bahasa lokal, bahasa nasional, dan
bahasa internasional juga dapat saling menghidupkan). Di sisi lain, keberagaman budaya,
dan keanekaragaman lingkungan dapat dipertahankan keberadaan secara berimbang,
serasi, dan berkelanjutan demi kelestarian bumi dengan segala isinya, dan tentunya bagi
anak cucu bangsa ini.
Sebagai catatan penutup, pembelajaran multilingual berbasis lingkungan alam
dan budaya, merupakan model pewarisan bahasa-bahasa lokal yang dapat ditawarkan,
bersanding dengan bahasa nasional (kendati secara politis menempati posisi tertinggi), dan
bersama pula dengan bahasa-bahasa asing. Kehidupan lokal berbasis etnik dan lingkungan
budaya serta alamnya yang unik, demikian juga kekayaan budaya nasional yang diwadahi
dengan bahasa Indonesia, merupakan kekuatan perekat dan pengembang sumber daya
bangsa, dengan memanfaatkan pula bahasa-bahasa asing dalam pergaulan dan kehidupan
global. Berbasiskan bahasa-bahasa lokal dengan kandungan makna dan nilai kearifan
lokalnya, kekuatan nasional dapat diramu dan disangga menjadi lebih kokoh.

Daftar Pustaka

Downes, William, 1984. ‘Knowledge of Words and Knowledge of World’ dalam William Downess 1984.
Language and Society.London: Fontana paperback.

Dwisusilo, Rachmad K 2008. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: Rajawali Press.

Fill, Alwin and Peter Muhlhausler, 2001 (Eds). The Ecolinguistic Reader: Language, Ecology, and
Environment. London and New York: Continuum.

Graddol, David 2011 (Ed.) Applied Linguistics for the 21st Century. AILA Review 14.E-book.Copies from
http://www.english.co.uk.

Halliday, M.A.K 1978 ‘Language and Social Man, Language and Environment’ dalam Halliday, M.A.K
Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning. London:
Edward Arnold.

Halliday, M.A. K 2001 ‘Ecocritisism of the Language System’ dalam Fill and Peter Muhlhausler (eds)
2001. The Ecolinguistics Reader.Language, Ecology, and Environment.London and New York:
Continuum.

Haugen, Einar 1972. TheEcology of Language.Stanford, CA: Standford University Press.

Keraf, Sony 2002.Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Keraf, A. Sony 2014. Filsafat Lingkungan: ALam sebagai Sebuah SIstem Kehidupan. Bersama Fritjof
Capra. Yogyakarta: Kanisius.

Lindo, Anna Vibeke & Jeppe Bundsgaard (eds), 2000. Dialectical Ecolinguistics. Three Essays for The
Symposium 30 Years of Language and Eolology in Graz December 2000. Odense: University of
Odense. Research Group for Ecology, Language & Ideology Nurdin Institut.

Mbete, Aron Meko 2008. ‘Ekolinguistik: Perspektif Kelinguistikan yang Prospektif’. Bahan Matrikulasi
Program Magister dan Doktor Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana 2008.

Mbete, Aron Meko, 2013. Penuntun Singkat Penulisan Proposal Penelitian Ekolinguistik. Denpasar:
Vidia.

Mufwene, Salikoko S. 2004. The Ecology of Language Evolution.Cambridge: Cambridge Universiy


Press.

Masalah Kebahasaan Dalam Kerangka Pelestariannya: Perspektif Ekolinguistik 187


Aron Meko Mbete
Vol.1, No.2 Agustus 2015 JURNAL TUTUR ISSN 2442-3475

Phillipson, Robert & Tove Skutnabb-Kangas 2001.“A Human Rights Perspective on Language Ecology”
dalam Angela Creese, Peter Martin & Nancy Homberger (Eds.) in volume 9 Ecology of
Language.

Preziosi, Donald 1984. ‘Relations between Environmental and Linguistic Structure’ dalam Fawcett et. al
(Eds) 1984. The Semiotics of Culture and Language.London: Frances Pinter

Swadesh, Morris dalam Sherzer, Joel (ed). 1972. The Origin and Diversification of Language. London:
Routledge & Kegan Paul.

Volosinov, V. N 1973.Marxism and The Philosophy of Language. New York: Seminar Press.

188 Masalah Kebahasaan Dalam Kerangka Pelestariannya: Perspektif Ekolinguistik


Aron Meko Mbete

Anda mungkin juga menyukai