Anda di halaman 1dari 10

Struktur Sosial

STRUKTUR SOSIAL
Oleh: Rilus A. Kinseng

Pengantar
Seperti dikatakan oleh Sewell (1992), terminologi “struktur” merupakan
sebuah konsep yang sangat penting dalam ilmu sosial kontemporer.
Namun definisi konsep ini cukup beragam, sehingga tidak jarang
menimbulkan kebingungan (Mouzelis 2008). Bab ini akan menjelaskan
konsep struktur sosial tersebut secara lebih rinci, kemudian diikuti dengan
penjelasan mengani dinamika struktur sosial, dan dilanjutkan dengan
ulasan mengenai manfaat pemahaman terhadap struktur sosial itu bagi
kehidupan manusia.

Apa itu struktur sosial?


Sebelum membahas konsep struktur sosial dalam Sosiologi, berikut ini
diberikan pengertian struktur yang ada dalam kamus Bahasa Indonesia
maupun kamus Bahasa Inggris. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kata “struktur” memiliki lima pengertian, yakni:
1. Cara sesuatu disusun atau dibangun; susunan; bangunan
2. Yang disusun dengan pola tertentu
3. Pengaturan unsur atau bagian suatu benda
4. Ketentuan unsur-unsur dari suatu benda
5. Pengaturan pola dalam Bahasa secara sintagmatis

Mirip dengan pengertian itu, dalam kamus Bahasa Inggris Longman


Dictionary of Contemporary English (1978), dijelaskan bahwa struktur itu
mempunyai dua pengertian, yakni, pertama struktur adalah “the way in
which parts are formed into a whole” (“cara di mana bagian-bagian disusun
menjadi sebuah keseluruhan”); dan pengertian yang kedua, struktur adalah
“to form into a whole form, in which each part is related to others” (menyusun
menjadi suatu bentuk keseluruhan, di mana masing-masing bagian
berhubungan dengan bagian-bagian yang lain) .

Di dalam Sosiologi, kata struktur atau struktur sosial mempunyai beragam


pengertian (Mouzelis 2008). Di antara beragam pengertian itu, tentu ada
yang pada dasarnya memiliki kesamaan dengan pengertian struktur dalam
kamus Bahasa tersebut. Sebagai contoh, menurut Nicos Mouzelis (2008),
“There is agreement among most social scientists that ‘social structure’ refers to
a whole of interrelated parts”. Dengan kata lain, struktur sosial merupakan

1
Struktur Sosial

sebuah kesatuan (yang terdiri) dari bagian-bagian yang saling berhubungan


satu dengan yang lain. Banyak pula ahli sosiologi yang menekankan
pengertian struktur sosial sebagai “pola hubungan yang relatif mapan/ajeg”
yang membatasi atau sebaliknya memampukan tindakan tertentu.
Crothers (1996) misalnya mengatakan bahwa secara umum struktur sosial
merujuk pada relasi (khususnya relasi yang lebih permanen dan stabil)
antara orang-orang, antar kelompok atau institusi, dan antara individu
dengan kelompok. Selanjutnya, secara lebih konkrit, struktur sosial merujuk
pada peran-peran sosial yang mapan, kelompok sosial, organisasi sosial, dan
aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat (Harper 1989;
Giddens 2003 ), maupun stratifikasi sosial atau kelas sosial (Kinseng 2017).
Berkaitan dengan peran-peran social yang disebutkan oleh Harper itu, menurut
Crothers (1996), bagi banyak sosiolog, unsur utama dari sebuah struktur sosial
adalah status dan peranan (status-role). Sementara itu, Roger Sibeon (2004)
mengemukakan pengertian struktur sosial yang lebih luas lagi. Sibeon
mengartikan struktur sosial sebagai kondisi social yang sedikit banyak
mempengaruhi pikiran, keputusan dan tindakan seseorang, termasuk wacana,
kelembagaan, praktik-praktik sosial, individual dan aktor sosial, jaringan sosial, dan
distribusi kekuasaan.

Dari beragam pengertian tersebut, berikut ini akan dibahas lebih lanjut
pengertian struktur sosial yang lebih konkrit, yang dikemukakan oleh Peter
M. Blau (1977). Menurut Blau (1977) struktur sosial merujuk pada distribusi
penduduk ke dalam posisi-posisi social yang berbeda yang merefleksikan
dan mempengaruhi relasi orang satu dengan yang lain. Berbicara struktur
sosial adalah berbicara diferensiasi atau perbedaan diantara orang-orang.

Selanjutnya, Blau (1977) menjelaskan konsep kunci untuk memahami


struktur sosial ini adalah parameter, yakni karakteristik yang digunakan
oleh anggota populasi untuk membuat perbedaan diantara mereka. Ada
dua jenis parameter ini, yaitu parameter nominal (nominal parameters) dan
parameter berjenjang atau bertingkat (graduated parameters). Parameter
nominal membedakan anggota populasi dengan menggunakan “kategori
diskret” (discrete categories), seperti suku, agama, jenis kelamin, pekerjaan,
dan sebagainya. Sementara itu, parameter bertingkat menempatkan
anggota populasi ke dalam skala atau tingkatan yang bersifat kontinuum,
seperti tingkat pendidikan, pendapatan, kekayaan, kekuasaan, status,
prestise, dan sebagainya.

Pengelompokan anggota masyarakat berdasarkan parameter nominal


menghasilkan kelompok-kelompok sosial atau groups. Tingkat diferensiasi
berdasarkan parameter nominal ini menentukan tingkat keragaman atau

2
Struktur Sosial

heterogenitas (level of heterogeneity) dari satu masyarakat atau komunitas


(Tabel 1). Sementara itu, pembagian angggota masyarakat berdasarkan
parameter bertingkat menghasilkan tingkat kesenjangan (level of inequality).
Jika parameter nominal menghasilkan kelompok-kelomok sosial atau groups,
maka hemat saya parameter diskret menghasilkan strata atau kelas sosial.
Selanjutnya, merujuk pada pendapat Blau ini, maka struktur sosial suatu
masyarakat itu dapat “dibedah” secara horizontal dengan menggunakan
parameter nominal dan secara vertikal dengan menggunakan parameter
diskret (Tabel 2).

Tabel 1. Contoh kerangka analisis struktur sosial horizontal dilihat dari


beberapa parameter nominal
Parameter
Kelompok-kelompok sosial
nominal
Etnik
Agama/
Kepercayaan
Jenis kelamin
Afiliasi partai
politik
Dll

Berdasarkan parameter nominal ini, jika dilihat dari segi etnik misalnya,
maka Bangsa Indonesia mempunyai tingkat keragaman atau heterogenitas
yang tinggi. Berdasarkan data Potensi Desa (Podes), pada tahun 2011, di
Indonesia ada sebanyak 761 etnik (Sjaf 2014). Sementara itu, dari segi
agama, Bangsa Indonesia juga memiliki keragaman yang tinggi. Di
Indonesia terdapat enam agama yang diakui secara hukum, yaitu Agama
Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Sementara
itu, di beberapa daerah juga masih ada penganut “kepercayaan asli”
sepertti Kaharingan di Kalimantan Tengah, Kejawen pada masyarakat di
Jawa Tengah dan Jawa Timur, Sunda Wiwitan di kalangan masyarakat
Kanekes (Banten), Aluk Todolo di kalangan masyarakat Toraja.

Tabel 2. Contoh kerangka analisis struktur sosial vertikal dilihat dari


beberapa parameter bertingkat
Parameter bertingkat
Strata/status
Penguasaan
Sosial Pendapatan Pendidikan Kekuasaan Kehormatan Dll
tanah
Tinggi/atas
Sedang/menengah
Rendah/bawah

3
Struktur Sosial

Di kalangan petani di Indonesia, struktur sosial vertical dapat dilihat dari


luas kepemilikan lahan. Berdasarkan luas kepemilikan lahan, struktur
petani Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian, tahun 2013


Rumah tangga usaha pertanian
Golongan luas lahan (m2)
Jumlah Persentase (%)

<1000 4.338.847 16,60


1000-1999 3.550.185 13,58
2000-4999 6.733.364 25,76
5000-9999 4.555.075 17,43
10000-19999 3.725.865 14,26
20000-29999 1.623.434 6,21
≥30000 1.608.699 6,16
JUMLAH 26.135.469 100,00
Sumber: BPS, 2013

Sementara itu, di kalangan nelayan, dalam studinya tentang komunitas


nelayan di Balikpapan, Kalimantan Timur, Kinseng (2014) mengemukakan
bahwa nelayan di sana terdiri dari empat kelas, yakni:
1). Buruh nelayan,
2). Nelayan kecil,
3). Nelayan menengah,
4. Nelayan besar atau kapitalis.

Di sini terlihat bahwa kelas social nelayan tersebut juga sekaligus berupa
stratifikasi social berbasiskan parameter bertingkat, yakni kepemilikan alat
produksi perikanan dan jumlah tenaga kerja. Nelayan buruh adalah nelayan
yang tidak memiliki alat produksi, sedangkan strata lainnya ditentukan oleh
“besarnya” alat produksi yang dikuasai dan jumlah tenaga kerjanya.

Selain itu, di kalangan kaum nelayan di sana juga terdapat hubungan


patron-klien yang cukup kuat, baik antara buruh nelayan (anak buah kapal)
dengan nelayan pemilik maupun antara nelayan pemilik dengan pemodal.
Pada hubungan patron-klien antara pemilik dan buruh nelayan, si pemilik
menjadi patron yang memberikan berbagai “bantuan” kepada para anak
buah kapalnya seperti meminjamkan uang, membayar biaya pengobatan,
membayar biaya sekolah anak, membiayai ongkos pernikahan anak, dan
sebagainya. Sebaliknya, si anak buah kapal sebagai klien harus tetap setia

4
Struktur Sosial

bekerja pada si pemilik dengan segala kewajibannya. Dalam hubungan


patron-klien antara pemilik dan buruh nelayan ini juga terkandung unsur
ekploitasi atas para buruh tersebut. Pola hubungan patron-klien antara
pemilik dan buruh nelayan ini disajikan pada Gambar 1.

Kelas Patron
Pemilik
dominan

eksploitatif
dominatif patron-klien

Kelas Buruh Klien


subordinat

Gambar 1. Pola hubungan antara pemilik dan buruh nelayan (Sumber:


Kinseng 2014:96)

Dinamika struktur sosial


Dalam kehidupan sehar-hari, seringkali kita merasa struktur sosial seperti
aturan-aturan tertentu termasuk birokrasi, pola-pola perilaku kolektif yang
diwariskan secara turun-temurun (“adat istiadat”), maupun stratifikasi sosial
yang ada begitu kuat “mengekang” kita. Kita merasa “tidak berdaya”
menghadapi struktur sosial tersebut. Kondisi seperti ini bias membuat kita
lupa bahwa sebenarnya struktur sosial itu merupakan buatan manusia
secara bersama-sama; dengan kata lain, struktur sosial adalah sebuah
“konstruksi sosial” atau social construct. Oleh sebab itu, suatu struktur sosial
bukanlah sesuatu yang kekal dan tidak dapat diubah. Struktur sosial
merupakan fenomena sosial yang dinamis, yang mengalami perubahan,
baik secara perlahan maupun secara cepat.

Bila dilihat dari segi proses pembentukannya, struktur sosial bisa terbentuk
tanpa disengaja atau dirancang sebagai hasil dari proses interaksi sosial
sehari-hari antara anggota masyarakat. Contoh struktur sosial seperti ini
antara lain adalah norma-norma sosial informal, pola-pola perilaku tertentu,

5
Struktur Sosial

dan adat istiadat. Di lain pihak, ada pula struktur sosial yang sengaja
dibentuk dan direncanakan. Contohnya adalah peraturan daerah (Perda),
yang dibuat oleh Pemerintah Daerah dan DPRD. Belakangan ini juga banyak
Peraturan Desa (Perdes) yang dibuat oleh Pemerintah Desa. Beragam
peraturan yang berlaku di Institut Pertanian Bogor muulai dari syarat
penerimaan, syarat ikut ujian, kriteria penilaian, hingga aturan berpakaian
merupakan contoh struktur sosial yang dibuat secara sengaja dan
direncanakan.

Selanjutnya, ada pula struktur sosial yang terbentuk sebagai akibat dari
struktur sosial yang lain. Sebagai contoh, stratifikasi sosial di kalangan
nelayan seperti yang telah diuraikan sebelumnya, terbentuk karena ada
struktur sosial berupa sistem kepemilikan (property right). Jika tidak ada
system kepemilikan pribadi, maka tidak aka nada kelas-kelas nelayan
seperti yang sudah diuraikan itu. Seperti dijelaskan oleh Karl Marx, sistem
kepemilikan pribadi (private properti right) menyebabkan terbentuknya kelas
pemilik dan kelas buruh pada masyarakat kapitalis. Stratifikasi sosial di
kalangan petani yang berbasiskan kepemilikan tanah juga merupakan
contoh terbentuknya struktur sosial akibat adanya sistem kepemilikan
pribadi ini.

Proses terbentuknya struktur sosial tersebut sekaligus menjelaskan proses


perubahan struktur sosial. Dengan kata lain, perubahan struktur sosial juga
bisa merupakan akibat dari interaksi sosial sehari-hari yang tidak
direncanakan, namun bisa juga hasil dari tindakan yang direncanakan.
Salah satu contoh menarik perubahan struktur sosial di Indonesia dewasa
ini yang tidak direncanakan adalah perubahan struktur sosial akibat
penggunaan teknologi digital. Dalam makalah yang disampaikan pada
Konferensi Nasional Sosiologi VII tanggal 7-10 Mei 2018 di Mataram, Kinseng
mengemukakan bahwa “Digitalisasi yang terjadi dalam bidang komunikasi
dan transportasi di Indonesia telah menyebabkan perumitan struktur
sosial”. Perumitan tersebut berupa munculnya kelompok sosial baru di
bidang jasa transportasi yaitu kelompok ojek dan taksi online. Kinseng
mengatakan: “Digitalisasi telah membentuk kelompok sosial baru dalam
arena transportasi publik, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta,
Bogor, Bandung, Surabaya, dan lain-lain, yakni kelompok penyedia
transportasi publik (taksi dan ojek) berbasis online dan kelompok yang
konvensional. Ini merupakan suatu perumitan struktur sosial secara
horizontal”.

6
Struktur Sosial

Selanjutnya dijelaskan bahwa digitalisasi media social berperan mendorong


penguatan polarisasi dalam masyarakat. Kata-kata kebencian (hate speech)
bahkan kata-kata permusuhan (hostile speech) yang disampaikan di media
social menyebabkan masyarakat “terbelah”. Pembelahan ini umumnya
terjadi seputar isu agama dan politik. Dalam isu agama, polarisasi dan
pembelahan bukan hanya terjadi antar umat berbeda agama, tetapi juga
antar umat pemeluk agama yang sama. Pembelahan umat secara internal
memunculkan kelompok yang sering disebut sebagai kelompok “radikal”
atau “garis keras” dan kelompok yang “moderat”. Kinseng (2018)
mengatakan bahwa “Digitalisasi di bidang komunikasi media sosial ini
mendorong penguatan in-group dan out-group feeling berbasis isu agama
dan politik. Dengan demikian, digitalisasi juga berarti telah mengakibatkan
polarisasi kelompok sosial semakin tajam, setidaknya di ruang dunia maya
(virtual)”. Dala berbagai literature, terbelahnya masyarakat akibat
digitalisasi ini dikenal dengan istilah “digital divide”.

Jadi, ada proses timbal balik yang terjadi antara tindakan manusia (actor
social) dengan struktur sosial. Di satu sisi, struktur sosial itu mempengaruhi
pikiran, perasaan dan tindakan manusia, dan di sisi yang lain, tindakan
manusia juga mempengaruhi ciri-ciri dan keberadaan struktur sosial.
Seperti dikatakan Crothers (1996), ada sebuah proses timbal-balik
(reciprocal process) yang terus-menerus terjadi antara para aktor sosial
dengan struktur sosial. Proses ini dapat digambarkan seperti pada Gambar
2

Struktur sosial (a) Struktur sosial (a atau b)

Individu Individu

Gambar 2 Proses hubungan saling mempengaruhi antara individu dan


struktur sosial (dimodifikasi dari Bhaskar 1979:118).

Keterangan: individu-individu bisa mereproduksi struktur sosial yang sama


dengan sebelumnya (a) atau memodifikasi bahkan mentransformasinya
menjadi struktur sosial yang baru (b).

7
Struktur Sosial

Mengapa kita perlu memahami struktur sosial?


Pemahaman tentang struktur sosial sangat penting, karena struktur sosial
itu mempengaruhi kehidupan setiap orang di setiap waktu dan tempat.
Menurut Crothers (1996), orang bahkan yang memiliki karakter kuatpun,
seringakali harus menyesuaikan diri dengan posisi sosial daripada
sebaliknya. Itulah sebabnya, ketika ada masalah dengan kinerja atau
perilaku seseorang di dalam suatu sistem sosial, misalnya Partai Politik atau
DPR, mengganti orangnya kemungkinan menjadi kurang berguna, karena
orang yang baru akan melakukan hal yang kurang lebih sama. Giddens
menyebut bahwa struktur sosial itu berfungsi ganda, bisa menghambat
suatu tindakan (constraining), tapi sebaliknya bias juga memampukan suatu
tindakan (enabling).

Pada konsep struktur sosial yang dikemukakan oleh Peter Blau sebelumnya,
misalnya, salah satu isu penting menurut Blau (19770) adalah tingkat
korelasi antar parameter-parameter tersebut. Semakin tinggi korelasi antar
parameter, atau dengan kata lain, semakin terkonsolidasi (“menumpuk”)
parameter itu satu dengan yang lain, maka semakin besar hambatan
terhadap interaksi dan mobilitas sosial diantara beragam anggota
masyarakat. Contoh konsolidasi adalah kekayaan di suatu masyarakat
menumpuk pada etnis dan agama tertentu, misalnya. Sebaliknya, jika
korelasi antar parameter itu lemah atau tidak ada, dengan kata lain
semakin besar “persilangan” (intersection) antar parameter itu, semakin
besar peluang interaksi dan mobilitas social diantara beragam warga
masyarakat. Contoh persilangan adalah kekayaan itu tersebar, setiap etnik
ada yang kaya dan ada yang miskin. Demikian juga dengan agama, pemeluk
setiap agama ada yang kaya dan ada yang miskin. Jadi di sini dapat dilihat
bahwa struktur sosial itu mempunyai konsekwensi bagi proses-proses
social pada masyarakat itu, yang pada gilirannya menentukan “nasib hidup”
orang-orang di masyarakat tersebut.

Struktur sosial seperti agama dan etnis sering pula menjadi dasar terjadinya
konflik social di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, konflik sosial berbasis
identitas agama cukup sering terjadi, baik pada skala yang kecil maupun
yang besar. Konflik di Maluku beberapa tahun yang lalu (mulai tahun 1999
hingga tahun 2000an) merupakan konflik sosial antar umat yang berbeda
agama. Konflik ini telah menelan korban jiwa dan harta benda yang tidak
sedikit. Sementara itu, konflik antar etnis juga pernah terjadi di Kalimantan.
Konflik sosial berbasis etnik inipun telah menelan korban jiwa dan harta
benda yang tidak sedikit.

8
Struktur Sosial

Di dalam keluarga, misalnya, struktur sosial mempengaruhi perilaku setiap


orang, baik anak-anak maupun orang tua. Sanksi atau hukuman terhadap
perilaku tertentu dari anak-anak ditentukan oleh struktur sosial. Perilaku
orang tua juga dipengaruhi oleh struktur sosial yang ada di baik di dalam
keluarga itu sendiri maupun di masyarakat secara keseluruhan. Sebagai
contoh, di suatu komunitas di Jawa Barat, umumnya anak-anak perempuan
di bawah umur telah dinikahkan. Mengapa hal itu terjadi? Di suatu desa
yang diteliti oleh mahasiswa pada Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB,
hal itu terjadi karena ada “aturan” atau norma di masyarakat yang
“memaksa” setiap anak-anak perempuan untuk menikah dini. Di komunitas
itu, orang tua merasa malu jika anak perempuannya tidak menikah hingga
usia dewasa. Norma atau aturan tentang keharusan anak-anak perempuan
menikah dini ini merupakan struktur sosial yang mempengaruhi pola
perilaku masyarakat di komunitas tersebut yang berkaitan dengan masalah
pernikahan. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan norma dan aturan
yang berlaku di masyarakat perkotaan pada umumnya.

Contoh yang lain, struktur sosial dalam bentuk kelas buruh dan majikan di
perusahaan, menentukan kehidupan setiap orang dalam masing-masing
kelas tersebut. Sebagai buruh, secara umum kehidupannya jauh lebih
miskin dibandingkan pengusaha yang memiiliki perusahaan. Buruh juga
tidak jarang diekploitasi dalam pekerjaan. Itu sebabnya kelas sosial ini
sering memicu konflik sosial.

Penutup
Uraian dalam bab ini menunjukkan bahwa struktur sosial itu mempunyai
beragam “wujud”. Selanjutnya, walaupun struktur sosial itu mempunyai
kekuatan memaksa terhadap individu manusia, perlu dipahami bahwa
struktur sosial merupakan ciptaan manusia secara kolektif; ia merupakan
konstruksi sosial (social construct). Sebagai mahluk sosial, setiap individu
manusia berkontribusi bagi terbentuk dan berlanjutnya suatu struktur
sosial. Oleh sebab itu, sekuat apapun nampaknya suatu struktur sosial itu,
ia tetap bisa diubah dan berubah. Pemahaman ini kiranya dapat memberi
pencerahan bagi kita, dan memampukan kita untuk turut serta
mewujudkan kehidupan umat manusia yang lebih baik.

9
Struktur Sosial

DAFTAR PUSTAKA
Bhaskar R. 1979. On the Possibility of Social Scientific Knowledge and the
Limits of Naturalism dalam John Mepham & D-H Ruben (eds), 1979.
Issues in Marxist Philosophy. Volume Three, Epistemology Science
Ideology, The Harvest Press, Sussex, England.

Blau PM. 1977. A Macrosociological Theory of Social Structure. The


American Journal of Sociology, Vol. 83, No. 1 (Jul. 1977), pp 26-54.

Crothers C. 1996. Social Structure. Routledge, Oxfordshire OX14 4RN, UK.

Giddens A. 2003. The Constitution of Society. Teori Strukturasi untuk


Analisis Sosial. Diterjemahkan oleh Drs. Adi Loka Sujono. Penerbit
Pedati, Pasuruan, Indonesia.

Kinseng RA. 2014. Konflik Nelayan. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta.

______________. 2017. Struktugensi: Sebuah Teori Tindakan. Sodality: Jurnal


Sosiologi Pedesaan Vol.5 No.2, Agustus 2017.

______________. 2018. Digitalisasi dan Konflik Sosial: Sebuah Kajian Awal.


Makalah disajikan pada Konferensi Nasional Sosiologi VII tanggal 7-10 Mei
2018 di Mataram.

Mouzelis NP. 2008. Modern and Postmodern Social Theorizing. Bridging the Divide.
Cambridge University Press, Cambridge, UK.

Sewell, William H., Jr, 1992. A Theory of Structure: Duality, Agency, and
Transformation. American Journal of Sociology, Vol. 98, No. 1 (Jul.,
1992).

Sibeon R. 2004. Rethinking Social Theory. SAGE Publications, London,


Thousand Oaks, New Delhi.

Sjaf S. 2014. Politik Etnik. Dinamika Politik Lokal di Kendari. Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, Jakarta.

10

Anda mungkin juga menyukai