Anda di halaman 1dari 22

BAB VII

KONSTRUKSI NILAI ESTETIS JAWA


DALAM TEKS FIKSI INDONESIA

Abstrak: Akibat belum memiliki pijakan kultural yang mantap


dan kuat, teks fiksi Indonesia harus menemukan pijakan
kultural dari berbagai tradisi kebudayaan. Salah satu tradisi
kebudayaan lokal yang ditemukannya adalah kebudayaan Jawa.
Nilai estetis Jawa merupakan salah satu aspek kebudayaan Jawa
yang ditemukan oleh teks fiksi Indonesia untuk pijakan
kulturalnya. Tak heran, teks fiksi Indonesia mengkonstruksikan
karakteristik utama nilai estetis Jawa secara cukup kuat dan
menonjol, yaitu holistis-totalis dan kemapanan-keselarasan-
kebersamaan. Dalam hubungan ini nilai estetis wayang dan nilai
estetis tembang macapat terkonstruksi secara kuat dan
menonjol di dalam teks fiksi Indonesia terbitan Sesudah Perang
Kemerdekaan, di antaranya teks Burung-burung Manyar,
Burung-burung Rantau, Pengakuan Pariyem, Perburuan, Pasar,
Kotbah di Atas Bukit, Tirai Menurun, dan Ronggeng Dukuh Paruk.

Kata-kata kunci: Konstruksi, nilai estetis Jawa, teks fiksi,


Indonesia

… sadaja kagunan punika mengku kaendahan... basa punika raos


ingkang kawedhar; wedharing raos ingkang awudjud andharan
ingkang sarwa endah kawastanan kagunan utawi kasusastran …
(… semua kagunan itu berisi keindahan... bahasa itu merupakan
rasa yang berpengetahuan; pengetahuan rasa yang berwujud
paparan yang serba indah disebut kagunan atau kesusastraan
…).

Sedjatosipun bab kaendahaning kesusastran punika mboten


pisah kalijan suraosipun ... Kasusastraan ingkang endah lan
mentes suraosipun kenging kaumpamekaken putri endah
ingkang renengga ing busana. Anggitan ingkah wujud sekar
utawi gantjaran ingkang kebak rerenggan nanging sepen suraos
punika kados upamanipun rerenggan mas inten ingkang ginelar
salebeting lemantun katja, pating gletak datan mobah lan mosik
boleh gadhah pangawasa utawi daya prabawa babar pisan ....
Rerengganing kasusastran punika boten madeg pribadi utawi
boten misah nanging nunggil suraos, kadosdene manunggaling
sekar lan wanginipun. (Sesungguhnya perihal keindahan
kesusasteraan selalu terikat dengan rasa .... Kesusasteraan yang
mengandung rasa sedemikian indah dan bernas dapat diibarat-
kan putri jelita yang berhiaskan busana. Karangan yang
berwujud tembang atau prosa yang penuh hiasan (olahan)
tetapi kering rasa dapat diibaratkan hiasan emas berlian yang
digeletakkan dalam almari kaca tanpa bergerak dan berubah
karena tidak memiliki kekuasaan atau daya sama sekali. Hiasan
kesusasteraan itu tidak berdiri sendiri, tetapi bersatu rasa,
bagaikan kemanunggalan bunga dengan wanginya).

… kaendahan punika wewudjudan ingkang sarwa laras; wewu-


djudan ingkang sarwa laras wau tumanduk ing djiwa ladjeng
mahanani raos seketja utawi trenjuh. Kasusastran endah punika
kasusastran ingkang saged mahanani raos seketja utawi trenjuh;
ingkang saged mahanani raos seketja utawi trenjuh punika
andharan ingkang saged nudju prana; andharan ingkang saged
nudju prna punika andharan ingkang suraosipun laras,
basanipun mathuk sarta embating wiramanipun seketja …
(...keindahan itu berwujud sesuatu [yang manifes] yang serba
selaras; sesuatu yang serba selaras itu di dalam jiwa mem-
bangkitkan rasa enak atau terenyuh tiada tepermanai. Kesu-
sasteraan indah itu kesusasteraan yang dapat membangkitkan
rasa enak atau terenyuh tiada tara; yang dapat membangkitkan
rasa enak sekali atau terenyuh itu komposisi yang mampu mem-
bawa ke arah prana [terpana, tersihir]; komposisi yang mampu
membawa ke arah prana [terpana] itu merupakan komposisi
yang rasanya selaras, bahasanya serba cocok serta pemenggalan
iramanya sangat enak...)

sadjatosipun kaendahaning sadaja kagunan punika mapanipun


wonten ing wirama. Rehning kasusastran punika inggih
panunggilanipun kagunan, mila mapaning kaendahanipun
inggih wonten ing wirama (sesungguhnyalah keindahan segala
kagunan terletak pada wirama. Berhubung sastra merupakan
salah satu wujud kagunan, maka letak keindahannya juga ada
pada wirama) [Dwidjosoemarto, 1957, Kasusastran Djawi,
Bandung, KPKK, Balai Pendidikan Guru, hlm. 2—3]

Sebagai sebuah fenomena yang relatif baru, kehadiran teks fiksi Indonesia belum
memiliki pijakan kultural yang mantap. Hal ini terjadi karena kebudayaan (nasional) Indo-
nesia beserta tradisinya masih sangat muda dan belum tegas sehingga belum dapat
dijadikan pijakan tradisi kultural bagi teks fiksi Indonesia. Tak heran, dalam sejarah teks
fiksi Indonesia dapat disaksikan eksperimen-eksperimen mencari pijakan tradisi kultural
bagi kehadiran teks fiksi Indonesia. Secara dikotomis, ada dua macam kebudayaan yang
dicoba dijadikan pijakan kultural oleh teks fiksi Indonesia, yaitu kebudayaan modern
(baca: Barat) dan kebudayaan lokal di Indonesia yang sudah relatif tua dan lama ada,
setidak-tidaknya sudah ada ketika kebudayaan (nasional) Indonesia ada (Esten, 1982;
Saryono, 1998).
Salah satu kebudayaan lokal di Indonesia yang dicoba dijadikan pijakan kultural
adalah kebudayaan Jawa. Banyak pengarang teks fiksi Indonesia, terutama semenjak
Sesudah Perang Kemerdekaan, menggali dan mengangkat kebudayaan Jawa sebagai
pijakan kultural teks fiksi Indonesia yang mereka tulis. Kebudayaan Jawa itu bukan
sekadar menjadi tema, latar, dan pokok persoalan, melainkan -- lebih dari itu -- juga
benar-benar menjadi ruh yang memberikan kekayaan kultural bagi teks fiksi Indonesia.
Salah satu aspek kebudayaan Jawa yang digali dan diangkat dalam teks fiksi Indonesia
ialah nilai estetis Jawa (selanjutnya disingkat NTJ) di samping nilai religius Jawa (NRJ),
nilai filosofis Jawa (NFJ), dan nilai etis Jawa (NTJ). Tak mengherankan, dalam teks fiksi
Indonesia terkonstruksi secara cukup kuat NTJ di samping tentu saja NRJ, NFJ, dan NEJ.
Pertanyaannya di sini: Seperti apakah konstruksi NTJ dalam teks fiksi Indonesia?.
Makalah ini mencoba menelusuri tilas-tilas NTJ dalam beberapa teks fiksi Indonesia.
Setelah membeberkan NTJ seperlunya, makalah ini kemudian mencoba membeberkan
tilas-tilas NTJ dalam beberapa teks fiksi Indonesia.

KARAKTERISTIK NILAI ESTETIS JAWA


Nilai estetis Jawa berkenaan dengan keindahan dan keelokan, endah lan elok,
suatu objek estetis dalam pandangan manusia Jawa. Sebagaimana pada umumnya tradisi
sastra Timur -- seperti dikemukakan oleh Nasr (1993) -- dan khususnya tradisi sastra
Jawa -- seperti dikemukakan oleh Teeuw (1984), Wiryamartana (1986), dan Zoetmulder
(1983) -- NTJ tidak terlepas sama sekali dan sepenuhnya dengan NRJ, NFJ, dan NEJ. Hal
ini juga diakui oleh banyak ahli budaya Jawa, misalnya Magnis-Suseno (1984:212--214)
yang mengamati etika Jawa sampai pada simpulan sebagai berikut.
... halus dan kasar pertama-tama merupakan kategori estetis. Apa yang halus itu
juga indah dan yang kasar juga rupanya jelek. Dengan demikian penilaian tentang
baik dan buruk berdekatan dengan penilaian estetis. Karena yang baik hanya
terlaksana dalam keadaan keselarasan sempurna, dan karena yang buruk selalu
merupakan gangguan terhadap keselarasan itu, maka langsung dapat dimengerti
bahwa yang baik itu indah dan yang buruk kelihatan jelek. Yang indah itu baik
karena merealisasikan keselarasan, dan gangguan keselarasan nampaknya jelek
dan oleh karena itu memang jelek. Memang, kata Jawa untuk "baik" (becik) juga
dipakai dalam arti "indah" walaupun kata indah juga diungkapkan dengan kata
tersendiri (endah). Sedangkan seperti dalam bahasa Indonesia, begitu juga dalam
bahasa Jawa tidak ada kata khusus untuk suatu pandangan yang jelek, hanya ada
kata ala (juga elek), yang berarti buruk, baik dalam arti estetis maupun dalam arti
moral.

Sejalan dengan itu, dapat dikatakan bahwa di dalam budaya Jawa, keindahan dan
keelokan berjalin berkelindan secara mutualistis dengan kekudusan dan kesucian (NRJ),
kebenaran dan ketepatan (NFJ), dan kebaikan dan kesopansantunan atau kepantasan
(NEJ). Di sinilah masing-masing nilai budaya Jawa perlu saling mendukung dan
menghargai, tidak berbenturan-bertabrakan terus-menerus, misalnya pengalaman estetis
mendukung tercapainya pengalaman religius; momen estetis terdorong ke momen religius.
Seperti telah telah ditunjukkan dengan baik oleh Wiryamartana dalam Aspek-aspek Estetik
(1986) dan Arjunawiwaha: Transformasi Teks Jawa Kuno lewat Tanggapan dan Pen-
ciptaan di Lingkungan Sastra Jawa (1990) dan juga Zoetmulder dalam Kalangwan: Sas-
tra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983), keterkaitan berbagai nilai budaya Jawa tersebut
tampak sangat kuat dalam sastra Jawa Kuno; kualitas estetis sastra Jawa Kuno
menemukan puncaknya dalam kualitas religius (kalangon) dan momen estetis sastra Jawa
Kuno mencapai puncaknya dalam momen religius. Demikian juga, seperti telah
ditunjukkan oleh Sudewo dalam Serat Panitisastra (1991), Simuh dalam Wirid Hidayat
Jati: Mistik Islam Kejawen R.Ng. Ranggawarsito (1985) dan Sufisme Jawa (1995),
Darusuprapto, dkk. dalam Ajaran Moral dalam Susastra Suluk (1990), dan Florida dalam
Pada Tembok Keraton Ada Pintu: Unsur Santri dalam Dunia Kapujanggan "Klasik" di
Keraton Surakarta (1996), dalam sastra Jawa Zaman Pertengahan atau Zaman Mataram-
Islam tampak keterkaitan berbagai NTJ, NEJ, NFJ, dan NRJ tersebut; kualitas estetis
bercampur atau berpadu dengan kualitas etis, filosofis, dan religius. Bahkan Djoko
Damono dalam Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Isi, Fungsi, dan Struktur (1993) dan
Quinn dalam Novel Berbahasa Jawa (1992) menunjukkan bahwa dalam batas-batas
tertentu novel-novel Jawa modern masih memperlihatkan tilas-tilas keterkaitan mutualistis
antara berbagai NTJ, NEJ, NFJ, dan NRJ; nilai keindahan dan keelokan novel Jawa mo-
dern tetap tidak bisa melepaskan diri dari (beban saling mendukung dan menghargai) nilai
kebaikan, kepantasan, kebenaran, ketepatan, dan kekudusan serta kesucian menurut
manusia Jawa. Implikasi hal tersebut adalah bahwa yang indah dan elok (dapat) menjang-
kau arti yang baik, pantas, benar, tepat, kudus, dan atau suci dalam BJ. Jadi, pada
dasarnya NTJ berciri holistis-integratif, dalam arti (bisa) menjangkau atau menembus
dimensi etis, filosofis, dan religius yang imaterial-metafisis, bukan semata-mata dimensi
estetis ansich yang material-fisis-literer.

JEJAK NTJ DALAM BEBERAPA TEKS FIKSI INDONESIA


Meskipun tidak dapat dikatakan menonjol dan kuat, tetapi tetap mengesankan,
tilas-tilas ciri holistis-integratif NTJ tersebut terkonstruksi di dalam teks-teks fiksi
Indonesia yang diamati. Berbagai teks fiksi Indonesia yang diamati memperlihatkan
adanya keterkaitan atau keberjalinan antara NTJ, NEJ, NFJ, dan NRJ dalam arti muatan
nilai estetis memerlukan dukungan dan atau menanggung beban muatan nilai etis,
filosofis, dan religius. Sebagai contoh, teks Pengakuan Pariyem mekonstruksikan NTJ
yang harus mendukung atau menanggung beban 'berbicara' NFJ sehingga dalam perspektif
modern teks ini terlalu didaktis (bagai serat piwulang) daripada literer. Teks Para Priyayi
juga mekonstruksikan NTJ yang harus mendukung atau menanggung muatan NEJ, NFJ,
dan NRJ sehingga dalam perspektif modern teks ini dianggap kurang berhasil sebagai
karya literer. Dikatakan demikian karena kepentingan estetis teks ini juga harus melayani
kepentingan etis, filosofis, dan religius. Kemudian teks Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang
Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala mekonstruksikan NTJ yang harus menanggung
muatan NEJ, NFJ, dan NRJ yang relatif cukup kuat dan menonjol. Dalam batas-batas
tertentu, teks Burung-Burung Manyar juga mekonstruksikan NTJ yang harus menopang
muatan NRJ; keindahan Burung-burung Manyar tampak kuat justru karena bersandingan
dengan gagasan persatuan mistis, unio mistyca. Selanjutnya, teks Kothbah di Atas Bukit
mencoba mekonstruksikan NTJ yang bersandingan dengan erat dengan NRJ sehingga
estetika teks ini berpadu erat dengan muatan nilai religius khususnya sufistis. Contoh-
contoh ini mengimplikasikan bahwa teks teks fiksi Indonesia yang diteliti
mengkonstruksikan tilas-tilas nilai keindahan dan keelokan (menurut manusia) Jawa yang
berjalin berkelindan atau setidak-tindaknya bersandingan dengan kebaikan, kepantasan,
kebenaran, ketepatan, dan kekudusan (menurut manusia) Jawa. Oleh karena itu,
pembicaraan tentang keindahan dan keelokan menurut manusia Jawa tidak bisa
meninggalkan pembicaraan tentang dimensi-dimensi kebaikan, kebenaran, dan kekudusan
menurut manusia Jawa.
Dalam pandangan manusia Jawa, keindahan dan keelokan bukan hanya sesuatu
yang sudah jadi, melainkan juga sesuatu yang mengada dan menjadi; meminjam istilah
Fromm, keindahan dan keelokan itu bukan hanya sesuatu yang being, tetapi juga sesuatu
yang to be dan to become. Keindahan dan keelokan mengada dan menjadi jika -- menurut
Tanojo --terjadi jumbuhing rasa lan kang dirasakake dan atau -- menurut Dwidjosumarto
-- terjadi manunggaling suraos lan wangun. Secara lugas wangun berarti bentuk,
sedangkan kang dirasakake berarti yang dirasakan (yang bisa berupa bentuk dan isi). Di
sini kang dirasakake dan wangun dapat disepadankan dengan objek estetis atau dapat
disebut penanda-penanda tekstual baik tekstual samping maupun tekstual utama dalam
pengertian Genette (simak Junus, 1996:105). Dalam konteks ini, objek estetis dapat
dipahami sebagai kesenian Jawa. Sebagai objek estetis, kesenian Jawa dapat disebut indah
dan elok bilamana ia mengandung wangun dan kang dirasakake yang sesuai dengan
norma-norma rasa dan suraos estetis Jawa pada satu sisi dan pada sisi lain bilamana ia
mampu meluluhkan dan meleburkan rasa dan suraos ke dalam wangun dan kang
dirasakake. Hal ini oleh Dwidjosumarto diibaratkan kemanunggalan bunga dengan
wanginya; katanya, "Rerengganing kasusastran punika boten madeg pribadi utawi boten
misah nanging nunggil lan suraos, kadosdene manunggaling sekar lan wanginipun"
(1953:4). Jadi, objek estetis Jawa atau kesenian Jawa -- khususnya sastra atau disebut
kagunan basa dalam bahasa Jawa -- bernilai indah dan elok sekali bilamana kandungan
wangun dan kang dirasakake (bentuk dan isi) mampu mendorong rasa dan suraos penik-
mat atau pembaca -- bahkan juga sastrawan -- luluh dan lebur ke dalam wangun dan kang
dirasakake.
Hal tersebut dimungkinkan jika norma-norma atau kaidah-kaidah estetik Jawa
ditaati dan diikuti, bukan disimpangi dan diberontaki. Implikasinya, kestabilan (dalam arti
kemantapan, keteraturan, ketertiban, kelengkapan) sangat diutamakan, bahkan
dinomorsatukan dalam estetika Jawa. Penyimpangan dan pemberontakan yang mengha-
silkan ketidakstabilan (dalam arti ketidakmantapan, ketidakteraturan, ketidaktertiban,
ketidaklengkapan) dihindari, bahkan tidak dibolehkan dalam estetika Jawa (simak Teeuw,
1984:361--361). Di sinilah terlihat betapa pentingnya kemapanan-keselarasan-kebersama-
an di dalam estetika Jawa (simak Dwidjosumarto, 1957:2--3). Maka dari itu, tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa estetika Jawa pada hakikatnya merupakan estetika kema-
panan-keselarasan-kebersamaan (bandingkan dengan uraian Teeuw, 1983:26--35;
1984:357--359). Di dalam estetika ini, kemapanan-keselarasan-kebersamaan menjadi
lokus atau intisari keindahan dan keelokan. Artinya, dalam pandangan manusia Jawa,
sesuatu yang dianggap atau dipandang indah dan elok adalah sesuatu yang mapan-selaras-
bersama. Misalnya, sastra yang indah dan elok adalah sastra yang mapan-selaras, sebagai-
mana ditegaskan oleh Dwidjosumarto (1957:2--3). Demikian juga gending -- musik
perkusi pentatonis Jawa -- yang indah dan elok adalah yang mapan-selaras-bersama,
terbukti dari namanya laras pelog--laras slendro dan tidak adanya tonjolan-tonjolan atau
dominasi salah satu jenis perangkat gending. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pada
hakikatnya NTJ berpusat pada kemapanan-keselarasan-kebersamaan. Meskipun tidak
dalam kadar relatif sama, secara umum dapat dinyatakan di sini bahwa berbagai teks teks
fiksi Indonesia yang diteliti mekonstruksikan NTJ tersebut. Sebagaimana disarankan oleh
Djoko Damono (1987), jika disikapi secara arif dengan tidak terburu-buru menghu-
bungkannya dengan nilai estetis Barat atau estetika Barat, maka di dalam teks Pengakuan
Pariyem, Para Priyayi, Tirai Menurun, Ronggeng Dukuh Paruk, Burung-burung Manyar,
Durga Umayi, Burung-burung Rantau, Pasar, dan Kotbah di Atas Bukit -- sebagai contoh
-- akan dapat dirasakan atau diketahui adanya konstruksi NTJ. Secara filosofis, pada
hakikatnya berbagai teks tersebut mekonstruksikan kemapanan-keselarasan-kebersamaan.
Konflik-konflik dan masalah-masalah yang terdapat di dalam berbagai teks tersebut, tidak
pernah dominan dan mendasari (menguasai) seluruh teks, hanya merupakan sebuah unsur
katarsis dan inisiasi -- penyucian, pengobatan, dan pentahbisan -- sehingga tidak
mengganggu atau merusak kemapanan-keselarasan-kebersamaan. Bahkan dapat dikatakan
di sini bahwa kemapanan-keselarasan-kebersamaan menjadi obsesi utama teks atau pe-
ngarang teks tersebut yang tidak jarang berdampak pada struktur atau komposisi teks.
Tidak mengherankan, semua kisah-berita dalam teks-teks tersebut selalu berakhir dengan
kemapanan-keselarasan-kebersamaan. Sebagai contoh, teks Pengakuan Pariyem berakhir
dengan mapan-selaras-bersamanya dunia Pariyem yang orang kecil Wonosari Gunung Ki-
dul dengan dunia Cokro Sentono yang priyayi luhur Ngayogyakarta. Konflik dapat
dikatakan hampir tidak ada dalam teks. Pergerakan alur berlangsung secara datar, tidak
ada tonjolan-tonjolan yang kuat. Teks Para Priyayi juga berakhir dengan mapan-selaras-
bersamanya dunia Sastrodarsono, Noegroho, Hardojo, Soemini, Lantip, Marie, Harymurti,
dan Halimah yang sebelumnya sempat tercerai oleh berbagai kepentingan dan benturan
ideologis; mapan-selaras-bersamanya tiga generasi yang masing-masing sebenarnya
memiliki visi, misi, dan obsesi serta sejarah berbeda. Di dalam teks pergerakan alur juga
berlangsung secara datar dan tidak tampak kuat tonjolan-tonjolan karakter. Teks trilogi
Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala berakhir
dengan mapan-selaras-bersamanya dunia Dukuh Paruk [yang sebelumnya terbelakang,
melarat, primitif, dan mesianistis, bahkan jahilyah dan musyrik] ke dalam pangkuan
kesadaran sejati Tuhan Yang Mahaesa, ke dalam religiositas dan moralitas islami, berkat
bantuan Rasus. Bahkan Burung-burung Manyar dan Durga Umayi serta Burung-burung
Rantau yang dianggap mewartakan dunia nasional, transnasional, dan transkultural yang
penuh perbenturan dan keindividualan berakhir dengan kemapanan-keselaran-kebersa-
maan. Di dalam Burung-Burung Manyar, pada akhirnya dunia Setadewa (Teto) yang
Belanda (musuh republik) memerlukan dan menemukan kemapanan-keselarasan-
kebersamaan dengan dunia Larasati (Atik), Janakatamsi (Jana), dan anak-anak Atik-Jana
yang Indonesia. Setedewa yang berwatak antroposentris-sekular mencapai kemapanan-
keselarasan- kebersamaan dengan dunia Atik-Jana yang berwatak antropohumanistis-
spiritual. Di sini terlihat Setadewa mencapai persatuan dengan spiritualitas, suatu
persatuan mistis, unio mystica. Dalam Durga Umayi, Iin Sulinda yang sudah melalang
dunia pada akhirnya memerlukan sekaligus mencapai kemapanan-keselarasan-
kebersamaan dengan saudara kembarnya yang petani desa yang tanahnya justru akan
digusurnya. Di dalam Burung-burung Rantau, dunia mondial, transnasional dan
transkultural anak-anak Letjen Wiranto -- Bowo, Candra, Anggi, dan Neti -- mencapai
kemapanan-keselarasan-kebersamaan dengan dunia Yuniati -- sang induk yang Jawa
ternyata menjadi tempat pulang anak-anaknya yang merantau ke berbagai penjuru dunia,
budaya, dan peradaban. Selanjutnya, dalam teks Pasar pada akhirnya Pak Mantri Pasar
dan Paijo mencapai kemapanan-keselarasan-kebersamaan setelah melalui berbagai
perjuangan mengendalikan diri (jagat kecil, mikrokosmos) untuk mengendalikan dunia
luar (jagat besar, makrokosmos) yang berupa pasar. Adapun dalam Kotbah di Atas Bukit
pada akhirnya si tua Barman yang kaya raya mencapai kemapanan-keselarasan-
kebersamaan setelah melalui perjuangan membersihkan dan mengendalikan diri dengan
kehidupan asketis atau zuhud guna menguasai ngelmu kasampurnaning urip lewat guru
Humam. Pelbagai contoh tersebut mengimplikasikan bahwa pada hakikatnya teks teks
fiksi Indonesia yang disebut di atas masih dikendalikan atau didasari oleh nilai estetis
kemapanan-keselarasan-kemapanan yang menjadi lokus estetika Jawa. Setidak-tidaknya
pengarangnya masih berobsesi dan berusaha menggunakan kemapanan-keselarasan-
kebersamaan sebagai dasar penciptaan teks yang diciptakannya. Dari sinilah dapat dikata-
kan bahwa teks-teks yang sudah disebut di atas mekonstruksikan NTJ.
Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa di dalam teks-teks teks fiksi Indonesia,
konstruksi NTJ tersebut ada yang tergolong relatif kuat dan menonjol, ada pula yang
tidak. Misalnya, dalam teks Pengakuan Pariyem, Tirai Menurun, Burung-burung Manyar,
dan Durga Umayi, konstruksi NTJ dapat dikatakan relatif kuat dan menonjol. Keempat
teks tersebut malah dapat disebut sebagai salah satu wujud eksposisi estetika Jawa --
khususnya estetika wayang dan tembang macapat -- di dalam teks teks fiksi Indonesia.
Tegasnya, keempat teks tersebut menimba dan menyajikan bangunan estetika wayang.
Secara pleonastis, bahkan Allen (1996:105) menyebut teks Burung-burung Manyar dan
Durga Umayi sebagai roman-berbentuk-wayang. Menurut pengakuan Mangunwijaya, da-
lam makalah Novel Saya dan Lakon Wayang (1997), teks Burung-burung Manyar dan
Durga Umayi memang mewayangkan nasion Indonesia;kedua teks tersebut merupakan
wayang tentang Indonesia. Pada sisi lain, sebenarnya kedua teks tersebut dapat juga
disepadankan dengan babad karena memadukan biografi, sejarah, dan imajinasi. Di dalam
kedua teks tersebut unsur biografi, sejarah, dan imajinasi berjalin berkelindan seperti
halnya karakteristik babad-babad tradisional, dalam hal ini khususnya babad-babad
Jawa. Hal yang relatif sama pada dasarnya juga dapat dikenakan pada Tirai Menurun.
Teks ini dapat juga disebut roman-berbentuk-wayang karena bangunan struktur teks ini
mirip sekali, bahkan sepadan dengan bangunan struktur lakon (atau pertunjukan) wayang.
Sementara itu, konstruksi NTJ di dalam teks Perburuan, Bumi Manusia, Pasar,
Ibu Sinder, dan Perjanjian dengan Maut dapat dikatakan tidak terlalu kuat dan tidak
menonjol, dalam arti langsung, lugas, dan tersurat. Meskipun demikian, dalam batas-batas
tertentu kelima teks tersebut dapat dikatakan masih atau tetap mekonstruksikan NTJ atau
estetika Jawa secara signifikan -- dalam arti tersirat, tersorot, dan tersembunyi. Perburuan,
misalnya, secara tersirat dan tersorot mengkonstruksikan estetika wayang. Bahkan Teeuw
(1995) menyanjungnya sebagai konstruksi motif mitologi wayang di dalam teks sastra
Indonesia. Teks Burung-burung Rantau pun -- yang secara lugas dan tersurat dikesani
oleh pemerhati dan peneliti sebagai teks yang transkultural dan transnasional, bahkan
globalistis sekali -- masih menampakkan tilas-tilas estetika wayang. Setidak-tidaknya hal
ini tampak dari analogi tokoh-tokoh teks dengan tokoh-tokoh wayang, misalnya analogi
Candra dengan Bima Werkudara (BBR:94), Kak Anggi dan Mas Bowo dekat dengan
Arjuna (BBR:95), dan Edi dekat dengan Suyudana, sulung Kurawa (BBR:96), dan Neti
dekat dengan Yudisthira, sulung Pandawa (BBR:97). Meskipun memang mengandung se-
mangat transkultural, transnasional mondial, dan elektrifikasi budaya yang terkesan
demikian kuat, tetapi pengarang teks Burung-burung Rantau memilih tokoh wayang untuk
melakukan analogi perwatakan tokoh-tokohnya, bukan tokoh-tokoh mitologi atau sejarah
Barat/Yunani-Romawi, misalnya Candra dengan Hercules. Dalam perspektif estetika wa-
yang, tidak salah dan berlebihan jika dikatakan bahwa teks tersebut masih menyiratkan
dan menyorotkan bangunan estetika wayang. Hal ini menunjukkan bahwa wayang masih
menjadi model atau rujukan pembentuk identitas dan watak tokoh di dalam teks Burung-
burung Rantau. Oleh karena itu, dalam sisi tertentu, berbagai teks tersebut dapat dikatakan
sebagai konstruksi NTJ.
Secara umum, konstruksi NTJ tersebut dapat diketahui melalui baik penanda-
penanda teks samping/pinggiran atau parateks menurut Genette (dalam Junus, 1996:105)
maupun penanda-penanda teks utama yang lugas, langsung, tersurat, tersirat, tersorot, dan
atau tersembunyi di dalam teks teks fiksi Indonesia yang diteliti. Sebagai contoh,
pernyataan pengarang, kolofon atau keterangan sampul buku, kutipan, dan gambar ilus-
trasi yang disertakan dalam teks utama yang substansi isinya berhubungan dengan NTJ
dapat disebut penanda-penanda teks samping yang langsung, lugas, dan tersurat. Ilustrasi
gambar wayang di dalam dan keterangan di sampul belakang teks Durga Umayi,
misalnya, merupakan teks samping yang menjadi penanda konstruksi NTJ. Dalam pada
itu, judul teks, judul-judul bab, struktur teks, narasi teks, karakterisasi tokoh, dan sejenis-
nya yang substansi isinya bersangkutan dengan NTJ dapat disebut sebagai penanda-
penanda teks utama yang tersirat, tersorot, dan tersembunyi. Keterangan di halaman depan
teks Burung-burung Manyar, misalnya, merupakan teks utama yang menjadi penanda
konstruksi NTJ. Dengan demikian, segala penanda teks baik teks samping maupun teks
utama dapat menjadi indikator konstruksi NTJ dalam teks teks fiksi Indonesia atau dapat
menjadi indikator keindahan dan keelokan menurut perspektif BJ.
Dengan perspektif demikianlah dapat diketahui konstruksi NTJ di dalam berbagai
teks teks fiksi Indonesia. Sebagai contoh, dengan perspektif demikian dapat diketahui
konstruksi estetika wayang di dalam teks Durga Umayi. Jika disimak secara cermat, tanpa
harus terburu-buru menganggap sebagai teks eksperimen pascamodern (walaupun boleh
saja menganggapnya demikian dalam paradigma pascamodernisme), maka dapat diketahui
bahwa teks Durga Umayi mekonstruksikan nilai estetis wayang dengan sangat kuat.
Secara lugas dan tersurat, hal itu ditandai oleh keterangan di dalam sampul belakang teks
Durga Umayi yang berbunyi, "Mengambil dasar dari mitologi Jawa dengan pelaku sim-
bolis namun berakar pada fakta sejarah". Sampul depannya diberi gambar beberapa tokoh
wayang. Demikian juga pada awal tiap-tiap bab diberi ilustrasi gambar tokoh wayang
yang berbeda-beda: ada tokoh Batari Durga, Dewi Umayi, dan Togog. Judul teksnya
sendiri berasal dari satu (diri) tokoh wayang dengan dua nama yang mewakili watak dan
kepribadian berbeda, yaitu Batari Durga dan Dewi Umayi -- satu hal yang menurut logika
modern Barat menggambarkan suatu sistem oposisi biner atau paradoks luar biasa, tetapi
sebenarnya berpasangan komplementer menurut logika (orang) Jawa. Dikatakan demikian
sebab menurut logika (orang) Jawa, segala sesuatu (selalu) berpasangan komplementer,
bukan beroposisi biner, kendati berpasang-pasangan: kebaikan-keburukan, kejahatan-
kebaikan, kehidupan-kematian, kebenaran-kesetiaan, kesetiaan-kecintaan, kesedihan-
kegembiraan, kesenangan-kesusahan, kawula-gusti, Pendawa-Kurawa, Rahwana-Rama,
Kumbokarna-Wibisana bukan oposisi biner, melainkan pasangan komplementer yang
sama-sama dibutuhkan dalam hidup dan kehidupan manusia. Hal ini seperti infinita
kembar, yin-yang menurut logika Cina, dan jalal-jamal yang menyatu di dalam kamil
menurut logika (tasawuf) Islam. Selanjutnya, dalam pembukaan teks diberi prawayang
yang tampaknya berfungsi sebagai bingkai atau balungan cerita atau bangunan dasar
cerita yang diksi dan gaya bahasanya sangat mirip dengan suluk/sulukan dalang pada
waktu mulai mendalang atau memainkan lakon. Prawayang tampak juga berfungsi men-
jelaskan watak tokoh utama dengan menggunakan model Batari Durga dan Dewi Umayi.
Lebih lanjut, dasanama yang biasanya ada di dalam wayang atau sastra Jawa juga
digunakan untuk membangun identitas tokoh utamanya. Tokoh utama dalam teks Durga
Umayi mempunyai nama bermacam-macam, yaitu antara lain Iin Sulinda, Linda, Tiwi,
Pertiwi Nusamusbida, Tante Wi, Nussy, Cik Bi, dan Iin Pertiwi Nusamusbida yang
pemakaiannya bergantung pada peran sosiokultural yang sedang dimainkan dan atau
diembannya. Hal ini sangat mirip dengan tradisi dasanama dalam wayang dan sastra Jawa
karena tokoh-tokoh wayang umumnya memiliki dasanama. Misalnya, satria lelananing
jagad di negeri Madukara memiliki atau menyandang nama Janaka, Arjuna, Dananjaya,
(Begawan) Mintaraga, (Begawan) Ciptoning, Parta, Pamade, Bambang Kendiwratnala,
Margana, Endraputra, dan Prabu Kariti -- yang pemakaiannya bergantung pada peran
yang sedang dimainkan atau diemban oleh sang tokoh. Semua hal tersebut merupakan
penanda-penanda teks yang mekonstruksikan nilai estetis wayang atau estetika wayang.
Tidak dapat diabaikan adalah modus bahasa dalam teks Durga Umayi yang
menampakkan secara jelas-tegas modus bahasa Jawa ngoko yang sering terdapat di dalam
cerita-cerita Jawa termasuk wayang Jawa. Misalnya, kalimat yang sangat panjang
berpilin-pilin [yang menurut retorika modern menulis atau kiat menulis akademis
sebaiknya ditinggalkan] yang melukiskan suasana dan keadaan seperti halnya kalimat
bahasa Jawa yang melukiskan suasana dan keadaan sesuatu di dalam wayang. Perlu
dikemukakan di sini bahwa di dalam teks Durga Umayi yang jumlah halamannya 188
halaman hanya terdapat 103 paragraf dan 280 kalimat. Di dalamnya ada berbagai kalimat
yang panjangnya dua halaman penuh dengan 700-an kata campuran Indonesia-Jawa dan
hasil kreasi Mangunwijaya sendiri yang maknanya praktis tidak ada menurut bahasa
sehari-hari, kecuali keselarasan dan kemerduan irama permainan bunyinya atau kadar iko-
nisitasnya yang demikian tinggi (simak DU:184-185). Keselarasan dan kemerduan irama
atau ikonisitas ini kiranya memenuhi cita rasa keindahan dan keelokan wangun dalam
sasta Jawa. Kutipan berikut ini salah satu contohnya.
Merenunglah dalam berdoa Iin Sulinda Pertiwi Nusamusbida Charlotte Eugenie
de Progueleaux du Bois de la Montagne Angelin Ruth Portier Tukinah Seni
dengan doa yang keropos keripik keriput tergagap tergopah tergontai dengan
kaing-kaing kalap kalang kabut; dengan di mukanya terbuka tertutup terbuka
tertutup terbuka Alkitab Alquran Bagawadgita dan lain-lain, merenung berpikir
menimbang bingung bimbang mengotak-atik dan merancang apa sebaiknya,
merenung menimbang-nimbang lagi bagaimana seyogyanya mengolah pertanyaan
penuh dilema dan kontradiksi Durga Umayi ... dan ya Allah duh Gusti, justru
pada saat gundah gulana bingung bimbang serasa terjungkal terjungkir dalam
jurang tanpa jawaban itu, ah datanglah muncullah tak tersangka tak ternyana,
sesudah sekian puluh tahun menjauh, jelas karena marah-lalu-malan mendengar
warta-warita tentang tata tingkah si Durga meratui Umayi, ah ternyata kok masih
ingat dia si doi sang sahabat lama ah mon noble Chevalier, que je reve desireuse
de vous, oui de vous, Mikrofon Pegangsaan Timur 56, maafkan maafkan si
musafir kafir, belailah pipi-pipi basah air mataku dengan kotak suaramu yang
bagus elegan yang sabar ikhlas menjadi perantara, berkata berpesan beramanat-
lah ... hooong ngo'ahoo, wilahoong hunglawi, aduh-aduh I'in Sulinda Sundali
Pertiwi Perwita, cewek wece cakep lacep cantik ca'em, anak na'ak hijau jihau,
sabda dabas amanat tanama, tujuh jutuh, belas lebas, delapan nadalep,
seribu ubiser, sembilan sembalin, empalima malitapem, semoga mogase,
terdamai maidater, hatimu mutiha, oooh ho'ooo Pertiwi Perwita, manis sinam,
tercinta tacinter, musafir rifasum, pencari rencapi, ilham mahil, angin nga'in,
empat tapem, kiblat tablik, merdeka kademer sejati tesaji, oooh oho'o I'in Ni'i,
hamiiin mahin minhamin hamimin haniniiim nimhamiiin ....
Demikianlah. (DU:184-185, penebalan DS)

Kalimat panjang di atas mempermain-mainkan kata-kata, kata dan angka serta konsep
keramat bagi bangsa Indonesia sehingga mendekonstruksi bahasa, makna bahasa, dan
sejarah Indonesia. Permainan di atas dapat disejajarkan dengan plesetan, otak-atik gathuk,
atau kirata basa dalam BJ. Hal tersebut adalah penanda teks yang makin menegaskan
konstruksi estetika wayang atau nilai estetis wayang dalam teks Durga Umayi. Oleh
karena itu, sebagaimana sudah disinggung di atas, tidaklah berlebihan bilamana teks
Durga Umayi disebut sebagai satu bentuk eksposisi estetika wayang di dalam teks teks
fiksi Indonesia yang difungsikan untuk mendekonstruksi atau memelesetkan berbagai hal
mengenai bangsa Indonesia. Bukan hanya konsep bahasa Indonesia baku (baik dan benar
versi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang dijadikan konstruksi nasionalisme
kultural Indonesia) yang didekonstruksinya, melainkan juga berbagai konsep mengenai
bangunan bangsa Indonesia yang dikonstruksi oleh elite bangsa Indonesia. Yang
didekonstruksi atau dipelesetkan dalam kutipan di atas, misalnya, adalah amanat 17
Agustus 19945 (simak bagian yang ditebalkan!): Amanat tujuh belas delapan seribu
sembilan empat lima.
Berdasarkan penanda-penanda teks samping (parateks) dan teks utama, teks
Burung-burung Manyar karya Mangunwijaya juga dapat dikatakan mekonstruksikan
estetika wayang atau nilai estetis wayang. Seperti halnya di dalam pembukaan teks utama
Durga Umayi, di dalam awal pembukaan teks utama Burung-burung Manyar juga
terdapat prawayang yang secara metaforis tampak berfungsi sebagai bingkai atau
balungan cerita, bahkan juga berfungsi sebagai model tokoh. Prawayang itu mengambil
model gambaran dari wayang kulit Jawa, dalam hal ini epos panjang-menggentarkan
Mahabaratha -- yang sudah mengalami penjawaan sedemikian rupa sehingga tilas-tilas
keindiaannya tidak begitu tampak lagi. Di dalamnya digambarkan suatu keadaan dan
suasana desa Widura Kandang di negeri Ngamarta beserta dengan tokoh-tokohnya. Agar
lebih jelas, prawayang yang dimaksud dikutip selengkapnya berikut ini
Prawayang
Nun di kala itu, di Widura Kandang negeri Ngamarta, tum-buhlah si gadis gesit
bagaikan burung prenjak; rajn dan cerdas, Rarasati atay Larasati namanya.
Teremban kehangatan asuhan cinta arif sang ayah Antapoga, gembala ternak
istana, dan isterinya Nyai Sagopi, gadis Rarasati memekar.
Hatta kisah berwarta, pondok Antapoga menerima tugas mulia namun berat,
dijadikan tempat berlindun putera puteri Sri Baginda Raja Basudewa dari negeri
Mandura, ialah Kakrasana dan Narayana beserta adik perempuan Rara Ireng.
Ketiga anak raja itu diungsikan karena terancam terbunuh oleh abang tiri jahat,
Kangsa.
Kakrasana, wahana wahyu dewa Basuki, dewa naga penopang Bumi Raya,
adalah makhluk seta. Artinya: serba putih darah, daging serta segala-galanya
sampai ke tulang maupun sarafnya; sedangkan Narayana, wahana wahyu dewa
Wishnu, justru hitam legam tulang, daging, darah, saraf, dan segalanya. Namun
mereka berayah satu, raja Basudewa.
Serba indah dan berbahagialah masa kanak-kanak ketiga putera puteri raja itu
di Widura Kandang bersama Rarasati, bunga padang merdeka. Rarasati kelah
dipersunting pahlawan Arjuna. Begitu juga Rara Ireng, yang setelah dewasa
bernama Sumbadra. Narayana selaku Raja Kresna negeri Dwarawati menjadi ahli
siasat utama para Pendawa. Namun Kakrasana yang seta, yang bergelar raja
Baladewa memihak Kurawa. Demi kesetiannya kepada Herawati, isterinya, dan
ayah mertua, raja Salya dari Mandraka yang merasa wajib berpihak kepada para
Kurawa, agar kerajaan Ngastina jangan pecah. Namun dalam lubuk hati raja Salya
maupun Baladewa, kecintaan kepada para Pandawa tidaklah pernah berhenti
berpijar.
Tetapi, apakah Baladewa benar-benar akan memihak Kurawa dalam medan
laga total Bharatayudha Jayabinangun, artinya "Kejayaan dibangun secara sejati"?
Maka terdengarlah warta: Kresna mengilhami abangnya yang seta itu untuk
bertapa di Grojongan Sewu (Seribu Air Terjun).

Tokoh-tokoh dalam teks Burung-burung Manyar mengambil model tokoh-tokoh dalam


prawayang tersebut: Atik (Larasati) modelnya Larasati atau Rarasati, Teto (Setadewa)
modelnya Kakrasana atau Baladewa, Pak dan Bu Antana modelnya Antagopa dan Nyai
Sagopi, Brajabasuki model-nya Salya, Vreddenburg modelnya Petruk, dan lain-lain. Oleh
sebab itu, seperti halnya dalam wayang yang perwatakan tokohnya demikian tipologis,
dalam teks Burung-burung Manyar perwatakan tokohnya juga demikian tipologis
(perkembangan psikologis tokoh yang menjadi ciri teks-teks prosa modern tidak begitu
tampak).
Di samping itu, struktur naratif teks Burung-burung Manyar yang secara sepintas
mengesankan mirip dengan struktur lakon wayang, modus bahasa teks yang kejawa-
kejawaan, dan makna teks yang perlu dibaca secara intertekstual dengan lakon-lakon
wayang demi kemudahan pemahaman-pemaknaan merupakan penanda penanda
konstruksi NTJ khususnya estetika wayang. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa
struktur naratif Burung-burung Manyar terbagi atas tiga bagian yang masing-masing
bersifat metaforis atau simbolis. Secara substantif, bagian pertama yang terdiri atas empat
anak bab yang judulnya sangat metaforis mirip dengan pathet nem atau jejer janturan,
jaranan, dan perang ampyak wayang karena -- seperti halnya dalam wayang -- bagian ini
memperkenalkan dan melukiskan masa kanak-kanak para tokoh dengan segala suka, duka,
dan kegagalan menjalani karier hidup; kemudian, bagian dua yang terdiri atas sembilan
anak bab yang judulnya juga sangat metaforis mirip dengan pathet sanga atau adegan
sabrangan, perang gagal, gara-gara, dan perang kembang wayang karena -- seperti
halnya dalam wayang -- bagian ini memperkenalkan dan melukiskan masa remaja tokoh,
pergulatan melawan berbagai nafsu, pencarian jati diri, dan proses menuju kedewasaan
para tokoh; selanjutnya, bagian tiga yang terdiri atas sembilan anak bab yang judulnya
sangat metaforis pula mirip dengan pathet manyura atau perang brubuh, perang sampak
manyura, dan tancep kayon wayang karena bagian ini melukiskan kedewasaan para tokoh
dan tugas masing-masing sebagai bentuk penyelesaian masalah yang dihadapi oleh
masing-masing tokoh. Strukur naratif yang seperti struktur lakon wayang tersebut
ditunjang oleh modus kejawali sanan bahasa Indonesia yang oleh Umar Kayam (1982)
disebut multilingual. Kutipan-kutipan berikut adalah contoh modus kejawalisanan atau
kengokoan bahasa di dalam teks Burung-burung Manyar.
Pernah dengar "anak kolong"? Nah, dulu aku inilah salah satu modelnya. Asli
totok. Garnisun divisi II Magelang (ucapkan: MaKHelang). Bukan divisi TNI
dong. Kan aku sudah bilang: totok. Jadi KNIL. Jelas kolonial, mana bisa tidak.
Papiku Loitenant keluaran Akademi Breda Holland. Jawa! DAN Keraton!
(BBM:3)

Dari pihak lain Mas Sepandri dulu bekas serdadu KNIL, jadi ia berhak
berkenil-kenil. Maka dibuat gampang saja. berdamailah istilahnya. (BBM:158)

Modus kejawalisanan dan kengokoan bahasa Indonesia seperti kutipan di atas banyak
sekali muncul dalam bagian-bagian teks Burung-burung Manyar. Modus bahasa seperti
ini semakin menegaskan konstruksi NTJ khususnya nilai estetis wayang di dalam teks
Burung-burung Manyar sehingga teks tersebut bisa disebut sebagai eksposisi keindahan
dan keelokan dalam pandangan BJ.
Mirip dengan teks Durga Umayi dan Burung-burung Manyar, teks Tirai Menurun
karya N.H. Dini juga mekonstruksikan NTJ khususnya nilai estetis wayang. Maka, teks
tersebut juga bisa disebut sebagai eksposisi keindahan dan keelokan dalam pandangan BJ.
Seperti halnya Durga Umayi, dalam sampul belakang Tirai Menurun dikemukakan antara
lain bahwa "Disusun seperti adegan-adegan pertunjukan wayang orang, Tirai Menurun
menyuguhkan babak demi babak kehidupan empat tokohnya: Kedasih, Kintel, Sumirat,
dan Wardoyo ... Sang dalang berhak mengatur serta merangkai alur cerita dan peristiwa di
pentas. Tanpa sadar, di panggung kehidupan ia terjerat oleh rangkaiannya sendiri. Namun,
dialah yang mengakhiri pertunjukan. Dia sempat menancapkan gunungan di tengah-
tengah layar: Tancep Kayon." Kemudian di dalam sampul depan terdapat gambar dua
orang yang berdandan sebagai tokoh wayang orang, gambar gunungan yang biasa dipakai
di dalam wayang kulit, dan gambar naga yang biasanya menghias tiang penyangga
seperangkat gong. Selanjutnya, dalam halaman berikutnya ada persembahan karya bagi
tokoh-tokoh besar kesenian Jawa: Kepada tokoh-tokoh yang kukagumi: Kusni Cokromino-
to, Nartosabdo, Bagong Kussudiardjo. Halaman berikutnya lagi ada kutipan butir-butir
kawruh Jawa atau ajaran Jawa yang sudah sangat terkenal yang disusun terbalik: Rame
ing gawe, sepi ing pamrih, memayu hayuning bawono. Penanda-penanda teks tersebut
mengimplikasikan adanya konstruksi NTJ khususnya nilai estetis wayang dalam teks
Tirai Menurun.
Konstruksi NTJ khususnya nilai estetis wayang tersebut makin tegas jika disimak
struktur naratif teks utamanya. Seperti halnya struktur naratif Burung-burung Manyar,
struktur naratif Tirai Menurun dibagi menjadi tiga bagian. Masing-masing bagian tampak
sejajar atau analog dengan pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura dalam wayang.
Bagian pertama yang dijuduli Asal-Usul terbagi atas bab Grobogan, Banaran, dan Merapi
memperkenalkan latar belakang dan identitas tokoh-tokoh utama -- terutama Kedasih dan
Sumirat -- serta kepergian atau proses urbanisasi mereka ke kota Semarang. Bagian ini
bisa dikatakan sejajar dengan jejer janturan dan adegan sabrangan dalam wayang.
Kemudian bagian kedua yang berpusat di kota terbagi atas subbagian Kota Satu sampai
dengan Kota Tujuh mengisahberitakan berbagai sepak terjang tokoh-tokoh utama, usaha
tokoh-tokoh utama mengatasi segenap persoalan hidup dan kehidupan di kota sebagai
anak wayang, dan nasib tokoh-tokoh utama di kota sebagai anak wayang. Bagian dua ini
bisa dikatakan sejajar dengan adegan gara-gara, jejer pandhita, perang kembang, perang
sampak sanga, dan perang ageng. Selanjutnya, bagian ketiga yang dijuduli Tancep
Kayon terdiri atas tiga anak bab mengisahberitakan usaha-usaha beberapa tokoh utama
menegakkan rombongan wayang orang dari keruntuhan, nasib masing-masing tokoh
utama di dalam usaha tersebut, dan keruntuhan rombongan pertunjukan wayang orang.
Bagian ini -- seperti sudah tersurat dari judulnya -- bisa disejajarkan dengan adegan jejer
tancep kayon dalam wayang. Jadi, secara umum, struktur naratif atau balungan teks Tirai
Menurun mengikuti struktur naratif lakon wayang. Hal ini makin menegaskan konstruksi
nilai estetis wayang dalam teks Tirai Menurun.
Konstruksi NTJ dalam teks teks fiksi Indonesia tidak terbatas pada nilai estetis
wayang atau estetika wayang saja. Dalam batas-batas tertentu, bisa dikatakan bahwa tilas-
tilas nilai estetis tembang atau estetika tembang cilik/macapat juga tekonstruksi dalam
teks teks fiksi Indonesia. Jejak-sejak estetika tembang ini tampak menonjol di dalam teks
Pengakuan Pariyem. Meskipun guru gatra, guru wilangan, dan guru lagunya tidak sama
(persis), tetapi tilas-tilas keketatan pola persajakan tembang macapat terlihat dalam teks
Pengakuan Pariyem. Teks Pengakuan Pariyem bisa dikatakan memiliki semacam guru
gatra, guru wilangan, dan guru lagu yang ketat seperti tembang macapat. Dengan kata
lain, teks Pengakuan Pariyem memiliki pola persajakan yang ketat. Pola pokoknya adalah
sebagai berikut.

"Pariyem, nama saya


Lahir di Wonosari Gunung Kidul
Tapi kerja di kota pedalaman Ngayogyakarta (PP:1)

Pola pokok tersebut memiliki beberapa variasi tertentu, bergantung pada masalah yang
akan dikemukan. Di samping itu, juga ada pola pokok yang berupa
O, Allah, Gusti nyuwun ngapura
mengakah saya dirisaukan amat
Saya termasuk bagian dari umat
yang jumlah banyaknya jutaan (PP:5)

dengan beberapa variasi kecil tertentu. Kutipan berikut adalah salah satu contohnya.
"Pariyem, nama saya
Lahir di Wonosari Gunung Kidul pulau Jawa
Tapi kerja di kota pedalaman Ngayogyakarta
Umur saya 25 tahun sekarang
- tapi nuwun sewu
tanggal lahir saya lupa
Tapi saya ingat betul weton saya:
Wukunya Kuningan
di bawah lindungan bethara Indra
Jumat Wage waktunya
ketika hari bangun fajar

"Ya,ya, Pariyem saya


Saya lahir di atas amben bertikar
dengan ari-ari menyertai pula
Oleh mbah dukun dipotong dengan welat
tajamnya tujuh kali pisau cukur
Bersama telor ayam mentah, beras, uang logam
bawang merah dan bawang putih, gula, garam
jahe dan kencur, adik ari-ari jadi satu. (PP:1-2)

O, Allah, Gusti nyuwun ngapura


di pinggir sumur saya nembang:
Othok owok bang Belekan
ora methok dadi golekan (PP:15)

O, Allah, Gusti nyuwun ngapura


saya lebih patut sebagai biyung emban
saya lebih patut sebagai limbuk (PP:18)

Kutipan tersebut menunjukkan keketatan pola persajakan teks Pengakuan Pariyem, baik
larik, (suku) kata, maupun bunyi. Pola persajakan seperti tersebut dipertahankan
sepanjang teks. Dalam seluruh teks, pola pokok persajakan Ya, ya, Pariyem saya tersebut
-- dengan beberapa variasi kecil -- berulang sebanyak 67 kali, sedangkan pola pokok
persajakan O, Allah, Gusti nyuwun ngapura berulang 41 kali. Semua hal tersebut
mencerminkan konstruksi NTJ dalam teks Pengakuan Pariyem. Setidak-tidaknya
mekonstruksikan tilas-tilas estetika macapat atau macapat yang dijadikan gancaran.
Konstruksi NTJ dalam teks Pengakuan Pariyem tersebut semakin tegas jika dilihat
dari bahasanya. Demi kepentingan estetis, teks ini menggunakan bahasa Jawa luar biasa
banyaknya untuk ukuran teks teks fiksi Indonesia. Teks ini dipenuhi oleh bahasa Jawa,
mulai tataran bunyi, kata, frase dan klausa sampai dengan kalimat dan wacana. Bunyi
kagum, seru, terkejut, dan lain-lain yang khas Jawa mendominasi teks. Kemudian
kata/frase berupa konsep-konsep BJ, adat istiadat BJ, tokoh dan lakon wayang, nama
tempat-sungai-peralatan, istilah cabul-jorok-kasar-kurang sopan, dan konsep kehidupan
Jawa. Klausa bisa berupa klausa bermakna seru, idiom, ungkapan, dan pepatah. Demikian
juga kalimat bisa berupa kalimat tanya dan kalimat seru khas Jawa. Selanjutnya, wacana
bisa berupa parikan/pantun kilat Jawa, tembang-tembang Jawa (lagu-lagu Jawa), pemeo
Jawa, gaya bahasa, dan ucapan/perkataan dalam peristiwa hari besar. Tidak menghe-
rankan, untuk menjelaskan sebagian bahasa Jawa ini diperlukan glosari bahasa Jawa-
Indonesia sebanyak 58 halaman. Disebutkan di dalam teks bahwa penggunaan bahasa
Jawa ini didasari oleh alasan,
"Bila saya menerjemahkan bahasa
Jawa ke dalam bahasa Indonesia
Yakni, bahasa persatuan kita
ialah bahasa kebangsaan kita
Maka saya korupsi bahasa
saya manipulasi kebudayaan
saya pun setlika peradaban
Wuah, saya berpokrol bambu
yang tak genah juntrungannya
Bahasa Jawa bangkrut maknanya
sedang bahasa Indonesia Jaya" (PP:36).

Pada dasarnya, alasan ini adalah pandangan dan sikap pengarangnya, Suryadi Ag,
sebagaimana terlihat di dalam berbagai esainya. Di dalam Transformasi Puisi Indonesia,
misalnya, dia mengatakan bahwa bahasa Indonesia sebagai tradisi baru tergolong
ketinggalan zaman sehingga belum mampu menampung atau mewadahi kreativitas
sastrawan Indonesia asal etnis Jawa (1984:378--380). Alasan pengarang seperti ini mutatis
mutandis mirip dengan alasan sang kawi dalam kakawin yang ditulisnya dan pujangga
dalam serat yang ditulisnya, misalnya dalam Kanjeng Susuhunan Pakubuwono IV dalam
Serat Wulangreh. Pakubuwono dalam pembukaan Wulangreh mengatakan:
"Pamedhare wasitaning ati
cumantaka aniru pujangga
dhahat mudha ing batine
nanging kedah ginunggung
datan wruh yen akeh ngesemi
ameksa angrumpaka
basa kang kalantur
tutur kang katulatula
tinalaten rinuruh kalawan ririh
mrih padhaning sasmita"

(Terdorong oleh keinginan hati


congkak ingin meniru pujangga
sangat bodoh dalam batin
namun ingin disanjung-sanjung
tak tahu diri bahwasanya banyak yang mencemooh
memaksa menyusun
bahasa yang melantur-lantur
tutur yang centang-perentang
dibiasakan secara pelan-pelan
demi terangnya ajaran itu).

Penanda-penanda bahasa ini jelas semakin menegaskan konstruksi NTJ khususnya estetika
sastra tembang macapat di dalam Pengakuan Pariyem sehingga teks tersebut juga dapat
disebut sebagai eksposisi sekaligus eksternalisasi estetika Jawa.
PENUTUP
Uraian di atas dengan jelas menunjukkan adanya tilas-tilas NTJ secara kuat dan
menonjol dalam beberapa teks fiksi Indonesia karangan novelis beretnis Jawa. Teks fiksi
Burung-burung Manyar, Burung-burung Rantau, Pengakuan Pariyem, Kotbah di Atas
Bukit, Pasar, Ibu Sinder, dan Tirai Menurun, sebagai contoh, secara kuat dan menonjol
mekonstruksikan betapa sentralnya keholistisan-ketotalistisan dan kemapanan-keselaras-
an-kebersamaan yang menjadi karakteristik utama estetika Jawa. Selain itu, pelbagai teks
fiksi tersebut secara kuat dan menonjol juga mekonstruksikan nilai estetis wayang dan
nilai estetis tembang cilik/macapat. Unsur karakter tokoh wayang, struktur pertunjukan
wayang, struktur atau kaidah macapat, dan misi kepengarangan Jawa banyak dijadikan
kekayaan struktur dan tekstur teks fiksi Indonesia. Oleh karena itu, tidak salah bila dikata-
kan bahwa kebudayaan Jawa khususnya NTJ telah menjadi salah satu pijakan kultural teks
fiksi Indonesia yang penting.
Sehubungan dengan itu, ada satu pertanyaan penting: Apakah adanya konstruksi
atau jejak NTJ tersebut menandakan adanya jawanisasi teks fiksi Indonesia?. Untuk
menolak atau mengiyakan pertanyaan ini perlu dilakukan penelitian lebih mendalam dan
luas tentang teks fiksi Indonesia. Perlu diteliti lebih lanjut visi dan misi pengarang
Indonesia beretnis Jawa dalam mengangkat dan menampilkan NTJ dalam teks fiksi
Indonesia: apakah visi dan misinya jawanisasi atau bukan. Di samping itu, perlu diteliti
lebih luas lagi ada tidaknya kebudayaan-kebudayaan lokal lain khususnya nilai budaya
lokal lain sebagai pijakan kultural teks fiksi Indonesia. Adakah nilai budaya
Minangkabau, Melayu, dan sebagainya menjadi pijakan kultural bagi teks fiksi Indonesia?
Jika hasil penelitian menunjukkan bahwa kebudayaan Minangkabau, Melayu, dan
sebagainya juga menjadi pijakan kultural teks fiksi Indonesia secara berarti, maka dapat
dikatakan bahwa yang terjadi dalam teks fiksi Indonesia bukan jawanisasi, melainkan
multikulturalisasi teks fiksi Indonesia atau mungkin kebimbangan estetis sastra Indonesia.
Dengan demikian, hadirnya NTJ dalam berbagai teks fiksi Indonesia tidak harus dibaca
sebagai bentuk jawanisasi, melainkan dapat dibaca sebagai bentuk pengisian multi-
kulturalisme atau kebimbangan estetis teks fiksi Indonesia sebab nilai estetis kebudayaan
lokal lain juga tampil dalam teks fiksi Indonesia.
DAFTAR RUJUKAN
Bharata (Terjemahan Amdun Husein). 1987. Bab "Rasa" Kitab Natyasastra. Dalam Salleh,
Muhammad Haji (Penyunting). 1987. Kumpulan Kritikan Sastera: Timur dan
Barat (hlm. 249-268). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Damono, Sapardi Djoko. 1993a. Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Isi, Fungsi, dan
Struktur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Dewantara, Ki Hadjar. 1957. Kebudayaan. Yogyakarta: Taman Siswa.
Dwidjosumarto, S. 1957. Kasusastran Djawi. Bandung: KPPK, Balai Pendidikan Guru.
Lombard, Denys. (Terjemahan Partaningrat Winarsih Arifin dkk.). 1996. Nusa Jawa:
Silang Budaya, Batas-batas Pembaratan, Volume I. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama.
Lombard, Denys (Terjemahan Winarsih Partaningrat Arifin dkk.). 1996a. Nusa Jawa:
Silang Budaya, Jaringan Asia, Volume II. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama.
Lombard, Denys (Terjemahan Winarsih Partaningrat Arifin dkk.). 1996b. Nusa Jawa:
Silang Budaya, Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, Volume III. Jakarta:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Magnis-Suseno, Franz. 1984. Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia.
Mangunwijaya, Y. B. 1982. Sastra dan Religiositas. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Padmosoekotjo, S. 1953. Ngengrengan Kasusastran Jawa, Jilid I. Semarang: Penerbit dan
Toko Buku Hien Hoo Sing.
Padmosoekotjo, S. 1953. Ngengrengan Kasusastran Jawa, Jilid II. Semarang: Penerbit
dan Toko Buku Hien Hoo Sing.
Poedjosoedarmo, Soepomo. 1986. Ragam Panggung dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Quin, George (Terjemahan Raminah Baribin). 1995. Novel Berbahasa Jawa. Semarang:
IKIP Semarang Press.
Sudewo, A. 1991a. Transformasi Norma Estetik Sastra Jawa. Makalah Kongres Bahasa
Jawa I, Semarang, 1991.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar ke Teori Sastra. Jakarta: PT
Pustaka Jaya.
Wiryamartana, I Kuntara. 1986c. Aspek-aspek Estetik. Dalam Basis, XXXV (06): 202 --
211.
Wiryamartana, I Kuntara. 1990. Arjunawiwaha: Transformasi Teks Jawa Kuna lewat
Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
Zoetmulder, P.J. (Terjemahan Dick Hartoko). 1983. Kalangwan, Sastra Jawa Kuno
Selayang Pandang. Jakarta: Penerbit Djambatan dan ILDEP.

Anda mungkin juga menyukai