Reog Bulkiyo is a traditional art Blitar. Art is a war dance that was created by the
soldiers around 1825. Diponegoro Reog Bulkiyo is a medium for the war games, but over the
times of the arts serve as a means of rituals, entertainment and performing arts. This study
aims to determine (1) How is the form of presentation Reog Bulkiyo Village Kemloko
Nglegok District of Blitar. (2) How does the process of shifting the function Reog Bulkiyo
Village Kemloko Nglegok District of Blitar in 2000 until today. (3) What factors affect Reog
Bulkiyo shift function. The theory used in this research is the theory of forms (Murgiyanto,
1993), theory of change (Koentjaraningrat, 2003) and the theory of shift factor
(Dwijowinoto, 1996). This study uses qualitative research methods, the research object is
Reog Bulkiyo Village Kemloko Nglegok District of Blitar. Data collection techniques used
through observation, interviews and documentation. Data analysis technique used is the
analysis of the taxonomy.
Research results obtained are the forms of presentation Reog Bulkiyo Village Kemloko
Nglegok District of Blitar, the process of shifting function Reog Bulkiyo Village Kemloko
Nglegok District of Blitar and factors affecting Reog Bulkiyo shift function. Forms of
presentation Reog Bulkiyo not changed much from the beginning of its creation in 1825.
Reog Bulkiyo a war dance adapted from war movements of the soldiers. The shifting process
takes place in the art of socialization and enculturation. Factors affecting Reog Bulkiyo shift
function is internal factors, namely from the senimman Reog Bulkiyo and through external
factors that come from outside the arts. The conclusion of this study is Reog Bulkiyo
experience pergseran function, namely the training of media war and now serves as a
ceremonial / ritual and entertainment.
Key words : Friction, Function, Art, Reog Bulkiyo
PENDAHULUAN
Perubahan dan dinamika merupakan suatu ciri yang sangat hakiki dalam masyarakat
dan kebudayaan. Perubahan merupakan suatu fenomena yang selalu diiringi dengan
perjalanan sejarah setiap masyarakat dan kebudayaan. Perubahan tersebut dapat membawa
hal-hal yang baik, namun juga dapat membawa hal yang tidak diinginkan. Banyak upaya
untuk mengembangkan aspek-aspek dan nilai-nilai yang sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, informasi dan media.
Syani mengungkapkan perubahan berarti “suatu proses yang mengakibatkan keadaan
sekarang berbeda dengan keadaan sebelumnya, perubahan bisa berupa kemunduran dan bisa
juga berupa kemajuan (progress)”. Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan-perubahan,
baik perubahan dalam arti luas maupun perubahan dalam arti yang sempit, perubahan secara
cepat ataupun lambat (evolusi) (1995: 83).
Perubahan dalam masyarakat pada prinsipnya merupakan proses terus-menerus untuk
menuju masyarakat maju atau berkembang, pada perubahan sosial maupun perubahan
kebudayaan. Menurut Davis (dalam Soejono Soekanto tth:263-267) “perubahan sosial
merupakan bagian dari perubahan kebudayaan, yang mencangkup semua bagiannya, yaitu
kesenian, ilmu penegetahuan, teknologi, filsafat, dan seterusnya.”
Perubahan sosial budaya merupakan gejala berubahnya struktur sosial dan budaya
suatu masyarakat. Perubahan tersebut merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa
dalam setiap masyarakat. Masyarakat selalu beradaptasi dengan keadaan lingkungan, selain
itu masyarakat juga mempunyai konsekuensi bahwa mereka harus selalu menyesuaikan
hubungan internal maupun eksternal, sesuai dengan tuntutan yang selalu mengalami
perubahan.
Perubahan kebudayaan suatu kelompok masyarakat juga akan berpengaruh terhadap
keseniannya. Seni merupakan salah satu unsur kebudayaan, seperti yang dikemukakan oleh
Konetjaraningrat, bahwa terdapat tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua
bangsa di dunia, yakni (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem
peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, (7)
kesenian (1990:203).
Seni merupakan salah satu aspek budaya yang perlu untuk dipahami, setidaknya hal
ini diketahui oleh seseorang dalam pengembangan kepribadiannya. Kehidupan jika tanpa
memahami atau mengetahui seni merupakan kehidupan yang terasa hampa dan
menyempitkan pengetahuan seni orang. Hal ini akan lebih berarti bagi orang yang mampu
dan mempunyai pandangan luas dalam menelaah masalah yang memerlukan pemecahan,
bukan saja dari sudut teknis, akan tetapi juga dari sudut budayanya.
Menurut Jazuli (2008: 1) tari mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia
karena dapat memberikan berbagai manfaat, antara lain sebagai hiburan dan sarana
komunikasi. Melalui hal tersebut tari dapat hidup, tumbuh dan berkembang sepanjang zaman
sesuai dengan perkembangan kebudayaan manusianya. Dengan kata lain, bahwa
perkembangan maupun perubahan yang terjadi pada tari sangat dibutuhkan untuk
kepentingan dan kebutuhan masyarakat pendukungnya. Sebagai contoh tari dipertunjukkan
pada berbagai peristiwa yang berkaitan dengan upacara (ritual) dan perayaan kejadian
penting bagi manusia maupun masyarakat.
Masyarakat memiliki andil yang besar dalam membentuk suatu budaya, dengan
berkembangnya sumber daya manusia juga berpengaruh terhadap kebudayaan tersebut.
Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan dimensi ruang dan
waktu. Perubahan pola pikir masyarakat berpengaruh terhadap fungsi dan bentuk tari, dan tari
akan senantiasa menyesuaikan dengan keadaan zamannya. Budaya menari yang hidup,
tumbuh dan berkembang diberbagai kelompok masyarakat telah melahirkan tari-tarian tradisi.
Semula tradisi menari untuk kepentingan sosial kemudian berkembang menjadi seni
pertunjukan atau tontonan.
Bentuk, jenis dan fungsi tari dari berbagai kebudayaan manusia dapat ditemukan dalam
berbagai pelosok tanah air. Dengan mengamati berbagai bentuk, jenis, motif-motif gerak,
maupun fungsi tari, dapat mengenalkan pada keragaman budaya dari kelompok masyarakat
pendukungnya. Hal ini menjelaskan bahwa suatu kesenian dapat menunjukkan darimana seni
tersebut berasal. Saat ini kesenian-kesenian suatu daereh mengalami perkembangan, baik
secara tekstual maupun kontekstualnya. Perkembangan tersebut terjadi seiring perkembangan
zaman.
Kabupaten Blitar merupakan salah satu daerah di Propinsi Jawa Timur, Blitar memiliki
beragam kesenian yang juga mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan budaya.
Seperti kesenian Jaran Jur dalam ritual Jamasan Gong Kyai Pradah di Kecamatan Lodoyo,
kesenian Jaran Jur terbentuk pada seitar tahun 1921 sebelumnya kesenian tersebut hanya
berfungsi sebagai hiburan masyarakat, namun pada tahun 1949 kesenian tersebut juga
difungsikan sebagai ritual, yakni sebagai lambang iring-iringan Jaranan Jujur sewaktu
menjemput Gong Pusaka Kyai Pradah.
Blitar juga memiliki seni Kentrung di Desa Dayu Kecamatan Nglegok, kesenian
tersebut didirikan oleh Adam Sumeh pada sekitar tahun 1990, jika sebelumnya alat musik
kesenian kentrung yang digunakan berupa kendang, terbang, kendang kecil dan ketipung saat
ini dalam sajiannya seni Kentrung juga menggunakan keyboard, drumset, bass dan gitar.
Kesenian-kesenian tersebut mengalami perubahan, ada yang dari segi tekstual juga
kontekstual. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan budaya masyarakat Kabupaten Blitar. Selain
kesenian diatas, juga terdapat suatu kesenian yang mengalami perubahan menyesuaikan
perkembangan budaya, yakni kesenian Reog Bulkiyo di Desa Kemloko Kecamatan Nglegok
Kabupaten Blitar, konon diceritakan bahwa kesenian ini diciptakan Kasan Muhtar (alm)
seitar tahun 1825. Kasan Muhtar diyakini sebagai prajurit Pangeran Diponegoro, dalam
pelariannya sampai ke wilayah Kabupaten Blitar yang akhirnya menetap di Desa Kemloko.
Sambil menunggu kejelasan kabar kelanjutan perjuangan prajurit-prajurit mengasah
kemampuan dalam berperang melalui gerakan-gerakan tari. gerakan-gerakan keprajuritan
tersebut disebut dengan kesenian Reog Bulkiyo (Wahid, 2011 : 1).
Kasan Muhtar dan ketujuh prajurit Diponegoro lainnya membuat tarian prajurit yang
terinspirasi kisah kenabian dari kitab Al Anbiyun. Kisah Bukiyo tersebut diadaptasi dan
digambarkan dalam gerakan-gerakan peperangan. Seturut konteks zaman yang berubah,
orang-orang dengan alam pikir dan rasa, karsa dan cipta, kebutuhan dan tantangan akan
mengalami perubahan, begitu juga dengan budayanya (Sutrisno dan Putranto, 2005:7).
Kesenian Reog Bulkiyo juga mengikuti alur zaman. Harwimuko, sastrawan dari Blitar dalam
bukunya Ensiklopedia Seni Budaya Blitar mengatakan bahwa:
Reog Bulkiyo berkembang di wilayah bagian utara Kabupaten Blitar, tepatnya di Desa
Kemloko, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Nampaknya kesenian Reog Bulkiyo
ini masih dapat berkembang dan terus dilestarikan oleh warga Desa Kemloko
Kecamatan Nglegok Kabupaten Blitar. Kesenian ini hanya dimainkan oleh keturunan
almarhum Kasan Mustar (Harwimuka, 2012 : 5).
Pada saat ini Reog Bulkiyo masih hidup di tengah-tengah masyarakat Kemloko.
Kesenian ini terus dilestarikan oleh warga Kemloko, yang di pimpin oleh Marjadi (60), warga
RT 03/01Dusun/ Desa Kemloko, Kecamatan Nglegok. Kesenian Reog Bulkiyo sebelumnya
berada dibawah pimpinan Supangi (Alm) yang meninggal dunia pada Maret 2016. Supangi
merupakan keturunan ketiga Mustar, salah satu prajurit Pangeran Diponegoro yang menetap
di Blitar. Para pelaku seni tersebut berjumlah 14 orang, yang terdiri dari sembilan penari,
empat pemukul alat musik dan satu orang dalang yang menceritakan kisah peperangan antara
Islam dan kaum kafir (Wahid, 2011 : 1).
Menurut para pelaku seni kesenian Reog Bulkiyo, hingga saat ini pola gerak serta
musik pengiring Reog Bulkiyo masih memiliki pola yang sama dengan penciptaan
pertamanya pada tahun 1825. Para pelaku seni Reog Bulkiyo tetap berusaha mempertahankan
keaslian bentuk kesenian tersebut, busana yang digunakan tetap memiliki makna yang sama.
Namun, kesenian Reog Bulkiyo tidak lagi digunakan sebagai latihan berperang.
Berdasarkan rangkaian peristiwa kehidupan Reog Bulkiyo, dapat dikatakan bahwa
seni ini telah mengalami pergeseran fungsi. Hal yang sangat menarik adalah bahwa pada
umummya seni yang mengalami pergeseran fungsi tentu akan berpengaruh juga pada sajian
tekstualnya. Kesenian Reog Bulkiyo memiliki keunikan, karena mengalami pergeseran fungsi
pada kesenian tersebut, terdapat hal menarik pada kesenian tersebut, yakni mengalami
pergeseran fungsi, namun tidak mengalami perubahan pada sajian tekstualnya, dan seni Reog
Bulkiyo merupakan kesenian yang harus segera untuk diteliti, karena merupakan kesenian
tradisional asli Blitar yang tinggal satu-satunya dan para seniman kesenian tersebut sudah
berusia lanjut, sehingga sangat mendesak untuk dilakukan penelitian pada kesenian tersebut.
Berangkat dari fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
“Pergeseran Fungsi Kesenian Reog Bulkiyo Di Desa Kemloko Kecamatan Nglegok
Kabupaten Blitar “ .
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis mrumuskan
permasalahan sebagai berikut :
METODE
Objek penelitian ini adalah kesenian Reog Bulkiyo di Desa Kemloko Kecamatan
Nglegok Kabupaten Blitar. Kesenian Reog Bulkiyo berada di RT 03/01Dusun/ Desa
Kemloko, Kecamatan Nglegok Kabupaten Blitar. Dalam pengumpulan data tentang kesenian
Reog Bulkiyo peneliti menggunakan sumber data primer dan data sekunder. Data primer
behubungan dengan data utama yakni manusia, maka daam penelitian ini narasumber terdiri
atas narasumber kunci dan narasumber pendukung. Nara sumber kunci adalah (a) Supangi
(Alm) selaku pemimpin dan pawang kesenian Reog Bulkiyo, (b) Santosa(49) sebagai
plandhang, (c) Marjadi (60) sebagai penari Reog Bulkiyo dan (d) Kabul (94) sebagai mantan
pelaku seni kesenian Reog Bulkiyo. Narasumber pendukung pada penelitian ini adalah (a)
Surtinah (80) dan Suinsiyah (50) selaku tokoh masyarakat. Data sekunder adalah sumber data
lain yang bukan data utama (buku atau catatan pendukung).
Peneliti kualitatif sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian,
memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data,
menafsirkan data dan membuat kesimpulan (Sugiyono, 2012 : 222). Adapun teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi, wawancara serta
dokmentasi. Observasi yang digunakan adalah observasi terstruktur, observasi terstruktur
dilakukan apabila peneliti mengetahui dengan pasti tentang variable yang diamati (Sugiyono,
2015:205). Wawancara adalah salah satu teknik pengumpulan data melalui percakapan
dengan maksud tertentu. Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
tidak terstrukur dan wawancara terstruktur. Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara
yang bebas yakni peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun
secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya (Sugiyono, 2015:197).
Wawancara tidak terstruktur dilakukan kepada Sutinah (80) dan Suinsiyah (50). Wawancara
tersebut untuk menggali data mengenai bentuk kesenian Reog Bulkiyo jika dilihat dari sudut
pandang penonton. Dalam melakukan wawancara terstruktur, pengumpul data telah
menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan - pertanyaan tertulis yang alternatf
jawabannya pun telah disiapkan (Sugiyono, 2015:195). Wawancara terstruktur dilakukan
peneliti terhadap beberapa narasumber dan para seniman pendukungnya, yakni kepada
Supangi (Alm), Susanto (49), Marjadi (58) dan Kabul (94).
Pengumpulan data melalui dokumentasi dilakukan untuk menambah keabsahan data.
Dokumentasi yang telah didapatkan dalam penelitian ini adalah VCD pertunjukan kesenian
Reog Bulkiyo yang dimiiki oleh kelompok kesenian tersebut. Selain itu peneliti juga
mendapatkan buku-buku penelitian terdahulu mengenai kesenian Reog Bulkiyo. Buku-buku
tersebut berupa skripsi yang digandakan, antara lain: (1) Kesenian Reog Bulkiyo Di
Kabupaten Blitar : Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pelesttarian Kesenian Tradisional Reog
Bulkiyo Desa Kemloko Kecamatan Nglegok Kabupaten Blitar, (2) Musik Reog Bulkiyo dari
Desa Kemloko Kecamatan Nglegok Kabupaten Blitar Jawa Timur, (3) Makna Simbolik
Ragam Gerak Dalam Pertunjukan “Reog Bulkiyo” Di Desa Kemloko Nglegok Kabupaten
Blitar, (4) Film Dokumenter Tarian Reog Bulkiyo.
Validitas merupakan derajad ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian
dengan data yang dilaporkan oleh peneliti (Sugiyono, 2015:363). Penelitian ini menggunakan
validitas data dengan triangulasi data untuk mendapatkan data yang valid, maka peneliti
melakukan : triangulasi sumber, untuk mendapatkan data yang valid dalam penelitian
Kesenian Reog Bulkiyo maka peneliti melakukan beberapa langkah yakni : menanyakan
langsung kepada narasumber utama yaitu Supangi selaku pemimpin kesenian Reog Bulkiyo
kemudian pada waktu yang berbeda peneliti juga mengajukan pertanyaan kepada Kabul (94)
selaku mantan pelaku seni kesenian Reog Bulkiyo dan Surtinah (80) selaku tokoh
masyarakat. Hal ini dilakukan agar memperoleh data yang lebih akurat. Triangulasi metode,
peneliti beberapa kali mendatangi lokasi penelitian, yakni Desa Kemloko untuk memastikan
hasil penelitian kepada narasumber serta mendokumentasikan selama melakukan penelitian.
Dokumentasi yang didapat Selain menggunakan wawancara, juga dilakukan observasi serta
dokumentasi berupa foto.
Analisis yang digunakan oleh peneliti adalah analisis data kualitatif. Analisis data adalah
upaya yang dilakukan dengan mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan
yang dapat dikelola, mensintesiskannya , mencari dan menemukan pola, menemukan apa
yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan pada orang
lain. Penelitian ini menggunakan analisis taksonomi Spradly (dalam Sugiyono, 2012: 225)
untuk memperoleh gambaran yang umum dan menyeluruh mengenai situasi sosial yang
diteliti atau objek penelitian. Analisis taksonomi adalah analisis terhadap keseluruhan data
yang terkumpul berdasarkan domain-domain yang telah ditetapkan. Domain-domain tersebut
dibuat berdasarkan rumusan masalah.
4. Artistik/Pemanggungan
Tempat pertunjukan yang digunakan untuk penyajian kesenian Reog Bulkiyo dapat
ditempatkan dalam arena maupun panggung campuran. Tempat pertunjukan kesenian
tersebut dapat dikatakan tergantung pada situasi dan kondisi. Situasi dan kondisi yang
dimaksud adalah menyesuaikan dengan tempat dimana kesenian Reog Bulkiyo akan tampil.
Kesenian Reog Bulkiyo tidak memiliki aturan khusus harus ditampilkan dalam suatu area.
Kesenian Reog Bulkiyo lebih bersifat fleksibel artinya pertunjukan dapat disajikan dalam
area apa saja, sesuai dengan kehendak peminatnya.
Jika dalam acara hajatan, baik hajatan pernikahan maupun khitan, sering kali
pertunjukan Reog Bulkiyo ditampilkan dalam bentuk arena, yaitu dapat dilakukan pada
halaman warga atau lapangan yang luas, sehingga antara para penari Reog Bulkiyo dengan
penonton tidak memiliki jarak. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Padmodarmaya
(1988: 26), bahwa bentuk arena merupakan bentuk pentas yang paling sederhana
dibandingkan dengan bentuk lainnya, biasanya pertunjukan dilakukan di halaman rumah,
pura, pendapa, balai banjar, balai rakyat dan tempat lainnya tanpa adanya jarak antara pemain
dan penonton.
Selain dalam hajatan warga, Reog Bulkiyo juga dipentaskan dalam acara bersih desa.
Pada saat dipentaskan dalam acara bersih desa, Reog Bulkiyo meakukan pementasan diatas
panggung. Sehingga area pentas yang digunakan merupakan bentuk campuran, yaitu
campuran antara proscenium dengan arena. Pada saat Reog Bulkiyo melakukan pementasan
diatas panggung, maka akan memiliki jarak antara penari dengan penonton, hal ini
dikarenakan panggung memiliki ketinggia tertentu. Ketinggian panggung kurang lebih sekitar
1m.
5. Properti
Kesenian Reog Bulkiyo menggunakan properti berupa bérang, bérang adalah pisau yang
berukuran besar terbuat dari besi dan jika kedua bérang bersentuhan akan mengeluarkan
percikan-percikan api. Selain bérang, terdapat properti lain yang digunakan dalam kesenian
Reog Bulkiyo, yaitu bendera panji. Bendera panji dibawa dan digunakan sebagai properti
menari oleh plandhang atau wasit. Dalam hal ini properti sebagai pengkap untuk memberikan
arti dalam gerak Reog Bulkiyo. Sesuaii dengan yang diungkpan Meri (1986: 24) bahwa
upaya penggunaan properti tari lebih kepada kebutuhan tertentu untuk lebih melengkapi
kebutuhan dalam memberikan makna pada gerak atau sebagai tuntutan ekspresi (Meri
1986:24).
B. Proses Pergeseran Fungsi Kesenian Reog Bulkiyo Di Desa Kemloko
Kecamatan Nglegok Kabupaten Blitar Pada Tahun 2000 Hingga Saat Ini
1. Fungsi Kesenian Reog Bulkiyo
Menurut Soedarsono (2007 : 36) seni pertunjukan memiliki fungsi primer dan sekunder.
Kesenian Reog Bulkiyo terdiri dari fungsi, yakni fungsi primer dan fungsi sekunder. Fungsi
primer Reog Bulkiyo adalah sebagai berikut:
1.1 Fungsi Kesenian Reog Bulkiyo pada tahun 2009 hingga Februari 2016 sebagai sarana
upacara
Ritual mengandung makna dan nilai menjadi suatu ciri kebudayaan suatu tempat. Ritual
sangat erat hubunganya dengan kehidupan masyarakat pendukungnya. Di dalam ritual
terdapat suatu struktur yang telah dilakukan secara turun-menurun sehingga tidak begitu saja
menghilang.
Malam satu suro adalah hari pertama dalam kalender jawa di bulan suro. Malam satu
suro bertepatan dengan satu Muharram dalam kalender hijriyah. Tradisi saat malam satu
suro bermacam-macam, makna dari setiap kegiatan yang dilakukan pada malam satu suro
adalah sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas yang dilakukan selama satu
tahun penuh dan untuk berdoa agar ditahun depan lebih baik (Ema,
https://id.m.wikipedia.org/wiki/satu_suro, diakses 10 April 2016).
Pada malam satu suro, seniman Reog Bulkiyo melakukan slamatan di rumah ketua
kesenian yaitu Supangi (Alm). Para seniman melakuan perenungan dan memanjatkan syukur
atas nikmat yang telah diberikan oleh Sang Pencipta selama tahun yang telah terlewati.
Slamatan juga mengandung doa atau permohonan agar tahun kedepan dapat berjalan lebih
baik. Selain mendoakan kehidupan masyarakat Desa Kemloko, dalam slamatan tersebut juga
berdoa untuk kelangsungan kesenian Reog Bulkiyo. Acara slamatan dilaksanakan dengan
khidmat, pemimpin kesenian Reog Bulkiyo menyiapkan sesaji. Sajen merupakan simbol,
yakni harapan yang disimbolkan dalam bentuk sesaji tersebut. Pada sesaji tersebut diucapkan
doa-doa oleh Supangi (Alm), dan ketika sesaji telah diberi doa maka seniman Reog Bulkiyo
bersiap untuk melakukan pementasan. (Supangi (Alm), wawancara 20 Agustus 2015).
Pada malam satu suro kesenian Reog Bulkiyo ditampilkan di halaman rumah Supangi
(Alm). Pementasan kesenian Reog Bulkiyo diharapkan agar pada tahun berikutnya semua
jiwa manusia memiliki hati yang bersih dan mampu mengalahkan nafsu jahat serta dijauhkan
dari segala marabahaya. Seperti isi cerita dalam kesenian Reog Bulkiyo, bahwa setiap
kesucian dan kebenaran akan dapat mengalahkan hal-hal yang tidak baik. Malam satu suro
atau malam 1 muharram merupakan tahun baru bagi umat Islam. Masyarakat Desa Kemloko
adalah masyarakat santri dengan penduduk yang memiliki sisi religi baik. Sehingga
masyarakat memanfaatkan tahun baru Islam sebagai media untuk mawas diri dengan penuh
perenungan dan harapan.
Ritual malam satu suro rutin dilaksanakan oleh para seniman kesenian Reog Bulkiyo.
Ritual malam satu suro adalah untuk mensucikan gamelan, bérang, bendera panji serta
busana yang dikenakan dalam kesenian Reog Bulkiyo. Pensucian dilakukan oleh pemimpin
kesenian. Pada ritual tersebut juga ditujukan untuk seniman-seniman terdahulu yang
berjuang melawan penjajah serta bekerja keras melestarikan kesenian Reog Bulkiyo. Hingga
saat ini ritual tersebut rutin diakukan oleh seniman kesenian Reog Bulkiyo.
1.2 Sebagai media ungkapan pribadi
Kesenian Reog Bulkiyo menggambarkan atau mengekspresikan keadaan dari para
penciptanya, yakni pada saat tahun 1825. Pada kala itu para pencipta kesenian Reog Bulkiyo
merupakan prajurit Pangeran Diponegoro yang bersembunyi di dalam hutan, sembari
menunggu kepastian keadaan telah aman. Untuk mengisi waktu luang, para prajurit
menciptakan sebuah tarian perang. Tarian tersebut menggambarkan peperangan antara para
prajurit melawan penjajah. Gerakan pada kesenian Reog Bulkiyo diadaptasi dari gerakan
perang para prajurit, sehingga kemampuan perang prajurit tetap terasah dengan baik. Hal ini
merupakan pendapat dari salah satu pelaku seni kesenian Reog Bulkiyo yaitu Santosa (49).
Selain versi diatas, terdapat satu versi lagi mengenai asal-usul Reog Bulkiyo, yaitu
mengadaptasi dari kisah kenabian. Menurut Supangi (Alm), kisah Reog Bulkiyo diadaptasi
dari Mesir. Nama Bulkiyo diambil dari nama seorang kyai Mesir, isi cerita pada kesenian
tersebut diambil dari serat Al Anbiya’, diceritakan bahwa Nabi Ibrahim menaklukkan
Karungkala dari Negeri Themas. Kejadian tersebut terjadi pada jaman kenabian, Nabi
Ibrahim dari Negeri Mesir bersama ketiga sahabatnya yakni Baginda Semangun, Baginda
Lawe dan Yahuda. Hal ini merupakan gambaran perang kaum Islam melawan kaum Kafir.
1.3 Fungsi Kesenian Reog Bulkiyo Pada Tahun 2009 Hingga Februari 2016 sebagai
Presentasi Estetis
Sebagai presentasi estetis, kesenian Reog Bulkiyo berfungsi untuk dinikmati
keindahannya sebagai seni hiburan dan seni pertunjukan. Kesenian Reog Bulkiyo pada awal
penciptannya tahun 1825 hanya berfungsi sebagai media latihan berperang. Pada sekitar
tahun 1897 kesenian Reog Bulkiyo tiba di Desa Kemloko dan mulai digunakan sebagai
hiburan. Kesenian Reog Bulkiyo pernah mengalami penurunan eksistensi pada tahun 1999
hingga 2009. Pada tahun 2009 kesenian Reog Bulkiyo kembali dirintis dengan
mengutamakan sebagai presentasi estetis. Kesenian Reog Bukiyo sebagai presentasi estetis
adalah sebagai berikut :
Pada tahun 2009, kesenian Reog Bulkiyo dipentaskan pada acara peringatan Maulid
Nabi Muhammad SAW. Reog Bulkiyo merupakan seni yang bernafaskan keislaman,
mengingat bahwa salah satu versi asal-usul Reog Bulkiyo adalah mengisahkan peperangan
antara kaum Islam melawan kaum Kafir. Hingga saat ini pementasan kesenian Reog Bulkiyo
pada malam Maulid Nabi Muhammad SAW masih rutin dilaksanakan. Selain sebagai
hiburan, juga mengajarkan nila-nilai agama dan petuah hidup kepada para penikmatnya. Nilai
agama tersebut dapat dipetik dari gambaran perang antara kaum Kafir melawan kaum Islam,
yaitu bermakna bahwa kebenaran pada akhirnya selalu dapat mengalahkan kejahatan. Kaum
Islam selalu memohon perlindungan kepada Allah SWT dan selalu berjalan dijalan
kebenaran, sehingga dapat memperoleh kemanangan. Dari petuah tersebut diharapkan para
penikmat kesenian Reog Bulkiyo dapat meneladani nilai-nilai kebaikan dan diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Reog Bulkiyo juga pernah ditampilkan dalam acara peresmian jalan di Desa Kemloko,
pada saat itu masyarakat sangat bersuka cita dan berantusias dalam peresmian jalan tersebut.
Untuk menyambut hal tersebut ditampilkanlah kembali kesenian Reog Bulkiyo, namun hanya
musik pengiringnya. Karena mulai tahun 1999 saat Jaseman (Alm) mulai jatuh sakit,
kesenian tersebut mengalami penurunan eksistensi. Sekitar 10 tahun berlalu dengan hampir
tidak pernah ditampilkan dimuka umum, pada tahun 2009 dibawah pimpinan Supangi (Alm)
Kesenian Reog Bulkiyo kembali membangun semangat baru untuk kembali unjuk gigi di
muka umum.
Sebagai sarana hiburan, Reog Bulkiyo memiliki banyak fungsi. Antara lain sebagai
pengisi acara saat karnaval. Tidak hanya karnaval desa maupun kecamatan. Kesenian Reog
Bulkiyo juga pernah mengikuti karnaval tingkat nasional. Setelah mulai dirintis oleh Supangi
(Alm), kesenian Reog Bulkiyo semakain dikenal secara meluas oleh masyarakat Kabupaten
Blitar. Pemerintah Kabupaten Blitar, yakni Dinas Pemuda Olah Raga Budaya dan Pariwisata
mulai mengenal kesenian Reog Bulkiyo, dan mementaskan Reog Bulkiyo dalam acara
karnaval tingkat nasional. Kepala seksi bidang kesenian Hartono (54) menjelaskan bahwa
setelah melihat kesenian Reog Bulkiyo, Hartono dengan para staf sepakat untuk
menampilkan kesenian tersebut pada acara karnaval di Jember pada tahun 2009.
Masyarakat Desa Kemloko memiliki adat bersih desa pada setiap tahunnya,
dalam hal ini keberadaan Reog Bulkiyo sebagai aset Desa Kemloko juga memiliki andil
sendiri. Sejak skitar tahun 2009 Reog Bulkiyo difungsikan sebagai seni pertunjukan pada
malam bersih desa di Desa Kemloko Kecamatan Nglegok Kabupaten Blitar. Pada awal tahun
2009 saat masyarakat hendak melaksanakan acara bersih desa, para sesepuh melakukan
musyawarah menganai susunan acara pada acara tersebut. Kemudian terdapat usulan untuk
menampilkan Reog Bulkiyo, selain sebagai hiburan masyarakat juga sebagai pengenalan
pada generasi muda, bahwa nenek moyang masyarakat Desa Kemloko merupakan prajurit
dari Pangeran Diponegoro, yang telah membela tanah air. Dari hasil musyawarah tersebut
masyarakat sepakat untuk menampilkan Kesenian Reog Bulkiyo, dan hingga saat ini sudah
menjadi tradisi bagi masyarakat Desa Kemloko Kecamatan Nglegok Kabupaten Blitar.
Kesenian Reog Bulkiyo juga dipentaskan dalam acara hajatan, baik hajatan pernikahan
maupun khitan. Menurut Susanto (49) fungsi kesenian Reog Bukiyo sebagai acara hiburan
saat hajatan, sebagai nadzar serta sebagai pengiring pengantin, diyakini sudah sejak sekitar
tahun 1900an. Namun pada tahun 2009 pada masa pipinan Supangi (Alm), fungsi kesenian
sebagai acara hiburan saat hajatan sangat banyak dan seing digunakan, mengingat kesenian
tersebut hampir tidak pernah melakukakn pementasan pada kurun waktu 1999 hingga 2009.
Pada saat ini fungsi keseian Reog Bulkiyo sebagai pengiring pengantin dan acara hiburan
hajatan adalah yang paling sering dilakukan.
Pada tahun 2010 kesenian Reog Bulkiyo berfungsi sebagai penyambutan tamu. Setelah
mengalami penurunan eksistensi pada tahun 1999 hingga 2009, tahun 2010 adalah pertama
kali kesenian Reog Bulkiyo ditampilan sebagai tari puntuk menyambut tamu. Acara tersebut
berada di Candi Penataran, yaitu candi yang berada di Kaabupaten Blitar. Dalam acara
peresmian Landmark wisata Blitar tersebut turut hadir mantan Wakil Presiden Boediono
beserta sang istri menuju Candi Penataran. Dalam acara tersebut Reog Bulkiyo dipercaya
sebagai pembuka acara pada peresmian Landmark Wisata Blitar.
Kesenian Reog Bulkiyo yang berfungsi sebagai seni hiburan, juga digunakan sebagai
pembuka acara dan penyambutan tamu dalam peresmian Desa Wisata Di Kecamatan
Nglegok Kabupaten Blitar pada tahun 2015. Hingga saat ini kesenian Reog Bulkiyo sering
ditampilkan saat ada tamu berkunjung baik ke Desa Wisata Kemmloko maupun ke wisata
lain di Kabupaten Blitar. Reog Bulkiyo juga pernah tampil saat penyambutan tamu di Makam
Bung Karno Kabupaten Blitar. Meskipun Reog Bulkiyo tidak diciptakan sebagai tari selamat
datang, namun Reog Bulkiyo merupakan aset yang dimiliki oleh Kabupaten Blitar. Sehingga
dengan sering ditampilkan di wisata Kabupaten Blitar dapat mengenalkan kesenian Reog
Bulkiyo pada khalayak umum.
2.2 Proses Pergeseran Fungsi Kesenian Reog Bulkiyo pada tahun 2009 Hingga Februari 2016
Konsep-konsep mengenai pross belajar kebudayaan oleh masyarakat, yaitu
internalisasi (internaization), sosialisasi (socialization) dan enkulturasi (enculturtion)
(Koentjaraningrat 1990:227). Ada juga proses perkembangan kebudayaan, manusia pada
umumnya dan bentuk-bentuk kebudayaan yang sederhana, hingga bentuk-bentuk yang
semakin kompleks, yaitu evolusi kebudayaan (cultural evolution). (Koentjaraningrat
1990:228).
Prosess pergeresan fungsi kesenian Reog Bulkiyo melalui sosialisasi. Sosialisasi
merupakan pola-pola tindakan dalam berinteraksi dengan keadaan sekitar. Dalam hal ini
pergeseran fungsi terjadi karena interaksi kesenian Reog Bulkiyo dengan masyarakat Desa
Kemloko serta seniman Reog Bulkiyo dengan seniman lain. Selama 10 tahun kesenian Reog
Bulkiyo mengalami penurunan eksistensi, pada tahun 2009 kesenian tersebut mulai dirintis
kembali. Para seniman Reog Bulkiyo memahami bahwa masyarakat pada umumnya
menghendaki adanya hiburan, oleh sebab itu sejak tahun 2009 kesenian Reog Bulkiyo
semakin menempatkan diri sebagai seni hiburan. Menururt Supangi (Alm) bentuk penyajian
kesenian tersebut tidak dirubah dari penciptaan awalnya pada tahun 1825, “Tarine yo
panggah ae, klambine yo panggah, iringane barang ke yo ket biyen ngunu. Kula ini diwarahi
mbah kaleh bapak kula pun ngoten, nggeh sing kula warahne ten tiang-tiang nggeh kados
rumiyin ingkang kula pelajari” Supangi, (wawancara, 20 Agustus 2015). Meskipun tidak
difungsikan lagi sebagai media latihan berperang, bentuk penyajian kesenian Reog Bulkiyo
tetap sama. Dalam merintis kesenian Reog Bulkiyo, para seniman mendapatkan dukungan
penuh dari masyarakat Desa Kemloko, masyarakat memiliki gagasan kreatif untuk
memanfaatkan kesenian yang dimiliki agar memiliki daya guna dan mampu berkembang
mengikuti zaman.
Pergeseran fungsi kesenian Reog Bulkiyo dari interaksi para seniman Reog Bulkiyo
dengan seniman lain adalah pada waktu akhir tahun 2009. Kesenian Kentrung merupakan
seni tradisional Kabupaten Blitar, berada di Desa Dayu Kecamatan Nglegok. Kesenian
tersebut merupakan seni hiburan yang mengalami penurunan eksistensi, namun Sumeh (85)
memiliki inovasi untuk menambah intrumen musik pada kesenian kentrung, yakni bass, gitar
dan keyboard. Dalam kesenian Kentrung terdapat formasi musik campursari, sehingga
antusias masyarakat tehadap kesenian tersebut semakin meningkat, dan kesenian Kentrung
kini menjadi seni pertunjukan. Dari seniman kesenian Kentrung, seniman kesenian Reog
Bukiyo mendapatkan gagasan untuk menampilkan kesenian Reog Bulkiyo tidak sekedar
sebagai ritual, namun juga sebagai seni hiburan dan seni pertunjukan.
C. Fakor Yang Mempengaruhi Pergeseran Fungsi Terhadap Kesenian Reog Bulkiyo
Pergeseran fungsi pada Reog Bulkiyo di Desa Kemloko Kecamatan Nglegok Kabupaten
Blitar dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang menjadi pendorong pada pergeseran
tersebut antara lain:
1 Faktor Intern
Faktor intern merupakan segala faktor yang ada atau timbul dari dalam kesenian
(Dwijowinoto, 1996:90) yang dimaksud faktor intern dalam penelitian ini antara lain
pengaruh seniman, faktor lingkungan seniman, sosial dan faktor perkembangan kesenian lain.
Faktor dari dalam yang dapat mempengaruhi pergeseran fungsi suatu kesenian dari dalam
kesenian itu sendiri antara lain dapat dari pemimpin kesenian atau pelaku seni. Faktor internal
yang menyebabkan pergeseran fungsi pada kesenian Reog Bulkiyo adalah seniman kesenian
tersebut. Pada awalnya Reog Bulkiyo hanya dapat dinikmati oleh para pelaku seni sebagai
media latihan berperang, hal ini terajadi pada kurun waktu 72 tahun, yaitu tahun 1825 hingga
1897. Menurut Supangi (Alm) para prajurit laskar Bulkiyo mengamankan diri di dalam hutan
daerah Begelan Jawa Tengah, kemudian setelah mendengar kabar bahwa keadaan sudah
aman para prajurit keluar dari persembunyian masing-masing, Mustar (Alm) beserta
kedelapan rekannya memutuskan untuk keluar dari hutan dan memulai kehidupan baru di
wilayah Blitar Utara. Supangi (wawancara, 20 Agustus 2015). Setibanya di Desa Kemloko,
para prajurit disambut baik oleh Kepala Desa Tjokrodjio. Para prajurit yang merupakan
pelaku seni memutuskan membawa Reog Bulkiyo dalam lingkungan masyarakat dan
mempertunjukkannya di muka umum. Secara tidak langsung melalui hal tersebut para pelaku
seni Reog Bulkiyo menempatkan fungsi kesenian tersebut sebagai seni pertunjukan, sekaligus
hiburan bagi masyarakat Desa Kemloko.
Reog Bulkiyo tiba di Desa Kemloko ini sekitar pada tahun 1897, saya pernah mendengar
cerita dari almarhum mbah Jaseman bahwa mulai saat itu Reog Bulkiyo dipentaskan di muka
umum, dan masyarakat sangat terhibur. Semenjak itu kesenian Reog Bulkiyo tidak sekedar
sebagai latihan berperang saja, namun juga sebagai sarana hiburan. Banyak sekali kesenian di
Blitar pada kala itu, diantaranya Ludruk, Hadrah serta Jaranan, namun Reog Bulkiyo adalah
yang paling digemari oleh bupati dimasa itu. Santosa (wawancara, 12 Maret 2016).
Pada tahun 2009, kesenian Reog Bulkiyo mulai dirintis kembali. Para seniman melihat
bahwa kesenian lain seperti Kentrung, mampu meningkatkan eksistensinya dengan
memberikan inovasi baru dari segi bentuk penyajiannya, sehingga kesenian Kentrung banyak
diminati sebagai seni hiburan. Dari hal tersebut para seniman Kesenian Reog Bulkiyo mulai
mempersiapkan kesenian tersebut sebagai seni hiburan. Sebagai seni hiburan, kesenian Reog
Bulkiyo mendapatkan apresiasi yang lebih besar.
Faktor intern antara lain dapat dari masyarakat sebagai lingkungan berkembangnya suatu
kesenian serta budaya yang berkembang pada wilayah kesenian tersebut. Faktor intern yang
mempengaruhi pergeseran fungsi kesenian Reog Bulkiyo adalah masyarakat Desa Kemloko.
Pada tahun 2009 masyarakat Desa Kemloko selalu mencoba untuk memanfaatkan kesenian
Reog Bulkiyo dalam berbagai kegiatan. Selain sebagai hiburan, masyarakat menilai dengan
dipertunjukkannya kesenian tersebut juga dapat melestarikan kesenian daerah yang dimiliki
oleh masyarakat Desa Kemloko Kecamatan Nglegok Kabupaten Blitar. Hal ini ditujukan agar
kesenian Reog Bulkiyo terus berkembang.
Masyarakat Desa Kemloko yang merupakan masyarakat santri dapat dengan mudah
menerima keberadaan Reog Bulkiyo, hal ini dikarenakan kesenian Reog Bulkiyo adalah
kesenian yang bernafaskan Islam. Setiap kegiatan yang diadakan oleh masyarakat selalu
mempertunjukkan kesenian tersebut, hal ini meruapakan salah satu faktor pendorong
berkembangnya kesenian Reog Bulkiyo.
2. Faktor Ekstern
Faktor eksternal adalah faktor yang timbul karena adanya pengaruh dari luar
(Dwijowinoto, 1996:90). Pengaruh faktor eksternal adalah adanya modernisasi. Kebudayaan
sewaktu-waktu akan selalu berubah mengikuti arus perkembangan zaman. Proses yang
menjadi pemicu cepatnya perubahan kebudayaan ialah adanya proses modernisasi,
modernisasi merupakan dasar terjadinya segala perubahan dalam kehidupan sosial.
Masyarakat Desa Kemloko merupakan masyarakat yang mengikuti proses
perkembangan zaman. Seiring waktu berlallu masyarakat sedikit demi sedikit menuju
masyarakat yang modern, namun tidak meninggalkan adatnya. Masyarakat dahulu sarat akan
adanya ritual, kini masyarakat mempercayakan pada kekuatan do’a. Kesenian Reog Bukiyo
merupakan ritual yang digunakan saat ruwat bayi serta membayar nadzar. Seiring
perkembangan zaman, masyarakat tidak melakukan ritual ruwatan dan membayar nadzar.
Masyarakat melakukan doa secara pribadi, sehingga sudah tidak menggunakan Reog Bulkiyo
sebagai media ritual. “Rumiyin zamane kathat ruwatan anak, tiang mbayar nadzar dadose
nggih Reog Bulkiyo di damel ritual. Lajeng saknikikula deg ne nggih damel tontonan. Niki
pancen pun mboten ritual nyel nak, tapi wujude nggih panggah kados rumiyin” (Supangi,
wawancara 20 Agustus 2016). Mengikuti perkembangan zaman, fungsi kesenian Reog
Bulkiyo sebagai ritual mengalami pergeseran, yakni sebagai seni hiburan dan seni
pertunjukan.
PENUTUP
Simpulan
2016)