Anda di halaman 1dari 35

1.

Latar Belakang

Drama tari Praburoro berkembang di enam wilayah kecamatan di kabupaten


Banyuwangi yaitu kecamatan Cluring, kecamatan Bangorejo, kecamatan Singojuruh,
kecamatan Muncar, kecamatan Gambiran dan kecamatan Rogojampi. Lokasi
penelitian ini di Kecamatan Cluring Kabupaten Banyuwangi dan sebagai objek
penelitiannya adalah paguyuban ‘Langen Sedya Utama’, dengan alasan bahwa grup
kesenian tersebut merupakan grup yang tertua dan masih bertahan sampai sekarang
di Banyuwangi. Di samping itu grup ‘Langen Sedya Utama’ mempunyai frekuensi
penampilan yang paling banyak dari paguyuban atau grup lain.

Sanggar Langen Sedya Utama terletak di dusun Krajan Desa Cluring


Kecamatan Cluring, dari arah kota Banyuwangi kira-kira berjarak 37,4 kilometer.
Untuk menuju ke Sanggar Langen Sedya Utama sekitar 500 meter jarak dari
Kecamatan Cluring dan jangkauan ke tempatnya sangat mudah karna bisa dijagkau
dengan transportasi darat apa saja. Sebagian besar penduduk Desa Cluring yang telah
lanjut usia rata-rata lulus Sekolah Dasar bahkan ada yang sama sekali tidak sekolah,
berbeda dengan generasi yag muda. Generasi muda disamping menempuh
pendidikan Sekolah Dasar, ada juga yang lulus SLTP dan SMU. Sebagian besar
masyarakatnya beragama Islam dan mereka juga belajar mengaji di sebuah mushola.
Desa Cluring termasuk berpenduduk padat, antara satu rumah dengan rumah yang
lain saling berhimpitan. Pada umumnya penduduk bekerja sebagai petani, dan
menggunakan perpaduan bahasa Using dan Jawa namun lebih dominan ke bahasa
Using. Di Desa Cluring ini terkenal dengan budayanya terutama dramatari
Praburoro.

Perhatian masyarakat Desa Cluring terhadap kesenian cukup besar, lebih-lebih


tari yang merupakan hiburan ringan. Jenis pertunjukan atau kesenian kerakyatan
merupakan hiburan yang paling banyak dijumpai di berbagai lapisan masyarakat.
Menurut Soedarsono (2002: 123), secara garis besar seni pertunjukan memiliki tiga
fungsi primer, yaitu: 1) sebagai sarana ritual, 2) sebagai hiburan pribadi dan 3) sebagai
presentasi estetis. Bagi masyarakat Banyuwangi yang masih kental dengan
kehidupan agrarisnya, sebagian besar seni pertunjukannya memiliki fungsi ritual.

1
Fungsi ritual tersebut bukan saja berkenaan dengan peristiwa daur hidup, namun
berbagai kehidupan yang dianggap penting juga memerlukan seni pertunjukan,
seperti: menanam padi, panen, berburu bahkan sampai persiapan perang. Namun
pada kenyataannya fungsi kesenian tidak mutlak tersekat oleh kelompok-kelompok
fungsi tersebut, seringkali terjadi antar kelompok fungi saling bersinggungan atau
bahkan saling tumpang tindih, seperti misalnya suatu kesenian sebagai sarana ritual
sekaligus juga mengandung nilai-nilai estetis, atau berfungsi sebagai hiburan
sekaligus juga berfungsi estetis.

Jika ditelaah, kesenian rakyat merupakan suatu kesenian yang diwariskan


secara turun-temurun, sehingga pada perkembangannya pasti akan mengalami suatu
perubahan. Perubahan serta perkembangan yang terjadi merupakan suatu bentuk
penyesuaian terhadap perkembangan zaman dan kebutuhan serta permintaan dari
masyarakat pada masa sekarang. Perubahan-perubahan tersebut dapat mengenai
nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perikelakuan, organisasi, susunan
lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam kemasyarakatan, kekuasan dan
wewenang, interaksi sosial dan sebagainya (Soekanto dalam Sunjata, 2017: 9).
Selanjutnya menurut Soekanto (1990: 311-315), perubahan-perubahan tersebut
bentuknya perubahan sosial dan kebudayaan, yang terjadi secara lambat dan besar,
yang direncanakan dan tidak direncanakan. Adapun faktor-faktor yang
menyebabkan perubahan sosial dan kebudayaan adalah bertambah atau
berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan dalam
masyarakat, revolusi dalam tubuh masyarakat itu sendiri.

Kesenian tradisional yang lahir dari masyarakat serta berkembang di


masyarakat tentu harus mengetahui kaitannya secara sosiologis yang dibedakan atas
sosiologi makro dan sosiologi mikro.

Menurut Hadi (20015:12), Sosiologi mikro adalah usaha mengkaji berbagai pola
pikiran dan perilaku sosial yang muncul dalam kelompok yang relatif berskala
kecil. Sosiologi makro lebih berkonsentrasi pada kajian terhadap pola dan
tindakan sosial berskala besar, yaitu masyarakat sebagai keseluruhan dengan
berbagai macam unsur pentingnya, seperti sistem sosial, ekonomi, politik, pola
kehidupan, dan sistem agama. Sosiologi makro lebih menitikberatkan pada
strukturnya, sementara sosiologi mikro pada individunya atau agent.

2
Menurut Indra Yuda (2002:6) bahwa “keberadaan kesenian tradisional dalam
sebuah masyarakat menyangkut bagaimana tentang pertumbuhan dan
perkembangannya, bagaimana dia ada, berkembang dan apakah dia diterima atau
tidak dalam masyarakat.” Keberadaan kesenian atau suatu pertunjukan juga dapat
dilihat dari unsur kegunaan dan fungsinya dalam lingkungan masyarakat
pemiliknya. Keberadaan atau eksistensi merupakan pengaktualan diri atau
pengaktualan kebudayaan. Sering keberadaan tidak dipandang apa-apa oleh
komunitasnya. Berarti pengaktualan dirinya tidak di respon dan tidak memiliki
kepentingan buat komunitasnya, sehingga eksistensi dianggap tidak ada. Begitu juga
dengan kebudayaan, bila sebuah kebudayaan itu masih ada, tetapi tidak difungsikan
dan tidak dapat digunakan oleh masyarakat, berarti kebudayaan tersebut tidak eksis.
Setelah itu, kebudayaan sangat terkait dengan fungsi dan kegunaannya. Pada
dasarnya keberadaan sama dengan eksistensi, sebab itu, eksistensi drama tari
Praburoro di daerah Desa Cluring Kecamatan Cluring Kabupaten Banyuwangi yang
hidup ditengah-tengah masyarakat, dikatakan berada karena drama tari Praburoro di
Desa Cluring Kecamatan Cluring Kabupaten Banyuwangi tersebut memang ada,
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Tetapi keberadaannya belum bisa
dikatakan eksis apabila drama tari Praburoro di daerah Desa Cluring Kecamatan
Cluring Kabupaten Banyuwangi tersebut tidak berguna dan berfungsi bagi
masyarakat daerah setempat. Sesuai pernyataan diatas bahwasannya kesenian
tradisional itu sudah berkembang dan mengalami perjalanan sejarah cukup lama
ditempat dimana kesenian itu berasal, begitu juga halnya drama tari Praburoro di
Desa Cluring, drama tari Praburoro dikatakan dramatari tradisional karena memiliki
perjalanan sejarah yang cukup lama, yang semakin lama membudaya dalam
masyarakat desa Cluring yang ceritanya tentang menyebarkan agama Islam.
Sehingga setiap masyarakat Banyuwangi menyatakan bahwa pertunjukan drama tari
Praburoro ciri khas dari desa Cluring.

Dalam kaitannya dengan seni budaya masyarakat, tentu saja penduduk


Banyuwangi sudah terpengaruhi oleh masyarakat pendatang, sehingga berpengaruh
pula pada keseniannya dan menjadikan kesenian Banyuwangi beraneka macam
ragamnya.

3
Menurut Soeprihati (2001:4) Kesenian daerah Banyuwangi ada dua bagian
yaitu kesenian yang benar-benar asli dari Banyuwangi dan produk seni
garapan baru yang masih berpijak pada seni tradisi daerah Banyuwangi.
Berikut adalah pengelompokan jenis kesenian Banyuwangi: a.) Kesenian yang
oleh masyarakat dianggap sebagai milik masyarakat Using Banyuwangi yakni
Seblang, Gandrung Banyuwangi, Angklung, Mocoan/ Aljin, Pacul Gowang,
Barong Patrol, Kuntulan, Hadrah Caruk, Gendongan, Jinggoan, Jaranan Buto,
Damarwulan atau Janger, Praburoro atau Rengganis dan Kendang Kempul; b.)
Kesenian daerah non Banyuwangi yaitu termasuk jenis kesenian daerah yang
hidup dan berkembang serta digemari masyarakat pendukungnya dan
merupakan bentuk kesenian yang datang dari daerah lain. Adapun misalnya
Ludruk, Wayang Wong, Wayang Kulit, Kethoprak, dan beberapa jenis Jaranan,
Topeng dan Sronen (Ludruk Madura); c.) Kesenian Nasional yaitu suatu jenis
kesenian yang tidak termasuk kesenian daerah, pada umumnya lebih banyak
menggunakan musik-musik diatonis. Kesenian ini lebih banyak berkembang
dan hidup di daerah perkotaan, misalnya musik Band, Orkes Melayu/
Dangdut, Samroh, Qasidah Modern, Orkes Keroncong, dan berbagai jenis
Sandiwara/ teater Modern.
Pada bulan Besar ataupun Maulud dipercaya bulan yang baik untuk memilih
waktu hajatan. Pada era 1990-an masyarakat Banyuwangi selalu mendatangkan
pertunjukan dramatari Praburoro ke hajatan sebagai hiburan, sehingga frekuensi
pentas kesenisan Praburoro lebih meningkat dari hari yang biasanya. Praburoro
disebut juga Rengganis atau Umarmoyo yaitu suatu jenis pertunjukan tradisional di
Banyuwangi, yang merupakan perpaduan unsur-unsur seni pertunjukan Wayang
Orang dari Jawa Tengah dengan unsur-unsur seni pertunjukan di Banyuwangi
sendiri. Ciri yang paling nampak adalah bahwa seni pertunjukan selalu melakonkan
siklus Amir Hamsyah, yaitu hasil sastra Persia yang menyebarkan faham Islam
dengan tokoh-tokoh Amir Hamsyah, Umarmoyo, Dewi Rengganis, Dewi Muninggar,
Arya Maktal dan sebagainya. Semula kisah cinta Dewi Rengganis dengan Pangeran
Kelan sangat disenangi sehingga seni pertunjukan itu mendapat nama Rengganis
karena putri ini diceritakan adalah Ratu, maka gelar Prabu Roro dikenakan pada seni
pertunjukan itu, ialah nama Prabu Roro. Di samping itu tokoh Umarmoyo, yang
cendekiawan,sakti dan suka humor pun sangat populer di kalangan penontonnya
sehingga seni pertunjukan itupun bernama Umarmoyo. Pementasannya
diselenggarakan untuk pesta perkawinan, pesta khitanan, kaulan, pesta desa,
keramaian pasar malam,pesta hari-hari besar nasional.

4
Dalam suatu pementasan memerlukan penari-penari tidak kurang dari 15
orang terdiri dari penari laki-laki dan wanita. Gaya tarian putranya dilakukan dengan
dasar-dasar tari putra pada Wayang Wong Surakarta. Tentu saja kebanyakan sudah
tidak begitu murni, karena penguasaan tekhnik tarinya didapatkan dari pengalaman
melihat dan menirukan saja. Tarian gaya putrinya lebih menggunakan tarian
Gandrung sebagai dasar geraknya. Peran-peran putri dimainkan oleh penari-penari
wanita. Peran-peran putra alusan juga dimainkan oleh wanita. Penari laki-laki
berperan untuk tokoh-tokoh keras.

Seni pertunjukan ini bersifat dramatik, sehingga dapat digolongkan dalam


jenis drama tari. Ada dhalang yang mengantar cerita dengan suluk dan kanda dalam
bahasa Jawa Tengahan. Dialog, Bahasa Jawa juga, langsung dilakukan oleh para
penari. Keunikan-keunikan drama tari Praburoro terdapat juga pada sumber cerita
dan bentuk pertunjukannya seperti gerak, kostum, iringan, panggung dan
sebagainya. Dalam penulisan tesis Soeprihati (2001:141) mengungkapkan bahwa pada
pertunjukan praburoro terdapat Gerakan klasik yakni pada bagian adegan jejer,
bubar pasewakan dan pasebahan jawi dan adegan peperangan, sedangkan iringan
Praburoro adalah gending-gending Banyuwangen biasanya diambil dari gending-
gending Gandrung dan gending-gending Kendang Kempul. Instrumen gamelannya
antara lain terdiri dari bonang barung, bonang penerus, kendang, gender, saron,
kethuk kenong, kempul, gong, gambang, slenthem dan sebagainya baik berlaras
slendro maupun pelog.

Kostum merupakan pendukung pertunjukan yang dapat dipergunakan untuk


menarik penonton. Kostum pada pertunjukan Praburoro sebagian besar mengikuti
kostum Wayang Wong. Kostum peran putra adalah identik dengan pakaian wayang
orang, yang mengenakan jenis-jenis tutup kepala tropong, gelung atau pogokan, serta
atribut-atribut lain seperti endhong, prabha, kelat bahu, kain batik, supit urang,
sampur, celana panji-panji, sabuk dan keris. Hanya peran putri agak berbeda sedikit,
yaitu tutup kepala sama dengan wayang orang, tetapi mengenakan kebaya, berkain
semacam tari Gandrung, lengkap dengan kaus kaki putih pada kedua belah kakinya.
Perlu dipahami bahwa dalam masalah pakaian tari, oleh karena seni pertunjukan ini

5
terutama tumbuh di kalangan rakyat pedesaan yang pada umumnya kurang mampu,
maka pakaiannya apa adanya, sehingga pencampuran unsur-unsur tersebut
berlangsung tanpa selesai. Ada identifikasi dalam pembentukan peran, misalnya
Amir Hamsyah identik dengan Arjuno, Umarmoyo identik dengan Kresna,
Lamdahur dengan Bima, Raden Abdullah dengan Puntadewa dan sebagainya.

Panggungnya bersifat panggung konvensional, karena penonton berada pada


satu sisi. Konstruksi panggung beserta segala dekorasinya yang bersifat realistis,
dibuat sedemikian hingga sangat mudah dan praktis untuk dipasang dan dibongkar.
Semuanya di lapangan terbuka, tanpa atap. Penonton bebas duduk dimana saja,
hanya kadang ada beberapa kursi disediakan untuk mereka yang membayar uang
langsung kepada petugas yang menjaganya, kecuali kalau ditanggap orang.
panggung untuk bermain juga atap, dekor-dekornya dipasang melebar begitu saja.
Keberadaan dramatari Praburoro saat dilakukan penelitian tahun 2019 ini, ibarat
kerakap di atas batu, hidup segan matipun tidak mau. Artinya, dramatari ini masih
hidup di tengah-tengah masyarakat pendukungnya Banyuwangi, namun sudah
jarang ditampilkan. Berbagai faktor dapat saja menjadi penyebabnya, diantaranya: (1)
banyaknya pemain baik pemusik dan atau penari yang sudah tua-tua, sehingga tidak
sanggup untuk menampilkan dramatari ini; (2) banyak juga pemainnya yang sudah
meninggal dunia sebelum adanya alih generasi yang berkesinambungan; (3) kondisi
perekonomian Indonesia yang tidak stabil, juga mempengaruhi keberlanjutan
dramatari Praburoro. Arti kata keberlanjutan di sini, merupakan sebuah harapan
terhadap kesenian yang unik seperti dramatari Praburoro agar tetap lestari di
lingkungan masyarakat Banyuwangi. Di dalam kondisi yang rapuh, dibuat aturan
yang longgar, yaitu penari diperbolehkan bagi anak-anak muda.

Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa kesenian drama tari ini sangat erat
kaitannya dengan masyarakat, lahir dari masyarakat dan dilestarikan di masyarakat.
Alasan penulis meneliti tarian ini adalah karena drama tari Praburoro merupakan
salah satu dari sekian banyak tarian di kabupaten Banyuwangi yang hampir
terlupakan. Berdampak dari perkembangan zaman saat ini mengakibatkan
masyarakat semakin jauh dari seni dan budaya mereka. Masyarakat seperti sudah

6
semakin acuh dengan budayanya sendiri. Hal ini jika dibiarkan terus menerus tanpa
adanya upaya untuk melestarikan maka seni-seni dan budaya adat masyarakat
Banyuwangi khususnya di desa Cluring akan semakin terlupakan bahkan bisa jadi
akan hilang termakan zaman. Disamping itu hal yang menarik untuk meneliti
kesenian ini adalah kemunculan kembali dramatari Praburoro dimana pada era 1990-
an dramatari Praburoro sangat terkenal, lalu tahun tahun 2001 meningalnya ketua
paguyuban Praburoro yaitu bapak Miranto. Kesenian Praburoro sempat vacum
sampai tahun 2016, dan pada tahun 2017 muncul kembali karena diundang oleh Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Banyuwangi yang diselenggarakan di Wisata Osing
Banyuwangi sampai sekarang masih terdapat organisasi paguyuban dan tetap
menampilkan pertunjukan Praburoro jika ada yang mengundang dalam acara hajatan
atau memperingati hari-hari penting.

Adapun hal lain yang menjadi latar belakang penulis mengkaji mengenai judul
tersebut adalah untuk memberikan gambaran atau wawasan kepada masyarakat luas,
khususnya masyarakat penikmat kesenian tradisional di era modern ini untuk dapat
mengetahui upaya yang dilakukan masyarakat dalam melestarikan kesenian
tradisional dan karena terbatasnya penulis sejarah lokal dalam menulis mengenai
kesenian daerah, khususnya drama tari Praburoro dan masih banyak oramg yang
belum mengetahui mengenai drama tari Praburoro dan caranya dalam melestarikan
kesenian.

2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan penegasan masalah yang harus dijawab dalam
proses penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah yang peneliti kemukakan
mengenai Fungsi Drama tari Praburoro maka rumusan masalah yang diangkat
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana fungsi pertunjukan drama tari Praburoro di masyarakat Desa
Cluring?
b. Bagaimana bentuk perubahan pertujukan drama tari Praburoro di Sanggar
Langen Sedya Utama?

7
3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah tertulis di atas, tujuan penelitian
ini dapat disebutkan sebagai berikut:
a. Untuk menganalisis fungsi pertunjukan drama tari Praburoro di masyarakat
Desa Cluring.
b. Untuk mendeskripsikan bentuk perubahan pertujukan drama tari Praburoro
di Sanggar Langen Sedya Utama
4. Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini, tentunya peneliti berharap agar nantinya
hasil penelitian ini dapat memiliki manfaat. Manfaat yang dapat diambil adalah
sebagai berikut:
a. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pengetahuan dan
wawasan yang berkaitan dengan kesenian tradisi yaitu dramatari Praburoro di
Banyuwangi serta menambah pustaka tentang fungsi suatu kesenian tradisi.
b. Secara Praktis
1) Bagi Peneliti
Menambah pengalaman dan pengetahuan peneliti dalam melakukan
penelitian fungsi pertunjukan dramatari Praburoro di Sanggar Langen Sedya
Utama kecamatan Cluring kabupaten Banyuwangi .
2) Bagi Masyarakat
Memberikan informasi kepada pembaca dan masyarakat luas mengenai
fungsi pertunjukan dramatari Praburoro di Sanggar Langen Sedya Utama
kecamatan Cluring kabupaten Banyuwangi.
3) Bagi Peneliti Selanjutnya.
Hasil penelitian dapat dijadikan referensi dan pijakan untuk mengupas
masalah-masalah yang akan terjadi di masa yang akan datang.

5. Definisi Operasional
Agar tidak terjadi kesalahan penafsiran pembaca dalam menyimak tulisan ini,
maka peneliti perlu menyampaikan definisi operasional mengenai berbagai istilah

8
dan ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini. Adapun definisi ini istilah
yang dimaksud meliputi kata inti atau istilah yang terdapat judul ataupun dalam
rumusan masalah seperti pada pendeskripsian berikut:
A. Fungsi Seni
Fungsi Seni adalah sebagai bentuk atau cara penyampaian ekspresi seseorang
kepada orang lain dan lingkungannya. Dalam hal ini drama tari Praburoro
berfungsi sebagai media untuk pemenuhan kebutuhan sosioal salah staunya
sebagai hiburan.
B. Bentuk Pertunjukan
Istilah bentuk dalam buku Estetika Sebuah Pengantar menyatakan bahwa,
“bentuk merupakan wujud yang mengacu pada kenyataan yang nampak seacara
kongkrit (dapat dipersepsi dengan mata atau telinga) maupun kenyataan yang tidak
nampak secara kongkrit, yang abstrak yang hanya bisa dibayangkan (Djelantik,
2004:77).” Bentuk adalah aspek yang secara estetis dinilai oleh penonton, disini
penonton tidak melihat setiap elemen tetapi melalui kesan yang menyeluruh.
Bentuk pertunjukan yang dimaksud dalam penelitian Rengganis Praburoro
adalah keseluruhan pementesan Rengganis Praburoro yang meliputi elemen bentuk-
bentuk seni pertunjukan di atas pentas ataupun proses pertunjukan yang dilakukan.
C. Drama Tari
Dramatari merupakan tarian yang membawakan suatu cerita biasanya ada
yang berdialog dan ada yang tidak memakai dialog. Selain itu juga mempunyai
pengertian bahwa tari yang bercerita itu dilakukan oleh seorang penari ataupun oleh
beberapa penari. Dramatari atau yang biasa disebut dengan sendratari adalah salah
satu bentuk tari dramatik yang ada Indonesia seperti Rengganis Praburoro yang
menceritakan tentang kisah cinta Dewi Rengganis atau Umarmoyo.
D. Praburoro
Praburoro atau Rengganis merupakan seni pertunjukan rakyat yang
bentuknya drama tari. Disebut drama tari Rengganis, karena nama tersebut diambil
dari nama tokoh putri yang terkenal dalam cerita menak. Dewi Rengganis adalah
putri menantu raja Menak Agung Jayengrana (Amir Ambyah), yang terkenal sangat
pemberani dan bijaksana, dan juga merupakan tokoh utama dalam drama tari

9
Praburoro. Sedangkan disebut Praburoro karena dahulu drama tari Rengganis sering
menampilkan kisah cerita ketika Dewi Rengganis menjadi Ratu, karna arti Prabu
adalah Raja / ratu sedangkan Roro adalah perempuan.
E. Sanggar Langen Sedya Utama
Sanggar Langen Sedya Utama adalah paguyuban atau grup kesenian
Praburoro yang saat ini masih bertahan keberadaannya. Dibangun pada tahun 1928
dipimpin oleh Alm. Bapak Rigo lalu berkembang sampai tahun 2001 oleh alm. Bapak
Marwito (Soeprihati, 2001:83). Letaknya ada di desa Cluring Kecamatan Cluring
kabupaten Banyuwangi. Dari arah kota Banyuwagi menuju ke Sanggar Langen Sedya
Utama kurang lebih 37,4 km ditempuh dalam 40- 50 menit jika menaiki sepedah
motor.

6. Kajian Pustaka

Dramatari adalah subjek kajian penelitian sedangkan pertunjukan Rengganis di


Sanggar Langen Sedya Utama desa Cluring Kabupaten Banyuwangi adalah objek
kajian penelitian ini. Penulisan mengenai kesenian yang ada di Banyuwangi telah
ditulis dalam beberapa buku maupun media elektronik, tetapi penulisan yang khusus
mengkaji kesenian dramatari Rengganis Praburoro tentang kajian sosiologi seninya
saat ini belum ada. Hal ini dapat membuktikan bahwa penulisan penelitian ini masih
belum ada yang menulis atau orisinil. Agar kedudukan penelitian ini ada,maka
peneliti akan mengkaji penelitian yang relevan terhadap penelitian ini dan landasan
teori. Dalam buku Menulis ilmiah berisi tentang bahwa, “kajian pustaka adalah telaah
yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya bertumpu
pada penelaah kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan
(Tim Penyusun Unesa, 2011: 59).”

A. Penelitian yang Relevan


Penelitian relevan adalah menelaah penelitian-penelitian terdahulu dengan
penelitian yang terkait dengan permasalahan utama.
1) Dramatari Rengganis di Desa Cluring Banyuwangi JawaTimur

10
Tesis yang ditulis oleh Woro Sri Soeprihati (Program Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, 2001) ini mengkaji tentang Rengganis yang merupakan
sebuah genre pertunjukan rakyat berbentuk dramatari yang berkembang di
Banyuwangi. Di bagian daerah tertentu drama dramatari Rengganis disebut
Praburoro, sedangkan di wilayah lain disebut dengan istilah Umarmaya.
Penyebutan istilah tersebut didasarkan atas lakon yang dahulu sering ditampilkan
berkisar pada tokoh sentral Rengganis Praburoro dan Umarmaya. Oleh karena sifat-
sifat baik dan kelebihan yang dimiliki tokoh tersebut namanya melekat dihati
masyarakat dan menjadi figur pahlawan pujaan.
Untuk mengkaji pertunjukan Rengganis kaitannya dengan konteks
kehidupan masyarakatnya, digunakan pendekatan multi disiplin. Mengingat bahwa
kesenian tersebut merupakan bentuk pertunjukan drama dramatari, maka kajian
tekstual secara multi lapis dilakukan dengan harapan dapat mengkaji segala sesuatu
pada pertunjukan tersebut secara tuntas.
Perolehan data penelitian menunjukkan bahwa munculnya drama dramatari
Rengganis diperkirakan tahun 1933 dengan nama ‘Langen Sedya Utama’ di
kecamatan Cluring. Sumber cerita yang digunakan adalah Serat Menak, dan struktur
bentuk penyajiannya mengacu pada genre Wayang Orang. Munculnya drama
dramatari Rengganis diperkirakan diilhami oleh pertunjukan topeng Barangan
(penyamaran keliling) yang masuk Banyuwangi pada abad ke-19. Kemungkinan
besar dapat pula pertunjukan tersebut dibawa oleh priyayi Mataram ketika terjadi
peperangan. Perkembangan dan pembaharuan pada pertunjukan Rengganis
tampaknya juga terpengaruh oleh pertunjukan panggung keliling seperti Wayang
Orang, Kethoprak, Ludruk dan sebagainya sehingga bentuk sajian dan sistem
penanganan produksi semakin meningkat bahkan sesudah tahun 1965-an telah
menggunakan cerita carangan (gubahan). Terkait oleh kehidupan masyarakat
pendukungnya, drama dramatari Rengganis memiliki fungsi primer dan fungsi
sekunder yaitu sebagai hiburan, presentasi estetis, kestabilan dan kelangsungan
hidup budaya,penyampaian pesan dan propaganda serta sebagai pekerjaan
(mencari nafkah).hubungannya dengan fungsi tersebut drama dramatari Rengganis

11
dipentaskan untuk keperluan hajatan perkawinan, khitanan, bersih desa, syukuran,
pelepas nadzar, dan peringatan hari besar.
Mencermati keunikan karakteristik pada pertunjukan Rengganis yang
terefleksi lewat elemen pertunjukannya berupa lakon/ cerita, struktur,dramatik,
gerak dramatari, penokohan, rias, busana, iringan, vokal, panggung dan
perlengkapan lainnya, dapat diambil kesimpulan bahwa pertunjukan tersebut
mendapat pengaruh budaya lain. Adapun pengaruh tersebut berawal dari
pertunjukan Wayang Orang, Kethoprak, Budaya Hindu Jawa dan Islam, budaya
Using dan budaya Barat (modern). Pengaruh tersebut mengakibatkan terjadinya
akulturasi, asimilasi, dan kolaborasi seni sehingga sinergi tersebut mewujudkan
harmonisasi dan keunikan pertunjukan Rengganis yang menampakkan ciri khas
masyarakat Banyuwangi.
Kajian yang ditulis dalam tulisan ini merupakan suatu pijakan dan referensi
terhadap kajian peneliti. Tentang perkembangan dramatari Rengganis pada tahun
1990-an dan bentuk pertunjukannya, sedangkan penulis meneliti tentang fungsi
pertunjukan dramatari Praburoro. Untuk itu penelitian ini terdapat relevansi
dengan buku ini.
2) Bentuk Pertunjukan Kesenian Praburoro Sanggar Langen Sedya Utama desa
Cluring kabupaten Banyuwangi
Skripsi yang ditulis oleh Rita Rizki Utami (Universitas Negeri Surabaya
Fakultas Bahasa dan Seni Jurusan Sendratasik Progam Studi Pendidikan
Sendratasik,2016) Penelitian ini membahas Heterogenitas masyarakat Banyuwangi
akibat pengaruh dari berbagai kebudayaan di masa Kerajaan Blambangan terlihat
dari bentuk kesenian Praburoro di desa Cluring. Praburoro memiliki bentuk
pertunjukan yang mencerminkan asal budayanya, seperti kostumnya yang
menggunakan kostum Wayang Orang menunjukkan adanya pengaruh dari budaya
Jawa Tengah yang dibawa oleh Kerajaan Mataram, gendhing-gendhing yang
dimainkan dengan tehnik yang cepat dan menghentak menunjukkan adanya
pengaruh dari Kerajaan Bali, dan ceritanya yang berisi dakwah-dakwah islam yang
diambil dari Serat Menak menunjukkan adanya pengaruh dari kebudayaan islam
yang terkandung dalam isi serat tersebut. Bentuk pertunjukan kesenian tradisional

12
ini diisi dengan dramatari-dramatarian, musik, dan teater. Ceritanya disajikan
dalam bentuk teater dengan dibumbuhi berbagai dramatarian dan musik-musik
layaknya kesenian Wayang Orang.
Dalam meneliti Praburoro, peneliti berusaha mendeskripsikan segala sesuatu
yang berkaitan dengan kesenian tersebut beserta budaya masyarakat yang
melingkupinya. Untuk mencapai tujuan tersebut peneliti tidak hanya cukup
melakukan wawancara dengan beberapa informan tua saja, tetapi yang terpenting
adalah melakukan observasi sambil berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat
tersebut.
Hasil dari penelitian ini pada akhirnya memberikan kesimpulan bahwa bentuk
pertunjukan kesenian ini berlatar belakang dari masyarakat agraris yang
membentuk pola pemikiran masyarakatnya yang tidak jauh dengan hal hal yang
berbau kesuburan. Kesuburan diartikan tidak hanya sebatas tanah serta
tumbuhannya melainkan pemaknaanya juga masuk kedalam sendi kehidupan
masyarakatnya, wanita misalnya. Wanita diartikan sebagai simbol kesuburan di
masyarakat. Wanita dengan segala kelebihan memiliki peranan yang penting dalam
menjaga keseimbangan hidup di masyarakat. Wanita yang subur akan dapat
melahirkan generasi baru di dunia ini. Generasi yang nantinya akan meneruskan
dan mengembangkan apa yang diwariskan padanya. Seperti pada kesenian
Praburoro yang lakonnya banyak berhubungan dengan wanita. Mencerminkan pola
pikir dari masyarakat pendukungnya. Praburoro sendiri memiliki arti prabu :
raja/ratu sedangkan roro : perempuan. Sehingga benar bila kesenian ini lahir dari
masyarakat agraris dengan segala aspek pendukungnya.
Kajian dalam penelitian tersebut terdapat relevansi dengan penelitian ini
khususnya pembahasan mengenai fungsi pertunjukan dramatari Praburoro.
3) Pelestarian Kesenian Rengganis: Studi Kasus Grup Langen Sedya Utama Dusun
Krajan, Desa Cluring, Kecamatan Cluring Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Buku yang ditulis oleh Wahjudi Pantja Sunjata dan Sukari (Balai Pelestarian
Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta, 2017). Buku ini berisi tentang kondisi perjalanan
kesenian Rengganis yang masih bertahan di Grup Langen Sedya Utama, faktor-
faktor pendukung dan penghambat pelestarian kesenian Rengganis dan regenarasi

13
yang dilakukan oleh Grup Langen Sedya Utama. Kesenian Rengganis dalam
perjalanannya, pada tahun 1970-1980 an sangat dikenal dan digemari masyarakat
Banyuwangi. Namun pada saat ini tinggal satu Grup Langen Sedya Utama dengan
kondisi yangmemprihatinkan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain
karena pengaruh kesenian lain seperti Janger, perkembangan teknologi dan
informasi seperti TV sering menayangkan seni budaya, kondisi ekonomi masyarakat
karena biaya untuk bisa menanggap mencapai puluhan juta, kurangnya dukungan
dana untuk mencukupi peralatan atau perlengkapan yang kondisinya sudah tidak
layak, kaderisasi atau regenarasi belum tampak, kreatifitas pemain masih kurang,
peminat untuk menjadi pemain kurang, fasilitasi pemerintah untuk pengembangan
belum maksimal. Hambatan yang dirasakan dalam regenarasi atau kaderisasi
pemain pada anta wacana yang menggunakan bahasa Jawa baik ngoko, krama
madya maupun krama inggil. Kajian yang ditulis dalam tulisan ini merupakan suatu
referensi dan acuan terhadap kajian peneliti. Tentang perkembangan dramatari
Rengganis dan pelestariannya, sedangkan penulis meneliti tentang fungsi
pertunjukan dramatari Praburoro. Untuk itu penelitian ini terdapat relevansi
dengan buku ini.
4) Kajian Sosiologi Tari Rentak Bulian Di Kecamatan Rengat Barat Kabupaten
Indragiri Hulu Provinsi Riau
Jurnal yang ditulis oleh Annisa Satriati (Vol. 4 No. 4 Universitas Negeri
Yogyakarta, 2015) penelitian ini mengkaji tentang fungsi seni pada tari Rentak Bulian
di Kecamatan Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau yaitu sebagai
upacara ritual dan aspek-aspek sosiologi yang terkandung didalam tari Rentak Bulian
seperti nilai religius yang disampaikan dari tema dan musik, nilai kebersamaan yang
tergambarkan melalui gerak, nilai moral yang tergambarkan melalui tata rias dan tata
busana. Pada penelitian Annisa Satriati menggunakan pendekatan kualitatif dan
metode pengumpulan data yang dilakukan melalui observasi, wawancara dan
dokumentasi. Teknik analisis data melaui tahap pengumpulan data, reduksi data,
penyajian data dan pengambilan kesimpulan. Persamaan dari penelitian Annisa
Satriati dengan penelitian ini terkait dengan kajian sosiologinya, namun terdapat

14
perbedaan pada fungsi seni, jika pada penelitian yang ditulis Annisa yakni sebagai
upacara ritual sedangkan yang penelitian ini sebagai hiburan.

B. Landasan Teori
1) Bentuk Pertunjukan
Bentuk adalah wujud yang diartikan sebagai hasil dari berbagai elemen tari
yaitu gerak, ruang dan waktu dimana secara bersama-sama elemen-elemen itu
mencapai vitalitas estetis (Sumandiyo Hadi 2007: 24). Bentuk pertunjukan dapat
diartikan sebagai wujud rangkaian gerak yang disajikan dari awal sampai akhir
pertunjukan, dan didalamnya mengandung unsurunsur nilai keindahan (Jazuli,
2008:7). Bentuk tidak terlepas dari keberadaan struktur, yaitu susunan dari unsur atau
aspek (bahan/material baku dan aspek pendukung lainnya) sehingga mewujudkan
suatu bentuk. Anggota tubuh kita merupakan struktur yang terdiri atas kepala,
badan, lengan, tangan, jari-jari tangan dan kaki, dan sebagainya dapat menghasilkan
suatu bentuk gerak yang indah dan menarik bila ditata, dirangkai disatupadukan
kedalam sebuah kesatuan susunan gerak yang utuh serta selaras dengan unsur-unsur
pendukung penampilan tari (Jazuli, 2008: 7). Bentuk pertunjukan menurut (Prayitno
1990 :5) adalah merupakan wujud dari suatu pertunjukan yang meliputi elemen-
elemen tari. Pengertian bentuk pertunjukan adalah wujud atau fisik yang dapat
dilihat (Bastomi 1990: 32). Pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa bentuk
pertunjukan adalah wujud atau gerak yang ditampilkan di suatu pertunjukan yang
memiliki unsur-unsur pendukung tari. Soedarsono (2001: 17) bentuk pertunjukan
meliputi lakon, pemain, busana, iringan, tempat pementasan dan penonton.
Berdasarkan konsep bentuk pertunjukan menurut Murgiyanto dan Soedarsono maka
difokuskan pada aspek 13 bentuk pertunjukn yang meliputi pelaku, tema, lakon,
iringan, kostum/tata busana, tata rias, pemanggungan, pola lantai, tata lampu dan
tata suara. Kusmayati (2000: 96) berpendapat bahwa seni pertunjukan adalah aspek
divisualisasi dan diperdengarkan, mampu mendasari sesuatu perwujudan yang
disebut sebagai seni pertunjukan. Aspek-aspek tersebut menyatu menjadi satu
keutuhan, didalam penyajiannya menunjukkan suatu intensits atas kesungguhan
ketika diketengahkan sebagai bagian dari penopang perwujudan keindahan. Hal ini

15
berarti seni pertunjukan adalah suatu pementasan yang ditonton secara khusus,
sehingga diantara penonton dan penari ada jarak yang memisahkan.namun dilihat
dari sisi lain dalam suatu pementasan seni pertunjukan terkandung suatu hubungan
antara pemain yaitu keduanya memperoleh pengalaman dan kepuasan.
Istilah bentuk dalam buku Estetika Sebuah Pengantar menyatakan bahwa
“bentuk merupakan wujud yang mengacu pada kenyataan yang nampak secara
kongrit (dapat dipersepsi dengan mata atau telinga) maupun kenyataan yang tidak
nampak secara kongrit, yang abstrak yang hanya bisa dibayangkan (Djelantik,
2004:77).” Bentuk merupakan unsur-unsur dari susunan pertunjukan. Unsur-unsur
peninjang yang membantu bentuk itu dalam menacapai perwujudannya yang khas,
seperti seniman, alat musik, tata rias dan busana, iringan, waktu dan tempat
pertunjukan. Bentuk pertunjukan merupakan sebuah kemasan dalam suatu
pagelaran ataupun kesenian. Bentuk pertunjukan yang dimaksud dalam penelitian
Rengganis Praburoro adalah keseluruhan pementesan Rengganis Praburoro yang
meliputi elemen bentuk-bentuk seni pertunjukan di atas pentas ataupun proses
pertunjukan yang dilakukan.
a) Tata Rias dan busana
Tata rias dan busana memiliki peranan yang sangat penting bagi sebuah
pertunjukan, apalagi pertunjukan tersebut dilakukan oleh manusia (bukan teater
boneka). Sebuah seni pertunjukan akan lebih mengesankan bila para pemainnya
cantik, tampan dengan busana yang indah dan gemerlapan. Itulah kesan sepintas bagi
para penonton. Tata rias dan busana juga dapat membantu menghadirkan perbedaan
watak/karakter dari tokoh yang satu dengan yang lain dapat dicapai melalui
simbolisasi warna kostum dan tata rias, maupun pemakaian atribut lain yang dipakai
oleh seseorang pemeran/tokoh.
b) Iringan
Pada pertunjukan dramatari Rengganis menggunakan iringan gamelan yang
berlaras slendro. Gamelan tersebut terbuat dari besi yang telah dipakai sejak awal
munculnya Rengganis di kecamatan Cluring. Instrumen untuk mengiringi drama tari
Rengginis terdiri atas: kendang (Banyuwangen) 2 buah, demung 2 buah, saron 4 buah,

16
saron penerus 2 buah, bonang barong 1 buah, bonang penerus 1 buah, gong/ kempul
2 buah, angklung 2 buah, tambur 1 buah, keprak dan kecrek.
c) Panggung
Tata pentas pertunjukan Rengganis telah memiliki uba rampe yang telah
memadai bagi sebuah pertunjukan profesional, walaupun tarafnya masih sederhana.
Sistem penataan panggung yang profesional dalam pertunjukan Rengganis sangat
diperlukan sebab bagaimanapun juga panggung yang ditata secara artistik akan
membuat para penonton tertarik. Di samping itu panggung yang ditata akan
membuat pemain/ penari kelihatan jelas. Panggung digunakan dalam pertujukan
Rengganis berbentuk proscenium.

2) Fungsi Seni
Bila berbicara mengenai fungsi sebuah seni pertunjukan, sudah selayaknya bila
kita menghubungkan dengan masyarakat pendukungnya. Pada teori fungsi yang
diungkapkan oleh Soedarsono, bahwa ada tiga fungsi primer seni pertunjukan di
antaranya sebagai sarana upacara ritual adat dan keagamaan, sarana mengungkap
kegembiraan dan untuk sarana tontonan atau presentasi estetis, selain itu seni juga
memiliki fungsi primer (utama/pokok) dan fungsi sekunder. Sebagai fungsi primer
seni dapat mengekalkan pengalaman hidup yang bergairah dan berarti, sedangkan
fungsi sekunder dari pada seni adalah sebagai sarana untuk upacara, pendidikan,
penerangan, propaganda, hiburan, investasi, mencari status, dan sebagainya
(Soedarsono dalam Soeprihati, 2001: 72).
Berkaitan dengan pendidikan Dananjata mengemukakan pendapatnya
tentang fungsi teater rakyat bahwa beberapa dantaranya paling umum adalah sebagai
alat pendidikan anggota masyarakat, sebagai alat penebal solidaritas kolektiva,
sebagai alat yang memungkinkan seseorang untuk bertindak dengan penuh
kekuasaan terhadap seseorang yang menyeleweng, sebagai alat untuk mengeluarkan
protes terhadap ketidakadilan, memberi kesempatan bagi seseorang melarikan diri
untuk sementara dari kehidupan nyata yang membosankan ke dunia khayalan yang
indah dan lain-lain (Dananjaya dalam Soeprihati, 2001:73).

17
Menurut Soekanto (2007:155), kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat
besar bagi manusia dan masyarakat. Bermacam-macam kekuatan ada di dalamnya
dan harus dihadapi oleh masyarakat dan anggota-anggotanya seperti kekuatan alam
maupun kekuatan-kekuatan lainnya yang ada di dalam masyarakat itu sendiri.
Fungsi tersebut digunakan sebagai luapan kegembiraan oleh masyarakat tradisional.
Pengertian tentang fungsi kaitannya dengan keberadaan kesenian dalam masyarakat,
tidak hanya sekedar aktifitas kreatif, namun lebih mengarah pada kegunaanya.
Artinya, bagaimana keberadaan salah satu kesenian akan memiliki nilai guna yang
memberikan manfaat pada masyarakat sekitar, khususnya dalam mempertahankan
kehidupan sosial.
Mengenai fungsi seni G.P. Kurath dalam Soedarsono (1985:17) mengemukakan
sebagai berikut.
Ada 14 macam mengenai fungsi tari yaitu : 1) untuk upacara pubertas; 2)
inisiasi; 3) percintaan; 4) persahabatan; 5) upacara perkawinan; 6) pekerjaan;
7) upacara kesuburan; 8) perbintangan; 9) upacara perburuan; 10) lawakan;
11) perang; 12) untuk pengobatan; 13) upacara kematian; 14) sebagai
tontonan.
Dengan demikian adanya beberapa pendapat di atas dapat disepakati bahwa
pada hakikatnya seni memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat baik secara inidividu maupun kelompok. Seni juga memiliki sifat yang
dinamis tergantung bagaimana masyarakat pendukungnya dalam menanggapi. Atas
dasar fungsi dan kepentingan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya seni
pertunjukan Praburoro memiliki fungsi yang sangat kompleks, dan yang lebih penting
lagi sejak kemunculannya hingga saat ini telah pula mengalami perubahan-
perubahan baik fungsi maupun bentuknya. Dengan demikian seni pertunjukan
Praburoro terlihat selalu mengikuti perubahan sosial. Menurut Kodiran (1988: 544),
“Seberapa besar atau kecilnya pengaruh, cepat atau lambat, proses perubahan
tersebut akan berlangsung seiring dengan perubahan masyarakat, dan perubahan
tersebut sejalan dengan hukum alam yang bersifat alamiah sehingga tidak seorang
pun dapat mencegahnya.”

18
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dan mengacu pada teori yang
diungkapkan oleh Soedarsono dapat disepakati bahwa pertunjukan Praburoro
memiliki fungsi primer dan sekunder. Fungsi tersebut antara lain sebagai berikut:

a) Hiburan
Melalui kegiatan berkesenian, masyarakat dapat menghibur dirinya sendiri
atau orang lain. Bagi masyarakat petani pada waktu senggang menunggu panen,
mereka mengisi waktu senggangnya dengan kegiatan berkesenian untuk menghibur
diri. Bagi para seniman kepentingan untuk mendapatkan tujuan adalah dengan cara
berperan sebagai pelaku, sedangkan bagi masyarakat lainnya dapat bertindak sebagai
penyandang dana dan sebagai penonton.
Hingga saat ini seni pertunjukan Praburoro digunakan oleh masyarakatnya
sebagai hiburan pada acara hajatan perkawinan, khitanan atau perayaan hari jadi atau
hari besar lainnya.
b) Kelangsungan dan Stabilitas Kebudayaan
Kelangsungan hidup seni sebagai bagian kebudayaan sangat diperlukan bagi
masyarakat karena masyarakat sebagai pendukung tidak dapat dipisahkan dengan
kebudayaan, dengan menjaga kelestariannya kehidupan seni tetap berlangsung.
Melestarikan seni tradisi adalah kata yang sering diucapkan oleh siapapun, dan kata
tersebut tampaknya tidak asing bagi setiap orang yang mendengarnya baik
masyarakat awam maupun masyarakat yang berkompeten langsung dalam bidang
seni dan budaya. Bagi para seniman kegiatan seni tidak semata-mata bertujuan untuk
mencari nafkah atau mengharap upah dari hasil pementasannya. Demikian halnya
bagi masyarakat pengontrak dan pengguna jasanya tidak semata-mata untuk
menghamburkan uangnya demi mencari hiburan dan sekedar meramaikan hajatnya.
Kegiatan tersebut juga merupakan sebuah usaha untuk melestarikan seni tradisi
peninggalan nenek moyang agar kelangsungan hidupnya stabil.
Drama tari Praburoro sebagai produk kreativitas manusia kiranya dapat
difungsikan sebagai media untuk mengungkapka rasa keindahan pada msyarakat
pendukungnya. Sebagai pelaku seni, para seniman dengan imaginasi dan daya
ciptanya berusaha mempresentasikan pengalaman estetisnya kepada masyarakat

19
penonton, yang pada gilirannya dari kedua belah pihak terjadi kontak atau
komunikasi.
c) Penyampaian Pesan
Sebuah seni pertunjukan selain mengungkapkan nilai-nilai estetis juga dapat
berfungsi untuk menyampaikan pesan-pesan. Pesan tersebut dapat disampaikan
secara langsung maupun tidak langsung, dan pesan yang akan disampaikan
sebaiknya mengandung tuntunan atau ajaran, yang artinya tontonan tersebut
sebaiknya mengandung tuntunan. Pesan secara langsung biasanya disampaikan
langsung dari tutur kata atau perilaku seniman, sedangkan pesan yang tidak
langsung disampaikan melalui simbol-simbol yang memiliki makna tertentu.
Sama halnya dengan pertunjukan Praburoro, yang dalam penampilannya
terdapat beberapa penyampaian pesan antara lain: pesan pendidikan, pesan
keagamaan, dan pesan propaganda. Lewat tema atau cerita yang ditampilkan,
masyarakat dapat mengambil hikmanya dan untuk selanjunya direnungkan. Pesan
keagamaan dalam pertunjukan Praburoro jelas tampak pada sumber cerita yang
digunakan yaitu Serat Menak yang mengisahkan Wong Agung Menak (Amir
Hamsyah) dalam menyebarkan agama ajaran untuk menyembah Tuhan yang satu.
Seperti yang diungkapkan oleh narasumber pada tesis Soeprihati (2001: 79) bahwa
“dulu pertunjukan Praburoro dalam akhir pertunjukan yaitu raja Sabrang yang
dianggap kafir dengan jalan: pertama pembacaan dua kalimat syahadat; kedua
pengkhitanan. Pesan propaganda biasanya disampaikan lewat adegan lawak atau
dagelan.”
d) Pekerjaan
Pada umumnya, disadari atau tidak seni pertunjukan dapat berfungsi sebagai
kegiatan untuk perolehan tambahan kesejahteraan pendukungnya. Bagi para
seniman tujuan untuk mendapatkan imbalan setelah mengikuti pagelaran
merupakan suatu harapan untuk peningkatan kesejahteraannya. Anggota kelompok
drama tari Praburoro ‘Langen Sedya Utama’ sebagian besar tidak memiliki pekerjaan
tetap, hal ini berarti bahwa sebagai seniman pertunjukan dapat digunakan untuk
mencari tambahan nafkah.

20
Selain para seniman yang berkompeten langsung dalam pertunjukan, ada pula
masyarakat yang memanfaatkan kehadiran pertunjukan tersebut untuk memperoleh
tambahan pendapatan untuk kesejahteraan keluarganya. Mereka itu adalah para
pedagang yang kehadirannya juga turut mendukung keramaian atas pertunjukan
kesenian Praburoro. Masyarakat pedagang biasanya selalu mengikuti kemana
Praburoro mengadakan pertunjukan dan tempatnya yang terjangkau.

3) Perubahan

Setiap masyarakat selama hidupnya pasti mengalami perubahan. Perubahan


bagi masyarakat yang bersangkutan maupun bagi orang luar yang menelaahnya,
dapat berupa perubahan–perubahan yang tidak menarik dalam arti kurang
mencolok. Menurut Wilber Moore dalam Lauer mendefinisikan bahawa, “perubahan
sosial sebagai perubahan penting dari struktur sosial, dan yang dimaksud struktur
sosial adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial (Lauer, 2003:4).” Moore
memasukkan ke dalam definisi perubahan sebagai ekspresi mengenai struktur seperti
norma, nilai dan fenomena kultural, sedangkan pengertian perubahan sosial menurut
Robert H. Lauer sendiri,yaitu perubahan dalam segi fenomena sosial di berbagai
tingkat kehidupan manusia, mulai dari tingkat individual hingga tingkat dunia
(Lauer, 2003: 5). “Adapula perubahan–perubahan yang pengaruhnya terbatas
maupun yang luas, serta ada pula perubahan–perubahan yang lambat sekali, tetapi
ada juga yang berjalan cepat (Soekanto, 1990:311).” Secara umum ada beberapa
bentuk perubahan sosial dan kebudayaan, yaitu perubahan lambat dan perubahan
cepat, perubahan dikehendaki dan perubahan tidak dikehendaki, serta perubahan
kecil dan perubahan besar (Soekanto, 1990: 310).

Perubahan pada kehidupan masyarakat tentunya menyesuaikan


perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan dapat berlangsung cepat
atau lambat tergantung pada respon masyarakat dalam mengikuti perubahan yang
terjadi pada kehidupan masyarakat tersebut. Gillin dan Gillin dalam Soekanto juga
mendefinisikan bahwa “perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup
yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis,

21
kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi
ataupun penemuan baru dalam masyarakat (Soekanto, 1990:304).” Lain halnya
menurut Davis dalam Soekanto (1990: 308) mengatakan bahwa “perubahan sosial
merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan kebudayaan mencakup
semua bagiannya, yaitu: kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan
seterusnya.” Berbeda lagi dengan Selo Soemardjan dalam Soekanto (1990: 309)
mengatakan bahwa, “perubahan- perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai satu
aspek yang sama yaitu kedua-duanya bersangkut paut dengan suatu penerimaan
cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya.”

Terjadinya suatu perubahan tidak lepas dari faktor yang mendorong suatu
perubahan. Beberapa faktor pendorong terjadinya proses perubahan yaitu kontak
dengan kebudayaan lain, sistem pendidikan yang maju, sikap menghargai karya
orang lain, sistem lapisan masyarakat terbuka, penduduk yang heterogen, ketidak
puasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu, serta orientasi ke
masa depan (Soekanto, 1990: 326). Suatu perubahan dapat diterima oleh masyarakat
ketika perubahan tersebut bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, tetapi perubahan
juga dapat ditolak oleh masyarakat ketika perubahan tersebut tidak sesuai dengan
norma dan nilai sosial yang ada pada masyarakat tersebut.

22
C. Kerangka Berfikir

BENTUK PERTUNJUKAN DRAMATARI


PRABURORO DI SANGGAR LANGEN SEDYA
UTAMA CLURING KABUPATEN BANYUWANGI

(KAJIAN SOSIOLOGI SENI)

fungsi pertunjukan bentuk perubahan


drama tari Praburoro pertujukan drama tari
Praburoro Dramatari
Praburoro di Sanggar
Langen Sedya Utama?
1. Soeprihati,
2001
2. Soekanto, 1. Robert J.
2007, Lauer, 2003
3. Soedarsono 2. Soekanto,
1985 1990

Hasil
Penelitian

Dalam penelitian ini mengkaji tentang bentuk pertunjukan drama tari


Praburoro di Sanggar Langen Sedya Utama Kecamatan Cluring Kabupaten
Banyuwangi dalam Kajian Sosiologi Seni dengan menggunakan dua rumusan
masalah, yaitu: pertama tentang fungsi seni pertunjukan drama tari Praburoro
dengan menggunakan teori Sri Woro Soeprihati (2001), Soerjono Soekanto (2007) dan
Soedarsono (1985); kedua tentang bentuk perubahan pertunjukan dramatari
Praburoro dengan menggunakan teori Soekanto (1982) dan Hadi (2005) lalu dijadikan
hasil penelitian.

23
7. Metode Penelitian
Metode Penelitian adalah langkah yang dimiliki dan dilakukan oleh
peneliti dalam rangka untuk mengumpulkan informasi atau data serta melakukan
investigasi pada data yang telah didapatkan tersebut.
Cholid Narbuko mengemukakan bahwa metode adalah cara tepat untuk
melakukan sesuatu, sedangkan penelitian adalah kegiatan mencari, mancatat,
merumuskan dan menganalisis sampai menyusun laporannya. Metode
penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan
tujuan dan kegunaan tertentu, cara ilmiah berarti kegiatan penelitian itu
didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional (masuk akal), empiris (dapat
diamati oleh indera manusia), dan sistematis atau langkah-langkah bersifat
logis. Tujuan metode penelitian adalah usaha untuk menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran, suatu pengetahuan, dimana usaha-
usaha itu dilakukan degan menggunakan metode ilmiah. (Narbuko, 2013:1).

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan melalui pendekatan


deskriptif. Menurut Cholid Narbuko, “Pendekatan deskriptif adalah penelitian yang
berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan
data-data. Tujuan penelitian ini deskripsi adalah untuk pemecahan masalah secara
sistematis dan faktual mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi kualitatif
(Narbuko, 2013:1).” Penelitian ini berusaha mendeskripsikan secara tertulis mengenai
keeradaan dan keberlanjutannya kesenian drama tari Rengganis Praburoro yang saat
ini di Banyuwangi khususnya di sanggar Langen Sedya Utama. Selain itu berusaha
mendeskripsikan pertunjukan dramatari Rengganis Praburoro.

B. Objek Penelitian
Objek penelitian merupakan sasaran pokok dari sebuah penelitian. Objek
formal pada penelitian ini adalah fungsi seni dalam masyarakat. Sedangkan objek
materialnya yaitu dramatari Praburoro di Sanggar Langen Sedya Utama Banyuwangi.

C. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah Sanggar Langen Sedya Utama desa Cluring
kecamatan Cluring kabupaten Banyuwangi. Lokasi ini dipilih sebagai lokasi
penelitian karena keberadaan kesenian drama tari Rengganis Praburoro saat ini hanya

24
berada di desa Cluring kecamatan Cluring kabupaten Banyuwangi. Selain itu lokasi
penelitian tersebut juga satu wilayah dengan tempat tinggal peneliti sehingga
memudahkan peneliti untuk melakukan peneitian dan pengumpulan data. Alasan
lain lokasi ini dipilih karena sanggar ini frekuensi pertunjukannya lebih tinggi
daripada yang lain bahkan di Sanggar Langen Sedya Utama merupakan sanggar yang
tertua untuk kesenian dramatari Rengganis Praburoro dan masih bertahan sampai
sekarang daripada sanggar atau grup yang lain.
Dalam penelitian di lapangan, lokasi penelitian juga dilakukan di desa Cluring
kecamatan Cluring kabupaten Banyuwangi karena di wilayah sekitar sanggar
tersebut juga terdapat tempat tinggalnya para anggota atau pemain kesenian
dramatari Rengganis Praburoro.

D. Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data merupakan upaya yang ditempuh untuk memperoleh data
penelitian. Menurut Sugiyono, “Data adalah segala informasi tentang variabel yang
diteliti. Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam
penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data (Sugiyono,
2010:308).” Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan
mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Dalam penelitian
ini, pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi yang alamiah) dan
sumber data primer yaitu sumber data yang langsung memberikan data kepada
pengumpul data. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan studi
lapangan, studi pustaka dan studi dokumentasi. Studi lapangan penelitian ini
meliputi observasi (pengamatan), wawancara (interview), catatan lapangan, studi
pustaka dan studi dokumen. Penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sesuai
dengan teknik serta data yang diperoleh selama penelian dapat dilihat dalam
lampiran.
1) Pengamatan atau observasi
Dalam buku Metodologi Penelitian, “Pengamatan atau observasi adalah teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara
sistematik gejala-gejala yang diselidiki (Narbuko, 2013:70).” Observasi penelitian ini

25
menggunakan observasi partisipasi pasif yaitu dalam pengertian pada buku Metode
Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D,
partisipasi pasif yakni peneliti datang di tempat kegiatan orang yang diamati
dan observasi terus terang dan tersamar yakni peneliti dalam melakukan
pengumpulan data menyatakan terus terang kepada sumber bahwa sedang
melakukan penelitian dan tersamar untuk menghindari kalau suatu data yang
dicari merupakan data yang masih dirahasiakan.
Tabel 1) Tabel Observasi

No Hari/ Tanggal Hal yang Diobservasi Lokasi


1 Sabtu, 7 september Bentuk pertunjukan Sanggar Langen Sedya
2019 dramatari Praburoro, Utama desa Cluring
Tata rias, tata Kecamatan Cluring
Busana,iringan, gerak, kabupaten Banyuwangi
properti, alur cerita
2 Jum’at 18 Oktober a) Keberadaan Drama
Tari Praburoro saat Kecamatan Cluring
ini kabupaten Banyuwangi
b) Sistem Pengelolaan
c) Grafik penampilan
atau pementasan
Praburoro dari era
1990-an hingga saat
ini
d) Regenerasi
3 Jum’at 18 Oktober a) Cerita dari Kecamatan Cluring
pertunjukan kabupaten Banyuwangi
dramatari Praburoro
b) Jenis cerita apa saja
dalam drama tari
Praburoro dan cerita
apa yang paling

26
disukai oleh
masyarakat
c) Alasan apresiasi
masyarakat saat ini
menurun terhadap
Praburoro dan cara
menanganinya
4 Sabtu, 19 Oktober a) Cara memunculkan Kecamatan Srono
agar masyarakat kabupaten Banyuwangi
mengapresiasi
kembali pertunjukan
dramatari Praburoro
b) Faktor-faktor yang
menunjang agar
dramatari Praburoro
tetap terjun
dikalangan
masyarakat
5 Senin, 1 Desember a) Tanggapan atau Kecamatan Singojuruh
2019 apresiasi masyarakat
dulu dan sekarang
tentang pertunjukan
drama tari Praburoro
b) Perbedaan
pertunjukan drama
tari Rengganis yang
dulu dan sekarang

2) Wawancara atau interview


Dalam melakukan observasi peneliti juga melakukan wawancara mendala
(interview). “Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang

27
berlangsung, secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka
mendengarkan secara langsug, informasi-informasi atau keterangan-keterangan
(Narbuko, 2013:283).” Wawancara yang digunakan dalam penelitian iniadalah
wawancara bebas terpimpin dan wawancara mendalam. Wawancara bebas terpimpin
adalah pewawancara hanya membuat pokok-pokok masalah yang akan diteliti,
selanjutnya dalam proses wawancara berlangsung mengikuti situasi, pewawancara
harus pandai mengarahkan yang diwawancarai apabila ternyata menyimpang.
Wawancara mendalam adalah seseorang yang dijadikan informan memiliki
pengetahuan secara khusus atau informasi khusus atau yang dekat dengan situasi
yang menjadi fokus penelitian serta memiliki status khusus. Selanjutnya informan
utama diminta menunjukkan beberapa informan lain yang dianggap mampu
memberikan informasi.

Tabel 2) Tabel Wawancara

No Nama Profesi Hal yang Ditanyakan


1 Noni Penari sebagai Bentuk pertunjukan dramatari
Rengganis Praburoro, Tata rias, tata
Busana,iringan, gerak, properti,
alur cerita
2 Ketang Mujoko Ketua Paguyuban a) Keberadaan Drama Tari
Drama tari Praburoro saat ini
Praburoro ‘Langen b) Sistem Pengelolaan
Sedya Utama’ c) Grafik penampilan atau
pementasan Praburoro dari
era 1990-an hingga saat ini
d) Regenerasi
3 Asmui Sutradara Drama a) cerita dari pertunjukan
Tari Praburoro dramatari Praburoro
b) jemis cerita apa saja dalam
drama tari Praburoro dan

28
cerita apa yang paling
disukai oleh masyarakat
c) Alasan apresiasi masyarakat
saat ini menurun terhadap
Praburoro dan cara
menanganinya
4 Alek Jokomulyo Budayawan a) Cara memunculkan agar
Banyuwangi masyarakat mengapresiasi
kembali pertunjukan
dramatari Praburoro
b) Faktor-faktor yang
menunjang agar dramatari
Praburoro tetap terjun
dikalangan masyarakat
5 Sahuni Kepala desa a) Tanggapan atau apresiasi
Singojuruh/ Penulis masyarakat dulu dan
dewi Rengganis sekarang tentang
pertunjukan drama tari
Praburoro
b) Perbedaan pertunjukan
drama tari Rengganis yang
dulu dan sekarang

3) Dokumentasi
Dokumentasi merupakan pengumpulan, pemilihan, pengolahan, dan
penyimpanan informasi yang berkaitan dengan topik permasalahan. Teknik
pengumpulan data dengan dokumen adalah cara pengumpulan data melalui catatan
peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen dalam penelitian ini berupa dokumen audio
dan visual yakni dalam bentuk gambar, rekaman suara dan video. Studi dokumen ini
merupakan salah satu teknik dalam mengumpulkan data. Selain itu teknik ini juga

29
sebagai teknik untuk menunjang hasil metode observasi dan wawancara dalam
penelitian ini.

E. Sumber Data
Sumber data yang digunakan oleh peneliti dibedakan menjadi sumber data primer
dan sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan
data kepada pengumpul data, dan sumber sekunder adalah sumber yang tidak
langsung memberikan data kepada pengumpul data.
“Penentuan informan (narasumber) menggunakan teknik bola salju (snowball
sampling), yaitu teknik pengambilan sampel sumber data, yang pada awalnya
jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar (Sugiyono, 2010: 300).” Hal ini dilakukan
karena dari sumber data yang sedikit itu belum mampu memberikan data yang
lengkap, maka mencari orang lain yang dapat digunakan sebagai sumber data. Pada
situasinya setelah salah satu informan diwawancarai, diminta untuk menunjukkan
informan lain, begitu seterusnya sampai data dirasakan jenuh artinya tidak
mendapatkan data baru lagi. Penentuan narasumber dimulai dari keluarga Marwito
(Alm) karena Marwito sempat menjadi pimpinan pada sanggar Langen Sedya Utama
pada tahun 1981-2001 dan keluarganya juga ikut serta dalam pertunjukan drama tari
Rengganis Praburoro. Dari narasumber tersebut kemudian menunjukkan informan-
informan lain yang dianggap mampu memberikan informasi lebih dalam dan lebih
jauh berdasarkan masalah-masalah yang akan dipecahkan.

F. Validitas Data
Validitas adalah uji keabsahan data dalam penelitian. Hasil penelitian yang
valid bila terdapat kesamaan antara data yang terkumpul dengan data yang
sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti. Valid berarti instrumen tersebut dapat
digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Validitas data dapat
menggunakan triangulasi. Triangulasi dapat diartikan sebagai pengecekan data dari
berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. “Teknik pengumpulan
data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan
sumber data yang telah ada disebut triangulasi atau gabungan (Sugiyono, 2010: 330).”

30
Triangulasi teknik pada penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan yang
berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama. Triangulasi
penelitian ini menggunakan observasi partisipatif pasif, wawancara mendalam dan
dokumentasi untuk mendapatkan data dari sumber yang berbeda tetapi dengan
teknik yang sama.
1) Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber untuk mengkaji kredibilitas data dilakukan dengan cara
mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber.
2) Triangulasi Metode
Triangulasi metode digunakan untuk menguji kredibilitas data yang dilakukan
dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.
Jadi data yang diperoleh melalui satu teknik akan diuji menggunakan teknik yang
lain sesuai dengan topik dan fokus masalah. Teknik yang telah dilakukan oleh peneliti
adalah observasi, wawancara, dokumen dan studi pustaka.
3) Triangulasi Waktu
Triangulasi waktu adalah teknik triangulasi untuk menguji kebenaran melalui
beberapa waktu yang berbeda. Jadi hasil yang didapatkan dalam waktu tertentu diuji
lagi dalam waktu tertentu lainnya.

G. Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga
dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.
Analisis data kualitatif adalah bersifat induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan data
yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola hubungan tertentu atau menjadi
hipotesis. Analisis data yang telah dilakukan oleh peneliti adalah memilih data-data
yang penting dan pokok serta menganalisis dalam bentuk rangkuman. Rangkuman
yang telah dibuat oleh peneliti dijadikan suatu sesuai dengan teknik berbeda tetapi
pokok bahasan yang sama. Penyatuan rangkuman direvisi kembali dan dijadikan satu
pokok pikiran. Setiap pokok pikiran bahasan sesuai dengan permasalahan,
dikembangkan dan dihubungkan dengan teori-teori yang telah dijelaskan pada bab

31
sebelumnya yaitu Kajian Pustaka sehingga mendapatkan data yang valid dan dapat
ditulis dengan bahasa yang ilmiah.
1) Reduksi Data
Reduksi data adalah memilih data yang terpenting dari seluruh data yang
diperoleh, dirampingkan dan disederhanakan kemudia diabstraksikan. Selama
proses pengumpulan data kegiatan reduksi data dilaksanakan dengan cara
memahami catatan dari observasi maupun wawancara informan Rengganis
Praburoro yang telah diperoleh kemudian dibuat ringkasan. Ringkasan ditulis sesuai
dengan permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya.
Langkah kedua adalah membuat catatan refleksi, ringkasan yang telah
dilakukan dipilih menjadi bagian-bagian sehingga menemukan pengertian yang
mendalam. Langkah ketiga adalah pemilihan data yaitu memberikan tanda atau
kode, tiap satuan data yang sudah dipilah. Proses reduksi terus menerus sampai
laporan akhir penelitian selesai ditulis sehingga saling kait-terkait.
2) Penyajian Data
Setelah tahap reduksi adalah meyajikan data yang sudah diperoleh dan yang
telah di pilah serta dianalisis sehingga menemukan data tentang kebelanjutan
dramatari Rengganis Praburoro yang benar-benar valid dan relevan.penyajian data
menggunakan sistem mencatat hasil reduksi yang telah diperoleh, dipilah dan
dianalisis berdasarkan fokus penelitian dan menerapkannya dalam bentuk tabel
sehingga mudah untuk direduksi kembali untuk menemukan sebuah kesimpulan.
Contoh format tabel sesuai dengan teknik pengumpulan data yang dapat dilihat
diatas. Penyajian data yang ditulis dalam bentuk tabel kemudian akan disajikan
dalam bentuk format karya ilmiah menggunakan susunan dan bahasa ilmiah.
3) Penarikan Kesimpulan
Setelah data disajikan, maka tahap selanjutnya adalah menarik kesimpulan
data yang sudah dianalisis. Penngambilan kesimpulan harus diverifikasi secara
berulang-ulang, sehingga kesimpulan sesuai dengan kebenaran ilmiah dan
dipertanggungjawabkan. Kesimpulan data diperoleh dari analisis hasil reduksi
dengan teori-teori yang digunakan dalam kajian teori. Kesimpulan yang didasarkan

32
pada hasil penyajian data kemudian dijadikan sebagai simpulan akhir yang berisi
data valid dan dapat dipertanggung jawabkan.

33
DAFTAR RUJUKAN

Annisa Satriati . 2015. “Kajian Sosiologi Tari Rentak Bulian Di Kecamatan Rengat
Barat Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau”. Jurnal Universitas Negeri
Yogyakarta, (Online), Volume 4, Nomor 4,
(http://journal.student.uny.ac.id/jurnal/artikel/12448/33/1465, diakses pada
10 Oktober 2019)
Bastomi, Suwaji. 1990. Wawasan Seni.Semarang: Press
Djelantik. 2004. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: MSPI dan Arti.
Hadi, Sumandiyo. 2007. Kajian Tari dan Konteks. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher

Hadi, Y. Sumandio. 2005. Sosiologi Tari: Sebuah Pengenalan Awal. Yogyakarta: Pustaka

Jazuli, M. 2008. Pendidikan Seni Budaya Suplemen Pembelajaran Tari. Semarang: Universitas
Negeri Semarang

Kusmayanti, Hermien. 2000. “Arak-arakan” Seni Pertunjukan Dalam Upacara Tradisional


di Madura. Yogyakarta: Tarawang Press

Lauer, Robert H. 2003. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: PT Rineka Cipta
Moleong, Lexy J. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung:PT Remaja Rosdakarya.
Mulyono, Sri.1978. Wayang, Asal Usul Fisafat dan Masa Depannya. Jakarta: Gunung Agung.

Murgiyanta, Sal. 1979. Sekelumit Tentang Tontonan Wayang Orang, dalam Sweydarmadji dan
J.H. Damais Edisi Sewindu Jaya Budaya. Yogyakarta.
Narbuko, Colid dan Abu Achmadi.2013. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.

Soedarsono. 1977. Tari-Tarian Indonesia. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan,


Direktorat Jendral Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Soedarsono. 1985. Gaya Hidup Masyarakat Jawa di Pedesaan Pola Kehidupan Sosial ekonomi
dan Budaya. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Soedarsono. 2002.Seni Pertunjukan Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Soeprihati, Woro Sri. 2001. Drama Tari Rengganis di Desa Cluring Banyuwangi. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Suharto, Ben. 1999. Tayub: Pertunjukan dan Ritus Kesuburan. Bandung : MSPI

34
Sunjata, Wahjudi Pantja dan Sakari. Pelestarian Kesenian Rengganis: Studi Kasus
Grup Langen Sedya Utama, Dusun Krajan, Desa Cluring, Kecamatan Cluring
Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Tim Penyusun Unesa.2011. Menulis Ilmiah: Buku Ajar MPK Bahasa Indonesia .Surabaya:
Universitas Negeri Surabaya.

Tim Penyusunan Unesa. 2014. Buku Panduan Skripsi Fakultas Bahasa dan Seni: Surabaya:
Universitas Negeri Surabaya.
Umar Kayam.1981. Seni, Tradisi dan Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.

Yuda, Indra. 2002 “Pendekatan Antropologis dalam Pembelajaraj Sejarah dan Analisis
Tari”. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra dan Seni Universitas Negeri Padang
(Online) Vol 2, Nomer 1
(http://katalog.pustaka.unand.ac.id//index.php?p=show_detail&id=93117,
diakses pada 10 Oktober 2019).

35

Anda mungkin juga menyukai