Sebagai sebuah fenomena yang relatif baru, kehadiran teks fiksi Indonesia belum
memiliki pijakan kultural yang mantap. Hal ini terjadi karena kebudayaan (nasional) Indo-
nesia beserta tradisinya masih sangat muda dan belum tegas sehingga belum dapat
dijadikan pijakan tradisi kultural bagi teks fiksi Indonesia. Tak heran, dalam sejarah teks
fiksi Indonesia dapat disaksikan eksperimen-eksperimen mencari pijakan tradisi kultural
bagi kehadiran teks fiksi Indonesia. Secara dikotomis, ada dua macam kebudayaan yang
dicoba dijadikan pijakan kultural oleh teks fiksi Indonesia, yaitu kebudayaan modern
(baca: Barat) dan kebudayaan lokal di Indonesia yang sudah relatif tua dan lama ada,
setidak-tidaknya sudah ada ketika kebudayaan (nasional) Indonesia ada (Esten, 1982;
Saryono, 1998).
Salah satu kebudayaan lokal di Indonesia yang dicoba dijadikan pijakan kultural
adalah kebudayaan Jawa. Banyak pengarang teks fiksi Indonesia, terutama semenjak
Sesudah Perang Kemerdekaan, menggali dan mengangkat kebudayaan Jawa sebagai
pijakan kultural teks fiksi Indonesia yang mereka tulis. Kebudayaan Jawa itu bukan
sekadar menjadi tema, latar, dan pokok persoalan, melainkan -- lebih dari itu -- juga
benar-benar menjadi ruh yang memberikan kekayaan kultural bagi teks fiksi Indonesia.
Salah satu aspek kebudayaan Jawa yang digali dan diangkat dalam teks fiksi Indonesia
ialah nilai estetis Jawa (selanjutnya disingkat NTJ) di samping nilai religius Jawa (NRJ),
nilai filosofis Jawa (NFJ), dan nilai etis Jawa (NTJ). Tak mengherankan, dalam teks fiksi
Indonesia terkonstruksi secara cukup kuat NTJ di samping tentu saja NRJ, NFJ, dan NEJ.
Pertanyaannya di sini: Seperti apakah konstruksi NTJ dalam teks fiksi Indonesia?.
Makalah ini mencoba menelusuri tilas-tilas NTJ dalam beberapa teks fiksi Indonesia.
Setelah membeberkan NTJ seperlunya, makalah ini kemudian mencoba membeberkan
tilas-tilas NTJ dalam beberapa teks fiksi Indonesia.
Sejalan dengan itu, dapat dikatakan bahwa di dalam budaya Jawa, keindahan dan
keelokan berjalin berkelindan secara mutualistis dengan kekudusan dan kesucian (NRJ),
kebenaran dan ketepatan (NFJ), dan kebaikan dan kesopansantunan atau kepantasan
(NEJ). Di sinilah masing-masing nilai budaya Jawa perlu saling mendukung dan
menghargai, tidak berbenturan-bertabrakan terus-menerus, misalnya pengalaman estetis
mendukung tercapainya pengalaman religius; momen estetis terdorong ke momen religius.
Seperti telah telah ditunjukkan dengan baik oleh Wiryamartana dalam Aspek-aspek Estetik
(1986) dan Arjunawiwaha: Transformasi Teks Jawa Kuno lewat Tanggapan dan Pen-
ciptaan di Lingkungan Sastra Jawa (1990) dan juga Zoetmulder dalam Kalangwan: Sas-
tra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983), keterkaitan berbagai nilai budaya Jawa tersebut
tampak sangat kuat dalam sastra Jawa Kuno; kualitas estetis sastra Jawa Kuno
menemukan puncaknya dalam kualitas religius (kalangon) dan momen estetis sastra Jawa
Kuno mencapai puncaknya dalam momen religius. Demikian juga, seperti telah
ditunjukkan oleh Sudewo dalam Serat Panitisastra (1991), Simuh dalam Wirid Hidayat
Jati: Mistik Islam Kejawen R.Ng. Ranggawarsito (1985) dan Sufisme Jawa (1995),
Darusuprapto, dkk. dalam Ajaran Moral dalam Susastra Suluk (1990), dan Florida dalam
Pada Tembok Keraton Ada Pintu: Unsur Santri dalam Dunia Kapujanggan "Klasik" di
Keraton Surakarta (1996), dalam sastra Jawa Zaman Pertengahan atau Zaman Mataram-
Islam tampak keterkaitan berbagai NTJ, NEJ, NFJ, dan NRJ tersebut; kualitas estetis
bercampur atau berpadu dengan kualitas etis, filosofis, dan religius. Bahkan Djoko
Damono dalam Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Isi, Fungsi, dan Struktur (1993) dan
Quinn dalam Novel Berbahasa Jawa (1992) menunjukkan bahwa dalam batas-batas
tertentu novel-novel Jawa modern masih memperlihatkan tilas-tilas keterkaitan mutualistis
antara berbagai NTJ, NEJ, NFJ, dan NRJ; nilai keindahan dan keelokan novel Jawa mo-
dern tetap tidak bisa melepaskan diri dari (beban saling mendukung dan menghargai) nilai
kebaikan, kepantasan, kebenaran, ketepatan, dan kekudusan serta kesucian menurut
manusia Jawa. Implikasi hal tersebut adalah bahwa yang indah dan elok (dapat) menjang-
kau arti yang baik, pantas, benar, tepat, kudus, dan atau suci dalam BJ. Jadi, pada
dasarnya NTJ berciri holistis-integratif, dalam arti (bisa) menjangkau atau menembus
dimensi etis, filosofis, dan religius yang imaterial-metafisis, bukan semata-mata dimensi
estetis ansich yang material-fisis-literer.
Kalimat panjang di atas mempermain-mainkan kata-kata, kata dan angka serta konsep
keramat bagi bangsa Indonesia sehingga mendekonstruksi bahasa, makna bahasa, dan
sejarah Indonesia. Permainan di atas dapat disejajarkan dengan plesetan, otak-atik gathuk,
atau kirata basa dalam BJ. Hal tersebut adalah penanda teks yang makin menegaskan
konstruksi estetika wayang atau nilai estetis wayang dalam teks Durga Umayi. Oleh
karena itu, sebagaimana sudah disinggung di atas, tidaklah berlebihan bilamana teks
Durga Umayi disebut sebagai satu bentuk eksposisi estetika wayang di dalam teks teks
fiksi Indonesia yang difungsikan untuk mendekonstruksi atau memelesetkan berbagai hal
mengenai bangsa Indonesia. Bukan hanya konsep bahasa Indonesia baku (baik dan benar
versi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang dijadikan konstruksi nasionalisme
kultural Indonesia) yang didekonstruksinya, melainkan juga berbagai konsep mengenai
bangunan bangsa Indonesia yang dikonstruksi oleh elite bangsa Indonesia. Yang
didekonstruksi atau dipelesetkan dalam kutipan di atas, misalnya, adalah amanat 17
Agustus 19945 (simak bagian yang ditebalkan!): Amanat tujuh belas delapan seribu
sembilan empat lima.
Berdasarkan penanda-penanda teks samping (parateks) dan teks utama, teks
Burung-burung Manyar karya Mangunwijaya juga dapat dikatakan mekonstruksikan
estetika wayang atau nilai estetis wayang. Seperti halnya di dalam pembukaan teks utama
Durga Umayi, di dalam awal pembukaan teks utama Burung-burung Manyar juga
terdapat prawayang yang secara metaforis tampak berfungsi sebagai bingkai atau
balungan cerita, bahkan juga berfungsi sebagai model tokoh. Prawayang itu mengambil
model gambaran dari wayang kulit Jawa, dalam hal ini epos panjang-menggentarkan
Mahabaratha -- yang sudah mengalami penjawaan sedemikian rupa sehingga tilas-tilas
keindiaannya tidak begitu tampak lagi. Di dalamnya digambarkan suatu keadaan dan
suasana desa Widura Kandang di negeri Ngamarta beserta dengan tokoh-tokohnya. Agar
lebih jelas, prawayang yang dimaksud dikutip selengkapnya berikut ini
Prawayang
Nun di kala itu, di Widura Kandang negeri Ngamarta, tum-buhlah si gadis gesit
bagaikan burung prenjak; rajn dan cerdas, Rarasati atay Larasati namanya.
Teremban kehangatan asuhan cinta arif sang ayah Antapoga, gembala ternak
istana, dan isterinya Nyai Sagopi, gadis Rarasati memekar.
Hatta kisah berwarta, pondok Antapoga menerima tugas mulia namun berat,
dijadikan tempat berlindun putera puteri Sri Baginda Raja Basudewa dari negeri
Mandura, ialah Kakrasana dan Narayana beserta adik perempuan Rara Ireng.
Ketiga anak raja itu diungsikan karena terancam terbunuh oleh abang tiri jahat,
Kangsa.
Kakrasana, wahana wahyu dewa Basuki, dewa naga penopang Bumi Raya,
adalah makhluk seta. Artinya: serba putih darah, daging serta segala-galanya
sampai ke tulang maupun sarafnya; sedangkan Narayana, wahana wahyu dewa
Wishnu, justru hitam legam tulang, daging, darah, saraf, dan segalanya. Namun
mereka berayah satu, raja Basudewa.
Serba indah dan berbahagialah masa kanak-kanak ketiga putera puteri raja itu
di Widura Kandang bersama Rarasati, bunga padang merdeka. Rarasati kelah
dipersunting pahlawan Arjuna. Begitu juga Rara Ireng, yang setelah dewasa
bernama Sumbadra. Narayana selaku Raja Kresna negeri Dwarawati menjadi ahli
siasat utama para Pendawa. Namun Kakrasana yang seta, yang bergelar raja
Baladewa memihak Kurawa. Demi kesetiannya kepada Herawati, isterinya, dan
ayah mertua, raja Salya dari Mandraka yang merasa wajib berpihak kepada para
Kurawa, agar kerajaan Ngastina jangan pecah. Namun dalam lubuk hati raja Salya
maupun Baladewa, kecintaan kepada para Pandawa tidaklah pernah berhenti
berpijar.
Tetapi, apakah Baladewa benar-benar akan memihak Kurawa dalam medan
laga total Bharatayudha Jayabinangun, artinya "Kejayaan dibangun secara sejati"?
Maka terdengarlah warta: Kresna mengilhami abangnya yang seta itu untuk
bertapa di Grojongan Sewu (Seribu Air Terjun).
Dari pihak lain Mas Sepandri dulu bekas serdadu KNIL, jadi ia berhak
berkenil-kenil. Maka dibuat gampang saja. berdamailah istilahnya. (BBM:158)
Modus kejawalisanan dan kengokoan bahasa Indonesia seperti kutipan di atas banyak
sekali muncul dalam bagian-bagian teks Burung-burung Manyar. Modus bahasa seperti
ini semakin menegaskan konstruksi NTJ khususnya nilai estetis wayang di dalam teks
Burung-burung Manyar sehingga teks tersebut bisa disebut sebagai eksposisi keindahan
dan keelokan dalam pandangan BJ.
Mirip dengan teks Durga Umayi dan Burung-burung Manyar, teks Tirai Menurun
karya N.H. Dini juga mekonstruksikan NTJ khususnya nilai estetis wayang. Maka, teks
tersebut juga bisa disebut sebagai eksposisi keindahan dan keelokan dalam pandangan BJ.
Seperti halnya Durga Umayi, dalam sampul belakang Tirai Menurun dikemukakan antara
lain bahwa "Disusun seperti adegan-adegan pertunjukan wayang orang, Tirai Menurun
menyuguhkan babak demi babak kehidupan empat tokohnya: Kedasih, Kintel, Sumirat,
dan Wardoyo ... Sang dalang berhak mengatur serta merangkai alur cerita dan peristiwa di
pentas. Tanpa sadar, di panggung kehidupan ia terjerat oleh rangkaiannya sendiri. Namun,
dialah yang mengakhiri pertunjukan. Dia sempat menancapkan gunungan di tengah-
tengah layar: Tancep Kayon." Kemudian di dalam sampul depan terdapat gambar dua
orang yang berdandan sebagai tokoh wayang orang, gambar gunungan yang biasa dipakai
di dalam wayang kulit, dan gambar naga yang biasanya menghias tiang penyangga
seperangkat gong. Selanjutnya, dalam halaman berikutnya ada persembahan karya bagi
tokoh-tokoh besar kesenian Jawa: Kepada tokoh-tokoh yang kukagumi: Kusni Cokromino-
to, Nartosabdo, Bagong Kussudiardjo. Halaman berikutnya lagi ada kutipan butir-butir
kawruh Jawa atau ajaran Jawa yang sudah sangat terkenal yang disusun terbalik: Rame
ing gawe, sepi ing pamrih, memayu hayuning bawono. Penanda-penanda teks tersebut
mengimplikasikan adanya konstruksi NTJ khususnya nilai estetis wayang dalam teks
Tirai Menurun.
Konstruksi NTJ khususnya nilai estetis wayang tersebut makin tegas jika disimak
struktur naratif teks utamanya. Seperti halnya struktur naratif Burung-burung Manyar,
struktur naratif Tirai Menurun dibagi menjadi tiga bagian. Masing-masing bagian tampak
sejajar atau analog dengan pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura dalam wayang.
Bagian pertama yang dijuduli Asal-Usul terbagi atas bab Grobogan, Banaran, dan Merapi
memperkenalkan latar belakang dan identitas tokoh-tokoh utama -- terutama Kedasih dan
Sumirat -- serta kepergian atau proses urbanisasi mereka ke kota Semarang. Bagian ini
bisa dikatakan sejajar dengan jejer janturan dan adegan sabrangan dalam wayang.
Kemudian bagian kedua yang berpusat di kota terbagi atas subbagian Kota Satu sampai
dengan Kota Tujuh mengisahberitakan berbagai sepak terjang tokoh-tokoh utama, usaha
tokoh-tokoh utama mengatasi segenap persoalan hidup dan kehidupan di kota sebagai
anak wayang, dan nasib tokoh-tokoh utama di kota sebagai anak wayang. Bagian dua ini
bisa dikatakan sejajar dengan adegan gara-gara, jejer pandhita, perang kembang, perang
sampak sanga, dan perang ageng. Selanjutnya, bagian ketiga yang dijuduli Tancep
Kayon terdiri atas tiga anak bab mengisahberitakan usaha-usaha beberapa tokoh utama
menegakkan rombongan wayang orang dari keruntuhan, nasib masing-masing tokoh
utama di dalam usaha tersebut, dan keruntuhan rombongan pertunjukan wayang orang.
Bagian ini -- seperti sudah tersurat dari judulnya -- bisa disejajarkan dengan adegan jejer
tancep kayon dalam wayang. Jadi, secara umum, struktur naratif atau balungan teks Tirai
Menurun mengikuti struktur naratif lakon wayang. Hal ini makin menegaskan konstruksi
nilai estetis wayang dalam teks Tirai Menurun.
Konstruksi NTJ dalam teks teks fiksi Indonesia tidak terbatas pada nilai estetis
wayang atau estetika wayang saja. Dalam batas-batas tertentu, bisa dikatakan bahwa tilas-
tilas nilai estetis tembang atau estetika tembang cilik/macapat juga tekonstruksi dalam
teks teks fiksi Indonesia. Jejak-sejak estetika tembang ini tampak menonjol di dalam teks
Pengakuan Pariyem. Meskipun guru gatra, guru wilangan, dan guru lagunya tidak sama
(persis), tetapi tilas-tilas keketatan pola persajakan tembang macapat terlihat dalam teks
Pengakuan Pariyem. Teks Pengakuan Pariyem bisa dikatakan memiliki semacam guru
gatra, guru wilangan, dan guru lagu yang ketat seperti tembang macapat. Dengan kata
lain, teks Pengakuan Pariyem memiliki pola persajakan yang ketat. Pola pokoknya adalah
sebagai berikut.
Pola pokok tersebut memiliki beberapa variasi tertentu, bergantung pada masalah yang
akan dikemukan. Di samping itu, juga ada pola pokok yang berupa
O, Allah, Gusti nyuwun ngapura
mengakah saya dirisaukan amat
Saya termasuk bagian dari umat
yang jumlah banyaknya jutaan (PP:5)
dengan beberapa variasi kecil tertentu. Kutipan berikut adalah salah satu contohnya.
"Pariyem, nama saya
Lahir di Wonosari Gunung Kidul pulau Jawa
Tapi kerja di kota pedalaman Ngayogyakarta
Umur saya 25 tahun sekarang
- tapi nuwun sewu
tanggal lahir saya lupa
Tapi saya ingat betul weton saya:
Wukunya Kuningan
di bawah lindungan bethara Indra
Jumat Wage waktunya
ketika hari bangun fajar
Kutipan tersebut menunjukkan keketatan pola persajakan teks Pengakuan Pariyem, baik
larik, (suku) kata, maupun bunyi. Pola persajakan seperti tersebut dipertahankan
sepanjang teks. Dalam seluruh teks, pola pokok persajakan Ya, ya, Pariyem saya tersebut
-- dengan beberapa variasi kecil -- berulang sebanyak 67 kali, sedangkan pola pokok
persajakan O, Allah, Gusti nyuwun ngapura berulang 41 kali. Semua hal tersebut
mencerminkan konstruksi NTJ dalam teks Pengakuan Pariyem. Setidak-tidaknya
mekonstruksikan tilas-tilas estetika macapat atau macapat yang dijadikan gancaran.
Konstruksi NTJ dalam teks Pengakuan Pariyem tersebut semakin tegas jika dilihat
dari bahasanya. Demi kepentingan estetis, teks ini menggunakan bahasa Jawa luar biasa
banyaknya untuk ukuran teks teks fiksi Indonesia. Teks ini dipenuhi oleh bahasa Jawa,
mulai tataran bunyi, kata, frase dan klausa sampai dengan kalimat dan wacana. Bunyi
kagum, seru, terkejut, dan lain-lain yang khas Jawa mendominasi teks. Kemudian
kata/frase berupa konsep-konsep BJ, adat istiadat BJ, tokoh dan lakon wayang, nama
tempat-sungai-peralatan, istilah cabul-jorok-kasar-kurang sopan, dan konsep kehidupan
Jawa. Klausa bisa berupa klausa bermakna seru, idiom, ungkapan, dan pepatah. Demikian
juga kalimat bisa berupa kalimat tanya dan kalimat seru khas Jawa. Selanjutnya, wacana
bisa berupa parikan/pantun kilat Jawa, tembang-tembang Jawa (lagu-lagu Jawa), pemeo
Jawa, gaya bahasa, dan ucapan/perkataan dalam peristiwa hari besar. Tidak menghe-
rankan, untuk menjelaskan sebagian bahasa Jawa ini diperlukan glosari bahasa Jawa-
Indonesia sebanyak 58 halaman. Disebutkan di dalam teks bahwa penggunaan bahasa
Jawa ini didasari oleh alasan,
"Bila saya menerjemahkan bahasa
Jawa ke dalam bahasa Indonesia
Yakni, bahasa persatuan kita
ialah bahasa kebangsaan kita
Maka saya korupsi bahasa
saya manipulasi kebudayaan
saya pun setlika peradaban
Wuah, saya berpokrol bambu
yang tak genah juntrungannya
Bahasa Jawa bangkrut maknanya
sedang bahasa Indonesia Jaya" (PP:36).
Pada dasarnya, alasan ini adalah pandangan dan sikap pengarangnya, Suryadi Ag,
sebagaimana terlihat di dalam berbagai esainya. Di dalam Transformasi Puisi Indonesia,
misalnya, dia mengatakan bahwa bahasa Indonesia sebagai tradisi baru tergolong
ketinggalan zaman sehingga belum mampu menampung atau mewadahi kreativitas
sastrawan Indonesia asal etnis Jawa (1984:378--380). Alasan pengarang seperti ini mutatis
mutandis mirip dengan alasan sang kawi dalam kakawin yang ditulisnya dan pujangga
dalam serat yang ditulisnya, misalnya dalam Kanjeng Susuhunan Pakubuwono IV dalam
Serat Wulangreh. Pakubuwono dalam pembukaan Wulangreh mengatakan:
"Pamedhare wasitaning ati
cumantaka aniru pujangga
dhahat mudha ing batine
nanging kedah ginunggung
datan wruh yen akeh ngesemi
ameksa angrumpaka
basa kang kalantur
tutur kang katulatula
tinalaten rinuruh kalawan ririh
mrih padhaning sasmita"
Penanda-penanda bahasa ini jelas semakin menegaskan konstruksi NTJ khususnya estetika
sastra tembang macapat di dalam Pengakuan Pariyem sehingga teks tersebut juga dapat
disebut sebagai eksposisi sekaligus eksternalisasi estetika Jawa.
PENUTUP
Uraian di atas dengan jelas menunjukkan adanya tilas-tilas NTJ secara kuat dan
menonjol dalam beberapa teks fiksi Indonesia karangan novelis beretnis Jawa. Teks fiksi
Burung-burung Manyar, Burung-burung Rantau, Pengakuan Pariyem, Kotbah di Atas
Bukit, Pasar, Ibu Sinder, dan Tirai Menurun, sebagai contoh, secara kuat dan menonjol
mekonstruksikan betapa sentralnya keholistisan-ketotalistisan dan kemapanan-keselaras-
an-kebersamaan yang menjadi karakteristik utama estetika Jawa. Selain itu, pelbagai teks
fiksi tersebut secara kuat dan menonjol juga mekonstruksikan nilai estetis wayang dan
nilai estetis tembang cilik/macapat. Unsur karakter tokoh wayang, struktur pertunjukan
wayang, struktur atau kaidah macapat, dan misi kepengarangan Jawa banyak dijadikan
kekayaan struktur dan tekstur teks fiksi Indonesia. Oleh karena itu, tidak salah bila dikata-
kan bahwa kebudayaan Jawa khususnya NTJ telah menjadi salah satu pijakan kultural teks
fiksi Indonesia yang penting.
Sehubungan dengan itu, ada satu pertanyaan penting: Apakah adanya konstruksi
atau jejak NTJ tersebut menandakan adanya jawanisasi teks fiksi Indonesia?. Untuk
menolak atau mengiyakan pertanyaan ini perlu dilakukan penelitian lebih mendalam dan
luas tentang teks fiksi Indonesia. Perlu diteliti lebih lanjut visi dan misi pengarang
Indonesia beretnis Jawa dalam mengangkat dan menampilkan NTJ dalam teks fiksi
Indonesia: apakah visi dan misinya jawanisasi atau bukan. Di samping itu, perlu diteliti
lebih luas lagi ada tidaknya kebudayaan-kebudayaan lokal lain khususnya nilai budaya
lokal lain sebagai pijakan kultural teks fiksi Indonesia. Adakah nilai budaya
Minangkabau, Melayu, dan sebagainya menjadi pijakan kultural bagi teks fiksi Indonesia?
Jika hasil penelitian menunjukkan bahwa kebudayaan Minangkabau, Melayu, dan
sebagainya juga menjadi pijakan kultural teks fiksi Indonesia secara berarti, maka dapat
dikatakan bahwa yang terjadi dalam teks fiksi Indonesia bukan jawanisasi, melainkan
multikulturalisasi teks fiksi Indonesia atau mungkin kebimbangan estetis sastra Indonesia.
Dengan demikian, hadirnya NTJ dalam berbagai teks fiksi Indonesia tidak harus dibaca
sebagai bentuk jawanisasi, melainkan dapat dibaca sebagai bentuk pengisian multi-
kulturalisme atau kebimbangan estetis teks fiksi Indonesia sebab nilai estetis kebudayaan
lokal lain juga tampil dalam teks fiksi Indonesia.
DAFTAR RUJUKAN
Bharata (Terjemahan Amdun Husein). 1987. Bab "Rasa" Kitab Natyasastra. Dalam Salleh,
Muhammad Haji (Penyunting). 1987. Kumpulan Kritikan Sastera: Timur dan
Barat (hlm. 249-268). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Damono, Sapardi Djoko. 1993a. Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Isi, Fungsi, dan
Struktur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Dewantara, Ki Hadjar. 1957. Kebudayaan. Yogyakarta: Taman Siswa.
Dwidjosumarto, S. 1957. Kasusastran Djawi. Bandung: KPPK, Balai Pendidikan Guru.
Lombard, Denys. (Terjemahan Partaningrat Winarsih Arifin dkk.). 1996. Nusa Jawa:
Silang Budaya, Batas-batas Pembaratan, Volume I. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama.
Lombard, Denys (Terjemahan Winarsih Partaningrat Arifin dkk.). 1996a. Nusa Jawa:
Silang Budaya, Jaringan Asia, Volume II. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama.
Lombard, Denys (Terjemahan Winarsih Partaningrat Arifin dkk.). 1996b. Nusa Jawa:
Silang Budaya, Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, Volume III. Jakarta:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Magnis-Suseno, Franz. 1984. Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia.
Mangunwijaya, Y. B. 1982. Sastra dan Religiositas. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Padmosoekotjo, S. 1953. Ngengrengan Kasusastran Jawa, Jilid I. Semarang: Penerbit dan
Toko Buku Hien Hoo Sing.
Padmosoekotjo, S. 1953. Ngengrengan Kasusastran Jawa, Jilid II. Semarang: Penerbit
dan Toko Buku Hien Hoo Sing.
Poedjosoedarmo, Soepomo. 1986. Ragam Panggung dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Quin, George (Terjemahan Raminah Baribin). 1995. Novel Berbahasa Jawa. Semarang:
IKIP Semarang Press.
Sudewo, A. 1991a. Transformasi Norma Estetik Sastra Jawa. Makalah Kongres Bahasa
Jawa I, Semarang, 1991.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar ke Teori Sastra. Jakarta: PT
Pustaka Jaya.
Wiryamartana, I Kuntara. 1986c. Aspek-aspek Estetik. Dalam Basis, XXXV (06): 202 --
211.
Wiryamartana, I Kuntara. 1990. Arjunawiwaha: Transformasi Teks Jawa Kuna lewat
Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
Zoetmulder, P.J. (Terjemahan Dick Hartoko). 1983. Kalangwan, Sastra Jawa Kuno
Selayang Pandang. Jakarta: Penerbit Djambatan dan ILDEP.